yang dipersyaratkan sebelum sang ayah menerima mereka menjadi
murid. Snouck, yang koleksi edisi-edisi teks Barat-nya dikagumi, belum siap
menjalani tahapan ini pada tahun itu.33 Tak diragukan lagi hingga tingkat
tertentu langkahnya terhalang oleh sinismenya terhadap banyak kelompok
yang beberapa waktu lalu dia gambarkan sebagai parasit. Kemungkinan besar
dia tetap berada di pinggiran upacara-upacara Sufi, mengamati perilaku para
peserta sembari berusaha tetap tak menarik perhatian. Kita melihat sebuah
petunjuk mengenai hal ini dalam entri catatan hariannya tentang ritual shalat
berjemaah memohon hujan di Jeddah pada Desember 1884. Seperti dikenang
Snouck, “Saya bisa menyaksikan semua ini dari jarak sangat dekat. Saya
ditemani Ra[den] Aboe Bakar, seorang teman, dan pelayan. Tak ada seorang
pun yang menyadari kehadiran saya, bahkan tidak anak-anak sekolah yang
bernyanyi dan berteriak-teriak selama çalāt [shalat] di tengah-tengah barisan
orang-orang suci.”34
Perjalanan Snouck ke Mekah bermula di sebuah sekedup di punggung
unta pada 21 Januari. Dengan mengadopsi nama muslim “‘Abd al-Ghaffar”,
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 155
Snouck tiba di Kota Suci sehari kemudian. Dia langsung dipercaya sebagai
orang beriman seperti yang diklaimnya, setidaknya dalam penampilannya.
Tak kurang otoritas seperti Ahmad Dahlan mengundangnya untuk ikut
serta dalam pelajarannya, baik di masjid maupun di rumahnya. Komunitas
Jawi itulah yang membuka paling banyak pintu dan memberikan wawasan
mendalam mengenai kehidupan Mekah. Bibi seorang pemandu Jawi bahkan
membukakan pintunya lebih lebar ketimbang perempuan mana pun di Mesir
yang pernah disaksikan oleh Lane.
saat membawa Snouck ke rumah pamannya, direncanakanlah sebuah
perjumpaan kebetulan dengan sang nyonya yang dimaksud, dan menyiratkan
kemungkinan lebih jauh daripada sekadar akomodasi dan tempat tidur
untuknya.35 Tawaran itu ditampik dengan tegas oleh Snouck, yang masih
mempelajari bagaimana menilai orang-orang di Hijaz. Kita bisa yakin bahwa
dia tidak menampik perempuan yang diduga muncikari isebab kesopanan
yang berlebihan. Surat-suratnya kepada P.N. van der Chijs menunjukkan
bahwa dia menceburkan diri dalam warga Mekah dengan cara-cara yang
membuat Richard “Dirty Dick” Burton (1821–90) yang terkenal keji itu
terengah-engah. Ini termasuk membeli dan mengawini seorang budak Abisinia
untuk mempertahankan derajat terhormat (pastinya status Lane sebagai
lelaki lajang mengejutkan banyak orang Mesir yang berbicara dengannya).
Perjumpaan dengan bibi sang pemandu menyatu ke dalam narasi Snouck,
seperti halnya peristiwa-peristiwa lain disatukan, untuk menciptakan kesan
keterlibatan total dalam sebuah warga “Zaman Pertengahan”.36
saat tidak sibuk mengamati kehidupan sehari-hari atau mengajari
seorang dokter Mekah “yang sangat liberal” tentang seni fotografi (di luar
pengamatan publik), Snouck bergerak melalui pintu-pintu lain yang dibuka
lebar-lebar oleh Ahmad Dahlan untuknya. Dia diberi akses ke lingkaran-
lingkaran pengajaran para cendekiawan seperti Nawawi dari Banten. Dia juga
mendapat kesempatan mendiskusikan urusan-urusan dunia bersama para syekh
Sufi seperti ‘Abd al-Karim dari Banten dan Ahmad dari Lampung. Ketiganya
mengungkapkan pandangan bermusuhan terhadap kekuasaan Belanda, namun
mengimbanginya dengan pengakuan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan
pada saat itu tidaklah berguna (sesekali ditimpali seruan Sayyid Ja’far). Di
sini pula Snouck mampu menilai status relatif berbagai cendekiawan Kota
Suci, terutama mereka dari kalangan Syafi‘i yang menempatkan diri di bawah
otoritas Dahlan. Yang sangat menonjol yaitu orang Mesir, Abu Bakr Syatta’,
pengarang I‘anat al-talibin (Bantuan untuk para Pencari) yang digunakan
secara luas; ayahnya yang Sufi dilayani dan digantikan oleh ‘Abd al-Syakur
dari Surabaya.
Snouck juga menjalin hubungan baik dengan seorang ‘Alawi lain yang
berbasis di Hindia yang tengah belajar di Hijaz. Dia yaitu ‘Abdallah al-
156 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
‘Attas muda (w. 1928), yang kali pertama dijumpainya di Jeddah bersama
Mujtaba dari Batavia dan Arsyad dari Banten.37 Para ulama Jawi, seperti yang
diamati dan dipelajari Snouck dari catatan-catatan tambahan yang disediakan
Aboe Bakar, meliputi banyak orang Banten seperti Arsyad serta para guru
dari bagian-bagian lain Nusantara. Mulai dari para eksponen yurisprudensi,
seperti Junayd, Nawawi, dan Zayn al-Din hingga para guru tarekat seperti
‘Abd al-Syakur, Muhammad dari Garut, dan Ahmad dari Lampung. Jelas
Snouck lebih menyukai kelompok yang pertama. Para anggotanya bahkan
sesekali mengunjunginya. Mereka lebih menyukai otoritas para guru tarekat
Arab yang sadar seperti al-Zawawi ketimbang mendiang Ahmad Khatib
Sambas dan Isma‘il al-Minankabawi.
Pembedaan antara para ahli hukum dan mistikus ini tumpang tindih.
Terdapat banyak Sufi terkemuka, seperti pencetak Mekah yang dihormati
Ahmad al-Fatani, yang memperhatikan baik kebutuhan yuridis rekan-
rekannya sesama Jawi maupun dunia gaib. Namun, al-Fatani, orang Melayu
dari negeri di luar jangkauan Belanda yang terlibat dalam penerimaan
modern, tidak terlalu pas dengan narasi Mekah Snouck. Dia lebih bergairah
pada gema zaman kuno. Dia pastinya memberi perhatian pada watak
kontemporer diskusi politik yang melibatkannya dan mencatat bahwa
kalangan elite menyetel jam saku mereka dengan waktu pembunyian senapan
serta mengungkapkan kebanggaan terhadap percetakan baru kota ini .
Namun, bukti mengenai berbagai upaya modern dikecilkan dalam laporan
yang lebih belakangan mengenai pengalaman-pengalamannya. Kadang hal ini
merupakan kebetulan.
