Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label halal haram menurut islam 10. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Januari 2025

halal haram menurut islam 10

 


ambilan dalil larangan mencukur rambut kepala berdasarkanlafazh

ayat tersebut. Dan, mengambil dalil larangan mencukur rambut lain

berdasarkan qiyas.

Ibnu Hazm dan jajaran mazhab Zhahiriyah mengatakary "Kami

tidak menerima qiyas sebab Allah ce telah berfirman, "Dan kami tu￾runknn kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..."

(An-Nahl [16] : 89). Allah tidak melarang kita kecuali mencukur rambut

kepala, lantas mengapa kita mempersempit diri dalam ibadah kepada

Allah dan mengatakan, 'Semua rambut tidak boleh dicukur?"'

Bila kita mengatakan bahwa qiyas berlaku dalam perkara yang ke￾luar dari satu perkara yang telah ditetapkan oleh dalil, maka kita perlu

menetapkan persamaan alasan antara perkara yang asli dan perkara

yang akan diqiyaskan. Yakni, apa alasan yang kita gunakan untuk me￾nyamakan rambut selain kepala dengan rambut kepala. Mereka men￾jawab, 'Alasannya adalah kesenangan. Sebab, mencukur rambut akan

menghasilkan kebersihan. Pasalnya, ketika rambut yang (tidak dicukur)

bertambah kotor akan menumbuhkan kutu, bau tidak sedap dan meng￾lar:lgu.'tApakah alasan ini bisa diterima? Kita akan melihat, apakah orang

yang sedang ihram dilarang dari kesenangan. Jawabannya, kesenangan

dalam hal makan tidak dilarang. Orang yang sedang ihram boleh me￾makan makanan yang baik sesukanya. Kesenangan dalam berpakaian

juga tidak dilarang.Ia boleh saja memakai baju yang dibolehkan dalam

ihram sesukanya. Membersihkan kotoran juga tidak dilarang. Ia boleh

mandi dan membersihkan diri dari kotoran. Siapa yang mengatakan

bahwa alasan pelarangan mencukur rambut adalah kesenangan yang

kita mengiyaskan rambut lainberdasarkan itu? Akan tetapi, alasan yang

nyata, bahwa orang yang berihram bila mencukur rambut kepalanya

maka perbuatannya itu telah menggugurkan sebuah rukun manasik

syar'i, yaitu menggundul atau mencukur sebagian rambut kepala pada

akhir ibadah umrah dan ketika melempar jumrah aqabah saatberibadah

haji. Bila seseorang telah menggundul rambutnya sebelum itu, ia akan

tiba di Mekah beberapa jam pada hari yang sama. Lantas apa yang akan

dia lakukan (untuk menunaikan rukun mencukur rambut bila ia sudah

menggundul sebelumnya)? Jadi, alasannya adalah menggugurkan satu

rukun manasik, yaitu menggundul atau mencukur rambut kepala. Ala￾san ini lebih mendekati kebenaran daripada alasan kesenangan hati.

Dengan demikian, tidak ada yang dilarang kecuali mencukur rambut

kepala saja.

Mereka juga mengatakan, "Hukum dasarnya adalah halal terkait

seseorang yang memotong rambutnya, sehingga kita tidak mungkin

melarang orang melakukan sesuatu terhadap rambutnya kecuali de￾ngan dalil.Inilah yang lebih dekat kepada kebenaran." Akan tetapi, te￾ori itu terkadang berbeda dengan prakteknya. Seandainya semua orang

menjauhkan diri dari tindakan memotong semua rambut di tubuhnya,

seperti kumis, ketiak, dan bulu kemaluan sebagai wujud kehati-hatian,

tentu ini lebih baik. Tetapi, bila kita mewajibkan dan menganggap dosa

orang yang mencukur rambut selain rambut kepala padahal tidak ada

dalil yang mengeluarkannya dari hukum mubah, maka ini perlu dikaji

lebih dalam lagi.

2. Memotong Kuku

Larangan kedua adalah memotong kuku dengan istllah ta'lim

nzhafir. Seandainya penulis menggunakan istilah izalatul nzhafir tentu

maknanya lebih umum, mencakup pemotongan kuku dengan berbagai

bentuknya.

Memotong kuku artinya memangkasnya dengan pemotong kuku'

Pada zaman dahulu, orang-orang memotong kuku dengan pisau kecil.

Mereka memotong ujung kuku sedikit demi sedikit layaknya orang me￾runcingkan pencil.

Tidak ada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang larangan

memotong kuku saat ihram. Akan tetapi, ulama mengiyaskannya de￾ngan larangan mencukur rambut dengan seluruh bentuk kesenangan

lainnya. Bila Dawud berpendapat bahwa mencukur semua rambut di

tubuh itu berlaku hukum sama dengan mencukur rambut kepala, maka

larangan memotong kuku ini lebih pantas. Karena itu, Dawud menye￾butkan adanya kemungkinan interpretasi lain dalam hukum selain

rambut kepala bisa jadi tidak termasuk yang dilarang, berdasarkan Pen￾dapat yang menyatakan bahwa selain rambut kepala bukan larangan.

Akan tetapi, sebagian ulama menyebutkan adanya kesepakatan (ijma')

bahwa memotong kuku termasuk larangan dalam ihram. Bila ijma'ini

benar adanya, tidak ada alasan untuk menyelisihinya. Ia mesti diikuti.

Namun, bila ijma' itu ternyata tidak benar adanya, kita akan meneliti ke￾pastian hukum memotong kuku sebagaimana kita membahas hukum

mencukur rambut selain rambut kepala.

Memotong kuku mencakup semua pemotongan kuku dengan cara

apa pun, baik dengan memotong (dengan alat potong kuku), memang￾kasnya, atau dengan mematahkannya. Memotong kuku tersebut men￾cakup kuku tangan dan kuku kaki. Maka barangsiapa mencukur tiga

rambut atau memotong tiga kuku, ia wajib membayar denda (darn). Man

adalah isim syarat,halnqa adalahfi'il syarat, qalama adalahfi'ilyangma'tuf

kepadafi'il syarat.Fa alaihi dam adalahkalimat yang merupakan jawaban

syarat. Maksudnya, siapa saja yang sedang berihram, mencukur tiga

rambut atau memotong tiga kuku maka ia wajib membayar denda (dam).

Karena hitungan jama' minimal adalah tiga. Bila minimal jama' adalah

tiga, maka bila ia telah mencukur tiga rambut saja maka ia dinyatakan

telah mencukur rambut. Anehnya, para ahli fikih menyatakan bahwa

seandainya seseorang mencukur tiga rambut dari rambut kepalanya, itu

tidak membuatnya harus membayar denda, kemudian mereka menem￾patkan tiga rambut dalam posisi mencukur.

Dapat diketahui dari perkataannya : Tiga (rambut), maka ia wajib

membayar denda, bahwa bila seseorang mencukur rambut atau memo￾tong kuku di bawah jumlah itu berarti ia tidak wajib membayar denda.

Akan tetapi, mereka mengatakan,"Iawajlb memberi makan orang mis￾kin untuk setiap rambut yang dicukur dan kuku yang dipotong itu'" Pe￾rincian seperti ini membutuhkan dalil. Manakah dalil dari As-Sunnah

yang menunjukkan bahwa rambut satu yang dicukur atau kuku satu

yang dipotong wajib memberi makan orang miskin? Karena itulah, para

ulama berselisih pendapat dalam menentukan ukuran yang mewajib￾kan fidyah, menjadi beberapa pendapat, yaitu; Pertama, mazhab Imam

Ahmad, wajib membayar fidyah bila mencukur tiga rambut atau lebih.

Kedua, wajib membayar fidyah bila mencukur empat rambut. Ketiga,

wajib membayar fidyah bila mencukur lima rambut. Keempat, waiib

membayar f idyah bila mencukur seperemPat bagian kep aIa. K elim a, w a￾jib membayar fidyah bila mencukur dengan ukuran telah menghilang￾kan gangguan di kepala.

