olehnya. Kegelapan datang menghampiri kita. sebab
itu, marilah kita berjalan dan bekerja selagi masih ada
terang bersama kita. Kubur itu negeri kegelapan, jadi
syukurlah kita dibawa ke sana dengan mata tertutup,
supaya semuanya sama-sama gelap. Kubur yaitu ne-
geri kegelapan bagi manusia. Teman-teman kita yang
sudah pergi ke sana kita anggap sudah berpindah ke
dalam kegelapan (Mzm. 88:19). Namun, bukan demi-
kian hal ini kelihatan bagi Allah, bahwa debu tubuh
orang kudus, meskipun terserak, meskipun bercampur
dengan debu lain, tidak akan ada yang hilang, sebab
mata Allah mengawasi setiap butirannya dan tubuh itu
pasti akan dibangkitkan kelak di hari yang agung itu.
PASAL 1 1
uka Ayub yang malang masih mengeluarkan darah, borok luka-
nya masih bengkak dan tidak reda, namun tak seorang pun dari
teman-temannya yang membawakan minyak atau balsam kepadanya.
Zofar, orang ketiga, mencurahkan ke atas luka-lukanya cuka seba-
nyak dua orang temannya terdahulu.
I. Ia melontarkan suatu tuduhan yang sangat keras kepada Ayub,
bahwa Ayub sombong dan salah dalam membenarkan diri (ay.
1-4).
II. Ia berseru kiranya Allah menginsafkan Ayub, dan memohon
agar Allah berfirman kepadanya (ay. 5) sehingga Ayub dijadi-
kannya peka,
1. Akan hikmat-Nya yang tak dapat salah dan keadilan-Nya
yang tak dapat diganggu gugat (ay. 6).
2. Akan kesempurnaan-Nya yang tak terselami (ay. 7-9).
3. Akan kedaulatan-Nya yang tak tertandingi dan kuasa-Nya
yang tak terbendung (ay. 10).
4. Akan pengawasan-Nya terhadap anak-anak manusia (ay.
11-12).
III. Ia meyakinkan Ayub bahwa, bila Ayub bertobat dan memper-
barui diri (ay. 13-14), maka Allah akan memulihkan dia
kepada kesejahteraan dan keamanannya yang semula (ay.
15-19). namun apabila dia jahat maka sia-sia untuk mengha-
rapkannya (ay. 20).
Nasihat Zofar
(11:1-6)
1 Maka berbicaralah Zofar, orang Naama: 2 “Apakah orang yang banyak
bicara tidak harus dijawab? Apakah orang yang banyak mulut harus dibenar-
kan? 3 Apakah orang harus diam terhadap bualmu? Dan kalau engkau meng-
olok-olok, apakah tidak ada yang mempermalukan engkau? 4 Katamu: Peng-
ajaranku murni, dan aku bersih di mata-Mu. 5 namun , mudah-mudahan Allah
sendiri berfirman, dan membuka mulut-Nya terhadap engkau, 6 dan membe-
ritakan kepadamu rahasia hikmat, sebab itu ajaib bagi pengertian. Maka
engkau akan mengetahui, bahwa Allah tidak memperhitungkan bagimu seba-
gian dari pada kesalahanmu.
Sungguh menyedihkan melihat kepanasan hati yang tidak pantas ter-
kadang bahkan diperlihatkan oleh orang bijak dan baik dalam panas-
nya perdebatan, seperti Zofar di sini misalkan. Elifas mulai dengan
sebuah pengantar yang sangat tenang (4:2). Bildad agak sedikit kasar
terhadap Ayub (8:2). namun Zofar menghantam Ayub tanpa ampun,
dan berbicara dengan bahasa yang sangat buruk: Apakah orang yang
banyak bicara tidak harus dijawab? Apakah orang yang banyak mulut
harus dibenarkan? Inikah caranya untuk menghibur Ayub? Tidak,
juga tidak untuk meyakinkan dia. Apakah perlakuan seperti ini pan-
tas diperlihatkan orang yang tampil sebagai pembela bagi Allah dan
keadilan-Nya? Tantaene animis coelestibus irae? – Dapatkah perasaan
marah semacam itu tinggal di dalam hati sorgawi? Orang-orang yang
terlibat dalam perdebatan akan sukar menahan diri terhadap tindak-
an ini. Semua hikmat, kehati-hatian, dan tekad hati yang mereka mi-
liki tidak akan cukup untuk dapat mencegah mereka meledak dalam
kegusaran menghadapi ketidakpantasan demikian, seperti yang kita
temukan di dalam kesalahan Zofar di sini.
I. Zofar menggambarkan Ayub berbeda dari siapa dia sesungguhnya
(ay. 2-3). Ia ingin membuat Ayub berdiam diri saja dan bukan
siapa-siapa dalam pembicaraannya ini. Ia senang mendengarkan
dirinya sendiri berbicara. Ia menyampaikan kebohongan kepada
Ayub dan menyebutnya seorang penipu. Dan semuanya ini ia laku-
kan supaya tampak sebagai sebuah tindakan keadilan untuk
menghajar Ayub. Orang-orang yang bermaksud berselisih dengan
saudara-saudara mereka, dan untuk menjatuhkan mereka, biasa-
nya menuduh yang bukan-bukan tentang diri dan perbuatan me-
reka, benar atau salah, untuk membuat mereka najis. Kita telah
membaca dan mempertimbangkan pernyataan Ayub di dalam pa-
sal-pasal sebelumnya, dan mendapati semuanya bermaksud baik
dan bertujuan, bahwa prinsip-prinsipnya benar, alasannya kuat,
banyak dari ungkapannya berbobot dan sangat bermakna, dan
walaupun di dalamnya ada rasa jengkel dan gusar, namun dapat
dimengerti dan diabaikan saja dengan sedikit kemurahan hati.
Namun Zofar di sini dengan menyakitkan menggambarkan Ayub,
1. Sebagai seorang yang tidak pernah mempertimbangkan apa
yang dikatakannya, sehingga asal bicara saja, hanya seperti
tong kosong berbunyi nyaring, untuk membela diri dan mene-
pis lawan-lawan yang mencela: Apakah orang yang banyak
bicara tidak harus dijawab? Sesungguhnya, kadang-kadang bu-
kanlah perkara besar apakah dijawab atau tidak. Diam mung-
kin merupakan cara terbaik untuk menegaskan dan mencela
sikap kurang ajar. Jangan menjawab orang bebal menurut kebo-
dohannya. namun , jika harus dijawab, kiranya akal budi dan
anugerah yang menjawabnya, bukan kesombongan dan kegu-
saran. Apakah orang yang banyak mulut, (yang banyak bi-
cara, vox et praeterea nihil – yang sekadar bunyi) harus dibe-
narkan? Haruskah dia dibenarkan dengan bicaranya yang cere-
wet itu, yaitu dia benar jika tidak ditegur? Tidak, sebab di da-
lam banyak bicara pasti ada pelanggaran. Haruskah dia dibe-
narkan olehnya? Apakah banyaknya kata-kata dapat menga-
bulkan permohonannya? Apakah dia dapat melewati harinya
dengan banyak bicara? Tidak, dia tidak akan diterima oleh
Allah, atau oleh orang bijaksana mana pun, sebab banyaknya
kata-kata (Mat. 6:7).
