Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 6


 para cendekiawan Eropa pada beberapa kesempatan. Penerjemah 

Injil dan pendeta Mohr diketahui pernah membangun observatorium di 

atap rumahnya, meski belakangan mengeluhkan bahwa “tidak ada ilmu 

pengetahuan” di Batavia selain yang ditujukan untuk “mendapatkan uang 

dan menjadi cepat kaya”. sesudah  meninggalnya Gubernur Jenderal Mossel, 

yang mensponsori penerbitan Injil berbahasa Melayu karya Mohr dan 

mungkin juga pengagum observatorium, dua gubernur jenderal berikutnya 

jelas memusuhi upaya ilmiah apa pun. Lantas, pada 1777 sang penentang 

terakhir tiada, dan tahun berikutnya warga  Batavia untuk Seni dan Ilmu 

Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pun 

lahir.

Kekuatan penggerak di belakang komunitas ini  yaitu  Freemason 

dan anggota warga  Haarlem untuk Ilmu pengetahuan, J.C.M. 

Radermacher. Yang lebih penting, Radermacher yaitu  menantu sesama 

pendiri, Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (bertugas 1777–80). Sejenis 

pencerahan telah datang ke Hindia Timur. Sementara para anggota warga  

Batavia mengarahkan sebagian besar perhatian mereka pada perkara-perkara 

pertanian, botanis, dan historis, tidaklah benar mengatakan bahwa sama 

sekali tak ada ketertarikan terhadap Islam dan keberhasilannya di kawasan 

ini. Pada sebuah pertemuan yang diadakan pada 30 Juni 1782, diputuskan 

untuk menawarkan hadiah uang kepada siapa pun yang bisa menghasilkan 

sebuah makalah untuk menjelaskan bagaimana “Muhamed, para Imam, serta 

para guru dan misionaris Musleman penerusnya” berhasil mengislamkan 

orang-orang kafir di berbagai wilayah dan kepulauan Nusantara. Tujuannya 

jelas untuk menghasilkan sebuah model bagi Kristenisasi penduduk pada 

masa depan, namun , yang menarik, disarankan agar jawaban dicari dari orang-

orang Muslim terpelajar, dan bahwa jawaban dari seorang muslim juga akan 

diganjar sepenuhnya seperti dari seorang Eropa.

Dinyatakan bahwa kompetisi seperti itulah yang mungkin menginspirasi 

Brandes untuk membuat sketsa para santri dan “pendeta” berserban yang 

sedang shalat di Batavia.95 Namun, kita mungkin tidak pernah mengetahuinya 

isebab  seperti hampir setiap kontes yang disponsori oleh komite, tak seorang 

pun pernah maju untuk mengklaim secara resmi hadiah beberapa  100 ducat.

Juga jelas bahwa meski berkonsultasi dengan seorang muslim terpelajar 

memang disarankan, seseorang tidak boleh berkonsultasi terlalu dekat, seperti 

yang dialami Residen Surakarta, Andries Hartsinck (1755–1811), pada 1790 

saat  dia dicurigai isebab  mengenakan pakaian Jawa dan kerap mengunjungi 

keraton Pakubuwana IV untuk tujuan mendapat pelajaran agama.

Para cendekiawan Belanda (dan beberapa Islamis Indonesia) bertanya-

tanya apakah Pakubuwana IV mendukung sebuah faksi Wahhabi di keraton. 

Ricklefs cenderung menerima pendapat bahwa Pakubuwana sekadar 

mengikuti penafsiran yang kurang ortodoks dan anti-Karang terhadap 

Syattariyyah.98 Klik Pakubuwana bukanlah satu-satunya kekuatan keagamaan 

baru di tanah Jawa. sesudah nya, menyusul pelancong Inggris dan berbagai 

kelompok kepentingan Kristen metropolitan menyaksikan pendirian 

warga  Misionaris Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap) di 

Rotterdam pada 1797, dengan pandangan mata tertuju pada hadiah yang 

belum dimenangi di Timur.

  

Pembahasan singkat di atas telah menunjukkan bahwa kita perlu 

mempertimbangkan sejarah panjang kompetisi antara Kristen Protestan dan 

Islam di Nusantara dalam kaitannya dengan gagasan-gagasan yang diterima 

mengenai apa makna agama yang disebut terakhir ini bagi orang-orang Eropa 

dalam konteks perdagangan dan imperium. Tampaknya Islam memang 

merupakan musuh yang tak asing di bagian dunia baru. Kehadirannya (dan 

ekspansinya yang patut diperhatikan) tidak niscaya memunculkan banyak 

materi tercetak. Walaupun begitu, beberapa cendekiawan Belanda, banyak 

di antaranya yaitu  klerikus, berhasil mendapatkan gagasan-gagasan baru 

mengenai Islam dalam proses memperoleh teks-teks Melayu yang diniatkan 

sebagai bekal untuk penerjemahan Injil. Sebagaimana akan kita lihat, 

pengalaman dan analisis tak langsung semacam itu—meski serampangan dan 

penuh muatan ideologis—akan mewarnai banyak interaksi yang akan terjadi 

kemudian. 

Universitas Leiden patut dikenal isebab  simpanan manuskrip-manuskrip Islam-nya. Namun, koleksi Indonesia-nya memiliki sejarah yang ganjil, 

agak mirip sejarah usaha tropis Belanda secara umum. Seorang sejarawan 

Belanda terkemuka menegaskan bahwa upaya-upaya untuk memberikan 

pengetahuan yang berguna mengenai berbagai bahasa dan kebudayaan lokal 

kepada para pejabat kolonial berlangsung tersendat-sendat dan baru benar-

benar dimulai secara serius sesudah  kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–

