Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 9. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 9


 yang dipersyaratkan sebelum sang ayah menerima mereka menjadi 

murid. Snouck, yang koleksi edisi-edisi teks Barat-nya dikagumi, belum siap 

menjalani tahapan ini  pada tahun itu.33 Tak diragukan lagi hingga tingkat 

tertentu langkahnya terhalang oleh sinismenya terhadap banyak kelompok 

yang beberapa waktu lalu dia gambarkan sebagai parasit. Kemungkinan besar 

dia tetap berada di pinggiran upacara-upacara Sufi, mengamati perilaku para 

peserta sembari berusaha tetap tak menarik perhatian. Kita melihat sebuah 

petunjuk mengenai hal ini dalam entri catatan hariannya tentang ritual shalat 

berjemaah memohon hujan di Jeddah pada Desember 1884. Seperti dikenang 

Snouck, “Saya bisa menyaksikan semua ini dari jarak sangat dekat. Saya 

ditemani Ra[den] Aboe Bakar, seorang teman, dan pelayan. Tak ada seorang 

pun yang menyadari kehadiran saya, bahkan tidak anak-anak sekolah yang 

bernyanyi dan berteriak-teriak selama çalāt [shalat] di tengah-tengah barisan 

orang-orang suci.”34

Perjalanan Snouck ke Mekah bermula di sebuah sekedup di punggung 

unta pada 21 Januari. Dengan mengadopsi nama muslim “‘Abd al-Ghaffar”, 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  155

Snouck tiba di Kota Suci sehari kemudian. Dia langsung dipercaya sebagai 

orang beriman seperti yang diklaimnya, setidaknya dalam penampilannya. 

Tak kurang otoritas seperti Ahmad Dahlan mengundangnya untuk ikut 

serta dalam pelajarannya, baik di masjid maupun di rumahnya. Komunitas 

Jawi itulah yang membuka paling banyak pintu dan memberikan wawasan 

mendalam mengenai kehidupan Mekah. Bibi seorang pemandu Jawi bahkan 

membukakan pintunya lebih lebar ketimbang perempuan mana pun di Mesir 

yang pernah disaksikan oleh Lane. 

saat  membawa Snouck ke rumah pamannya, direncanakanlah sebuah 

perjumpaan kebetulan dengan sang nyonya yang dimaksud, dan menyiratkan 

kemungkinan lebih jauh daripada sekadar akomodasi dan tempat tidur 

untuknya.35 Tawaran itu ditampik dengan tegas oleh Snouck, yang masih 

mempelajari bagaimana menilai orang-orang di Hijaz. Kita bisa yakin bahwa 

dia tidak menampik perempuan yang diduga muncikari isebab  kesopanan 

yang berlebihan. Surat-suratnya kepada P.N. van der Chijs menunjukkan 

bahwa dia menceburkan diri dalam warga  Mekah dengan cara-cara yang 

membuat Richard “Dirty Dick” Burton (1821–90) yang terkenal keji itu 

terengah-engah. Ini termasuk membeli dan mengawini seorang budak Abisinia 

untuk mempertahankan derajat terhormat (pastinya status Lane sebagai 

lelaki lajang mengejutkan banyak orang Mesir yang berbicara dengannya). 

Perjumpaan dengan bibi sang pemandu menyatu ke dalam narasi Snouck, 

seperti halnya peristiwa-peristiwa lain disatukan, untuk menciptakan kesan 

keterlibatan total dalam sebuah warga  “Zaman Pertengahan”.36

saat  tidak sibuk mengamati kehidupan sehari-hari atau mengajari 

seorang dokter Mekah “yang sangat liberal” tentang seni fotografi (di luar 

pengamatan publik), Snouck bergerak melalui pintu-pintu lain yang dibuka 

lebar-lebar oleh Ahmad Dahlan untuknya. Dia diberi akses ke lingkaran-

lingkaran pengajaran para cendekiawan seperti Nawawi dari Banten. Dia juga 

mendapat kesempatan mendiskusikan urusan-urusan dunia bersama para syekh 

Sufi seperti ‘Abd al-Karim dari Banten dan Ahmad dari Lampung. Ketiganya 

mengungkapkan pandangan bermusuhan terhadap kekuasaan Belanda, namun  

mengimbanginya dengan pengakuan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan 

pada saat itu tidaklah berguna (sesekali ditimpali seruan Sayyid Ja’far). Di 

sini pula Snouck mampu menilai status relatif berbagai cendekiawan Kota 

Suci, terutama mereka dari kalangan Syafi‘i yang menempatkan diri di bawah 

otoritas Dahlan. Yang sangat menonjol yaitu  orang Mesir, Abu Bakr Syatta’, 

pengarang I‘anat al-talibin (Bantuan untuk para Pencari) yang digunakan 

secara luas; ayahnya yang Sufi dilayani dan digantikan oleh ‘Abd al-Syakur 

dari Surabaya.

Snouck juga menjalin hubungan baik dengan seorang ‘Alawi lain yang 

berbasis di Hindia yang tengah belajar di Hijaz. Dia yaitu  ‘Abdallah al-

156  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

‘Attas muda (w. 1928), yang kali pertama dijumpainya di Jeddah bersama 

Mujtaba dari Batavia dan Arsyad dari Banten.37 Para ulama Jawi, seperti yang 

diamati dan dipelajari Snouck dari catatan-catatan tambahan yang disediakan 

Aboe Bakar, meliputi banyak orang Banten seperti Arsyad serta para guru 

dari bagian-bagian lain Nusantara. Mulai dari para eksponen yurisprudensi, 

seperti Junayd, Nawawi, dan Zayn al-Din hingga para guru tarekat seperti 

‘Abd al-Syakur, Muhammad dari Garut, dan Ahmad dari Lampung. Jelas 

Snouck lebih menyukai kelompok yang pertama. Para anggotanya bahkan 

sesekali mengunjunginya. Mereka lebih menyukai otoritas para guru tarekat 

Arab yang sadar seperti al-Zawawi ketimbang mendiang Ahmad Khatib 

Sambas dan Isma‘il al-Minankabawi.

Pembedaan antara para ahli hukum dan mistikus ini tumpang tindih. 

Terdapat banyak Sufi terkemuka, seperti pencetak Mekah yang dihormati 

Ahmad al-Fatani, yang memperhatikan baik kebutuhan yuridis rekan-

rekannya sesama Jawi maupun dunia gaib. Namun, al-Fatani, orang Melayu 

dari negeri di luar jangkauan Belanda yang terlibat dalam penerimaan 

modern, tidak terlalu pas dengan narasi Mekah Snouck. Dia lebih bergairah 

pada gema zaman kuno. Dia pastinya memberi perhatian pada watak 

kontemporer diskusi politik yang melibatkannya dan mencatat bahwa 

kalangan elite menyetel jam saku mereka dengan waktu pembunyian senapan 

serta mengungkapkan kebanggaan terhadap percetakan baru kota ini . 

Namun, bukti mengenai berbagai upaya modern dikecilkan dalam laporan 

yang lebih belakangan mengenai pengalaman-pengalamannya. Kadang hal ini 

merupakan kebetulan. 

