Minggu, 05 Januari 2025

ayub 7


 n perasaannya saat  orang-orang 

jahat berada di depannya, dengan terbuka bersedia mencurah-

kan hatinya kepada para sahabatnya (Mzm. 39:2). Akan namun , 

kebebasan untuk berbicara ini, sebab  para sahabatnya meng-

aku bersimpati kepada dia, justru memberi kesempatan kepada 

mereka untuk mencela Ayub, sehingga mereka dapat dikatakan 

menggali lubang baginya. Demikianlah, saat  hati memanas, 

apa yang telah salah diperbuat terhadap kita, kita cenderung 

membayangkannya sebagai dilakukan dengan sengaja.  

IV. Bahwa, meskipun ia sempat mengeluarkan ungkapan-ungkapan 

yang penuh kemarahan, namun  pada intinya dia ada di jalan yang 

benar, dan malapetakanya, kendati sangat hebat, tidaklah mem-

buktikan dirinya sebagai seorang munafik atau seorang yang ja-

hat. Ia memegang teguh kelurusan hatinya, dan tidak membiar-

kannya lenyap. Untuk membuktikannya, di sini dia membela diri,  

1. Terhadap apa yang mereka lihat di dalam dirinya (ay. 28): “Te-

tapi sekarang, berpalinglah kepadaku. Apa yang kamu lihat di 

dalam diriku yang memperlihatkan diriku sebagai seorang 

yang gila atau seorang yang jahat? Bahkan, lihatlah mukaku, 

dan engkau dapat mencerna tanda-tanda dari hati yang sabar 

dan penuh ketundukan. Biarlah wajahku bersaksi bagiku bah-

wa, kendati aku telah mengutuki hari kelahiranku, aku tidak 

mengutuki Allahku.” Atau lebih tepatnya, “Lihatlah bisul-bisul 

dan semua borokku, supaya terbukti kepadamu bahwa aku 

tidak berbohong,” yaitu, “bahwa aku tidak mengeluh tanpa se-

bab. Biarlah matamu sendiri meyakinkan engkau bahwa kon-

disiku sangat menyedihkan, dan bahwa aku tidaklah berban-

tah dengan Allah dengan melebih-lebihkan keadaannya lebih 

buruk.”  

2. Terhadap apa yang telah mereka dengar dari dia (ay. 30). “De-

ngarlah apa yang harus aku katakan: Apakah ada kecurangan 

pada lidahku? Kesalahan yang telah kautuduhkan kepadaku? 

Apakah aku telah menghujat Allah atau menolak Dia? Tidak-

kah alasanku berdebat sekarang benar? Tidakkah engkau me-

nangkap, dari apa yang kukatakan, bahwa aku dapat mem-

bedakan hal-hal yang menyimpang? Aku dapat menemukan 

kepalsuan dan kesalahanmu, dan, jika diriku sendiri bersalah, 

aku dapat melihatnya. Tak peduli apa pun yang kaupikirkan 

tentang aku, aku tahu apa yang kukatakan.”  

3. Terhadap pikiran mereka yang kedua dan hambar (ay. 29): 

“Berbaliklah, pertimbangkan lagi tanpa prasangka dan sepi-

hak, dan jangan menarik kesimpulan yang tidak adil, jangan-

lah mengeluarkan penilaian yang tidak benar. Dan engkau 

akan mendapati aku pasti benar,” yaitu, “Aku benar di dalam 

perkara ini. Meskipun aku tidak dapat menahan amarahku 

sebagaimana seharusnya, aku tetap menjaga kelurusan hati-

ku, dan tidak mengatakan atau melakukan atau membiarkan, 

sesuatu yang akan membuktikan aku bukan seorang yang 

jujur.” Perkara yang benar tidak menginginkan apa-apa selain 

peradilan yang adil, dan bila perlu peradilan ulang. 

PASAL  7  

alam pasal ini, Ayub melanjutkan perasaan pahitnya akan ma-

lapetaka yang menimpa dia dan membenarkan diri atas keingin-

annya untuk mati. 

I. Dia mengaduh kepada diri sendiri dan kawan-kawannya ten-

tang penderitaan dan pergumulan yang terus menderanya (ay. 

1-6). 

II. Dia berpaling kepada Allah dan berbantah dengan-Nya (ay. 7-

21). Dalam perbantahan itu, 

1. Ayub meminta datangnya saat terakhir dalam hidup ini, 

yaitu kematian (ay. 7-10). 

2. Dengan berapi-api, ia mengeluhkan keadaan sengsara 

yang sedang dideritanya (ay. 11-16). 

3. Ia bertanya-tanya mengapa Allah melawan dia sedemikian 

rupa. Ayub juga memohon ampun atas dosa-dosanya dan 

meminta kelepasan segera dari kesengsaraan itu (ay. 17-21). 

Sulit untuk mengatur semua pembicaraan seseorang yang mengaku 

dirinya nyaris putus asa (6:26). 

Keluhan Ayub 

(7:1-6)  

1 “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti 

hari-hari orang upahan? 2 Seperti kepada seorang budak yang merindukan 

naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya,  

3 demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan 

kepadaku malam-malam penuh kesusahan. 4 Bila aku pergi tidur, maka pi-

kirku: Bilakah aku akan bangun? namun  malam merentang panjang, dan aku 

dicekam oleh gelisah sampai dinihari. 5 Berenga dan abu menutupi tubuhku, 

kulitku menjadi keras, lalu pecah. 6 Hari-hariku berlalu lebih cepat dari pada 

torak, dan berakhir tanpa harapan. 

Dalam ayat-ayat di atas, Ayub mencari alasan atas apa yang tidak 

bisa dibenarkannya, termasuk keinginannya yang tidak terkendali 

untuk mati. Mengapa ia mengharapkan berakhirnya kehidupan, yang 

berarti berakhir pula penderitaan? Untuk menguatkan alasannya, 

Ayub mengemukakan pertimbangan berikut: 

I. Berdasarkan keadaan manusia di muka bumi secara umum (ay. 

1): “Mereka singkat umurnya dan penuh kegelisahan (14:1). Setiap 

orang pasti mati, dan setiap orang punya alasan (entah banyak 

atau sedikit) untuk mengharapkan kematian. Jadi, mengapa eng-

kau menuduh aku seperti seorang penjahat yang begitu jahat bila 

aku ingin cepat mati?” Atau seperti ini, “Jangan salahkan keingin-

anku untuk mati, seolah aku menganggap waktu yang sudah di-

tentukan Allah dapat diduga. Tidak, aku tahu betul bahwa waktu-

Nya itu sudah tetap. Namun, hanya dengan perkataan inilah aku 

bisa bebas mengungkapkan kegelisahanku: Bukankah manusia 

harus bergumul di bumi (KJV: Bukankah ada waktu [kata aslinya 

“peperangan”] yang ditetapkan bagi manusia di bumi?) dan hari-

harinya seperti hari-hari orang upahan?” Berdasarkan ayat tersebut, 

perhatikan, 

1. Tempat manusia saat ini. Mereka berada di bumi, yang telah 

diberikan-Nya kepada anak-anak manusia (Mzm. 115:16). Hal 

ini menyiratkan bahwa manusia itu hina dan lebih rendah de-

rajatnya. Mereka ditempatkan jauh di bawah penghuni sorga 

yang tinggi, tempat yang mulia! Selain itu, tersirat pula belas 

kasihan Allah kepada manusia. Mereka masih di tempatkan di 

atas bumi, bukan di bawahnya. Di atas bumi, bukan di dalam 

neraka. Waktu kita di bumi ini singkat dan terbatas, sesuai 

dengan batas-batas bumi yang sempit. Akan namun , sorga tidak 

bisa diukur, hari-hari di sana pun tidak terhitung. 

