Tampilkan postingan dengan label ayub 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 10. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 10


 

olehnya. Kegelapan datang menghampiri kita. sebab  

itu, marilah kita berjalan dan bekerja selagi masih ada 

terang bersama kita. Kubur itu negeri kegelapan, jadi 

syukurlah kita dibawa ke sana dengan mata tertutup, 

supaya semuanya sama-sama gelap. Kubur yaitu  ne-

geri kegelapan bagi manusia. Teman-teman kita yang 

sudah pergi ke sana kita anggap sudah berpindah ke 

dalam kegelapan (Mzm. 88:19). Namun, bukan demi-

kian hal ini kelihatan bagi Allah, bahwa debu tubuh 

orang kudus, meskipun terserak, meskipun bercampur 

dengan debu lain, tidak akan ada yang hilang, sebab 

mata Allah mengawasi setiap butirannya dan tubuh itu 

pasti akan dibangkitkan kelak di hari yang agung itu. 

 

 

  

PASAL 1 1  

uka Ayub yang malang masih mengeluarkan darah, borok luka-

nya masih bengkak dan tidak reda, namun  tak seorang pun dari 

teman-temannya yang membawakan minyak atau balsam kepadanya. 

Zofar, orang ketiga, mencurahkan ke atas luka-lukanya cuka seba-

nyak dua orang temannya terdahulu.  

I. Ia melontarkan suatu tuduhan yang sangat keras kepada Ayub, 

bahwa Ayub sombong dan salah dalam membenarkan diri (ay. 

1-4).  

II.  Ia berseru kiranya Allah menginsafkan Ayub, dan memohon 

agar Allah berfirman kepadanya (ay. 5) sehingga Ayub dijadi-

kannya peka,  

1. Akan hikmat-Nya yang tak dapat salah dan keadilan-Nya 

yang tak dapat diganggu gugat (ay. 6).  

2. Akan kesempurnaan-Nya yang tak terselami (ay. 7-9).  

3. Akan kedaulatan-Nya yang tak tertandingi dan kuasa-Nya 

yang tak terbendung (ay. 10).  

4. Akan pengawasan-Nya terhadap anak-anak manusia (ay. 

11-12).  

III. Ia meyakinkan Ayub bahwa, bila Ayub bertobat dan memper-

barui diri (ay. 13-14), maka Allah akan memulihkan dia 

kepada kesejahteraan dan keamanannya yang semula (ay. 

15-19). namun  apabila dia jahat maka sia-sia untuk mengha-

rapkannya (ay. 20). 

Nasihat Zofar 

(11:1-6) 

1 Maka berbicaralah Zofar, orang Naama: 2 “Apakah orang yang banyak 

bicara tidak harus dijawab? Apakah orang yang banyak mulut harus dibenar-

kan? 3 Apakah orang harus diam terhadap bualmu? Dan kalau engkau meng-

olok-olok, apakah tidak ada yang mempermalukan engkau? 4 Katamu: Peng-

ajaranku murni, dan aku bersih di mata-Mu. 5 namun , mudah-mudahan Allah 

sendiri berfirman, dan membuka mulut-Nya terhadap engkau, 6 dan membe-

ritakan kepadamu rahasia hikmat, sebab  itu ajaib bagi pengertian. Maka 

engkau akan mengetahui, bahwa Allah tidak memperhitungkan bagimu seba-

gian dari pada kesalahanmu. 

Sungguh menyedihkan melihat kepanasan hati yang tidak pantas ter-

kadang bahkan diperlihatkan oleh orang bijak dan baik dalam panas-

nya perdebatan, seperti Zofar di sini misalkan. Elifas mulai dengan 

sebuah pengantar yang sangat tenang (4:2). Bildad agak sedikit kasar 

terhadap Ayub (8:2). namun  Zofar menghantam Ayub tanpa ampun, 

dan berbicara dengan bahasa yang sangat buruk: Apakah orang yang 

banyak bicara tidak harus dijawab? Apakah orang yang banyak mulut 

harus dibenarkan? Inikah caranya untuk menghibur Ayub? Tidak, 

juga tidak untuk meyakinkan dia. Apakah perlakuan seperti ini pan-

tas diperlihatkan orang yang tampil sebagai pembela bagi Allah dan 

keadilan-Nya? Tantaene animis coelestibus irae? – Dapatkah perasaan 

marah semacam itu tinggal di dalam hati sorgawi? Orang-orang yang 

terlibat dalam perdebatan akan sukar menahan diri terhadap tindak-

an ini. Semua hikmat, kehati-hatian, dan tekad hati yang mereka mi-

liki tidak akan cukup untuk dapat mencegah mereka meledak dalam 

kegusaran menghadapi ketidakpantasan demikian, seperti yang kita 

temukan di dalam kesalahan Zofar di sini. 

I. Zofar menggambarkan Ayub berbeda dari siapa dia sesungguhnya 

(ay. 2-3). Ia ingin membuat Ayub berdiam diri saja dan bukan 

siapa-siapa dalam pembicaraannya ini. Ia senang mendengarkan 

dirinya sendiri berbicara. Ia menyampaikan kebohongan kepada 

Ayub dan menyebutnya seorang penipu. Dan semuanya ini ia laku-

kan supaya tampak sebagai sebuah tindakan keadilan untuk 

menghajar Ayub. Orang-orang yang bermaksud berselisih dengan 

saudara-saudara mereka, dan untuk menjatuhkan mereka, biasa-

nya menuduh yang bukan-bukan tentang diri dan perbuatan me-

reka, benar atau salah, untuk membuat mereka najis. Kita telah 

membaca dan mempertimbangkan pernyataan Ayub di dalam pa-

sal-pasal sebelumnya, dan mendapati semuanya bermaksud baik 

dan bertujuan, bahwa prinsip-prinsipnya benar, alasannya kuat, 

banyak dari ungkapannya berbobot dan sangat bermakna, dan 

walaupun di dalamnya ada rasa jengkel dan gusar, namun dapat 

dimengerti dan diabaikan saja dengan sedikit kemurahan hati. 

Namun Zofar di sini dengan menyakitkan menggambarkan Ayub,  

1. Sebagai seorang yang tidak pernah mempertimbangkan apa 

yang dikatakannya, sehingga asal bicara saja, hanya seperti 

tong kosong berbunyi nyaring, untuk membela diri dan mene-

pis lawan-lawan yang mencela: Apakah orang yang banyak 

bicara tidak harus dijawab? Sesungguhnya, kadang-kadang bu-

kanlah perkara besar apakah dijawab atau tidak. Diam mung-

kin merupakan cara terbaik untuk menegaskan dan mencela 

sikap kurang ajar. Jangan menjawab orang bebal menurut kebo-

dohannya. namun , jika harus dijawab, kiranya akal budi dan 

anugerah yang menjawabnya, bukan kesombongan dan kegu-

saran. Apakah orang yang banyak mulut, (yang banyak bi-

cara, vox et praeterea nihil – yang sekadar bunyi) harus dibe-

narkan? Haruskah dia dibenarkan dengan bicaranya yang cere-

wet itu, yaitu dia benar jika tidak ditegur? Tidak, sebab di da-

lam banyak bicara pasti ada pelanggaran. Haruskah dia dibe-

narkan olehnya? Apakah banyaknya kata-kata dapat menga-

bulkan permohonannya? Apakah dia dapat melewati harinya 

dengan banyak bicara? Tidak, dia tidak akan diterima oleh 

Allah, atau oleh orang bijaksana mana pun, sebab  banyaknya 

kata-kata (Mat. 6:7).  