Snouck belakangan mengingat bahwa dia menyuruh seorang juru 

tulis profesional untuk menyalin sejarah karya Dahlan Khulasat al-kalam fi 

bayan umara’ al-balad al-haram (Ringkasan Perkataan mengenai para Penguasa 

Tanah Suci), yang sangat penting untuk sejarah kota ini—dan surat-suratnya 

menunjukkan betapa bersemangat dia menanti kiriman bagian-bagian dari 

manuskrip itu. Baru pada 1889, dan saat  dalam perjalanan menuju Hindia, 

Snouck mengetahui bahwa buku ini  sudah dicetak dan tersedia di 

Kairo.38

Andai saja Snouck tinggal lebih lama di Hijaz (sebenarnya pada satu 

waktu dia berharap ditunjuk sebagai Konsul Jeddah), mungkin dia akan 

melihat karya ini  dicetak di sana. Namun, itu tidak terjadi. Ketertarikan 

yang konon tertuju pada zaman kuno berpadu dengan berbagai tindakan 

membahayakan Konsul Prancis, membuat Snouck diusir dari Mekah begitu 

otoritas Utsmani di Istanbul mengetahui ada pedagang Barat yang diduga 

berpura-pura menjadi muslim berkeliaran di Hijaz.

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  157

PERSOALAN REFORMASI ISLAM

Sepulang dari Arabia, Snouck kembali ke pekerjaannya dalam keadaan 

murka isebab  jati dirinya diungkap oleh Konsul Prancis, yang terus 

diserangnya. Konsul Prancis berhasil memegang kendali dan mengancam 

akan mengungkapkan keislaman Snouck dan perkawinan rahasianya. sesudah  

akhirnya terpaksa mundur, dia terus mengirimkan berbagai laporan ke forum-

forum ilmiah sembari merangkai bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan 

serta yang masih terus diperolehnya menjadi sebuah narasi besar. Narasi 

ini  meliputi sejarah masa lalu Kota Suci, kehidupan warganya pada masa 

kontemporer, dan dampak yang mereka miliki terhadap masa depan Hindia 

Belanda.

Sebagian besar energi yang dikerahkan Snouck untuk karyanya masih 

ditujukan untuk mendekonstruksi apa yang diketahui mengenai Islam. Dia 

mengecam siapa pun yang percaya bahwa mereka sepenuhnya memahami 

ancaman yang ditimbulkan oleh berlanjutnya perjalanan ke Arabia oleh 

begitu banyak orang Jawa: isebab  secara terbuka dia mengklaim masih benar-

benar melihat adanya sebuah ancaman potensial.39 Dengan menunjukkan 

hal ini, dia mempertaruhkan klaimnya atas sebuah posisi berpengaruh 

dalam warga  Hindia. Tentu saja warga  ini  sudah punya para 

pakarnya, dan mereka merasa semakin terancam isebab  Snouck akan segera 

mengarahkan caci maki penuh kemarahan kepada siapa pun yang berani 

membela van den Berg.40

Pada Mei 1886, misalnya, dia menggunakan sebuah artikel untuk 

menyasar apa yang dilihatnya terutama sebagai sebuah korps pengacara dan 

orang-orang tak berguna yang elitis dan tolol yang bekerja di Hindia. Salah 

seorangnya yaitu  anggota Mahkamah Agung Hindia yang bergelar kesatria, 

M.C. Piepers (1835–1919), yang menyebut Snouck pembuat onar yang 

berjingkrak-jingkrak bersama “para monyet dan gelandangan”. Meski tidak 

menanggapi tuduhan bersahabat dengan orang-orang jangak, Snouck dengan 

bernafsu menyangkal cacian apa pun yang ditujukan pada pengetahuannya di 

bidang ini atau pada kepantasannya untuk membuat pernyataan publik. Secara 

sambil lalu dia juga mengambil kesempatan untuk sekali lagi menghajar van 

den Berg sebagai “pejabat yang konon ilmiah” yang “masih tidak mengetahui 

hal-hal yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya”.41

Snouck secara lepas mengakui bahwa yang dia pelajari yaitu  teologi, 

bukan hukum. Dia bertanya-tanya mengenai pemilahan disiplin ilmu dalam 

akademi yang diyakininya telah membuat Belanda merosot dalam praktik. 

Koran-koran di metropolis dan koloni sama-sama menjadi pembawa 

pesannya pada Januari 1886 saat  dia menggunakan ulasan atas dua karya 

yurisprudensi seorang cendekiawan Jerman untuk menyerukan adanya 

pergeseran dalam universitas-universitas dari kajian teori hukum menuju apa 

158  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

yang disebutnya “penyelidikan ilmiah”. Dengan melakukan hal ini, demikian 

katanya, sang ahli hukum bisa menggunakan bantuan “sang etnografer dan 

filolog” untuk memahami secara lebih tepat bagaimana hukum-hukum tertulis 

berinteraksi dengan hukum-hukum tak tertulis dalam berbagai warga  

Muslim. Sebagaimana kita seharusnya tidak menggunakan Hukum Romawi 

sebagai tolok ukur untuk menilai kehidupan bangsa Belanda, begitu pula 

Hukum Islam, yang lebih suka dia sebut “pengajaran kewajiban-kewajiban”, 

tidak seharusnya dijadikan ukuran untuk menilai kehidupan muslim sehari-

hari. Bagaimanapun, sejarah telah menunjukkan bahwa orang sudah lama 

memiliki cara menafsirkan hukum sedemikian rupa sehingga mencapai 

kompromi antara kepentingan spiritual dan kepentingan duniawi.42

Pendekatan ini juga memengaruhi serangannya yang jauh lebih luas 

terhadap pandangan yang berlaku, yang muncul dalam serangkaian artikel 

dalam De Gids. Di sini dia menyebutkan berbagai gagasan “reformasi” Islam 

di Mesir yang baru saja dijajah sebagaimana yang didukung oleh orang 

Inggris, Wilfred Scawen Blunt (1840–1922), dan seorang pengacara Belanda 

yang bekerja di persidangan-persidangan campuran di bawah para Khedive, P. 

van Bemmelen (1828–92). Keduanya mengaku sekutu Mesir dan pendapat-

pendapat mereka dihargai para sejawat Snouck. 

Snouck menyatakan bahwa kedua orang itu hanya teperdaya 

membayangkan bisa benar-benar menilai seberapa Islami sebuah warga  

dengan membandingkan teks-teks hukum klasik dengan warga  yang 

hidup. Tidaklah masuk akal mengandaikan bahwa Islam bisa “direformasi” 

sekadar dengan “kembali ke Al-Quran” atau dengan memperbarui (sebuah 

karya) yurisprudensi. Bagi Snouck, Islam bukanlah sekadar wahyu yang 

digabung dengan teladan Nabi. Islam yaitu  sistem organik yang berkembang 

untuk mempertimbangkan berbagai praktik yang ada dan kesepakatan umum 

(ijma’) komunitas. Islam juga merupakan sistem yang sudah menghabiskan 

empat abad untuk memperoleh tiga elemen yang saling mengukuhkan, yaitu 

Tradisi, Hukum, dan Mistisisme. Bagi Snouck, gerakan reformasi apa pun 

yang mengklaim kembali ke sumber asli sama saja dengan menyangkal sejarah. 

Seorang pembaharu sejati—jika ada yang akan muncul di sebuah negeri 

muslim—harus menghadapi persoalan jihad dan ijtihad, dengan konsensus 

ulama yang tak bisa salah dan struktur mazhab-mazhab yuridis; semua ini 

mendarah daging berkat apa yang Snouck duga sebagai sifat “katolik” dan 

“konservatif ” Islam.43

Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa pemikiran Snouck selalu didasari 

oleh fokus kolonial. Dia menyerukan perlunya lebih mengenal warga  

Muslim dengan alasan mereka akan bisa diatur secara lebih bijaksana jika 

dipahami. Sekali lagi, ini yaitu  argumen untuk mendukung pekerjaannya 

pada masa depan isebab  Snouck jelas menyiratkan bahwa ada kebutuhan 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  159

mendesak terhadap seorang Orientalis terdidik yang digaji negara yang dapat 

mengantisipasi ancaman terbesar terhadap keamanan kekuasaan Belanda: 

yakni Sufisme tarekat yang sulit dikendalikan. Dia sengaja menunjukkan 

bahwa merupakan sebuah kekeliruan, seperti yang dilakukan kebanyakan 

orang, menyamakan mistisisme muslim hanya dengan bentuk Sufisme yang 

ini, sebuah bentuk yang menurut dugannya merupakan cara elitis yang lahir 

dari perjumpaan dengan dunia Indo-Persia. 

