Tampilkan postingan dengan label hukum islam 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 5. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 5


 na perceraian, harta bersama diatur menurut 

hukumnya masing-masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA 

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah 

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil 

mendamaikan kedua belah pihak.

143

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara 

suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan 

perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2) Tatacara mengajukan gugatan itu  pada ayat (1) pasal ini diatur 

dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik 

anak-anaknya, semata-mata berdasar  kepentingan anak; bilamana 

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi 

keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan 

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan 

tidak dapat memenuhi kewajiban itu , Pengadilan dapat 

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu ;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk Memberi  

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas 

isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK 

Pasal 42

Anak yang sah yaitu  anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat 

perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki  hubungan 

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak itu  ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam 

Peraturan Pemerintah.

144

Pasal 44

suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh 

i ,  bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina 

^  ak itu akibat dibandingkan  perzinaan itu .

,adilan Memberi  keputusan tentang sah/tidaknya anak atas 

mintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

^  HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka 

sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku 

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana 

berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka 

yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, 

orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu 

memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum 

pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang 

tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak itu  mengenai segala perbuatan hukum 

didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan 

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan 

belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali bila  

kepentingan anak itu menghendakinya.

145

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kek

terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang terten 

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus k 

dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwena> 

dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: \

1. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

2. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap 

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak 

itu .

BAB XI 

PERWALIAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum 

pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah 

kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta 

bendanya.

Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan 

orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan 

di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak itu  atau orang 

lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan 

baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta 

bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan keperca­

yaan anak itu.

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah 

kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua 

perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

146

(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada 

dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena 

kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang itu  

dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai 

wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang 

dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak itu  

dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk 

mengganti kerugian itu .

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama 

Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran 

yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran itu  dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka 

Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang 

anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasar  bukti-bukti 

yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan itu  ayat (2) pasal ini, maka 

instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan

147

yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang 

bersangkutan.

Bagian Kedua

Perkawinan diluar negara kita  

Pasal 56

(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar negara kita  antara dua orang 

warganegara negara kita  atau seorang warganegara negara kita  dengan 

warganegara Asing yaitu  sah bilamana dilakukan menurut hukum 

yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi 

warganegara negara kita  tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang- 

undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah 

negara kita , surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor 

Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga 

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini 

ialah perkawinan antara dua orang yang di negara kita  tunduk pada hukum 

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak 

berkewarganegaraan negara kita .

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan 

perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari 

suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut 

cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan 

Republik negara kita  yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau 

putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai 

hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

148

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di negara kita  dilakukan 

menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti 

bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang 

berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat itu  dalam ayat (1) telah 

dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan 

perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang 

berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, 

diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk Memberi  surat 

keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan 

Memberi  keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh 

dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian 

surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka 

keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang itu  ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak 

memiliki  kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan 

dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperli­

hatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat 

keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam 

Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman 

kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedang  ia 

mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan 

tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) 

bulan dan dihukum jabatan.

149

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 

ayat (1) Undang-undang ini.

Pasal 62

Bagian Keempat 

Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

2. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan 

Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan 

yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut 

peraturan-peraturan lama, yaitu  sah.

Pasal 65

(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasar  

hukum lama maupun berdasar  Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini 

maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:

1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua 

isteri dan anaknya;

2. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak memiliki  hak atas harta 

bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua 

atau berikutnya itu terjadi;

3. Semua isteri memiliki  hak yang sama atas harta bersama yang 

terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang 

menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah 

ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

150

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan 

berdasar  atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- 

undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang 

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan negara kita  

Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), 

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 

1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang 

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak 

berlaku.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang 

pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan 

Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan 

pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan 

pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran 

Negara Republik negara kita .

Disahkan di Jakarta 

pada tanggal 2 Januari 1974. 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita , 

Ttd.

SOEHARTO 

JENDERAL TNI.

151

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 2 Januari 1974 

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SUDHARMONO, SH. 

