Memang, kemalasan, sinkretisme, dan sifat baik orang-orang pribumi kita—
yang sangat menyusahkan fanatisme Bongso-poetihan—pastinya membantu
mengukuhkan kesan ini. Namun, hal ini yaitu , dan tetaplah, sebuah kesalahan
besar! .... Sebagaimana yang terjadi sehari-hari, persis pada saat seorang Islam
berkata kepada seorang Kristen, “Oh, semuanya sama! Allah telah memberi
semua orang agama mereka masing-masing (lebih tepatnya sarèngat); semua
punya Panoetan masing-masing; sesungguhnya siapa pun yang mengikuti
parentah-parentah Allah akan selamat!” Padahal, dalam hatinya dia tambahkan,
Namun, Islām yaitu satu-satunya agama yang benar, dan Panoetan-ku
Mohammed yaitu nabi terakhir
sesudah menyampaikan pembelaan terhadap Jawa versinya, Poensen
segera membandingkan kerja para rekan Kristen-nya dengan pihak-pihak lain
yang aktif di lapangan. Dia mengaitkan fenomena yang kali pertama teramati
pada 1850-an dengan Naqsyabandiyyah (walaupun hanya untuk tujuan
retoris).
Jika seorang goeroe atau kjaï Arab atau berbicara bahasa Arab memberi tahu
beberapa dzikir tertentu, atau beberapa praktik keagamaan yang tidak lazim,
dia [orang Jawa] menerimanya dengan penuh ketertarikan, dan bahkan
akan menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka; seperti perkumpulan
tarekat Napsjibendiyah Darwîsj [sic]. Desaman [orang desa], tidak terlalu tahu
mengenai detail-detail perbedaan berbagai sekte, menyebut semua ini hanya
sebagai “Doel” atau “Pasèq”, namun dia memperlakukannya secara sangat
berbeda dengan “ngelmoe baru” orang-orang Kristen, yang tidak memiliki tata
krama Arab.
Surat-surat Poensen, yang merupakan versi berimbang dari artikel-
artikel terdahulunya yang fanatik di MNZG, mencakup berbagai macam
pokok persoalan, mulai persoalan-persoalan kalender dan perkawinan hingga
ibadah haji dan puasa. Surat-surat itu segera menarik perhatian Veth yang
tak kenal lelah, yang menerbitkannya sebagai sebuah monograf pada 1886.
Itulah Veth, yang akhirnya direkrut ke Universitas Leiden pada 1877, yang
sekarang mendominasi bidang Indologi. Suaranya terdengar nyaring dalam
bidang geografi, botani, sejarah, dan etnografi Sumatra dan Jawa. Banyak dari
pengetahuan ini dikumpulkan dari laporan para pejabat dan misionaris
yang telah pensiun atau dari orang-orang yang bagi mereka publikasi
merupakan tindakan yang tidak bijak.75 Veth jugalah yang mengenali rawa-
rawa tempat Belanda terperosok di Aceh akibat kegagalan mengumpulkan
informasi intelijen yang akurat sebelum 1873. Banyak informasi tentang
tanah Sumatra sebenarnya bukan disumbangkan oleh Veth yang bekerja dari
belakang meja, melainkan oleh putranya yang pengusaha, Daniël (1850–85).
Meski demikian, Veth yang lebih tua tetap lebih terkenal isebab tulisan-
tulisannya mengenai Jawa, yang menjadi topik presentasi di Pameran Kolonial
pada 1883.
Cendekiawan lain yang punya ketertarikan yang besar terhadap Hindia
dan hukum di sana yaitu seorang mantan tokoh Delftian, A.W.T. Juynboll
(1834–87). Dia dipekerjakan di Leiden bersama Veth dan Pijnappel. Pada 1881
dia menerbitkan dua ulasan pendek mengenai buku pengantar al-Samarqandi
dengan niat membantu para pejabat kolonial untuk lebih memahami apa yang
sudah dipaparkan oleh koleganya, Grashuis, dalam buku-buku teks berbahasa
Sunda.77 Usaha-usaha Juynboll kalah pamor pada 1887 saat mantan
murid Roorda dan Veth, van den Berg, menerbitkan hasil survei mengenai
buku-buku berbahasa Arab yang digunakan di pesantren-pesantren Jawa.
Ini menandai kemajuan besar untuk bidang riset Hindia isebab datang dari
salah seorang tokohnya yang terkemuka, van den Berg, cendekiawan utama
di Batavia bidang bahasa Arab yang sering dianggap pula bidang Islam. Tak
lama kemudian, berbagai peristiwa membuat van den Berg mengarahkan
perhatian ke luar pagar skriptorium dengan mempertimbangkan posisi orang-
orang Arab dalam warga setempat. Namun, ini yaitu sebuah pergeseran
yang tidak bisa terjadi sebelum seluruh administrasi kolonial mengalami
semacam guncangan. Bahkan, guncangan ini sudah diramalkan oleh Verkerk
Pistorius.
Yang Mulia, Nabi kita Muhammad, memberikan perintah ini kepada penguasa
Mekah, yang kemudian mengabarkannya kepada kaum Mohammedan
di seluruh kota besar dan kecil ... [agar] para penguasa dan panghoeloe
mengumpulkan para fakir, membacakan untuk mereka perintah surat ini; agar
mereka mengumpulkan kerabat mereka, dll., yang tinggal di kota-kota besar
dan kecil, desa-desa, dan dusun-dusun—besar dan kecil, muda dan tua, laki-
laki dan perempuan—mengajari mereka hadis ini. Pastikan hadis ini ditaati!79
(Risalah anonim yang beredar di Sumatra dan Jawa sekitar 1865)
Demikian bunyi bagian sebuah surat, yang konon dikirim dari Mekah pada
1865, yang beredar dari pusat-pusat pesisir Padang, Batavia, dan Semarang.
Surat ini menyerukan pembaruan komitmen terhadap praktik Islam
dan berulang-ulang menyarankan pembacaan sebuah risalah “hadis” tertentu:
walaupun sebenarnya risalah itu yaitu Tanbih al-ghafilin (Pengingat bagi
Orang-Orang yang Lupa) karya al-Samarqandi, dan bukan salah satu kitab-
kitab hadis Nabi yang sahih. Surat semacam itu sudah muncul sebelumnya,
dan banyak lagi yang muncul hingga 1880-an. Mereka memunculkan
serangan-serangan kecemasan kolonial yang bisa dimengerti. Namun, sang
penerjemah, dalam hal ini Poensen, yang menulis pada awal 1888 mengenai
sesuatu yang beredar di kalangan putihan 23 tahun silam, bisa jadi merasa
bahwa dirinya agak berjarak dari kekhawatiran semacam itu saat dia
bertanya-tanya mengapa risalah-risalah “yang murni bermuatan keagamaan”
selalu terlihat memiliki “sebuah makna politis”.
Akan namun , dahulu pada awal 1880-an, para pejabat sangat khawatir
mengingat kenyataan bahwa abad keempat belas kalender Islam akan dimulai
pada 1 November 1882 dan bahwa permulaan sebuah abad baru kerap
dikaitkan oleh banyak muslim dengan munculnya seorang pembaharu agama.
Di Jawa Barat khususnya, sebagian pejabat khawatir terhadap rumor bahwa
sebuah rencana rahasia tengah dilaksanakan untuk menghapus mereka dari
peta kolonial. Keadaan segera memburuk isebab banyak orang Banten mulai
curiga bahwa letusan Krakatau pada 1883 dan serangan hama sesudah nya
yaitu sebentuk hukuman Ilahiah atas kelalaian mereka untuk taat beragama.