Snouck belakangan mengingat bahwa dia menyuruh seorang juru
tulis profesional untuk menyalin sejarah karya Dahlan Khulasat al-kalam fi
bayan umara’ al-balad al-haram (Ringkasan Perkataan mengenai para Penguasa
Tanah Suci), yang sangat penting untuk sejarah kota ini—dan surat-suratnya
menunjukkan betapa bersemangat dia menanti kiriman bagian-bagian dari
manuskrip itu. Baru pada 1889, dan saat dalam perjalanan menuju Hindia,
Snouck mengetahui bahwa buku ini sudah dicetak dan tersedia di
Kairo.38
Andai saja Snouck tinggal lebih lama di Hijaz (sebenarnya pada satu
waktu dia berharap ditunjuk sebagai Konsul Jeddah), mungkin dia akan
melihat karya ini dicetak di sana. Namun, itu tidak terjadi. Ketertarikan
yang konon tertuju pada zaman kuno berpadu dengan berbagai tindakan
membahayakan Konsul Prancis, membuat Snouck diusir dari Mekah begitu
otoritas Utsmani di Istanbul mengetahui ada pedagang Barat yang diduga
berpura-pura menjadi muslim berkeliaran di Hijaz.
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 157
PERSOALAN REFORMASI ISLAM
Sepulang dari Arabia, Snouck kembali ke pekerjaannya dalam keadaan
murka isebab jati dirinya diungkap oleh Konsul Prancis, yang terus
diserangnya. Konsul Prancis berhasil memegang kendali dan mengancam
akan mengungkapkan keislaman Snouck dan perkawinan rahasianya. sesudah
akhirnya terpaksa mundur, dia terus mengirimkan berbagai laporan ke forum-
forum ilmiah sembari merangkai bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan
serta yang masih terus diperolehnya menjadi sebuah narasi besar. Narasi
ini meliputi sejarah masa lalu Kota Suci, kehidupan warganya pada masa
kontemporer, dan dampak yang mereka miliki terhadap masa depan Hindia
Belanda.
Sebagian besar energi yang dikerahkan Snouck untuk karyanya masih
ditujukan untuk mendekonstruksi apa yang diketahui mengenai Islam. Dia
mengecam siapa pun yang percaya bahwa mereka sepenuhnya memahami
ancaman yang ditimbulkan oleh berlanjutnya perjalanan ke Arabia oleh
begitu banyak orang Jawa: isebab secara terbuka dia mengklaim masih benar-
benar melihat adanya sebuah ancaman potensial.39 Dengan menunjukkan
hal ini, dia mempertaruhkan klaimnya atas sebuah posisi berpengaruh
dalam warga Hindia. Tentu saja warga ini sudah punya para
pakarnya, dan mereka merasa semakin terancam isebab Snouck akan segera
mengarahkan caci maki penuh kemarahan kepada siapa pun yang berani
membela van den Berg.40
Pada Mei 1886, misalnya, dia menggunakan sebuah artikel untuk
menyasar apa yang dilihatnya terutama sebagai sebuah korps pengacara dan
orang-orang tak berguna yang elitis dan tolol yang bekerja di Hindia. Salah
seorangnya yaitu anggota Mahkamah Agung Hindia yang bergelar kesatria,
M.C. Piepers (1835–1919), yang menyebut Snouck pembuat onar yang
berjingkrak-jingkrak bersama “para monyet dan gelandangan”. Meski tidak
menanggapi tuduhan bersahabat dengan orang-orang jangak, Snouck dengan
bernafsu menyangkal cacian apa pun yang ditujukan pada pengetahuannya di
bidang ini atau pada kepantasannya untuk membuat pernyataan publik. Secara
sambil lalu dia juga mengambil kesempatan untuk sekali lagi menghajar van
den Berg sebagai “pejabat yang konon ilmiah” yang “masih tidak mengetahui
hal-hal yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya”.41
Snouck secara lepas mengakui bahwa yang dia pelajari yaitu teologi,
bukan hukum. Dia bertanya-tanya mengenai pemilahan disiplin ilmu dalam
akademi yang diyakininya telah membuat Belanda merosot dalam praktik.
Koran-koran di metropolis dan koloni sama-sama menjadi pembawa
pesannya pada Januari 1886 saat dia menggunakan ulasan atas dua karya
yurisprudensi seorang cendekiawan Jerman untuk menyerukan adanya
pergeseran dalam universitas-universitas dari kajian teori hukum menuju apa
158 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
yang disebutnya “penyelidikan ilmiah”. Dengan melakukan hal ini, demikian
katanya, sang ahli hukum bisa menggunakan bantuan “sang etnografer dan
filolog” untuk memahami secara lebih tepat bagaimana hukum-hukum tertulis
berinteraksi dengan hukum-hukum tak tertulis dalam berbagai warga
Muslim. Sebagaimana kita seharusnya tidak menggunakan Hukum Romawi
sebagai tolok ukur untuk menilai kehidupan bangsa Belanda, begitu pula
Hukum Islam, yang lebih suka dia sebut “pengajaran kewajiban-kewajiban”,
tidak seharusnya dijadikan ukuran untuk menilai kehidupan muslim sehari-
hari. Bagaimanapun, sejarah telah menunjukkan bahwa orang sudah lama
memiliki cara menafsirkan hukum sedemikian rupa sehingga mencapai
kompromi antara kepentingan spiritual dan kepentingan duniawi.42
Pendekatan ini juga memengaruhi serangannya yang jauh lebih luas
terhadap pandangan yang berlaku, yang muncul dalam serangkaian artikel
dalam De Gids. Di sini dia menyebutkan berbagai gagasan “reformasi” Islam
di Mesir yang baru saja dijajah sebagaimana yang didukung oleh orang
Inggris, Wilfred Scawen Blunt (1840–1922), dan seorang pengacara Belanda
yang bekerja di persidangan-persidangan campuran di bawah para Khedive, P.
van Bemmelen (1828–92). Keduanya mengaku sekutu Mesir dan pendapat-
pendapat mereka dihargai para sejawat Snouck.
Snouck menyatakan bahwa kedua orang itu hanya teperdaya
membayangkan bisa benar-benar menilai seberapa Islami sebuah warga
dengan membandingkan teks-teks hukum klasik dengan warga yang
hidup. Tidaklah masuk akal mengandaikan bahwa Islam bisa “direformasi”
sekadar dengan “kembali ke Al-Quran” atau dengan memperbarui (sebuah
karya) yurisprudensi. Bagi Snouck, Islam bukanlah sekadar wahyu yang
digabung dengan teladan Nabi. Islam yaitu sistem organik yang berkembang
untuk mempertimbangkan berbagai praktik yang ada dan kesepakatan umum
(ijma’) komunitas. Islam juga merupakan sistem yang sudah menghabiskan
empat abad untuk memperoleh tiga elemen yang saling mengukuhkan, yaitu
Tradisi, Hukum, dan Mistisisme. Bagi Snouck, gerakan reformasi apa pun
yang mengklaim kembali ke sumber asli sama saja dengan menyangkal sejarah.
Seorang pembaharu sejati—jika ada yang akan muncul di sebuah negeri
muslim—harus menghadapi persoalan jihad dan ijtihad, dengan konsensus
ulama yang tak bisa salah dan struktur mazhab-mazhab yuridis; semua ini
mendarah daging berkat apa yang Snouck duga sebagai sifat “katolik” dan
“konservatif ” Islam.43
Kita tidak boleh melupakan fakta bahwa pemikiran Snouck selalu didasari
oleh fokus kolonial. Dia menyerukan perlunya lebih mengenal warga
Muslim dengan alasan mereka akan bisa diatur secara lebih bijaksana jika
dipahami. Sekali lagi, ini yaitu argumen untuk mendukung pekerjaannya
pada masa depan isebab Snouck jelas menyiratkan bahwa ada kebutuhan
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 159
mendesak terhadap seorang Orientalis terdidik yang digaji negara yang dapat
mengantisipasi ancaman terbesar terhadap keamanan kekuasaan Belanda:
yakni Sufisme tarekat yang sulit dikendalikan. Dia sengaja menunjukkan
bahwa merupakan sebuah kekeliruan, seperti yang dilakukan kebanyakan
orang, menyamakan mistisisme muslim hanya dengan bentuk Sufisme yang
ini, sebuah bentuk yang menurut dugannya merupakan cara elitis yang lahir
dari perjumpaan dengan dunia Indo-Persia.
