Tauhid yaitu sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin.
sebab pada umumnya kita menginginkan atau bahkan telah mengaku
sebagai seorang yang bertauhid. Disamping itu, kata ‘tauhid’ ini sangat
sering disampaikan oleh para penceramah baik pada waktu khutbah
atau pengajian-pengajian. namun bisa jadi masih banyak orang yang
belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini bagi kehidupan
manusia, bahkan bagi yang telah merasa bertauhid sekalipun. Berangkat
dari banyaknya pemahaman orang yang telah kabur tentang hakikat
tauhid dan lupa akan kedudukannya yang begitu tinggi maka penjelasan
yang gamblang tentang masalah ini sangat penting untuk disampaikan.
Dan sebab permasalahan tauhid merupakan permasalahan agama maka
penjelasannya tidak boleh lepas dari sumber ilmu agama yaitu Al Quran dan
As Sunnah dengan merujuk kepada penjelasan ahlinya, yaitu para ulama.
Para ulama Aqidah mendefinisikan tauhid sebagai berikut: Tauhid
yaitu keyakinan tentang keesaan Allah SWT. dalam rububiyah-Nya, meng-
ikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya serta menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya. Dengan demikian maka biasa dikatakan
bahwa tauhid terbagi menjadi tiga macam yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Asma dan Sifat. Kesimpulan ini diambil oleh para
ulama sesudah mereka meneliti dalil-dalil AL Quran dan hadits yang terkait
dengan keesaan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk lebih jelasnya akan
dijabarkan dibawah ini masing-masing tauhid ini .1
2. Macam-Macam Tauhid
a. Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah yaitu keyakinan tentang keesaan Allah di dalam
perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah yaitu satu-
satunya:
- Pencipta seluruh makhluk.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah memelihara segala
sesuatu.” (QS. Az Zumar: 62)
- Pemberi rizki kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud: 6)
- Penguasa dan pengatur segala urusan alam, yang meninggikan lagi
menghinakan, menghidupkan lagi mematikan, memperjalankan
malam dan siang dan yang maha kuasa atas segala sesuatu.
“Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki kerajaan,engkau
berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan
engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang
yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebijakan.
Sesungguhnya engkau maha kuasa atas segala sesuatu. Engkau
masukan malam kedalam siang dan engkau masukan siang
kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati
dan engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan engkau beri
rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali
Imron: 26 -27).
Dengan demikian Tauhid Rububiyah mencakup keimanan kepada tiga
hal yaitu:
1. Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah secara umum
seperti, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan dan
lain-lain.
2. Beriman kepada qadha dan qadar Allah.
3. Beriman kepada keesaan Zat-Nya.
b. Tauhid Asma dan Sifat
Tauhid Asma dan Sifat yaitu keyakinan tentang keesaan Allah
subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang ada dalam Al
Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya
dan hukum-hukumnya.
Allah berfirman:”Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al A’rof: 180)
“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi.” (QS.
Ar Rum: 27).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid Asma dan Sifat
yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan semua nama dan sifat tidak menafikan dan
menolaknya.
2. Tidak melampaui batas dengan menamai atau mensifati Allah di
luar yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Tidak menyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan
sifat makhluk-Nya.
4. Tidak mencari tahu tentang hakikat bentuk sifat-sifat Allah.
5. Beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntutan asma dan sifat-
Nya.
Kedua macam tauhid di atas termasuk dalam satu pembahasan
yaitu tentang keyakinan atau pengenalan tentang Allah. Oleh sebab
itu kedua macam tauhid ini biasa disatukan pembahasannya
dengan nama tauhid ma’rifah dan itsbat (pengenalan dan penetapan).
Pada dasarnya fitrah manusia beriman dan bertauhid ma’rifah
dan itsbat. Oleh sebab itu orang-orang musyrik dan kafir yang
dihadapi oleh para Rasul tidak mengingkari hal ini. Dalilnya yaitu
firman Allah:
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang
Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘kepunyaan
Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’ Kata-
kanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas se -
gala sesuatu sedang Dia melindungi, namun tidak ada yang dapat
dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan
menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian),
maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al Mu’minun: 86-
89)
Kalaulah ada manusia yang mengingkari Rububiyah dan
kesempurnaan nama dan sifat Allah, itu hanyalah kesombongan
lisannya yang pada hakikatnya hatinya mengingkari apa yang
diucapkan oleh lisannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Firaun
dan pembelanya.
“Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa
tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan yang
Maha memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata,
dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Firaun seorang yang akan
binasa.” (QS. Al Isra: 102)
Demikian juga pengingkaran orang-orang komunis dewasa ini,
hanyalah kesombongan dhohir walaupun batinnya pasti mengakui
bahwa tiada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan dan tidak
ada satu kejadianpun kecuali ada yang berbuat.
