Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 5


 dasar, yang 

diterbitkan pada 1603, yang menyertakan kata-kata bahasa Arab dan Turki 

yang berguna untuk berdagang di Samudra Hindia.5

Karyanya bukanlah daftar pertama semacam itu yang terbit dalam bahasa 

Belanda. Dua tahun sebelumnya, laporan resmi ekspedisi telah terbit, dengan 

daftar kata-kata Melayu dan Jawa yang digunakan di Kepulauan Maluku, 

tempat para pedagang itu berhasil bernegosiasi dengan para penguasa Ternate 

dan menikmati hubungan bersahabat dengan seorang makelar rempah-

rempah dari Turki di Banda.6 Laporan van Neck juga memuat gambar-gambar 

istana, tanaman, dan masjid kawasan ini yang lebih sederhana dan lebih 

realistis dibandingkan gambar-gambar dalam Prima pars Lodewijckszoon. 

Selain itu, terdapat dua gambaran singkat mengenai praktik Islam. Salah 

satunya gambaran iring-iringan ke masjid Kerajaan Ternate untuk Perayaan 

Kurban yang menghiasi sampul buku ini  (lihat Gambar 5), dan yang 

lain gambaran shalat harian di Banda. Sebagaimana dijelaskan:

Para penduduk pada umumnya yaitu  orang-orang kafir, yang menganut 

keyakinan Mahometish, yang sangat mereka taati. Mereka tidak akan datang 

ataupun pergi dari pasar tanpa berdoa terlebih dulu di Kuil mereka, yang 

mereka sebut Musquita dalam bahasa mereka .... saat  mereka selesai bersuci 

dan berbasuh, mereka pergi ke Gereja mereka dan berdoa dengan seruan dan 

teriakan. Suaranya begitu nyaring sehingga kita bisa mendengarnya dari jarak 

dua puluh rumah lebih dengan kata-kata yang biasanya mereka katakan dua 

atau tiga kali: Stofferolla, Stofferolla, Ascehad an la, Ascehed an la, Yll la, Ascehad 

an la, Yll lol la, Yll lol la, Yll lol la, Machumed die rossulla. saat  mengucapkan 

kata terakhir itu, mereka mengusapkan tangan ke muka, dengan itu mereka 

menunjukkan ketaatan yang besar. Selain itu, mereka mengucapkan doa-doa 

lain, yang dilakukan dengan lirih dan sebagian besarnya dengan bergumam, 

yang lebih kurang dengan urutan: Mereka [pertama-tama] menggelar sebuah 

permadani kecil di lantai, lalu berdiri di atasnya sembari mengarahkan mata ke 

langit dua atau tiga kali. Mereka kemudian menjatuhkan diri dengan mantap 

pada lutut, menempatkan kepala di lantai dua atau tiga kali. Mereka kerap 

melakukan hal ini bersama-sama, di rumah-rumah, di tempat umum, di 

perahu-perahu cadik, di jalan-jalan, dan di pantai.7

Dilihat dari sudut pandang masa kini, wajar jika buku ini tidak berhasil 

memuaskan siapa pun yang ingin tahu tentang Islam atau bahasa-bahasa yang 

digunakan. Doa-doa yang dikutip agak kacau dan daftar kata yang disusun 

secara alfabetis hanya berisi sedikit muatan yang secara spesifik bersifat 

keagamaan. Tuhan keliru diterjemahkan dalam bahasa “Melayu” dengan kata 

(Portugis) Dios, dan dalam bahasa “Jawa” dengan kata (Arab) Ala.8

Dialog-dialog singkat yang disajikan Frederick de Houtman dalam 

kamusnya, meski memberikan wawasan mengenai berbagai harapan 

perdagangan Belanda, namun  tidak memuaskan dalam urusan memberikan 

perincian mengenai agama. Padahal, dia mengaku ditawari berpindah agama, 

baik melalui bujukan perkawinan maupun ancaman terhadap pribadinya.9 

Di sisi lain, laporannya yang tak diterbitkan memuat data mengenai praktik 

dan keyakinan sosial, seperti bergadang untuk melihat bulan dan kedatangan 

Mahdi, meski semua itu tetap agak sulit dimengerti oleh orang Belanda yang 

menyaksikan para kolega juniornya menyerah pada tawaran kebebasan dan 

menjadi murtad satu demi satu. 

De Houtman juga memasukkan versinya sendiri mengenai sebuah 

sidang di hadapan beberapa hakim saat  dia menjelaskan penolakannya 

untuk meninggalkan agama Kristen dan argumennya mengenai keunggulan 

agama Reformasi-nya atas bangsa Portugis pemeluk Katolik Roma penyembah 

berhala. Ini disampaikannya dalam bahasa Melayu, dengan mendasarkan 

argumennya pada gagasan Al-Qurani bahwa Yesus yaitu  “ruh Tuhan” (QS 

4: 171, 172).10 Atau, setidaknya itulah yang dalam pemahamannya dikatakan 

orang selama penahanannya. Namun, kita harus agak hati-hati dalam 

BERBAGAI PANDANGAN FUNDAMENTAL MENGENAI ISLAM HINDIA  —  81

menerima klaim kefasihannya, mengingat de Houtman memahami bahwa 

Syahadat berarti Muhammad yaitu  “kekasih” Tuhan, bukan “utusan”-Nya. 

Bagaimanapun, tampaknya sang Cheech atau “penasihat tertinggi raja”, 

(paling mungkin Syekh Syams al-Din dari Pasai) menganggap bahasa Melayu 

de Houtman cukup baik sehingga sang syekh memintanya menerjemahkan 

beberapa surat berbahasa Belanda.

Pernah dinyatakan bahwa para pelancong Belanda awal seperti Houtman 

bersaudara anti terhadap Islam dan oleh isebab  itu hanya mencurahkan 

sedikit upaya untuk menggambarkan agama ini  dibandingkan perhatian 

yang mereka berikan pada agama-agama India dan Tiongkok yang lebih baru. 

Mereka hanya menyebutkan ciri-ciri tertentu yang menarik minat isebab  

sangat berbeda dari Islam yang mereka lihat lebih jauh di Barat. Keakraban 

yang telah lama dengan Islam ditunjukkan, misalnya, oleh pemuatan van 

Neck terhadap beberapa pasase yang diambil dari sebuah versi Portugis Alf 

masa’il, yang sudah beredar di Eropa sejak penerjemahannya dari bahasa 

Arab ke bahasa Latin pada abad kedua belas. Namun, ini tampaknya muncul 

segera sesudah  penggambaran iring-iringan menuju masjid di Ternate, yang 

menyarankan bahwa teks ini  sengaja direproduksi isebab  ia dikenal di 

Kepulauan Maluku (dengan demikian seabad sebelum François Valentijn 

[1666–1727] mendokumentasikan keberadaan banyak salinan teks ini  

di sana).

Secara keseluruhan kiranya adil menyatakan bahwa keuntunganlah 

sebenarnya yang utama dari ekspansi Belanda, bukannya perjumpaan antar-

iman, meskipun nyatanya Gereja Reformasi Belanda mengincar Hindia sejak 

permulaan operasi di sana. Semula keprihatinan mereka bersifat domestik, 

mengkhawatirkan jiwa orang-orang Belanda terkatung-katung di tengah 

lautan kekafiran. Itinerario sudah menjelaskan bahwa seluruh wilayah Timur 

“dirasuki” oleh sekte Mahometish dan “mesquita-mesquita”-nya, meskipun 

ini jelas kurang “menyeramkan” dibandingkan yang dipersembahkan kaum 

Brahman di “pagoda-pagoda” mereka. Di Amsterdam pada Februari 1603 

ketujuh belas Direktur Kongsi Hindia Timur Bersatu (VOC) yang baru 

dibentuk menerima sebuah resolusi yang menyerukan penunjukan dua 

“orang yang tepat dan kompeten untuk mengabarkan Firman Tuhan dan 

menjauhkan orang-orang dari godaan kaum Moor dan Ateis”. Tak lama 

kemudian kaum Moor dan Ateis itu sendiri menjadi sasaran yang dimaksud. 