Adapun pendapat yang paling dekat dengan dhahir ayat Al￾Quran adalah pendapat yang terakhir; bila mencukur dengan ukuran

telah menghilangkan gangguan di kepala. Yaknibila mencukur hingga

semua kulit kepala terlihai jelas, inilah pendapat Imam Malik. Artinya,

bila seseorang telah mencukur rambutnya semua (gundul) yang mem￾buat kepalanya terbebas dari rasa yang mengganggu, dalilnya; (1) Fir￾man Allah Ta'aIa, "Dan jangan kalian mencukur kepala kalian..." (Al-Baqa￾rah [2] :1961. Berdasarkan ayat tersebut, seseorang tidak disebut telah

mencukur rambut (yang mewajibkan fidyah) bila gangguan di kepa￾lanya masih ada. Namun, bila mencukur itu telah membuatnya terbebas

dari gangguary maka ia harus membayar fidyah. (2), bahwa Nabi {$ te￾lah berbekam di kepala beliau, padahal beliau sedang ihram' Bekam di

kepala itu mesti mencukur rambut di bagian kepala yang akan dibekam'

Bekam tidak mungkin dilakukan tanpa pencukuran rambut' Namun

demikiary tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ffi mem￾bayar fidyah. Karena, rambut yang dicukur tidaklah menghilangkan

gangguan karena rambut tebal atau panjang. Rambut yang dicukur di

tempat yang akan dibekam terhitung sedikitbila dibandingkan dengan

rambut yang masih tersisa. Berdasarkan ini, kita mengatakan bahwa

siapa yang mencukur tiga, empat, lima, sepuluh, atau duapuluh helai

rambut, ia tidak harus membayar dam dan perbuatannya ini tidak di￾sebut sebagai istilah 'mencukur' yang berkonsekuensi rnembayar dam.

Akan tetapi, apakah ia sudah disebut sebagai orang yang bertahal￾lul atau tidak? Jawabannya adalah tidak. Sebab, kita memiliki kaidah :Im￾plementasi perintah itu tidak disebut semPurna kecuali dengan menger￾jakan seluruhnya dan implementasi larangan tidak disebut sempurna

kecuali dengan meninggalkan seluruhnya. Bila Anda dilarang dari se￾suatu, Anda harus meninggalkan larangan tersebut secara keseluruhan

danparsial. Danbila Anda diperintah untuk mengerjakan sesuatu, maka

Anda harus mengerjakan seluruhnya dan bagian-bagiannya. Dengan

demikian, kita katakan, bila mencukur seluruh rambut (gundul) atau

mencukur yang membuat terbebas dari gangguan diharamkan, maka

mencukur sebagian darinya juga diharamkan. Hanya saja, persoalan fi￾dyah tidak masuk dalambahasan pengharaman.

Bila seseorang bertanya, 'Apakah sesuatu yang menjadi bagian

dari semua larangan dalam ihram hukumnya haram, dan tidak ada

kewajiban membayar fidyah dalam hal ini?" Jawabannya, benar. Akad

nikah dan khitbah itu haram bila dilakukan terhadap mahram, tetapi

tidak ada kewajiban membayar fidyah dalam kedua perkara ini.

Yang benar, membersihkan kutu dari rambut tidak haram. Tetapi,

orang yang berihram telah melanggar yang diharamkan bila ia men￾cukur rambut guna menghilangkan kutu dari kepalanya. Jadi, men￾cukur seluruh rambut kepala diharamkan dan harus membayar fidyah'

Mencukur sebagian rambut juga haram tetapi tidak wajib membayar

fidyah, kecuali bila telah menghilangkan gangguan dari kepala. Inilah

pendapat yang rajih.

Persoalan rambut kepala itu ada tiga pembahasan pemilahan. Per￾tama,bilaseseorang memotongbeberapa helai rambut namun tidak ma￾suk dalam hukum mencukur, maka tidak ada kewajiban apa-apabagi￾nya.Kedua, bila ia mencukur sebagian rambut akan tetapi karena suatu

alasan seperti untuk dibekam di kepala, bagian kepala tertentu terluka

dan tidak kunjung sembuh atau yang semacamnya, maka ia sebenarnya

hanya mencukur bagian yang diperlukan. Dan ia tidak terkena kon￾sekuensi hukum apa pun. Dalil kita adalah perbuatan Nabi S ketika

beliau berbekam saat beliau sedang ihram, dan tidak ada riwayat yang

menjelaskan bahwa beliau membayar fidyah. Ketiga, bila ia menggun￾dul atau mencukur sebagian besar rambutnya, maka ia wajib membayar

fidyah. Jelas bahwa perbuatan tersebut diharamkan baginya. Akan

tetapr, bila ia mencukur sebagian besar rambutnya, maka sebagian besaritu dihitung sama dengan keseluruhan dalam banyak perkara. Kalau

bukan karena Rasulullah ffi mencukur rambut beliau untuk bekam dan

beliau tidak membayar fidyah karena itu, tentu kita akan mengatakan,

bila seseorang mencukur sebagian rambut kepalanya, ia wajib mem￾bayar fidyah karena yang diharamkan mencakup banyak dan sedikit'

Ketahuilah bahwa persoalan larangan-larangan ihram, ketika

para ulama membicarakan denda seperti ini, mereka tidak mengartikan

bahwa denda tersebut sudah pasti. Akan tetapi merupakan satu dari

tiga perkara: (1) denda; (2) memberi makan enam orang miskin, setiap

satu orang t/zsha'; dan (3) puasa tiga hari. Kecuali bila orang yang ihram

melakukan persetubuhan saat haji sebelum tahalul pertama karena bila

ia melakukan ini ia wajib membayar denda satu ekor hewan kurban.

Bila tidak, balasan binatang buruan adalah semisalnya, seperti yang

akan dijelaskan,insyn Allah, dalam persoalan fidyah.

Kebanyakan mufti ketika dimintai fatwa oleh seseorang dalam

persoalan yang ada kemungkinan pilihan seperti ini, mereka menjawab

bahwa ia wajib membayar denda (dam).Iaberpegang teguh dengan pen￾dapat itu dan tidak menyadarinya, padahal dia telah membebani orang

dengan membeli hewan dam.Dan,barangkali orang tersebut berhutang

untuk membelinya, padahal seandainya dia berfatwa kepadanya, bahwa

kamu boleh memilih membayar dam, atau memberi makan enam orang

miskin, setiap satu orang setengah sha' atau Puasa tiga hari, tentu per￾soalannya lebih ringan. Bagi orang tersebut, mufti tersebut wajib men￾jelaskan kepada kaum muslimin hukum syar'i ini. Dalil atas wajibnya

membayar fidyah bagi orang yang mencukur kepalanya adalah firman

Allah Tahla:

"Dan jangan knmu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di

tempat penyembelihannya,.. " (Al-Baqarah [2] : 196)

Sebagai catatary bahwa tidak diharamkan bagi orang yang sedang

berihram untuk menggaruk kepalanya, kecuali bila ia menggaruknya

hingga membuat rambutnya rontok. Maka ini menjadi haram' Akan

tetapi, bagi orang yang menggaruknya dengan kuat, kemudian ada ram￾but yang rontok tanpa sengaja, maka tidak apa-apa baginya. Pernah di￾katakan kepada Aisyah, "sesungguhnya ada orang yang mengatakanbahwa menggaruk kepala itu tidak boleh." Maka, Aisyah menjawab,

"seandainya aku tidak bisa menggaruknya dengan tangary niscaya aku

akan menggaruknya dengan kakiku. Ungkapan tersebut merupakanba￾hasa dari Aisyah yang menunjukan bahwa itu sangat boleh. Saya melihat

banyak orang yang beribadah haji yang menggaruk kepalanya, maka ia

hanya menggarukkan ujung jarinya saja karena takut akan merontok￾kan rambutnya. Ini merupakan perbuatan yang berlebihan.

3. Menutup Kepala dengan Berbagai Penutup

Ini merupakan larangan ketiga saat orang ihram. Yaitu menutup

kepala dengan topi, peci, sorban dan semacamnya. Dalil larangan ini

bahwa ketika ada orang yang menutup kepalanya di Arafah, maka Nabi

S bersabda :

Z\, tr';J,J l1

"Dan jangan pula kalian menutup kepalanya."308)

Yaitu janganlah mereka menutupnya. Larangan iniberlaku umum

untuk semua penutup kepala. Adapun tentang sorban ada nash khusus

tentang larangannya. Nabi ffi ketika ditanya tentang aPa yang mesti di￾pakai oleh orang yang berihram, maka beliau menjawab, "Dan jangan

pulakalian menutup kepalanya."30e) Ini merupakan penyebutan satu bagian

dari bagian-bagian yang umum dalam sabda beliau, "Daniangan pula

diberi tutup kepala (serban)."

