nya, pada 1863 Dozy menghasilkan monograf pertama dari sebuah
serial mengenai “agama-agama utama” yang dalam banyak hal sepakat dengan
Keijzer dan Niemann. Karya ini bahkan menggunakan plat-plat Keijzer,
sesekali dengan penyesuaian (seperti saat gambar kepala seorang jemaah
haji “Jawa” yang sudah tidak menarik digantikan gambar kepala haji “Arab”
yang bahkan lebih tak menarik).62 Dengan kehalusan yang sedikit lebih baik
dia memanfaatkan apa yang telah dikatakan Veth mengenai Hindia pada
1840-an. Dengan demikian, para Sufi pada masa mereka digambarkan sebagai
penipu bejat dan orang-orang Wahhabi sebagai para pembaharu berprinsip
yang barangkali bahkan telah memengaruhi kaum Padri. Meskipun Dozy
dengan senang hati menjiplak catatan Veth mengenai istilah “Padri”, seperti
Niemann dia lebih berhati-hati dalam menyamakan gerakan ini dengan
perjuangan Wahhabi.63
Bab kita ini dibuka dengan kisah persaingan antara kekuatan lama dan
kekuatan yang baru muncul, yang bertarung di seluruh Asia Tenggara
sesudah keruntuhan VOC. Namun, pergeseran hegemoni dan pengaruh
itu sama sekali tidak sederhana isebab banyak sultan setempat mencoba
116 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
memanfaatkan perubahan dalam pengawasan untuk melepaskan diri dari
perjanjian-perjanjian lama. Dalam berbagai perang dan penjarahan yang
terjadi kemudian, Belanda mendapati diri mereka membutuhkan para pejabat
yang mampu mengelola orang-orang Muslim yang secara lebih resmi berada
dalam kekuasan imperial mereka. Untuk tujuan ini, harta karun berupa teks-
teks rampasan yang sebelumnya diabaikan menjadi landasan bagi buku-buku
panduan pelatihan yang digunakan para guru yang kebanyakan belum pernah
ke Hindia, dan yang kecenderungan alamiahnya mungkin bertentangan
dengan bahan-bahan yang tersedia dari Timur Tengah.
Sebagaimana akan kita lihat, berbagai pandangan metropolitan
mengenai apa itu Islam juga dimiliki oleh para aktivis tertentu di Jawa.
Namun, titik tempat mereka berada berbeda, dan sering secara mendalam,
yaitu pengakuan bahwa apa yang ditemukan di pulau itu pertama-tama
merupakan Islam yang sebenarnya. Namun, meski akademi-akademi di
Belanda berbeda dalam watak politik, mereka memiliki tujuan yang sama:
menghasilkan para pegawai yang kompeten untuk usaha kolonial. Hasil dari
Leiden mengecewakan maka upaya ini sangat membutuhkan permulaan baru
yang diperoleh pada 1867. Permulaan itu muncul dalam bentuk sekolah
pelatihan yang lain, yaitu “seksi-B” dari Gimnasium Willem III, yang dibuka
di Batavia pada 1860. Sekolah ini meniru kurikulum Delft, namun menghapus
keharusan mengirimkan putra banyak pegawai Hindia yang dilahirkan di tanah
asing menuju pengalaman yang tak menentu di metropolis. Bagaimanapun,
masa depan terbentang di hadapan mereka di Hindia Belanda yang terus
berkembang (namun sayangnya tetap muslim).
Siang dan malam kami dimintai apa pun yang mereka lihat di sekitar kami;
saat sadar tidak berhasil—isebab tidaklah mungkin memenuhi permintaan
para pelamar yang tak tahu malu semacam itu—mereka mulai meminta buku,
yang dijanjikan untuk mereka saat kami kembali ke kapal. Kami memberi
tahu mereka bahwa tidak ada hikayat atau syair yang bagus untuk diberikan, tak
ada apa-apa selain Injil dan Kitab Perjanjian. “Baiklah,” kata mereka, “berikan
kepada kami.”1 (G. Tradescant Lay, Brunei, 1837)
Sementara negara mendirikan sekolah-sekolah pelatihannya untuk para calon pejabat kolonial, penulisan catatan perjalanan dan pengumpulan
buku oleh para pendeta-ilmuwan terus berlanjut. Kebencian para pendeta-
ilmuwan terhadap Islam terlalu kentara, bahkan saat mereka menyampaikan
sesuatu yang baru. Ini bisa diketahui dari laporan-laporan orang Amerika James
T. Dickinson (1806–?) dan rekan Inggrisnya, sang Naturalis G. Tradescant
Lay (sekitar 1805–45), yang bepergian bersama dari Malaka ke Sulawesi,
Magindanao, dan Borneo pada 1837.2 Kedua lelaki ini memetakan berbagai
peluang bagi Kristenisasi pada masa depan dan kemungkinan membagikan
propaganda cetakan dalam bahasa Melayu dan Makassar. Risalah-risalah
mereka tampaknya diterima dengan baik oleh orang-orang Brunei yang saat
itu masih merdeka, meski hanya sebagai pengganti “hikayat” yang tampaknya
sangat mereka inginkan. Selera baca mereka pastinya menjengkelkan bagi
Lay dan Dickinson, yang juga tersinggung oleh cara Belanda menghalangi
aktivitas misi di mana pun mereka berkuasa. Lay bahkan menyebutkan bahwa
sementara “sang Pangeran Kegelapan” sudah lama menguasai Borneo, “orang-
orang Belanda-lah” yang “belakangan ini menjamin kekuasaan tunggal
atasnya menjadi milik sang Pangeran untuk selamanya”.3
Akan namun , kadang-kadang, kedua misionaris ini dikejutkan oleh
keterbukaan umat Muslim Nusantara. Kepala “pendeta” Brunei—yang pernah
bermukim di Mekah selama 25 tahun—mengaku berhubungan baik dengan
E N A M
MENCARI
GEREJA PENYEIMBANG
1 8 3 7 – 1 8 8 9
118 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
salah satu ordo mereka di Singapura, dan telah mengizinkan akses setempat bagi
Injil berbahasa Melayu, yang oleh Lay dan Dickinson secara keliru dibayangkan
sebagai hal terlarang bagi orang-orang Muslim yang taat.4 Mereka menyaksikan
dzikr bersama di istana Sultan Brunei ‘Umar ‘Ali Sayf al-Din II (berkuasa 1829–
52), namun tampaknya mereka tak bisa memahami arti pentingnya. Lay yang
jelas bersikap bermusuhan menggambarkannya sebagai berikut:
Pada Kamis petang ... anggota keluarga berkumpul, duduk dalam sebuah lingkaran
dengan buku dan lampu di tengah-tengah. Mereka melantunkan beberapa syair
dan masing-masing menabuh rebana kecil sebagai pengiring. Hiburan paduan
suara ini menghabiskan waktu antara dua hingga tiga jam dan kerap terlihat sikap
agak bermain-main, seolah-olah para penampil berusaha keras membawakan
keseluruhannya sebisa mungkin sebagai senda gurau yang hebat .... saat bagian
ini selesai, mereka beralih ke semacam modus minor dengan karakter yang
menjemukan bersiap untuk penutupan saat semuanya berdiri dan mengulang-
ulang kredo agama Mahommedan dalam tiga kata. Pengulangan ini serentak dan
diucapkan dengan sikap membungkuk dalam-dalam. Pertama dengan nada seorang
makhluk rasional, namun semakin khidmat semakin mirip nada binatang hingga
menyerupai seruan tiba-tiba yang merupakan campuran antara gonggongan dan
gerengan sekawanan babi saat mereka tiba-tiba terbangun dari tidur. Gerakan
kepala seirama kegaduhan itu terkesan menjadi sangat konyol. Perbuatan gila ini
terus berlangsung sampai semua kelelahan. Namun, begitu terampilnya mereka
melakukan hal ini. Meskipun melalui tahapan yang panjang, mereka tetap penuh
semangat. Padahal kami berharap melihat kepala mereka terkulai.5
Sementara itu, Dickinson menuturkan episode ini sebagai berikut:
Pada waktu petang, yang merupakan malam suci mereka ... kami mendapat
kesempatan menyaksikan sambayang (ibadah) mereka. Ini dimulai di beranda
sang Sultan sekitar pukul 21.00, dengan nyanyian diiringi rebana. Musiknya
yaitu yang terbaik yang pernah saya dengar di kalangan pribumi di Timur.