Bahkan, pada 1606 sebuah kontrak dibuat dengan seorang mahasiswa di 

Leiden dengan maksud mengajarinya “bahasa Maleytse atau bahasa Hindia 

lainnya yang sesuai” untuk mengajarkan “Firman Tuhan kepada orang-orang 

Kafir yang buta”.

Bahkan, tanpa orang-orang terlatih dari metropolitan semacam itu (si 

mahasiswa tidak pernah ditugaskan), kalangan pemuda istana Ambon di 

Kepulauan Maluku yang ditangkap dari Portugis pada 1605 (dengan bantuan 

orang-orang Muslim), akan mendapat pelajaran menggunakan Cort Begrip 

(Katekismus Singkat) karya Philip Marnix St. Aldegonde (1538–98). Buku 

ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada sekitar 1608 oleh 

sang gubernur baru, Frederick de Houtman.16 Selanjutnya, pada 1609 VOC 

memerintahkan Gubernur Jenderal untuk Hindia yang hendak berangkat 

menuju tempat tugas, Pieter Both (bertugas sejak 1610 sampai 1614) untuk 

mengumpulkan informasi mengenai para penduduk dan menemukan zcara 

terbaik untuk melakukan “perpindahan agama orang-orang non-Kristen”.17

Lima tahun kemudian dewan gereja Delff dan Delflant menyerukan 

pendirian sebuah lembaga pelatihan di Leiden, tempat para teolog terkenal 

di universitas bisa melatih para misionaris potensial dengan berbagai 

keterampilan yang dibutuhkan untuk membungkam “orang-orang Yahudi, 

Mahumedist, Bonce, Bremine, dan para penggoda lainnya”. Juga dinyatakan 

agar kaum muda sebaiknya belajar “bahasa Maleytse” untuk menghemat waktu 

yang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat saat  mereka tiba 

di Hindia.

Meski tidak ada sesuatu pun yang segera dilaksanakan, seruan ini  

mendapat dukungan dari negara dalam waktu singkat pada 1622 saat  

pendahuluan Piagam VOC diubah untuk menetapkan bahwa sejak saat itu 

negara akan peduli terhadap “pemeliharaan keimanan publik”. Pada tahun 

yang sama Antoine de Waele (Walaeus, 1573–1639) ditugaskan mendirikan 

lembaga pelatihan di Leiden, sesudah  dewan “tujuh belas” menyetujui resolusi 

pendirian lembaga semacam itu pada 1621.20 Perubahan-perubahan ini, 

sebagiannya, merupakan akibat tekanan dalam negeri yang berpuncak pada 

Sinode Dordrecht 1618–19 yang mengukuhkan “lima pokok” Calvinisme 

sebagai ajaran resmi negara, dan sebagian lagi akibat meningkatnya jumlah 

penganut Katolik berbahasa Portugis dan Melayu yang berada di bawah 

kekuasaan VOC sesudah  pengambilalihan markas-markas Portugis di Asia. 

Wajar saja jika “orang-orang Kafir dan Moor” masih dipandang sebagai 

sasaran, meski seperti akan kita lihat sebagian misionaris di lapangan mulai 

meragukan efektivitasnya.

Akan namun , Belanda bukanlah tempat bagi keraguan religius. Anggota 

warga  yang tidak disukai para pejabat negara pun sangat mendukung 

pemberantasan Islam sesudah  orang-orang Katolik berhasil ditangani. 

Selama penahanannya di kastil Loevestein pada 1619–21, Hugo de Groot 

(Grotius, 1583–1645) mencurahkan beberapa syair berima untuk menyesali 

penyebaran bersejarah “Mahumetisterije” di Asia Kecil dan Afrika. Namun, 

India dan Hindia yang lebih jauh tetap tak disebut oleh Grotius. Padahal, dia 

telah menulis risalah pertamanya untuk membenarkan perampasan sebuah 

kapal Iberia oleh VOC di Selat Malaka pada 1603.

Dalam jangka panjang, ketentuan-ketentuan Calvinisme Dortian 

semakin kuat seiring perkembangan VOC. Hal ini isebab  VOC diberi 

kewenangan untuk bertindak sebagai kekuatan mandiri untuk mendirikan 

markas-markas dan pusat-pusat perdagangan dari Tanjung Harapan (markas 

di sana didirikan pada 1652) hingga Nagasaki (1641) serta menyusun pasukan 

untuk mempertahankan markas-markas itu dan menakuti para pesaing. 

Bahkan, pada abad ketujuh belas, VOC menjadi kekuatan perdagangan 

terbesar di dunia yang jauh mengungguli para pesaingnya.

KEBINGUNGAN PARA CENDEKIAWAN DAN MISIONARIS

Meskipun transaksi pribadi dilarang bagi para pegawai VOC, beberapa 

dari mereka—termasuk para pendeta Calvinis—mendapatkan keuntungan 

dengan berdagang produk-produk Nusantara. Sebagian—beberapa  kecil—

dari mereka kembali ke Eropa membawa teks-teks, termasuk fragmen-fragmen 

Al-Quran, Burdah karya al-Busiri, Idah fi l-fiqh (Penjelasan Yurisprudensi) 

yang anonim, dan ‘Aqa’id karya ‘Umar b. Muhammad al-Nasafi (w. 1142)

Yang sangat menarik yaitu  sekelompok teks yang akhirnya disimpan di 

Universitas Leiden. Meskipun sudah memiliki Akademi-nya sejak 1575, 

sudah lama Republik Belanda tidak memiliki pakar tetap mengenai Hindia. 

Di antara korban jangka panjang ketiadaan pengetahuan ini yaitu  sebuah 

manuskrip lontar yang sampai ke tangan seorang guru besar bahasa Yunani, 

Bonaventura Vulcanius (1538–1614), sesudah  kembalinya armada Belanda 

yang pertama atau kedua. Traktat ini, yang memuat ajaran-ajaran Islam yang 

dikaitkan dengan Seh Bari, lama dikenali sebagai teks berbahasa Jepang.24

Kondisi di atas bukan hendak mengatakan bahwa semua materi yang 

dibawa dari Hindia masuk keranjang yang keliru, meski beberapa teks 

jelas dikelompokkan ke dalam kategori “terlalu kabur untuk dipecahkan”. 

Misalnya, meski telah diketahui berbahasa Jawa pada 1597, sebuah traktat 

Sufi harus menunggu hingga 1881 untuk diterbitkan dalam bentuk ilmiah.