2. Kelangsungan hidup manusia di bumi. Bukankah telah dite-

tapkan waktu bagi masa hidupnya di sana? Ya, tentu, dan su-

dah jelas siapa yang menentukannya, yakni Dia yang menjadi-

kan kita dan menempatkan kita di sini. Kita tidak akan berada 

di bumi selamanya, tidak pula untuk waktu yang lama, me-

lainkan hanya sesaat saja, yang ditetapkan oleh Dia yang di 

dalam tangannya terletak masa dan waktu. Janganlah kita 

beranggapan bahwa hidup kita dikendalikan oleh keberun-

tungan nasib seperti ajaran Epikuros, melainkan oleh pertim-

bangan Allah yang bijaksana, kudus, dan berdaulat. 

3. Keadaan manusia selama keberlangsungan hidupnya. Hidup 

manusia ibarat peperangan atau pergumulan, dan seperti hari-

hari orang upahan. Setiap orang di dunia ini harus meman-

dang dirinya sebagai,  

(1) Seorang prajurit, terpapar kepada kesukaran dan berada di 

antara musuh. Kita harus melayani dan tunduk pada perin-

tah. saat  peperangan telah usai, kita pun dibubarkan, di-

berhentikan entah dengan aib atau dengan hormat, tergan-

tung pada apa yang telah kita kerjakan dalam tubuh ini.  

(2) Sebagai pekerja upahan dengan tugas harian yang harus 

diselesaikan selagi hari terang, dan akan mengadakan per-

hitungan upah saat  malam tiba. 

II. Berdasarkan keadaan Ayub sendiri pada saat itu. Menurut Ayub, 

dirinya memiliki cukup alasan untuk mengharapkan kematian, 

sama seperti budak atau pekerja upahan yang miskin sudah pe-

nat dengan pekerjaannya dan mengharapkan datangnya bayang-

bayang petang supaya ia bisa menerima bayarannya dan pergi 

beristirahat (ay. 2). Kegelapan malam dinantikan oleh para pe-

kerja upahan seperti cahaya fajar dinantikan oleh para pengawal 

(Mzm. 130:6). Allah yang berkuasa atas alam semesta sudah me-

nyediakan peristirahatan bagi para pekerja, maka tidak heran bila 

mereka mendambakannya. Enak tidurnya orang yang bekerja 

(Pkh. 5:11). Tiada kenikmatan yang lebih memuaskan, lebih mele-

gakan daripada kemewahan, selain nikmatnya istirahat bagi 

orang-orang yang lelah. Orang kaya pun tidak dapat merasakan 

kepuasan dari hari kerja sebesar kepuasan pekerja harian menda-

patkan upahnya. Perbandingan ini sederhana, penerapannya 

singkat dan tidak terlalu jelas. Namun, tambahkan satu atau dua 

kata, maka jelaslah: ketepatan bahasa tidak bisa diharapkan dari 

seseorang yang sedang mengalami keadaan seperti Ayub. “Seperti 

kepada seorang budak yang merindukan naungan, demikianlah 

aku sungguh merindukan ajal, sebab demikianlah dibagikan kepa-

daku bulan-bulan yang sia-sia.” Simaklah keluh kesah Ayub.  

1. Hari-harinya tidak berguna dan telah berlangsung seperti itu 

begitu lama. Ia sepenuhnya direnggut dari pekerjaan dan tidak 

bisa melakukan apa-apa. Setiap hari merupakan beban bagi-

nya, sebab dia tidak mampu berbuat sesuatu yang baik atau 

memakai  waktu untuk hal yang bermanfaat. Et vitæ par-

tem non attigit ullam – Ia tidak dapat mengisi waktunya dengan 

sesuatu yang patut diperhitungkan. Itulah yang disebutnya 

bulan-bulan yang sia-sia (ay. 3). Bagi orang yang baik, rasa 

tidak berguna menambah beratnya rasa sakit dan penuaan. 

Ayub lebih mempersoalkan hari-hari di mana ia tidak melaku-

kan kebaikan apa pun daripada hari-hari di mana ia tidak me-

nikmati kenyamanan, sebab  dari situlah timbul bulan-bulan 

yang sia-sia. Namun, saat  kita tidak mampu bekerja bagi 

Allah, namun  mau tinggal diam dengan tenang menantikan Dia, 

itu pun cukuplah, kita pasti akan diterima oleh Allah. 

2. Malam-malamnya menggelisahkan (ay. 3-4). Malam hari dapat 

melegakan kepenatan dan kelelahan yang dirasakan di siang 

hari, bukan hanya bagi para pekerja, namun  juga bagi orang 

yang menderita. Bila orang sakit bisa menikmati sedikit saja 

tidur pada malam hari, hal itu akan menolongnya, dan ada ha-

rapan ia akan sembuh (Yoh. 11:12). Apa pun masalah yang 

kita hadapi, tidur bisa memberi istirahat dari rasa cemas, sa-

kit, dan dukacita yang menimpa kita. Tidur ialah obat penawar 

segala duka kita. Akan namun , Ayub yang malang tidak bisa 

merasakan kelegaan dari tidur itu.  

(1) Malam-malamnya penuh kesusahan, dan alih-alih beristi-

rahat, ia justru semakin lelah dengan membalik badan kian 

kemari hingga pagi tiba. Orang yang sedang dilanda kegeli-

sahan besar sebab  penyakit jasmani ataupun kecemasan 

pikiran berharap bisa mendapat sedikit kenyamanan de-

ngan mengubah posisi, mengubah tempat, atau mengubah 

sikap badan. Akan namun , sebab  sumber masalahnya tetap 

sama di dalam batin, semua perubahan itu tidaklah ber-

guna. Sama seperti jiwa yang resah dan tidak berpuas diri 

senantiasa berubah-ubah, namun  tidak pernah tenteram. 

Perasaan itu membuat ketakutan Ayub saat menghadapi 

malam hari sama kuatnya seperti pekerja upahan menanti-

kan petang, dan ia pun resah menunggu waktu berbaring, 

sebab saat itu ia akan berkata, “Bilakah aku akan bangun?” 

(KJV: Bilakah malam akan berakhir?)  

(2) Malam-malam penuh kesusahan itu ditentukan kepadanya. 

Allah yang menetapkan waktu telah menjatahkan malam-

malam seperti itu kepada Ayub. Setiap kali kita merasa 

sedih, alangkah baiknya bila kita memandang hari-hari itu 

sebagai ketetapan Allah, supaya hati kita ikhlas selama 

menjalaninya, bukan hanya sebab  hari kesedihan itu tak 

terhindarkan oleh sebab telah ditetapkan, namun  juga kare-

na masa kesukaran itu dirancang untuk akhir yang baik. 

Tatkala kita menikmati malam-malam yang nyaman, kita 

pun harus memandangnya sebagai ketetapan Allah dan 

bersyukur sebab nya. Banyak yang lebih baik daripada 

malam-malam penuh kesusahan yang kita nikmati. 

3. Tubuh Ayub menjijikkan (ay. 5). Borok-boroknya menghasilkan 

belatung, korengnya seperti gumpalan debu, dan kulitnya 

pecah-pecah. Sungguh mengerikan penyakit yang melekat pada 

Ayub. Lihatlah betapa lemahnya tubuh yang kita miliki, maka 

tidak ada alasan bagi kita untuk memanjakan atau membang-

gakannya. Di dalam tubuh ini melekat benih-benih kerusakan. 

Sekalipun kita sangat menyukai tubuh ini sekarang, akan tiba 

waktunya kita muak kepadanya dan rindu meninggalkannya. 