2. Sebagai orang yang tidak memakai hati nurani dalam berkata-

kata, seorang pembohong, yang berharap dengan kebohongan-

nya akan dapat membungkam lawannya, Apakah orang harus 

diam terhadap bualmu? Juga sebagai orang pencemooh, yang 

hanya suka mencemooh siapa saja, yang hanya suka memfit-

nah, dan tidak malu memperdayai siapa saja yang berbicara 

dengannya: Dan kalau engkau mengolok-olok, apakah tidak ada 

yang mempermalukan engkau? Bukankah ini waktunya untuk 

berbicara, untuk membendung gelombang kekerasan seperti 

ini? Ayub tidak marah, melainkan mengucapkan kata-kata ke-

benaran dan ketenangan, namun tetap saja disalahpahami. 

Elifas dan Bildad telah menjawab Ayub dan mengatakan sebi-

sanya untuk membuatnya malu. Oleh sebab  itu, sama sekali 

tidak ada kemurahan hati sedikipun yang diperlihatkan Zofar 

dengan menghujam seseorang yang sudah dilecehkan sedemi-

kian rupa dengan perkataan yang sangat kejam seperti ini. Ini-

lah tiga melawan satu. 

II. Zofar menuduh Ayub dengan kata-kata yang tidak dikatakan 

Ayub (ay. 4): Katamu: Pengajaranku murni. Dan kalau benar demi-

kian, lalu ada apa? Memang benar bahwa Ayub sangat sehat da-

lam beriman, dan murni dalam penilaiannya serta berbicara lebih 

baik tentang Allah ketimbang teman-temannya. Jika Ayub meng-

ungkapkan diri kurang hati-hati, tidaklah lalu berarti bahwa 

pengajaran Zofar benar. Dia menuduh Ayub mengakui diri, Aku 

bersih di mata-Mu. Ayub tidak berkata demikian: dia memang ber-

kata, Engkau tahu aku tidak bersalah (10:7), namun  dia juga ber-

kata, Aku telah berdosa, dan tidak pernah mengaku-ngaku diri 

sempurna tanpa noda. Ia memang membela diri bahwa dirinya 

bukanlah seorang yang munafik atau fasik seperti yang mereka 

tuduhkan. Namun tidaklah adil untuk lantas menyimpulkan bah-

wa dia tidak mengakui dirinya seorang berdosa. Kita seharusnya 

berpikiran yang baik terhadap kata-kata dan tindakan dari sau-

dara-saudara kita, supaya mereka bisa menanggungnya. namun  

para pembantah memang selalu bermaksud menjelek-jelekkan 

orang lain.  

III. Zofar memohon kepada Allah dan berharap Ia tampil melawan 

Ayub. Begitu sangat yakinnya dia bahwa Ayub bersalah sehingga 

tidak ada lagi yang akan membela dia selain Allah harus segera 

tampil untuk membungkam dan menghukum dia. Kita umumnya 

begitu bernafsu mengajak Allah dalam pertengkaran kita dan 

yakin bahwa, jika Ia berbicara, Ia berpihak kepada kita dan ber-

bicara bagi kita, seperti Zofar di sini: Mudah-mudahan Allah sen-

diri berbicara!  Sebab Ia pasti akan membuka mulut-Nya terhadap 

engkau. Padahal, saat  Allah benar-benar berbicara, Ia membuka 

mulut-Nya bagi Ayub melawan tiga temannya itu. Kita harus 

membiarkan semua perdebatan ditentukan oleh penilaian Allah, 

yang kita yakini sesuai kebenaran. Orang-orang yang paling maju 

meminta penghakiman dan berprasangka melawan para penen-

tang mereka, tidaklah selalu benar. Zofar putus asa untuk meya-

kinkan Ayub sendiri dan sebab nya ingin Allah yang akan meyakin-

kan dia tentang dua hal yang baik bagi setiap kita untuk dipertim-

bangkan dan diakui dengan suka hati bila kita mengalami pen-

deritaan, yaitu:  

1. Kedalaman putusan hikmat Allah yang tidak terselami. Zofar 

tidak dapat mengaku-ngaku mampu melakukannya, namun  dia 

ingin agar Allah sendiri mau menunjukkan Ayub betapa besar 

rahasia hikmat ilahi supaya dapat menginsafkan dia bah-

wa rahasia itu ajaib bagi pengertian (ay. 6). Perhatikanlah,  

(1) Ada rahasia di dalam hikmat ilahi, arcana imperii – rahasia 

negara. Jalan Allah di lautan. Awan dan kegelapan ada di 

sekeliling Dia. Ia memiliki alasan yang tidak dapat kita 

pahami dan tidak perlu kita selidiki.  

(2) Apa yang kita ketahui tentang Allah tidak sebanding de-

ngan apa yang tidak dapat kita ketahui. Apa yang tersem-

bunyi jauh lebih banyak dari apa yang tampak (Ef. 3:9).  

(3) Dengan tunduk memuja kedalaman dari semua putusan 

hikmat Allah yang dasarnya tidak dapat kita temukan, 

pikiran kita akan menjadi tenang di bawah tangan Allah 

yang sedang menekan kita.  

(4) Allah jauh mengetahui lebih banyak kejahatan kita dari-

pada diri kita sendiri. Demikianlah yang dipahami oleh se-

bagian orang. saat  Allah memberi Daud suatu penglihat-

an dan kepekaan akan dosa, Daud berkata bahwa dengan 

diam-diam Allah memberitahukan hikmat kepadanya (Mzm. 

51:8).  

2. Keadilan penghakiman-Nya tidak dapat dibantah. “Ketahuilah 

bahwa, betapa pun sakitnya hajaran yang engkau alami, Allah 

tidak memperhitungkan bagimu sebagian dari pada kesalahan-

mu, atau (sebagaimana dibaca oleh beberapa orang), “Ia meng-

ampuni sebagian dari kesalahanmu, dan tidak berurusan 

dengan engkau berdasarkan apa yang pantas engkau terima.” 

Perhatikanlah,  

(1) saat  utang kewajiban tidak dilunasi, maka keadilan yang 

akan memaksakan hukuman ke atas utang tersebut.  

(2) Apa pun hukuman yang ditimpakan ke atas kita di dalam 

dunia ini, kita harus mengakui bahwa hal itu masih ku-

rang dari yang pantas kita tanggung oleh kesalahan kita, 

dan sebab nya, ketimbang mengeluh tentang masalah kita, 

kita harus bersyukur bahwa kita dikeluarkan dari neraka 

(Rat. 3:39; Mzm. 103:10). 

Nasihat Zofar  

(11:7-12) 

7 Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas ke-

kuasaan Yang Mahakuasa? 8 Tingginya seperti langit – apa yang dapat kau-

lakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati – apa yang dapat kauketahui? 

9 Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samu-

dera. 10 Apabila Ia lewat, melakukan penangkapan, dan mengadakan peng-

adilan, siapa dapat menghalangi-Nya? 11 sebab  Ia mengenal penipu dan me-

lihat kejahatan tanpa mengamat-amatinya. 12 Jikalau orang dungu dapat 

mengerti, maka anak keledai liar pun dapat lahir sebagai manusia. 

Zofar di sini memperkatakan hal-hal yang sangat baik tentang Allah 

dan kebesaran serta kemuliaan-Nya, mengenai manusia dan kesia-

siaan serta kebodohannya: kedua hal ini jika dibandingkan bersama, 

dan dipertimbangkan dengan sepatutnya, akan berdampak kuat bagi 

kita dalam berserah diri kepada dispensasi Allah Sang Penyelenggara.  

