Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 1



Tauhid yaitu   sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. 

sebab  pada umumnya kita menginginkan atau bahkan telah mengaku 

sebagai seorang yang bertauhid. Disamping itu, kata ‘tauhid’ ini sangat 

sering disampaikan oleh para penceramah baik pada waktu khutbah 

atau pengajian-pengajian. namun  bisa jadi masih banyak orang yang 

belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini bagi kehidupan 

manusia, bahkan bagi yang telah merasa bertauhid sekalipun. Berangkat 

dari banyaknya pemahaman orang yang telah kabur tentang hakikat 

tauhid dan lupa akan kedudukannya yang begitu tinggi maka penjelasan 

yang gamblang tentang masalah ini sangat penting untuk disampaikan. 

Dan sebab  permasalahan tauhid merupakan permasalahan agama maka 

penjelasannya tidak boleh lepas dari sumber ilmu agama yaitu Al Quran dan 

As Sunnah dengan merujuk kepada penjelasan ahlinya, yaitu para ulama. 


Para ulama Aqidah mendefinisikan tauhid sebagai berikut: Tauhid 

yaitu   keyakinan tentang keesaan Allah SWT. dalam rububiyah-Nya, meng-

ikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya serta menetapkan nama-nama dan 

sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya. Dengan demikian maka biasa dikatakan 

bahwa tauhid terbagi menjadi tiga macam yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid 

Uluhiyah dan Tauhid Asma dan Sifat. Kesimpulan ini diambil oleh para 

ulama sesudah  mereka meneliti dalil-dalil AL Quran dan hadits yang terkait 

dengan keesaan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk lebih jelasnya akan 

dijabarkan dibawah ini masing-masing tauhid ini .1 

2. Macam-Macam Tauhid

a. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu   keyakinan tentang keesaan Allah di dalam 

perbuatan-perbuatan-Nya. Yaitu meyakini bahwa Allah yaitu   satu-

satunya:

- Pencipta seluruh makhluk.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah memelihara segala 

sesuatu.” (QS. Az Zumar: 62)

- Pemberi rizki kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan 

Allah lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud: 6)

- Penguasa dan pengatur segala urusan alam, yang meninggikan lagi 

menghinakan, menghidupkan lagi mematikan, memperjalankan 

malam dan siang dan yang maha kuasa atas segala sesuatu.

“Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki  kerajaan,engkau 

berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan 

engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau 

muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang 

yang engkau kehendaki. Di tangan engkaulah segala kebijakan. 

Sesungguhnya engkau maha kuasa atas segala sesuatu. Engkau 

masukan malam kedalam siang dan engkau masukan siang 

kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati 

dan engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan engkau beri 

rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali 

Imron: 26 -27). 

Dengan demikian Tauhid Rububiyah mencakup keimanan kepada tiga 

hal yaitu:

1. Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah secara umum 

seperti, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan dan 

lain-lain.

2. Beriman kepada qadha dan qadar Allah.

3. Beriman kepada keesaan Zat-Nya.

b. Tauhid Asma dan Sifat

Tauhid Asma dan Sifat yaitu   keyakinan tentang keesaan Allah 

subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang ada  dalam Al 

Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya 

dan hukum-hukumnya. 

Allah berfirman:”Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah 

kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al A’rof: 180)

“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi.” (QS. 

Ar Rum: 27).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tauhid Asma dan Sifat 

yaitu   sebagai berikut:

1. Menetapkan semua nama dan sifat tidak menafikan dan 

menolaknya.

2. Tidak melampaui batas dengan menamai atau mensifati Allah di 

luar yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Tidak menyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan 

sifat makhluk-Nya.

4. Tidak mencari tahu tentang hakikat bentuk sifat-sifat Allah.

5. Beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntutan asma dan sifat-

Nya. 

Kedua macam tauhid di atas termasuk dalam satu pembahasan 

yaitu tentang keyakinan atau pengenalan tentang Allah. Oleh sebab  

itu kedua macam tauhid ini  biasa disatukan pembahasannya 

dengan nama tauhid ma’rifah dan itsbat (pengenalan dan penetapan).

Pada dasarnya fitrah manusia beriman dan bertauhid ma’rifah 

dan itsbat. Oleh sebab  itu orang-orang musyrik dan kafir yang 

dihadapi oleh para Rasul tidak mengingkari hal ini. Dalilnya yaitu   

firman Allah:

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang 

Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘kepunyaan 

Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertaqwa?’ Kata-

kanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas se -

gala sesuatu sedang Dia melindungi, namun  tidak ada yang dapat 

dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan 

menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), 

maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al Mu’minun: 86-

89)

Kalaulah ada manusia yang mengingkari Rububiyah dan 

kesempurnaan nama dan sifat Allah, itu hanyalah kesombongan 

lisannya yang pada hakikatnya hatinya mengingkari apa yang 

diucapkan oleh lisannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Firaun 

dan pembelanya. 

“Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa 

tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Tuhan yang 

Maha memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, 

dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Firaun seorang yang akan 

binasa.” (QS. Al Isra: 102)

Demikian juga pengingkaran orang-orang komunis dewasa ini, 

hanyalah kesombongan dhohir walaupun batinnya pasti mengakui 

bahwa tiada sesuatu yang ada kecuali ada yang mengadakan dan tidak 

ada satu kejadianpun kecuali ada yang berbuat.