Oleh isebab itu, saat sebuah perlawanan benar-benar meletus di kota kecil
Cilegon pada 9 Juli 1888 (artinya, sesudah Poensen merampungkan artikelnya
mengenai surat “Mekah” dari 1865), para pejabat kolonial dengan perspektif
yang sangat tertutup menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa ini dan
melihat adanya hubungan logis antara semua itu dan dua dekade kedatangan
serta keberangkatan “para fakir” dari Mekah. Salah seorang pejabat itu yaitu
R.A. van Sandick (1855–1933), seorang insinyur kolonial senior yang turut
menyaksikan letusan Krakatau. Dia menulis buku geofisika In het rijk van
de vulkaan (Di Kerajaan Gunung Api) serta buku yang lebih berapi-api dan
polemis Leed en lief uit Bantam (Penderitaan dan Cinta dari Banten). Keduanya
mengaitkan berbagai peristiwa itu dengan Mekah.
Memang ada lebih banyak pergerakan orang-orang Muslim Jawa Barat
menuju dan dari Mekah sejak akhir 1870-an. Narasi van Sandick mengenai
bencana, yang ditulis pada akhir 1880-an, dengan mudah memadukan
kisah ini dengan berbagai rumor tentang pembantaian dan letusan dahsyat
sesudah nya. Para pembawa rencana rahasia Hindia juga terlihat cukup
jelas bagi sang Islamolog amatir dan penasihat kehormatan untuk negara
kolonial, Holle. Dia mendapat informasi dari Penghulu Garut, Raden Hajji
Muhammad Musa. Walaupun dikaitkan dengan para cendekiawan muslim
(dia sendiri masuk Islam untuk tujuan perkawinan), namun Holle ingin
menjauhkan orang-orang Sunda dari apa yang dianggapnya sebagai ketergila-
gilaan terhadap Islam. (Holle bahkan hendak menentang penggunaan tulisan
Islami, sebagaimana Grashuis saat dia belajar bersamanya pada 1860-an.)
sesudah sebuah perjalanan ke Singapura pada 1873 untuk mengumpulkan
informasi mengenai simpati kawasan itu terhadap orang-orang Aceh, Holle
menyimpulkan bahwa berbagai tanda menunjuk pada menguatnya arus
fanatisme dari Mekah. Oleh isebab itu, dia mendesak agar para pejabat
yang diangkat pemerintah dicopot jika mereka terbukti terlalu fanatik dalam
beragama; entah dengan menunjukkan minat untuk memimpin shalat
Jumat, melaksanakan ibadah haji, atau mengoreksi praktik-praktik lokal
(misalnya, beberapa pejabat pribumi lebih suka azan dibandingkan memukul
beduk untuk memanggil orang-orang beriman ke masjid). Holle bahkan
menyarankan penggunaan seragam untuk para haji.
Semua usulan Holle diabaikan. saat tersebar isu mengenai rencana
rahasia 1881, dia memanfaatkan kontaknya dengan para konsul di Jeddah
dan Singapura untuk menghidupkan kembali saran-sarannya terdahulu untuk
menekan Islamisme, termasuk pelembagaan seragam resmi untuk para haji,
pengawasan ketat orang-orang Arab dan materi-materi cetakan berbahasa
Arab. Dia bahkan mengutus seorang mata-mata ke Mekah. Usulan-usulannya
sekali lagi tidak digubris, terutama sesudah terlacak bahwa sebagian kepanikan
bersumber dari korespondensi antara Holle dan para konsul.
Yang juga penting untuk langkah mundur ini yaitu saran Penasihat
kolonial bidang Hukum Mohammedan, yang oleh para gurunya semula
hendak dicalonkan untuk mengisi jabatan guru besar di Leiden. Van den Berg
yang mengalami kesulitan keuangan mengejutkan para profesornya dengan
memilih ikut ujian pegawai negeri. Setiba di Batavia pada 1870, dia ditunjuk
menjadi kerani untuk beberapa waktu di Semarang. Lewat beberapa tahun
yang tak menyenangkan dengan Dewan Kehakiman di Batavia, dia pindah ke
Departemen Pendidikan dan menduduki jabatan Penasihat bidang Hukum
Mohammedan pada 1879. Pada 1880 dia berkeliling Aceh bersama T.H. der
Kinderen yang yaitu Sekretaris Raad van Indië. Tugas-tugas semacam itu
memungkinkan van den Berg mencurahkan lebih banyak perhatian pada
minat utamanya: orang-orang Arab di Hindia dan bahasa mereka. Meski
sudah menyelesaikan katalog manuskrip-manuskrip berbahasa Arab karya
Friederich pada 1873, dan sebagian dari katalog buku-buku berbahasa
Melayu, Jawa, dan berbahasa Arab milik warga Batavia pada 1877, van
den Berg tetaplah pakar Arab yang frustrasi.
Terlepas dari pendidikannya di Leiden, minat kecendekiawanan van den
Berg jelas bercita rasa Delft. Dia tetap fokus menerjemahkan karya-karya inti
yurisprudensi Suni untuk khalayak pejabat, termasuk Minhaj altalibin karya
Nawawi.83 isebab konsentrasi paruh-waktunya yaitu pada teks bukan pada
orang, van den Berg merasa terkejut pada awal 1880-an. Menjadi jelas dalam
berbagai laporan resmi berikutnya bahwa Naqsyabandiyyah sudah lama aktif
di Nusantara, berkebalikan dengan pernyataan-pernyataannya yang lalu. Dia
pun mulai menggarap artikelnya sendiri yang sudah diperbarui mengenai
persoalan ini.
Di permulaan artikel ini , van den Berg tidak bersedia
menggambarkan bagaimana persisnya dia menjadi sadar akan tarekat
Naqsyabandiyyah. Dia mengklaim bahwa penemuan manuskrip-manuskrip
belakangan ini, dan bahkan perjalanannya sendiri ke Aceh, telah meyakinkannya
bahwa pernyataannya yang terdahulu mengenai tidak adanya tarekat semacam
itu di Hindia agak tergesa-gesa. Namun, ini hanyalah pengakuan kesalahan
parsial. Menggunakan karya yang sudah klasik mengenai Mesir oleh Edward
William Lane (1801–76), yang berhubungan dengan seorang keturunan ‘Abd
al-Wahhab al-Sya’rani, van den Berg menyatakan bahwa apa yang tersisa dari
Naqsyabandiyyah di Aceh hanyalah potongan-potongan dzikr yang sekarang
ditampilkan semata-mata untuk hiburan publik—seperti dalam bentuk
Tarian Sadati, tempat barisan pemuda bergandengan lengan dan menyanyi
sementara pemuda lain menari di hadapan mereka.
Seperti Lane dan Dozy sebelumnya, van den Berg menganggap ungkapan
Sufisme populer hanya sebagai takhayul. Walaupun telah mendengar berbagai
laporan pers samar-samar mengenai kehadiran Naqsyabandi di Padang, dia
tampaknya hanya tahu sedikit detail-detailnya. Sementara itu, di Batavia
hanya terdapat Qadiriyyah, yang kelihatannya menyerupai Naqsyabandiyyah.
Van den Berg percaya bahwa semua tarekat semacam itu hanya diminati
oleh orang Arab tertentu (barangkali yang berkasta-rendah). Para (sayyid)
informan meyakinkan dirinya bahwa pengejaran keuntungan finansial yaitu
satu-satunya tujuan pertemuan-pertemuan mereka.
Sebaliknya di Buitenzorg, Naqsyabandiyyah berkembang sangat pesat.