MAYOR JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 1974 NOMOR 1

152

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 1 TAHUN 1974 

TENTANG 

PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti negara kita  yaitu  mutlak adanya 

Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung 

prinsip-prinsip dan Memberi  landasan hukum perkawinan yang 

selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan 

dalam warga  kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai 

golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:

1. bagi orang-orang negara kita  Asli yang beragama Islam berlaku 

hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

2. bagi orang-orang negara kita  Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

3. bagi orang-orang negara kita  Asli yang beragama Kristen berlaku 

Huwelijks Ordonnantie Christen negara kita  (S. 1933 Nomor 74);

4. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara negara kita  

keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang- 

undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

5. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara 

negara kita  keturunan Timur Asing lainnya itu  berlaku hukum 

Adat mereka;

153

6. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara negara kita  keturunan 

Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang- 

undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 

1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan 

prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang 

Dasar 1945, sedang  di lain fihak harus dapat pula menampung 

segala kenyataan yang hidup dalam warga  dewasa ini. Undang 

undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan 

ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari 

yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas 

mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan 

perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan 

zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- 

undang ini yaitu  sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan yaitu  membentuk keluarga yang bahagia dan 

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan 

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan 

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil 

dan material.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan 

yaitu  sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing 

agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap 

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan 

yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan yaitu  sama halnya 

dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, 

misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat 

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya bila  

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama 

dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat 

beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang 

suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu 

dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat 

dilakukan bila  dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan 

diputuskan oleh Pengadilan.

154

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu 

harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan 

perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan 

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat 

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya 

perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. 

Disamping itu, perkawinan memiliki  hubungan dengan masalah 

kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah 

bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran 

yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang, inj 

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi 

wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam 

belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan yaitu  untuk membentuk keluarga 

yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini 

menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus 

ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang 

Pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri yaitu  seimbang dengan hak dan 

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun 

dalam pergaulan warga , sehingga dengan demikian segala 

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan 

bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala 

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum 

Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang 

telah ada yaitu  sah. Demikian pula bila  mengenai sesuatu hal 

Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku 

ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasar  Pancasila, dimana Sila yang 

pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan 

memiliki  hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian 

sehingga perkawinan bukan saja memiliki  peranan yang penting. 

Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, 

yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan 

menjadi hak dan kewajiban orang tua.

155

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan 

diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai 

dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum 

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan 

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan 

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan 

lain dalam Undang- undang ini.

Pasal 3

1. Undang-undang ini menganut asas monogami.

2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah 

syarat yang itu  dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi hams 

mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan 

dari salon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

1. Oleh karena perkawinan memiliki  maksud agar suami dan isteri 

dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai 

pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan hams disetujui 

oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan itu , 

tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, 

tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut 

ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang 

tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang- 

undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- 

undang ini.

2. Cukup jelas.

3. Cukup jelas.

4. Cukup jelas.

5. Cukup jelas.

6. Cukup jelas.

Pasal 2

156

Pasal 7

1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu 

ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.

2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan- 

ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap 

perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam 

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan 

negara kita  Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

3. Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Oleh karena perkawinan memiliki  maksud agar suami dan isteri 

dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang 

mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat 

dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini 

dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, 

sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama 

lain.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam 

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 

Tahun 1954.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

157

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak 

batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing 

tidak menentukan lain.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

158

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk 

taklik-talak.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

bila  perkawinan Putus, maka harta bersama itu  diatur menurut 

Hukumnya masing-masing.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum 

agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

159

Pasal 39

1. Cukup jelas.

2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian

yaitu :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pema­

dat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) 

tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa 

alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun 

atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan 

berlangsung.

d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan 

berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang 

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya 

sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi 

dalam rumah-tangga.

3. Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

160

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk 

kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

161

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019

Pasal 57

Cukup jelas.

