Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 7

 


nya, pada 1863 Dozy menghasilkan monograf pertama dari sebuah 

serial mengenai “agama-agama utama” yang dalam banyak hal sepakat dengan 

Keijzer dan Niemann. Karya ini bahkan menggunakan plat-plat Keijzer, 

sesekali dengan penyesuaian (seperti saat  gambar kepala seorang jemaah 

haji “Jawa” yang sudah tidak menarik digantikan gambar kepala haji “Arab” 

yang bahkan lebih tak menarik).62 Dengan kehalusan yang sedikit lebih baik 

dia memanfaatkan apa yang telah dikatakan Veth mengenai Hindia pada 

1840-an. Dengan demikian, para Sufi pada masa mereka digambarkan sebagai 

penipu bejat dan orang-orang Wahhabi sebagai para pembaharu berprinsip 

yang barangkali bahkan telah memengaruhi kaum Padri. Meskipun Dozy 

dengan senang hati menjiplak catatan Veth mengenai istilah “Padri”, seperti 

Niemann dia lebih berhati-hati dalam menyamakan gerakan ini  dengan 

perjuangan Wahhabi.63

  

Bab kita ini dibuka dengan kisah persaingan antara kekuatan lama dan 

kekuatan yang baru muncul, yang bertarung di seluruh Asia Tenggara 

sesudah  keruntuhan VOC. Namun, pergeseran hegemoni dan pengaruh 

itu sama sekali tidak sederhana isebab  banyak sultan setempat mencoba 

116  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

memanfaatkan perubahan dalam pengawasan untuk melepaskan diri dari 

perjanjian-perjanjian lama. Dalam berbagai perang dan penjarahan yang 

terjadi kemudian, Belanda mendapati diri mereka membutuhkan para pejabat 

yang mampu mengelola orang-orang Muslim yang secara lebih resmi berada 

dalam kekuasan imperial mereka. Untuk tujuan ini, harta karun berupa teks-

teks rampasan yang sebelumnya diabaikan menjadi landasan bagi buku-buku 

panduan pelatihan yang digunakan para guru yang kebanyakan belum pernah 

ke Hindia, dan yang kecenderungan alamiahnya mungkin bertentangan 

dengan bahan-bahan yang tersedia dari Timur Tengah.

Sebagaimana akan kita lihat, berbagai pandangan metropolitan 

mengenai apa itu Islam juga dimiliki oleh para aktivis tertentu di Jawa. 

Namun, titik tempat mereka berada berbeda, dan sering secara mendalam, 

yaitu  pengakuan bahwa apa yang ditemukan di pulau itu pertama-tama 

merupakan Islam yang sebenarnya. Namun, meski akademi-akademi di 

Belanda berbeda dalam watak politik, mereka memiliki tujuan yang sama: 

menghasilkan para pegawai yang kompeten untuk usaha kolonial. Hasil dari 

Leiden mengecewakan maka upaya ini sangat membutuhkan permulaan baru 

yang diperoleh pada 1867. Permulaan itu muncul dalam bentuk sekolah 

pelatihan yang lain, yaitu “seksi-B” dari Gimnasium Willem III, yang dibuka 

di Batavia pada 1860. Sekolah ini meniru kurikulum Delft, namun  menghapus 

keharusan mengirimkan putra banyak pegawai Hindia yang dilahirkan di tanah 

asing menuju pengalaman yang tak menentu di metropolis. Bagaimanapun, 

masa depan terbentang di hadapan mereka di Hindia Belanda yang terus 

berkembang (namun  sayangnya tetap muslim). 

Siang dan malam kami dimintai apa pun yang mereka lihat di sekitar kami; 

saat  sadar tidak berhasil—isebab  tidaklah mungkin memenuhi permintaan 

para pelamar yang tak tahu malu semacam itu—mereka mulai meminta buku, 

yang dijanjikan untuk mereka saat  kami kembali ke kapal. Kami memberi 

tahu mereka bahwa tidak ada hikayat atau syair yang bagus untuk diberikan, tak 

ada apa-apa selain Injil dan Kitab Perjanjian. “Baiklah,” kata mereka, “berikan 

kepada kami.”1 (G. Tradescant Lay, Brunei, 1837)

Sementara negara mendirikan sekolah-sekolah pelatihannya untuk para calon pejabat kolonial, penulisan catatan perjalanan dan pengumpulan 

buku oleh para pendeta-ilmuwan terus berlanjut. Kebencian para pendeta-

ilmuwan terhadap Islam terlalu kentara, bahkan saat  mereka menyampaikan 

sesuatu yang baru. Ini bisa diketahui dari laporan-laporan orang Amerika James 

T. Dickinson (1806–?) dan rekan Inggrisnya, sang Naturalis G. Tradescant 

Lay (sekitar 1805–45), yang bepergian bersama dari Malaka ke Sulawesi, 

Magindanao, dan Borneo pada 1837.2 Kedua lelaki ini memetakan berbagai 

peluang bagi Kristenisasi pada masa depan dan kemungkinan membagikan 

propaganda cetakan dalam bahasa Melayu dan Makassar. Risalah-risalah 

mereka tampaknya diterima dengan baik oleh orang-orang Brunei yang saat 

itu masih merdeka, meski hanya sebagai pengganti “hikayat” yang tampaknya 

sangat mereka inginkan. Selera baca mereka pastinya menjengkelkan bagi 

Lay dan Dickinson, yang juga tersinggung oleh cara Belanda menghalangi 

aktivitas misi di mana pun mereka berkuasa. Lay bahkan menyebutkan bahwa 

sementara “sang Pangeran Kegelapan” sudah lama menguasai Borneo, “orang-

orang Belanda-lah” yang “belakangan ini menjamin kekuasaan tunggal 

atasnya menjadi milik sang Pangeran untuk selamanya”.3

Akan namun , kadang-kadang, kedua misionaris ini  dikejutkan oleh 

keterbukaan umat Muslim Nusantara. Kepala “pendeta” Brunei—yang pernah 

bermukim di Mekah selama 25 tahun—mengaku berhubungan baik dengan 

E N A M

MENCARI 

GEREJA PENYEIMBANG

1 8 3 7 – 1 8 8 9

118  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

salah satu ordo mereka di Singapura, dan telah mengizinkan akses setempat bagi 

Injil berbahasa Melayu, yang oleh Lay dan Dickinson secara keliru dibayangkan 

sebagai hal terlarang bagi orang-orang Muslim yang taat.4 Mereka menyaksikan 

dzikr bersama di istana Sultan Brunei ‘Umar ‘Ali Sayf al-Din II (berkuasa 1829–

52), namun  tampaknya mereka tak bisa memahami arti pentingnya. Lay yang 

jelas bersikap bermusuhan menggambarkannya sebagai berikut:

Pada Kamis petang ... anggota keluarga berkumpul, duduk dalam sebuah lingkaran 

dengan buku dan lampu di tengah-tengah. Mereka melantunkan beberapa syair 

dan masing-masing menabuh rebana kecil sebagai pengiring. Hiburan paduan 

suara ini menghabiskan waktu antara dua hingga tiga jam dan kerap terlihat sikap 

agak bermain-main, seolah-olah para penampil berusaha keras membawakan 

keseluruhannya sebisa mungkin sebagai senda gurau yang hebat .... saat  bagian 

ini selesai, mereka beralih ke semacam modus minor dengan karakter yang 

menjemukan bersiap untuk penutupan saat semuanya berdiri dan mengulang-

ulang kredo agama Mahommedan dalam tiga kata. Pengulangan ini serentak dan 

diucapkan dengan sikap membungkuk dalam-dalam. Pertama dengan nada seorang 

makhluk rasional, namun  semakin khidmat semakin mirip nada binatang hingga 

menyerupai seruan tiba-tiba yang merupakan campuran antara gonggongan dan 

gerengan sekawanan babi saat  mereka tiba-tiba terbangun dari tidur. Gerakan 

kepala seirama kegaduhan itu terkesan menjadi sangat konyol. Perbuatan gila ini 

terus berlangsung sampai semua kelelahan. Namun, begitu terampilnya mereka 

melakukan hal ini. Meskipun melalui tahapan yang panjang, mereka tetap penuh 

semangat. Padahal kami berharap melihat kepala mereka terkulai.5

Sementara itu, Dickinson menuturkan episode ini  sebagai berikut:

