Mesir, yang
disalin dengan kiraah Hafsh ‘an Ashim, barangkali telah
menyurutkan minat mereka di bidang ini. Selain itu, kecemasan
akan reaksi keras yang dikemukakan kaum Muslimin terhadap
usaha semacam itu merupakan faktor lain yang patut
diperhitungkan.
Kajian-kajian al-Quran Lainnya
Kajian-kajian al-Quran paling awal di Barat, yang bermula pada
abad pertengahan dengan serangkaian penerjemahan yang ada
dalam Cluniac Corpus, pada faktanya, lebih menunjukkan karakter
apolegetik ketimbang karakter ilmiah. Suasana peperangan Salib –
dimana umat Kristiani Barat berhadap-hadapan dengan umat Is-
lam sebagai musuh bebuyutan – yang berlangsung selama beberapa
abad tampaknya yang paling bertanggung jawab terhadap
perkembangan semacam itu. Dalam suasana semacam ini, gagasan
fantastik dan imajiner tentang al-Quran, ataupun tentang
Muhammad dan Islam, ditempa dalam semangat apolegetik yang
tinggi untuk menunjukkan bahwa sekalipun kaum Muslimin secara
politik lebih superior, namun secara religius mereka memiliki
keyakinan penuh bidah yang sangat inferior.
Seperti ditunjukkan Norman Daniel dan R.W. Southern, para
penulis Kristen abad pertengahan pada umumnya telah melakukan
tantangan yang bersifat apologetik terhadap al-Quran berpijak pada
beberapa alasan yang didasarkan pada nalar dan kitab suci Kristen.28
Secara konstan mereka menegaskan ketidakbenaran al-Quran, atau
bahkan menuduh Muhammad sebagai Nabi palsu. namun ,
kebanyakan dari argumen yang diajukan didasarkan pada premis-
premis yang tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Gagasan
Barat abad pertengahan tentang al-Quran ini bisa diilustrasikan
dengan berbagai pandangan Ricoldo da Monte Croce (w.1320),
seperti terekspresikan dalam Contra legem Saracenorum
(“Penolakan terhadap Hukum Sarasens”), yang dapat diringkas
sebagai berikut:
(i) Al-Quran tidak lebih dari ramuan bidah-bidah lama yang
ditolak sebelumnya oleh otoritas gereja.
(ii) Al-Quran tidak dapat dipandang sebagai “hukum Ilahi,”
sebab tidak dinubuwatkan baik oleh Perjanjian Lama
maupun Baru. Lebih jauh, al-Quran dalam beberapa hal
secara eksplisit merujuk kepada Bible. Sedangkan doktrin
tentang pemalsuan Kitab Suci (tahrîf ) oleh kaum Kristiani
dan Yahudi tidak dapat diterima.
(iii) Gaya al-Quran tidak selaras dengan gaya suatu “Kitab
Suci.”
(iv) Tak satupun kandungan al-Quran yang berasal dari Tuhan,
seperti terlihat dalam berbagai kisah fantastik yang tidak
memiliki basis dalam tradisi biblikal. Lebih jauh, beberapa
konsepsi etik al-Quran bertentangan dengan pijakan
keyakinan filosofis.
(v) Al-Quran penuh dengan kontradiksi internal, atau betul-
betul kacau-balau (disorder).
(vi) Reliabilitas al-Quran tidak dibuktikan dengan mukjizat.
Pandangan populer kaum Muslimin bahwa Nabi telah
mendatangkan mukjizat bertentangan dengan kesaksian
al-Quran sendiri.
(vii) Al-Quran menentang nalar (reason). Hal ini terbukti oleh
cara hidup Muhammad yang tidak bermoral, dan oleh
al-Quran sendiri yang berisi keyakinan-keyakinan yang
hina dan nonsen mengenai hal-hal yang bersifat ilahiyah.
(viii)Al-Quran mengajarkan kekerasan untuk menyebarkan Is-
lam dan mengakui berbagai ketidakadilan, seperti terlihat,
misalnya, dalam surat
(ix) Teks al-Quran, sebagaimana terlihat dalam sejarahnya,
tidak menunjukkan sebagai suatu kepastian.
(x) Kisah mikraj Muhammad hanya merupakan fiksi dan
rekayasa.