16. Selama sebagian besar abad kesembilan belas, kecendekiawanan Belanda 

mengikuti jejak Inggris, didorong oleh kebutuhan untuk bersaing dengan 

satu-satunya kekuatan nyata yang menguasai gelombang yang mengempas 

dermaga-dermaga dari Rotterdam dan Batavia hingga London dan Kolkata.1

Meski demikian, Inggris tidak sampai ke Batavia tanpa perlawanan 

dan bisa dikatakan melanjutkan fondasi yang dibangun Belanda. sesudah  

kelahiran Republik Batavia di Belanda pada 1795, pembubaran VOC yang 

mengikutinya, dan kemudian penggabungan di bawah Bonaparte pada 1806, 

para gubernur ditugaskan ke Hindia dengan gagasan sangat berbeda yang 

disesuaikan untuk mempertahankan kemenangan mereka di Asia. Di bawah 

Marshall Herman Daendels (menjabat 1808–11), Jalan Raya Pos yang besar 

dibangun melintasi sisi sepanjang Jawa. Berbagai inventaris pun dibuat untuk 

menyiapkan penguasaan yang lebih langsung terhadap puluhan juta rakyat 

Asia isebab  para pendahulu korporat mereka hanya memiliki pemahaman 

paling samar mengenai jumlah orang yang mereka kuasai.2

Daendels juga memerintahkan agar dilakukan persiapan untuk menilai 

keadaan pendidikan Jawa dan memberikan sesuatu yang merupakan 

alternatif Eropa.3 Berbagai upaya seperti itu segera terhenti isebab  perang-

perang di Eropa, demikian pula di Samudra Hindia. Sebagai buntut dari 

banyaknya pertempuran, serangkaian petualang-imperialis yang lain mulai 

mempertaruhkan klaim mereka atas kepulauan Indonesia. Di antaranya 

L I M A

REZIM-REZIM BARU 

PENGETAHUAN

1 8 0 0 – 1 8 6 5

100  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

yaitu  Letnan Gubernur Jawa masa depan (menjabat 1811–1816), Thomas 

Stamford Raffles (1781–1826) dan Surveyor Jenderal India, Kolonel Colin 

Mackenzie (1753–1821). Keduanya berusaha mendapatkan teks apa pun 

sebisanya, kerap dengan menjarah perpustakaan istana-istana yang mengintai 

kesempatan untuk kembali merdeka.4 Sayangnya, sebagian dari koleksi 

Raffles musnah dilalap api di kapal Fame pada 1824. Sebagian besar materi 

lain, serta banyak koleksi Mackenzie, berhasil sampai di London pada saat 

yang bersamaan dengan pengapalan sisa-sisa koleksi Islam dari perpustakaan 

Palembang ke Batavia Belanda.5

Sebelum kedatangan Raffles, minat Inggris terhadap urusan-urusan 

di luar India “mereka” sudah berkembang, paling menonjol dalam diri 

pendukung Raffles, William Marsden (1754–1836), sang veteran Bencoolen 

(Bengkulu). saat  dia menerbitkan History of Sumatra-nya pada 1783, 

Marsden mengungkapkan sedikit keterkejutan pada kurangnya minat 

terhadap sejarah yang ditunjukkan oleh Portugis dan para pesaing mereka 

dari Atlantik Utara. isebab  belum pernah melihat prosiding warga  

Batavia, Marsden menyatakan bahwa keengganan Belanda untuk mencatat 

sejarah wilayah kekuasaan yaitu  akibat kegemaran mereka pada kerahasiaan 

perdagangan. Marsden melangkah hingga sejauh menghubungkan hal itu 

dengan “apa yang diyakini sebagai kecondongan watak bangsa [mereka] ... 

[dan] kecintaan mereka pada keuntungan, yang cenderung mengalihkan 

pikiran dari semua pencarian liberal”.6

Dibandingkan Raffles, yang tidak ragu-ragu untuk mempergunakan 

sekaligus menutup jalan bagi kontribusi para cendekiawan Belanda, Marsden 

memperbaiki pernyataannya yang berlebihan itu pada edisi-edisi berikut 

dari karyanya ini , dengan memberi penghormatan kepada Valentijn.7 

Selain itu, dia mengenali berbagai kegagalan para pendahulu Inggris-nya di 

Bencoolen. saat  mengumpulkan dan membandingkan sekelompok teks 

Islami yang sekarang berada di perpustakaan School of Oriental and African 

Studies di London, Marsden percaya bahwa Islam yaitu  pengaruh asing yang 

melenyapkan kebudayaan asli bangsa-bangsa di Nusantara. Dia tidak menyukai 

penggunaan istilah “Melayu” isebab  jubah seorang muslim didasarkan hanya 

pada sunat dan kemampuan untuk membaca tulisan Arab dan menyesalkan 

proses yang membuat orang-orang Minangkabau “kehilangan sebagian besar 

karakter Sumatra sejati mereka”.8 Lebih jauh dia menuding bahwa jati diri 

orang Aceh lebih lemah lagi isebab  telah mengadopsi cara-cara Arab dan 

aksara Arab secara begitu menyeluruh. Meskipun menyatakan bahasa Melayu 

bisa disombongkan sebagai “bahasa Italia dari Timur”, Marsden menyesalkan 

bahwa bahasa Arab berhasil melakukan “invasi sehari-hari” dalam bentuk Al-

Quran dan buku-buku lain di atas kertas yang memuat “dongeng-dongeng 

legenda” yang dianggapnya hanya memiliki sedikit kegunaan sebagai karangan.9

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  101

Rasa tidak suka terhadap dongeng-dongeng legenda membuat Marsden 

bersimpati, setidaknya hingga tingkat tertentu, kepada al-Falimbani, yang 

rekan-rekannya sangat mungkin telah dia jumpai. Namun, ada orang-orang 

lain dalam ekspedisi Jawa 1811 yang akan menerima persis karya-karya ini. Di 

antara mereka yaitu  John Leyden (1775–1811), seorang Skot yang terkenal 

menguasai bahasa-bahasa Oriental, termasuk Melayu, yang kali pertama 

dilihatnya pada 1802 saat  menyalin 69 judul karya Werndly. sesudah  

berkunjung ke Penang pada 1805 dan bersahabat dengan Raffles, Leyden 

mulai mengerjakan terjemahan Sulalat al-salatin, yang oleh Werndly disebut 

buku berbahasa Melayu “paling berharga”.10

Tak diragukan lagi, Leyden gatal ingin melakukan penjarahan literatur 

sendiri. Walaupun begitu, ekspedisi ke Jawa akan menjadi petualangan 

tersingkatnya isebab  Leyden terserang tifus begitu mendarat dan memeriksa 

sebuah perpustakaan setempat (barangkali perpustakaan warga  Batavia). 

Tiadanya Orientalis kesukaannya, Raffles menjalin hubungan yang berguna 

dengan para pejabat penting Belanda dan mengawasi kebangkitan warga  

Batavia. Hindia menjadi sebuah wilayah untuk dijelajahi dan dieksploitasi 

meski atas nama kemajuan bagi para penduduk pribuminya. Jika slogan 

warga  Batavia menegaskan bahwa usaha-usahanya yaitu  “untuk 

kebaikan bersama”, Raffles membuat klaim eksplisit bahwa kekuasaan Inggris 

dirancang untuk meningkatkan pribumi. Mengesampingkan ketulusannya, 

masa bulan madu berlangsung singkat bagi Raffles. Dia diperintahkan 

mengembalikan Jawa kepada Belanda pada 1818 dan pergi ke Bencoolen 

(Bengkulu). Di sana dia merencanakan penciptaan Singapura Inggris pada 

1819 dan menyaksikan terjemahan Leyden atas Sulalat al-salatin dicetak 

sebagai Malay Annals.11

KEBANGKITAN BELANDA

saat  Belanda kembali berkuasa, mereka membuat sebuah upaya baru untuk 

mengumpulkan informasi mengenai pendidikan pribumi dengan niat untuk 

menggantinya dengan sesuatu yang mereka buat sendiri. Mengikuti instruksi 

yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal G.A.G.P. van der Capellen (menjabat 

1816–26) pada Desember 1818, para pejabat setempat diminta agar pada 

Maret berikutnya menyelidiki: (1) pendidikan apa yang diberikan kepada 

pribumi Jawa, (2) siapa yang menyelenggarakannya, (3) di mana pendidikan 

berlangsung dan siapa yang membiayainya, dan (4) bagian populasi mana 

yang dipengaruhinya.12 Hanya selusin kepala administratif yang memenuhi 

instruksi, dan, bahkan dengan mengizinkan bias dan ketidakpahaman 

yang lazim, gambaran yang mereka lukiskan mengenai pesantren-pesantren 

sangatlah muram.13 Meski “para pendeta” dan guru mengajari murid—kadang 

102  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

beberapa  besar murid—dengan pengetahuan pasif mengenai Al-Quran dan 

teknik-teknik terkait yang dibutuhkan untuk membaca, hanya sedikit lulusan 

yang dianggap melek huruf secara fungsional dalam bahasa Melayu, apalagi 

Arab atau Jawa. Bahkan, di pusat-pusat seperti Surabaya, diduga bahwa 

pendidikan agama hanya terbatas pada hafalan beberapa pasase dari Al-Quran 

dan dasar-dasar baca-tulis Arab.

