Minggu, 05 Januari 2025

ayub 6


 jika pedang membunuh 

engkau, itu tidak akan melukai engkau. Pedang hanya 

dapat membunuh tubuh, dan tidak berkuasa untuk ber-

buat demikian kecuali diizinkan dari atas.”  

(4) Bahwa, betapa pun jahatnya apa yang dikatakan terhadap 

orang benar, itu tidak akan mencelakakan mereka (ay. 21). 

“Engkau tidak hanya akan dilindungi dari pedang perang 

yang membunuh, namun  akan disembunyikan dari momok 

lidah, yang, seperti hantu, menjengkelkan dan menyakit-

kan kendati tidak sampai mematikan.” Orang-orang ter-

baik, dan yang sungguh tanpa daya, tidak bisa, bahkan da-

lam ketidakbersalahan mereka, mengamankan diri mereka 

dari fitnah, celaan, dan tuduhan palsu. Dari semuanya ini 

seseorang tidak dapat menyembunyikan diri, namun  Allah 

dapat menyembunyikannya, sehingga para pemfitnah yang 

paling keji pun tidak dihiraukannya sebab  tidak meng-

ganggu rasa damainya, dan tidak mencela nama baiknya. 

Sisa murka Allah dapat menahan dan benar-benar menge-

kang hati nurani orang jahat sehingga momok lidah tidak 

dapat menghancurkan semua penghiburan orang baik di 

dalam dunia ini.  

(5) Bahwa orang benar akan diliputi rasa aman dan ketente-

raman pikiran, yang timbul dari pengharapan dan keyakin-

an mereka di dalam Allah, bahkan di masa-masa yang 

paling buruk. Pada waktu bahaya paling mengancam, me-

reka akan menjadi tenang, percaya diri aman. Dan mereka 

tidak usah takut bila kemusnahan datang (ay. 21), sekali-

pun mereka melihatnya mendekat. Tidak usah takut dari 

binatang liar saat  mereka datang menyerang, atau dari 

manusia yang sama kejamnya seperti binatang. Bahkan, 

kemusnahan dan kelaparan akan kautertawakan (ay. 22), 

bukan untuk menghina didikan atau hajaran Allah atau 

mengolok-olok penghakiman-Nya, namun  untuk bersorak-

sorai di dalam Allah, di dalam kuasa dan kebaikan-Nya. 

Juga, untuk bersorak-sorai atas dunia dan segala kesedih-

annya, supaya tidak hanya menjadi tenang, namun  juga ber-

gembira dan bersukacita dalam kesesakan. Rasul Paulus 

yang terberkati menertawakan kebinasaan saat  dia ber-

kata, Hai maut di manakah sengatmu?, saat , demi nama 

semua orang kudus, dia mengalahkan semua celaka zaman 

sekarang yang hendak memisahkan kita dari kasih Allah, 

dengan menegaskan, bahwa dalam kesemuanya ini kita 

yaitu  lebih dari pemenang (Rm. 8:35. Lih. Yes. 37:22). 

(6) Bahwa, sebab  sudah berdamai dengan Allah, akan ada se-

buah kovenan persahabatan antara orang benar dengan 

seluruh ciptaan (ay. 23). “saat  engkau berjalan di atas 

tanah, engkau tidak perlu takut tersandung, sebab engkau 

dan batu-batuan di padang akan ada perjanjian, bahwa me-

reka tidak akan menerpa kakimu. Engkau juga tidak akan 

menemui bahaya dari serangan binatang liar, sebab mereka 

semua akan berdamai dengan engkau.” Bandingkan Hosea 

2:17, Aku akan mengikat perjanjian bagimu pada waktu itu 

dengan binatang-binatang di padang. Hal ini menyiratkan, 

bahwa sementara manusia bermusuhan dengan Pencipta-

nya, maka segala makhluk yang lebih rendah pun berperang 

dengannya. namun  tranquillus Deus tranquillat omnia – Allah 

yang berdamai mendamaikan segala sesuatu. Kovenan kita 

dengan Allah yaitu  suatu kovenan dengan semua makhluk 

sehingga mereka tidak akan mencelakakan kita, melainkan 

siap untuk melayani kita dan berguna bagi kita. 

(7) Bahwa rumah-rumah dan keluarga orang benar akan tera-

sa nyaman bagi mereka (ay. 24). Damai dan kesalehan da-

lam keluarga akan menjadikannya demikian. “Engkau akan 

mengalami, bahwa kemahmu aman dan apabila engkau 

memeriksa tempat kediamanmu, engkau tidak akan kehi-

langan apa-apa. Engkau dapat merasa yakin akan kese-

jahteraannya di waktu sekarang dan di masa yang akan 

datang.” Kedamaian yaitu  kemahmu (demikianlah arti-

nya). Damailah rumah yang di dalamnya berdiam orang-

orang yang berdiam di dalam Allah dan yang tinggal di 

dalam Dia. “Engkau memeriksa” (yaitu menyelidiki urusan) 

“tempat kediamanmu, dan tidak akan kehilangan apa-apa.”  

[1] Allah akan menyediakan suatu tempat kediaman bagi 

umat-Nya, yang mungkin berupa sebuah pondok, se-

buah kemah, yang mungkin sederhana dan berpindah-

pindah, namun  merupakan sebuah tempat kediaman 

yang tetap dan tenang. “Engkau tidak akan kehilangan 

apa-apa,” atau mengembara. Yaitu, seperti yang dipa-

hami oleh beberapa orang, “engkau tidak akan menjadi 

pengungsi dan pelarian” (kutukan Kain), “melainkan 

akan tinggal di negeri, dan sungguh, tidak seperti gelan-

dangan engkau akan diberi makan.”  

[2]  Keluarga mereka akan diberi perlindungan yang khusus 

dari Penyelenggaraan ilahi, dan akan makmur sepan-

jang untuk kebaikan mereka.  

[3] Mereka akan dijamin damai dan terus-menerus demi-

kian. “Engkau akan tahu, dan penuh hatimu tak terka-

takan, bahwa kedamaian itu pasti bagimu dan orang-

orangmu, yang dijamin oleh firman Allah.” Penyeleng-

garaan mungkin berubah, namun  janji tidak dapat 

berubah. 

[4] Mereka akan mendapat hikmat untuk memerintah ke-

luarga mereka dengan benar, untuk menata urusan me-

reka dengan bijak, dan menjaga dengan baik jalan-jalan 

rumah tangga mereka, yang di sini disebut memeriksa 

tempat kediaman mereka. Kepala-kepala keluarga tidak 

boleh menjadi orang asing di rumahnya, melainkan 

harus mengawasi apa yang mereka miliki dan apa yang 

dilakukan oleh hamba-hamba mereka.  

[5] Mereka akan mempunyai anugerah untuk mengelola 

urusan keluarga mereka menurut cara yang saleh, dan 

tidak berdosa dalam mengaturnya. Mereka akan me-

manggil hamba-hamba mereka untuk bertanggung ja-

wab tanpa kegeraman, kesombongan, ketamakan, kedu-

niawian, atau sejenisnya. Mereka akan mendapati sega-

la urusan mereka dengan rasa puas dan lega. Kesaleh-

an keluarga memahkotai keluarga dengan kedamaian 

dan kesejahteraan. Berkat yang terbesar dalam semua 

pekerjaan dan kenikmatan kita yaitu  dijaga untuk tidak 

berbuat dosa di dalamnya. saat  kita pergi dari rumah, 

sungguh menghibur hati untuk mendengar bahwa ke-

mah kita berada dalam damai. Dan saat  kita kembali 

ke rumah, sangat menghibur untuk melihat tempat ke-

diaman kita lagi dengan rasa puas atas kesuksesan kita, 

bahwa kita tidak gagal dalam urusan kita, dan dengan 

hati nurani yang baik, bahwa kita tidak mengecewakan 

Allah.  