Dengan struktur dan metodenya yang longgar, yang sebagian besar
berasal dari intuisi dan ilham, tarekat terbukti merupakan rute pelarian bagi
para individu yang ingin mengatasi tuntutan agama sehari-hari. Namun,
saat berkembang, sistem pengajaran ini membuka pintu menuju berbagai
penyimpangan teosofis dari keimanan “sejati” dan mendorong segala
macam takhayul serta penyimpangan seolah-olah berdasar kitab suci.
saat banyak praktik semacam ini menjadi lazim di luar India dan Persia,
“kompromi” menjadi satu-satunya jalan yang tersedia menuju apa yang
disebut Snouck “Katolikisme Muslim”.44
Snouck bahkan mengklaim—seperti halnya Dozy—bahwa umat Muslim
telah melupakan bahwa penghormatan kepada para wali yaitu sebuah
konsesi.45 Lambat laun kebutuhan untuk menguasai literatur keislaman
menjadi sebuah teka-teki yang dikhususkan untuk para ahli hukum, sementara
Sufisme ditinggalkan di tangan orang-orang suci yang harus menemukan cara
untuk membedakan diri mereka dari golongan para peniru dan penyaru yang
semakin banyak. Untunglah al-Ghazali yang agung menyediakan jalan keluar
berupa Ihya’ ‘ulum al-din-nya, sebuah karya yang menyatukan semua bidang
pengetahuan dan “menghidupkan semua ilmu pengetahuan yang suci”,
dengan memberikan “kedudukan istimewa pada pendidikan yang baik”.
Apakah dia bergabung dalam sebuah persaudaraan mistis yang diakui atau
tidak, setiap orang beriman ... sesudah mempelajari berbagai kewajiban agama,
akan berlanjut mempelajari mistisisme. Ini selalu diajarkan dengan semangat
dan sebagian besar dengan kata-kata Ghazali. Ini ... bahkan populer di Hindia
Timur. Banyak murid Melayu dan Jawa menggunakan tiga buku yang dijilid
menjadi satu sebagai panduan mereka. Pelajaran pertama berkaitan dengan
fiqh (pelajaran mengenai berbagai kewajiban), yang kedua dengan tawhied
atau oeçoel (pelajaran mengenai keyakinan), dan yang ketiga dengan tasawwoef
(mistisisme).46
Dengan demikian, bangunan tritunggal Islam yang megah itu
disempurnakan dengan teks puncak karya al-Ghazali yang melengkapi batu
puncak berupa kehidupan Muhammad. Namun, masih ada yang akan datang.
Snouck mendesak para pembaca agar waspada terhadap kaum Wahhabi
isebab pergerakan mereka bukanlah gerakan “reformis”, terlepas dari apa yang
160 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
disarankan oleh beberapa orang (Keijzer, Dozy, dan Poensen). Sebaliknya,
apa yang diupayakan kaum Wahhabi yaitu “pemurnian kembali” Islam, dan
dengan demikian pemalsuan sejarah. Mengikuti jejak Kuenen, Snouck bahkan
memandang Wahhabisme sebagai Islam yang “tidak lengkap” yang dengan sia-
sia hendak kembali ke waktu dan ruang Arab pada masa lalu yang menyangkal
setiap klaim Islam sebagai sebuah Agama Dunia atau Agama Universal.
Bisa jadi Snouck terpengaruh pandangan-pandangan yang diterbitkan
Ahmad Dahlan mengenai persoalan ini walaupun agak diimbangi pandangan
pragmatis al-Madani bahwa orang-orang Madinah dan Dir‘iyya telah bergerak
melampaui berbagai perbedaan sektarian mereka. Sebaliknya, para pembaharu
potensial yang dikagumi Blunt dan van Bemmelen tampaknya berasal dari
kelompok jangak yang kemungkinan kecil dihormati sesama muslim. Tetap
saja ibadah haji menjadi sumber bagi “keyakinan zaman pertengahan”.47
Dalam hal ini , Snouck menilai van Bemmelen benar yang menegaskan
bahwa Persoalan Timur sangatlah penting bagi Barat. Bagi Belanda, masalah
itu harus menjadi satu-satunya persoalan, dan sudah saatnya para petugas yang
berpengetahuan lebih baik dikirim ke Hindia.
Bukan berarti Snouck mengutuk semua orang yang berani menulis
tentang Islam. Dia sedikit menghargai berbagai intervensi yang dilakukan
Poensen, walaupun juga mengecam gaya tulisnya. Poensen berhasil memerinci
berbagai ritual orang-orang yang benar-benar dia ketahui menempatkan
Islam di pusat kehidupan mereka. Yang tidak bisa dimaafkan Snouck yaitu
kebanyakan laporan Poensen diambil dari karya-karya Eropa—termasuk
karya van den Berg dan Keijzer—dan Poensen tetap berpegang pada pendapat
bahwa orang-orang Jawa kurang layak dianggap muslim ketimbang orang-
orang Belanda dianggap Kristen. Bagaimanapun, Poensen lebih banyak
melayani publik, baik di Belanda maupun di Hindia, dibandingkan begitu
banyak penulis murahan dengan segala yang mereka sebut “pengalaman
praktis”.48
MEMBENTUK FRONT BERSAMA UNTUK HINDIA
Snouck memanfaatkan para misionaris Jawa untuk menghilangkan pengaruh
buruk para ahli hukum Delft dan Batavia. Dia punya pengalaman lapangan dan
nama yang cukup masyhur. Di hadapannya ada jalan lain menuju pengaruh
dan kekuasaan pada masa depan. Dia membentuk persekutuan dengan Sayyid
‘Utsman. saat Snouck mulai berkorespondensi dengan sang pencetak Arab
ini pada Oktober 1886, kecendekiawanan dan ketekunan ‘Utsman sudah
menarik perhatian rekan-rekan sejawatnya, melalui hubungannya dengan
Holle dan van den Berg serta atlas Hadramaut karyanya yang dicetak ulang
oleh firma E.J. Brill pada tahun itu. Snouck juga sudah mendengar perihal
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 161
‘Utsman selama bermukim di Mekah dan merasa cocok untuk membicarakan
berbagai polemiknya menentang tarekat-tarekat populis.49
saat menyiapkan jalan untuk mendiskusikan pamflet-pamflet ‘Utsman
di Nieuwe Rotterdamsche Courant pada Oktober 1886, Snouck membuat
keprihatinan Ghazalian yang mereka miliki terlihat jelas dengan menyatakan
bahwa “setiap Mohammedan yang berpendidikan menganggap mereka
[tarekat-tarekat Sufi] sebagai bidah, atau bahkan sisa-sisa kekafiran kuno ...
dengan sihir mereka, mantra-mantra, sumpah-ular, dan lain sebagainya”.50
Selain itu, Snouck memandang tarekat sebagai lembaga yang terus-menerus
mencari keuntungan finansial.