2. Sebagai orang yang tidak memakai hati nurani dalam berkata-
kata, seorang pembohong, yang berharap dengan kebohongan-
nya akan dapat membungkam lawannya, Apakah orang harus
diam terhadap bualmu? Juga sebagai orang pencemooh, yang
hanya suka mencemooh siapa saja, yang hanya suka memfit-
nah, dan tidak malu memperdayai siapa saja yang berbicara
dengannya: Dan kalau engkau mengolok-olok, apakah tidak ada
yang mempermalukan engkau? Bukankah ini waktunya untuk
berbicara, untuk membendung gelombang kekerasan seperti
ini? Ayub tidak marah, melainkan mengucapkan kata-kata ke-
benaran dan ketenangan, namun tetap saja disalahpahami.
Elifas dan Bildad telah menjawab Ayub dan mengatakan sebi-
sanya untuk membuatnya malu. Oleh sebab itu, sama sekali
tidak ada kemurahan hati sedikipun yang diperlihatkan Zofar
dengan menghujam seseorang yang sudah dilecehkan sedemi-
kian rupa dengan perkataan yang sangat kejam seperti ini. Ini-
lah tiga melawan satu.
II. Zofar menuduh Ayub dengan kata-kata yang tidak dikatakan
Ayub (ay. 4): Katamu: Pengajaranku murni. Dan kalau benar demi-
kian, lalu ada apa? Memang benar bahwa Ayub sangat sehat da-
lam beriman, dan murni dalam penilaiannya serta berbicara lebih
baik tentang Allah ketimbang teman-temannya. Jika Ayub meng-
ungkapkan diri kurang hati-hati, tidaklah lalu berarti bahwa
pengajaran Zofar benar. Dia menuduh Ayub mengakui diri, Aku
bersih di mata-Mu. Ayub tidak berkata demikian: dia memang ber-
kata, Engkau tahu aku tidak bersalah (10:7), namun dia juga ber-
kata, Aku telah berdosa, dan tidak pernah mengaku-ngaku diri
sempurna tanpa noda. Ia memang membela diri bahwa dirinya
bukanlah seorang yang munafik atau fasik seperti yang mereka
tuduhkan. Namun tidaklah adil untuk lantas menyimpulkan bah-
wa dia tidak mengakui dirinya seorang berdosa. Kita seharusnya
berpikiran yang baik terhadap kata-kata dan tindakan dari sau-
dara-saudara kita, supaya mereka bisa menanggungnya. namun
para pembantah memang selalu bermaksud menjelek-jelekkan
orang lain.
III. Zofar memohon kepada Allah dan berharap Ia tampil melawan
Ayub. Begitu sangat yakinnya dia bahwa Ayub bersalah sehingga
tidak ada lagi yang akan membela dia selain Allah harus segera
tampil untuk membungkam dan menghukum dia. Kita umumnya
begitu bernafsu mengajak Allah dalam pertengkaran kita dan
yakin bahwa, jika Ia berbicara, Ia berpihak kepada kita dan ber-
bicara bagi kita, seperti Zofar di sini: Mudah-mudahan Allah sen-
diri berbicara! Sebab Ia pasti akan membuka mulut-Nya terhadap
engkau. Padahal, saat Allah benar-benar berbicara, Ia membuka
mulut-Nya bagi Ayub melawan tiga temannya itu. Kita harus
membiarkan semua perdebatan ditentukan oleh penilaian Allah,
yang kita yakini sesuai kebenaran. Orang-orang yang paling maju
meminta penghakiman dan berprasangka melawan para penen-
tang mereka, tidaklah selalu benar. Zofar putus asa untuk meya-
kinkan Ayub sendiri dan sebab nya ingin Allah yang akan meyakin-
kan dia tentang dua hal yang baik bagi setiap kita untuk dipertim-
bangkan dan diakui dengan suka hati bila kita mengalami pen-
deritaan, yaitu:
1. Kedalaman putusan hikmat Allah yang tidak terselami. Zofar
tidak dapat mengaku-ngaku mampu melakukannya, namun dia
ingin agar Allah sendiri mau menunjukkan Ayub betapa besar
rahasia hikmat ilahi supaya dapat menginsafkan dia bah-
wa rahasia itu ajaib bagi pengertian (ay. 6). Perhatikanlah,
(1) Ada rahasia di dalam hikmat ilahi, arcana imperii – rahasia
negara. Jalan Allah di lautan. Awan dan kegelapan ada di
sekeliling Dia. Ia memiliki alasan yang tidak dapat kita
pahami dan tidak perlu kita selidiki.
(2) Apa yang kita ketahui tentang Allah tidak sebanding de-
ngan apa yang tidak dapat kita ketahui. Apa yang tersem-
bunyi jauh lebih banyak dari apa yang tampak (Ef. 3:9).
(3) Dengan tunduk memuja kedalaman dari semua putusan
hikmat Allah yang dasarnya tidak dapat kita temukan,
pikiran kita akan menjadi tenang di bawah tangan Allah
yang sedang menekan kita.
(4) Allah jauh mengetahui lebih banyak kejahatan kita dari-
pada diri kita sendiri. Demikianlah yang dipahami oleh se-
bagian orang. saat Allah memberi Daud suatu penglihat-
an dan kepekaan akan dosa, Daud berkata bahwa dengan
diam-diam Allah memberitahukan hikmat kepadanya (Mzm.
51:8).
2. Keadilan penghakiman-Nya tidak dapat dibantah. “Ketahuilah
bahwa, betapa pun sakitnya hajaran yang engkau alami, Allah
tidak memperhitungkan bagimu sebagian dari pada kesalahan-
mu, atau (sebagaimana dibaca oleh beberapa orang), “Ia meng-
ampuni sebagian dari kesalahanmu, dan tidak berurusan
dengan engkau berdasarkan apa yang pantas engkau terima.”
Perhatikanlah,
(1) saat utang kewajiban tidak dilunasi, maka keadilan yang
akan memaksakan hukuman ke atas utang tersebut.
(2) Apa pun hukuman yang ditimpakan ke atas kita di dalam
dunia ini, kita harus mengakui bahwa hal itu masih ku-
rang dari yang pantas kita tanggung oleh kesalahan kita,
dan sebab nya, ketimbang mengeluh tentang masalah kita,
kita harus bersyukur bahwa kita dikeluarkan dari neraka
(Rat. 3:39; Mzm. 103:10).
Nasihat Zofar
(11:7-12)
7 Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas ke-
kuasaan Yang Mahakuasa? 8 Tingginya seperti langit – apa yang dapat kau-
lakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati – apa yang dapat kauketahui?
9 Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samu-
dera. 10 Apabila Ia lewat, melakukan penangkapan, dan mengadakan peng-
adilan, siapa dapat menghalangi-Nya? 11 sebab Ia mengenal penipu dan me-
lihat kejahatan tanpa mengamat-amatinya. 12 Jikalau orang dungu dapat
mengerti, maka anak keledai liar pun dapat lahir sebagai manusia.
Zofar di sini memperkatakan hal-hal yang sangat baik tentang Allah
dan kebesaran serta kemuliaan-Nya, mengenai manusia dan kesia-
siaan serta kebodohannya: kedua hal ini jika dibandingkan bersama,
dan dipertimbangkan dengan sepatutnya, akan berdampak kuat bagi
kita dalam berserah diri kepada dispensasi Allah Sang Penyelenggara.