(8) Bahwa keturunan orang benar akan banyak dan makmur. 

Ayub telah kehilangan semua anaknya. “namun ,” kata Eli-

fas, “jika engkau kembali kepada Allah, Ia akan sekali lagi 

membangun keluargamu, dan keturunanmu akan menjadi 

banyak seperti yang belum pernah ada, dan anak cucumu 

bertambah dan berkembang seperti rumput di tanah (ay. 

25), dan engkau akan mengetahuinya.” Allah menyediakan 

berkat bagi keturunan orang yang setia, yang akan mereka 

miliki jika mereka tidak berdiri di dalam terang mereka 

sendiri dan kehilangannya oleh kebodohan mereka. Meru-

pakan penghiburan bagi orangtua untuk melihat kemak-

muran, terutama kemakmuran rohani, dari anak-anak me-

reka. Jika mereka sungguh-sungguh baik, mereka akan 

sungguh-sungguh besar, tidak peduli seberapa kecilnya 

kedudukan mereka di dalam dunia.  

(9) Bahwa kematian mereka akan tepat pada waktunya dan me-

reka akan menyelesaikan perjalanan hidup mereka, pada 

akhirnya, dengan sukacita dan kehormatan (ay. 26). Sung-

guh merupakan belas kasih yang besar,  

[1] Untuk hidup dengan umur penuh dan tidak ada jumlah 

bulan-bulan hidup kita yang terpotong di tengah. Jika 

penyelenggaraan Allah tidak memberi kita umur pan-

jang, namun jika anugerah Allah memberi kita kepuas-

an dalam waktu yang diperuntukkan bagi kita, maka 

kita dapat dikatakan sudah hidup sampai usia penuh. 

Manusia dikatakan hidup sudah cukup lama bila ia 

telah menyelesaikan tugasnya dan pantas untuk mewa-

risi dunia lain.  

[2] Untuk bersedia mati, menghampiri kubur dengan gem-

bira, dan tidak terpaksa ke sana, seperti orang yang 

jiwanya diminta kembali darinya.  

[3] Untuk mati pada waktunya, seperti gandum yang dipa-

nen dan dimasukkan ke dalam lumbung sebab  sudah 

masak. Bukan mati sebelum waktunya, namun  juga 

tidak melebihi waktunya hingga harus menghabiskan 

sehari lagi, supaya jangan sampai luruh seperti gandum 

lepas sebab  terlalu tua. Waktu kita ada di dalam ta-

ngan Allah. Memang baik demikian, sebab  Ia akan me-

melihara bahwa orang-orang yang menjadi milik-Nya 

akan mati di waktu yang terbaik: betapa pun kematian 

mereka tampak bagi kita terlalu cepat, hal itu akan 

didapati bukan tidak tepat pada waktunya.  

3. Dalam ayat terakhir Elifas mengajukan janji ini kepada Ayub, 

(1) Sebagai perkataan yang setia, yang ia yakini akan kebenar-

annya: “Sesungguhnya, semuanya itu telah kami selidiki, 

memang demikianlah adanya. Kita memang telah menerima 

janji-janji ini turun-temurun dari nenek moyang kita, namun  

kita tidak menerimanya begitu saja. Kita dengan hati-hati 

telah memeriksanya, telah membandingkan hal-hal rohani 

dengan yang rohani, dengan rajin mempelajarinya, dan di-

teguhkan dalam kepercayaan kita terhadap semua janji itu 

melalui pengamatan dan pengalaman kita sendiri. Dan kita 

semua sepemikiran akan kebenarannya.” Kebenaran ada-

lah sebuah harta karun yang sangat berharga untuk digali 

dan diselami. Setelah itu barulah kita tahu bagaimana 

menghargainya dan bagaimana menyampaikannya kepada 

orang lain saat  kita telah bersusah payah dalam mencari-

nya.  

(2) Sebagai janji-janji yang layak diterima, yang Elifas mau 

manfaatkan untuk mendapat keuntungannya: Dengarkan-

lah dan camkanlah itu! Tidak cukup untuk mendengar dan 

mengetahui kebenaran, namun  kita harus memanfaatkan-

nya, dan dibuat lebih bijaksana dan lebih baik olehnya, 

menerima pengaruhnya, dan tunduk kepada kuasa yang 

mengatur di baliknya. Ketahuilah untuk dirimu sendiri, de-

ngan menerapkannya pada dirimu sendiri dan pada per-

karamu. Tidak hanya bahwa “Hal ini benar,” namun  juga 

“hal ini benar mengenai diriku.” Apa yang kita dengar dan 

tahu, kita dengar dan tahu demi kebaikan kita, seperti hal-

nya kita mendapat gizi oleh makanan yang kita cerna. Ini 

memang sebuah khotbah yang baik bagi kita yang men-

datangkan kebaikan bagi kita. 

 

 

 

 

PASAL  6  

lifas menyimpulkan nasihatnya dengan sebuah jaminan. Ia sa-

ngat yakin bahwa apa yang telah dikatakannya sudah begitu jelas 

dan begitu tepat sehingga tidak ada yang perlu dibantah. namun , 

kendati nasihatnya tampak adil, tetap saja tetangganya datang dan 

menyelidiki dia. Ayub tidak diyakinkan oleh semua yang dikatakan 

kepadanya, sebaliknya tetap membenarkan diri dalam keluhannya 

dan mencela Elifas sebab  kelemahan pendapatnya.  

I. Ayub menunjukkan bahwa ia punya alasan yang benar un-

tuk mengeluh tentang masalahnya, dan pastilah siapa pun 

hakim yang tidak memihak, akan setuju dengan itu (ay. 2-7).  

II. Ia melanjutkan keinginannya yang penuh amarah agar dile-

nyapkan saja secepat mungkin oleh hantaman kematian, su-

paya dilegakan dari semua kesengsaraannya (ay. 8-13).  

III. Ia menegur teman-temannya atas celaan mereka yang tidak 

kenal belas kasihan dan perlakuan mereka yang keras (ay. 

14-30). Harus diakui bahwa Ayub, dalam semuanya ini, ber-

bicara banyak hal yang masuk akal, namun  bercampur dengan 

perasaan marah dan kelemahan manusia. Dan dalam perde-

batan ini, seperti halnya dalam kebanyakan perdebatan, ada 

kesalahan di kedua belah pihak.  

Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas 

(6:1-7) 

1 Lalu Ayub menjawab: 2 “Ah, hendaklah kiranya kekesalan hatiku ditimbang, 

dan kemalanganku ditaruh bersama-sama di atas neraca! 3 Maka beratnya 

akan melebihi pasir di laut; oleh sebab itu tergesa-gesalah perkataanku.  

4 sebab  anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan 

racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan 

aku. 5 Meringkikkah keledai liar di tempat rumput muda, atau melenguhkah 

lembu dekat makanannya? 6 Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa 

garam atau apakah putih telur ada rasanya? 7 Aku tidak sudi menjamahnya, 

semuanya itu makanan yang memualkan bagiku. 

Elifas, dalam permulaan percakapannya, bersikap sangat keras ke-

pada Ayub, namun tidak tampak bahwa Ayub memotong pembicara-

annya, melainkan mendengarnya dengan sabar sampai Elifas selesai 

mengatakan semuanya. Orang-orang yang ingin menilai suatu pem-

bicaraan tanpa memihak harus mendengarkannya baik-baik, dan 

menyimak seluruhnya. saat  Elifas selesai, barulah Ayub memberi-

kan jawaban, berkata-kata dengan penuh perasaan.  

