jika pedang membunuh
engkau, itu tidak akan melukai engkau. Pedang hanya
dapat membunuh tubuh, dan tidak berkuasa untuk ber-
buat demikian kecuali diizinkan dari atas.”
(4) Bahwa, betapa pun jahatnya apa yang dikatakan terhadap
orang benar, itu tidak akan mencelakakan mereka (ay. 21).
“Engkau tidak hanya akan dilindungi dari pedang perang
yang membunuh, namun akan disembunyikan dari momok
lidah, yang, seperti hantu, menjengkelkan dan menyakit-
kan kendati tidak sampai mematikan.” Orang-orang ter-
baik, dan yang sungguh tanpa daya, tidak bisa, bahkan da-
lam ketidakbersalahan mereka, mengamankan diri mereka
dari fitnah, celaan, dan tuduhan palsu. Dari semuanya ini
seseorang tidak dapat menyembunyikan diri, namun Allah
dapat menyembunyikannya, sehingga para pemfitnah yang
paling keji pun tidak dihiraukannya sebab tidak meng-
ganggu rasa damainya, dan tidak mencela nama baiknya.
Sisa murka Allah dapat menahan dan benar-benar menge-
kang hati nurani orang jahat sehingga momok lidah tidak
dapat menghancurkan semua penghiburan orang baik di
dalam dunia ini.
(5) Bahwa orang benar akan diliputi rasa aman dan ketente-
raman pikiran, yang timbul dari pengharapan dan keyakin-
an mereka di dalam Allah, bahkan di masa-masa yang
paling buruk. Pada waktu bahaya paling mengancam, me-
reka akan menjadi tenang, percaya diri aman. Dan mereka
tidak usah takut bila kemusnahan datang (ay. 21), sekali-
pun mereka melihatnya mendekat. Tidak usah takut dari
binatang liar saat mereka datang menyerang, atau dari
manusia yang sama kejamnya seperti binatang. Bahkan,
kemusnahan dan kelaparan akan kautertawakan (ay. 22),
bukan untuk menghina didikan atau hajaran Allah atau
mengolok-olok penghakiman-Nya, namun untuk bersorak-
sorai di dalam Allah, di dalam kuasa dan kebaikan-Nya.
Juga, untuk bersorak-sorai atas dunia dan segala kesedih-
annya, supaya tidak hanya menjadi tenang, namun juga ber-
gembira dan bersukacita dalam kesesakan. Rasul Paulus
yang terberkati menertawakan kebinasaan saat dia ber-
kata, Hai maut di manakah sengatmu?, saat , demi nama
semua orang kudus, dia mengalahkan semua celaka zaman
sekarang yang hendak memisahkan kita dari kasih Allah,
dengan menegaskan, bahwa dalam kesemuanya ini kita
yaitu lebih dari pemenang (Rm. 8:35. Lih. Yes. 37:22).
(6) Bahwa, sebab sudah berdamai dengan Allah, akan ada se-
buah kovenan persahabatan antara orang benar dengan
seluruh ciptaan (ay. 23). “saat engkau berjalan di atas
tanah, engkau tidak perlu takut tersandung, sebab engkau
dan batu-batuan di padang akan ada perjanjian, bahwa me-
reka tidak akan menerpa kakimu. Engkau juga tidak akan
menemui bahaya dari serangan binatang liar, sebab mereka
semua akan berdamai dengan engkau.” Bandingkan Hosea
2:17, Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu
dengan binatang-binatang di padang. Hal ini menyiratkan,
bahwa sementara manusia bermusuhan dengan Pencipta-
nya, maka segala makhluk yang lebih rendah pun berperang
dengannya. namun tranquillus Deus tranquillat omnia – Allah
yang berdamai mendamaikan segala sesuatu. Kovenan kita
dengan Allah yaitu suatu kovenan dengan semua makhluk
sehingga mereka tidak akan mencelakakan kita, melainkan
siap untuk melayani kita dan berguna bagi kita.
(7) Bahwa rumah-rumah dan keluarga orang benar akan tera-
sa nyaman bagi mereka (ay. 24). Damai dan kesalehan da-
lam keluarga akan menjadikannya demikian. “Engkau akan
mengalami, bahwa kemahmu aman dan apabila engkau
memeriksa tempat kediamanmu, engkau tidak akan kehi-
langan apa-apa. Engkau dapat merasa yakin akan kese-
jahteraannya di waktu sekarang dan di masa yang akan
datang.” Kedamaian yaitu kemahmu (demikianlah arti-
nya). Damailah rumah yang di dalamnya berdiam orang-
orang yang berdiam di dalam Allah dan yang tinggal di
dalam Dia. “Engkau memeriksa” (yaitu menyelidiki urusan)
“tempat kediamanmu, dan tidak akan kehilangan apa-apa.”
[1] Allah akan menyediakan suatu tempat kediaman bagi
umat-Nya, yang mungkin berupa sebuah pondok, se-
buah kemah, yang mungkin sederhana dan berpindah-
pindah, namun merupakan sebuah tempat kediaman
yang tetap dan tenang. “Engkau tidak akan kehilangan
apa-apa,” atau mengembara. Yaitu, seperti yang dipa-
hami oleh beberapa orang, “engkau tidak akan menjadi
pengungsi dan pelarian” (kutukan Kain), “melainkan
akan tinggal di negeri, dan sungguh, tidak seperti gelan-
dangan engkau akan diberi makan.”
[2] Keluarga mereka akan diberi perlindungan yang khusus
dari Penyelenggaraan ilahi, dan akan makmur sepan-
jang untuk kebaikan mereka.
[3] Mereka akan dijamin damai dan terus-menerus demi-
kian. “Engkau akan tahu, dan penuh hatimu tak terka-
takan, bahwa kedamaian itu pasti bagimu dan orang-
orangmu, yang dijamin oleh firman Allah.” Penyeleng-
garaan mungkin berubah, namun janji tidak dapat
berubah.
[4] Mereka akan mendapat hikmat untuk memerintah ke-
luarga mereka dengan benar, untuk menata urusan me-
reka dengan bijak, dan menjaga dengan baik jalan-jalan
rumah tangga mereka, yang di sini disebut memeriksa
tempat kediaman mereka. Kepala-kepala keluarga tidak
boleh menjadi orang asing di rumahnya, melainkan
harus mengawasi apa yang mereka miliki dan apa yang
dilakukan oleh hamba-hamba mereka.
[5] Mereka akan mempunyai anugerah untuk mengelola
urusan keluarga mereka menurut cara yang saleh, dan
tidak berdosa dalam mengaturnya. Mereka akan me-
manggil hamba-hamba mereka untuk bertanggung ja-
wab tanpa kegeraman, kesombongan, ketamakan, kedu-
niawian, atau sejenisnya. Mereka akan mendapati sega-
la urusan mereka dengan rasa puas dan lega. Kesaleh-
an keluarga memahkotai keluarga dengan kedamaian
dan kesejahteraan. Berkat yang terbesar dalam semua
pekerjaan dan kenikmatan kita yaitu dijaga untuk tidak
berbuat dosa di dalamnya. saat kita pergi dari rumah,
sungguh menghibur hati untuk mendengar bahwa ke-
mah kita berada dalam damai. Dan saat kita kembali
ke rumah, sangat menghibur untuk melihat tempat ke-
diaman kita lagi dengan rasa puas atas kesuksesan kita,
bahwa kita tidak gagal dalam urusan kita, dan dengan
hati nurani yang baik, bahwa kita tidak mengecewakan
Allah.
(8) Bahwa keturunan orang benar akan banyak dan makmur.