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah merekalah
yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah
menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak
meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. At Thur: 35-36).
c. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah yaitu mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-
perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah
seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, ber-
taubat, dan lain-lain.
“Dan Tuhanmu yaitu Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh: 163)
“Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua tuhan.
Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah
kepada-Ku saja kamu takut.” (QS. An Nahl: 51)
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah,
padahal tidak ada sesuatu dalilpun baginya tentang itu maka
sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhan-Nya. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir tiada beruntung.” (QS. Al Mu’minun:
117).
Tauhid inilah yang dituntut harus ditunaikan oleh setiap hamba
sesuai dengan kehendak Allah sebagai konsekuensi dari pengakuan
mereka tentang Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah.
Kemurnian Tauhid Uluhiyah akan didapatkan dengan mewujudkan
dua hal mendasar yaitu:
1. Seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah bukan kepada
yang lainnya.
2. Dalam pelaksanaan ibadah ini harus sesuai dengan perintah
dan larangan Allah.
Ketiga macam tauhid di atas memiliki hubungan yang tidak bisa
dipisahkan, dimana keimanan seseorang kepada Allah tidak akan utuh
sehingga terkumpul pada dirinya ketiga macam tauhid ini . Tauhid
Rububiyah seseorang tak berguna sehingga dia bertauhid Uluhiyah dan
Tauhid Rububiyah, serta Tauhid Uluhiyah seseorang tak lurus sehingga dia
bertauhid asma dan sifat. Singkatnya, mengenal Allah tak berguna sampai
seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya. Dan beribadah kepada Allah
tidak akan terwujud tanpa mengenal Allah.
Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini.
sebab pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global,
maka para Rasul utusan Allah diutus bukan untuk memperkenalkan
tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul yaitu untuk
menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian
materi dakwah para rasul yaitu Tauhid Uluhiyah. Oleh sebab itu istilah
tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka
ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah. Dalam kehidupan manusia
tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antaranya sebagai berikut:
1. Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka (hanyalah) menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah menyembah dalam
firman Allah yaitu perintah untuk bertauhid. Maksud dari kata
menyembah di ayat ini yaitu mentauhidkan Allah dalam segala
macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas
ra, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan
bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk
beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk
menghabiskan waktu kalian untuk bermain-main dan bersenang-
senang belaka. Sebagaimana firman Allah
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada
di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak
membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari
sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya:
16-17). “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak
akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
2. Hakikat Tauhid yaitu Tujuan Diutusnya Para Rasul
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah
Toghut (sesembahan selain Allah) itu.” (QS. An Nahl: 36)
Makna dari ayat ini yaitu bahwa para Rasul mulai dari Nabi
Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad SAW. diutus oleh
Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah
semata dan tidak memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun.
Maka pertanyaan bagi kita sekarang yaitu “Sudahkah kita memenuhi
seruan Rasul kita Muhammad SAW. untuk beribadah hanya kepada
Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan
Rasulullah ini?” Tanyakanlah hal ini pada masing-masing kita dan
jujurlah
Sebelumnya manusia yaitu umat yang satu, berasal dari Nabi
Adam as. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja.
Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-
adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula
dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun
semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka
kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya selama
sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam as. kepada
kemusyrikan -sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.
Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah
subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh as. Demikianlah, setiap kali
kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus
rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi
syirik.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah
thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
sesudah Rasulullah SAW. diutus, Allah SWT. tidak lagi mengutus
rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah
terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. namun Allah
subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan
dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
imam Muslim.
3. Tauhid Merupakan Perintah Allah Yang Paling Utama dan Pertama
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik,
dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia
kehendaki.” (QS. An Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan
yang terbesar. Sebagaimana syirik yaitu larangan terbesar maka
lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah
menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus
ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang
tua.” (QS. An Nisaa’: 36).
Dalam ayat ini Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan.
Dan hal pertama yang Dia perintahkan yaitu untuk menyembahNya
dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan daripada
berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya.
Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap
sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya
terutama hak beribadah hanya kepada Allah semata.
Rasul SAW. memerintahkan para utusan dakwahnya agar
menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi
SAW. bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ra, “Jadikanlah perkara yang
pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.”
(Riwayat Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa
yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.”
Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan
lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya
orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh
ditaati. Allah berfirman,
“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mem-
persekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS.
Luqman: 15)
4. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.
Di dalam ayat di bawah ini Allah memerintahkan untuk bertauhid
terlebih dulu sebelum memerintahkan yang lainnya.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua
ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang
Hak) melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan
bagi (dosa) orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan.” (QS.
Muhammad: 19)
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk bertauhid
dahulu sebelum beramal.
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan
Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan
kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat dan
kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita
yang mulia ini. Oleh sebab itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin
untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid yaitu
mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya yaitu kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-
perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mencipta
dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki,
memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan
kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh
manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang
yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya
mereka menampakkan keingkarannya hanya sebab kesombongan
mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui
bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat
dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka
sendiri.