Pada waktu petang, yang merupakan malam suci mereka ... kami mendapat 

kesempatan menyaksikan sambayang (ibadah) mereka. Ini dimulai di beranda 

sang Sultan sekitar pukul 21.00, dengan nyanyian diiringi rebana. Musiknya 

yaitu  yang terbaik yang pernah saya dengar di kalangan pribumi di Timur. 

sesudah  satu atau dua jam nyanyian yang agak monoton, mereka menjadi lebih 

bersemangat dan memulai nyanyian yang sangat khas. Mereka membungkuk 

pada saat bersamaan dengan cara yang sama khasnya, tetap seiring dengan nada. 

Nyanyian sesekali berubah dan demikian pula gerakan tubuh. Kegembiraan 

semakin menjadi hingga mereka kelelahan isebab  nyanyian dan gerakan 

membungkuk ini. Seorang pangeran muda yang ikut ambil bagian mengatakan 

bahwa ini membuat kepalanya pusing. Ada dua pendeta yang hadir dan pada 

sebagian waktu mengapit sang Sultan. saat  ditanya apa makna semua ini, 

mereka menjawab, “Memuji Tuhan Allah.” Bahasa yang digunakan yaitu  

Arab. Nama Mohammed sesekali bisa dikenali. Ibadah ini, jika bisa disebut 

ibadah, berlanjut hingga tengah malam.6

Meski sulit untuk mengetahui mode dzikr apa tepatnya yang dipraktikkan 

di Brunei, beberapa studi mengenai berbagai gambar hiasan Al-Quran dan 

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  119

segel Melayu pada abad kesembilan belas menunjukkan kemungkinan yang 

kuat bahwa sebuah kaitan telah terbentuk antara sekelompok elite dalam 

komunitas dan para guru serta para juru tulis yang berasal dari Dagestan. Para 

guru ini  sudah dikenal isebab  popularitas mereka di Mekah dan isebab  

afiliasi mereka yang berlangsung lama dengan tarekat-tarekat dari keluarga 

Naqsyabandi.7 Namun, pada saat yang sama kita harus mengingat orang-

orang dari berbagai kalangan bepergian ke dan dari Mekah. Istana tidak selalu 

bisa mengendalikan persebaran pengetahuan yang idealnya eksklusif semacam 

itu. Meski demikian, kita bisa mengatakan dengan pasti bahwa Sultan Brunei 

yaitu  seorang praktisi dzikr dari tarekat tertentu pada 1837. 

Sekitar tiga tahun kemudian (menurut Spenser St. John [1825–1910], 

yang merupakan Konsul Inggris di Brunei sejak 1856 hingga 1858 [dan 

bukan sahabat kalangan misionaris]), kembalinya Haji Muhammad dari 

Mekah menimbulkan perpecahan yang memisahkan istana dan para haji 

pendukungnya dari warga  luas. Perselisihan ini memanas hingga dekade 

berikutnya, melebihi usia para pencetusnya. Pada pengujung 1850-an utusan-

utusan yang saling bersaing dikirim ke Mekah, entah untuk mengukuhkan 

atau menyangkal filsafat tertentu Haji Muhammad (bahwa Tuhan tidak bisa 

diberi sebuah kepribadian). Para pendukung Haji Muhammad di wilayah 

pedesaan membangun masjid-masjid di luar batas sesuatu yang oleh Konsul 

Inggris dianggap sebagai “ortodoksi” yang direstui istana.8

Laporan sang Konsul tidak memungkinkan kita memutuskan apakah 

Haji Muhammad mewakili masuknya sebuah tarekat (atau subtarekat) 

pesaing, sebagaimana yang mungkin terjadi dengan Agama Dul di Madiun. 

Meski begitu, tampaknya ini sesuai dengan pola umum pertengahan abad 

kesembilan belas yang memperlihatkan para raja pribumi kehilangan sisa-sisa 

terakhir monopoli mereka atas praktik mistik yang berorientasi Mekah saat  

bangsa Eropa berkuasa atas mereka. Hal lain yang menunjuk ke arah ini 

yaitu  bahwa kedua faksi di Brunei berdebat mengenai awal dan akhir bulan 

Ramadan, yang menggemakan perdebatan serupa di Sumatra dan Banten. 

Di sana orang-orang Naqsyabandi yang pada akhirnya berorientasi cetak dan 

pro-Utsmani lebih menyukai tanggal yang dihasilkan melalui perhitungan. 

Keyakinan ini berseberangan dengan orang-orang Syattari setempat yang 

memercayai hasil pengamatan tradisional dan oleh isebab  itu memberikan 

kesan bahwa mereka yaitu  pengikut Imam Hanafi.9

ISLAM MASA LALU SEBAGAI ISLAM YANG AMAN

Campuran kebencian dan kebingungan mengenai praktik-praktik Islam juga 

jelas terlihat dalam sebuah laporan perjalanan yang ditulis oleh Direktur 

warga  Injil Hindia, Wolter Robert van Hoëvell (1812–79). Van 

120  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Hoëvell, keponakan kaya mantan Gubernur Jenderal van der Capellen, tiba 

untuk melayani jemaah Batavia-nya pada 1837. Sepuluh tahun kemudian, 

pada 1847, dia menghabiskan dua bulan menjelajahi Jawa, Madura, dan 

Bali. Gambarannya, yang mendapat ancaman sensor di Batavia, diterbitkan 

di Amsterdam oleh Veth, yang bergabung dalam dewan warga  Injil 

Belanda pada 1843. Van Hoëvell menganggap Veth sebagai rekan yang 

sempurna untuk berbagi ambisi dakwah. Tak diragukan lagi dia sepakat 

dengan isi artikel panjang Veth pada 1845 mengenai “Mohammad dan 

Koran”, yang meringkaskan pengaruh Islam terhadap dan, secara implisit, 

ancamannya terhadap koloni. Mereka juga berbagi pandangan tak realistis, 

yang diungkapkan oleh van Hoëvell dalam Nederland en Bali-nya pada 1846 

bahwa orang-orang Indonesia bisa jadi masih terbukti menerima Kristenisasi.10

Van Hoëvell memberi tahu para pembacanya pada 1849 bahwa 

perjalanannya dirancang “untuk mengumpulkan harta karun pengetahuan 

kebahasaan dan sains” dan untuk mempelajari kehidupan sehari-hari orang 

Jawa, Madura, dan Bali.11 Namun, meski dia benar-benar mengumpulkan 

observasi yang kaya (berikut manuskrip yang ganjil) di antara kunjungan-

kunjungan parokial, banyak hal yang dilihatnya dia bandingkan yang 

dibacanya dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn dan History of 

Java karya Raffles. Oleh isebab  itu, dia tidak sekadar dibuat agak bingung 

oleh tontonan aneh berupa “pertunjukan kedeboes” yang dia saksikan di 

Cianjur, yang tidak disebutkan oleh kedua pendahulunya. Sebenarnya, itu 

yaitu  ritual debus tarekat Rifa‘i, yang pernah dipraktikkan di istana Banten.12 

Namun, bagi van Hoëvell ritual itu hanyalah sarana para “pendeta” yang culas 

untuk memengaruhi orang-orang:

Di atas alas, duduk lima puluh atau enam puluh orang dalam dua baris, 

termasuk anak-anak lelaki usia dua belas hingga enam belas tahun, masing-

masing memegang rebana. Di ujung barisan, tergantung selembar kain linen 

merah berbentuk persegi bertuliskan kalimat berbahasa Arab dengan warna 

putih tentang puja-puji kepada Tuhan, Mohammed, para Malaikat, dan para 

Wali Islam. Di sini kami sertakan salinannya untuk mereka yang berminat 

menafsirkan omong kosong itu. Di belakang kain itu, duduk seorang pendeta 

yang sudah pergi ke Mekah melaksanakan haji (hhadji) [sic]. Di depannya 

tergelar sehelai linen putih berisi beberapa benda yang disebut soelthan, jarum 

penusuk dari besi, ada yang panjangnya satu kaki dan ada yang lebih panjang 

atau lebih pendek. Satu ujung jarum itu tajam dan sebuah kepala yang lebar dari 

kayu tersambung dengan rantai besi di ujung yang lain. Selain benda itu, ada 

sepasang batu bulat berat, berdiameter sekitar satu kaki dan beberapa benda lain 

di hadapan sang pendeta. Di pangkuan pendeta terdapat bantal dan di atasnya 

terbuka sebuah manuskrip, yang dia baca dengan nada kaum Mohammedan 

pada umumnya. Di akhir setiap baris, semua orang dalam lingkaran mengulangi 

kata terakhir, dengan pekikan yang memekakkan disertai entakan rebana dan 

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  121

seruan “Amin! Amin!” Pada saat itu, perasaan makin menghebat. sesudah  

berlangsung sekitar satu jam, semangat mencapai puncaknya. Salah seorang 

dari kelompok itu berdiri dan, sambil menari, mendekati gantungan, berlutut 

di depan barang-barang tadi. Secara aneh dia mengguncang-guncang tubuh 

bagian atas dan kepalanya, kemudian memegang erat-erat jarum penusuk besi 

yang diulurkan sang pendeta ....

Dari sini si anak muda itu, dan semua orang sesudah nya, menikam-nikam 

tubuh dan wajah mereka dengan jarum penusuk, namun  tubuh mereka tidak 

terluka. Untuk sang pendeta yang ragu ini hanya berarti satu hal:

Saya mengatakannya sekali lagi, tipuan pendeta. Bahwa semua yang 

membawakan doa-doa untuk Nabi, dan pada upacara ini, untuk Sjech ‘Abdoe’l-

Kadier Djilani, dengan cara demikian rupa bisa membuat diri mereka kebal! 

isebab , sang pendeta memastikan bahwa tak ada satu orang pun terluka 

oleh jarum-jarum penusuk itu ... kalaupun ada maka itu merupakan tanda 

keyakinan yang tidak cukup atau doa yang lemah. Anda akan melihat bahwa 

perayaan semacam ini sangat informatif. [Anda punya] ... para pemimpin 

Kabupaten-Kabupaten Preanger yang kaya raya, memiliki banyak kekayaan, 

dan menduduki tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan bagian-

bagian Jawa yang lain; Anda pun sudah bertemu dengan para pendeta sebagai 

penipu-penipu licik yang berusaha mempertahankan pengaruh mereka dengan 

membangkitkan serta menghidupkan takhayul di kalangan penduduk. Anda 

akan mengeluh bahwa orang-orang telah terjerumus dalam kebodohan yang 

menyedihkan. Jika Anda mengedarkan pandangan ke seluruh negeri ini, dan 

juga mengikuti situasi di sana, Anda akan sampai pada    yang sama.13

Jelaslah bahwa hal ini, semua hal ini, di luar batas kesabaran van Hoëvell. 

Informasi yang diberikan van Hoëvell di luar batas pengetahuan Veth isebab  

dalam beberapa catatan pinggir pada manuskrip van Hoëvell, Veth tidak bisa 

memahami beberapa nama pada kain gantung yang diduganya tidak jelas dan 

menyebutnya “ocehan” tak berarti.14

Sebagai perbandingan, Veth lebih dari sekadar bahagia merampungkan 

sebuah analisis mengenai epigraf yang dibuat dengan terampil pada sebuah 

makam wali seperti makam Malik Ibrahim, yang membuat van Hoëvell 

terkesan. Sang penulis yang pendeta-ilmuwan membaca ini sebagai bukti 

kelahiran Islam yang damai, yang meletakkan landasan bagi agama yang 

sangat “lunak” yang dia yakini terlihat di Jawa.15 Bahkan, van Hoëvell benar-

benar teperdaya oleh sikap salah seorang penjaga makam Sunan Giri yang saat 

itu sudah bobrok. Sebagaimana yang ia kenang:

Dia memperlakukan kami dengan sangat baik, memberi tahu apa yang dia 

ketahui. Missighit dan langgar, yang berdiri dekat makam, pondok tempat 

makam, makam itu sendiri, peti besi, keris, dokumen—semuanya harus 

122  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

dijalani, dialami, dan dicoba. saat  kami berpisah, dia mencium tangan saya, 

si guru-Kristen yang dia kenal sebagai toean pandito, dengan sangat tulus. Dasar 

orang Jawa fanatik!16

Rasa terkejut yang agak kuat terlihat dalam kasus terjemahan van Hoëvell 

atas sebuah riwayat hidup singkat mengenai pendidikan Islam penguasa 

Sumenep yang mengagumi Eropa, Adipati Natakusuma II (berkuasa 1825–

54). Van Hoëvell menyampaikan sebuah daftar berisi berbagai karya yang telah 

dikuasai sang Sultan, demikian Batavia menyebutnya isebab  kesetiaannya 

dalam Perang Jawa, pada masa mudanya. Topik-topiknya terentang dari ilmu 

bahasa dan tafsir hingga yurisprudensi, astronomi, dan puisi. Veth hanya bisa 

mengajukan beberapa dugaan mengenai judul-judulnya berdasar  kamus 

dari abad ketujuh belas karya seorang Utsmani, Katib Celebi (1609–57) dan 

Encyklopädische Uebersicht der Wissenschaften karya J. von Hammer-Purgstall 

dari 1804, yang sangat banyak mengutip dari situ. Jika tidak, dia sekadar 

menunjukkan nomor halaman bidang-bidang pengetahuan yang diskemakan 

oleh orang Austria itu.17

Van Hoëvell dan Veth lebih terkesan pada pengakuan sang Sultan bahwa 

dirinya yaitu  informan utama Raffles mengenai bahasa Arab, kesusastraan 

Jawa, dan zaman kuno.18 Selain itu, dia yaitu  kontributor rutin untuk TNI 

(yang didirikan van Hoëvell pada 1838) yang diakui oleh Institut Kerajaan 

Belanda.19 Sultan memang tuan rumah yang paling menyenangkan bagi 

van Hoëvell. Yang van Hoëvell sesalkan, meski memiliki Injil sang Sultan 

tidak menyukai isinya. Pada satu kesempatan saat  topik Islam dan Kristen 

mengemuka, sang Sultan menyatakan, “Oh, Tuanku, saya memahami 

keduanya sebagai jalan berbeda, jika kita menjalaninya dengan hormat dan 

patut, menuju tujuan yang sama.”20

Tak diragukan lagi jalan Islam yaitu  jalan yang jarang dilalui dalam 

buku van Hoëvell—berbeda, misalnya, dari jalan pertanian lokal, arkeologi, 

arsitektur, dan di atas semua itu, dengan persoalan populasi yang masih-

harus-dikristenisasi. Dalam kaitannya dengan yang disebut terakhir, pendeta 

Batavia ini merasa ada dua musuh utama selain kelesuan orang-orang Muslim 

yang tidak-begitu-fanatik: rezim yang suka mencari-cari kesalahan di Batavia 

dan ancaman diam-diam orang-orang Katolik dalam negeri yang, seperti 

Relandus sebelum dirinya, dianggapnya lebih mirip pemeluk Islam ketimbang 

Kristen.21 Oleh isebab  itu, sebagian besar dari yang van Hoëvell tawarkan di 

sela-sela observasi dan pelayanannya berbentuk keluh kesah yang ditujukan 

terhadap tanah airnya, agar “yang tersisa dari penaklukan dan kekuasaanmu 

atas negeri-negeri ini bukan sekadar reruntuhan dan puing-puing, sesuatu 

yang lebih baik ketimbang bayangan samar-samar dari kesenimanan dan 

kepengrajinan!”22

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  123

Pada tilikan pertama, mungkin tak banyak yang berbagi keprihatinan 

van Hoëvell, seperti halnya sedikit yang berbagi keprihatinan Relandus pada 

1705. warga  Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia, yang juga dipimpin 

van Hoëvell sejak 1845, nyaris tidak memiliki kedudukan yang baik sejauh 

berkaitan dengan koleksi buku-buku Islam. Atau, setidaknya inilah kesan 

sang penerjemah Injil setengah hati, H. Neubronner van der Tuuk (1824–94), 

yang tiba untuk melakukan kerja persiapan pada 1849 sesudah  sebagian dari 

sumber-sumber terbaiknya dikirimkan untuk disalin sebagai bahan-bahan 

untuk Akademi di Delft.23 Bagaimanapun, informasi bocor ke luar. Pada dua 

tahun pertamanya, TNI menampilkan berbagai kontribusi mengenai perang 

Padri dan importasi “fanatisme” Mekah. Van Hoëvell juga menerjemahkan 

Hikayat Jalal al-Din edisi Meursinge untuk Jenderal De Stuers.24 Namun, 

meski van Hoëvell cukup bahagia menampilkan artikel-artikel mengenai 

kehidupan Muhammad, kesusastraan Arab, dan makam-makam suci, 

berbagai kontribusinya sebenarnya merupakan alasan untuk menyatakan 

bahwa, berkebalikan dengan orang-orang Sumatra, orang-orang Jawa nyaris 

tidak mengenal Nabi mereka.25 Van Hoëvell juga bersemangat mengutip 

pengamatan para pendukung seperti Ketua Raad van Indië, van Sevenhoven, 

yang pada 1839 telah menggambarkan pesantren Lengkong, dekat Cirebon, 

sebagai kumpulan pondok bambu berbau busuk yang penuh murid setengah 

kelaparan dan tak bersemangat.26

Dan, apa yang didapat oleh anak-anak muda malang ini dengan begitu banyak 

pengorbanan? Apakah pikiran mereka menjadi maju dan beradab ke derajat, 

sepadan dengan kerusakan tubuh mereka? Jawabannya tidak memuaskan. 

Pertama, di pendoppo mereka diajari membaca dan menulis secara yang agak 

mekanis ... mereka bersama-sama mendengungkan teks yang dipilih untuk 

pelajaran. Terdengar seperti lengkingan dan lolongan bagi orang yang belum 

tahu; namun  para Pendeta atau Santri, yang sesekali mondar-mandir di antara 

mereka, segera tahu siapa yang melafalkan pelajaran secara keliru. Para murid 

nyaris tidak memahami apa pun yang mereka baca; sesekali sang Hadji 

menjelaskan maknanya, dengan itu mereka memperoleh sedikit pemahaman, 

namun  itu sangatlah tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci.27

Tahun-tahun sesudah  itu, potongan-potongan lainnya mulai tersingkap, 

yang terbukti sama-sama tidak sempurna, tidak memadai, dan tidak terperinci. 

Pada 1844 ada kontribusi ringkas mengenai berbagai tingkatan klerikus di 

Surakarta, tempat Mounier dan Winter mengklaim bahwa istilah perdikan 

merujuk pada sebuah tingkatan, bukannya tempat.28 Tokoh-tokoh seperti 

Kiai Lengkong biasanya dikubur dalam ringkasan-ringkasan statistik yang 

lebih besar. Demikianlah yang terjadi terkait dua cendekiawan terkemuka 

Dataran Tinggi Priangan di Jawa Barat pada 1846, Kiai Nawawi dari 

Limbangan dan mendiang sejawatnya di Sumedang, Kiai ‘Abd al-Jalil. Meski 

124  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

jumlah murid masing-masing orang ini dicatat, tak ada yang disampaikan 

mengenai apa yang dipelajari selain “membaca berbagai kitab secara mekanis 

dan mempelajari beberapa  doa”. Bagi para pengamat Belanda, doa dianggap 

frasa yang menjadi sebuah mantra mekanis.29

Barangkali contoh terbaik keringkasan kontekstual yaitu  deret statistik 

seluruh Jawa yang ditawarkan oleh P. Bleeker selama rentang 1849–50, yang 

hanya sesekali menampilkan jumlah klerikus per kabupaten. Tampaknya 

informasi ini kadang dikumpulkan dan kadang tidak. Jikalau ada, isinya 

dipenuhi data hasil panen dan penduduk, tentu saja dengan rujukan-rujukan 

perjalanan van Hoëvell pada 1847.30 Terdapat pula beberapa artikel khusus 

yang menonjolkan kisah betapa tolerannya orang-orang Jawa. Misalnya, 

pencantuman laporan sebuah perselisihan di Banten antara pejabat pribumi 

setempat dan beberapa  “pendeta” yang memulai Ramadan sehari lebih awal. 

Perselisihan ini diselesaikan oleh residen. Dia menunggu purnama berikutnya 

untuk menentukan siapa yang benar dan memberi hukuman ringan bagi yang 

salah, yaitu sehari merenung di masjid.31

Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa para pengamat seperti van 

Sevenhoven, van Hoëvell, dan Bleeker berharap mendapati sebuah lembaga 

tertentu di dalam Islam yang menyerupai gereja mereka. Jawa harus punya 

gereja perwakilan yang penuh klerikus yang bisa diganti, dihitung, dan 

dikategorikan. Oleh isebab  itu, mereka sangat bersemangat menggali 

laporan-laporan yang lama terabaikan tentang informasi semacam itu, seperti 

yang disampaikan oleh Cornets de Groot pada 1823.32 Sementara itu, para 

guru yang masih hidup nyaris tidak pernah ditanyai tentang kepercayaan 

mereka sebenarnya atau kebencian yang diasumsikan mereka miliki terhadap 

agama Kristen. Andai saja ada keterlibatan lebih mendalam dan lebih 

hormat ketimbang sekadar kunjungan sehari kepada Kiai Lengkong atau 

Kiai Nawawi, para pembawa misi ini mungkin akan mendapat lebih banyak 

informasi. Mereka mungkin memperoleh pemahaman lebih bernuansa 

mengenai berbagai kategori “phakir” yang berbeda. Bahkan, kalau saja mereka 

menyatakannya, hampir pasti ada koreksi terhadap kesalahpahaman mereka 

bahwa haji yaitu  peziarahan ke makam Nabi. Mereka berusaha memahami 

Islam hanya berdasar  sumber tekstual yang terbatas dari Belanda, bukannya 

melalui pengalaman mereka di lapangan. 

