Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 8. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 8


 Memang, kemalasan, sinkretisme, dan sifat baik orang-orang pribumi kita—

yang sangat menyusahkan fanatisme Bongso-poetihan—pastinya membantu 

mengukuhkan kesan ini. Namun, hal ini yaitu , dan tetaplah, sebuah kesalahan 

besar! .... Sebagaimana yang terjadi sehari-hari, persis pada saat seorang Islam 

berkata kepada seorang Kristen, “Oh, semuanya sama! Allah telah memberi 

semua orang agama mereka masing-masing (lebih tepatnya sarèngat); semua 

punya Panoetan masing-masing; sesungguhnya siapa pun yang mengikuti 

parentah-parentah Allah akan selamat!” Padahal, dalam hatinya dia tambahkan, 

Namun, Islām yaitu  satu-satunya agama yang benar, dan Panoetan-ku 

Mohammed yaitu  nabi terakhir

sesudah  menyampaikan pembelaan terhadap Jawa versinya, Poensen 

segera membandingkan kerja para rekan Kristen-nya dengan pihak-pihak lain 

yang aktif di lapangan. Dia mengaitkan fenomena yang kali pertama teramati 

pada 1850-an dengan Naqsyabandiyyah (walaupun hanya untuk tujuan 

retoris).

Jika seorang goeroe atau kjaï Arab atau berbicara bahasa Arab memberi tahu 

beberapa dzikir tertentu, atau beberapa praktik keagamaan yang tidak lazim, 

dia [orang Jawa] menerimanya dengan penuh ketertarikan, dan bahkan 

akan menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka; seperti perkumpulan 

tarekat Napsjibendiyah Darwîsj [sic]. Desaman [orang desa], tidak terlalu tahu 


mengenai detail-detail perbedaan berbagai sekte, menyebut semua ini hanya 

sebagai “Doel” atau “Pasèq”, namun  dia memperlakukannya secara sangat 

berbeda dengan “ngelmoe baru” orang-orang Kristen, yang tidak memiliki tata 

krama Arab.

Surat-surat Poensen, yang merupakan versi berimbang dari artikel-

artikel terdahulunya yang fanatik di MNZG, mencakup berbagai macam 

pokok persoalan, mulai persoalan-persoalan kalender dan perkawinan hingga 

ibadah haji dan puasa. Surat-surat itu segera menarik perhatian Veth yang 

tak kenal lelah, yang menerbitkannya sebagai sebuah monograf pada 1886. 

Itulah Veth, yang akhirnya direkrut ke Universitas Leiden pada 1877, yang 

sekarang mendominasi bidang Indologi. Suaranya terdengar nyaring dalam 

bidang geografi, botani, sejarah, dan etnografi Sumatra dan Jawa. Banyak dari 

pengetahuan ini  dikumpulkan dari laporan para pejabat dan misionaris 

yang telah pensiun atau dari orang-orang yang bagi mereka publikasi 

merupakan tindakan yang tidak bijak.75 Veth jugalah yang mengenali rawa-

rawa tempat Belanda terperosok di Aceh akibat kegagalan mengumpulkan 

informasi intelijen yang akurat sebelum 1873. Banyak informasi tentang 

tanah Sumatra sebenarnya bukan disumbangkan oleh Veth yang bekerja dari 

belakang meja, melainkan oleh putranya yang pengusaha, Daniël (1850–85). 

Meski demikian, Veth yang lebih tua tetap lebih terkenal isebab  tulisan-

tulisannya mengenai Jawa, yang menjadi topik presentasi di Pameran Kolonial 

pada 1883.

Cendekiawan lain yang punya ketertarikan yang besar terhadap Hindia 

dan hukum di sana yaitu  seorang mantan tokoh Delftian, A.W.T. Juynboll 

(1834–87). Dia dipekerjakan di Leiden bersama Veth dan Pijnappel. Pada 1881 

dia menerbitkan dua ulasan pendek mengenai buku pengantar al-Samarqandi 

dengan niat membantu para pejabat kolonial untuk lebih memahami apa yang 

sudah dipaparkan oleh koleganya, Grashuis, dalam buku-buku teks berbahasa 

Sunda.77 Usaha-usaha Juynboll kalah pamor pada 1887 saat  mantan 

murid Roorda dan Veth, van den Berg, menerbitkan hasil survei mengenai 

buku-buku berbahasa Arab yang digunakan di pesantren-pesantren Jawa. 

Ini menandai kemajuan besar untuk bidang riset Hindia isebab  datang dari 

salah seorang tokohnya yang terkemuka, van den Berg, cendekiawan utama 

di Batavia bidang bahasa Arab yang sering dianggap pula bidang Islam. Tak 

lama kemudian, berbagai peristiwa membuat van den Berg mengarahkan 

perhatian ke luar pagar skriptorium dengan mempertimbangkan posisi orang-

orang Arab dalam warga  setempat. Namun, ini yaitu  sebuah pergeseran 

yang tidak bisa terjadi sebelum seluruh administrasi kolonial mengalami 

semacam guncangan. Bahkan, guncangan ini sudah diramalkan oleh Verkerk 

Pistorius.

Yang Mulia, Nabi kita Muhammad, memberikan perintah ini kepada penguasa 

Mekah, yang kemudian mengabarkannya kepada kaum Mohammedan 

di seluruh kota besar dan kecil ... [agar] para penguasa dan panghoeloe 

mengumpulkan para fakir, membacakan untuk mereka perintah surat ini; agar 

mereka mengumpulkan kerabat mereka, dll., yang tinggal di kota-kota besar 

dan kecil, desa-desa, dan dusun-dusun—besar dan kecil, muda dan tua, laki-

laki dan perempuan—mengajari mereka hadis ini. Pastikan hadis ini ditaati!79 

(Risalah anonim yang beredar di Sumatra dan Jawa sekitar 1865)

Demikian bunyi bagian sebuah surat, yang konon dikirim dari Mekah pada 

1865, yang beredar dari pusat-pusat pesisir Padang, Batavia, dan Semarang. 

Surat ini  menyerukan pembaruan komitmen terhadap praktik Islam 

dan berulang-ulang menyarankan pembacaan sebuah risalah “hadis” tertentu: 

walaupun sebenarnya risalah itu yaitu  Tanbih al-ghafilin (Pengingat bagi 

Orang-Orang yang Lupa) karya al-Samarqandi, dan bukan salah satu kitab-

kitab hadis Nabi yang sahih. Surat semacam itu sudah muncul sebelumnya, 

dan banyak lagi yang muncul hingga 1880-an. Mereka memunculkan 

serangan-serangan kecemasan kolonial yang bisa dimengerti. Namun, sang 

penerjemah, dalam hal ini Poensen, yang menulis pada awal 1888 mengenai 

sesuatu yang beredar di kalangan putihan 23 tahun silam, bisa jadi merasa 

bahwa dirinya agak berjarak dari kekhawatiran semacam itu saat  dia 

bertanya-tanya mengapa risalah-risalah “yang murni bermuatan keagamaan” 

selalu terlihat memiliki “sebuah makna politis”.

Akan namun , dahulu pada awal 1880-an, para pejabat sangat khawatir 

mengingat kenyataan bahwa abad keempat belas kalender Islam akan dimulai 

pada 1 November 1882 dan bahwa permulaan sebuah abad baru kerap 

dikaitkan oleh banyak muslim dengan munculnya seorang pembaharu agama. 

Di Jawa Barat khususnya, sebagian pejabat khawatir terhadap rumor bahwa 

sebuah rencana rahasia tengah dilaksanakan untuk menghapus mereka dari 

peta kolonial. Keadaan segera memburuk isebab  banyak orang Banten mulai 

curiga bahwa letusan Krakatau pada 1883 dan serangan hama sesudah nya 

yaitu  sebentuk hukuman Ilahiah atas kelalaian mereka untuk taat beragama. 

