ambilan dalil larangan mencukur rambut kepala berdasarkanlafazh
ayat tersebut. Dan, mengambil dalil larangan mencukur rambut lain
berdasarkan qiyas.
Ibnu Hazm dan jajaran mazhab Zhahiriyah mengatakary "Kami
tidak menerima qiyas sebab Allah ce telah berfirman, "Dan kami turunknn kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..."
(An-Nahl [16] : 89). Allah tidak melarang kita kecuali mencukur rambut
kepala, lantas mengapa kita mempersempit diri dalam ibadah kepada
Allah dan mengatakan, 'Semua rambut tidak boleh dicukur?"'
Bila kita mengatakan bahwa qiyas berlaku dalam perkara yang keluar dari satu perkara yang telah ditetapkan oleh dalil, maka kita perlu
menetapkan persamaan alasan antara perkara yang asli dan perkara
yang akan diqiyaskan. Yakni, apa alasan yang kita gunakan untuk menyamakan rambut selain kepala dengan rambut kepala. Mereka menjawab, 'Alasannya adalah kesenangan. Sebab, mencukur rambut akan
menghasilkan kebersihan. Pasalnya, ketika rambut yang (tidak dicukur)
bertambah kotor akan menumbuhkan kutu, bau tidak sedap dan menglar:lgu.'tApakah alasan ini bisa diterima? Kita akan melihat, apakah orang
yang sedang ihram dilarang dari kesenangan. Jawabannya, kesenangan
dalam hal makan tidak dilarang. Orang yang sedang ihram boleh memakan makanan yang baik sesukanya. Kesenangan dalam berpakaian
juga tidak dilarang.Ia boleh saja memakai baju yang dibolehkan dalam
ihram sesukanya. Membersihkan kotoran juga tidak dilarang. Ia boleh
mandi dan membersihkan diri dari kotoran. Siapa yang mengatakan
bahwa alasan pelarangan mencukur rambut adalah kesenangan yang
kita mengiyaskan rambut lainberdasarkan itu? Akan tetapi, alasan yang
nyata, bahwa orang yang berihram bila mencukur rambut kepalanya
maka perbuatannya itu telah menggugurkan sebuah rukun manasik
syar'i, yaitu menggundul atau mencukur sebagian rambut kepala pada
akhir ibadah umrah dan ketika melempar jumrah aqabah saatberibadah
haji. Bila seseorang telah menggundul rambutnya sebelum itu, ia akan
tiba di Mekah beberapa jam pada hari yang sama. Lantas apa yang akan
dia lakukan (untuk menunaikan rukun mencukur rambut bila ia sudah
menggundul sebelumnya)? Jadi, alasannya adalah menggugurkan satu
rukun manasik, yaitu menggundul atau mencukur rambut kepala. Alasan ini lebih mendekati kebenaran daripada alasan kesenangan hati.
Dengan demikian, tidak ada yang dilarang kecuali mencukur rambut
kepala saja.
Mereka juga mengatakan, "Hukum dasarnya adalah halal terkait
seseorang yang memotong rambutnya, sehingga kita tidak mungkin
melarang orang melakukan sesuatu terhadap rambutnya kecuali dengan dalil.Inilah yang lebih dekat kepada kebenaran." Akan tetapi, teori itu terkadang berbeda dengan prakteknya. Seandainya semua orang
menjauhkan diri dari tindakan memotong semua rambut di tubuhnya,
seperti kumis, ketiak, dan bulu kemaluan sebagai wujud kehati-hatian,
tentu ini lebih baik. Tetapi, bila kita mewajibkan dan menganggap dosa
orang yang mencukur rambut selain rambut kepala padahal tidak ada
dalil yang mengeluarkannya dari hukum mubah, maka ini perlu dikaji
lebih dalam lagi.
2. Memotong Kuku
Larangan kedua adalah memotong kuku dengan istllah ta'lim
nzhafir. Seandainya penulis menggunakan istilah izalatul nzhafir tentu
maknanya lebih umum, mencakup pemotongan kuku dengan berbagai
bentuknya.
Memotong kuku artinya memangkasnya dengan pemotong kuku'
Pada zaman dahulu, orang-orang memotong kuku dengan pisau kecil.
Mereka memotong ujung kuku sedikit demi sedikit layaknya orang meruncingkan pencil.
Tidak ada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang larangan
memotong kuku saat ihram. Akan tetapi, ulama mengiyaskannya dengan larangan mencukur rambut dengan seluruh bentuk kesenangan
lainnya. Bila Dawud berpendapat bahwa mencukur semua rambut di
tubuh itu berlaku hukum sama dengan mencukur rambut kepala, maka
larangan memotong kuku ini lebih pantas. Karena itu, Dawud menyebutkan adanya kemungkinan interpretasi lain dalam hukum selain
rambut kepala bisa jadi tidak termasuk yang dilarang, berdasarkan Pendapat yang menyatakan bahwa selain rambut kepala bukan larangan.
Akan tetapi, sebagian ulama menyebutkan adanya kesepakatan (ijma')
bahwa memotong kuku termasuk larangan dalam ihram. Bila ijma'ini
benar adanya, tidak ada alasan untuk menyelisihinya. Ia mesti diikuti.
Namun, bila ijma' itu ternyata tidak benar adanya, kita akan meneliti kepastian hukum memotong kuku sebagaimana kita membahas hukum
mencukur rambut selain rambut kepala.
Memotong kuku mencakup semua pemotongan kuku dengan cara
apa pun, baik dengan memotong (dengan alat potong kuku), memangkasnya, atau dengan mematahkannya. Memotong kuku tersebut mencakup kuku tangan dan kuku kaki. Maka barangsiapa mencukur tiga
rambut atau memotong tiga kuku, ia wajib membayar denda (darn). Man
adalah isim syarat,halnqa adalahfi'il syarat, qalama adalahfi'ilyangma'tuf
kepadafi'il syarat.Fa alaihi dam adalahkalimat yang merupakan jawaban
syarat. Maksudnya, siapa saja yang sedang berihram, mencukur tiga
rambut atau memotong tiga kuku maka ia wajib membayar denda (dam).
Karena hitungan jama' minimal adalah tiga. Bila minimal jama' adalah
tiga, maka bila ia telah mencukur tiga rambut saja maka ia dinyatakan
telah mencukur rambut. Anehnya, para ahli fikih menyatakan bahwa
seandainya seseorang mencukur tiga rambut dari rambut kepalanya, itu
tidak membuatnya harus membayar denda, kemudian mereka menempatkan tiga rambut dalam posisi mencukur.
Dapat diketahui dari perkataannya : Tiga (rambut), maka ia wajib
membayar denda, bahwa bila seseorang mencukur rambut atau memotong kuku di bawah jumlah itu berarti ia tidak wajib membayar denda.
Akan tetapi, mereka mengatakan,"Iawajlb memberi makan orang miskin untuk setiap rambut yang dicukur dan kuku yang dipotong itu'" Perincian seperti ini membutuhkan dalil. Manakah dalil dari As-Sunnah
yang menunjukkan bahwa rambut satu yang dicukur atau kuku satu
yang dipotong wajib memberi makan orang miskin? Karena itulah, para
ulama berselisih pendapat dalam menentukan ukuran yang mewajibkan fidyah, menjadi beberapa pendapat, yaitu; Pertama, mazhab Imam
Ahmad, wajib membayar fidyah bila mencukur tiga rambut atau lebih.
Kedua, wajib membayar fidyah bila mencukur empat rambut. Ketiga,
wajib membayar fidyah bila mencukur lima rambut. Keempat, waiib
membayar f idyah bila mencukur seperemPat bagian kep aIa. K elim a, w ajib membayar fidyah bila mencukur dengan ukuran telah menghilangkan gangguan di kepala.