Ayub telah kehilangan semua anaknya. “namun ,” kata Eli-
fas, “jika engkau kembali kepada Allah, Ia akan sekali lagi
membangun keluargamu, dan keturunanmu akan menjadi
banyak seperti yang belum pernah ada, dan anak cucumu
bertambah dan berkembang seperti rumput di tanah (ay.
25), dan engkau akan mengetahuinya.” Allah menyediakan
berkat bagi keturunan orang yang setia, yang akan mereka
miliki jika mereka tidak berdiri di dalam terang mereka
sendiri dan kehilangannya oleh kebodohan mereka. Meru-
pakan penghiburan bagi orangtua untuk melihat kemak-
muran, terutama kemakmuran rohani, dari anak-anak me-
reka. Jika mereka sungguh-sungguh baik, mereka akan
sungguh-sungguh besar, tidak peduli seberapa kecilnya
kedudukan mereka di dalam dunia.
(9) Bahwa kematian mereka akan tepat pada waktunya dan me-
reka akan menyelesaikan perjalanan hidup mereka, pada
akhirnya, dengan sukacita dan kehormatan (ay. 26). Sung-
guh merupakan belas kasih yang besar,
[1] Untuk hidup dengan umur penuh dan tidak ada jumlah
bulan-bulan hidup kita yang terpotong di tengah. Jika
penyelenggaraan Allah tidak memberi kita umur pan-
jang, namun jika anugerah Allah memberi kita kepuas-
an dalam waktu yang diperuntukkan bagi kita, maka
kita dapat dikatakan sudah hidup sampai usia penuh.
Manusia dikatakan hidup sudah cukup lama bila ia
telah menyelesaikan tugasnya dan pantas untuk mewa-
risi dunia lain.
[2] Untuk bersedia mati, menghampiri kubur dengan gem-
bira, dan tidak terpaksa ke sana, seperti orang yang
jiwanya diminta kembali darinya.
[3] Untuk mati pada waktunya, seperti gandum yang dipa-
nen dan dimasukkan ke dalam lumbung sebab sudah
masak. Bukan mati sebelum waktunya, namun juga
tidak melebihi waktunya hingga harus menghabiskan
sehari lagi, supaya jangan sampai luruh seperti gandum
lepas sebab terlalu tua. Waktu kita ada di dalam ta-
ngan Allah. Memang baik demikian, sebab Ia akan me-
melihara bahwa orang-orang yang menjadi milik-Nya
akan mati di waktu yang terbaik: betapa pun kematian
mereka tampak bagi kita terlalu cepat, hal itu akan
didapati bukan tidak tepat pada waktunya.
3. Dalam ayat terakhir Elifas mengajukan janji ini kepada Ayub,
(1) Sebagai perkataan yang setia, yang ia yakini akan kebenar-
annya: “Sesungguhnya, semuanya itu telah kami selidiki,
memang demikianlah adanya. Kita memang telah menerima
janji-janji ini turun-temurun dari nenek moyang kita, namun
kita tidak menerimanya begitu saja. Kita dengan hati-hati
telah memeriksanya, telah membandingkan hal-hal rohani
dengan yang rohani, dengan rajin mempelajarinya, dan di-
teguhkan dalam kepercayaan kita terhadap semua janji itu
melalui pengamatan dan pengalaman kita sendiri. Dan kita
semua sepemikiran akan kebenarannya.” Kebenaran ada-
lah sebuah harta karun yang sangat berharga untuk digali
dan diselami. Setelah itu barulah kita tahu bagaimana
menghargainya dan bagaimana menyampaikannya kepada
orang lain saat kita telah bersusah payah dalam mencari-
nya.
(2) Sebagai janji-janji yang layak diterima, yang Elifas mau
manfaatkan untuk mendapat keuntungannya: Dengarkan-
lah dan camkanlah itu! Tidak cukup untuk mendengar dan
mengetahui kebenaran, namun kita harus memanfaatkan-
nya, dan dibuat lebih bijaksana dan lebih baik olehnya,
menerima pengaruhnya, dan tunduk kepada kuasa yang
mengatur di baliknya. Ketahuilah untuk dirimu sendiri, de-
ngan menerapkannya pada dirimu sendiri dan pada per-
karamu. Tidak hanya bahwa “Hal ini benar,” namun juga
“hal ini benar mengenai diriku.” Apa yang kita dengar dan
tahu, kita dengar dan tahu demi kebaikan kita, seperti hal-
nya kita mendapat gizi oleh makanan yang kita cerna. Ini
memang sebuah khotbah yang baik bagi kita yang men-
datangkan kebaikan bagi kita.
PASAL 6
lifas menyimpulkan nasihatnya dengan sebuah jaminan. Ia sa-
ngat yakin bahwa apa yang telah dikatakannya sudah begitu jelas
dan begitu tepat sehingga tidak ada yang perlu dibantah. namun ,
kendati nasihatnya tampak adil, tetap saja tetangganya datang dan
menyelidiki dia. Ayub tidak diyakinkan oleh semua yang dikatakan
kepadanya, sebaliknya tetap membenarkan diri dalam keluhannya
dan mencela Elifas sebab kelemahan pendapatnya.
I. Ayub menunjukkan bahwa ia punya alasan yang benar un-
tuk mengeluh tentang masalahnya, dan pastilah siapa pun
hakim yang tidak memihak, akan setuju dengan itu (ay. 2-7).
II. Ia melanjutkan keinginannya yang penuh amarah agar dile-
nyapkan saja secepat mungkin oleh hantaman kematian, su-
paya dilegakan dari semua kesengsaraannya (ay. 8-13).
III. Ia menegur teman-temannya atas celaan mereka yang tidak
kenal belas kasihan dan perlakuan mereka yang keras (ay.
14-30). Harus diakui bahwa Ayub, dalam semuanya ini, ber-
bicara banyak hal yang masuk akal, namun bercampur dengan
perasaan marah dan kelemahan manusia. Dan dalam perde-
batan ini, seperti halnya dalam kebanyakan perdebatan, ada
kesalahan di kedua belah pihak.
Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas
(6:1-7)
1 Lalu Ayub menjawab: 2 “Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang,
dan kemalanganku ditaruh bersama-sama di atas neraca! 3 Maka beratnya
akan melebihi pasir di laut; oleh sebab itu tergesa-gesalah perkataanku.
4 sebab anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan
racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan
aku. 5 Meringkikkah keledai liar di tempat rumput muda, atau melenguhkah
lembu dekat makanannya? 6 Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa
garam atau apakah putih telur ada rasanya? 7 Aku tidak sudi menjamahnya,
semuanya itu makanan yang memualkan bagiku.
Elifas, dalam permulaan percakapannya, bersikap sangat keras ke-
pada Ayub, namun tidak tampak bahwa Ayub memotong pembicara-
annya, melainkan mendengarnya dengan sabar sampai Elifas selesai
mengatakan semuanya. Orang-orang yang ingin menilai suatu pem-
bicaraan tanpa memihak harus mendengarkannya baik-baik, dan
menyimak seluruhnya. saat Elifas selesai, barulah Ayub memberi-
kan jawaban, berkata-kata dengan penuh perasaan.
