n perasaannya saat orang-orang
jahat berada di depannya, dengan terbuka bersedia mencurah-
kan hatinya kepada para sahabatnya (Mzm. 39:2). Akan namun ,
kebebasan untuk berbicara ini, sebab para sahabatnya meng-
aku bersimpati kepada dia, justru memberi kesempatan kepada
mereka untuk mencela Ayub, sehingga mereka dapat dikatakan
menggali lubang baginya. Demikianlah, saat hati memanas,
apa yang telah salah diperbuat terhadap kita, kita cenderung
membayangkannya sebagai dilakukan dengan sengaja.
IV. Bahwa, meskipun ia sempat mengeluarkan ungkapan-ungkapan
yang penuh kemarahan, namun pada intinya dia ada di jalan yang
benar, dan malapetakanya, kendati sangat hebat, tidaklah mem-
buktikan dirinya sebagai seorang munafik atau seorang yang ja-
hat. Ia memegang teguh kelurusan hatinya, dan tidak membiar-
kannya lenyap. Untuk membuktikannya, di sini dia membela diri,
1. Terhadap apa yang mereka lihat di dalam dirinya (ay. 28): “Te-
tapi sekarang, berpalinglah kepadaku. Apa yang kamu lihat di
dalam diriku yang memperlihatkan diriku sebagai seorang
yang gila atau seorang yang jahat? Bahkan, lihatlah mukaku,
dan engkau dapat mencerna tanda-tanda dari hati yang sabar
dan penuh ketundukan. Biarlah wajahku bersaksi bagiku bah-
wa, kendati aku telah mengutuki hari kelahiranku, aku tidak
mengutuki Allahku.” Atau lebih tepatnya, “Lihatlah bisul-bisul
dan semua borokku, supaya terbukti kepadamu bahwa aku
tidak berbohong,” yaitu, “bahwa aku tidak mengeluh tanpa se-
bab. Biarlah matamu sendiri meyakinkan engkau bahwa kon-
disiku sangat menyedihkan, dan bahwa aku tidaklah berban-
tah dengan Allah dengan melebih-lebihkan keadaannya lebih
buruk.”
2. Terhadap apa yang telah mereka dengar dari dia (ay. 30). “De-
ngarlah apa yang harus aku katakan: Apakah ada kecurangan
pada lidahku? Kesalahan yang telah kautuduhkan kepadaku?
Apakah aku telah menghujat Allah atau menolak Dia? Tidak-
kah alasanku berdebat sekarang benar? Tidakkah engkau me-
nangkap, dari apa yang kukatakan, bahwa aku dapat mem-
bedakan hal-hal yang menyimpang? Aku dapat menemukan
kepalsuan dan kesalahanmu, dan, jika diriku sendiri bersalah,
aku dapat melihatnya. Tak peduli apa pun yang kaupikirkan
tentang aku, aku tahu apa yang kukatakan.”
3. Terhadap pikiran mereka yang kedua dan hambar (ay. 29):
“Berbaliklah, pertimbangkan lagi tanpa prasangka dan sepi-
hak, dan jangan menarik kesimpulan yang tidak adil, jangan-
lah mengeluarkan penilaian yang tidak benar. Dan engkau
akan mendapati aku pasti benar,” yaitu, “Aku benar di dalam
perkara ini. Meskipun aku tidak dapat menahan amarahku
sebagaimana seharusnya, aku tetap menjaga kelurusan hati-
ku, dan tidak mengatakan atau melakukan atau membiarkan,
sesuatu yang akan membuktikan aku bukan seorang yang
jujur.” Perkara yang benar tidak menginginkan apa-apa selain
peradilan yang adil, dan bila perlu peradilan ulang.
PASAL 7
alam pasal ini, Ayub melanjutkan perasaan pahitnya akan ma-
lapetaka yang menimpa dia dan membenarkan diri atas keingin-
annya untuk mati.
I. Dia mengaduh kepada diri sendiri dan kawan-kawannya ten-
tang penderitaan dan pergumulan yang terus menderanya (ay.
1-6).
II. Dia berpaling kepada Allah dan berbantah dengan-Nya (ay. 7-
21). Dalam perbantahan itu,
1. Ayub meminta datangnya saat terakhir dalam hidup ini,
yaitu kematian (ay. 7-10).
2. Dengan berapi-api, ia mengeluhkan keadaan sengsara
yang sedang dideritanya (ay. 11-16).
3. Ia bertanya-tanya mengapa Allah melawan dia sedemikian
rupa. Ayub juga memohon ampun atas dosa-dosanya dan
meminta kelepasan segera dari kesengsaraan itu (ay. 17-21).
Sulit untuk mengatur semua pembicaraan seseorang yang mengaku
dirinya nyaris putus asa (6:26).
Keluhan Ayub
(7:1-6)
1 “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti
hari-hari orang upahan? 2 Seperti kepada seorang budak yang merindukan
naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya,
3 demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan
kepadaku malam-malam penuh kesusahan. 4 Bila aku pergi tidur, maka pi-
kirku: Bilakah aku akan bangun? namun malam merentang panjang, dan aku
dicekam oleh gelisah sampai dinihari. 5 Berenga dan abu menutupi tubuhku,
kulitku menjadi keras, lalu pecah. 6 Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada
torak, dan berakhir tanpa harapan.
Dalam ayat-ayat di atas, Ayub mencari alasan atas apa yang tidak
bisa dibenarkannya, termasuk keinginannya yang tidak terkendali
untuk mati. Mengapa ia mengharapkan berakhirnya kehidupan, yang
berarti berakhir pula penderitaan? Untuk menguatkan alasannya,
Ayub mengemukakan pertimbangan berikut:
I. Berdasarkan keadaan manusia di muka bumi secara umum (ay.
1): “Mereka singkat umurnya dan penuh kegelisahan (14:1). Setiap
orang pasti mati, dan setiap orang punya alasan (entah banyak
atau sedikit) untuk mengharapkan kematian. Jadi, mengapa eng-
kau menuduh aku seperti seorang penjahat yang begitu jahat bila
aku ingin cepat mati?” Atau seperti ini, “Jangan salahkan keingin-
anku untuk mati, seolah aku menganggap waktu yang sudah di-
tentukan Allah dapat diduga. Tidak, aku tahu betul bahwa waktu-
Nya itu sudah tetap. Namun, hanya dengan perkataan inilah aku
bisa bebas mengungkapkan kegelisahanku: Bukankah manusia
harus bergumul di bumi (KJV: Bukankah ada waktu [kata aslinya
“peperangan”] yang ditetapkan bagi manusia di bumi?) dan hari-
harinya seperti hari-hari orang upahan?” Berdasarkan ayat tersebut,
perhatikan,
1. Tempat manusia saat ini. Mereka berada di bumi, yang telah
diberikan-Nya kepada anak-anak manusia (Mzm. 115:16). Hal
ini menyiratkan bahwa manusia itu hina dan lebih rendah de-
rajatnya. Mereka ditempatkan jauh di bawah penghuni sorga
yang tinggi, tempat yang mulia! Selain itu, tersirat pula belas
kasihan Allah kepada manusia. Mereka masih di tempatkan di
atas bumi, bukan di bawahnya. Di atas bumi, bukan di dalam
neraka. Waktu kita di bumi ini singkat dan terbatas, sesuai
dengan batas-batas bumi yang sempit. Akan namun , sorga tidak
bisa diukur, hari-hari di sana pun tidak terhitung.