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah merekalah 

yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah 

menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak 

meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. At Thur: 35-36). 

c. Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah yaitu   mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-

perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah 

seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, ber-

taubat, dan lain-lain. 

“Dan Tuhanmu yaitu   Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan 

(yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi 

Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh: 163)

“Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua tuhan. 

Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah 

kepada-Ku saja kamu takut.” (QS. An Nahl: 51)

“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain disamping Allah, 

padahal tidak ada sesuatu dalilpun baginya tentang itu maka 

sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhan-Nya. Sesungguhnya 

orang-orang yang kafir tiada beruntung.” (QS. Al Mu’minun: 

117).

Tauhid inilah yang dituntut harus ditunaikan oleh setiap hamba 

sesuai dengan kehendak Allah sebagai konsekuensi dari pengakuan 

mereka tentang Rububiyah dan kesempurnaan nama dan sifat Allah. 

Kemurnian Tauhid Uluhiyah akan didapatkan dengan mewujudkan 

dua hal mendasar yaitu:

1. Seluruh ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah bukan kepada 

yang lainnya.

2. Dalam pelaksanaan ibadah ini  harus sesuai dengan perintah 

dan larangan Allah.

Ketiga macam tauhid di atas memiliki hubungan yang tidak bisa 

dipisahkan, dimana keimanan seseorang kepada Allah tidak akan utuh 

sehingga terkumpul pada dirinya ketiga macam tauhid ini . Tauhid 

Rububiyah seseorang tak berguna sehingga dia bertauhid Uluhiyah dan 

Tauhid Rububiyah, serta Tauhid Uluhiyah seseorang tak lurus sehingga dia 

bertauhid asma dan sifat. Singkatnya, mengenal Allah tak berguna sampai 

seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya. Dan beribadah kepada Allah 

tidak akan terwujud tanpa mengenal Allah. 

Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini. 

sebab  pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, 

maka para Rasul utusan Allah diutus bukan untuk memperkenalkan 

tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul yaitu   untuk 

menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian 

materi dakwah para rasul yaitu   Tauhid Uluhiyah. Oleh sebab  itu istilah 

tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka 

ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah. Dalam kehidupan manusia 

tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antaranya sebagai berikut:

1. Hakikat tujuan penciptaan jin dan manusia.

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya 

mereka (hanyalah) menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56) 

Ibnu Abbas menyatakan bahwa perintah menyembah dalam 

firman Allah yaitu   perintah untuk bertauhid. Maksud dari kata 

menyembah di ayat ini yaitu   mentauhidkan Allah dalam segala 

macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas 

ra, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan 

bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk 

beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk 

menghabiskan waktu kalian untuk bermain-main dan bersenang-

senang belaka. Sebagaimana firman Allah 

“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada 

di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak 

membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari 

sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya: 

16-17). “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami 

menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak 

akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)

2. Hakikat Tauhid yaitu   Tujuan Diutusnya Para Rasul

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap 

umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah 

Toghut (sesembahan selain Allah) itu.” (QS. An Nahl: 36)

Makna dari ayat ini yaitu   bahwa para Rasul mulai dari Nabi 

Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad SAW. diutus oleh 

Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah 

semata dan tidak memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun. 

Maka pertanyaan bagi kita sekarang yaitu   “Sudahkah kita memenuhi 

seruan Rasul kita Muhammad SAW. untuk beribadah hanya kepada 

Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan 

Rasulullah ini?” Tanyakanlah hal ini pada masing-masing kita dan 

jujurlah

Sebelumnya manusia yaitu   umat yang satu, berasal dari Nabi 

Adam as. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. 

Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-

adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula 

dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun 

semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka 

kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.

Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya selama 

sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam as. kepada 

kemusyrikan -sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. 

Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah 

subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh as. Demikianlah, setiap kali 

kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus 

rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi 

syirik.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap 

umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah 

thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)

sesudah  Rasulullah SAW. diutus, Allah SWT. tidak lagi mengutus 

rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah 

terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan 

teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. namun  Allah 

subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan 

dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, 

sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh 

imam Muslim.


3. Tauhid Merupakan Perintah Allah Yang Paling Utama dan Pertama

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, 

dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia 

kehendaki.” (QS. An Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan 

yang terbesar. Sebagaimana syirik yaitu   larangan terbesar maka 

lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah 

menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus 

ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, 

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya 

dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang 

tua.” (QS. An Nisaa’: 36). 

Dalam ayat ini Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. 

Dan hal pertama yang Dia perintahkan yaitu   untuk menyembahNya 

dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan daripada 

berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya. 

Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap 

sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya 

terutama hak beribadah hanya kepada Allah semata.

Rasul SAW. memerintahkan para utusan dakwahnya agar 

menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi 

SAW. bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ra, “Jadikanlah perkara yang 

pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” 

(Riwayat Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa 

yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.” 

Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan 

lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya 

orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh 

ditaati. Allah berfirman, 

“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mem-

persekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu 

tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. 

Luqman: 15)

4. Kewajiban pertama bagi manusia dewasa lagi berakal.

Di dalam ayat di bawah ini Allah memerintahkan untuk bertauhid 

terlebih dulu sebelum memerintahkan yang lainnya.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya 

dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua 

ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, 

tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu 

sabil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36) 

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang 

Hak) melainkan Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan 

bagi (dosa) orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan.” (QS. 