4. Kehidupannya berlalu cepat menuju akhir (ay. 6). Ayub mera-

sa tidak ada alasan untuk mengharapkan umur panjang, se-

bab ia mendapati dirinya merosot dengan cepat (ay. 6). “Hari-

hariku berlalu lebih cepat daripada torak,” artinya, “Waktuku 

sekarang singkat saja, hanya tinggal beberapa butir pasir yang 

tersisa dalam jam pasirku, dan butiran itu akan habis dalam 

sekejap.” Gerakan alam berputar lebih cepat di dekat poros-

nya. Ayub merasa hidupnya berlalu dengan cepat, sebab pikir-

nya ia sudah dekat pada akhir perjalanannya. Ia pikir hidup-

nya itu lebih baik segera dihabisi saja, sehingga ia tidak meng-

harapkan akan pulih kembali kepada kemakmurannya yang 

semula. Perasaan ini dialami dalam kehidupan manusia se-

cara umum. Hari-hari kita bagaikan alat pemintal tukang te-

nun (atau torak), bergerak dari sisi ke sisi dalam satu kedipan 

mata, lalu kembali lagi, begitu seterusnya, hingga akhirnya ia 

penuh oleh benang yang dipintalnya, lalu hidup kita pun dipu-

tus seperti tukang tenun menggulung tenunannya (Yes. 38:12). 

Waktu bergerak dengan cepat, putarannya tidak dapat dihenti-

kan, dan saat  sudah berlalu, ia tidak dapat diulang lagi. Se-

lagi masih hidup, kita terus merajut sama halnya seperti me-

nabur (Gal. 6:8). Setiap hari yang telah berlalu ibarat alat 

tenun meninggalkan sehelai benang di belakangnya. Banyak 

orang merajut sarang laba-laba yang kelak mengecewakan 

mereka (8:14). Jika kita menenun bagi kita pakaian kudus dan 

jubah kebenaran, kita akan menerima berkatnya saat perbuat-

an kita nanti diuji. Setiap manusia akan menuai apa yang di-

taburnya dan mengenakan apa yang dirajutnya. 

Keluhan Ayub kepada Allah 

(7:7-16) 

7 Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas; mataku tidak akan lagi 

melihat yang baik. 8 Orang yang memandang aku, tidak akan melihat aku 

lagi, sementara Engkau memandang aku, aku tidak ada lagi. 9 Sebagaimana 

awan lenyap dan melayang hilang, demikian juga orang yang turun ke dalam 

dunia orang mati tidak akan muncul kembali. 10 Ia tidak lagi kembali ke 

rumahnya, dan tidak dikenal lagi oleh tempat tinggalnya. 11 Oleh sebab itu 

aku pun tidak akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan 

jiwaku, mengeluh dalam kepedihan hatiku. 12 Apakah aku ini laut atau naga, 

sehingga Engkau menempatkan penjaga terhadap aku? 13 Apabila aku ber-

pikir: Tempat tidurku akan memberi aku penghiburan, dan tempat pem-

baringanku akan meringankan keluh kesahku, 14 maka Engkau mengagetkan 

aku dengan impian dan mengejutkan aku dengan khayal, 15 sehingga aku le-

bih suka dicekik dan mati dari pada menanggung kesusahanku. 16 Aku jemu, 

aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya. Biarkanlah aku, sebab  hari-

hariku hanya seperti hembusan nafas saja. 

Walaupun sahabat-sahabat Ayub tidak menyela tutur katanya, seper-

tinya Ayub melihat bahwa mereka mulai lelah dan tidak terlalu meng-

indahkan dia. Jadi, dalam ayat-ayat di atas, ia pun beralih kepada 

Allah dan berbicara kepada-Nya. Sekalipun manusia tidak mende-

ngarkan kita, Allah pasti mendengar. Sekalipun manusia tidak dapat 

menolong kita, Dia sanggup. Sebab, tangan-Nya tidak kurang pan-

jang dan telinga-Nya tidak berat mendengar. Meski demikian, jangan-

lah kita belajar dari perkataan Ayub ini bagaimana berbicara kepada 

Allah, sebab  harus diakui bahwa ucapan Ayub ini merupakan cam-

puran kemarahan dan kecemaran. Namun demikian, jika Allah tidak 

membuat perhitungan kejam atas ucapan umat-Nya yang salah, 

maka marilah kita memanfaatkan yang terbaik dari ucapan Ayub ini. 

Di sini, Ayub meminta Allah untuk menyembuhkan dia atau meng-

akhiri hidupnya saja. Ia menggambarkan dirinya di hadapan Allah 

sebagai,  

I. Orang sekarat yang pasti mati dengan segera. yaitu  baik bagi 

kita untuk memikirkan dan membicarakan kematian saat  sakit, 

sebab penyakit diberikan dengan tujuan agar kita mengingat 

kematian. Bila kita memikirkan kematian itu dengan sepatutnya, 

maka dalam iman kita pun akan mengingat Allah akan kematian 

itu, seperti yang Ayub lakukan dalam ayat 7 ini, Ingatlah, bahwa 

hidupku hanya hembusan nafas. Dengan pemikiran tersebut, 

Ayub menghadapkan diri kepada Allah sebagai orang yang patut 

mendapat belas kasihan dan kemurahan-Nya. Bahwa ia hanyalah 

makhluk ciptaan yang rapuh, masa hidupnya di dunia ini singkat 

dan tidak pasti, kepergiannya cepat dan pasti, dan kembalinya ke 

dunia yaitu  mustahil dan jangan pernah diharapkan. Hidupnya 

hanya embusan napas, sama seperti kehidupan semua manusia, 

ribut dan hiruk pikuk mungkin. Sama seperti angin, namun  sia-sia 

dan kosong, berlalu dengan cepat, dan setelah pergi tidak bisa 

dipanggil kembali. Allah berbelas kasihan kepada Israel, sebab  Ia 

ingat bahwa mereka hanya angin yang berlalu, yang tidak akan 

kembali (Mzm. 78:38-39). Amatilah, 

1. Ayub yang mawas diri merenungkan kehidupan dan kematian-

nya. Kebenaran yang nyata-nyata jelas mengenai singkatnya 

hidup serta kesia-siannya, juga kematian yang tidak dapat di-

hindari dan mustahil dibatalkan, akan mendatangkan kebaik-

an apabila kita memikirkan serta mempercakapkannya. Oleh 

sebab  itu, baiklah kita pertimbangkan bahwa,  

(1) Kita pasti segera meninggalkan segala sesuatu yang terlihat 

dan yang bersifat sementara. Mata badani kita pasti tertu-

tup dan tidak akan lagi melihat yang baik, kebaikan yang 

didambakan oleh sebagian besar manusia, sebab seruan 

mereka ialah, Siapa yang akan memperlihatkan yang baik 

kepada kita? (Mzm. 4:7). Jika kita sedemikian bodoh hing-

ga meletakkan kebahagiaan kita pada hal-hal baik yang la-

hiriah, apa jadinya saat  semua itu tersembunyi dari mata 

kita untuk selama-lamanya, sehingga kita tidak pernah lagi 

melihat yang baik? Oleh sebab itu, hendaklah kita hidup 

oleh iman, yang yaitu  dasar dan bukti dari segala sesuatu 

yang tidak kelihatan (Ibr. 11:1).  

(2) Kita pasti berpindah ke dunia yang tidak kelihatan: “Orang 

yang memandang aku, tidak akan melihat aku lagi.” Itulah 

hades – alam yang tidak terlihat (ay. 8). Kematian memin-

dahkan sahabat dan orang-orang terkasih kita ke dalam ke-

gelapan (Mzm. 88:19) dan segera menyingkirkan kita sendiri 

dari pandangan mereka sewaktu kita pergi dan tidak ada lagi 

(Mzm. 39:14), yaitu pergi kepada yang tidak kelihatan, yang 

abadi.  

(3) Allah bisa mengakhiri hidup kita dengan mudah dalam se-

kejap dan mengirim kita ke dunia lain (ay. 8), “Engkau me-

mandang aku, aku tidak ada lagi, Engkau dapat meman-

dangi aku di dalam kekekalan, memurkaiku sampai masuk 

kubur, kapan saja Engkau mau.” 

Bila Engkau tidak berkenan, dan Kau memandangku 

dengan raut tidak senang, 

Aku pun tenggelam, aku mati, secepat sambaran kilat.  