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini
tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam sebab sesungguhnya
orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rasulullah mengakui
dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah,
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang
memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan
Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’
Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, namun tidak ada yang
dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan
menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan
manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).
Dan yang amat sangat menyedihkan yaitu kebanyakan kaum
muslimin di zaman sekarang menganggap bahwa seseorang sudah
dikatakan beragama Islam jika telah memiliki keyakinan seperti ini.
2. Mengesakan Allah dalam Uluhiyah-Nya
Maksudnya yaitu kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah
yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal,
taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana
kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada
Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para Rasul
dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan
mereka itu.
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan
Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang
sangat mengherankan.” (Shaad: 5).
Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan
dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata.
Oleh sebab pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah
dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah yaitu satu-
satunya Pencipta alam semesta.
3. Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya
Maksudnya yaitu kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat
Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan
kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk memiliki
nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an :
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang
Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-
Hasyr: 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika
telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik. Barangsiapa yang
menyekutukan Allah dalam salah satu saja dari ketiga hal ini ,
maka dia bukan muslim tulen namun dia yaitu seorang musyrik.
B. Akidah Islam
Akidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara istilah akidah
artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dalam
pengertian agama maka pengertian akidah yaitu kandungan rukun iman,
yaitu:
1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada para malaikat
3. Beriman kepada kitab-kitab-Nya
4. Beriman kepada para Rasul-Nya
5. Beriman kepada hari akhir
6. Beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk
Akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa
disertai keraguan di dalam hati seseorang.6 Akidah yang benar merupakan
landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan.
1. Makna Beriman Kepada Allah
Seseorang dikatakan beriman kepada kitab-kitab Allah, tatkala dia
membenarkan dengan penuh keyakinan, baik secara global maupun secara
rinci, bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-
hambaNya yang di dalamnya ada kebenaran yang nyata, cahaya dan
petunjuk yang jelas bagi manusia, dan bahwasanya kitab-kitab ini
yaitu kalam (perkataan) Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya,
sesuai dengan apa yang Ia kehendaki.
2. Makna Beriman Kepada Malaikat
Malaikat yaitu makhluk gaib diciptakan oleh Allah Ta’ala dari cahaya,
walaupun mereka memiliki keluarbiasaan yang sangat hebat mereka tidak
berhak untuk diibadahi. Hal ini dapat kita ketahui berdasarkan hadits
Rasulullah dari ‘Aisyah ra., “Malaikat itu diciptakan dari cahaya dan jin
diciptakan dari percikan api, sementara Adam diciptakan dari apa yang telah
dijelaskan kepadamu.” (HR. Muslim).
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan yang memiliki sayap, masing-
masing dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (Faathir: 1)
Malaikat yaitu salah satu makhluk ciptaan Allah Ta’ala. Keimanan
kepada malaikat merupakan salah satu rukun dari rukun iman, hal ini
sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW. dalam hadits Jibril, dimana
malaikat Jibril bertanya kepada beliau tentang iman dan kemudian dijawab
oleh Rasulullah “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar yang baik dan
buruk.” (HR. Muslim). Ini artinya orang yang tidak mengimani malaikat
maka dia telah terjerumus dalam kekufuran sebab telah mengingkari
salah satu rukun iman. Oleh sebab itulah amat penting bagi kita untuk
mengetahui apa dan bagaimanakah bentuk keimanan yang benar terhadap
makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang mulia ini.
Kita wajib mengimani secara rinci terhadap beberapa malaikat yang
kita ketahui namanya seperti Jibril, Mikail, Malik, serta Isrofil. Kita juga
mengimani secara global adanya malaikat-malaikat yang tidak kita ketahui
namanya. Tidaklah diperbolehkan bagi seseorang untuk menamakan
malaikat tanpa adanya dalil-dalil yang shahih baik dari Al Qur’an maupun
Sunnah sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan
akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama
perempuan.” (An Najm: 27)
Sifat malaikat yang paling utama yaitu mereka tidak pernah
mendurhakai apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mengerjakan
setiap yang Allah titahkan kepada mereka. Mereka diciptakan oleh Allah
khusus untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya yaitu manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim: 6).
