gizinkan kaum Muslimin
berthawaf sampai tahun berikutnya. Mereka telah menunjuk perutusan
mereka untuk menandatangani suatu persetujuan dengan kaum Muslimin.
Tak lama kemudian Suhail, seorang pemimpin Mekkah, menjumpai
Rasulullah s.a.w.. Suatu persetujuan pun tercapai dan dituangkan dalam
bentuk tulisan.
Perjanjian Hudaibiya
Bunyinya seperti berikut:
Dengan nama Allah. Ini yaitu syarat-syarat perdamaian antara
Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amir, utusan Mekkah. Tidak
akan ada perang selama sepuluh tahun. Siapa pun yang berminat
menggabungkan diri kepada Muhammad dan mengadakan suatu
persetujuan dengan dia, bebas berbuat demikian. Siapa pun yang ingin
bergabung dengan kaum Quraisy dan mengadakan suatu persetujuan
dengan mereka, bebas untuk berbuat demikian. Seorang belia, atau
seseorang yang ayahnya masih hidup, jika ia pergi kepada Muhammad
tanpa izin ayahnya atau walinya, akan dikembalikan kepada ayahnya atau
walinya. namun , seseorang yang pergi kepada kaum Quraisy, ia tidak
akan dikembalikan. Pada tahun ini Muhammad akan kembali tanpa
masuk ke Mekkah. namun pada tahun yang akan datang ia dan para
pengikutnya dapat masuk ke Mekkah, tinggal selama tiga hari dan
melakukan thawaf. Selama tiga hari itu kaum Quraisy akan
mengundurkan diri ke bukit-bukit di sekitarnya. Jika Muhammad dan
para pengikutnya masuk ke Mekkah, mereka tidak akan bersenjata
kecuali pedang bersarung yang para musafir di Arabia senantiasa
membawa serta (Bukhari).
Dua hal yang memikat perhatian terjadi pada waktu
penandatanganan perdamaian ini. Sesudah syarat-syarat selesai
disepakati, Rasuluilah s.a.w. mulai mendiktekan persetujuan itu dan
bersabda, "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
Suhail berkeberatan dan berkata, "Allah kami kenal dan beriman kepada-
Nya, namun apakah tambahan Maha Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang itu?” Persetujuan ini antara dua golongan. Oleh sebab itu,
kepercayaan agama kedua pihak harus dihargai."
Rasulullah s.a.w. segera menyetujui dan bersabda kepada juru
tulisnya, "Tulis hanya 'Dengan nama Allah'." Kemudian Rasulullah
s.a.w. meneruskan mendiktekan kata-kata persetujuan tersebut. Kalimat
pembukaan berbunyi, "Ini yaitu syarat-syarat perdamaian antara kaum
Mekkah dan Muhammad Rasulullah." Suhail berkeberatan lagi dan
berkata, "Jika kami memandang anda Rasulullah, kami tidak akan
memerangi anda." Rasulullah s.a.w. menerima penolakan ini juga.
"Muhammad Rasulullah" diganti dengan "Muhammad bin Abdullah."
sebab Rasulullah s.a.w. menyetujui dan menerima tiap-tiap penolakan
kaum Mekkah, para Sahabat menjadi resah atas penghinaan itu. Darah
mereka mulai mendidih dan Umar, orang yang paling berang, pergi
kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah kita ada
di pihak yang benar?"
"Benar," jawab Rasulullah s.a.w., "kita ada di pihak yang benar."
"Dan tidakkah kita diberi tahu oleh Allah bahwa kita akan
berthawaf di Ka'bah?" tanya Umar.
"Ya," sabda Rasulullah. "Jika demikian mengapa persetujuan ini
dan mengapa kata-kata yang menistakan ini?"
"Benar," kata Rasulullah s.a.w., "Allah memang memberi
khabar ghaib bahwa kita akan berthawaf dengan damai, namun Allah
tidak mengatakan kapan. Aku menyangka bahwa hal itu akan terjadi
tahun ini. namun aku dapat saja salah. Harus pada tahun inikah?"
Umar bungkam. Kemudian sahabat-sahabat lain mengemukakan
keberatan mereka. Di antaranya ada yang bertanya, mengapa mereka
menyetujui pengembalian seorang pemuda yang masuk Islam kepada
ayahnya atau walinya tanpa mendapat syarat yang setimpal untuk
seorang Muslim yang kemudian ingkar atau pergi kepada kaum Mekkah.
Rasulullah s.a.w. menerangkan bahwa tidak ada kerugian dalam hal ini.
"Tiap orang yang masuk Islam," sabda beliau "ia masuk sebab
menerima kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang diajarkan
oleh Islam, ia tidak menjadi orang Islam untuk menggabungkan diri
kepada suatu jemaat dan menerima adat-adat kebiasaannya. Orang
demikian itu akan tabligh Islam kemanapun juga ia pergi dan menjadi
wahana penyebar Islam. namun orang yang meninggalkan Islam tidak
berguna bagi kita. Jika dalam hatinya tidak lagi beriman kepada apa yang
kita percaya, ia bukan lagi seorang di antara kita. Maka lebih baik ia
pergi ke tempat lain."
Jawaban Rasulullah s.a.w. itu memuaskan hati mereka yang
mula-mula meragukan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.. Hal itu
hendaknya memuaskan semua orang masa kini yang berpendapat bahwa
dalam Islam hukuman bagi orang murtad ialah hukum mati. Jika hal itu
memang demikian, Rasulullah s.a.w. tentu akan menuntut dikembalikan
dan menghukum mereka yang meninggalkan Islam.
saat persetujuan telah ditulis dan ditandatangani oleh kedua
pihak, timbullah suatu peristiwa yang menguji kejujuran kedua pihak.
Anak Suhail, wakil kaum Mekkah, datang ke hadapan Rasulullah s.a.w.
dalam keadaan terikat, luka-luka, dan sangat 1etih. Ia menjatuhkan diri
di hadapan Rasulullah s.a.w. dan berkata, "Ya Rasulullah, dalam batinku
aku seorang Muslim dan sebab kepercayaanku itu aku menerima
kesulitan-kesulitan ini dari tangan bapakku sendiri. Ayahku ada di sini
bersama anda. Maka aku melarikan diri dan berhasil datang kepada
anda." Rasulullah belum bersabda apa-apa, saat Suhail bertindak dan
mengatakan bahwa persetujuan telah ditandantangani dan anaknya harus
ikut dengan dia. Abu Jandal - begitu nama pemuda itu - berdiri di
hadapan orang-orang Muslim, saudara di antara saudara-saudaranya,
cemas atas perlakuan buruk ayahnya. Mengembalikannya yaitu suatu
kewajiban yang tidak sanggup mereka laksanakan. Mereka menghunus
pedang dan nampak bertekad untuk mati dalam menyelamatkan saudara
mereka. Abu Jandal sendiri memohon dengan sangat kepada Rasulullah
s.a.w. supaya ia diperkenankan tinggal. Apakah ia akan dikembalikan
kepada orang-orang kejam yang dari genggaman orang-orang itu ia telah
melarikan diri? namun Rasulullah s.a.w. telah mengambil keputusan.
Beliau bersabda kepada Jandal, "Nabi-nabi tidak menelan kata-katanya.
Kami sekarang telah menandatangani persetujuan. Sekarang, baiklah
kamu menanggungnya dengan sabar dan bertawakal kepada Allah . Dia
pasti akan mencukupi kamu dan memberikan kepadamu kemerdekaan
dan pula untuk kemerdekaan pemuda-pemuda lainnya yang senasib
dengan kamu." sesudah perdamaian itu ditandatangani, Rasulullah s.a.w.
pulang ke Medinah.
Tak lama sesudah itu seorang pemuda Muslim dari Mekkah yang
baru bai’at, bernama Abu Basyir, tiba di Medinah. namun sesuai dengan
bunyi persetujuan itu, ia juga disuruh kembali oleh Rasulullah s.a.w..
Dalam perjalanan kembali, ia berkelahi dengan pengawal-pengawalnya
dan membunuh salah seorang dari mereka, dengan demikian berhasil
meloloskan diri. Orang-orang Mekkah itu kembali kepada Rasulullah
s.a.w. dan mengadu. "namun ," sabda Rasulullah s.a.w., "kami telah
menyerahkan kembali orangmu kepadamu. Sekarang ia telah melarikan
diri dari tanganmu. Sekarang bukan kewajiban kami lagi untuk
mencarinya dan menyerahkannya lagi kepada kamu."
Selama beberapa hari kemudian, seorang wanita melarikan diri
ke Medinah. Beberapa dari keluarganya mengejarnya dan menuntut agar
ia dikembalikan lagi. Rasulullah s.a.w. menerangkan bahwa persetujuan
itu telah menetapkan satu kekecualiaan mengenai pria, tidak mengenai
wanita. Oleh sebab itu beliau menolak pengembalian wanita itu.