Adapun pendapat yang paling dekat dengan dhahir ayat AlQuran adalah pendapat yang terakhir; bila mencukur dengan ukuran
telah menghilangkan gangguan di kepala. Yaknibila mencukur hingga
semua kulit kepala terlihai jelas, inilah pendapat Imam Malik. Artinya,
bila seseorang telah mencukur rambutnya semua (gundul) yang membuat kepalanya terbebas dari rasa yang mengganggu, dalilnya; (1) Firman Allah Ta'aIa, "Dan jangan kalian mencukur kepala kalian..." (Al-Baqarah [2] :1961. Berdasarkan ayat tersebut, seseorang tidak disebut telah
mencukur rambut (yang mewajibkan fidyah) bila gangguan di kepalanya masih ada. Namun, bila mencukur itu telah membuatnya terbebas
dari gangguary maka ia harus membayar fidyah. (2), bahwa Nabi {$ telah berbekam di kepala beliau, padahal beliau sedang ihram' Bekam di
kepala itu mesti mencukur rambut di bagian kepala yang akan dibekam'
Bekam tidak mungkin dilakukan tanpa pencukuran rambut' Namun
demikiary tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi ffi membayar fidyah. Karena, rambut yang dicukur tidaklah menghilangkan
gangguan karena rambut tebal atau panjang. Rambut yang dicukur di
tempat yang akan dibekam terhitung sedikitbila dibandingkan dengan
rambut yang masih tersisa. Berdasarkan ini, kita mengatakan bahwa
siapa yang mencukur tiga, empat, lima, sepuluh, atau duapuluh helai
rambut, ia tidak harus membayar dam dan perbuatannya ini tidak disebut sebagai istilah 'mencukur' yang berkonsekuensi rnembayar dam.
Akan tetapi, apakah ia sudah disebut sebagai orang yang bertahallul atau tidak? Jawabannya adalah tidak. Sebab, kita memiliki kaidah :Implementasi perintah itu tidak disebut semPurna kecuali dengan mengerjakan seluruhnya dan implementasi larangan tidak disebut sempurna
kecuali dengan meninggalkan seluruhnya. Bila Anda dilarang dari sesuatu, Anda harus meninggalkan larangan tersebut secara keseluruhan
danparsial. Danbila Anda diperintah untuk mengerjakan sesuatu, maka
Anda harus mengerjakan seluruhnya dan bagian-bagiannya. Dengan
demikian, kita katakan, bila mencukur seluruh rambut (gundul) atau
mencukur yang membuat terbebas dari gangguan diharamkan, maka
mencukur sebagian darinya juga diharamkan. Hanya saja, persoalan fidyah tidak masuk dalambahasan pengharaman.
Bila seseorang bertanya, 'Apakah sesuatu yang menjadi bagian
dari semua larangan dalam ihram hukumnya haram, dan tidak ada
kewajiban membayar fidyah dalam hal ini?" Jawabannya, benar. Akad
nikah dan khitbah itu haram bila dilakukan terhadap mahram, tetapi
tidak ada kewajiban membayar fidyah dalam kedua perkara ini.
Yang benar, membersihkan kutu dari rambut tidak haram. Tetapi,
orang yang berihram telah melanggar yang diharamkan bila ia mencukur rambut guna menghilangkan kutu dari kepalanya. Jadi, mencukur seluruh rambut kepala diharamkan dan harus membayar fidyah'
Mencukur sebagian rambut juga haram tetapi tidak wajib membayar
fidyah, kecuali bila telah menghilangkan gangguan dari kepala. Inilah
pendapat yang rajih.
Persoalan rambut kepala itu ada tiga pembahasan pemilahan. Pertama,bilaseseorang memotongbeberapa helai rambut namun tidak masuk dalam hukum mencukur, maka tidak ada kewajiban apa-apabaginya.Kedua, bila ia mencukur sebagian rambut akan tetapi karena suatu
alasan seperti untuk dibekam di kepala, bagian kepala tertentu terluka
dan tidak kunjung sembuh atau yang semacamnya, maka ia sebenarnya
hanya mencukur bagian yang diperlukan. Dan ia tidak terkena konsekuensi hukum apa pun. Dalil kita adalah perbuatan Nabi S ketika
beliau berbekam saat beliau sedang ihram, dan tidak ada riwayat yang
menjelaskan bahwa beliau membayar fidyah. Ketiga, bila ia menggundul atau mencukur sebagian besar rambutnya, maka ia wajib membayar
fidyah. Jelas bahwa perbuatan tersebut diharamkan baginya. Akan
tetapr, bila ia mencukur sebagian besar rambutnya, maka sebagian besaritu dihitung sama dengan keseluruhan dalam banyak perkara. Kalau
bukan karena Rasulullah ffi mencukur rambut beliau untuk bekam dan
beliau tidak membayar fidyah karena itu, tentu kita akan mengatakan,
bila seseorang mencukur sebagian rambut kepalanya, ia wajib membayar fidyah karena yang diharamkan mencakup banyak dan sedikit'
Ketahuilah bahwa persoalan larangan-larangan ihram, ketika
para ulama membicarakan denda seperti ini, mereka tidak mengartikan
bahwa denda tersebut sudah pasti. Akan tetapi merupakan satu dari
tiga perkara: (1) denda; (2) memberi makan enam orang miskin, setiap
satu orang t/zsha'; dan (3) puasa tiga hari. Kecuali bila orang yang ihram
melakukan persetubuhan saat haji sebelum tahalul pertama karena bila
ia melakukan ini ia wajib membayar denda satu ekor hewan kurban.
Bila tidak, balasan binatang buruan adalah semisalnya, seperti yang
akan dijelaskan,insyn Allah, dalam persoalan fidyah.
Kebanyakan mufti ketika dimintai fatwa oleh seseorang dalam
persoalan yang ada kemungkinan pilihan seperti ini, mereka menjawab
bahwa ia wajib membayar denda (dam).Iaberpegang teguh dengan pendapat itu dan tidak menyadarinya, padahal dia telah membebani orang
dengan membeli hewan dam.Dan,barangkali orang tersebut berhutang
untuk membelinya, padahal seandainya dia berfatwa kepadanya, bahwa
kamu boleh memilih membayar dam, atau memberi makan enam orang
miskin, setiap satu orang setengah sha' atau Puasa tiga hari, tentu persoalannya lebih ringan. Bagi orang tersebut, mufti tersebut wajib menjelaskan kepada kaum muslimin hukum syar'i ini. Dalil atas wajibnya
membayar fidyah bagi orang yang mencukur kepalanya adalah firman
Allah Tahla:
"Dan jangan knmu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di
tempat penyembelihannya,.. " (Al-Baqarah [2] : 196)
Sebagai catatary bahwa tidak diharamkan bagi orang yang sedang
berihram untuk menggaruk kepalanya, kecuali bila ia menggaruknya
hingga membuat rambutnya rontok. Maka ini menjadi haram' Akan
tetapi, bagi orang yang menggaruknya dengan kuat, kemudian ada rambut yang rontok tanpa sengaja, maka tidak apa-apa baginya. Pernah dikatakan kepada Aisyah, "sesungguhnya ada orang yang mengatakanbahwa menggaruk kepala itu tidak boleh." Maka, Aisyah menjawab,
"seandainya aku tidak bisa menggaruknya dengan tangary niscaya aku
akan menggaruknya dengan kakiku. Ungkapan tersebut merupakanbahasa dari Aisyah yang menunjukan bahwa itu sangat boleh. Saya melihat
banyak orang yang beribadah haji yang menggaruk kepalanya, maka ia
hanya menggarukkan ujung jarinya saja karena takut akan merontokkan rambutnya. Ini merupakan perbuatan yang berlebihan.
3. Menutup Kepala dengan Berbagai Penutup
Ini merupakan larangan ketiga saat orang ihram. Yaitu menutup
kepala dengan topi, peci, sorban dan semacamnya. Dalil larangan ini
bahwa ketika ada orang yang menutup kepalanya di Arafah, maka Nabi
S bersabda :
Z\, tr';J,J l1
"Dan jangan pula kalian menutup kepalanya."308)
Yaitu janganlah mereka menutupnya. Larangan iniberlaku umum
untuk semua penutup kepala. Adapun tentang sorban ada nash khusus
tentang larangannya. Nabi ffi ketika ditanya tentang aPa yang mesti dipakai oleh orang yang berihram, maka beliau menjawab, "Dan jangan
pulakalian menutup kepalanya."30e) Ini merupakan penyebutan satu bagian
dari bagian-bagian yang umum dalam sabda beliau, "Daniangan pula
diberi tutup kepala (serban)."