Para pejabat setempat bahkan memimpin perkumpulan memalukan di masjid
pada suatu malam, dengan segala macam perbuatan dosa terjadi begitu lampu
dikecilkan. Wajar jika van den Berg tidak bisa lagi mengabaikan perkara
‘Abd al-Qadir dari Semarang pada 1881 (lihat Bab 3), yang digambarkannya
sebagai seorang guru agak polos yang bahkan menghilangkan ijazah yang
diberikan Sulayman Afandi dari Mekah. Dia juga mengamati bahwa ‘Abd
al-Qadir sempat sukses di kalangan kelas bawah sekitar Yogyakarta dan Kedu
sebelum diusir para pejabat keagamaan setempat. Para wakil ‘Abd al-Qadir
di Semarang, Kendal, dan Salatiga mengawasi perkumpulan-perkumpulan
campuran yang sama dan berpotensi menimbulkan bencana, antara para
lelaki dan perempuan dari semua usia.
Saat itulah, Holle yang pada 1882 mendorong Sayyid ‘Utsman
menerbitkan risalah-risalah peringatan menentang Naqsyabandiyyah, mendapat
dukungan dari mantan lawannya, van den Berg. Keadaan pastinya berbalik.
Wajah van den Berg tentu memerah saat ditunjuki berbagai laporan mengenai
Naqsyabandiyyah di Jawa. Sebenarnya banyak dari yang dia katakan sebelumnya
telah melewati sejenis saringan resmi. Seperti kisah-kisah lama mengenai agama
dul atau santri birai, berbagai laporan yang dia ulang-ulang tentu saja bias,
bahkan hingga titik menuduh kelompok-kelompok pesaing memperturutkan
hawa nafsu dengan melakukan kegiatan-seksual yang haram. Namun,
kemungkinan bias tidak dipahami oleh van den Berg. Dia memastikan kepada
para pembacanya bahwa informannya bisa dipercaya sebagai “seorang tuan yang
terhormat” dari Tangerang. Informan ini melaporkan bahwa dalam sebuah
pertemuan Naqsyabandi di Serpong, sang guru duduk sejajar dengan sahabat-
sahabatnya. Masing-masing memegang kemaluan yang duduk di sebelahnya.
“Jika laporan ini benar,” van den Berg menyimpulkan, “kita benar-benar melihat
betapa agama lingga Polinesia mewujud dalam bentuk Islam masa kini.”85
Dengan segala pengalamannya, van den Berg terperangkap oleh kawan-
kawan bicaranya dari kelompok elite. Juga jelas bahwa dia percaya tidaklah
mungkin berbaur sepenuhnya dengan para subjek penyelidikannya. saat
dia benar-benar berusaha melangkah lebih dalam dengan mengadakan tur
kajian Jawa pada 1885 (Holle sedang menulis artikelnya sendiri mengenai
Naqsyabandiyyah untuk TBG86), penilaiannya atas kualitas pendidikan yang
disediakan tetap dibentuk oleh pandangan Arab-sentris yang elitis. Hasil
utama kerja keras van den Berg sebenarnya yaitu sebuah monograf berbahasa
Prancis mengenai komunitas-komunitas Arab Hindia Belanda.87 Dia mencatat
bahwa meluasnya kemunculan buku cetak berbahasa Arab yang masuk dari
pelabuhan-pelabuhan Jawa tak lebih dari sekadar kenang-kenangan. Tapi,
dia akui bahwa buku-buku cetak itu bisa jadi akan menggantikan manuskrip
yang disalinnya.
Juga jelas bahwa van den Berg memiliki pandangan yang merendahkan
dan pseudo-‘Alawi terhadap tarekat secara umum. Dia menganggap tarekat
sebagai pengaburan terhadap Islam yang autentik atau bahkan jembatan
menuju kekafiran. Dalam hal ini, van den Berg mengklaim bahwa aktivitas
begitu banyak orang “Persia, Turki, dan Bengali” dalam berbagai tarekat
yang bermarkas di Mekah menyingkirkan para bangsawan Arab yang layak
sebagai pemimpin pendidikan Islam di Jawa. Menjelang akhir laporannya
mengenai pendidikan pada 1887, van den Berg menyampaikan lebih kurang
hal yang sama. Dia menyatakan bahwa bicara tentang Sulayman Afandi dan
para sahabatnya, orang-orang Arab Nusantara merasa “tidak seunsur dengan
mereka”.
Juga tampak bagi Nusantara bahwa orang-orang Arab Nusantara
kehilangan kekuasaan yang sah atas beberapa pesantren isebab banyak orang
Jawa menduduki peran pemimpin dalam pengajaran hukum Islam. Hal
ini terjadi isebab sebagian orang Arab terkucilkan akibat banyak aktivitas
pengajaran berlangsung dalam bahasa Jawa, bukannya Melayu. Bahkan, van
den Berg, yang mencatat bahwa Sulayman Afandi cukup cerdik memerintahkan
karya-karyanya dicetak dalam bahasa Jawa di Kairo, meremehkan banyak
guru pesantren isebab tidak menguasai bahasa Melayu.90
Apa pun kelemahannya, van den Berg mengisyaratkan gelombang
perubahan tengah menerpa pesantren-pesantren Jawa. Namun, pada waktu
dia menulis artikelnya, matanya lebih tertuju ke Belanda ketimbang Hindia.
Dia berangkat menuju Delft pada 1887 dan tiba sekitar sepuluh bulan sebelum
kaum “Qadiri” Cilegon menyapu bersih semua yang telah dia kerjakan.
Sebenarnya dengan adanya peristiwa Cilegon, pesantren dan tarekat sama-
sama menjadi pusat perhatian, baik sebagai sumber hasutan antipemerintah
maupun sarana pelaksanaannya oleh para priayi yang tidak puas—dulu dan
sekarang.
Residen Surakarta mengakhiri laporannya pada Oktober 1888,
pernyataan bahwa Jawa dibanjiri oleh banyak pejabat yang dipecat dan tak
puas beserta kerabat-kerabat mereka, serta semakin banyak “fanatik dari
Mekah yang tegang”. Dalam pandangan sang Residen, para guru setempat
berperan sebagai perantara para pejabat semacam itu dengan kaum fanatik
yang dipengaruhi Mekah. Pesantren mereka bisa menjadi bahaya bagi
keamanan negara “pada saat tertentu”, terutama saat berbagai kondisi lokal
memungkinkan orang-orang Jawa kebanyakan tertarik ke dalam kekacauan
dengan praktik yang disebut “dikir”. Oleh isebab itu, yang dibutuhkan untuk
melestarikan kekuasaan Belanda yaitu pengawasan dan pengendalian seketat
mungkin terhadap kelompok-kelompok semacam itu.91
Pernyataan yang sama juga tercantum dalam sebuah pamflet di Banten
yang ditandatangani oleh mantan pejabat K.F. van Swieten. sesudah membaca
berbagai aktivitas Sanusiyyah di Afrika Utara dan melihat perlawanan di Aceh,
dia mendesak Belanda untuk mencari tahu mengapa Islam semakin tidak
mirip dengan “longgarnya jubah yang dikenakan” di atas “berbagai praktik
dan takhayul populer”. Menurut van Swieten, para koleganya membutuhkan
pelajaran baru baik mengenai sejarah Islam maupun detail-detail praktik
tarekat: ritual-ritual mereka, terutama prinsip ketaatan mutlak kepada sang
syekh. Semua ini disuplainya dengan senang hati, dengan memanfaatkan
karya A. Le Chatelier dan L. Rinn (1838–1905) mengenai kaum Marabout
Afrika Utara.