Pertimbangkan sebuah artikel singkat mengenai hukum waris menurut 

mazhab Syafi‘i yang ditulis pada 1850 oleh ketua baru Raad van Indië, J. 

van Nes. Artikel yang bersumber dari edisi teks bukan dari seorang guru 

yang hidupnya dimaksudkan untuk membantu para pejabat Belanda dalam 

kasus-kasus yang para bupati bawahan mereka tidak memiliki pengetahuan 

yang memadai mengenai hukum Islam. Asumsi operasionalnya yaitu : 

pengetahuan pribumi mengenai agama memang tidak sempurna.33

MENCARI GEREJA PENYEIMBANG  —  125

Bagaimanapun, berdasar  informasi sesederhana yang bisa mereka 

kumpulkan dari van Hoëvell (yang dipaksa pindah ke Belanda pada 1849 

isebab  kritiknya terhadap Batavia), para misionaris yang jauh lebih optimistik 

ketimbang van der Tuuk menjadi aktif, baik dalam mengajak sasaran kristenisasi 

maupun dalam menghadapi berbagai tantangan. Seperti sudah ditunjukkan 

Ricklefs, yaitu  misionaris Harthoorn dan W. Hoezoo (w. 1896), keduanya 

aktif di Jawa Timur pada 1850-an, yang kali pertama mengamati kecenderungan 

baru di kalangan Muslim yang menyebut diri “orang-orang putihan” dan 

melabeli sejawat mereka yang diyakini kurang religius sebagai “orang-orang 

abangan”. Laporan panjang mereka, yang direproduksi dalam jurnal-jurnal 

seperti Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (MNZG), 

termasuk di antara sumber-sumber terpublikasi paling berharga untuk melacak 

perubahan sosial di Jawa pada abad kesembilan belas, meski kedua pengarangnya 

jelas terpenjara oleh para informan elite mereka. Harthoorn yang tak mengerti, 

khawatir warga  Jawa akan dikuasai sejenis “despotisme” Mohammedan 

puritan, menempatkan “Doel” di pihak kaum santri yang lebih “sadar” sebagai 

sebuah kelas. Lebih jauh lagi, rekannya Poensen mengklaim bahwa mereka 

menyamakan Tuhan dengan Muhammad dan berusaha terlahir kembali sebagai 

pejabat Belanda! Pastinya setiap santri Naqsyabandi harus membuat pembelaan 

atas praktik mereka. Dalam sebuah dialog yang dikumpulkan Poensen, seorang 

guru Dul marah atas tuduhan bangsawan bahwa para pengikutnya percaya 

Nabi merasuki tubuh mereka pada saat dzikr.34

Para petualang lain yang terikat negara kolonial menjadi tertarik 

untuk melacak detail-detail kehidupan sehari-hari dan memecahkan teka-

teki mengenai apa persisnya yang diajarkan di pesantren-pesantren—

walaupun seperti Lay dan Dickinson mungkin mengalami kesulitan melihat 

yang terpampang di depan mata. Inilah yang terjadi pada 1855 saat  

“J.L.V.” menerbitkan kontribusinya mengenai “para pendeta dan seminari” 

Madiun. Sebagaimana kita lihat, J.L.V.—barangkali seorang pejabat yang 

menggunakan nama inisial untuk menghindari dampak kedinasan isebab  

berhubungan dengan van Hoëvell—tegas menentang anggota rahasia sekte 

yang dikenalnya sebagai “Doel”. Namun, seperti halnya memihak “ortodoksi” 

lokal melawan kaum sektarian, dia tetap mencemooh kondisi pendidikan di 

kalangan ortodoks. Dia menyatakan bahwa apa yang ditawarkan di perdikan-

perdikan hanyalah “hafalan beberapa bagian Koran dan doa-doa berbahasa 

Arab, tanpa si siswa mampu memahami satu kata pun. Sang guru pun tak 

mampu memberi gagasan mengenai arti dan maknanya isebab  dia sendiri 

jarang lebih paham daripada si murid”. Kemudian, dia melanjutkan:

Jika kita berpikir bahwa seminari-seminari di Kabupaten Madioen termasuk 

yang paling terkenal di seluruh pulau; bahwa anak-anak muda datang ke sini 

dari dekat dan jauh untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran dari para guru, 

atau lebih tepatnya, tinggal untuk beberapa lama agar bisa berkata mereka 

pernah di sini; dan berpikir bahwa lembaga-lembaga ini yaitu  sumber 

agama Mohammedan menyebarkan getahnya ke seluruh penduduk; kita bisa 

membayangkan bahwa orang-orang Jawa yaitu  kaum Mohammedan yang 

sangat buruk. Dan, memang demikian. Selain sedikit ritual, semangat Islam 

hanya memiliki sedikit kekuatan di antara mereka. Ini tak lain hanyalah bentuk 

[Islam], yang dilengkapi dan dilapisi segala macam tradisi takhayul, sebagian 

diambil dari Hinduisme, sebagian dari fantasi mereka sendiri.35

Sudah cukup tentang ortodoksi. Kita juga bertanya-tanya apa kiranya 

dalam tulisan J.L.V. yang mungkin tidak disetujui van Hoëvell isebab  dia 

berkomentar dalam sebuah catatan kaki bahwa dia tidak mesti sepakat dengan 

apa yang dikatakan sang penulis mengenai perdikan.36

Pemahaman mengenai jenis kajian yang mungkin lebih disukai van Hoëvell 

muncul dua tahun kemudian. Rekan sesama pendetanya, Jan Brumund (1814–

63), menerbitkan penilaian atas keadaan pendidikan warga  Jawa. Tulisan 

itu memenangi hadiah yang ditawarkan oleh warga  untuk Kemajuan 

Kebaikan Umum di Hindia Belanda. Sama seperti syarat keikutsertaan pada 

kompetisi 1819, para peserta dituntut untuk melakukan penyelidikan mengenai 

sifat dasar pendidikan pribumi agar bisa ditingkatkan oleh negara. Brumund 

menggempur pokok bahasannya dengan semangat tinggi, menjajarkan laporan 

van Sevenhoven sebelumnya mengenai Lengkong dengan laporannya sendiri 

mengenai Tegalsari dan Sumenep. Memang, “menggempur” yaitu  gambaran 

paling tepat untuk apa yang dia lakukan. Brumund menyimpulkan bahwa 

langgar-langgar pedesaan pada umumnya tak lain hanyalah pabrik “nuri dan 

kakaktua” yang mengubah anak-anak menjadi pengemis. Rasa ingin tahunya 

tentang pesantren yang tengah merosot milik Hasan Besari II dari Tegalsari 

yang sudah berusia delapan puluhan (aktif 1820–62) hanya memberinya sedikit 

informasi mengenai karya-karya yang dipelajari di sana.

Kelemahan Brumund sebagai seorang etnolog, paling tidak sebagiannya, 

pastilah akibat ketidakmampuannya untuk berdialog dengan sang Kiai. Belum 

lagi sikap ngototnya untuk tetap bersepatu di “tempat suci” sang Kiai!38 Dia 

terus-menerus mendesak sebagian murid agar menyebut Sirat al-mustaqim karya 

Raniri sebagai buku panduan utama pendidikan mereka. Tuntutan Brumund 

agar ditunjukkan karya selain Al-Quran membuat mereka mengeluarkan salinan 

Taj al-muluk (Mahkota para Raja)-nya Roorda van Eijsinga. Brumund dengan 

penuh kemenangan menyatakan dirinya merasa amat senang membacakan 

karya rekan senegaranya kepada khalayak yang terlihat tak percaya.39

Karya Brumund dicetak dalam jumlah yang jauh lebih sedikit 

dibandingkan teks Melayu Roorda van Eijsinga. Walaupun begitu, dia 

berhasil menggalang dukungan para pendeta di Tanah Air terhadap 


pandangannya bahwa umat Muslim Hindia hanyalah muslim permukaan dan 

para pengemis. Sementara Niemann menjiplak karya Brumund mengenai 

buruknya kualitas pendidikan pesantren, van Hoëvell yang sebelumnya 

menjadi corong kaum Liberal di parlemen Belanda beralih ke posisi lebih 

radikal.40 Pada awal 1860-an jurnal van Hoëvell berhasil mengejek “mereka 

yang konon yaitu  cendekiawan” yang berani menyatakan warga  Jawa 

sebagai “Mohammedan”, sementara dia sendiri menyesalkan pendidikan 

hukum Islam di Delft untuk para pejabat sebagai tindakan membuang-buang 

energi, konyol, dan perwujudan segala hal yang keliru dalam sistem Belanda.