Selain itu, tak ada jaminan bahwa karya-karya semacam itu akan tetap berada 

di Belanda. Enam teks berbahasa Melayu milik Thomas van Erpe (Erpenius, 

1584–1624), dipinjamkan kepada Guru Besar “Bahasa Arab dan Bahasa-

Bahasa Oriental Lain” di Leiden pada 1613. saat  dia meninggal, keenam 

teks itu akan dijual kepada Duke of Buckingham, George Villiers (1592–

1628). Demikian pula sebuah kamus bahasa Melayu milik pewaris Erpenius, 

Jacob Gool (Golius, 1596–1667), hendak dibeli untuk Uskup Agung Inggris 

Narcissus Marsh (1638–1713). Ada kenyataan bahwa sesuatu yang ada dalam 

koleksi belum tentu dibaca. Pada 1613 dibutuhkan seorang pelawat Morisco 

(muslim yang memilih memeluk Kristen daripada diusir dari Iberia—Penerj.), 

Ahmad b. Qasim al-Hajari, untuk mengenali sebuah risalah berbahasa Arab 

berkenaan dengan topik Sufisme filosofis yang dibawa dari Hindia. Kenyataan 

bahwa bahasa Arab tingkat tinggi dikenal di Hindia tampaknya sama-sama 

mengejutkan bagi sang Morisco dan para tuan rumahnya yang terpelajar, 

termasuk Erpenius,

Di wilayah Timur yang lebih luas, terdapat pemahaman yang kian 

mendalam mengenai berbagai budaya dan agama Hindia. Lebih banyak hal 

bisa dikumpulkan dari surat-surat yang dikirimkan ke Tanah Air ketimbang 

dari catatan tercetak, sebuah fenomena yang dapat dikaitkan dengan anggapan 

bahwa informasi mengenai soal-soal semacam itu tidak begitu berguna di 

metropolis ketimbang dengan ketiadaan pengetahuan itu sendiri. Lagi 

pula, harus ada orang-orang di lapangan yang memiliki keterampilan untuk 

mempelajari Islam via bahasa-bahasa ekspresinya. Ahmad b. al-Hajari sudah 

bertemu orang Belanda semacam itu, Pieter Maertensz. Dia dikenal pendiam 

dan ditugaskan ke Marakesh pada 1607 isebab  sudah cukup mempelajari 

bahasa Arab saat  berada di Kepulauan Maluku.

Mengingat pengalamannya, sangat mungkin si Pendiam itu juga tahu 

sedikit bahasa Melayu isebab  Belanda pastinya tidak berlayar ke Nusantara 

tanpa peta atau bantuan ahli bahasa. Bahasa Melayu sudah ada di wilayah 

publik jauh sebelum Frederick de Houtman mempersembahkan Spraeck 

ende Woord-boeck yang dihasilkan dengan susah payah pada VOC. Salah 

seorang penyintas ekspedisi Magellan, Antonio Pigafetta (sekitar 1491–1534), 

menerbitkan daftar kata untuk orang-orang Maluku pada 1520-an (misi ini 

melibatkan seorang penerjemah Melayu yang diambil dari Malaka pada 1511). 

Wajar jika sebuah daftar bermula dengan istilah-istilah Islami seperti “Tuhan” 

(Alla), “Kristen” (Naceran), “Turki” (Rumno), “Moor” (Musulman/Isilam), 

“Kafir” (Caphre), “Masjid” (Mischit), dan “Pendeta” (Maulana catip mudin).29

Seperti yang juga sudah kita lihat, laporan-laporan dua armada pertama 

Belanda juga memasukkan lampiran berbahasa Melayu dan Jawa. De Houtman 

barangkali ingin melangkah lebih jauh dan melampaui para pendahulu 

Katolik-nya seperti Francis Xavier (1506–52), yang telah menerjemahkan 

beberapa katekismus ke bahasa Melayu pada 1548. Pada 1608 de Houtman 

menerjemahkan Cort Begrip karya Aldegonde untuk digunakan di sekolah-

sekolah yang telah dibukanya di Ambon.30 Kemudian, pada 1612 seorang 

pedagang di Ambon, Albert Cornelisz Ruyl, menyelesaikan sebuah terjemahan 

Injil Matius ke bahasa Melayu, bersama pengantar dan versi revisi leksikon de 

Houtman; meski ada beberapa keberatan terhadap penggunaannya. Seorang 

misionaris menyatakan bahwa mengajarkan agama dengan selain bahasa 

sendiri—maksudnya menggunakan bahasa Melayu terhadap orang-orang 

Ambon—beraroma Katolik.

Caspar Wiltens (aktif 1615–19) yang juga bersikap negatif lebih jauh 

meyakini bahwa orang-orang lokal mengalami kesulitan memahami bahasa 

Melayu “Aceh” de Houtman. Meski demikian, mereka bersikeras dalam 

upaya mereka mengkristenkan para penghuni pulau. Wiltens bekerja sama 

dengan Sebastiaan Danckaerts yang tiba pada 1618 mengembangkan kamus 

de Houtman. Danckaerts juga menggarap versi perbaikan katekismus 

Aldegonde. Kedua buku ini  diterbitkan berdasar  perintah Majelis 

Amsterdam pada 1623 hingga berjumlah ribuan kopi.34 Tampaknya ada 

sesuatu yang menyebabkan optimisme itu di kalangan VOC, terutama saat  

pulau-pulau penting di Kepulauan Banda berhasil dikuasai Belanda selama 

masa jabatan Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen (bertugas dari 1618 hingga 

1623 dan sekali lagi sejak 1624 sampai 1629), seorang pengikut fanatik 

Calvinisme Dortian yang memiliki harapan mengubah agama semua “orang-

orang Hindia”.

Akan namun , tidak semuanya sejalan dengan keinginan Belanda. Surat-

surat dari Ambon kerap menyesalkan keramahtamahan yang ditunjukkan 

kepada “para paus” Banda, yang mendirikan sekolah-sekolah di antara 

penduduk setempat untuk mengajarkan “hukum Moor”. Sebagai balasan, 

Belanda membakar masjid-masjid yang baru didirikan di berbagai tempat 

mereka mengklaim yurisdiksi dan menempatkan pasukan untuk mencegah 

kembalinya misionaris muslim. Seorang pedagang senior memungkasi 

suratnya pada Agustus 1619 dengan tulisan tentang beragam masjid baru: 

“Inilah warisan tanah ini, benar-benar tahu orang-orang Moor merupakan 

musuh bebuyutan kita, yang tampaknya baik-baik saja di luar, namun  palsu di 

hati”. 

Kepalsuan semacam itu juga dihubungkan dengan para mualaf dalam 

lingkaran Belanda, terutama mereka yang patuh untuk disunat oleh orang-

orang Banda atau Gujarat. sesudah  mengirim ekspedisi untuk membakar 

sebuah masjid dan sekolah yang didirikan oleh orang-orang murtad setempat 

di “Rossonive” pada Juni 1619, Gubernur Ambon, Herman van Speult 

(menjabat 1618–24), berusaha membuat Danckaerts meyakinkan “dua 

moodens atau paus Moor” dalam wilayah istana untuk berhenti dari semua 

aktivitas lebih jauh. Van Speult kemudian mengancam semua orang Kristen 

setempat dengan penyitaan harta benda mereka dan pengusiran untuk 

dibuang atau dibunuh kalau mereka terlibat dalam berbagai “takhayul” Moor 

seperti mengenakan serban. Dia juga mengeluarkan ancaman keras bahwa 

mereka yang memiliki nama Kristen namun  berhati Moor akan segera punah.39

Terdapat beberapa momen yang pastinya penuh harapan bagi Belanda, 

seperti perpindahan agama sebagian penghuni pulau kecil Rozengain, di 

Kepulauan Banda, pada Agustus 1622. sesudah  memberikan pengajaran 

mengenai Sepuluh Perintah Tuhan dan Doa Bapa Kami, dengan bantuan 

bangsawan setempat yang menjelaskannya dalam bahasa Melayu, para 

misionaris ditemui oleh kerumunan banyak orang yang bertanya kapan 

persisnya Kristus datang, mengapa dia datang sebagai manusia, dan hukuman 

bagi balasan kejahatan dalam kehidupan ini. Lebih jauh mereka penasaran 

mengenai apa yang diketahui oleh Belanda tentang Muhammad dan ajaran-

ajarannya.

saat  kami memberi tahu kepada mereka bahwa dia yaitu  seorang pedagang 

Arab, juga pemimpin beberapa  pencuri, perampok, dan pembunuh, serta 

bahwa di kalangan sahabatnya ada seorang penyihir Yahudi, para penghujat, 

dan penggoda lainnya yang telah membuat sebuah buku, bernama Alcoran, 

yang sudah sangat kalian kenal, yang digunakan oleh sebagian nabi atau paus 

Moor .... [Kemudian] mereka bertanya apa yang kami ketahui mengenai 

kandungannya. Kami jawab bahwa tentu itu tidaklah tersembunyi dari kami.41

Meskipun merasa percaya diri, apa yang dinyatakan para misionaris itu 

menunjukkan bahwa pengetahuan mereka mengenai Islam mencerminkan 

praksis sosial ketimbang teks Al-Quran. Mereka percaya bahwa Al-Quran 

mengajarkan (1) bahwa semua orang harus disunat, (2) bahwa orang-orang 

beriman harus berikrar menjauhi alkohol dan babi, (3) bahwa lelaki muslim 

bisa menikahi perempuan sebanyak yang mereka mau, dan (4) bahwa sebuah 

surga dijanjikan oleh Muhammad, yang berbagai mukjizat dan “perilaku 

busuknya” akan mereka jelaskan.