sesudah satu atau dua jam nyanyian yang agak monoton, mereka menjadi lebih
bersemangat dan memulai nyanyian yang sangat khas. Mereka membungkuk
pada saat bersamaan dengan cara yang sama khasnya, tetap seiring dengan nada.
Nyanyian sesekali berubah dan demikian pula gerakan tubuh. Kegembiraan
semakin menjadi hingga mereka kelelahan isebab nyanyian dan gerakan
membungkuk ini. Seorang pangeran muda yang ikut ambil bagian mengatakan
bahwa ini membuat kepalanya pusing. Ada dua pendeta yang hadir dan pada
sebagian waktu mengapit sang Sultan. saat ditanya apa makna semua ini,
mereka menjawab, “Memuji Tuhan Allah.” Bahasa yang digunakan yaitu
Arab. Nama Mohammed sesekali bisa dikenali. Ibadah ini, jika bisa disebut
ibadah, berlanjut hingga tengah malam.6
Meski sulit untuk mengetahui mode dzikr apa tepatnya yang dipraktikkan
di Brunei, beberapa studi mengenai berbagai gambar hiasan Al-Quran dan
MENCARI GEREJA PENYEIMBANG — 119
segel Melayu pada abad kesembilan belas menunjukkan kemungkinan yang
kuat bahwa sebuah kaitan telah terbentuk antara sekelompok elite dalam
komunitas dan para guru serta para juru tulis yang berasal dari Dagestan. Para
guru ini sudah dikenal isebab popularitas mereka di Mekah dan isebab
afiliasi mereka yang berlangsung lama dengan tarekat-tarekat dari keluarga
Naqsyabandi.7 Namun, pada saat yang sama kita harus mengingat orang-
orang dari berbagai kalangan bepergian ke dan dari Mekah. Istana tidak selalu
bisa mengendalikan persebaran pengetahuan yang idealnya eksklusif semacam
itu. Meski demikian, kita bisa mengatakan dengan pasti bahwa Sultan Brunei
yaitu seorang praktisi dzikr dari tarekat tertentu pada 1837.
Sekitar tiga tahun kemudian (menurut Spenser St. John [1825–1910],
yang merupakan Konsul Inggris di Brunei sejak 1856 hingga 1858 [dan
bukan sahabat kalangan misionaris]), kembalinya Haji Muhammad dari
Mekah menimbulkan perpecahan yang memisahkan istana dan para haji
pendukungnya dari warga luas. Perselisihan ini memanas hingga dekade
berikutnya, melebihi usia para pencetusnya. Pada pengujung 1850-an utusan-
utusan yang saling bersaing dikirim ke Mekah, entah untuk mengukuhkan
atau menyangkal filsafat tertentu Haji Muhammad (bahwa Tuhan tidak bisa
diberi sebuah kepribadian). Para pendukung Haji Muhammad di wilayah
pedesaan membangun masjid-masjid di luar batas sesuatu yang oleh Konsul
Inggris dianggap sebagai “ortodoksi” yang direstui istana.8
Laporan sang Konsul tidak memungkinkan kita memutuskan apakah
Haji Muhammad mewakili masuknya sebuah tarekat (atau subtarekat)
pesaing, sebagaimana yang mungkin terjadi dengan Agama Dul di Madiun.
Meski begitu, tampaknya ini sesuai dengan pola umum pertengahan abad
kesembilan belas yang memperlihatkan para raja pribumi kehilangan sisa-sisa
terakhir monopoli mereka atas praktik mistik yang berorientasi Mekah saat
bangsa Eropa berkuasa atas mereka. Hal lain yang menunjuk ke arah ini
yaitu bahwa kedua faksi di Brunei berdebat mengenai awal dan akhir bulan
Ramadan, yang menggemakan perdebatan serupa di Sumatra dan Banten.
Di sana orang-orang Naqsyabandi yang pada akhirnya berorientasi cetak dan
pro-Utsmani lebih menyukai tanggal yang dihasilkan melalui perhitungan.
Keyakinan ini berseberangan dengan orang-orang Syattari setempat yang
memercayai hasil pengamatan tradisional dan oleh isebab itu memberikan
kesan bahwa mereka yaitu pengikut Imam Hanafi.9
ISLAM MASA LALU SEBAGAI ISLAM YANG AMAN
Campuran kebencian dan kebingungan mengenai praktik-praktik Islam juga
jelas terlihat dalam sebuah laporan perjalanan yang ditulis oleh Direktur
warga Injil Hindia, Wolter Robert van Hoëvell (1812–79). Van
120 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
Hoëvell, keponakan kaya mantan Gubernur Jenderal van der Capellen, tiba
untuk melayani jemaah Batavia-nya pada 1837. Sepuluh tahun kemudian,
pada 1847, dia menghabiskan dua bulan menjelajahi Jawa, Madura, dan
Bali. Gambarannya, yang mendapat ancaman sensor di Batavia, diterbitkan
di Amsterdam oleh Veth, yang bergabung dalam dewan warga Injil
Belanda pada 1843. Van Hoëvell menganggap Veth sebagai rekan yang
sempurna untuk berbagi ambisi dakwah. Tak diragukan lagi dia sepakat
dengan isi artikel panjang Veth pada 1845 mengenai “Mohammad dan
Koran”, yang meringkaskan pengaruh Islam terhadap dan, secara implisit,
ancamannya terhadap koloni. Mereka juga berbagi pandangan tak realistis,
yang diungkapkan oleh van Hoëvell dalam Nederland en Bali-nya pada 1846
bahwa orang-orang Indonesia bisa jadi masih terbukti menerima Kristenisasi.10
Van Hoëvell memberi tahu para pembacanya pada 1849 bahwa
perjalanannya dirancang “untuk mengumpulkan harta karun pengetahuan
kebahasaan dan sains” dan untuk mempelajari kehidupan sehari-hari orang
Jawa, Madura, dan Bali.11 Namun, meski dia benar-benar mengumpulkan
observasi yang kaya (berikut manuskrip yang ganjil) di antara kunjungan-
kunjungan parokial, banyak hal yang dilihatnya dia bandingkan yang
dibacanya dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn dan History of
Java karya Raffles. Oleh isebab itu, dia tidak sekadar dibuat agak bingung
oleh tontonan aneh berupa “pertunjukan kedeboes” yang dia saksikan di
Cianjur, yang tidak disebutkan oleh kedua pendahulunya. Sebenarnya, itu
yaitu ritual debus tarekat Rifa‘i, yang pernah dipraktikkan di istana Banten.12
Namun, bagi van Hoëvell ritual itu hanyalah sarana para “pendeta” yang culas
untuk memengaruhi orang-orang:
Di atas alas, duduk lima puluh atau enam puluh orang dalam dua baris,
termasuk anak-anak lelaki usia dua belas hingga enam belas tahun, masing-
masing memegang rebana. Di ujung barisan, tergantung selembar kain linen
merah berbentuk persegi bertuliskan kalimat berbahasa Arab dengan warna
putih tentang puja-puji kepada Tuhan, Mohammed, para Malaikat, dan para
Wali Islam. Di sini kami sertakan salinannya untuk mereka yang berminat
menafsirkan omong kosong itu. Di belakang kain itu, duduk seorang pendeta
yang sudah pergi ke Mekah melaksanakan haji (hhadji) [sic]. Di depannya
tergelar sehelai linen putih berisi beberapa benda yang disebut soelthan, jarum
penusuk dari besi, ada yang panjangnya satu kaki dan ada yang lebih panjang
atau lebih pendek. Satu ujung jarum itu tajam dan sebuah kepala yang lebar dari
kayu tersambung dengan rantai besi di ujung yang lain. Selain benda itu, ada
sepasang batu bulat berat, berdiameter sekitar satu kaki dan beberapa benda lain
di hadapan sang pendeta. Di pangkuan pendeta terdapat bantal dan di atasnya
terbuka sebuah manuskrip, yang dia baca dengan nada kaum Mohammedan
pada umumnya. Di akhir setiap baris, semua orang dalam lingkaran mengulangi
kata terakhir, dengan pekikan yang memekakkan disertai entakan rebana dan
MENCARI GEREJA PENYEIMBANG — 121
seruan “Amin! Amin!” Pada saat itu, perasaan makin menghebat. sesudah
berlangsung sekitar satu jam, semangat mencapai puncaknya. Salah seorang
dari kelompok itu berdiri dan, sambil menari, mendekati gantungan, berlutut
di depan barang-barang tadi. Secara aneh dia mengguncang-guncang tubuh
bagian atas dan kepalanya, kemudian memegang erat-erat jarum penusuk besi
yang diulurkan sang pendeta ....