Oleh isebab  itu, saat  sebuah perlawanan benar-benar meletus di kota kecil 

Cilegon pada 9 Juli 1888 (artinya, sesudah  Poensen merampungkan artikelnya 

mengenai surat “Mekah” dari 1865), para pejabat kolonial dengan perspektif 

yang sangat tertutup menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa ini dan 

melihat adanya hubungan logis antara semua itu dan dua dekade kedatangan 

serta keberangkatan “para fakir” dari Mekah. Salah seorang pejabat itu yaitu  

R.A. van Sandick (1855–1933), seorang insinyur kolonial senior yang turut 

menyaksikan letusan Krakatau. Dia menulis buku geofisika In het rijk van 

de vulkaan (Di Kerajaan Gunung Api) serta buku yang lebih berapi-api dan 

polemis Leed en lief uit Bantam (Penderitaan dan Cinta dari Banten). Keduanya 

mengaitkan berbagai peristiwa itu dengan Mekah.

Memang ada lebih banyak pergerakan orang-orang Muslim Jawa Barat 

menuju dan dari Mekah sejak akhir 1870-an. Narasi van Sandick mengenai 

bencana, yang ditulis pada akhir 1880-an, dengan mudah memadukan 

kisah ini dengan berbagai rumor tentang pembantaian dan letusan dahsyat 

sesudah nya. Para pembawa rencana rahasia Hindia juga terlihat cukup 

jelas bagi sang Islamolog amatir dan penasihat kehormatan untuk negara 

kolonial, Holle. Dia mendapat informasi dari Penghulu Garut, Raden Hajji 

Muhammad Musa. Walaupun dikaitkan dengan para cendekiawan muslim 

(dia sendiri masuk Islam untuk tujuan perkawinan), namun  Holle ingin 

menjauhkan orang-orang Sunda dari apa yang dianggapnya sebagai ketergila-

gilaan terhadap Islam. (Holle bahkan hendak menentang penggunaan tulisan 

Islami, sebagaimana Grashuis saat  dia belajar bersamanya pada 1860-an.) 

sesudah  sebuah perjalanan ke Singapura pada 1873 untuk mengumpulkan 

informasi mengenai simpati kawasan itu terhadap orang-orang Aceh, Holle 

menyimpulkan bahwa berbagai tanda menunjuk pada menguatnya arus 

fanatisme dari Mekah. Oleh isebab  itu, dia mendesak agar para pejabat 

yang diangkat pemerintah dicopot jika mereka terbukti terlalu fanatik dalam 

beragama; entah dengan menunjukkan minat untuk memimpin shalat 

Jumat, melaksanakan ibadah haji, atau mengoreksi praktik-praktik lokal 

(misalnya, beberapa pejabat pribumi lebih suka azan dibandingkan memukul 

beduk untuk memanggil orang-orang beriman ke masjid). Holle bahkan 

menyarankan penggunaan seragam untuk para haji.

Semua usulan Holle diabaikan. saat  tersebar isu mengenai rencana 

rahasia 1881, dia memanfaatkan kontaknya dengan para konsul di Jeddah 

dan Singapura untuk menghidupkan kembali saran-sarannya terdahulu untuk 

menekan Islamisme, termasuk pelembagaan seragam resmi untuk para haji, 

pengawasan ketat orang-orang Arab dan materi-materi cetakan berbahasa 

Arab. Dia bahkan mengutus seorang mata-mata ke Mekah. Usulan-usulannya 

sekali lagi tidak digubris, terutama sesudah  terlacak bahwa sebagian kepanikan 

bersumber dari korespondensi antara Holle dan para konsul.

Yang juga penting untuk langkah mundur ini yaitu  saran Penasihat 

kolonial bidang Hukum Mohammedan, yang oleh para gurunya semula 

hendak dicalonkan untuk mengisi jabatan guru besar di Leiden. Van den Berg 

yang mengalami kesulitan keuangan mengejutkan para profesornya dengan 

memilih ikut ujian pegawai negeri. Setiba di Batavia pada 1870, dia ditunjuk 

menjadi kerani untuk beberapa waktu di Semarang. Lewat beberapa tahun 

yang tak menyenangkan dengan Dewan Kehakiman di Batavia, dia pindah ke 

Departemen Pendidikan dan menduduki jabatan Penasihat bidang Hukum 

Mohammedan pada 1879. Pada 1880 dia berkeliling Aceh bersama T.H. der 

Kinderen yang yaitu  Sekretaris Raad van Indië. Tugas-tugas semacam itu 

memungkinkan van den Berg mencurahkan lebih banyak perhatian pada 

minat utamanya: orang-orang Arab di Hindia dan bahasa mereka. Meski 

sudah menyelesaikan katalog manuskrip-manuskrip berbahasa Arab karya 

Friederich pada 1873, dan sebagian dari katalog buku-buku berbahasa 

Melayu, Jawa, dan berbahasa Arab milik warga  Batavia pada 1877, van 

den Berg tetaplah pakar Arab yang frustrasi.

Terlepas dari pendidikannya di Leiden, minat kecendekiawanan van den 

Berg jelas bercita rasa Delft. Dia tetap fokus menerjemahkan karya-karya inti 

yurisprudensi Suni untuk khalayak pejabat, termasuk Minhaj altalibin karya 

Nawawi.83 isebab  konsentrasi paruh-waktunya yaitu  pada teks bukan pada 

orang, van den Berg merasa terkejut pada awal 1880-an. Menjadi jelas dalam 

berbagai laporan resmi berikutnya bahwa Naqsyabandiyyah sudah lama aktif 

di Nusantara, berkebalikan dengan pernyataan-pernyataannya yang lalu. Dia 

pun mulai menggarap artikelnya sendiri yang sudah diperbarui mengenai 

persoalan ini.

Di permulaan artikel ini , van den Berg tidak bersedia 

menggambarkan bagaimana persisnya dia menjadi sadar akan tarekat 

Naqsyabandiyyah. Dia mengklaim bahwa penemuan manuskrip-manuskrip 

belakangan ini, dan bahkan perjalanannya sendiri ke Aceh, telah meyakinkannya 

bahwa pernyataannya yang terdahulu mengenai tidak adanya tarekat semacam 

itu di Hindia agak tergesa-gesa. Namun, ini hanyalah pengakuan kesalahan 

parsial. Menggunakan karya yang sudah klasik mengenai Mesir oleh Edward 

William Lane (1801–76), yang berhubungan dengan seorang keturunan ‘Abd 

al-Wahhab al-Sya’rani, van den Berg menyatakan bahwa apa yang tersisa dari 

Naqsyabandiyyah di Aceh hanyalah potongan-potongan dzikr yang sekarang 

ditampilkan semata-mata untuk hiburan publik—seperti dalam bentuk 

Tarian Sadati, tempat barisan pemuda bergandengan lengan dan menyanyi 

sementara pemuda lain menari di hadapan mereka.

Seperti Lane dan Dozy sebelumnya, van den Berg menganggap ungkapan 

Sufisme populer hanya sebagai takhayul. Walaupun telah mendengar berbagai 

laporan pers samar-samar mengenai kehadiran Naqsyabandi di Padang, dia 

tampaknya hanya tahu sedikit detail-detailnya. Sementara itu, di Batavia 

hanya terdapat Qadiriyyah, yang kelihatannya menyerupai Naqsyabandiyyah. 

Van den Berg percaya bahwa semua tarekat semacam itu hanya diminati 

oleh orang Arab tertentu (barangkali yang berkasta-rendah). Para (sayyid) 

informan meyakinkan dirinya bahwa pengejaran keuntungan finansial yaitu  

satu-satunya tujuan pertemuan-pertemuan mereka.