Dengan struktur dan metodenya yang longgar, yang sebagian besar 

berasal dari intuisi dan ilham, tarekat terbukti merupakan rute pelarian bagi 

para individu yang ingin mengatasi tuntutan agama sehari-hari. Namun, 

saat  berkembang, sistem pengajaran ini membuka pintu menuju berbagai 

penyimpangan teosofis dari keimanan “sejati” dan mendorong segala 

macam takhayul serta penyimpangan seolah-olah berdasar  kitab suci. 

saat  banyak praktik semacam ini menjadi lazim di luar India dan Persia, 

“kompromi” menjadi satu-satunya jalan yang tersedia menuju apa yang 

disebut Snouck “Katolikisme Muslim”.44 

Snouck bahkan mengklaim—seperti halnya Dozy—bahwa umat Muslim 

telah melupakan bahwa penghormatan kepada para wali yaitu  sebuah 

konsesi.45 Lambat laun kebutuhan untuk menguasai literatur keislaman 

menjadi sebuah teka-teki yang dikhususkan untuk para ahli hukum, sementara 

Sufisme ditinggalkan di tangan orang-orang suci yang harus menemukan cara 

untuk membedakan diri mereka dari golongan para peniru dan penyaru yang 

semakin banyak. Untunglah al-Ghazali yang agung menyediakan jalan keluar 

berupa Ihya’ ‘ulum al-din-nya, sebuah karya yang menyatukan semua bidang 

pengetahuan dan “menghidupkan semua ilmu pengetahuan yang suci”, 

dengan memberikan “kedudukan istimewa pada pendidikan yang baik”.

Apakah dia bergabung dalam sebuah persaudaraan mistis yang diakui atau 

tidak, setiap orang beriman ... sesudah  mempelajari berbagai kewajiban agama, 

akan berlanjut mempelajari mistisisme. Ini selalu diajarkan dengan semangat 

dan sebagian besar dengan kata-kata Ghazali. Ini ... bahkan populer di Hindia 

Timur. Banyak murid Melayu dan Jawa menggunakan tiga buku yang dijilid 

menjadi satu sebagai panduan mereka. Pelajaran pertama berkaitan dengan 

fiqh (pelajaran mengenai berbagai kewajiban), yang kedua dengan tawhied 

atau oeçoel (pelajaran mengenai keyakinan), dan yang ketiga dengan tasawwoef 

(mistisisme).46

Dengan demikian, bangunan tritunggal Islam yang megah itu 

disempurnakan dengan teks puncak karya al-Ghazali yang melengkapi batu 

puncak berupa kehidupan Muhammad. Namun, masih ada yang akan datang. 

Snouck mendesak para pembaca agar waspada terhadap kaum Wahhabi 

isebab  pergerakan mereka bukanlah gerakan “reformis”, terlepas dari apa yang 

160  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

disarankan oleh beberapa orang (Keijzer, Dozy, dan Poensen). Sebaliknya, 

apa yang diupayakan kaum Wahhabi yaitu  “pemurnian kembali” Islam, dan 

dengan demikian pemalsuan sejarah. Mengikuti jejak Kuenen, Snouck bahkan 

memandang Wahhabisme sebagai Islam yang “tidak lengkap” yang dengan sia-

sia hendak kembali ke waktu dan ruang Arab pada masa lalu yang menyangkal 

setiap klaim Islam sebagai sebuah Agama Dunia atau Agama Universal.

Bisa jadi Snouck terpengaruh pandangan-pandangan yang diterbitkan 

Ahmad Dahlan mengenai persoalan ini walaupun agak diimbangi pandangan 

pragmatis al-Madani bahwa orang-orang Madinah dan Dir‘iyya telah bergerak 

melampaui berbagai perbedaan sektarian mereka. Sebaliknya, para pembaharu 

potensial yang dikagumi Blunt dan van Bemmelen tampaknya berasal dari 

kelompok jangak yang kemungkinan kecil dihormati sesama muslim. Tetap 

saja ibadah haji menjadi sumber bagi “keyakinan zaman pertengahan”.47 

Dalam hal ini , Snouck menilai van Bemmelen benar yang menegaskan 

bahwa Persoalan Timur sangatlah penting bagi Barat. Bagi Belanda, masalah 

itu harus menjadi satu-satunya persoalan, dan sudah saatnya para petugas yang 

berpengetahuan lebih baik dikirim ke Hindia.

Bukan berarti Snouck mengutuk semua orang yang berani menulis 

tentang Islam. Dia sedikit menghargai berbagai intervensi yang dilakukan 

Poensen, walaupun juga mengecam gaya tulisnya. Poensen berhasil memerinci 

berbagai ritual orang-orang yang benar-benar dia ketahui menempatkan 

Islam di pusat kehidupan mereka. Yang tidak bisa dimaafkan Snouck yaitu  

kebanyakan laporan Poensen diambil dari karya-karya Eropa—termasuk 

karya van den Berg dan Keijzer—dan Poensen tetap berpegang pada pendapat 

bahwa orang-orang Jawa kurang layak dianggap muslim ketimbang orang-

orang Belanda dianggap Kristen. Bagaimanapun, Poensen lebih banyak 

melayani publik, baik di Belanda maupun di Hindia, dibandingkan begitu 

banyak penulis murahan dengan segala yang mereka sebut “pengalaman 

praktis”.48

MEMBENTUK FRONT BERSAMA UNTUK HINDIA

Snouck memanfaatkan para misionaris Jawa untuk menghilangkan pengaruh 

buruk para ahli hukum Delft dan Batavia. Dia punya pengalaman lapangan dan 

nama yang cukup masyhur. Di hadapannya ada jalan lain menuju pengaruh 

dan kekuasaan pada masa depan. Dia membentuk persekutuan dengan Sayyid 

‘Utsman. saat  Snouck mulai berkorespondensi dengan sang pencetak Arab 

ini pada Oktober 1886, kecendekiawanan dan ketekunan ‘Utsman sudah 

menarik perhatian rekan-rekan sejawatnya, melalui hubungannya dengan 

Holle dan van den Berg serta atlas Hadramaut karyanya yang dicetak ulang 

oleh firma E.J. Brill pada tahun itu. Snouck juga sudah mendengar perihal 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  161

‘Utsman selama bermukim di Mekah dan merasa cocok untuk membicarakan 

berbagai polemiknya menentang tarekat-tarekat populis.49

saat  menyiapkan jalan untuk mendiskusikan pamflet-pamflet ‘Utsman 

di Nieuwe Rotterdamsche Courant pada Oktober 1886, Snouck membuat 

keprihatinan Ghazalian yang mereka miliki terlihat jelas dengan menyatakan 

bahwa “setiap Mohammedan yang berpendidikan menganggap mereka 

[tarekat-tarekat Sufi] sebagai bidah, atau bahkan sisa-sisa kekafiran kuno ... 

dengan sihir mereka, mantra-mantra, sumpah-ular, dan lain sebagainya”.50 

Selain itu, Snouck memandang tarekat sebagai lembaga yang terus-menerus 

mencari keuntungan finansial. 