Dari sini si anak muda itu, dan semua orang sesudah nya, menikam-nikam
tubuh dan wajah mereka dengan jarum penusuk, namun tubuh mereka tidak
terluka. Untuk sang pendeta yang ragu ini hanya berarti satu hal:
Saya mengatakannya sekali lagi, tipuan pendeta. Bahwa semua yang
membawakan doa-doa untuk Nabi, dan pada upacara ini, untuk Sjech ‘Abdoe’l-
Kadier Djilani, dengan cara demikian rupa bisa membuat diri mereka kebal!
isebab , sang pendeta memastikan bahwa tak ada satu orang pun terluka
oleh jarum-jarum penusuk itu ... kalaupun ada maka itu merupakan tanda
keyakinan yang tidak cukup atau doa yang lemah. Anda akan melihat bahwa
perayaan semacam ini sangat informatif. [Anda punya] ... para pemimpin
Kabupaten-Kabupaten Preanger yang kaya raya, memiliki banyak kekayaan,
dan menduduki tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan bagian-
bagian Jawa yang lain; Anda pun sudah bertemu dengan para pendeta sebagai
penipu-penipu licik yang berusaha mempertahankan pengaruh mereka dengan
membangkitkan serta menghidupkan takhayul di kalangan penduduk. Anda
akan mengeluh bahwa orang-orang telah terjerumus dalam kebodohan yang
menyedihkan. Jika Anda mengedarkan pandangan ke seluruh negeri ini, dan
juga mengikuti situasi di sana, Anda akan sampai pada yang sama.13
Jelaslah bahwa hal ini, semua hal ini, di luar batas kesabaran van Hoëvell.
Informasi yang diberikan van Hoëvell di luar batas pengetahuan Veth isebab
dalam beberapa catatan pinggir pada manuskrip van Hoëvell, Veth tidak bisa
memahami beberapa nama pada kain gantung yang diduganya tidak jelas dan
menyebutnya “ocehan” tak berarti.14
Sebagai perbandingan, Veth lebih dari sekadar bahagia merampungkan
sebuah analisis mengenai epigraf yang dibuat dengan terampil pada sebuah
makam wali seperti makam Malik Ibrahim, yang membuat van Hoëvell
terkesan. Sang penulis yang pendeta-ilmuwan membaca ini sebagai bukti
kelahiran Islam yang damai, yang meletakkan landasan bagi agama yang
sangat “lunak” yang dia yakini terlihat di Jawa.15 Bahkan, van Hoëvell benar-
benar teperdaya oleh sikap salah seorang penjaga makam Sunan Giri yang saat
itu sudah bobrok. Sebagaimana yang ia kenang:
Dia memperlakukan kami dengan sangat baik, memberi tahu apa yang dia
ketahui. Missighit dan langgar, yang berdiri dekat makam, pondok tempat
makam, makam itu sendiri, peti besi, keris, dokumen—semuanya harus
122 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
dijalani, dialami, dan dicoba. saat kami berpisah, dia mencium tangan saya,
si guru-Kristen yang dia kenal sebagai toean pandito, dengan sangat tulus. Dasar
orang Jawa fanatik!16
Rasa terkejut yang agak kuat terlihat dalam kasus terjemahan van Hoëvell
atas sebuah riwayat hidup singkat mengenai pendidikan Islam penguasa
Sumenep yang mengagumi Eropa, Adipati Natakusuma II (berkuasa 1825–
54). Van Hoëvell menyampaikan sebuah daftar berisi berbagai karya yang telah
dikuasai sang Sultan, demikian Batavia menyebutnya isebab kesetiaannya
dalam Perang Jawa, pada masa mudanya. Topik-topiknya terentang dari ilmu
bahasa dan tafsir hingga yurisprudensi, astronomi, dan puisi. Veth hanya bisa
mengajukan beberapa dugaan mengenai judul-judulnya berdasar kamus
dari abad ketujuh belas karya seorang Utsmani, Katib Celebi (1609–57) dan
Encyklopädische Uebersicht der Wissenschaften karya J. von Hammer-Purgstall
dari 1804, yang sangat banyak mengutip dari situ. Jika tidak, dia sekadar
menunjukkan nomor halaman bidang-bidang pengetahuan yang diskemakan
oleh orang Austria itu.17
Van Hoëvell dan Veth lebih terkesan pada pengakuan sang Sultan bahwa
dirinya yaitu informan utama Raffles mengenai bahasa Arab, kesusastraan
Jawa, dan zaman kuno.18 Selain itu, dia yaitu kontributor rutin untuk TNI
(yang didirikan van Hoëvell pada 1838) yang diakui oleh Institut Kerajaan
Belanda.19 Sultan memang tuan rumah yang paling menyenangkan bagi
van Hoëvell. Yang van Hoëvell sesalkan, meski memiliki Injil sang Sultan
tidak menyukai isinya. Pada satu kesempatan saat topik Islam dan Kristen
mengemuka, sang Sultan menyatakan, “Oh, Tuanku, saya memahami
keduanya sebagai jalan berbeda, jika kita menjalaninya dengan hormat dan
patut, menuju tujuan yang sama.”20
Tak diragukan lagi jalan Islam yaitu jalan yang jarang dilalui dalam
buku van Hoëvell—berbeda, misalnya, dari jalan pertanian lokal, arkeologi,
arsitektur, dan di atas semua itu, dengan persoalan populasi yang masih-
harus-dikristenisasi. Dalam kaitannya dengan yang disebut terakhir, pendeta
Batavia ini merasa ada dua musuh utama selain kelesuan orang-orang Muslim
yang tidak-begitu-fanatik: rezim yang suka mencari-cari kesalahan di Batavia
dan ancaman diam-diam orang-orang Katolik dalam negeri yang, seperti
Relandus sebelum dirinya, dianggapnya lebih mirip pemeluk Islam ketimbang
Kristen.21 Oleh isebab itu, sebagian besar dari yang van Hoëvell tawarkan di
sela-sela observasi dan pelayanannya berbentuk keluh kesah yang ditujukan
terhadap tanah airnya, agar “yang tersisa dari penaklukan dan kekuasaanmu
atas negeri-negeri ini bukan sekadar reruntuhan dan puing-puing, sesuatu
yang lebih baik ketimbang bayangan samar-samar dari kesenimanan dan
kepengrajinan!”22
MENCARI GEREJA PENYEIMBANG — 123
Pada tilikan pertama, mungkin tak banyak yang berbagi keprihatinan