Terdapat beberapa pejabat lain dengan perspektif yang lebih sesuai. Salah
seorangnya yaitu J.J. Verwijk, yang mengadakan penyelidikan mengenai
“sekte-sekte” Islam di Karesidenan Banyumas dan menyampaikan laporannya
pada Januari 1889. berdasar pengamatannya terhadap empat kelompok—
Akmaliyyah, Khalwatiyyah, Syattariyyah, dan Naqsyabandiyyah—Verwijk
mengajukan argumen menentang pandangan yang terlalu umum bahwa
orang-orang Jawa sebenarnya yaitu orang yang meyakini sebentuk agama
sinkretis tertentu, dengan menunjukkan jika standar yang sama diterapkan
pada orang-orang Kristen Eropa Selatan, mereka pun akan tergolong sebagai
kaum sinkretis.93
Verwijk menegaskan bahwa hanya ada sedikit hal untuk ditakuti
dari banyak gerakan setempat dan sedikit pula yang bisa diperoleh dengan
melarang ibadah haji atau menempatkan sekolah-sekolah Islam di bawah
administrasi langsung negara. Memang cukup bijaksana mengharuskan para
guru meminta izin untuk mendirikan sekolah baru, tapi campur tangan para
pejabat setempat secara berlebihan perlu dihindari, apa pun yang terjadi.
Seperti yang akan kita lihat dalam bab berikutnya, argumen Verwijk juga
diajukan oleh Snouck, sebagaimana Poensen mengutip publikasi paling awal
Snouck sebagai perangsang surat-suratnya kepada Soerabaiasch Handelsblad.
Namun, sementara Poensen direkrut ke sekolah kota praja di Delft pada
1891 dan Verwijk menjadi Gubernur Bandung (1910–12), Snouck-lah yang
menutup jalan semuanya—para pejabat dan Islamolog, kawan dan lawan.
Bab ini berfokus pada aktivitas para misionaris di lapangan dan dukungan
yang mereka terima dari para cendekiawan-polemikus terkemuka, seperti
P.J. Veth. Pada banyak peristiwa, mereka melihat sebuah kesempatan untuk
mengkristenkan pribumi mengingat lemahnya pemahaman dan praktik Islam
di kalangan pribumi sekaligus menegaskan bahwa orang-orang Jawa tidak bisa
disebut muslim isebab “Islam” mereka jauh dari memadai, berbeda dari Islam
yang para misionaris pahami dari teks-teks yang diedit para guru di Delft.
Namun, yang lebih penting, dalam tulisan-tulisan mereka kita bisa melihat
bukti tak langsung dan tentunya tak dikehendaki mengenai keterlibatan
MENCARI GEREJA PENYEIMBANG — 141
aktif melalui cara-cara dan pemikiran yang baru, seperti percetakan dan
berbagai praktik Sufi yang diimpor dari Timur Tengah—praktik-praktik yang
membuat sebagian orang Jawa menjuluki tetangga mereka abangan sialan
sementara mereka sendiri dikenal sebagai putihan yang tanpa noda. Para
misionaris dan beberapa pejabat setempat cenderung mengecilkan ketulusan
pihak yang disebut terakhir ini, terutama orang-orang Arab dan para haji
yang tak bisa dibedakan. Namun, para misionaris dan pejabat menjadi serius
saat dihadapkan pada ancaman potensial tarekat yang tiba-tiba muncul
ke panggung lewat pembantaian Cilegon. Sesuatu yang menjadi jelas pada
1888 yaitu bahwa pengetahuan Belanda mengenai Islam sudah ketinggalan
zaman dan terlalu berorientasi pada teks dibandingkan konteks. Islam harus
dipahami, Mekah harus diketahui. Maka, beruntunglah bahwa firma E.J.
Brill baru saja menawarkan karya yang paling dibutuhkan oleh para pejabat
kolonial.
Teori evolusi pastinya memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap praktik
kajian agama kita dibandingkan terhadap kerja-kerja kecendekiawanan
para ahli hukum kita.1 (C. Snouck Hurgronje, “Mohammedaansch recht en
rechtswetenschap,” 1885)
Tiga bab di muka yang memberikan tinjauan umum mengenai perjumpaan awal para penyusup Belanda di Nusantara dan lawan muslim mereka, menunjukkan betapa kecendekiawanan metropolitan
dan pengamatan di lapangan tidaklah selaras. Tidak pula cukup informasi
yang bisa diandalkan mengenai berbagai perbedaan antara apa yang disebut
“gereja Mohammedan” dan agama “reformasi” mereka sendiri.
Secara lebih spesifik kita melihat bahwa, pada abad kesembilan belas
dan sesudah dua perang sengit di Sumatra dan Jawa, para cendekiawan yang
dipekerjakan untuk melatih para administrator masa depan berbeda pendapat
dengan para kerabat misionaris mereka mengenai bagaimana kiranya orang-
orang Jawa dan Melayu tidaklah benar-benar muslim. Di satu sisi, seorang
ahli hukum seperti Keijzer melihatnya sebagai persoalan derajat (bahwa
orang-orang Jawa dan Melayu menyimpang hingga tingkat tertentu dari
pemahaman yuridis yang tepat terhadap Islam normatif ). Di sisi lain, sebagian
misionaris yang berbasis di Hindia menyatakan bahwa orang-orang Jawa pada
khususnya gagal lolos ujian paling mendasar dalam keimanan Islam. Seiring
berlalunya waktu, persepsi pun berubah. Perubahan itu sebagian besar akibat
karya seorang cendekiawan yang permulaan kariernya di Eropa, Arabia, dan
Hindia menjadi pokok bahasan tiga bab berikut sekaligus inti buku ini.
Di antara kertas-kertas warisan Snouck Hurgronje di Universitas Leiden, terdapat sebundel arsip yang dinomori Or. 7935. Seperti bundelan
lain, isinya beraneka macam, mulai dari sebuah doa untuk Ratu Wilhelmina
(berkuasa 1890–1948) yang ditulis untuk Bupati Pasuruan dan Malang
oleh Isma‘il b. ‘Abdallah al-‘Attas hingga sebuah hikayat berbahasa Melayu
mengenai Mesir dan Suriah yang ditulis sekitar 1844. Arsip itu juga memuat
dua dokumen yang melambangkan tugas dan pengaruh historis Snouck.
Salah satunya yaitu risalah berbahasa Arab. Risalah ini dikumpulkan
di Aceh dan kemungkinan besar yaitu milik musuh Belanda yang diambil
pada saat perang perlawanan yang panjang. Risalah terdiri atas panduan dasar
tarekat “Qadiriyyah”, lengkap dengan nasihat terakhir (wasiyya) ‘Abd al-Qadir
al-Jilani dan diberi kekuatan azimat. Di dalamnya juga termuat silsilah yang
menempatkan hubungan guru-murid dalam garis keturunan Asia Tenggara.