Perkataan penulis, "Malasiq (menempel)," mengeluarkan apa saja
yang tidak menempel di kepala. Karena, apa pun yang tidak menempel
di kepala tidak disebut menutupi kepala. Misalnya Payung yang dipegang oleh orang yang sedang ihram untuk melindungi diri dari terik
sinar matahari atau hujan. Perbuatan ini tidak bermasalah apa-apa dan
tidak ada kewajiban membayar fidyah. Inilah pendapat penulis dan
pendapat ini yang benat bahwa sesuatu yang tidak menempel dibolehkan dan tidak membayar fidyah.
Pendapat para ulama masa sekarang bahwa orang yang berteduh dengan payung atau sekedup maka ini diharamkan dan wajibmembayar fidyah. Maka berdasarkan pendapat ini, orang yang sedang
berihram tidak boleh berteduh dengan payung kecuali karena alasan
darurat dan bila melakukannya maka ia wajib membayar fidyah. Orang
yang berihram juga tidak boleh menaiki mobil yang tertutup karena itu
berarti ia berteduh dengannya.
Bila terpaksa melakukannya ia harus membayar fidyah. Akan tetapi, pendapat ini sudah tidak dipakai sejak lama dan tidak diamalkan
lagi pada zaman sekarang, kecuali kelompok Syihh Rafidhah. Mereka
tetap memegang pendapat ini. Saya juga mengira bahwa mereka memegang pendapat ini pada masa-masa akhir saja. Bila tidak, siapa yang
mengetahui ada orang yang mengamalkannya sebelum kita mengetahui pendapat ini dari mereka. Bagaimana pun itulah pendapat mereka.
Maka penulis memegang pendapat yang benar dalam permasalahan ini
yang menyelisihi pendapat Rafidhah.
Perlu diketahui bahwa menutup kepala itu ada beberapa hukum;
Pertama, boleh menurut nash dan ijma'. Misalnya seseorang memoles
rambutnya dengan hena, misalnya, atau madu, atau lem dengan tujuan
agar rambutnya tidak rontok. Dalilnya adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Umar '#.., yangberkata,'Aku melihat Rasulullah
melumuri rambut beliau.//310)
Kedua, menutup kepala tanpa ada maksud untuk menutupi. Misalnya, seseorang membawa furnitur di atas kepalanya. Perbuatan ini
tidak bermasalah karena tidak ada maksud untuk menutupi. Dan pada
umumnya orang tidak akan menutup kepalanya dengan berbuat seperti
itu.
Ketiga, menutup kepalanya dengan sesuatu yang biasa dipakai
untuk kepala, misalnya kopiah, kerudung (seperti yang biasa digunakan bangsa Arab), dan sorban. Maka ini haram menurut nash dan merupakan ijma'para ulama.
Keempat, menutup kepala dengan sesuatu yang tidak termasuk
pakaian, tetapi itu menempel dan memakainya dengan maksud sebagai penutup. Perbuatan ini tidak boleh dan dalilnya adalah sabda Rasulullah ffi, "|angnnlah kalian menutup kepalatmyaKelima, menutup kepalanya dengan suatu yang menyertainya misalnya payung, mobil, sekedup unta, dan semacamnya. Dalam persoalan ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan inilah
pendapat yang benar, sedangkan sebagian yang lain melarangnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keenam, menutup kepala dengan suatu yang terpisah dengannya
dan mengikuti. Misalnya berteduh di tenda atau baju yang ia letakkan
di batang pohon atau dahannya atau yang semacamnya. Maka perbuatan ini boleh dan tidak ada masalah. Ada riwayat yang shahih bahwa
Nabi ffi dibuatkan kubah (tenda) di Namirah. Tenda itu tetap di sana
hingga matahari condong di Arafah.3lr)
Jika seseorang berkata, "Berteduh dengan payung dan semacamnya, bukankah ini disebut penutup?" Jawabannya itu bukanlah penutup. Karena orang yang berjalan di sampingnya dapat melihat seluruh
kepalanya. Nabi S pun dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Bilal dan Usamah, salah seorang darinya menuntun beliau di atas punggung unta, sedangkan seorang lagi menaruh bajunya di atas kepalanya
hingga melempar jumrah Aqabah.3tz) Maksudnya beliau berteduh dengan baju itu. Ini sama persis dengan memakai payung.
Larangan menutup kepala berlaku khusus untuk laki-laki. Adapun
hukum mencukur rambut kepala dan memotong kuku maka hukum ini
umum untuk laki-laki dan perempuan. Tampak dari perkataan penulis
bahwa menutup wajah tidak haram dan bukan merupakan larangan
karena penulis mengatakan, "Barangsiapa menutup kepalanya." Ia lidak membahas soal wajah. Jika ia tidak menyinggungnya, maka pada
dasarnya hukumnya halal. Berdasarkan ini, orang yang berihram tidak
apa-apa menutup wajahnya dengan itu. Ini merupakan persoalan yang
diperselisihkan di antara para ulama. Sebagian di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa kaum laki-laki yang sedang berihram tidak
boleh menutup wajahnya, berdasarkan keshahihan redaksi dalam hadits
Ibnu Abbas ruu tentang kisah seorang lelaki yang dijatuhkan oleh untanya. Redaksinya adalah, "Dan jangan (ditutupi) wajahnya." Sedangkan
dt Ash-Shahihain, drsebutkan bahwa Nabi ffi bersabda, "Janganlah kalian menutupi kepalanya.'/313t Lafazhnya hanya demikian'
Muslim meriwayatkan bahwa beliau bersabda, "Dan jangan (ditutupi) wajahnya."31l) Para ulama berbeda pendapat terkait keshahihan
lafazh tersebut. Bagi ulama yang menganggap lafazh tersebut shahih,
mereka berpendapat, "Orang yang berihram tidak boleh menutup wajahnya." sedangkan ulama yang menyatakan bahwa redaksi tersebut
tidak shahih, mereka berpendapat bahwa menutupi wajah boleh. Ibnu
Hazam a;,!g berkata, "Orang yang masih hidup boleh menutupi wajahnya, sedangkan orang yang sudah meninggal tidak boleh ditutupi
wajahnya."
4. Memakai Pakaian Yang Dijahit
Ada dua pembahasan dalam persoalan ini; Pertama, apakah makna pakaian yang dijahit? |awabannya adalah, pakaian yang dijahit menurut para ahli fikih adalah semua pakaian yang dijahit pada bagian
anggota tubuh atau pada bagian badan seluruhnya. Misalnya gamis,
celana, jubah, rompi dan semacamnya. Maksud pakaian yang dijahit
bukanlah pakaian yang ada jahitannya. Tetapi, pakaian yang memang
untuk ihram boleh dipakai meskipun ada jahitannya.
Kedua, pakaian harus dipakai sebagaimana biasanya pakaian
dipakai secara wajar. seandainya seseorang hanya meletakkannya saja
maka tidak ada persoalan dalam hal ini. Maksudnya, kalau seseorang
memakai gamis di tubuhnya dengan cara memakai seperti memakai
jubah (yakni lengan bajunya tidak dipakai), maka ini tidak apa-apa karena ia tidak memakainya sebagaimana mestinya. Dalilnya adalah htrdits dari Abdullah bin umar bin Khaththab ,4;, bahwa Nabi M ditanya
tentang apa yang mesti dipakai saat ihram. Maka beliau menjawab :
"langanlah engkau memakai gamis, sorban, baju panjang yang bertutup kepala, celana panjang, serta khuf ."31s)
Beliau menyebutkan lima jenis pakaian yang tidak boleh dipakai,
padahal beliau ditanya tentang pakaian apa yang mesti dipakai. Maka
beliau menjawab dengan pakaian yang tidak boleh dipakai. Maknanya,
orang yang berihram boleh memakai selain lima yang disebutkan itu.