Sebaliknya di Buitenzorg, Naqsyabandiyyah berkembang sangat pesat. 

Para pejabat setempat bahkan memimpin perkumpulan memalukan di masjid 

pada suatu malam, dengan segala macam perbuatan dosa terjadi begitu lampu 

dikecilkan. Wajar jika van den Berg tidak bisa lagi mengabaikan perkara 

‘Abd al-Qadir dari Semarang pada 1881 (lihat Bab 3), yang digambarkannya 

sebagai seorang guru agak polos yang bahkan menghilangkan ijazah yang 

diberikan Sulayman Afandi dari Mekah. Dia juga mengamati bahwa ‘Abd 

al-Qadir sempat sukses di kalangan kelas bawah sekitar Yogyakarta dan Kedu 

sebelum diusir para pejabat keagamaan setempat. Para wakil ‘Abd al-Qadir 

di Semarang, Kendal, dan Salatiga mengawasi perkumpulan-perkumpulan 

campuran yang sama dan berpotensi menimbulkan bencana, antara para 

lelaki dan perempuan dari semua usia.

Saat itulah, Holle yang pada 1882 mendorong Sayyid ‘Utsman 

menerbitkan risalah-risalah peringatan menentang Naqsyabandiyyah, mendapat 

dukungan dari mantan lawannya, van den Berg. Keadaan pastinya berbalik. 

Wajah van den Berg tentu memerah saat  ditunjuki berbagai laporan mengenai 

Naqsyabandiyyah di Jawa. Sebenarnya banyak dari yang dia katakan sebelumnya 

telah melewati sejenis saringan resmi. Seperti kisah-kisah lama mengenai agama 

dul atau santri birai, berbagai laporan yang dia ulang-ulang tentu saja bias, 

bahkan hingga titik menuduh kelompok-kelompok pesaing memperturutkan 

hawa nafsu dengan melakukan kegiatan-seksual yang haram. Namun, 

kemungkinan bias tidak dipahami oleh van den Berg. Dia memastikan kepada 

para pembacanya bahwa informannya bisa dipercaya sebagai “seorang tuan yang 

terhormat” dari Tangerang. Informan ini melaporkan bahwa dalam sebuah 

pertemuan Naqsyabandi di Serpong, sang guru duduk sejajar dengan sahabat-

sahabatnya. Masing-masing memegang kemaluan yang duduk di sebelahnya. 

“Jika laporan ini benar,” van den Berg menyimpulkan, “kita benar-benar melihat 

betapa agama lingga Polinesia mewujud dalam bentuk Islam masa kini.”85

Dengan segala pengalamannya, van den Berg terperangkap oleh kawan-

kawan bicaranya dari kelompok elite. Juga jelas bahwa dia percaya tidaklah 

mungkin berbaur sepenuhnya dengan para subjek penyelidikannya. saat  

dia benar-benar berusaha melangkah lebih dalam dengan mengadakan tur 

kajian Jawa pada 1885 (Holle sedang menulis artikelnya sendiri mengenai 

Naqsyabandiyyah untuk TBG86), penilaiannya atas kualitas pendidikan yang 

disediakan tetap dibentuk oleh pandangan Arab-sentris yang elitis. Hasil 

utama kerja keras van den Berg sebenarnya yaitu  sebuah monograf berbahasa 

Prancis mengenai komunitas-komunitas Arab Hindia Belanda.87 Dia mencatat 

bahwa meluasnya kemunculan buku cetak berbahasa Arab yang masuk dari 

pelabuhan-pelabuhan Jawa tak lebih dari sekadar kenang-kenangan. Tapi, 

dia akui bahwa buku-buku cetak itu bisa jadi akan menggantikan manuskrip 

yang disalinnya.

Juga jelas bahwa van den Berg memiliki pandangan yang merendahkan 

dan pseudo-‘Alawi terhadap tarekat secara umum. Dia menganggap tarekat 


sebagai pengaburan terhadap Islam yang autentik atau bahkan jembatan 

menuju kekafiran. Dalam hal ini, van den Berg mengklaim bahwa aktivitas 

begitu banyak orang “Persia, Turki, dan Bengali” dalam berbagai tarekat 

yang bermarkas di Mekah menyingkirkan para bangsawan Arab yang layak 

sebagai pemimpin pendidikan Islam di Jawa. Menjelang akhir laporannya 

mengenai pendidikan pada 1887, van den Berg menyampaikan lebih kurang 

hal yang sama. Dia menyatakan bahwa bicara tentang Sulayman Afandi dan 

para sahabatnya, orang-orang Arab Nusantara merasa “tidak seunsur dengan 

mereka”.

Juga tampak bagi Nusantara bahwa orang-orang Arab Nusantara 

kehilangan kekuasaan yang sah atas beberapa pesantren isebab  banyak orang 

Jawa menduduki peran pemimpin dalam pengajaran hukum Islam. Hal 

ini terjadi isebab  sebagian orang Arab terkucilkan akibat banyak aktivitas 

pengajaran berlangsung dalam bahasa Jawa, bukannya Melayu. Bahkan, van 

den Berg, yang mencatat bahwa Sulayman Afandi cukup cerdik memerintahkan 

karya-karyanya dicetak dalam bahasa Jawa di Kairo, meremehkan banyak 

guru pesantren isebab  tidak menguasai bahasa Melayu.90

Apa pun kelemahannya, van den Berg mengisyaratkan gelombang 

perubahan tengah menerpa pesantren-pesantren Jawa. Namun, pada waktu 

dia menulis artikelnya, matanya lebih tertuju ke Belanda ketimbang Hindia. 

Dia berangkat menuju Delft pada 1887 dan tiba sekitar sepuluh bulan sebelum 

kaum “Qadiri” Cilegon menyapu bersih semua yang telah dia kerjakan. 

Sebenarnya dengan adanya peristiwa Cilegon, pesantren dan tarekat sama-

sama menjadi pusat perhatian, baik sebagai sumber hasutan antipemerintah 

maupun sarana pelaksanaannya oleh para priayi yang tidak puas—dulu dan 

sekarang. 

Residen Surakarta mengakhiri laporannya pada Oktober 1888, 

pernyataan bahwa Jawa dibanjiri oleh banyak pejabat yang dipecat dan tak 

puas beserta kerabat-kerabat mereka, serta semakin banyak “fanatik dari 

Mekah yang tegang”. Dalam pandangan sang Residen, para guru setempat 

berperan sebagai perantara para pejabat semacam itu dengan kaum fanatik 

yang dipengaruhi Mekah. Pesantren mereka bisa menjadi bahaya bagi 

keamanan negara “pada saat tertentu”, terutama saat  berbagai kondisi lokal 

memungkinkan orang-orang Jawa kebanyakan tertarik ke dalam kekacauan 

dengan praktik yang disebut “dikir”. Oleh isebab  itu, yang dibutuhkan untuk 

melestarikan kekuasaan Belanda yaitu  pengawasan dan pengendalian seketat 

mungkin terhadap kelompok-kelompok semacam itu.91

Pernyataan yang sama juga tercantum dalam sebuah pamflet di Banten 

yang ditandatangani oleh mantan pejabat K.F. van Swieten. sesudah  membaca 

berbagai aktivitas Sanusiyyah di Afrika Utara dan melihat perlawanan di Aceh, 

dia mendesak Belanda untuk mencari tahu mengapa Islam semakin tidak 

mirip dengan “longgarnya jubah yang dikenakan” di atas “berbagai praktik 

dan takhayul populer”. Menurut van Swieten, para koleganya membutuhkan 

pelajaran baru baik mengenai sejarah Islam maupun detail-detail praktik 

tarekat: ritual-ritual mereka, terutama prinsip ketaatan mutlak kepada sang 

syekh. Semua ini disuplainya dengan senang hati, dengan memanfaatkan 

karya A. Le Chatelier dan L. Rinn (1838–1905) mengenai kaum Marabout 

Afrika Utara.