Meski demikian, laporan-laporan ini  memberikan beberapa 

perincian yang untuk kali pertama muncul dalam catatan Belanda. Sebuah 

laporan dari Rembang memberikan daftar teks-teks yang diajarkan di berbagai 

“langgar” dan “mesigit” oleh sekitar 32 pendeta. Meski mengikuti praktik 

Jawa dengan mendaftar buku berdasar  topiknya, bukan berdasar  judul 

resminya, daftar ini mengonfirmasi informasi dalam Serat Centhini mengenai 

asupan ilmiah waktu itu.14 Juga menjadi jelas bahwa keluarga-keluarga 

terkemuka lebih memilih mendidik putra-putra mereka di rumah di bawah 

bimbingan para kepala administrator dan juru tulis mereka. Kadang-kadang 

seorang murid yang menjanjikan dikirim keluar dari rumah, paling sering ke 

pelabuhan Surabaya dan Semarang, tempat penggunaan bahasa Melayu konon 

terbatas pada eselon atas, dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah pedalaman yang 

lebih tinggi di Madiun, Ponorogo, dan Yogyakarta.

Tampaknya semua informasi yang dikumpulkan sia-sia isebab  

tanggapannya sekadar diarsipkan dan tak ada tindakan lebih jauh. Nasib yang 

sama menimpa survei lain yang dilaksanakan pada 1831, yang pada dasarnya 

mengulangi pekerjaan 1819; meski kali ini empat belas administrator 

mengirimkan data yang mencakup beberapa  tempat pengajaran yang 

memusingkan.15 Lagi-lagi pendidikannya digambarkan sebagai buruk, hanya 

memberikan pengetahuan mengenai teks yang sepenuhnya pasif, meski 

beberapa tamatan benar-benar mampu melafalkan teks-teks ini  dengan 

sangat baik. Diduga bahwa kalangan elite lebih suka mendidik putra-putra 

(dan putri-putri) mereka di dalam batas-batas lingkungan istana. Patut dicatat 

bahwa salah satu komisi pribumi yang mengirimkan laporan, melampirkan 

beberapa  usulan untuk pengenalan persekolahan bergaya Barat dan 

pengawasan seluruh guru dan sekolah, termasuk pesantren, di bawah sebuah 

lembaga yang dikepalai para pejabat muslim yang ditunjuk secara lokal.16

Yang benar-benar mengejutkan dalam laporan-laporan ini , 

setidaknya dalam bentuk ringkasannya, yaitu  bahwa tak ada penyebutan 

eksplisit apalagi kekhawatiran terhadap Mekah sebagai tujuan 

kecendekiawanan. Pesantren diasumsikan melayani mereka yang berminat 

dari anggota warga  di bawah tingkatan elite priayi yang semakin 

terbaratkan (dan meluas). Hanya ada sedikit petunjuk mengenai murid yang 

pergi lebih jauh dari rumah, ataupun mengenai jumlah uang yang beredar 

selain sebagai imbalan sukarela untuk membantu sang guru.17 Terlepas dari hal 

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  103

ini, kita sekarang tahu bahwa semakin banyak orang mampu melaksanakan 

haji serta untuk belajar. Ini juga merupakan momen saat  lebih banyak guru, 

termasuk orang-orang Arab, mengadu nasib ke Kawasan Tapal Kuda untuk 

menawarkan kelas-kelas yang diselenggarakan dalam bahasa Melayu. Ini 

yaitu  perkembangan yang tak banyak diramalkan. Sultan Madura, misalnya, 

menganggap pendidikan dasar langgar sudah memadai untuk membangun 

pikiran rakyatnya kecuali yang “paling berangasan”.18

Dengan keuntungan pengetahuan kita tentang masa lalu, tampaknya ada 

perbedaan yang kian lebar antara persepsi orang Jawa dan Belanda mengenai 

posisi elite priayi vis-à-vis Islam. Perbedaan yang setara antara yang literer dan 

yang religius juga mewujud dalam berbagai warga  Batavia. Barangkali 

menyadari Raffles telah menerbitkan Malay Annals karya Leyden, pada 1823 

komite pengarah Belanda menawarkan hadiah untuk menerjemahkan karya 

yang sama ke dalam bahasa mereka sendiri. Tujuan mereka yaitu  mengakui 

nilainya sebagai sebuah sejarah dan gaya sastranya yang halus.19 Sumbangan 

apa pun yang mungkin diberikan untuk memahami Islam sama sekali tidak 

dipedulikan, sebagaimana berbagai perincian mengenai Islam masih diabaikan 

dalam analisis-analisis kebijakan yang dibawa kembali di bawah bendera 

Belanda. Dalam sebuah laporan panjang mengenai Palembang, Komisioner 

J.I. van Sevenhoven bisa jadi sudah mendokumentasikan dengan baik 

tingkatan-tingkatan ulama dan para guru di sana. Namun, dia menyimpulkan 

bahwa istana yang telah mengangkat mereka tidaklah benar-benar religius. 

Sevenhoven bahkan menyatakan bahwa istana tidak disukai oleh populasi 

Arab setempat, yang terisolasi di tengah-tengah penduduk yang secara umum 

percaya takhayul dan durhaka.20

Tak terlalu jauh dari sana, di Bencoolen, seorang mantan Residen Jawa 

Tengah, Letkol H.G. Nahuijs, berembuk dengan Raffles dan menyuarakan 

visi bersama mereka mengenai masa depan orang-orang kafir Jawa:

Agar tidak membuat dunia tersinggung, kita tidak sekali pun boleh 

mendiskusikan soal-soal yang bertentangan dengan berbagai prasangka atau 

keyakinan agama orang-orang yang lebih tua atau yang akan berbenturan dengan 

agama Mohammedan. Ini sama sekali bukan menghalangi pembinaan kaum 

muda melalui kisah-kisah moral terpilih untuk memupuk rasa bertanggung 

jawab serta rasa hormat dan kebajikan. Keadaan benar-benar menguntungkan 

isebab  dengan kepemimpinan jenderal yang baik banyak bantuan bisa 

diperoleh. Orang Jawa sangat menyukai cerita, sampai-sampai para pangeran 

menghabiskan berjam-jam waktu mereka untuk siapa saja yang bisa menarik 

perhatian dengan satu atau lain cerita. Tak kurang menguntungkannya bahwa 

pribumi Jawa, berbeda dari pengikut Mohammed yang lain, lebih dekat ke 

agama Kristen dan lebih mudah mengubah adat istiadatnya menjadi adat 

orang-orang Eropa. Bagi saya, hal itu membuka prospek yang membahagiakan. 

104  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Di bawah bimbingan pemerintah yang memahami dan kebapakan, tak lama 

lagi orang-orang Jawa akan menganut Kristen meski tidak dalam nama, tapi 

dalam praktik. Menurut cara pikir saya, yang terakhir lebih berharga ketimbang 

yang pertama.21

Surat Nahuijs diterbitkan di Breda pada 1826. Terlepas dari apa yang 

disesalkannya sebagai “rangkaian keadaan yang tak menguntungkan” yang 

memaksa Belanda bertempur merebut hampir seluruh bekas kekuasaannya 

sehingga “darah penduduk pribumi ... tertumpah di seantero tanah kekuasaan 

ini”, tatanan Belanda sudah bergerak menuju pemulihan penuhnya.22 Selain 

itu, Inggris dan Belanda, meski aktif bersaing satu sama lain, bersama-sama 

memanfaatkan kekuatan ilmu pengetahuan dan retorika agama untuk 

mendukung usahanya, yang digambarkan oleh seorang misionaris pada masa 

belakangan sebagai “mengenalkan peradaban ke tengah-tengah jutaan orang”.23

MENCETAK ULANG PENGETAHUAN KRISTEN

Untuk sebagian orang, kekuasaan peralihan Inggris lebih dari sekadar 

menyurvei wilayah yang baru saja dimenangkan untuk meningkatkan 

reputasi pribadi mereka. Di antara pasukan ekspedisi, terdapat mereka yang 

memandang Nusantara sebagai lapangan misi potensial, terlepas dari berbagai 

sejarah kegagalan mereka di kawasan ini. Yang mereka miliki dan tidak dimiliki 

para pendatang terdahulu yaitu  alat cetak yang mudah dibawa-bawa. Bagi 

mereka, ini sama penting dengan meriam bagi serdadu pelindung mereka.