Perkataan penulis, "Malasiq (menempel)," mengeluarkan apa saja

yang tidak menempel di kepala. Karena, apa pun yang tidak menempel

di kepala tidak disebut menutupi kepala. Misalnya Payung yang dipe￾gang oleh orang yang sedang ihram untuk melindungi diri dari terik

sinar matahari atau hujan. Perbuatan ini tidak bermasalah apa-apa dan

tidak ada kewajiban membayar fidyah. Inilah pendapat penulis dan

pendapat ini yang benat bahwa sesuatu yang tidak menempel diboleh￾kan dan tidak membayar fidyah.

Pendapat para ulama masa sekarang bahwa orang yang ber￾teduh dengan payung atau sekedup maka ini diharamkan dan wajibmembayar fidyah. Maka berdasarkan pendapat ini, orang yang sedang

berihram tidak boleh berteduh dengan payung kecuali karena alasan

darurat dan bila melakukannya maka ia wajib membayar fidyah. Orang

yang berihram juga tidak boleh menaiki mobil yang tertutup karena itu

berarti ia berteduh dengannya.

Bila terpaksa melakukannya ia harus membayar fidyah. Akan te￾tapi, pendapat ini sudah tidak dipakai sejak lama dan tidak diamalkan

lagi pada zaman sekarang, kecuali kelompok Syihh Rafidhah. Mereka

tetap memegang pendapat ini. Saya juga mengira bahwa mereka meme￾gang pendapat ini pada masa-masa akhir saja. Bila tidak, siapa yang

mengetahui ada orang yang mengamalkannya sebelum kita mengeta￾hui pendapat ini dari mereka. Bagaimana pun itulah pendapat mereka.

Maka penulis memegang pendapat yang benar dalam permasalahan ini

yang menyelisihi pendapat Rafidhah.

Perlu diketahui bahwa menutup kepala itu ada beberapa hukum;

Pertama, boleh menurut nash dan ijma'. Misalnya seseorang memoles

rambutnya dengan hena, misalnya, atau madu, atau lem dengan tujuan

agar rambutnya tidak rontok. Dalilnya adalah hadits shahih yang di￾riwayatkan dari Ibnu Umar '#.., yangberkata,'Aku melihat Rasulullah

melumuri rambut beliau.//310)

Kedua, menutup kepala tanpa ada maksud untuk menutupi. Mi￾salnya, seseorang membawa furnitur di atas kepalanya. Perbuatan ini

tidak bermasalah karena tidak ada maksud untuk menutupi. Dan pada

umumnya orang tidak akan menutup kepalanya dengan berbuat seperti

itu.

Ketiga, menutup kepalanya dengan sesuatu yang biasa dipakai

untuk kepala, misalnya kopiah, kerudung (seperti yang biasa diguna￾kan bangsa Arab), dan sorban. Maka ini haram menurut nash dan meru￾pakan ijma'para ulama.

Keempat, menutup kepala dengan sesuatu yang tidak termasuk

pakaian, tetapi itu menempel dan memakainya dengan maksud seba￾gai penutup. Perbuatan ini tidak boleh dan dalilnya adalah sabda Rasu￾lullah ffi, "|angnnlah kalian menutup kepalatmyaKelima, menutup kepalanya dengan suatu yang menyertainya mi￾salnya payung, mobil, sekedup unta, dan semacamnya. Dalam persoa￾lan ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan inilah

pendapat yang benar, sedangkan sebagian yang lain melarangnya se￾perti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Keenam, menutup kepala dengan suatu yang terpisah dengannya

dan mengikuti. Misalnya berteduh di tenda atau baju yang ia letakkan

di batang pohon atau dahannya atau yang semacamnya. Maka perbua￾tan ini boleh dan tidak ada masalah. Ada riwayat yang shahih bahwa

Nabi ffi dibuatkan kubah (tenda) di Namirah. Tenda itu tetap di sana

hingga matahari condong di Arafah.3lr)

Jika seseorang berkata, "Berteduh dengan payung dan semacam￾nya, bukankah ini disebut penutup?" Jawabannya itu bukanlah penu￾tup. Karena orang yang berjalan di sampingnya dapat melihat seluruh

kepalanya. Nabi S pun dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Bi￾lal dan Usamah, salah seorang darinya menuntun beliau di atas pung￾gung unta, sedangkan seorang lagi menaruh bajunya di atas kepalanya

hingga melempar jumrah Aqabah.3tz) Maksudnya beliau berteduh de￾ngan baju itu. Ini sama persis dengan memakai payung.

Larangan menutup kepala berlaku khusus untuk laki-laki. Adapun

hukum mencukur rambut kepala dan memotong kuku maka hukum ini

umum untuk laki-laki dan perempuan. Tampak dari perkataan penulis

bahwa menutup wajah tidak haram dan bukan merupakan larangan

karena penulis mengatakan, "Barangsiapa menutup kepalanya." Ia lid￾ak membahas soal wajah. Jika ia tidak menyinggungnya, maka pada

dasarnya hukumnya halal. Berdasarkan ini, orang yang berihram tidak

apa-apa menutup wajahnya dengan itu. Ini merupakan persoalan yang

diperselisihkan di antara para ulama. Sebagian di antara mereka ada

yang berpendapat bahwa kaum laki-laki yang sedang berihram tidak

boleh menutup wajahnya, berdasarkan keshahihan redaksi dalam hadits

Ibnu Abbas ruu tentang kisah seorang lelaki yang dijatuhkan oleh unta￾nya. Redaksinya adalah, "Dan jangan (ditutupi) wajahnya." Sedangkan

dt Ash-Shahihain, drsebutkan bahwa Nabi ffi bersabda, "Janganlah kal￾ian menutupi kepalanya.'/313t Lafazhnya hanya demikian'

Muslim meriwayatkan bahwa beliau bersabda, "Dan jangan (di￾tutupi) wajahnya."31l) Para ulama berbeda pendapat terkait keshahihan

lafazh tersebut. Bagi ulama yang menganggap lafazh tersebut shahih,

mereka berpendapat, "Orang yang berihram tidak boleh menutup wa￾jahnya." sedangkan ulama yang menyatakan bahwa redaksi tersebut

tidak shahih, mereka berpendapat bahwa menutupi wajah boleh. Ibnu

Hazam a;,!g berkata, "Orang yang masih hidup boleh menutupi wajah￾nya, sedangkan orang yang sudah meninggal tidak boleh ditutupi

wajahnya."

4. Memakai Pakaian Yang Dijahit

Ada dua pembahasan dalam persoalan ini; Pertama, apakah mak￾na pakaian yang dijahit? |awabannya adalah, pakaian yang dijahit me￾nurut para ahli fikih adalah semua pakaian yang dijahit pada bagian

anggota tubuh atau pada bagian badan seluruhnya. Misalnya gamis,

celana, jubah, rompi dan semacamnya. Maksud pakaian yang dijahit

bukanlah pakaian yang ada jahitannya. Tetapi, pakaian yang memang

untuk ihram boleh dipakai meskipun ada jahitannya.

Kedua, pakaian harus dipakai sebagaimana biasanya pakaian

dipakai secara wajar. seandainya seseorang hanya meletakkannya saja

maka tidak ada persoalan dalam hal ini. Maksudnya, kalau seseorang

memakai gamis di tubuhnya dengan cara memakai seperti memakai

jubah (yakni lengan bajunya tidak dipakai), maka ini tidak apa-apa ka￾rena ia tidak memakainya sebagaimana mestinya. Dalilnya adalah htr￾dits dari Abdullah bin umar bin Khaththab ,4;, bahwa Nabi M ditanya

tentang apa yang mesti dipakai saat ihram. Maka beliau menjawab :

"langanlah engkau memakai gamis, sorban, baju panjang yang bertu￾tup kepala, celana panjang, serta khuf ."31s)

Beliau menyebutkan lima jenis pakaian yang tidak boleh dipakai,

padahal beliau ditanya tentang pakaian apa yang mesti dipakai. Maka

beliau menjawab dengan pakaian yang tidak boleh dipakai. Maknanya,

orang yang berihram boleh memakai selain lima yang disebutkan itu.