I. Lihatlah di sini siapa Allah itu dan kiranya Dia dipuja.
1. Ia yaitu Wujud yang tak terselami, tak terbatas dan Maha-
besar, yang seperti apa persisnya kodrat dan kesempurnaan-
Nya tidak mampu kita pahami dengan pengertian kita yang
terbatas. sebab itu, putusan hikmat dan tindakan-Nya tidak
dapat kita nilai dengan anggapan sehebat apa pun. Kita yang
begitu sedikit mengenal kodrat ilahi merupakan hakim yang
tidak punya kemampuan dan kelayakan untuk menilai penye-
lenggaraan ilahi. sebab itu, saat kita mencela tindakan dis-
pensasi-Nya, kita membicarakan hal-hal yang tidak kita meng-
erti. Kita tidak dapat menemukan siapa itu Allah. Jadi, betapa
beraninya kita kemudian mendapati kesalahan-Nya? Zofar di
sini menunjukkan,
(1) Bahwa kodrat Allah secara tak terbatas melampaui kemam-
puan pemahaman kita: “Dapatkah engkau memahami hake-
kat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Maha-
kuasa? Apa yang dapat kauketahui?” (ay. 7-8). Engkau,
makhluk yang malang, lemah dan berpandangan pendek,
seekor cacing tanah, anak kemarin dulu? Engkau, meski-
pun selalu ingin tahu tentang dia, begitu ingin dan rajin
untuk menemukan Dia, namun apakah engkau berusaha
mencari, beranikah engkau menyelidiki Dia dan berhasil?
Memang kita dapat menemukan Allah (Kis. 17:27), bila kita
mencari-Nya, namun kita tidak dapat menemukan-Nya da-
lam hal-hal yang Ia berkenan sembunyikan dari kita. Kita
mungkin dapat menangkap-Nya namun kita tidak dapat me-
mahami-Nya. Kita mungkin mengetahui bahwa Dia itu sia-
pa, namun kita tidak dapat tahu siapa dan apa Dia sebenar-
nya. Mata dapat melihat lautan namun tidak melihat melam-
pauinya. Kita, dengan penyelidikan yang rendah hati, rajin
dan percaya, dapat menemukan sesuatu tentang Allah,
namun tidak dapat menemukan-Nya dengan sempurna. Kita
dapat mengenal namun tidak dapat mengetahui dengan sepe-
nuhnya siapa Allah itu maupun menemukan karya-Nya dari
awal sampai akhir (Pkh. 3:11). Perhatikanlah, Allah tidak
dapat terselami. Masa-masa kekekalan-Nya tidak dapat dihi-
tung, maupun ruang-ruang dari kebesaran-Nya tidak dapat
diukur. Kedalaman hikmat-Nya tidak dapat dipahami, dan
jangkauan kekuatan-Nya tidak terbatas. Terang kemuliaan-
Nya tidak pernah dapat dijelaskan dan harta kebaikan-Nya
tidak dapat dihitung. Inilah alasannya mengapa kita harus
selalu berbicara tentang Allah dengan kerendahan hati dan
berhati-hati dan jangan pernah memerintah Dia atau ber-
tengkar dengan-Nya. Inilah alasannya mengapa kita harus
bersyukur untuk apa yang telah dibukakan-Nya bagi kita,
dan mengapa kita harus merindukan berada di tempat di
mana kita akan melihat-Nya sebagaimana Dia adanya
(1Kor. 13:9-10).
(2) Kodrat dan keberadaan Allah itu secara tak terbatas me-
lampaui batas-batas seluruh ciptaan: Tingginya seperti
langit (demikianlah dibaca oleh beberapa orang), dalamnya
melebihi dunia orang mati, jurang yang luar biasa lebar,
lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas
dari pada samudera, yang banyak bagiannya tidak dapat
diungkapkan hingga sekarang, apa lagi pada masa Ayub
dahulu. Sungguh jauh dari jangkauan kita untuk dapat
memahami kodrat Allah. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan
itu (Mzm. 139:6). Kita tidak dapat memahami rancangan
Allah maupun menemukan alasan dari cara kerja-Nya. Pe-
nilaian-Nya teramat dalam. Rasul Paulus menyatakan be-
sarnya kasih ilahi itu sebagai tidak terukur, seperti Zofar di
sini mengenai hikmat ilahi, namun ia mendorong kita untuk
mengenal kasih-Nya itu. Efesus 3:18-19: Aku berdoa, supa-
ya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat
memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya
dan dalamnya kasih Kristus.
2. Allah yaitu Tuhan yang berdaulat (ay. 10): Apabila Ia lewat
dan membinasakan melalui kematian atau, apabila Ia mem-
buat suatu perubahan, sebab kematian yaitu sebuah peru-
bahan. Apabila ia membuat suatu perubahan di dalam bang-
sa-bangsa, di dalam keluarga, di dalam semua urusan kita,
apabila ia melakukan penangkapan ke dalam penjara, atau ke
dalam jaring malapetaka (Mzm. 66:11), apabila ia menangkap
makhluk ciptaan seperti seorang pemburu menangkap mang-
sanya, ia akan mengumpulkannya (demikianlah Uskup Patrick)
dan siapakah yang dapat memaksanya untuk memulihkan?
Atau apabila ia mengumpulkan kembali, seperti ilalang untuk
dibakar, atau Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, dan me-
ngembalikan nafas-Nya pada-Nya (34:14), maka siapakah yang
dapat mencegah-Nya? Siapakah yang dapat menahan hukuman
dan menentang eksekusi? Siapakah yang dapat mengendalikan
kuasa-Nya atau menyalahkan hikmat dan keadilan-Nya? Apa-
bila Ia yang telah menjadikan segala sesuatu dari yang tidak
ada menganggap cocok untuk mengembalikan semuanya ke-
pada yang tidak ada, atau kepada keadaannya semula yang
kacau balau, apabila Ia yang pada mulanya telah memisahkan
antara terang dan gelap, daratan dan lautan, berkehendak me-
ngumpulkan mereka kembali, apabila Ia yang telah menjadi-
kan membuatnya menjadi tidak ada, siapakah yang dapat me-
nolak-Nya, mengubah pikiran-Nya atau menahan tangan-Nya,
menghalangi atau menghentikan prosesnya?
3. Allah yaitu pengamat anak-anak manusia yang ketat dan
adil (ay. 11): Ia mengenal manusia yang fana. Kita hanya tahu
sedikit tentang Dia, namun Ia mengenal kita dengan sempurna:
Ia melihat kejahatan, bukan untuk menyetujuinya (Hab. 1:13),
melainkan untuk mencela dan menentangnya.
(1) Ia mengamati manusia yang fana. Semua orang yaitu demi-
kian (setiap orang, sebaik apa pun, semuanya yaitu fana),
dan mempertimbangkan kefanaan mereka saat berurusan
dengan mereka. Ia mengetahui rencana dan pengharapan
manusia yang fana, dan dapat menghancurkan serta menga-
lahkan semuanya itu, semua pekerjaan dari khayalan bodoh
mereka. Ia duduk di sorga dan menertawakan mereka. Ia
mengetahui kesia-siaan manusia (yaitu, dosa-dosa kecil me-
reka, demikian kata beberapa orang), pikiran mereka yang
sia-sia dan kata-kata mereka yang sia-sia, serta ketidak-
setiaan mereka dalam apa yang baik.
(2) Ia mengamati orang-orang yang jahat: Ia melihat kejahatan
yang bertambah-tambah, kendati dilakukan secara rahasia
dan dengan sedemikian cerdik disamarkan. Semua keja-
hatan orang fasik telanjang dan terbuka di hadapan mata
Allah yang Maha melihat segalanya: Apakah Ia tidak mem-
pertimbangkannya? Ya, tentu saja Ia akan, dan akan mem-
perhitungkannya, kendati untuk sesaat Ia tampak diam.
II. Lihatlah di sini siapakah manusia itu dan kiranya dia mau meren-
dahkan diri sebab nya (ay. 12). Allah melihat siapakah manusia
yang sia-sia ini, supaya manusia mau menjadi bijaksana, mau
berpikir demikian, maka anak keledai liarpun dapat lahir sebagai
manusia, begitu kotor dan bodoh, tidak dapat diajar dan dijinak-
kan. Lihatlah siapakah manusia itu.