Tentu saja karya-karya tercetak mudah dikenal. Bagian-bagian Injil Matius 

karya Ruyl dikirimkan dari Enkhuizen awal 1629, diikuti salinan-salinan 

Perjanjian Baru-nya yang kemudian diperbaiki oleh Heurnius pada 1650-an. 

VOC mengawasi penerbitan teks-teks keagamaan sejak 1659 seiring usaha 

menjaga hubungannya yang ambigu dengan gereja-gereja reformasi. yaitu  

kekuasaan peralihan Inggris dan penemuan litografi yang memungkinkan 

ledakan aktivitas cetak di kawasan ini. Tak lama sesudah  kedatangan para agen 

warga  Misionaris London, kegiatan percetakan dimulai; di Malaka pada 

1817, Negeri-Negeri Selat dan Batavia pada 1822, dan Padang pada 1834.24 

Inggris sekali lagi diikuti oleh Belanda melalui pendirian warga  Injil 

Belanda pada 1814, yang bekerja untuk memastikan kitab suci tersedia baik 

dalam aksara Jawi maupun Latin. Proyek pertama yaitu  pengerjaan ulang 

Injil Leijdecker, yang dicetak pada 1820.25

Media ini menjanjikan, namun  para misionaris mengakui bahwa kendala 

budaya utama masih harus diatasi. Pada Juli 1828 W.H. Medhurst (1796–

1857) melaporkan dari Singapura mengenai berbagai kesulitan serta jalan 

keluar yang mungkin:

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  105

Orang-orang Melayu hanya punya sedikit, atau sama sekali tidak punya, 

buku cetakan. saat  diberi buku yang dibuat dengan huruf cetak, mereka 

menganggapnya sama sekali berbeda dan begitu asing tampilannya. Mereka 

cenderung menolaknya berdasar  alasan ini . Pribumi di sini telah 

terbiasa membaca buku dengan titik-titik, yang sulit untuk diletakkan pada 

setiap kata menggunakan huruf cetak. Semua ini mudah diperbaiki dalam 

percetakan litografis: buku-buku yang dicetak menggunakan cara ini, memiliki 

penampilan manuskrip. Dengan sebuah inskripsi Mohammedan di bagian awal, 

terbitan kita mendapatkan penerimaan semudah terbitan mereka sendiri.26

Dibutuhkan lebih dari sekadar inskripsi “Mohammedan” di bagian awal. 

Pengoperasian mesin-mesin cetak baru bergantung kepada para penerjemah 

lokal, yang mengambil lebih banyak hal dari juragan mereka daripada sekadar 

pengetahuan mengenai teologi Kristen. Contoh paling terkenal yaitu  

Munsyi Abdullah, yang membantu Leyden di Penang, Raffles, Medhurst, 

dan misionaris-misionaris lainnya di Singapura. Dengan bekerja bersama 

orang-orang ini selama dua dekade, Munsyi Abdullah mendapat pemahaman 

mengenai percetakan tipografis. Kenangan tentang kebakaran di kapal Fame 

mendorongnya memilih jalan pelestarian sastra dan sejarah Melayu pada 

1840-an, menciptakan preseden baik bagi Kemas Azhari di Palembang 

maupun Husayn al-Habsyi di Surabaya.27

Bukan berarti para pastor tidak mendapatkan pengikut baru atau bahwa 

mereka tidak memiliki pemahaman mengenai agama orang-orang yang 

hendak mereka terima. Bahasa Arab berada di luar jangkauan pengetahuan 

kebanyakan misionaris. Terdapat bukti kuat bahwa di Batavia setidaknya 

mereka mendapatkan bantuan aktif pemeluk baru yang memiliki cukup 

pengetahuan mengenai bahasa ini . Teks yang relevan yaitu  sebuah 

salinan tulisan tangan dari Hikayat Maryam wa-‘Isa. Diselesaikan pada 1826, 

teks ini memuat banyak kutipan Injil dalam bahasa Arab dengan penjelasan 

bahasa Melayu. Dengan demikian, ini berjalan jauh melampaui inskripsi di 

awal ala Medhurst. Teks ini  meniru karya tafsir tradisional yang penuh 

oleh penjelasan mengenai kitab suci. Pernyataan keimanan dirumuskan ulang 

sehingga bercorak mistis, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan 

bahwa Yesus yaitu  ruh Allah.”28

Sekali lagi, konsep-konsep semacam itu sama sekali tidak baru. Kita 

bisa mengingat bahwa saat  dipenjara di Aceh, Frederick de Houtman 

membangun pembelaannya terhadap agama Kristen berdasar  penyebutan 

Al-Quran terhadap Yesus sebagai ruh Allah, juga diketahui bahwa Isaac 

St. Martin memiliki salinan Mazmur dalam bahasa Arab.29 namun , teks-

teks semacam itu sekarang dicetak dalam jumlah besar, seperti serangkaian 

himne yang disusun oleh seorang pendeta Baptis yang aktif di Jawa, William 

Robinson (1784–1853).30 Meski begitu, bentuk yaitu  satu hal dan isi 

106  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

yaitu  hal lain. Itulah kunci persoalannya, persoalan yang akan menjangkiti 

pemahaman kolonial mengenai periode cikal bakal dalam sejarah Islam di 

Asia Tenggara. Ketakutan pun kini naik pentas.

Gambar 5. Makam Malik Ibrahim, dari Van Hoëvell, Reis over Java, I, 156–57.

PARA PENDETA PERANG

sesudah  itu dia menarik jamnya dari saku dan berkata kepada para pendeta, “Jika 

menghargai nyawa, Anda tidak akan buang-buang waktu dengan obrolan basa-

basi.”31 (Le Bron de Vexela kepada para pengikut Kiai Mojo, November 1828)

Belanda dan Inggris sama-sama mengandaikan bahwa lawan mereka didukung 

oleh sekelompok pendeta, sama seperti para pendeta mereka sendiri. Di 

Bengkulu, para pelopor tren terbaru dari Mekah segera dipanggil (secara 

meremehkan) kaum “Padri”, yang merupakan pengolahan-ulang lama atas 

istilah Iberia untuk “pendeta”. Inggris sudah menggunakan istilah ini di India. 