Terdapat beberapa pejabat lain dengan perspektif yang lebih sesuai. Salah 

seorangnya yaitu  J.J. Verwijk, yang mengadakan penyelidikan mengenai 

“sekte-sekte” Islam di Karesidenan Banyumas dan menyampaikan laporannya 

pada Januari 1889. berdasar  pengamatannya terhadap empat kelompok—

Akmaliyyah, Khalwatiyyah, Syattariyyah, dan Naqsyabandiyyah—Verwijk 

mengajukan argumen menentang pandangan yang terlalu umum bahwa 

orang-orang Jawa sebenarnya yaitu  orang yang meyakini sebentuk agama 

sinkretis tertentu, dengan menunjukkan jika standar yang sama diterapkan 

pada orang-orang Kristen Eropa Selatan, mereka pun akan tergolong sebagai 

kaum sinkretis.93

Verwijk menegaskan bahwa hanya ada sedikit hal untuk ditakuti 

dari banyak gerakan setempat dan sedikit pula yang bisa diperoleh dengan 

melarang ibadah haji atau menempatkan sekolah-sekolah Islam di bawah 

administrasi langsung negara. Memang cukup bijaksana mengharuskan para 

guru meminta izin untuk mendirikan sekolah baru, tapi campur tangan para 

pejabat setempat secara berlebihan perlu dihindari, apa pun yang terjadi. 

Seperti yang akan kita lihat dalam bab berikutnya, argumen Verwijk juga 

diajukan oleh Snouck, sebagaimana Poensen mengutip publikasi paling awal 

Snouck sebagai perangsang surat-suratnya kepada Soerabaiasch Handelsblad. 

Namun, sementara Poensen direkrut ke sekolah kota praja di Delft pada 

1891 dan Verwijk menjadi Gubernur Bandung (1910–12), Snouck-lah yang 

menutup jalan semuanya—para pejabat dan Islamolog, kawan dan lawan.

  

Bab ini berfokus pada aktivitas para misionaris di lapangan dan dukungan 

yang mereka terima dari para cendekiawan-polemikus terkemuka, seperti 

P.J. Veth. Pada banyak peristiwa, mereka melihat sebuah kesempatan untuk 

mengkristenkan pribumi mengingat lemahnya pemahaman dan praktik Islam 

di kalangan pribumi sekaligus menegaskan bahwa orang-orang Jawa tidak bisa 

disebut muslim isebab  “Islam” mereka jauh dari memadai, berbeda dari Islam 

yang para misionaris pahami dari teks-teks yang diedit para guru di Delft. 

Namun, yang lebih penting, dalam tulisan-tulisan mereka kita bisa melihat 

bukti tak langsung dan tentunya tak dikehendaki mengenai keterlibatan 

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  141

aktif melalui cara-cara dan pemikiran yang baru, seperti percetakan dan 

berbagai praktik Sufi yang diimpor dari Timur Tengah—praktik-praktik yang 

membuat sebagian orang Jawa menjuluki tetangga mereka abangan sialan 

sementara mereka sendiri dikenal sebagai putihan yang tanpa noda. Para 

misionaris dan beberapa pejabat setempat cenderung mengecilkan ketulusan 

pihak yang disebut terakhir ini, terutama orang-orang Arab dan para haji 

yang tak bisa dibedakan. Namun, para misionaris dan pejabat menjadi serius 

saat  dihadapkan pada ancaman potensial tarekat yang tiba-tiba muncul 

ke panggung lewat pembantaian Cilegon. Sesuatu yang menjadi jelas pada 

1888 yaitu  bahwa pengetahuan Belanda mengenai Islam sudah ketinggalan 

zaman dan terlalu berorientasi pada teks dibandingkan konteks. Islam harus 

dipahami, Mekah harus diketahui. Maka, beruntunglah bahwa firma E.J. 

Brill baru saja menawarkan karya yang paling dibutuhkan oleh para pejabat 

kolonial. 



Teori evolusi pastinya memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap praktik 

kajian agama kita dibandingkan terhadap kerja-kerja kecendekiawanan 

para ahli hukum kita.1 (C. Snouck Hurgronje, “Mohammedaansch recht en 

rechtswetenschap,” 1885)

Tiga bab di muka yang memberikan tinjauan umum mengenai perjumpaan awal para penyusup Belanda di Nusantara dan lawan muslim mereka, menunjukkan betapa kecendekiawanan metropolitan 

dan pengamatan di lapangan tidaklah selaras. Tidak pula cukup informasi 

yang bisa diandalkan mengenai berbagai perbedaan antara apa yang disebut 

“gereja Mohammedan” dan agama “reformasi” mereka sendiri. 

Secara lebih spesifik kita melihat bahwa, pada abad kesembilan belas 

dan sesudah  dua perang sengit di Sumatra dan Jawa, para cendekiawan yang 

dipekerjakan untuk melatih para administrator masa depan berbeda pendapat 

dengan para kerabat misionaris mereka mengenai bagaimana kiranya orang-

orang Jawa dan Melayu tidaklah benar-benar muslim. Di satu sisi, seorang 

ahli hukum seperti Keijzer melihatnya sebagai persoalan derajat (bahwa 

orang-orang Jawa dan Melayu menyimpang hingga tingkat tertentu dari 

pemahaman yuridis yang tepat terhadap Islam normatif ). Di sisi lain, sebagian 

misionaris yang berbasis di Hindia menyatakan bahwa orang-orang Jawa pada 

khususnya gagal lolos ujian paling mendasar dalam keimanan Islam. Seiring 

berlalunya waktu, persepsi pun berubah. Perubahan itu sebagian besar akibat 

karya seorang cendekiawan yang permulaan kariernya di Eropa, Arabia, dan 

Hindia menjadi pokok bahasan tiga bab berikut sekaligus inti buku ini. 

Di antara kertas-kertas warisan Snouck Hurgronje di Universitas Leiden, terdapat sebundel arsip yang dinomori Or. 7935. Seperti bundelan 

lain, isinya beraneka macam, mulai dari sebuah doa untuk Ratu Wilhelmina 

(berkuasa 1890–1948) yang ditulis untuk Bupati Pasuruan dan Malang 

oleh Isma‘il b. ‘Abdallah al-‘Attas hingga sebuah hikayat berbahasa Melayu 

mengenai Mesir dan Suriah yang ditulis sekitar 1844. Arsip itu juga memuat 

dua dokumen yang melambangkan tugas dan pengaruh historis Snouck. 

Salah satunya yaitu  risalah berbahasa Arab. Risalah ini  dikumpulkan 

di Aceh dan kemungkinan besar yaitu  milik musuh Belanda yang diambil 

pada saat perang perlawanan yang panjang. Risalah terdiri atas panduan dasar 

tarekat “Qadiriyyah”, lengkap dengan nasihat terakhir (wasiyya) ‘Abd al-Qadir 

al-Jilani dan diberi kekuatan azimat. Di dalamnya juga termuat silsilah yang 

menempatkan hubungan guru-murid dalam garis keturunan Asia Tenggara. 