– Sir R. Blackmore 

Allah mengambil napas kita, maka kita pun mati, bah-

kan, hanya dengan memandang bumi saja, bumi pun ber-

gentar (Mzm. 104:32).  

(4) Begitu dipindahkan ke dunia lain, kita tidak akan pernah 

kembali ke dunia ini. Selalu ada perpindahan dari dunia ini 

ke dunia lain, namun  vestigia nulla retrorsum – tidak ada 

jalan kembali. “Oleh sebab itu, ya Tuhan, mohon legakan 

aku dengan kematian, sebab itulah kelegaan abadi. Aku 

tidak akan lagi kembali kepada segala kesengsaraan hidup 

ini.” Sewaktu mati, kita pun tiada, tidak akan kembali lagi,  

[1] Dari kediaman kita di dalam tanah (ay. 9): “Orang yang 

turun ke dalam dunia orang mati tidak akan muncul 

kembali hingga tiba hari kebangkitan, ia tidak akan 

muncul lagi ke tempatnya di dunia ini. Mati yaitu  pe-

kerjaan yang dilakukan hanya satu kali, dan sebab  itu 

mati itu harus dikerjakan dengan baik, sebab kesalahan 

yang ada tidak dapat diperbaiki lagi. Ibaratnya seperti 

awan yang terurai lenyap, ia menghilang, terhambur ke 

udara dan tidak akan pernah menyatu lagi. Kumpulan 

awan lain timbul, namun  awan yang sama tidak pernah 

kembali. Demikian pula generasi manusia yang lain 

muncul, namun  generasi sebelumnya telah hilang lenyap. 

Sewaktu kita melihat awan yang sangat besar, seakan 

mau menutupi matahari dan menangkap bumi, tiba-tiba 

tercerai berai dan lenyap, maka hendaklah kita berkata, 

“Demikianlah kehidupan manusia, seperti uap yang se-

bentar saja kelihatan lalu lenyap.”  

[2] Kepada kediaman kita di atas tanah (ay. 10): Ia tidak 

lagi kembali ke rumahnya, kepada harta milik dan ke-

nikmatannya, kepada pekerjaan dan kesenangannya. 

Orang lain akan menguasai miliknya hingga mereka 

pun menyerahkannya kepada generasi selanjutnya. Da-

lam perumpamaan Lazarus dan orang kaya, si kaya di 

neraka meminta supaya Lazarus diutus ke rumahnya 

sebab ia tahu bahwa dirinya sendiri tidak mungkin di-

izinkan pergi. Orang-orang beriman yang dimuliakan 

tidak akan kembali lagi kepada segala kekhawatiran, 

beban, dan penderitaan di rumahnya. Demikian juga 

orang-orang berdosa yang terkutuk pun tidak akan 

kembali kepada kesenangan dan kenikmatan rumah 

mereka. Tempat kediaman mereka tidak lagi mengenal 

mereka, menerima mereka, mengakui mereka, dan tidak 

lagi berada di bawah pengaruh mereka. sebab  itu kita 

harus peduli untuk menjaminkan bagi kita sebuah ke-

diaman yang lebih baik saat  kita mati, sebab kediam-

an yang sekarang ini tidak akan lagi menerima kita. 

2. Ayub menarik kesimpulan yang penuh amarah setelah mere-

nungkan hidup dan mati itu. Setelah meninjau alasan-alasan 

di atas, seharusnya ia mencapai kesimpulan yang lebih baik 

daripada perkataannya di ayat 11, Oleh sebab itu akupun tidak 

akan menahan mulutku, aku akan berbicara dalam kesesakan 

jiwaku, mengeluh dalam kepedihan hatiku. Raja Daud, setelah 

ia merenungkan kehampaan hidup manusia, justru menarik 

kesimpulan yang bertolak belakang (Mzm. 39:10, Aku kelu, 

tidak kubuka mulutku). Namun Ayub sebaliknya, tatkala men-

dapati ajalnya sudah dekat, ia malah bersegera mengeluh se-

olah mengucapkan pesan terakhir dan menyampaikan wasiat, 

atau seakan ia tidak bisa mati dengan tenang sebelum menya-

lurkan kekesalannya. saat  sisa embusan napas kita tinggal 

sedikit, sebaiknya kita menghabiskannya dalam doa dan iman 

yang kudus mulia, bukan dengan embusan napas penuh dosa 

dan kebobrokan yang berisik dan merugikan. Lebih baik mati 

dalam keadaan berdoa dan memuji Allah daripada mati dalam 

keluh kesah dan pertengkaran. 

II. Orang sakit parah yang kepayahan, terganggu tubuh dan pikiran-

nya. Dalam ujarannya kali ini, Ayub sangat kesal, seakan-akan 

Allah berlaku keras terhadap dia dan menimpakan beban lebih 

daripada yang perlu. “Apakah aku ini laut atau naga (ay. 12), laut 

yang mengamuk hingga harus dibendung untuk membatasi 

ombak-ombaknya yang angkuh, atau naga liar yang harus dike-

kang agar tidak melahap seluruh ikan di laut? Begitu kuatkah 

aku sehingga diperlukan tindakan sedahsyat ini untuk menahan-

ku? Begitu ganaskah aku sehingga diperlukan siksaan sehebat ini 

untuk menjinakkanku dan menahanku dalam batasan?” Di te-

ngah penderitaan, kita cenderung menggerutu tentang Allah dan 

penyelenggaraan-Nya, seolah Dia mengekang kita melebihi yang 

diperlukan, padahal kita mengalami tekanan hanya saat  hal itu 

dibutuhkan. 

1. Ayub mengeluh tidak bisa beristirahat di tempat tidurnya (ay. 

13-14). Di tempat tidurlah kita menjanjikan istirahat bagi diri 

sendiri setelah kita kelelahan sebab  pekerjaan, rasa sakit, 

atau perjalanan, “Tempat tidurku akan memberi aku penghibur-

an, dan tempat pembaringanku akan meringankan keluh kesah-

ku. Tidur akan melegakanku beberapa saat lamanya.” Biasa-

nya begitu. Tidur diberikan untuk tujuan tersebut. Sering kali 

tidur memang meringankan beban sehingga kita bangun de-

ngan segar kembali, memiliki semangat baru. saat  tidur 

memberi manfaat, kita patut bersyukur. Namun, tidak demi-

kian halnya dengan Ayub yang malang ini, tempat tidurnya 

menggentarkan dia, bukan menghiburnya, dan tempat pemba-

ringannya menambah keluh kesahnya, bukan meredakannya. 

Sebab bila ia tertidur, ia tertanggu dengan mimpi-mimpi bu-

ruk, dan saat  ia bangun, bayang-bayang kengerian masih 

menghantuinya. sebab  itulah malam hari begitu menakutkan 

dan membebani Ayub (ay. 4), Bilakah aku akan bangun? Ingat-

lah, kapan pun Allah mau, Dia bisa mendatangkan kengerian 

bahkan di tempat yang biasanya mendatangkan kelegaan dan 

peristirahatan. Dia bahkan sanggup membuat kita merasa 

ngeri terhadap diri sendiri, dan seperti kita kerap melawan 

rasa bersalah dengan angan-angan kesenangan, Dia pun bisa 

menciptakan dukacita besar dalam diri kita dengan memakai 

kekuatan angan-angan kita sendiri, sehingga menjadikan dosa 

kita sebagai hukuman kita sendiri. Sebagian dari mimpi-mimpi 

Ayub bisa jadi disebabkan oleh penyakitnya (saat menderita 

demam atau cacar, biasanya orang tidak dapat tidur nyenyak 

sebab  merasa gelisah), namun  mungkin juga Iblis berperan 

dalam mimpi itu, sebab dia suka menakut-nakuti orang yang 

berada di luar jangkauannya, untuk membinasakannya. Na-

mun, Ayub menuduh Allah, yang mengizinkan Iblis untuk me-

lakukannya (Engkau mengagetkan aku). Ia keliru memahami 

pekerjaan Iblis, sehingga memandang pekerjaan Iblis sebagai 

kedahsyatan Allah yang seperti pasukan melawan dirinya (6:4). 