I. Ia menyatakan malapetakanya, secara umum, jauh lebih berat
daripada yang diungkapkannya atau yang dipahami oleh mereka
(ay. 2-3). Ia tidak dapat sepenuhnya menggambarkannya. Mereka
juga tidak akan sepenuhnya memahaminya, atau paling tidak
mau mengakui bahwa mereka memang tidak memahaminya. Oleh
sebab itu, dengan senang ia hendak berseru saja kepada orang
ketiga, yang memiliki bobot dan timbangan yang adil untuk meng-
ukur kesedihan dan malapetakanya, dan yang akan melaku-
kannya dengan tangan yang tidak berat sebelah. Ia berharap para
sahabatnya itu mau menempatkan kesedihannya dan semua ung-
kapannya di satu sisi timbangan, sedangkan malapetakanya dan
semua rinciannya di sisi timbangan yang lain, maka (kendati dia
tidak akan membenarkan diri dalam kesedihannya) mereka akan
mendapati (23:2) bahwa tangan-Nya menekannya, sehingga ia
mengaduh. Sebab, apa pun kesedihannya, malapetakanya berat
melebihi pasir di laut: malapetakanya rumit, terlalu berlebihan,
setiap kesedihan yaitu berat, dan jumlahnya semua seperti pa-
sir. Katanya, “Oleh sebab itu tergesa-gesalah perkataanku.” Ya-
itu, “sebab itu kamu harus memaklumi terbatah-batahnya dan
kepahitan dari ungkapanku. Janganlah menganggapnya aneh jika
perkataanku tidaklah begitu baik dan sopan seperti seorang ahli
pidato yang fasih, atau begitu dalam dan teratur seperti seorang
filsuf yang murung: tidak, dalam keadaan ini aku tidak dapat
berpura-pura menjadi seseorang atau orang lain. Perkataanku,
seperti diriku, benar-benar sudah tenggelam.” sebab itu,
1. Ayub di sini merasa sedih dengan apa yang dilakukan oleh te-
man-temannya itu. Mereka berusaha memberi obat rohani un-
tuk kesembuhannya tanpa sepenuhnya memahami masalah-
nya dan mengetahui keadaannya yang terburuk. Sangat jarang
orang-orang yang sedang aman tenteram dapat menimbang
dengan benar penderitaan dari orang yang tertimpa. Setiap
orang yang paling merasakan bebannya sendiri. Sedikitnya
yang bisa merasakan beratnya beban orang lain.
2. Ayub memaklumi ungkapan-ungkapan perasaannya yang pe-
nuh kegusaran saat ia mengutuk hari kelahirannya. Kendati
dirinya sendiri tidak dapat membenarkan semua yang dikata-
kannya, namun menurutnya, teman-temannya tidak seharus-
nya mengecam dia dengan keras, sebab masalahnya benar-
benar luar biasa. Seharusnya mereka tidak boleh berbuat begi-
tu terhadap orang yang sedemikian berduka seperti dia seka-
rang. Terhadap kedukaan biasa saja tidak boleh dilakukan,
apalagi terhadap kedukaan besar seperti yang dialaminya.
3. Ia meminta rasa simpati dan kemurahan hati teman-temannya,
dan berharap, dengan menggambarkan hebatnya malapetaka-
nya, mereka dapat dibuat bersikap lebih baik kepadanya. Bagi
mereka yang menderita, memang mudah untuk dikasihani.
II. Ayub mengeluh tentang kegelisahan dan rasa takut yang menye-
rang pikirannya sebagai bagian terperih dari malapetakanya (ay.
4). Di sini dia merupakan sebuah gambaran dari Kristus, yang da-
lam penderitaan-Nya, paling banyak mengeluh tentang penderita-
an jiwa-Nya. Sekarang jiwa-Ku terharu (Yoh. 12:27). Hati-Ku sa-
ngat sedih (Mat. 26:38). Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau me-
ninggalkan Aku? (Mat. 27:46). Ayub yang malang dengan sedih
mengeluh di sini,
1. Tentang apa yang dirasakannya seperti anak panah dari Yang
Mahakuasa yang tertancap pada tubuhnya. Sebenarnya bukan
masalah itu sendiri yang membuat hatinya begitu gelisah dan
kacau, bukan kemiskinan, kehinaan, dan nyeri tubuh. Melain-
kan, apa yang menusuknya sampai ke hati dan membuatnya
gelisah yaitu saat memikirkan bahwa Allah yang dikasihi-
nya dan dilayaninya yang telah menimpakan semuanya ini
kepadanya dan menaruhnya di bawah tanda-tanda kemurka-
an-Nya. Perhatikanlah, kesusahan pikiran yaitu kesusahan
yang paling menyakitkan. Siapa akan memulihkan semangat
yang patah! Beban malapetaka tubuh atau milik kepunyaan
apa pun yang Allah berkenan timpakan ke atas kita, kita dapat
menanggungnya dengan baik sepanjang Ia terus memakai
pikiran kita dan damai hati nurani kita. namun , jika di dalam
salah satu beban ini kita terganggu, masalah kita memang
menyedihkan dan sangat patut dikasihani. Cara untuk men-
cegah panah murka Allah yaitu dengan perisai iman yang
mengalahkan panah pencobaan dari Iblis. Amatilah, Ayub me-
nyebutnya panah dari Yang Mahakuasa. Sebab apa yang di-
alaminya itu yaitu sebuah contoh dari kuasa Allah yang de-
ngan anak panah-Nya mampu menjangkau jiwa, yang melam-
paui segala kecakapan manusia. Ia yang telah menciptakan jiwa
dapat menjadikan pedang-Nya menjangkaunya. Racun atau ke-
panasan panah-panah ini dikatakan menelan semangatnya,
sebab panah itu mengganggu pikirannya, mengguncangkan
ketetapan hatinya, melelahkan semangatnya, dan mengancam
hidupnya. Oleh sebab itu ungkapan perasaannya yang gusar
itu, kendati tidak dapat dibenarkan, dapat dimaklumi.
2. Tentang apa yang ditakutinya. Ia melihat dirinya dituduh de-
ngan kedahsyatan Allah, seperti oleh suatu tentara yang siap
dalam medan pertempuran, dan dikelilingi olehnya. Allah, me-
lalui kedahsyatan-Nya, berperang melawan dirinya. saat ia
melihat ke dalam dirinya, tidak ada penghiburan didapatnya,
dan demikian pula yang dialaminya saat dia memandang ke
atas ke sorga. Ia yang biasa dikuatkan dengan penghiburan
Allah tidak hanya kehilangan penghiburan itu, malahan ter-
kejut dengan banyak kedahsyatan dari Allah.
III. Ia menyindir teman-temannya atas kecaman keras mereka terha-
dap keluhannya dan atas ketidakcakapan mereka dalam melihat
perkaranya.
1. Teguran mereka tidak beralasan. Ia mengeluh, memang benar,
bahwa dia sekarang berada dalam malapetaka ini, namun dia
tidak biasa mengeluh saat hidup dalam kemakmuran, se-
perti yang dilakukan oleh orang-orang yang penuh roh kema-
rahan: dia tidak meringkik saat berada di rumput muda,
atau melenguh dekat makanannya (ay. 5). Namun, kini saat
semua penghiburan diambil sepenuhnya dari dirinya, ia men-
jadi seperti kayu atau batu saja, dan tidak memiliki perasaan
seperti seekor lembu atau keledai liar, jika tidak ada jalan
keluar bagi kesedihannya. Ia terpaksa makan daging yang ti-
dak ada rasanya, dan sedemikian miskinnya hingga tidak me-
miliki sebutir garam pun untuk membumbuinya, atau untuk
memberi sedikit rasa pada putih telur, yang sekarang menjadi
masakan terpilih yang dimilikinya di atas meja (ay. 6). Bahkan
makanan yang dahulu dicemoohnya untuk disentuh, kini de-
ngan senang hati harus dimakannya, dan itulah makanan
yang memualkan (ay. 7). Perhatikanlah, merupakan hikmat
untuk tidak membiasakan diri sendiri atau anak-anak kita
menjadi terbiasa dengan makanan dan minuman yang enak-
enak, sebab kita tidak tahu bagaimana keadaan kita suatu
saat, supaya jangan sampai makanan yang memualkan kita
sekarang malah akan kita sambut dengan gembira sebab
kebutuhan.