Para syekh mengutus agen-agen ke empat penjuru mata angin sembari 

mengizinkan mereka meninggalkan ritual-ritual yang diperintahkan untuk 

pengikutnya. Sedikit pengetahuan yang para syekh miliki “tercurah” kepada 

para murid yang “berasal dari kelas tak terdidik” dan tidak mengetahui 

dasar-dasar hukum Islam, yang keliru meyakini bahwa dzikr, wirid, dan 

kepatuhan mutlak kepada sang syekh akan menjamin keselamatan mereka 

di akhirat.51 Jadi, seperti halnya Prancis memperhatikan karya Louis Rinn 

“yang sayangnya dikerjakan secara sembrono” mengenai bahaya orang-orang 

Sanusi, Belanda pun semestinya lebih memperhatikan sedikit hal yang sudah 

dituliskan mengenai berbagai tarekat di Hindia. Belanda seharusnya juga 

memperhatikan karya Snouck, Mekka, yang diharapkan membuka mata 

banyak pihak.52

Akan namun , apa yang dipahami orang Jawa kebanyakan dari sebuah 

karya ilmiah semacam itu? Jauh lebih baik jika pesan yang membawa kutukan 

itu datang dari otoritas mereka sendiri—dan siapa yang lebih baik daripada 

Sayyid ‘Utsman? ‘Utsman memiliki paduan sempurna pendidikan, garis 

keturunan, dan sikap—dan dia sejalan dengan otoritas tertinggi di Mekah, 

termasuk mufti baru mazhab Syafi‘i, Muhammad Sa‘id Ba Busayl, serta para 

teladan Ghazalian di kalangan orang-orang Jawi seperti Nawawi dan Junayd. 

Di sini ada seseorang yang benar-benar mengerti betapa inginnya orang Jawa 

kebanyakan terhadap “obat ajaib” yang dapat memberi kebahagiaan dunia 

akhirat, dan dengan demikian betapa liciknya para guru tarekat atas janji-janji 

palsu mereka. Snouck dan ‘Utsman juga sepakat bahwa orang-orang Khalidi 

yaitu  yang paling tidak berharga. Sementara tarekat-tarekat lain menurut 

keduanya mengajarkan kesalehan lahir, kebanyakan menggunakan Syari‘ah 

“sebagai sebuah Semboyan”. Juga ada pihak-pihak lain yang menunggu mereka 

dilepaskan kepada musuh. “Kita tidak sedang bekerja dengan hipotesis di 

sini,” kata Snouck, mengingat apa yang sudah didengarnya dari ‘Abd al-Karim 

dari Banten; meski dia menyimpan perinciannya untuk Mekka.53

Snouck juga memberikan persetujuan paling tulus terhadap pandangan 

‘Utsman bahwa keajaiban sejati yaitu  sesuatu dari masa lalu dan pengajaran 

162  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

yang hakiki tidak bisa muncul dari tangan para penipu dan oportunis. Snouck 

bersikeras, “orang Arab yang ini”, berbeda:

patut dihormati oleh semua orang yang berpikiran benar berkat semangat 

moral yang didedikasikannya untuk memerangi para guru-bidah di Jawa. 

Dengan demikian, dia menempatkan dirinya dalam bahaya yang tidak kecil 

isebab  para pemimpin yang licik menampilkannya sebagai seorang musuh 

kesakralan, sementara massa yang bodoh dan gelisah mudah memercayai 

tuduhan-tuduhan semacam itu. Walaupun begitu, dia memiliki keberanian 

dalam keyakinan dan tiada henti berjuang. Kami mengharapkan hal ini di atas 

segalanya isebab  para sjêch dan pengikutnya yaitu  lawan paling berbahaya bagi 

otoritas Belanda di Hindia Timur, sama bahayanya dengan orang-orang Senousi 

bagi otoritas Prancis di Aljazair. Oleh isebab  itu, tepat kiranya cendekiawan 

kami dari Hadramaut mendapatkan rasa terima kasih dan simpati dari semua 

yang mengharapkan kebaikan bagi Hindia Belanda, terutama pemerintah kita. 

Sekutu seperti itu ibarat permata yang layak disematkan pada emas. Kegagalan 

memahami nilai mereka sama seperti meninju wajah kita sendiri. Kami sudah 

berkali-kali menunjukkan bahwa hanya melalui kebijaksanaan dan kehati-

hatian kita bisa mempertahankan kekuasaan atas sebuah negeri dengan jutaan 

Mohamedan-nya .... Untuk saat ini, biarlah dicatat di sini bahwa seorang Arab 

seperti Othmân ibn Jahja lebih berharga bagi kita dibandingkan berapa pun 

bupati “liberal” peminum anggur.54

Sayyid ‘Utsman sangat menyadari bertambahnya ketertarikan Snouck 

terhadap dirinya. Pada 1886 Holle dan J.A. van der Chijs memberi tahu 

‘Utsman bahwa Snouck telah membaca pengesahan yang didapatnya dari 

Nawawi Banten dan Junayd Batavia untuk Nasiha al-‘aniqa-nya. Informasi 

ini mendorong sang cendekiawan Batavia untuk menulis kepada Snouck 

mengenai Wathiqa al-wafiya karyanya. Dia menunjukkan hasratnya untuk 

melindungi publik dari mereka yang mendorong segala macam potensi 

kerusakan di kalangan orang-orang bodoh, namun  demi menghindari kesulitan 

dia tidak menyebut nama syekh tertentu. Dia meminta dukungan Snouck 

untuk menghubungi pihak penguasa melawan para guru tarekat dan “orang-

orang cemburu” yang berusaha menghancurkannya dan melangkah begitu 

jauh hingga mengklaim bahwa “Seandainya bukan isebab  keadilan Belanda 

di tanah Jawa dan tempat-tempat lain, tak mungkin saya hidup di Batavia!”55

‘Utsman melihat jelas bahwa Snouck yaitu  sarana menuju karier mapan 

di Hindia. Dalam surat-surat berikutnya, ‘Utsman menyertakan daftar karya-

karyanya dan daftar berbagai keprihatinan yang dia harap akan disebarluaskan 

Snouck di kalangan elite politik Belanda. Strategi itu mendatangkan hasil. 

‘Utsman dan Snouck semakin terikat. Atas permintaan ‘Utsman, Snouck 

mengusahakan jabatan Penasihat Kehormatan mengenai Urusan-Urusan 

Arab, yang diterima sang cendekiawan pada 1891.56

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  163

Sementara itu, Snouck melakukan lebih dari sekadar memerangi tatanan 

yang mapan dan mengidentifikasi berbagai kelemahan kebijakan kolonial 

Belanda vis-à-vis Islam. Dia tengah menggarap magnum opus-nya dan terus 

berkorespondensi dengan para informannya di Hijaz. Aboe Bakar terutama 

sangat aktif, mengirimkan jawaban secara rutin terhadap pertanyaan-

pertanyaan Snouck dan buku-buku yang dipesannya. Yang paling menonjol 

yaitu  karya-karya Dahlan dan Nawawi. Karya orang Banten ini jelas melebihi 

karya si orang Mekah.57

Sepanjang periode ini, perhatian Snouck tak lepas dari Hindia. Seperti 

sudah kita lihat, artikel penting pertamanya yaitu  analisis terhadap buku-

buku yang dibaca di Dataran Tinggi Padang sebagaimana yang dikumpulkan 

oleh van Langen, dan diikuti sebuah karya mengenai pengakuan-pengakuan 

milenarian (Kerajaan Seribu Tahun). Pada 1885 Snouck memperoleh sebuah 

laporan mengenai karya-karya yang tersedia di Jawa yang disiapkan oleh 

Bupati Lebak, S. Soerianataningrat. Pada 1886 dia berkorespondensi dengan 

pensiunan pejabat W.E. Bergsma, yang mengirimkan laporan-laporan dari 

Kendal dan Tegalsari.