I. Lihatlah di sini siapa Allah itu dan kiranya Dia dipuja.  

1. Ia yaitu  Wujud yang tak terselami, tak terbatas dan Maha-

besar, yang seperti apa persisnya kodrat dan kesempurnaan-

Nya tidak mampu kita pahami dengan pengertian kita yang 

terbatas. sebab  itu, putusan hikmat dan tindakan-Nya tidak 

dapat kita nilai dengan anggapan sehebat apa pun. Kita yang 

begitu sedikit mengenal kodrat ilahi merupakan hakim yang 

tidak punya kemampuan dan kelayakan untuk menilai penye-

lenggaraan ilahi. sebab  itu, saat  kita mencela tindakan dis-

pensasi-Nya, kita membicarakan hal-hal yang tidak kita meng-

erti. Kita tidak dapat menemukan siapa itu Allah. Jadi, betapa 

beraninya kita kemudian mendapati kesalahan-Nya? Zofar di 

sini menunjukkan,  

(1) Bahwa kodrat Allah secara tak terbatas melampaui kemam-

puan pemahaman kita: “Dapatkah engkau memahami hake-

kat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Maha-

kuasa? Apa yang dapat kauketahui?” (ay. 7-8). Engkau, 

makhluk yang malang, lemah dan berpandangan pendek, 

seekor cacing tanah, anak kemarin dulu? Engkau, meski-

pun selalu ingin tahu tentang dia, begitu ingin dan rajin 

untuk menemukan Dia, namun apakah engkau berusaha 

mencari, beranikah engkau menyelidiki Dia dan berhasil? 

Memang kita dapat menemukan Allah (Kis. 17:27), bila kita 

mencari-Nya, namun  kita tidak dapat menemukan-Nya da-

lam hal-hal yang Ia berkenan sembunyikan dari kita. Kita 

mungkin dapat menangkap-Nya namun  kita tidak dapat me-

mahami-Nya. Kita mungkin mengetahui bahwa Dia itu sia-

pa, namun  kita tidak dapat tahu siapa dan apa Dia sebenar-

nya. Mata dapat melihat lautan namun  tidak melihat melam-

pauinya. Kita, dengan penyelidikan yang rendah hati, rajin 

dan percaya, dapat menemukan sesuatu tentang Allah, 

namun  tidak dapat menemukan-Nya dengan sempurna. Kita 

dapat mengenal namun  tidak dapat mengetahui dengan sepe-

nuhnya siapa Allah itu maupun menemukan karya-Nya dari 

awal sampai akhir (Pkh. 3:11). Perhatikanlah, Allah tidak 

dapat terselami. Masa-masa kekekalan-Nya tidak dapat dihi-

tung, maupun ruang-ruang dari kebesaran-Nya tidak dapat 

diukur. Kedalaman hikmat-Nya tidak dapat dipahami, dan 

jangkauan kekuatan-Nya tidak terbatas. Terang kemuliaan-

Nya tidak pernah dapat dijelaskan dan harta kebaikan-Nya 

tidak dapat dihitung. Inilah alasannya mengapa kita harus 

selalu berbicara tentang Allah dengan kerendahan hati dan 

berhati-hati dan jangan pernah memerintah Dia atau ber-

tengkar dengan-Nya. Inilah alasannya mengapa kita harus 

bersyukur untuk apa yang telah dibukakan-Nya bagi kita, 

dan mengapa kita harus merindukan berada di tempat di 

mana kita akan melihat-Nya sebagaimana Dia adanya 

(1Kor. 13:9-10).  

(2) Kodrat dan keberadaan Allah itu secara tak terbatas me-

lampaui batas-batas seluruh ciptaan: Tingginya seperti 

langit (demikianlah dibaca oleh beberapa orang), dalamnya 

melebihi dunia orang mati, jurang yang luar biasa lebar, 

lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas 

dari pada samudera, yang banyak bagiannya tidak dapat 

diungkapkan hingga sekarang, apa lagi pada masa Ayub 

dahulu. Sungguh jauh dari jangkauan kita untuk dapat 

memahami kodrat Allah. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan 

itu (Mzm. 139:6). Kita tidak dapat memahami rancangan 

Allah maupun menemukan alasan dari cara kerja-Nya. Pe-

nilaian-Nya teramat dalam. Rasul Paulus menyatakan be-

sarnya kasih ilahi itu sebagai tidak terukur, seperti Zofar di 

sini mengenai hikmat ilahi, namun ia mendorong kita untuk 

mengenal kasih-Nya itu. Efesus 3:18-19: Aku berdoa, supa-

ya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat 

memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya 

dan dalamnya kasih Kristus. 

2. Allah yaitu  Tuhan yang berdaulat (ay. 10): Apabila Ia lewat 

dan membinasakan melalui kematian atau, apabila Ia mem-

buat suatu perubahan, sebab kematian yaitu  sebuah peru-

bahan. Apabila ia membuat suatu perubahan di dalam bang-

sa-bangsa, di dalam keluarga, di dalam semua urusan kita, 

apabila ia melakukan penangkapan ke dalam penjara, atau ke 

dalam jaring malapetaka (Mzm. 66:11), apabila ia menangkap 

makhluk ciptaan seperti seorang pemburu menangkap mang-

sanya, ia akan mengumpulkannya (demikianlah Uskup Patrick) 

dan siapakah yang dapat memaksanya untuk memulihkan? 

Atau apabila ia mengumpulkan kembali, seperti ilalang untuk 

dibakar, atau Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, dan me-

ngembalikan nafas-Nya pada-Nya (34:14), maka siapakah yang 

dapat mencegah-Nya? Siapakah yang dapat menahan hukuman 

dan menentang eksekusi? Siapakah yang dapat mengendalikan 

kuasa-Nya atau menyalahkan hikmat dan keadilan-Nya? Apa-

bila Ia yang telah menjadikan segala sesuatu dari yang tidak 

ada menganggap cocok untuk mengembalikan semuanya ke-

pada yang tidak ada, atau kepada keadaannya semula yang 

kacau balau, apabila Ia yang pada mulanya telah memisahkan 

antara terang dan gelap, daratan dan lautan, berkehendak me-

ngumpulkan mereka kembali, apabila Ia yang telah menjadi-

kan membuatnya menjadi tidak ada, siapakah yang dapat me-

nolak-Nya, mengubah pikiran-Nya atau menahan tangan-Nya, 

menghalangi atau menghentikan prosesnya? 

3. Allah yaitu  pengamat anak-anak manusia yang ketat dan 

adil (ay. 11): Ia mengenal manusia yang fana. Kita hanya tahu 

sedikit tentang Dia, namun  Ia mengenal kita dengan sempurna: 

Ia melihat kejahatan, bukan untuk menyetujuinya (Hab. 1:13), 

melainkan untuk mencela dan menentangnya.  

(1) Ia mengamati manusia yang fana. Semua orang yaitu  demi-

kian (setiap orang, sebaik apa pun, semuanya yaitu  fana), 

dan mempertimbangkan kefanaan mereka saat  berurusan 

dengan mereka. Ia mengetahui rencana dan pengharapan 

manusia yang fana, dan dapat menghancurkan serta menga-

lahkan semuanya itu, semua pekerjaan dari khayalan bodoh 

mereka. Ia duduk di sorga dan menertawakan mereka. Ia 

mengetahui kesia-siaan manusia (yaitu, dosa-dosa kecil me-

reka, demikian kata beberapa orang), pikiran mereka yang 

sia-sia dan kata-kata mereka yang sia-sia, serta ketidak-

setiaan mereka dalam apa yang baik.  

(2) Ia mengamati orang-orang yang jahat: Ia melihat kejahatan 

yang bertambah-tambah, kendati dilakukan secara rahasia 

dan dengan sedemikian cerdik disamarkan. Semua keja-

hatan orang fasik telanjang dan terbuka di hadapan mata 

Allah yang Maha melihat segalanya: Apakah Ia tidak mem-

pertimbangkannya? Ya, tentu saja Ia akan, dan akan mem-

perhitungkannya, kendati untuk sesaat Ia tampak diam.  

II. Lihatlah di sini siapakah manusia itu dan kiranya dia mau meren-

dahkan diri sebab nya (ay. 12). Allah melihat siapakah manusia 

yang sia-sia ini, supaya manusia mau menjadi bijaksana, mau 

berpikir demikian, maka anak keledai liarpun dapat lahir sebagai 

manusia, begitu kotor dan bodoh, tidak dapat diajar dan dijinak-

kan. Lihatlah siapakah manusia itu.  