2. Semua penghiburan para sahabatnya itu kering dan hambar.
Demikian yang dipahami oleh sebagian orang (ay. 6-7). Ia me-
ngeluh sebab sekarang tidak ada yang dapat ditawarkan kepa-
danya untuk melegakannya. Tidak ada yang layak baginya,
tidak ramah, tidak ada yang membangkitkan dan menceriakan
semangatnya. Apa yang sanggup mereka lakukan sama ham-
barnya seperti putih telur, dan, saat diterapkan kepadanya,
sama memualkan menyiksanya seperti daging yang sangat
memualkan. Saya minta maaf bahwa dia harus mengatakan
demikian tentang apa yang telah dikatakan dengan sangat ba-
gus oleh Elifas (5:8, dst.). Namun semangat yang sedang jeng-
kel memang biasanya terlalu cenderung untuk melecehkan
para penghibur mereka.
Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas
(6:8-13)
8 Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang kuharap-
kan! 9 Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan
tangan-Nya dan menghabisi nyawaku! 10 Itulah yang masih merupakan hi-
buran bagiku, bahkan aku akan melompat-lompat kegirangan di waktu kepe-
dihan yang tak kenal belas kasihan, sebab aku tidak pernah menyangkal
firman Yang Mahakudus. 11 Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup ber-
tahan, dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar? 12 Apakah
kekuatanku seperti kekuatan batu? Apakah tubuhku dari tembaga? 13 Bu-
kankah tidak ada lagi pertolongan bagiku, dan keselamatan jauh dari padaku?
Rasa gusar yang tak terkendali sering berkembang menjadi lebih
hebat saat berhadapan dengan kecaman dan teguran. Lautan yang
bergejolak menjadi ganas saat menerpa batu karang. Sebelumnya
Ayub merayu-rayu memohon kematian, sebab itu akan menjadi
akhir membahagiakan dari kesengsaraannya (ps. 3). Untuk itulah
Elifas dengan keras menegur Ayub. namun Ayub, bukannya menarik
kembali perkataannya itu, malah mengulanginya lagi di sini dengan
lebih keras lagi daripada sebelumnya. Dan perkataannya ini sama
buruknya dengan semua ucapannya yang lain yang kita jumpai dalam
semua percakapannya, dan hal ini dicatat bagi peringatan kita, bukan
untuk ditiru.
I. Ayub masih sangat ingin mati, seakan-akan sudah tidak mungkin
lagi bagi dia untuk melihat hari baik di dalam dunia ini. Atau
bahkan seolah-olah oleh anugerah dan ibadah pun sudah tidak
mungkin bagi dia untuk membuat hari-hari malapetaka ini men-
jadi hari-hari yang baik. Ia dapat melihat tidak ada akhir dari ma-
salahnya kecuali kematian, dan sudah tidak sabar menantikan
waktu yang ditentukan bagi kematiannya. Ia punya permohonan
untuk diajukan. Ada suatu hal yang dirindukannya (ay. 8). Dan
apakah itu? Kita menduga itu yaitu , “Bahwa kiranya Allah ber-
kenan membebaskan aku dan memulihkan aku kepada kesejah-
teraanku lagi.” namun tidak, kerinduannya yaitu , kiranya Allah
berkenan untuk menghabisi nyawaku (ay. 9). “Sama seperti Ia
pernah mengulurkan tangan-Nya untuk menjadikan aku miskin,
lalu menjadikan aku sakit, kiranya Dia mengulurkan tangan-Nya
sekali lagi untuk mengakhiri hidupku. Kiranya Ia memberikan
hantaman yang mematikan. Hal itu bagiku akan menjadi coup de
grace – hantaman kebaikan,” yang di Prancis disebut hantaman
terakhir yang membunuh orang yang dihukum dengan diikat
pada roda besar. Ada suatu waktu saat celaka yang dari Allah
menakutkan bagi Ayub (31:23), namun sekarang Ia justru meng-
harapkan kehancuran daging, namun dalam harapan bahwa roh-
nya akan diselamatkan pada hari Tuhan Yesus. Amatilah, kendati
Ayub sangat ingin mati, dan sangat marah terhadap penundaan-
nya, namun dia tetap tidak ingin menghancurkan diri sendiri, atau
menyingkirkan nyawanya sendiri, namun hanya memohon agar
Allah berkenan untuk menghabisi nyawanya. Moralitas Seneca,
yang menyarankan bunuh diri sebagai solusi yang sah atas ke-
sedihan yang tak tertahankan, tidak dikenal pada zaman Ayub,
dan tidak akan pernah disambut oleh siapa pun yang memiliki
sedikit penghargaan kepada hukum Allah dan alam. Tidak peduli
betapa tidak enaknya jiwa terpenjara di dalam tubuh, tetap saja
penjara itu tidak boleh dihancurkan, melainkan harus menunggu
kelepasannya pada waktunya.
II. Ayub membawa kerinduannya ini dalam doa, agar Allah menga-
bulkan permohonannya ini, agar kiranya Allah berkenan menga-
bulkan permohonannya itu. Ini merupakan dosa Ayub, sebab
begitu berhasrat menginginkan kematiannya dipercepat, dan tidak
ada gunanya bagi dia untuk memanjatkan doa kepada Allah bagi
keinginannya itu. Bahkan, apa yang tampak buruk dalam harap-
annya itu tampak lebih buruk lagi dalam doanya, sebab kita tidak
dapat meminta apa pun dari Allah tanpa iman, namun kita tidak
dapat meminta dalam iman kecuali apa yang kita minta itu sesuai
dengan kehendak Allah. Doa yang penuh kejengkelan yaitu ung-
kapan permohonan yang terburuk, sebab kita harus menadahkan
tangan yang suci, tanpa marah.
III. Ayub menjanjikan dirinya akan terbebas, dan semua kesedihan-
nya akan terobati, dengan hantaman kematian (ay. 10): “Itulah
yang masih merupakan hiburan bagiku, yang tidak ada padaku
sekarang, yang tidak akan aku punyai kecuali aku mati nanti.”
Lihatlah,
1. Kesia-siaan dari hidup manusia. Begitu tidak menentu kehi-
dupan yang baik itu, sehingga sering kali malah menjadi be-
ban terbesar manusia, hingga tidak ada yang begitu diingin-
kan selain meninggalkan hidup itu. Kiranya anugerah mem-
buat kita bersedia untuk berpisah dari hidup itu kapan pun
Allah memanggilnya. Sebab dapat saja terjadi bahwa indra
membuat kita ingin pergi sebelum Ia memanggil.
2. Pengharapan yang dimiliki oleh orang yang benar di dalam
kematian mereka. Jika Ayub tidak memiliki hati nurani yang
baik, dia tidak dapat berbicara dengan kepastian akan menda-
pat penghiburan di seberang kematian sana, yang membalik-
kan meja antara orang kaya dan Lazarus. Sekarang ia men-
dapat hiburan dan engkau sangat menderita.