Bentuk para malaikat terkadang berubah dari aslinya atas izin Allah,
sebagaimana Jibril datang pada Rasulullah dengan menyerupai laki-laki
yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Nabi pernah
mengabarkan bahwa Jibril memiliki enam ratus sayap yang menutupi
seluruh ufuk semesta alam. Beriman kepada Malaikat mengandung empat
unsur, yaitu:
a. Beriman terhadap keberadaan mereka, wujud mereka benar-
benar ada, mereka bukanlah kekuatan maknawi berupa kekuatan
baik yang tersembunyi pada setiap makhluk sebagaimana
anggapan segolongan orang.
b. Beriman kepada nama-nama mereka yang telah dijelaskan
dalam Qur’an dan Sunnah. Adapun mereka yang tidak dijelaskan
namanya kita mengimaninya secara global. Maksudnya kita
mengimani bahwa Allah telah menciptakan mereka meskipun
kita tidak tahu namanya.
c. Beriman terhadap sifat mereka yang telah dijelaskan. Seperti ciri-
ciri malaikat Jibril yang dikisahkan dalam hadits di atas.
d. Beriman terhadap tugas-tugas para Malaikat sebagaimana telah
dijelaskan. Mereka melaksanakan tugas itu tanpa rasa capek dan
bosan.
Kita juga mengimani bahwa ada berbagai macam malaikat beserta
tugasnya masing-masing. Di antara mereka yaitu :
a. Malaikat yang bertugas membawa wahyu kepada para Rasul-
Nya, yaitu malaikat Jibril. “Dia dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Asy
Syu’ara: 193-194)
b. Malaikat yang diserahi tugas mengurusi hujan dan pembagiannya
sesuai dengan kehendak Allah. Sebagaimana hadits dari Abu
Huroiroh dari Rasulullah, “Tatkala seorang laki-laki berada di
tanah lapang dia mendengar suara di awan, ‘Siramilah kebun
fulan’, maka menjauhlah awan ini kemudian menumpahkan
air di suatu tanah yang berbatu hitam…” (HR. Muslim)
c. Malaikat yang bertugas meniup sangkakala, yaitu malaikat Isrofil.
“…kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka
itu semuanya.” (Al Kahfi: 99)
d. Malaikat yang bertugas mencabut nyawa, yakni malaikat maut
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada
Tuhanmu-lah kamu akan dikembalikan.’” (As Sajdah: 11)
e. Para malaikat penjaga surga. Allah berfirman, “Sehingga jika
mereka sampai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka
dan berkatalah penjaga-penjaganya kepada mereka, ‘kesejahteraan
atasmu, berbahagailah kamu, maka masukilah Surga ini, sedang
kamu kekal di dalamnya.’” (Az-Zumar: 73)
f. Para malaikat penjaga Neraka Jahannam, yaitu malaikat
Zabaniyah. Para pemimpinnya ada 19 dan pemukanya yaitu
malaikat Malik. Sebagaimana firman Allah tentang Neraka Saqor
“Tahukah kamu apa Saqor itu? Saqor itu tidak meninggalkan dan
membiarkan. (Neraka Saqor) yaitu pembakar kulit manusia. Di
atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami
jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat.” (Al Muddatstsir:
27-30). Dan dalam firman-Nya yang lain tentang permintaan
penghuni Neraka kepada malaikat Malik “Mereka berseru, ‘Hai
Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab,
‘kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az Zukhruf: 77)
g. Para malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam
segala ihwalnya. Sebagaimana firman Allah, “Dan Dialah yang
memiliki kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga…” (Al An’am:
61)
h. Para malaikat yang ditugaskan mengawasi amal seorang hamba,
yang baik maupun yang buruk. Allah berfirman, “Apakah mereka
mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-
bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-
utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.”
(Az Zukhruf: 80).
3. Makna Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah
Adapun beriman kepada kitab-kitab Allah mencakup tiga perkara:
Pertama, mengimani bahwa kitab-kitab ini benar-benar diturunkan
oleh Allah. Kedua, mengimani kepada rincian nama-nama kitab ini
sebagaimana yang telah Allah sebutkan. Ketiga, mempercayai berita-berita
yang benar dari kitab-kitab ini sebagaimana pembenaran kita kepada
Al Quran. Kita wajib beriman secara rinci kepada kitab-kitab yang telah
Allah sebutkan nama-namanya, yakni Al Quran dan kitab-kitab yang lain
yaitu:
a. Shuhuf Ibrohim dan Musa as. “Sesungguhnya ini benar-benar
ada dalam shuhuf (lembaran-lembaran) yang dahulu, (yaitu)
shuhuf Ibrohim dan Musa.” (QS. Al A’la: 18 - 19)
b. Taurat, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Musa as.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)...” (QS. Al
Maidah: 44)
c. Zabur, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Daud as. “...dan
Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. An Nisa: 163)
d. Injil, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Isa as.
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan
Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yakni
Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil ...” (QS.
Al Maidah: 46)
Allah mengabarkan di dalam Al Quran bahwa ahli kitab, yakni Yahudi
dan Nasrani, telah mengubah kitab-kitab mereka sebab itu ia tidak lagi
seperti saat diturunkan oleh Allah. Kaum Yahudi menyimpangkan Taurat.