Laporan Soerianataningrat, berdasar  informasi yang diberikan 

Penghulu Landraad Lebak, Mas Hajji Muhammad Isma‘il, mendaftar delapan 

karya yang digunakan di pesantren-pesantren Priangan. Studi dimulai dengan 

buku dasar Alif-alifan, yang menjelaskan alfabet Arab; kemudian Turutan 

dan Al-Quran dibaca untuk tujuan mempelajari pelafalan; dan lima karya 

“tingkat lanjut”, yaitu Sittin, Tasripan, Amil, Ajurrumiyya, dan Syarh al-

sittin. Buku-buku ini berharga f1 hingga f1,50. Khusus Sharh al-Sittin—

yang kemungkinan yaitu  komentar al-Syarqawi atas Masa’il al-sittin—yang 

konon bisa menjadikan seorang murid mampu membaca dan memahami 

“semua buku agama”, dijual seharga f5. Bupati Ponorogo, Tjokroamidjojo, 

menyatakan bahwa sesudah  belajar di pesantren semisal Tegalsari, sang murid 

bisa membeli buku apa pun yang dia mau.58

Materi yang ada memang masih terbatas, namun  lebih kaya dibandingkan 

tawaran pesantren yang digambarkan oleh van Sevenhoven, van Hoëvell, atau 

bahkan Brumund. Ketiganya bekerja di bawah pemerintah dan hanya sedikit 

berminat terhadap pesantren isebab  para kiai tua jelas memperlihatkan 

kesediaan bekerja sama dengan negara. 

Sebaliknya, sangat patut diperhatikan bahwa para guru yang mengajarkan 

teks-teks yang didaftar oleh Soerianataningrat tidak hanya terhubung dengan 

jejaring kecendekiawanan Mekah. Generasi yang lebih muda berafiliasi 

dengan Landraad yang baru dibentuk, sangat mungkin berkat patronase 

orang-orang itu juga. Misalnya, di puncak daftar ulama yang diakui di 

Distrik Lebak terdapat Kiai Samaun dari Muntare, yang digambarkan pernah 

belajar di Batavia di bawah bimbingan “Habib Syekh” (Sayyid ‘Utsman?). 

164  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Dia mengajar menggunakan “bahasa Serang” seperti tokoh lain di antara para 

mantan gurunya, Kiai Lopang. Daftar ini  berlanjut menyebut nama para 

pemegang jabatan, baik dalam dewan-dewan yang ditunjuk Belanda maupun 

sebagai penghulu, yang merupakan murid-murid langsung Kiai Samaun, Kiai 

Lopang, atau keduanya, dengan perkecualian Kiai Haji Seram dari Karawangi 

yang belajar di Tegalsari dan Kiai Haji Hasan yang tinggal di Citandun.

Informasi demikian mengonfirmasi    Snouck bahwa kajian 

teks-teks Islam tidak mesti menciptakan sekelompok orang yang bermusuhan 

terhadap negara kolonial. Beberapa guru mungkin saja menanamkan 

kecenderungan antikolonial di pesantren-pesantren yang terkait dengan 

kenangan akan Diponegoro, namun  yang lain berharap jabatan semiresmi 

di dalam, atau setidaknya berdekatan dengan, birokrasi kolonial. Patronase 

semacam itu pastinya juga memainkan peranan dalam penunjukan orang-

orang yang dikenal Snouck, seperti Hasan Mustafa dari Garut (bisa jadi 

orang yang sama dengan cendekiawan berbasis Citandun yang disebut 

Soerianataningrat) dan Arsyad b. ‘Alwan dari Serang, seorang teman dari 

Hijaz yang menjadi korban kekacauan Cilegon pada 1888.59

Pendidikan dasar dan patronase pesantren membuka jalan menuju 

eselon-eselon rendah dalam administrasi Belanda, namun , seperti yang 

diketahui Snouck, rute perjalanan kecendekiawanan selanjutnya menjauh 

dari Batavia menuju pesisir utara, tempat para murid ditawari asupan yang 

lebih kaya dan lebih beragam berupa karya-karya cetakan Singapura. Dalam 

laporan berbahasa Melayu yang dikirimkan dari Kendal pada Maret 1886, 

seorang pejabat pribumi yang telah mengumpulkan salinan Sittin, Safina, dan 

Asmarakandi, mengemukakan terdapat empat jenis buku yang digunakan di 

pesantren, masing-masing setebal kira-kira 300 halaman. Keempat buku itu 

yaitu : (a) karya-karya tafsir, untuk “memahami bahasa Arab tinggi dalam 

koorän”; (b) karya-karya tata bahasa, untuk “memahami makna kisah-kisah 

berbahasa Arab yang digunakan orang-orang yang ditulis dalam koorän”; (c) 

karya-karya fiqh, untuk “memahami dan menghafalkan tindakan-tindakan 

hati yang baik”; dan mungkin yang paling penting (d) buku-buku tasawwuf:

untuk mengingat perbuatan-perbuatan para nabi yang disetujui Tuhan, atau 

orang-orang yang tidak pernah melakukan dosa, atau untuk melindungi Islam 

dari hal-hal terlarang, seperti berdusta, menyakiti orang lain, mengambil hak 

orang lain atau mencuri, atau menggunakan mantra sihir terhadap orang hidup.60

Snouck ingin melampaui gambaran-gambaran yang luas berbasis mata 

pelajaran seperti itu, dan jelas bahwa dia mampu memperoleh informasi lebih 

terperinci dari para pejabat lain. Catatan-catatannya mengenai Karesidenan 

Demak, misalnya, merekam luasnya penggunaan Safina, Sittin, dan Fath 

al-qarib (Kemenangan Yang Mahadekat) karya Ibn Qasim al-Ghazzi (w. 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  165

1512), serta teks-teks tingkat lebih lanjut karya al-Ghazali dan Sullam al-

tawfiq (Tangga Pertolongan Tuhan) karya ‘Abdallah Ba ‘Alawi (w. 1855). Jika 

kebanyakan guru mendapatkan pendidikan di dalam karesidenan, para kiai 

terkemuka ke Jepara, Madiun, Surabaya, dan Mekah. Koneksi semacam itu 

sangat penting dalam mengomunikasikan karya-karya kecendekiawanan 

terkini, seperti teks yang disusun penerus Dahlan, Ba Busayl, yang digunakan 

oleh seorang pengikut Sulayman Afandi di Desa Kauman Kadilangu. 

Sementara itu, di Rejoso, para guru seperti Haji Yusuf dari Jelak mengajar 

dengan menggunakan edisi cetak Fath al-mu’in (Kemenangan Sang Pemberi 

Pertolongan) karya Zayn al-Din al-Malibari (aktif 1567) dan Minhaj al-qawim 

(Jalan Lurus) karya Ibn Hajar al-Haytami.61

Karya-karya serupa bisa ditemukan di kota-kota yang lebih besar dan 

lembaga pesantren menunjukkan sifat generasional yang kuat serta semakin 

institusional. Banyak kiai menduduki tempat yang sebelumnya diduduki 

ayah dan kakek mereka, yang sebagian telah menyusun karya mereka sendiri. 

Catatan Snouck menegaskan bahwa komentar-komentar lokal digantikan 

menu internasional yang dibakukan. Namun, bukan berarti yang lokal 

ditaklukkan oleh yang global. Banyak kiai mengklaim hubungan dengan 

Sulayman Afandi di Mekah, namun  Khalidiyyah sama sekali tidaklah menang. 