1.  Ia yaitu  makhluk ciptaan yang sia-sia – kosong. Demikianlah 

perkataannya. Allah menjadikan dia utuh, namun  dia mengo-

songkan diri, memiskinkan diri, dan sekarang ia menjadi raca, 

suatu makhluk ciptaan yang tidak punya apa-apa di dalam 

dirinya.  

2. Ia yaitu  makhluk ciptaan yang bodoh, telah menjadi seperti 

hewan yang dibinasakan (Mzm. 49:21, 73:22), seorang idiot, 

yang dilahirkan seperti seekor keledai, binatang yang paling 

dungu, seekor keledai jantan muda, yang belum bisa berguna. 

Apabila ia menjadi baik untuk sesuatu, hal itu terjadi sebab  

anugerah Kristus, yang sekali, di hari kemenangan-Nya, mela-

yani Dia melalui seekor keledai jantan muda.  

3. Ia yaitu  seekor hewan yang tidak bisa diatur seenaknya. 

Seekor keledai jantan muda masih bisa dimanfaatkan dengan 

baik untuk sesuatu, namun  keledai jantan yang liar tidak akan 

mau ditundukkan, dan tidak peduli dengan teriakan peng-

giringnya (Lih. 39:5-7). Manusia menganggap diri sangat bebas 

dan menjadi tuan bagi diri sendiri, seperti keledai jantan yang 

muda, yang melepaskan diri lari ke padang gurun (Yer. 2:24), 

ingin memuaskan selera dan hasratnya sendiri.  

4.  Namun ia yaitu  makhluk ciptaan yang sombong dan percaya 

diri sendiri. Ia ingin menjadi bijaksana, ingin berpikir demi-

kian, menilai tinggi diri sendiri sebab  hikmatnya, kendati ia 

tidak mau menundukkan diri kepada hukum hikmat. Ia ingin 

menjadi bijaksana, yaitu hendak menjangkau hikmat yang ter-

larang, dan, seperti orangtuanya yang pertama, bermaksud 

menjadi bijaksana melebihi apa yang tertulis, kehilangan pohon 

kehidupan guna memperoleh pohon pengetahuan. Nah, jadi 

apakah makhluk yang sedemikian pantas bertengkar dengan 

Allah atau memintai Dia memberi pertanggungjawaban? Jika 

memang kita ini lebih baik dalam mengenal Allah dan diri sen-

diri, maka seharusnya pula kita lebih tahu bagaimana bersi-

kap terhadap Allah. 

Nasihat Zofar  

(11:13-20) 

13 Jikalau engkau ini menyediakan hatimu, dan menadahkan tanganmu ke-

pada-Nya; 14 jikalau engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu, dan 

tidak membiarkan kecurangan ada dalam kemahmu, 15 maka sesungguhnya, 

engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela, dan engkau akan berdiri 

teguh dan tidak akan takut, 16 bahkan engkau akan melupakan kesusahan-

mu, hanya teringat kepadanya seperti kepada air yang telah mengalir lalu.  

17 Kehidupanmu akan menjadi lebih cemerlang dari pada siang hari, kegelap-

an akan menjadi terang seperti pagi hari. 18 Engkau akan merasa aman, 

sebab ada harapan, dan sesudah memeriksa kiri kanan, engkau akan pergi 

tidur dengan tenteram; 19 engkau akan berbaring tidur dengan tidak digang-

gu, dan banyak orang akan mengambil muka kepadamu. 20 namun  mata 

orang fasik akan menjadi rabun, mereka tidak dapat melarikan diri lagi; yang 

masih diharapkan mereka hanyalah menghembuskan nafas.” 

Zofar di sini, seperti dua sahabat lainnya, mendorong Ayub untuk ber-

harap akan saat-saat yang lebih baik jika dia mau berubah dan ber-

sikap lebih baik. 

 

I. Zofar memberi Ayub nasihat yang baik (ay. 13-14), seperti halnya 

Elifas (5:8), dan Bildad (8:5). Ia ingin agar Ayub bertobat dan kem-

bali kepada Allah. Amatilah langkah-langkah pertobatan yang di-

nasihatkannya.  

1. Ayub harus melihat ke dalam batinnya dan mengubah pikiran-

nya, maka pohon akan menjadi baik. Ia harus menyediakan 

hatinya. Di sana karya perubahan dan pembaruan harus di-

mulai. Hati yang mengembara dari Allah harus dipulihkan, 

yang dinajiskan dengan dosa dan menjadi kacau harus diber-

sihkan dan ditertibkan kembali, yang bimbang dan goyah ha-

rus diteduhkan dan ditegakkan. Demikianlah arti dari perkata-

an ini. Hati telah siap bagi Allah, saat  telah dibulatkan de-

ngan yakin dan sepenuhnya untuk kembali kepada Allah dan 

dilaksanakan.  

2. Ia harus melihat ke atas dan menadahkan tangannya kepada-

Nya, yaitu, harus sungguh-sungguh mengarahkan diri untuk 

berpegang kepada Allah, harus berdoa kepada-Nya dengan ke-

sungguhan dan kegigihan, bergumul di dalam doa, dan dengan 

pengharapan untuk menerima belas kasihan dan anugerah 

dari Dia. Menadahkan tangan kepada TUHAN berarti berserah 

diri kepada-Nya dan mengadakan kovenan dengan-Nya (2Taw. 

30:8). Inilah yang harus diperbuat Ayub, dan, untuk itu ia ha-

rus menyiapkan hatinya. Ayub telah berdoa, namun  Zofar ingin 

Ayub berdoa dengan sikap yang lebih baik, bukan sebagai se-

orang pemohon banding, melainkan sebagai seorang pemohon 

yang memanjatkan permohonan dengan rendah hati.  

3. Ia harus memperbaiki apa yang salah dalam perilakunya, jika 

tidak maka doa-doanya tidak akan berguna (ay. 14): “Jikalau 

engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu (yaitu, jika 

ada suatu dosa yang engkau lakukan) jauhkanlah,  tinggalkan-

lah dengan kebencian dan suatu kemarahan suci, dengan te-

guh hati memutuskan untuk tidak kembali lagi kepada dosa 

itu, dan tidak akan pernah punya hubungan lagi dengannya 

(Yeh. 18:31; Hos. 14:9; Yes. 30:22). Jikalau ada di tanganmu 

suatu keuntungan diperoleh dari kesalahan, barang-barang yang 

diperoleh melalui penipuan atau penindasan, lakukan pengganti-

annya” (seperti Zakheus, Luk. 19:8), “dan kebaskan pegangan 

tanganmu daripadanya” (Yes. 33:15). Kesalahan dosa tidak akan 

dihapuskan jika perolehan dari dosa tidak dipulihkan.  

4. Ia harus melakukan yang terbaik untuk memperbarui keluar-

ganya: “Jangan biarkan kecurangan ada di dalam kemahmu. 

Janganlah kemahmu menampung atau melindungi orang-

orang fasik, perbuatan-perbuatan jahat, atau kekayaan yang 

diperoleh melalui kejahatan.” Zofar mencurigai kalau keluarga 

besar Ayub telah dipimpin secara kacau, sehingga di dalamnya 

ada banyak orang fasik, dan kehancuran keluarganya yaitu  

hukuman dari kejahatan keluarganya itu. sebab  itu, jika dia 

berharap Allah mau kembali kepadanya, maka dia harus mem-

perbarui apa yang salah dalam keluarganya, dan jika ada ke-

jahatan masuk dalam kemahnya, dia tidak boleh membiarkan-

nya tinggal di sana (Mzm. 101:3, dst.). 