Muhammad: 19)

Di dalam ayat ini  Allah memerintahkan untuk bertauhid 

dahulu sebelum beramal.

Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan 

Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan 

kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat dan 

kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita 

yang mulia ini. Oleh sebab  itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin 

untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid yaitu   

mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya

Maksudnya yaitu   kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-

perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mencipta 

dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki, 

memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan 

kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh 

manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang 

yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya 

mereka menampakkan keingkarannya hanya sebab  kesombongan 

mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui 

bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat 

dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka 

sendiri. 

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini 

tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam sebab  sesungguhnya 

orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rasulullah mengakui 

dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah, 

“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang 

memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan 

Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ 

Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan 

atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, namun  tidak ada yang 

dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan 

menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan 

manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89). 

Dan yang amat sangat menyedihkan yaitu   kebanyakan kaum 

muslimin di zaman sekarang menganggap bahwa seseorang sudah 

dikatakan beragama Islam jika telah memiliki keyakinan seperti ini. 

2. Mengesakan Allah dalam Uluhiyah-Nya

Maksudnya yaitu   kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah 

yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, 

taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana 

kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada 

Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para Rasul 

dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. 

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan 

mereka itu. 

“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan 

Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang 

sangat mengherankan.” (Shaad: 5). 

Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan 

dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. 

Oleh sebab  pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah 

dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah yaitu   satu-

satunya Pencipta alam semesta.

3. Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya

Maksudnya yaitu   kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat 

Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan 

kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk memiliki 

nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an :

“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang 

Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-

Hasyr: 24)

Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika 

telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik. Barangsiapa yang 

menyekutukan Allah dalam salah satu saja dari ketiga hal ini , 

maka dia bukan muslim tulen namun  dia yaitu   seorang musyrik.

B. Akidah Islam

Akidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara istilah akidah 

artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dalam 

pengertian agama maka pengertian akidah yaitu   kandungan rukun iman, 

yaitu:

1. Beriman kepada Allah

2. Beriman kepada para malaikat

3. Beriman kepada kitab-kitab-Nya

4. Beriman kepada para Rasul-Nya

5. Beriman kepada hari akhir

6. Beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk

Akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa 

disertai keraguan di dalam hati seseorang.6 Akidah yang benar merupakan 

landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. 

1. Makna Beriman Kepada Allah

Seseorang dikatakan beriman kepada kitab-kitab Allah, tatkala dia 

membenarkan dengan penuh keyakinan, baik secara global maupun secara 

rinci, bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-

hambaNya yang di dalamnya ada  kebenaran yang nyata, cahaya dan 

petunjuk yang jelas bagi manusia, dan bahwasanya kitab-kitab ini  

yaitu   kalam (perkataan) Allah yang Ia firmankan dengan sebenarnya, 

sesuai dengan apa yang Ia kehendaki.

2. Makna Beriman Kepada Malaikat

Malaikat yaitu   makhluk gaib diciptakan oleh Allah Ta’ala dari cahaya, 

walaupun mereka memiliki keluarbiasaan yang sangat hebat mereka tidak 

berhak untuk diibadahi. Hal ini  dapat kita ketahui berdasarkan hadits 

Rasulullah dari ‘Aisyah ra., “Malaikat itu diciptakan dari cahaya dan jin 

diciptakan dari percikan api, sementara Adam diciptakan dari apa yang telah 

dijelaskan kepadamu.” (HR. Muslim). 

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan 

malaikat sebagai utusan-utusan yang memiliki  sayap, masing-

masing dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya 

apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas 

segala sesuatu.” (Faathir: 1)

Malaikat yaitu   salah satu makhluk ciptaan Allah Ta’ala. Keimanan 

kepada malaikat merupakan salah satu rukun dari rukun iman, hal ini 

sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW. dalam hadits Jibril, dimana 

malaikat Jibril bertanya kepada beliau tentang iman dan kemudian dijawab 

oleh Rasulullah “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-

kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar yang baik dan 

buruk.” (HR. Muslim). Ini artinya orang yang tidak mengimani malaikat 

maka dia telah terjerumus dalam kekufuran sebab  telah mengingkari 

salah satu rukun iman. Oleh sebab  itulah amat penting bagi kita untuk 

mengetahui apa dan bagaimanakah bentuk keimanan yang benar terhadap 

makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang mulia ini.

Kita wajib mengimani secara rinci terhadap beberapa malaikat yang 

kita ketahui namanya seperti Jibril, Mikail, Malik, serta Isrofil. Kita juga 

mengimani secara global adanya malaikat-malaikat yang tidak kita ketahui 

namanya. Tidaklah diperbolehkan bagi seseorang untuk menamakan 

malaikat tanpa adanya dalil-dalil yang shahih baik dari Al Qur’an maupun 

Sunnah sebagaimana firman Allah, 

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan 

akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama 

perempuan.” (An Najm: 27) 

Sifat malaikat yang paling utama yaitu   mereka tidak pernah 

mendurhakai apa yang Allah perintahkan kepada mereka dan mengerjakan 

setiap yang Allah titahkan kepada mereka. Mereka diciptakan oleh Allah 

khusus untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: 

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu 

dari api neraka yang bahan bakarnya yaitu   manusia dan batu, 

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai 

Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu 

mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim: 6).