Surat-Surat Rasulullah Kepada Raja-Raja
sesudah menetap di Medinah, sekembalinya dari Hudaibiya,
Rasulullah s.a.w. menyusun suatu rencana baru dalam rangka
penyebaran agama Islam. saat maksud itu disampaikan kepada para
Sahabat, beberapa dari antara mereka yang kenal akan kebiasaan-
kebiasaan dan tata cara yang berlaku di istana raja-raja, mengatakan
kepada Rasulullah s.a.w. bahwa raja-raja tidak memperlihatkan surat-
surat yang tidak mengandung cap si pengirimnya. Sesuai dengan
kebiasaan itu Rasulullah s.a.w. menyuruh orang membuatkan cap,
padanya terukir kata-kata: Muhammad Rasul Allah. Sebagai
penghormatan, kata Allah diukir di sebelah atas, di bawahnya terukir
Rasul, dan akhirnya Muhammad.
Dalam bulan Muharam 628, utusan-utusan berangkat ke
berbagai ibu kota, masing-masing dengan surat dari Rasulullah s.a.w.,
mengundang raja-raja dan penguasa-penguasa pemerintahan untuk
menerima Islam. Utusan-utusan berangkat menghadap Heraclius (Kaisar
Roma), Raja-raja Iran, Mesir (Raja Mesir pada masa itu selalu raja muda
Kaisar) dan Abessinia. Mereka menghadap juga kepada raja-raja dan
penguasa-penguasa pemerintahan lain. Surat yang ditujukan kepada
Kaisar dibawa oleh Dihya Kalbi yang mendapat perintah untuk mula-
mula berkunjung dahulu kepada Gubernur Busra. saat Dihya
berkunjung kepada gubernur itu, kebetulan kaisar agung itu sendiri ada
di Siria dalam rangka perjalanan keliling kenegaraan. Gubernur itu
dengan senang hati menghadapkan Dihya kepada Kaisar. saat Dihya
masuk ke istana, kepadanya diterangkan bahwa siapa saja yang diterima
menghadap Kaisar harus sujud di hadapannya. Dihya menolak berbuat
demikian, mengatakan bahwa orang-orang Islam tidak bersujud di
hadapan seorang manusia manapun. Maka Dihya duduk dihadapan
Kaisar tanpa melakukan penghormatan protokoler tersebut. Kaisar
menyuruh agar surat itu dibacakan oleh seorang penerjemah dan
menanyakan, apakah ada kafilah Arab di kota itu. Beliau mengatakan
ingin menanyakan kepada seorang Arab mengenai nabi dari Arabia yang
telah mengirimkan undangan untuk menerima Islam itu. Kebetulan Abu
Sufyan ada di kota bersama kafilah dagang. Pejabat-pejabat istana
menghadapkannya kepada Kaisar. Abu Sufyan disuruh berdiri di
hadapan orang-orang Arab lainnya yang diharuskan membetulkannya,
kalau-kalau ia berdusta atau memberi pernyataan yang salah. Kemudian
Heraclius mulai memeriksa Abu Sufyan. Percakapan itu tercatat
demikian dalam sejarah:
H : Kenalkah kau kepada orang yang mengaku nabi dan berkirim surat
kepadaku ini? Dapatkah kamu mengatakan asal dari keluarga apa dia?
AS : Ia dari keluarga bangsawan dan salah seorang dari sanak keluargaku
140
sendiri.
H : Pernahkah sebelum dia ada orang-orang Arab yang memiliki
pengakuan seperti itu?
AS : Tidak.
H : Pernahkah kaummu menuduh dia berdusta sebelum ia mengemukakan
pengakuannya?
AS : Tidak.
H : Bagaimana pendapatmu tentang kesanggupan dan kemampuannya dalam
memegang peri keadilan?
AS : Kami tak pernah mendapati kekurangan dalam kesanggupannya
berpegang pada keadilan.
H : Bagaimana keadaan para pengikutnya. Apakah mereka orang-orang besar
dan berkuasa ataukah miskin dan dari kalangan rendah?
AS : Umumnya miskin, rendah, dan belia.
H : Jumlahnya itu bertambah atau berkurang?
AS : Terus bertambah.
H : Adakah dari para pengikutnya yang kembali lagi kepada kepercayaan
semula?
AS : Tidak.
H : Pernahkan ia melanggar janjinya?
AS : Sebegitu jauh, tidak. namun baru-baru saja kami mengadakan perjanjian
dengan dia. Kita tunggu saja bagaimana sikapnya terhadap peranjian itu.
H : Pernah kamu memeranginya?
AS : Ya.
H : Bagaimana hasilnya?
AS : Seperti air pasang dan surut, kemenangan dan kekalahan silih berganti di
antara kami dan dia. Dalam Perang Badar, umpamanya, di dalam
pertempuran itu aku tidak ikut, ia telah berhasil mengalahkan kami.
Dalam Perang Uhud saat aku memimpin pihak kami, kami telah
mengalahkannya. Kami iris perut mereka, telinga mereka, dan hidung
mereka.
H : Apakah yang diajarkannya?
AS : Bahwa kami harus beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan tidak
boleh syirik, mempersekutukan Allah . Ia menentang berhala-berhala
kami yang menjadi persembahan nenek-moyang kami. Untuk gantinya
ia menghendaki kami beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, berkata
benar dan senantiasa menjauhi segala perbuatan jahat dan khianat. Ia
menganjurkan berbuat baik terhadap satu sama lain, berpegang dengan
teguh.
Percakapan yang sangat menarik itu berakhir dan kemudian
Kaisar bersabda:
Mula-mula kutanyakan kepadamu tentang keluarganya dan kamu
mengatakan ia dari keturunan bangsawan. Sesungguhnya, nabi-nabi
senantiasa diturunkan dari keluarga-keluarga bangsawan. Kemudian
kutanyakan, apakah sebelum dia ada orang yang mendakwakan seperti
itu, dan kamu katakan, tidak. Aku ajukan pertanyaan itu sebab aku
berpendapat bahwa di hari-hari lampau yang dekat ada seorang yang
membuat pendakwaan demikian, maka orang dapat berkata bahwa nabi
itu menirunya dalam pendakwaannya. Kemudian kutanyakan, apakah ia
pernah dituduh berdusta sebelum dakwanya dan kamu katakan, tidak.
Aku simpulkan dari kenyataan itu bahwa seseorang yang tak pernah
berdusta tentang manusia tidak akan berdusta tentang Allah . Selanjutnya
kutanyakan, apakah pernah ada seorang raja di antara nenek-moyangnya,
dan kamu menjawab, tidak ada. Dari jawaban itu aku dapat mengerti
bahwa dakwanya itu bukan rencana halus untuk merebut lagi kerajaan.
Kemudian kutanyakan, apa para pengikutnya itu kebanyakan orang-
orang besar, makmur, dan kuasa atau miskin dan lemah. Dan kamu
katakan sebagai jawaban bahwa mereka itu umumnya miskin dan lemah,
tidak gagah perkasa, dan demikian juga keadaannya pengikut-pengikut
seorang nabi di zaman yang lampau. Kemudian kutanyakan apakah
jumlah para pengikutnya terus-menerus bertambah atau berkurang. Pada
saat itu aku ingat bahwa para pengikut seorang nabi senantiasa
bertambah sampai akhirnya tujuan nabi itu tercapai. Sesudah itu
kutanyakan apa para pengikutnya meninggalkannya sebab jemu atau
kecewa, dan kamu katakan, tidak. Sesuai dengan itu aku ingat bahwa
para pengikut nabi-nabi biasanya tegar hati. Mereka mungkin tergelincir
sebab sebab-sebab lain, namun tidak jemu atas kepercayaannya.
Kemudian kutanyakan, apakah pernah terjadi pertempuran antara kamu
dan para pengikutnya dan jika hal itu pernah terjadi, bagaimana hasilnya.
Dan, kamu katakan bahwa kamu dan para pengikutnya seperti air pasang
dan surut, dan nabi-nabi memang seperti itu juga. Mula-mula para
pengikutnya menderita kekalahan dan kemalangan, namun akhirnya
mereka menang. Kemudian, kutanyakan tentang ajarannya dan kamu
katakan bahwa ia mengajarkan ibadah kepada Allah Yang Maha Esa,
bicara benar, berbuat kebaikan, dan kepentingan setia kepada perjanjian
dan membela kebenaran. Kutanyakan juga, adakah ia pernah main
curang dan kau katakan, tak pernah. Itulah cara orang-orang baik. Maka
tampak kepadaku bahwa dakwanya sebagai nabi itu benar. Aku memang
setengah mengharapkan kemunculnnya di zaman kita, namun aku tidak
menyangka bahwa ia akan ternyata seorang Arab. Jika apa-apa yang kau
katakan itu benar, maka aku pikir bahwa pengaruh dan kekuasaannya
pasti akan menyebar dan meluas ke negeri-negeri ini (Bukhari).