I. Ia menyatakan malapetakanya, secara umum, jauh lebih berat 

daripada yang diungkapkannya atau yang dipahami oleh mereka 

(ay. 2-3). Ia tidak dapat sepenuhnya menggambarkannya. Mereka 

juga tidak akan sepenuhnya memahaminya, atau paling tidak 

mau mengakui bahwa mereka memang tidak memahaminya. Oleh 

sebab  itu, dengan senang ia hendak berseru saja kepada orang 

ketiga, yang memiliki bobot dan timbangan yang adil untuk meng-

ukur kesedihan dan malapetakanya, dan yang akan melaku-

kannya dengan tangan yang tidak berat sebelah. Ia berharap para 

sahabatnya itu mau menempatkan kesedihannya dan semua ung-

kapannya di satu sisi timbangan, sedangkan malapetakanya dan 

semua rinciannya di sisi timbangan yang lain, maka (kendati dia 

tidak akan membenarkan diri dalam kesedihannya) mereka akan 

mendapati (23:2) bahwa tangan-Nya menekannya, sehingga ia 

mengaduh. Sebab, apa pun kesedihannya, malapetakanya berat 

melebihi pasir di laut: malapetakanya rumit, terlalu berlebihan, 

setiap kesedihan yaitu  berat, dan jumlahnya semua seperti pa-

sir. Katanya, “Oleh sebab  itu  tergesa-gesalah perkataanku.” Ya-

itu, “sebab  itu kamu harus memaklumi terbatah-batahnya dan 

kepahitan dari ungkapanku. Janganlah menganggapnya aneh jika 

perkataanku tidaklah begitu baik dan sopan seperti seorang ahli 

pidato yang fasih, atau begitu dalam dan teratur seperti seorang 

filsuf yang murung: tidak, dalam keadaan ini aku tidak dapat 

berpura-pura menjadi seseorang atau orang lain. Perkataanku, 

seperti diriku, benar-benar sudah tenggelam.” sebab  itu,  

1. Ayub di sini merasa sedih dengan apa yang dilakukan oleh te-

man-temannya itu. Mereka berusaha memberi obat rohani un-

tuk kesembuhannya tanpa sepenuhnya memahami masalah-

nya dan mengetahui keadaannya yang terburuk. Sangat jarang 

orang-orang yang sedang aman tenteram dapat menimbang 

dengan benar penderitaan dari orang yang tertimpa. Setiap 

orang yang paling merasakan bebannya sendiri. Sedikitnya 

yang bisa merasakan beratnya beban orang lain.  

2. Ayub memaklumi ungkapan-ungkapan perasaannya yang pe-

nuh kegusaran saat  ia mengutuk hari kelahirannya. Kendati 

dirinya sendiri tidak dapat membenarkan semua yang dikata-

kannya, namun menurutnya, teman-temannya tidak seharus-

nya mengecam dia dengan keras, sebab  masalahnya benar-

benar luar biasa. Seharusnya mereka tidak boleh berbuat begi-

tu terhadap orang yang sedemikian berduka seperti dia seka-

rang. Terhadap kedukaan biasa saja tidak boleh dilakukan, 

apalagi terhadap kedukaan besar seperti yang dialaminya.  

3.  Ia meminta rasa simpati dan kemurahan hati teman-temannya, 

dan berharap, dengan menggambarkan hebatnya malapetaka-

nya, mereka dapat dibuat bersikap lebih baik kepadanya. Bagi 

mereka yang menderita, memang mudah untuk dikasihani. 

II. Ayub mengeluh tentang kegelisahan dan rasa takut yang menye-

rang pikirannya sebagai bagian terperih dari malapetakanya (ay. 

4). Di sini dia merupakan sebuah gambaran dari Kristus, yang da-

lam penderitaan-Nya, paling banyak mengeluh tentang penderita-

an jiwa-Nya. Sekarang jiwa-Ku terharu (Yoh. 12:27). Hati-Ku sa-

ngat sedih (Mat. 26:38). Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau me-

ninggalkan Aku? (Mat. 27:46). Ayub yang malang dengan sedih 

mengeluh di sini,  

1. Tentang apa yang dirasakannya seperti anak panah dari Yang 

Mahakuasa yang tertancap pada tubuhnya. Sebenarnya bukan 

masalah itu sendiri yang membuat hatinya begitu gelisah dan 

kacau, bukan kemiskinan, kehinaan, dan nyeri tubuh. Melain-

kan, apa yang menusuknya sampai ke hati dan membuatnya 

gelisah yaitu  saat  memikirkan bahwa Allah yang dikasihi-

nya dan dilayaninya yang telah menimpakan semuanya ini 

kepadanya dan menaruhnya di bawah tanda-tanda kemurka-

an-Nya. Perhatikanlah, kesusahan pikiran yaitu  kesusahan 

yang paling menyakitkan. Siapa akan memulihkan semangat 

yang patah! Beban malapetaka tubuh atau milik kepunyaan 

apa pun yang Allah berkenan timpakan ke atas kita, kita dapat 

menanggungnya dengan baik sepanjang Ia terus memakai  

pikiran kita dan damai hati nurani kita. namun , jika di dalam 

salah satu beban ini kita terganggu, masalah kita memang 

menyedihkan dan sangat patut dikasihani. Cara untuk men-

cegah panah murka Allah yaitu  dengan perisai iman yang 

mengalahkan panah pencobaan dari Iblis. Amatilah, Ayub me-

nyebutnya panah dari Yang Mahakuasa. Sebab apa yang di-

alaminya itu yaitu  sebuah contoh dari kuasa Allah yang de-

ngan anak panah-Nya mampu menjangkau jiwa, yang melam-

paui segala kecakapan manusia. Ia yang telah menciptakan jiwa 

dapat menjadikan pedang-Nya menjangkaunya. Racun atau ke-

panasan panah-panah ini dikatakan menelan semangatnya, 

sebab  panah itu mengganggu pikirannya, mengguncangkan 

ketetapan hatinya, melelahkan semangatnya, dan mengancam 

hidupnya. Oleh sebab  itu ungkapan perasaannya yang gusar 

itu, kendati tidak dapat dibenarkan, dapat dimaklumi.  

2. Tentang apa yang ditakutinya. Ia melihat dirinya dituduh de-

ngan kedahsyatan Allah, seperti oleh suatu tentara yang siap 

dalam medan pertempuran, dan dikelilingi olehnya. Allah, me-

lalui kedahsyatan-Nya, berperang melawan dirinya. saat  ia 

melihat ke dalam dirinya, tidak ada penghiburan didapatnya, 

dan demikian pula yang dialaminya saat  dia memandang ke 

atas ke sorga. Ia yang biasa dikuatkan dengan penghiburan 

Allah tidak hanya kehilangan penghiburan itu, malahan ter-

kejut dengan banyak kedahsyatan dari Allah. 

III. Ia menyindir teman-temannya atas kecaman keras mereka terha-

dap keluhannya dan atas ketidakcakapan mereka dalam melihat 

perkaranya.  

1. Teguran mereka tidak beralasan. Ia mengeluh, memang benar, 

bahwa dia sekarang berada dalam malapetaka ini, namun  dia 

tidak biasa mengeluh saat  hidup dalam kemakmuran, se-

perti yang dilakukan oleh orang-orang yang penuh roh kema-

rahan: dia tidak meringkik saat  berada di rumput muda, 

atau melenguh dekat makanannya (ay. 5). Namun, kini saat  

semua penghiburan diambil sepenuhnya dari dirinya, ia men-

jadi seperti kayu atau batu saja, dan tidak memiliki perasaan 

seperti seekor lembu atau keledai liar, jika tidak ada jalan

 keluar bagi kesedihannya. Ia terpaksa makan daging yang ti-

dak ada rasanya, dan sedemikian miskinnya hingga tidak me-

miliki sebutir garam pun untuk membumbuinya, atau untuk 

memberi sedikit rasa pada putih telur, yang sekarang menjadi 

masakan terpilih yang dimilikinya di atas meja (ay. 6). Bahkan 

makanan yang dahulu dicemoohnya untuk disentuh, kini de-

ngan senang hati harus dimakannya, dan itulah makanan 

yang memualkan (ay. 7). Perhatikanlah, merupakan hikmat 

untuk tidak membiasakan diri sendiri atau anak-anak kita 

menjadi terbiasa dengan makanan dan minuman yang enak-

enak, sebab  kita tidak tahu bagaimana keadaan kita suatu 

saat, supaya jangan sampai makanan yang memualkan kita 

sekarang malah akan kita sambut dengan gembira sebab  

kebutuhan.  