Dalam silsilah itu, Ibrahim al-Kurani (yang juga ada dalam silsilah Syattari 

milik Da’ud al-Fatani [lihat Bab 3]) disebut sebagai guru masa lalu sekaligus 

leluhur keluarga Tahir. Silsilah diawali dengan:

[Pemilik dokumen ini] menerima jubah lusuh Qadiriyyah dari yang tak berpunya 

milik Tuhan Yang Mahakuasa, Muhammad As‘ad Tahir. Dia menerimanya 

dari tangan ayah dan gurunya, mendiang Syekh Muhammad Sa‘id Tahir, yang 

menerimanya dari tangan syekhnya, Syekh Mansur al-Bediri yang termasyhur, 

yang menerimanya dari tangan syekhnya, Syekh Muhammad As‘ad Tahir, yang 

menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, mendiang Syekh Muhammad Sa‘id 

Tahir, yang menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, Syekh Ibrahim Tahir, yang 

menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, Syekh Muhammad Tahir. Dan, dia 

menerimanya dari tangan ayah dan leluhurnya [secara harfiah, “kakeknya”], Kutub 

Ilahiah, Yang Mengenal Allah, Mulla Ibrahim al-Kurani. Dan, dia menerimanya 

dari tangan syekhnya, Kutub Ilahiah dan Perlindungan yang Terpuji, Syekh Safi al-

Din, juga dikenal sebagai Sayyid Ahmad al-Madani al-Qusyasyi .... 1

T U J U H

RENUNGAN-RENUNGAN DARI 

JAUH MENGENAI SEBUAH 

KOLONI PENTING

1 8 8 2 – 1 8 8 8

146  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Silsilah terus berlanjut, lewat tangan sang ahli hukum al-Ansari dan 

al-‘Asqalani, dan kemudian berlanjut kepada sang wali ‘Abd al-Qadir al-

Jilani dan ‘Ali yang diberkahi hingga berujung kepada Nabi, “penghulu para 

utusan”, Jibril dan Allah.

Dokumen lain yang menarik dalam Or. 7935 agak lebih tipis. Dokumen 

ini terdiri atas tiga halaman dan ditulis di Kairo pada 28 Juli 1925, dipenuhi 

dengan campuran doa yang sangat berbeda. Di sini Ustaz Mansur Fahmi 

dari Universitas Kairo, seorang cendekiawan yang dikenal dengan tesis 

kontroversialnya mengenai hak-hak perempuan (dipertahankan di Sorbonne 

pada 1913), mengenang pengalamannya bersama Snouck di Eropa. Dia 

berterima kasih kepada Snouck atas minat dan saran yang berkelanjutan, dan 

menyampaikan harapannya untuk masa depan:

Dengan anugerah Tuhan, saya sekarang mendapat jabatan terpelajar di kalangan 

bangsa saya, membuat saya berharap bisa memperoleh keinginan dari posisi 

dan mewujudkan ... kebaikan serta reformasi umum .... Saya terinspirasi oleh 

keadaan masa kini, dengan tetap penuh tekad serta penuh harap sebagaimana 

yang Anda dapati pada masa muda saya. Saya berharap bisa mengatakan sudah 

melakukan bagian saya di jalan menuju pembaruan dan reformasi. Selain itu, 

saya tidak melanggar nasihat yang Anda berikan lewat semua surat Anda.

Dia melanjutkan:

Saya sudah menyampaikan ucapan terima kasih Anda kepada sahabat saya Syekh 

‘Ali ‘Abd al-Raziq. Dia sangat senang. Saya juga harus memberi tahu Anda dalam 

hal ini, ustaz saya yang terhormat, bahwa bukunya telah menimbulkan badai 

dahsyat. Sekelompok pembaharu telah berkumpul di sekelilingnya, sementara 

kelompok garis keras menentangnya hingga para ulama al-Azhar berkumpul 

untuk mencopot gelarnya dari lembaga mereka. Berbagai koran membahasnya 

selama berminggu-minggu dan gerakan yang ditimbulkan menyerupai gerakan 

yang terbentuk akibat paparan yang saya tuliskan kepada Anda untuk gelar 

doktor saya.2

Fahmi jelas menganggap dirinya berada di barisan terdepan perubahan 

intelektual utama di negerinya. Tak diragukan lagi, buku karya ‘Abd al-Raziq, 

yang dikirimkan Fahmi kepada Snouck disertai kartu yang menyatakan bahwa 

buku itu menawarkan “sebuah sudut pandang baru mengenai persoalan 

khalifah dan pemerintahan Islam”, benar-benar menimbulkan badai. Tesisnya 

menolak keniscayaan bersatunya khalifah dan agama. Namun, aneh rasanya 

merenungkan apa peran yang barangkali dimiliki kecendekiawanan Snouck 

mengenai khalifah, yang diterbitkan secara luas dalam bahasa Prancis, dalam 

membentuk argumen semacam itu. Sang penulis, yang tampaknya meminta 

Fahmi mengirimkan bukunya kepada Snouck, yaitu  salah seorang dari 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  147

banyak lulusan al-Azhar yang juga belajar di Prancis. Jadi, dia mestinya 

mengetahui tulisan-tulisan Snouck.3

Secara sepintas kedua dokumen ini , yang terpisah selama tiga 

dekade dan berurusan dengan persoalan yang sangat berbeda, terkait semata-

mata oleh kenyataan bahwa keduanya jatuh ke tangan Snouck Hurgronje. 

Namun, ini bukan sekadar kebetulan. Kehidupan dan ajaran-ajaran Snouck 

menjembatani dua dunia muslim yang sangat berbeda: dunia jihad antikolonial 

Aceh yang dipenuhi aspirasi tradisional kaum beriman yang mencari 

perlindungan kepada para wali; dan dunia para pembaharu yang, dengan 

bantuan surat kabar cetak dan pendidikan Barat, berusaha mempertahankan 

agama mereka dan memperkuat negeri mereka.

Untuk menghubungkan tema-tema ini, kita perlu mengikuti perjalanan 

Snouck serta berusaha membaca bagaimana dia menyeimbangkan hal yang 

sekarang tampak sebagai kontradiksi antara upaya-upaya kolonial dan 

kecendekiawanannya. Hanya dengan demikian kita bisa menilai dampak 

yang barangkali dimilikinya terhadap orang-orang yang dia pelajari dan 

terhadap orang-orang yang dia ajar. isebab  sementara Snouck tampaknya 

hanya terlibat secara tidak langsung dalam rencana salah satu orang Mesir 

untuk memperbarui negerinya, dampaknya di Hindia jauh, jauh, lebih besar.

MATA TERTUJU KE HINDIA, 1880–1884

Dengan sebuah kekuatan kolonial seperti milik kita, Islâm, INTERNATIONALE 

agung dengan bendera hijau itu, harus dipelajari dengan serius dan ditangani 

secara sangat bijaksana.4 (C. Snouck Hurgronje, “De laatste vermanning van 

Mohammed”, 1884)

Putra seorang pendeta Protestan, Snouck Hurgronje masuk Universitas 

Leiden jurusan Teologi pada 1874. Pendidikan awalnya yaitu  kuliah 

Kesusastraan Klasik dan Bahasa Ibrani. Dia segera kehilangan minat dan 

beralih mempelajari bahasa Arab. Disertasinya pada 1880 berisi tentang asal 

usul ibadah haji ditulis di bawah bimbingan M.J. de Goeje (1836–1909). 

Dalam proses penulisannya, Snouck menantang banyak    Dozy dalam 

karyanya pada 1864, De Israëlieten te Mekka (Orang-Orang Israel di Mekah). 

Walaupun begitu, karier Snouck tidak ditakdirkan membuatnya berfokus 

pada sejarah tekstual Timur Tengah. Dia dipekerjakan oleh Lembaga Kota 

Praja Leiden untuk melatih para pejabat kolonial. Dari sanalah dia menjalani 

debutnya di pentas kecendekiawanan publik dengan serangkaian artikel yang 

memiliki pengaruh mendalam terhadap masa depannya. Di antaranya yaitu  

ulasan-ulasan yang tajam atas karya pejabat yang akhirnya dia gantikan.