Beliau lebih memilih menyebutkan yang tidak boleh dipakai daripada

pakaian yang mesti dipakai karena pakaian yang tidak boleh dipakai

lebih sedikit daripada yang boleh dipakai.

Dikisahkan bahwa orang pertama yang menggunakan ungkapan

pakaian yang dijahit adalah Ibrahim An-Nakha'i'^r:z.Ia termasuk ahli

fikih generasi tabi'in.Ini karena beliau lebih menguasai ilmu fikih dari￾pada pengetahuan tentang hadits. Karena itu, beliau dianggap sebagai

ahli fikih. Karena itu, beliau berkata, "Janganlah kalian memakai paka￾ian yang dijahit."

Karena ungkapan tersebut tidak berasal dari manusia yang mak￾sum ffi, wajar bila menimbulkan beberapa persoalan : Pertama, dari segi

keumumannya. Kedua, dari segi interpretasinya. Kalau kita memakai

keumuman (generalisasi) redaksi tersebut, berarti kita mengharamkan

semua pakaian yang ada jahitannya. Karena kata mukhayath adalah isim

maful yang bermakna makhyuth (dljahlt). Karena ungkapan ini masih

meragukan bahwa tidak ada yang boleh dipakai saat ihram secara syar'i

bila ada jahitannya, karena itu dilarang. Yakni, seandainya seseorang

memakai pakaian yang ditambal atau pakaian yang disambung dari

dua kain, apakah ini termasuk pakaian dijahit (yang dilarang)? Jawa￾bannya, secara bahasa itu pakaian yang dijahit antara satu dan lainnya.

Pakaian seperti ini tidak haram, tetapi boleh dipakai.

Jadi, ungkapan Nabi ffi lebih utama daripada ungkapan tersebut.

Karena beliau menyebutkan sejumlah pakaian yang dilarang, bukan

pembatasan. Tidak ada yang ambigu dalam ungkapan beliau tersebut.

Agar lebih jelas, mari kita kembali ke tafsir hadits Rasul S tersebut.

Beliau bersabda, "langanlah kalian memakai gamis." Gamis adalah

pakaian yang dijahit sesuai bentuk badan. Ia memiliki lengan baju se￾perti pakaian yang ada pada kita sekarang ini. Pakaian seperti ini tidak

dipakai untuk orang yang berihram. Karena bila ia memakainya maka

tidak ada syiar yang tampak untuk manasik. Di samping itu, karena

alasan banyaknya keragaman di antara manusia. Ada yang memakai

gamis model ini dan ada yang memakai model itu. Ini tentu tidak terjadi

bila mereka memakai satu model dalam berpakaian.

Beliau ffi bersabda , 

"Tidak pula sarnzuil (celana panjang)." Snrawil ada￾lah kata tunggal, bukan plural. Pluralnya adalah sarawilat. Ada yang

menyatakan bahwa sarawil adalah kata plural, sedangkan kata tunggal￾nya adalah sirwal. Akan tetapi, bahasa yang fasih, sarawil adalah kata

tunggal. Ibnu Malik berkata di dalam btlJrlu Al-Alfiynh, "Celana pendek

(dengan ungkapan plural) menyeruPai pakaian yang dilarang secara

umum." Yakni sighah muntahal jumu'.

Sarswil adalah pakaian yang dipotong (sebelum dijahit) sesuai

ukuran tertentu menurut bentuk tubuh, yaitu kedua kaki.

Beliau ffi bersabd a, "Dan tidak pula baju panjang bertutup kepala."

Yaitu baju longgar yang ada penutup kepala yang bersambung dengan￾nya. Beliau bersabda, "Dan tidakpula sorban." Yaitu pakaian untuk kepa￾la. Orang yang berihram tidak boleh memakainya. Beliau tidak bersab￾da, "Janganlah menutup kepala." Karena beliau tidak ditanya kecuali

tentang apa yang dipakai. Maka beliau menyebutkan yang dipakai di

kepala, yaitu sorban. Dan yang dipakai di bawah badan, yaitu celana

panjang. Dan yang dipakai di tubuh bagian atas, yaitu gamis.

Beliau bersabda, "Dan jangan memaknikhuf." YaItu',yang dipakai di

kaki dan dibuat dari kulit atau semacamnya. Ini tidakboleh dipakai oleh

orang yang sedang berihram. Hanya saja, beliau mengecualikan :

J:'t'/t

"Barangsiapa tidak mendapatkan sandal hendaklah memakai khuf.

Dan, barangsiapa tidak mendapatkan knin sarung, hendaklah mema￾kai celana p anj ang." Dengan ini, kita mengingkari udzur bahwa bila seseorang yang

naik pesawat terbang, bila pakaian ihramnya ada di kabin di dalam

pesawat, maka kita katakan bahwa itu bukanlah udzur. Buatlah baju

sebagai selendang badan, sedangkan celana panjang sebagai pakaian

bawah. Bila ia memakai tutup kepala, jadikanlah tutup kepala sebagai

pakaian atau jadikanlah gamis sebagai pakaian dan pakailah celana

panjang karena Anda tidak mendapatkan sarung.

Beliau bersabda, "Barangsiapa tidak mendapatkan sandal hendnklah

memakai khuf." Apakah ini berlaku ketika diperlukan saja atau berlaku

umum? Maknanya, apakah seandainya seseorang menaiki mobil-se￾perti yang banyak terjadi sekarang ini- menuju Masjidil Haram tanpa

perlu jalan kaki, apakah kita mengatakary bahwa ia boleh memakai se￾patu bila tidak mendapatkan sandal? Atau, apakah kita akan mengata￾kan, bahwa Rasulullah ffi membolehkan pemakaian sepatu ketika tidak

ada sandal karena manusia itu butuh berjalan kaki. Dan selain itu, di

sekitar Mekah ada lembah dan gunungyang secara umum tidak lepas

dari duri dan banyak batu yang bisa melukai jari kaki? Maka dengan ini

dibolehkan baginya menggunakan sepatu?

Jawabannya, yang tampak bagi saya, sepatu tidak boleh dipakai

kecuali karena diperlukan. Adapun bila tidak diperlukan seperti yang

terjadi di masa kita sekarang ini, maka tidak perlu memakainya.

Persoalan, apakah bila boleh baginya memakai sepatu, ia wajib me￾motong sepatu itu hingga di bawah mata kaki? Para ulama berbeda pen￾dapat dalam hal ini menjadi dta;Pertama,iawaiib memotongnya hing￾ga di bawah mata kaki. Dalilnya adalah riwayat yang shahih di dalam

kitab Ash-Shahihain dari Ibnu Umar qet', bahwa Nabi $ bersabda:

? J;iu$,;;\&4r

" Maka, hendaknya ia memotongnya, sehingga berada di bawah kedua

mata kfrki.t/317)

Kedua, tidak wajib dipotong. Karena ada riwayat dalam Ash￾Shahihain dari Ibnu Abbas qe3t, bahwa Rasulullah $ berkuthbah di ha￾dapan banyak orang pada hari Arafah dan bersabda, "Siapa yang tidak

mendapatkan sandal, maka boleh memakni khuf. Dan, siapa ynng tidak menda￾patkan sarung, hendaknya memakai celant." Beliau tidak memerintahkan

agar dipotong.

Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas lebih akhir, karena ha￾dits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar q{t;, terjadi di Madinah sebelum

Nabi ffi pergi untuk ibadah haji. Hadits riwayat Ibnu Abbas r4r, terjadi

di Arafah setelah itu. Selain itu, kaum muslimin yang hadir mendengar￾kan ucapan Rasulullah g di Arafah lebih banyak daripada kaum mus￾limin yang hadir di Madinah. Kalau saja memotong sepatu itu wajrb,

beliau tidak mungkin menunda penjelasan tersebut dari waktu yang di￾butuhkan. Berdasarkan hal ini, maka persoalan ini tidak masuk dalam

kaidah membawa dalil mutlak (umum) ke dalil muqayyad (khusus). Ka￾rena, dalil umum bisa dibawa ke dalil khusus bila keadaannya sama.

Bila keduanya sama keadaannya maka saat itu dalil mutlak dibawa ke

dalll muqnyyad. Adapun bila keadaannya berbeda, tidak mungkin dalil

umum di bawa ke dalil khusus. Inilah yang benar.