Beliau lebih memilih menyebutkan yang tidak boleh dipakai daripada
pakaian yang mesti dipakai karena pakaian yang tidak boleh dipakai
lebih sedikit daripada yang boleh dipakai.
Dikisahkan bahwa orang pertama yang menggunakan ungkapan
pakaian yang dijahit adalah Ibrahim An-Nakha'i'^r:z.Ia termasuk ahli
fikih generasi tabi'in.Ini karena beliau lebih menguasai ilmu fikih daripada pengetahuan tentang hadits. Karena itu, beliau dianggap sebagai
ahli fikih. Karena itu, beliau berkata, "Janganlah kalian memakai pakaian yang dijahit."
Karena ungkapan tersebut tidak berasal dari manusia yang maksum ffi, wajar bila menimbulkan beberapa persoalan : Pertama, dari segi
keumumannya. Kedua, dari segi interpretasinya. Kalau kita memakai
keumuman (generalisasi) redaksi tersebut, berarti kita mengharamkan
semua pakaian yang ada jahitannya. Karena kata mukhayath adalah isim
maful yang bermakna makhyuth (dljahlt). Karena ungkapan ini masih
meragukan bahwa tidak ada yang boleh dipakai saat ihram secara syar'i
bila ada jahitannya, karena itu dilarang. Yakni, seandainya seseorang
memakai pakaian yang ditambal atau pakaian yang disambung dari
dua kain, apakah ini termasuk pakaian dijahit (yang dilarang)? Jawabannya, secara bahasa itu pakaian yang dijahit antara satu dan lainnya.
Pakaian seperti ini tidak haram, tetapi boleh dipakai.
Jadi, ungkapan Nabi ffi lebih utama daripada ungkapan tersebut.
Karena beliau menyebutkan sejumlah pakaian yang dilarang, bukan
pembatasan. Tidak ada yang ambigu dalam ungkapan beliau tersebut.
Agar lebih jelas, mari kita kembali ke tafsir hadits Rasul S tersebut.
Beliau bersabda, "langanlah kalian memakai gamis." Gamis adalah
pakaian yang dijahit sesuai bentuk badan. Ia memiliki lengan baju seperti pakaian yang ada pada kita sekarang ini. Pakaian seperti ini tidak
dipakai untuk orang yang berihram. Karena bila ia memakainya maka
tidak ada syiar yang tampak untuk manasik. Di samping itu, karena
alasan banyaknya keragaman di antara manusia. Ada yang memakai
gamis model ini dan ada yang memakai model itu. Ini tentu tidak terjadi
bila mereka memakai satu model dalam berpakaian.
Beliau ffi bersabda ,
"Tidak pula sarnzuil (celana panjang)." Snrawil adalah kata tunggal, bukan plural. Pluralnya adalah sarawilat. Ada yang
menyatakan bahwa sarawil adalah kata plural, sedangkan kata tunggalnya adalah sirwal. Akan tetapi, bahasa yang fasih, sarawil adalah kata
tunggal. Ibnu Malik berkata di dalam btlJrlu Al-Alfiynh, "Celana pendek
(dengan ungkapan plural) menyeruPai pakaian yang dilarang secara
umum." Yakni sighah muntahal jumu'.
Sarswil adalah pakaian yang dipotong (sebelum dijahit) sesuai
ukuran tertentu menurut bentuk tubuh, yaitu kedua kaki.
Beliau ffi bersabd a, "Dan tidak pula baju panjang bertutup kepala."
Yaitu baju longgar yang ada penutup kepala yang bersambung dengannya. Beliau bersabda, "Dan tidakpula sorban." Yaitu pakaian untuk kepala. Orang yang berihram tidak boleh memakainya. Beliau tidak bersabda, "Janganlah menutup kepala." Karena beliau tidak ditanya kecuali
tentang apa yang dipakai. Maka beliau menyebutkan yang dipakai di
kepala, yaitu sorban. Dan yang dipakai di bawah badan, yaitu celana
panjang. Dan yang dipakai di tubuh bagian atas, yaitu gamis.
Beliau bersabda, "Dan jangan memaknikhuf." YaItu',yang dipakai di
kaki dan dibuat dari kulit atau semacamnya. Ini tidakboleh dipakai oleh
orang yang sedang berihram. Hanya saja, beliau mengecualikan :
J:'t'/t
"Barangsiapa tidak mendapatkan sandal hendaklah memakai khuf.
Dan, barangsiapa tidak mendapatkan knin sarung, hendaklah memakai celana p anj ang." Dengan ini, kita mengingkari udzur bahwa bila seseorang yang
naik pesawat terbang, bila pakaian ihramnya ada di kabin di dalam
pesawat, maka kita katakan bahwa itu bukanlah udzur. Buatlah baju
sebagai selendang badan, sedangkan celana panjang sebagai pakaian
bawah. Bila ia memakai tutup kepala, jadikanlah tutup kepala sebagai
pakaian atau jadikanlah gamis sebagai pakaian dan pakailah celana
panjang karena Anda tidak mendapatkan sarung.
Beliau bersabda, "Barangsiapa tidak mendapatkan sandal hendnklah
memakai khuf." Apakah ini berlaku ketika diperlukan saja atau berlaku
umum? Maknanya, apakah seandainya seseorang menaiki mobil-seperti yang banyak terjadi sekarang ini- menuju Masjidil Haram tanpa
perlu jalan kaki, apakah kita mengatakary bahwa ia boleh memakai sepatu bila tidak mendapatkan sandal? Atau, apakah kita akan mengatakan, bahwa Rasulullah ffi membolehkan pemakaian sepatu ketika tidak
ada sandal karena manusia itu butuh berjalan kaki. Dan selain itu, di
sekitar Mekah ada lembah dan gunungyang secara umum tidak lepas
dari duri dan banyak batu yang bisa melukai jari kaki? Maka dengan ini
dibolehkan baginya menggunakan sepatu?
Jawabannya, yang tampak bagi saya, sepatu tidak boleh dipakai
kecuali karena diperlukan. Adapun bila tidak diperlukan seperti yang
terjadi di masa kita sekarang ini, maka tidak perlu memakainya.
Persoalan, apakah bila boleh baginya memakai sepatu, ia wajib memotong sepatu itu hingga di bawah mata kaki? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dta;Pertama,iawaiib memotongnya hingga di bawah mata kaki. Dalilnya adalah riwayat yang shahih di dalam
kitab Ash-Shahihain dari Ibnu Umar qet', bahwa Nabi $ bersabda:
? J;iu$,;;\&4r
" Maka, hendaknya ia memotongnya, sehingga berada di bawah kedua
mata kfrki.t/317)
Kedua, tidak wajib dipotong. Karena ada riwayat dalam AshShahihain dari Ibnu Abbas qe3t, bahwa Rasulullah $ berkuthbah di hadapan banyak orang pada hari Arafah dan bersabda, "Siapa yang tidak
mendapatkan sandal, maka boleh memakni khuf. Dan, siapa ynng tidak mendapatkan sarung, hendaknya memakai celant." Beliau tidak memerintahkan
agar dipotong.
Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas lebih akhir, karena hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar q{t;, terjadi di Madinah sebelum
Nabi ffi pergi untuk ibadah haji. Hadits riwayat Ibnu Abbas r4r, terjadi
di Arafah setelah itu. Selain itu, kaum muslimin yang hadir mendengarkan ucapan Rasulullah g di Arafah lebih banyak daripada kaum muslimin yang hadir di Madinah. Kalau saja memotong sepatu itu wajrb,
beliau tidak mungkin menunda penjelasan tersebut dari waktu yang dibutuhkan. Berdasarkan hal ini, maka persoalan ini tidak masuk dalam
kaidah membawa dalil mutlak (umum) ke dalil muqayyad (khusus). Karena, dalil umum bisa dibawa ke dalil khusus bila keadaannya sama.
Bila keduanya sama keadaannya maka saat itu dalil mutlak dibawa ke
dalll muqnyyad. Adapun bila keadaannya berbeda, tidak mungkin dalil
umum di bawa ke dalil khusus. Inilah yang benar.