van Hoëvell, seperti halnya sedikit yang berbagi keprihatinan Relandus pada
1705. warga Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia, yang juga dipimpin
van Hoëvell sejak 1845, nyaris tidak memiliki kedudukan yang baik sejauh
berkaitan dengan koleksi buku-buku Islam. Atau, setidaknya inilah kesan
sang penerjemah Injil setengah hati, H. Neubronner van der Tuuk (1824–94),
yang tiba untuk melakukan kerja persiapan pada 1849 sesudah sebagian dari
sumber-sumber terbaiknya dikirimkan untuk disalin sebagai bahan-bahan
untuk Akademi di Delft.23 Bagaimanapun, informasi bocor ke luar. Pada dua
tahun pertamanya, TNI menampilkan berbagai kontribusi mengenai perang
Padri dan importasi “fanatisme” Mekah. Van Hoëvell juga menerjemahkan
Hikayat Jalal al-Din edisi Meursinge untuk Jenderal De Stuers.24 Namun,
meski van Hoëvell cukup bahagia menampilkan artikel-artikel mengenai
kehidupan Muhammad, kesusastraan Arab, dan makam-makam suci,
berbagai kontribusinya sebenarnya merupakan alasan untuk menyatakan
bahwa, berkebalikan dengan orang-orang Sumatra, orang-orang Jawa nyaris
tidak mengenal Nabi mereka.25 Van Hoëvell juga bersemangat mengutip
pengamatan para pendukung seperti Ketua Raad van Indië, van Sevenhoven,
yang pada 1839 telah menggambarkan pesantren Lengkong, dekat Cirebon,
sebagai kumpulan pondok bambu berbau busuk yang penuh murid setengah
kelaparan dan tak bersemangat.26
Dan, apa yang didapat oleh anak-anak muda malang ini dengan begitu banyak
pengorbanan? Apakah pikiran mereka menjadi maju dan beradab ke derajat,
sepadan dengan kerusakan tubuh mereka? Jawabannya tidak memuaskan.
Pertama, di pendoppo mereka diajari membaca dan menulis secara yang agak
mekanis ... mereka bersama-sama mendengungkan teks yang dipilih untuk
pelajaran. Terdengar seperti lengkingan dan lolongan bagi orang yang belum
tahu; namun para Pendeta atau Santri, yang sesekali mondar-mandir di antara
mereka, segera tahu siapa yang melafalkan pelajaran secara keliru. Para murid
nyaris tidak memahami apa pun yang mereka baca; sesekali sang Hadji
menjelaskan maknanya, dengan itu mereka memperoleh sedikit pemahaman,
namun itu sangatlah tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci.27
Tahun-tahun sesudah itu, potongan-potongan lainnya mulai tersingkap,
yang terbukti sama-sama tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci.
Pada 1844 ada kontribusi ringkas mengenai berbagai tingkatan klerikus di
Surakarta, tempat Mounier dan Winter mengklaim bahwa istilah perdikan
merujuk pada sebuah tingkatan, bukannya tempat.28 Tokoh-tokoh seperti
Kiai Lengkong biasanya dikubur dalam ringkasan-ringkasan statistik yang
lebih besar. Demikianlah yang terjadi terkait dua cendekiawan terkemuka
Dataran Tinggi Priangan di Jawa Barat pada 1846, Kiai Nawawi dari
Limbangan dan mendiang sejawatnya di Sumedang, Kiai ‘Abd al-Jalil. Meski
124 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
jumlah murid masing-masing orang ini dicatat, tak ada yang disampaikan
mengenai apa yang dipelajari selain “membaca berbagai kitab secara mekanis
dan mempelajari beberapa doa”. Bagi para pengamat Belanda, doa dianggap
frasa yang menjadi sebuah mantra mekanis.29
Barangkali contoh terbaik keringkasan kontekstual yaitu deret statistik
seluruh Jawa yang ditawarkan oleh P. Bleeker selama rentang 1849–50, yang
hanya sesekali menampilkan jumlah klerikus per kabupaten. Tampaknya
informasi ini kadang dikumpulkan dan kadang tidak. Jikalau ada, isinya
dipenuhi data hasil panen dan penduduk, tentu saja dengan rujukan-rujukan
perjalanan van Hoëvell pada 1847.30 Terdapat pula beberapa artikel khusus
yang menonjolkan kisah betapa tolerannya orang-orang Jawa. Misalnya,
pencantuman laporan sebuah perselisihan di Banten antara pejabat pribumi
setempat dan beberapa “pendeta” yang memulai Ramadan sehari lebih awal.
Perselisihan ini diselesaikan oleh residen. Dia menunggu purnama berikutnya
untuk menentukan siapa yang benar dan memberi hukuman ringan bagi yang
salah, yaitu sehari merenung di masjid.31
Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa para pengamat seperti van
Sevenhoven, van Hoëvell, dan Bleeker berharap mendapati sebuah lembaga
tertentu di dalam Islam yang menyerupai gereja mereka. Jawa harus punya
gereja perwakilan yang penuh klerikus yang bisa diganti, dihitung, dan
dikategorikan. Oleh isebab itu, mereka sangat bersemangat menggali
laporan-laporan yang lama terabaikan tentang informasi semacam itu, seperti
yang disampaikan oleh Cornets de Groot pada 1823.32 Sementara itu, para
guru yang masih hidup nyaris tidak pernah ditanyai tentang kepercayaan
mereka sebenarnya atau kebencian yang diasumsikan mereka miliki terhadap
agama Kristen. Andai saja ada keterlibatan lebih mendalam dan lebih
hormat ketimbang sekadar kunjungan sehari kepada Kiai Lengkong atau
Kiai Nawawi, para pembawa misi ini mungkin akan mendapat lebih banyak
informasi. Mereka mungkin memperoleh pemahaman lebih bernuansa
mengenai berbagai kategori “phakir” yang berbeda. Bahkan, kalau saja mereka
menyatakannya, hampir pasti ada koreksi terhadap kesalahpahaman mereka
bahwa haji yaitu peziarahan ke makam Nabi. Mereka berusaha memahami
Islam hanya berdasar sumber tekstual yang terbatas dari Belanda, bukannya
melalui pengalaman mereka di lapangan.