Yang menjadi persoalan, apakah sesuatu yang semakna dengan

lima jenis spesifik yang disebutkan oleh Nabi Sf juga diperlakukan hu￾kum yang sama pula? Jawabannya adalah iya. Pakaian yang semakna

masuk ke dalam hukum yang sama dengan lima jenis itu. Misalnya,

gamis diserupai oleh rompi yang dipakai di dada, sehingga hukumnya

disamakan dengannya. Orang yang berihram tidak boleh memakainya.

Demikian pula qabai baju longgar berlengan yang terbuka di bagian wa￾jah. Karena, ia menyerupai gamis. Akan tetapi, seandainya orang yang

berihram menempelkannya di atas pundaknya tanpa memasukkan ta￾ngannya ke lengan baju, apakah ini dianggap sebagai baju yang dilarang

dipakai? Bukary itu tidak disebut sedang memakai baju yang dilarang

karena orang-orang biasanya tidak memakai baju seperti itu.

Jaket yangberkerudung kepala diserupai oleh mantel. Sebab, dalam

beberapa model, mantel menyerupai jaket yang berkerudung kepala.

Karena itu, orang yang berihram tidak boleh memakainya sebagaimana

layaknya orang memakainya. Adapunbila ia menyelempangkannya di

dada ke kedua pundaknya seperti orang memakai jubah maka ini tidak

bermasalah.

Celana panjang disamai hukumnya oleh celana dalam. Celana

dalam juga seperti celana panjang hanya saja lengannya pendek. Yak￾ni hanya sebatas setengah paha saja. Karena dalam kenyataannya iamerupakan celana hanya saja pendek. Selain itu, celana dalam biasanya

dipakai seperti celana panjang.

Jadi, kita menyamakan jenis pakaian yang mirip lima jenis terse￾but dalam hukumnya, selain itu kita tidak menyamakan. Misalnya,

seandainya seseorang mengikatkan jubah di dadanya, maka ini tidak

haram. Sebab, jubah itu bila diikatkan tidak keluar dari keasliannya se￾bagai jubah. Akan tetapi, bila jubah itu dijalin, apakah ini dikategori￾kan sebagai pakaian yang dilarang? Jawabannya adalah tidak.Itu tidak

dikategorikan pakaian yang dilarang, tetapi itu merupakan jubah yang

dijalin. Akan tetapi, sebagian orang bersikap longgar dalam persoalan

ini. Jadinya, ada orang yang menjalin jubahnya dari leher hingga ke

bagian kemaluan sehingga mirip seperti gamis yang tidak berlengan.

Perbuatan ini tidak layak dilakukan. Adapun bila ia mengancingnya de￾ngan satu kancing saja dengan tujuan agar tidak jatuh, apalagi bila itu

dibutuhkan, misalnya orang yang bertugas mengurusi rekan-rekannya,

maka ini tidak bermasalah apa-apa.

Bila seseorang memakai jam tangan, apakah ini disamakan dengan

hukum lima jenis pakaian tersebut? Jawabannya, tidak disamakan. Jam

tangan tidak berbeda dengan cincin, di mana cincin boleh dipakai dan

tidak ada masalah. Bila seseorang memakai kaca mata juga boleh karena

kaca mata tidak masuk dalam kelompok lima pakaian yang dilarang

itu, baik secara makna maupun istilah. Kalau seseorang memakai per￾api gigi di mulutnya, ini juga boleh. Kalau seseorang memakai sandal

berlubang yang ada jahitannya, ini juga dibolehkan. Karena ini bukan￾lah sepatu, melainkan sandal yang ada lubangnya (sepatu sandal, -edt)

Meski sandal itu ada lubangnya, ia tidak keluar dari nama sandal. Hal

ini menguatkan apa yang kami katakan bahwa selalu memakai istilah

dari Nabi ffi itu lebih utama daripada kita mengatakan, "Diharamkan

memakai pakaian yang dijahit. Sebab, banyak orang awam yang me￾nanyakan sandal yang berlubang. Mereka tidak yakin karena di san￾dal itu ada jahitannya. Kalau seseorang menyelempangkan pedang atau

senjata juga boleh karena ini tidak masuk ke dalam nash yang dilarang

oleh Rasulullah ffi, baik secara makna maupun lafazh. Kalau seseorang

mengikat perutnya dengan sabuk, ini juga boleh. Kalau seseorang men￾galungkan tempat air atau tempat makanan di lehernya juga boleh. Yang

jelas bahwa Nabi ffi telah menentukan apa yang diharamkan. Maka apa

saja yang semakna, ia dihukumi sama, sedangkan yang tidak semaknatidak disamakan hukumnya. Apa yang kita ragu tentangnya, maka hu￾kum dasarnya adalah halal.

Di antara pakaian yang masih kita ragukan adalah sarung yang

dijahit. Sebagian orang memakai sarung yang dijahit. Artinya tidak ter￾buka, kemudian ia melipatnya ke badan dan menguatkannya dengan

tali. Apakah kita akan mengatakan, "Ini dibolehkan atau itu serupa de￾ngan gamis atau celana?" Jawabannya, itu dibolehkan. Karena sarung

itu tidak serupa dengan gamis atau pun celana panjang. Celana panjang

itu di setiap kakinya ada lengan, sedangkan gamis ada lengan di bagian

atasnya. Di setiap tangan ada lengannya. Maka dengan ini, ia keluar dari

kesamaan dengan celana panjang dan gamis, sehingga boleh dipakai.

Dan pada masa ini pun ada sebagian orang yang memakainya. Karena

sarung seperti ini merupakan pakaian yang paling jauh dari kemung￾kinan aurat terbuka. Kita katakan, selama sarung itu masih disebut

sarung, ia tetap halal dipakai.

Berkaitan dengan pakaian ihram bagi wanita, maka pelaksanaan

ihram wanita itu sama seperti pelaksanaan ihram laki-laki. Maksttdn:rya,

yang diharamkan pada wanita itu sama dengan yang diharamk4n pada

laki-laki. Wanita juga wajib membayar fidyah seperti laki-laki dalam hu￾kum yang berkonsekuensi itu, kecuali ada pengecualian.

Ihram wanita sama dengan laki-laki, kecuali pakaiannya. Pa￾kaian ihram wanita tidak seperti pakaian ihram laki-laki. Karena laki￾laki tidak boleh memakai gamis dan celana panjang, sorban, jaket yang

berkerudung kepala, dan sepatu, sedangkan wanita boleh memakainya

dan tidak ada dosa baginya. Hanya saja, sorban wanita adalah khimar.

Perkataan penulis, "Kecuali dalam pakaian." Maksudnya tidak ada pa￾kaian yang dilarang bagi wanita kecuali hanya satu saja, yaitu sarung

tangan, seperti yang akan dijelaskan.

Perkataan penulis, "Dan wanita menghindari pemakaian cadar."

Seandainya penulis menyebutkan cadar dan tutup muka (niqab) atau

menyebutkan tutup muka saja, tentu ungkapan seperti ini lebih baik.

Tetapi ia hanya menyebutkan cadar saja, padahal, cadar itu untuk hiasan,

sedangkan niqab untuk kebutuhan. Dalilnya adalah sabda Nabi ffi langnnlah wanita memakni niqab (penutup mukn)."3ls)

Bila wanita yang berihram dilarang memakai penutup muka (ni￾qab), tentu saja larangan memakai cadar lebih pantas lagi.

Maksud perkataan penulis, "Sarung tartgan," adalah pakaian yang

dipakai untuk kedua tangan, seperti yang dipakai oleh para pemilik bu￾rung. Mereka memakai sarung tangan untuk menghindari tajamnya

kuku-kuku kaki burung ketika mereka memegangnya. Dalilnya adalah

sabda Nabi ffi:

-l;\At -p li

" I an ganlnh w anit a memakai sarunI t angln. " ttst

Bila demikian, wanita sama seperti laki-laki dalam persoalan jenis

pakaian ini, yaitu sarung tangan. Karena, laki-laki tidak memakai sa￾rung tangan juga sebab itu termasuk pakaian yang dilarang'

Niqab adalah pakaian untuk wajah. Ia dipakai wanita untuk me￾nutupi wajahnya dengan membuka bagian kedua mata sekedar bisa

melihat. Tidak ada riwayat dari Nabi S bahwa beliau mengharamkan

wanita menutup wajahnya. Tetapi yang diharamkan adalah niqab saja.