1. Ia yaitu makhluk ciptaan yang sia-sia – kosong. Demikianlah
perkataannya. Allah menjadikan dia utuh, namun dia mengo-
songkan diri, memiskinkan diri, dan sekarang ia menjadi raca,
suatu makhluk ciptaan yang tidak punya apa-apa di dalam
dirinya.
2. Ia yaitu makhluk ciptaan yang bodoh, telah menjadi seperti
hewan yang dibinasakan (Mzm. 49:21, 73:22), seorang idiot,
yang dilahirkan seperti seekor keledai, binatang yang paling
dungu, seekor keledai jantan muda, yang belum bisa berguna.
Apabila ia menjadi baik untuk sesuatu, hal itu terjadi sebab
anugerah Kristus, yang sekali, di hari kemenangan-Nya, mela-
yani Dia melalui seekor keledai jantan muda.
3. Ia yaitu seekor hewan yang tidak bisa diatur seenaknya.
Seekor keledai jantan muda masih bisa dimanfaatkan dengan
baik untuk sesuatu, namun keledai jantan yang liar tidak akan
mau ditundukkan, dan tidak peduli dengan teriakan peng-
giringnya (Lih. 39:5-7). Manusia menganggap diri sangat bebas
dan menjadi tuan bagi diri sendiri, seperti keledai jantan yang
muda, yang melepaskan diri lari ke padang gurun (Yer. 2:24),
ingin memuaskan selera dan hasratnya sendiri.
4. Namun ia yaitu makhluk ciptaan yang sombong dan percaya
diri sendiri. Ia ingin menjadi bijaksana, ingin berpikir demi-
kian, menilai tinggi diri sendiri sebab hikmatnya, kendati ia
tidak mau menundukkan diri kepada hukum hikmat. Ia ingin
menjadi bijaksana, yaitu hendak menjangkau hikmat yang ter-
larang, dan, seperti orangtuanya yang pertama, bermaksud
menjadi bijaksana melebihi apa yang tertulis, kehilangan pohon
kehidupan guna memperoleh pohon pengetahuan. Nah, jadi
apakah makhluk yang sedemikian pantas bertengkar dengan
Allah atau memintai Dia memberi pertanggungjawaban? Jika
memang kita ini lebih baik dalam mengenal Allah dan diri sen-
diri, maka seharusnya pula kita lebih tahu bagaimana bersi-
kap terhadap Allah.
Nasihat Zofar
(11:13-20)
13 Jikalau engkau ini menyediakan hatimu, dan menadahkan tanganmu ke-
pada-Nya; 14 jikalau engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu, dan
tidak membiarkan kecurangan ada dalam kemahmu, 15 maka sesungguhnya,
engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela, dan engkau akan berdiri
teguh dan tidak akan takut, 16 bahkan engkau akan melupakan kesusahan-
mu, hanya teringat kepadanya seperti kepada air yang telah mengalir lalu.
17 Kehidupanmu akan menjadi lebih cemerlang dari pada siang hari, kegelap-
an akan menjadi terang seperti pagi hari. 18 Engkau akan merasa aman,
sebab ada harapan, dan sesudah memeriksa kiri kanan, engkau akan pergi
tidur dengan tenteram; 19 engkau akan berbaring tidur dengan tidak digang-
gu, dan banyak orang akan mengambil muka kepadamu. 20 namun mata
orang fasik akan menjadi rabun, mereka tidak dapat melarikan diri lagi; yang
masih diharapkan mereka hanyalah menghembuskan nafas.”
Zofar di sini, seperti dua sahabat lainnya, mendorong Ayub untuk ber-
harap akan saat-saat yang lebih baik jika dia mau berubah dan ber-
sikap lebih baik.
I. Zofar memberi Ayub nasihat yang baik (ay. 13-14), seperti halnya
Elifas (5:8), dan Bildad (8:5). Ia ingin agar Ayub bertobat dan kem-
bali kepada Allah. Amatilah langkah-langkah pertobatan yang di-
nasihatkannya.
1. Ayub harus melihat ke dalam batinnya dan mengubah pikiran-
nya, maka pohon akan menjadi baik. Ia harus menyediakan
hatinya. Di sana karya perubahan dan pembaruan harus di-
mulai. Hati yang mengembara dari Allah harus dipulihkan,
yang dinajiskan dengan dosa dan menjadi kacau harus diber-
sihkan dan ditertibkan kembali, yang bimbang dan goyah ha-
rus diteduhkan dan ditegakkan. Demikianlah arti dari perkata-
an ini. Hati telah siap bagi Allah, saat telah dibulatkan de-
ngan yakin dan sepenuhnya untuk kembali kepada Allah dan
dilaksanakan.
2. Ia harus melihat ke atas dan menadahkan tangannya kepada-
Nya, yaitu, harus sungguh-sungguh mengarahkan diri untuk
berpegang kepada Allah, harus berdoa kepada-Nya dengan ke-
sungguhan dan kegigihan, bergumul di dalam doa, dan dengan
pengharapan untuk menerima belas kasihan dan anugerah
dari Dia. Menadahkan tangan kepada TUHAN berarti berserah
diri kepada-Nya dan mengadakan kovenan dengan-Nya (2Taw.
30:8). Inilah yang harus diperbuat Ayub, dan, untuk itu ia ha-
rus menyiapkan hatinya. Ayub telah berdoa, namun Zofar ingin
Ayub berdoa dengan sikap yang lebih baik, bukan sebagai se-
orang pemohon banding, melainkan sebagai seorang pemohon
yang memanjatkan permohonan dengan rendah hati.
3. Ia harus memperbaiki apa yang salah dalam perilakunya, jika
tidak maka doa-doanya tidak akan berguna (ay. 14): “Jikalau
engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu (yaitu, jika
ada suatu dosa yang engkau lakukan) jauhkanlah, tinggalkan-
lah dengan kebencian dan suatu kemarahan suci, dengan te-
guh hati memutuskan untuk tidak kembali lagi kepada dosa
itu, dan tidak akan pernah punya hubungan lagi dengannya
(Yeh. 18:31; Hos. 14:9; Yes. 30:22). Jikalau ada di tanganmu
suatu keuntungan diperoleh dari kesalahan, barang-barang yang
diperoleh melalui penipuan atau penindasan, lakukan pengganti-
annya” (seperti Zakheus, Luk. 19:8), “dan kebaskan pegangan
tanganmu daripadanya” (Yes. 33:15). Kesalahan dosa tidak akan
dihapuskan jika perolehan dari dosa tidak dipulihkan.
4. Ia harus melakukan yang terbaik untuk memperbarui keluar-
ganya: “Jangan biarkan kecurangan ada di dalam kemahmu.
Janganlah kemahmu menampung atau melindungi orang-
orang fasik, perbuatan-perbuatan jahat, atau kekayaan yang
diperoleh melalui kejahatan.” Zofar mencurigai kalau keluarga
besar Ayub telah dipimpin secara kacau, sehingga di dalamnya
ada banyak orang fasik, dan kehancuran keluarganya yaitu
hukuman dari kejahatan keluarganya itu. sebab itu, jika dia
berharap Allah mau kembali kepadanya, maka dia harus mem-
perbarui apa yang salah dalam keluarganya, dan jika ada ke-
jahatan masuk dalam kemahnya, dia tidak boleh membiarkan-
nya tinggal di sana (Mzm. 101:3, dst.).