II. Ia meyakinkan Ayub akan menerima penghiburan, jika dia mene-

rima nasihatnya (ay. 15, dst.). Apabila dia mau bertobat dan mem-

perbarui diri, tanpa diragukan lagi, dia akan menjadi tenang dan 

bahagia, dan semuanya akan menjadi baik. Mungkin Zofar ingin 

maksudkan, bahwa, kecuali Allah dengan segera membuat suatu 

perubahan seperti ini terhadap keadaan Ayub, maka dia dan 

sahabat-sahabatnya akan diteguhkan dalam pendapat mereka 

tentang dia sebagai seorang munafik dan orang yang berpura-

pura kepada Allah. Meskipun demikian, ada sebuah kebenaran 

agung dinyatakan di sini, bahwa Di mana ada kebenaran di situ 

akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah kete-

nangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yes. 32:17). 

Orang-orang yang dengan sungguh-sungguh berpaling kepada 

Allah dapat berharap mendapatkan, 

1. Keyakinan yang kudus kepada Allah: “Maka sesungguhnya, 

engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela. Engkau dapat 

dengan berani menghadap takhta anugerah, tidak dengan ke-

ngerian atau ketakutan” (9:34). Jikalau hati kita tidak mengu-

tuk kita dengan kemunafikan dan keberdosaan, maka kita 

dapat memiliki keyakinan saat mendekat kepada Allah dan 

menaruh pengharapan dalam Dia (1Yoh. 3:21). Jikalau kita 

dipandang di hadapan orang yang diurapi, wajah kita, yang 

sedih, dapat diangkat. Kita yang cemar, dengan dibasuh de-

ngan darah Kristus, dapat mengangkat wajah tanpa cela. Kita 

dapat menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan ke-

yakinan iman yang teguh, oleh sebab  hati kita telah dibersih-

kan dari hati nurani yang jahat (Ibr. 10:22). Beberapa orang 

memahami hal ini sebagai pembersihan nama baik Ayub di 

hadapan manusia (Mzm. 37:6). Jikalau kita berdamai dengan 

Allah, maka kita dengan gembira dapat memandang wajah 

para sahabat kita. 

2. Keteduhan diri yang kudus: Engkau tidak takut kepada kabar 

celaka, hatimu tetap (Mzm. 112:7). Ayub sedang penuh dengan 

kebingungan (10:15), dan dia memandang kepada Allah seba-

gai musuhnya dan bertengkar dengan Dia. namun  Zofar meya-

kinkan dia bahwa, jika dia mau berserah dan merendahkan 

diri, pikirannya akan menjadi tenang, dan dia akan dibebaskan 

dari pemahaman yang menakutkan tentang Allah, yang telah 

membuatnya begitu gelisah. Semakin kecil rasa takut kita, se-

makin diteguhkan hati kita, dan kita pun semakin mantap 

dalam pelayanan kita dan penderitaan kita. 

3. Penghiburan saat merenungkan segala masalah masa lalu (ay. 

16): “Engkau akan melupakan kesusahanmu, seperti seorang 

ibu yang melupakan penderitaannya waktu melahirkan sebab  

merasa sukacita bahwa sang bayi telah lahir. Engkau akan 

sungguh-sungguh dibebaskan dari pengaruh masa lalu yang 

membayangi dan hanya teringat kepadanya seperti kepada air 

yang telah mengalir lalu. Masalah masa lalu itu akan seperti 

air yang ditumpah dari sebuah bejana, habis dengan semua 

rasanya. Luka-luka dari malapetakamu sekarang akan disem-

buhkan sama sekali, tidak hanya tanpa bekas luka, namun  juga 

tanpa bekas rasa sakit.” Ayub telah berupaya untuk melupa-

kan keluhannya (9:27), namun  mendapati diri tidak sanggup. 

Jiwanya masih mengingat akan ipuh dan racun itu: namun  di 

sini Zofar memberi jalan untuk melupakannya. Kiranya dia 

dengan iman dan doa membawa kesedihan dan perkaranya 

kepada TUHAN, meninggalkannya kepada TUHAN, maka dia 

akan melupakannya. saat  dosa duduk dengan berat, maka 

derita duduk dengan tenang. Jikalau kita sungguh-sungguh 

mengingat dosa kita sebagaimana mestinya, kita akan melupa-

kan kesengsaraan kita, apalagi jika kita memperoleh penghi-

buran dari pengampunan yang dimeteraikan dan damai yang 

teguh. Barang siapa yang pelanggarannya diampuni, tidak akan 

berkata, aku sakit, melainkan akan melupakan penyakitnya 

(Yes. 33:24). 

4. Suatu pengharapan penuh penghiburan akan kedamaian masa 

depan mereka. Zofar ini berpikir untuk menyenangkan Ayub, 

dengan menjawab banyak ungkapan Ayub yang menyedihkan, 

yang seakan-akan merasa tidak ada gunanya untuk berharap 

dapat melihat hari-hari baik kembali di dalam dunia ini: “Ya, 

namun  engkau dapat” (kata Zofar) “memperoleh malam-malam 

yang indah juga.” Suatu pengharapan akan perubahan penuh 

berkat diajukan Zofar kepada Ayub.  

(1) Bahwa kendati kini terangnya redup, ia akan bersinar kem-

bali dan lebih cemerlang daripada sebelumnya (ay. 17). 

Bahwa bahkan mataharinya yang terbenam akan lebih 

terang daripada matahari siangnya, dan malamnya akan 

menjadi cerah dan terang seperti di pagi hari, dalam hal ke-

hormatan dan kesenangan. Bahwa terangnya akan terbit 

dalam gelap (Yes. 58:10), dan awan yang tebal serta gelap, 

yang dari belakangnya mataharinya akan keluar bersinar, 

akan berfungsi sebagai minyak pembakar kilaunya. Bahwa 

mataharinya akan bersinar bahkan di usia tua dan hari-

hari yang jahat itu akan menjadi hari-hari yang baik bagi-

nya. Perhatikanlah, saat  orang sungguh-sungguh ber-

paling kepada Allah, saat itulah ia mulai bersinar terang. 

Jalan mereka seperti lampu terang yang semakin lama 

semakin terang, akhir dari siang hari mereka akan menjadi 

kesempurnaannya, dan malam hari mereka bagi dunia ini 

akan menjadi pagi hari yang lebih baik.  

(2) Bahwa, kendati kini dia berada dalam ketakutan dan ke-

ngerian terus-menerus, dia akan hidup dalam suatu per-

istirahatan dan keamanan yang kudus, dan mendapati diri 

aman dan damai terus-menerus (ay. 18): Engkau akan me-

rasa aman sebab ada harapan. Perhatikanlah, orang-orang 

yang mempunyai suatu pengharapan yang baik, melalui 

anugerah, di dalam Allah, dan akan sorga, pastilah sela-

mat, dan punya alasan untuk aman, betapa pun sulitnya 

waktu-waktu yang harus mereka lalui di dalam dunia ini. 

Siapa yang berjalan dengan benar akan berjalan dengan 

pasti sebab , kendati ada masalah dan bahaya, ada peng-

harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhir-

nya. Pengharapan yaitu  sauh yang kuat dan aman bagi 

jiwa kita (Ibr. 6:19). “Engkau akan menggali di sekeliling-

mu,” yaitu, “Engkau akan menjadi aman seperti pasukan di 

dalam kubu pertahanannya.” Orang-orang yang berserah 

kepada pemerintahan Allah akan dibawa dalam perlindung-

an-Nya sehingga mereka aman baik siang maupun malam.  

[1] Menjelang siang, saat  mereka bekerja di luar: “Engkau 

akan memeriksa kiri kanan dan merasa tenteram, engkau 

dan hamba-hambamu bagimu, dan tidak lagi diserang 

oleh para perampok yang biasanya menyerang hamba-

hambamu saat membajak” (1:14-15). Tidak ada dalam 

bagian kemakmuran yang dijanjikan bahwa dia harus 

hidup dalam kemalasan, melainkan bahwa dia akan me-

miliki suatu panggilan dan mengikutinya, dan, saat  

dia hendak memulai pekerjaannya, ia akan berada di ba-

wah perlindungan ilahi. Engkau akan memandang ber-

keliling dan aman, tidak merampok dan menjadi aman, 

bergembira dan aman. Jalan panggilan yaitu  jalan ke-

selamatan. 