Pertimbangkan sebuah artikel singkat mengenai hukum waris menurut
mazhab Syafi‘i yang ditulis pada 1850 oleh ketua baru Raad van Indië, J.
van Nes. Artikel yang bersumber dari edisi teks bukan dari seorang guru
yang hidupnya dimaksudkan untuk membantu para pejabat Belanda dalam
kasus-kasus yang para bupati bawahan mereka tidak memiliki pengetahuan
yang memadai mengenai hukum Islam. Asumsi operasionalnya yaitu :
pengetahuan pribumi mengenai agama memang tidak sempurna.33
MENCARI GEREJA PENYEIMBANG — 125
Bagaimanapun, berdasar informasi sesederhana yang bisa mereka
kumpulkan dari van Hoëvell (yang dipaksa pindah ke Belanda pada 1849
isebab kritiknya terhadap Batavia), para misionaris yang jauh lebih optimistik
ketimbang van der Tuuk menjadi aktif, baik dalam mengajak sasaran kristenisasi
maupun dalam menghadapi berbagai tantangan. Seperti sudah ditunjukkan
Ricklefs, yaitu misionaris Harthoorn dan W. Hoezoo (w. 1896), keduanya
aktif di Jawa Timur pada 1850-an, yang kali pertama mengamati kecenderungan
baru di kalangan Muslim yang menyebut diri “orang-orang putihan” dan
melabeli sejawat mereka yang diyakini kurang religius sebagai “orang-orang
abangan”. Laporan panjang mereka, yang direproduksi dalam jurnal-jurnal
seperti Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (MNZG),
termasuk di antara sumber-sumber terpublikasi paling berharga untuk melacak
perubahan sosial di Jawa pada abad kesembilan belas, meski kedua pengarangnya
jelas terpenjara oleh para informan elite mereka. Harthoorn yang tak mengerti,
khawatir warga Jawa akan dikuasai sejenis “despotisme” Mohammedan
puritan, menempatkan “Doel” di pihak kaum santri yang lebih “sadar” sebagai
sebuah kelas. Lebih jauh lagi, rekannya Poensen mengklaim bahwa mereka
menyamakan Tuhan dengan Muhammad dan berusaha terlahir kembali sebagai
pejabat Belanda! Pastinya setiap santri Naqsyabandi harus membuat pembelaan
atas praktik mereka. Dalam sebuah dialog yang dikumpulkan Poensen, seorang
guru Dul marah atas tuduhan bangsawan bahwa para pengikutnya percaya
Nabi merasuki tubuh mereka pada saat dzikr.34
Para petualang lain yang terikat negara kolonial menjadi tertarik
untuk melacak detail-detail kehidupan sehari-hari dan memecahkan teka-
teki mengenai apa persisnya yang diajarkan di pesantren-pesantren—
walaupun seperti Lay dan Dickinson mungkin mengalami kesulitan melihat
yang terpampang di depan mata. Inilah yang terjadi pada 1855 saat
“J.L.V.” menerbitkan kontribusinya mengenai “para pendeta dan seminari”
Madiun. Sebagaimana kita lihat, J.L.V.—barangkali seorang pejabat yang
menggunakan nama inisial untuk menghindari dampak kedinasan isebab
berhubungan dengan van Hoëvell—tegas menentang anggota rahasia sekte
yang dikenalnya sebagai “Doel”. Namun, seperti halnya memihak “ortodoksi”
lokal melawan kaum sektarian, dia tetap mencemooh kondisi pendidikan di
kalangan ortodoks. Dia menyatakan bahwa apa yang ditawarkan di perdikan-
perdikan hanyalah “hafalan beberapa bagian Koran dan doa-doa berbahasa
Arab, tanpa si siswa mampu memahami satu kata pun. Sang guru pun tak
mampu memberi gagasan mengenai arti dan maknanya isebab dia sendiri
jarang lebih paham daripada si murid”. Kemudian, dia melanjutkan:
Jika kita berpikir bahwa seminari-seminari di Kabupaten Madioen termasuk
yang paling terkenal di seluruh pulau; bahwa anak-anak muda datang ke sini
dari dekat dan jauh untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran dari para guru,
atau lebih tepatnya, tinggal untuk beberapa lama agar bisa berkata mereka
pernah di sini; dan berpikir bahwa lembaga-lembaga ini yaitu sumber
agama Mohammedan menyebarkan getahnya ke seluruh penduduk; kita bisa
membayangkan bahwa orang-orang Jawa yaitu kaum Mohammedan yang
sangat buruk. Dan, memang demikian. Selain sedikit ritual, semangat Islam
hanya memiliki sedikit kekuatan di antara mereka. Ini tak lain hanyalah bentuk
[Islam], yang dilengkapi dan dilapisi segala macam tradisi takhayul, sebagian
diambil dari Hinduisme, sebagian dari fantasi mereka sendiri.35
Sudah cukup tentang ortodoksi. Kita juga bertanya-tanya apa kiranya
dalam tulisan J.L.V. yang mungkin tidak disetujui van Hoëvell isebab dia
berkomentar dalam sebuah catatan kaki bahwa dia tidak mesti sepakat dengan
apa yang dikatakan sang penulis mengenai perdikan.36
Pemahaman mengenai jenis kajian yang mungkin lebih disukai van Hoëvell
muncul dua tahun kemudian. Rekan sesama pendetanya, Jan Brumund (1814–
63), menerbitkan penilaian atas keadaan pendidikan warga Jawa. Tulisan
itu memenangi hadiah yang ditawarkan oleh warga untuk Kemajuan
Kebaikan Umum di Hindia Belanda. Sama seperti syarat keikutsertaan pada
kompetisi 1819, para peserta dituntut untuk melakukan penyelidikan mengenai
sifat dasar pendidikan pribumi agar bisa ditingkatkan oleh negara. Brumund
menggempur pokok bahasannya dengan semangat tinggi, menjajarkan laporan
van Sevenhoven sebelumnya mengenai Lengkong dengan laporannya sendiri
mengenai Tegalsari dan Sumenep. Memang, “menggempur” yaitu gambaran
paling tepat untuk apa yang dia lakukan. Brumund menyimpulkan bahwa
langgar-langgar pedesaan pada umumnya tak lain hanyalah pabrik “nuri dan
kakaktua” yang mengubah anak-anak menjadi pengemis. Rasa ingin tahunya
tentang pesantren yang tengah merosot milik Hasan Besari II dari Tegalsari
yang sudah berusia delapan puluhan (aktif 1820–62) hanya memberinya sedikit
informasi mengenai karya-karya yang dipelajari di sana.
Kelemahan Brumund sebagai seorang etnolog, paling tidak sebagiannya,
pastilah akibat ketidakmampuannya untuk berdialog dengan sang Kiai. Belum
lagi sikap ngototnya untuk tetap bersepatu di “tempat suci” sang Kiai!38 Dia
terus-menerus mendesak sebagian murid agar menyebut Sirat al-mustaqim karya
Raniri sebagai buku panduan utama pendidikan mereka. Tuntutan Brumund
agar ditunjukkan karya selain Al-Quran membuat mereka mengeluarkan salinan
Taj al-muluk (Mahkota para Raja)-nya Roorda van Eijsinga. Brumund dengan
penuh kemenangan menyatakan dirinya merasa amat senang membacakan
karya rekan senegaranya kepada khalayak yang terlihat tak percaya.39
Karya Brumund dicetak dalam jumlah yang jauh lebih sedikit
dibandingkan teks Melayu Roorda van Eijsinga. Walaupun begitu, dia
berhasil menggalang dukungan para pendeta di Tanah Air terhadap
pandangannya bahwa umat Muslim Hindia hanyalah muslim permukaan dan
para pengemis. Sementara Niemann menjiplak karya Brumund mengenai
buruknya kualitas pendidikan pesantren, van Hoëvell yang sebelumnya
menjadi corong kaum Liberal di parlemen Belanda beralih ke posisi lebih
radikal.40 Pada awal 1860-an jurnal van Hoëvell berhasil mengejek “mereka
yang konon yaitu cendekiawan” yang berani menyatakan warga Jawa
sebagai “Mohammedan”, sementara dia sendiri menyesalkan pendidikan
hukum Islam di Delft untuk para pejabat sebagai tindakan membuang-buang
energi, konyol, dan perwujudan segala hal yang keliru dalam sistem Belanda.