II. Ia meyakinkan Ayub akan menerima penghiburan, jika dia mene-
rima nasihatnya (ay. 15, dst.). Apabila dia mau bertobat dan mem-
perbarui diri, tanpa diragukan lagi, dia akan menjadi tenang dan
bahagia, dan semuanya akan menjadi baik. Mungkin Zofar ingin
maksudkan, bahwa, kecuali Allah dengan segera membuat suatu
perubahan seperti ini terhadap keadaan Ayub, maka dia dan
sahabat-sahabatnya akan diteguhkan dalam pendapat mereka
tentang dia sebagai seorang munafik dan orang yang berpura-
pura kepada Allah. Meskipun demikian, ada sebuah kebenaran
agung dinyatakan di sini, bahwa Di mana ada kebenaran di situ
akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah kete-
nangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yes. 32:17).
Orang-orang yang dengan sungguh-sungguh berpaling kepada
Allah dapat berharap mendapatkan,
1. Keyakinan yang kudus kepada Allah: “Maka sesungguhnya,
engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela. Engkau dapat
dengan berani menghadap takhta anugerah, tidak dengan ke-
ngerian atau ketakutan” (9:34). Jikalau hati kita tidak mengu-
tuk kita dengan kemunafikan dan keberdosaan, maka kita
dapat memiliki keyakinan saat mendekat kepada Allah dan
menaruh pengharapan dalam Dia (1Yoh. 3:21). Jikalau kita
dipandang di hadapan orang yang diurapi, wajah kita, yang
sedih, dapat diangkat. Kita yang cemar, dengan dibasuh de-
ngan darah Kristus, dapat mengangkat wajah tanpa cela. Kita
dapat menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan ke-
yakinan iman yang teguh, oleh sebab hati kita telah dibersih-
kan dari hati nurani yang jahat (Ibr. 10:22). Beberapa orang
memahami hal ini sebagai pembersihan nama baik Ayub di
hadapan manusia (Mzm. 37:6). Jikalau kita berdamai dengan
Allah, maka kita dengan gembira dapat memandang wajah
para sahabat kita.
2. Keteduhan diri yang kudus: Engkau tidak takut kepada kabar
celaka, hatimu tetap (Mzm. 112:7). Ayub sedang penuh dengan
kebingungan (10:15), dan dia memandang kepada Allah seba-
gai musuhnya dan bertengkar dengan Dia. namun Zofar meya-
kinkan dia bahwa, jika dia mau berserah dan merendahkan
diri, pikirannya akan menjadi tenang, dan dia akan dibebaskan
dari pemahaman yang menakutkan tentang Allah, yang telah
membuatnya begitu gelisah. Semakin kecil rasa takut kita, se-
makin diteguhkan hati kita, dan kita pun semakin mantap
dalam pelayanan kita dan penderitaan kita.
3. Penghiburan saat merenungkan segala masalah masa lalu (ay.
16): “Engkau akan melupakan kesusahanmu, seperti seorang
ibu yang melupakan penderitaannya waktu melahirkan sebab
merasa sukacita bahwa sang bayi telah lahir. Engkau akan
sungguh-sungguh dibebaskan dari pengaruh masa lalu yang
membayangi dan hanya teringat kepadanya seperti kepada air
yang telah mengalir lalu. Masalah masa lalu itu akan seperti
air yang ditumpah dari sebuah bejana, habis dengan semua
rasanya. Luka-luka dari malapetakamu sekarang akan disem-
buhkan sama sekali, tidak hanya tanpa bekas luka, namun juga
tanpa bekas rasa sakit.” Ayub telah berupaya untuk melupa-
kan keluhannya (9:27), namun mendapati diri tidak sanggup.
Jiwanya masih mengingat akan ipuh dan racun itu: namun di
sini Zofar memberi jalan untuk melupakannya. Kiranya dia
dengan iman dan doa membawa kesedihan dan perkaranya
kepada TUHAN, meninggalkannya kepada TUHAN, maka dia
akan melupakannya. saat dosa duduk dengan berat, maka
derita duduk dengan tenang. Jikalau kita sungguh-sungguh
mengingat dosa kita sebagaimana mestinya, kita akan melupa-
kan kesengsaraan kita, apalagi jika kita memperoleh penghi-
buran dari pengampunan yang dimeteraikan dan damai yang
teguh. Barang siapa yang pelanggarannya diampuni, tidak akan
berkata, aku sakit, melainkan akan melupakan penyakitnya
(Yes. 33:24).
4. Suatu pengharapan penuh penghiburan akan kedamaian masa
depan mereka. Zofar ini berpikir untuk menyenangkan Ayub,
dengan menjawab banyak ungkapan Ayub yang menyedihkan,
yang seakan-akan merasa tidak ada gunanya untuk berharap
dapat melihat hari-hari baik kembali di dalam dunia ini: “Ya,
namun engkau dapat” (kata Zofar) “memperoleh malam-malam
yang indah juga.” Suatu pengharapan akan perubahan penuh
berkat diajukan Zofar kepada Ayub.
(1) Bahwa kendati kini terangnya redup, ia akan bersinar kem-
bali dan lebih cemerlang daripada sebelumnya (ay. 17).
Bahwa bahkan mataharinya yang terbenam akan lebih
terang daripada matahari siangnya, dan malamnya akan
menjadi cerah dan terang seperti di pagi hari, dalam hal ke-
hormatan dan kesenangan. Bahwa terangnya akan terbit
dalam gelap (Yes. 58:10), dan awan yang tebal serta gelap,
yang dari belakangnya mataharinya akan keluar bersinar,
akan berfungsi sebagai minyak pembakar kilaunya. Bahwa
mataharinya akan bersinar bahkan di usia tua dan hari-
hari yang jahat itu akan menjadi hari-hari yang baik bagi-
nya. Perhatikanlah, saat orang sungguh-sungguh ber-
paling kepada Allah, saat itulah ia mulai bersinar terang.
Jalan mereka seperti lampu terang yang semakin lama
semakin terang, akhir dari siang hari mereka akan menjadi
kesempurnaannya, dan malam hari mereka bagi dunia ini
akan menjadi pagi hari yang lebih baik.
(2) Bahwa, kendati kini dia berada dalam ketakutan dan ke-
ngerian terus-menerus, dia akan hidup dalam suatu per-
istirahatan dan keamanan yang kudus, dan mendapati diri
aman dan damai terus-menerus (ay. 18): Engkau akan me-
rasa aman sebab ada harapan. Perhatikanlah, orang-orang
yang mempunyai suatu pengharapan yang baik, melalui
anugerah, di dalam Allah, dan akan sorga, pastilah sela-
mat, dan punya alasan untuk aman, betapa pun sulitnya
waktu-waktu yang harus mereka lalui di dalam dunia ini.
Siapa yang berjalan dengan benar akan berjalan dengan
pasti sebab , kendati ada masalah dan bahaya, ada peng-
harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhir-
nya. Pengharapan yaitu sauh yang kuat dan aman bagi
jiwa kita (Ibr. 6:19). “Engkau akan menggali di sekeliling-
mu,” yaitu, “Engkau akan menjadi aman seperti pasukan di
dalam kubu pertahanannya.” Orang-orang yang berserah
kepada pemerintahan Allah akan dibawa dalam perlindung-
an-Nya sehingga mereka aman baik siang maupun malam.
[1] Menjelang siang, saat mereka bekerja di luar: “Engkau
akan memeriksa kiri kanan dan merasa tenteram, engkau
dan hamba-hambamu bagimu, dan tidak lagi diserang
oleh para perampok yang biasanya menyerang hamba-
hambamu saat membajak” (1:14-15). Tidak ada dalam
bagian kemakmuran yang dijanjikan bahwa dia harus
hidup dalam kemalasan, melainkan bahwa dia akan me-
miliki suatu panggilan dan mengikutinya, dan, saat
dia hendak memulai pekerjaannya, ia akan berada di ba-
wah perlindungan ilahi. Engkau akan memandang ber-
keliling dan aman, tidak merampok dan menjadi aman,
bergembira dan aman. Jalan panggilan yaitu jalan ke-
selamatan.