Artikel pertama pada 1882 hakikatnya yaitu  koreksi atas karya-karya 

T.W.J. Juynboll (1802–61), P.A. van der Lith (1840–1901), dan, dengan 

148  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

derajat yang lebih rendah sang pejabat yang kita bicarakan, yakni L.W.C. 

van den Berg. Meski hanya sedikit muatan yang secara langsung berkaitan 

dengan Hindia dalam artikel ini, Snouck sengaja menerbitkannya di BKI. 

Dia menyatakan bahwa untuk meningkatkan pemahaman mengenai Islam di 

Jawa, para penulis mengenai soal-soal Hindia perlu “memiliki pengetahuan 

mengenai prinsip-prinsip dasar agama dunia ini serta sejarahnya”. Belanda, 

demikian argumennya, “masih sangat jauh” dari tujuan ini .5 Snouck 

hanya punya sedikit waktu untuk tawaran yang diajukan mendiang Keijzer, 

atau untuk berbagai observasi Grashuis yang diterbitkan ulang isebab  dia 

mengarahkan kritiknya dengan kekuatan penuh terhadap van den Berg dalam 

tulisan-tulisan yang lebih pedas sepanjang 1883.

Situs pertama pertempuran ini yaitu  jilid pertama edisi van den Berg 

atas Minhâdj at-Tâlibîn, yang diterbitkan dengan sokongan pemerintah 

kolonial dengan sebuah terjemahan bahasa Prancis. sesudah  mencatat bahwa 

hanya orang-orang Eropa yang tampaknya tertarik membaca yurisprudensi 

Islam sebagai wahana untuk memahami Islam, Snouck kemudian menarik 

perhatian pada beberapa  inkonsistensi dan kekeliruan dalam terjemahan 

ini , mulai dari judulnya. Dia juga bertanya-tanya siapa kiranya khalayak 

karya semacam itu. Menurutnya, karya itu tidak bisa benar-benar bermanfaat 

baik bagi publik dan para administrator kolonial maupun para Orientalis 

yang pastinya lebih baik membeli versi yang lebih murah dari penerbit Kairo.6

Pesannya juga jelas di tingkatan yang lain. Tidak ada tempat bagi sang 

ahli hukum kolonial di pentas kecendekiawanan Eropa. isebab , persis pada 

tahun itulah (1883) perkumpulan Orientalis datang ke Leiden untuk kongres 

internasional keenamnya di bawah kepemimpinan guru Snouck, teolog 

Abraham Kuenen (1828–91). Acara ini diatur agar berbarengan dengan 

Pameran Besar Kolonial di Amsterdam, tempat, sesudah  perjalanan singkat 

dengan Kereta Kerajaan, kumpulan pakar (yang kebanyakan) Barat bisa 

mengagumi kekayaan Hindia yang dipamerkan. Salah seorang pemirsa yaitu  

Amin b. Hasan al-Madani (w. 1898), seorang pengunjung Arab penjual buku 

dan penulis pamflet penentangan perilaku menyimpang tarekat-tarekat Sufi. 

Apa yang dilihatnya bisa jadi memiliki dampak menentukan terhadap sang 

Orientalis muda.7

Sekali lagi, baik pertunjukan Amsterdam, yang menarik orang ramai 

dari seluruh negeri melalui gerbang-gerbang temporernya yang bergaya Moor, 

maupun Kongres Leiden, yang berharap agar mereka tetap berada di luar 

gerbang-gerbang besinya yang usang, tidak memberikan banyak perhatian 

pada realitas Islam dalam konteks Hindia yang bisa dikristenkan. Penggunaan 

arsitektur pseudo-Islami di pameran, yang direstui oleh Veth yang mendukung 

misi dengan alasan bahwa orang-orang Indonesia tidak mengembangkan gaya 

mereka sendiri, yaitu  hal yang kontroversial.8 Di Leiden, seorang misionaris 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  149

Inggris ternama, R.N. Cust (1821–1909), dengan senang hati menyatakan 

bahwa Belanda, “Tempat Lahir Kebebasan” dan “Tempat Pengasuhan para 

Cendekiawan”, yaitu  “rekan kerja” negerinya dalam usaha “mengenalkan 

Peradaban di kalangan Jutaan Orang”.9 Lagi pula, kawasan itu secara khusus 

ditandai sebagai wilayah kajian warisan India-nya dan sebagai situs tragedi 

terbaru. Merupakan saat yang sangat memilukan bagi al-Madani saat  para 

delegasi berhenti sejenak untuk mengenang letusan dahsyat Krakatau yang 

terjadi sepuluh hari sebelumnya.10

Mengingat keadaan ini, tawaran Snouck di Amsterdam tak kurang dari 

sebuah intervensi atas nama Islam di Nusantara. sesudah  menyampaikan tesisnya 

bahwa Gujarat kemungkinan besar merupakan sumber Islam di Hindia, 

makalahnya menjadi serangan yang mendesak agar kaum beriman Nusantara 

dipandang sama muslimnya dengan kaum beriman di tempat-tempat lain. 

Desakan ini juga ditujukan agar para pembaca tidak dibutakan oleh berbagai 

pandangan merendahkan para penulis yang memiliki pengalaman terbatas di 

Nusantara. Snouck terutama sangat tajam saat  berhadapan dengan mereka 

yang mengklaim bahwa Islam di Timur Jauh merupakan baju rombeng yang 

dari sela-selanya “orang-orang Polinesia setengah Hindu” bisa dilihat “dalam 

bentuk sejatinya yang kafir”.11

Pandangan-pandangan seperti ini juga bisa ditemukan dalam tulisan 

orang-orang yang (seperti Snouck) tidak pernah ke Hindia, namun  mengklaim 

tahu hampir segala hal tentang penduduknya. Meski mencatat kehadiran “para 

pendeta”, sekolah, dan masjid di seluruh Nusantara serta mengakui bahwa 

aturan Islam “lebih kurang” diikuti secara keseluruhan, namun  Veth memiliki 

pandangan umum mengenai penduduk pribumi sebagai muslim superfisial. 

Veth menyuarakan pandangan ini  dalam diskusinya mengenai “Agama 

dan Kebiasaan-Kebiasaan Keagamaan” yang ditulis untuk katalog Pameran 

Kolonial.12 Ambivalensi Veth ditegaskan oleh persetujuannya terhadap 

gerbang bergaya pseudo-Moor. Sikap mendua yang sama ditunjukkan teolog 

terkemuka Cornelis Tiele (1830–1902) dan Kuenen. Jika Tiele menerima 

bahwa Islam yaitu  sebuah “agama dunia”, Kuenen, yang kali pertama 

merumuskan gagasan ini , belakangan mengubah haluan. Kuenen 

menyimpulkan bahwa sebagai sebuah sistem Islam memang sebuah agama 

dunia, namun  dalam beberapa praksis regionalnya ia lebih tepat digambarkan 

sebagai “agama rakyat”.13

Snouck sendiri—yang diundang Kuenen untuk membaca draf Kuliah 

Hibbert-nya pada 1882—menunjukkan bahwa apa yang diduga sebagai 

baju rombeng yang diadopsi oleh bangsa-bangsa Hindia lebih merupakan 

seragam lengkap ketimbang jubah. Lagi pula, kita dengan sama mudahnya 

bisa menemukan tradisi rakyat yang sama di Timur Tengah. Snouck 

bersemangat untuk menunjukkan betapa karya Lane mengenai Mesir bisa 

150  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

dibaca berdampingan dengan beberapa kontribusi bagi MNZG (terutama 

karya Poensen) untuk menunjukkan bahwa orang-orang Muslim “yang paling 

maju” dan berpikiran yuridis selalu merupakan minoritas yang sadar diri 

dalam warga  mereka di hadapan “para darwis dan parasit-parasit agama 

lainnya”. Namun, dengan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah-sekolah 

keagamaan, orang-orang Jawa dan Melayu ditunjuki “jalan yang benar”. 