162

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita  

NOMOR 9 TAHUN 1975 

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 

1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran 

Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran 

Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk 

mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur 

ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang 

itu ;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 

1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAK­

SANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 

1974 TENTANG PERKAWINAN.

BABI

KETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a. Undang-undang yaitu  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan;

b. Pengadilan yaitu  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama 

Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya;

c. Pengadilan Negeri yaitu  Pengadilan dalam lingkungan Peradilan 

Umum;

d. Pegawai Pencatat yaitu  pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

BABU

PENCATATAN PERKAWINAN 

Pasal 2

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat 

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 

tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain 

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor 

catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang- 

undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku 

bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasar  berbagai peraturan 

yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana 

ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah 

ini.

Pasal 3

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan 

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan 

dilangsungkan.

164

(2) Pemberitahuan itu  dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 

10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu itu  dalam ayat (2) dipicu  

sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati 

Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau 

oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat 

kediaman calon mempelai dan bila  salah seorang atau keduanya pernah 

kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melang­

sungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah 

dipenuhi dan apakah tidak ada  halangan perkawinan menurut 

Undang-undang.

(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) 

Pegawai Pencatat meneliti pula :

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. 

Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat 

dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- 

usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang 

setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekeijaan dan 

tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat 

(2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, bila  salah seorang calon 

mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh 

satu) tahun;

d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam 

hal calon mempelai yaitu  seorang suami yang masih mempunya 

isteri;

165

e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) 

Undang-undang;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal 

perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk 

kedua kalinya atau lebih;

g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ 

PANGAB, bila  salah seorang calon mempelai atau keduanya 

anggota Angkatan Bersenjata;

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh 

Pegawai Pencatat, bila  salah seorang calon mempelai atau 

keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang 

penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat 

ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) bila  ternyata dari hasil penelitian ada  halangan perkawinan 

sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya 

persyaratan itu  dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, 

keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada 

orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada 

sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan 

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan 

dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang 

ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang 

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari 

calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; bila  salah 

seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau 

suami mereka terdahulu;

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

166

BAB III

TATACARA PERKAWINAN

Pasal 10

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman 

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud 

dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing 

agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing 

hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan 

dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan- 

ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai 

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai 

Pencatat berdasar  ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, 

selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat 

yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan 

perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah 

atau yang mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah 

tercatat secara resmi.

BAB IV

AKTA PERKAWINAN 

Pasal 12

Akta perkawinan memuat:

a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan 

tempat kediaman suami-isteri;

bila  salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga 

nama isteri atau suami terdahulu;

167

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua 

mereka;

c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang- 

undang;

d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi 

anggota Angkatan Bersenjata;

h. Perjanjian perkawinan bila  ada;

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para 

saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekeijaan dan tempat kediaman 

kuasa bila  perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pasal 13

(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan 

oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan 

dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.

(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta 

perkawinan.

BAB V

TATACARA PERCERAIAN 

Pasal 14

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama 

Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada 

Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia 

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta 

meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam 

Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

168

memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan 

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk 

menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 bila  memang 

ada  alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan 

Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang 

bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam 

rumah tangga.

Pasal 17

Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian 

yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan 

tentang terjadinya perceraian itu . Surat keterangan itu dikirimkan 

kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu teijadi untuk diadakan 

pencatatan perceraian.

Pasal 18

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan 

sidang pengadilan.

Pasal 19

Perceraian dapat teijadi karena alasan atau alasan-alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, 

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun 

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau 

karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau 

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang 

membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat 

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

169

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah 

tangga.

Pasal 20

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya 

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman 

tergugat.

(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui 

atau tidak memiliki  tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan 

perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. 

Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan itu  kepada tergugat 

melalui Perwakilan Republik negara kita  setempat.

Pasal 21

(1) Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam Pasal 19 huruf b, 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

(2) Gugatan itu  dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) 

tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

(3) Gugatan dapat diterima bila  tergugat menyatakan atau menunjukkan 

sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22

(1) Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam Pasal 19 huruf f, 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

(2) Gugatan itu  dalam ayat (1) dapat diterima bila  telah cukup 

jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan 

pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang- 

orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Pasal 23

Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat

hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai

dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan

170

perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan 

Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan 

bahwa putusan itu telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24

(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat atau berdasar  pertimbangan bahaya yang mungkin 

ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri itu  untuk 

tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat, Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan 

pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya 

barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau 

barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang 

menjadi hak isteri.