Demikian pula Belanda telah merujuk sang mediator pseudo-Utsmani dari 

1753–54 sebagai “Padre Grande”. Dengan mudah istilah ini juga diadopsi 

oleh orang-orang Indonesia yang sinis. Pada 1850-an para misionaris di Jawa 

Barat disebut padri oleh orang-orang Sunda yang curiga. Ahmad Rifa‘i pun 

menyerang muslim yang bersekutu dengan Belanda dengan sebutan serupa.32

Orang Eropa memandang para haji dan imam sebagai pendeta-pendeta 

yang susah dihadapi. Di sisi lain, orang Eropa juga tak segan menyematkan 

pujian kepada mereka. Kolonel Nahuijs dan Raffles sama-sama memandang 

kaum “Padre” sebagai para aktivis saleh yang berusaha “memperbaiki moral 

bangsa Melayu yang benar-benar merosot dan sangat bertentangan dengan 

ajaran-ajaran Mohammedan atau Islam”. Keduanya bahkan mencurigai 

(barangkali isebab  penamaan mereka) bahwa semula mereka yaitu  

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  107

“sekelompok orang Melayu Kristen”.33 Raffles telah menulis kepada Marsden 

pada 1820 bahwa kaum Padri “menyerupai kaum Wahabee dari padang pasir” 

dan telah membuktikan diri sebagai “paling kasar dan sewenang-wenang”, 

meskipun pemerintahan mereka tampaknya “diperhitungkan untuk 

melaksanakan reformasi dan perbaikan”. Walaupun begitu, Raffles mengaku 

kepada sepupunya yang seorang klerikus bahwa dia jauh lebih suka melihat 

ratusan misionaris Kristen diutus ke dataran-dataran tinggi ketimbang orang-

orang dengan “Koran di satu tangan, dan pedang di tangan yang lain”, yang 

membawa “pengaruh merusak sang nabi palsu dari Mekah”.34

Sumatra Barat didera kekerasan selama sekitar sembilan belas tahun 

sebelum campur tangan pertama Belanda saat  para Tuanku dari berbagai 

kubu mengampanyekan penghancuran arena sabung ayam yang dihias dengan 

mewah serta balairung tradisional yang merupakan kebanggaan banyak desa 

lawan-lawan mereka. Dengan kembali berkuasa, Belanda memantapkan diri 

di Padang dan mulai menghadapi kaum Padri pada 1821. Serangan pertama 

ini ditunda saat  mereka menyadari bahwa Inggris tidak akan mendukung. 

Sebuah perjanjian pun ditandatangani dengan para Tuanku di Bonjol 

dan Alahan Panjang pada Maret 1824.35 saat  berbagai peristiwa tidak 

menguntungkan Belanda untuk sementara waktu di Jawa, sebuah perjanjian 

damai yang lebih luas disepakati pada November 1825. Pada masa kelembaman 

inilah Belanda meminta Syekh Jalal al-Din dari Samiang untuk menyiapkan 

ringkasannya mengenai sejarah perang di kalangan orang-orang yang dengan 

santun dirujuknya sebagai “Paderi”.36 Namun, penyebutan ini tak lebih dari 

sekadar rujukan sambil lalu untuk memungkasi apa yang disebutnya “perang 

agama”, yang dilancarkan para Tuanku terhadap pihak Adat kerajaan sebelum 

berubah menjadi pertarungan di antara mereka sendiri.37 

Pada waktu Jalal al-Din, yang dikira Belanda sebagai putra Tuanku Nan 

Tua, menulis laporannya, perang internal sudah hampir usai. Terhentinya 

perdagangan independen ke utara oleh penarikan diri Inggris (dan kerja 

sama mereka dengan Belanda), terdapat penurunan yang sepadan dalam 

semangat keagamaan yang ditopang oleh pertanian Padri. Ini tidak berlaku 

di perbentengan Bonjol, tempat sang Tuan akan membuka kembali konflik 

pada 1830-an sesudah  berdamai dengan faksi Adat. Dia akhirnya dikalahkan 

pada 1837.

Bukanlah ironi kecil bahwa salah satu orang Jawa yang dikirim untuk 

memerangi kaum Padri memiliki gelar mentereng “Ali Basa” yang termakan 

hasutan untuk membelot dari Diponegoro pada Oktober 1829. Sudah 

dinyatakan bahwa dengan kekalahan Diponegoro, “bukan hanya orang 

Jawa, melainkan sesudah  itu juga para penguasa kolonial Eropa, yang peduli 

mengenai seperti apa atau akan menjadi seperti apa kaum Muslim Jawa”.38 

Hal yang sama (dan barangkali lebih lagi) bisa dikatakan untuk Sumatra, 

108  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

yang (kini) Komisioner Jenderal van Sevenhoven bahkan membuat seruan 

langsung kepada orang-orang Dataran Tinggi Padang pada 1833, menyatakan 

mereka sebagai sesama monoteis yang telah disesatkan oleh sebagian guru 

mereka.39 Bagaimanapun, meskipun negara kolonial mungkin memiliki 

pikiran yang samar-samar untuk mengubah atau mengarahkan kembali 

pendidikan orang-orang Jawa dan Sumatra, tapi belum cukup peduli untuk 

menyebarkan informasi yang dimilikinya mengenai sistem pendidikan yang 

ada. Mengumpulkan informasi tampak seperti hal yang lebih baik untuk 

dilakukan ketimbang membagikannya. Barangkali penjelasan mengenai hal 

ini berada pada kenyataan bahwa para pakar kolonial benar-benar kewalahan 

menghadapi limpahan informasi. Mencoba memahami tumpukan bahan 

yang baru saja ditambahkan ke perpustakaan mereka sesudah  begitu banyak 

penaklukan merupakan tugas yang menciutkan nyali.

MEMBUAT PEMAHAMAN KRISTEN TERHADAP PERPUSTAKAAN-

PERPUSTAKAAN RAMPASAN

Belanda dan Inggris menikmati bagian mereka masing-masing dari 

kemenangan militer. Namun, terlepas dari harapan yang kuat dan doa-doa 

yang dicetak, pengkristenan orang-orang Muslim lokal sangatlah jarang. 