[2] Menjelang malam, saat mereka beristirahat di rumah:
Engkau akan pergi tidur (dan enak tidurnya orang yang
bekerja) dengan aman, sekalipun ada bahaya kegelapan.
Tiang-tiang awan di siang hari akan menjadi sebuah
tiang api di malam hari: “Engkau akan berbaring tidur
(ay. 19), tidak dipaksa untuk mengembara di mana tidak
ada tempat untuk membaringkan kepalamu, atau dipak-
sa untuk mengawasi dan duduk menantikan penjagalan.
Namun engkau akan tidur di waktu tidur, dan tidak
hanya tidak ada yang mencelakakan engkau, namun juga
tak satu pun akan membuat engkau takut dan mem-
buatmu harus berjaga-jaga.” Perhatikanlah, merupakan
belas kasihan yang besar untuk mendapatkan malam
yang tenang dan tidur yang tak terganggu. Orang-orang
yang berkata begitu yaitu orang-orang yang mendengar
suara perang. Dan cara untuk menjadi tenang yaitu
mencari Allah dan menjaga diri kita tetap di dalam kasih-
Nya. Tidak ada yang perlu membuat takut orang-orang
yang kembali kepada Allah sebagai tempat berteduh dan
menjadikan Dia tempat kediaman mereka.
(3) Bahwa, kendati kini dia diremehkan namun dia akan dirayu:
“Banyak orang akan mengambil muka kepadamu, dan meng-
anggap penting untuk menjalin persahabatan dengan eng-
kau.” Perbuatan mengambil hati biasanya dilakukan terha-
dap orang-orang yang terkenal bijaksana, yang sangat kaya
atau berkuasa. Zofar mengenal Ayub dengan baik sehingga
dia meramalkan bahwa, betapa pun rendahnya kemundur-
annya sekarang, namun jika sekali air pasang berubah, ia
akan mengalir setinggi-tingginya, dan sekali lagi ia akan
menjadi orang kesayangan negerinya. Barang siapa meng-
ambil hati Allah dengan benar, ia mungkin akan melihat
hari saat orang lain akan mengambil hati kepadanya,
seperti yang dilakukan para gadis yang bodoh itu dengan
berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana, Berilah kami
sedikit dari minyakmu itu.
III. Zofar mengakhiri dengan sebuah komentar singkat tentang nasib
akhir dari orang fasik (ay. 20): namun mata orang fasik akan men-
jadi rabun. Tampaknya dia mencurigai Ayub tidak akan menerima
nasihatnya, sehingga di sini memberi tahu Ayub apa yang akan
menimpanya, dengan memperhadapkan kematian dan kehidupan
di hadapannya. Lihatlah apa yang terjadi atas mereka yang ber-
sikeras di dalam kejahatan mereka dan tidak mau diperbarui.
1. Mereka tidak akan mencapai kebaikan yang mereka dambakan
di dalam kehidupan ini maupun yang akan datang. Kekecewa-
an akan menjadi nasib akhir mereka, rasa malu mereka, sik-
saan mereka yang tak kunjung berakhir. Mata mereka akan
rabun dengan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah
kunjung tiba. Pengharapan orang fasik gagal pada kematian-
nya (Ams. 11:7). Harapan mereka akan seperti embusan nafas,
menghilang dari ingatan. Atau pengharapan mereka akan
binasa dan berakhir seperti manusia saat dia mengembus-
kan napas. Pengharapan akan mengecewakan mereka saat
mereka sangat membutuhkannya dan saat mereka mengha-
rapkannya tergenapi. Pengharapan akan mati dan membuat
mereka kebingungan.
2. Mereka tidak akan terhindari dari kejahatan yang kadang-
kadang mereka takutkan akan menimpa mereka. Mereka tidak
akan dapat lolos dari pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan
ke atas mereka, tidak mampu mengatasinya atau luput dari-
nya. Barang siapa tidak mau lari menuju Allah akan menda-
pati sia-sia untuk berpikir dapat lari dari-Nya.
PASAL 12
i pasal ini dan di dua pasal selanjutnya kita mendapati jawaban
Ayub terhadap pembicaraan Zofar, di mana, seperti sebelumnya,
Ayub pertama memperdebatkan pendapat sahabat-sahabatnya (Lih.
13:19), lalu berpaling kepada Allahnya dan mengungkapkan keberat-
annya kepada-Nya, dari situ sampai akhir pembicaraannya. Di pasal
ini Ayub menyatakan dirinya kepada sahabat-sahabatnya, dan
I. Ia mengecam apa yang mereka katakan tentang dirinya dan
penghakiman yang mereka jatuhkan atas perangainya (ay. 1-5).
II. Ia menyanggah dan menentang apa yang mereka katakan ten-
tang penghancuran orang fasik, dengan menunjukkan bahwa
sering kali orang-orang itu justru hidup makmur (ay. 6-11).
III. Ia setuju dengan apa yang mereka katakan tentang hikmat,
kuasa, dan kedaulatan Allah, serta kekuasaan-Nya dalam meng-
atur semua anak manusia dan seluruh urusan mereka. Ia mem-
benarkan hal ini dan memperluasnya lebih lanjut (ay. 12-25).
Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar
(12:1-5)
1 namun Ayub menjawab: 2 “Memang, kamulah orang-orang itu, dan bersama-
sama kamu hikmat akan mati. 3 Aku pun mempunyai pengertian, sama se-
perti kamu, aku tidak kalah dengan kamu; siapa tidak tahu hal-hal serupa
itu? 4 Aku menjadi tertawaan sesamaku, aku, yang mendapat jawaban dari
Allah, bila aku berseru kepada-Nya; orang yang benar dan saleh menjadi ter-
tawaan. 5 Penghinaan bagi orang yang celaka, – demikianlah pendapat orang
yang hidup aman – suatu pukulan bagi orang yang tergelincir kakinya.
Teguran yang diberikan Ayub kepada sahabat-sahabatnya di sini,
yang entah patut atau tidak, bisa menjadi sebuah ajaran untuk me-
negur semua orang yang angkuh dan sinis. Tegurannya itu juga
membukakan kebodohan mereka.
I. Ia menegur para sahabatnya itu akan kecongkakan mereka dan
akan anggapan mereka bahwa mereka lebih berhikmat daripada
dia. Tidak ada sikap yang lebih lemah dan tidak pantas, lebih
patut ditertawakan daripada anggapan mereka itu.
1. Ayub menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang meng-
anggap diri satu-satunya yang punya hikmat (ay. 2). Ayub ber-
bicara dengan menyindir, “Memang, kamulah orang-orang itu.