2. Kelangsungan hidup manusia di bumi. Bukankah telah dite-
tapkan waktu bagi masa hidupnya di sana? Ya, tentu, dan su-
dah jelas siapa yang menentukannya, yakni Dia yang menjadi-
kan kita dan menempatkan kita di sini. Kita tidak akan berada
di bumi selamanya, tidak pula untuk waktu yang lama, me-
lainkan hanya sesaat saja, yang ditetapkan oleh Dia yang di
dalam tangannya terletak masa dan waktu. Janganlah kita
beranggapan bahwa hidup kita dikendalikan oleh keberun-
tungan nasib seperti ajaran Epikuros, melainkan oleh pertim-
bangan Allah yang bijaksana, kudus, dan berdaulat.
3. Keadaan manusia selama keberlangsungan hidupnya. Hidup
manusia ibarat peperangan atau pergumulan, dan seperti hari-
hari orang upahan. Setiap orang di dunia ini harus meman-
dang dirinya sebagai,
(1) Seorang prajurit, terpapar kepada kesukaran dan berada di
antara musuh. Kita harus melayani dan tunduk pada perin-
tah. saat peperangan telah usai, kita pun dibubarkan, di-
berhentikan entah dengan aib atau dengan hormat, tergan-
tung pada apa yang telah kita kerjakan dalam tubuh ini.
(2) Sebagai pekerja upahan dengan tugas harian yang harus
diselesaikan selagi hari terang, dan akan mengadakan per-
hitungan upah saat malam tiba.
II. Berdasarkan keadaan Ayub sendiri pada saat itu. Menurut Ayub,
dirinya memiliki cukup alasan untuk mengharapkan kematian,
sama seperti budak atau pekerja upahan yang miskin sudah pe-
nat dengan pekerjaannya dan mengharapkan datangnya bayang-
bayang petang supaya ia bisa menerima bayarannya dan pergi
beristirahat (ay. 2). Kegelapan malam dinantikan oleh para pe-
kerja upahan seperti cahaya fajar dinantikan oleh para pengawal
(Mzm. 130:6). Allah yang berkuasa atas alam semesta sudah me-
nyediakan peristirahatan bagi para pekerja, maka tidak heran bila
mereka mendambakannya. Enak tidurnya orang yang bekerja
(Pkh. 5:11). Tiada kenikmatan yang lebih memuaskan, lebih mele-
gakan daripada kemewahan, selain nikmatnya istirahat bagi
orang-orang yang lelah. Orang kaya pun tidak dapat merasakan
kepuasan dari hari kerja sebesar kepuasan pekerja harian menda-
patkan upahnya. Perbandingan ini sederhana, penerapannya
singkat dan tidak terlalu jelas. Namun, tambahkan satu atau dua
kata, maka jelaslah: ketepatan bahasa tidak bisa diharapkan dari
seseorang yang sedang mengalami keadaan seperti Ayub. “Seperti
kepada seorang budak yang merindukan naungan, demikianlah
aku sungguh merindukan ajal, sebab demikianlah dibagikan kepa-
daku bulan-bulan yang sia-sia.” Simaklah keluh kesah Ayub.
1. Hari-harinya tidak berguna dan telah berlangsung seperti itu
begitu lama. Ia sepenuhnya direnggut dari pekerjaan dan tidak
bisa melakukan apa-apa. Setiap hari merupakan beban bagi-
nya, sebab dia tidak mampu berbuat sesuatu yang baik atau
memakai waktu untuk hal yang bermanfaat. Et vitæ par-
tem non attigit ullam – Ia tidak dapat mengisi waktunya dengan
sesuatu yang patut diperhitungkan. Itulah yang disebutnya
bulan-bulan yang sia-sia (ay. 3). Bagi orang yang baik, rasa
tidak berguna menambah beratnya rasa sakit dan penuaan.
Ayub lebih mempersoalkan hari-hari di mana ia tidak melaku-
kan kebaikan apa pun daripada hari-hari di mana ia tidak me-
nikmati kenyamanan, sebab dari situlah timbul bulan-bulan
yang sia-sia. Namun, saat kita tidak mampu bekerja bagi
Allah, namun mau tinggal diam dengan tenang menantikan Dia,
itu pun cukuplah, kita pasti akan diterima oleh Allah.
2. Malam-malamnya menggelisahkan (ay. 3-4). Malam hari dapat
melegakan kepenatan dan kelelahan yang dirasakan di siang
hari, bukan hanya bagi para pekerja, namun juga bagi orang
yang menderita. Bila orang sakit bisa menikmati sedikit saja
tidur pada malam hari, hal itu akan menolongnya, dan ada ha-
rapan ia akan sembuh (Yoh. 11:12). Apa pun masalah yang
kita hadapi, tidur bisa memberi istirahat dari rasa cemas, sa-
kit, dan dukacita yang menimpa kita. Tidur ialah obat penawar
segala duka kita. Akan namun , Ayub yang malang tidak bisa
merasakan kelegaan dari tidur itu.
(1) Malam-malamnya penuh kesusahan, dan alih-alih beristi-
rahat, ia justru semakin lelah dengan membalik badan kian
kemari hingga pagi tiba. Orang yang sedang dilanda kegeli-
sahan besar sebab penyakit jasmani ataupun kecemasan
pikiran berharap bisa mendapat sedikit kenyamanan de-
ngan mengubah posisi, mengubah tempat, atau mengubah
sikap badan. Akan namun , sebab sumber masalahnya tetap
sama di dalam batin, semua perubahan itu tidaklah ber-
guna. Sama seperti jiwa yang resah dan tidak berpuas diri
senantiasa berubah-ubah, namun tidak pernah tenteram.
Perasaan itu membuat ketakutan Ayub saat menghadapi
malam hari sama kuatnya seperti pekerja upahan menanti-
kan petang, dan ia pun resah menunggu waktu berbaring,
sebab saat itu ia akan berkata, “Bilakah aku akan bangun?”
(KJV: Bilakah malam akan berakhir?)
(2) Malam-malam penuh kesusahan itu ditentukan kepadanya.
Allah yang menetapkan waktu telah menjatahkan malam-
malam seperti itu kepada Ayub. Setiap kali kita merasa
sedih, alangkah baiknya bila kita memandang hari-hari itu
sebagai ketetapan Allah, supaya hati kita ikhlas selama
menjalaninya, bukan hanya sebab hari kesedihan itu tak
terhindarkan oleh sebab telah ditetapkan, namun juga kare-
na masa kesukaran itu dirancang untuk akhir yang baik.
Tatkala kita menikmati malam-malam yang nyaman, kita
pun harus memandangnya sebagai ketetapan Allah dan
bersyukur sebab nya. Banyak yang lebih baik daripada
malam-malam penuh kesusahan yang kita nikmati.
3. Tubuh Ayub menjijikkan (ay. 5). Borok-boroknya menghasilkan
belatung, korengnya seperti gumpalan debu, dan kulitnya
pecah-pecah. Sungguh mengerikan penyakit yang melekat pada
Ayub. Lihatlah betapa lemahnya tubuh yang kita miliki, maka
tidak ada alasan bagi kita untuk memanjakan atau membang-
gakannya. Di dalam tubuh ini melekat benih-benih kerusakan.
Sekalipun kita sangat menyukai tubuh ini sekarang, akan tiba
waktunya kita muak kepadanya dan rindu meninggalkannya.