Tentu saja van Hoëvell mendapat kritikan dari Delft. Keijzer mengkritik
keras tulisan-tulisannya mengenai Jawa pada 1859. Keijzer mengulangi sekali
lagi argumen bahwa kajian atas hukum Islam “murni” harus mendahului
penilaian apa pun terhadap hukum-hukum tradisional lokal seperti
“Polinesia”. Van Hoëvell yang meradang tentu memikirkan Keijzer yang-
tinggal-di-Tanah-Air saat dia menulis bahwa seorang Delft saat tiba di
Hindia akan mendapati segalanya tidak seperti “berbagai mimpi dan
bikinan guru besar Mohammedan-[nya]”. Lagi pula:
Jika orang-orang Jawa yaitu kaum Mohammedan sejati, dan warga
Jawa yaitu warga Mohammedan yang sebenarnya, harus ada organ yang
membuat Islam tetap hidup dalam warga ini, dan harus ada sarana yang
membuat semangat Islam hidup dari generasi ke generasi .... Adakah organ
semacam itu? Adakah sarana seperti itu? Adakah sekolah-sekolah Mohammedan,
tempat anak-anak muda memperoleh pendidikan Islam? Adakah pendeta-
pendeta Mohammedan yang membangkitkan semangat Islam dalam diri kaum
muda dan menjaganya tetap hidup dalam diri orang-orang dewasa? Memang
benar di setiap desa terdapat masjid atau rumah ibadah dan seorang pendeta.
Namun, rumah-rumah ibadah itu hanya digunakan pada acara-acara tertentu
dan tetap kosong. Dan, para pendeta! Siapa para pendeta?
Para editor mengumumkan bahwa mereka tidak akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan mengutip van Hoëvell,
Brumund, atau “para penentang teori-Islam” yang lain. Sebaliknya, artikel
van Sevenhoven dari 1839 sekali lagi menyebut-nyebut agar kesuraman,
kekotoran, dan kebodohan Lengkong bisa mewakili Islam di Jawa secara
keseluruhan. Veth tampaknya mendaur ulang - yang sama
dalam sebuah artikel dari 1858.43 Dengan berkuasanya orang-orang Liberal
yang disokong Kristen seperti van Hoëvell dan pemindahan sekolah pelatihan
negara ke Leiden (dan KITLV ke Den Haag), pokok ini menjadi sangat
jelas bagi Keijzer. Mendanai sebuah jabatan yang mengajarkan hukum Islam
dianggap tak berguna mengingat Jawa “bukanlah warga Mahommedan
yang murni”, juga tidak “diatur oleh hukum Mahommedan”.
Terlepas dari berbagai penilaian negatif seperti yang ditemukan dalam
TNI, dan terlepas dari berkuasanya kaum Liberal, laporan-laporan sezaman
yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain di Hindia memperlihatkan keadaan tengah
berubah. Buku-buku selain Taj al-muluk beredar. Jumlah serta bentuknya kian
meningkat, meski belum sampai ke tangan orang-orang Barat. Pada 1857
Hermann von de Wall (1807–73), orang Jerman yang terakhir ditugaskan
menyusun kamus Belanda-Melayu definitif, meminta salinan atau inventaris
kepemilikan apa pun atas manuskrip-manuskrip Melayu, Jawa, Sunda, dan
Arab dari berbagai residen Hindia.45 Hasilnya campur aduk.
Pada beberapa kasus, para pejabat (atau bawahan mereka) mengabaikan
permintaan von de Wall. Mereka menyangkal keberadaan manuskrip seperti
itu atau menjawab tidak punya cukup kontak di kalangan pribumi yang tepat
(von de Wall telah menyarankan agar “para pemimpin atau pendeta pribumi”
dimintai nasihat dalam hal ini).46 Di Solo, A.B. Cohen Stuart (1825–76)
berpandangan bahwa memadukan faktor-faktor seperti penjagaan rahasia
dan kekhawatiran hilangnya manuskrip yang dipinjam untuk disalin, sejak
semula tak banyak yang bisa dilakukan. Stuart bahkan menasihati residennya
bahwa dia meragukan keberadaan materi-materi berbahasa Melayu, Arab,
atau apalagi Sunda di keraton.
Akan namun , sebagian dari permintaan von de Wall dipenuhi oleh
beberapa karesidenan di Sumatra Barat, Palembang, Jawa Barat, dan Madura.
Dia menerima berbagai macam teks yang dikehendaki dalam jumlah cukup
besar, mulai buku pengantar al-Sanusi hingga Ratib Syekh Samman.48 Kota
pelabuhan Surabaya, yang minoritas Arab-nya menonjol, juga mengirimkan
banyak hikayat Melayu salinan koleksi pribadi Syekh ‘Ali (al-Habsyi?), yang
juga menyediakan delapan belas karya sejarah, fikih, dan ilmu bahasa.
Urutan persis teks-teks ini dan penggunaan praktisnya barangkali bukan
yang pertama dipikirkan von de Wall saat mulai menggarap kamusnya (satu
lagi yang tidak akan pernah terlahir ke dunia). Tidak seperti begitu banyak
rekan-rekannya, tampaknya von de Wall terlibat secara aktif dengan informan
utamanya, Raja ‘Ali Haji dari Riau, dan kemungkinan besar menganggap
Islam lebih dari sekadar jubah compang-camping yang dikenakan bangsa yang
kehilangan hubungan dengan kesusastraan “asli” mereka. Namun, pandangan
demikian tetap mengakar selama beberapa dekade, seperti penilaian tajam
Brumund mengenai pesantren, meski ada beberapa orang yang menentangnya
secara publik.
Sementara Harthoorn secara singkat membicarakan kurikulum
pesantren dalam sebuah laporan internal pada 1857 dan Carel Poensen dengan
senang hati mengulangi Brumund dalam laporan lain yang ditulis pada 1863,
dua ulasan di Bataviaasch Zendingsblad yang baru didirikan menawarkan
pengamatan yang relatif berpikiran terbuka mengenai sebuah pesantren di
Jawa Barat dan buku-buku yang digunakan di sana.50 Kedua ulasan ini ditulis
pada 1864 oleh editor muda jurnal ini , seorang anak didik Taco Roorda
bernama Gerhardus Jan Grashuis (1835–1920). Grashuis yaitu mantan
murid NZV di Rotterdam dan guru Seminari Gereja Free Scots di Amsterdam.
Dia pertama-tama dikirim ke Bandung pada 1863 untuk belajar di bawah
asuhan K.F. Holle (1822–96) sebagai persiapan untuk menerjemahkan
Injil ke bahasa Sunda dan menunggu izin dari gubernemen untuk memulai
kegiatan misi.51 sesudah menanti dua tahun dan gagal mendapatkan izin, sang
misionaris frustrasi dan berlayar ke Belanda pada akhir 1865.