Pidato itu sangat meresahkan para abdi istana dan mulai mencela
raja yang telah memuji-muji seorang Guru dari masyarakat lain. Protes-
protes mulai timbul. Para pejabat istana menyuruh Abu Sufyan dan
sahabat-sahabatnya pergi. Isi surat Rasulullah s.a.w. kepada Kaisar itu
tercantum dalam catatan-catatan sejarah. Beginilah bunyinya:
Dari Muhammad, abdi Allah , dan Rasul-Nya. Kepada Pemimpin
Roma, Heraclius. Selamat sejahteralah siapa yang. melangkah dijalan
petunjuk Ilahi. Kemudian, wahai Raja, aku memanggil anda kepada
Islam. Jadilah seorang Muslim. Allah akan melindungi anda dari segala
malapetaka, dan memberi pahala dua kali lipat. namun jika anda menolak
dan tidak mau menerima seruan ini, maka dosa bukan menimpa atas
penolakan anda sendiri, melainkan juga dosa penolakan rakyat anda akan
143
menimpa anda. "Katakanlah, wahai Ahlulkitab! marilah kita adakan kata
sepakat antara kami dan kalian bahwa kita tidak akan beribadah kecuali
kepada Allah, dan bahwa kita tidak akan menyekutukan Dia, dan bahwa
beberapa dari antara kita tidak akan memperlakukan lain-lain sebagai
Allah -Allah di samping Allah”. namun , jika mereka berpaling, maka
katakanlah, "Saksikanlah bahwa kami taat kepada Allah " (Zurqani).
Seruan masuk Islam yaitu panggilan untuk beriman kepada
Allah Yang Maha Esa dan bahwa Muhammad yaitu Rasul-Nya. Di
mana surat itu mengatakan bahwa jika Heraclius masuk Islam, ia akan
mendapat rahmat dua kali, dengan itu dimaksudkan bahwa Islam
mengajarkan untuk beriman kepada Nabi Isa a.s. dan Muhammad s.a.w..
Diriwayatkan bahwa saat surat itu disampaikan kepada Kaisar,
beberapa orang pembesar istana menyarankan supaya mencabik-
cabiknya dan membuangnya. Surat itu, kata mereka, yaitu penghinaan
kepada Kaisar. Surat itu tidak menyebut Kaisar, namun hanya Sahib 'al-
Rum, yaitu Pemimpin Roma. namun Kaisar bersabda bahwa tidak
bijaksana untuk menyobek-nyobek surat itu tanpa membacanya.
Dikatakannya juga bahwa alamat "Pemimpin Roma" itu tidak salah.
Pokoknya yang empunya segala sesuatu yaitu Allah. Seorang Kaisar
hanya seorang pemimpin.
saat kepada Rasulullah s.a.w. diceriterakan bagaimana surat
itu diterima oleh Heraclius, beliau nampak puas dan senang dan bersabda
bahwa oleh sebab penerimaan baik Kaisar Roma akan surat itu,
kerajaannya akan selamat. Keturunan Kaisar itu akan lama memerintah
kerajaannya. Hal itu memang menjadi kenyataan. Dalam peperangan
yang terjadi kemudian, bagian terbesar kerajaan Roma, sesuai dengan
khabar ghaib lain dari Rasulullah s.a.w., terlepas dari kekuasaan Roma;
walaupun demikian enam ratus tahun sesudah itu keturunan Heraclius
tetap berdiri dengan mapan di Konstantinopel (Istambul). Surat
Rasulullah s.a.w. tetap terpelihara dalam arsip negara untuk waktu yang
sangat panjang. Duta-duta Raja Muslim, Mansur Qalawun, mengunjungi
istana Roma dan kepada mereka diperlihatkan surat yang tersimpan di
dalam peti besi. Kaisar Roma pada waktu itu mengatakan, sambil
memperlihatkan surat itu bahwa surat itu diterima oleh salah seorang
nenek-moyangnya dari Nabi mereka dan bahwa surat itu kemudian
disimpannya baik-baik.
Surat Kepada Raja Iran
Surat kepada Raja Iran disampaikan dengan perantaraan
Abdullah bin Hudzafa. Bunyi surat itu seperti berikut:
Bismillahir-Rahmanir-Rahiim. Surat ini dari Muhammad, Rasulullah,
kepada Kisra, Pemimpin Iran. Barangsiapa tunduk kepada petunjuk yang
sempurna, dan beriman kepada Allah dan menjadi saksi bahwa Allah itu
Tunggal dan tidak ada sekutu-Nya dan bahwa Muhammad itu abdi-Nya
dan Rasul-Nya, selamatlah ia. Wahai Raja, atas perintah Allah , aku
memanggil anda kepada Islam. Sebab aku telah diutus oleh Allah
sebagai Rasul-Nya untuk seluruh umat manusia, sehingga aku memberi
peringatan kepada semua orang yang hidup dan menyempurnakan
tugasku kepada semua orang yang belum beriman. Terimalah Islam dan
pelihara diri anda sendiri dari segala malapetaka. Jika anda menolak
seruan ini, maka dosa penolakan kaum anda seluruhnya akan menimpa
anda (Zurqani dan Khamis).
Abdullah bin Hudzafa mengatakan bahwa saat ia sampai ke
istana Kisra, ia mengajukan permohonan menghadap Raja. Ia
mempersembahkan surat itu kepada Kisra dan Kisra menyuruh seorang
penerjemah membaca surat itu dan menguraikan isinya. saat
mendengar isi surat tersebut Kisra menjadi sangat berang. Surat itu
diambilnya kembali dan disobek-sobeknya. Abdullah bin Hudzafa
melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah s.a.w.. sesudah mendengar
laporan itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
Apa yang telah dilakukan Kisra terhadap surat kami, demikian pula
Allah akan memperlakukan kerajaannya (yakni akan memporak-
porandakan kerajaannya).
Kemarahan yang diperlihatkan Kisra pada peristiwa itu yaitu
hasil propaganda keji terhadap Islam oleh orang-orang Yahudi yang
telah pindah dari wilayah Roma ke wilayah Iran. Pengungsi-pengungsi
Yahudi itu memainkan peranan penting dalam tipu-muslihat anti-Roma
di Iran, dan sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang sangat dielu-
elukan di istana Iran. Kisra sangat marah terhadap Rasulullah s.a.w..
Laporan-laporan mengenai Rasulullah s.a.w. yang biasa dibawa oleh
orang-orang Yahudi ke Iran nampaknya dikukuhkan oleh surat itu. Ia
memandang Rasulullah s.a.w. sebagai petualang yang agresif dengan
rencana-rencana melawan kerajaan Iran. Segera sesudah itu Kisra
mengirim surat kepada gubernurnya di Yaman mengatakan bahwa
seorang Quraisy di Arabia telah mendakwakan dirinya sebagai nabi.
Dakwanya telah melampaui batas. Gubernur itu diminta untuk mengutus
dua orang dengan tugas menangkap orang Quraisy tersebut dan
menghadapkannya ke istana Iran. Badzan, Gubernur Yaman yang
bernaung di bawah pemerintah Kisra, mengutus seorang panglima,
disertai seorang teman, pergi kepada Rasulullah s.a.w.. Ia memberikan
juga kepada mereka sepucuk surat untuk disampaikan kepada Rasulullah
s.a.w. yang di dalamnya ia mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w.,
seterima surat itu, harus segera ikut dengan kedua utusan itu datang ke
istana Iran. Kedua utusan itu sedianya pergi ke Mekkah dahulu. Tatkala
mereka sampai ke suatu tempat di dekat Ta’if, mereka mendapat berita
bahwa Rasulullah s.a.w. tinggal di Medinah. Oleh sebab itu mereka pun
terus menuju ke Medinah. Setiba di Medinah panglima itu menerangkan
bahwa Badzan, Gubernur Yaman, telah mendapat instruksi dari Kisra
untuk mengatur penangkapan Rasulullah s.a.w. lalu mengirimkan beliau
ke Iran. Jika Rasulullah s.a.w. menolak, maka beliau beserta kaum beliau
harus dibinasakan dan negeri mereka akan dijadikan lenggang sunyi.
Dari rasa kasihan atas Rasulullah s.a.w., perutusan itu menyarankan
kepada beliau supaya patuh dan mau dibawa ke Iran. sesudah mendengar
semua itu, Rasulullah s.a.w. meminta supaya perutusan itu menjumpai
beliau lagi keesokan hari. Malam itu Rasulullah s.a.w. mendoa kepada
Allah yang memberi kabar kepada beliau bahwa kelancangan Kisra
telah menyebabkan tewasnya. "Kami telah membuat anaknya sendiri
melawan dia dan anaknya membunuh ayahnya pada hari Senin tanggal
10 Jumadil-awal tahun ini." Menurut riwayat-riwayat yang lain, wahyu
itu mengatakan, "Anaknya telah membunuh ayahnya pada malam itu
juga." Mungkin sekali malam itu malam tanggal 10 Jumadil-awal. Pada
pagi hari Rasulullah s.a.w. memanggil perutusan Yaman itu dan
memberitahukan kepada mereka berita yang telah diwahyukan kepada
beliau semalam.
Kemudian beliau membuat surat kepada Badzan, mengatakan
bahwa Kisra akan dibunuh pada hari tertentu dalam bulan tertentu.
saat Gubernur Yaman menerima surat itu, beliau berkata, "Jika orang
itu seorang nabi yang benar, akan terjadi seperti yang dikatakannya. Jika
ia tidak benar, maka semoga Allah menolong dia dan negerinya."
Segera sesudah itu, sebuah kapal dari Iran lego jangkar di pelabuhan
Yaman. Kapal itu membawa surat dari Kaisar Iran untuk Gubernur
Yaman. Surat itu memakai cap baru. Dari surat itu Gubernur
menyimpulkan bahwa khabar ghaib dari Nabi Arab itu ternyata benar.