4. Kehidupannya berlalu cepat menuju akhir (ay. 6). Ayub mera-
sa tidak ada alasan untuk mengharapkan umur panjang, se-
bab ia mendapati dirinya merosot dengan cepat (ay. 6). “Hari-
hariku berlalu lebih cepat daripada torak,” artinya, “Waktuku
sekarang singkat saja, hanya tinggal beberapa butir pasir yang
tersisa dalam jam pasirku, dan butiran itu akan habis dalam
sekejap.” Gerakan alam berputar lebih cepat di dekat poros-
nya. Ayub merasa hidupnya berlalu dengan cepat, sebab pikir-
nya ia sudah dekat pada akhir perjalanannya. Ia pikir hidup-
nya itu lebih baik segera dihabisi saja, sehingga ia tidak meng-
harapkan akan pulih kembali kepada kemakmurannya yang
semula. Perasaan ini dialami dalam kehidupan manusia se-
cara umum. Hari-hari kita bagaikan alat pemintal tukang te-
nun (atau torak), bergerak dari sisi ke sisi dalam satu kedipan
mata, lalu kembali lagi, begitu seterusnya, hingga akhirnya ia
penuh oleh benang yang dipintalnya, lalu hidup kita pun dipu-
tus seperti tukang tenun menggulung tenunannya (Yes. 38:12).
Waktu bergerak dengan cepat, putarannya tidak dapat dihenti-
kan, dan saat sudah berlalu, ia tidak dapat diulang lagi. Se-
lagi masih hidup, kita terus merajut sama halnya seperti me-
nabur (Gal. 6:8). Setiap hari yang telah berlalu ibarat alat
tenun meninggalkan sehelai benang di belakangnya. Banyak
orang merajut sarang laba-laba yang kelak mengecewakan
mereka (8:14). Jika kita menenun bagi kita pakaian kudus dan
jubah kebenaran, kita akan menerima berkatnya saat perbuat-
an kita nanti diuji. Setiap manusia akan menuai apa yang di-
taburnya dan mengenakan apa yang dirajutnya.
Keluhan Ayub kepada Allah
(7:7-16)
7 Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas; mataku tidak akan lagi
melihat yang baik. 8 Orang yang memandang aku, tidak akan melihat aku
lagi, sementara Engkau memandang aku, aku tidak ada lagi. 9 Sebagaimana
awan lenyap dan melayang hilang, demikian juga orang yang turun ke dalam
dunia orang mati tidak akan muncul kembali. 10 Ia tidak lagi kembali ke
rumahnya, dan tidak dikenal lagi oleh tempat tinggalnya. 11 Oleh sebab itu
aku pun tidak akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan
jiwaku, mengeluh dalam kepedihan hatiku. 12 Apakah aku ini laut atau naga,
sehingga Engkau menempatkan penjaga terhadap aku? 13 Apabila aku ber-
pikir: Tempat tidurku akan memberi aku penghiburan, dan tempat pem-
baringanku akan meringankan keluh kesahku, 14 maka Engkau mengagetkan
aku dengan impian dan mengejutkan aku dengan khayal, 15 sehingga aku le-
bih suka dicekik dan mati dari pada menanggung kesusahanku. 16 Aku jemu,
aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya. Biarkanlah aku, sebab hari-
hariku hanya seperti hembusan nafas saja.
Walaupun sahabat-sahabat Ayub tidak menyela tutur katanya, seper-
tinya Ayub melihat bahwa mereka mulai lelah dan tidak terlalu meng-
indahkan dia. Jadi, dalam ayat-ayat di atas, ia pun beralih kepada
Allah dan berbicara kepada-Nya. Sekalipun manusia tidak mende-
ngarkan kita, Allah pasti mendengar. Sekalipun manusia tidak dapat
menolong kita, Dia sanggup. Sebab, tangan-Nya tidak kurang pan-
jang dan telinga-Nya tidak berat mendengar. Meski demikian, jangan-
lah kita belajar dari perkataan Ayub ini bagaimana berbicara kepada
Allah, sebab harus diakui bahwa ucapan Ayub ini merupakan cam-
puran kemarahan dan kecemaran. Namun demikian, jika Allah tidak
membuat perhitungan kejam atas ucapan umat-Nya yang salah,
maka marilah kita memanfaatkan yang terbaik dari ucapan Ayub ini.
Di sini, Ayub meminta Allah untuk menyembuhkan dia atau meng-
akhiri hidupnya saja. Ia menggambarkan dirinya di hadapan Allah
sebagai,
I. Orang sekarat yang pasti mati dengan segera. yaitu baik bagi
kita untuk memikirkan dan membicarakan kematian saat sakit,
sebab penyakit diberikan dengan tujuan agar kita mengingat
kematian. Bila kita memikirkan kematian itu dengan sepatutnya,
maka dalam iman kita pun akan mengingat Allah akan kematian
itu, seperti yang Ayub lakukan dalam ayat 7 ini, Ingatlah, bahwa
hidupku hanya hembusan nafas. Dengan pemikiran tersebut,
Ayub menghadapkan diri kepada Allah sebagai orang yang patut
mendapat belas kasihan dan kemurahan-Nya. Bahwa ia hanyalah
makhluk ciptaan yang rapuh, masa hidupnya di dunia ini singkat
dan tidak pasti, kepergiannya cepat dan pasti, dan kembalinya ke
dunia yaitu mustahil dan jangan pernah diharapkan. Hidupnya
hanya embusan napas, sama seperti kehidupan semua manusia,
ribut dan hiruk pikuk mungkin. Sama seperti angin, namun sia-sia
dan kosong, berlalu dengan cepat, dan setelah pergi tidak bisa
dipanggil kembali. Allah berbelas kasihan kepada Israel, sebab Ia
ingat bahwa mereka hanya angin yang berlalu, yang tidak akan
kembali (Mzm. 78:38-39). Amatilah,
1. Ayub yang mawas diri merenungkan kehidupan dan kematian-
nya. Kebenaran yang nyata-nyata jelas mengenai singkatnya
hidup serta kesia-siannya, juga kematian yang tidak dapat di-
hindari dan mustahil dibatalkan, akan mendatangkan kebaik-
an apabila kita memikirkan serta mempercakapkannya. Oleh
sebab itu, baiklah kita pertimbangkan bahwa,
(1) Kita pasti segera meninggalkan segala sesuatu yang terlihat
dan yang bersifat sementara. Mata badani kita pasti tertu-
tup dan tidak akan lagi melihat yang baik, kebaikan yang
didambakan oleh sebagian besar manusia, sebab seruan
mereka ialah, Siapa yang akan memperlihatkan yang baik
kepada kita? (Mzm. 4:7). Jika kita sedemikian bodoh hing-
ga meletakkan kebahagiaan kita pada hal-hal baik yang la-
hiriah, apa jadinya saat semua itu tersembunyi dari mata
kita untuk selama-lamanya, sehingga kita tidak pernah lagi
melihat yang baik? Oleh sebab itu, hendaklah kita hidup
oleh iman, yang yaitu dasar dan bukti dari segala sesuatu
yang tidak kelihatan (Ibr. 11:1).
(2) Kita pasti berpindah ke dunia yang tidak kelihatan: “Orang
yang memandang aku, tidak akan melihat aku lagi.” Itulah
hades – alam yang tidak terlihat (ay. 8). Kematian memin-
dahkan sahabat dan orang-orang terkasih kita ke dalam ke-
gelapan (Mzm. 88:19) dan segera menyingkirkan kita sendiri
dari pandangan mereka sewaktu kita pergi dan tidak ada lagi
(Mzm. 39:14), yaitu pergi kepada yang tidak kelihatan, yang
abadi.
(3) Allah bisa mengakhiri hidup kita dengan mudah dalam se-
kejap dan mengirim kita ke dunia lain (ay. 8), “Engkau me-
mandang aku, aku tidak ada lagi, Engkau dapat meman-
dangi aku di dalam kekekalan, memurkaiku sampai masuk
kubur, kapan saja Engkau mau.”
Bila Engkau tidak berkenan, dan Kau memandangku
dengan raut tidak senang,
Aku pun tenggelam, aku mati, secepat sambaran kilat.