IV. Ia menantang kematian untuk melakukan hal yang terburuk.
Seandainya pun dia harus mati dengan rasa sakit dan erangan
yang lebih pahit, dengan kejang-kejang yang sangat kuat, jika dia
harus tersiksa sebelum ajal, namun, dalam pandangan kepada
kematian itu pada akhirnya, dia tidak akan peduli dengan semua
sengatan yang mendahului ajal itu: “Aku akan melompat-lompat
kegirangan di waktu kepedihan yang tak kenal belas kasihan [KJV:
Aku akan mengeraskan diri dalam kesengsaraanku], akan mem-
buka dadaku untuk menerima anak-anak panah kematian, dan
tidak menyiut darinya. Kiranya ia tidak diberi kasihan [KJV: sebab
aku tidak pernah menyangkal]. Aku tidak menginginkan keringan-
an rasa sakit yang akan membawa suatu akhir yang membahagia-
kan kepada semua kesakitanku. Ketimbang tidak mati, biarlah
aku mati untuk dapat merasakan sendiri kematian.” Inilah kata-
kata penuh kemarahan, yang mungkin lebih baik ditahan. Kita
seharusnya melunakkan diri dalam kesengsaraan, agar kita dapat
menerima pengaruh yang baik darinya. Dengan melunakkan kese-
dihan perasaan hati, kita dapat menjadi lebih baik. namun , jika kita
mengeraskan diri, kita memanasi Allah untuk terus dalam per-
lawanan-Nya. Sebab saat Ia menghakimi Ia akan menang. Sung-
guh teramat lancang untuk menantang Yang Mahakuasa, dan
berkata, Biarlah Ia tidak menyayangkan. Sebab Apakah kita lebih
kuat daripada Dia? (1Kor. 10:22). Kita sangat berutang kepada
belas kasihan yang menyelamatkan. Celakalah jika kita sampai
menjadi jenuh dengan belas kasihan-Nya. Kira-nya kita lebih baik
berkata bersama Daud, Alihkanlah pandangan-Mu daripadaku.
V. Ayub mendasarkan penghiburannya pada kesaksian hati nurani-
nya bahwa dia telah berlaku setia dan teguh pada pengakuan aga-
manya, dan cukup berguna serta melayani bagi kemuliaan Allah
dalam generasinya: Aku tidak pernah menyangkal firman Yang
Mahakudus. Amatilah,
1. Ayub memiliki firman dari Yang Mahakudus yang dipercaya-
kan kepadanya. Umat Allah pada waktu itu diberkati dengan
penyataan ilahi.
2. Merupakan penghiburannya bahwa dia tidak menyembunyikan
firman Allah, tidak menerima anugerah Allah dengan sia-sia.
(1) Ia tidak menahannya, melainkan memanfaatkannya sepe-
nuhnya, untuk menuntun dan mengaturnya dalam segala
hal. Ia tidak mengekang keyakinannya, menindas kebenar-
an dalam kelaliman, atau melakukan sesuatu untuk meng-
halangi makanan rohani ini dicerna dan dipakai untuk
kesembuhan rohani. Janganlah kita menyembunyikan fir-
man Allah dari diri sendiri, melainkan selalu menerimanya
di dalam terangnya.
(2) Ia tidak menyimpannya untuk diri sendiri, melainkan siap
sedia di segala waktu untuk membagikan pengetahuannya
untuk kebaikan orang lain. Ia tidak merasa malu atau ta-
kut untuk mengakui firman Allah sebagai pedoman hidup-
nya. Ia juga tidak lalai dalam upayanya untuk membawa
orang lain mengenal firman Allah itu. Perhatikanlah orang-
orang baik, dan hanya mereka yang berbuat baik selama
masih hidup, yang dapat menjanjikan penghiburan bagi diri
sendiri saat kematian.
VI. Ayub membenarkan diri, dalam kerinduan yang besar akan kema-
tian ini, sebab kesengsaraannya (ay. 11-12). Elifas, di akhir nasi-
hatnya, memberi Ayub harapan bahwa dia akan melihat akhir
yang baik dari masalahnya. namun Ayub yang malang mengabai-
kan harapan yang baik ini, menolak untuk dihibur, membiarkan
diri berputus asa, dan dengan sangat cerdik serta gigih menen-
tang segala dorongan yang diberikan kepadanya. Hati yang gelisah
dengan aneh selalu berdebat dengan dirinya sendiri. Dalam men-
jawab pengharapan menyenangkan yang ditawarkan Elifas, Ayub
di sini menyiratkan,
1. Bahwa dia tidak punya alasan untuk mengharapkan hal yang
demikian: “Apakah kekuatanku sehingga aku sanggup berta-
han? Engkau melihat bagaimana aku sudah lemah dan dibuat
terpuruk begini. Betapa aku tidak sanggup bergulat dengan
kemarahanku, jadi apa dasarnya aku berharap dapat menga-
lahkannya, dan melihat hari-hari yang lebih baik? Apakah ke-
kuatanku seperti kekuatan batu? Apakah otot-ototku dari tem-
baga dan baja? Tidak, tidak demikian, dan sebab nya aku
tidak dapat bertahan terus dalam penderitaan dan kesedihan
ini, dan pasti tenggelam di bawah beban ini. Seandainya aku
memiliki kekuatan untuk bergumul dengan kemarahanku,
aku dapat saja berharap untuk melewatinya. namun , Aduh!
Aku tidak sanggup. Patahnya kekuatanku di jalan tentu akan
memperpendek umurku” (Mzm. 102:24). Perhatikanlah, kalau
segala sesuatu dipertimbangkan, pastilah kita tidak punya
alasan untuk melihat kelangsungan yang panjang dari kehi-
dupan di dalam dunia ini. Apakah kekuatanku? Hidup bergan-
tung pada kekuatan. Kita tidak punya kekuatan lebih daripada
yang diberikan Allah kepada kita. Sebab dalam Dia kita hidup
dan bergerak. Kekuatan kita dapat merosot. Kita setiap hari
sedang menghabiskannya, dan secara perlahan kekuatan akan
menjadi habis. Kekuatan kita tidaklah sebanding dengan ma-
salah yang mungkin kita temui. Apalah kekuatan kita itu hing-
ga harus diandalkan, saat penyakit selama dua atau tiga
hari akan membuat kita lemah seperti air? Ketimbang meng-
harapkan hidup lama, lebih baik kita merasa heran bahwa kita
telah hidup hingga sekarang ini dan merasakan bahwa kita
sedang bergegas ke arah kematian.
2. Bahwa Ayub tidak punya alasan untuk menginginkan hal yang
demikian: “Apakah masa depanku sehingga aku harus ber-
sabar? Penghiburan apakah yang dapat kujanjikan dalam ke-
hidupan ini, dibandingkan dengan penghiburan yang akan ku-
dapat dalam kematian?” Perhatikanlah, orang-orang yang, me-
lalui anugerah, bersiap bagi dunia yang akan datang, tidak
dapat melihat banyak untuk mengundang mereka tinggal di
dalam dunia ini, atau membuat mereka senang dengannya.
Jika oleh kehendak Allah kita diizinkan lebih lama melayani-
Nya di dunia ini, supaya dapat menjadi lebih layak dan lebih
matang bagi sorga, maka bolehlah kita berharap hidup kita
diperpanjang, untuk tunduk pada tujuan utama kita. Sebalik-
nya, apa yang dapat kita tawarkan dalam merindukan tinggal
di sini? Semakin lama kita hidup, semakin menyedihkan be-
ban hidup kita (Pkh. 12:1), dan makin lama kita hidup, makin
sedikit kesenangan yang diperoleh (2Sam. 19:34-35). Kita telah
melihat yang terbaik dari dunia ini, namun kita tidak yakin
bahwa kita telah melihat yang terburuk darinya.