Para syekh mengutus agen-agen ke empat penjuru mata angin sembari
mengizinkan mereka meninggalkan ritual-ritual yang diperintahkan untuk
pengikutnya. Sedikit pengetahuan yang para syekh miliki “tercurah” kepada
para murid yang “berasal dari kelas tak terdidik” dan tidak mengetahui
dasar-dasar hukum Islam, yang keliru meyakini bahwa dzikr, wirid, dan
kepatuhan mutlak kepada sang syekh akan menjamin keselamatan mereka
di akhirat.51 Jadi, seperti halnya Prancis memperhatikan karya Louis Rinn
“yang sayangnya dikerjakan secara sembrono” mengenai bahaya orang-orang
Sanusi, Belanda pun semestinya lebih memperhatikan sedikit hal yang sudah
dituliskan mengenai berbagai tarekat di Hindia. Belanda seharusnya juga
memperhatikan karya Snouck, Mekka, yang diharapkan membuka mata
banyak pihak.52
Akan namun , apa yang dipahami orang Jawa kebanyakan dari sebuah
karya ilmiah semacam itu? Jauh lebih baik jika pesan yang membawa kutukan
itu datang dari otoritas mereka sendiri—dan siapa yang lebih baik daripada
Sayyid ‘Utsman? ‘Utsman memiliki paduan sempurna pendidikan, garis
keturunan, dan sikap—dan dia sejalan dengan otoritas tertinggi di Mekah,
termasuk mufti baru mazhab Syafi‘i, Muhammad Sa‘id Ba Busayl, serta para
teladan Ghazalian di kalangan orang-orang Jawi seperti Nawawi dan Junayd.
Di sini ada seseorang yang benar-benar mengerti betapa inginnya orang Jawa
kebanyakan terhadap “obat ajaib” yang dapat memberi kebahagiaan dunia
akhirat, dan dengan demikian betapa liciknya para guru tarekat atas janji-janji
palsu mereka. Snouck dan ‘Utsman juga sepakat bahwa orang-orang Khalidi
yaitu yang paling tidak berharga. Sementara tarekat-tarekat lain menurut
keduanya mengajarkan kesalehan lahir, kebanyakan menggunakan Syari‘ah
“sebagai sebuah Semboyan”. Juga ada pihak-pihak lain yang menunggu mereka
dilepaskan kepada musuh. “Kita tidak sedang bekerja dengan hipotesis di
sini,” kata Snouck, mengingat apa yang sudah didengarnya dari ‘Abd al-Karim
dari Banten; meski dia menyimpan perinciannya untuk Mekka.53
Snouck juga memberikan persetujuan paling tulus terhadap pandangan
‘Utsman bahwa keajaiban sejati yaitu sesuatu dari masa lalu dan pengajaran
162 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
yang hakiki tidak bisa muncul dari tangan para penipu dan oportunis. Snouck
bersikeras, “orang Arab yang ini”, berbeda:
patut dihormati oleh semua orang yang berpikiran benar berkat semangat
moral yang didedikasikannya untuk memerangi para guru-bidah di Jawa.
Dengan demikian, dia menempatkan dirinya dalam bahaya yang tidak kecil
isebab para pemimpin yang licik menampilkannya sebagai seorang musuh
kesakralan, sementara massa yang bodoh dan gelisah mudah memercayai
tuduhan-tuduhan semacam itu. Walaupun begitu, dia memiliki keberanian
dalam keyakinan dan tiada henti berjuang. Kami mengharapkan hal ini di atas
segalanya isebab para sjêch dan pengikutnya yaitu lawan paling berbahaya bagi
otoritas Belanda di Hindia Timur, sama bahayanya dengan orang-orang Senousi
bagi otoritas Prancis di Aljazair. Oleh isebab itu, tepat kiranya cendekiawan
kami dari Hadramaut mendapatkan rasa terima kasih dan simpati dari semua
yang mengharapkan kebaikan bagi Hindia Belanda, terutama pemerintah kita.
Sekutu seperti itu ibarat permata yang layak disematkan pada emas. Kegagalan
memahami nilai mereka sama seperti meninju wajah kita sendiri. Kami sudah
berkali-kali menunjukkan bahwa hanya melalui kebijaksanaan dan kehati-
hatian kita bisa mempertahankan kekuasaan atas sebuah negeri dengan jutaan
Mohamedan-nya .... Untuk saat ini, biarlah dicatat di sini bahwa seorang Arab
seperti Othmân ibn Jahja lebih berharga bagi kita dibandingkan berapa pun
bupati “liberal” peminum anggur.54
Sayyid ‘Utsman sangat menyadari bertambahnya ketertarikan Snouck
terhadap dirinya. Pada 1886 Holle dan J.A. van der Chijs memberi tahu
‘Utsman bahwa Snouck telah membaca pengesahan yang didapatnya dari
Nawawi Banten dan Junayd Batavia untuk Nasiha al-‘aniqa-nya. Informasi
ini mendorong sang cendekiawan Batavia untuk menulis kepada Snouck
mengenai Wathiqa al-wafiya karyanya. Dia menunjukkan hasratnya untuk
melindungi publik dari mereka yang mendorong segala macam potensi
kerusakan di kalangan orang-orang bodoh, namun demi menghindari kesulitan
dia tidak menyebut nama syekh tertentu. Dia meminta dukungan Snouck
untuk menghubungi pihak penguasa melawan para guru tarekat dan “orang-
orang cemburu” yang berusaha menghancurkannya dan melangkah begitu
jauh hingga mengklaim bahwa “Seandainya bukan isebab keadilan Belanda
di tanah Jawa dan tempat-tempat lain, tak mungkin saya hidup di Batavia!”55
‘Utsman melihat jelas bahwa Snouck yaitu sarana menuju karier mapan
di Hindia. Dalam surat-surat berikutnya, ‘Utsman menyertakan daftar karya-
karyanya dan daftar berbagai keprihatinan yang dia harap akan disebarluaskan
Snouck di kalangan elite politik Belanda. Strategi itu mendatangkan hasil.
‘Utsman dan Snouck semakin terikat. Atas permintaan ‘Utsman, Snouck
mengusahakan jabatan Penasihat Kehormatan mengenai Urusan-Urusan
Arab, yang diterima sang cendekiawan pada 1891.56
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 163
Sementara itu, Snouck melakukan lebih dari sekadar memerangi tatanan
yang mapan dan mengidentifikasi berbagai kelemahan kebijakan kolonial
Belanda vis-à-vis Islam. Dia tengah menggarap magnum opus-nya dan terus
berkorespondensi dengan para informannya di Hijaz. Aboe Bakar terutama
sangat aktif, mengirimkan jawaban secara rutin terhadap pertanyaan-
pertanyaan Snouck dan buku-buku yang dipesannya. Yang paling menonjol
yaitu karya-karya Dahlan dan Nawawi. Karya orang Banten ini jelas melebihi
karya si orang Mekah.57
Sepanjang periode ini, perhatian Snouck tak lepas dari Hindia. Seperti
sudah kita lihat, artikel penting pertamanya yaitu analisis terhadap buku-
buku yang dibaca di Dataran Tinggi Padang sebagaimana yang dikumpulkan
oleh van Langen, dan diikuti sebuah karya mengenai pengakuan-pengakuan
milenarian (Kerajaan Seribu Tahun). Pada 1885 Snouck memperoleh sebuah
laporan mengenai karya-karya yang tersedia di Jawa yang disiapkan oleh
Bupati Lebak, S. Soerianataningrat. Pada 1886 dia berkorespondensi dengan
pensiunan pejabat W.E. Bergsma, yang mengirimkan laporan-laporan dari
Kendal dan Tegalsari.