Suatu cap baru berarti raja baru. Surat itu dibukanya. Bunyinya:
Dari Kisra Sirus kepada Badzan, Gubernur Yaman. Aku telah
membunuh ayahku sebab pemerintahannya telah menjadi korup dan tidak
adil. Ia membunuh para bangsawan dan memperlakukan rakyatnya
dengan kejam. Segera seterima surat ini kumpulkanlah semua panglima
dan minta dari mereka pernyataan setia kepadaku. Mengenai perintah
ayahanda untuk menangkap Nabi Arabia itu anda diharapkan
memandang instruksi itu sudah batal (Tabari Jilid 3, halaman 1572-1574
dan Hisyam, hlm. 46).
Badzan begitu terkesan oleh peristiwa itu sehingga beliau dan
beberapa sahabatnya segera menyatakan iman kepada Islam dan
menyampaikan ihwal itu kepada Rasulullah s.a.w.
Surat Kepada Negus
Surat kepada Negus, Raja Abessinia dibawa oleh Amir bin
Umayya Damri. Bunyinya seperti berikut:
Bismillahir-Rahmanir-Rahiim. Muhammad, Rasulullah, menulis
kepada Negus, Raja Abessinia. Wahai Raja, semoga selamat sejahtera
atas anda. Aku memuji, di hadapan anda, Allah Yang Maha Esa. Tidak
ada yang lain patut disembah. Dia yaitu Raja segala raja, sumber segala
kesempurnaan, bebas dari segala cacat. Dia memberikan keamanan
kepada segala abdi-Nya dan memberikan perlindungan kepada semua
makhluk-Nya. Aku menyaksikan bahwa Isa ibnu Maryam itu seorang
Rasul yang datang sebagai penyempurnaan janji kepada Maryam dari
Allah . Maryam telah mewakafkan hidupnya kepada Allah . Aku
menyerukan kepada anda untuk ikut bersama-sama denganku dalam
menghubungkan diri kepada Allah Yang Maha Esa dan mentaati-Nya.
Aku berseru kepada anda untuk mengikutiku dan beriman kepada Allah
yang telah mengutusku. Aku yaitu Rasul-Nya. Aku memanggil anda
dan lasykar anda untuk masuk Agama Allah Yang Maha Kuasa. Dengan
ini aku menyempurnakan tugasku. Aku telah menyampaikan kepada
anda Amanat Allah dan telah menjelaskan kepada anda arti Amanat itu.
Aku melakukan ini dengan segala kesungguhan dan aku mengharapkan
anda akan menghargai kesungguhan yang mendorong Amanat ini. Siapa
yang menerima petunjuk Allah menjadi ahli waris Rahmat Allah
(Zurqani).
saat surat itu sampai kepada Negus, beliau memperlihatkan
rasa hormat dan takzim terhadapnya. Diangkatnya setinggi matanya,
beliau turun dari singgasananya dan meminta peti gading untuk surat itu.
Kemudian disimpannya surat itu di dalam peti dan bersabda, "Selama
surat ini aman, kerajaanku akan aman pula." Apa yang dikatakannya
ternyata benar. Seribu tahun lamanya lasykar Muslim bergerak dalam
operasi penaklukan-penaklukan. Mereka menuju ke semua jurusan dan
melewati semua perbatasan Abessinia, namun mereka tidak menyentuh
kerajaan kecil Negus itu; itu semua atas penghargaannya kepada dua
tindakan bersejarah, ialah, perlindungannya terhadap pengungsi-
pengungsi Islam di zaman permulaan dan penghormatan yang
diperlihatkannya terhadap surat Rasulullah s.a.w.. Kerajaan Roma
menjadi berantakan. Kisra kehilangan jajahannya. Kerajaan Tiongkok
dan India lenyap namun kerajaan Negus tetap utuh, sebab
pemerintahannya menerima dan melindungi pengungsi-pengungsi
Muslim di zaman permulaan dan menghargai serta menghormati surat
Rasulullah s.a.w..
Orang-orang Muslim membalas kemurahan hati Negus dengan
cara demikian. Bandingkanlah dengan perlakuan sebuah bangsa Kristen
di abad peradaban ini terhadap kerajaan Kristen Negus. Mereka
mengadakan pemboman dari udara atas kota-kota terbuka Abessinia dan
menghancurkannya. Keluarga raja terpaksa mencari perlindungan di
tempat lain dan terpisah dari negerinya untuk beberapa tahun lamanya.
Kaum itu telah diperlakukan dengan dua cara yang berlainan oleh dua
kaum yang berlainan. Kaum Muslimin memandang Abessinia keramat
dan tak boleh diganggu, sebab kemurahan hati salah seorang kepala
negaranya. Suatu bangsa Kristen menyerang dan menjarahnya atas nama
peradaban. Hal itu membuktikan, bagaimana sehatnya dan bagaimana
kekalnya pengaruh-pengaruh ajaran dan contoh Rasulullah s.a.w.. Rasa
terima kasih orang-orang Muslim terhadap suatu kerajaan Kristen
menjadikan kerajaan itu keramat untuk orang-orang Muslim. Kelobaan
Kristen menyerang kerajaan itu juga, tidak mengindahkan bahwa
kerajaan itu kerajaan Kristen juga.
Surat Kepada Penguasa Mesir
Surat kepada Muqauqis dibawa oleh Hathib ibn Abi Balta'a. Isi
surat itu serupa dengan bunyi surat kepada Kaisar Roma. Surat kepada
Kaisar Roma mengatakan bahwa dosa penolakan rakyat Roma akan
menimpa Kaisar itu. Surat kepada Muqauqis mengatakan bahwa dosa
penolakan orang-orang Mesir akan menimpa penguasanya. Bunyinya
seperti berikut:
Bismillahir-Rahmanir-Rahiim. Surat ini dari Muhammad Rasulullah
kepada Muqauqis, Pemimpin bangsa Mesir. Selamat sejahtera bagi dia
yang mengikuti jalan yang jujur. Aku memanggil anda untuk menerima
Seruan Islam. Berimanlah dan anda akan diselamatkan dan ganjaran anda
akan dua kali lipat. Jika anda tidak beriman, dosa penolakan orang-orang
Mesir akan menimpa diri anda. Katakan, Wahai ahlul-kitab! Marilah kita
sepakat bahwa kita beribadah hanya kepada Allah dan bahwa kita tidak
akan menyekutukan Allah -Allah selain Allah. namun jika mereka
berpaling, maka berkatalah, "Saksikanlah bahwa kami telah
menyerahkan diri kepada Allah " (Halbiyya, Jilid 3, hlm.275).
saat Mathib tiba di Mesir, ia tak menjumpai Muqauqis di ibu
kota. Hathib menyusulnya ke Iskandaria, tempat beliau sedang
memimpin sidang dekat laut. Hathib naik perahu. Tempat sidang dijaga
keras. Oleh sebab itu Hathib memperlihatkan surat itu dari jauh dan
mulai berseru keras. Muqauqis memerintahkan supaya Hathib dibawa
menghadap kepadanya. Muqauqis membaca surat itu dan berkata, “Jika
orang itu benar seorang nabi, mengapa ia tidak mendoa untuk
kehancuran musuh-musuhnya.”
Hathib menjawab, “Anda beriman kepada Nabi Isa. Beliau
diperlakukan buruk oleh kaumnya, namun beliau tidak mendoa untuk
kebinasaan mereka.” Raja memberi penghormatan kepada Hathib dan
mengatakan bahwa ia utusan yang bijaksana dan pribadi yang bijak pula.
Ia menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan
kepadanya. Maka Hathib berkata lagi, “Sebelum anda ada seorang raja
yang congkak, sombong dan kejam. Ia yaitu Firaun yang menganiaya
Nabi Musa a.s.. Akhirnya ia kena azab. Maka, janganlah hendaknya
sombong. Berimanlah kepada Nabi Allah ini. Demi Allah, Nabi Musa
a.s. tidak menyampaikan khabar ghaib tentang Nabi Isa a.s. sejelas Nabi
Isa a.s. sendiri memberikan khabar ghaib tentang Muhammad s.a.w..
Kami memanggil anda kepada Muhammad Rasulullah s.a.w. justru
seperti anda sekalian dan kaum Kristen memanggil kaum Yahudi kepada
Nabi Isa a.s.. Tiap-tiap nabi memiliki pengikutnya. Pengikut-pengikut
itu harus mentaati Nabi mereka. Sekarang muncul seorang Nabi di masa
anda, maka menjadi kewajiban anda untuk beriman kepadanya dan
mengikutinya. Perhatikanlah bahwa agama kami tidak meminta anda
untuk menolak atau membangkang terhadap Nabi Isa a.s.. Agama kami
menuntut tiap-tiap orang beriman kepada Nabi Isa a.s.