Usaha keras mencari jalan ini bisa dilihat dalam terjemahan antarbaris 

mereka, yang menjadi saksi tekad mereka meraih “pengetahuan sejati”. Ada 

juga pengajaran yang keliru. Seperti yang di Jawa dikenal dalam bentuk ngelmu 

pasik, yang dikenali oleh sebagian misionaris yang melihat orang-orang Jawa 

dalam pakaian asing nan usang, yang menjadi pijakan bagi Snouck sendiri. 

Seperti Snouck laporkan, bahkan “khayalan-khayalan menyimpang” seorang 

“mistikus Jawa yang kecanduan madat”, (dipublikasikan oleh Poensen) 

mengkhianati “sebuah warna muslim”.14

Terlepas dari mimpi-mimpi madat semacam itu dan tantangan yang 

dimunculkannya terhadap tatanan Belanda, Snouck mendesak agar mereka 

yang baru menerima Islam selama lima abad tidak dianggap inferior 

dibandingkan yang telah dua belas abad. Snouck mengutip artikel Poensen 

yang lain, dari 1864, tempat dinyatakan bahwa terlepas dari yang benar-

benar dilakukan orang-orang Jawa, mereka melakukannya sebagai “kaum 

Mohammedan yang baik”. Snouck bahkan menyatakan bahwa seandainya 

ada orang Jawa pergi ke Eropa, dia akan mendapati agama Kristen juga 

sama-sama merupakan jubah rombeng yang menghiasi kekafiran yang ada di 

baliknya.15

Tak satu pun dari semua ini hendak mengatakan bahwa Snouck memiliki 

pandangan yang sepenuhnya positif mengenai rakyat Muslim negerinya yang 

sangat jauh. Dalam pembelaan tesisnya, Snouck dengan tak sabar menyarankan 

agar ibadah haji dibatasi. Dia memungkasi makalah Amsterdam-nya dengan 

sebuah peringatan bahwa kekuatan potensial para haji sama seperti “mesiu” 

di Hindia Belanda dan bahwa penyelidikan mengenai tepatnya yang mereka 

bawa pulang dari kunjungan ke Samudra Hindia merupakan hal yang 

mendesak untuk dilakukan. Mereka pastinya membawa pulang lebih dari 

yang dikelakarkan van den Berg sebagai sekadar “dompet kosong, segenggam 

tanah suci, dan kenangan akan banyak ketidaknyamanan”.16 Bahkan, van 

den Berg menertawakan saran agar seseorang diutus ke Mekah. Namun, jelas 

bahwa Snouck sudah lama memikirkan keterlibatannya pada masa depan 

dengan Hindia melalui Kota Suci tempat banyak penduduknya berkumpul. 

Dia sangat menyadari pentingnya pengetahuan bahasa Melayu untuk usaha 

ini, sebagaimana ditegaskan van der Tuuk pada dekade sebelumnya bahwa 

seorang penerjemah Injil benar-benar harus “berdiri di atas pundak seorang 

ahli bahasa”.17

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  151

Awalnya, para misionaris menyambut Snouck sebagai orang yang 

berpikiran sama. Dalam sebuah ulasan yang hangat atas kuliahnya di 

Amsterdam, yang sumber-sumber misionarisnya disebutkan dengan hormat, 

J.C. Neurdenburg (1815–95) mengaku tersanjung isebab  sudah mengantisipasi 

pemikiran Snouck mengenai pengakuan terhadap kemusliman para penganut 

Islam di Hindia. Meski demikian, Neurdenburg masih meragukan bahwa 

Islam di sebagian besar wilayah Hindia memiliki akar sedalam yang diyakini 

Snouck. Dia juga menyatakan bahwa kekhawatiran hilangnya kedudukan 

sosial yaitu  hal yang kemungkinan besar menjadi penghalang pengkristenan 

orang kebanyakan.18

Snouck melangkah lebih dari sekadar menyerukan keterlibatan serius 

dengan Islam Hindia. Sebelum petualangannya ke luar negeri, Snouck 

mempelajari bahasa Melayu dan terlibat dengan sumber-sumber utamanya. 

Hal ini bisa dilihat dari sebuah artikel mengenai beberapa teks Islam yang 

digunakan di Dataran Tinggi Padang, yang Snouck kirimkan kepada BKI 

untuk volume yang menandai Kongres Orientalis. Teks-teks tertentu yang 

didiskusikannya diperoleh dari seorang administrator kolonial yang kembali 

ke Belanda isebab  sedang cuti. Orang itu yaitu  K.F.H. van Langen (1848–

1915). Pada 1889 Snouck membantu penerbitan kamus bahasa Aceh van 

Langen yang saat itu menjabat residen di Bengkulu.19 Namun, sementara teks-

teks demikian sudah lama dikumpulkan sebagai cendera mata, isinya jarang 

dipelajari secara cukup saksama untuk menentukan seberapa representatif ia 

untuk daerahnya atau bagaimana terjemahan antarbarisnya berkaitan dengan 

sumber bahasa Arab-nya.20

Yang hampir merupakan sebuah pengecualian barangkali yaitu  analisis 

Niemann terhadap manuskrip-manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa, meski 

Snouck mengabaikan karyanya dari 1861. Niemann pasti mengabaikan 

penggunaan Keijzer terhadap panduan ibadah haji yang disalin di Batavia. 

Dia menghargai karya Grashuis mengenai pesantren-pesantren Jawa Barat 

(barangkali isebab  Grashuis sudah mengajarinya sedikit bahasa Melayu dan 

meminjaminya beberapa manuskrip). Namun, dia mengesampingkan usaha-

usaha Verkerk Pistorius mengenai sekolah-sekolah di Sumatra. 

Sebaliknya, Snouck memberikan paparan terperinci mengenai 

kandungan buku-buku ini , mulai dari karya-karya yang ditujukan 

untuk kajian bahasa Arab. Snouck juga berpandangan (seperti Grashuis) 

bahwa metode pengajaran semacam itu memang mempunyai kelemahan-

kelemahannya sendiri isebab  bergantung pada kemampuan sang syekh 

menjelaskan muatan, namun  sangat berguna dan pada akhirnya membekali 

sang murid dengan pengetahuan yang cukup, bahkan untuk membaca buku 

standar seperti Minhaj, yang terjemahannya baru saja “dimulai” van den 

Berg.21

152  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

Barangkali dengan mempertimbangkan pengamatan yang dilakukan 

sebelumnya mengenai berbagai edisi Kairo dan pengabaian van den Berg 

terhadap edisi-edisi ini , Snouck mencatat bahwa salinan tulisan tangan 

digunakan berdampingan dengan hasil cetakan semacam itu. Meskipun 

penyusunan dan nilai karya ini  dihargai, umumnya hanya bab-bab 

praktis mengenai bersuci, shalat, zakat, haji, dan puasa yang dibaca. Seorang 

imam mungkin mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dalam aturan-aturan 

terkait perkawinan, sedangkan sisanya dipandang semata-mata sebagai 

konsepsi teoretis mengenai bagaimana imam Tuhan memerintah sebelum 

bangkitnya “Olanda Sétan”.22

Ini yaitu  ungkapan khas yang digunakan oleh Poensen dalam Brieven-

nya, yang dibuka dengan pujian terhadap artikel Snouck. Namun, seperti 

   kita, Snouck khawatir ada Sétan lain memperdaya orang-orang 

Melayu dan Jawa. Dalam analisis terhadap pengajaran mistis, Snouck 

melaporkan kepatuhan berlebihan para pelaku dzikr yang meyakini bahwa 

“mata mereka terbuka dan mata Anda tertutup”. Namun, di sini pun dia 

mengelompokkan makna dzikr menurut kelas. “Biasanya,” tulis Snouck, “bagi 

kalangan yang paling terdidik,” dzikr yaitu  hal “insidental,” bukan pokok 

dalam peribadatan mereka. Sebaliknya, bagi “banyak massa persaudaraan, 

teriakan dan jeritan, tarian dan gerakan berputar” hanyalah “latihan fisik 

yang dilakukan untuk memuja Tuhan,” dan mereka yang menempatkan 

diri di atas hukum dilabeli “para pendosa” (di titik ini Snouck merujuk pada 

artikel Harthoorn dari 1860).23 Namun, masih juga bisa ditemukan para 

Sufi “ortodoks”—mereka yang mengakui bahwa kajian Syari‘ah merupakan 

prasyarat untuk pelajaran yang lebih tinggi. 