Laporan Soerianataningrat, berdasar informasi yang diberikan
Penghulu Landraad Lebak, Mas Hajji Muhammad Isma‘il, mendaftar delapan
karya yang digunakan di pesantren-pesantren Priangan. Studi dimulai dengan
buku dasar Alif-alifan, yang menjelaskan alfabet Arab; kemudian Turutan
dan Al-Quran dibaca untuk tujuan mempelajari pelafalan; dan lima karya
“tingkat lanjut”, yaitu Sittin, Tasripan, Amil, Ajurrumiyya, dan Syarh al-
sittin. Buku-buku ini berharga f1 hingga f1,50. Khusus Sharh al-Sittin—
yang kemungkinan yaitu komentar al-Syarqawi atas Masa’il al-sittin—yang
konon bisa menjadikan seorang murid mampu membaca dan memahami
“semua buku agama”, dijual seharga f5. Bupati Ponorogo, Tjokroamidjojo,
menyatakan bahwa sesudah belajar di pesantren semisal Tegalsari, sang murid
bisa membeli buku apa pun yang dia mau.58
Materi yang ada memang masih terbatas, namun lebih kaya dibandingkan
tawaran pesantren yang digambarkan oleh van Sevenhoven, van Hoëvell, atau
bahkan Brumund. Ketiganya bekerja di bawah pemerintah dan hanya sedikit
berminat terhadap pesantren isebab para kiai tua jelas memperlihatkan
kesediaan bekerja sama dengan negara.
Sebaliknya, sangat patut diperhatikan bahwa para guru yang mengajarkan
teks-teks yang didaftar oleh Soerianataningrat tidak hanya terhubung dengan
jejaring kecendekiawanan Mekah. Generasi yang lebih muda berafiliasi
dengan Landraad yang baru dibentuk, sangat mungkin berkat patronase
orang-orang itu juga. Misalnya, di puncak daftar ulama yang diakui di
Distrik Lebak terdapat Kiai Samaun dari Muntare, yang digambarkan pernah
belajar di Batavia di bawah bimbingan “Habib Syekh” (Sayyid ‘Utsman?).
164 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Dia mengajar menggunakan “bahasa Serang” seperti tokoh lain di antara para
mantan gurunya, Kiai Lopang. Daftar ini berlanjut menyebut nama para
pemegang jabatan, baik dalam dewan-dewan yang ditunjuk Belanda maupun
sebagai penghulu, yang merupakan murid-murid langsung Kiai Samaun, Kiai
Lopang, atau keduanya, dengan perkecualian Kiai Haji Seram dari Karawangi
yang belajar di Tegalsari dan Kiai Haji Hasan yang tinggal di Citandun.
Informasi demikian mengonfirmasi Snouck bahwa kajian
teks-teks Islam tidak mesti menciptakan sekelompok orang yang bermusuhan
terhadap negara kolonial. Beberapa guru mungkin saja menanamkan
kecenderungan antikolonial di pesantren-pesantren yang terkait dengan
kenangan akan Diponegoro, namun yang lain berharap jabatan semiresmi
di dalam, atau setidaknya berdekatan dengan, birokrasi kolonial. Patronase
semacam itu pastinya juga memainkan peranan dalam penunjukan orang-
orang yang dikenal Snouck, seperti Hasan Mustafa dari Garut (bisa jadi
orang yang sama dengan cendekiawan berbasis Citandun yang disebut
Soerianataningrat) dan Arsyad b. ‘Alwan dari Serang, seorang teman dari
Hijaz yang menjadi korban kekacauan Cilegon pada 1888.59
Pendidikan dasar dan patronase pesantren membuka jalan menuju
eselon-eselon rendah dalam administrasi Belanda, namun , seperti yang
diketahui Snouck, rute perjalanan kecendekiawanan selanjutnya menjauh
dari Batavia menuju pesisir utara, tempat para murid ditawari asupan yang
lebih kaya dan lebih beragam berupa karya-karya cetakan Singapura. Dalam
laporan berbahasa Melayu yang dikirimkan dari Kendal pada Maret 1886,
seorang pejabat pribumi yang telah mengumpulkan salinan Sittin, Safina, dan
Asmarakandi, mengemukakan terdapat empat jenis buku yang digunakan di
pesantren, masing-masing setebal kira-kira 300 halaman. Keempat buku itu
yaitu : (a) karya-karya tafsir, untuk “memahami bahasa Arab tinggi dalam
koorän”; (b) karya-karya tata bahasa, untuk “memahami makna kisah-kisah
berbahasa Arab yang digunakan orang-orang yang ditulis dalam koorän”; (c)
karya-karya fiqh, untuk “memahami dan menghafalkan tindakan-tindakan
hati yang baik”; dan mungkin yang paling penting (d) buku-buku tasawwuf:
untuk mengingat perbuatan-perbuatan para nabi yang disetujui Tuhan, atau
orang-orang yang tidak pernah melakukan dosa, atau untuk melindungi Islam
dari hal-hal terlarang, seperti berdusta, menyakiti orang lain, mengambil hak
orang lain atau mencuri, atau menggunakan mantra sihir terhadap orang hidup.60
Snouck ingin melampaui gambaran-gambaran yang luas berbasis mata
pelajaran seperti itu, dan jelas bahwa dia mampu memperoleh informasi lebih
terperinci dari para pejabat lain. Catatan-catatannya mengenai Karesidenan
Demak, misalnya, merekam luasnya penggunaan Safina, Sittin, dan Fath
al-qarib (Kemenangan Yang Mahadekat) karya Ibn Qasim al-Ghazzi (w.
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 165
1512), serta teks-teks tingkat lebih lanjut karya al-Ghazali dan Sullam al-
tawfiq (Tangga Pertolongan Tuhan) karya ‘Abdallah Ba ‘Alawi (w. 1855). Jika
kebanyakan guru mendapatkan pendidikan di dalam karesidenan, para kiai
terkemuka ke Jepara, Madiun, Surabaya, dan Mekah. Koneksi semacam itu
sangat penting dalam mengomunikasikan karya-karya kecendekiawanan
terkini, seperti teks yang disusun penerus Dahlan, Ba Busayl, yang digunakan
oleh seorang pengikut Sulayman Afandi di Desa Kauman Kadilangu.
Sementara itu, di Rejoso, para guru seperti Haji Yusuf dari Jelak mengajar
dengan menggunakan edisi cetak Fath al-mu’in (Kemenangan Sang Pemberi
Pertolongan) karya Zayn al-Din al-Malibari (aktif 1567) dan Minhaj al-qawim
(Jalan Lurus) karya Ibn Hajar al-Haytami.61
Karya-karya serupa bisa ditemukan di kota-kota yang lebih besar dan
lembaga pesantren menunjukkan sifat generasional yang kuat serta semakin
institusional. Banyak kiai menduduki tempat yang sebelumnya diduduki
ayah dan kakek mereka, yang sebagian telah menyusun karya mereka sendiri.
Catatan Snouck menegaskan bahwa komentar-komentar lokal digantikan
menu internasional yang dibakukan. Namun, bukan berarti yang lokal
ditaklukkan oleh yang global. Banyak kiai mengklaim hubungan dengan
Sulayman Afandi di Mekah, namun Khalidiyyah sama sekali tidaklah menang.