Mereka mengubah dan menggantinya serta mempermainkan hukum-
hukum Taurat. Allah berfirman, “Diantara orang-orang Yahudi, mereka
mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An Nisa: 46)
Begitu pula dengan kaum Nasrani, mereka juga menyimpangkan
Injil. Mereka mengubah hukum-hukumnya. Allah berfirman, “Apakah
kamu masih mengharapkan mereka percaya kepadamu, padahal segolongan
dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya sesudah
memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. Al Baqoroh: 75)
Sesungguhnya Al Qur’an yaitu kalamullah (firman/perkataan Allah)
bukan makhluk Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
sehingga setap mukmin hendaknya senantiasa mengagungkan Al Qur’an
dan berusaha untuk berpegang teguh dengan hukum-hukumnya, serta
membaca dan memahaminya. Lalu apa sajakah kewajiban seorang muslim
terhadap Al Qur’an? Diantara kewajiban seorang muslim terhadap Al Quran
yaitu : (1) Wajib mencintai Al Qur’an, mengagungkan dan menghormati
kedudukannya, sebab ia yaitu kalamullah, perkataan yang paling benar,
perkataan Allah, Rabb semesta alam. (2) Wajib membaca dan merenungkan
ayat-ayat Al Qur’an, serta memikirkan pelajaran yang terkandung di
dalamnya. (3) Wajib mengikuti hukum-hukum serta mentaati perintah-
perintah yang ada di dalamnya.
Sebagai gambaran, lihat bagaimana saat ‘Aisyah ditanya tentang
akhlak Nabi SAW. maka ia menjawab, “Akhlak beliau yaitu al-Qur’an.”
(HR. Muslim). Yakni Rasulullah SAW. yaitu orang yang mencerminkan
penerapan nyata dari hukum-hukum Al Qur’an dan syariat-syariat
di dalamnya. Itulah Rasulullah, dan kita sebagai umatnya hendaknya
meneladani beliau. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(datangnya) hari akhir...” (QS. Al Ahzab: 21)
Seseorang yang benar-benar beriman terhadap kitab-kitab Allah,
termasuk Al Qur’an, akan memberikan banyak pengaruh terhadap dirinya,
diantaranya:
a. Menyadari tentang perhatian Allah terhadap hamba-hambaNya,
juga tentang kesempurnaan rahmat-Nya, di mana Allah telah
menurunkan kepada setiap kaum sebuah kitab sebagai petunjuk
agar mereka bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.
b. Dapat mengetahui hikmah Allah dalam penetapan syariat-Nya,
dimana Allah telah mensyariatkan bagi setiap kaum, apa yang
sesuai dengan keadaan kaum ini . Allah berfirman, “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.” (QS. Al Maidah: 48)
c. Dapat bersyukur kepada Allah terhadap nikmat Allah, yakni
diturunkannya kitab-kitab ini . Sebab kitab-kitab ini
yaitu cahaya dan petunjuk di dunia maupun di akherat.
4. Makna Beriman Kepada Rasul-Rasul Allah
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh Kami telah mengutus para Rasul
sebelum engkau (Muhammad), diantara mereka ada yang Kami kisahkan
kepadamu dan ada pula yang tidak Kami kisahkan kepadamu.” (Al Mu’min:
78). Kalau para Rasul yang sudah kita ketahui namanya maka kita harus
mengimaninya dengan nama ini , lalu bagaimana kita mengimani Rasul
yang tidak kita ketahui namanya? Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, “Adapun
Rasul yang tidak kita ketahui namanya maka kita beriman kepadanya secara
global.”. Maksudnya yaitu kita mengimani bahwa Allah benar-benar telah
mengutus mereka meskipun tidak kita ketahui namanya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami telah mengutus
kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) Sembahlah Allah dan
jauhilah thoghut.” (An Nahl: 36). Para Rasul yaitu makhluk Allah yang
berwujud manusia bukan malaikat. Mereka diutus untuk mengajari manusia
tentang tujuan hidup mereka yaitu menyembah kepada Allah Ta’ala saja.
Mereka membawa berita gembira bagi siapa saja yang mau taat dan mereka
membawa ancaman siksa bagi siapa saja yang bermaksiat. Rasul yaitu
hamba sebagaimana kita maka tidak boleh menujukan ibadah kepadanya.
Syaikh Muhammad At Tamimi memberikan sebuah kaidah yang masyhur
yang patut kita ingat tentang diri Nabi; ‘Abdun falaa yu’bad Rosuulun falaa
yukadzdzab’ bahwa Muhammad yaitu hamba maka tidak boleh diibadahi
dan beliau yaitu Rasul (utusan) sehingga tidak boleh didustakan.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hendaklah orang-orang yang
menyelisihi perintahnya (Rasulullah) merasa khawatir akan ditimpakan fitnah
(bencana) kepada mereka atau adzab yang pedih akan menimpa mereka.” (An
Nuur: 63). Kalaulah menyelisihi perintah Rasul itu tidak mengapa tentunya
Allah tidak akan mengancam mereka dengan ditimpakannya fitnah atau
adzab yang pedih. Berdasarkan ayat ini pula bisa diambil kaidah ushul,
‘hukum asal perintah yaitu wajib’. Lagipula kalau kita mau merenungkan,
sebetulnya ketaatan kita kepada Rasul itulah yang akan menyelamatkan kita
dari siksa. Orang yang mentaati Rasul itu sama artinya telah mentaati Allah.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul sesungguhnya dia telah mentaati Allah.”