Bentuk para malaikat terkadang berubah dari aslinya atas izin Allah, 

sebagaimana Jibril datang pada Rasulullah dengan menyerupai laki-laki 

yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Nabi pernah 

mengabarkan bahwa Jibril memiliki enam ratus sayap yang menutupi 

seluruh ufuk semesta alam. Beriman kepada Malaikat mengandung empat 

unsur, yaitu:

a. Beriman terhadap keberadaan mereka, wujud mereka benar-

benar ada, mereka bukanlah kekuatan maknawi berupa kekuatan 

baik yang tersembunyi pada setiap makhluk sebagaimana 

anggapan segolongan orang.

b. Beriman kepada nama-nama mereka yang telah dijelaskan 

dalam Qur’an dan Sunnah. Adapun mereka yang tidak dijelaskan 

namanya kita mengimaninya secara global. Maksudnya kita 

mengimani bahwa Allah telah menciptakan mereka meskipun 

kita tidak tahu namanya.

c. Beriman terhadap sifat mereka yang telah dijelaskan. Seperti ciri-

ciri malaikat Jibril yang dikisahkan dalam hadits di atas.

d. Beriman terhadap tugas-tugas para Malaikat sebagaimana telah 

dijelaskan. Mereka melaksanakan tugas itu tanpa rasa capek dan 

bosan. 

Kita juga mengimani bahwa ada berbagai macam malaikat beserta 

tugasnya masing-masing. Di antara mereka yaitu  :

a. Malaikat yang bertugas membawa wahyu kepada para Rasul-

Nya, yaitu malaikat Jibril. “Dia dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin 

(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah 

seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Asy 

Syu’ara: 193-194)

b. Malaikat yang diserahi tugas mengurusi hujan dan pembagiannya 

sesuai dengan kehendak Allah. Sebagaimana hadits dari Abu 

Huroiroh dari Rasulullah, “Tatkala seorang laki-laki berada di 

tanah lapang dia mendengar suara di awan, ‘Siramilah kebun 

fulan’, maka menjauhlah awan ini  kemudian menumpahkan 

air di suatu tanah yang berbatu hitam…” (HR. Muslim)

c. Malaikat yang bertugas meniup sangkakala, yaitu malaikat Isrofil. 

“…kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka 

itu semuanya.” (Al Kahfi: 99)

d. Malaikat yang bertugas mencabut nyawa, yakni malaikat maut 

“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut 

nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada 

Tuhanmu-lah kamu akan dikembalikan.’” (As Sajdah: 11)

e. Para malaikat penjaga surga. Allah berfirman, “Sehingga jika  

mereka sampai ke Surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka 

dan berkatalah penjaga-penjaganya kepada mereka, ‘kesejahteraan 

atasmu, berbahagailah kamu, maka masukilah Surga ini, sedang 

kamu kekal di dalamnya.’” (Az-Zumar: 73)

f. Para malaikat penjaga Neraka Jahannam, yaitu malaikat 

Zabaniyah. Para pemimpinnya ada 19 dan pemukanya yaitu   

malaikat Malik. Sebagaimana firman Allah tentang Neraka Saqor 

“Tahukah kamu apa Saqor itu? Saqor itu tidak meninggalkan dan 

membiarkan. (Neraka Saqor) yaitu   pembakar kulit manusia. Di 

atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada Kami 

jadikan penjaga Neraka itu melainkan malaikat.” (Al Muddatstsir: 

27-30). Dan dalam firman-Nya yang lain tentang permintaan 

penghuni Neraka kepada malaikat Malik “Mereka berseru, ‘Hai 

Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja’. Dia menjawab, 

‘kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az Zukhruf: 77)

g. Para malaikat yang ditugaskan menjaga seorang hamba dalam 

segala ihwalnya. Sebagaimana firman Allah, “Dan Dialah yang 

memiliki  kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan 

diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga…” (Al An’am: 

61)

h. Para malaikat yang ditugaskan mengawasi amal seorang hamba, 

yang baik maupun yang buruk. Allah berfirman, “Apakah mereka 

mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-

bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-

utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” 

(Az Zukhruf: 80).

3. Makna Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah

Adapun beriman kepada kitab-kitab Allah mencakup tiga perkara: 

Pertama, mengimani bahwa kitab-kitab ini  benar-benar diturunkan 

oleh Allah. Kedua, mengimani kepada rincian nama-nama kitab ini  

sebagaimana yang telah Allah sebutkan. Ketiga, mempercayai berita-berita 

yang benar dari kitab-kitab ini  sebagaimana pembenaran kita kepada 

Al Quran. Kita wajib beriman secara rinci kepada kitab-kitab yang telah 

Allah sebutkan nama-namanya, yakni Al Quran dan kitab-kitab yang lain 

yaitu:

a. Shuhuf Ibrohim dan Musa as. “Sesungguhnya ini benar-benar 

ada  dalam shuhuf (lembaran-lembaran) yang dahulu, (yaitu) 

shuhuf Ibrohim dan Musa.” (QS. Al A’la: 18 - 19)

b. Taurat, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Musa as. 

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di 

dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)...” (QS. Al 

Maidah: 44) 

c. Zabur, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Daud as. “...dan 

Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. An Nisa: 163)

d. Injil, kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Isa as. 

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan 

Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yakni 

Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil ...” (QS. 