– Sir R. Blackmore
Allah mengambil napas kita, maka kita pun mati, bah-
kan, hanya dengan memandang bumi saja, bumi pun ber-
gentar (Mzm. 104:32).
(4) Begitu dipindahkan ke dunia lain, kita tidak akan pernah
kembali ke dunia ini. Selalu ada perpindahan dari dunia ini
ke dunia lain, namun vestigia nulla retrorsum – tidak ada
jalan kembali. “Oleh sebab itu, ya Tuhan, mohon legakan
aku dengan kematian, sebab itulah kelegaan abadi. Aku
tidak akan lagi kembali kepada segala kesengsaraan hidup
ini.” Sewaktu mati, kita pun tiada, tidak akan kembali lagi,
[1] Dari kediaman kita di dalam tanah (ay. 9): “Orang yang
turun ke dalam dunia orang mati tidak akan muncul
kembali hingga tiba hari kebangkitan, ia tidak akan
muncul lagi ke tempatnya di dunia ini. Mati yaitu pe-
kerjaan yang dilakukan hanya satu kali, dan sebab itu
mati itu harus dikerjakan dengan baik, sebab kesalahan
yang ada tidak dapat diperbaiki lagi. Ibaratnya seperti
awan yang terurai lenyap, ia menghilang, terhambur ke
udara dan tidak akan pernah menyatu lagi. Kumpulan
awan lain timbul, namun awan yang sama tidak pernah
kembali. Demikian pula generasi manusia yang lain
muncul, namun generasi sebelumnya telah hilang lenyap.
Sewaktu kita melihat awan yang sangat besar, seakan
mau menutupi matahari dan menangkap bumi, tiba-tiba
tercerai berai dan lenyap, maka hendaklah kita berkata,
“Demikianlah kehidupan manusia, seperti uap yang se-
bentar saja kelihatan lalu lenyap.”
[2] Kepada kediaman kita di atas tanah (ay. 10): Ia tidak
lagi kembali ke rumahnya, kepada harta milik dan ke-
nikmatannya, kepada pekerjaan dan kesenangannya.
Orang lain akan menguasai miliknya hingga mereka
pun menyerahkannya kepada generasi selanjutnya. Da-
lam perumpamaan Lazarus dan orang kaya, si kaya di
neraka meminta supaya Lazarus diutus ke rumahnya
sebab ia tahu bahwa dirinya sendiri tidak mungkin di-
izinkan pergi. Orang-orang beriman yang dimuliakan
tidak akan kembali lagi kepada segala kekhawatiran,
beban, dan penderitaan di rumahnya. Demikian juga
orang-orang berdosa yang terkutuk pun tidak akan
kembali kepada kesenangan dan kenikmatan rumah
mereka. Tempat kediaman mereka tidak lagi mengenal
mereka, menerima mereka, mengakui mereka, dan tidak
lagi berada di bawah pengaruh mereka. sebab itu kita
harus peduli untuk menjaminkan bagi kita sebuah ke-
diaman yang lebih baik saat kita mati, sebab kediam-
an yang sekarang ini tidak akan lagi menerima kita.
2. Ayub menarik kesimpulan yang penuh amarah setelah mere-
nungkan hidup dan mati itu. Setelah meninjau alasan-alasan
di atas, seharusnya ia mencapai kesimpulan yang lebih baik
daripada perkataannya di ayat 11, Oleh sebab itu akupun tidak
akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan
jiwaku, mengeluh dalam kepedihan hatiku. Raja Daud, setelah
ia merenungkan kehampaan hidup manusia, justru menarik
kesimpulan yang bertolak belakang (Mzm. 39:10, Aku kelu,
tidak kubuka mulutku). Namun Ayub sebaliknya, tatkala men-
dapati ajalnya sudah dekat, ia malah bersegera mengeluh se-
olah mengucapkan pesan terakhir dan menyampaikan wasiat,
atau seakan ia tidak bisa mati dengan tenang sebelum menya-
lurkan kekesalannya. saat sisa embusan napas kita tinggal
sedikit, sebaiknya kita menghabiskannya dalam doa dan iman
yang kudus mulia, bukan dengan embusan napas penuh dosa
dan kebobrokan yang berisik dan merugikan. Lebih baik mati
dalam keadaan berdoa dan memuji Allah daripada mati dalam
keluh kesah dan pertengkaran.
II. Orang sakit parah yang kepayahan, terganggu tubuh dan pikiran-
nya. Dalam ujarannya kali ini, Ayub sangat kesal, seakan-akan
Allah berlaku keras terhadap dia dan menimpakan beban lebih
daripada yang perlu. “Apakah aku ini laut atau naga (ay. 12), laut
yang mengamuk hingga harus dibendung untuk membatasi
ombak-ombaknya yang angkuh, atau naga liar yang harus dike-
kang agar tidak melahap seluruh ikan di laut? Begitu kuatkah
aku sehingga diperlukan tindakan sedahsyat ini untuk menahan-
ku? Begitu ganaskah aku sehingga diperlukan siksaan sehebat ini
untuk menjinakkanku dan menahanku dalam batasan?” Di te-
ngah penderitaan, kita cenderung menggerutu tentang Allah dan
penyelenggaraan-Nya, seolah Dia mengekang kita melebihi yang
diperlukan, padahal kita mengalami tekanan hanya saat hal itu
dibutuhkan.
1. Ayub mengeluh tidak bisa beristirahat di tempat tidurnya (ay.
13-14). Di tempat tidurlah kita menjanjikan istirahat bagi diri
sendiri setelah kita kelelahan sebab pekerjaan, rasa sakit,
atau perjalanan, “Tempat tidurku akan memberi aku penghibur-
an, dan tempat pembaringanku akan meringankan keluh kesah-
ku. Tidur akan melegakanku beberapa saat lamanya.” Biasa-
nya begitu. Tidur diberikan untuk tujuan tersebut. Sering kali
tidur memang meringankan beban sehingga kita bangun de-
ngan segar kembali, memiliki semangat baru. saat tidur
memberi manfaat, kita patut bersyukur. Namun, tidak demi-
kian halnya dengan Ayub yang malang ini, tempat tidurnya
menggentarkan dia, bukan menghiburnya, dan tempat pemba-
ringannya menambah keluh kesahnya, bukan meredakannya.
Sebab bila ia tertidur, ia tertanggu dengan mimpi-mimpi bu-
ruk, dan saat ia bangun, bayang-bayang kengerian masih
menghantuinya. sebab itulah malam hari begitu menakutkan
dan membebani Ayub (ay. 4), Bilakah aku akan bangun? Ingat-
lah, kapan pun Allah mau, Dia bisa mendatangkan kengerian
bahkan di tempat yang biasanya mendatangkan kelegaan dan
peristirahatan. Dia bahkan sanggup membuat kita merasa
ngeri terhadap diri sendiri, dan seperti kita kerap melawan
rasa bersalah dengan angan-angan kesenangan, Dia pun bisa
menciptakan dukacita besar dalam diri kita dengan memakai
kekuatan angan-angan kita sendiri, sehingga menjadikan dosa
kita sebagai hukuman kita sendiri. Sebagian dari mimpi-mimpi
Ayub bisa jadi disebabkan oleh penyakitnya (saat menderita
demam atau cacar, biasanya orang tidak dapat tidur nyenyak
sebab merasa gelisah), namun mungkin juga Iblis berperan
dalam mimpi itu, sebab dia suka menakut-nakuti orang yang
berada di luar jangkauannya, untuk membinasakannya. Na-
mun, Ayub menuduh Allah, yang mengizinkan Iblis untuk me-
lakukannya (Engkau mengagetkan aku). Ia keliru memahami
pekerjaan Iblis, sehingga memandang pekerjaan Iblis sebagai
kedahsyatan Allah yang seperti pasukan melawan dirinya (6:4).