Para guru Syattari seperti Muhammad ‘Umar di Watuagun, Salatiga, masih
harus ditemukan seperti halnya berbagai penafsiran lain atas ajaran tarekat,
mengantarkan pada berbagai catatan aneh Snouck yang bersebelahan dengan
sebutan-sebutan seperti “Sadririah” atau “Djawahir”.62
Snouck punya beberapa misteri untuk dipecahkan. Sebelum ke Hindia,
dia menyiapkan diri dengan mencari-cari berbagai penafsiran yang keliru
mengenai tarekat dalam jurnal-jurnal yang memenuhi mejanya. Pada sebuah
kasus, menanggapi permintaan yang penuh hormat dari misionaris atas
informasi mengenai fanatisme “sekte satarijjah”, Snouck menegaskan bahwa
dia belum pernah mendengar tentang orang yang dalam dirinya sendiri yaitu
Syattari (dengan melupakan Muhammad ‘Umar dari Salatiga). Sebuah tarekat,
dia menjelaskan, umumnya hanyalah satu tahapan dalam serangkaian praktik
yang dipelajari kalangan elite seiring berlalunya waktu. Dia mengingat pernah
bertemu seorang cucu “yang sangat terpelajar” seorang pensiunan bupati dari
Semarang, yang kerap membaca mantra-mantra tertentu. Mantra-mantra itu
dinyatakan Snouck “sama sekali tidak penting”.63
CILEGON
Momok darwis gila mengemuka akibat pembantaian Cilegon pada Juli 1888.
Namun, dengan segala perencanaan yang dikerahkan, peristiwa ini tak lebih
dari bencana kecil bagi Belanda isebab para pemberontak tidak memiliki daya
166 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
tarik kebangsawanan Diponegoro ataupun semangat ikonoklastik, semangat
perlawanan Tuanku Nan Rinceh. Lebih realistis untuk memandang Cilegon
sebagai perlawanan lokal ketimbang jihad populer. Wajar jika banyak surat
kabar Hindia terobsesi dengan agen-agen tarekatnya dan banyak telunjuk pun
ditudingkan ke Mekah. Namun, bukan berarti bahwa semua pejabat, meski
gelisah mengenai wabah aktivisme Islam, berpandangan sama mengenai
mekanisme yang melandasi kerusuhan sosial di Jawa.
Residen Surakarta melihat para mantan pejabat dan bangsawan yang
tidak puas memanipulasi kalangan santri sebagaimana para guru yang fanatik
memanipulasi kaum priayi. Meski demikian, sang residen tetap menuding
koneksi Mekah yang diwujudkan oleh banyak haji, yang membawa para
pengikut mereka menuju kegilaan melalui dzikr berlebihan. Dzikr pun
diyakini mengantar pada “keadaan mabuk”, tempat seseorang secara
membabi buta mengikuti sang pemimpin, bahkan hingga titik “secara suka
rela membunuh dirinya sendiri”. Yang lebih mengkhawatirkan sang Residen,
rel kereta mempermudah kunjungan ke pesantren-pesantren tempat teknik
semacam itu diajarkan “hampir sebagai hal lumrah”:
Tidak ada seorang pemuda pun yang ingin menampilkan dirinya memiliki
sedikit pendidikan atau pengetahuan tentang dunia hendak menyangkal bahwa
dia pernah menghabiskan waktu, betapa pun singkatnya, di sebuah pêsantrèn.
Pêsantrèn sekarang didatangi para pemuda dari kelas paling miskin, yang hidup
seperti para biarawan-pengemis dengan biaya dari orang-orang yang lebih kaya.
Di pêsantrèn-pêsantrèn ini, pada usia saat orang paling mudah membentuk
ikatan persahabatan abadi, berbagai hubungan terjalin di antara orang-orang
dari berbagai kelompok sosial paling berbeda, dan dari seluruh bagian Jawa.
Dengan begitu, penyebaran gagasan tertentu menjadi sangat mudah. Di sanalah
ada bahaya besar, yang pada saat-saat tertentu bisa tumbuh dari kesengsaraan
dan kemiskinan yang melanda saat massa merindukan keadaan yang lebih
baik. Oleh isebab itu, semakin mudah menerima ramalan orang-orang yang
mereka anggap pemimpin agama ... tak peduli betapa tak masuk akalnya
ramalan-ramalan ini .64
Sosok yang terbukti benar sesudah peristiwa Cilegon yaitu Holle.
Dia mampu memberikan laporan kepada Gubernur Jenderal tentang ‘Abd
al-Karim dari Banten yang kerap dicurigai, yang konon yaitu guru utama
bagi “hampir semua” penghulu distrik dan subdistrik di Afdeling Serang dan
seseorang yang bisa mendatangkan banyak kerusakan dari Mekah.65 sesudah
berkomunikasi dengan Snouck, Holle bisa menyampaikan pendapatnya:
Abdulkarim Banten sangat saya kenal, penerus Chatib Sambas dan sjech tareqat
Jawa yang paling dihormati di Mekah (sesudah Abdel-Sjakoer dari Surabaya). Dia
tinggal di Mekah lebih dari empat puluh tahun. Saya punya bermacam anekdot
mengenai dirinya dan saya kerap mengunjunginya. Dia sendiri memberi tahu
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 167
saya betapa, selama tinggal di Bantam, terjadi sebuah gejolak dan murid-murid
bertanya kepadanya apakah belum saatnya mengamalkan apa yang diajarkan.
Namun, isebab tidak ada ilham, dia memberikan tanggapan negatif. Saya tidak
percaya dia memainkan peranan utama dalam sebuah pertempuran meski
menikmati kekalahan kâpir hôlanda. Namun, pengaruhnya besar, bahkan di
kalangan moderat. Pengaruh itu semakin besar isebab dia memimpin pelajaran-
pelajaran yang benar-benar sangat suci, bahkan perwakilan-perwakilan
pengajaran resmi menghormatinya; misalnya, Sjech Nawawie dari Tanara dan
otoritas Arab sekalipun yang tidak memandangnya sebagai orang terpelajar.
Berkat hubungan kami, saya pun mulai agak menghormatinya. Namun, dari
sudut pandang politik, saya menganggap aktivitasnya sebagai berbahaya. Jika
ada kesempatan, saya kira pemerintah tidak akan rugi jika ditemukan orang
yang tepat untuk mengawasi langkah Abdel Karim di Mekah. Saya berkeyakinan
bahwa intoleransi keagamaan dinyalakan dari Mekah.66
Meski dengan niat berbeda, Snouck menggemakan pandangan banyak
pendahulunya. Dia menyatakan bahwa Mekah, dengan “koloni Jâwah yang
berkembang” benar-benar merupakan “jantung kehidupan agama Kepulauan
Hindia Timur”, yang darinya “banyak pembuluh nadi” memompakan “darah
segar dengan kecepatan yang kian meningkat ke seluruh tubuh penduduk
Muslim Indonesia”. Perbedaannya dengan Keijzer dan Grashuis yaitu bahwa
Snouck pernah berkunjung ke jantung itu sehingga jauh lebih tahu betapa di
sana “helai-helai benang semua warga mistis Jâwah” berkelindan:
Seperti halnya tak ada bendungan yang bisa didirikan untuk menghentikan
aliran haji, begitu pula tak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah setiap
aliran ke hilir dan ke hulu agar tidak membawa benih-benih Arabia yang
bertumbuh di sana, kembali ke Hindia Timur sebagai tanaman budi daya, dan
melipatgandakan dirinya lagi. Oleh isebab itu, penting kiranya pemerintah
mengetahui apa yang tengah terjadi di Mekah, unsur-unsur apa yang diimpor
dari sana setiap tahun, dan bagaimana menjadikannya sebagai dukungan bagi
pemerintah atau setidaknya dijadikan tidak berbahaya.67
Pernah dinyatakan secara tepat bahwa seluruh bab terakhir Mekka, yang
diselesaikan pada akhir 1888, merupakan argumen meyakinkan Snouck untuk
pengangkatannya di Hindia.68 Tentu saja jabatan bergaji yang diincarnya di
Eropa masih belum terbuka untuknya, dan bahkan jabatan yang setengah
diinginkannya di Delft sudah diberikan kepada van den Berg pada Mei 1887.69
Maka, menyusul sebuah permintaan dari Menteri Koloni pada 26 September
1888, Snouck diangkat untuk memberikan nasihat terkait pelatihan dan
pengiriman para pejabat Hindia ke Jeddah, tempat Aboe Bakar dipekerjakan
dengan kapasitas yang berkelanjutan.70 Jadi, itulah yang juga merupakan
pertanda bahwa Snouck akhirnya ditugaskan ke Hindia untuk menyelidiki
Islam di sana. Dia berlayar dari Brindisi pada Hari April Mop, 1889.