Al Maidah: 46)

Allah mengabarkan di dalam Al Quran bahwa ahli kitab, yakni Yahudi 

dan Nasrani, telah mengubah kitab-kitab mereka sebab  itu ia tidak lagi 

seperti saat diturunkan oleh Allah. Kaum Yahudi menyimpangkan Taurat. 

Mereka mengubah dan menggantinya serta mempermainkan hukum-

hukum Taurat. Allah berfirman, “Diantara orang-orang Yahudi, mereka 

mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An Nisa: 46)

Begitu pula dengan kaum Nasrani, mereka juga menyimpangkan 

Injil. Mereka mengubah hukum-hukumnya. Allah berfirman, “Apakah 

kamu masih mengharapkan mereka percaya kepadamu, padahal segolongan 

dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya sesudah  

memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. Al Baqoroh: 75)

Sesungguhnya Al Qur’an yaitu   kalamullah (firman/perkataan Allah) 

bukan makhluk Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. 

sehingga setap mukmin hendaknya senantiasa mengagungkan Al Qur’an 

dan berusaha untuk berpegang teguh dengan hukum-hukumnya, serta 

membaca dan memahaminya. Lalu apa sajakah kewajiban seorang muslim 

terhadap Al Qur’an? Diantara kewajiban seorang muslim terhadap Al Quran 

yaitu  : (1) Wajib mencintai Al Qur’an, mengagungkan dan menghormati 

kedudukannya, sebab ia yaitu   kalamullah, perkataan yang paling benar, 

perkataan Allah, Rabb semesta alam. (2) Wajib membaca dan merenungkan 

ayat-ayat Al Qur’an, serta memikirkan pelajaran yang terkandung di 

dalamnya. (3) Wajib mengikuti hukum-hukum serta mentaati perintah-

perintah yang ada di dalamnya.

Sebagai gambaran, lihat bagaimana saat  ‘Aisyah ditanya tentang 

akhlak Nabi SAW. maka ia menjawab, “Akhlak beliau yaitu   al-Qur’an.” 

(HR. Muslim). Yakni Rasulullah SAW. yaitu   orang yang mencerminkan 

penerapan nyata dari hukum-hukum Al Qur’an dan syariat-syariat 

di dalamnya. Itulah Rasulullah, dan kita sebagai umatnya hendaknya 

meneladani beliau. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu 

suri teladan yang baik bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan 

(datangnya) hari akhir...” (QS. Al Ahzab: 21)

Seseorang yang benar-benar beriman terhadap kitab-kitab Allah, 

termasuk Al Qur’an, akan memberikan banyak pengaruh terhadap dirinya, 

diantaranya:

a. Menyadari tentang perhatian Allah terhadap hamba-hambaNya, 

juga tentang kesempurnaan rahmat-Nya, di mana Allah telah 

menurunkan kepada setiap kaum sebuah kitab sebagai petunjuk 

agar mereka bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.

b. Dapat mengetahui hikmah Allah dalam penetapan syariat-Nya, 

dimana Allah telah mensyariatkan bagi setiap kaum, apa yang 

sesuai dengan keadaan kaum ini . Allah berfirman, “Untuk 

tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan 

yang terang.” (QS. Al Maidah: 48)

c. Dapat bersyukur kepada Allah terhadap nikmat Allah, yakni 

diturunkannya kitab-kitab ini . Sebab kitab-kitab ini  

yaitu   cahaya dan petunjuk di dunia maupun di akherat.

4. Makna Beriman Kepada Rasul-Rasul Allah

Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh Kami telah mengutus para Rasul 

sebelum engkau (Muhammad), diantara mereka ada yang Kami kisahkan 

kepadamu dan ada pula yang tidak Kami kisahkan kepadamu.” (Al Mu’min: 

78). Kalau para Rasul yang sudah kita ketahui namanya maka kita harus 

mengimaninya dengan nama ini , lalu bagaimana kita mengimani Rasul 

yang tidak kita ketahui namanya? Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, “Adapun 

Rasul yang tidak kita ketahui namanya maka kita beriman kepadanya secara 

global.”. Maksudnya yaitu kita mengimani bahwa Allah benar-benar telah 

mengutus mereka meskipun tidak kita ketahui namanya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami telah mengutus 

kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) Sembahlah Allah dan 

jauhilah thoghut.” (An Nahl: 36). Para Rasul yaitu   makhluk Allah yang 

berwujud manusia bukan malaikat. Mereka diutus untuk mengajari manusia 

tentang tujuan hidup mereka yaitu menyembah kepada Allah Ta’ala saja. 

Mereka membawa berita gembira bagi siapa saja yang mau taat dan mereka 

membawa ancaman siksa bagi siapa saja yang bermaksiat. Rasul yaitu   

hamba sebagaimana kita maka tidak boleh menujukan ibadah kepadanya. 

Syaikh Muhammad At Tamimi memberikan sebuah kaidah yang masyhur 

yang patut kita ingat tentang diri Nabi; ‘Abdun falaa yu’bad Rosuulun falaa 

yukadzdzab’ bahwa Muhammad yaitu   hamba maka tidak boleh diibadahi 

dan beliau yaitu   Rasul (utusan) sehingga tidak boleh didustakan. 