Kita punya alasan untuk berdoa kepada Allah agar mimpi-
mimpi kita tidak menajiskan atau menggelisahkan kita, untuk
tidak mencobai kita sampai berbuat dosa atau pun menyiksa
kita dengan rasa takut. Kita perlu berdoa agar Dia, sang pen-
jaga Israel yang tidak pernah terlelap dan tidak pernah tidur,
menjaga kita sewaktu kita tidur, supaya Iblis tidak mencelakai
kita, sebagai ular yang menyelinap ataupun singa yang meng-
aum. Kita perlu berdoa agar Allah memampukan kita memuji
Allah selagi berbaring, dan supaya tidur kita terasa manis dan
kita pun tidak ketakutan.
2. Ayub mendambakan istirahat di dalam kubur, tempat pem-
baringan di mana ia tidak perlu lagi berguling kian kemari dan
tidak ada lagi mimpi buruk (ay. 15-16).
(1) Ayub sudah muak dengan kehidupan, bahkan memikir-
kannya saja ia benci, “Aku jemu, aku sudah bosan hidup.
Aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya, bukan hanya
hidup selamanya dalam penderitaan dan sengsara seperti
ini, namun juga dalam keadaan yang paling nyaman dan
sejahtera sekalipun, supaya tidak ada lagi bahaya yang
terus-menerus mengintai. Sebaik apa pun itu hari-hariku
hanya seperti hembusan nafas saja, kesia-siaan belaka,
tiada kenyamanan yang teguh, rentan terhadap dukacita
yang nyata, dan aku tidak mau terikat pada ketidakpastian
seperti ini selamanya.” Ingatlah, orang yang baik tidak mau
hidup di dunia ini selamanya, (seandainya orang bisa hi-
dup selamanya. Tidak, ia tidak akan mau, sekalipun dunia
tersenyum kepadanya, sebab dunia ini penuh dosa dan
pencobaan, dan ia sendiri punya dunia lain yang lebih baik
sedang menunggu dia.
(2) Ayub mendambakan kematian, dam memikirkannya pun ia
senang. “Aku lebih suka dicekik dan mati, kematian lebih
baik daripada hidup seperti ini.” Ayub merasa pemikiran
itu lahir dari pertimbangan, padahal sesungguhnya hanya
letupan kekesalan. Perkataan itu pasti timbul dari kele-
mahan Ayub, sebab meskipun orang saleh memang tidak
ingin tinggal di dunia ini selamanya, dan lebih suka mati
dicekik daripada berdosa, seperti para martir, namun ia
akan menikmati hidup selama kehidupan itu menyukakan
Allah. Ia lebih memilih kematian daripada kehidupan, kare-
na kehidupan yaitu kesempatan untuk memuliakan Allah
dan mempersiapkan diri ke sorga.
Keluhan Ayub kepada Allah
(7:17-21)
17 Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kauper-
hatikan, 18 dan Kaudatangi setiap pagi, dan Kauuji setiap saat? 19 Bilakah Eng-
kau mengalihkan pandangan-Mu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga
aku sempat menelan ludahku? 20 Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah
kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia? Mengapa Engkau men-
jadikan aku sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku? 21 Dan
mengapa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku, dan tidak mengha-
puskan kesalahanku? sebab sekarang aku terbaring dalam debu, lalu Eng-
kau akan mencari aku, namun aku tidak akan ada lagi.”
Dalam ayat-ayat di atas, Ayub berbantah dengan Allah,
I. Mengenai cara-Nya memperlakukan manusia secara umum (ay. 17-
18), Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung?
Perkataan ini dapat ditafsirkan sebagai,
1. Kekesalan terhadap cara kerja keadilan ilahi, seakan-akan
Allah yang agung merendahkan dan mengecilkan diri-Nya sen-
diri dengan berbantah dengan manusia. “Orang-orang besar
berpikir bahwa tidak pantas bagi mereka untuk mengurusi
orang-orang yang jauh lebih rendah kedudukannya dari mereka,
untuk menegur dan menghajar mereka sebab kebodohan atau
ketidakpantasan merek. sebab itu, mengapa Allah mening-
gikan manusia dengan cara mendatanginya, mengujinya, dan
memperhatikannya begitu rupa? Mengapa Dia mencurahkan
segenap kekuatan-Nya terhadap seorang manusia yang bukan
merupakan lawan sepadan bagi-Nya? Mengapa Dia menda-
tangi manusia dengan membawakan segala penderitaan, yang
ibarat demam setiap hari, senantiasa datang dengan tetap
seperti fajar di pagi hari, dan setiap saat menguji kekuatan ma-
nusia itu?” Kita salah paham terhadap Allah dan hakikat pe-
nyelenggaraan-Nya bila kita beranggapan bahwa terlalu remeh
bagi Dia untuk memperhatikan ciptaan-Nya yang paling hina
sekalipun.
2. Atau, sebagai kekaguman yang penuh iman terhadap peme-
liharaan anugerah ilahi seperti dalam Mazmur 8:5; 144:3.
Ayub mengakui perkenanan Allah terhadap manusia secara
umum, sekalipun ia tengah berkeluh kesah sebab persoalan
pribadinya. “Apakah gerangan manusia, manusia yang mera-
na, makhluk ciptaan yang miskin, hina, dan lemah, sehingga
Engkau, Allah yang agung dan mulia, memperlakukan dia
seperti demikian? Apakah gerangan manusia,”
(1) “Sehingga Kau hormati dia sedemikian rupa, sehingga dia
Kauanggap agung, dengan mengikat dia dalam kovenan
dan persekutuan dengan Engkau sendiri?”
(2) “Sehingga Engkau begitu memikirkan dia, Kauperhatikan
sebagai kesayangan-Mu, dan Kauberi kebaikan?”
(3) “Sehingga Kaudatangi setiap pagi dengan kasih sayang,
seperti kami mengunjungi seorang teman setiap hari, atau
seperti dokter mengunjungi pasiennya setiap pagi untuk
menolong dia?”
(4) “Sehingga Kauuji setiap saat, Engkau memeriksa denyut na-
dinya dan mengamati keadaannya seakan mengkhawatirkan
dia dan cemburu terhadapnya? Bahwa manusia, yang hanya
seperti cacing di bumi, menjadi kesayangan dan kesukaan
sorga, patut kita merasa takjub selama-lamanya.
II. Mengenai cara-Nya memperlakukan Ayub secara khusus. Perhati-
kanlah,
1. Keluhan Ayub akan penderitaan yang kini dibesar-besarkan-
nya, dan (seperti yang cenderung kita perbuat) dibuatnya men-
jadi sangat buruk, dalam tiga ungkapan:
(1) Bahwa dirinya menjadi sasaran anak panah Allah, “Meng-
apa Engkau menjadikan aku sasaran-Mu?” (ay. 20). “Perka-
raku ini hanya satu-satunya yang terjadi, tiada seorang
pun yang dibidik seperti aku.”
(2) Bahwa ia menjadi beban bagi dirinya sendiri, sudah hampir
tenggelam di bawah beban hidupnya. Seberapa pun besar-
nya kita menyukai diri kita, Allah mampu menjadikan kita
beban bagi diri kita sendiri, kapan saja Dia mau. Penghi-
buran apa yang bisa kita nikmati pada diri sendiri bila
Allah tampil memusuhi kita dan kita tidak mendapat peng-
hiburan dalam Dia.