168 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Gambar 6. Jawa pada Masa Kolonial akhir.
Yang pertama kita dengar tentang Snouck muda yaitu nada ucapannya yang
tajam. Kata-katanya yaitu intervensi seorang cendekiawan skeptis yang sangat
berhasrat memetakan berbagai cara agama berkembang di koloni-koloni yang
hubungannya dengan metropolis tidak akan terputus dalam masa hidupnya.
Terdidik dalam bidang kajian agama, Snouck memiliki ketidaksukaan
yang kuat terhadap kecendekiawanan legalistik yang memprioritaskan teks
atas konteks. Sebaliknya, dia mendesak agar berbagai pengamatan para
pendahulunya dari kalangan akademisi maupun pendeta dipadukan dengan
orientalisme yang dikembangkan secara lebih profesional sehingga akan
secara lebih efektif melayani sebuah imperium yang berhadapan dengan Islam
sebagai ancaman utamanya. Namun, dia masih harus membuktikan dirinya
di lapangan. Itu dilakukannya dengan menjadi saksi atas Mekah dan tarekat-
tarekat sebagai sumber potensial bahaya bagi kekayaan kolonial bangsanya.
Dia mempertaruhkan klaim ketokohan dalam bidang pilihannya. Dengan
publikasi Mekka dan guncangan Cilegon, masa depan personal Snouck sama
sekali tidak terjamin.
Sudah dinyatakan bahwa dalam proses penciptaan kategori Agama-Agama Dunia, dan penyertaan Buddhisme dalam kerangka ini , arsip tekstual
Eropa mulai menggantikan representasi diri pribumi, meninggalkan lapangan
untuk para misionaris.1 Namun, meski rangkaian peristiwa yang sama bisa
diikuti di bidang Islamologi Hindia Belanda, ini hanya berlaku hingga 1889
isebab pada tahun itulah pengkritik paling energik para Orientalis dan pendeta
mendarat di Jawa, siap untuk mengulangi perannya sebagai ‘Abd al-Ghaffar.
ANTARA MANUSKRIP, TEKS CETAK, DAN GURU SUFI
Berada di sana selama beberapa hari, menjadi jelas bagi saya apakah akan
dibiarkan dengan damai sebagai seorang muslim Eropa yang mengenakan fez,
atau akan [diusik] tanpa belas kasih isebab sebuah topi.2 (Snouck kepada van
der Chijs, Desember 1888)
saat Snouck tiba di Batavia pada 11 Mei 1889, dia pastinya memegang
dua topi. Di satu sisi, kunjungannya ke Mekah menandainya sebagai seorang
Orientalis yang sangat berhasil bagi rekan-rekan sejawatnya. Di sisi lain, bagi
rakyatnya pada masa depan dia yaitu seorang muslim yang berpengetahuan
mendalam. Beberapa darinya bahkan bersedia menyebut Snouck sebagai
haji atau mufti (padahal dia bukan keduanya). Hal ini cukup menjelaskan
antusiasme sebagaimana diungkapkan dalam Bintang Barat pada akhir Mei
saat seorang koresponden menggambarkan betapa kedatangan seorang
“Mr. Dr. C. Snouck Hurgronje alias Moefti Hadji Abdoel Gafar, seorang yang
sangat terpelajar dalam bahasa Arab dan agama” telah menimbulkan sedikit
kehebohan, dengan beberapa orang bertanya-tanya apakah dia juga akan
pergi ke Solo di Jawa Tengah, untuk memeriksa praktik Islam di kalangan
orang-orang Tionghoa.3
D E L A P A N
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN
KOLABORATIF
1 8 8 9 – 1 8 9 2
170 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Snouck memang pergi ke Solo sebagai bagian tur studi ulang-alik antara
Batavia, Priangan, dan Ponorogo sejak pertengahan Juli 1889 hingga awal
Februari 1891. Pada akhir tahap ini dalam kariernya dia akan menolak peluang
untuk kembali menduduki kursi guru besar di Leiden dan memulai negosiasi
untuk jabatan seumur hidup sebagai “Penasihat untuk Urusan Pribumi
dan Arab”. Ini mestinya tidak mengejutkan. Snouck sudah lama menyukai
pekerjaan yang memberinya kesempatan untuk menyampaikan “pengetahuan
berguna” apa pun yang bisa dihasilkan untuk negara. Sebagaimana yang dia
beri tahukan kepada teman teolognya Herman Bavinck (1854–1921) pada Juli
1890, “pengetahuan tentang situasi kawasan Mohammedan di sini, tentang
semangat dan pengaruh pendidikan Mohammedan, tentang cakupan apa
yang disebut warga mistis, dsb. dsb. sama pentingnya bagi pemerintah
dan legislasi, seperti roti yang kita makan sehari-hari”.4
Meskipun tidak secara khusus tertarik kepada Tionghoa muslim
sebagai kategori observasi tersendiri, Snouck sangat metodis dalam caranya
memulai melihat bagaimana Islam dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari. Sebagian sekadar merupakan kebiasaannya dalam bekerja, sebagian yang
lain disebabkan sifat tugasnya, yakni untuk menilai berbagai cara pengaturan
Islam sehingga negara bisa meresmikan sebuah gereja “Mohammedan” dan
mengoordinasikan pengumpulan dan alokasi dananya.
Sangat berbeda dari usahanya di Mekah, yang jauh dari kenyamanan
dan perlindungan kekuasaan Eropa, Snouck mampu memenuhi sekitar dua
lusin buku catatan dengan hasil pengamatan isebab bekerja dalam lingkungan
yang sering kali sangat mewah.5 Selain ini, dia mampu mendapatkan berbagai
manuskrip dan menggunakan jasa para penyalin, berbeda dari para pendahulu
seperti Grashuis, yang kadang harus menunggu bertahun-tahun untuk
mendapatkan karya-karya tertentu.6 Seperti yang bisa diduga, sebagian besar
catatan Snouck menempatkan berbagai ulama yang turut serta dalam dewan-
dewan keagamaan yang baru, memetakan bagaimana mereka terhubung
dengan hierarki kolonial, terhubung satu sama lain melalui perkawinan, dan
terhubung dengan jejaring pengajaran yang silang-menyilang di Jawa dan
dunia muslim yang lebih luas. Tersebar di halaman-halaman buku catatannya,
cuplikan teks-teks lain: berbagai laporan para informan yang terdidik, fatwa
yang tertulis pada taplak, dan salinan berbagai legenda pra-Islam pada pelat
tembaga.