2. Semua penghiburan para sahabatnya itu kering dan hambar. 

Demikian yang dipahami oleh sebagian orang (ay. 6-7). Ia me-

ngeluh sebab  sekarang tidak ada yang dapat ditawarkan kepa-

danya untuk melegakannya. Tidak ada yang layak baginya, 

tidak ramah, tidak ada yang membangkitkan dan menceriakan 

semangatnya. Apa yang sanggup mereka lakukan sama ham-

barnya seperti putih telur, dan, saat  diterapkan kepadanya, 

sama memualkan menyiksanya seperti daging yang sangat 

memualkan. Saya minta maaf bahwa dia harus mengatakan 

demikian tentang apa yang telah dikatakan dengan sangat ba-

gus oleh Elifas (5:8, dst.). Namun semangat yang sedang jeng-

kel memang biasanya terlalu cenderung untuk melecehkan 

para penghibur mereka.  

Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas  

(6:8-13) 

8 Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang kuharap-

kan! 9 Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan 

tangan-Nya dan menghabisi nyawaku! 10 Itulah yang masih merupakan hi-

buran bagiku, bahkan aku akan melompat-lompat kegirangan di waktu kepe-

dihan yang tak kenal belas kasihan, sebab aku tidak pernah menyangkal 

firman Yang Mahakudus. 11 Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup ber-

tahan, dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar? 12 Apakah 

kekuatanku seperti kekuatan batu? Apakah tubuhku dari tembaga? 13 Bu-

kankah tidak ada lagi pertolongan bagiku, dan keselamatan jauh dari padaku? 

Rasa gusar yang tak terkendali sering berkembang menjadi lebih 

hebat saat  berhadapan dengan kecaman dan teguran. Lautan yang 

bergejolak menjadi ganas saat  menerpa batu karang. Sebelumnya 

Ayub merayu-rayu memohon kematian, sebab  itu akan menjadi 

akhir membahagiakan dari kesengsaraannya (ps. 3). Untuk itulah 

Elifas dengan keras menegur Ayub. namun  Ayub, bukannya menarik 

kembali perkataannya itu, malah mengulanginya lagi di sini dengan 

lebih keras lagi daripada sebelumnya. Dan perkataannya ini sama 

buruknya dengan semua ucapannya yang lain yang kita jumpai dalam 

semua percakapannya, dan hal ini dicatat bagi peringatan kita, bukan 

untuk ditiru.  

I. Ayub masih sangat ingin mati, seakan-akan sudah tidak mungkin 

lagi bagi dia untuk melihat hari baik di dalam dunia ini. Atau 

bahkan seolah-olah oleh anugerah dan ibadah pun sudah tidak 

mungkin bagi dia untuk membuat hari-hari malapetaka ini men-

jadi hari-hari yang baik. Ia dapat melihat tidak ada akhir dari ma-

salahnya kecuali kematian, dan sudah tidak sabar menantikan 

waktu yang ditentukan bagi kematiannya. Ia punya permohonan 

untuk diajukan. Ada suatu hal yang dirindukannya (ay. 8). Dan 

apakah itu? Kita menduga itu yaitu , “Bahwa kiranya Allah ber-

kenan membebaskan aku dan memulihkan aku kepada kesejah-

teraanku lagi.” namun  tidak, kerinduannya yaitu , kiranya Allah 

berkenan untuk menghabisi nyawaku (ay. 9). “Sama seperti Ia 

pernah mengulurkan tangan-Nya untuk menjadikan aku miskin, 

lalu menjadikan aku sakit, kiranya Dia mengulurkan tangan-Nya 

sekali lagi untuk mengakhiri hidupku. Kiranya Ia memberikan 

hantaman yang mematikan. Hal itu bagiku akan menjadi coup de 

grace – hantaman kebaikan,” yang di Prancis disebut hantaman 

terakhir yang membunuh orang yang dihukum dengan diikat 

pada roda besar. Ada suatu waktu saat  celaka yang dari Allah 

menakutkan bagi Ayub (31:23), namun sekarang Ia justru meng-

harapkan kehancuran daging, namun  dalam harapan bahwa roh-

nya akan diselamatkan pada hari Tuhan Yesus. Amatilah, kendati 

Ayub sangat ingin mati, dan sangat marah terhadap penundaan-

nya, namun dia tetap tidak ingin menghancurkan diri sendiri, atau 

menyingkirkan nyawanya sendiri, namun  hanya memohon agar 

Allah berkenan untuk menghabisi nyawanya. Moralitas Seneca, 

yang menyarankan bunuh diri sebagai solusi yang sah atas ke-

sedihan yang tak tertahankan, tidak dikenal pada zaman Ayub, 

dan tidak akan pernah disambut oleh siapa pun yang memiliki 

sedikit penghargaan kepada hukum Allah dan alam. Tidak peduli 

betapa tidak enaknya jiwa terpenjara di dalam tubuh, tetap saja 

penjara itu tidak boleh dihancurkan, melainkan harus menunggu 

kelepasannya pada waktunya. 

II. Ayub membawa kerinduannya ini dalam doa, agar Allah menga-

bulkan permohonannya ini, agar kiranya Allah berkenan menga-

bulkan permohonannya itu. Ini merupakan dosa Ayub, sebab  

begitu berhasrat menginginkan kematiannya dipercepat, dan tidak 

ada gunanya bagi dia untuk memanjatkan doa kepada Allah bagi 

keinginannya itu. Bahkan, apa yang tampak buruk dalam harap-

annya itu tampak lebih buruk lagi dalam doanya, sebab kita tidak 

dapat meminta apa pun dari Allah tanpa iman, namun  kita tidak 

dapat meminta dalam iman kecuali apa yang kita minta itu sesuai 

dengan kehendak Allah. Doa yang penuh kejengkelan yaitu  ung-

kapan permohonan yang terburuk, sebab kita harus menadahkan 

tangan yang suci, tanpa marah. 

III. Ayub menjanjikan dirinya akan terbebas, dan semua kesedihan-

nya akan terobati, dengan hantaman kematian (ay. 10): “Itulah 

yang masih merupakan hiburan bagiku, yang tidak ada padaku 

sekarang, yang tidak akan aku punyai kecuali aku mati nanti.” 

Lihatlah,  

1. Kesia-siaan dari hidup manusia. Begitu tidak menentu kehi-

dupan yang baik itu, sehingga sering kali malah menjadi be-

ban terbesar manusia, hingga tidak ada yang begitu diingin-

kan selain meninggalkan hidup itu. Kiranya anugerah mem-

buat kita bersedia untuk berpisah dari hidup itu kapan pun 

Allah memanggilnya. Sebab dapat saja terjadi bahwa indra 

membuat kita ingin pergi sebelum Ia memanggil.  

2. Pengharapan yang dimiliki oleh orang yang benar di dalam 

kematian mereka. Jika Ayub tidak memiliki hati nurani yang 

baik, dia tidak dapat berbicara dengan kepastian akan menda-

pat penghiburan di seberang kematian sana, yang membalik-

kan meja antara orang kaya dan Lazarus. Sekarang ia men-

dapat hiburan dan engkau sangat menderita. 