Pasal 25

Gugatan perceraian gugur bila  suami atau isteri meninggal sebelum

adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 26

(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan 

perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan 

dipanggil untuk menghadiri sidang itu .

(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi 

Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk 

oleh Ketua Pengadilan Agama.

(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. bila  

yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan 

melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan 

secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau 

kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

171

(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27

(1) bila  tergugat berada dalam keadaan seperti itu  dalam Pasal 20 

ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada 

papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu 

atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh 

Pengadilan.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass 

media itu  ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan 

tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) 

dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) 

dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa 

hadirnya tergugat, kecuali bila  gugatan itu tanpa hak atau tidak 

beralasan.

Pasal 28

bila  tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik negara kita  

setempat.

Pasal 29

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat- 

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan 

perceraian.

(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan 

perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan 

diterimanya panggilan itu  oleh penggugat maupun tergugat atau 

kuasa mereka.

(3) bila  tergugat berada dalam keadaan seperti itu  dalam Pasal 20 

ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang- 

kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan 

perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.

172

Pasal 30

Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri 

atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan 

kedua pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan 

pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 32

bila  tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian 

baru berdasar  alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian 

dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 33

bila  tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian 

dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya 

terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor 

pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama 

Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 35

(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk 

berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan 

sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah memiliki  

kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai 

kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai 

Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang 

diperuntukkan untuk itu.

173

(2) bila  perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan 

daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, 

maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa 

bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat 

perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat itu  dicatat 

pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi 

perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan 

kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan itu  dalam ayat (1) menjadi 

tanggungjawab Panitera yang bersangkutan bila  yang demikian itu 

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal 36

(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah 

perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah memiliki  

kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk 

dikukuhkan.

(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata- 

kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri 

dan dibubuhi cap dinas pada putusan itu .

(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah 

diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali 

putusan itu kepada Pengadilan Agama.

BAB VI

PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 37

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Pasal 38

(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak 

yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah 

hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat 

tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.

174

(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan 

sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan 

perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara 

itu  dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah 

ini.

BAB VII

WAKTU TUNGGU 

Pasal 39

(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 

ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

1. bila  perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu 

ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;

2. bila  perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi 

yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan 

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak 

berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;

3. bila  perkawinan putus sedang janda itu  dalam keadaan 

hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena 

perceraian sedang antara janda itu  dengan bekas suaminya belum 

pernah terjadi hubungan kelamin.

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu 

dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang memiliki  kekuatan 

hukum yang tetap, sedang  bagi perkawinan yang putus karena 

kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

BAB VIII

BERISTERI LEBIH DARI SEORANG

Pasal 40

bila  seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia 

wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

175

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin 

lagi, ialah :

-  bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

-  bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat 

disembuhkan;

-  bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan 

maupun tertulis, bila  persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, 

persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan 

hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

-  surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani 

oleh bendahara tempat bekerja; atau

-  surat keterangan pajak penghasilan; atau

-  surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap 

isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari 

suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, 

Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat- 

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan 

beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

bila  Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk 

beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Memberi  putusannya yang 

berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

176

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang 

suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan 

seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA 

Pasal 45

(1) Kecuali bila  ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan 

yang berlaku, maka:

a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 

10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan 

hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima 

ratus rupiah);

b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam 

Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini 

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) 

bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima 

ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan 

pelanggaran.

BAB X 

PENUTUP

Pasal 46

Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, 

maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan 

tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan 

Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.

Pasal 47

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh 

telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

177

Pasal 48

Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran 

pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri 

Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama 

maupun dalam bidangnya masing-masing.

Pasal 49

(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;

(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan 

secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan 

pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam 

Lembaran Negara Republik negara kita .

Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 1 April 1975 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SOEHARTO 

JENDERAL TNI

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 1 April 1975 

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SUDHARMONO, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 1975 NOMOR 12

178

m

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita  

NOMOR 9 TAHUN 1975 

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 

1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UMUM:

Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif 

masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang 

menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan 

perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, 

tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan 

perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari 

seorang dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah- 

masalah itu , yang diharapkan akan dapat memperlancar dan 

mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang itu . Dengan keluarnya 

Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan 

secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 itu , ialah pada tanggal 1 

Oktober 1975.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan 

langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan 

dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan, khususnya dari 

Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam 

Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu

179

ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan 

Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan itu .

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1) dan (2)

Dengan adanya ketentuan itu  dalam pasal ini maka 

pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni 

Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan 

Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.

Ayat (3)

Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara 

pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan 

ketentuan-ketentuan itu  dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 

Peraturan Pemerintah ini, sedang  ketentuan-ketentuan khusus 

yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur 

dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan 

Pemerintah ini.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

bila  ada  alasan yang sangat penting untuk segera 

melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh) 

hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan 

segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, 

maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan 

permohonan dispensasi.

180

Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus 

dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau 

oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi bila  karena sesuatu alasan 

yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara 

lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat 

dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon 

mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan 

perkawinan yaitu  wali atau orang lain yang ditunjuk berdasar  

kuasa khusus.

Pasal 5

Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka 

dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantum­

kan baik nama kecil maupun nama keluarga. sedang  bagi mereka 

yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama 

kecilnya saja ataupun namanya saja.

Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat 

dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.

Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan itu  merupakan 

ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya 

hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang 

beragama Islam.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf f

Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang 

meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu. 

bila  Lurah/Kepala Desa tidak dapat Memberi  

keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan 

mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain 

yang sah, atau keterangan yang diberikan di bawah sumpah 

oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat.

Pasal 4

181

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau 

kepada orang tua atau kepada wakilnya”, yaitu  bahwa 

pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus 

ditujukan dan disampaikan kepada salah satu dibandingkan  mereka itu 

yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan 

perkawinan.

Pasal 8

Maksud pengumuman itu  yaitu  untuk memberi kesempatan 

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan 

bagi dilangsungkannya suatu perkawinan bila  yang demikian itu 

diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan 

kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan 

peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 9

Pengumuman dilakukan:

-  di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi 

wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan

-  di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman 

masing-masing calon mempelai.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di 

dalam pasal ini mempakan ketentuan minimal sehingga masih 

dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor 

akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun

182

pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; 

tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para saksi, dan bagi 

yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari 

maskawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang 

memerlukannya berdasar  peraturan perundang-undangan yang 

berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara 

tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. 

Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut 

mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak Memberi  izin bagi 

anggota Angkatan Bersenjata.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai 

talak.

Pasal 15.

Cukup jelas.

Pasal 16

Sidang Pengadilan itu , setelah meneliti dan berpendapat adanya 

alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk 

mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian 

menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang 

itu .

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas.

183

Pasal 20

Ayat (1)

Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri 

yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh 

seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan 

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain 

agama Islam.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya 

dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan 

prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak 

berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasar  

pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak- 

anaknya.

Ayat (2)

Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri 

tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya 

Memberi  nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas

184

kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga 

jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama 

oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami 

menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang 

demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami- 

isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian' bagi 

pihak ketiga.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang 

demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi 

dikabulkannya gugatan perceraian bila  gugatan itu  tidak 

didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud 

Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat(l)

Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang 

pemeriksaan gugatan perceraian yaitu  sebagai usaha 

mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena

185

makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin 

baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi 

keluarga, dan bila  mereka memiliki  anak terutama bagi 

anak-anaknya.

Ayat (2)

Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan 

sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi 

memiliki  waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna 

menghadapi sidang itu . Terutama kepada tergugat harus 

diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari 

secara baik isi gugatan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 30

Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu 

suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi 

kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan 

membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya 

yang diperlukan.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam 

pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak 

terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam 

perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu 

belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah 

pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan 

lain yang dianggap perlu.

Pasal 32

Cukup jelas.