Tentu saja van Hoëvell mendapat kritikan dari Delft. Keijzer mengkritik 

keras tulisan-tulisannya mengenai Jawa pada 1859. Keijzer mengulangi sekali 

lagi argumen bahwa kajian atas hukum Islam “murni” harus mendahului 

penilaian apa pun terhadap hukum-hukum tradisional lokal seperti 

“Polinesia”. Van Hoëvell yang meradang tentu memikirkan Keijzer yang-

tinggal-di-Tanah-Air saat  dia menulis bahwa seorang Delft saat  tiba di 

Hindia akan mendapati segalanya tidak seperti “berbagai mimpi dan    

bikinan guru besar Mohammedan-[nya]”. Lagi pula:

Jika orang-orang Jawa yaitu  kaum Mohammedan sejati, dan warga  

Jawa yaitu  warga  Mohammedan yang sebenarnya, harus ada organ yang 

membuat Islam tetap hidup dalam warga  ini, dan harus ada sarana yang 

membuat semangat Islam hidup dari generasi ke generasi .... Adakah organ 

semacam itu? Adakah sarana seperti itu? Adakah sekolah-sekolah Mohammedan, 

tempat anak-anak muda memperoleh pendidikan Islam? Adakah pendeta-

pendeta Mohammedan yang membangkitkan semangat Islam dalam diri kaum 

muda dan menjaganya tetap hidup dalam diri orang-orang dewasa? Memang 

benar di setiap desa terdapat masjid atau rumah ibadah dan seorang pendeta. 

Namun, rumah-rumah ibadah itu hanya digunakan pada acara-acara tertentu 

dan tetap kosong. Dan, para pendeta! Siapa para pendeta?

Para editor mengumumkan bahwa mereka tidak akan menjawab 

pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan mengutip van Hoëvell, 

Brumund, atau “para penentang teori-Islam” yang lain. Sebaliknya, artikel 

van Sevenhoven dari 1839 sekali lagi menyebut-nyebut agar kesuraman, 

kekotoran, dan kebodohan Lengkong bisa mewakili Islam di Jawa secara 

keseluruhan. Veth tampaknya mendaur ulang   -   yang sama 

dalam sebuah artikel dari 1858.43 Dengan berkuasanya orang-orang Liberal 

yang disokong Kristen seperti van Hoëvell dan pemindahan sekolah pelatihan 

negara ke Leiden (dan KITLV ke Den Haag), pokok ini menjadi sangat 

jelas bagi Keijzer. Mendanai sebuah jabatan yang mengajarkan hukum Islam 

dianggap tak berguna mengingat Jawa “bukanlah warga  Mahommedan 

yang murni”, juga tidak “diatur oleh hukum Mahommedan”.

Terlepas dari berbagai penilaian negatif seperti yang ditemukan dalam 

TNI, dan terlepas dari berkuasanya kaum Liberal, laporan-laporan sezaman 

yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain di Hindia memperlihatkan keadaan tengah 

berubah. Buku-buku selain Taj al-muluk beredar. Jumlah serta bentuknya kian 

meningkat, meski belum sampai ke tangan orang-orang Barat. Pada 1857 

Hermann von de Wall (1807–73), orang Jerman yang terakhir ditugaskan 

menyusun kamus Belanda-Melayu definitif, meminta salinan atau inventaris 

kepemilikan apa pun atas manuskrip-manuskrip Melayu, Jawa, Sunda, dan 

Arab dari berbagai residen Hindia.45 Hasilnya campur aduk. 

Pada beberapa kasus, para pejabat (atau bawahan mereka) mengabaikan 

permintaan von de Wall. Mereka menyangkal keberadaan manuskrip seperti 

itu atau menjawab tidak punya cukup kontak di kalangan pribumi yang tepat 

(von de Wall telah menyarankan agar “para pemimpin atau pendeta pribumi” 

dimintai nasihat dalam hal ini).46 Di Solo, A.B. Cohen Stuart (1825–76) 

berpandangan bahwa memadukan faktor-faktor seperti penjagaan rahasia 

dan kekhawatiran hilangnya manuskrip yang dipinjam untuk disalin, sejak 

semula tak banyak yang bisa dilakukan. Stuart bahkan menasihati residennya 

bahwa dia meragukan keberadaan materi-materi berbahasa Melayu, Arab, 

atau apalagi Sunda di keraton.

Akan namun , sebagian dari permintaan von de Wall dipenuhi oleh 

beberapa karesidenan di Sumatra Barat, Palembang, Jawa Barat, dan Madura. 

Dia menerima berbagai macam teks yang dikehendaki dalam jumlah cukup 

besar, mulai buku pengantar al-Sanusi hingga Ratib Syekh Samman.48 Kota 

pelabuhan Surabaya, yang minoritas Arab-nya menonjol, juga mengirimkan 

banyak hikayat Melayu salinan koleksi pribadi Syekh ‘Ali (al-Habsyi?), yang 

juga menyediakan delapan belas karya sejarah, fikih, dan ilmu bahasa.

Urutan persis teks-teks ini  dan penggunaan praktisnya barangkali bukan 

yang pertama dipikirkan von de Wall saat  mulai menggarap kamusnya (satu 

lagi yang tidak akan pernah terlahir ke dunia). Tidak seperti begitu banyak 

rekan-rekannya, tampaknya von de Wall terlibat secara aktif dengan informan 

utamanya, Raja ‘Ali Haji dari Riau, dan kemungkinan besar menganggap 

Islam lebih dari sekadar jubah compang-camping yang dikenakan bangsa yang 

kehilangan hubungan dengan kesusastraan “asli” mereka. Namun, pandangan 

demikian tetap mengakar selama beberapa dekade, seperti penilaian tajam 

Brumund mengenai pesantren, meski ada beberapa orang yang menentangnya 

secara publik.

Sementara Harthoorn secara singkat membicarakan kurikulum 

pesantren dalam sebuah laporan internal pada 1857 dan Carel Poensen dengan 

senang hati mengulangi Brumund dalam laporan lain yang ditulis pada 1863, 

dua ulasan di Bataviaasch Zendingsblad yang baru didirikan menawarkan 

pengamatan yang relatif berpikiran terbuka mengenai sebuah pesantren di 

Jawa Barat dan buku-buku yang digunakan di sana.50 Kedua ulasan ini ditulis 

pada 1864 oleh editor muda jurnal ini , seorang anak didik Taco Roorda 

bernama Gerhardus Jan Grashuis (1835–1920). Grashuis yaitu  mantan 

murid NZV di Rotterdam dan guru Seminari Gereja Free Scots di Amsterdam. 

Dia pertama-tama dikirim ke Bandung pada 1863 untuk belajar di bawah 

asuhan K.F. Holle (1822–96) sebagai persiapan untuk menerjemahkan 

Injil ke bahasa Sunda dan menunggu izin dari gubernemen untuk memulai 

kegiatan misi.51 sesudah  menanti dua tahun dan gagal mendapatkan izin, sang 

misionaris frustrasi dan berlayar ke Belanda pada akhir 1865.