IV. Ia menantang kematian untuk melakukan hal yang terburuk. 

Seandainya pun dia harus mati dengan rasa sakit dan erangan 

yang lebih pahit, dengan kejang-kejang yang sangat kuat, jika dia 

harus tersiksa sebelum ajal, namun, dalam pandangan kepada 

kematian itu pada akhirnya, dia tidak akan peduli dengan semua 

sengatan yang mendahului ajal itu: “Aku akan melompat-lompat 

kegirangan di waktu kepedihan yang tak kenal belas kasihan [KJV: 

Aku akan mengeraskan diri dalam kesengsaraanku], akan mem-

buka dadaku untuk menerima anak-anak panah kematian, dan 

tidak menyiut darinya. Kiranya ia tidak diberi kasihan [KJV: sebab 

aku tidak pernah menyangkal]. Aku tidak menginginkan keringan-

an rasa sakit yang akan membawa suatu akhir yang membahagia-

kan kepada semua kesakitanku. Ketimbang tidak mati, biarlah 

aku mati untuk dapat merasakan sendiri kematian.” Inilah kata-

kata penuh kemarahan, yang mungkin lebih baik ditahan. Kita 

seharusnya melunakkan diri dalam kesengsaraan, agar kita dapat 

menerima pengaruh yang baik darinya. Dengan melunakkan kese-

dihan perasaan hati, kita dapat menjadi lebih baik. namun , jika kita 

mengeraskan diri, kita memanasi Allah untuk terus dalam per-

lawanan-Nya. Sebab saat  Ia menghakimi Ia akan menang. Sung-

guh teramat lancang untuk menantang Yang Mahakuasa, dan 

berkata, Biarlah Ia tidak menyayangkan. Sebab Apakah kita lebih 

kuat daripada Dia? (1Kor. 10:22). Kita sangat berutang kepada 

belas kasihan yang menyelamatkan. Celakalah jika kita sampai 

menjadi jenuh dengan belas kasihan-Nya. Kira-nya kita lebih baik 

berkata bersama Daud, Alihkanlah pandangan-Mu daripadaku. 

V. Ayub mendasarkan penghiburannya pada kesaksian hati nurani-

nya bahwa dia telah berlaku setia dan teguh pada pengakuan aga-

manya, dan cukup berguna serta melayani bagi kemuliaan Allah 

dalam generasinya: Aku tidak pernah menyangkal firman Yang 

Mahakudus. Amatilah,  

1. Ayub memiliki firman dari Yang Mahakudus yang dipercaya-

kan kepadanya. Umat Allah pada waktu itu diberkati dengan 

penyataan ilahi.  

2. Merupakan penghiburannya bahwa dia tidak menyembunyikan 

firman Allah, tidak menerima anugerah Allah dengan sia-sia.  

(1) Ia tidak menahannya, melainkan memanfaatkannya sepe-

nuhnya, untuk menuntun dan mengaturnya dalam segala 

hal. Ia tidak mengekang keyakinannya, menindas kebenar-

an dalam kelaliman, atau melakukan sesuatu untuk  meng-

halangi makanan rohani ini dicerna dan dipakai untuk 

kesembuhan rohani. Janganlah kita menyembunyikan fir-

man Allah dari diri sendiri, melainkan selalu menerimanya 

di dalam terangnya.  

(2) Ia tidak menyimpannya untuk diri sendiri, melainkan siap 

sedia di segala waktu untuk membagikan pengetahuannya 

untuk kebaikan orang lain. Ia tidak merasa malu atau ta-

kut untuk mengakui firman Allah sebagai pedoman hidup-

nya. Ia juga tidak lalai dalam upayanya untuk membawa 

orang lain mengenal firman Allah itu. Perhatikanlah orang-

orang baik, dan hanya mereka yang berbuat baik selama 

masih hidup, yang dapat menjanjikan penghiburan bagi diri 

sendiri saat kematian.   

VI. Ayub membenarkan diri, dalam kerinduan yang besar akan kema-

tian ini, sebab  kesengsaraannya (ay. 11-12). Elifas, di akhir nasi-

hatnya, memberi Ayub harapan bahwa dia akan melihat akhir 

yang baik dari masalahnya. namun  Ayub yang malang mengabai-

kan harapan yang baik ini, menolak untuk dihibur, membiarkan 

diri berputus asa, dan dengan sangat cerdik serta gigih menen-

tang segala dorongan yang diberikan kepadanya. Hati yang gelisah 

dengan aneh selalu berdebat dengan dirinya sendiri. Dalam men-

jawab pengharapan menyenangkan yang ditawarkan Elifas, Ayub 

di sini menyiratkan,  

1. Bahwa dia tidak punya alasan untuk mengharapkan hal yang 

demikian: “Apakah kekuatanku sehingga aku sanggup berta-

han? Engkau melihat bagaimana aku sudah lemah dan dibuat 

terpuruk begini. Betapa aku tidak sanggup bergulat dengan 

kemarahanku, jadi apa dasarnya aku berharap dapat menga-

lahkannya, dan melihat hari-hari yang lebih baik? Apakah ke-

kuatanku seperti kekuatan batu? Apakah otot-ototku dari tem-

baga dan baja? Tidak, tidak demikian, dan sebab nya aku 

tidak dapat bertahan terus dalam penderitaan dan kesedihan 

ini, dan pasti tenggelam di bawah beban ini. Seandainya aku 

memiliki kekuatan untuk bergumul dengan kemarahanku, 

aku dapat saja berharap untuk melewatinya. namun , Aduh! 

Aku tidak sanggup. Patahnya kekuatanku di jalan tentu akan 

memperpendek umurku” (Mzm. 102:24). Perhatikanlah, kalau 

segala sesuatu dipertimbangkan, pastilah kita tidak punya 

alasan untuk melihat kelangsungan yang panjang dari kehi-

dupan di dalam dunia ini. Apakah kekuatanku? Hidup bergan-

tung pada kekuatan. Kita tidak punya kekuatan lebih daripada 

yang diberikan Allah kepada kita. Sebab dalam Dia kita hidup 

dan bergerak. Kekuatan kita dapat merosot. Kita setiap hari 

sedang menghabiskannya, dan secara perlahan kekuatan akan 

menjadi habis. Kekuatan kita tidaklah sebanding dengan ma-

salah yang mungkin kita temui. Apalah kekuatan kita itu hing-

ga harus diandalkan, saat  penyakit selama dua atau tiga 

hari akan membuat kita lemah seperti air? Ketimbang meng-

harapkan hidup lama, lebih baik kita merasa heran bahwa kita 

telah hidup hingga sekarang ini dan merasakan bahwa kita 

sedang bergegas ke arah kematian.  

2. Bahwa Ayub tidak punya alasan untuk menginginkan hal yang 

demikian: “Apakah masa depanku sehingga aku harus ber-

sabar? Penghiburan apakah yang dapat kujanjikan dalam ke-

hidupan ini, dibandingkan dengan penghiburan yang akan ku-

dapat dalam kematian?” Perhatikanlah, orang-orang yang, me-

lalui anugerah, bersiap bagi dunia yang akan datang, tidak 

dapat melihat banyak untuk mengundang mereka tinggal di 

dalam dunia ini, atau membuat mereka senang dengannya. 

Jika oleh kehendak Allah kita diizinkan lebih lama melayani-

Nya di dunia ini, supaya dapat menjadi lebih layak dan lebih 

matang bagi sorga, maka bolehlah kita berharap hidup kita 

diperpanjang, untuk tunduk pada tujuan utama kita. Sebalik-

nya, apa yang dapat kita tawarkan dalam merindukan tinggal 

di sini? Semakin lama kita hidup, semakin menyedihkan be-

ban hidup kita (Pkh. 12:1), dan makin lama kita hidup, makin 

sedikit kesenangan yang diperoleh (2Sam. 19:34-35). Kita telah 

melihat yang terbaik dari dunia ini, namun  kita tidak yakin 

bahwa kita telah melihat yang terburuk darinya.  