Yang menjadi persoalan, apakah sesuatu yang semakna dengan
lima jenis spesifik yang disebutkan oleh Nabi Sf juga diperlakukan hukum yang sama pula? Jawabannya adalah iya. Pakaian yang semakna
masuk ke dalam hukum yang sama dengan lima jenis itu. Misalnya,
gamis diserupai oleh rompi yang dipakai di dada, sehingga hukumnya
disamakan dengannya. Orang yang berihram tidak boleh memakainya.
Demikian pula qabai baju longgar berlengan yang terbuka di bagian wajah. Karena, ia menyerupai gamis. Akan tetapi, seandainya orang yang
berihram menempelkannya di atas pundaknya tanpa memasukkan tangannya ke lengan baju, apakah ini dianggap sebagai baju yang dilarang
dipakai? Bukary itu tidak disebut sedang memakai baju yang dilarang
karena orang-orang biasanya tidak memakai baju seperti itu.
Jaket yangberkerudung kepala diserupai oleh mantel. Sebab, dalam
beberapa model, mantel menyerupai jaket yang berkerudung kepala.
Karena itu, orang yang berihram tidak boleh memakainya sebagaimana
layaknya orang memakainya. Adapunbila ia menyelempangkannya di
dada ke kedua pundaknya seperti orang memakai jubah maka ini tidak
bermasalah.
Celana panjang disamai hukumnya oleh celana dalam. Celana
dalam juga seperti celana panjang hanya saja lengannya pendek. Yakni hanya sebatas setengah paha saja. Karena dalam kenyataannya iamerupakan celana hanya saja pendek. Selain itu, celana dalam biasanya
dipakai seperti celana panjang.
Jadi, kita menyamakan jenis pakaian yang mirip lima jenis tersebut dalam hukumnya, selain itu kita tidak menyamakan. Misalnya,
seandainya seseorang mengikatkan jubah di dadanya, maka ini tidak
haram. Sebab, jubah itu bila diikatkan tidak keluar dari keasliannya sebagai jubah. Akan tetapi, bila jubah itu dijalin, apakah ini dikategorikan sebagai pakaian yang dilarang? Jawabannya adalah tidak.Itu tidak
dikategorikan pakaian yang dilarang, tetapi itu merupakan jubah yang
dijalin. Akan tetapi, sebagian orang bersikap longgar dalam persoalan
ini. Jadinya, ada orang yang menjalin jubahnya dari leher hingga ke
bagian kemaluan sehingga mirip seperti gamis yang tidak berlengan.
Perbuatan ini tidak layak dilakukan. Adapun bila ia mengancingnya dengan satu kancing saja dengan tujuan agar tidak jatuh, apalagi bila itu
dibutuhkan, misalnya orang yang bertugas mengurusi rekan-rekannya,
maka ini tidak bermasalah apa-apa.
Bila seseorang memakai jam tangan, apakah ini disamakan dengan
hukum lima jenis pakaian tersebut? Jawabannya, tidak disamakan. Jam
tangan tidak berbeda dengan cincin, di mana cincin boleh dipakai dan
tidak ada masalah. Bila seseorang memakai kaca mata juga boleh karena
kaca mata tidak masuk dalam kelompok lima pakaian yang dilarang
itu, baik secara makna maupun istilah. Kalau seseorang memakai perapi gigi di mulutnya, ini juga boleh. Kalau seseorang memakai sandal
berlubang yang ada jahitannya, ini juga dibolehkan. Karena ini bukanlah sepatu, melainkan sandal yang ada lubangnya (sepatu sandal, -edt)
Meski sandal itu ada lubangnya, ia tidak keluar dari nama sandal. Hal
ini menguatkan apa yang kami katakan bahwa selalu memakai istilah
dari Nabi ffi itu lebih utama daripada kita mengatakan, "Diharamkan
memakai pakaian yang dijahit. Sebab, banyak orang awam yang menanyakan sandal yang berlubang. Mereka tidak yakin karena di sandal itu ada jahitannya. Kalau seseorang menyelempangkan pedang atau
senjata juga boleh karena ini tidak masuk ke dalam nash yang dilarang
oleh Rasulullah ffi, baik secara makna maupun lafazh. Kalau seseorang
mengikat perutnya dengan sabuk, ini juga boleh. Kalau seseorang mengalungkan tempat air atau tempat makanan di lehernya juga boleh. Yang
jelas bahwa Nabi ffi telah menentukan apa yang diharamkan. Maka apa
saja yang semakna, ia dihukumi sama, sedangkan yang tidak semaknatidak disamakan hukumnya. Apa yang kita ragu tentangnya, maka hukum dasarnya adalah halal.
Di antara pakaian yang masih kita ragukan adalah sarung yang
dijahit. Sebagian orang memakai sarung yang dijahit. Artinya tidak terbuka, kemudian ia melipatnya ke badan dan menguatkannya dengan
tali. Apakah kita akan mengatakan, "Ini dibolehkan atau itu serupa dengan gamis atau celana?" Jawabannya, itu dibolehkan. Karena sarung
itu tidak serupa dengan gamis atau pun celana panjang. Celana panjang
itu di setiap kakinya ada lengan, sedangkan gamis ada lengan di bagian
atasnya. Di setiap tangan ada lengannya. Maka dengan ini, ia keluar dari
kesamaan dengan celana panjang dan gamis, sehingga boleh dipakai.
Dan pada masa ini pun ada sebagian orang yang memakainya. Karena
sarung seperti ini merupakan pakaian yang paling jauh dari kemungkinan aurat terbuka. Kita katakan, selama sarung itu masih disebut
sarung, ia tetap halal dipakai.
Berkaitan dengan pakaian ihram bagi wanita, maka pelaksanaan
ihram wanita itu sama seperti pelaksanaan ihram laki-laki. Maksttdn:rya,
yang diharamkan pada wanita itu sama dengan yang diharamk4n pada
laki-laki. Wanita juga wajib membayar fidyah seperti laki-laki dalam hukum yang berkonsekuensi itu, kecuali ada pengecualian.
Ihram wanita sama dengan laki-laki, kecuali pakaiannya. Pakaian ihram wanita tidak seperti pakaian ihram laki-laki. Karena lakilaki tidak boleh memakai gamis dan celana panjang, sorban, jaket yang
berkerudung kepala, dan sepatu, sedangkan wanita boleh memakainya
dan tidak ada dosa baginya. Hanya saja, sorban wanita adalah khimar.
Perkataan penulis, "Kecuali dalam pakaian." Maksudnya tidak ada pakaian yang dilarang bagi wanita kecuali hanya satu saja, yaitu sarung
tangan, seperti yang akan dijelaskan.
Perkataan penulis, "Dan wanita menghindari pemakaian cadar."
Seandainya penulis menyebutkan cadar dan tutup muka (niqab) atau
menyebutkan tutup muka saja, tentu ungkapan seperti ini lebih baik.
Tetapi ia hanya menyebutkan cadar saja, padahal, cadar itu untuk hiasan,
sedangkan niqab untuk kebutuhan. Dalilnya adalah sabda Nabi ffi langnnlah wanita memakni niqab (penutup mukn)."3ls)
Bila wanita yang berihram dilarang memakai penutup muka (niqab), tentu saja larangan memakai cadar lebih pantas lagi.
Maksud perkataan penulis, "Sarung tartgan," adalah pakaian yang
dipakai untuk kedua tangan, seperti yang dipakai oleh para pemilik burung. Mereka memakai sarung tangan untuk menghindari tajamnya
kuku-kuku kaki burung ketika mereka memegangnya. Dalilnya adalah
sabda Nabi ffi:
-l;\At -p li
" I an ganlnh w anit a memakai sarunI t angln. " ttst
Bila demikian, wanita sama seperti laki-laki dalam persoalan jenis
pakaian ini, yaitu sarung tangan. Karena, laki-laki tidak memakai sarung tangan juga sebab itu termasuk pakaian yang dilarang'
Niqab adalah pakaian untuk wajah. Ia dipakai wanita untuk menutupi wajahnya dengan membuka bagian kedua mata sekedar bisa
melihat. Tidak ada riwayat dari Nabi S bahwa beliau mengharamkan
wanita menutup wajahnya. Tetapi yang diharamkan adalah niqab saja.