Grashuis melanjutkan mengajar di seminari, tapi tak lama kemudian 

pergi lagi. Dia mengeluh bahwa usaha-usahanya (seperti terjemahannya atas 

Injil Lukas) tidak dihargai secara layak oleh atasan.52 Pada 1868 dia ikut ujian 

calon pejabat dan diterima menjadi pegawai gubernemen di Jawa. Pada 1873 

Grashuis menjabat dosen bahasa Sunda di Institut Negeri Leiden dan pada 

1877 dia pindah ke University bersama Veth serta Pijnappel.53 Selama periode 

ini , Grashuis menerbitkan serangkaian teks mengenai bahasa Sunda dan 

Melayu dengan mengulangi artikel-artikelnya dari 1864 serta menerjemahkan 

contoh teks-teks Islam untuk digunakan para calon pejabat.54

Dulu, pada 1864 saat  berkunjung kali pertama ke Timur, Grashuis 

jauh lebih berorientasi teologi. Dia menyatakan sudah lama tertarik pada 

upaya misionaris di Hindia dan oleh isebab  itu digelisahkan oleh terbatasnya 

sumber daya dan informasi yang dimilikinya.55 Dorongan untuk tulisan 

pendek pertamanya mengenai Islam yaitu  ketidakpuasannya dengan 

informasi yang tersedia mengenai apa yang diajarkan di pesantren-pesantren 

Jawa. Yang mengejutkannya, sesudah  memiliki bertahun-tahun pengalaman di 

Hindia, Belanda tidak bertambah bijak. Keadaannya semakin menjengkelkan 

isebab  sekolah pelatihan di Delft lebih berminat menugaskan kajian mengenai 

bagaimana atau apakah orang-orang Jawa membayar zakat, ketimbang tentang 

Islam.

Sebagaimana yang dia amati, jawaban lazim terhadap pertanyaan itu tak 

lebih dari sekadar pengulangan bahwa terdapat jauh lebih banyak sisa-sisa 

agama kuno pra-Islam ketimbang Islam dan bahwa lembaga-lembaga yang 

ditujukan untuk menanamkan Islam sebenarnya menawarkan sangat sedikit 

hal yang mereka anggap “pendidikan”. Tentu saja pandangan ini  tidaklah 

universal, namun  bagi mereka yang tidak memiliki pandangan yang sama akan 

senang menyaksikan berkurangnya jumlah lembaga semacam itu, tempat 

orang bisa mendapati lebih banyak lawan ketimbang kawan bagi gubernemen 

Belanda. 

Grashuis menyatakan bahwa mencari tahu tentang sekolah-sekolah 

ini bukanlah tugas yang mudah, terutama isebab  subjek penyelidikannya 

cenderung menghindari orang-orang Kristen yang kafir. Namun, pada 1864 

dia melakukan usaha pada lembaga semacam itu. Pesantren ini, barangkali 

berlokasi di Garut, didirikan pada 1857 di bawah kepemimpinan seorang 

cendekiawan yang sudah belajar di tempat lain di Jawa. berdasar  laporan 

Grashuis, sang guru cukup terbuka dalam menjelaskan agamanya dan metode-

metode yang dia gunakan. Oleh isebab  itu, Grashuis mampu memberikan 

beberapa koreksi penting mengenai perbedaan antara para guru pesantren dan 

gagasan kaum cendekiawan dalam Islam, dengan menyamakan perbedaan itu 

dengan perbedaan antara kalangan pendeta dan anggota perguruan tinggi 

keagamaan.

Dalam pengantar untuk tulisan keduanya, Grashuis sekali lagi 

mengeluhkan para misionaris Belanda yang memberikan “jauh terlalu sedikit 

perhatian pada sifat orang-orang yang berusaha mereka kristenkan”.56 Juga 

jelas dari komentar-komentar dalam Soendanesche Bloemlezing-nya yang terbit 

belakangan bahwa dirinya pada saat itu mulai menyadari bahwa, terlepas 

dari ajaran Holle mengenai persoalan ini, orang-orang Sunda memiliki 

kesusastraan tertulis yang sepenuhnya berlandaskan Islam. Bahkan, Grashuis 

juga mengakui bahwa, melalui penekanan mereka terhadap literasi, pesantren 

menawarkan akses pada pendidikan dalam arti yang lebih luas. Oleh isebab  

itu, dia bermaksud membekali para misionaris dan pejabat dengan akses yang 

lebih baik terhadap peradaban itu melalui analisis pendahuluan atas teks-teks 

yang telah dilihatnya, mulai dari karya mengenai kesucian ritual dan soal-

jawab al-Samarqandi.58 Grashuis membuktikan bahwa murid mempelajari 

berapa jumlah nabi, berapa jumlah kitab yang dibawa oleh masing-masing, 

dan bahwa Muhammad yaitu  nabi pamungkas dengan membawa pesan 

terakhir dan hukum terakhir—sebuah pesan yang menurut Grashuis tidak 

boleh diremehkan. Grashuis juga menjelaskan perincian “pengetahuan agama 

dan keimanan” dan meringkaskan kandungan buku pengantar lain (Umm 

albarahin karya Sanusi) mengenai sifat-sifat Tuhan, “sebuah topik yang sangat 

disukai oleh para teolog Mohammedan”.

Untuk seorang petugas dengan pikiran yang terfokus pada misi, Grashuis 

menawarkan penilaian adil yang mengagumkan terhadap sistem pesantren, 

meski dia masih percaya bahwa terdapat sebuah jurang yang dalam antara 

Belanda dan rakyat Muslim mereka. Pada 1881 dia menulis:

Pada suatu kesempatan ada seorang pribumi berkata kepada saya bahwa 

“Agama Anda dan agama saya berbeda; Tuhan tahu mana yang benar, tapi kita 

tidak tahu”, dan juga “Anda punya nabi, kami juga punya. Namanya mungkin 

berbeda, tapi pada dasarnya agama kita yaitu  satu”. Ini yaitu  pandangan 

seorang Mohammedan liberal, dan kurang representatif dibandingkan yang 

barangkali dipikirkan orang. Pandangan itu diberikan sebagai usaha untuk tidak 

mengganggu pihak luar. Para santri mempelajari hal sebaliknya, yang dalam hal 

ini kita tidak boleh berilusi. Ajaran itu berbunyi, “Mohammed yaitu  nabi 


terakhir, penutup para nabi, pangeran para nabi.” Ajaran mereka yaitu  satu-

satunya kebenaran, satu-satunya jalan yang diridai Tuhan.