Dalam silsilah itu, Ibrahim al-Kurani (yang juga ada dalam silsilah Syattari
milik Da’ud al-Fatani [lihat Bab 3]) disebut sebagai guru masa lalu sekaligus
leluhur keluarga Tahir. Silsilah diawali dengan:
[Pemilik dokumen ini] menerima jubah lusuh Qadiriyyah dari yang tak berpunya
milik Tuhan Yang Mahakuasa, Muhammad As‘ad Tahir. Dia menerimanya
dari tangan ayah dan gurunya, mendiang Syekh Muhammad Sa‘id Tahir, yang
menerimanya dari tangan syekhnya, Syekh Mansur al-Bediri yang termasyhur,
yang menerimanya dari tangan syekhnya, Syekh Muhammad As‘ad Tahir, yang
menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, mendiang Syekh Muhammad Sa‘id
Tahir, yang menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, Syekh Ibrahim Tahir, yang
menerimanya dari tangan ayah dan syekhnya, Syekh Muhammad Tahir. Dan, dia
menerimanya dari tangan ayah dan leluhurnya [secara harfiah, “kakeknya”], Kutub
Ilahiah, Yang Mengenal Allah, Mulla Ibrahim al-Kurani. Dan, dia menerimanya
dari tangan syekhnya, Kutub Ilahiah dan Perlindungan yang Terpuji, Syekh Safi al-
Din, juga dikenal sebagai Sayyid Ahmad al-Madani al-Qusyasyi .... 1
T U J U H
RENUNGAN-RENUNGAN DARI
JAUH MENGENAI SEBUAH
KOLONI PENTING
1 8 8 2 – 1 8 8 8
146 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Silsilah terus berlanjut, lewat tangan sang ahli hukum al-Ansari dan
al-‘Asqalani, dan kemudian berlanjut kepada sang wali ‘Abd al-Qadir al-
Jilani dan ‘Ali yang diberkahi hingga berujung kepada Nabi, “penghulu para
utusan”, Jibril dan Allah.
Dokumen lain yang menarik dalam Or. 7935 agak lebih tipis. Dokumen
ini terdiri atas tiga halaman dan ditulis di Kairo pada 28 Juli 1925, dipenuhi
dengan campuran doa yang sangat berbeda. Di sini Ustaz Mansur Fahmi
dari Universitas Kairo, seorang cendekiawan yang dikenal dengan tesis
kontroversialnya mengenai hak-hak perempuan (dipertahankan di Sorbonne
pada 1913), mengenang pengalamannya bersama Snouck di Eropa. Dia
berterima kasih kepada Snouck atas minat dan saran yang berkelanjutan, dan
menyampaikan harapannya untuk masa depan:
Dengan anugerah Tuhan, saya sekarang mendapat jabatan terpelajar di kalangan
bangsa saya, membuat saya berharap bisa memperoleh keinginan dari posisi
dan mewujudkan ... kebaikan serta reformasi umum .... Saya terinspirasi oleh
keadaan masa kini, dengan tetap penuh tekad serta penuh harap sebagaimana
yang Anda dapati pada masa muda saya. Saya berharap bisa mengatakan sudah
melakukan bagian saya di jalan menuju pembaruan dan reformasi. Selain itu,
saya tidak melanggar nasihat yang Anda berikan lewat semua surat Anda.
Dia melanjutkan:
Saya sudah menyampaikan ucapan terima kasih Anda kepada sahabat saya Syekh
‘Ali ‘Abd al-Raziq. Dia sangat senang. Saya juga harus memberi tahu Anda dalam
hal ini, ustaz saya yang terhormat, bahwa bukunya telah menimbulkan badai
dahsyat. Sekelompok pembaharu telah berkumpul di sekelilingnya, sementara
kelompok garis keras menentangnya hingga para ulama al-Azhar berkumpul
untuk mencopot gelarnya dari lembaga mereka. Berbagai koran membahasnya
selama berminggu-minggu dan gerakan yang ditimbulkan menyerupai gerakan
yang terbentuk akibat paparan yang saya tuliskan kepada Anda untuk gelar
doktor saya.2
Fahmi jelas menganggap dirinya berada di barisan terdepan perubahan
intelektual utama di negerinya. Tak diragukan lagi, buku karya ‘Abd al-Raziq,
yang dikirimkan Fahmi kepada Snouck disertai kartu yang menyatakan bahwa
buku itu menawarkan “sebuah sudut pandang baru mengenai persoalan
khalifah dan pemerintahan Islam”, benar-benar menimbulkan badai. Tesisnya
menolak keniscayaan bersatunya khalifah dan agama. Namun, aneh rasanya
merenungkan apa peran yang barangkali dimiliki kecendekiawanan Snouck
mengenai khalifah, yang diterbitkan secara luas dalam bahasa Prancis, dalam
membentuk argumen semacam itu. Sang penulis, yang tampaknya meminta
Fahmi mengirimkan bukunya kepada Snouck, yaitu salah seorang dari
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 147
banyak lulusan al-Azhar yang juga belajar di Prancis. Jadi, dia mestinya
mengetahui tulisan-tulisan Snouck.3
Secara sepintas kedua dokumen ini , yang terpisah selama tiga
dekade dan berurusan dengan persoalan yang sangat berbeda, terkait semata-
mata oleh kenyataan bahwa keduanya jatuh ke tangan Snouck Hurgronje.
Namun, ini bukan sekadar kebetulan. Kehidupan dan ajaran-ajaran Snouck
menjembatani dua dunia muslim yang sangat berbeda: dunia jihad antikolonial
Aceh yang dipenuhi aspirasi tradisional kaum beriman yang mencari
perlindungan kepada para wali; dan dunia para pembaharu yang, dengan
bantuan surat kabar cetak dan pendidikan Barat, berusaha mempertahankan
agama mereka dan memperkuat negeri mereka.
Untuk menghubungkan tema-tema ini, kita perlu mengikuti perjalanan
Snouck serta berusaha membaca bagaimana dia menyeimbangkan hal yang
sekarang tampak sebagai kontradiksi antara upaya-upaya kolonial dan
kecendekiawanannya. Hanya dengan demikian kita bisa menilai dampak
yang barangkali dimilikinya terhadap orang-orang yang dia pelajari dan
terhadap orang-orang yang dia ajar. isebab sementara Snouck tampaknya
hanya terlibat secara tidak langsung dalam rencana salah satu orang Mesir
untuk memperbarui negerinya, dampaknya di Hindia jauh, jauh, lebih besar.
MATA TERTUJU KE HINDIA, 1880–1884
Dengan sebuah kekuatan kolonial seperti milik kita, Islâm, INTERNATIONALE
agung dengan bendera hijau itu, harus dipelajari dengan serius dan ditangani
secara sangat bijaksana.4 (C. Snouck Hurgronje, “De laatste vermanning van
Mohammed”, 1884)
Putra seorang pendeta Protestan, Snouck Hurgronje masuk Universitas
Leiden jurusan Teologi pada 1874. Pendidikan awalnya yaitu kuliah
Kesusastraan Klasik dan Bahasa Ibrani. Dia segera kehilangan minat dan
beralih mempelajari bahasa Arab. Disertasinya pada 1880 berisi tentang asal
usul ibadah haji ditulis di bawah bimbingan M.J. de Goeje (1836–1909).
Dalam proses penulisannya, Snouck menantang banyak Dozy dalam
karyanya pada 1864, De Israëlieten te Mekka (Orang-Orang Israel di Mekah).
Walaupun begitu, karier Snouck tidak ditakdirkan membuatnya berfokus
pada sejarah tekstual Timur Tengah. Dia dipekerjakan oleh Lembaga Kota
Praja Leiden untuk melatih para pejabat kolonial. Dari sanalah dia menjalani
debutnya di pentas kecendekiawanan publik dengan serangkaian artikel yang
memiliki pengaruh mendalam terhadap masa depannya. Di antaranya yaitu
ulasan-ulasan yang tajam atas karya pejabat yang akhirnya dia gantikan.