Karena itu merupakan pakaian wajah. Berbeda antara niqab dan menu￾tup wajah. Berdasarkan ini, seandainya wanita yang berihram menutup

wajahnya, tentu kita mengatakan, "Itu tidak masalah. Tetapi, lebih baik

ia membuka wajahnya selama tidak ada laki-laki asing. Bila ada laki-laki

asing, wanita wajib menutupi wajah dari mereka."

Perkataan penulis, "Dan penutupan wajah." Maksudnya adalah

wanita menghindari penutupanwajah. Jadi wanita tidakboleh menutup

wajahnya. Adapun bagi laki-laki, telah dijelaskan sebelumnya bahwa

mereka boleh menutup wajah. Karena redaksi, "Dan tidak menutup wa￾jahnya," dalam kisah seorang sahabat yang meninggal, kebenarannya

masih diperdebatkan dan ada keguncangan dalam riwayat tersebut. Ka￾rena itu, para ahli fikih menolaknya dan mengatakan, "Sesungguhnya

orang berihram boleh menutup waiahnya." Orang yang berihram banyak

memerlukannya. Misalnya, pada saat tidur, ia meletakkan sapu tanganuntuk melindungi muka dari lalat. Atau dari keringat dan semacam￾nya'

Jadi, haram bagi seorang wanita menutup wajahnya. Inilah pen￾dapat yang populer di kalangan mazhab Imam Ahmad. Di sini mereka

menyebutkan penguatnya bahwa ihram wanita di wajahnya. Ini lemah.

Bila ini yang mereka maksud, bahwa posisi yang di situ dilarang mema￾kai pakaian tertentu maka inibenar. Tapibila yang mereka maksud ada￾lah menutup, maka ini tidak benar karena tidak ada riwayat dari Nabi

{gbahwabeliau melarang wanita menutupi wajahnya. Riwayat larangan

yang ada hanyalah tentang niqab. Niqab lebih khusus daripada menu￾tup wajah. Karena niqab merupakan pakaian di wajah. Maka seolah￾olah wanita dilarang memakai pakaian wajah. Sebagaimana laki-laki

dilarang memakai pakaian di tubuh dan pakaian di kepala.

Maksud ungkapan penulis, "Dan boleh bagi wanita berhias adalah

wanita yang berihram boleh memakai perhiasan." Maksudnya adalah

perhiasan yang boleh dipakai bukan semua perhiasan. Karena perhia￾san yang berbentuk hewan haram dipakai dan selainnya. Jadi, ihram

tidak melarang wanita dari berhias. Akan tetapi mereka wajib menutupi

perhiasannya dari laki-laki. Kecuali bila ia sendirian di rumah, atau ber￾sama para perempuan, suami, atau mahram, dan ia memakai perhiasan

maka ini dibolehkan.

Yang menjadi persoalan, apakah diharamkan bagi wanita mema￾kai kaos kaki? Jawabannya adalah tidak haram. Karena kaos kaki haram

bagi laki-laki saja. Sebab kaos kaki seruPa dengan sepatu. Apakah diha￾ramkan bagi laki-laki memakai sarung tangan? Jawabannya adalah ya,

sarung tangan diharamkan bagi laki-laki. Sebagian orang mengisahkan

bahwa itu merupakan ijma'. Mereka mengatakan bahwa Nabi S; mela￾rang orang yang berihram memakai apa saja yang dikhususkan untuk

kaki dan demikian pula dilarang memakai apa saja yang dikhususkan

untuk tangan. Yaitu yang dibuat sesuai dengan bentuk salah satu ang￾gota badan. Akan tetapi Nabi $ tidak menyebutkannya dalam perkara￾perkara yang dijauhi oleh orang berihram karena memakai sarung ta￾ngan itu bukan kebiasaan laki-laki. Karena itu, sebab memakai sarung

tangan merupakan kebiasaan wanita, maka beliau bersabda untuk wa￾nita, "Dan janganlah wanita memakai sarung tangan."3Tampak dari ungkapan penulis bahwa memakai sarung tangan

itu haram baik dalam waktu lama ataupun sebentar dan hukumnya

memallg seperti itu berdasarkan ini seandainya seorang laki-laki me￾makai gamis dan celana panjang. Berdasarkan bahwa ia telah selesai

dari ihramnya namun ternyata ia belum selesai, maka ia harus segera

melepaskan pakaian itu saat itu juga. Misalnya, seorang laki-laki menu￾naikan ibadah umrah lalu thawaf dan sa'i kemudian memakai celana

panjang. Kemudian dia teringat belum memotong atau menggundul

rambutnya. Kita katakan kepadanya ia wajib segera mengganti pakaian

karena ia masih dalam rangkaian ihram. Orang yang berihram tidak

boleh memakai gamis meski hanya sekejap mata. Akan tetapi, peng￾gantian pakaian itr-r bisa diakhirkan sesuai dengan ukuran yang ber￾laku. Sehingga kita tidak mengatakan misalnya bila Anda di masjid

Anda harus berlari di depan orang-orang atau cepat-cepat ke mobil atau

semacamnya.

Apakah bila orang ingin melepas gamis ia mesti membukanya

dari atas atau dari bawah bila ukurannya longgar ataukah ia harus

menyobeknya? Ada tiga kemungkinan dalam hal ini, dan jawabannya

adalah dari bawah. Ini tidak mungkirr dilakukan kecuali bila ukuran￾nya longgar. Karena bila ia membukanya dari atas pasti akan menutupi

kepalanya, padahal orang vang berihram tidak boleh menutup kepa￾lanya. Karena itu sebagian ulama mengatakan bila orang ingin mem￾buka gamis yang diharamkan baginya. Maka ia harus membukanya

dari bawah bila ukurannya longgar. Bila tidak ia harus menyobeknya

dan tidak boleh membuka dari atas. Karena bila ia melakukannya be￾rarti ia telah menutup kepalanya. Akan tetapi pendapat ini lemah. Sebab

menyobek gamis berarti merusaknya. Sedangkan Nabi i:! melarang kita

dari tindakan menyia-siakan harta.321)Selain itu menutup kepala di sini

tidak sengaja itu hanyalah sebagaimana orang yang membawa bekal di

atas kepalanya. Membawa bekal di atas kepala itu umumnya lebih lama.

Sedangkan menutup kepala sekedar buka baju hanya sebentar saja. Pen￾dapat yang benar bahwa ia boleh membuka gamisnya seperti biasa dan

tidak perlu menyobeknya ataupun membukanya dari bawah.

Ada persoalan, seandainya orang berihram tidak mendapatkan

sarung lantas bagaimana hukumnya? Jawabannya, Nabi gg menyebutkan

bahwa bila tidak mendapatkan sarung boleh memakai celana panjang.

Namun bila ia memakai celana panjang tersebut apakah ia wajib mem￾bayar fidyah? Tidak wajib karena ia memakai pakaian pengganti itu ber￾dasarkan syariat. Demikian juga sepatu. Adapun bila seseorang tidak

mendapatkan jubah maka ia tetap saja seperti itu karena orang yang

berihram boleh memakai sarung saja di antara orang banyak. Orang

juga boleh memakai sarung saja dalam keadaan shalat. Tapi ia tidak

dalam keadaan membutuhkan jubah. Bila ia berkata, saya tidak kuat un￾tuk tetap membuka dada dan punggung karena saya akan merasakan

beban yang tidak mampu saya pikul atau saya khawatir jatuh sakit bila

hari-hari suhu udaranya dingin. Kami katakan kalau begitu pakailah

gamis bila Anda tidak dapat melipatnya atau membayar fidyah. Karena

bila seseorang butuh melakukan sesuatu yang dilarang ia boleh melaku￾kan dan membayar fidyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ka'ab

bin Ujrah.

5. Memakai Wewangian

Ini merupakan larangan kelima dari semua larangan ihram yaitu

minyak wangi. Tidak semuabenda yang harumbaunya menjadi minyak

wangi. Karena minyak wangi adalah ramuan yang biasanya memang

disiapkan untuk minyak wangi. Maka berdasarkan ini apel, Permen,

dan semacamnya yang memiliki aroma yang harum dan mengundang

ketertarikan hati tidaklah merupakan minyak wangi. Minyak wangi

itu hanyalah sesuatu yang dipakai untuk wewangian seperti asap kayu

gaharu, kasturi, raihan (sari pohon selasih), mawar, dan semacamnya.