[2] Menjelang malam, saat  mereka beristirahat di rumah: 

Engkau akan pergi tidur (dan enak tidurnya orang yang 

bekerja) dengan aman, sekalipun ada bahaya kegelapan. 

Tiang-tiang awan di siang hari akan menjadi sebuah 

tiang api di malam hari: “Engkau akan berbaring tidur 

(ay. 19), tidak dipaksa untuk mengembara di mana tidak 

ada tempat untuk membaringkan kepalamu, atau dipak-

sa untuk mengawasi dan duduk menantikan penjagalan. 

Namun engkau akan tidur di waktu tidur, dan tidak 

hanya tidak ada yang mencelakakan engkau, namun  juga 

tak satu pun akan membuat engkau takut dan mem-

buatmu harus berjaga-jaga.” Perhatikanlah, merupakan 

belas kasihan yang besar untuk mendapatkan malam 

yang tenang dan tidur yang tak terganggu. Orang-orang 

yang berkata begitu yaitu  orang-orang yang mendengar 

suara perang. Dan cara untuk menjadi tenang yaitu  

mencari Allah dan menjaga diri kita tetap di dalam kasih-

Nya. Tidak ada yang perlu membuat takut orang-orang 

yang kembali kepada Allah sebagai tempat berteduh dan 

menjadikan Dia tempat kediaman mereka. 

(3) Bahwa, kendati kini dia diremehkan namun dia akan dirayu: 

“Banyak orang akan mengambil muka kepadamu, dan meng-

anggap penting untuk menjalin persahabatan dengan eng-

kau.” Perbuatan mengambil hati biasanya dilakukan terha-

dap orang-orang yang terkenal bijaksana, yang sangat kaya 

atau berkuasa. Zofar mengenal Ayub dengan baik sehingga 

dia meramalkan bahwa, betapa pun rendahnya kemundur-

annya sekarang, namun jika sekali air pasang berubah, ia 

akan mengalir setinggi-tingginya, dan sekali lagi ia akan 

menjadi orang kesayangan negerinya. Barang siapa meng-

ambil hati Allah dengan benar, ia mungkin akan melihat 

hari saat  orang lain akan mengambil hati kepadanya, 

seperti yang dilakukan para gadis yang bodoh itu dengan 

berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana, Berilah kami 

sedikit dari minyakmu itu. 

III. Zofar mengakhiri dengan sebuah komentar singkat tentang nasib 

akhir dari orang fasik (ay. 20): namun  mata orang fasik akan men-

jadi rabun. Tampaknya dia mencurigai Ayub tidak akan menerima 

nasihatnya, sehingga di sini memberi tahu Ayub apa yang akan 

menimpanya, dengan memperhadapkan kematian dan kehidupan 

di hadapannya. Lihatlah apa yang terjadi atas mereka yang ber-

sikeras di dalam kejahatan mereka dan tidak mau diperbarui.  

1. Mereka tidak akan mencapai kebaikan yang mereka dambakan 

di dalam kehidupan ini maupun yang akan datang. Kekecewa-

an akan menjadi nasib akhir mereka, rasa malu mereka, sik-

saan mereka yang tak kunjung berakhir. Mata mereka akan 

rabun dengan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah 

kunjung tiba. Pengharapan orang fasik gagal pada kematian-

nya (Ams. 11:7). Harapan mereka akan seperti embusan nafas, 

menghilang dari ingatan. Atau pengharapan mereka akan 

binasa dan berakhir seperti manusia saat  dia mengembus-

kan napas. Pengharapan akan mengecewakan mereka saat  

mereka sangat membutuhkannya dan saat  mereka mengha-

rapkannya tergenapi. Pengharapan akan mati dan membuat 

mereka kebingungan.  

2. Mereka tidak akan terhindari dari kejahatan yang kadang-

kadang mereka takutkan akan menimpa mereka. Mereka tidak 

akan dapat lolos dari pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan 

ke atas mereka, tidak mampu mengatasinya atau luput dari-

nya. Barang siapa tidak mau lari menuju Allah akan menda-

pati sia-sia untuk berpikir dapat lari dari-Nya.  

 

 

 

  

PASAL 12  

i pasal ini dan di dua pasal selanjutnya kita mendapati jawaban 

Ayub terhadap pembicaraan Zofar, di mana, seperti sebelumnya, 

Ayub pertama memperdebatkan pendapat sahabat-sahabatnya (Lih. 

13:19), lalu berpaling kepada Allahnya dan mengungkapkan keberat-

annya kepada-Nya, dari situ sampai akhir pembicaraannya. Di pasal 

ini Ayub menyatakan dirinya kepada sahabat-sahabatnya, dan  

I. Ia mengecam apa yang mereka katakan tentang dirinya dan 

penghakiman yang mereka jatuhkan atas perangainya (ay. 1-5).  

II. Ia menyanggah dan menentang apa yang mereka katakan ten-

tang penghancuran orang fasik, dengan menunjukkan bahwa 

sering kali orang-orang itu justru hidup makmur (ay. 6-11).  

III. Ia setuju dengan apa yang mereka katakan tentang hikmat, 

kuasa, dan kedaulatan Allah, serta kekuasaan-Nya dalam meng-

atur semua anak manusia dan seluruh urusan mereka. Ia mem-

benarkan hal ini dan memperluasnya lebih lanjut (ay. 12-25). 

Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar  

(12:1-5) 

1 namun  Ayub menjawab: 2 “Memang, kamulah orang-orang itu, dan bersama-

sama kamu hikmat akan mati. 3 Aku pun mempunyai pengertian, sama se-

perti kamu, aku tidak kalah dengan kamu; siapa tidak tahu hal-hal serupa 

itu? 4 Aku menjadi tertawaan sesamaku, aku, yang mendapat jawaban dari 

Allah, bila aku berseru kepada-Nya; orang yang benar dan saleh menjadi ter-

tawaan. 5 Penghinaan bagi orang yang celaka, – demikianlah pendapat orang 

yang hidup aman – suatu pukulan bagi orang yang tergelincir kakinya. 

Teguran yang diberikan Ayub kepada sahabat-sahabatnya di sini, 

yang entah patut atau tidak, bisa menjadi sebuah ajaran untuk me-

negur semua orang yang angkuh dan sinis. Tegurannya itu juga 

membukakan kebodohan mereka.  

I. Ia menegur para sahabatnya itu akan kecongkakan mereka dan 

akan anggapan mereka bahwa mereka lebih berhikmat daripada 

dia. Tidak ada sikap yang lebih lemah dan tidak pantas, lebih 

patut ditertawakan daripada anggapan mereka itu.  

1. Ayub menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang meng-

anggap diri satu-satunya yang punya hikmat (ay. 2). Ayub ber-

bicara dengan menyindir, “Memang, kamulah orang-orang itu. 