Bahkan, “orang-orang kafir” di kawasan ini pun tidak berminat. (Dan, 

peruntungan orang-orang Amerika tidak lebih baik. sesudah  tujuh tahun 

beroperasi, misi Amerika di Singapura hanya bisa mengkristenkan lima orang 

Tionghoa sehingga ditutup pada 1843.) Seiring berlalunya waktu, makin 

banyak pejabat yang barangkali sampai pada    yang sama: muslim 

pribumi itu keras kepala, setia kepada ulama-ulama pelawat yang aktif di 

kalangan mereka. Seperti sudah kita lihat, para pelawat semacam itu (dan para 

pemudik Jawi yang jumlahnya kian banyak) memiliki pengaruh yang makin 

menguat terhadap istana-istana di Nusantara. Ini bisa dilihat dari contoh 

teks-teks dari beberapa perpustakaan istana yang dirampas sebagai barang 

pampasan perang, dari Selangor (1784), Yogyakarta (1812), Bone (1814), 

dan Palembang, oleh Inggris pada 1812, dan kemudian diambil kembali 

oleh Belanda pada 1821.40 Namun, koleksi-koleksi ini ditambah teks-teks 

non-istana, seperti panduan Sufi yang dirampas saat kejatuhan Bonjol, gagal 

membuat sebagian orang Eropa yakin terhadap komitmen kaum Muslim 

Asia Tenggara terhadap agama mereka. Raffles hanya mengambil beberapa 

syair dan teks berbahasa Jawa milik Sultan Badr al-Din dari Palembang. Dia 

meninggalkan beberapa  besar koleksi berbahasa Arab dan Melayu. Teks-teks 

ini juga diabaikan oleh van Sevenhoven dalam perlakuannya terhadap istana 

ini , yang dianggapnya tidak punya kesamaan apa pun dengan komunitas 

Arab yang bermukim di sana.41

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  109

Raffles dan van Sevenhoven memang bersikap lebih meremehkan, 

sementara John Crawfurd (1783–1868) beranggapan bahwa orang-orang 

Melayu dikenal sebagai muslim “teladan” namun  toleran. Crawfurd menyebut 

orang-orang Jawa sebagai “yang paling longgar dalam prinsip dan praktik 

mereka”, isebab  “sedikitnya hubungan mereka dengan kaum Mohamedan 

asing”.42 Namun, seberapa banyak yang benar-benar dia ketahui mengenai 

hubungan semacam itu patut diragukan isebab  hubungan demikian kerap 

terjadi di luar Nusantara, di luar ruang lingkup pengetahuan orang-orang 

Eropa. Bagaimanapun, bukti yang ada di hadapan mereka menunjukkan 

sebuah pembaruan pendekatan berbasis teks terhadap Islam. Barangkali hal 

ini paling jelas didemonstrasikan oleh koleksi rampasan yang paling menarik, 

yakni koleksi dari Banten, yang kesultanannya dihapus oleh Raffles pada 

1813. Isinya baru akan digambarkan pada 1833–35 oleh B. Schaap. 

Schaap, yang belakangan bertugas sebagai Asisten Sekretaris Gubernemen 

di Batavia, kebetulan yaitu  anggota komite kamus Belanda dan pemilik Hikayat 

Maryam wa-‘Isa. Kebetulan ini  memberi kita satu lagi contoh bagaimana 

minat terhadap linguistik dan penyebaran agama Kristen tumpang tindih di 

tingkat dinas. Namun, sekali lagi, para pengkaji Islam hanya bisa kecewa dengan 

definisi singkat Schaap, yang menunjukkan terbatasnya minat (atau mungkin 

sekadar terbatasnya waktu) bagi perincian-perincian yang lebih halus mengenai 

pengetahuan Islam. Dia menggolongkan sebagian koleksi Banten sebagai 

berkaitan dengan “bahasa”, “kewajiban-kewajiban”, dan “agama” (pada satu 

contoh “lagu-lagu keagamaan atau zikir-zikir”). Namun, jelas bahwa banyak 

dari karya yang dihadapinya itu yaitu  karya-karya Sufi tingkat lanjut berbahasa 

Arab. Barangkali ini menjelaskan mengapa gambaran pertama mengenai koleksi 

warga  Batavia, yang dibuat oleh pengelolanya, R. Friederich (1817–75), 

berkaitan dengan materi berbahasa Arab. Seperti akan kita lihat, prioritas ini 

sesuai dengan kewajiban pelajar di pusat pendidikan Delft.

DARI BATAVIA DAN SURAKARTA KE BREDA, DELFT, DAN LEIDEN

Belanda di bawah pimpinan Willem II (berkuasa 1813–40) mengarahkan 

berbagai usaha untuk membekali para pejabat kolonial dengan pengetahuan 

bahasa Melayu dan Jawa. Jika VOC dahulu mengirimkan para pejabat beserta 

keluarga dan percaya bahwa mereka akan mendapatkan posisi yang kuat dan 

mempelajari bahasa apa pun yang mereka butuhkan saat  mendarat, negara 

baru ini pada akhirnya akan memerlukan generasi lelaki muda dan lajang 

yang diharapkan mampu menggunakan salah satu bahasa utama Nusantara 

sebelum memulai kerja resmi mereka.

Setidaknya begitulah rencananya. Di antara pelopor yang kita sebut 

Indonesianis yaitu  P.P. Roorda van Eijsinga (1796–1856). Dia dikirim ke 

110  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Jawa sebagai seorang serdadu pada 1819 dan terlibat dalam pengajaran bahasa 

Melayu di Batavia, tempat dia juga menyusun sebuah gramatika bahasa itu. 

Sementara bagi rekannya yang ahli Jawa, A.D. Cornets de Groot (1804–29) 

yang tak berumur panjang, Melayu tidak mesti merupakan bahasa pilihan 

bagi mereka yang mulai bertugas di Hindia. Sekolah formal pertama untuk 

para pejabat, yang meniru College of Fort William di Kolkata dan mendapat 

dorongan dari pemberontakan Diponegoro, didirikan di Surakarta pada 1832 

di bawah bimbingan seorang Jerman J.F.C. Gericke (1799–1857), yang sudah 

dipekerjakan di Hindia oleh warga  Injil Belanda.43 

sesudah  sebuah permulaan yang ambisius, Gericke meninggalkan 

panggung dan digantikan oleh penerjemah keturunan campuran Eropa-Asia 

untuk Keraton Solo, C.F. Winter (1799–1859). Catatan-catatan Winter 

mewarnai tata bahasa yang muncul belakangan karya Taco Roorda (1801–

79). Sekolah ini harus bekerja keras akibat ketatnya anggaran dan terbatasnya 

minat pemerintah sebelum akhirnya ditutup pada 1843 dan digantikan 

sekolah pelatihan dinas metropolitan yang didirikan di Delft pada 1842.

Sebagian orang berpandangan bahwa, sesudah  berbagai perang untuk 

menegaskan dan memperluas kendali Belanda atas Hindia, upaya-upaya 

semacam itu terlalu sedikit dan terlambat. Namun, Delft bukanlah tempat 

pelatihan pertama di Belanda. Sudah ada pemikiran untuk mendirikan 

sebuah sekolah khusus di Leiden, dan Roorda van Eijsinga sudah direkrut ke 

Akademi Militer di Breda pada Oktober 1836, tempat dia mulai menggarap 

panduan mengenai Hindia yang berjilid-jilid, tapi hanya enam halaman yang 

berkaitan dengan praktik Islam di Jawa.44

Sejarawan Belanda Cees Fasseur pernah bercanda bahwa rekrutmen 

Roorda van Eijsinga yaitu  sebuah contoh Mars (dewa perang Romawi—

Penerj.) yang mengalahkan Minerva (dewi kebijaksanaan Romawi—Penerj.).45 

Namun, Mars tidak terlayani dengan baik oleh sang veteran dan dia pun segera 

dibarengi oleh seorang muda, P.J. Veth (1814–95), yang karya utamanya 

menunjukkan saling hubungan antara iman keagamaan, orientalisme, dan 

kadang utilitarianisme kolonial yang tidak menyenangkan. Berangkat dari 

kecenderungan untuk mengambil karier klerikal yang dinyatakannya secara 

terbuka, Veth memanfaatkan tawaran Roorda van Eijsinga pada 1838 untuk 

bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan Melayu (meskipun tidak pernah ke 

Hindia). 

Walaupun tidak pernah bepergian ke Timur, Veth pasti tahu perlunya 

mendemonstrasikan pengetahuan mengenai bahasa Arab dan Islam. Ini 

dicapai dengan menghasilkan edisi teks Lubb allubab (Inti Segala Inti) karya al-

Suyuti yang diberi pengantar dengan pernyataan bahwa bangsa Melayu tidak 

memiliki kesusastraan sebelum mereka mengadopsi Islam.46 Veth tinggal di 

Breda selama tiga tahun sebelum pindah untuk mengajar di Atheneum yang 

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  111

nahas di Franeker. Dengan Atheneum yang hampir ditutup dan penunjukan 

Taco Roorda di Delft, Veth pindah ke Atheneum Amsterdam pada 1843, 

tempat dia menyampaikan orasi pembukaannya mengenai “Pentingnya 

Praktik Islamologi dan Sejarahnya untuk para Teolog Kristen”.47

Veth tetap merupakan semacam perkecualian (yang terang-terangan) 

di Amsterdam saat  pekerjaan sebenarnya untuk melatih para pejabat yang 

akan dikirim ke Hindia dimulai di Delft pada 1842. Di sana orang-orang 

muda dibekali untuk ditempatkan di berbagai pertambangan, perkebunan, 

dan kantor klerikal. Sementara Institut Jawa berfokus pada kesusastraan Jawa 

sebagai alat utama pejabat modern, di Delft bidang ini menjadi pelajaran 

penunjang bagi pelajaran-pelajaran yang lebih praktis seperti mineralogi, 

agronomi, dan bacaan fragmentaris mengenai hukum Romawi dan juga 

hukum Islam yang berbahasa Arab dan Melayu. 