Mendengar seruan ini Muqauqis menyatakan bahwa ia telah
mendengar ajaran Nabi itu dan ia merasa bahwa beliau tidak
mengajarkan kejahatan atau melarang kebaikan. Ia juga telah
mengadakan penyelidikan dan mengetahui bahwa beliau bukan tukang
sihir atau tukang tenung. Ia telah mendengar beberapa khabar ghaib yang
telah menjadi kenyataan. Kemudian Raja memesan sebuah peti gading,
dan surat Rasulullah s.a.w. itu disimpan di dalamnya, disegelnya dan
diberikannya kepada seorang dayang supaya menyimpannya dengan
baik. Ia menulis juga surat balasan kepada Rasulullah s.a.w.. Isi surat itu
tercantum dalam catatan sejarah. Bunyinya seperti berikut:
BismiIlahir-Rahmanir-Rahiim. Dari Muqauqis, Raja Mesir, kepada
Muhammad bin Abdullah. Assalamu'alaikum. Kemudian, aku
menyatakan bahwa aku telah membaca surat anda dan merenungkan
isinya dan kepercayaan yang sebab nya anda memanggilku. Aku tahu
bahwa nabi-nabi Iberani telah memberi khabar ghaib tentang kedatangan
seorang nabi di zaman kita. namun aku sangka ia akan muncul di Siria.
Aku telah menerima utusan anda dan menghadiahkan kepadanya seribu
dinar dan lima khilat dan aku mengirim dua orang gadis Mesir sebagai
hadiah kepada anda. Kaumku, kaum Mesir, menjunjung tinggi gadis-
gadis itu. Seorang di antaranya yaitu Maryam dan yang seorang lagi
Sirin. Pula saya menghaturkan kepada anda dua puluh pakaian dari kain
lena (linnen) Mesir yang tinggi kualitasnya. Kuhaturkan pula seekor unta
untuk tunggangan. Akhirnya aku sekali lagi mendoa agar anda
menikmati keamanan dan perdamaian dari Allah (Zurqani dan Tabari).
Jelas nampak dari surat itu bahwa Muqauqis memperlakukan
surat itu dengan segala kehormatan namun ia tidak menerima Islam.
Surat Kepada Pemimpin Bahrain
Rasulullah s.a.w. mengirim juga sepucuk surat kepada Mundzir
Taimi. Pemimpin Bahrain. Surat itu dibawa oleh 'Ala ibn Hadrami. Surat
aslinya telah hilang. saat surat itu tiba di tangan Pemimpin itu, ia
beriman dan membalas surat Rasulullah s.a.w. dengan pernyataan bahwa
ia dan beberapa sahabat serta pengikutnya telah mengambil keputusan
untuk masuk Islam. Dikatakannya juga bahwa ada beberapa orang
Yahudi dan Majusi tinggal di daerahnya. Apakah yang harus diperbuat
olehnya dengan mereka? Rasulullah s.a.w. mengirimkan lagi sepucuk
surat kepada Pemimpin itu demikian:
Aku gembira atas kesediaan anda menerima Islam. Kewajiban anda
ialah taat kepada delegasi-delegasi dan utusan-utusan yang akan
kukirimkan kepada anda. Siapa taat kepada mereka, ia taat kepadaku.
Utusanku yang menyampaikan suratku kepada anda, memuji-muji anda
dan menyatakan kepadaku kelurusan agama anda. Aku telah mendoa
kepada Allah untuk kaum anda. Maka berusahalah untuk mengajarkan
kepada mereka cara-cara dan amalan-amalan Islam. Lindungi harta
benda mereka. Janganlah mereka dibiarkan beristrikan 1ebih dari empat.
Dosa-dosa yang lampau telah dimaafkan. Selama anda baik dan saleh,
anda akan terus-menerus memerintah kaum anda. Mengenai orang-orang
Yahudi dan Majusi, mereka hanya diwajibkan membayar pajak, maka
janganlah diminta dari mereka lebih dari pada itu. Mengenai rakyat
jelata, mereka yang tak punya tanah yang cukup untuk kehidupan
mereka, hendaknya diberi empat dirham seorang dan sedikit pakaian
untuk mereka pakai (Zurqani dan Khamis).
Rasulullah s.a.w. berkirim surat juga kepada Raja Uman,
Pemimpin suku Yamama, Raja Ghassan, Pemimpin suku Nahd, suatu
suku Yaman, Pemimpin suku Hamdan, suku lain lagi dari Yaman.
Pemimpin suku Bani Alim dan Pemimpin suku Hadhrami. Kebanyakan
dari mereka masuk Islam.
Surat-surat itu menunjukkan betapa sempurnanya keimanan
Rasulullah s.a.w. kepada Allah . Pula, dari awal sudah jelas bahwa
Rasulullah s.a.w. yakin telah diutus oleh Allah bukan kepada kaum atau
wilayah tertentu, namun untuk semua bangsa di seluruh dunia. Benar
surat-surat itu diterima oleh si alamat dengan cara bermacam-macam.
Beberapa diantaranya segera menerima Islam. Beberapa lainnya
memperlakukan surat-surat itu dengan penghargaan, meski tidak
menerima Islam. Lainnya lagi menyambutnya dengan penghormatan
yang biasa-biasa. Ada juga yang memperlihatkan penghinaan dan
kesombongan. Akan namun , memang benar pula, dan sejarah menjadi
saksi atas kenyataan ini bahwa si penerima surat-surat itu, atau kaum
mereka, mengalami nasib yang sesuai dengan perlakuan mereka terhadap
surat itu.
Khaibar Jatuh
Seperti telah kami katakan di atas, orang-orang Yahudi dan
penentang-penentang Islam lainnya sekarang sibuk mengobarkan api
permusuhan di tengah-tengah suku-suku terhadap kaum Muslimin.
Sekarang mereka telah mendapat keyakinan bahwa Arabia tidak mampu
membendung pengaruh Islam yang kian membesar dan bahwa suku-suku
Arab tidak sanggup menyerang kota Medinah. Oleh sebab itu, orang-
orang Yahudi mulai main kongkalingkong dengan suku-suku Kristen
yang tinggal di perbatasan sebelah selatan Kerajaan Roma. Bersamaan
dengan itu mereka mulai menulis surat kepada mitra seagama mereka di
Irak untuk menentang Rasulullah s.a.w.. Dengan propaganda yang keji,
lewat surat-surat, mereka berusaha membangkitkan kemarahan Kisra
Iran terhadap Islam. Sebagai hasil tipu muslihat Yahudi itu, Kisra
menentang Islam, bahkan mengirim perintah kepada Gubernur Yaman
untuk menangkap Rasulullah s.a.w.. Hanyalah semata-mata berkat
campur tangan dan rahmat Ilahi maka Rasulullah s.a.w. tetap selamat,
dan rencana buruk Maharaja Iran sempat digagalkan. Jelaslah bahwa
seandainya tidak sebab pertolongan Ilahi yang menyertai Rasulullah
s.a.w. sepanjang jenjang karir beliau, maka jemaat Muslim yang kecil
jumlahnya di zaman permulaan itu sudah lama binasa di masa masih
tunas oleh hembusan prahara permusuhan dan perlawanan para Maharaja
Roma dan Iran.
Tatkala Kisra memerintahkan menangkap Rasulullah s.a.w.,
terjadi suatu peristiwa sebelum perintah itu dilaksanakan; Kisra
digulingkan dan dibunuh oleh anaknya sendiri dan perintah penangkapan
Rasulullah dibatalkan oleh penguasa yang baru. Para pembesar Yaman
sangat terkesan oleh mukjizat itu, maka propinsi Yaman dengan suka
hati menjadi bagian Kerajaan Islam. Persekongkolan-persekongkolan
yang terus-menerus dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-
orang Islam dan kota mereka, Medinah, menghendaki orang-orang
Muslim mengusir orang-orang Yahudi lebih jauh dari Medinah. Jika
mereka diizinkan terus tinggal dekat, maka tipu daya mereka hampir
dapat dipastikan akan menimbulkan lebih banyak pertumpahan darah
dan kekerasan.
Sepulang dari Hudaibiya Rasulullah s.a.w. masih bersabar lima
bulan, namun kemudian beliau mengambil keputusan mengusir mereka
dari Khaibar. Khaibar itu dekat letaknya dari Medinah dan dari situ
orang-orang Yahudi memiliki kesempatan baik untuk melakukan tipu-
daya mereka. Dengan tujuan itu Rasulullah s.a.w. (pada suatu hari di
bulan Agustus 628 Masehi) bergerak ke Khaibar. Beliau membawa
lasykar seribu enam ratus prajurit. Khaibar, seperti telah kami terangkan
sebelum ini, merupakan kota berbenteng yang kuat. Di sekitarnya
ada bukit-bukit cadas dan di atas bukit-bukit itu dibuat benteng-
benteng kecil. Untuk merebut tempat seperti itu dengan kekuatan yang
kecil bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Pos-pos kecil di
perbatasan Khaibar menyerah sesudah ada sedikit perlawanan. namun
saat orang-orang Yahudi memusatkan diri dalam benteng pusat kota
itu, maka semua serangan dan segala macam siasat terhadap benteng itu
nampaknya gagal. Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. mendapat wahyu
bahwa Khaibar akan jatuh di bawah pimpinan Ali. Keesokan harinya
Rasulullah s.a.w. menyampaikan khabar ghaib itu kepada para Sahabat
dan bersabda, “Pada hari ini akan kuserahkan bendera hitam Islam
kepada siapa yang paling berharga dalam pandangan Allah dan Rasul-
Nya dan semua orang Muslim. Allah telah menakdirkan bahwa
kemenangan kita atas Khaibar akan terjadi di tangannya.”