Sepanjang waktu, dewan gereja Amsterdam dan Delft tetap menyadari 

adanya kebutuhan untuk melatih para misionaris yang memenuhi persyaratan 

dan diutamakan di Leiden, untuk diutus ke Hindia. Mereka juga sangat 

mengetahui bahwa bahasa Melayu akan menjadi keterampilan kunci sebagai 

senjata melawan kaum Muslim, yang seperti ditunjukkan berbagai laporan 

terus memperluas jaringan sekolah-masjid mereka dan menyunat para 

penduduk pulau. saat  Walaeus ditugaskan di Leiden, sebuah pendidikan 

tentang apa yang selintas disebutnya sebagai “bahasa paling lazim di negeri-

negeri ini”, dianggap tepat bagi para mahasiswa yang hendak mengarungi kota 

yang sangat berbahaya. Walaeus mengusulkan agar sebelum berangkat mereka 

diberi sedikit pelatihan bahasa oleh orang yang baru pulang, “ortodoks”, dan 

punya kemampuan bahasa ini .

Tak diragukan lagi, harapan-harapan yang tinggi telah mengantarkan pada 

pendirian Collegium Indicum. Seorang penggerak pendiriannya, dokter Justus 

Heurnius (1587–1652), menyatakan bahwa Tuhan telah “menyingkapkan 

kekayaan Hindia bagi kita agar Kerajaan Kristus ... [akan] tersebar dalam 

perjalanan menuju dan di negeri-negeri Timur yang luas”.44 Heurnius 

mempraktikkan apa yang dikhotbahkannya. Antara 1622 dan 1638 dia pergi 

sendiri ke Hindia. Belakangan dia menerbitkan beragam risalah Kristen dalam 

bahasa Melayu. Dia juga membantu membawa Injil Belanda-Melayu karya 

Ruyl ke percetakan metropolitan pada 1629, dan sesudah  kembali pada 1639, 

dia terlibat dalam penyebarannya. Dalam sebuah usaha terkait, Heurnius 

mengalihkan upayanya ke bidang leksikografi Melayu dengan memperbarui 

karya Wiltens dan Danckaerts atas perintah VOC pada 1650.45

Dibandingkan kecermatan upaya-upaya Heurnius, dan meski ada 

pernyataannya bahwa sukses besar telah diraih oleh Walaeus, hasil yang 

dicapai para mahasiswa di Leiden sangatlah tidak memadai. Collegium hanya 

melatih dua lusin pengkhotbah, yang dikirim ke pos-pos di Ceylon, Ambon, 

dan Formosa, sebelum ditutup oleh VOC pada 1632. Pada saat itu Heurnius 

bentrok dengan pihak berwenang di Batavia mengenai tingkat kebebasan 

yang diizinkan bagi misi, baik oleh VOC maupun dewan-dewan metropolitan 

yang saling bersaing. Terlepas dari pernyataan resminya, pada 1630-an VOC 

pastinya tak terlalu berminat pada komitmennya. Memang benar bahwa ada 

penyangkalan terhadap rencana penutupan Collegium Indicum dan janji 

samar-samar untuk mendukung pelatihan misionaris, namun  dewan “tujuh 

belas” menganggap akan lebih efisien melatih putra-putra para pegawai 

Belanda setempat di sebuah seminari di Hindia. Pada kenyataannya, mereka 

tidak mendirikan lembaga semacam itu untuk sekian waktu mendatang. Pada 

Desember 1638 seorang misionaris yang menulis dari Batavia menyesalkan 

kenyataan bahwa tak satu pun dari laporan yang mereka kirimkan selama 

beberapa tahun sebelumnya mendapat tanggapan.

Bahasa Melayu atau Jawa yang bisa dipelajari di Belanda jelas tetap 

merupakan kepentingan sekunder bagi beberapa orang dibandingkan tugas 

yang lebih genting, yaitu menghadapi Katolik dan sesudah nya menghadapi 

muslim yang paling dekat dengan jangkauan. Warga Universitas Leiden yang 

terdidik sejak lama menganggap studi komparatif bahasa-bahasa Semit jauh 

lebih bernilai bagi sebuah perguruan tinggi modern dibandingkan pengajaran 

bahasa Melayu. Pakar Arab, Golius, memiliki sebuah kamus bahasa Melayu 

saat  dia meninggal pada 1667. Namun, kecil kemungkinan bahwa dialah 

penyusunnya, mengingat banyak sekali kekeliruan ejaan dan definisi istilah-

istilah bahasa Arab, belum lagi fakta bahwa kolom-kolom bahasa Melayu 

ditulis dengan huruf Latin, bukan Arab.

Pada tilikan pertama, dokumen ini mungkin mengingatkan pada 

karya guru ortodoks Heurnius. Walaupun begitu, kemungkinan ini bisa 

dikecualikan berdasar  alasan-alasan kodikologis, dan bisa saja Heurnius 

sendiri-lah penyusunnya.48 Siapa pun penyusunnya, tampak bahwa dia 

tidak tahu tentang dasar teologi sebagian dari istilah-istilah teknis yang telah 

disalinnya. Misalnya, penjelasannya yang ganjil mengenai “Aijaan thabida” 

(yakni, a’yan tsabita) sebagai “terlihat dan bisa didemonstrasikan”.49 Ini persis 

berlawanan dengan makna istilah ini  yang sebenarnya, yang secara 

umum merujuk pada aspek-aspek ketuhanan yang tak bisa dimengerti dan 

berubah. Dengan demikian, definisi tadi mengingatkan pada sebuah entri 

yang ditulis berdasar  ingatan atau pada seorang cendekiawan Melayu 

yang berusaha menjelaskan konsep “realisasi” dan penerapannya pada kajian 

martabat tujuh wujud.

Pastinya, terdapat petunjuk dalam kamus ini yang memberi kita sebuah 

pemahaman betapa Belanda tidak siap memahami elite Islam, dan juga 

pemahaman tentang seberapa jauh Islamisasi telah berlangsung di kalangan 

penduduk Indonesia yang lebih luas. Dengan menerima definisi-definisi 

kamus milik Golius secara apa adanya, kita sampai pada pemahaman bahwa 

teks (kitab) dihargai isebab  kekuatannya sebagai azimat isebab  kandungan 

tertulisnya dan bahwa bentuk verbal hajj dimengerti sebagai bermakna 

“membaca sesuatu dari kitab suci dalam bahasa Arab”, bukannya melaksanakan 

ibadah haji. Di satu sisi, ada penjelasan untuk istilah-istilah fakir, faqih, haram 

dan kafir, tapi di sisi lain kita tidak mendapati penyebutan mengenai pondok, 

dzikr, atau juga tariqa.