(3) Bahwa ia tidak pernah mendapat istirahat dari dukacitanya
(ay. 19), “Bilakah Engkau mengalihkan pandangan-Mu dari
padaku, menyingkirkan tongkat pemukul-Mu dariku, atau
mengurangi kerasnya didikan-Mu, setidaknya agar aku sem-
pat menelan ludahku?” Barang kali, kesakitan Ayub menjerat
tenggorokannya dan hampir-hampir membuatnya tercekik
hingga tidak mampu menelan ludah. Ia mengeluh (30:18)
bahwa penderitaan itu mengikat dia seperti kerah jubahnya
(KJV). “Tuhan,” katanya, “tidakkah Engkau memberiku sedi-
kit jeda, waktu untuk bernapas?” (9:18).
2. Kekhawatiran Ayub tentang dosa-dosanya. Orang-orang yang
paling saleh mengeluh atas dosanya, dan semakin baik mere-
ka, semakin banyak keluhan mereka tentang dosa.
(1) Dengan terus terang, Ayub mengakui dirinya bersalah di
hadapan Allah, Aku telah berdosa. Allah memuji Ayub seba-
gai orang yang saleh dan jujur, namun Ayub sendiri meng-
aku, Aku telah berdosa. Orang yang saleh bukannya tidak
berdosa, dan barang siapa bertobat dengan tulus hati, ia
diterima, melalui seorang Perantara, sebagai orang yang
jujur menurut Injil. Menentang sahabat-sahabatnya, Ayub
bersikeras bahwa ia tidak munafik, dirinya bukan orang
fasik. Akan namun , terhadap Allahnya ia mengaku telah ber-
dosa. Jika kita telah dicegah dari melakukan perbuatan
dosa yang menjijikkan, bukan berarti kita tidak bersalah.
Orang yang paling saleh pun harus mengaku di hadapan
Allah bahwa mereka berdosa. Ayub menyebut Allah penjaga
manusia, yang bisa diartikan bahwa Ayub bermaksud me-
negaskan keberdosaannya: “Allah mengamati aku, mem-
perhatikan aku demi kebaikan, namun aku telah berdosa
terhadap-Nya.” Saat mengalami penderitaan, itulah waktu
yang tepat bagi kita untuk mengaku dosa, dosa yang men-
jadi penyebab kesusahan kita. Pengakuan yang tulus akan
menenggelamkan dan membungkam sungut-sungut.
(2) Dengan sungguh-sungguh, Ayub bertanya bagaimana ia
dapat berdamai dengan Allah, “Apakah yang harus kulaku-
kan terhadap Engkau, setelah demikian berdosa melawan
Engkau?” Insafkah kita bahwa kita telah berdosa dan ber-
sedia mengakuinya? Kalau ya, kita harus sadar, bahwa se-
suatu harus dilakukan untuk mencegah akibat-akibat yang
mematikan. Perkara itu tidak boleh dibiarkan begitu saja,
sebaliknya, harus diambil tindakan untuk mengatasi keke-
liruan yang telah dibuat. Apalagi, bila kita benar-benar sa-
dar telah masuk ke dalam bahaya, kita harus mau melaku-
kan apa saja untuk memperoleh ampunan dengan syarat
apa pun. sebab itu, kita semestinya mencari tahu apa
yang harus kita perbuat (Mi. 6:6-7), apa yang harus kita
perbuat kepada Allah, bukan untuk memuaskan tuntutan
keadilan-Nya yang hanya bisa dilakukan oleh Sang Peran-
tara, namun untuk membuat diri kita layak menerima perke-
nanan-Nya berdasarkan ikatan kovenan Injil. Dalam per-
mohonan itu, yaitu baik bila kita memandang Allah seba-
gai penjaga atau Penyelamat manusia, bukan pembinasa.
Dalam pertobatan, kita harus berpikir yang baik tentang
Allah, menganggap Dia sebagai Pribadi yang tidak suka me-
lihat kebinasaan ciptaan-Nya, namun ingin mereka berbalik
dan hidup. “Engkau Juruselamat manusia, jadilah Juruse-
lamatku, sebab ke dalam belas kasihan-Mu kuserahkan
diriku.”
(3) Dengan tulus hati, Ayub memohon pengampunan atas do-
sanya (ay. 21). Kepanasan jiwanya di satu sisi membuat
keluhan Ayub semakin pahit, namun di sisi lain juga mem-
buat doa-doanya lebih hidup dan sungguh-sungguh, “Meng-
apa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku? Bukankah
Engkau Allah yang tiada terbatas kemurahannya, yang se-
lalu siap mengampuni? Bukankah Engkau telah mengerja-
kan pertobatan dalam diriku? Lantas, mengapa Engkau
belum juga mengampuni dosaku dan membuatku mende-
ngar suara sukacita dan kegirangan?” Yang Ayub maksud-
kan tentu lebih dari sekadar tersingkirnya masalah la-
hiriah, namun kembalinya perkenanan Allah yang telah hi-
lang dari dirinya, yang ia keluhkan (6:4). “Ya Tuhan, ampu-
nilah dosaku, biarlah aku merasakan nikmatnya pengam-
punan itu, supaya aku dapat menanggung penderitaanku
dengan ringan,” (Mat. 9:2; Yes. 33:24). saat belas kasihan
Allah mengampuni pelanggaran yang kita perbuat, anuge-
rah Allah menyingkirkan kesalahan yang berkuasa dalam
diri kita. Di mana pun Allah menghapuskan kebersalahan
dari dosa kita, Dia mematahkan kuasa dosa.
(4) Untuk mendesakkan permohonan ampunnya, Ayub menge-
mukakan alasan bahwa kematiannya akan datang sebentar
lagi: sebab sekarang aku terbaring dalam debu. Kematian
akan membaringkan kita di dalam debu, menidurkan kita
di sana, dan mungkin tidak lama lagi, tinggal sedikit waktu
lagi. Ayub selama ini berkeluh kesah akan malam-malam
yang menggelisahkan, akan mata yang tidak dapat terpe-
jam (ay. 3-4, 13-14). Bila seseorang tidak dapat tidur di
atas pembaringan kapuk, sebentar lagi ia akan tidur di da-
lam pembaringan debu, ia tidak akan lagi dikejutkan oleh
mimpi atau berguling kian kemari. “Engkau akan mencari
aku, untuk menunjukkan belas kasihan, namun aku tidak
akan ada lagi, saat itu semua sudah terlambat. Bila dosa-
dosaku tidak diampuni selagi aku masih hidup, maka cela-
ka dan binasalah aku selama-lamanya.” Ingatlah, dengan
kesadaran bahwa kita pasti mati sebentar lagi, bahkan
mungkin mati secara tiba-tiba, seharusnya kita bersung-
guh-sungguh memohon kepada Allah agar dosa-dosa kita
diampuni dan pelanggaran kita disingkirkan.
PASAL 8
ahabat-sahabat Ayub sama seperti para utusan Ayub: yang baru-
baru ini datang saling bergantian dengan kabar buruk, yang
pertama mengikutinya dengan celaan keras. Keduanya, tanpa disa-
dari, melayani rancangan Iblis. Kabar buruk mendesak dia menging-
galkan ketulusannya, sementara celaan mendesak dia pergi dari
penghiburan yang didapatnya dari ketulusannya. Elifas tidak me-
nanggapi apa yang diucapkan Ayub sebagai jawaban kepadanya,
namun meninggalkannya kepada Bildad untuk menjawab, yang diketa-
huinya memiliki kesamaan pikiran dengan dia dalam perkara ini.
Mereka bukanlah orang-orang paling bijak dalam kumpulan, melain-
kan yang paling lemah, yang ingin menguasai semua percakapan.