VII. Ia menyingkirkan kecurigaan para sahabatnya bahwa pikirannya
sudah gila (ay. 13): Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku?
Yaitu, “Tidakkah aku memakai akal budiku, yang dengan-
nya, syukur kepada Allah, aku dapat menolong diri sendiri, ken-
dati kalian tidak menolongku? Pikir kalian, hikmat telah pergi
dari diriku sehingga aku terganggu? Tidak, aku tidak gila, Elifas
yang mulia, aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang
sehat.” Perhatikanlah, orang-orang yang memiliki anugerah di
dalam diri mereka, yang memiliki bukti tentangnya dan meng-
alaminya, juga memiliki hikmat, yang akan menjadi pertolongan
mereka di masa-masa yang terburuk. Sat lucis intus – Mereka
memiliki terang di dalam.
Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas
(6:14-21)
14 Siapa menahan kasih sayang terhadap sesamanya, melalaikan takut akan
Yang Mahakuasa. 15 Saudara-saudaraku tidak dapat dipercaya seperti sungai,
seperti dasar dari pada sungai yang mengalir lenyap, 16 yang keruh sebab
air beku, yang di dalamnya salju menjadi cair, 17 yang surut pada musim
kemarau, dan menjadi kering di tempatnya apabila kena panas; 18 berkeluk-
keluk jalan arusnya, mengalir ke padang tandus, lalu lenyap. 19 Kafilah dari
Tema mengamat-amatinya dan rombongan dari Syeba mengharapkannya,
20 namun mereka kecewa sebab keyakinan mereka, mereka tertipu setibanya
di sana. 21 Demikianlah kamu sekarang bagiku, saat melihat yang dahsyat,
takutlah kamu.
Elifas telah berlaku sangat keras dalam menegur Ayub. Dan teman-
temannya, kendati mereka hanya berkata sedikit saja, sepakat dengan
dia. Ketidakramahan mereka inilah yang Ayub keluhkan di sini, kare-
na lebih memperhebat melapetakanya dan lebih memberi alasan kepa-
danya untuk merindukan kematian. Sebab penghiburan apa lagi yang
dapat diharapkannya di dalam dunia ini bila orang-orang yang seha-
rusnya menjadi penghiburnya justru berbuat sebagai penyiksanya?
I. Ayub menunjukkan alasan mengapa dia mengharapkan keramah-
an dari mereka. Pengharapannya didasarkan pada prinsip-prinsip
umum tentang kemanusiaan (ay. 14): “Kepada dia yang tertimpa
malapetaka, dan yang akan habis dan mencair di bawah mala-
petakanya, kasih sayang harus ditunjukkan dari temannya. Dan
siapa yang tidak menunjukkan kasih sayang, melalaikan takut
akan Yang Mahakuasa.” Perhatikanlah,
1. Belas kasih yaitu utang yang harus dibayarkan kepada orang
yang sedang mengalami malapetaka. Hal terkecil yang dapat
dilakukan orang-orang yang sedang hidup nyaman terhadap
mereka yang menderita dan dalam kesengsaraan yaitu me-
ngasihani mereka. Yaitu, memperlihatkan keprihatinan hati
kepada mereka, dan bersimpati dengan mereka. Mencari tahu
masalah mereka, menanyakan kesedihan mereka, mendengar-
kan keluhan mereka, dan menangis bersama mereka. Meng-
hibur mereka dan melakukan semampunya untuk menolong
dan melegakan mereka. Inilah yang menjadi kewajiban ang-
gota-anggota dari tubuh yang sama, yang harus merasakan
kesedihan sesama anggota, sebab kita tidak tahu seberapa
cepat hal yang sama dapat terjadi pada kita juga.
2. Perbuatan tidak manusiawi bertentangan dengan kesalehan
dan agama. Ia yang menahan belas kasihnya dari temannya
melalaikan takut akan Yang Mahakuasa. Demikian bunyi ter-
jemahan Alkitab bahasa Aram. Bagaimanakah kasih Allah da-
pat tetap di dalam diri orang itu? (1Yoh. 3:17). Pastilah tidak
ada rasa takut kepada tongkat Allah orang-orang yang tidak
menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang membutuh-
kannya (Lih. Yak. 1:27.)
3. Masalah yaitu ujian terhadap persahabatan. saat seseorang
ditimpa malapetaka, dia akan melihat siapa yang benar-benar
sahabatnya dan siapa yang hanya berpura-pura bersahabat
saja. Sebab seorang sahabat ... menjadi seorang saudara dalam
kesukaran (Ams. 17:17; 18:24).
II. Ayub menunjukkan betapa hebatnya dia dikecewakan dalam peng-
harapannya terhadap mereka (ay. 15): “Saudara-saudaraku, yang
seharusnya menolongku, tidak dapat dipercaya seperti sungai.” Me-
reka bersepakat untuk datang, dengan sangat banyak upacara,
untuk berkabung bersamanya dan untuk menghibur dia (2:11).
Dan ada hal-hal luar biasa diharapkan dari orang-orang yang se-
demikian bijaksana, terpelajar, dan berpengetahuan, yang yaitu
sahabat-sahabat istimewa Ayub. Tidak ada yang mempertanyakan
lagi selain bahwa tujuan dari percakapan mereka yaitu untuk
menghibur Ayub, dengan ingatan akan kesalehannya dahulu,
jaminan akan perkenan Allah kepadanya, dan harapan akan da-
tangnya akhir yang mulia dari perkaranya itu. Akan namun , bu-
kannya ini yang terjadi, mereka sebaliknya menghujam Ayub de-
ngan sangat kejam dengan segala teguran dan celaan, mengutuk-
nya sebagai seorang munafik, menghina dia dengan malapetaka-
nya. Mereka menuangkan cuka, bukannya minyak, ke atas luka-
lukanya, dan dengan begitu menghadapinya dengan tipu daya.
Perhatikanlah, kita berbuat curang dan menipu jika kita berbuat
jahat dalam berhubungan dengan teman-teman kita, jika kita me-
ngecewakan pengharapan mereka terhadap kita, terutama peng-
harapan yang telah kita bangun dalam diri mereka. Perhatikanlah
lebih lanjut, bijaklah kita kalau kita berhenti berharap pada ma-
nusia. Jangan terlalu berharap dari makhluk ciptaan atau terlalu
banyak dari Sang Pencipta. Bukan hal baru lagi kalau saudara-
saudara kita juga beperkara dengan menipu (Yer. 9:4-5; Mi. 7:5).
sebab itu mari kita menaruh kepercayaan pada batu karang
yang teguh, bukan pada buluh yang patah, pada sumber air kehi-
dupan, bukan pada kolam yang bocor. Allah akan melampaui ha-
rapan kita, berlawanan dengan manusia yang jauh dari meme-
nuhi harapan mereka. Kekecewaan yang dialami Ayub di sini di-
gambarkannya dengan sungai yang surut di musim kemarau.
1. Kiasan yang dipakai Ayub sangat elok (ay. 15-20).
(1) Kepura-puraan mereka cocok dibandingkan dengan per-
tunjukan besar yang dibuat sungai-sungai kecil, yang air-
nya meluap sebab dipenuhi air dari banjir dari daratan,
sebab es dan salju yang mencair, yang membuat mereka
kehitaman dan berlumpur (ay. 16).