Sebagaimana yang teramati oleh Snouck Hurgronje pada 1886, pandangan-

pandangan awal Belanda mengenai Islam lebih banyak dibentuk oleh apa 

yang disebutnya “keyakinan yang masuk akal” ketimbang oleh pengetahuan 

historis.51 Seiring berlalunya abad ketujuh belas, keyakinan itu beralih pada 

gagasan Protestan mengenai kembali ke teks. Hal ini mengikuti awalan berupa 

periode keterbukaan relatif yang ditandai, misalnya oleh para cendekiawan 

seperti Erpenius yang terlibat dalam diskusi-diskusi bersahabat di Leiden 

dengan sang Morisco pelawat Ibn al-Hajari mengenai topik teologi, atau 

dengan humanis yang berhasil selamat di kawasan tropis seperti Jacob de Bondt 

(Bontius, 1592–1631) yang bermukim di Batavia dari 1627 sampai 1631.

Apa yang benar-benar dilakukan orang-orang Asia Tenggara 

sebagai muslim, selain disunat, melaksanakan ritual-ritual kalendris, dan 

membangun masjid-masjid yang saling bersaing serta sekolah-sekolah yang 

melekat dengannya, biasanya tidak terlalu menarik bagi para cendekiawan 

yang berpikiran lebih religius di Tanah Air. Inilah anggapan seorang profesor 

di Universitas Utrecht, Gisbertus Voetius (1589–1676), yang pada 1655 

menerbitkan sebuah panduan bagi para pendeta yang hendak berangkat 

bertugas. Buku panduan Voetius dituliskan dengan gaya Sokratik dan 

didasarkan sebuah karya dari abad kelima belas yang disusun oleh seorang 

muslim yang berpindah memeluk Kristen, Johannes Andrea dari Valencia, 

yang diterbitkan ulang oleh Voetius pada 1646.53 Meskipun sudah belajar 

sedikit bahasa Arab dari Erpenius, Voetius biasanya bersandar pada sumber-

sumber sekunder, bukannya merujuk teks-teks yang dibawa kembali dari 

Timur.

Meskipun sebagian kalangan terpelajar di Negeri-Negeri Dataran 

Rendah tetap tidak tahu apa-apa, atau barangkali lebih suka tetap begitu, 

namun  jelas bahwa bisa ditemukan semakin banyak orang yang bisa menjadi 

perantara bagi VOC untuk menggunakan bahasa-bahasa penduduk pribumi. 

Walaupun begitu, yang tidak bisa dijelaskan oleh para mediator semacam 

ini, yang kerap merupakan keturunan dari perkawinan campur, yaitu  

kecenderungan keagamaan yang secara teoretis dimiliki bersama oleh para 

penguasa bawahan Belanda dan rakyat mereka yang beraneka ragam yang kini 

tersebar dari Malaka (diambil alih dari Portugis pada 1641) hingga Makassar 

(ditaklukkan pada 1669) dan Kepulauan Maluku (sepenuhnya dikuasai pada 

pengujung 1650-an).

Hal serupa juga berlaku untuk perwakilan Gereja Reformasi, dengan 

stok Injil berbahasa Melayu yang terus bertambah, yang lebih memilih 

menggembala jemaah yang tadinya Katolik di bawah bimbingan para pastor 

berbahasa Melayu. Salah seorang misionaris semacam itu yaitu  François 

Valentijn muda, yang sesampai di Batavia pada 1686 terkesan oleh bahasa 

Melayu Isaäc Hellenius. Tak lama sesudah nya, dia juga terkesan oleh seorang 

perwira militer di Jepara, Maurits van Happel, yang memahami bahasa 

Jawi dan mengklaim punya peranan, meski diragukan, dalam penangkapan 

Syekh Yusuf.54 Bukti mengenai keahlian kebahasaan yang lebih banyak 

bisa dikumpulkan dari catatan-catatan mengenai harta milik Komandan 

Garnisun Batavia, Isaac de Saint Martin (1629–96). Perpustakaan besarnya 

mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa.55 Manuskrip-

manuskrip inilah yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal 

Batavia. Proses penambahannya ke dalam koleksi digambarkan oleh Melchior 

Leijdecker (1645–1701), yang tugas tetapnya sejak 1691 yaitu  menghasilkan 

kamus dan Injil berbahasa Melayu yang definitif.

Dengan kata lain, pokok yang lebih luas yaitu : pengetahuan tentang 

bahasa merupakan satu hal, pengetahuan tentang agama yaitu  hal yang lain. 

Meskipun Isaac de Saint Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai 

bahasa dan kebudayaan orang-orang Banten, dia memasrahkan urusan-

urusan agama kepada herbalis dan pedagang didikan Leiden, Herbert de Jager 

(sekitar 1636–97). De Jager—yang terkenal mengetahui bahasa Sanskerta, 

Persia, dan Singhale—dipekerjakan di Batavia pada 1683 untuk memberikan 

pendidikan bahasa Arab dan Melayu guna “memajukan agama Melayu”—

maksudnya, dalam hal ini, Kristen Protestan.

Contoh terakhir orang Barat terpelajar yaitu  seorang pedagang dan 

naturalis yang menjelajah lebih jauh ke pedalaman yang berkorespondensi 

dengan de Jager dan Saint Martin mengenai soal-soal botanis. Dia yaitu  

Georg Rumph (Rumphius, 1627–1702) yang kelahiran Jerman. Sebagai 

serdadu VOC, Rumphius tiba di Kepulauan Maluku pada 1652. Dia 

ditugaskan sebagai pedagang junior isebab  dianugerahi penguasaan bahasa 

Melayu dan Portugis yang sangat berguna. Di luar tugas resminya, dia 

mencurahkan waktu sebanyak mungkin untuk serangkaian sejarah alam 

berdasar  tulisan-tulisan karya Bontius dan observasinya di Ambon. 

Sepanjang proyeknya, Rumphius bersandar pada banyak informasi yang 

diberikan istrinya yang pribumi dan para informan yang merupakan orang-

orang berpengaruh di warga  setempat. Di antara mereka, raja buangan 

dari Kerajaan Timor, Solomon Speelman (dikembalikan ke takhta oleh VOC 

pada 1680), dan “Iman Reti”, seorang “Pendeta Moor” dari Pulau Buru, 

yang digambarkan Rumphius sebagai “guru” dalam urusan botanis. Sumber 

berharga lainnya yaitu  “Patti Cuhu” (Pati Kuhu), seorang tokoh dari Desa 

“Ely” di Semenanjung Hitu.

Tak diragukan lagi, melalui berbagai hubungan lintas agama semacam 

itulah Rumphius berhasil menyusun kamus bahasa Melayu (yang sekarang 

hilang) pada pengujung 1660-an dan awal 1670-an. Kita pasti bertanya-tanya 

mungkinkah orang-orang Muslim yang berpengetahuan perihal perkara-

perkara seperti a’yan tsabita atau aturan-aturan fiqh berbagi atau memengaruhi 

ketidaksukaan Rumphius terhadap “takhayul”. Pada satu titik, dia mengejek 

Sunan Giri sebagai “orang suci palsu” yang sudah lama memperdaya banyak 

orang dengan membagi-bagikan tanah istimewa, gelang apung, dan besi India 

teberkati yang diambil dari “kuil” yang dinyatakannya akan membuat kebal 

si pemakai.