Untuk tujuan kita, pengamatan dikonsentrasikan pada jejaring
pengetahuan dan khususnya tarekat. Ini yaitu instruksi utama Snouck.
Empat minggu sesudah kedatangannya, Snouck mengirimkan laporan kepada
Gubernur Jenderal. Dia kembali menyatakan bahwa para syekh “ordo mistis
kelas bawah”, yang ditentang para guru yang dihormati seperti Junayd,
Mujtaba Batavia, dan Sayyid ‘Utsman, memiliki potensi menjadi lawan
PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF — 171
terbesar pemerintah kolonial. Lebih jauh, Snouck mengejek pernyataan bahwa
Nawawi “yang ortodoks” akan menyetujui “pertunjukan” seperti yang terjadi
di Cilegon. Nawawi mengutuk jenis “mistikus kasar” semacam itu melalui
sebuah fatwa, yang menurut seorang pejabat junior di Serang membuatnya
mendapatkan ancaman pembunuhan.7
Demikianlah, Snouck berangkat mencari para musuh yang kasar bagi
ortodoksi Islam ataupun keamanan kolonial. Ini perjalanan yang tidak
terburu-buru. Di Sukabumi, pada pertengahan Juli, dia tinggal bersama
menantu mantan penghulu. Orang ini menyertai Snouck berkeliling ke
sekolah-sekolah setempat dan mendapati para guru menggunakan Sullam
al-tawfiq sebagaimana dikomentari oleh Nawawi, serta sebuah cetakan baru
buku pengantar al-Sanusi. Snouck mencatat para guru tidak bisa melakukan
aktivitas tanpa izin dari ulama yang diawasi Belanda dan setiap buku baru
harus diperiksa sebelum digunakan. Selain itu, Snouck mengamati bahwa
semua teks berbahasa Arab, namun penjelasan disampaikan dalam bahasa
Sunda. Di sini pula dia mencatatkan sesuatu mengenai pencariannya terhadap
sebuah buku misterius, Martabat tujuh, yang disebarkan oleh seorang guru
Batavia bernama Wirta atau Merta. Tak seorang pun yang dia temui di
Priangan pernah mendengar tentang buku ini , atau pernah bertemu
pengarangnya, yang konon muncul di Ibu Kota tepat sesudah para pelayan
rumah tangga menerima gaji.8
Catatan-catatan ini berguna bagi Snouck untuk berbagai pernyataannya
mengenai Islam di Hindia. Catatan yang sama juga berguna bagi pihak-pihak
lain isebab merupakan produk sebuah keterlibatan dengan para informan
yang siap mendapatkan keuntungan dengan si orang Belanda muda. Yang
paling penting di antara mereka yaitu Hasan Mustafa, yang diklaim pernah
Snouck jumpai di Kota Suci. Hasan Mustafa muncul di halaman dua. Snouck,
yang pergi ke Garut bersama Holle, mencatat bahwa Hasan Mustafa yaitu
murid Muhammad Garut (disusul Nawawi Banten, Muhammad Hasab Allah,
Mustafa ‘Afifi, dan ‘Abdallah al-Zawawi) di Mekah. Hasan Mustafa kembali
ke rumah saat ayahnya tidak mampu lagi membiayainya. isebab sudah
menjalin hubungan dengan Penghulu Kepala, dia diberi sebuah sekolah dan
tempat tinggal dekat masjid kota yang posisinya tidak pas.9
Catatan sepintas lalu semacam itu mengarahkan pada kenyataan bahwa
mereka tidak pernah bertemu sebelum titik ini. Korespondensi Hasan Mustafa
sulit dipahami pada titik ini, dan Snouck sendiri tidak pernah memberikan
perincian tentang pertemuan mereka di Mekah.10 Walaupun perjumpaan
mereka di Mekah hanya sekilas, tak diragukan lagi mereka ditakdirkan untuk
bertemu isebab Hasan Mustafa yaitu anak didik Holle serta ‘Abdallah al-
Zawawi. Masa depan mereka di Hindia saling berkelindan isebab Hasan
Mustafa menjadi informan Snouck, dengan bayaran f50 per bulan. Sejak
172 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
saat inilah metode kerja Snouck menjadi jelas bagi para pembaca catatan-
catatannya. Dia mendokumentasikan kunjungan-kunjungannya ke berbagai
masjid dan pondok setempat, mencatatkan judul-judul yang diajarkan, nama
para guru, dan tarekat yang diklaim mereka wakili.
Pada beberapa kasus, Snouck bahkan tidak perlu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hasan Mustafa, misalnya, sudah
menyusun sebuah daftar karya-karya berbahasa Arab yang digunakan di
Priangan untuk pemerintah pada November 1889, dengan memilah antara
buku-buku yang dianggap “lama” (barangkali dalam arti “klasik”) dan kitab
yang lebih baru semisal karya Nawawi dan risalahnya yang merupakan versi
syair dari kitab terkenal Waraqat (Lembaran-Lembaran) karya al-Juwayni (w.
1085). Mengingatkan pada kata-kata pejabat yang telah melaporkan buku-
buku yang digunakan di Kendal pada 1886, Hasan Mustafa menggambarkan
karya-karya mengenai Sufisme sebagai ditujukan untuk “melestarikan berbagai
tindakan baik tubuh dan hati” pembaca.11
Lama dan baru yaitu tema yang dominan dalam karya Snouck. Dalam
berbagai wawancara dia kerap memulainya dengan pertanyaan tentang
pengaturan waktu dan ritual-ritual penting, lalu berlanjut pada pertanyaan
mengenai sifat pengajaran di pesantren-pesantren sekitar, dan akhirnya—
namun tidak selalu—tentang tarekat yang diajarkan. Juga jelas bahwa,
sepanjang proses ini, para syekh dengan senang hati memberikan berbagai
materi berkat hubungan Snouck dengan komunitas Mekah dan keimanan
yang masih ditampakkannya. Banyak di antara materi ini yaitu teks-teks
Syattari. Kesediaan para syekh memberikan materi-materi itu merefleksikan
menurunnya popularitas tarekat Syattari akibat invasi Naqsyabandi. Meski
tampaknya hanya ada sedikit keengganan untuk menyingkirkan manuskrip-
manuskrip Syattari di beberapa kota, para penganut Syattari tetap kukuh di
banyak bagian Jawa.
Setidaknya, Snouck masih bisa menemukan para guru yang menyandang
nama ini , termasuk Imam Prabu dan Adi Kusuma (Raden Muhammad
Nur Allah Habib al-Din, w. 1903). Namun, meski kedua guru ini, yang
berbasis di Cirebon, mengklaim nama Syattari, Imam Prabu menekankan
bahwa hanya sedikit orang-orang sejenis mereka yang benar-benar melangkah
lebih jauh daripada menjelaskan dzikr.12 Adi Kusuma, yang mengklaim
keturunan Sunan Gunung Jati, dan lebih menyukai pakaian pejabat Jawa
ketimbang pakaian kiai, tampaknya hanya menawarkan sedikit sekali kepada
pengikutnya. Meski tidak pernah mempelajari Al-Quran, dia membimbing
banyak murid melalui apa yang disebutnya ajaran Syattari; meskipun bukan
dalam dzikr itu sendiri. Dia memiliki salinan Tanbih al-mashi (Arahan bagi
yang Cakap) karya al-Sinkili, namun silsilahnya tidak memiliki kesam