(2) Pengharapannya terhadap para sahabatnya itu, yang me-
lambung oleh kedatangan mereka dengan penuh khidmat
untuk menghibur dia, dibandingkannya dengan pengha-
rapan para pelancong yang kelelahan dan haus mencari air
di musim kering. Biasanya di musim dingin mereka melihat
air yang berlimpah (ay. 19). Para pelancong itu yaitu kafi-
lah dari Tema dan rombongan dari Syeba, iring-iringan para
pedagang dari negeri-negeri tersebut, yang jalannya terletak
di sepanjang padang gurun Arab. Mereka memandang dan
menantikan pasokan air dari sungai-sungai kecil tersebut.
“Sulit ada air di dekat sini,” kata yang satu, “Sedikit lebih
jauh,” kata yang lain, “saat terakhir kali aku melintasi
jalan ini, ada cukup air. Kita akan menemukannya untuk
menyegarkan diri.” Di mana kita pernah mendapatkan ke-
legaan atau penghiburan, kita cenderung berharap menda-
patkannya lagi. Namun ternyata tidak demikian halnya.
Sebab,
(3) Kekecewaan dari pengharapan Ayub dibandingkan di sini
dengan kebingungan yang menimpa para pelancong ma-
lang itu, saat mereka hanya mendapati timbunan pasir di
mana mereka mengharapkan banjir air. Di musim dingin,
saat mereka tidak merasa haus, ada cukup air. Setiap
orang akan memuji dan mengagumi sungai-sungai yang
penuh air dan berlimpah. namun di tengah kepanasan mu-
sim panas, saat mereka membutuhkan air, sungai-sungai
itu mengecewakan mereka. Air telah habis (ay. 17). Air
mengalir ke padang tandur (ay. 18). saat orang-orang
yang kaya dan tinggi martabatnya tenggelam dan menjadi
miskin, dan membutuhkan penghiburan, maka para saha-
bat yang sebelumnya berkumpul di sekeliling mereka seka-
rang berdiri jauh dari mereka, mereka yang sebelumnya
memuji-muji sekarang maju untuk menjatuhkan mereka.
Demikianlah orang-orang yang menaruh dalam-dalam peng-
harapan mereka kepada makhluk ciptaan akan mendapati-
nya mengecewakan saat diharapkan bisa menolong mere-
ka. Sementara orang-orang yang menjadikan Allah keyakin-
an mereka, mendapat pertolongan pada waktu membutuh-
kannya (Ibr. 4:16). Orang-orang yang menjadikan emas se-
bagai pengharapan mereka, lambat atau cepat akan men-
jadi malu olehnya, dan malu dengan keyakinan mereka di
dalamnya (Yeh. 7:19). Dan semakin besar keyakinan mere-
ka, semakin besar rasa malu yang diderita mereka: Mereka
kecewa sebab keyakinan mereka (ay. 20). Kita memper-
siapkan kekecewaan bagi diri sendiri dengan pengharapan
kita yang sia-sia: buluh patah di bawah kita sebab kita
bersandar kepadanya. Apabila kita membangun rumah di
atas pasir, sudah barang tentu kita akan dikecewakan,
sebab rumah itu akan roboh oleh angin badai, dan salah
kita sendiri sebab menjadi begitu bodoh untuk berharap
rumah itu tetap berdiri. Kita tidak akan tertipu, kecuali
kita menipu diri sendiri.
2. Kiasan di atas sangatlah tepat dengan apa yang dialami Ayub
(ay. 21): Demikianlah kamu sekarang bagiku, kamu tidak ada
apa-apanya. Para sahabatnya itu tampak menjanjikan, namun
dalam pertemuan itu mereka tidak menambahkan apa-apa
pada dirinya. Bandingkan Galatia 2:6. Ayub tidak pernah men-
jadi lebih bijaksana, tidak pernah menjadi lebih baik, dengan
kunjungan mereka kepadanya. Perhatikanlah, apa pun ke-
puasan yang kita dapatkan, atau apa pun keyakinan yang kita
taruh, di dalam makhluk ciptaan, tak peduli sehebat dan se-
berharga apa pun ia bagi kita, suatu saat kita akan berkata
tentang mereka, Demikianlah kamu sekarang bagiku (KJV: Eng-
kau sekarang bukanlah apa-apa). Pada waktu Ayub dalam ke-
makmuran, teman-temannya sangat berharga baginya, dia ter-
hibur oleh mereka dan dengan pertemanan mereka. namun ,
“Engkau sekarang bukanlah apa-apa, sekarang aku tidak men-
dapatkan penghiburan selain di dalam Allah.” Memang baik
buat kita jika kita selalu yakin betul akan kesia-siaan ciptaan
dan ketidakmampuannya untuk membuat kita bahagia, seper-
ti yang kadang-kadang kita alami, atau kita sadari saat kita
berbaring di ranjang sebab sakit, saat menghadapi kematian,
atau di dalam masalah hati nurani: “Engkau sekarang bukan-
lah apa-apa. Engkau bukanlah apa-apa seperti sebelumnya,
tidak seperti yang seharusnya, tidak seperti yang engkau aku-
aku, tidak seperti yang aku bayangkan. saat melihat yang
dahsyat, takutlah kamu (KJV: saat melihat aku terhempas,
engkau menjadi takut). saat engkau melihat aku sedang jaya-
jayanya, engkau memperhatikan aku. namun sekarang saat
engkau melihat aku terpuruk, engkau malu akan aku, takut
menunjukkan keramahanmu, jangan sampai aku meminta atau
meminjam sesuatu dari kamu” (bdk. ay. 22). “Engkau takut,
jika engkau mengakui aku, jangan sampai engkau merasa wa-
jib untuk menjaga aku.” Mungkin mereka takut menghadapi
kegilaannya atau mendekati baunya yang memuakkan. Me-
mang tidaklah baik, sebab kesombongan atau kebersihan,
sebab cinta akan dompet atau tubuh kita, lalu kita menjadi
malu terhadap mereka yang berada dalam kesesakan dan ta-
kut untuk datang mendekati mereka. Masalah yang menimpa
mereka bisa saja segera menimpa kita juga.
Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas
(6:22-30)
22 Pernahkah aku berkata: Berilah aku sesuatu, atau: Berilah aku uang suap
dari hartamu, 23 atau: Luputkan aku dari tangan musuh, atau: Tebuslah aku
dari tangan orang lalim? 24 Ajarilah aku, maka aku akan diam; dan tunjuk-
kan kepadaku dalam hal apa aku tersesat. 25 Alangkah kokohnya kata-kata
yang jujur! namun apakah maksud celaan dari pihakmu itu? 26 Apakah kamu
bermaksud mencela perkataan? Apakah perkataan orang yang putus asa
dianggap angin? 27 Bahkan atas anak yatim kamu membuang undi, dan sa-
habatmu kamu perlakukan sebagai barang dagangan. 28 namun sekarang,
berpalinglah kepadaku; aku tidak akan berdusta di hadapanmu. 29 Berbalik-
lah, janganlah terjadi kecurangan, berbaliklah, aku pasti benar. 30 Apakah
ada kecurangan pada lidahku? Apakah langit-langitku tidak dapat membeda-
bedakan bencana?”
Ayub yang malang melanjutkan tegurannya kepada teman-temannya
atas ketidakramahan mereka dan kata-kata keras yang mereka lontar-
kan kepadanya. Ia di sini menegaskan kepada mereka beberapa hal
dengan maksud untuk membenarkan dirinya dan mencela mereka.