VII. Ia menyingkirkan kecurigaan para sahabatnya bahwa pikirannya 

sudah gila (ay. 13): Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku? 

Yaitu, “Tidakkah aku memakai  akal budiku, yang dengan-

nya, syukur kepada Allah, aku dapat menolong diri sendiri, ken-

dati kalian tidak menolongku? Pikir kalian, hikmat telah pergi 

dari diriku sehingga aku terganggu? Tidak, aku tidak gila, Elifas 

yang mulia, aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang 

sehat.” Perhatikanlah, orang-orang yang memiliki anugerah di 

dalam diri mereka, yang memiliki bukti tentangnya dan meng-

alaminya, juga memiliki hikmat, yang akan menjadi pertolongan 

mereka di masa-masa yang terburuk. Sat lucis intus – Mereka 

memiliki terang di dalam. 

Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas  

(6:14-21) 

14 Siapa menahan kasih sayang terhadap sesamanya, melalaikan takut akan 

Yang Mahakuasa. 15 Saudara-saudaraku tidak dapat dipercaya seperti sungai, 

seperti dasar dari pada sungai yang mengalir lenyap, 16 yang keruh sebab  

air beku, yang di dalamnya salju menjadi cair, 17 yang surut pada musim 

kemarau, dan menjadi kering di tempatnya apabila kena panas; 18 berkeluk-

keluk jalan arusnya, mengalir ke padang tandus, lalu lenyap. 19 Kafilah dari 

Tema mengamat-amatinya dan rombongan dari Syeba mengharapkannya,  

20 namun  mereka kecewa sebab  keyakinan mereka, mereka tertipu setibanya 

di sana. 21 Demikianlah kamu sekarang bagiku, saat  melihat yang dahsyat, 

takutlah kamu. 

Elifas telah berlaku sangat keras dalam menegur Ayub. Dan teman-

temannya, kendati mereka hanya berkata sedikit saja, sepakat dengan 

dia. Ketidakramahan mereka inilah yang Ayub keluhkan di sini, kare-

na lebih memperhebat melapetakanya dan lebih memberi alasan kepa-

danya untuk merindukan kematian. Sebab penghiburan apa lagi yang 

dapat diharapkannya di dalam dunia ini bila orang-orang yang seha-

rusnya menjadi penghiburnya justru berbuat sebagai penyiksanya?  

I. Ayub menunjukkan alasan mengapa dia mengharapkan keramah-

an dari mereka. Pengharapannya didasarkan pada prinsip-prinsip 

umum tentang kemanusiaan (ay. 14): “Kepada dia yang tertimpa 

malapetaka, dan yang akan habis dan mencair di bawah mala-

petakanya, kasih sayang harus ditunjukkan dari temannya. Dan 

siapa yang tidak menunjukkan kasih sayang, melalaikan takut 

akan Yang Mahakuasa.” Perhatikanlah,  

1. Belas kasih yaitu  utang yang harus dibayarkan kepada orang 

yang sedang mengalami malapetaka. Hal terkecil yang dapat 

dilakukan orang-orang yang sedang hidup nyaman terhadap 

mereka yang menderita dan dalam kesengsaraan yaitu  me-

ngasihani mereka. Yaitu, memperlihatkan keprihatinan hati 

kepada mereka, dan bersimpati dengan mereka. Mencari tahu 

masalah mereka, menanyakan kesedihan mereka, mendengar-

kan keluhan mereka, dan menangis bersama mereka. Meng-

hibur mereka dan melakukan semampunya untuk menolong 

dan melegakan mereka. Inilah yang menjadi kewajiban ang-

gota-anggota dari tubuh yang sama, yang harus merasakan 

kesedihan sesama anggota, sebab  kita tidak tahu seberapa 

cepat hal yang sama dapat terjadi pada kita juga.  

2. Perbuatan tidak manusiawi bertentangan dengan kesalehan 

dan agama. Ia yang menahan belas kasihnya dari temannya 

melalaikan takut akan Yang Mahakuasa. Demikian bunyi ter-

jemahan Alkitab bahasa Aram. Bagaimanakah kasih Allah da-

pat tetap di dalam diri orang itu? (1Yoh. 3:17). Pastilah tidak 

ada rasa takut kepada tongkat Allah orang-orang yang tidak 

menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang membutuh-

kannya (Lih. Yak. 1:27.)  

3. Masalah yaitu  ujian terhadap persahabatan. saat  seseorang 

ditimpa malapetaka, dia akan melihat siapa yang benar-benar 

sahabatnya dan siapa yang hanya berpura-pura bersahabat 

saja. Sebab seorang sahabat ... menjadi seorang saudara dalam 

kesukaran (Ams. 17:17; 18:24). 

II. Ayub menunjukkan betapa hebatnya dia dikecewakan dalam peng-

harapannya terhadap mereka (ay. 15): “Saudara-saudaraku, yang 

seharusnya menolongku, tidak dapat dipercaya seperti sungai.” Me-

reka bersepakat untuk datang, dengan sangat banyak upacara, 

untuk berkabung bersamanya dan untuk menghibur dia (2:11). 

Dan ada hal-hal luar biasa diharapkan dari orang-orang yang se-

demikian bijaksana, terpelajar, dan berpengetahuan, yang yaitu  

sahabat-sahabat istimewa Ayub. Tidak ada yang mempertanyakan 

lagi selain bahwa tujuan dari percakapan mereka yaitu  untuk 

menghibur Ayub, dengan ingatan akan kesalehannya dahulu, 

jaminan akan perkenan Allah kepadanya, dan harapan akan da-

tangnya akhir yang mulia dari perkaranya itu. Akan namun , bu-

kannya ini yang terjadi, mereka sebaliknya menghujam Ayub de-

ngan sangat kejam dengan segala teguran dan celaan, mengutuk-

nya sebagai seorang munafik, menghina dia dengan malapetaka-

nya. Mereka menuangkan cuka, bukannya minyak, ke atas luka-

lukanya, dan dengan begitu menghadapinya dengan tipu daya. 

Perhatikanlah, kita berbuat curang dan menipu jika kita berbuat 

jahat dalam berhubungan dengan teman-teman kita, jika kita me-

ngecewakan pengharapan mereka terhadap kita, terutama peng-

harapan yang telah kita bangun dalam diri mereka. Perhatikanlah 

lebih lanjut, bijaklah kita kalau kita berhenti berharap pada ma-

nusia. Jangan terlalu berharap dari makhluk ciptaan atau terlalu 

banyak dari Sang Pencipta. Bukan hal baru lagi kalau saudara-

saudara kita juga beperkara dengan menipu (Yer. 9:4-5; Mi. 7:5). 

sebab  itu mari kita menaruh kepercayaan pada batu karang 

yang teguh, bukan pada buluh yang patah, pada sumber air kehi-

dupan, bukan pada kolam yang bocor. Allah akan melampaui ha-

rapan kita, berlawanan dengan manusia yang jauh dari meme-

nuhi harapan mereka. Kekecewaan yang dialami Ayub di sini di-

gambarkannya dengan sungai yang surut di musim kemarau.  

1. Kiasan yang dipakai Ayub sangat elok (ay. 15-20).  

(1) Kepura-puraan mereka cocok dibandingkan dengan per-

tunjukan besar yang dibuat sungai-sungai kecil, yang air-

nya meluap sebab  dipenuhi air dari banjir dari daratan, 

sebab  es dan salju yang mencair, yang membuat mereka 

kehitaman dan berlumpur (ay. 16).  