Pada 1844 salah seorang anggota baru staf Delft, Albert Meursinge 

(1812–50), yang mempertahankan tesis di Leiden mengenai Tabaqat al-

mufassirin (Generasi-Generasi para Mufasir) karya al-Suyuti, menghasilkan 

buku pandangan mengenai hukum Islam yang dimaksudkan untuk 

digunakan oleh para pejabat Eropa dan orang-orang pribumi “yang maju”. 

Pada hakikatnya buku itu yaitu  sebuah edisi dari karya ‘Abd al-Ra’uf, 

Mir’at al-tullab, berasal dari manuskrip Leiden yang dibawa dari Gorontalo, 

Sulawesi. Penekanan demikian disamai di Breda. Setahun kemudian, J.J. 

de Hollander (1817–86), yang menggantikan Roorda van Eijsinga pada 

1843, menghasilkan panduannya sendiri mengenai bahasa dan kesusastraan 

Melayu, yang disusuli daftar rujukan karya-karya Melayu pada 1856. Dia juga 

menerbitkan serangkaian bunga rampai, yang menyertakan Hikayat Jalal al-

Din berdasar  edisi terpisah yang dihasilkan oleh Meursinge pada 1847.48

Meski demikian, bahasa Melayu tetap dipandang rendah. Edisi Hikayat 

Jalal al-Din oleh de Hollander memuat banyak koreksi yang keliru, semisal 

saat  kata berbahasa Arab untuk “zakat” (zakat) yang sudah ditulis dengan 

benar dipelintir menjadi mirip “rukuk” (rak‘at).49 Asumsinya, orang-orang 

Melayu tidak akrab dengan bahasa Arab seperti yang dipelajari di Akademi 

Belanda dan bahasa Melayu sama sekali tidak sesuai untuk menangani konsep-

konsep yang rumit. Jan Pijnappel Gzn. (1822–1901), yang direkrut ke Delft 

pada 1850, memandang bahasa Melayu sebagai bahasa yang sederhana untuk 

pikiran yang sederhana pula. Namun, dia menawarkan sebuah gramatika asal-

asalan bagi bahasa ini  untuk mahasiswa tahun kedua dan ketiga isebab  

bahasa Melayu “Tinggi” dimasukkan dalam kurikulum mereka.50

Mengingat para pejabat Belanda akan mengambil putusan terhadap 

rakyat Muslim, timbul keprihatinan yang nyata mengenai pengajaran hukum 

Islam. Ini terlihat dalam penerjemahan Tuhfat al-muhtaj (Anugerah untuk 

Orang yang Membutuhkan) karya al-Haytami ke dalam bahasa Jawa, yang 

112  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

diterbitkan pada 1853.51 Kali ini editor yang dimaksud yaitu  Salomon 

Keijzer, yang tiba di Delft sesudah  kematian dini Meursinge pada 1850. 

Panduan Keijzer didasarkan pada beberapa teks yang disimpan di Belanda dan 

Inggris. Teks-teks ini  meliputi versi Banten yang dimiliki Taco Roorda, 

serta versi yang bersumber dari makalah-makalah mantan Gubernur Pesisir 

Timur Laut Jawa. Kumpulan makalah itu diwasiatkan Nicolaus Engelhard 

(1761–1831 atau 1750–1832) untuk Institut Kerajaan Bidang Linguistik dan 

Antropologi Hindia Belanda (KITLV) yang baru didirikan.52 sesudah  kematian 

dini Keijzer, Taco Roorda mengubah judul panduan ini  menjadi Sebuah 

Buku Pegangan Hukum Mohammedan Berbahasa Jawa.53

Buku panduan ini tetap digunakan di kalangan pejabat di Jawa selama 

empat dekade berikutnya, bersama panduan Keijzer lain yang dihasilkan pada 

1853 dengan meniru upaya Prancis di Aljazair. Dalam karyanya, Handboek 

voor het Mohammedaansch regt (Buku Pegangan Hukum Mohammedan), Keijzer 

memberikan argumen yang eksplisit bahwa hukum Islam “murni”—yang 

dijelaskan dalam terjemahannya atas Tanbih fi l-fiqh (Pengingat Fikih) karya 

Ibrahim b. ‘Ali al-Firuzabadi (w. 1083)—harus dipelajari sebelum melihat 

“penyimpangan-penyimpangan” apa pun yang muncul dalam berbagai hukum 

lokal di Hindia Belanda.54 Barangkali karya terbaik untuk memahami pemikiran 

Keijzer atau ketakutannya seputar Islam di Hindia, bisa ditemukan dalam 

sebuah koleksi esai yang diterbitkan pada 1860. Di situ dia mengemukakan 

pengetahuannya mengenai hukum Islam secara umum, terutama menyangkut 

kumpulan teks berbahasa Jawa dan Melayu yang dikopi di Batavia. 

Keijzer menegaskan bahwa orang-orang Hindia sama muslimnya seperti 

bangsa-bangsa lain. Pembacaan teks-teks Islam dan pemahaman mengenai 

haji penting untuk menghadapi orang-orang Hindia ini. sesudah  Perang 1857 

di India, disusul pembantaian Jeddah pada 1858, kajian Keijzer mengajukan 

sebuah tanda tanya besar pada akademi serta kepentingan kolonial yang 

diembannya secara eksplisit.55 Pada inti pertanyaan ini terdapat tuduhan 

tentang kurangnya pengetahuan mengenai Mekah dan bagaimana persisnya 

pengaruh kota itu digunakan. Sebagaimana dia tuliskan:

[D]i mana pun buku-buku [hukum] diringkas, diedit, dan diterjemahkan demi 

kepentingan umum, Islam akan menuntut rangsangan baru agar darah bergerak 

cepat di seluruh pembuluhnya. Rangsangan semacam itu akan ditemukan dalam 

perjalanan haji ke Mekah, yang dari sana daya-hidup dikirimkan ke negeri-

negeri timur yang paling jauh. Dalam arti, Tanah Suci bukan sekadar tempat 

kelahiran Islam, melainkan juga dipelihara. Alih-alih, melalui perjalanan haji, 

Mekah menjadi landasan ajaran Mohammed disebarkan dan dibesarkan untuk 

hampir semua negeri Mohammedan. Dengan demikian, hal ini menunjukkan 

bahwa sejauh berkenaan dengan Kepulauan Hindia, patutlah kita seharusnya 

mengukur apa arti penting haji bagi wilayah kita.56

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  113

Dalam diskusi selanjutnya, Keijzer mengikuti sebuah peziarahan teoretis 

ke Jeddah sebelum berusaha merekonstruksi sisa perjalanan ini  dari 

karya-karya yurisprudensi yang sangat dia kenal, memberikan terjemahan 

dari doa-doa wajib yang diucapkan pada setiap tahapan ritual. Namun, 

Keijzer tahu bahwa tuduhannya harus bersandar pada orang seperti halnya 

pada pengetahuan mengenai teks. Oleh isebab  itu, dia mengajukan alasan 

bagi pembuatan sesuatu yang mirip sebuah gereja muslim, dia percaya 

bahwa menggunakan gelar yang sangat Arab mengasingkan orang dari 

identitas “nasional” mereka. Keijzer memang bukan penyokong ibadah 

haji, mendukung aturan pas 1858 yang keras sebagai usaha mengendalikan 

fanatisme Mekah. Dia memandang Islam sebagai agama yang meninggalkan 

“kegelapannya” terhadap orang-orang, dan para haji sebagai klerus yang 

ditugasi memenuhi peti-peti perang.