(An Nisa’: 80) Sehingga orang yang mendurhakai perintah Rasul berarti juga
telah mendurhakai Allah. Siapakah orang yang berani-berani mendurhakai
Allah yang Menguasai seluruh alam dan Maha pedih siksanya.
Sesungguhnya diantara sebab utama kelemahan kaum muslimin
dewasa ini yaitu sebab mereka tidak memahami hakikat keimanan
kepada para Rasul. Oleh sebab sebab seperti ini pula umat-umat terdahulu
dibinasakan oleh Allah. Lihatlah sikap dan perilaku umat Islam yang sehari-
harinya penuh dengan kemaksiatan; aurat diumbar, sholat ditinggalkan,
sabda Nabi disepelekan dan lain sebagainya. Bahkan ada diantara kaum
muslimin yang lebih merasa mantap kalau mengambil pendapat tokoh-tokoh
barat daripada mengambil perkataan emas para sahabat, yang notabene
yaitu juru bicara Rasul SAW., inikah yang disebut sebagai kemajuan? Oleh
sebab itulah kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita tentang
iman kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, “Berilah peringatan sebab
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Adz Dzariyaat: 55)
Seorang utusan bertugas untuk menyampaikan amanat yang
diberikan oleh pihak yang mengutus dirinya. Maka mendustakan apa yang
disampaikannya berarti mendustakan pengutusnya. Allah telah mengutus
para Rasul untuk dibenarkan beritanya bukan untuk didustakan. Demikian
pula berita yang dibawa Nabi dan Rasul terakhir; Muhammad SAW.
semuanya yaitu kebenaran. “Dan Dia (Muhammad) tidaklah berbicara dari
hawa nafsunya, namun itu yaitu wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
(An Najm: 3-4)
Maka setiap hadits yang telah dinyatakan keabsahannya oleh ahli
hadits harus kita yakini kebenarannya walaupun akal kita belum bisa
menjangkaunya. Lihatlah bagaimana ketegaran Abu Bakar Ash Shiddiq
saat banyak orang-orang Quraisy di masa itu mendustakan berita
naiknya Nabi ke langit dalam peristiwa isro’ dan mi’roj dan mereka pun
mengolok-olok Nabi sebab nya. Apa kata Abu Bakar? Beliau mengatakan,
“Kalau benar Muhammad yang mengatakannya maka lebih dari itupun aku
mempercayainya!”
Orang yang mendustakan seorang Rasul sama artinya mendustakan
Rasul yang lainnya. Allah berfirman, “Kaum Nabi Nuh telah mendustakan
para Rasul.” (Asy Syu’araa’: 105).
Syaikh Al Utsaimin ra. berkata, “Allah menilai tindakan kaum Nuh
sebagai pendustaan kepada seluruh Rasul padahal saat itu belum ada
seorang Rasul pun selain Nabi Nuh. Berdasarkan hal ini maka orang-orang
Nasrani yang mendustakan Nabi Muhammad dan tidak mau mengikutinya
sebenarnya mereka juga telah mendustakan Al Masih bin Maryam (Nabi Isa)
dan tidak mengikuti ajarannya...”.
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalannya selain orang mu’min maka
Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan Kami akan masukkan dia ke
dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu yaitu seburuk-
buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115)
Syaikh As Sa’di berkata dalam kitab tafsirnya, saat menjelaskan
firman Allah “Kami biarkan dia dalam kesesatannya”: Yakni Kami tinggalkan
dia menempuh apa yang dipilihnya bagi dirinya sendiri. Kami hinakan dia
dan tidak memberinya taufik menuju kebaikan sebab dia telah melihat
8 Syaikh Al Utsaimin, Syarah Tsalatsatil Ushul
dan mengerti kebenaran namun justeru meninggalkannya. Sehingga
sebagai bentuk keadilan-Nya, Allah membalasnya dengan membiarkannya
kebingungan dalam kesesatannya, dan Allah menambahkan kesesatan demi
kesesatan kepadanya. Sebagaimana firman Allah, “Maka tatkala mereka
menyimpang maka Allah simpangkan hati mereka.” (Ash Shof: 5). Begitulah
nasib para penentang Rasul; tenggelam dalam kesesatan demi kesesatan.