Kita punya alasan untuk berdoa kepada Allah agar mimpi-

mimpi kita tidak menajiskan atau menggelisahkan kita, untuk 

tidak mencobai kita sampai berbuat dosa atau pun menyiksa 

kita dengan rasa takut. Kita perlu berdoa agar Dia, sang pen-

jaga Israel yang tidak pernah terlelap dan tidak pernah tidur, 

menjaga kita sewaktu kita tidur, supaya Iblis tidak mencelakai 

kita, sebagai ular yang menyelinap ataupun singa yang meng-

aum. Kita perlu berdoa agar Allah memampukan kita memuji 

Allah selagi berbaring, dan supaya tidur kita terasa manis dan 

kita pun tidak ketakutan. 

2. Ayub mendambakan istirahat di dalam kubur, tempat pem-

baringan di mana ia tidak perlu lagi berguling kian kemari dan 

tidak ada lagi mimpi buruk (ay. 15-16).  

(1) Ayub sudah muak dengan kehidupan, bahkan memikir-

kannya saja ia benci, “Aku jemu, aku sudah bosan hidup. 

Aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya, bukan hanya 

hidup selamanya dalam penderitaan dan sengsara seperti 

ini, namun  juga dalam keadaan yang paling nyaman dan 

sejahtera sekalipun, supaya tidak ada lagi bahaya yang 

terus-menerus mengintai. Sebaik apa pun itu hari-hariku 

hanya seperti hembusan nafas saja, kesia-siaan belaka, 

tiada kenyamanan yang teguh, rentan terhadap dukacita 

yang nyata, dan aku tidak mau terikat pada ketidakpastian 

seperti ini selamanya.” Ingatlah, orang yang baik tidak mau 

hidup di dunia ini selamanya, (seandainya orang bisa hi-

dup selamanya. Tidak, ia tidak akan mau, sekalipun dunia 

tersenyum kepadanya, sebab dunia ini penuh dosa dan 

pencobaan, dan ia sendiri punya dunia lain yang lebih baik 

sedang menunggu dia.  

(2) Ayub mendambakan kematian, dam memikirkannya pun ia 

senang. “Aku lebih suka dicekik dan mati, kematian lebih 

baik daripada hidup seperti ini.” Ayub merasa pemikiran 

itu lahir dari pertimbangan, padahal sesungguhnya hanya 

letupan kekesalan. Perkataan itu pasti timbul dari kele-

mahan Ayub, sebab meskipun orang saleh memang tidak 

ingin tinggal di dunia ini selamanya, dan lebih suka mati 

dicekik daripada berdosa, seperti para martir, namun ia 

akan menikmati hidup selama kehidupan itu menyukakan 

Allah. Ia lebih memilih kematian daripada kehidupan, kare-

na kehidupan yaitu  kesempatan untuk memuliakan Allah 

dan mempersiapkan diri ke sorga. 

Keluhan Ayub kepada Allah 

(7:17-21) 

17 Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kauper-

hatikan, 18 dan Kaudatangi setiap pagi, dan Kauuji setiap saat? 19 Bilakah Eng-

kau mengalihkan pandangan-Mu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga 

aku sempat menelan ludahku? 20 Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah 

kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia? Mengapa Engkau men-

jadikan aku sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku? 21 Dan 

mengapa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku, dan tidak mengha-

puskan kesalahanku? sebab  sekarang aku terbaring dalam debu, lalu Eng-

kau akan mencari aku, namun  aku tidak akan ada lagi.” 

Dalam ayat-ayat di atas, Ayub berbantah dengan Allah, 

I. Mengenai cara-Nya memperlakukan manusia secara umum (ay. 17-

18), Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung? 

Perkataan ini dapat ditafsirkan sebagai, 

1. Kekesalan terhadap cara kerja keadilan ilahi, seakan-akan 

Allah yang agung merendahkan dan mengecilkan diri-Nya sen-

diri dengan berbantah dengan manusia. “Orang-orang besar 

berpikir bahwa tidak pantas bagi mereka untuk mengurusi 

orang-orang yang jauh lebih rendah kedudukannya dari mereka,

 untuk menegur dan menghajar mereka sebab  kebodohan atau 

ketidakpantasan merek. sebab  itu, mengapa Allah mening-

gikan manusia dengan cara mendatanginya, mengujinya, dan 

memperhatikannya begitu rupa? Mengapa Dia mencurahkan 

segenap kekuatan-Nya terhadap seorang manusia yang bukan 

merupakan lawan sepadan bagi-Nya? Mengapa Dia menda-

tangi manusia dengan membawakan segala penderitaan, yang 

ibarat demam setiap hari, senantiasa datang dengan tetap 

seperti fajar di pagi hari, dan setiap saat menguji kekuatan ma-

nusia itu?” Kita salah paham terhadap Allah dan hakikat pe-

nyelenggaraan-Nya bila kita beranggapan bahwa terlalu remeh 

bagi Dia untuk memperhatikan ciptaan-Nya yang paling hina 

sekalipun. 

2. Atau, sebagai kekaguman yang penuh iman terhadap peme-

liharaan anugerah ilahi seperti dalam Mazmur 8:5; 144:3. 

Ayub mengakui perkenanan Allah terhadap manusia secara 

umum, sekalipun ia tengah berkeluh kesah sebab  persoalan 

pribadinya. “Apakah gerangan manusia, manusia yang mera-

na, makhluk ciptaan yang miskin, hina, dan lemah, sehingga 

Engkau, Allah yang agung dan mulia, memperlakukan dia 

seperti demikian? Apakah gerangan manusia,”  

(1) “Sehingga Kau hormati dia sedemikian rupa, sehingga dia 

Kauanggap agung, dengan mengikat dia dalam kovenan 

dan persekutuan dengan Engkau sendiri?”  

(2) “Sehingga Engkau begitu memikirkan dia, Kauperhatikan 

sebagai kesayangan-Mu, dan Kauberi kebaikan?”  

(3) “Sehingga Kaudatangi setiap pagi dengan kasih sayang, 

seperti kami mengunjungi seorang teman setiap hari, atau 

seperti dokter mengunjungi pasiennya setiap pagi untuk 

menolong dia?”  

(4) “Sehingga Kauuji setiap saat, Engkau memeriksa denyut na-

dinya dan mengamati keadaannya seakan mengkhawatirkan 

dia dan cemburu terhadapnya? Bahwa manusia, yang hanya 

seperti cacing di bumi, menjadi kesayangan dan kesukaan 

sorga, patut kita merasa takjub selama-lamanya. 

II. Mengenai cara-Nya memperlakukan Ayub secara khusus. Perhati-

kanlah, 

1. Keluhan Ayub akan penderitaan yang kini dibesar-besarkan-

nya, dan (seperti yang cenderung kita perbuat) dibuatnya men-

jadi sangat buruk, dalam tiga ungkapan:  

(1) Bahwa dirinya menjadi sasaran anak panah Allah, “Meng-

apa Engkau menjadikan aku sasaran-Mu?” (ay. 20). “Perka-

raku ini hanya satu-satunya yang terjadi, tiada seorang 

pun yang dibidik seperti aku.”  

(2) Bahwa ia menjadi beban bagi dirinya sendiri, sudah hampir 

tenggelam di bawah beban hidupnya. Seberapa pun besar-

nya kita menyukai diri kita, Allah mampu menjadikan kita 

beban bagi diri kita sendiri, kapan saja Dia mau. Penghi-

buran apa yang bisa kita nikmati pada diri sendiri bila 

Allah tampil memusuhi kita dan kita tidak mendapat peng-

hiburan dalam Dia.  