Kalian pikir, kalian pantas memberi petunjuk dan membuat
hukum untuk seluruh umat manusia, dan bahwa putusan-
mulah yang selayaknya menjadi patokan untuk mengukur dan
mengkaji pendapat setiap orang. Seakan-akan tidak ada orang
lain yang bisa membedakan antara benar dan palsu, baik dan
buruk, selain kamu. Dan oleh sebab itu langit tertinggi pun
harus tunduk kepadamu. Benar atau salah, kami semua ha-
rus mengatakan apa yang kamu katakan dan kamu bertiga
menjadi orang-orang itu, yang mempunyai suara terbesar seba-
gai penentu.” Ingat, siapa pun yang menganggap dirinya lebih
berhikmat daripada seluruh sisa umat manusia atau berbicara
dan bertingkah dengan sikap memerintah dan begitu yakin
akan hal ini, sangatlah bodoh dan berdosa. Bahkan, lanjut
Ayub, “Kamu tidak hanya berpikir bahwa sekarang ini tidak
ada orang lain yang berhikmat seperti kamu, melainkan juga
bahwa tidak akan pernah ada orang yang berhikmat seperti
kamu, dan bahwa oleh sebab itu bersama-sama kamu hikmat
akan mati. Juga, bahwa seluruh dunia akan menjadi bodoh
saat kamu tiada dan menjadi gelap saat mataharimu
terbenam.” Ingat, suatu kebodohan bagi kita untuk berpikir
bahwa akan ada kehilangan besar yang tidak dapat diperbaiki
lagi saat kita tiada atau bahwa kita tidak tergantikan. Allah
selalu masih punya kuasa Roh untuk membangkitkan orang
lain, yang lebih layak daripada kita, untuk melakukan pekerja-
an-Nya. saat orang berhikmat dan orang benar mati, sung-
guh suatu penghiburan bahwa hikmat dan kebaikan tidak
akan mati bersama dengan mereka. Menurut beberapa tafsir-
an, Ayub di sini menyindir apa yang dikatakan Zofar saat Zofar
membandingkan Ayub (begitu pikirnya) dan orang lain dengan
anak keledai liar (11:12). “Ya,” kata Ayub, “memang kami ha-
nyalah keledai, dan cuma kamu saja yang manusia.”
2. Ia berlaku adil terhadap dirinya sendiri dengan memberi per-
nyataan bahwa ia juga mendapat bagian dari karunia hikmat
ini (ay. 3): “Akupun mempunyai pengertian (hati), sama seperti
kamu. Bahkan, aku tidak kalah dengan kamu.” “Aku pun bisa
menilai jalan-jalan dan arti dari penyelenggaraan ilahi dan
menafsirkan bagian-bagiannya yang sulit, sama seperti kamu.”
Ia mengatakan hal ini bukan untuk membesarkan dirinya sen-
diri. Bukanlah suatu pujian besar untuk dirinya bila ia menga-
takan, Akupun mempunyai pengertian, sama seperti kamu.
Tidak juga saat ia mengatakan, “Aku memahami hal ini
sebaik kamu.” Sebab, untuk alasan apa ia atau mereka mera-
sa bangga memahami apa yang sudah jelas dan yang setara
dengan kemampuan orang yang paling rendah sekalipun?
“Siapa tidak tahu hal-hal serupa itu? Hal-hal benar yang kamu
katakan merupakan kebenaran yang sudah jelas dan perkara
yang umum, yang bisa diperbincangkan banyak orang lain
dengan sama hebatnya seperti kamu atau aku.” namun , ia me-
ngatakan hal ini untuk merendahkan hati mereka, dan mene-
gur mereka sebab memandang diri tinggi seperti seorang guru
besar. Perhatikanlah,
(1) Menimbang ada betapa banyaknya jumlah orang yang ber-
pengetahuan luas seperti kita, atau bahkan lebih luas dan
lebih berguna lagi, maka selayaknya ini mencegah kita
berbangga diri dengan pengetahuan kita.
(2) Saat kita tergoda untuk mengecam dengan keras mereka
yang berbeda dari kita dan yang menjadi lawan kita ber-
debat, hendaknya kita mempertimbangkan bahwa mereka
pun mempunyai pengertian sama seperti kita, kemampuan
untuk menilai dan hak untuk menilai sendiri. Bahkan,
mungkin mereka tidak kalah dengan kita, namun justru
lebih unggul, dan mungkin merekalah yang benar dan kita
yang salah. Oleh sebab itu, kita hendaknya jangan meng-
hakimi atau meremehkan mereka (Rm. 14:3) atau berlagak
menjadi guru (Yak. 3:1), sebab kita semua yaitu saudara
(Mat. 23:8). Sangatlah bijak bila kita mempertimbangkan,
bahwa semua orang yang berbicara dengan kita, yang ber-
debat dengan kita, juga merupakan makhluk ciptaan yang
berakal budi sama seperti kita.
II. Ayub mengeluh betapa hinanya mereka memperlakukan dia.
Orang yang tinggi hati dan besar kepala umumnya suka mengejek
dan siap menginjak-injak semua yang di sekitarnya. Itu yang di-
alami Ayub, atau paling tidak itu yang dipikirnya (ay. 4): Aku
menjadi tertawaan sesamaku. Saya tidak bisa mengatakan bahwa
ada alasan untuk tuduhan ini. Kita tentu tidak akan berpikir bah-
wa sahabat-sahabat Ayub berencana untuk menyakitinya atau
mempunyai tujuan lain selain untuk menginsafkannya dan de-
ngan begitu mengiburnya, dengan cara yang tepat. Meskipun be-
gitu, Ayub berseru, Aku menjadi tertawaan sesamaku. Ingat, kita
gampang menyebut teguran sebagai celaan, dan merasa diter-
tawakan saat kita hanya dinasihati dan diingatkan. Rasa jengkel
ini merupakan kebodohan kita, dan kesalahan besar terhadap
kita sendiri dan terhadapa sahabat-sahabat kita. namun , kita ha-
rus mengakui bahwa tuduhan Ayub ada benarnya juga. Sahabat-
sahabat Ayub datang untuk menghiburnya, namun mereka mem-
buatnya kesal. Mereka memberinya anjuran dan dorongan sema-
ngat, namun tanpa ada keyakinan bahwa yang satu maupun yang
lainnya akan berhasil. Oleh sebab itu, Ayub berpikir mereka me-
nertawakannya dan hal ini menambah kepedihannya. Bagi orang
yang jatuh dari tingginya kemakmuran ke dalam jurang mala-
petaka, tidak ada yang lebih memedihkan daripada saat mereka
diinjak dan dihina saat mereka sudah tergeletak. Mengenai hal
ini, mereka gampang curiga. Perhatikan,
1. Apa yang memperberat kepedihan ini bagi Ayub. Dua hal:
(1) Bahwa mereka merupakan sesamanya, sahabatnya, rekan-
rekan pergaulannya (demikian arti kata yang dipakai). Dan
sindiran seorang sahabat sering kali terasa paling kejam
dan selalu diterima dengan rasa sangat gusar. Mazmur
55:13-14, Kalau musuhku yang mencela aku, aku masih
dapat mengabaikannya dan dengan begitu menanggung-
nya; namun engkau orang yang dekat dengan aku, temanku.
(2) Bahwa mereka merupakan para penganut agama, orang-
orang yang berseru kepada Allah, dan mengatakan bahwa
mereka mendapat jawaban dari-Nya. Menurut beberapa
tafsiran, bagian ini merujuk kepada orang-orang yang men-
cemooh Ayub. “Mereka selalu memandang ke sorga dan
mendapat perkenanan sorga, dan oleh sebab itu aku ber-
suka dan bersyukur atas doa mereka. Pendapat baik me-
reka pastinya aku dambakan, dan oleh sebab itu kecaman
mereka lebih terasa pedih.” Perhatikanlah, sungguh menye-
dihkan bila seseorang yang berseru kepada Allah tega me-
nertawakan sesamanya (Yak. 3:9-10). Pastilah terasa berat
hati orang yang baik bila orang-orang yang ia hormati jus-
tru berpikir buruk tentang dirinya. namun , ini bukan suatu
hal yang baru.