Keesokan harinya, beliau mengutus orang memanggil Ali dan
kepadanya diserahkan bendera tersebut. Ali tidak menyia-nyiakan waktu
lagi. Ia membawa anak-buahnya dan menyerang benteng pusat itu.
Kendati kenyataan bahwa orang-orang Yahudi telah mengerahkan dan
memusatkan kekuatan dalam benteng itu, Ali dengan pasukannya
berhasil merebutnya sebelum matahari terbenam. Suatu perjanjian damai
ditandatangani. Syarat-syaratnya ialah, semua orang Yahudi, wanita, dan
anak-anak, harus meninggalkan Khaibar dan mencari tempat tinggal
yang jauh dari Medinah. Harta-benda dan milik mereka jatuh ke tangan
orang-orang Muslim. Siapa pun yang berusaha menyembunyikan harta-
benda atau persediaan mereka atau membuat pernyataan yang palsu,
tidak akan dilindungi oleh perjanjian damai itu. Ia akan dijatuhi
hukuman yang telah ditetapkan atas pelanggaran itu.
Tiga macam peristiwa yang menarik terjadi saat penaklukan
Khaibar ini. Saat di antaranya merupakan Tanda Ilahi dan dua lainnya
memberikan gambaran tentang ketinggian watak Rasulullah s.a.w.
Seorang janda Kinana, pemimpin Khaibar, dipersunting oleh
Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. melihat wajah wanita itu
menyandang beberapa tanda bekas tangan. “Bekas apa pada mukamu itu,
Safiyyah?” tanya Rasulullah s.a.w.
“Kejadiannya begini,” jawab Safiyyah, “aku melihat dalam
mimpi, bulan jatuh ke pangkuanku. Mimpi itu kuceriterakan kepada
suamiku. Baru saja selesai menceriterakannya, maka suamiku
menamparku dengan keras dan berkata, “Kamu menginginkan kawin
dengan raja Arabia” (Hisyam). Bulan merupakan perlambang negeri
Arab. Bulan pada pangkuan berarti suatu perhubungan yang erat dengan
Raja Arabia. Bulan terbelah atau bulan jatuh berarti suatu perpecahan di
Negeri Arab atau kehancurannya.
Mimpi Safiyyah merupakan suatu tanda kebenaran Rasulullah
s.a.w., dan juga merupakan suatu tanda kenyataan bahwa Allah
menyingkapkan hari depan kepada abdi-Nya dengan perantaraan mimpi.
Orang-orang mukmin lebih banyak mendapat karunia ini dari pada
orang-orang tak beriman. Safiyyah yaitu wanita Yahudi saat menerima
mimpi itu. Kemudian suaminya tewas dalam perang Khaibar. Perang itu
merupakan hukuman terhadap pengkhianatan kaum Yahudi. Safiyyah
tertawan, dan saat pembagian tawanan-tawanan ia diberikan kepada
seorang Sahabat. Kemudian ternyata bahwa ia janda seorang kepala
kabilah. Maka dirasakan lebih sesuai dengan harkatnya jika ia hidup
bersama Rasulullah s.a.w.. namun Rasulullah s.a.w. berhendak
menikahinya dan Safiyyah menyetujuinya. Dengan cara demikian
mimpinya menjadi kenyataan.
Masih ada dua peristiwa lain. Satu di antaranya ialah bertalian
dengan seorang penggembala yang menggembalakan domba-domba
seorang kepala kabilah Yahudi. Si gembala itu masuk Islam. Sesudah
bai’at ia berkata kepada Rasulullah s.a.w., “Aku tidak dapat kembali ke
kaumku sekarang, ya Rasulullah. Apakah yang harus kuperbuat dengan
domba dan kambing majikanku?”
“Arahkanlah kepala binatang-binatang itu ke jurusan Khaibar
dan doronglah. Allah akan mengembalikan kepada si pemilik,” sabda
Rasulullah s.a.w.. Si gembala itu berbuat sesuai dengan petunjuk tersebut
dan kawanan domba pun tiba di benteng itu. Penjaga-penjaga di benteng
menerima binatang-binatang itu (Hiisyam, jilid 2, hlm. 191).
Peristiwa itu menunjukkan betapa sungguh-sungguhnya
Rasulullah s.a.w. memandang masalah hak-hak perseorangan dan betapa
pentingnya pada pemandangan beliau seorang yang diberi amanat
melaksanakan amanatnya. Dalam peperangan, harta-benda dan kekayaan
milik pihak yang kalah menjadi hak yang menang. Zaman kita sekarang
disebut abad peradaban dan kebudayaan, namun dapatkah kita tunjukkan
suatu contoh sikap seperti itu? Pernahkah terjadi bila musuh yang
mengundurkan diri dengan meninggalkan perbekalan, lalu dikembalikan
oleh si pemenang kepada pemiliknya? Dalam kejadian ini kambing-
kambing itu milik musuh. Pengembalian kambing-kambing itu berarti
menyerahkan kepada musuh bahan pangan yang dapat mencukupi
mereka untuk beberapa bulan. Dengan itu musuh dapat bertahan dalam
pengepungan beberapa waktu lamanya. Walaupun demikian, Rasulullah
s.a.w. mengembalikan kambing-kambing itu, dan hal itu dilakukan untuk
mengesankan kepada seorang yang baru masuk Islam betapa pentingnya
melaksanakan amanat.
Peristiwa yang ketiga yaitu bertalian dengan seorang wanita
Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah s.a.w.. Ia mencari
keterangan kepada para Sahabat bagian mana dari daging binatang
sembelihan yang digemari oleh Rasulullah s.a.w. untuk disantap. Ia
diberi tahu bahwa Rasulullah s.a.w. menyukai bahu anak domba atau
kambing. Wanita itu menyembelih kambing dan membuat daging
panggang di atas batu-batu panas. Kemudian ia mencampurnya dengan
racun yang sangat mematikan, terutama dalam daging-daging bagian
bahu, dengan merasa yakin bahwa Rasulullah s.a.w. akan
menggemarinya.
Rasulullah s.a.w. tiba di kemah sesudah selesai sembahyang
berjamaah. Beliau melihat wanita itu sedang menunggu di dekat kemah
beliau dan bertanya,
“Adakah sesuatu yang dapat aku lakukan untukmu, hai, wanita?”
“Ada, ya Abul Qasim, aku berharap anda akan sudi menerima
pemberianku.” Rasulullah s.a.w. menyuruh seorang Sahabat menerima
apa yang dibawa oleh wanita itu. saat Rasulullah s.a.w. akan
bersantap, daging panggang hadiah itu diletakkan di hadapan beliau.
Rasulullah s.a.w. mengambil sekerat. Seorang Sahabat bernama Bisyr
ibn al Bara' ibn al Ma'rur juga mengambil sekerat. Para Sahabat lainnya,
yang hadir pada waktu makan, telah mengulurkan tangan untuk
memakan daging. namun Rasulullah s.a.w. mencegah mereka sambil
mengatakan bahwa daging itu diracuni. Atas keterangan itu Bisyr berkata
bahwa ia juga berpendapat demikian. Ia hendak membuang daging itu,
tapi takut akan menyinggung perasaan Rasulullah s.a.w. “Melihat anda
mengambil sekerat,” katanya, “aku pun mengambil sekerat, namun segera
berharap anda tidak mengambilnya.” Tak lama kemudian Bisyr jatuh
sakit dan, menurut beberapa riwayat, meninggal sesaat . Menurut
riwayat-riwayat lain ia meninggal sesudah menderita sakit beberapa
lama. Rasulullah s.a.w. kemudian memanggil wanita itu dan
menanyakan apa ia telah meracuni daging itu. Wanita itu bertanya
bagaimana Rasulullah s.a.w. dapat mengetahui hal itu. Rasulullah s.a.w.
sedang memegang sekerat daging pada saat itu. “Tanganku mengatakan
itu kepadaku,” artinya, beliau dapat mengetahui dari rabaan. Wanita itu
mengakui apa yang telah diperbuatnya.
“Mengapa kau perbuat demikian?” tanya Rasulullah s.a.w.
“Kaumku sedang berperang dengan anda dan keluargaku gugur
dalam pertempuran ini. Aku mengambil keputusan meracun anda dengan
kepercayaan bahwa jika anda seorang tukang tipu, anda akan mati dan
kami akan aman dan damai, namun jika anda benar seorang nabi, Allah
akan memelihara anda.”
Mendengar keterangan itu, Rasulullah s.a.w. memaafkan wanita
itu, walaupun ia sebenarnya layak mendapat hukuman mati (Muslim).
Rasulullah s.a.w. selamanya bersedia memberi maaf dan hanya
menjatuhkan hukuman jika perlu, kalau dikhawatirkan bahwa yang
berdosa itu tidak jera-jera melakukan kejahatan.