Lebih jauh, Ricoldo juga membahas dalam salah satu bagian
bukunya berbagai kebohongan dan kekeliruan utama yang ada
di dalam al-Quran, dan yang dipandang sebagai kesalahpahaman
terhadap konsepsi-konsepsi biblikal atau dogmatik Kristen, seperti
masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainnya.30 Makna penting
gagasan-gagasan Ricoldo terletak dalam kenyataan bahwa gagasan-
gagasannya itu dipandang sebagai contoh klasik pandangan Barat
abad pertengahan yang paling berpengaruh tentang al-Quran.
Sementara bertahannya pengaruh Ricoldo selama beberapa abad
di Barat dapat dilihat pada usaha Martin Luther menerjemahkan
risalah apologetik Ricoldo ke dalam bahasa Jerman, Verlegung des
Alkorans (“Penolakan atas al-Quran”), pada 1542.
Pada penghujung abad pertengahan, setelah Constantinople
jatuh ke tangan Turki, Perhatian Barat terhadap Islam semakin
bertambah. Nicholas of Cusa (w. 1464) yang menyepakati gagasan
Juan of Segovia tentang perlunya dialog dengan para ulama Islam,
mengusaha kan realiasasi gagasan ini dengan menggarap suatu
kajian al-Quran, Cribratio Alchoran (“Penyaringan al-Quran”), yang
memanfaat terjemahan al-Quran Cliniac Corpus dan sumber
lainnya. namun , yang digarap Cusa dalam risalah ini adalah
tema-tema apologi lama seperti yang telah dikemukakan Ricoldo
– salah satu sumber Cusa – dan ia hanya mengungkapkan kembali
dan memperbarui argumen-argumen lama yang diwarisinya dari
sarjana-sarjana Kristen sebelumnya.31 Sekalipun demikian, karya
Cusa dipandang sebagai representasi periode ini.
Pergerakan Barat dalam mengapresiasi al-Quran berjalan
lambat. Beberapa abad setelah Cusa, belum terlihat pergeseran yang
berarti dari sikap apologetik anti-Islam yang ditunjukkan para
sarjana Barat. Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Italia yang
diterbitkan Arrivabene pada 1547, misalnya, mencakupkan de
doctrina, de generatione dan chronica sebagai bagian aktual al-
Quran. Bahkan, al-Quran versi Inggris dari terjemahan Perancis
du Ryer, yang digarap Ross pada 1649, masih memperlihatkan ciri
apologetik lama. Dalam pengantar terjemahan itu, Ross
memandang sangat bijaksana untuk melampirkan sanggahan atau
peringatan bagi orang-orang yang ingin mengetahui manfaat atau
bahaya yang bisa didapatkan dari membaca al-Quran. Ia memulai
kata pengantarnya dengan ungkapan: “Pembaca yang baik, setelah
berabad-abad lamanya, akhirnya penipu Arab yang agung (yakni
Muhammad – pen.) kini datang ke Inggris melalui Perancis, dan
Alcoran (al-Quran)-nya atau segudang kesalahan (...) telah belajar
berbahasa Inggris.”
Merosotnya pengaruh gereja di Barat pada abad ke-18, secara
substansial belum mengubah paradigma lama. Bahkan, latar
belakang dari berbagai serangan dan pujian kesarjanaan Barat
terhadap Islam pada dasarnya dimaksudkan untuk menyerang
Kristen. Senjata yang digunakan untuk tujuan ini masih tetap
bersumber pada gagasan lama abad pertengahan. Sikap F.M.A.
Voltaire terhadap Islam, misalnya, hanya berbeda dari gagasan-
gagasan abad pertengahan dalam dua aspek. Dalam Fanatisme, ou
Mahomet le Prophète, ia lebih menyukai merekayasa legendanya
sendiri – ketimbang memanfaatkan yang sudah ada – yang terlihat
tidak begitu kasar untuk tujuannya, yaitu menyerang seluruh agama
wahyu pada umumnya. Di sisi lain, Voltaire juga telah mengikuti
kecenderungan Sale. Dalam Essai sur les moeurs, ia merasa puas
telah menganalisis keyakinan Islam untuk menunjukkan bahwa
keyakinan ini diramu dari berbagai anasir yang telah eksis
sebelum Islam. Muhammad dipandang sebagai inventor suatu
agama yang berbagai ajarannya diadopsi dari gagasan yang ada di
sekelilingnya.
namun , selama abad ke-18 dan awal abad ke-19, suatu
kecenderungan mulai menguat dan berusaha menaksir ulang
gagasan-gagasan Barat abad pertengahan. Kecenderungan ini,
sebagian kecilnya merupakan hasil dari reaksi terhadap Kristen,
dan bagian terbesarnya adalah hasil dari eksplorasi sumber-sumber
Islam yang otentik. Perubahan yang mendasar dalam gagasan ini
pertama kali muncul di Inggris, dimotori oleh Thomas Carlyle.