Bukti sebaliknya, seperti dicatat Rumphius melalui olok-olok, muncul 

pada 1680 dengan mengambil bentuk sebuah peluru senapan Belanda dan 

belati seorang Madura.61 Di titik lain, dia mencemooh praktik tradisional 

pengucilan diri asketis (tapa) yang lazim di Pulau Bima. Katanya, “Sebuah 

relikui durhaka kekafiran orang-orang Moor secara melawan hukum sehingga 

dilakukan sembunyi-sembunyi.”

saat  mereka menghendaki sesuatu dari Djing, yakni, Daemon (yang mereka 

bedakan dari Setan atau Iblis) atau saat  mereka ingin mempelajari muslihat 

baru, menginginkan kekayaan atau cari untung dan kebal senjata, sukses 

merampok, menggarong, atau mencuri, berjudi, atau masalah cinta, dsb., mereka 

pergi ke tempat-tempat jauh dan pegunungan tinggi, tinggal di sana untuk 

sementara, siang dan malam, dan membawa beberapa persembahan kepada sang 

Djing ... [yang] memberi mereka sepotong kecil kayu atau batu kecil, yang harus 

mereka kenakan agar mendapatkan hal-hal yang mereka minta. Demikianlah, 

mereka berpikir bahwa diri mereka itu religius dalam cara mereka sendiri.62

Rumphius menjelaskan praktik-praktik semacam itu sebagai sisa-sisa 

kekafiran. Djing bisa dengan mudah diidentifikasi sebagai Jin, yang diakui 

oleh Al-Quran, atau setidaknya sebagai kesediaan pihak warga lokal untuk 

mendukung keyakinan muslim terhadap makhluk itu dan kemujaraban 

azimat. Bagaimanapun, azimat-azimat seperti gelang apung Sunan Giri cukup 

layak digambarkan dalam Rariteiten-kammer (Lemari Barang-Barang Aneh) 

karya Rumphius.

Patut diingat bahwa de Jager, Saint Martin, dan Rumphius yaitu  orang-

orang aneh terpelajar yang hanyut jauh dari rumah. Pesan-pesan sampingan 

Rumphius yang melaporkan praktik-praktik Islam setempat tidak terbit hingga 

1740-an saat  VOC kemudian memutuskan bahwa tak ada satu pun dari 

rahasia dagangnya yang berharga terancam risiko lewat penerbitan karya-karya 

sejarah alam yang lebih besar tempat rahasia-rahasia itu berada. Sebenarnya, 

begitu sedikit hal baru mengenai Islam yang tersedia dalam bentuk tercetak di 

Belanda selama masa hidup mereka sampai seorang mantan murid Leijdecker 

dan Voetius, Adriaan Reland (Relandus, 1676–1718), mengumandangkan 

seruan menuntut pengetahuan yang lebih luas mengenai agama ini dalam 

Religione Mohammedica (Agama Mohammedan) sejak 1705.64

Relandus bukanlah apolog bagi Islam. Argumen-argumennya terutama 

dirancang untuk mempersenjatai orang-orang Protestan seperti dirinya 

melawan para polemikus Katolik yang menuduh mereka menjadi muslim. 

Sebagaimana dibantah Relandus, ajaran-ajaran Gereja Katolik mengenai 

hal-hal semacam doa untuk orang mati, perantaraan para santo, dan banyak 

peziarahan lebih mirip dengan “Mohammedanisme” ketimbang agama 

mereka sendiri sesudah  direformasi.65 Namun, sesudah  itu dia mendorong 

mereka yang berhubungan dengan imperium Turki dan orang-orang Muslim 

di koloni-koloni mereka yang jauh agar mencurahkan lebih banyak waktu 

untuk mempelajari bahasa Arab dan Al-Quran agar bisa berdebat secara 

cerdas. Dia bahkan bercanda mengenai potensi terjadinya pergeseran sikap 

di kalangan rekan-rekan senegaranya jika negara mau menawarkan hadiah 

kepada siapa pun yang berhasil membuat seorang muslim memeluk Kristen 

dengan usaha semacam itu.

Terlepas dari seruan Relandus, hanya sedikit orang yang berpikiran bahwa 

teks-teks mengenai Islam akan mendapat pembaca. François Valentijn, yang 

memasok Relandus dengan sebagian manuskripnya, konon diyakinkan bahwa 

catatan-catatan mengenai agama ini  kemungkinan kecil mendapatkan 

khalayak. Valentijn pastinya memiliki peluang yang bagus untuk 

membentuk sebuah opini isebab  sudah ditempatkan di Ambon, Banda, Jawa 

Timur, dan Batavia sejak 1686 hingga 1694 dan 1706 hingga 1713. Selama 

periode pertama, Valentijn dibimbing oleh Rumphius, yang catatan-catatan 

dan ukiran-ukirannya dengan bebas dia masukkan dalam Oud en Nieuw Oost-

Indiën (Hindia Timur Lama dan Baru) karyanya dari 1724–26. Valentijn 

dituduh melakukan banyak ketidakpatutan selama usahanya di Hindia, selain 

dituduh memiliki pemahaman yang tidak memadai terhadap bahasa Melayu. 


Sebagai pihak yang bertahan, dia punya kebiasaan meremehkan cendekiawan 

lain yang sedikit paham bahasa Melayu, atau bahkan bahasa Arab. Misalnya, 

Saint Martin, yang dianggap oleh Valentijn sangat lamban.68 

Valentijn juga beradu pena dengan Leijdecker di Batavia dan dengan 

para pencela setempat seperti Pieter Worm (Petrus van der Vorm, 1664–

1731) mengenai persoalan bentuk bahasa Melayu apa yang tepat untuk 

menyampaikan Injil. Apabila van der Vorm dan Leijdecker lebih memilih 

menerjemahkan kitab suci dalam bahasa “Melayu Tinggi” yang universal, 

Valentijn cenderung pada penggunaan dialek-dialek lokal. Menurutnya, 

bahasa Melayu benar-benar merupakan cagar bagi kebudayaan Islam. 

Penilaiannya ini memiliki dasar yang kuat. Kita mungkin ingat bahwa 

terjemahan-terjemahan de Houtman dianggap tidak sesuai oleh beberapa 

vikaris awal, atau juga Heurnius yang mengeluh bahwa penduduk yang tidak 

terislamisasi sedikit mengerti bahasa Melayu yang mereka gunakan.

Pada akhirnya, Injil Valentijn lenyap dengan cara yang sama seperti 

kumpulan catatan mengenai serangkaian manuskrip berbahasa Melayu-Arab 

miliknya. berdasar  sebuah obituari dari 1727, kumpulan catatan ini 

meliputi “Sebuah Gambaran mengenai Agama para Pengikut Muhhamed” 

yang disajikan dengan Vitae Nabi Musa dan Yusuf dalam bahasa “Melayu 

Tinggi”. Selain itu, dari katalog penjualan perpustakaannya jelas bahwa 

dia memiliki setidaknya dua salinan Ma’rifat al-islam, yang sangat mungkin 

menjadi pijakan dasarnya.

Valentijn bukanlah satu-satunya yang mengusahakan karya semacam 

itu. Leijdecker menerjemahkan bagian awal Idah fi l-fiqh, sementara van der 

Vorm menerjemahkan Mir’at al-mu’min (Cermin Orang-Orang Beriman) 

karya Syams al-Din. Terlepas dari beberapa kemunduran, Valentijn berhasil 

menyajikan informasi mengenai Islam dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën-

nya yang berkenaan dengan Ambon, Makassar, dan Jawa. Untuk Ambon, 

dia merujuk pada sumber-sumber berbahasa Portugis dan Melayu untuk 

menjelaskan kedatangan Islam sebagai hasil kerja “Pati Toeban” (yakni Sunan 

Bonang yang dimakamkan di Tuban) sesudah  pengislaman orang-orang 

Maluku. Valentijn juga mampu membedakan secara memadai antara orang-

orang Suni dan Syi‘ah untuk menyatakan bahwa orang-orang “Moor” yang 

telah membawa Islam yaitu  orang-orang Suni sebagaimana bangsa Arab yang 

diduga telah mengislamkan Jawa. Meski demikian, Valentijn tidak terlalu 

menghargai kebanyakan muslim Ambon isebab  dianggap tidak mengetahui 

teks-teks mereka sendiri, meskipun dia mengatakan pernah mengamati orang-

orang yang tengah shalat di sebuah masjid di Hila serta bertemu seorang 

pendeta yang memanjatkan doa memohon dia masuk Islam. 