(3) Bahwa ia tidak pernah mendapat istirahat dari dukacitanya 

(ay. 19), “Bilakah Engkau mengalihkan pandangan-Mu dari 

padaku, menyingkirkan tongkat pemukul-Mu dariku, atau 

mengurangi kerasnya didikan-Mu, setidaknya agar aku sem-

pat menelan ludahku?” Barang kali, kesakitan Ayub menjerat 

tenggorokannya dan hampir-hampir membuatnya tercekik 

hingga tidak mampu menelan ludah. Ia mengeluh (30:18) 

bahwa penderitaan itu mengikat dia seperti kerah jubahnya 

(KJV). “Tuhan,” katanya, “tidakkah Engkau memberiku sedi-

kit jeda, waktu untuk bernapas?” (9:18). 

2. Kekhawatiran Ayub tentang dosa-dosanya. Orang-orang yang 

paling saleh mengeluh atas dosanya, dan semakin baik mere-

ka, semakin banyak keluhan mereka tentang dosa.  

(1) Dengan terus terang, Ayub mengakui dirinya bersalah di 

hadapan Allah, Aku telah berdosa. Allah memuji Ayub seba-

gai orang yang saleh dan jujur, namun  Ayub sendiri meng-

aku, Aku telah berdosa. Orang yang saleh bukannya tidak 

berdosa, dan barang siapa bertobat dengan tulus hati, ia 

diterima, melalui seorang Perantara, sebagai orang yang 

jujur menurut Injil. Menentang sahabat-sahabatnya, Ayub 

bersikeras bahwa ia tidak munafik, dirinya bukan orang 

fasik. Akan namun , terhadap Allahnya ia mengaku telah ber-

dosa. Jika kita telah dicegah dari melakukan perbuatan 

dosa yang menjijikkan, bukan berarti kita tidak bersalah. 

Orang yang paling saleh pun harus mengaku di hadapan 

Allah bahwa mereka berdosa. Ayub menyebut Allah penjaga 

manusia, yang bisa diartikan bahwa Ayub bermaksud me-

negaskan keberdosaannya: “Allah mengamati aku, mem-

perhatikan aku demi kebaikan, namun  aku telah berdosa 

terhadap-Nya.” Saat mengalami penderitaan, itulah waktu 

yang tepat bagi kita untuk mengaku dosa, dosa yang men-

jadi penyebab kesusahan kita. Pengakuan yang tulus akan 

menenggelamkan dan membungkam sungut-sungut.  

(2) Dengan sungguh-sungguh, Ayub bertanya bagaimana ia 

dapat berdamai dengan Allah, “Apakah yang harus kulaku-

kan terhadap Engkau, setelah demikian berdosa melawan 

Engkau?” Insafkah kita bahwa kita telah berdosa dan ber-

sedia mengakuinya? Kalau ya, kita harus sadar, bahwa se-

suatu harus dilakukan untuk mencegah akibat-akibat yang 

mematikan. Perkara itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, 

sebaliknya, harus diambil tindakan untuk mengatasi keke-

liruan yang telah dibuat. Apalagi, bila kita benar-benar sa-

dar telah masuk ke dalam bahaya, kita harus mau melaku-

kan apa saja untuk memperoleh ampunan dengan syarat 

apa pun. sebab  itu, kita semestinya mencari tahu apa 

yang harus kita perbuat (Mi. 6:6-7), apa yang harus kita 

perbuat kepada Allah, bukan untuk memuaskan tuntutan 

keadilan-Nya yang hanya bisa dilakukan oleh Sang Peran-

tara, namun  untuk membuat diri kita layak menerima perke-

nanan-Nya berdasarkan ikatan kovenan Injil. Dalam per-

mohonan itu, yaitu  baik bila kita memandang Allah seba-

gai penjaga atau Penyelamat manusia, bukan pembinasa. 

Dalam pertobatan, kita harus berpikir yang baik tentang 

Allah, menganggap Dia sebagai Pribadi yang tidak suka me-

lihat kebinasaan ciptaan-Nya, namun  ingin mereka berbalik 

dan hidup. “Engkau Juruselamat manusia, jadilah Juruse-

lamatku, sebab ke dalam belas kasihan-Mu kuserahkan 

diriku.”  

(3) Dengan tulus hati, Ayub memohon pengampunan atas do-

sanya (ay. 21). Kepanasan jiwanya di satu sisi membuat 

keluhan Ayub semakin pahit, namun  di sisi lain juga mem-

buat doa-doanya lebih hidup dan sungguh-sungguh, “Meng-

apa Engkau tidak mengampuni pelanggaranku? Bukankah 

Engkau Allah yang tiada terbatas kemurahannya, yang se-

lalu siap mengampuni? Bukankah Engkau telah mengerja-

kan pertobatan dalam diriku? Lantas, mengapa Engkau 

belum juga mengampuni dosaku dan membuatku mende-

ngar suara sukacita dan kegirangan?” Yang Ayub maksud-

kan tentu lebih dari sekadar tersingkirnya masalah la-

hiriah, namun  kembalinya perkenanan Allah yang telah hi-

lang dari dirinya, yang ia keluhkan (6:4). “Ya Tuhan, ampu-

nilah dosaku, biarlah aku merasakan nikmatnya pengam-

punan itu, supaya aku dapat menanggung penderitaanku 

dengan ringan,” (Mat. 9:2; Yes. 33:24). saat  belas kasihan 

Allah mengampuni pelanggaran yang kita perbuat, anuge-

rah Allah menyingkirkan kesalahan yang berkuasa dalam 

diri kita. Di mana pun Allah menghapuskan kebersalahan 

dari dosa kita, Dia mematahkan kuasa dosa.  

(4) Untuk mendesakkan permohonan ampunnya, Ayub menge-

mukakan alasan bahwa kematiannya akan datang sebentar 

lagi: sebab  sekarang aku terbaring dalam debu. Kematian 

akan membaringkan kita di dalam debu, menidurkan kita 

di sana, dan mungkin tidak lama lagi, tinggal sedikit waktu 

lagi. Ayub selama ini berkeluh kesah akan malam-malam 

yang menggelisahkan, akan mata yang tidak dapat terpe-

jam (ay. 3-4, 13-14). Bila seseorang tidak dapat tidur di 

atas pembaringan kapuk, sebentar lagi ia akan tidur di da-

lam pembaringan debu, ia tidak akan lagi dikejutkan oleh 

mimpi atau berguling kian kemari. “Engkau akan mencari 

aku, untuk menunjukkan belas kasihan, namun  aku tidak 

akan ada lagi, saat itu semua sudah terlambat. Bila dosa-

dosaku tidak diampuni selagi aku masih hidup, maka cela-

ka dan binasalah aku selama-lamanya.” Ingatlah, dengan 

kesadaran bahwa kita pasti mati sebentar lagi, bahkan 

mungkin mati secara tiba-tiba, seharusnya kita bersung-

guh-sungguh memohon kepada Allah agar dosa-dosa kita 

diampuni dan pelanggaran kita disingkirkan. 

 

 

  

PASAL  8  

ahabat-sahabat Ayub sama seperti para utusan Ayub: yang baru-

baru ini datang saling bergantian dengan kabar buruk, yang 

pertama mengikutinya dengan celaan keras. Keduanya, tanpa disa-

dari, melayani rancangan Iblis. Kabar buruk mendesak dia menging-

galkan ketulusannya, sementara celaan mendesak dia pergi dari 

penghiburan yang didapatnya dari ketulusannya. Elifas tidak me-

nanggapi apa yang diucapkan Ayub sebagai jawaban kepadanya, 

namun  meninggalkannya kepada Bildad untuk menjawab, yang diketa-

huinya memiliki kesamaan pikiran dengan dia dalam perkara ini. 

Mereka bukanlah orang-orang paling bijak dalam kumpulan, melain-

kan yang paling lemah, yang ingin menguasai semua percakapan. 