Dalam kuliah keduanya – “The Hero as Prophet: Mahomet: Is-
lam,” 34 disampaikan pada 8 Mei 1840 – Carlyle menertawakan
gagasan abad pertengahan tentang Muhammad sebagai seorang
penipu (impostor) yang menjadi pendiri salah satu agama besar
dunia.35 Carlyle memang telah berbuat banyak dalam
mempurifikasi sikap Barat terhadap Islam dan nabinya, namun ia
gagal membangun pijakan teoritis yang absah untuk berbagai
apresiasinya. Hanya sisi praktis kuliahnya, yang mengganyang
gagasan-gagasan lama, terlihat paling berharga.
Kecenderungan baru yang dimotori Carlyle kemudian marak
dalam berbagai belahan dunia Barat pada paruhan kedua abad ke-
19. Kajian-kajian al-Quran di Barat mulai menapaki sisi akademis
dengan munculnya edisi al-Quran yang disunting Fluegel. namun ,
sebagian besar sarjana Barat yang menekuni kajian al-Quran
mengawali karirnya dengan kajian atas kehidupan Nabi. Orang
pertama yang menerapkan metode kritik-historis terhadap biografi
Muhammad adalah Gustav Weil, seorang orientalis dari Heidel-
berg, dalam karya monumentalnya, Mohammed der Prophet, sein
Leben und seine Lehre (1843), yang sayangnya tidak didasarkan
pada sumber-sumber terbaik. Sekalipun demikian, sumbangan Weil
paling bermanfaat dalam karya ini adalah gagasannya untuk
menjadikan al-Quran sebagai sumber sejarah Nabi.36 Setelah itu,
Weil menyusulkan karyanya tentang al-Quran, Historische-Kritische
Einleitung in der Koran (1844),37 yang antara lain memuat
kajiannya tentang aransemen kronologis al-Quran. Rancangan
kronologi al-Quran versi Weil ini telah dikemukan dalam bab 3.
Sementara sarjana Jerman lainnya, Aloys Sprenger, setelah
menetap selama bertahun-tahun di India dan menemukan sumber-
sumber biografi Nabi yang lebih baik dan menyadari arti
pentingnya, menerbitkan suatu esei tentang kehidupan Nabi,
Life of Mohammad (1851), di Allahabad India. Esei ini kemudian
direvisi dan diperluas dalam tiga jilid karyanya, Das Leben und
die Lehre des Mohammad (1861-1865), dimana sekitar 36 halaman
dalam jilid ketiganya dicurahkan pada kajian al-Quran. Hal-hal
yang dikemukakan dalam kajian al-Qurannya adalah perbedaan
antara surat-surat Makkiyah dan Madaniyah, dan pengumpulan
al-Quran.
Misionaris Inggris, William Muir, yang juga pernah menetap
selama bertahun-tahun di India dan menemukan sumber-sumber
baru tentang kehidupan Nabi, mengikuti jejak Sprenger dalam
menulis biografi Nabi, namun ia melangkah lebih jauh lagi ke dalam
penanggalan al-Quran. Eseinya tentang sumber-sumber biografi
Muhammad yang terlampir dalam empat jilid karya
monumentalnya, Life of Mahomet (1858-1861), memuat
kesimpulannya tentang kronologi al-Quran. namun , perhatiannya
yang serius terhadap kajian al-Quran dan penanggalan surat-
suratnya terlihat dalam karyanya, The Coran, Its Composition
and Teaching; and the Testimony its bears to the Holy Scripture
(1878).39 Gagasannya tentang penanggalan al-Quran telah
dikemukakan dalam bab 3.
Demikian pula, Theodor Noeldeke mengawali ketertarikannya
kepada al-Quran dengan menulis biografi Nabi dalam dua jilid
kecil karyanya, Das Leben Muhammed’s nach den Quellen
populaer dargestelt (1862). Setelah itu, ia memenangkan hadiah
monograf untuk penulisan sejarah kritis teks al-Quran yang
diadakan oleh Parisian Acadèmie des Inscriptions et Belles-Lettres,
dengan tulisannya dalam bahasa Latin yang membahas tentang
asal-usul dan komposisi al-Quran. Tulisan ini kemudian direvisi
dan diperluas ke dalam karyanya, Geschichte des Qorans, yang
terbit pada 1860.