Kasyaf Rasulullah Menjadi Sempurna
Pada tahun ke tujuh Hijrah, tepatnya di bulan Februari 629,
Rasulullah s.a.w. sempat pergi ke Mekkah untuk thawaf di Ka'bah. Hal
itu telah disetujui oleh para pemimpin Mekkah. saat saatnya tiba bagi
Rasulullah s.a.w. untuk bertolak, beliau mengumpulkan dua ribu Sahabat
dan berangkat ke jurusan Mekkah. saat beliau mencapai Marr al-
Zahran, suatu tempat perhentian di dekat Mekkah, beliau memerintahkan
untuk melepaskan senjata mereka. Semuanya dikumpulkan di suatu
tempat. Tepat sesuai dengan syarat-syarat persetujuan yang
ditandatangani di Hudaibiya, Rasulullah s.a.w. dan para Sahabat masuk
ke daerah suci tertutup itu hanya bersenjatakan pedang bersarung.
Kembali sesudah tujuh tahun berpisah yaitu bukan perkara biasa untuk
kedua ribu orang itu masuk ke Mekkah. Mereka ingat kembali kepada
aniaya yang mereka derita semasa mereka masih tinggal di Mekkah.
Bersamaan dengan itu juga mereka melihat betapa kemurahan Allah
telah mendatangkan mereka kembali dan berthawaf di Ka'bah dengan
aman dan damai. Kemarahan mereka setanding dengan kegembiraan
mereka. Kaum Mekkah telah meninggalkan rumah-rumah mereka dan
berdiri di atas bukit-bukit untuk melihat orang-orang Muslim itu. Hati
orang-orang Muslim itu penuh dengan gelora semangat, kegembiraan,
dan kebanggaan. Mereka hendak mengatakan kepada kaum Mekkah
bahwa janji-janji Allah kepada mereka telah terbukti semuanya.
Abdullah bin Rawaha mulai menyanyikan lagu-lagu peperangan, namun
dihentikan oleh Rasulullah s.a.w.; beliau bersabda, “Jangan lagu-lagu
perang. Ucapkan saja, “Tidak ada yang layak disembah kecuali Allah
Yang Maha Esa. Allah -lah yang menolong Rasulullah s.a.w. dan
mengangkat orang-orang beriman dari kehinaan kepada kehormatan dan
yang mengusir musuh” (Halbiyya, jilid 3, hlm. 73)
Sesudah thawaf di seputar Ka'bah dan berlari-lari antara bukit-
bukit Safa dan Marwah, Rasulullah s.a.w. dan para Sahabat tinggal di
Mekkah tiga hari lamanya. Abbas memiliki ipar yang janda,
Maemunah, dan ia mengusulkan kepada Rasulullah s.a.w. supaya
menikahinya. Rasulullah s.a.w. setuju. Pada hari keempat, kaum Mekkah
meminta kaum Muslim meninggalkan Mekkah. Rasulullah s.a.w.
memerintahkan penarikan diri dan mengajak para Sahabat pulang ke
Medinah. Demikian patuh beliau melaksanakan persetujuan itu dan
begitu beliau memperhatikan perasaan kaum Mekkah sehingga beliau
meninggalkan istri baru beliau di Mekkah. Beliau mengatur agar istri
beliau menggabungkan diri dengan rombongan kafilah yang membawa
barang-barang pribadi para peziarah. Rasulullah s.a.w. menaiki unta
beliau dan segera keluar dari lingkungan daerah suci. Malam itu beliau
berkemah di tempat yang disebut Sarif dan di sana Maemunah
bergabung.
Rincian peristiwa dalam kehidupan Rasulullah s.a.w. yang tak
bermakna ini boleh saja kita lewatkan, namun demikian peristiwa ini
memiliki satu segi penting, yakni: Rasulullah s.a.w. telah dikecam
oleh para pujangga Eropa, lantaran beliau beristrikan beberapa orang.
Mereka pikir bahwa beristri lebih dari seorang itu menjadi bukti
kecerobohan dan kegemaran beliau akan kesenangan. namun , kesan dari
pernikahan Rasulullah s.a.w. serupa itu disangkal oleh kesetiaan dan
kecintaan sepenuh hati istri-istri Rasulullah s.a.w. terhadap beliau.
Pengabdian dan cinta mereka membuktikan bahwa kehidupan Rasulullah
s.a.w. sebagai suami itu murni, tidak serakah, dan bernilai rohani.
Demikian mandirinya dalam urusan ini, sehingga tidak ada seorang pun
yang dapat berkata memperlakukan istrinya yang seorang sebaik
Rasulullah s.a.w. memperlakukan beberapa istri. Jika kehidupan
Rasulullah s.a.w. berkeluarga itu didorong oleh mencari kesenangan,
maka sudah pasti ini akan menjadikan istri-istri beliau acuh tak acuh,
bahkan benci dan dendam kepada beliau. namun kenyataannya sama
sekali sebaliknya. Semua istri beliau mengabdi dan pengabdian mereka
yaitu disebabkan oleh sikap beliau yang tak mementingkan diri sendiri
dan bercita-cita luhur. Teladan tidak mementingkan diri sendiri itu
dibalas oleh mereka dengan pengabdian yang tanpa batas. Hal ini
dibuktikan oleh pelbagai peristiwa dalam catatan sejarah. Salah satunya
yaitu bertalian dengan Maemunah sendiri. Beliau menjumpai
Rasulullah s.a.w. untuk pertama kalinya di dalam kemah di kesunyian
padang pasir. Jika perhubungan suami-istri itu kasar, jika Rasulullah
s.a.w. lebih menyukai istri yang satu dari pada yang lain sebab pesona-
pesona jasmani mereka, maka Maemunah tidak akan mengenangkan
dengan penuh cinta pertemuan pertamanya dengan Rasulullah s.a.w..
Jika pernikahannya dengan Rasulullah s.a.w. telah dikaitkan dengan
kenangan-kenangan yang tidak menyenangkan atau tidak menarik,
niscaya Maemunah akan lupa akan segala sesuatu mengenai pernikahan
itu. Maemunah lama hidup sesudah wafat Rasulullah s.a.w.. Beliau wafat
dalam usia yang lanjut, namun tidak dapat melupakan arti pemikahannya
dengan Rasulullah s.a.w.. Pada malam sebelum beliau wafat dalam usia
delapan puluh tahun, saat segala kegembiraan dan kegemaran
jasmaniah telah lama lenyap, saat hanya tinggal hal-hal dan nilai-nilai
abadi yang mampu menggerakkan hati, pada saat itu beliau berpesan
supaya dikuburkan di tempat yang terletak seperjalanan sehari dari
Mekkah, saat Rasulullah s.a.w. berkemah dalam perjalanan pulang ke
Medinah dan tempat pertama kali berjumpa dengan Rasulullah s.a.w.
sesudah beliau menikah. Dunia mengenal banyak sekali kisah percintaan,
baik yang sebenarnya maupun khayalan, namun tidak banyak yang
demikian mengharukan seperti itu.
Segera sesudah selesai berthawaf di sekeliling Ka'bah yang
bersejarah itu, dua orang panglima termasyhur dari musuh masuk Islam.
Mereka ternyata kemudian hari menjadi panglima-panglima Islam
termasyhur. Seorang di antaranya yaitu Khalid bin Walid yang
kemahirannya dan keberaniannya menggoncangkan kerajaan Romawi
sampai dasar-dasarnya dan, di bawah pimpinannya sebagai jenderal,
negeri demi negeri telah dipersembahkan oleh kaum Muslimin kepada
kerajaan Islam. Orang yang kedua yaitu 'Amr ibn al-'As, sang penakluk
negeri Mesir.
Pertempuran Mu’ta
Sekembali dari Ka'bah, Rasulullah s.a.w. mulai menerima
laporan-laporan bahwa suku-suku Kristen di perbatasan Siria, yang
dihasut oleh kaum Yahudi dan kaum musyrikin, telah mengadakan
persiapan untuk menyerang Medinah. Oleh sebab itu, beliau mengirim
regu penyelidik terdiri atas lima belas orang untuk menyelidiki
kebenarannya. Mereka melihat suatu pasukan berkumpul di tapal batas
Siria. Daripada segera kembali untuk memberi laporan, malah mereka
menunggu. Semangat tabligh Islam telah menguasai mereka, namun
akibat hasrat baik mereka terbukti sama sekali bertolak belakang dengan
apa yang telah mereka inginkan dan harapkan.
Meninjau kembali peristiwa-peristiwa itu sekarang, kita dapat
mengetahui bahwa mereka, yang dikuasai pengaruh hasutan musuh,
sedang merencanakan menyerang tanah air Rasulullah s.a.w., tidak dapat
diharapkan akan bersikap dan bertindak lain. Mereka sama sekali tidak
mau mendengarkan penerangan, malah mengeluarkan busur mereka dan
regu yang lima belas orang itu mulai dihujani dengan anak panah. namun
regu itu tak bergeming. Penerangan-penerangan mereka dibalas dengan
panah, namun mereka tidak melarikan diri. Mereka bertahan dengan
gigihnya; lima belas melawan ribuan, dan mereka pun gugur.
Rasulullah s.a.w. merencanakan gerakan militer untuk memberi
hukuman kepada orang-orang Siria lantaran kekejaman keji itu, namun
dalam pada itu, beliau menerima laporan bahwa kekuatan yang
dipusatkan di perbatasan itu telah bubar. Oleh sebab itu, rencana itu
ditangguhkan dahulu oleh beliau.
namun , Rasulullah s.a.w. mengirim surat kepada Kaisar Roma
(atau kepada pemimpin suku Ghassan yang memerintah di Busra atas
nama Roma). Dalam surat itu, kami sangka, Rasulullah s.a.w.
menyesalkan persiapan-persiapan yang telah nampak di perbatasan Siria
dan pembunuhan yang keji dan sama sekali tak beralasan terhadap lima
belas orang Muslim yang telah dikirim oleh beliau untuk mengumpulkan
laporan tentang keadaan di perbatasan itu.