Silakan mereka berat sebelah dalam menimbang dan berbicara seturut
pikiran mereka, namun mereka tidak dapat tidak harus mengakui,
I. Bahwa, kendati dia memerlukan mereka, namun dia tidak meng-
inginkan sampai memohon-mohon, atau membebani teman-teman-
nya. Orang-orang yang demikian, yang masalah membuat mereka
mengemis, umumnya lebih kurang dikasihani daripada orang
miskin yang diam. Ayub akan senang melihat teman-temannya,
namun dia tidak berkata, Berilah aku sesuatu (ay. 22), atau, Tebus-
lah aku (ay. 23). Ia tidak ingin membebani mereka dengan biaya
apa pun, dan tidak juga memaksa teman-temannya,
1. Untuk mengumpulkan sumbangan baginya, untuk menegak-
kannya kembali di dalam dunia. Kendati dia dapat yakin bah-
wa kehilangan yang menimpanya terjadi oleh tangan Allah dan
bukan oleh kesalahan atau kebodohannya sendiri, bahwa dia
hancur lebur dan dijadikan miskin, bahwa dia selama ini hidup
dalam keadaan yang baik dan bahwa saat dia masih mak-
mur, dia seorang dermawan dan siap membantu orang-orang
yang berada dalam kesesakan, bahwa sekalipun teman-teman-
nya kaya dan sanggup menolongnya, namun dia tidak berkata,
Berilah aku sesuatu. Perhatikanlah, seorang yang baik, saat
tertimpa masalah, takut menjadi beban bagi teman-temannya.
Atau,
2. Untuk membangkitkan negeri baginya, untuk menolong dia
mendapatkan kembali ternaknya dari tangan orang-orang Syeba
dan Kasdim, atau mengadakan pembalasan ke atas mereka:
“Apakah aku meminta kamu untuk melepaskan aku dari ta-
ngan yang Mahakuasa? Tidak, aku tidak pernah berharap eng-
kau membahayakan diri sendiri atau membebani kamu demi
aku. Lebih baik aku duduk puas di bawah malapetakaku dan
mengusahakan yang terbaik darinya, daripada meminta-minta
kepada teman-temanku.” Rasul Paulus bekerja dengan tangan-
nya, supaya dia tidak menjadi beban bagi siapa pun. Bahwa
Ayub tidak meminta pertolongan mereka tidaklah membebas-
kan mereka dari menawarkan bantuan saat dia membutuh-
kannya, namun terserah kepada mereka mau membantu dia
atau tidak. namun sangat memperparah ketidakramahan mere-
ka, bahwa saat dia tidak menginginkan apa-apa dari mereka
selain suatu pandangan yang baik, suatu perkataan yang baik,
namun tidak mendapatkannya. Sering terjadi bahwa dari ma-
nusia, bahkan saat kita berharap sedikit, kita mendapat lebih
sedikit, namun dari Allah, bahkan saat kita berharap banyak,
kita mendapat lebih banyak lagi (Ef. 3:20).
II. Bahwa, kendati dia berbeda pendapat dari mereka, dia tidaklah
keras kepala, melainkan siap untuk diinsafkan, dan untuk berla-
buh kepada kebenaran segera saat dibuktikan bahwa dia ber-
salah (ay. 24-25): “Janganlah mengecam dengan keras dan me-
nyindir tanpa belas kasihan. Jika kamu memberi aku petunjuk
yang jelas dan alasan yang benar, dengan buktinya, maka aku
siap untuk mengakui kesalahanku dan mengaku diri bersalah:
Ajarilah aku, maka aku akan diam. Sebab aku sering mendapati,
dengan senang dan kagum, alangkah kokohnya kata-kata yang
jujur. namun cara yang engkau pakai itu tidak akan pernah mem-
buat orang bertobat: Apakah maksud celaan dari pihakmu itu?
Anggapanmu keliru, dugaanmu tidaklah berdasar, pernyataan dan
alasanmu lemah, dan contoh yang engkau terapkan pada diriku
mengesalkan dan tidak kenal belas kasihan.” Perhatikanlah,
1. Pernyataan yang dihasilkan dengan pikiran yang baik punya
kuasa yang memengaruhi orang, dan sungguh heran jika ma-
nusia tidak ditaklukkan olehnya. namun bahasa yang menye-
rang dan bodoh tidak punya kuasa dan bodoh, dan tidak heran
jika manusia dijengkelkan dan dikeraskan hatinya olehnya.
2. Tidak diragukan lagi, sudah menjadi tabiat orang jujur untuk
sungguh-sungguh ingin agar kesalahannya diperbaiki, dan di-
jadikan mengerti di mana dia telah berbuat salah. Dia akan
mengakui perkataan yang benar, saat perkataan itu tampak
demikian baginya dan dapat diterima kebenarannya, kendati
bertentangan dengan perasaannya sebelumnya.
III. Bahwa, kendati dia memang telah bersalah, namun tidak seha-
rusnya berkata-kata kasar seperti itu kepadanya (ay. 26-27):
“Apakah kamu bermaksud, atau merancang suatu rencana” (se-
bab demikianlah arti katanya), “untuk mencela perkataan, ung-
kapan-ungkapan kemarahanku dalam keputusasaan ini, seakan-
akan perkataanku itu merupakan pertanda yang pasti bahwa kau
ini fasik dan kafir? Sedikit keterusterangan dan belas kasihan
akan membantu memaafkan semua ungkapan itu, dan memaha-
minya dengan maksud yang lebih baik. Akankah keadaan rohani
seseorang dinilai oleh perkataan yang tergesa-gesa, dengan meng-
gunaan masalah yang tiba-tiba muncul dari dalam dirinya? Apa-
kah adil, apakah baik, apakah benar, untuk mengkritik dalam
masalah yang demikian? Maukah engkau sendiri diperlakukan
demikian?” Dua hal yang memperparah perlakuan tidak baik me-
reka kepada Ayub:
1. Bahwa mereka mengambil keuntungan dari kelemahannya
dan keadaannya yang tidak berdaya: Anak yatim kamu mem-
buang undi, sebuah ungkapan kiasan, yang menyatakan suatu
tindakan yang paling biadab dan tidak manusiawi. “Anak ya-
tim tidak dapat melindungi dirinya dari hinaan, sehingga
membuat berani orang-orang yang berhati rendah dan tercela
untuk menghina dan menginjak-injak mereka. Dan engkau
melakukan demikian terhadap aku.” Ayub, dengan menjadi
seorang ayah yang tidak beranak, menganggap diri sama ren-
tannya seperti seorang anak yatim (Mzm. 127:5) dan punya
alasan untuk tersinggung dengan perbuatan orang yang meng-
injak-injak dirinya. Barang siapa menindas dan menguasai
orang-orang yang terhitung sebagai yatim, kiranya ia sadar
bahwa dengan berbuat demikian ia bukan saja telah menang-
galkan kasih sayang manusia, namun juga berperang melawan
kasih sayang Allah, yang yaitu , dan selalu akan menjadi
seorang Bapa bagi yang yatim dan seorang penolong bagi yang
tak berdaya.
2. Bahwa mereka berpura-pura baik: “Engkau menggali sebuah
lubang bagi temanmu (ay. 27, KJV). Tidak hanya engkau tidak
ramah kepadaku, yang yaitu temanmu, namun juga, dengan
dalih persahabatan, engkau menjerat aku.” saat mereka da-
tang untuk berkunjung dan duduk bersamanya, dia berpikir
dapat mengutarakan pikirannya dengan bebas kepada mereka,
dan bahwa semakin pahit keluhannya kepada mereka, sema-
kin mereka berusaha untuk menghibur dia. Pikiran ini mem-
buat dia lebih merasa sangat bebas berbicara dengan mereka.
Daud, kendati dia menaha