Sejarah selanjutnya karya Noeldeke benar-benar seperti legenda.
saat penerbit mengusulkan penerbitan edisi kedua karya ini
pada 1898, Noeldeke – yang semakin menua – tidak sanggup
menyelesaikannya, dan akhirnya diambil alih muridnya, Friedrich
Schwally. Schwally menyelesaikan perevisiannya dengan sangat
lambat, lantaran kecermatan dan berbagai alasan lainnya,40 dan
baru pada 1909 terbit bagian pertamanya “tentang asal-usul al-
Quran” (Ueber den Ursprung des Qorans). Bagian keduanya,
“pengumpulan al-Quran” (Die Samlung des Qorans), juga muncul
dalam tenggang waktu yang lama pada 1919, setelah wafatnya
Schwally pada awal tahun itu, sehingga dalam proses pencetakan
diawasi oleh iparnya, Heinrich Zimmern, dan koleganya, A.
Fischer.41 Sebelum wafat, Schwally telah menulis lebih dari sekadar
pengantar untuk bagian ketiga, “sejarah teks al-Quran” (Geschichte
des Qorantexts). Bagian ini kemudian dilanjutkan penulisannya
oleh Gotthelf Bergstraesser dan diterbitkan secara terpisah dalam
tiga Lieferungen (bagian). Setelah publikasi Lieferung pertama dan
kedua (1926, 1929), beberapa bahan penting ditemukan yang
mengakibatkan penundaan penerbitan Lieferung ketiga. Namun,
Bergstraesser tiba-tiba wafat pada 1933. Murid Noeldeke lainnya,
Otto Pretzl, kemudian menyelesaikan penulisan bagian ini
dan baru diterbitkan pada 1938. Dengan demikian, proses
perevisian karya Noeldeke oleh murid-muridnya berjalan selama
60 tahun. namun , proses perevisian yang lama ini sebanding dengan
hasil yang dicapai karya ini . Karya yang menunjukkan
hasil kerjasama kesarjanaan yang menganggumkan itu telah
menjadi karya standar terbaik satu-satunya di bidang ini dan telah
menjadi fondasi bagi seluruh kajian kesarjanaan Barat tentang al-
Quran.42 Gagasan Noeldeke dan murid-muridnya tentang asal-usul
dan kronologi al-Quran, dan lainnya, telah dikemukakan dalam
bab-bab terdahulu.
Prestasi luar biasa yang dicapai Geschichte des Qorans
membuat beberapa sarjana Barat berlomba-lomba melakukan
penelitian mengenai kronologi al-Quran dan kajian-kajian lain-
nya tentang kitab suci ini . Hubert Grimme, misalnya,
mengungkapkan pandangannya tentang penanggalan al-Quran
dalam jilid kedua karyanya tentang biografi Nabi, Mohammed
(1892-1895). Demikian pula, Hartwig Hirschfeld pada 1902
menerbitkan penelitiannya tentang komposisi dan tafsir al-Quran,
New Researches into the Composition and Exegesis of The Qoran,
yang memuat gagasannya tentang kronologi al-Quran. Sementara
Richard Bell melakukan kajian tentang aransemen kronologis
“bagian-bagian” al-Quran dalam dua jilid terjemahannya, The
Qur’an Translated with a Critical Rearrangement of the Suras
(1937,1939). Senada dengan ini, Règis Blachère, selain membahas
tentang pengumpulan teks al-Quran, keragaman bacaan, sejarah
teks dan bahasan-bahasan lainnya dalam jilid pertama dari tiga
jilid terjemahannya, Le Coran, traduction selon un essai de
reclassement des sourates (1947-1951), juga mengemukakan
pandangan-pandangannya tentang penanggalan al-Quran.
Keseluruhan gagasan Barat tentang penanggalan al-Quran telah
didiskusikan dalam bab 3.