Grashuis melanjutkan mengajar di seminari, tapi tak lama kemudian
pergi lagi. Dia mengeluh bahwa usaha-usahanya (seperti terjemahannya atas
Injil Lukas) tidak dihargai secara layak oleh atasan.52 Pada 1868 dia ikut ujian
calon pejabat dan diterima menjadi pegawai gubernemen di Jawa. Pada 1873
Grashuis menjabat dosen bahasa Sunda di Institut Negeri Leiden dan pada
1877 dia pindah ke University bersama Veth serta Pijnappel.53 Selama periode
ini , Grashuis menerbitkan serangkaian teks mengenai bahasa Sunda dan
Melayu dengan mengulangi artikel-artikelnya dari 1864 serta menerjemahkan
contoh teks-teks Islam untuk digunakan para calon pejabat.54
Dulu, pada 1864 saat berkunjung kali pertama ke Timur, Grashuis
jauh lebih berorientasi teologi. Dia menyatakan sudah lama tertarik pada
upaya misionaris di Hindia dan oleh isebab itu digelisahkan oleh terbatasnya
sumber daya dan informasi yang dimilikinya.55 Dorongan untuk tulisan
pendek pertamanya mengenai Islam yaitu ketidakpuasannya dengan
informasi yang tersedia mengenai apa yang diajarkan di pesantren-pesantren
Jawa. Yang mengejutkannya, sesudah memiliki bertahun-tahun pengalaman di
Hindia, Belanda tidak bertambah bijak. Keadaannya semakin menjengkelkan
isebab sekolah pelatihan di Delft lebih berminat menugaskan kajian mengenai
bagaimana atau apakah orang-orang Jawa membayar zakat, ketimbang tentang
Islam.
Sebagaimana yang dia amati, jawaban lazim terhadap pertanyaan itu tak
lebih dari sekadar pengulangan bahwa terdapat jauh lebih banyak sisa-sisa
agama kuno pra-Islam ketimbang Islam dan bahwa lembaga-lembaga yang
ditujukan untuk menanamkan Islam sebenarnya menawarkan sangat sedikit
hal yang mereka anggap “pendidikan”. Tentu saja pandangan ini tidaklah
universal, namun bagi mereka yang tidak memiliki pandangan yang sama akan
senang menyaksikan berkurangnya jumlah lembaga semacam itu, tempat
orang bisa mendapati lebih banyak lawan ketimbang kawan bagi gubernemen
Belanda.
Grashuis menyatakan bahwa mencari tahu tentang sekolah-sekolah
ini bukanlah tugas yang mudah, terutama isebab subjek penyelidikannya
cenderung menghindari orang-orang Kristen yang kafir. Namun, pada 1864
dia melakukan usaha pada lembaga semacam itu. Pesantren ini, barangkali
berlokasi di Garut, didirikan pada 1857 di bawah kepemimpinan seorang
cendekiawan yang sudah belajar di tempat lain di Jawa. berdasar laporan
Grashuis, sang guru cukup terbuka dalam menjelaskan agamanya dan metode-
metode yang dia gunakan. Oleh isebab itu, Grashuis mampu memberikan
beberapa koreksi penting mengenai perbedaan antara para guru pesantren dan
gagasan kaum cendekiawan dalam Islam, dengan menyamakan perbedaan itu
dengan perbedaan antara kalangan pendeta dan anggota perguruan tinggi
keagamaan.
Dalam pengantar untuk tulisan keduanya, Grashuis sekali lagi
mengeluhkan para misionaris Belanda yang memberikan “jauh terlalu sedikit
perhatian pada sifat orang-orang yang berusaha mereka kristenkan”.56 Juga
jelas dari komentar-komentar dalam Soendanesche Bloemlezing-nya yang terbit
belakangan bahwa dirinya pada saat itu mulai menyadari bahwa, terlepas
dari ajaran Holle mengenai persoalan ini, orang-orang Sunda memiliki
kesusastraan tertulis yang sepenuhnya berlandaskan Islam. Bahkan, Grashuis
juga mengakui bahwa, melalui penekanan mereka terhadap literasi, pesantren
menawarkan akses pada pendidikan dalam arti yang lebih luas. Oleh isebab
itu, dia bermaksud membekali para misionaris dan pejabat dengan akses yang
lebih baik terhadap peradaban itu melalui analisis pendahuluan atas teks-teks
yang telah dilihatnya, mulai dari karya mengenai kesucian ritual dan soal-
jawab al-Samarqandi.58 Grashuis membuktikan bahwa murid mempelajari
berapa jumlah nabi, berapa jumlah kitab yang dibawa oleh masing-masing,
dan bahwa Muhammad yaitu nabi pamungkas dengan membawa pesan
terakhir dan hukum terakhir—sebuah pesan yang menurut Grashuis tidak
boleh diremehkan. Grashuis juga menjelaskan perincian “pengetahuan agama
dan keimanan” dan meringkaskan kandungan buku pengantar lain (Umm
albarahin karya Sanusi) mengenai sifat-sifat Tuhan, “sebuah topik yang sangat
disukai oleh para teolog Mohammedan”.
Untuk seorang petugas dengan pikiran yang terfokus pada misi, Grashuis
menawarkan penilaian adil yang mengagumkan terhadap sistem pesantren,
meski dia masih percaya bahwa terdapat sebuah jurang yang dalam antara
Belanda dan rakyat Muslim mereka. Pada 1881 dia menulis:
Pada suatu kesempatan ada seorang pribumi berkata kepada saya bahwa
“Agama Anda dan agama saya berbeda; Tuhan tahu mana yang benar, tapi kita
tidak tahu”, dan juga “Anda punya nabi, kami juga punya. Namanya mungkin
berbeda, tapi pada dasarnya agama kita yaitu satu”. Ini yaitu pandangan
seorang Mohammedan liberal, dan kurang representatif dibandingkan yang
barangkali dipikirkan orang. Pandangan itu diberikan sebagai usaha untuk tidak
mengganggu pihak luar. Para santri mempelajari hal sebaliknya, yang dalam hal
ini kita tidak boleh berilusi. Ajaran itu berbunyi, “Mohammed yaitu nabi
terakhir, penutup para nabi, pangeran para nabi.” Ajaran mereka yaitu satu-
satunya kebenaran, satu-satunya jalan yang diridai Tuhan.