Surat itu dibawa oleh Al-Harts, seorang Sahabat. Ia berhenti
dalam perjalanan di Mu’ta, tempat ia bertemu dengan Syurahbil, seorang
pemimpin Ghassan yang bertindak selaku pembesar Roma. “Apakah
kamu utusan Muhammad?” tanya pemimpin itu. sesudah mendapat
jawaban, “Ya,” Al-Harts ditangkap, diikat, dan dibunuh. Maka layaklah
jika ada persangkaan bahwa pemimpin Ghassan itu pemimpin pasukan
yang telah menyatroni dan membunuh kelima belas orang Muslim yang
hanya telah berupaya tabligh.
Kenyataan bahwa ia mengatakan kepada Al-Harts, “Barangkali
kamu membawa pesan dari Muhammad” menunjukkan bahwa ia takut
jangan-jangan pengaduan Rasulullah s.a.w. bahwa orang-orang dari suku
di bawah Kaisar telah menyerang orang-orang Muslim akan sampai
kepada Kaisar. Ia takut akan diminta pertanggung-jawaban atas apa yang
telah terjadi. Ia berpendapat bahwa lebih aman baginya untuk membunuh
utusan itu. Harapannya itu tidak terpenuhi. Rasulullah s.a.w. mendapat
kabar tentang pembunuhan itu. Untuk mengadakan pembalasan terhadap
pembunuhan itu, dan pembunuhan-pembunuhan lainnya sebelum itu,
beliau menyusun kekuatan yang terdiri atas tiga ribu prajurit dan
dikirimkan ke Siria di bawah pimpinan Zaid bin Haritsa, bekas budak
Rasulullah s.a.w. yang telah dimerdekakan, seperti telah kami
ceriterakan dalam uraian mengenai kehidupan Rasulullah s.a.w. di
Mekkah. Rasulullah s.a.w. menunjuk Jafar ibn Abu Thalib sebagai
pengganti Zaid, andai kata Zaid gugur, dan Abdullah bin Rawaha, jika
Jafar juga gugur. Jika Abdullah' bin Rawaha juga gugur, maka kaum
Muslimin harus memilih sendiri panglima mereka.
Seorang Yahudi yang mendengar putusan itu berkata, “Wahai
Abul Qasim, jika anda Nabi yang benar, ketiga-tiga perwira yang anda
tunjuk itu pasti akan mati; sebab, Allah menyempurnakan kata-kata
seorang Nabi.” Sambil menghadap kepada Zaid ia berkata, “Percayalah
kepada kataku, jika Muhammad benar, kamu tidak akan kembali hidup-
hidup.” Zaid, seorang mukmin sejati, menjawab, “Aku boleh pulang
kembali hidup atau tidak, namun Muhammad yaitu benar Rasul Allah”
(Halbiyya, jilid 3, hlm. 75).
Keesokan harinya, pagi-pagi, lasykar Muslim bertolak
menempuh perjalanan yang jauh. Rasulullah s.a.w. dan para Sahabat
mengantarkannya sampai ke suatu tempat. Suatu gerakan militer yang
besar lagi penting dan sebelumnya tak pernah diberangkatkan tanpa
Rasulullah s.a.w. sendiri sebagai panglima. Tatkala Rasulullah s.a.w.
berjalan untuk mengantar iringan ekspedisi itu beliau memberi nasihat
dan perintah. saat mereka sampai di tempat orang-orang Medinah
biasa mengucapkan kata-kata selamat jalan kepada kawan dan sanak-
saudara yang akan berangkat ke Siria, Rasulullah s.a.w. berhenti dan
bersabda:
“Aku minta dengan sangat kepadamu supaya takut kepada Allah dan
berbuat adil terhadap orang-orang Muslim yang berangkat beserta kamu.
Pergilah berperang atas nama Allah dan gempurlah musuh di Siria yang
yaitu musuhmu dan musuh Allah. Jika kamu datang di Siria, kamu akan
berjumpa dengan mereka yang banyak mengadakan zikir Ilahi di dalam
rumah-rumah peribadatan mereka, kamu hendaknya jangan berbantah
dengan mereka dan jangan mengganggu mereka. Di negeri musuh
janganlah membunuh wanita atau anak-anak atau orang buta atau orang-
orang yang sudah tua; jangan menumbangkan pohon atau merebahkan
bangunan-bangunan (Halbiyya, jilid 3).
Sesudah memberi petunjuk ini, Rasulullah s.a.w. kembali dan
lasykar Muslim berderap maju. Lasykar itu yaitu lasykar pertama yang
diberangkatkan untuk bertempur dengan kaum Kristen. saat lasykar
kaum Muslimin itu tiba di perbatasan Siria, mereka mendapat kabar
bahwa Kaisar pribadi telah menduduki medan pertempuran dengan
seratus ribu orang dari prajuritnya sendiri dan seratus ribu dari suku-suku
Kristen di Arabia. Dihadapkan kepada musuh yang begitu besar, kaum
Muslim hampir saja berhenti di tengah perjalanan dan melaporkannya
kepada Rasulullah s.a.w. di Medinah. Barangkali beliau dapat
mengirimkan bala bantuan dan perintah-perintah baru.
saat para pemimpin pasukan bermusyawarah, Abdullah bin
Rawaha bangkit dan dengan semangat menyala-nyala berkata, “Saudara-
saudaraku, saudara-saudara meninggalkan rumah saudara-saudara
dengan tujuan mati syahid di jalan Allah, dan sekarang saat
kesyahidan sudah di ambang pintu, saudara-saudara nampak menjadi
ragu-ragu. Kita sebegitu jauh tidak pernah bertempur sebab lebih
unggul daripada musuh dalam jumlah dan persenjataan. Pertolongan
utama kita yaitu keimanan kita. Jika musuh jauh mengungguli kita
dalam jumlah dan perlengkapan, apa salahnya? Salah satu dari dua
ganjaran pasti kita peroleh. Kita menang atau mati syahid di jalan Allah.
Lasykar itu mendengar uraian Rawaha dan amat terkesan. Ia
benar, kata mereka serempak. Pasukan itu bergerak maju lagi. Saat
mereka bergerak, mereka lihat lasykar Roma bergerak juga ke arah
mereka. saat di Mu’ta, kaum Muslimin mengambil kedudukan dan
pertempuran mulai berkobar. Tak lama kemudian Zaid, panglima
Muslim, gugur dan saudara sepupu Rasulullah s.a.w., Jafar ibn Abu
Thalib, menyambut panji dan pimpinan perang. saat dilihatnya
tekanan musuh makin kuat dan kaum Muslimin sebab kalah tenaga
akhirnya tak dapat bertahan, ia turun dari kudanya lalu memotong kaki
kudanya. Perbuatan itu berarti bahwa paling tidak ia tidak akan
melarikan diri dan bahwa ia lebih suka mati dari pada melarikan diri.
Memotong kaki-kaki binatang tunggangan yaitu kebiasaan
orang-orang Arab untuk mencegah binatang-binatang melarikan diri
kacau-balau dan panik. Jafar terpenggal tangan kanannya, namun panji
perang dipegang erat dengan tangan kiri. Tangan kiri pun terpenggal
pula dan kemudian, ia menahan panji itu di antara kedua lengan
buntungnya dan ditekankan ke dadanya. Setia pada sumpahnya, ia tewas
dalam pertempuran. Abdullah bin Rawaha, sesuai dengan perintah
Rasulullah s.a.w., menyambut panji itu dan mengambil alih
kepanglimaan. Ia juga gugur. Perintah Rasulullah s.a.w. kemudian ialah
bermusyawarah dan mengangkat panglima sendiri. namun tidak ada
waktu untuk mengadakan pemilihan. Kaum Muslim bisa-bisa terpaksa
menyerah kepada musuh yang jauh berlipat ganda besarnya. Dalam pada
itu Khalid bin Walid yang menerima usul seorang kawannya,
menyambut panji perang dan pertempuran terus berlangsung sampai
malam tiba. Keesokan harinya Khalid menghadapi musuh lagi dengan
tentaranya yang ulung. Diubahnya formasi lasykarnya - barisan yang
depan dipindah ke garis belakang dan barisan sayap kanan ditukar
dengan barisan sayap kiri. Juga mereka menyerukan semboyan-
semboyan. Musuh menyangka bahwa kaum Muslimin telah mendapat
bala bantuan semalam dan mereka pun mengundurkan diri dalam
ketakutan. Khalid dapat menyelamatkan sisa pasukannya dan pulang
kembali. Rasulullah s.a.w. telah mengetahui peristiwa-peristiwa itu dari
kasyaf. Beliau mengumpulkan kaum Muslimin di mesjid. saat beliau
bangkit untuk menyampaikan amanat kepada mereka, mata beliau
berkaca-kaca. Beliau bersabda:
“Aku ingin mengatakan kepadamu mengenai lasykar yang telah
meningg