Syaikh Al Utsaimin menyebutkan manfaat apa yang bisa kita petik
dari keimanan yang benar terhadap para Rasul, yaitu: Pertama, mengetahui
betapa kasih sayang dan perhatiannya Allah SWT. terhadap hamba-
hamba-Nya, dimana Dia telah mengutus para Rasul kepada mereka dalam
rangka membimbing mereka kepada jalan Allah yang lurus, dan supaya
mereka menjelaskan bagaimana seharusnya cara beribadah kepada Allah
disebab kan akal semata tidak bisa menjangkau hal itu. Kedua, bersyukur
kepada Allah atas nikmat yang sangat besar ini. Ketiga, tumbuhnya
kecintaan dan penghormatan kepada para Rasul SAW. serta memuji mereka
dengan sepantasnya sebab mereka yaitu utusan Allah yang senantiasa
menegakkan ibadah kepada-Nya, menyampaikan risalah-Nya serta
memberikan nasehat kepada para hamba.
5. Makna Beriman Kepada Hari Akhir
Hari kiamat disebut juga hari akhir, sebab tidak ada hari lagi di dunia
untuk beramal sesudah hari itu. Penduduk surga akan menempati tempatnya
begitu pula dengan penduduk neraka akan menempati tempatnya. Hanya
Allah sajalah yang tahu kapankah hari kiamat, bahkan Rosul-Nya dan
malaikat-Nya yang paling mulia pun tidak mengetahui waktunya.
Hari kiamat ialah hari yang dahsyatnya luar biasa. Allah banyak
menjelaskan dalam kitab-Nya tentang kengerian yang terjadi di hari
ini , mulai dari digulungnya matahari, jatuhnya bintang-bintang,
hancurnya gunung-gunung, bergoncangnya bumi serta sederet peristiwa
mahadahsyat yang lain. Bencana tsunami yang menimpa Aceh beberapa
waktu lalu amat dahsyat, dan ketahuilah sungguh kiamat besar besok jauh
lebih dahsyat lagi. Allah berfirman, “Dan jika lautan dijadikan meluap”.
Dan sudah seharusnya bagi kita memetik pelajaran berharga untuk bertobat
9 Syaikh Al Utsaimin, Syarah Tsalatsatil Ushul,
dari berbagai macam kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan yang selama
ini kita lakukan.
Tanda-tanda munculnya hari kiamat amat banyak, baik yang sudah
terjadi, sedang terjadi ataupun belum terjadi. Diantaranya yaitu diutusnya
Muhammad Rasulullah dan wafatnya beliau. Begitu pula munculnya
orang-orang bodoh yang justeru ditokohkan dan jadi panutan, orang-orang
berlomba-lomba untuk memegahkan bangunan masjid. Di samping itu
akan muncul tanda-tanda besar seperti Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi Isa
serta Ya’juj dan Ma’juj.
Dajjal ialah seorang pembohong besar yang akan keluar di akhir
zaman yang mengaku sebagai tuhan. Ia dinamai Al Masih sebab menjelajah
seluruh dunia bagaikan hujan yang terbawa angin kecuali terhalang masuk
Makkah dan Madinah. Dajjal seorang yang buta sebelah dan tertulis
diantara kedua matanya ‘kaf fa ro’ yang hanya dapat dibaca oleh orang
mukmin. Dajjal hidup selama 40 hari; sehari seperti setahun, sehari seperti
sebulan, sehari seperti sepekan dan sisanya seperti hari biasa. Fitnahnya
sangat besar diantaranya memerintahkan langit untuk turunkan hujan
dan turunlah, memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman dan
tumbuhlah. Kemunculannya telah ditegaskan oleh Sunnah dan ijma’. Dajjal
ini kelak akan dibunuh oleh Nabi Isa. Nabi Isa ini wafat dan disholatkan
kaum muslimin.
Termasuk dalam unsur iman kepada hari akhir yaitu beriman kepada
kebangkitan, yaitu dihidupkannya orang yang telah mati tatkala ditiup
sangkakala untuk yang kedua kalinya. Manusia kala itu dikumpulkan
dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan, namun
urusan manusia tatkala itu amat berat sehingga mereka tidak sempat
memperhatikan aurat orang lain. Allah SWT. berfirman, “Kemudian sesudah
itu kamu sekalian benar-benar akan mati, lalu kamu sekalian benar-benar
akan dibangkitkan di hari kiamat.” (Al Mu’minun: 15-16). Dan firman-
Nya, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-
orang sesudahnya benar-benar akan dikumpulkan pada suatu waktu yang
dikenal.’” (Al Waqi’ah: 49-50). Rasulullah SAW. bersabda, “Sungguh kalian
semua akan dikumpulkan dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang dan
tidak bersunat...” (HR. Bukhori, Muslim)
Mengimani adanya Surga dan Neraka termasuk rangkaian iman
kepada hari kiamat. Keduanya yaitu kampung abadi bagi para makhluk.