Ini semua tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram. Dalilnya

adalah bahwa Nabi ffi bersabda :

;j\ ti 3tVi.;t

"langanlah kalian memakni pakaian yang diberi minyak za'faran dan

u)aras.'/322)

Za'Iaran adalah minyak wangi. Akan tetapr, orang terkadang ber￾kata, "Za'faran itu lebih khusus dari kelompok minyak wangi karena ia

merupakan minyak wangi dan pewarna." Sedangkan kita mengatakan

bahwa minyak wangi dengan segala bentuknya haram bagi orang yang

sedang berihram. jawabannya, Nabi S bersabda terkait orang yang di￾jatuhkan oleh untanya hingga meninggal di Arafah, "Janganlah kalian

melumurinya dengan minyak wangi." Memberikan wewangian pada

mayit ialah melumurkan minyak wangi di beberapa bagian tubuh orang

yang meninggal. Minyak wangi di sini sifatnya umum mencakup se￾mua minyak wangi. Dan, Nabi S bersabda, "Karena in akan dibangkitkan

pada hari kismat dalnm keadaan bertalbiah./323) Ini merupakan dalil bahwa

mayit tidak boleh dipakaikan minyak wangi.

Banyak persoalan yang ditetapkan berdasarkan hadits tersebut.

Ini merupakan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah uu. Yakni,

satu peristiwa terjadi dari seorang sahabat dan dari peristiwa itu diam￾bil banyak hukum, baik hukum-hukum bagi orang yang masih hidup

maupun yang telah mati. Ini termasuk berkah dari Nabi S bahwa Allah

memberkahi ilmu beliau. Ibnul Qayyim mampu mengambil 12 keteta￾pan permasalahan dari satu hadits tersebut, dan kalau diteliti lagi bisa

ditemukan lebih dari itu.

Dalam hadits tersebut terkandung kebijaksanaan Allah ui dan

bahwa takdir-Nya yang terkadang faktanya merupakan musibah, ternya￾ta menjadi nikmat dan karunia dari sisi lain. Sahabat yang dijatuhkan

untanya hingga meninggal maka ini merupakan musibah baginya, tetapi

dari peristiwa itu menghasilkan banyak manfaat yang hanya diketahui

oleh Allah w.

Hikmah dari pengharaman minyak wangi bagi orang yang se￾dang berihram adalah minyak wangi itu bisa membangkitkan gairah

manusia. Bisa jadi, gairahnya memuncak dan naluri kemanusiaannya

meningkat karena minyak wangi itu. Dan akhirnya membuahkan fit￾nah baginya. Padahal, Allah berfirman :

*;+;i ' u-o'z'-g .*i ' (. 

-)e-.e) 

r l) 11- nY )

's{t?'

7!>eJ I

9

\3i:,

"Barangsiapayang menetapkan niatnya dalambulan itu akan menger￾jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dnn berbantah-banta￾han di dalam masa mengerjakan haji. ..Selain itu, minyak wangi kadang-kadang bisa membuatnya lupa

dari ibadah, sehingga dilarang. Minyak wangi di sini mencakup minyak

wangi untuk kepala (rambut), kumis, dada, dan punggung, atau di bagi￾an mana pun dari tubuhnya dan juga di bajunya.

Perkataan penulis, "Atar menggosok dengan sesuatu yang berbau

wangi." Maksudnya adalah mengusap bagian tubuh dengan benda yang

berbau wangi. Ini tidak boleh karena bau wanginya akan melekat dan

kulitnya pun wangi aromanya. Ini dengan syarat hendaknya sesuatu

yang diusapkan ini telah nyata mengandung aroma yang wangi,

Masih tersisa persoalan, bahwa sebagian sabun yang berbau wangi.

Apakah aroma itu termasuk aroma dalam kategori minyak wangi, atau

aroma yang harum saja? Yang tampak jelas adalah aroma yang kedua.

Oleh karena itu, orang-orang tidak menganggap sabun sebagai barang

yang masuk dalam kategori minyak wangi. Karena itu, Anda tidak

akan menemukan orang yang bila ingin membuat tubuhnya wangi, ia

menggunakan sabun yang dioleskan ke bajunya. Akan tetapi, karena

sabun dipakai di tangan untuk membersihkannya dari bau makanan,

para ulama fikih menetapkannya sebagai aroma yang harum (tidak ter￾masuk minyak wangi). Menurut pandangan saya, sabun yang memiliki

bau yang wangi tetap tidak masuk dalam kategori wewangian yang di￾haramkan.

Perkataan penulis, "Atau mencium minyak warrgi," maksudnya

adalah mencium yang berbau wangi. Ini adalah diharamkan. Akan te￾tapi, ada persoalan di sini. Yakni, mencium minyak wangi itu bila di￾haramkary ini memerlukan pembahasan lebih lanjut sebab mencium

bukan memakai. Karena itu, sebagian ulama rnengatakan, "Mencium

tidak diharamkan. Tetapi, bila seseorang bisa terlena karena aroma￾nya, ia harus dijauhi karena dikhawatirkan masuk ke dalam larangan

menggunakan wewangian. Adapun bila sekedar menciumnya untuk

mengetahui apakah aromanya wangi, netral, atau tidak enak, maka ini

tidak dipersoalkan. Ada tiga keadaan dalam persoalan mencium mi￾nyak wangi ini, yaitu, pertama, menciumnya tanpa sengaja. Kedua,

menciumnya dengan sengaja tetapi tidak menikmatinya.Ia melakukan￾nya hanya untuk mengetahui apakah baunya wangi atau tidak. Ketiga,

menciumnya dengan sengaja untuk menikmatinya.

Pendapat yang mengharamkan keadaan ketiga ini cukup berala￾san meskipun ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sebagian ulamaberpendapat, bahwa mencium minyak wangi tidak haram. Tidak ada

konsekuensi apapun dalam hal ini. Karena ia tidak memakainya. Sebab,

Nabi S bersabda, "Janganlah kalian memakaikan minyak wangi pada￾nya." Beliau juga bersabda, "langanlah kalian memakai pnkaian yang diberi

miny ak za' faran dan'(t) aras."32a) Mencium minyak wangi tidak berpengaruh

apa pun di badan dan baju. Adapun pendapat yang mengharamkan men￾cium minyak wangi seperti keadaan kedua, maka ini tidak tepat. Justru

itu dibolehkan. Sedangkan mencium dengan keadaan pertama tidak

diharamkan. Tidak ada perbedaan untuk keadaan pertama ini. Contoh

dari penjelasan ini adalah yang terjadi pada orang yang thawaf lalu men￾cium aroma minyak wangi yang ada di Ka'bah. Kita kadang kala melihat

orangyang menumpahkanminyak wangi ke dinding Ka'bah. Tumpahan

minyak wangi seperti itu tentu saja menyebarkan aroma ke sekitarnya.

Tetapi, hal ini tidak berpengaruh apa-apabagi orang yang berihram.

Kami berpendapat bahwa orang-orang yang memberi minyak

wangi di hajar Aswad telah berbuat kesalahan. Karena mereka akan

menyebabkan orang lain terhalang mencium hajar Aswad. Atau akan

menjerumuskan mereka ke dalam salah satu larangan ihram. Kedua hal

ini masih menjadi pertentangan antara dua kelompok yang berbeda.

Dikatakan kepada mereka, "Jika kalian bersikeras untuk memberi

minyak wangi di Ka'bah, janganlah kalian memberinya di tempat-tem￾pat syiar thawaf. Letakkan minyak wangi itu jauh dari Ka'bah. Sebab,

bila kalian meletakkannya di tempat-tempat yang nantinya akan disen￾tuh dan dicium oleh orang yang sedang berihram, maka ini merupa￾kan pengkhianatan terhadap mereka. Karena, bisa jadi mereka tidak

mengusap suatu syiar meskipun mampu melakukannya, atau tetap

mengusapnya tetapi terjerumus ke dalam larangan ihram." Karena itu,

para pelajar hendaknya berhati-hati dari perbuatan yang sebenarnya di￾niatkan untuk mendapatkan pahala ini lalu berbuat tidak baik karena

telah melakukan kesalahan. Karena, siapa yang mencium atau menyen￾tuh hajar Aswad dan terkena minyak wangi, lalu dikatakan kepadanya,

"Basuhlah," tentu saja ini sangat memberatkan dan sulit dilakukan teru￾tama pada saat situasi sedang desak-desakan.