Artikel pertama pada 1882 hakikatnya yaitu koreksi atas karya-karya
T.W.J. Juynboll (1802–61), P.A. van der Lith (1840–1901), dan, dengan
148 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
derajat yang lebih rendah sang pejabat yang kita bicarakan, yakni L.W.C.
van den Berg. Meski hanya sedikit muatan yang secara langsung berkaitan
dengan Hindia dalam artikel ini, Snouck sengaja menerbitkannya di BKI.
Dia menyatakan bahwa untuk meningkatkan pemahaman mengenai Islam di
Jawa, para penulis mengenai soal-soal Hindia perlu “memiliki pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip dasar agama dunia ini serta sejarahnya”. Belanda,
demikian argumennya, “masih sangat jauh” dari tujuan ini .5 Snouck
hanya punya sedikit waktu untuk tawaran yang diajukan mendiang Keijzer,
atau untuk berbagai observasi Grashuis yang diterbitkan ulang isebab dia
mengarahkan kritiknya dengan kekuatan penuh terhadap van den Berg dalam
tulisan-tulisan yang lebih pedas sepanjang 1883.
Situs pertama pertempuran ini yaitu jilid pertama edisi van den Berg
atas Minhâdj at-Tâlibîn, yang diterbitkan dengan sokongan pemerintah
kolonial dengan sebuah terjemahan bahasa Prancis. sesudah mencatat bahwa
hanya orang-orang Eropa yang tampaknya tertarik membaca yurisprudensi
Islam sebagai wahana untuk memahami Islam, Snouck kemudian menarik
perhatian pada beberapa inkonsistensi dan kekeliruan dalam terjemahan
ini , mulai dari judulnya. Dia juga bertanya-tanya siapa kiranya khalayak
karya semacam itu. Menurutnya, karya itu tidak bisa benar-benar bermanfaat
baik bagi publik dan para administrator kolonial maupun para Orientalis
yang pastinya lebih baik membeli versi yang lebih murah dari penerbit Kairo.6
Pesannya juga jelas di tingkatan yang lain. Tidak ada tempat bagi sang
ahli hukum kolonial di pentas kecendekiawanan Eropa. isebab , persis pada
tahun itulah (1883) perkumpulan Orientalis datang ke Leiden untuk kongres
internasional keenamnya di bawah kepemimpinan guru Snouck, teolog
Abraham Kuenen (1828–91). Acara ini diatur agar berbarengan dengan
Pameran Besar Kolonial di Amsterdam, tempat, sesudah perjalanan singkat
dengan Kereta Kerajaan, kumpulan pakar (yang kebanyakan) Barat bisa
mengagumi kekayaan Hindia yang dipamerkan. Salah seorang pemirsa yaitu
Amin b. Hasan al-Madani (w. 1898), seorang pengunjung Arab penjual buku
dan penulis pamflet penentangan perilaku menyimpang tarekat-tarekat Sufi.
Apa yang dilihatnya bisa jadi memiliki dampak menentukan terhadap sang
Orientalis muda.7
Sekali lagi, baik pertunjukan Amsterdam, yang menarik orang ramai
dari seluruh negeri melalui gerbang-gerbang temporernya yang bergaya Moor,
maupun Kongres Leiden, yang berharap agar mereka tetap berada di luar
gerbang-gerbang besinya yang usang, tidak memberikan banyak perhatian
pada realitas Islam dalam konteks Hindia yang bisa dikristenkan. Penggunaan
arsitektur pseudo-Islami di pameran, yang direstui oleh Veth yang mendukung
misi dengan alasan bahwa orang-orang Indonesia tidak mengembangkan gaya
mereka sendiri, yaitu hal yang kontroversial.8 Di Leiden, seorang misionaris
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 149
Inggris ternama, R.N. Cust (1821–1909), dengan senang hati menyatakan
bahwa Belanda, “Tempat Lahir Kebebasan” dan “Tempat Pengasuhan para
Cendekiawan”, yaitu “rekan kerja” negerinya dalam usaha “mengenalkan
Peradaban di kalangan Jutaan Orang”.9 Lagi pula, kawasan itu secara khusus
ditandai sebagai wilayah kajian warisan India-nya dan sebagai situs tragedi
terbaru. Merupakan saat yang sangat memilukan bagi al-Madani saat para
delegasi berhenti sejenak untuk mengenang letusan dahsyat Krakatau yang
terjadi sepuluh hari sebelumnya.10
Mengingat keadaan ini, tawaran Snouck di Amsterdam tak kurang dari
sebuah intervensi atas nama Islam di Nusantara. sesudah menyampaikan tesisnya
bahwa Gujarat kemungkinan besar merupakan sumber Islam di Hindia,
makalahnya menjadi serangan yang mendesak agar kaum beriman Nusantara
dipandang sama muslimnya dengan kaum beriman di tempat-tempat lain.
Desakan ini juga ditujukan agar para pembaca tidak dibutakan oleh berbagai
pandangan merendahkan para penulis yang memiliki pengalaman terbatas di
Nusantara. Snouck terutama sangat tajam saat berhadapan dengan mereka
yang mengklaim bahwa Islam di Timur Jauh merupakan baju rombeng yang
dari sela-selanya “orang-orang Polinesia setengah Hindu” bisa dilihat “dalam
bentuk sejatinya yang kafir”.11
Pandangan-pandangan seperti ini juga bisa ditemukan dalam tulisan
orang-orang yang (seperti Snouck) tidak pernah ke Hindia, namun mengklaim
tahu hampir segala hal tentang penduduknya. Meski mencatat kehadiran “para
pendeta”, sekolah, dan masjid di seluruh Nusantara serta mengakui bahwa
aturan Islam “lebih kurang” diikuti secara keseluruhan, namun Veth memiliki
pandangan umum mengenai penduduk pribumi sebagai muslim superfisial.
Veth menyuarakan pandangan ini dalam diskusinya mengenai “Agama
dan Kebiasaan-Kebiasaan Keagamaan” yang ditulis untuk katalog Pameran
Kolonial.12 Ambivalensi Veth ditegaskan oleh persetujuannya terhadap
gerbang bergaya pseudo-Moor. Sikap mendua yang sama ditunjukkan teolog
terkemuka Cornelis Tiele (1830–1902) dan Kuenen. Jika Tiele menerima
bahwa Islam yaitu sebuah “agama dunia”, Kuenen, yang kali pertama
merumuskan gagasan ini , belakangan mengubah haluan. Kuenen
menyimpulkan bahwa sebagai sebuah sistem Islam memang sebuah agama
dunia, namun dalam beberapa praksis regionalnya ia lebih tepat digambarkan
sebagai “agama rakyat”.13
Snouck sendiri—yang diundang Kuenen untuk membaca draf Kuliah
Hibbert-nya pada 1882—menunjukkan bahwa apa yang diduga sebagai
baju rombeng yang diadopsi oleh bangsa-bangsa Hindia lebih merupakan
seragam lengkap ketimbang jubah. Lagi pula, kita dengan sama mudahnya
bisa menemukan tradisi rakyat yang sama di Timur Tengah. Snouck
bersemangat untuk menunjukkan betapa karya Lane mengenai Mesir bisa
150 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
dibaca berdampingan dengan beberapa kontribusi bagi MNZG (terutama
karya Poensen) untuk menunjukkan bahwa orang-orang Muslim “yang paling
maju” dan berpikiran yuridis selalu merupakan minoritas yang sadar diri
dalam warga mereka di hadapan “para darwis dan parasit-parasit agama
lainnya”. Namun, dengan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah-sekolah
keagamaan, orang-orang Jawa dan Melayu ditunjuki “jalan yang benar”.