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hendaklah orang-orang yang 

menyelisihi perintahnya (Rasulullah) merasa khawatir akan ditimpakan fitnah 

(bencana) kepada mereka atau adzab yang pedih akan menimpa mereka.” (An 

Nuur: 63). Kalaulah menyelisihi perintah Rasul itu tidak mengapa tentunya 

Allah tidak akan mengancam mereka dengan ditimpakannya fitnah atau 

adzab yang pedih. Berdasarkan ayat ini pula bisa diambil kaidah ushul, 

‘hukum asal perintah yaitu   wajib’. Lagipula kalau kita mau merenungkan, 

sebetulnya ketaatan kita kepada Rasul itulah yang akan menyelamatkan kita 

dari siksa. Orang yang mentaati Rasul itu sama artinya telah mentaati Allah. 

“Barangsiapa yang mentaati Rasul sesungguhnya dia telah mentaati Allah.” 

(An Nisa’: 80) Sehingga orang yang mendurhakai perintah Rasul berarti juga 

telah mendurhakai Allah. Siapakah orang yang berani-berani mendurhakai 

Allah yang Menguasai seluruh alam dan Maha pedih siksanya.

Sesungguhnya diantara sebab utama kelemahan kaum muslimin 

dewasa ini yaitu   sebab  mereka tidak memahami hakikat keimanan 

kepada para Rasul. Oleh sebab  sebab seperti ini pula umat-umat terdahulu 

dibinasakan oleh Allah. Lihatlah sikap dan perilaku umat Islam yang sehari-

harinya penuh dengan kemaksiatan; aurat diumbar, sholat ditinggalkan, 

sabda Nabi disepelekan dan lain sebagainya. Bahkan ada diantara kaum 

muslimin yang lebih merasa mantap kalau mengambil pendapat tokoh-tokoh 

barat daripada mengambil perkataan emas para sahabat, yang notabene 

yaitu   juru bicara Rasul SAW., inikah yang disebut sebagai kemajuan? Oleh 

sebab  itulah kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita tentang 

iman kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, “Berilah peringatan sebab  

sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” 

(Adz Dzariyaat: 55)

Seorang utusan bertugas untuk menyampaikan amanat yang 

diberikan oleh pihak yang mengutus dirinya. Maka mendustakan apa yang 

disampaikannya berarti mendustakan pengutusnya. Allah telah mengutus 

para Rasul untuk dibenarkan beritanya bukan untuk didustakan. Demikian 

pula berita yang dibawa Nabi dan Rasul terakhir; Muhammad SAW. 

semuanya yaitu   kebenaran. “Dan Dia (Muhammad) tidaklah berbicara dari 

hawa nafsunya, namun  itu yaitu   wahyu yang diwahyukan kepadanya.” 

(An Najm: 3-4)

Maka setiap hadits yang telah dinyatakan keabsahannya oleh ahli 

hadits harus kita yakini kebenarannya walaupun akal kita belum bisa 

menjangkaunya. Lihatlah bagaimana ketegaran Abu Bakar Ash Shiddiq 

saat  banyak orang-orang Quraisy di masa itu mendustakan berita 

naiknya Nabi ke langit dalam peristiwa isro’ dan mi’roj dan mereka pun 

mengolok-olok Nabi sebab nya. Apa kata Abu Bakar? Beliau mengatakan, 

“Kalau benar Muhammad yang mengatakannya maka lebih dari itupun aku 

mempercayainya!” 

Orang yang mendustakan seorang Rasul sama artinya mendustakan 

Rasul yang lainnya. Allah berfirman, “Kaum Nabi Nuh telah mendustakan 

para Rasul.” (Asy Syu’araa’: 105). 

Syaikh Al Utsaimin ra. berkata, “Allah menilai tindakan kaum Nuh 

sebagai pendustaan kepada seluruh Rasul padahal saat  itu belum ada 

seorang Rasul pun selain Nabi Nuh. Berdasarkan hal ini maka orang-orang 

Nasrani yang mendustakan Nabi Muhammad dan tidak mau mengikutinya 

sebenarnya mereka juga telah mendustakan Al Masih bin Maryam (Nabi Isa) 

dan tidak mengikuti ajarannya...”.

Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah  

jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalannya selain orang mu’min maka 

Kami biarkan dia dalam kesesatannya dan Kami akan masukkan dia ke 

dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu yaitu   seburuk-

buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115)

Syaikh As Sa’di berkata dalam kitab tafsirnya, saat  menjelaskan 

firman Allah “Kami biarkan dia dalam kesesatannya”: Yakni Kami tinggalkan 

dia menempuh apa yang dipilihnya bagi dirinya sendiri. Kami hinakan dia 

dan tidak memberinya taufik menuju kebaikan sebab  dia telah melihat 

8 Syaikh Al Utsaimin, Syarah Tsalatsatil Ushul

dan mengerti kebenaran namun justeru meninggalkannya. Sehingga 

sebagai bentuk keadilan-Nya, Allah membalasnya dengan membiarkannya 

kebingungan dalam kesesatannya, dan Allah menambahkan kesesatan demi 

kesesatan kepadanya. Sebagaimana firman Allah, “Maka tatkala mereka 

menyimpang maka Allah simpangkan hati mereka.” (Ash Shof: 5). Begitulah 

nasib para penentang Rasul; tenggelam dalam kesesatan demi kesesatan. 