Para guru Syattari seperti Muhammad ‘Umar di Watuagun, Salatiga, masih 

harus ditemukan seperti halnya berbagai penafsiran lain atas ajaran tarekat, 

mengantarkan pada berbagai catatan aneh Snouck yang bersebelahan dengan 

sebutan-sebutan seperti “Sadririah” atau “Djawahir”.62

Snouck punya beberapa misteri untuk dipecahkan. Sebelum ke Hindia, 

dia menyiapkan diri dengan mencari-cari berbagai penafsiran yang keliru 

mengenai tarekat dalam jurnal-jurnal yang memenuhi mejanya. Pada sebuah 

kasus, menanggapi permintaan yang penuh hormat dari misionaris atas 

informasi mengenai fanatisme “sekte satarijjah”, Snouck menegaskan bahwa 

dia belum pernah mendengar tentang orang yang dalam dirinya sendiri yaitu  

Syattari (dengan melupakan Muhammad ‘Umar dari Salatiga). Sebuah tarekat, 

dia menjelaskan, umumnya hanyalah satu tahapan dalam serangkaian praktik 

yang dipelajari kalangan elite seiring berlalunya waktu. Dia mengingat pernah 

bertemu seorang cucu “yang sangat terpelajar” seorang pensiunan bupati dari 

Semarang, yang kerap membaca mantra-mantra tertentu. Mantra-mantra itu 

dinyatakan Snouck “sama sekali tidak penting”.63

CILEGON

Momok darwis gila mengemuka akibat pembantaian Cilegon pada Juli 1888. 

Namun, dengan segala perencanaan yang dikerahkan, peristiwa ini tak lebih 

dari bencana kecil bagi Belanda isebab  para pemberontak tidak memiliki daya 

166  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

tarik kebangsawanan Diponegoro ataupun semangat ikonoklastik, semangat 

perlawanan Tuanku Nan Rinceh. Lebih realistis untuk memandang Cilegon 

sebagai perlawanan lokal ketimbang jihad populer. Wajar jika banyak surat 

kabar Hindia terobsesi dengan agen-agen tarekatnya dan banyak telunjuk pun 

ditudingkan ke Mekah. Namun, bukan berarti bahwa semua pejabat, meski 

gelisah mengenai wabah aktivisme Islam, berpandangan sama mengenai 

mekanisme yang melandasi kerusuhan sosial di Jawa. 

Residen Surakarta melihat para mantan pejabat dan bangsawan yang 

tidak puas memanipulasi kalangan santri sebagaimana para guru yang fanatik 

memanipulasi kaum priayi. Meski demikian, sang residen tetap menuding 

koneksi Mekah yang diwujudkan oleh banyak haji, yang membawa para 

pengikut mereka menuju kegilaan melalui dzikr berlebihan. Dzikr pun 

diyakini mengantar pada “keadaan mabuk”, tempat seseorang secara 

membabi buta mengikuti sang pemimpin, bahkan hingga titik “secara suka 

rela membunuh dirinya sendiri”. Yang lebih mengkhawatirkan sang Residen, 

rel kereta mempermudah kunjungan ke pesantren-pesantren tempat teknik 

semacam itu diajarkan “hampir sebagai hal lumrah”:

Tidak ada seorang pemuda pun yang ingin menampilkan dirinya memiliki 

sedikit pendidikan atau pengetahuan tentang dunia hendak menyangkal bahwa 

dia pernah menghabiskan waktu, betapa pun singkatnya, di sebuah pêsantrèn. 

Pêsantrèn sekarang didatangi para pemuda dari kelas paling miskin, yang hidup 

seperti para biarawan-pengemis dengan biaya dari orang-orang yang lebih kaya. 

Di pêsantrèn-pêsantrèn ini, pada usia saat  orang paling mudah membentuk 

ikatan persahabatan abadi, berbagai hubungan terjalin di antara orang-orang 

dari berbagai kelompok sosial paling berbeda, dan dari seluruh bagian Jawa. 

Dengan begitu, penyebaran gagasan tertentu menjadi sangat mudah. Di sanalah 

ada bahaya besar, yang pada saat-saat tertentu bisa tumbuh dari kesengsaraan 

dan kemiskinan yang melanda saat  massa merindukan keadaan yang lebih 

baik. Oleh isebab  itu, semakin mudah menerima ramalan orang-orang yang 

mereka anggap pemimpin agama ... tak peduli betapa tak masuk akalnya 

ramalan-ramalan ini .64

Sosok yang terbukti benar sesudah  peristiwa Cilegon yaitu  Holle. 

Dia mampu memberikan laporan kepada Gubernur Jenderal tentang ‘Abd 

al-Karim dari Banten yang kerap dicurigai, yang konon yaitu  guru utama 

bagi “hampir semua” penghulu distrik dan subdistrik di Afdeling Serang dan 

seseorang yang bisa mendatangkan banyak kerusakan dari Mekah.65 sesudah  

berkomunikasi dengan Snouck, Holle bisa menyampaikan pendapatnya:

Abdulkarim Banten sangat saya kenal, penerus Chatib Sambas dan sjech tareqat 

Jawa yang paling dihormati di Mekah (sesudah  Abdel-Sjakoer dari Surabaya). Dia 

tinggal di Mekah lebih dari empat puluh tahun. Saya punya bermacam anekdot 

mengenai dirinya dan saya kerap mengunjunginya. Dia sendiri memberi tahu 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  167

saya betapa, selama tinggal di Bantam, terjadi sebuah gejolak dan murid-murid 

bertanya kepadanya apakah belum saatnya mengamalkan apa yang diajarkan. 

Namun, isebab  tidak ada ilham, dia memberikan tanggapan negatif. Saya tidak 

percaya dia memainkan peranan utama dalam sebuah pertempuran meski 

menikmati kekalahan kâpir hôlanda. Namun, pengaruhnya besar, bahkan di 

kalangan moderat. Pengaruh itu semakin besar isebab  dia memimpin pelajaran-

pelajaran yang benar-benar sangat suci, bahkan perwakilan-perwakilan 

pengajaran resmi menghormatinya; misalnya, Sjech Nawawie dari Tanara dan 

otoritas Arab sekalipun yang tidak memandangnya sebagai orang terpelajar. 

Berkat hubungan kami, saya pun mulai agak menghormatinya. Namun, dari 

sudut pandang politik, saya menganggap aktivitasnya sebagai berbahaya. Jika 

ada kesempatan, saya kira pemerintah tidak akan rugi jika ditemukan orang 

yang tepat untuk mengawasi langkah Abdel Karim di Mekah. Saya berkeyakinan 

bahwa intoleransi keagamaan dinyalakan dari Mekah.66

Meski dengan niat berbeda, Snouck menggemakan pandangan banyak 

pendahulunya. Dia menyatakan bahwa Mekah, dengan “koloni Jâwah yang 

berkembang” benar-benar merupakan “jantung kehidupan agama Kepulauan 

Hindia Timur”, yang darinya “banyak pembuluh nadi” memompakan “darah 

segar dengan kecepatan yang kian meningkat ke seluruh tubuh penduduk 

Muslim Indonesia”. Perbedaannya dengan Keijzer dan Grashuis yaitu  bahwa 

Snouck pernah berkunjung ke jantung itu sehingga jauh lebih tahu betapa di 

sana “helai-helai benang semua warga  mistis Jâwah” berkelindan:

Seperti halnya tak ada bendungan yang bisa didirikan untuk menghentikan 

aliran haji, begitu pula tak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah setiap 

aliran ke hilir dan ke hulu agar tidak membawa benih-benih Arabia yang 

bertumbuh di sana, kembali ke Hindia Timur sebagai tanaman budi daya, dan 

melipatgandakan dirinya lagi. Oleh isebab  itu, penting kiranya pemerintah 

mengetahui apa yang tengah terjadi di Mekah, unsur-unsur apa yang diimpor 

dari sana setiap tahun, dan bagaimana menjadikannya sebagai dukungan bagi 

pemerintah atau setidaknya dijadikan tidak berbahaya.67

Pernah dinyatakan secara tepat bahwa seluruh bab terakhir Mekka, yang 

diselesaikan pada akhir 1888, merupakan argumen meyakinkan Snouck untuk 

pengangkatannya di Hindia.68 Tentu saja jabatan bergaji yang diincarnya di 

Eropa masih belum terbuka untuknya, dan bahkan jabatan yang setengah 

diinginkannya di Delft sudah diberikan kepada van den Berg pada Mei 1887.69 

Maka, menyusul sebuah permintaan dari Menteri Koloni pada 26 September 

1888, Snouck diangkat untuk memberikan nasihat terkait pelatihan dan 

pengiriman para pejabat Hindia ke Jeddah, tempat Aboe Bakar dipekerjakan 

dengan kapasitas yang berkelanjutan.70 Jadi, itulah yang juga merupakan 

pertanda bahwa Snouck akhirnya ditugaskan ke Hindia untuk menyelidiki 

Islam di sana. Dia berlayar dari Brindisi pada Hari April Mop, 1889.