Kalian pikir, kalian pantas memberi petunjuk dan membuat 

hukum untuk seluruh umat manusia, dan bahwa putusan-

mulah yang selayaknya menjadi patokan untuk mengukur dan 

mengkaji pendapat setiap orang. Seakan-akan tidak ada orang 

lain yang bisa membedakan antara benar dan palsu, baik dan 

buruk, selain kamu. Dan oleh sebab  itu langit tertinggi pun 

harus tunduk kepadamu. Benar atau salah, kami semua ha-

rus mengatakan apa yang kamu katakan dan kamu bertiga 

menjadi orang-orang itu, yang mempunyai suara terbesar seba-

gai penentu.” Ingat, siapa pun yang menganggap dirinya lebih 

berhikmat daripada seluruh sisa umat manusia atau berbicara 

dan bertingkah dengan sikap memerintah dan begitu yakin 

akan hal ini, sangatlah bodoh dan berdosa. Bahkan, lanjut 

Ayub, “Kamu tidak hanya berpikir bahwa sekarang ini tidak 

ada orang lain yang berhikmat seperti kamu, melainkan juga 

bahwa tidak akan pernah ada orang yang berhikmat seperti 

kamu, dan bahwa oleh sebab  itu bersama-sama kamu hikmat 

akan mati. Juga, bahwa seluruh dunia akan menjadi bodoh 

saat  kamu tiada dan menjadi gelap saat  mataharimu 

terbenam.” Ingat, suatu kebodohan bagi kita untuk berpikir 

bahwa akan ada kehilangan besar yang tidak dapat diperbaiki 

lagi saat  kita tiada atau bahwa kita tidak tergantikan. Allah 

selalu masih punya kuasa Roh untuk membangkitkan orang 

lain, yang lebih layak daripada kita, untuk melakukan pekerja-

an-Nya. saat  orang berhikmat dan orang benar mati, sung-

guh suatu penghiburan bahwa hikmat dan kebaikan tidak 

akan mati bersama dengan mereka. Menurut beberapa tafsir-

an, Ayub di sini menyindir apa yang dikatakan Zofar saat Zofar 

membandingkan Ayub (begitu pikirnya) dan orang lain dengan 

anak keledai liar (11:12). “Ya,” kata Ayub, “memang kami ha-

nyalah keledai, dan cuma kamu saja yang manusia.”  

2. Ia berlaku adil terhadap dirinya sendiri dengan memberi per-

nyataan bahwa ia juga mendapat bagian dari karunia hikmat 

ini (ay. 3): “Akupun mempunyai pengertian (hati), sama seperti 

kamu. Bahkan, aku tidak kalah dengan kamu.”  “Aku pun bisa 

menilai jalan-jalan dan arti dari penyelenggaraan ilahi dan 

menafsirkan bagian-bagiannya yang sulit, sama seperti kamu.” 

Ia mengatakan hal ini bukan untuk membesarkan dirinya sen-

diri. Bukanlah suatu pujian besar untuk dirinya bila ia menga-

takan, Akupun mempunyai pengertian, sama seperti kamu. 

Tidak juga saat  ia mengatakan, “Aku memahami hal ini 

sebaik kamu.” Sebab, untuk alasan apa ia atau mereka mera-

sa bangga memahami apa yang sudah jelas dan yang setara 

dengan kemampuan orang yang paling rendah sekalipun? 

“Siapa tidak tahu hal-hal serupa itu? Hal-hal benar yang kamu 

katakan merupakan kebenaran yang sudah jelas dan perkara 

yang umum, yang bisa diperbincangkan banyak orang lain 

dengan sama hebatnya seperti kamu atau aku.” namun , ia me-

ngatakan hal ini untuk merendahkan hati mereka, dan mene-

gur mereka sebab  memandang diri tinggi seperti seorang guru 

besar. Perhatikanlah,  

(1) Menimbang ada betapa banyaknya jumlah orang yang ber-

pengetahuan luas seperti kita, atau bahkan lebih luas dan 

lebih berguna lagi, maka selayaknya ini mencegah kita 

berbangga diri dengan pengetahuan kita.  

(2) Saat kita tergoda untuk mengecam dengan keras mereka 

yang berbeda dari kita dan yang menjadi lawan kita ber-

debat, hendaknya kita mempertimbangkan bahwa mereka 

pun mempunyai pengertian sama seperti kita, kemampuan 

untuk menilai dan hak untuk menilai sendiri. Bahkan, 

mungkin mereka tidak kalah dengan kita, namun  justru 

lebih unggul, dan mungkin merekalah yang benar dan kita 

yang salah. Oleh sebab  itu, kita hendaknya jangan meng-

hakimi atau meremehkan mereka (Rm. 14:3) atau berlagak 

menjadi guru (Yak. 3:1), sebab  kita semua yaitu  saudara 

(Mat. 23:8). Sangatlah bijak bila kita mempertimbangkan, 

bahwa semua orang yang berbicara dengan kita, yang ber-

debat dengan kita, juga merupakan makhluk ciptaan yang 

berakal budi sama seperti kita.  

II. Ayub mengeluh betapa hinanya mereka memperlakukan dia. 

Orang yang tinggi hati dan besar kepala umumnya suka mengejek 

dan siap menginjak-injak semua yang di sekitarnya. Itu yang di-

alami Ayub, atau paling tidak itu yang dipikirnya (ay. 4): Aku 

menjadi tertawaan sesamaku. Saya tidak bisa mengatakan bahwa 

ada alasan untuk tuduhan ini. Kita tentu tidak akan berpikir bah-

wa sahabat-sahabat Ayub berencana untuk menyakitinya atau 

mempunyai tujuan lain selain untuk menginsafkannya dan de-

ngan begitu mengiburnya, dengan cara yang tepat. Meskipun be-

gitu, Ayub berseru, Aku menjadi tertawaan sesamaku. Ingat, kita 

gampang menyebut teguran sebagai celaan, dan merasa diter-

tawakan saat kita hanya dinasihati dan diingatkan. Rasa jengkel 

ini merupakan kebodohan kita, dan kesalahan besar terhadap 

kita sendiri dan terhadapa sahabat-sahabat kita. namun , kita ha-

rus mengakui bahwa tuduhan Ayub ada benarnya juga. Sahabat-

sahabat Ayub datang untuk menghiburnya, namun  mereka mem-

buatnya kesal. Mereka memberinya anjuran dan dorongan sema-

ngat, namun  tanpa ada keyakinan bahwa yang satu maupun yang 

lainnya akan berhasil. Oleh sebab  itu, Ayub berpikir mereka me-

nertawakannya dan hal ini menambah kepedihannya. Bagi orang 

yang jatuh dari tingginya kemakmuran ke dalam jurang mala-

petaka, tidak ada yang lebih memedihkan daripada saat  mereka 

diinjak dan dihina saat mereka sudah tergeletak. Mengenai hal 

ini, mereka gampang curiga. Perhatikan,  

1. Apa yang memperberat kepedihan ini bagi Ayub. Dua hal:  

(1) Bahwa mereka merupakan sesamanya, sahabatnya, rekan-

rekan pergaulannya (demikian arti kata yang dipakai). Dan 

sindiran seorang sahabat sering kali terasa paling kejam 

dan selalu diterima dengan rasa sangat gusar. Mazmur 

55:13-14, Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih 

dapat mengabaikannya dan dengan begitu menanggung-

nya; namun  engkau orang yang dekat dengan aku, temanku.  

(2) Bahwa mereka merupakan para penganut agama, orang-

orang yang berseru kepada Allah, dan mengatakan bahwa 

mereka mendapat jawaban dari-Nya. Menurut beberapa 

tafsiran, bagian ini merujuk kepada orang-orang yang men-

cemooh Ayub. “Mereka selalu memandang ke sorga dan 

mendapat perkenanan sorga, dan oleh sebab  itu aku ber-

suka dan bersyukur atas doa mereka. Pendapat baik me-

reka pastinya aku dambakan, dan oleh sebab  itu kecaman 

mereka lebih terasa pedih.” Perhatikanlah, sungguh menye-

dihkan bila seseorang yang berseru kepada Allah tega me-

nertawakan sesamanya (Yak. 3:9-10). Pastilah terasa berat 

hati orang yang baik bila orang-orang yang ia hormati jus-

tru berpikir buruk tentang dirinya. namun , ini bukan suatu 

hal yang baru.  