186

Pasal 33

bila  pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan 

tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang 

tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi 

pemeriksaan saksi-saksi.

bila  berdasar  hasil pemeriksaan ada  alasan-alasan yang 

dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami 

atau isteri untuk melakukan perceraian.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan 

Pengadilan Agama hanya dilakukan bila  putusan itu telah 

memiliki  kekuatan hakim yang tetap.

Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan 

Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum 

dilakukan pengukuhan.

Pengukuhan itu  bersifat administratip; Pengadilan Negeri 

tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan 

Agama dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 37

Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa 

akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap 

keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan 

terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar 

Pengadilan.

187

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedang  antara 

wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan 

kelamin, maka bagi wanita itu  tidak ada waktu tunggu; ia 

dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian 

itu.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Huruf c sub iii : bila  tidak mungkin diperoleh surat keterangan 

sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu 

surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak 

mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan 

sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan 

yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.

188

Pejabat Yang melanggar ketentuan itu  dihukum dengan hukuman 

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya 

Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan- 

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang 

perkawinan yang telah ada, bila  telah diatur di dalam Peraturan 

Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Selain hal yang itu  di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang 

diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan 

perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan 

Peraturan Pemerintah ini yakni bila  :

a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang 

sama dengan Peraturan Pemerintah;

b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap 

pengaturannya;

c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan 

Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050

189


HUKUM KEWARISAN ISLAM DI negara kita  

(Analisis Terhadap Buku II Kompilasi Hukum Islam)

A b s t r a c t :  the compilation o f Islamic law (KHI) consists o f  

three books: book one concerns o f marriage; book two concerns o f  

inheritance, and book three concerns o f  religious endowment. 

Unlike book one and book three which have other legislation 

regulating them i.e. Law No. 1/1974 o f marriage, Government 

Regulation No


Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 5

 


na perceraian, harta bersama diatur menurut 

hukumnya masing-masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA 

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah 

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil 

mendamaikan kedua belah pihak.

143

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara 

suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan 

perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2) Tatacara mengajukan gugatan itu  pada ayat (1) pasal ini diatur 

dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik 

anak-anaknya, semata-mata berdasar  kepentingan anak; bilamana 

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi 

keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan 

pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan 

tidak dapat memenuhi kewajiban itu , Pengadilan dapat 

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu ;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk Memberi  

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas 

isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK 

Pasal 42

Anak yang sah yaitu  anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat 

perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki  hubungan 

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak itu  ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam 

Peraturan Pemerintah.

144

Pasal 44

suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh 

i ,  bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina 

^  ak itu akibat dibandingkan  perzinaan itu .

,adilan Memberi  keputusan tentang sah/tidaknya anak atas 

mintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

^  HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka 

sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku 

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana 

berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka 

yang baik.

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, 

orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu 

memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum 

pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang 

tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak itu  mengenai segala perbuatan hukum 

didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan 

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan 

belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali bila  

kepentingan anak itu menghendakinya.

145

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kek

terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang terten 

permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus k 

dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwena> 

dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: \

1. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

2. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap 

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak 

itu .

BAB XI 

PERWALIAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum 

pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah 

kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta 

bendanya.

Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan 

orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan 

di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak itu  atau orang 

lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan 

baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta 

bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan keperca­

yaan anak itu.

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah 

kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua 

perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

146

(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada 

dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena 

kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang itu  

dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai 

wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang 

dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak itu  

dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk 

mengganti kerugian itu .

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama 

Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran 

yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran itu  dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka 

Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang 

anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasar  bukti-bukti 

yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan itu  ayat (2) pasal ini, maka 

instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan

147

yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang 

bersangkutan.

Bagian Kedua

Perkawinan diluar negara kita  

Pasal 56

(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar negara kita  antara dua orang 

warganegara negara kita  atau seorang warganegara negara kita  dengan 

warganegara Asing yaitu  sah bilamana dilakukan menurut hukum 

yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi 

warganegara negara kita  tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang- 

undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah 

negara kita , surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor 

Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga 

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini 

ialah perkawinan antara dua orang yang di negara kita  tunduk pada hukum 

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak 

berkewarganegaraan negara kita .