Surga yaitu negeri yang penuh kenikmatan yang telah disediakan untuk
orang-orang yang beriman bertakwa, taat, ikhlas pada Allah serta taat pada
Rosul-Nya. Kenikmatan dalam surga begitu besarnya, tak pernah terlihat
oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga dan tak pernah terlintas dalam
benak manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh, mereka itu yaitu sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu
yaitu (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al Bayyinah:
7-8)
Adapun neraka yaitu negeri yang penuh dengan kesengsaraan dan
berbagai adzab yang telah Allah sediakan untuk orang-orang kafir dan
zholim, yang mereka kufur kepada Robbnya dan mendustakan Rosul-
Nya. Di dalam neraka ada berbagai macam adzab yang tidak pernah
terlintas dalam hati. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan
jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan
air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman
yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi: 29)
Seorang hamba akan dihisab atas amal perbuatannya dan diganjar
sesuai dengan amalnya ini . Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian
kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghosyiyah: 26). Allah juga
berfirman, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala)
sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat
maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am: 160)
Umat Muhammad SAW. yaitu umat yang pertama kali dihisab.
Amal hamba yang pertama kali dihisab berkaitan dengan hak Allah yaitu
sholat, sedangkan yang berhubungan dengan hak manusia yaitu masalah
pembunuhan. Seorang mu’min yang dihisab maka Allah memperlihatkan
kepadanya amal-amalnya kemudian ia mengakui dan merasa akan binasa,
lalu Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosamu
itu saat di dunia dan pada hari ini Aku mengampuninya”, kemudian
diberikan kepadanya catatan-catatan kebaikannya. Adapun orang-orang
kafir dan munafik maka diserukan kepada seluruh makhluk bahwa inilah
orang-orang yang mendustakan Robb mereka, ketahuilah bahwa laknat
Allah diberikan untuk orang-orang yang berbuat zholim.
Amal manusia ditimbang dengan timbangan pada hari kiamat.
Timbangan ini yaitu timbangan hakiki yang memiliki dua daun
timbangan. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)
nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan
barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang
yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.”
(Al Mu’minun: 102-103)
Dengan beriman kepada hari akhir dengan benar seseorang akan
lebih rajin melaksanakan amal kebaikan sebagai persiapan untuk hari
pembalasan kelak. Seseorang juga akan merasa takut dan gelisah untuk
bermaksiat sebab akan ada siksa atas perbuatan itu. Di samping itu juga
akan menjadi hal yang dapat menghibur seorang mukmin yang tidak
sempat mendapatkan kesenangan dunia, ia akan mendapatkan ganti berupa
kenikmatan akhirat yang jauh di atas kenikmatan dunia.
6. Makna Beriman Kepada Takdir
Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu
beriman kepada takdir baik maupun buruk. Beriman kepada takdir ada
empat tingkatan:
a. Beriman kepada ilmu Allah yang azali sebelum segala sesuatu
itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal
perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia
melakukannya.
b. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
c. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu
yang terjadi yaitu sebab kehendak-Nya.
d. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah
yaitu Pencipta satu-satunya dan selain-Nya yaitu makhluk
termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas yaitu firman Allah
SWT : “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang
demikian itu ada dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian
dalil dari tingkatan ketiga di atas yaitu firman Allah : “Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali jika dikehendaki Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan
keempat, dalilnya yaitu firman Allah : “Allah menciptakan kamu dan apa
saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma
ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan
manusia yaitu ciptaan Allah.
Takdir itu ada 2 macam:
1) Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di
Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu
hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali
diciptakan Allah yaitu qalam (pena). Allah berfirman kepada
qalam ini , “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai
Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah
takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu
Daud.).
2) Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir
ini terdiri dari:
a. Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana ada pada hadits
Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di
dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1)
rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
b. Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam
lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah
SWT. berfirman : “Pada malam itu dijelaskan segala urusan
yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas
mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada
ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang
terjadi dalam setahun.”)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan
terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya,
maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari
salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan
ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya. Yang pertama
ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi.
Kelompok pertama yaitu yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu
Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah
tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah
dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat
maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah
dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada
lagi.
Kelompok kedua yaitu yang menetapkan ilmu Allah, namun
meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka
menganggap bahwa perbuatan hamba yaitu makhluk yang berdiri sendiri,
Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah
madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah yaitu kelompok yang berlebihan dalam
menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa memiliki
kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan
bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh sebab itu,
kelompok ini dikenal dengan Jabariyah.
Keyakinan dua kelompok di atas yaitu keyakinan yang salah
sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya yaitu firman
Allah, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
jika dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]:
28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua
kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau
menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah sebab
pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi
manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada
ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan
itu) kecuali jika dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan
bantahan untuk Qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia
itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung
pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah sebab pada ayat ini ,
Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang benar yaitu bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat,
kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah sebab tidak ada
pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk
yaitu termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap
yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir.
Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya
pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya yaitu seseorang
yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota.
Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri
dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biar