Terlepas dari sikap fanatiknya, Keijzer tetaplah profetik. Dalam sejarah 

Mekah-nya, dia menggambarkan sketsa pergulatan tripartit antara berbagai 

kelompok kepentingan klan-klan pendukung Syarif, pemerintah Utsmani, 

dan gerakan Ibn ‘Abd al-Wahhab. Dia juga memprediksi jika kaum Syarif 

atau Wahhabiyyah yang berhasil unggul, guncangan susulannya pasti akan 

terasa di “Hindia kita”. Namun, yang barangkali lebih mengejutkan bagi 

pembaca modern yaitu  posisi yang diambil oleh Keijzer dalam kaitannya 

dengan faksi-faksi ini. Di satu sisi, dia tidak punya apa pun selain rasa jijik 

terhadap orang-orang Turki yang “menyimpang” dan kaum Syarif yang 

dikukuhkan oleh Muhammad ‘Ali “sang pengkhianat”. Di sisi lain, dia 

mengungkapkan persetujuan terhadap Ibn ‘Abd al-Wahhab. Menurutnya, 

al-Wahhab yaitu  seorang terpelajar yang membawa orang lebih memahami 

Tuhan dan memberantas banyak “praktik yang tidak manusiawi”, mengubah 

Kota Dir’iyya menjadi “Jenewa-nya Mohammedanisme Protestan”. Dia juga 

bertanya-tanya apakah ada sesuatu dalam pandangan umum bahwa kaum 

Padri Sumatra terinspirasi oleh gerakan ini.57

Keijzer bukanlah satu-satunya Orientalis yang memiliki pandangan 

semacam ini. Cendekiawan Prancis, Garcin de Tassy (1794–1878) menyesal 

harus sampai pada    yang sama pada 1830-an.58 Meski demikian, 

G.K. Niemann (1823–1905), Subdirektur Lembaga Pelatihan warga  

Injil Belanda di Rotterdam, menerbitkan sebuah panduan mengenai Islam 

yang kontennya mengulangi banyak hal yang telah disampaikan Keijzer. 

Niemann melakukannya dengan pembahasan yang kurang tegas mengenai 

kaum Wahhabi sebagai pembaharu. Dia juga mengajukan keraguan mengenai 

“kisah umum” tentang kaum Padri berada di bawah pengaruh Wahhabi, 

dengan menegaskan bahwa asal usul mereka jauh lebih kabur.59

Bagaimanapun, semua ini menjadi tidak berarti pada 1860-an saat  

baik gerakan Wahhabi maupun Padri benar-benar lumpuh, Keijzer mendesak 

114  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN

Belanda untuk meniru Inggris mendirikan konsuler di Hijaz untuk 

mengetahui bagaimana sebenarnya “para pendeta” yang mengenakan pakaian 

“orang-orang Arab pemenang” di Jawa bisa hidup dengan dibiayai oleh sisa 

populasi. Meskipun menyesali ketidaktahuan dan ketidakmampuan begitu 

banyak cendekiawan Belanda terdahulu yang mengamati Islam di Nusantara, 

dua tahun kemudian Keijzer menerbitkan ulang magnum opus Valentijn 

dengan sedikit atau tanpa komentar editorial.60

Beragam sekolah pelatihan bukanlah satu-satunya situs di metropolis 

yang berkepentingan terhadap Hindia Belanda yang berkembang. Pada 1851 

KITLV didirikan di Delft. Sejak 1853 KITLV menerbitkan jurnalnya sendiri, 

Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (BKI). 

Meskipun terbitan berkala ini merupakan corong pertama yang sejalan dengan 

Delft dan rezim konservatif yang bertanggung jawab atas kelangsungan Tanam 

Paksa, tawaran akademiknya mengenai Islam sama sekali tidak berbeda dari 

muatan yang diklaim lebih liberal dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 

(TNI) yang didirikan di Batavia oleh W.R. van Hoëvell; atau terbitan yang 

saat itu masih bergengsi, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 

(TBG), tempat dia juga memiliki pengaruh. 

Pernah dinyatakan bahwa produk pendidikan Delft di tangan para guru 

seperti Roorda dan Keijzer, yang sama-sama tidak punya pengalaman langsung 

mengenai Hindia dan kepedulian apa pun terhadap jangkauan pengetahuan 

di bawah kesusastraan Jawa “tinggi” serta hukum Arab “murni”, umumnya 

merupakan lulusan yang tidak banyak dibekali pengetahuan praktis mengenai 

lapangan tugasnya pada masa depan. Kesiapan para lulusan itu untuk 

menggunakan bahasa Jawa dan Melayu dalam percakapan sehari-hari dengan 

orang-orang Indonesia kira-kira sama seperti kesiapan untuk menggunakan 

bahasa Arab saat  melaksanakan haji. Delft tentu saja punya pencela, baik 

di dalam negeri maupun di Hindia. Akademi selalu mendapatkan ancaman 

penutupan seiring berlalunya dekade demi dekade. Pada akhirnya, ada juga 

gerai-gerai pesaing yang melatih siswa untuk menghadapi ujian dinas Hindia. 

Pada 1864 rezim Liberal baru memindahkan KITLV ke Den Haag dan 

menurunkan Delft menjadi sekolah persiapan serta mendirikan Institut Negeri 

untuk melatih para pejabat Hindia di Leiden. Keduanya hidup berdampingan, 

namun  bukan di dalam. Universitas yang keramat dan baru menawarkan kuliah 

Bahasa-Bahasa Indonesia pada 1871. Koleksi perpustakaannya dibangun di 

sekitar manuskrip-manuskrip yang dikumpulkan oleh Cornets de Groot.

Komite yang mengemukakan alasan bagi pendirian institut di Leiden 

meliputi Roorda dan cendekiawan terkenal, Veth, yang kemudian menjadi 

stafnya. Namun, kemampuan mengajar Veth dan keterampilan linguistiknya 

yang setengah-setengah tidak selalu dihargai oleh para tokoh Leiden. Sang 

Arabis yang tengah naik daun, Reinhardt Dozy (1820–83), mengkritik orasi 

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  115

Veth mengenai pendidikan Islam yang disampaikan di Franeker. Tak gentar, 

Veth tetap bertahan. Dengan beberapa  artikel di De Gids, dia berhasil muncul 

sebagai ensiklopedis utama mengenai Hindia. Selain itu, Veth yaitu  anggota 

pendiri KITLV, meski dia pindah untuk mendirikan warga  Hindia (IG) 

yang lebih liberal pada 1854. Dia juga berada di belakang publikasi berbagai 

laporan para pejabat Hindia, seperti laporan Ridder de Stuers mengenai Sumatra 

serta terjemahan van Höevell atas teks Jalal al-Din. Dalam pengantarnya, Veth 

bahkan tampaknya yaitu  orang pertama yang menjabarkan spekulasi Raffles 

pada 1822 mengenai kesamaan Wahhabi-Padri.61

Veth dikenal isebab  menerbitkan berbagai kontribusi dari beberapa 

orang yang mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh Delft seperti Roorda 

dan sang pakar Melayu, Pijnappel. Keduanya bergabung dengan Veth di 

Leiden. Keijzer yang ragu-ragu ditinggalkan dan menjadi direktur di Delft di 

bawah perlindungan dewan kota, menggantikan Roorda yang digaji terlalu 

besar. Meskipun pendekatannya diklaim humanis, hanya sedikit yang terbukti 

bersemangat mengikuti kuliah-kuliah Veth mengenai Islam dan etnografi 

Hindia, atau kelas-kelas bahasa Melayu oleh Pijnappel yang meremehkan.

Akan namun , terlepas dari persaingan antarkota ini , perbedaan 

akademis antara staf masing-masing lembaga tidak terlalu mendalam. Bisa 

dikatakan bahwa, dalam kaitannya dengan Islam, terdapat sejenis konsensus 

metropolitan yang terentang dari akademi hingga sekolah-sekolah pelatihan. 

Misal