Karena itu merupakan pakaian wajah. Berbeda antara niqab dan menutup wajah. Berdasarkan ini, seandainya wanita yang berihram menutup
wajahnya, tentu kita mengatakan, "Itu tidak masalah. Tetapi, lebih baik
ia membuka wajahnya selama tidak ada laki-laki asing. Bila ada laki-laki
asing, wanita wajib menutupi wajah dari mereka."
Perkataan penulis, "Dan penutupan wajah." Maksudnya adalah
wanita menghindari penutupanwajah. Jadi wanita tidakboleh menutup
wajahnya. Adapun bagi laki-laki, telah dijelaskan sebelumnya bahwa
mereka boleh menutup wajah. Karena redaksi, "Dan tidak menutup wajahnya," dalam kisah seorang sahabat yang meninggal, kebenarannya
masih diperdebatkan dan ada keguncangan dalam riwayat tersebut. Karena itu, para ahli fikih menolaknya dan mengatakan, "Sesungguhnya
orang berihram boleh menutup waiahnya." Orang yang berihram banyak
memerlukannya. Misalnya, pada saat tidur, ia meletakkan sapu tanganuntuk melindungi muka dari lalat. Atau dari keringat dan semacamnya'
Jadi, haram bagi seorang wanita menutup wajahnya. Inilah pendapat yang populer di kalangan mazhab Imam Ahmad. Di sini mereka
menyebutkan penguatnya bahwa ihram wanita di wajahnya. Ini lemah.
Bila ini yang mereka maksud, bahwa posisi yang di situ dilarang memakai pakaian tertentu maka inibenar. Tapibila yang mereka maksud adalah menutup, maka ini tidak benar karena tidak ada riwayat dari Nabi
{gbahwabeliau melarang wanita menutupi wajahnya. Riwayat larangan
yang ada hanyalah tentang niqab. Niqab lebih khusus daripada menutup wajah. Karena niqab merupakan pakaian di wajah. Maka seolaholah wanita dilarang memakai pakaian wajah. Sebagaimana laki-laki
dilarang memakai pakaian di tubuh dan pakaian di kepala.
Maksud ungkapan penulis, "Dan boleh bagi wanita berhias adalah
wanita yang berihram boleh memakai perhiasan." Maksudnya adalah
perhiasan yang boleh dipakai bukan semua perhiasan. Karena perhiasan yang berbentuk hewan haram dipakai dan selainnya. Jadi, ihram
tidak melarang wanita dari berhias. Akan tetapi mereka wajib menutupi
perhiasannya dari laki-laki. Kecuali bila ia sendirian di rumah, atau bersama para perempuan, suami, atau mahram, dan ia memakai perhiasan
maka ini dibolehkan.
Yang menjadi persoalan, apakah diharamkan bagi wanita memakai kaos kaki? Jawabannya adalah tidak haram. Karena kaos kaki haram
bagi laki-laki saja. Sebab kaos kaki seruPa dengan sepatu. Apakah diharamkan bagi laki-laki memakai sarung tangan? Jawabannya adalah ya,
sarung tangan diharamkan bagi laki-laki. Sebagian orang mengisahkan
bahwa itu merupakan ijma'. Mereka mengatakan bahwa Nabi S; melarang orang yang berihram memakai apa saja yang dikhususkan untuk
kaki dan demikian pula dilarang memakai apa saja yang dikhususkan
untuk tangan. Yaitu yang dibuat sesuai dengan bentuk salah satu anggota badan. Akan tetapi Nabi $ tidak menyebutkannya dalam perkaraperkara yang dijauhi oleh orang berihram karena memakai sarung tangan itu bukan kebiasaan laki-laki. Karena itu, sebab memakai sarung
tangan merupakan kebiasaan wanita, maka beliau bersabda untuk wanita, "Dan janganlah wanita memakai sarung tangan."3Tampak dari ungkapan penulis bahwa memakai sarung tangan
itu haram baik dalam waktu lama ataupun sebentar dan hukumnya
memallg seperti itu berdasarkan ini seandainya seorang laki-laki memakai gamis dan celana panjang. Berdasarkan bahwa ia telah selesai
dari ihramnya namun ternyata ia belum selesai, maka ia harus segera
melepaskan pakaian itu saat itu juga. Misalnya, seorang laki-laki menunaikan ibadah umrah lalu thawaf dan sa'i kemudian memakai celana
panjang. Kemudian dia teringat belum memotong atau menggundul
rambutnya. Kita katakan kepadanya ia wajib segera mengganti pakaian
karena ia masih dalam rangkaian ihram. Orang yang berihram tidak
boleh memakai gamis meski hanya sekejap mata. Akan tetapi, penggantian pakaian itr-r bisa diakhirkan sesuai dengan ukuran yang berlaku. Sehingga kita tidak mengatakan misalnya bila Anda di masjid
Anda harus berlari di depan orang-orang atau cepat-cepat ke mobil atau
semacamnya.
Apakah bila orang ingin melepas gamis ia mesti membukanya
dari atas atau dari bawah bila ukurannya longgar ataukah ia harus
menyobeknya? Ada tiga kemungkinan dalam hal ini, dan jawabannya
adalah dari bawah. Ini tidak mungkirr dilakukan kecuali bila ukurannya longgar. Karena bila ia membukanya dari atas pasti akan menutupi
kepalanya, padahal orang vang berihram tidak boleh menutup kepalanya. Karena itu sebagian ulama mengatakan bila orang ingin membuka gamis yang diharamkan baginya. Maka ia harus membukanya
dari bawah bila ukurannya longgar. Bila tidak ia harus menyobeknya
dan tidak boleh membuka dari atas. Karena bila ia melakukannya berarti ia telah menutup kepalanya. Akan tetapi pendapat ini lemah. Sebab
menyobek gamis berarti merusaknya. Sedangkan Nabi i:! melarang kita
dari tindakan menyia-siakan harta.321)Selain itu menutup kepala di sini
tidak sengaja itu hanyalah sebagaimana orang yang membawa bekal di
atas kepalanya. Membawa bekal di atas kepala itu umumnya lebih lama.
Sedangkan menutup kepala sekedar buka baju hanya sebentar saja. Pendapat yang benar bahwa ia boleh membuka gamisnya seperti biasa dan
tidak perlu menyobeknya ataupun membukanya dari bawah.
Ada persoalan, seandainya orang berihram tidak mendapatkan
sarung lantas bagaimana hukumnya? Jawabannya, Nabi gg menyebutkan
bahwa bila tidak mendapatkan sarung boleh memakai celana panjang.
Namun bila ia memakai celana panjang tersebut apakah ia wajib membayar fidyah? Tidak wajib karena ia memakai pakaian pengganti itu berdasarkan syariat. Demikian juga sepatu. Adapun bila seseorang tidak
mendapatkan jubah maka ia tetap saja seperti itu karena orang yang
berihram boleh memakai sarung saja di antara orang banyak. Orang
juga boleh memakai sarung saja dalam keadaan shalat. Tapi ia tidak
dalam keadaan membutuhkan jubah. Bila ia berkata, saya tidak kuat untuk tetap membuka dada dan punggung karena saya akan merasakan
beban yang tidak mampu saya pikul atau saya khawatir jatuh sakit bila
hari-hari suhu udaranya dingin. Kami katakan kalau begitu pakailah
gamis bila Anda tidak dapat melipatnya atau membayar fidyah. Karena
bila seseorang butuh melakukan sesuatu yang dilarang ia boleh melakukan dan membayar fidyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ka'ab
bin Ujrah.
5. Memakai Wewangian
Ini merupakan larangan kelima dari semua larangan ihram yaitu
minyak wangi. Tidak semuabenda yang harumbaunya menjadi minyak
wangi. Karena minyak wangi adalah ramuan yang biasanya memang
disiapkan untuk minyak wangi. Maka berdasarkan ini apel, Permen,
dan semacamnya yang memiliki aroma yang harum dan mengundang
ketertarikan hati tidaklah merupakan minyak wangi. Minyak wangi
itu hanyalah sesuatu yang dipakai untuk wewangian seperti asap kayu
gaharu, kasturi, raihan (sari pohon selasih), mawar, dan semacamnya.