Dengan mengesampingkan buku-buku dan juga keyakinannya sendiri,
Grashuis tidak bisa tidak berkomentar pada 1864 mengenai proses yang
mendasari kian meningkatnya kecintaan publik terhadap Islam yang eksklusif
seperti itu:
Ibadah haji melengkapi kekurangan dalam penyebaran Islam di kalangan suku-
suku dan bangsa-bangsa kafir. Sang mualaf lazimnya tidak secara mendalam
menceburkan diri dalam agama baru yang dikhotbahkan dan diajarkan. Dia
didesak memasukinya oleh para pedagang Arab yang licik. Namun, ibadah haji
merupakan ikatan yang mencakup seluruh umat Muslim, dan bahkan orang-
orang dari tempat paling terpencil sekalipun berhubungan dengan ordo-ordo
suci tempat Islam dilahirkan. Setiap tahun terdapat pengingat dan peringatan
bagi orang beriman; setiap tahun orang melihat mereka datang dan pergi, yang
telah memberikan banyak hal, dan kadang segalanya, demi agama mereka,
dan oleh isebab itu mereka pun mendapat penghormatan dan penghargaan
yang sepadan. Meskipun tak ada inspirasi dan antusiasme yang terpancar dari
Mekah, kota ini tetaplah jantung dunia Mohammedan. Dari Mekah, setiap
tahun kehidupan keagamaan yang baru mengalir melalui setiap pembuluh.61
Demikianlah Islam mengalir. Akhirnya, para pejabat lain mengikuti
jejak Grashuis mencari wawasan lebih mendalam mengenai ajaran sekolah-
sekolah keagamaan di wilayah mereka atau setidaknya mengajukan pertanyaan
tentang informasi yang kiranya sudah tersedia. Pada 1864 pengawas sekolah
J.A. van der Chijs bahkan bisa mengorek-ngorek informasi mengenai
pesantren-pesantren Jawa dalam arsip-arsip penyimpanan yang telah berdebu
sejak kuesioner 1819 dan 1831.62 Pihak lain yang tertarik, lulusan baru Delft
A.W.P. Verkerk Pistorius (1838–93), berusaha menyurvei karya-karya yang
digunakan di surau-surau Sumatra Barat untuk TNI.63 Menurutnya, yang
diketahui mengenai wilayah kekuasaan Belanda selain Jawa nyaris tidak ada.
Verkerk Pistorius membuktikan kekeliruan pernyataan Grashuis bahwa orang-
orang Kristen Belanda dan muslim setempat secara inheren tidak mampu
saling berkomunikasi. Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan seorang
cendekiawan setempat, Syekh Muhammad dari Silungkang selama tiga tahun
di Sumatra Barat (sekitar 1866–68). Dia bahkan menyatakan bahwa sang
syekh sangat bersedia menikmati segelas anggur bersama orang-orang Belanda
setempat pada acara-acara pesta.
Verkerk Pistorius juga dibiarkan berkeliaran di antara murid-
murid sekolah itu pada pukul berapa pun dan oleh isebab itu dia mampu
memberikan gambaran yang berharga mengenai sebuah lembaga hidup yang
didirikan oleh seorang guru yang telah belajar di Mekah selama satu dekade.
Dia menggambarkan kurikulumnya sebagai fleksibel, dengan penekanan pada
pendidikan moral dan pembentukan ikatan personal di antara orang-orang
Sumatra yang lazimnya terpecah-pecah oleh kesetiaan pada klan. Menurut
Verkerk Pistorius, para pakar pendidikan Belanda yang berusaha membuat
perubahan-perubahan yang langgeng dalam warga Hindia sebaiknya
mengikuti teladan Syekh Muhammad.64 Karya Verkerk Pistorius merupakan
kemajuan besar dari katalog dugaan-dugaan yang dibuat oleh van Hoëvell
dan Veth. Namun, daftar yang dibuatnya untuk teks-teks yang dijelaskan oleh
sang syekh tetaplah merupakan perincian bidang-bidang pengetahuan yang
didaftar menurut sebutan lokalnya.
Barangkali ketidakmampuan Verkerk Pistorius untuk melangkah lebih
dalam yaitu isebab lebarnya kesenjangan antara teks-teks yang dia lihat dan
teks-teks yang diajarkan oleh Delft. Begitu pula, sedikit yang dia pelajari di
bawah bimbingan orang-orang seperti Keijzer, yang karyanya tentang ibadah
haji dia rujuk, yang dapat membuatnya siap memahami dengan tepat “omong
kosong” yang dibicarakan orang tentang haji, apalagi menghubungkan praktik-
praktik yang dia saksikan dengan tarekat Naqsyabandiyyah yang tengah
berkembang, tempat Syekh Muhammad dari Silungkang tampaknya yaitu
salah seorang pendukungnya.66 Namun, dalam hal ini, apa yang didengar
telah membuat Verkerk Pistorius salah mengerti. Di satu sisi, dia menulis
para murid memberitahunya bahwa dzikr bersama yang mereka praktikkan
dengan diiringi rebana diperkenalkan oleh orang-orang India di Aceh dan
kali pertama digubah oleh pertapa “Baroedah”. Namun, di akhir artikelnya,
Verkerk Pistorius merujuk pada ajaran-ajaran Baru Tuanku Syekh “Baroelah”
dari Tanah Datar, yang sudah kembali dari Mekah dan menyebarkan ajaran-
ajaran mazhab “Abu Hanifa”. Menurut Verkerk Pistorius, itu bisa dikenali
dari praktik suluk dan memulai Ramadan sehari lebih awal.68
Ini sejalan dengan perdebatan Naqsyabandi-Syattari. Arnold Snackey
dengan hormat melaporkan pada 1880-an bahwa para Tuanku “Hanafi”
dari Pasir, Silungkang, Kersik, dan Bonjol yang bersekutu dengan Cangking,
berkumpul di bawah pimpinan Syekh “Beroelak” di Padang Genting pada
1858.69 Para pengamat seperti Verkerk Pistorius mungkin tidak memahami
makna persis perbedaan-perbedaan antara berbagai ajaran. Namun, dia
cukup mengerti bahwa perdebatan mengenai pengamatan bulan berpotensi
mengacaukan hubungan administrasi Belanda dengan rakyatnya yang menganut
mazhab Syafi‘i, mazhab yang diyakini Verkerk Pistorius terkenal dengan
“toleransi”-nya dibanding mazhab yuridis resmi Utsmani.70 “Waspyaitu ,”
demikian dia mendorong para pembaca TNI, mengingatkan mereka pada
perjalanan van Hoëvell dan contoh tak bersahabat Padri terakhir, Tuanku Imam
Bonjol, “isebab kita berdiri di gunung berapi” dan bara api fanatisme tidak bisa
menimbulkan bencana yang lebih besar ketimbang di “Jawa yang membara”.
Artikel-artikel Verkerk Pistorius yang agak berbunga-bunga serta
seruannya untuk penyelidikan lebih jauh dan kewaspadaan, dikumpulkan dan
diterbitkan kembali pada 1871. Namun, tidak ada terobosan signifikan hingga
Juni 1883 saat Poensen—yang sejak lama terbiasa melatih para pejabat di
Gimnasium Willem III—mulai mengirimkan surat-surat ke Soerabaiasche
Handelsblad tentang observasinya selama bertahun-tahun terhadap kehidupan
desa. Poensen menegaskan bahwa Belanda tidak perlu melihat ke arah selain
halaman belakang mereka sendiri untuk melihat orang-orang sibuk dengan
urusan mereka sebagai kaum Muslim. Dia juga mengkritik mendiang penjaga
warga Batavia, Friederich, yang pernah menulis bahwa para haji Jawa
“hanya sedikit terinspirasi oleh fanatisme orang-orang Asia Barat”, dan tetap
menjadi “orang-orang yang tenang dan damai”.
Untuk menandingi gambaran ini, Poensen memanfaatkan tulisan-tulisan
paling akhir Snouck Hurgronje semasa muda mengenai ciri “internasional”
Islam seperti yang dikukuhkan oleh ibadah haji. Poensen juga mengungkapkan
pandangan mengenai kebencian umum terhadap “Kapir-sétan” Belanda, yang
membodohi diri mereka dengan gagasan naif bahwa semua orang benar-benar
puas dengan pendidikan dan pembangunan beberapa masjid, mengikuti jalur
yang sangat bercorak Grashuis mengenai apa yang sebenarnya dipikirkan
kaum Muslim.