2. Apa yang menopang Ayub di bawah kepedihan itu.  

(1) Bahwa Ayub mempunyai Allah yang bisa ia datangi, untuk 

mengajukan keberatannya. sebab  menurut beberapa taf-

siran lain, kata-kata ini mengarah kepada orang yang di-

cemooh, yaitu Ayub, yang yakin bahwa aku mendapat ja-

waban dari Allah, bila aku berseru kepada-Nya, dan dengan 

begitu ayat ini selaras dengan Ayub 16:20. Sekalipun aku 

dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah 

mataku menengadah sambil menangis. Sahabat-sahabat 

kita bisa tuli terhadap keluhan kita, namun  Allah tidak. Bila 

mereka mengecam kita, Allah mengetahui kebenaran hati 

kita. Bila mereka berpikir buruk tentang kita, Ia berpikir 

yang terbaik. Bila mereka memberi jawaban dengan gusar, 

Ia memberi jawaban yang lemah lembut.  

(2) Bahwa perkaranya bukan satu-satunya, namun  sangat umum: 

orang yang benar dan saleh menjadi tertawaan. Ia ditertawa-

kan banyak orang hanya sebab  keadilan dan kelurusannya, 

kejujurannya terhadap sesama dan kesalehannya terhadap 

Allah. Hal-hal ini dicemooh dan dianggap sesuatu yang bo-

doh, yang dipakai  orang konyol untuk membebani diri 

mereka sendiri, seakan-akan agama merupakan lelucon 

dan oleh sebab  itu pantas ditertawakan. Oleh kebanyakan 

orang ia ditertawakan atas kekurangan dan kelemahan ter-

kecil sekalipun, tanpa memperhitungkan keadilan dan ke-

lurusan hatinya, dan tanpa memedulikan apa pun yang 

menjadi kehormatannya. Perhatikanlah, sudah menjadi na-

sib orang benar dan jujur sejak dahulu untuk dihina dan 

dicemooh. Jadi jangalah kita heran (1Ptr. 4:12) atau meng-

anggapnya berat kalau itu juga menjadi bagian kita. Demi-

kian juga telah dianiaya bukan hanya nabi-nabi, namun  juga 

orang kudus di zaman bapak-bapak leluhur (Mat. 5:12) dan 

bisakah kita mengharapkan nasib yang lebih baik daripada 

mereka? 

3. Apa yang ia curigai sebagai penyebabnya yang sebenarnya, 

yaitu, secara ringkas: bahwa mereka sendiri kaya dan hidup 

nyaman, dan oleh sebab  itu mereka mencemooh dia yang 

jatuh dalam kemiskinan. Itulah jalannya dunia ini, dan kita 

melihat kejadian seperti ini setiap hari. Orang yang makmur 

dipuji, namun  orang yang jatuh terpuruk dikatai, “Biarlah 

mereka jatuh.” Orang yang tergelincir kakinya dan jatuh dalam 

malapetaka, meskipun dulunya bersinar bagai pelita, sekarang 

dipandang bagai pelita yang hampir padam, seperti sumbu 

lilin yang tersisa bara kecil, yang kita buang ke lantai dan kita 

injak. Oleh sebab  itu, orang yang demikian dihina oleh pen-

dapat orang yang hidup aman, ayat 5. Bahkan orang adil dan 

jujur sekalipun yang dalam generasinya bagai pelita yang ber-

sinar menyala-nyala, bila jatuh dalam pencobaan (Mzm. 73:2), 

atau dihidupnya redup tertutup awan, akan dipandang dengan 

hina. Lihat di sini,  

(1) Apa yang merupakan kesalahan umum orang yang hidup 

dalam kemakmuran. sebab  mereka sendiri berkecukupan, 

sejahtera dan girang hati, mereka memandang dengan hina 

orang-orang yang berkekurangan, yang terluka dan pedih 

hatinya. Mereka mengabaikan orang-orang itu, tidak meng-

hiraukan mereka, dan melupakan mereka. Baca Mazmur 

123:4. Dalam kisah Yusuf, si juru minuman minum anggur 

bercawan-cawan, namun  tidak memikirkan penderitaan Yu-

suf. Kekayaan tanpa kasih karunia sering kali membuat 

manusia tinggi hati, dan dengan begitu mereka menjadi 

tidak perhatian kepada sesamanya yang sengsara.  

(2) Apa yang menjadi nasib umum bagi orang yang jatuh da-

lam kesusahan. Kemiskinan memudarkan segala kilau me-

reka. Meskipun mereka seperti lilin, namun bila mereka 

dikeluarkan dari tempat lilin emas dan dimasukkan dalam 

buyung tanah, seperti hidup Gideon, maka tidak ada yang

 menghargai mereka seperti sebelumnya. Sebaliknya, orang 

yang hidup nyaman memandang hina mereka.  

Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar  

(12:6-11) 

6 namun  amanlah kemah para perusak, dan tenteramlah mereka yang mem-

bangkitkan murka Allah, mereka yang hendak membawa Allah dalam tangan-

nya. 7 namun  bertanyalah kepada binatang, maka engkau akan diberinya peng-

ajaran, kepada burung di udara, maka engkau akan diberinya keterangan.  

8 Atau bertuturlah kepada bumi, maka engkau akan diberinya pengajaran, bah-

kan ikan di laut akan bercerita kepadamu. 9 Siapa di antara semuanya itu yang 

tidak tahu, bahwa tangan Allah yang melakukan itu; 10 bahwa di dalam tangan-

Nya terletak nyawa segala yang hidup dan nafas setiap manusia? 11 Bukankah 

telinga menguji kata-kata, seperti langit-langit mencecap makanan? 

Sahabat-sahabat Ayub semuanya berpegang pada prinsip ini, bahwa 

orang fasik tidak bisa tahan lama kemakmurannya di dunia ini, 

melainkan akan ada suatu penghakiman luar biasa yang dijatuhkan 

atas mereka. Zofar menyimpulkan hal ini, bahwa mata orang fasik 

akan menjadi rabun (11:20). Prinsip ini yang ditentang oleh Ayub di 

sini. Ia bersikukuh bahwa Allah berdaulat penuh dalam menangani 

perkara duniawi manusia, dan menyimpan upah dan hukuman yang 

setimpal bagi setiap orang sampai hari yang akan datang itu.  

I. Ia menegaskan kebenaran yang tidak bisa diragukan, bahwa ke-

makmuran orang fasik bisa, dan sering kali memang berlangsung 

lama di dunia ini, (ay. 6). Bahkan pendosa besar pun bisa menik-

mati kemakmuran besar. Perhatikan,  

1. Bagaimana Ayub menggambarkan para pendosa ini. Mereka 

merupakan perusak dan dengan begitu mereka membangkit-

kan murka Allah. Mereka merupakan pendosa yang terparah, 

penghujat dan penganiaya. Mungkin ia mengacu pada orang-

orang Syeba dan Kasdim, yang merusak apa yang ia punyai 

dan yang selalu hidup dari jarahan dan rampokan mereka. 

Namun, mereka hidup makmur dan seluruh dunia menyaksi-

kannya, dan tidak ada yang bisa dibantah tentang hal ini. 

Satu pengamatan yang berdasarkan kenyataan itu lebih ber-

harga daripada dua puluh gagasan yang dibentuk berdasarkan 

hipotesa atau kesimpulan dugaan. Atau, secara lebih umum, 

semua penindas yang congkak merupakan perampok dan pem-

bajak. Sudah bisa diduga bahwa apa yang merugikan orang lain 

itu juga membangkitkan murka Allah, sang pembela kebenaran 

dan pelindung umat manusia. Tidaklah mengherankan bila me-

reka yang melampaui batas-batas keadilan juga melanggar se-

mua kewajiban agama, bahkan berani menentang Allah sendiri 

dan membangkitkan murka-Nya tanpa pikir panjang.  

2. Bagiamana Ayub menggambarkan kemakmuran mereka. Sa-

ngatlah luar biasa, sebab   

(1) Amanlah kemah para perusak, semua yang hidup bersama