Usaha keras mencari jalan ini bisa dilihat dalam terjemahan antarbaris
mereka, yang menjadi saksi tekad mereka meraih “pengetahuan sejati”. Ada
juga pengajaran yang keliru. Seperti yang di Jawa dikenal dalam bentuk ngelmu
pasik, yang dikenali oleh sebagian misionaris yang melihat orang-orang Jawa
dalam pakaian asing nan usang, yang menjadi pijakan bagi Snouck sendiri.
Seperti Snouck laporkan, bahkan “khayalan-khayalan menyimpang” seorang
“mistikus Jawa yang kecanduan madat”, (dipublikasikan oleh Poensen)
mengkhianati “sebuah warna muslim”.14
Terlepas dari mimpi-mimpi madat semacam itu dan tantangan yang
dimunculkannya terhadap tatanan Belanda, Snouck mendesak agar mereka
yang baru menerima Islam selama lima abad tidak dianggap inferior
dibandingkan yang telah dua belas abad. Snouck mengutip artikel Poensen
yang lain, dari 1864, tempat dinyatakan bahwa terlepas dari yang benar-
benar dilakukan orang-orang Jawa, mereka melakukannya sebagai “kaum
Mohammedan yang baik”. Snouck bahkan menyatakan bahwa seandainya
ada orang Jawa pergi ke Eropa, dia akan mendapati agama Kristen juga
sama-sama merupakan jubah rombeng yang menghiasi kekafiran yang ada di
baliknya.15
Tak satu pun dari semua ini hendak mengatakan bahwa Snouck memiliki
pandangan yang sepenuhnya positif mengenai rakyat Muslim negerinya yang
sangat jauh. Dalam pembelaan tesisnya, Snouck dengan tak sabar menyarankan
agar ibadah haji dibatasi. Dia memungkasi makalah Amsterdam-nya dengan
sebuah peringatan bahwa kekuatan potensial para haji sama seperti “mesiu”
di Hindia Belanda dan bahwa penyelidikan mengenai tepatnya yang mereka
bawa pulang dari kunjungan ke Samudra Hindia merupakan hal yang
mendesak untuk dilakukan. Mereka pastinya membawa pulang lebih dari
yang dikelakarkan van den Berg sebagai sekadar “dompet kosong, segenggam
tanah suci, dan kenangan akan banyak ketidaknyamanan”.16 Bahkan, van
den Berg menertawakan saran agar seseorang diutus ke Mekah. Namun, jelas
bahwa Snouck sudah lama memikirkan keterlibatannya pada masa depan
dengan Hindia melalui Kota Suci tempat banyak penduduknya berkumpul.
Dia sangat menyadari pentingnya pengetahuan bahasa Melayu untuk usaha
ini, sebagaimana ditegaskan van der Tuuk pada dekade sebelumnya bahwa
seorang penerjemah Injil benar-benar harus “berdiri di atas pundak seorang
ahli bahasa”.17
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 151
Awalnya, para misionaris menyambut Snouck sebagai orang yang
berpikiran sama. Dalam sebuah ulasan yang hangat atas kuliahnya di
Amsterdam, yang sumber-sumber misionarisnya disebutkan dengan hormat,
J.C. Neurdenburg (1815–95) mengaku tersanjung isebab sudah mengantisipasi
pemikiran Snouck mengenai pengakuan terhadap kemusliman para penganut
Islam di Hindia. Meski demikian, Neurdenburg masih meragukan bahwa
Islam di sebagian besar wilayah Hindia memiliki akar sedalam yang diyakini
Snouck. Dia juga menyatakan bahwa kekhawatiran hilangnya kedudukan
sosial yaitu hal yang kemungkinan besar menjadi penghalang pengkristenan
orang kebanyakan.18
Snouck melangkah lebih dari sekadar menyerukan keterlibatan serius
dengan Islam Hindia. Sebelum petualangannya ke luar negeri, Snouck
mempelajari bahasa Melayu dan terlibat dengan sumber-sumber utamanya.
Hal ini bisa dilihat dari sebuah artikel mengenai beberapa teks Islam yang
digunakan di Dataran Tinggi Padang, yang Snouck kirimkan kepada BKI
untuk volume yang menandai Kongres Orientalis. Teks-teks tertentu yang
didiskusikannya diperoleh dari seorang administrator kolonial yang kembali
ke Belanda isebab sedang cuti. Orang itu yaitu K.F.H. van Langen (1848–
1915). Pada 1889 Snouck membantu penerbitan kamus bahasa Aceh van
Langen yang saat itu menjabat residen di Bengkulu.19 Namun, sementara teks-
teks demikian sudah lama dikumpulkan sebagai cendera mata, isinya jarang
dipelajari secara cukup saksama untuk menentukan seberapa representatif ia
untuk daerahnya atau bagaimana terjemahan antarbarisnya berkaitan dengan
sumber bahasa Arab-nya.20
Yang hampir merupakan sebuah pengecualian barangkali yaitu analisis
Niemann terhadap manuskrip-manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa, meski
Snouck mengabaikan karyanya dari 1861. Niemann pasti mengabaikan
penggunaan Keijzer terhadap panduan ibadah haji yang disalin di Batavia.
Dia menghargai karya Grashuis mengenai pesantren-pesantren Jawa Barat
(barangkali isebab Grashuis sudah mengajarinya sedikit bahasa Melayu dan
meminjaminya beberapa manuskrip). Namun, dia mengesampingkan usaha-
usaha Verkerk Pistorius mengenai sekolah-sekolah di Sumatra.
Sebaliknya, Snouck memberikan paparan terperinci mengenai
kandungan buku-buku ini , mulai dari karya-karya yang ditujukan
untuk kajian bahasa Arab. Snouck juga berpandangan (seperti Grashuis)
bahwa metode pengajaran semacam itu memang mempunyai kelemahan-
kelemahannya sendiri isebab bergantung pada kemampuan sang syekh
menjelaskan muatan, namun sangat berguna dan pada akhirnya membekali
sang murid dengan pengetahuan yang cukup, bahkan untuk membaca buku
standar seperti Minhaj, yang terjemahannya baru saja “dimulai” van den
Berg.21
152 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
Barangkali dengan mempertimbangkan pengamatan yang dilakukan
sebelumnya mengenai berbagai edisi Kairo dan pengabaian van den Berg
terhadap edisi-edisi ini , Snouck mencatat bahwa salinan tulisan tangan
digunakan berdampingan dengan hasil cetakan semacam itu. Meskipun
penyusunan dan nilai karya ini dihargai, umumnya hanya bab-bab
praktis mengenai bersuci, shalat, zakat, haji, dan puasa yang dibaca. Seorang
imam mungkin mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dalam aturan-aturan
terkait perkawinan, sedangkan sisanya dipandang semata-mata sebagai
konsepsi teoretis mengenai bagaimana imam Tuhan memerintah sebelum
bangkitnya “Olanda Sétan”.22
Ini yaitu ungkapan khas yang digunakan oleh Poensen dalam Brieven-
nya, yang dibuka dengan pujian terhadap artikel Snouck. Namun, seperti
kita, Snouck khawatir ada Sétan lain memperdaya orang-orang
Melayu dan Jawa. Dalam analisis terhadap pengajaran mistis, Snouck
melaporkan kepatuhan berlebihan para pelaku dzikr yang meyakini bahwa
“mata mereka terbuka dan mata Anda tertutup”. Namun, di sini pun dia
mengelompokkan makna dzikr menurut kelas. “Biasanya,” tulis Snouck, “bagi
kalangan yang paling terdidik,” dzikr yaitu hal “insidental,” bukan pokok
dalam peribadatan mereka. Sebaliknya, bagi “banyak massa persaudaraan,
teriakan dan jeritan, tarian dan gerakan berputar” hanyalah “latihan fisik
yang dilakukan untuk memuja Tuhan,” dan mereka yang menempatkan
diri di atas hukum dilabeli “para pendosa” (di titik ini Snouck merujuk pada
artikel Harthoorn dari 1860).23 Namun, masih juga bisa ditemukan para
Sufi “ortodoks”—mereka yang mengakui bahwa kajian Syari‘ah merupakan
prasyarat untuk pelajaran yang lebih tinggi.