168  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Gambar 6. Jawa pada Masa Kolonial akhir.

  

Yang pertama kita dengar tentang Snouck muda yaitu  nada ucapannya yang 

tajam. Kata-katanya yaitu  intervensi seorang cendekiawan skeptis yang sangat 

berhasrat memetakan berbagai cara agama berkembang di koloni-koloni yang 

hubungannya dengan metropolis tidak akan terputus dalam masa hidupnya. 

Terdidik dalam bidang kajian agama, Snouck memiliki ketidaksukaan 

yang kuat terhadap kecendekiawanan legalistik yang memprioritaskan teks 

atas konteks. Sebaliknya, dia mendesak agar berbagai pengamatan para 

pendahulunya dari kalangan akademisi maupun pendeta dipadukan dengan 

orientalisme yang dikembangkan secara lebih profesional sehingga akan 

secara lebih efektif melayani sebuah imperium yang berhadapan dengan Islam 

sebagai ancaman utamanya. Namun, dia masih harus membuktikan dirinya 

di lapangan. Itu dilakukannya dengan menjadi saksi atas Mekah dan tarekat-

tarekat sebagai sumber potensial bahaya bagi kekayaan kolonial bangsanya. 

Dia mempertaruhkan klaim ketokohan dalam bidang pilihannya. Dengan 

publikasi Mekka dan guncangan Cilegon, masa depan personal Snouck sama 

sekali tidak terjamin. 

Sudah dinyatakan bahwa dalam proses penciptaan kategori Agama-Agama Dunia, dan penyertaan Buddhisme dalam kerangka ini , arsip tekstual 

Eropa mulai menggantikan representasi diri pribumi, meninggalkan lapangan 

untuk para misionaris.1 Namun, meski rangkaian peristiwa yang sama bisa 

diikuti di bidang Islamologi Hindia Belanda, ini hanya berlaku hingga 1889 

isebab  pada tahun itulah pengkritik paling energik para Orientalis dan pendeta 

mendarat di Jawa, siap untuk mengulangi perannya sebagai ‘Abd al-Ghaffar.

ANTARA MANUSKRIP, TEKS CETAK, DAN GURU SUFI

Berada di sana selama beberapa hari, menjadi jelas bagi saya apakah akan 

dibiarkan dengan damai sebagai seorang muslim Eropa yang mengenakan fez, 

atau akan [diusik] tanpa belas kasih isebab  sebuah topi.2 (Snouck kepada van 

der Chijs, Desember 1888)

saat  Snouck tiba di Batavia pada 11 Mei 1889, dia pastinya memegang 

dua topi. Di satu sisi, kunjungannya ke Mekah menandainya sebagai seorang 

Orientalis yang sangat berhasil bagi rekan-rekan sejawatnya. Di sisi lain, bagi 

rakyatnya pada masa depan dia yaitu  seorang muslim yang berpengetahuan 

mendalam. Beberapa darinya bahkan bersedia menyebut Snouck sebagai 

haji atau mufti (padahal dia bukan keduanya). Hal ini cukup menjelaskan 

antusiasme sebagaimana diungkapkan dalam Bintang Barat pada akhir Mei 

saat  seorang koresponden menggambarkan betapa kedatangan seorang 

“Mr. Dr. C. Snouck Hurgronje alias Moefti Hadji Abdoel Gafar, seorang yang 

sangat terpelajar dalam bahasa Arab dan agama” telah menimbulkan sedikit 

kehebohan, dengan beberapa orang bertanya-tanya apakah dia juga akan 

pergi ke Solo di Jawa Tengah, untuk memeriksa praktik Islam di kalangan 

orang-orang Tionghoa.3

D E L A P A N

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN 

KOLABORATIF 

1 8 8 9 – 1 8 9 2

170  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Snouck memang pergi ke Solo sebagai bagian tur studi ulang-alik antara 

Batavia, Priangan, dan Ponorogo sejak pertengahan Juli 1889 hingga awal 

Februari 1891. Pada akhir tahap ini dalam kariernya dia akan menolak peluang 

untuk kembali menduduki kursi guru besar di Leiden dan memulai negosiasi 

untuk jabatan seumur hidup sebagai “Penasihat untuk Urusan Pribumi 

dan Arab”. Ini mestinya tidak mengejutkan. Snouck sudah lama menyukai 

pekerjaan yang memberinya kesempatan untuk menyampaikan “pengetahuan 

berguna” apa pun yang bisa dihasilkan untuk negara. Sebagaimana yang dia 

beri tahukan kepada teman teolognya Herman Bavinck (1854–1921) pada Juli 

1890, “pengetahuan tentang situasi kawasan Mohammedan di sini, tentang 

semangat dan pengaruh pendidikan Mohammedan, tentang cakupan apa 

yang disebut warga  mistis, dsb. dsb. sama pentingnya bagi pemerintah 

dan legislasi, seperti roti yang kita makan sehari-hari”.4 

Meskipun tidak secara khusus tertarik kepada Tionghoa muslim 

sebagai kategori observasi tersendiri, Snouck sangat metodis dalam caranya 

memulai melihat bagaimana Islam dipraktikkan dalam kehidupan sehari-

hari. Sebagian sekadar merupakan kebiasaannya dalam bekerja, sebagian yang 

lain disebabkan sifat tugasnya, yakni untuk menilai berbagai cara pengaturan 

Islam sehingga negara bisa meresmikan sebuah gereja “Mohammedan” dan 

mengoordinasikan pengumpulan dan alokasi dananya.

Sangat berbeda dari usahanya di Mekah, yang jauh dari kenyamanan 

dan perlindungan kekuasaan Eropa, Snouck mampu memenuhi sekitar dua 

lusin buku catatan dengan hasil pengamatan isebab  bekerja dalam lingkungan 

yang sering kali sangat mewah.5 Selain ini, dia mampu mendapatkan berbagai 

manuskrip dan menggunakan jasa para penyalin, berbeda dari para pendahulu 

seperti Grashuis, yang kadang harus menunggu bertahun-tahun untuk 

mendapatkan karya-karya tertentu.6 Seperti yang bisa diduga, sebagian besar 

catatan Snouck menempatkan berbagai ulama yang turut serta dalam dewan-

dewan keagamaan yang baru, memetakan bagaimana mereka terhubung 

dengan hierarki kolonial, terhubung satu sama lain melalui perkawinan, dan 

terhubung dengan jejaring pengajaran yang silang-menyilang di Jawa dan 

dunia muslim yang lebih luas. Tersebar di halaman-halaman buku catatannya, 

cuplikan teks-teks lain: berbagai laporan para informan yang terdidik, fatwa 

yang tertulis pada taplak, dan salinan berbagai legenda pra-Islam pada pelat 

tembaga.