Biarkan orang lain berbicara pada gilirannya dan yang sudah ber-

bicara lebih dulu supaya diam (1Kor. 14:30-31). Elifas telah berusaha 

untuk menunjukkan, bahwa sebab  Ayub dengan hebat ditulahi, 

maka dia pasti seorang yang jahat. Bildad tidak jauh berbeda, dan 

akan menyimpulkan bahwa Ayub yaitu  seorang yang jahat kecuali 

Allah segera datang melepaskannya. Dalam pasal ini dia berusaha 

untuk meyakinkan Ayub,  

I. Bahwa Ayub berbicara dengan penuh geram (ay. 2).  

II. Bahwa dia dan anak-anaknya pantas menderita (ay. 3-4).  

III. Bahwa, jika dia mau bertobat dengan sungguh-sungguh, Allah 

akan segera mengakhiri penderitaannya (ay. 5-7).  

IV. Bahwa merupakan hal yang bisa bagi Sang Penyelenggara 

untuk memadamkan sukacita dan pengharapan orang-orang 

yang jahat seperti yang dialami Ayub. Oleh sebab  itu, ber-

alasan bagi mereka untuk mencurigai dia sebagai seorang 

munafik (ay. 8-19).  


V. Bahwa mereka sangat yakin dengan kecurigaan mereka ter-

hadap dia, kecuali Allah segera datang melepaskannya (ay. 

20-22).  

Seruan Bildad 

(8:1-7) 

1 Maka berbicaralah Bildad, orang Suah: 2 “Berapa lamakah lagi engkau akan 

berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu? 3 Ma-

sakan Allah membengkokkan keadilan? Masakan Yang Mahakuasa mem-

bengkokkan kebenaran? 4 Jikalau anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap 

Dia, maka Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran mereka.  

5 namun  engkau, kalau engkau mencari Allah, dan memohon belas kasihan 

dari Yang Mahakuasa, 6 kalau engkau bersih dan jujur, maka tentu Ia akan 

bangkit demi engkau dan Ia akan memulihkan rumah yang yaitu  hakmu.  

7 Maka kedudukanmu yang dahulu akan kelihatan hina, namun  keduduk-

anmu yang kemudian akan menjadi sangat mulia. 

Di sini,  

I. Bildad menegur Ayub atas apa yang telah diucapkannya (ay. 2), 

mencela kemaharannya. namun  mungkin (seperti yang biasa ter-

jadi), Bildad berbicara dengan kegeraman yang lebih besar lagi. 

Kita pikir Ayub berbicara sangat banyak tentang hal yang baik dan 

punya tujuan, dan dia punya alasan dan hak untuk itu. namun  

Bildad, seperti seorang pembantah yang gemar marah, mengubah 

semuanya dengan ini, Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara 

begitu? Ia menerima begitu saja bahwa apa yang telah dikatakan 

oleh Elifas sudah cukup untuk membungkam Ayub, dan sebab -

nya semua yang dikatakan Ayub tidaklah pantas. Jadi, (seperti 

yang diamati oleh Caryl) teguran sering kali didasarkan pada ke-

salahan. Maksud orang tidak ditangkap dengan benar, lalu mereka 

ditegur dengan keras seakan-akan mereka pelaku kejahatan. Bildad 

membandingkan ucapan Ayub dengan angin yang menderu. Ayub 

telah memaklumi diri dengan hal ini, bahwa perkataannya hanya-

lah dianggap angin (6:26), dan sebab nya mereka tidak seharusnya 

meributkan perkataannya: “Ya, namun ” (kata Bildad) “perkataanmu 

seperti angin yang menderu, menggertak dan mengancam, riuh 

dan berbahaya, sehingga kami perlu memagarinya.”  

II. Bildad membenarkan Allah dalam apa yang dilakukan-Nya. namun  

apa yang dia maksudkan tentang tindakan Allah di sini tidak ada, 

sebab  Ayub tidak mengutuk Allah seperti yang dipikirkannya. 

Mungkin dia benar mengenai tindakan Allah terhadap anak-anak 

Ayub, namun  seharusnya tanpa mempersalahkan mereka. Tidak 

dapatkah dia menjadi pembela Allah tanpa harus menjadi penu-

duh saudara-saudaranya?  

1. Secara umum Bildad benar, bahwa Allah tidak membengkok-

kan keadilan, atau pernah bertentangan dengan aturan keadil-

an yang telah ditetapkan-Nya (ay. 3). Dijauhkan kiranya hal 

itu dari Dia dan dari kita untuk harus mencurigai Dia. Ia tidak 

pernah menindas yang tak bersalah atau meletakkan suatu 

beban yang lebih berat ke atas orang yang bersalah lebih dari 

yang sepatutnya. Ia yaitu  Allah, Sang Hakim, dan tidakkah 

Hakim alam semesta mengadili dengan benar? (Kej. 18:25). Se-

andainya ada ketidakbenaran pada Allah, bagaimanakah Dia 

dapat menghakimi dunia? (Rm. 3:5-6). Ia yaitu  Yang Maha-

kuasa, Shaddai, Yang Maha Mencukupi. Manusia terkadang 

membengkokkan keadilan sebab  takut akan kekuasaan orang 

lain dan kadang-kadang juga supaya mendapatkan perkenan-

an dari orang lain. namun  Allah Mahakuasa dan tidak takut 

kepada siapa pun. namun  Allah Maha Mencukupi dan tidak 

dapat diuntungkan oleh perkenanan siapa pun. Merupakan 

kelemahan dan ketidakberdayaan manusia sehingga sering 

kali ia berlaku tidak adil. namun  merupakan kemahakuasaan 

Allah-lah sehingga Ia tidak dapat berlaku tidak adil.  

2. Namun Bildad tidak adil dan tidak jujur dalam menerapkan 

kebenaran yang dikatakannya tentang Allah. Ia menerima be-

gitu saja bahwa anak-anak Ayub, yang kematian mereka me-

rupakan malapetaka terhebat bagi Ayub, bersalah atas suatu 

kejahatan yang hebat. Dan bahwa keadaan yang tidak enak 

dari kematian mereka merupakan bukti yang cukup bahwa 

mereka yaitu  pendosa melebihi semua anak di Timur (ay. 4). 

Ayub siap mengakui bahwa Allah tidak membengkokkan ke-

adilan. Namun hal itu tidak serta-merta berarti bahwa anak-

anaknya bejat atau bahwa mereka mati sebab  suatu pelang-

garan yang besar. Memang benar bahwa kita dan anak-anak 

kita telah berdosa terhadap Allah, dan kita harus membenar-

kan Dia dalam semua yang ditimpakan-Nya ke atas kita dan 

anak-anak kita. Namun malapetaka yang luar biasa tidak sela-

manya merupakan hukuman atas dosa yang sangat besar, 

melainkan kadang-kadang merupakan ujian untuk mendapat-

kan anugerah yang sangat besar. Dan, dalam penilaian kita 

tentang perkara orang lain, kecuali tampak bertentangan, maka 

kita harus memberi penilaian yang lebih penuh anugerah, se-

perti yang ditunjukkan oleh Juruselamat kita (Luk. 13:2-4). 

Inilah yang tidak dilakukan Bildad. 