Untuk berbagai rincian singkat mengenai puasa, perkawinan, dan 

sumpah Valentijn bersandar kepada seorang “pendeta” lain dari Hila bernama 

Hasan Sulayman. Dia berpandangan bahwa kaum Muslim secara umum lebih 

religius dibandingkan orang-orang Belanda di Hindia. Dia juga menyatakan 

bahwa mereka yaitu  penutur bahasa Melayu yang lebih mahir dibandingkan 

orang-orang Kristen berkat literatur mereka yang luas dan beragam. Sebagai 

bukti, dia memberikan ringkasan berbagai teks miliknya.

Dalam kasus Makassar, Valentijn mencatat bahwa dia mendapatkan 

informasi dari “salah seorang di antara kaum Mohhamedan yang paling 

terpelajar” kenalannya, seorang kapten yang berbasis di Batavia bernama 

“Dain Matàra”. Yang tampaknya didengar Valentijn yaitu  sebuah laporan 

mengenai legenda Islamisasi kerajaan di tangan sang pendiri “Dato Bendang”. 

Meskipun menyampaikan informasi ini, menurutnya dia mendapati tanggalnya 

bermasalah. Valentijn jelas lebih berminat pada sejarah Islam ketimbang 

praktik Islam dan secara aktif menghindari bicara mengenainya. Seperti yang 

dia nyatakan dalam bagian tulisannya “Perkara-Perkara Makassar”:

Kami tidak akan bicara lagi tentang muatan agama ini, sebagaimana sudah 

dilakukan di bawah tajuk Jawa. Di sini kami hanya akan menambahkan 

bahwa agama ini sangat menyebar di kalangan orang-orang kafir buta secara 

sedemikian rupa sehingga sebagian besar pulau ini [yakni Sulawesi] menjadi 

Mohhammedan, sebuah agama yang sangat mudah dan luar biasa ringan untuk 

mereka terima, yang juga merupakan alasan mengapa kami bisa mencapai 

begitu sedikit hasil .... 

Valentijn nyaris tidak menganggap Islam sebagai sebuah agama 

serta mendudukkannya di tempat ketiga yang mengenaskan dalam bagian 

tulisannya “Perkara-Perkara Agama” sesudah  Paganisme dan Agama “Roma”. 

Seperti yang sudah dia janjikan, subbagian yang secara eksplisit diberi judul 

“agama di Jawa” memuat sedikit informasi selain penyebutan sambil lalu 

mengenai pengislaman pulau ini  di tangan Syekh “Ibn Moelana” (yakni 

Mawlana Maghribi) dan kemudian Pati Tuban. Valentijn juga menegaskan 

kembali bahwa, dibandingkan Paganisme, Yahudi, dan Kristen, “agama 

Muhammedan” sebenarnya sama sekali bukanlah “agama utama”. Sebaliknya, 

dia mengulangi fiksi kuno bahwa Islam diciptakan melalui perpaduan 

“endapan-endapan” Yahudi dengan berbagai unsur agama Saba dan Saracen 

awal.

Dalam satu abad, Belanda tidak membuat banyak kemajuan 

dibandingkan para pesaing muslim mereka. Sebagaimana direnungkan 

Valentijn, Al-Quran yang bisa dibaca oleh “siapa pun”, dibaca dari Patani 

hingga Jawa. Dia mengakui penyebaran Al-Quran begitu hebat sehingga 

“dengan sangat sedikit pengecualian” hampir seluruh pulau ini yaitu  

Mohammedan. Dengan menyesal Valentijn menambahkan bahwa mereka 

“sejauh ini tidak menyebarkan Islam menggunakan kekerasan”, namun  


sebaliknya secara sukarela, dengan pengecualian sedikit orang yang telah 

“secara sembrono mengawini perempuan Mohammedan atau mengucapkan 

syahadat mereka”.

sesudah  mengesampingkan agama sebagian besar orang Jawa yang patut 

disesali, Valentijn menulis tentang topik-topik yang dia yakini akan diminati 

publiknya sendiri: dia melacak perkembangan Protestantisme di Nusantara 

sembari memerinci geografi dan sejarah yang menyertainya. Karya Valentijn 

berfungsi sebagai rujukan primer bagi para cendekiawan dan pelawat Belanda 

selama lebih dari satu abad, dan dicetak ulang hingga 1860-an. Walaupun 

begitu, dia bukanlah satu-satunya tokoh abad kedelapan belas yang menulis 

tentang agama orang-orang Jawa dan Melayu, meski secara tidak langsung. 

Tokoh lainnya yaitu  penerjemah Injil kelahiran Swiss, George Henrik 

Werndly (1694–1744), yang ditempatkan di Makassar (1719–23) dan 

kemudian di Batavia (sampai 1730), tempat dia membantu Pieter Worm 

menerbitkan Injil Leijdecker pada 1723. Juga pada periode inilah dia 

menyusun Maleische Spraakkunst (Seni Wicara Melayu) karyanya, tempat dia 

menyarankan bahwa Injil yang ditawarkan Valentijn sebenarnya yaitu  karya 

misionaris lain, Simon De Larges (w. 1677).

Seperti Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn, tata bahasa karya 

Werndly menikmati masa penggunaan yang luar biasa panjang di kalangan 

para pejabat dan mencapai beberapa edisi hingga abad kesembilan belas. 

Namun sekali lagi, keprihatinan cendekiawan ini yaitu  penyebaran agama 

Kristen. Baru sesudah  kemunculan sebuah bibliografi karya-karya yang 

diterbitkan oleh rekan-rekannya sesama orang Eropa, yang kesemuanya 

diyakini berada di rak-rak Sekretariat Jenderal, Werndly mendaftar ada 69 

buku yang menurutnya mendekati perpustakaan berbahasa Melayu ideal, 

yang dalam kasusnya sangat mungkin berada di sebuah rak terpisah tak jauh 

dari sana. Buku-buku ini meliputi beberapa judul yang bisa dikaitkan dengan 

pengajaran Islam isebab  daftar Werndly bermula bukan dengan sebuah kronik 

kerajaan seperti Sulalat al-salatin meskipun jelas bahwa dia sangat menghargai 

karya ini , melainkan dengan sebuah risalah dogmatik berjudul Usul 

Agama Islam (Akar-Akar Agama Islam). Dia menyusulinya dengan delapan 

judul yang, selain Bustan al-salatin (Taman para Sultan) dan Taj al-salatin 

(Mahkota para Sultan), secara sama-samar diidentifikasi sebagai mengenai 

fikih atau tafsir. sesudah  cukup panjang beralih ke dunia hikayat dan syair, 

Werndly memungkasi daftarnya dengan empat belas karya yang bisa jadi 

digunakan di pondok-pondok. Karya-karya ini mencakup pula Ma’rifat al-

islam serta Mir’at al-mu’min karya Syams al-Din.80

Daftar karya ini  hanya memberikan pemahaman umum mengenai 

kandungan buku-bukunya. Kita langsung menyadari beberapa  ketiadaan 

yang mencolok jika membandingkan daftar Valentijn dan Werndly dengan 

inventaris Banten yang dibuat seabad kemudian. Sementara jelas ada buku-

buku mengenai yurisprudensi dasar yang beredar pada awal abad kedelapan 

belas, bersama teks-teks eskatologis seperti Kanz al-khafi (Harta Tersembunyi) 

karya al-Raniri dan Kashf al-sirr (Penyingkapan Rahasia) yang dihubungkan 

pada Hamzah al-Fansuri, kita tidak menemukan bukti keberadaan jenis-jenis 

komentar yang secara langsung berciri Ghazalian yang dihasilkan al-Falimbani 

setengah abad kemudian. Begitu pula tak ada tanda yang jelas mengenai syair-

syair pujian al-Jazuli atau risalah-risalah al-Sya’rani, yang dipopulerkan oleh 

para pembaharu yang didiskusikan pada Bab 2.81

Werndly sendiri mengungkapkan keyakinan bahwa “banyak dan 

beragam” buku dapat ditemukan di kalangan orang-orang Melayu. Beberapa 

bahkan ditemukan secara hampir bersamaan isebab  sebuah lampiran 

mendaftar delapan buku sekaligus, termasuk terjemahan tradisi-tradisi 

kanonis mengenai berbagai ucapan dan tindakan Nabi serta sebuah salinan 

soal-jawab al-Samarqandi. Namun, meski Werndly telah menggunakan 

Mir’at karya Syams al-Din untuk pengantarnya, dia menganggap nilainya 

yaitu  sebagai sebuah sumber mengenai “istilah-istilah teknis kaum pendeta 

Mohammedan”. 