(2) Pengharapannya terhadap para sahabatnya itu, yang me-

lambung oleh kedatangan mereka dengan penuh khidmat 

untuk menghibur dia, dibandingkannya dengan pengha-

rapan para pelancong yang kelelahan dan haus mencari air 

di musim kering. Biasanya di musim dingin mereka melihat 

air yang berlimpah (ay. 19). Para pelancong itu yaitu  kafi-

lah dari Tema dan rombongan dari Syeba, iring-iringan para 

pedagang dari negeri-negeri tersebut, yang jalannya terletak 

di sepanjang padang gurun Arab. Mereka memandang dan 

menantikan pasokan air dari sungai-sungai kecil tersebut. 

“Sulit ada air di dekat sini,” kata yang satu, “Sedikit lebih 

jauh,” kata yang lain, “saat  terakhir kali aku melintasi 

jalan ini, ada cukup air. Kita akan menemukannya untuk 

menyegarkan diri.” Di mana kita pernah mendapatkan ke-

legaan atau penghiburan, kita cenderung berharap menda-

patkannya lagi. Namun ternyata tidak demikian halnya. 

Sebab,  

(3) Kekecewaan dari pengharapan Ayub dibandingkan di sini 

dengan kebingungan yang menimpa para pelancong ma-

lang itu, saat  mereka hanya mendapati timbunan pasir di 

mana mereka mengharapkan banjir air. Di musim dingin, 

saat  mereka tidak merasa haus, ada cukup air. Setiap 

orang akan memuji dan mengagumi sungai-sungai yang 

penuh air dan berlimpah. namun  di tengah kepanasan mu-

sim panas, saat  mereka membutuhkan air, sungai-sungai 

itu mengecewakan mereka. Air telah habis (ay. 17). Air 

mengalir ke padang tandur (ay. 18). saat  orang-orang 

yang kaya dan tinggi martabatnya tenggelam dan menjadi 

miskin, dan membutuhkan penghiburan, maka para saha-

bat yang sebelumnya berkumpul di sekeliling mereka seka-

rang berdiri jauh dari mereka, mereka yang sebelumnya 

memuji-muji sekarang maju untuk menjatuhkan mereka. 

Demikianlah orang-orang yang menaruh dalam-dalam peng-

harapan mereka kepada makhluk ciptaan akan mendapati-

nya mengecewakan saat  diharapkan bisa menolong mere-

ka. Sementara orang-orang yang menjadikan Allah keyakin-

an mereka, mendapat pertolongan pada waktu membutuh-

kannya (Ibr. 4:16). Orang-orang yang menjadikan emas se-

bagai pengharapan mereka, lambat atau cepat akan men-

jadi malu olehnya, dan malu dengan keyakinan mereka di 

dalamnya (Yeh. 7:19). Dan semakin besar keyakinan mere-

ka, semakin besar rasa malu yang diderita mereka: Mereka 

kecewa sebab  keyakinan mereka (ay. 20). Kita memper-

siapkan kekecewaan bagi diri sendiri dengan pengharapan 

kita yang sia-sia: buluh patah di bawah kita sebab kita 

bersandar kepadanya. Apabila kita membangun rumah di 

atas pasir, sudah barang tentu kita akan dikecewakan, 

sebab rumah itu akan roboh oleh angin badai, dan salah 

kita sendiri sebab  menjadi begitu bodoh untuk berharap 

rumah itu tetap berdiri. Kita tidak akan tertipu, kecuali 

kita menipu diri sendiri.  

2. Kiasan di atas sangatlah tepat dengan apa yang dialami Ayub 

(ay. 21): Demikianlah kamu sekarang bagiku, kamu tidak ada 

apa-apanya. Para sahabatnya itu tampak menjanjikan, namun  

dalam pertemuan itu mereka tidak menambahkan apa-apa 

pada dirinya. Bandingkan Galatia 2:6. Ayub tidak pernah men-

jadi lebih bijaksana, tidak pernah menjadi lebih baik, dengan 

kunjungan mereka kepadanya. Perhatikanlah, apa pun ke-

puasan yang kita dapatkan, atau apa pun keyakinan yang kita 

taruh, di dalam makhluk ciptaan, tak peduli sehebat dan se-

berharga apa pun ia bagi kita, suatu saat kita akan berkata 

tentang mereka, Demikianlah kamu sekarang bagiku (KJV: Eng-

kau sekarang bukanlah apa-apa). Pada waktu Ayub dalam ke-

makmuran, teman-temannya sangat berharga baginya, dia ter-

hibur oleh mereka dan dengan pertemanan mereka. namun , 

“Engkau sekarang bukanlah apa-apa, sekarang aku tidak men-

dapatkan penghiburan selain di dalam Allah.” Memang baik 

buat kita jika kita selalu yakin betul akan kesia-siaan ciptaan 

dan ketidakmampuannya untuk membuat kita bahagia, seper-

ti yang kadang-kadang kita alami, atau kita sadari saat kita 

berbaring di ranjang sebab  sakit, saat menghadapi kematian, 

atau di dalam masalah hati nurani: “Engkau sekarang bukan-

lah apa-apa. Engkau bukanlah apa-apa seperti sebelumnya, 

tidak seperti yang seharusnya, tidak seperti yang engkau aku-

aku, tidak seperti yang aku bayangkan. saat  melihat yang 

dahsyat, takutlah kamu (KJV: saat  melihat aku terhempas, 

engkau menjadi takut). saat  engkau melihat aku sedang jaya-

jayanya, engkau memperhatikan aku. namun  sekarang saat  

engkau melihat aku terpuruk, engkau malu akan aku, takut 

menunjukkan keramahanmu, jangan sampai aku meminta atau 

meminjam sesuatu dari kamu” (bdk. ay. 22). “Engkau takut, 

jika engkau mengakui aku, jangan sampai engkau merasa wa-

jib untuk menjaga aku.” Mungkin mereka takut menghadapi 

kegilaannya atau mendekati baunya yang memuakkan. Me-

mang tidaklah baik, sebab  kesombongan atau kebersihan, 

sebab  cinta akan dompet atau tubuh kita, lalu kita menjadi 

malu terhadap mereka yang berada dalam kesesakan dan ta-

kut untuk datang mendekati mereka. Masalah yang menimpa 

mereka bisa saja segera menimpa kita juga.  

Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas  

(6:22-30) 

22 Pernahkah aku berkata: Berilah aku sesuatu, atau: Berilah aku uang suap 

dari hartamu, 23 atau: Luputkan aku dari tangan musuh, atau: Tebuslah aku 

dari tangan orang lalim? 24 Ajarilah aku, maka aku akan diam; dan tunjuk-

kan kepadaku dalam hal apa aku tersesat. 25 Alangkah kokohnya kata-kata 

yang jujur! namun  apakah maksud celaan dari pihakmu itu? 26 Apakah kamu 

bermaksud mencela perkataan? Apakah perkataan orang yang putus asa 

dianggap angin? 27 Bahkan atas anak yatim kamu membuang undi, dan sa-

habatmu kamu perlakukan sebagai barang dagangan. 28 namun  sekarang, 

berpalinglah kepadaku; aku tidak akan berdusta di hadapanmu. 29 Berbalik-

lah, janganlah terjadi kecurangan, berbaliklah, aku pasti benar. 30 Apakah 

ada kecurangan pada lidahku? Apakah langit-langitku tidak dapat membeda-

bedakan bencana?” 

Ayub yang malang melanjutkan tegurannya kepada teman-temannya 

atas ketidakramahan mereka dan kata-kata keras yang mereka lontar-

kan kepadanya. Ia di sini menegaskan kepada mereka beberapa hal 

dengan maksud untuk membenarkan dirinya dan mencela mereka. 