Ini semua tidak boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram. Dalilnya
adalah bahwa Nabi ffi bersabda :
;j\ ti 3tVi.;t
"langanlah kalian memakni pakaian yang diberi minyak za'faran dan
u)aras.'/322)
Za'Iaran adalah minyak wangi. Akan tetapr, orang terkadang berkata, "Za'faran itu lebih khusus dari kelompok minyak wangi karena ia
merupakan minyak wangi dan pewarna." Sedangkan kita mengatakan
bahwa minyak wangi dengan segala bentuknya haram bagi orang yang
sedang berihram. jawabannya, Nabi S bersabda terkait orang yang dijatuhkan oleh untanya hingga meninggal di Arafah, "Janganlah kalian
melumurinya dengan minyak wangi." Memberikan wewangian pada
mayit ialah melumurkan minyak wangi di beberapa bagian tubuh orang
yang meninggal. Minyak wangi di sini sifatnya umum mencakup semua minyak wangi. Dan, Nabi S bersabda, "Karena in akan dibangkitkan
pada hari kismat dalnm keadaan bertalbiah./323) Ini merupakan dalil bahwa
mayit tidak boleh dipakaikan minyak wangi.
Banyak persoalan yang ditetapkan berdasarkan hadits tersebut.
Ini merupakan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah uu. Yakni,
satu peristiwa terjadi dari seorang sahabat dan dari peristiwa itu diambil banyak hukum, baik hukum-hukum bagi orang yang masih hidup
maupun yang telah mati. Ini termasuk berkah dari Nabi S bahwa Allah
memberkahi ilmu beliau. Ibnul Qayyim mampu mengambil 12 ketetapan permasalahan dari satu hadits tersebut, dan kalau diteliti lagi bisa
ditemukan lebih dari itu.
Dalam hadits tersebut terkandung kebijaksanaan Allah ui dan
bahwa takdir-Nya yang terkadang faktanya merupakan musibah, ternyata menjadi nikmat dan karunia dari sisi lain. Sahabat yang dijatuhkan
untanya hingga meninggal maka ini merupakan musibah baginya, tetapi
dari peristiwa itu menghasilkan banyak manfaat yang hanya diketahui
oleh Allah w.
Hikmah dari pengharaman minyak wangi bagi orang yang sedang berihram adalah minyak wangi itu bisa membangkitkan gairah
manusia. Bisa jadi, gairahnya memuncak dan naluri kemanusiaannya
meningkat karena minyak wangi itu. Dan akhirnya membuahkan fitnah baginya. Padahal, Allah berfirman :
*;+;i ' u-o'z'-g .*i ' (.
-)e-.e)
r l) 11- nY )
's{t?'
7!>eJ I
9
\3i:,
"Barangsiapayang menetapkan niatnya dalambulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dnn berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. ..Selain itu, minyak wangi kadang-kadang bisa membuatnya lupa
dari ibadah, sehingga dilarang. Minyak wangi di sini mencakup minyak
wangi untuk kepala (rambut), kumis, dada, dan punggung, atau di bagian mana pun dari tubuhnya dan juga di bajunya.
Perkataan penulis, "Atar menggosok dengan sesuatu yang berbau
wangi." Maksudnya adalah mengusap bagian tubuh dengan benda yang
berbau wangi. Ini tidak boleh karena bau wanginya akan melekat dan
kulitnya pun wangi aromanya. Ini dengan syarat hendaknya sesuatu
yang diusapkan ini telah nyata mengandung aroma yang wangi,
Masih tersisa persoalan, bahwa sebagian sabun yang berbau wangi.
Apakah aroma itu termasuk aroma dalam kategori minyak wangi, atau
aroma yang harum saja? Yang tampak jelas adalah aroma yang kedua.
Oleh karena itu, orang-orang tidak menganggap sabun sebagai barang
yang masuk dalam kategori minyak wangi. Karena itu, Anda tidak
akan menemukan orang yang bila ingin membuat tubuhnya wangi, ia
menggunakan sabun yang dioleskan ke bajunya. Akan tetapi, karena
sabun dipakai di tangan untuk membersihkannya dari bau makanan,
para ulama fikih menetapkannya sebagai aroma yang harum (tidak termasuk minyak wangi). Menurut pandangan saya, sabun yang memiliki
bau yang wangi tetap tidak masuk dalam kategori wewangian yang diharamkan.
Perkataan penulis, "Atau mencium minyak warrgi," maksudnya
adalah mencium yang berbau wangi. Ini adalah diharamkan. Akan tetapi, ada persoalan di sini. Yakni, mencium minyak wangi itu bila diharamkary ini memerlukan pembahasan lebih lanjut sebab mencium
bukan memakai. Karena itu, sebagian ulama rnengatakan, "Mencium
tidak diharamkan. Tetapi, bila seseorang bisa terlena karena aromanya, ia harus dijauhi karena dikhawatirkan masuk ke dalam larangan
menggunakan wewangian. Adapun bila sekedar menciumnya untuk
mengetahui apakah aromanya wangi, netral, atau tidak enak, maka ini
tidak dipersoalkan. Ada tiga keadaan dalam persoalan mencium minyak wangi ini, yaitu, pertama, menciumnya tanpa sengaja. Kedua,
menciumnya dengan sengaja tetapi tidak menikmatinya.Ia melakukannya hanya untuk mengetahui apakah baunya wangi atau tidak. Ketiga,
menciumnya dengan sengaja untuk menikmatinya.
Pendapat yang mengharamkan keadaan ketiga ini cukup beralasan meskipun ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sebagian ulamaberpendapat, bahwa mencium minyak wangi tidak haram. Tidak ada
konsekuensi apapun dalam hal ini. Karena ia tidak memakainya. Sebab,
Nabi S bersabda, "Janganlah kalian memakaikan minyak wangi padanya." Beliau juga bersabda, "langanlah kalian memakai pnkaian yang diberi
miny ak za' faran dan'(t) aras."32a) Mencium minyak wangi tidak berpengaruh
apa pun di badan dan baju. Adapun pendapat yang mengharamkan mencium minyak wangi seperti keadaan kedua, maka ini tidak tepat. Justru
itu dibolehkan. Sedangkan mencium dengan keadaan pertama tidak
diharamkan. Tidak ada perbedaan untuk keadaan pertama ini. Contoh
dari penjelasan ini adalah yang terjadi pada orang yang thawaf lalu mencium aroma minyak wangi yang ada di Ka'bah. Kita kadang kala melihat
orangyang menumpahkanminyak wangi ke dinding Ka'bah. Tumpahan
minyak wangi seperti itu tentu saja menyebarkan aroma ke sekitarnya.
Tetapi, hal ini tidak berpengaruh apa-apabagi orang yang berihram.
Kami berpendapat bahwa orang-orang yang memberi minyak
wangi di hajar Aswad telah berbuat kesalahan. Karena mereka akan
menyebabkan orang lain terhalang mencium hajar Aswad. Atau akan
menjerumuskan mereka ke dalam salah satu larangan ihram. Kedua hal
ini masih menjadi pertentangan antara dua kelompok yang berbeda.
Dikatakan kepada mereka, "Jika kalian bersikeras untuk memberi
minyak wangi di Ka'bah, janganlah kalian memberinya di tempat-tempat syiar thawaf. Letakkan minyak wangi itu jauh dari Ka'bah. Sebab,
bila kalian meletakkannya di tempat-tempat yang nantinya akan disentuh dan dicium oleh orang yang sedang berihram, maka ini merupakan pengkhianatan terhadap mereka. Karena, bisa jadi mereka tidak
mengusap suatu syiar meskipun mampu melakukannya, atau tetap
mengusapnya tetapi terjerumus ke dalam larangan ihram." Karena itu,
para pelajar hendaknya berhati-hati dari perbuatan yang sebenarnya diniatkan untuk mendapatkan pahala ini lalu berbuat tidak baik karena
telah melakukan kesalahan. Karena, siapa yang mencium atau menyentuh hajar Aswad dan terkena minyak wangi, lalu dikatakan kepadanya,
"Basuhlah," tentu saja ini sangat memberatkan dan sulit dilakukan terutama pada saat situasi sedang desak-desakan.