Untuk tujuan kita, pengamatan dikonsentrasikan pada jejaring 

pengetahuan dan khususnya tarekat. Ini yaitu  instruksi utama Snouck. 

Empat minggu sesudah  kedatangannya, Snouck mengirimkan laporan kepada 

Gubernur Jenderal. Dia kembali menyatakan bahwa para syekh “ordo mistis 

kelas bawah”, yang ditentang para guru yang dihormati seperti Junayd, 

Mujtaba Batavia, dan Sayyid ‘Utsman, memiliki potensi menjadi lawan 

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  171

terbesar pemerintah kolonial. Lebih jauh, Snouck mengejek pernyataan bahwa 

Nawawi “yang ortodoks” akan menyetujui “pertunjukan” seperti yang terjadi 

di Cilegon. Nawawi mengutuk jenis “mistikus kasar” semacam itu melalui 

sebuah fatwa, yang menurut seorang pejabat junior di Serang membuatnya 

mendapatkan ancaman pembunuhan.7

Demikianlah, Snouck berangkat mencari para musuh yang kasar bagi 

ortodoksi Islam ataupun keamanan kolonial. Ini perjalanan yang tidak 

terburu-buru. Di Sukabumi, pada pertengahan Juli, dia tinggal bersama 

menantu mantan penghulu. Orang ini menyertai Snouck berkeliling ke 

sekolah-sekolah setempat dan mendapati para guru menggunakan Sullam 

al-tawfiq sebagaimana dikomentari oleh Nawawi, serta sebuah cetakan baru 

buku pengantar al-Sanusi. Snouck mencatat para guru tidak bisa melakukan 

aktivitas tanpa izin dari ulama yang diawasi Belanda dan setiap buku baru 

harus diperiksa sebelum digunakan. Selain itu, Snouck mengamati bahwa 

semua teks berbahasa Arab, namun  penjelasan disampaikan dalam bahasa 

Sunda. Di sini pula dia mencatatkan sesuatu mengenai pencariannya terhadap 

sebuah buku misterius, Martabat tujuh, yang disebarkan oleh seorang guru 

Batavia bernama Wirta atau Merta. Tak seorang pun yang dia temui di 

Priangan pernah mendengar tentang buku ini , atau pernah bertemu 

pengarangnya, yang konon muncul di Ibu Kota tepat sesudah  para pelayan 

rumah tangga menerima gaji.8

Catatan-catatan ini berguna bagi Snouck untuk berbagai pernyataannya 

mengenai Islam di Hindia. Catatan yang sama juga berguna bagi pihak-pihak 

lain isebab  merupakan produk sebuah keterlibatan dengan para informan 

yang siap mendapatkan keuntungan dengan si orang Belanda muda. Yang 

paling penting di antara mereka yaitu  Hasan Mustafa, yang diklaim pernah 

Snouck jumpai di Kota Suci. Hasan Mustafa muncul di halaman dua. Snouck, 

yang pergi ke Garut bersama Holle, mencatat bahwa Hasan Mustafa yaitu  

murid Muhammad Garut (disusul Nawawi Banten, Muhammad Hasab Allah, 

Mustafa ‘Afifi, dan ‘Abdallah al-Zawawi) di Mekah. Hasan Mustafa kembali 

ke rumah saat  ayahnya tidak mampu lagi membiayainya. isebab  sudah 

menjalin hubungan dengan Penghulu Kepala, dia diberi sebuah sekolah dan 

tempat tinggal dekat masjid kota yang posisinya tidak pas.9

Catatan sepintas lalu semacam itu mengarahkan pada kenyataan bahwa 

mereka tidak pernah bertemu sebelum titik ini. Korespondensi Hasan Mustafa 

sulit dipahami pada titik ini, dan Snouck sendiri tidak pernah memberikan 

perincian tentang pertemuan mereka di Mekah.10 Walaupun perjumpaan 

mereka di Mekah hanya sekilas, tak diragukan lagi mereka ditakdirkan untuk 

bertemu isebab  Hasan Mustafa yaitu  anak didik Holle serta ‘Abdallah al-

Zawawi. Masa depan mereka di Hindia saling berkelindan isebab  Hasan 

Mustafa menjadi informan Snouck, dengan bayaran f50 per bulan. Sejak 

172  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

saat inilah metode kerja Snouck menjadi jelas bagi para pembaca catatan-

catatannya. Dia mendokumentasikan kunjungan-kunjungannya ke berbagai 

masjid dan pondok setempat, mencatatkan judul-judul yang diajarkan, nama 

para guru, dan tarekat yang diklaim mereka wakili. 

Pada beberapa kasus, Snouck bahkan tidak perlu mengajukan 

pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hasan Mustafa, misalnya, sudah 

menyusun sebuah daftar karya-karya berbahasa Arab yang digunakan di 

Priangan untuk pemerintah pada November 1889, dengan memilah antara 

buku-buku yang dianggap “lama” (barangkali dalam arti “klasik”) dan kitab 

yang lebih baru semisal karya Nawawi dan risalahnya yang merupakan versi 

syair dari kitab terkenal Waraqat (Lembaran-Lembaran) karya al-Juwayni (w. 

1085). Mengingatkan pada kata-kata pejabat yang telah melaporkan buku-

buku yang digunakan di Kendal pada 1886, Hasan Mustafa menggambarkan 

karya-karya mengenai Sufisme sebagai ditujukan untuk “melestarikan berbagai 

tindakan baik tubuh dan hati” pembaca.11

Lama dan baru yaitu  tema yang dominan dalam karya Snouck. Dalam 

berbagai wawancara dia kerap memulainya dengan pertanyaan tentang 

pengaturan waktu dan ritual-ritual penting, lalu berlanjut pada pertanyaan 

mengenai sifat pengajaran di pesantren-pesantren sekitar, dan akhirnya—

namun  tidak selalu—tentang tarekat yang diajarkan. Juga jelas bahwa, 

sepanjang proses ini, para syekh dengan senang hati memberikan berbagai 

materi berkat hubungan Snouck dengan komunitas Mekah dan keimanan 

yang masih ditampakkannya. Banyak di antara materi ini yaitu  teks-teks 

Syattari. Kesediaan para syekh memberikan materi-materi itu merefleksikan 

menurunnya popularitas tarekat Syattari akibat invasi Naqsyabandi. Meski 

tampaknya hanya ada sedikit keengganan untuk menyingkirkan manuskrip-

manuskrip Syattari di beberapa kota, para penganut Syattari tetap kukuh di 

banyak bagian Jawa.

Setidaknya, Snouck masih bisa menemukan para guru yang menyandang 

nama ini , termasuk Imam Prabu dan Adi Kusuma (Raden Muhammad 

Nur Allah Habib al-Din, w. 1903). Namun, meski kedua guru ini, yang 

berbasis di Cirebon, mengklaim nama Syattari, Imam Prabu menekankan 

bahwa hanya sedikit orang-orang sejenis mereka yang benar-benar melangkah 

lebih jauh daripada menjelaskan dzikr.12 Adi Kusuma, yang mengklaim 

keturunan Sunan Gunung Jati, dan lebih menyukai pakaian pejabat Jawa 

ketimbang pakaian kiai, tampaknya hanya menawarkan sedikit sekali kepada 

pengikutnya. Meski tidak pernah mempelajari Al-Quran, dia membimbing 

banyak murid melalui apa yang disebutnya ajaran Syattari; meskipun bukan 

dalam dzikr itu sendiri. Dia memiliki salinan Tanbih al-mashi (Arahan bagi 

yang Cakap) karya al-Sinkili, namun  silsilahnya tidak memiliki kesam