Sementara pada abad ke-20, selain berbagai kajian di atas,
muncul karya-karya kesarjanaan Barat lainnya, baik dalam bentuk
artikel maupun buku, yang membahas berbagai masalah yang
bertalian dengan al-Quran. beberapa besar karya ini telah
didiskusikan dalam bab-bab yang lalu, sebab itu tidak perlu
disinggung di sini. Sementara perhatian Barat terhadap sejarah
tafsir al-Quran juga terefleksikan dalam beberapa buku dan
artikel.43 namun , karya klasik Ignaz Goldziher, Die Richtungen der
islamischen Koranauslegung (1920), masih tetap merupakan karya
standar di bidang ini. Sekalipun banyak penulis Barat telah menulis
semacam pengantar untuk sejarah tafsir, baik sebagai pengantar
untuk suatu buku,44 atau sebagai artikel jurnal,45 dan beberapa
penulis lainnya berusaha menggarap semacam suplemen untuk
karya Goldziher yang mencakup keseluruhan periode tafsir hingga
periode modern,46 namun tampaknya tidak ada usaha serius untuk
mengaktualkan, memperluas, atau bahkan menggantikan karya
standar Goldziher. Karya Jane I. Smith, An Historical and Seman-
tic Study of the Term “Islãm” As Seen in a Sequence of Qur’an
Commentaries (1975), sekalipun mencakupkan keseluruhan
periode sejarah tafsir kaum Muslimin, pusat perhatiannya hanya
terbatas pada penafsiran sarjana-sarjana Muslim tertentu terhadap
beberapa bagian al-Quran yang bertalian dengan terma “islãm.”47
Dengan demikian, karya klasik Goldziher masih tetap tidak
tergantikan, meskipun telah agak ketinggalan dan butuh perevisian.
Yang lebih buruk lagi adalah perhatian kesarjanaan Barat
terhadap studi tentang al-Quran itu sendiri, yakni tafsîr dalam
pengertian sebenarnya. Dalam edisi revisi jilid dua dari Geschichte
des Qorans, Schwally mencatat bahwa karya kesarjanaan Barat
semacam itu belum pernah ditulis. Hasil penafsiran kesarjanaan
Barat umumnya ada sebagiannya di dalam karya-karya tentang
biografi Nabi, sebagian lagi dalam penelitian-penelitian mandiri
yang beragam, dan sebagian lagi di dalam terjemahan al-Quran
berupa catatan-catatan penjelasan.48 Baru pada 1971 muncul karya
tafsir Paret, Der Koran: Kommentar und Konkordanz, sebagai
lanjutan dari terjemahan al-Qurannya. Sebagaimana terlihat dari
judulnya, karya ini merupakan suatu tafsir sekaligus konkordans,
atau semacam indeks al-Quran. Keduanya dikombinasi secara
berurutan antara satu dengan lainnya dan disusun menurut
aransemen surat dan ayat. Kommentar hanya akan mengabdi pada
satu tujuan, yakni memaknai bunyi teks al-Quran menurut makna
orisinalnya, seperti dimaksudkan oleh Muhammad dalam berbagai
situasi historisnya. Sedangkan Konkordanz berusaha sejauh
mungkin memberikan petunjuk silang kepada keseluruhan bagian
al-Quran lainnya untuk suatu makna terkait atau suatu ungkapan
yang muncul dalam suatu ayat tertentu. Petunjuk silang ini secara
sekuensial disusun berdasar prioritas keterkaitannya: (i) ayat-
ayat yang identik atau hampir identik; (ii) ayat-ayat yang berkaitan
erat, yang disusun berdasar tingkat kemiripan terhadap ayat
termaksud; dan (iii) ayat-ayat yang dapat dirujuk, namun tingkat
keterkaitannya terbatas. Kesemuanya ini diberi tanda-tanda tertentu:
titik dua (:) untuk kategori pertama; Garis miring (/) untuk kategori
kedua; dan dalam tanda kurung ( ) untuk kategori ketiga.49 Dengan
demikian, Konkordanz Paret ini merupakan pengungkapan
kembali gagasan munãsabah tradisional Islam secara sangat
signifikan dan dalam alur yang progresif.
Sekalipun karya Paret di atas muncul lebih awal, suatu tafsir
al-Quran yang digarap Richard Bell, sebagai lanjutan dari
terjemahan al-Qurannya, dipersiapkan dan selesai mendahului
karya Paret. namun karya ini baru diterbitkan pada 1991 – hampir
setengah abad setelah Bell wafat (1952). Sejarah karya terakhir Bell
ini sangat menyedihkan. Setelah publikasi terjemahan al-Qurannya,
Bell menyadari bahwa rekonstruksi dan penyusunan kembali
bagian-bagian al-Quran yang dilakukannya dalam terjemahan
ini perlu mendapat justifikasi secara rinci, lantaran beberapa
besar catatan penjelasannya tidak terpublikasikan di dalamnya.