III. Ia memberi Ayub harapan bahwa, jika Ayub memang tulus dalam 

agamanya, seperti yang diakuinya sendiri, maka dia akan melihat 

akhir yang baik dari masalahnya: “Kendati anak-anakmu telah ber-

buat dosa terhadap Dia dan Ia telah membiarkan mereka dikuasai 

oleh pelanggaran mereka (mereka telah mati di dalam dosa mereka 

sendiri), namun jika engkau murni dan lurus hati, dan sebagai 

buktinya engkau akan mencari Allah dan tunduk kepada-Nya, 

maka semuanya akan menjadi baik-baik saja,” (ay. 5-7). Hal ini 

dapat dipahami dalam dua pengertian, entah  

1. Sebagai rancangan untuk membuktikan Ayub sebagai seorang 

yang munafik dan seorang yang jahat, kendati tidak diukur 

oleh dahsyatnya, melainkan oleh lamanya malapetaka. “saat  

engkau menjadi miskin dan anak-anakmu dibunuh, jika eng-

kau tetap murni dan lurus hati, dan membuktikan diri demi-

kian dalam pencobaan ini, maka sebelum ini pun Allah pasti 

sudah kembali mengasihani engkau dan menghibur engkau 

menurut lamanya waktu malapetakamu. namun , sebab  Allah 

tidak berbuat demikian, maka kita punya alasan untuk me-

nyimpulkan bahwa engkau tidaklah bersih dan jujur seperti 

yang engkau sandiwarakan. Seandainya engkau berperilaku be-

nar di bawah malapetaka sebelumnya, maka engkau tidak akan 

ditimpa dengan malapetaka berikutnya.” Dalam hal ini Bildad 

tidaklah berlaku benar. Sebab seorang yang baik dapat ditim-

pa malapetaka sebagai ujian baginya, tidak hanya sangat dah-

syat, namun  juga sangat lama. Dan jika ia diuji untuk seumur 

hidup, maka dibandingkan dengan kekekalan, itu hanya se-

saat saja. namun , sebab  Bildad mempermasalahkan hal ini, 

maka Allah senang untuk menangani hal tersebut, dan mem-

buktikan bahwa hamba-Nya Ayub yaitu  seorang yang jujur 

dengan memakai perkataan Bildad sendiri. Sebab, segera ini, 

Ia memberkati akhir hidupnya lebih daripada sebelumnya. 

Atau,  


2. Sebagai rancangan untuk menuntun dan menguatkan Ayub, 

supaya dia tidak menjadi putus asa dan menyerah sama se-

kali. Masih ada harapan jika dia mau menempuh jalan yang 

benar. Saya cenderung berpikir bahwa Bildad di sini bermak-

sud untuk mengecam Ayub, namun  dapat dianggap juga mau 

menasihati dan menghibur dia.  

(1) Ia memberi Ayub nasihat yang baik, namun mungkin tidak 

berharap dia akan menerimanya, sama seperti yang telah 

diberikan oleh Elifas (5:8), untuk mencari Allah, dan pada 

waktunya, yaitu dengan segera dan sungguh-sungguh, dan 

tidak berlambat-lambat untuk kembali dan bertobat. Ia 

menasihati Ayub untuk tidak mengeluh, melainkan untuk 

memohon, memohon belas kasihan dari Yang Mahakuasa 

dengan kerendahan hati dan iman. Juga, untuk memasti-

kan bahwa apa yang ditakutkan menjadi kekurangannya, 

maka ada kesungguhan di dalam hatinya dan kejujuran 

dalam rumahnya. “Engkau harus bersih dan jujur.” “Harus-

lah memulihkan rumah, dan tidak dipenuhi dengan barang-

barang haram, sebab  kalau tidak, Allah tidak akan men-

dengar doa-doamu” (Mzm. 66:18). Hanya doa orang benar 

yang menjadi doa yang diterima dan berkuasa (Ams. 15:8).  

(2) Ia memberi Ayub pengharapan yang baik bahwa dia akan 

kembali melihat hari-hari yang baik, namun diam-diam 

Bildad mencurigai bahwa Ayub tidak memenuhi syarat 

untuk melihat semua itu. Ia meyakinkan Ayub bahwa, jika 

dia mencari Allah lebih cepat, maka Allah akan segera 

memberikan kelegaan, akan mengingat dia dan kembali 

kepadanya, kendati sekarang Ia tampaknya melupakan dia 

dan meninggalkan dia, bahwa jika rumahnya dipulihkan, 

maka rumahnya akan menjadi haknya. saat  kita kembali 

kepada Allah di jalan kewajiban, kita punya alasan untuk 

berharap bahwa Ia akan kembali kepada kita di jalan belas 

kasihan. Kiranya Ayub tidak merasa berat hati bahwa dia  

memiliki begitu sedikit yang tersisa di dunia ini sehingga 

tidak mungkin lagi baginya untuk menjadi makmur seperti 

dulu. Tidak, “Kendati permulaanmu hanya begitu kecil, 

hanya ada sedikit gandum di dalam gentong dan sedikit mi-

nyak di dalam buli-buli, namun berkat Allah akan melipat-

gandakannya hingga berlimpah-limpah.” Inilah jalan Allah 

untuk memperkaya jiwa-jiwa umat-Nya dengan anugerah 

dan penghiburan, bukan per saltum – langsung sekaligus, 

melainkan per gradum – setahap demi setahap. Permulaan-

nya yaitu  kecil, namun  terus berkembang hingga sempurna. 

Terang fajar bertambah terang hingga siang hari, sebutir biji 

sesawi hingga menjadi sebatang pohon besar. Oleh sebab  

itu, janganlah kita meremehkan hal-hal yang kecil, namun  

berharap akan datangnya hari dengan hal-hal yang besar.  

Seruan Bildad  

(8:8-19) 

8 Bertanya-tanyalah tentang orang-orang zaman dahulu, dan perhatikanlah 

apa yang diselidiki para nenek moyang. 9 Sebab kita, anak-anak kemarin, 

tidak mengetahui apa-apa; sebab  hari-hari kita seperti bayang-bayang di 

bumi. 10 Bukankah mereka yang harus mengajari engkau dan yang harus 

berbicara kepadamu, dan melahirkan kata-kata dari akal budi mereka?  

11 Dapatkah pandan bertumbuh tinggi, kalau tidak di rawa, atau mensiang 

bertumbuh subur, kalau tidak di air? 12 Sementara dalam pertumbuhan, 

sebelum waktunya disabit, layulah ia lebih dahulu dari pada rumput lain.  

13 Demikianlah pengalaman semua orang yang melupakan Allah; maka 

lenyaplah harapan orang fasik, 14 yang andalannya seperti benang laba-laba, 

kepercayaannya seperti sarang laba-laba. 15 Ia bersandar pada rumahnya, 

namun  rumahnya itu tidak tetap tegak, ia menjadikannya tempat berpegang, 

namun  rumah itu tidak tahan. 16 Ia seperti tumbuh-tumbuhan yang masih 

segar di panas matahari, sulurnya menjulur di seluruh taman. 17 Akar-

akarnya membelit timbunan batu, menyusup ke dalam sela-sela batu itu.  

18 namun  bila ia dicabut dari tempatnya, maka tempatnya itu tidak mengakui-

nya lagi, katanya: Belum pernah aku melihat engkau! 19 Demikianlah ke 

sukaan hidupnya, dan tumbuh-tumbuhan lain timbul dari tanah. 

Bildad di sini berbicara dengan sangat baik tentang bencana menye-

dihkan yang menimpa orang-orang fasik dan para pelaku kejahatan 

serta kemusnahan semua pengharapan dan sukacita mereka. Ia 

tidak akan begitu berani mengatakan dengan Elifas bahwa tidak ada 

orang benar yang pernah terputus dengan cara demikian (4:7). namun  

dia menerima begitu saja bahwa Allah, dalam penyelenggaraannya, 

biasanya membuat orang-orang jahat, yang tampak saleh dan mak-

mur, dipermalukan dan dihancurkan di dunia ini. Dengan ini Bildad 

memahami bahwa, dengan hancurnya kemakmuran mereka, tampak 

nyata kesalehan mereka itu palsu. Entah hal ini membuktikan bahwa 

semua orang yang dihancurkan harus disimpulkan sebagai orang-

orang fasik, dia tidak katakan demikian, namun  mencurigai demikian, 

dan menganggap mudah saja untuk berpikir seperti itu. 

I. Bildad membuktikan kebenaran ini, tentang kehancuran semua 

pengharapan dan sukacita orang-orang fasik, dengan mengajak 

Ayub me