Biarkan orang lain berbicara pada gilirannya dan yang sudah ber-
bicara lebih dulu supaya diam (1Kor. 14:30-31). Elifas telah berusaha
untuk menunjukkan, bahwa sebab Ayub dengan hebat ditulahi,
maka dia pasti seorang yang jahat. Bildad tidak jauh berbeda, dan
akan menyimpulkan bahwa Ayub yaitu seorang yang jahat kecuali
Allah segera datang melepaskannya. Dalam pasal ini dia berusaha
untuk meyakinkan Ayub,
I. Bahwa Ayub berbicara dengan penuh geram (ay. 2).
II. Bahwa dia dan anak-anaknya pantas menderita (ay. 3-4).
III. Bahwa, jika dia mau bertobat dengan sungguh-sungguh, Allah
akan segera mengakhiri penderitaannya (ay. 5-7).
IV. Bahwa merupakan hal yang bisa bagi Sang Penyelenggara
untuk memadamkan sukacita dan pengharapan orang-orang
yang jahat seperti yang dialami Ayub. Oleh sebab itu, ber-
alasan bagi mereka untuk mencurigai dia sebagai seorang
munafik (ay. 8-19).
V. Bahwa mereka sangat yakin dengan kecurigaan mereka ter-
hadap dia, kecuali Allah segera datang melepaskannya (ay.
20-22).
Seruan Bildad
(8:1-7)
1 Maka berbicaralah Bildad, orang Suah: 2 “Berapa lamakah lagi engkau akan
berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu? 3 Ma-
sakan Allah membengkokkan keadilan? Masakan Yang Mahakuasa mem-
bengkokkan kebenaran? 4 Jikalau anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap
Dia, maka Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran mereka.
5 namun engkau, kalau engkau mencari Allah, dan memohon belas kasihan
dari Yang Mahakuasa, 6 kalau engkau bersih dan jujur, maka tentu Ia akan
bangkit demi engkau dan Ia akan memulihkan rumah yang yaitu hakmu.
7 Maka kedudukanmu yang dahulu akan kelihatan hina, namun keduduk-
anmu yang kemudian akan menjadi sangat mulia.
Di sini,
I. Bildad menegur Ayub atas apa yang telah diucapkannya (ay. 2),
mencela kemaharannya. namun mungkin (seperti yang biasa ter-
jadi), Bildad berbicara dengan kegeraman yang lebih besar lagi.
Kita pikir Ayub berbicara sangat banyak tentang hal yang baik dan
punya tujuan, dan dia punya alasan dan hak untuk itu. namun
Bildad, seperti seorang pembantah yang gemar marah, mengubah
semuanya dengan ini, Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara
begitu? Ia menerima begitu saja bahwa apa yang telah dikatakan
oleh Elifas sudah cukup untuk membungkam Ayub, dan sebab -
nya semua yang dikatakan Ayub tidaklah pantas. Jadi, (seperti
yang diamati oleh Caryl) teguran sering kali didasarkan pada ke-
salahan. Maksud orang tidak ditangkap dengan benar, lalu mereka
ditegur dengan keras seakan-akan mereka pelaku kejahatan. Bildad
membandingkan ucapan Ayub dengan angin yang menderu. Ayub
telah memaklumi diri dengan hal ini, bahwa perkataannya hanya-
lah dianggap angin (6:26), dan sebab nya mereka tidak seharusnya
meributkan perkataannya: “Ya, namun ” (kata Bildad) “perkataanmu
seperti angin yang menderu, menggertak dan mengancam, riuh
dan berbahaya, sehingga kami perlu memagarinya.”
II. Bildad membenarkan Allah dalam apa yang dilakukan-Nya. namun
apa yang dia maksudkan tentang tindakan Allah di sini tidak ada,
sebab Ayub tidak mengutuk Allah seperti yang dipikirkannya.
Mungkin dia benar mengenai tindakan Allah terhadap anak-anak
Ayub, namun seharusnya tanpa mempersalahkan mereka. Tidak
dapatkah dia menjadi pembela Allah tanpa harus menjadi penu-
duh saudara-saudaranya?
1. Secara umum Bildad benar, bahwa Allah tidak membengkok-
kan keadilan, atau pernah bertentangan dengan aturan keadil-
an yang telah ditetapkan-Nya (ay. 3). Dijauhkan kiranya hal
itu dari Dia dan dari kita untuk harus mencurigai Dia. Ia tidak
pernah menindas yang tak bersalah atau meletakkan suatu
beban yang lebih berat ke atas orang yang bersalah lebih dari
yang sepatutnya. Ia yaitu Allah, Sang Hakim, dan tidakkah
Hakim alam semesta mengadili dengan benar? (Kej. 18:25). Se-
andainya ada ketidakbenaran pada Allah, bagaimanakah Dia
dapat menghakimi dunia? (Rm. 3:5-6). Ia yaitu Yang Maha-
kuasa, Shaddai, Yang Maha Mencukupi. Manusia terkadang
membengkokkan keadilan sebab takut akan kekuasaan orang
lain dan kadang-kadang juga supaya mendapatkan perkenan-
an dari orang lain. namun Allah Mahakuasa dan tidak takut
kepada siapa pun. namun Allah Maha Mencukupi dan tidak
dapat diuntungkan oleh perkenanan siapa pun. Merupakan
kelemahan dan ketidakberdayaan manusia sehingga sering
kali ia berlaku tidak adil. namun merupakan kemahakuasaan
Allah-lah sehingga Ia tidak dapat berlaku tidak adil.
2. Namun Bildad tidak adil dan tidak jujur dalam menerapkan
kebenaran yang dikatakannya tentang Allah. Ia menerima be-
gitu saja bahwa anak-anak Ayub, yang kematian mereka me-
rupakan malapetaka terhebat bagi Ayub, bersalah atas suatu
kejahatan yang hebat. Dan bahwa keadaan yang tidak enak
dari kematian mereka merupakan bukti yang cukup bahwa
mereka yaitu pendosa melebihi semua anak di Timur (ay. 4).
Ayub siap mengakui bahwa Allah tidak membengkokkan ke-
adilan. Namun hal itu tidak serta-merta berarti bahwa anak-
anaknya bejat atau bahwa mereka mati sebab suatu pelang-
garan yang besar. Memang benar bahwa kita dan anak-anak
kita telah berdosa terhadap Allah, dan kita harus membenar-
kan Dia dalam semua yang ditimpakan-Nya ke atas kita dan
anak-anak kita. Namun malapetaka yang luar biasa tidak sela-
manya merupakan hukuman atas dosa yang sangat besar,
melainkan kadang-kadang merupakan ujian untuk mendapat-
kan anugerah yang sangat besar. Dan, dalam penilaian kita
tentang perkara orang lain, kecuali tampak bertentangan, maka
kita harus memberi penilaian yang lebih penuh anugerah, se-
perti yang ditunjukkan oleh Juruselamat kita (Luk. 13:2-4).
Inilah yang tidak dilakukan Bildad.