Silakan mereka berat sebelah dalam menimbang dan berbicara seturut 

pikiran mereka, namun mereka tidak dapat tidak harus mengakui,  

I. Bahwa, kendati dia memerlukan mereka, namun dia tidak meng-

inginkan sampai memohon-mohon, atau membebani teman-teman-

nya. Orang-orang yang demikian, yang masalah membuat mereka 

mengemis, umumnya lebih kurang dikasihani daripada orang 

miskin yang diam. Ayub akan senang melihat teman-temannya, 

namun  dia tidak berkata, Berilah aku sesuatu (ay. 22), atau, Tebus-

lah aku (ay. 23). Ia tidak ingin membebani mereka dengan biaya 

apa pun, dan tidak juga memaksa teman-temannya,  

1. Untuk mengumpulkan sumbangan baginya, untuk menegak-

kannya kembali di dalam dunia. Kendati dia dapat yakin bah-

wa kehilangan yang menimpanya terjadi oleh tangan Allah dan 

bukan oleh kesalahan atau kebodohannya sendiri, bahwa dia 

hancur lebur dan dijadikan miskin, bahwa dia selama ini hidup 

dalam keadaan yang baik dan bahwa saat  dia masih mak-

mur, dia seorang dermawan dan siap membantu orang-orang 

yang berada dalam kesesakan, bahwa sekalipun teman-teman-

nya kaya dan sanggup menolongnya, namun dia tidak berkata, 

Berilah aku sesuatu. Perhatikanlah, seorang yang baik, saat  

tertimpa masalah, takut menjadi beban bagi teman-temannya. 

Atau, 

2. Untuk membangkitkan negeri baginya, untuk menolong dia 

mendapatkan kembali ternaknya dari tangan orang-orang Syeba 

dan Kasdim, atau mengadakan pembalasan ke atas mereka: 

“Apakah aku meminta kamu untuk melepaskan aku dari ta-

ngan yang Mahakuasa? Tidak, aku tidak pernah berharap eng-

kau membahayakan diri sendiri atau membebani kamu demi 

aku. Lebih baik aku duduk puas di bawah malapetakaku dan 

mengusahakan yang terbaik darinya, daripada meminta-minta 

kepada teman-temanku.” Rasul Paulus bekerja dengan tangan-

nya, supaya dia tidak menjadi beban bagi siapa pun. Bahwa 

Ayub tidak meminta pertolongan mereka tidaklah membebas-

kan mereka dari menawarkan bantuan saat  dia membutuh-

kannya, namun terserah kepada mereka mau membantu dia 

atau tidak. namun  sangat memperparah ketidakramahan mere-

ka, bahwa saat  dia tidak menginginkan apa-apa dari mereka 

selain suatu pandangan yang baik, suatu perkataan yang baik, 

namun tidak mendapatkannya. Sering terjadi bahwa dari ma-

nusia, bahkan saat  kita berharap sedikit, kita mendapat lebih 

sedikit, namun  dari Allah, bahkan saat  kita berharap banyak, 

kita mendapat lebih banyak lagi (Ef. 3:20). 

II. Bahwa, kendati dia berbeda pendapat dari mereka, dia tidaklah 

keras kepala, melainkan siap untuk diinsafkan, dan untuk berla-

buh kepada kebenaran segera saat  dibuktikan bahwa dia ber-

salah (ay. 24-25): “Janganlah mengecam dengan keras dan me-

nyindir tanpa belas kasihan. Jika kamu memberi aku petunjuk 

yang jelas dan alasan yang benar, dengan buktinya, maka aku 

siap untuk mengakui kesalahanku dan mengaku diri bersalah: 

Ajarilah aku, maka aku akan diam. Sebab aku sering mendapati, 

dengan senang dan kagum, alangkah kokohnya kata-kata yang 

jujur. namun  cara yang engkau pakai itu tidak akan pernah mem-

buat orang bertobat: Apakah maksud celaan dari pihakmu itu? 

Anggapanmu keliru, dugaanmu tidaklah berdasar, pernyataan dan 

alasanmu lemah, dan contoh yang engkau terapkan pada diriku 

mengesalkan dan tidak kenal belas kasihan.” Perhatikanlah,  

1. Pernyataan yang dihasilkan dengan pikiran yang baik punya 

kuasa yang memengaruhi orang, dan sungguh heran jika ma-

nusia tidak ditaklukkan olehnya. namun  bahasa yang menye-

rang dan bodoh tidak punya kuasa dan bodoh, dan tidak heran 

jika manusia dijengkelkan dan dikeraskan hatinya olehnya.  

2. Tidak diragukan lagi, sudah menjadi tabiat orang jujur untuk 

sungguh-sungguh ingin agar kesalahannya diperbaiki, dan di-

jadikan mengerti di mana dia telah berbuat salah. Dia akan 

mengakui perkataan yang benar, saat  perkataan itu tampak 

demikian baginya dan dapat diterima kebenarannya, kendati 

bertentangan dengan perasaannya sebelumnya.  

III. Bahwa, kendati dia memang telah bersalah, namun tidak seha-

rusnya berkata-kata kasar seperti itu kepadanya (ay. 26-27): 

“Apakah kamu bermaksud, atau merancang suatu rencana” (se-

bab demikianlah arti katanya), “untuk mencela perkataan, ung-

kapan-ungkapan kemarahanku dalam keputusasaan ini, seakan-

akan perkataanku itu merupakan pertanda yang pasti bahwa kau 

ini fasik dan kafir? Sedikit keterusterangan dan belas kasihan 

akan membantu memaafkan semua ungkapan itu, dan memaha-

minya dengan maksud yang lebih baik. Akankah keadaan rohani 

seseorang dinilai oleh perkataan yang tergesa-gesa, dengan meng-

gunaan masalah yang tiba-tiba muncul dari dalam dirinya? Apa-

kah adil, apakah baik, apakah benar, untuk mengkritik dalam 

masalah yang demikian? Maukah engkau sendiri diperlakukan 

demikian?” Dua hal yang memperparah perlakuan tidak baik me-

reka kepada Ayub:  

1. Bahwa mereka mengambil keuntungan dari kelemahannya 

dan keadaannya yang tidak berdaya: Anak yatim kamu mem-

buang undi, sebuah ungkapan kiasan, yang menyatakan suatu 

tindakan yang paling biadab dan tidak manusiawi. “Anak ya-

tim tidak dapat melindungi dirinya dari hinaan, sehingga 

membuat berani orang-orang yang berhati rendah dan tercela 

untuk menghina dan menginjak-injak mereka. Dan engkau 

melakukan demikian terhadap aku.” Ayub, dengan menjadi 

seorang ayah yang tidak beranak, menganggap diri sama ren-

tannya seperti seorang anak yatim (Mzm. 127:5) dan punya 

alasan untuk tersinggung dengan perbuatan orang yang meng-

injak-injak dirinya. Barang siapa menindas dan menguasai 

orang-orang yang terhitung sebagai yatim, kiranya ia sadar 

bahwa dengan berbuat demikian ia bukan saja telah menang-

galkan kasih sayang manusia, namun  juga berperang melawan 

kasih sayang Allah, yang yaitu , dan selalu akan menjadi 

seorang Bapa bagi yang yatim dan seorang penolong bagi yang 

tak berdaya.  

2. Bahwa mereka berpura-pura baik: “Engkau menggali sebuah 

lubang bagi temanmu (ay. 27, KJV). Tidak hanya engkau tidak 

ramah kepadaku, yang yaitu  temanmu, namun  juga, dengan 

dalih persahabatan, engkau menjerat aku.” saat  mereka da-

tang untuk berkunjung dan duduk bersamanya, dia berpikir 

dapat mengutarakan pikirannya dengan bebas kepada mereka, 

dan bahwa semakin pahit keluhannya kepada mereka, sema-

kin mereka berusaha untuk menghibur dia. Pikiran ini mem-

buat dia lebih merasa sangat bebas berbicara dengan mereka. 

Daud, kendati dia menaha