Ada persoalan, kopi yang mengandung za'faran, apakah orang

yang sedang berihram boleh meminumnya? Jawabannya, bila aromanya

tetap menempel, orang yang berihram tidak boleh meminumnya. Na￾mun bila aromanya tidak menempel dan hanya meninggalkan warna￾nya saja, maka ini dibolehkan. Karena tidak ada minyak wangi di da￾lamnya.

Perkataan penulis, 'Atau mengasapi tubuh dengan kayu gaharu

dan memacamnya, maka wajib membayar fidyah," maksudnya adalah

orang yang sedang berihram dan mengasapi tubuhnya dengan bakaran

kayu gaharu yang merupakan tindakan meminyaki tubuh, maka ini di￾haramkan. Pelakunya wajib membayar fidyah, seperti telah dijelaskan

sebelumnya.

6. Akad Nikah

Akad nikah merupakan larangan strat ihram bagi laki-laki dan

perempuan. Dalilnya adalah sabda Nabi-gg, "Ornng rynng sadnttg iltrntrr

tidakboleh meniknh, tidnkbolelt diniknhi, dnn titlnltboleh diklrithnlr." (HR. Mus￾lim, IV : 136). Larangan ini berlaku bagi wali, calon sttami, maupun calon

istri yang semua sedang ihram. Sebab, hukum ini berkaitan dengan tiga

orang ini. Adapun dua saksi, larangan ini tidak berpeng;aruh terhadap

ihram keduanya. Hanya saja, makruh baginya menghadiri akad nikah

bila keduanya sedang ihram.

Bila akad nikah terjadi pada orang yang berihram di antata mere￾ka maka ini haram. Perinciannya seperti rni Pertama, akad orang yang

tidak ihram terhadap orang yang sedang ihram, maka nikahnya haram.

Kedua, akad nikah orang yang sedang berihram terhadap wanita yang

tidak sedang ihram, maka nikahnya haram. Ketiga, akad nikah yang

dilakukan oleh wali yang sedang berihram terhadap calon suami dan

istri yang tidak berihram, maka nikahnya haram.

Bila seseorang berkata, ada riwayat yang shahih bahwa Nabi .Hg

menikahi Maimunah saat beliau sedang ihram. Hadits ini diriwayatkan

oleh Abdullah bin Abbas, anak saudara perempuan Maimunah, ia me￾ngetahui keadaannya. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua penjela￾san: Pertama, melalui tarjih. Kedua, melalui kaidah pengkhususan.

Pertama, yakni melalui tarjih. Bahwa pendapat yang rajih, Nabi

Sq menikahi Maimunah saat beliau sedang tidak berihram. Dalilnya

bahwa Maimunah @i;, menyatakan sendrri bahwa Nabi dq menikahi￾nya saat beliau dalam keadaan tidak ihram dan bahwa Abu Rafi' men￾jadi perantara antara keduanya. Abu Rafi' mengabarkan bahwa Nabi de

menikahi Maimunah Ld.!, saat beliau dalam keadaan tidak ihram. Ber￾dasarkan keterangan ini, silakan melihat riwayatnya karena orang yang

menjadi sumber cerita dan orang yang menyampaikannya lebih tahu

tentang kisah ini daripada orang lain.

Adapun Hadits Ibnu Abbas :w,, jawabannya hendaknya dikatakan

bahwa ibnu Abbas tidak mengetahui bahwa Nabi M telah menikahi

Maimunah kecuali ketika Rasul ffi sedang ihram. Dengan demikian ia

mengira bahwa beliau menikahinya saat beliau sedang ihram berdasar￾kan pengetahuannya itu. Penjelasan seperti ini kuat dan jelas. Tidak ada

yang mengganjal dalam persoalan ini.

Adapun yang kedua, adalah itu termasuk kekhususan bagi Nabi

g. Artinya, hukum tersebut merupakan kekhususan bagi Nabi Eg un￾tuk menikah saat beliau sedang ihram. Pasalnya, beliau merupakan

manusia yang paling mampu mengendalikan kekuatan biologis. Selain

beliau bila ia menikah saat sedang berihram, niscaya nafsu syahwatnya

akan mengalahkan dirinya untuk bercumbu bahkan bersetubuh de￾ngan istrinya. Bagi Nabi S:, beliau memiliki banyak kekhususan dalam

persoalan pernikahan yang tidak boleh bagi selain beliau.

Pertanyaannya, apakah alasan kekhususan bagi Nabi ffi itu me￾rupakan keganjilan yang tidak layak disepakati sebagai pengambilan

kesimpulan hukum atau kita menyepakatinya? Jawabannya, ini bukan￾lah persoalan yang ganjil. Akan tetapi, bila ada kemungkinan tarjih dan

takhsish (pengkhususan) manakah yang didahulukan? Jawabannya

adalah tarjih lebih didahulukan. Karena hukum asalnya tidak ada peng￾khususan. Dengan demikian, mengambil tarjih lebih utama yaitu bah￾wa Rasul & menikahi Maimunah ctrr-, saat beliau tidak sedang ihram.

Akad nikah tidak sah bila itu diadakan terhadap wanita yang se￾dang berihram oleh suami yang tidak sedang berihram. Pernikahannya

tidak sah. Demikian juga sebaliknya, bagi laki-laki yang sedang berih￾ram yang mengadakan akad nikah dengan wanita yang tidak sedang

berihram. Pernikahannya juga tidak sah. Seandainya akad nikah terjadi

pada laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak sedang berihram

namun dinikahkan oleh wali yang sedang berihram, maka pernikahan￾nya juga tidak sah.

Karena larangan tersebut terletak pada akad nikah itu sendiri. Bila

larangan jatuh pada nama itu sendiri, maka tidak mungkin menjadi

sah. Sebab, seandainya kita menyatakan keabsahan pada sesuatu yangada larangan padanya, maka ini merupakan bentuk tantangan terha￾dap Allah dan Rasul-Nyu S.Sebab, sesuatu yang dilarang oleh Pem￾buat syariat, maka yang diinginkan dari umat ini adalah tidak menger￾jakannya. Bila itu dilakukan juga, maka ini merupakan penentangan

terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Dalam masalah ini ada beberapa persoalan, pertamn, sabda Rasu￾lullah S; : "Orang yang sednng berihrnm tidak boleh meniksh dnn tidnk bolelr

diniknhi." Bukankah ini menunjukkan bahwa akad nikah boleh dilang￾sungkan setelah tahalul pertama-sebagaimana ditunjukkan oleh riwa￾yat kedua dari Ahmad dan merupakan pendapat yang dipilih oleh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-karena orang yang berihram setelah

tahalul pertama sudah tidak dianggap sedang berihram secara sempur￾na? Permasalahan ini, insya Allah, akan kita bahas, yaitu berangkat dari

sabda Rasulullah '. "Hnlal baginyn segaln sesuatu kecunli uanitn."

Apakah maksud wanita itu berkaitan dengan khitbah dan akad

nikah, atau maksudnya adalah bersenang-senang (berhubungan badan)

denganwanita? Dalam persoalan ini ada dua pendapat, hanya saja dalam

prakteknya kita mengatakanbahwa tidakboleh mengadakan akad nikah

sebelum melakukan tahalul sempurna (tahalul kedua). Seandainya ter￾jadi akad nikah setelah tahalul pertama, maka ini bisa jadi kita berpen￾dapat seperti pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah dan sesuai dengan

riwayat Imam Ahmad dengan alasan beratnya beban. Setelah kita ama￾ti, kita melihat bahwa pendapat yang menyatakan bahwa akad nikah

setelah tahalul pertama adalah haram, pendapat ini perlu dikaji ulang

dari sisi dalil. Karena, sabda Rasul * adalah "Keanli unnita." Kalimat

ini mengandung kemungkinan kuat bahwa maksudnya adalah khusus

berkaitan dengan bersenang-senang dengan mereka, yaitu dengan ber￾setubuh atau lainnya. Dan bahwa orang yang telah melakukan tahalul

pertama tidak dianggap masih dalam keadaan ihram secara sempurna.

Kedua, khitbah yang dilakukan meman