Snouck menjelaskan betapa murid mana pun yang terlibat dalam 

pencarian gnosis—ajaran rahasia kebenaran rohani—disebut pejalan, salik, 

sedangkan jalannya disebut suluk. Dengan melakukan hal ini, Snouck 

melakukan sebuah intervensi untuk konteks Hindia. Selain menyebut 

penjelasan-penjelasan sebelumnya yang diberikan Verkerk Pistorius sebagai 

tidak memadai, Snouck menyatakan bahwa tesis J.G.H. Gunning dari 1881 

mengenai persoalan ini, yang mengikuti kekeliruan Keijzer menerjemahkan 

suluk sebagai “pakaian”, yaitu  “tidak layak mendapatkan kritik apa pun”.24

Sisa diskusi Snouck ditujukan untuk sebuah teks yang dikoleksi oleh van 

Langen di Dataran Tinggi Padang yang menekankan ortodoksi Suni sembari 

menyelami Futuhat karya Ibn al-‘Arabi dan Tuhfa karya al-Burhanpuri. Teks 

ini ditutup dengan tulisan-tulisan “Sufi Aceh” Hamzah al-Fansuri, tempat 

“ungkapan-ungkapan yang paling berani dan bercorak panteistis dikutip 

dan diperlakukan sebagai kebenaran tertinggi”.25 Pada akhirnya, Snouck 

menyatakan bahwa konsumsi pelajaran tinggi semacam ini tidak mesti 

dijumpai di kalangan para pencinta dzikr dan apa yang diuraikan merupakan 

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  153

versi pendidikan muslim yang diidealisasi, sebuah pendidikan yang pada masa 

depan harus sesuai dengan panduan Belanda.

MEKAH

Siapa pun yang mengunjungi sebuah negeri asing untuk tujuan studi menanggalkan 

sebagian dari kepribadiannya untuk menyesuaikan diri dengan praktik negeri 

ini . Seberapa jauh seseorang melangkah yaitu  persoalan yang harus 

dipecahkan hati nuraninya.26 (Snouck kepada van der Chijs, Desember 1885)

Van den Berg pernah mengolok-olok gagasan Holle mengirim seorang 

cendekiawan ke Arabia, namun  justru untuk misi semacam itulah Snouck 

memperoleh tunjangan dari pemerintah Belanda pada 1884, menyusul 

bencana pembantaian 1882–83 yang didesas-desuskan. Pada 1884 dia juga 

menerbitkan artikel yang mendiskusikan meluasnya persebaran pengakuan 

yang konon ditulis di Mekah sesudah  komunikasi dalam mimpi dengan Nabi.27

Tulisan-tulisan Snouck tak diragukan lagi memainkan peranan besar 

guna meyakinkan pemerintah bahwa dialah orang yang ideal untuk tugas ini, 

yang diatur sesudah  pertemuan dengan Konsul Jeddah yang saat itu sedang cuti 

di Belanda. Snouck sangat bersemangat untuk mendalami Islam sebagai agama 

yang dihidupi. Dia mungkin berharap dapat meniru kajian Lane mengenai 

Mesir dan memenuhi keinginan gurunya, de Goeje, yang menyatakan bahwa 

perjalanan ke Mekah tidak mesti berbahaya jika pintu kota suci itu dibukakan 

oleh orang-orang Arab terkemuka dari keluarga baik-baik.28 Persis melalui 

koneksi pribadi semacam itulah Snouck mampu mendapatkan akses ke Kota 

Suci sesudah  beberapa pekan di Jeddah. Orang-orang Arab yang dimaksud 

tidak mesti berasal dari Mekah, atau bahkan berasal dari yang menurut Snouck 

sebagai keluarga “baik”. Salah satu kontak awal yang tidak menguntungkan 

yaitu  seorang Aljazair yang punya hubungan kelam dengan Konsulat 

Prancis. Tawaran bantuan dan tempat tinggal di Mekah dari orang Aljazair 

itu ditolak Snouck demi memperdalam persahabatan yang berkelanjutan 

dengan orang Banten yang sangat “mudah dikendalikan”, Raden Aboe Bakar 

Djajadiningrat.29

Aboe Bakar hanyalah salah seorang dari beberapa mediator penting 

yang membantu Snouck selama bermukim di Arabia. Dia bahkan berperan 

meresmikan keislaman Snouck. Korespondensi yang baru-baru ini diterbitkan 

menunjukkan peran penting dua sayyid dari Borneo, Salim dan Ja’far al-

Qadri. Keduanya dikenalkan kepada Snouck oleh Habib ‘Abd al-Rahman 

al-Zahir (1833–96), seorang petualang Hadrami yang diasingkan ke Mekah 

oleh Belanda sebagai imbalan penyerahan dirinya di Aceh. Meski demikian, 

sang Habib masih berharap memainkan peran dalam menghasilkan resolusi 

154  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN

konflik yang barangkali melibatkan gelar dan kompensasi yang besar bagi 

dirinya. Salim dan Ja’far, sebaliknya, berasal dari keluarga yang menguasai 

Pontianak dalam kemitraan saling menghargai dengan Belanda sejak 1770.

Sebelum ke Mekah, Snouck menyibukkan diri di Jeddah dengan 

mewawancarai dan memfoto jemaah haji sembari aktif berkonsultasi dengan 

Aboe Bakar. Juga terlihat bahwa koneksi sosial dan kecendekiawanan 

yang lebih baik diperoleh melalui jejaring Aboe Bakar. Setidaknya seorang 

cendekiawan terkemuka, ‘Abdallah al-Zawawi, termasuk di antara para 

pembimbing Snouck. Selain itu, ‘Abdallah dan ayahnya, Muhammad Salih 

al-Zawawi yang termasyhur, berhubungan dekat dengan keluarga al-Qadri 

(Ja’far bahkan tinggal di rumah yang sama dengan ‘Abdallah) dan melayani 

sebuah komunitas Jawi yang oleh Ja’far dianggap “tidak memiliki ulama yang 

sebenarnya”.30

‘Abdallah dilahirkan di Mekah pada 1850. Dia tumbuh dewasa dan 

dididik di rumah. Walaupun begitu, keunggulan ilmunya diakui saat  

pada 1870-an dia dianugerahi posisi sebagai pengajar di Masjid al-Haram.31 

‘Abdallah memiliki hubungan dengan Dinasti Pontianak, yang begitu jelas 

mendukung pemerintahan Belanda dan mendapatkan perlakuan serupa. 

Dia juga berhubungan dengan Kesultanan Riau, yang sedang berusaha 

mencegah aneksasi Belanda. Muhammad Salih bahkan mengunjungi Riau 

sekitar 1883 dan di sana menulis sebuah karya pendek mengenai pelajaran 

Sufi untuk Mujaddidiyyah.32 saat  di Riau, Muhammad Salih mengalihkan 

orientasi istana dari ajaran-ajaran Khalidi yang telah diperkenalkan Isma‘il al-

Minankabawi pada 1850-an.

Di Mekah pada 1885 ‘Abdallah sibuk melatih murid-muridnya mencapai 

tingkatan