Snouck menjelaskan betapa murid mana pun yang terlibat dalam
pencarian gnosis—ajaran rahasia kebenaran rohani—disebut pejalan, salik,
sedangkan jalannya disebut suluk. Dengan melakukan hal ini, Snouck
melakukan sebuah intervensi untuk konteks Hindia. Selain menyebut
penjelasan-penjelasan sebelumnya yang diberikan Verkerk Pistorius sebagai
tidak memadai, Snouck menyatakan bahwa tesis J.G.H. Gunning dari 1881
mengenai persoalan ini, yang mengikuti kekeliruan Keijzer menerjemahkan
suluk sebagai “pakaian”, yaitu “tidak layak mendapatkan kritik apa pun”.24
Sisa diskusi Snouck ditujukan untuk sebuah teks yang dikoleksi oleh van
Langen di Dataran Tinggi Padang yang menekankan ortodoksi Suni sembari
menyelami Futuhat karya Ibn al-‘Arabi dan Tuhfa karya al-Burhanpuri. Teks
ini ditutup dengan tulisan-tulisan “Sufi Aceh” Hamzah al-Fansuri, tempat
“ungkapan-ungkapan yang paling berani dan bercorak panteistis dikutip
dan diperlakukan sebagai kebenaran tertinggi”.25 Pada akhirnya, Snouck
menyatakan bahwa konsumsi pelajaran tinggi semacam ini tidak mesti
dijumpai di kalangan para pencinta dzikr dan apa yang diuraikan merupakan
RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ... — 153
versi pendidikan muslim yang diidealisasi, sebuah pendidikan yang pada masa
depan harus sesuai dengan panduan Belanda.
MEKAH
Siapa pun yang mengunjungi sebuah negeri asing untuk tujuan studi menanggalkan
sebagian dari kepribadiannya untuk menyesuaikan diri dengan praktik negeri
ini . Seberapa jauh seseorang melangkah yaitu persoalan yang harus
dipecahkan hati nuraninya.26 (Snouck kepada van der Chijs, Desember 1885)
Van den Berg pernah mengolok-olok gagasan Holle mengirim seorang
cendekiawan ke Arabia, namun justru untuk misi semacam itulah Snouck
memperoleh tunjangan dari pemerintah Belanda pada 1884, menyusul
bencana pembantaian 1882–83 yang didesas-desuskan. Pada 1884 dia juga
menerbitkan artikel yang mendiskusikan meluasnya persebaran pengakuan
yang konon ditulis di Mekah sesudah komunikasi dalam mimpi dengan Nabi.27
Tulisan-tulisan Snouck tak diragukan lagi memainkan peranan besar
guna meyakinkan pemerintah bahwa dialah orang yang ideal untuk tugas ini,
yang diatur sesudah pertemuan dengan Konsul Jeddah yang saat itu sedang cuti
di Belanda. Snouck sangat bersemangat untuk mendalami Islam sebagai agama
yang dihidupi. Dia mungkin berharap dapat meniru kajian Lane mengenai
Mesir dan memenuhi keinginan gurunya, de Goeje, yang menyatakan bahwa
perjalanan ke Mekah tidak mesti berbahaya jika pintu kota suci itu dibukakan
oleh orang-orang Arab terkemuka dari keluarga baik-baik.28 Persis melalui
koneksi pribadi semacam itulah Snouck mampu mendapatkan akses ke Kota
Suci sesudah beberapa pekan di Jeddah. Orang-orang Arab yang dimaksud
tidak mesti berasal dari Mekah, atau bahkan berasal dari yang menurut Snouck
sebagai keluarga “baik”. Salah satu kontak awal yang tidak menguntungkan
yaitu seorang Aljazair yang punya hubungan kelam dengan Konsulat
Prancis. Tawaran bantuan dan tempat tinggal di Mekah dari orang Aljazair
itu ditolak Snouck demi memperdalam persahabatan yang berkelanjutan
dengan orang Banten yang sangat “mudah dikendalikan”, Raden Aboe Bakar
Djajadiningrat.29
Aboe Bakar hanyalah salah seorang dari beberapa mediator penting
yang membantu Snouck selama bermukim di Arabia. Dia bahkan berperan
meresmikan keislaman Snouck. Korespondensi yang baru-baru ini diterbitkan
menunjukkan peran penting dua sayyid dari Borneo, Salim dan Ja’far al-
Qadri. Keduanya dikenalkan kepada Snouck oleh Habib ‘Abd al-Rahman
al-Zahir (1833–96), seorang petualang Hadrami yang diasingkan ke Mekah
oleh Belanda sebagai imbalan penyerahan dirinya di Aceh. Meski demikian,
sang Habib masih berharap memainkan peran dalam menghasilkan resolusi
154 — ORIENTALISME DIGUNAKAN
konflik yang barangkali melibatkan gelar dan kompensasi yang besar bagi
dirinya. Salim dan Ja’far, sebaliknya, berasal dari keluarga yang menguasai
Pontianak dalam kemitraan saling menghargai dengan Belanda sejak 1770.
Sebelum ke Mekah, Snouck menyibukkan diri di Jeddah dengan
mewawancarai dan memfoto jemaah haji sembari aktif berkonsultasi dengan
Aboe Bakar. Juga terlihat bahwa koneksi sosial dan kecendekiawanan
yang lebih baik diperoleh melalui jejaring Aboe Bakar. Setidaknya seorang
cendekiawan terkemuka, ‘Abdallah al-Zawawi, termasuk di antara para
pembimbing Snouck. Selain itu, ‘Abdallah dan ayahnya, Muhammad Salih
al-Zawawi yang termasyhur, berhubungan dekat dengan keluarga al-Qadri
(Ja’far bahkan tinggal di rumah yang sama dengan ‘Abdallah) dan melayani
sebuah komunitas Jawi yang oleh Ja’far dianggap “tidak memiliki ulama yang
sebenarnya”.30
‘Abdallah dilahirkan di Mekah pada 1850. Dia tumbuh dewasa dan
dididik di rumah. Walaupun begitu, keunggulan ilmunya diakui saat
pada 1870-an dia dianugerahi posisi sebagai pengajar di Masjid al-Haram.31
‘Abdallah memiliki hubungan dengan Dinasti Pontianak, yang begitu jelas
mendukung pemerintahan Belanda dan mendapatkan perlakuan serupa.
Dia juga berhubungan dengan Kesultanan Riau, yang sedang berusaha
mencegah aneksasi Belanda. Muhammad Salih bahkan mengunjungi Riau
sekitar 1883 dan di sana menulis sebuah karya pendek mengenai pelajaran
Sufi untuk Mujaddidiyyah.32 saat di Riau, Muhammad Salih mengalihkan
orientasi istana dari ajaran-ajaran Khalidi yang telah diperkenalkan Isma‘il al-
Minankabawi pada 1850-an.
Di Mekah pada 1885 ‘Abdallah sibuk melatih murid-muridnya mencapai
tingkatan