Diperkirakan bahwa catatan-catatan inilah yang dikembangkan
Bell dalam dua jilid tafsirnya, A Commentary on the Qur’an
(1991).50 Karya Bell ini , setelah diselesaikan penulisannya
dengan susah payah dan melalui berbagai revisi,51 mengendap
puluhan tahun di tangan penerbit Edinburgh University Press.
Pada permulaan dekade 1970-an, pihak penerbit menyerahkan
naskahnya dalam bentuk mikrofilm kepada C.E. Bosworth, berikut
hak penerbitannya. namun Bosworth melupakan mikrofilm ini ,
dan baru teringat saat Josef van Ess menyatakan penyesalannya
bahwa Bell tidak pernah menyelesaikan penulisan tafsirnya untuk
menyertai terjemahan al-Qurannya.
Dalam pengantar karyanya, Bell menegaskan bahwa tafsirnya
tidak ditulis dengan tujuan polemik apapun, namun dimaksudkan
untuk digunakan berdampingan dengan terjemahan al-Qurannya,
alinea per alinea, dan untuk menjelaskan secara singkat dan
gamblang rekonstruksi dan rearansemen bagian-bagian al-Quran
dalam terjemahan ini . Ia juga menegaskan bahwa dalam
penafsirannya, berbagai pandangan mufassir Muslim ataupun
sarjana Barat sejauh mungkin dikesampingkan, diganti dengan
usaha pembacaan tanpa prakonsepsi lewat pertolongan kamus,
tata bahasa, dan konkordansi al-Quran.
Eksistensi kedua karya tafsir di atas, demikian pula berbagai
kajian al-Quran Barat lainnya yang telah dikemukakan sejauh ini,
tentunya akan menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam
sendiri. Dalam suatu simposium tentang Islam dan sejarah agama-
agama yang diadakan di Arizona State University pada 1980,
kontroversi tentang keabsahan kajian-kajian keislaman yang
dilakukan oleh outsiders merebak. Dua penulis Muslim ternama,
Muhammad Abdul-Rauf dan Fazlur Rahman, memberikan respon
yang bertolak belakang tentangnya.
Abdul-Rauf, Rektor Universitas Islam Internasional, Kuala
Lumpur, mengungkapkan respon yang penuh kemarahan terhadap
kajian-kajian linguistik dan historis yang dilakukan Barat atas
materi-materi keislaman. Ia menilai kajian-kajian ini –
menurutnya lebih bersifat historis dan konjektural – telah
menjadikan Islam sebagai sasaran analisis kritis yang salah arah,
terkadang keji dan biasanya tidak sensitif. Lebih jauh, ia juga
meletakkan batas-batas wilayah kajian yang tidak boleh dimasuki
outsider, yakni al-Quran dan sunnah Nabi. Kajian-kajian Barat
yang ada selama ini tentang keduanya, menurut Abdul-Rauf, tidak
hanya merupakan suatu serangan terhadap suara hati berjuta-juta
umat Islam, namun juga menyesatkan dan tidak layak dipandang
sebagai ilmu,
Berseberangan dengan Abdul-Rauf, Rahman – dengan
memanfaatkan refleksi filosofis John Wisdom dalam karyanya,
Other Minds – memandang bahwa kajian Islam yang dilakukan
outsider bisa sama absahnya dengan insider. Kajian outsider yang
dijalankan dengan tanpa prasangka (open-minded), sensitif,
simpatik dan memiliki kriteria keilmuan yang layak (knowledge-
able), dan ditujukan untuk pemahaman atau apresiasi intelektual,
bukan hanya merupakan sejenis pengetahuan ilmiah, namun juga
akan memungkinkan bagi insider dan outsider untuk saling
bertukar-pikiran. Serangan Abdul-Rauf, menurut Rahman, hanya
efektif terhadap non-Muslim yang tidak memenuhi kriteria ini .
Rahman mengakui bahwa merupakan tugas kaum Muslimin untuk
mengungkapkan Islam, namun – menurutnya – Muslim (insider)
dan non-Muslim (outsider) tentunya dapat bekerja sama pada level
pemahaman intelektual.