Ada persoalan, kopi yang mengandung za'faran, apakah orang
yang sedang berihram boleh meminumnya? Jawabannya, bila aromanya
tetap menempel, orang yang berihram tidak boleh meminumnya. Namun bila aromanya tidak menempel dan hanya meninggalkan warnanya saja, maka ini dibolehkan. Karena tidak ada minyak wangi di dalamnya.
Perkataan penulis, 'Atau mengasapi tubuh dengan kayu gaharu
dan memacamnya, maka wajib membayar fidyah," maksudnya adalah
orang yang sedang berihram dan mengasapi tubuhnya dengan bakaran
kayu gaharu yang merupakan tindakan meminyaki tubuh, maka ini diharamkan. Pelakunya wajib membayar fidyah, seperti telah dijelaskan
sebelumnya.
6. Akad Nikah
Akad nikah merupakan larangan strat ihram bagi laki-laki dan
perempuan. Dalilnya adalah sabda Nabi-gg, "Ornng rynng sadnttg iltrntrr
tidakboleh meniknh, tidnkbolelt diniknhi, dnn titlnltboleh diklrithnlr." (HR. Muslim, IV : 136). Larangan ini berlaku bagi wali, calon sttami, maupun calon
istri yang semua sedang ihram. Sebab, hukum ini berkaitan dengan tiga
orang ini. Adapun dua saksi, larangan ini tidak berpeng;aruh terhadap
ihram keduanya. Hanya saja, makruh baginya menghadiri akad nikah
bila keduanya sedang ihram.
Bila akad nikah terjadi pada orang yang berihram di antata mereka maka ini haram. Perinciannya seperti rni Pertama, akad orang yang
tidak ihram terhadap orang yang sedang ihram, maka nikahnya haram.
Kedua, akad nikah orang yang sedang berihram terhadap wanita yang
tidak sedang ihram, maka nikahnya haram. Ketiga, akad nikah yang
dilakukan oleh wali yang sedang berihram terhadap calon suami dan
istri yang tidak berihram, maka nikahnya haram.
Bila seseorang berkata, ada riwayat yang shahih bahwa Nabi .Hg
menikahi Maimunah saat beliau sedang ihram. Hadits ini diriwayatkan
oleh Abdullah bin Abbas, anak saudara perempuan Maimunah, ia mengetahui keadaannya. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua penjelasan: Pertama, melalui tarjih. Kedua, melalui kaidah pengkhususan.
Pertama, yakni melalui tarjih. Bahwa pendapat yang rajih, Nabi
Sq menikahi Maimunah saat beliau sedang tidak berihram. Dalilnya
bahwa Maimunah @i;, menyatakan sendrri bahwa Nabi dq menikahinya saat beliau dalam keadaan tidak ihram dan bahwa Abu Rafi' menjadi perantara antara keduanya. Abu Rafi' mengabarkan bahwa Nabi de
menikahi Maimunah Ld.!, saat beliau dalam keadaan tidak ihram. Berdasarkan keterangan ini, silakan melihat riwayatnya karena orang yang
menjadi sumber cerita dan orang yang menyampaikannya lebih tahu
tentang kisah ini daripada orang lain.
Adapun Hadits Ibnu Abbas :w,, jawabannya hendaknya dikatakan
bahwa ibnu Abbas tidak mengetahui bahwa Nabi M telah menikahi
Maimunah kecuali ketika Rasul ffi sedang ihram. Dengan demikian ia
mengira bahwa beliau menikahinya saat beliau sedang ihram berdasarkan pengetahuannya itu. Penjelasan seperti ini kuat dan jelas. Tidak ada
yang mengganjal dalam persoalan ini.
Adapun yang kedua, adalah itu termasuk kekhususan bagi Nabi
g. Artinya, hukum tersebut merupakan kekhususan bagi Nabi Eg untuk menikah saat beliau sedang ihram. Pasalnya, beliau merupakan
manusia yang paling mampu mengendalikan kekuatan biologis. Selain
beliau bila ia menikah saat sedang berihram, niscaya nafsu syahwatnya
akan mengalahkan dirinya untuk bercumbu bahkan bersetubuh dengan istrinya. Bagi Nabi S:, beliau memiliki banyak kekhususan dalam
persoalan pernikahan yang tidak boleh bagi selain beliau.
Pertanyaannya, apakah alasan kekhususan bagi Nabi ffi itu merupakan keganjilan yang tidak layak disepakati sebagai pengambilan
kesimpulan hukum atau kita menyepakatinya? Jawabannya, ini bukanlah persoalan yang ganjil. Akan tetapi, bila ada kemungkinan tarjih dan
takhsish (pengkhususan) manakah yang didahulukan? Jawabannya
adalah tarjih lebih didahulukan. Karena hukum asalnya tidak ada pengkhususan. Dengan demikian, mengambil tarjih lebih utama yaitu bahwa Rasul & menikahi Maimunah ctrr-, saat beliau tidak sedang ihram.
Akad nikah tidak sah bila itu diadakan terhadap wanita yang sedang berihram oleh suami yang tidak sedang berihram. Pernikahannya
tidak sah. Demikian juga sebaliknya, bagi laki-laki yang sedang berihram yang mengadakan akad nikah dengan wanita yang tidak sedang
berihram. Pernikahannya juga tidak sah. Seandainya akad nikah terjadi
pada laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak sedang berihram
namun dinikahkan oleh wali yang sedang berihram, maka pernikahannya juga tidak sah.
Karena larangan tersebut terletak pada akad nikah itu sendiri. Bila
larangan jatuh pada nama itu sendiri, maka tidak mungkin menjadi
sah. Sebab, seandainya kita menyatakan keabsahan pada sesuatu yangada larangan padanya, maka ini merupakan bentuk tantangan terhadap Allah dan Rasul-Nyu S.Sebab, sesuatu yang dilarang oleh Pembuat syariat, maka yang diinginkan dari umat ini adalah tidak mengerjakannya. Bila itu dilakukan juga, maka ini merupakan penentangan
terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Dalam masalah ini ada beberapa persoalan, pertamn, sabda Rasulullah S; : "Orang yang sednng berihrnm tidak boleh meniksh dnn tidnk bolelr
diniknhi." Bukankah ini menunjukkan bahwa akad nikah boleh dilangsungkan setelah tahalul pertama-sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat kedua dari Ahmad dan merupakan pendapat yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-karena orang yang berihram setelah
tahalul pertama sudah tidak dianggap sedang berihram secara sempurna? Permasalahan ini, insya Allah, akan kita bahas, yaitu berangkat dari
sabda Rasulullah '. "Hnlal baginyn segaln sesuatu kecunli uanitn."
Apakah maksud wanita itu berkaitan dengan khitbah dan akad
nikah, atau maksudnya adalah bersenang-senang (berhubungan badan)
denganwanita? Dalam persoalan ini ada dua pendapat, hanya saja dalam
prakteknya kita mengatakanbahwa tidakboleh mengadakan akad nikah
sebelum melakukan tahalul sempurna (tahalul kedua). Seandainya terjadi akad nikah setelah tahalul pertama, maka ini bisa jadi kita berpendapat seperti pendapat Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah dan sesuai dengan
riwayat Imam Ahmad dengan alasan beratnya beban. Setelah kita amati, kita melihat bahwa pendapat yang menyatakan bahwa akad nikah
setelah tahalul pertama adalah haram, pendapat ini perlu dikaji ulang
dari sisi dalil. Karena, sabda Rasul * adalah "Keanli unnita." Kalimat
ini mengandung kemungkinan kuat bahwa maksudnya adalah khusus
berkaitan dengan bersenang-senang dengan mereka, yaitu dengan bersetubuh atau lainnya. Dan bahwa orang yang telah melakukan tahalul
pertama tidak dianggap masih dalam keadaan ihram secara sempurna.
Kedua, khitbah yang dilakukan meman