Syaikh Al Utsaimin menyebutkan manfaat apa yang bisa kita petik 

dari keimanan yang benar terhadap para Rasul, yaitu: Pertama, mengetahui 

betapa kasih sayang dan perhatiannya Allah SWT. terhadap hamba-

hamba-Nya, dimana Dia telah mengutus para Rasul kepada mereka dalam 

rangka membimbing mereka kepada jalan Allah yang lurus, dan supaya 

mereka menjelaskan bagaimana seharusnya cara beribadah kepada Allah 

disebab kan akal semata tidak bisa menjangkau hal itu. Kedua, bersyukur 

kepada Allah atas nikmat yang sangat besar ini. Ketiga, tumbuhnya 

kecintaan dan penghormatan kepada para Rasul SAW. serta memuji mereka 

dengan sepantasnya sebab  mereka yaitu   utusan Allah yang senantiasa 

menegakkan ibadah kepada-Nya, menyampaikan risalah-Nya serta 

memberikan nasehat kepada para hamba.

5. Makna Beriman Kepada Hari Akhir

Hari kiamat disebut juga hari akhir, sebab  tidak ada hari lagi di dunia 

untuk beramal sesudah hari itu. Penduduk surga akan menempati tempatnya 

begitu pula dengan penduduk neraka akan menempati tempatnya. Hanya 

Allah sajalah yang tahu kapankah hari kiamat, bahkan Rosul-Nya dan 

malaikat-Nya yang paling mulia pun tidak mengetahui waktunya.

Hari kiamat ialah hari yang dahsyatnya luar biasa. Allah banyak 

menjelaskan dalam kitab-Nya tentang kengerian yang terjadi di hari 

ini , mulai dari digulungnya matahari, jatuhnya bintang-bintang, 

hancurnya gunung-gunung, bergoncangnya bumi serta sederet peristiwa 

mahadahsyat yang lain. Bencana tsunami yang menimpa Aceh beberapa 

waktu lalu amat dahsyat, dan ketahuilah sungguh kiamat besar besok jauh 

lebih dahsyat lagi. Allah berfirman, “Dan jika  lautan dijadikan meluap”. 

Dan sudah seharusnya bagi kita memetik pelajaran berharga untuk bertobat 

9 Syaikh Al Utsaimin, Syarah Tsalatsatil Ushul, 

dari berbagai macam kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan yang selama 

ini kita lakukan.

Tanda-tanda munculnya hari kiamat amat banyak, baik yang sudah 

terjadi, sedang terjadi ataupun belum terjadi. Diantaranya yaitu diutusnya 

Muhammad Rasulullah dan wafatnya beliau. Begitu pula munculnya 

orang-orang bodoh yang justeru ditokohkan dan jadi panutan, orang-orang 

berlomba-lomba untuk memegahkan bangunan masjid. Di samping itu 

akan muncul tanda-tanda besar seperti Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi Isa 

serta Ya’juj dan Ma’juj. 

Dajjal ialah seorang pembohong besar yang akan keluar di akhir 

zaman yang mengaku sebagai tuhan. Ia dinamai Al Masih sebab  menjelajah 

seluruh dunia bagaikan hujan yang terbawa angin kecuali terhalang masuk 

Makkah dan Madinah. Dajjal seorang yang buta sebelah dan tertulis 

diantara kedua matanya ‘kaf fa ro’ yang hanya dapat dibaca oleh orang 

mukmin. Dajjal hidup selama 40 hari; sehari seperti setahun, sehari seperti 

sebulan, sehari seperti sepekan dan sisanya seperti hari biasa. Fitnahnya 

sangat besar diantaranya memerintahkan langit untuk turunkan hujan 

dan turunlah, memerintahkan bumi untuk menumbuhkan tanaman dan 

tumbuhlah. Kemunculannya telah ditegaskan oleh Sunnah dan ijma’. Dajjal 

ini kelak akan dibunuh oleh Nabi Isa. Nabi Isa ini wafat dan disholatkan 

kaum muslimin.

 Termasuk dalam unsur iman kepada hari akhir yaitu beriman kepada 

kebangkitan, yaitu dihidupkannya orang yang telah mati tatkala ditiup 

sangkakala untuk yang kedua kalinya. Manusia kala itu dikumpulkan 

dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan, namun 

urusan manusia tatkala itu amat berat sehingga mereka tidak sempat 

memperhatikan aurat orang lain. Allah SWT. berfirman, “Kemudian sesudah  

itu kamu sekalian benar-benar akan mati, lalu kamu sekalian benar-benar 

akan dibangkitkan di hari kiamat.” (Al Mu’minun: 15-16). Dan firman-

Nya, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-

orang sesudahnya benar-benar akan dikumpulkan pada suatu waktu yang 

dikenal.’” (Al Waqi’ah: 49-50). Rasulullah SAW. bersabda, “Sungguh kalian 

semua akan dikumpulkan dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang dan 

tidak bersunat...” (HR. Bukhori, Muslim)

Mengimani adanya Surga dan Neraka termasuk rangkaian iman 

kepada hari kiamat. Keduanya yaitu   kampung abadi bagi para makhluk. 

Surga yaitu   negeri yang penuh kenikmatan yang telah disediakan untuk 

orang-orang yang beriman bertakwa, taat, ikhlas pada Allah serta taat pada 

Rosul-Nya. Kenikmatan dalam surga begitu besarnya, tak pernah terlihat 

oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga dan tak pernah terlintas dalam 

benak manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman 

dan mengerjakan amal saleh, mereka itu yaitu   sebaik-baik makhluk. 

Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di 

bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah 

ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu 

yaitu   (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Al Bayyinah: 

7-8)

Adapun neraka yaitu   negeri yang penuh dengan kesengsaraan dan 

berbagai adzab yang telah Allah sediakan untuk orang-orang kafir dan 

zholim, yang mereka kufur kepada Robbnya dan mendustakan Rosul-

Nya. Di dalam neraka ada  berbagai macam adzab yang tidak pernah 

terlintas dalam hati. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah sediakan 

bagi orang orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan 

jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan 

air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman 

yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi: 29)

Seorang hamba akan dihisab atas amal perbuatannya dan diganjar 

sesuai dengan amalnya ini . Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian 

kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghosyiyah: 26). Allah juga 

berfirman, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) 

sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat 

maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, 

sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am: 160)

Umat Muhammad SAW. yaitu   umat yang pertama kali dihisab. 

Amal hamba yang pertama kali dihisab berkaitan dengan hak Allah yaitu   

sholat, sedangkan yang berhubungan dengan hak manusia yaitu   masalah 

pembunuhan. Seorang mu’min yang dihisab maka Allah memperlihatkan 

kepadanya amal-amalnya kemudian ia mengakui dan merasa akan binasa, 

lalu Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosamu 

itu saat  di dunia dan pada hari ini Aku mengampuninya”, kemudian 

diberikan kepadanya catatan-catatan kebaikannya. Adapun orang-orang 

kafir dan munafik maka diserukan kepada seluruh makhluk bahwa inilah 

orang-orang yang mendustakan Robb mereka, ketahuilah bahwa laknat 

Allah diberikan untuk orang-orang yang berbuat zholim. 

Amal manusia ditimbang dengan timbangan pada hari kiamat. 

Timbangan ini yaitu   timbangan hakiki yang memiliki dua daun 

timbangan. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)

nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan 

barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang 

yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” 

(Al Mu’minun: 102-103)

Dengan beriman kepada hari akhir dengan benar seseorang akan 

lebih rajin melaksanakan amal kebaikan sebagai persiapan untuk hari 

pembalasan kelak. Seseorang juga akan merasa takut dan gelisah untuk 

bermaksiat sebab  akan ada siksa atas perbuatan itu. Di samping itu juga 

akan menjadi hal yang dapat menghibur seorang mukmin yang tidak 

sempat mendapatkan kesenangan dunia, ia akan mendapatkan ganti berupa 

kenikmatan akhirat yang jauh di atas kenikmatan dunia.

6. Makna Beriman Kepada Takdir

Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu   

beriman kepada takdir baik maupun buruk. Beriman kepada takdir ada 

empat tingkatan:

a. Beriman kepada ilmu Allah yang azali sebelum segala sesuatu 

itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal 

perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia 

melakukannya.

b. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.

c. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu 

yang terjadi yaitu   sebab  kehendak-Nya.

d. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah 

yaitu   Pencipta satu-satunya dan selain-Nya yaitu   makhluk 

termasuk juga amalan manusia.

Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas yaitu   firman Allah 

SWT : “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah 

mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang 

demikian itu ada  dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya 

yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian 

dalil dari tingkatan ketiga di atas yaitu   firman Allah : “Dan kamu tidak 

dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali jika  dikehendaki Allah, 

Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan 

keempat, dalilnya yaitu   firman Allah : “Allah menciptakan kamu dan apa 

saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma 

ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan 

manusia yaitu   ciptaan Allah.

Takdir itu ada 2 macam: 

1) Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat di 

Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala sesuatu 

hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk. 

Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali 

diciptakan Allah yaitu   qalam (pena). Allah berfirman kepada 

qalam ini , “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai 

Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah 

takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu 

Daud.). 

2) Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir 

ini terdiri dari:

a. Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana ada  pada hadits 

Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di 

dalam rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) 

rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.

b. Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam 

lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah 

SWT. berfirman : “Pada malam itu dijelaskan segala urusan 

yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas 

mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada 

ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang 

terjadi dalam setahun.”)

Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan 

terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, 

maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia telah mengingkari 

salah satu rukun iman yang wajib diimani. 

Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan 

ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya. Yang pertama 

ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. 

Kelompok pertama yaitu   yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu 

Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah 

tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah 

dan melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan berbuat 

maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah 

dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada 

lagi.

Kelompok kedua yaitu   yang menetapkan ilmu Allah, namun 

meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah. Mereka 

menganggap bahwa perbuatan hamba yaitu   makhluk yang berdiri sendiri, 

Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah 

madzhab mu’tazilah.

Kebalikan dari Qodariyyah yaitu   kelompok yang berlebihan dalam 

menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa tanpa memiliki  

kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali. Mereka mengatakan 

bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh sebab  itu, 

kelompok ini dikenal dengan Jabariyah.

Keyakinan dua kelompok di atas yaitu   keyakinan yang salah 

sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya yaitu   firman 

Allah, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang 

lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali 

jika  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 

28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua 

kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau 

menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah sebab  

pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi 

manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada 

ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan 

itu) kecuali jika  dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan 

bantahan untuk Qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia 

itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung 

pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah sebab  pada ayat ini , 

Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya. 

Keyakinan yang benar yaitu   bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, 

kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah sebab  tidak ada 

pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik maupun yang buruk 

yaitu   termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap 

yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.

Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. 

Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya 

pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya yaitu   seseorang 

yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. 

Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri 

dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biar