2. Apa yang menopang Ayub di bawah kepedihan itu.
(1) Bahwa Ayub mempunyai Allah yang bisa ia datangi, untuk
mengajukan keberatannya. sebab menurut beberapa taf-
siran lain, kata-kata ini mengarah kepada orang yang di-
cemooh, yaitu Ayub, yang yakin bahwa aku mendapat ja-
waban dari Allah, bila aku berseru kepada-Nya, dan dengan
begitu ayat ini selaras dengan Ayub 16:20. Sekalipun aku
dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah
mataku menengadah sambil menangis. Sahabat-sahabat
kita bisa tuli terhadap keluhan kita, namun Allah tidak. Bila
mereka mengecam kita, Allah mengetahui kebenaran hati
kita. Bila mereka berpikir buruk tentang kita, Ia berpikir
yang terbaik. Bila mereka memberi jawaban dengan gusar,
Ia memberi jawaban yang lemah lembut.
(2) Bahwa perkaranya bukan satu-satunya, namun sangat umum:
orang yang benar dan saleh menjadi tertawaan. Ia ditertawa-
kan banyak orang hanya sebab keadilan dan kelurusannya,
kejujurannya terhadap sesama dan kesalehannya terhadap
Allah. Hal-hal ini dicemooh dan dianggap sesuatu yang bo-
doh, yang dipakai orang konyol untuk membebani diri
mereka sendiri, seakan-akan agama merupakan lelucon
dan oleh sebab itu pantas ditertawakan. Oleh kebanyakan
orang ia ditertawakan atas kekurangan dan kelemahan ter-
kecil sekalipun, tanpa memperhitungkan keadilan dan ke-
lurusan hatinya, dan tanpa memedulikan apa pun yang
menjadi kehormatannya. Perhatikanlah, sudah menjadi na-
sib orang benar dan jujur sejak dahulu untuk dihina dan
dicemooh. Jadi jangalah kita heran (1Ptr. 4:12) atau meng-
anggapnya berat kalau itu juga menjadi bagian kita. Demi-
kian juga telah dianiaya bukan hanya nabi-nabi, namun juga
orang kudus di zaman bapak-bapak leluhur (Mat. 5:12) dan
bisakah kita mengharapkan nasib yang lebih baik daripada
mereka?
3. Apa yang ia curigai sebagai penyebabnya yang sebenarnya,
yaitu, secara ringkas: bahwa mereka sendiri kaya dan hidup
nyaman, dan oleh sebab itu mereka mencemooh dia yang
jatuh dalam kemiskinan. Itulah jalannya dunia ini, dan kita
melihat kejadian seperti ini setiap hari. Orang yang makmur
dipuji, namun orang yang jatuh terpuruk dikatai, “Biarlah
mereka jatuh.” Orang yang tergelincir kakinya dan jatuh dalam
malapetaka, meskipun dulunya bersinar bagai pelita, sekarang
dipandang bagai pelita yang hampir padam, seperti sumbu
lilin yang tersisa bara kecil, yang kita buang ke lantai dan kita
injak. Oleh sebab itu, orang yang demikian dihina oleh pen-
dapat orang yang hidup aman, ayat 5. Bahkan orang adil dan
jujur sekalipun yang dalam generasinya bagai pelita yang ber-
sinar menyala-nyala, bila jatuh dalam pencobaan (Mzm. 73:2),
atau dihidupnya redup tertutup awan, akan dipandang dengan
hina. Lihat di sini,
(1) Apa yang merupakan kesalahan umum orang yang hidup
dalam kemakmuran. sebab mereka sendiri berkecukupan,
sejahtera dan girang hati, mereka memandang dengan hina
orang-orang yang berkekurangan, yang terluka dan pedih
hatinya. Mereka mengabaikan orang-orang itu, tidak meng-
hiraukan mereka, dan melupakan mereka. Baca Mazmur
123:4. Dalam kisah Yusuf, si juru minuman minum anggur
bercawan-cawan, namun tidak memikirkan penderitaan Yu-
suf. Kekayaan tanpa kasih karunia sering kali membuat
manusia tinggi hati, dan dengan begitu mereka menjadi
tidak perhatian kepada sesamanya yang sengsara.
(2) Apa yang menjadi nasib umum bagi orang yang jatuh da-
lam kesusahan. Kemiskinan memudarkan segala kilau me-
reka. Meskipun mereka seperti lilin, namun bila mereka
dikeluarkan dari tempat lilin emas dan dimasukkan dalam
buyung tanah, seperti hidup Gideon, maka tidak ada yang
menghargai mereka seperti sebelumnya. Sebaliknya, orang
yang hidup nyaman memandang hina mereka.
Jawaban Ayub Atas Nasihat Zofar
(12:6-11)
6 namun amanlah kemah para perusak, dan tenteramlah mereka yang mem-
bangkitkan murka Allah, mereka yang hendak membawa Allah dalam tangan-
nya. 7 namun bertanyalah kepada binatang, maka engkau akan diberinya peng-
ajaran, kepada burung di udara, maka engkau akan diberinya keterangan.
8 Atau bertuturlah kepada bumi, maka engkau akan diberinya pengajaran, bah-
kan ikan di laut akan bercerita kepadamu. 9 Siapa di antara semuanya itu yang
tidak tahu, bahwa tangan Allah yang melakukan itu; 10 bahwa di dalam tangan-
Nya terletak nyawa segala yang hidup dan nafas setiap manusia? 11 Bukankah
telinga menguji kata-kata, seperti langit-langit mencecap makanan?
Sahabat-sahabat Ayub semuanya berpegang pada prinsip ini, bahwa
orang fasik tidak bisa tahan lama kemakmurannya di dunia ini,
melainkan akan ada suatu penghakiman luar biasa yang dijatuhkan
atas mereka. Zofar menyimpulkan hal ini, bahwa mata orang fasik
akan menjadi rabun (11:20). Prinsip ini yang ditentang oleh Ayub di
sini. Ia bersikukuh bahwa Allah berdaulat penuh dalam menangani
perkara duniawi manusia, dan menyimpan upah dan hukuman yang
setimpal bagi setiap orang sampai hari yang akan datang itu.
I. Ia menegaskan kebenaran yang tidak bisa diragukan, bahwa ke-
makmuran orang fasik bisa, dan sering kali memang berlangsung
lama di dunia ini, (ay. 6). Bahkan pendosa besar pun bisa menik-
mati kemakmuran besar. Perhatikan,
1. Bagaimana Ayub menggambarkan para pendosa ini. Mereka
merupakan perusak dan dengan begitu mereka membangkit-
kan murka Allah. Mereka merupakan pendosa yang terparah,
penghujat dan penganiaya. Mungkin ia mengacu pada orang-
orang Syeba dan Kasdim, yang merusak apa yang ia punyai
dan yang selalu hidup dari jarahan dan rampokan mereka.
Namun, mereka hidup makmur dan seluruh dunia menyaksi-
kannya, dan tidak ada yang bisa dibantah tentang hal ini.
Satu pengamatan yang berdasarkan kenyataan itu lebih ber-
harga daripada dua puluh gagasan yang dibentuk berdasarkan
hipotesa atau kesimpulan dugaan. Atau, secara lebih umum,
semua penindas yang congkak merupakan perampok dan pem-
bajak. Sudah bisa diduga bahwa apa yang merugikan orang lain
itu juga membangkitkan murka Allah, sang pembela kebenaran
dan pelindung umat manusia. Tidaklah mengherankan bila me-
reka yang melampaui batas-batas keadilan juga melanggar se-
mua kewajiban agama, bahkan berani menentang Allah sendiri
dan membangkitkan murka-Nya tanpa pikir panjang.
2. Bagiamana Ayub menggambarkan kemakmuran mereka. Sa-
ngatlah luar biasa, sebab
(1) Amanlah kemah para perusak, semua yang hidup bersama