Dengan mengesampingkan buku-buku dan juga keyakinannya sendiri, 

Grashuis tidak bisa tidak berkomentar pada 1864 mengenai proses yang 

mendasari kian meningkatnya kecintaan publik terhadap Islam yang eksklusif 

seperti itu:

Ibadah haji melengkapi kekurangan dalam penyebaran Islam di kalangan suku-

suku dan bangsa-bangsa kafir. Sang mualaf lazimnya tidak secara mendalam 

menceburkan diri dalam agama baru yang dikhotbahkan dan diajarkan. Dia 

didesak memasukinya oleh para pedagang Arab yang licik. Namun, ibadah haji 

merupakan ikatan yang mencakup seluruh umat Muslim, dan bahkan orang-

orang dari tempat paling terpencil sekalipun berhubungan dengan ordo-ordo 

suci tempat Islam dilahirkan. Setiap tahun terdapat pengingat dan peringatan 

bagi orang beriman; setiap tahun orang melihat mereka datang dan pergi, yang 

telah memberikan banyak hal, dan kadang segalanya, demi agama mereka, 

dan oleh isebab  itu mereka pun mendapat penghormatan dan penghargaan 

yang sepadan. Meskipun tak ada inspirasi dan antusiasme yang terpancar dari 

Mekah, kota ini tetaplah jantung dunia Mohammedan. Dari Mekah, setiap 

tahun kehidupan keagamaan yang baru mengalir melalui setiap pembuluh.61

Demikianlah Islam mengalir. Akhirnya, para pejabat lain mengikuti 

jejak Grashuis mencari wawasan lebih mendalam mengenai ajaran sekolah-

sekolah keagamaan di wilayah mereka atau setidaknya mengajukan pertanyaan 

tentang informasi yang kiranya sudah tersedia. Pada 1864 pengawas sekolah 

J.A. van der Chijs bahkan bisa mengorek-ngorek informasi mengenai 

pesantren-pesantren Jawa dalam arsip-arsip penyimpanan yang telah berdebu 

sejak kuesioner 1819 dan 1831.62 Pihak lain yang tertarik, lulusan baru Delft 

A.W.P. Verkerk Pistorius (1838–93), berusaha menyurvei karya-karya yang 

digunakan di surau-surau Sumatra Barat untuk TNI.63 Menurutnya, yang 

diketahui mengenai wilayah kekuasaan Belanda selain Jawa nyaris tidak ada. 

Verkerk Pistorius membuktikan kekeliruan pernyataan Grashuis bahwa orang-

orang Kristen Belanda dan muslim setempat secara inheren tidak mampu 

saling berkomunikasi. Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan seorang 

cendekiawan setempat, Syekh Muhammad dari Silungkang selama tiga tahun 

di Sumatra Barat (sekitar 1866–68). Dia bahkan menyatakan bahwa sang 

syekh sangat bersedia menikmati segelas anggur bersama orang-orang Belanda 

setempat pada acara-acara pesta.

Verkerk Pistorius juga dibiarkan berkeliaran di antara murid-

murid sekolah itu pada pukul berapa pun dan oleh isebab  itu dia mampu 

memberikan gambaran yang berharga mengenai sebuah lembaga hidup yang 

didirikan oleh seorang guru yang telah belajar di Mekah selama satu dekade. 

Dia menggambarkan kurikulumnya sebagai fleksibel, dengan penekanan pada 

pendidikan moral dan pembentukan ikatan personal di antara orang-orang 

Sumatra yang lazimnya terpecah-pecah oleh kesetiaan pada klan. Menurut 

Verkerk Pistorius, para pakar pendidikan Belanda yang berusaha membuat 

perubahan-perubahan yang langgeng dalam warga  Hindia sebaiknya 

mengikuti teladan Syekh Muhammad.64 Karya Verkerk Pistorius merupakan 

kemajuan besar dari katalog dugaan-dugaan yang dibuat oleh van Hoëvell 

dan Veth. Namun, daftar yang dibuatnya untuk teks-teks yang dijelaskan oleh 

sang syekh tetaplah merupakan perincian bidang-bidang pengetahuan yang 

didaftar menurut sebutan lokalnya.

Barangkali ketidakmampuan Verkerk Pistorius untuk melangkah lebih 

dalam yaitu  isebab  lebarnya kesenjangan antara teks-teks yang dia lihat dan 

teks-teks yang diajarkan oleh Delft. Begitu pula, sedikit yang dia pelajari di 

bawah bimbingan orang-orang seperti Keijzer, yang karyanya tentang ibadah 

haji dia rujuk, yang dapat membuatnya siap memahami dengan tepat “omong 

kosong” yang dibicarakan orang tentang haji, apalagi menghubungkan praktik-

praktik yang dia saksikan dengan tarekat Naqsyabandiyyah yang tengah 

berkembang, tempat Syekh Muhammad dari Silungkang tampaknya yaitu  

salah seorang pendukungnya.66 Namun, dalam hal ini, apa yang didengar 

telah membuat Verkerk Pistorius salah mengerti. Di satu sisi, dia menulis 

para murid memberitahunya bahwa dzikr bersama yang mereka praktikkan 

dengan diiringi rebana diperkenalkan oleh orang-orang India di Aceh dan 

kali pertama digubah oleh pertapa “Baroedah”. Namun, di akhir artikelnya, 

Verkerk Pistorius merujuk pada ajaran-ajaran Baru Tuanku Syekh “Baroelah” 

dari Tanah Datar, yang sudah kembali dari Mekah dan menyebarkan ajaran-

ajaran mazhab “Abu Hanifa”. Menurut Verkerk Pistorius, itu bisa dikenali 

dari praktik suluk dan memulai Ramadan sehari lebih awal.68

Ini sejalan dengan perdebatan Naqsyabandi-Syattari. Arnold Snackey 

dengan hormat melaporkan pada 1880-an bahwa para Tuanku “Hanafi” 

dari Pasir, Silungkang, Kersik, dan Bonjol yang bersekutu dengan Cangking, 

berkumpul di bawah pimpinan Syekh “Beroelak” di Padang Genting pada 

1858.69 Para pengamat seperti Verkerk Pistorius mungkin tidak memahami 

makna persis perbedaan-perbedaan antara berbagai ajaran. Namun, dia 

cukup mengerti bahwa perdebatan mengenai pengamatan bulan berpotensi 

mengacaukan hubungan administrasi Belanda dengan rakyatnya yang menganut 

mazhab Syafi‘i, mazhab yang diyakini Verkerk Pistorius terkenal dengan 

“toleransi”-nya dibanding mazhab yuridis resmi Utsmani.70 “Waspyaitu ,” 

demikian dia mendorong para pembaca TNI, mengingatkan mereka pada 

perjalanan van Hoëvell dan contoh tak bersahabat Padri terakhir, Tuanku Imam 

Bonjol, “isebab  kita berdiri di gunung berapi” dan bara api fanatisme tidak bisa 

menimbulkan bencana yang lebih besar ketimbang di “Jawa yang membara”.

Artikel-artikel Verkerk Pistorius yang agak berbunga-bunga serta 

seruannya untuk penyelidikan lebih jauh dan kewaspadaan, dikumpulkan dan 

diterbitkan kembali pada 1871. Namun, tidak ada terobosan signifikan hingga 

Juni 1883 saat  Poensen—yang sejak lama terbiasa melatih para pejabat di 

Gimnasium Willem III—mulai mengirimkan surat-surat ke Soerabaiasche 

Handelsblad tentang observasinya selama bertahun-tahun terhadap kehidupan 

desa. Poensen menegaskan bahwa Belanda tidak perlu melihat ke arah selain 

halaman belakang mereka sendiri untuk melihat orang-orang sibuk dengan 

urusan mereka sebagai kaum Muslim. Dia juga mengkritik mendiang penjaga 

warga  Batavia, Friederich, yang pernah menulis bahwa para haji Jawa 

“hanya sedikit terinspirasi oleh fanatisme orang-orang Asia Barat”, dan tetap 

menjadi “orang-orang yang tenang dan damai”.

Untuk menandingi gambaran ini, Poensen memanfaatkan tulisan-tulisan 

paling akhir Snouck Hurgronje semasa muda mengenai ciri “internasional” 

Islam seperti yang dikukuhkan oleh ibadah haji. Poensen juga mengungkapkan 

pandangan mengenai kebencian umum terhadap “Kapir-sétan” Belanda, yang 

membodohi diri mereka dengan gagasan naif bahwa semua orang benar-benar 

puas dengan pendidikan dan pembangunan beberapa masjid, mengikuti jalur 

yang sangat bercorak Grashuis mengenai apa yang sebenarnya dipikirkan 

kaum Muslim.