Memang tampaknya Belanda pada akhirnya menjadi lebih mengenal 

kaum pendeta ini, jika draf kamus Leijdecker yang banyak diterbitkan itu 

dianggap sebuah petunjuk. Disalin pada sekitar 1750, kamus ini  menjadi 

saksi berkembangnya kesadaran Belanda mengenai istilah-istilah Islami, yang 

barangkali mulai digunakan secara lebih umum di kawasan ini. Istilah-istilah 

ini  meliputi bid’at untuk bidah, chalwa untuk pengasingan diri, dan 

santrij untuk santri, meskipun ini sudah diketahui sejak akhir abad ketujuh 

belas (pada 1684, misalnya, Syekh Yusuf dibuang ke pengasingan bersama 

dua belas “santrij” yang digambarkan sebagai “para paus kuil”). Namun, yang 

lebih aneh yaitu  penyebutan ahl al-tahqiq yang penuh teka-teki (meski sang 

juru tulis menuliskan tahfiq) serta dua istilah yang terbolak-balik secara ganjil, 

tariyaka dan tirricat, dijelaskan sebagai “kepasrahan” dan “ketundukan”, yang 

menunjuk pada sebuah gagasan tentatif mengenai tarekat sebagai organisasi 

quietis.83

Jika gagasan mengenai tarekat dan Sufisme tetap samar-samar, hal-hal 

terkait perkawinan dan warisan tidak demikian, terutama saat  persoalan 

pajak yang dipertaruhkan. Pada Desember 1754 Gubernur Jenderal Jacob 

Mossel (menjabat 1750–61) memerintahkan penyusunan bunga rampai 

“berbagai hukum dan adat Mahomedan paling penting mengenai warisan, 

perkawinan, dan perceraian”, sesudah  berkonsultasi dengan “beberapa 

pendeta Mahomedan dan pejabat kampong”. Sebuah komite kemudian 

mempresentasikan draf untuk diskusi pada Februari 1756 yang diperiksa baik 

oleh Belanda maupun para “pendeta” lokal sebelum disebarkan pada 1760.

Juga terlihat dari catatan korespondensi para gubernur jenderal bahwa 

penaklukan efektif atas Jawa, yang diresmikan dengan Perjanjian Giyanti 

1755, bersamaan dengan Belanda mulai mempertimbangkan pelatihan dan 

pengujian bahasa Arab dan Melayu para pejabatnya. Barangkali mereka 

ingin menghilangkan ketergantungan terhadap para perantara asing semisal 

petualang Utsmani, Sayyid Ibrahim (dikenal dengan berbagai nama seperti 

Bapak Sarif Besar atau Padre Grande), yang pernah bernegosiasi atas nama 

mereka pada 1753–54. Juga jelas bahwa mereka lebih suka berurusan dengan 

negara-negara muslim di Jawa mengingat Batavia mendorong Islamisasi 

Kawasan Tapal Kuda sejak 1760-an dengan mengorbankan kekuatan-

kekuatan yang berdekatan di Bali.87

Bahkan, tampaknya sebagian pendeta merasa bahwa mereka pada 

akhirnya mendapatkan khalayak Muslim. Pada 1759 J.M. Mohr (1716–75), 

seorang pendeta Batavia yang baru saja menyelesaikan empat jilid Injil dalam 

edisi bahasa Portugis dan Jawi, berturut-turut pada 1753 dan 1756, memberi 

tahu Orientalis Leiden Jan Jacob Schultens (1716–88) bahwa dia bersiap-siap 

menyebarkan sekitar 3.500 kopi kepada kalangan kaum Muslim di kawasan 

ini. Namun, dia hanya bisa menyesal isebab  meskipun telah mengirimi Raja 

Terengganu di Semenanjung Malaya sekitar lima puluh kopi melalui tangan 

seorang petugas kapal yang memiliki bakat kebahasaan, dia tidak mampu 

menyertakan seorang guru yang mengetahui agama “Alkoranic”, yang bisa 

memberikan “suara hidup seorang guru yang penyayang dan bijaksana” untuk 

tugas ini.

Kembali ke Werndly: teksnya tak diragukan lagi dianggap berguna 

oleh para pejabat dan pengkhotbah di seluruh Hindia sampai dengan abad 

kesembilan belas. Namun, dari teks ini  tak banyak yang khas yang bisa 

dipelajari mengenai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain penyebutan 

singkat bahwa teks-teks tertentu bermanfaat dan rekomendasi Kanz al-khafi 

karya al-Raniri sebagai (mengutip Valentijn) “sebuah buku yang sangat baik 

mengenai penciptaan manusia, kematian, kubur, anti-Kristus, Gog dan 

Magog, dan hari akhir”, Werndly hanya mengungkapkan berbagai prasangka 

yang bisa kita harapkan dari seorang klerikus abad kedelapan belas. Dia 

berkomentar bahwa kisah populer Isra Mikraj mengisahkan bagaimana sang 

“nabi palsu” dibawa ke Jerusalem di punggung “makhluk khayalan Burâk”, 

kemudian ke langit tempat dia melihat singgasana Tuhan.

Jelas bahwa orang-orang seperti Werndly dan para penerus langsungnya 

berjarak lebih jauh daripada sekadar dua busur panah dari inti pengetahuan 

Islam. Namun saat itu, banyak klerikus merasa bahwa bahasa Melayu yang 

lebih mereka pedulikan dibandingkan bahasa Arab, juga tidak benar-benar 

sesuai untuk menangani teologi Kristen. Demikianlah keadaannya sehingga 

sang cendekiawan ortodoks dalam skriptorium kolonial mungkin mendaki 

gunung-gunung istilah teologi Islam dalam manuskrip sembari hanya sedikit 

menyadari betapa beberapa puluh meter darinya seorang muslim barangkali 

tengah memanjatkan doanya. (Meski sebelumnya ada larangan mengadakan 

perkumpulan apa pun bagi kaum Muslim untuk tujuan ibadah atau kajian, 

hal-hal semacam itu terus berlangsung.) Oleh isebab  itu, untuk observasi-

observasi sezaman mengenai berbagai praktik muslim pada abad kedelapan 

belas kita harus kerap bersandar pada pesan sampingan yang sesekali muncul 

dalam surat-surat yang ditulis oleh para pelancong terpelajar. Beberapa 

permisalan yaitu  lukisan-lukisan pastor Lutheran Jan Brandes (1743–1808) 

yang sudah diterbitkan. Ada banyak lagi yang merana dalam gudang-gudang 

penyimpanan yang lembap.

Pastinya Brandes bukanlah satu-satunya orang Eropa terpelajar yang 

mengunjungi Indonesia. Batavia memang menjadi sebuah situs lapangan 

bagi