III. Ia memberi Ayub harapan bahwa, jika Ayub memang tulus dalam
agamanya, seperti yang diakuinya sendiri, maka dia akan melihat
akhir yang baik dari masalahnya: “Kendati anak-anakmu telah ber-
buat dosa terhadap Dia dan Ia telah membiarkan mereka dikuasai
oleh pelanggaran mereka (mereka telah mati di dalam dosa mereka
sendiri), namun jika engkau murni dan lurus hati, dan sebagai
buktinya engkau akan mencari Allah dan tunduk kepada-Nya,
maka semuanya akan menjadi baik-baik saja,” (ay. 5-7). Hal ini
dapat dipahami dalam dua pengertian, entah
1. Sebagai rancangan untuk membuktikan Ayub sebagai seorang
yang munafik dan seorang yang jahat, kendati tidak diukur
oleh dahsyatnya, melainkan oleh lamanya malapetaka. “saat
engkau menjadi miskin dan anak-anakmu dibunuh, jika eng-
kau tetap murni dan lurus hati, dan membuktikan diri demi-
kian dalam pencobaan ini, maka sebelum ini pun Allah pasti
sudah kembali mengasihani engkau dan menghibur engkau
menurut lamanya waktu malapetakamu. namun , sebab Allah
tidak berbuat demikian, maka kita punya alasan untuk me-
nyimpulkan bahwa engkau tidaklah bersih dan jujur seperti
yang engkau sandiwarakan. Seandainya engkau berperilaku be-
nar di bawah malapetaka sebelumnya, maka engkau tidak akan
ditimpa dengan malapetaka berikutnya.” Dalam hal ini Bildad
tidaklah berlaku benar. Sebab seorang yang baik dapat ditim-
pa malapetaka sebagai ujian baginya, tidak hanya sangat dah-
syat, namun juga sangat lama. Dan jika ia diuji untuk seumur
hidup, maka dibandingkan dengan kekekalan, itu hanya se-
saat saja. namun , sebab Bildad mempermasalahkan hal ini,
maka Allah senang untuk menangani hal tersebut, dan mem-
buktikan bahwa hamba-Nya Ayub yaitu seorang yang jujur
dengan memakai perkataan Bildad sendiri. Sebab, segera ini,
Ia memberkati akhir hidupnya lebih daripada sebelumnya.
Atau,
2. Sebagai rancangan untuk menuntun dan menguatkan Ayub,
supaya dia tidak menjadi putus asa dan menyerah sama se-
kali. Masih ada harapan jika dia mau menempuh jalan yang
benar. Saya cenderung berpikir bahwa Bildad di sini bermak-
sud untuk mengecam Ayub, namun dapat dianggap juga mau
menasihati dan menghibur dia.
(1) Ia memberi Ayub nasihat yang baik, namun mungkin tidak
berharap dia akan menerimanya, sama seperti yang telah
diberikan oleh Elifas (5:8), untuk mencari Allah, dan pada
waktunya, yaitu dengan segera dan sungguh-sungguh, dan
tidak berlambat-lambat untuk kembali dan bertobat. Ia
menasihati Ayub untuk tidak mengeluh, melainkan untuk
memohon, memohon belas kasihan dari Yang Mahakuasa
dengan kerendahan hati dan iman. Juga, untuk memasti-
kan bahwa apa yang ditakutkan menjadi kekurangannya,
maka ada kesungguhan di dalam hatinya dan kejujuran
dalam rumahnya. “Engkau harus bersih dan jujur.” “Harus-
lah memulihkan rumah, dan tidak dipenuhi dengan barang-
barang haram, sebab kalau tidak, Allah tidak akan men-
dengar doa-doamu” (Mzm. 66:18). Hanya doa orang benar
yang menjadi doa yang diterima dan berkuasa (Ams. 15:8).
(2) Ia memberi Ayub pengharapan yang baik bahwa dia akan
kembali melihat hari-hari yang baik, namun diam-diam
Bildad mencurigai bahwa Ayub tidak memenuhi syarat
untuk melihat semua itu. Ia meyakinkan Ayub bahwa, jika
dia mencari Allah lebih cepat, maka Allah akan segera
memberikan kelegaan, akan mengingat dia dan kembali
kepadanya, kendati sekarang Ia tampaknya melupakan dia
dan meninggalkan dia, bahwa jika rumahnya dipulihkan,
maka rumahnya akan menjadi haknya. saat kita kembali
kepada Allah di jalan kewajiban, kita punya alasan untuk
berharap bahwa Ia akan kembali kepada kita di jalan belas
kasihan. Kiranya Ayub tidak merasa berat hati bahwa dia
memiliki begitu sedikit yang tersisa di dunia ini sehingga
tidak mungkin lagi baginya untuk menjadi makmur seperti
dulu. Tidak, “Kendati permulaanmu hanya begitu kecil,
hanya ada sedikit gandum di dalam gentong dan sedikit mi-
nyak di dalam buli-buli, namun berkat Allah akan melipat-
gandakannya hingga berlimpah-limpah.” Inilah jalan Allah
untuk memperkaya jiwa-jiwa umat-Nya dengan anugerah
dan penghiburan, bukan per saltum – langsung sekaligus,
melainkan per gradum – setahap demi setahap. Permulaan-
nya yaitu kecil, namun terus berkembang hingga sempurna.
Terang fajar bertambah terang hingga siang hari, sebutir biji
sesawi hingga menjadi sebatang pohon besar. Oleh sebab
itu, janganlah kita meremehkan hal-hal yang kecil, namun
berharap akan datangnya hari dengan hal-hal yang besar.
Seruan Bildad
(8:8-19)
8 Bertanya-tanyalah tentang orang-orang zaman dahulu, dan perhatikanlah
apa yang diselidiki para nenek moyang. 9 Sebab kita, anak-anak kemarin,
tidak mengetahui apa-apa; sebab hari-hari kita seperti bayang-bayang di
bumi. 10 Bukankah mereka yang harus mengajari engkau dan yang harus
berbicara kepadamu, dan melahirkan kata-kata dari akal budi mereka?
11 Dapatkah pandan bertumbuh tinggi, kalau tidak di rawa, atau mensiang
bertumbuh subur, kalau tidak di air? 12 Sementara dalam pertumbuhan,
sebelum waktunya disabit, layulah ia lebih dahulu dari pada rumput lain.
13 Demikianlah pengalaman semua orang yang melupakan Allah; maka
lenyaplah harapan orang fasik, 14 yang andalannya seperti benang laba-laba,
kepercayaannya seperti sarang laba-laba. 15 Ia bersandar pada rumahnya,
namun rumahnya itu tidak tetap tegak, ia menjadikannya tempat berpegang,
namun rumah itu tidak tahan. 16 Ia seperti tumbuh-tumbuhan yang masih
segar di panas matahari, sulurnya menjulur di seluruh taman. 17 Akar-
akarnya membelit timbunan batu, menyusup ke dalam sela-sela batu itu.
18 namun bila ia dicabut dari tempatnya, maka tempatnya itu tidak mengakui-
nya lagi, katanya: Belum pernah aku melihat engkau! 19 Demikianlah ke
sukaan hidupnya, dan tumbuh-tumbuhan lain timbul dari tanah.
Bildad di sini berbicara dengan sangat baik tentang bencana menye-
dihkan yang menimpa orang-orang fasik dan para pelaku kejahatan
serta kemusnahan semua pengharapan dan sukacita mereka. Ia
tidak akan begitu berani mengatakan dengan Elifas bahwa tidak ada
orang benar yang pernah terputus dengan cara demikian (4:7). namun
dia menerima begitu saja bahwa Allah, dalam penyelenggaraannya,
biasanya membuat orang-orang jahat, yang tampak saleh dan mak-
mur, dipermalukan dan dihancurkan di dunia ini. Dengan ini Bildad
memahami bahwa, dengan hancurnya kemakmuran mereka, tampak
nyata kesalehan mereka itu palsu. Entah hal ini membuktikan bahwa
semua orang yang dihancurkan harus disimpulkan sebagai orang-
orang fasik, dia tidak katakan demikian, namun mencurigai demikian,
dan menganggap mudah saja untuk berpikir seperti itu.
I. Bildad membuktikan kebenaran ini, tentang kehancuran semua
pengharapan dan sukacita orang-orang fasik, dengan mengajak
Ayub me