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan 

perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari 

suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut 

cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan 

Republik negara kita  yang berlaku.

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau 

putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai 

hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

148

(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di negara kita  dilakukan 

menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti 

bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang 

berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat itu  dalam ayat (1) telah 

dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan 

perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang 

berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, 

diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk Memberi  surat 

keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan 

Memberi  keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh 

dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian 

surat keterangan itu beralasan atau tidak.

(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka 

keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang itu  ayat (3).

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak 

memiliki  kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan 

dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperli­

hatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat 

keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam 

Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman 

kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedang  ia 

mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan 

tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) 

bulan dan dihukum jabatan.

149

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 

ayat (1) Undang-undang ini.

Pasal 62

Bagian Keempat 

Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

2. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan 

Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan 

yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut 

peraturan-peraturan lama, yaitu  sah.

Pasal 65

(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasar  

hukum lama maupun berdasar  Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini 

maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:

1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua 

isteri dan anaknya;

2. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak memiliki  hak atas harta 

bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua 

atau berikutnya itu terjadi;

3. Semua isteri memiliki  hak yang sama atas harta bersama yang 

terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang 

menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah 

ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

150

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan 

berdasar  atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- 

undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang 

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan negara kita  

Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), 

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 

1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang 

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak 

berlaku.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang 

pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan 

Pemerintah.

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan 

pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan 

pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran 

Negara Republik negara kita .

Disahkan di Jakarta 

pada tanggal 2 Januari 1974. 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita , 

Ttd.

SOEHARTO 

JENDERAL TNI.

151

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 2 Januari 1974 

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SUDHARMONO, SH. 

MAYOR JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 1974 NOMOR 1

152

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita  

NOMOR 1 TAHUN 1974 

TENTANG 

PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti negara kita  yaitu  mutlak adanya 

Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung 

prinsip-prinsip dan Memberi  landasan hukum perkawinan yang 

selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan 

dalam warga  kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai 

golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:

1. bagi orang-orang negara kita  Asli yang beragama Islam berlaku 

hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

2. bagi orang-orang negara kita  Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

3. bagi orang-orang negara kita  Asli yang beragama Kristen berlaku 

Huwelijks Ordonnantie Christen negara kita  (S. 1933 Nomor 74);

4. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara negara kita  

keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang- 

undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

5. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara 

negara kita  keturunan Timur Asing lainnya itu  berlaku hukum 

Adat mereka;

153

6. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara negara kita  keturunan 

Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang- 

undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 

1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan 

prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang 

Dasar 1945, sedang  di lain fihak harus dapat pula menampung 

segala kenyataan yang hidup dalam warga  dewasa ini. Undang 

undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan 

ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari 

yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas 

mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan 

perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan 

zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- 

undang ini yaitu  sebagai berikut:

a. Tujuan perkawinan yaitu  membentuk keluarga yang bahagia dan 

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan 

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan 

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil 

dan material.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan 

yaitu  sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing 

agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap 

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan 

yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan yaitu  sama halnya 

dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, 

misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat 

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya bila  

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama 

dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat 

beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang 

suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu 

dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat 

dilakukan bila  dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan 

diputuskan oleh Pengadilan.

154

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu 

harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan 

perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan 

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat 

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya 

perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. 

Disamping itu, perkawinan memiliki  hubungan dengan masalah 

kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah 

bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran 

yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang, inj 

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi 

wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam 

belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan yaitu  untuk membentuk keluarga 

yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini 

menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus 

ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang 

Pengadilan.

f. Hak dan kedudukan isteri yaitu  seimbang dengan hak dan 

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun 

dalam pergaulan warga , sehingga dengan demikian segala 

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan 

bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala 

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum 

Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang 

telah ada yaitu  sah. Demikian pula bila  mengenai sesuatu hal 

Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku 

ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasar  Pancasila, dimana Sila yang 

pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan 

memiliki  hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian 

sehingga perkawinan bukan saja memiliki  peranan yang penting. 

Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, 

yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan 

menjadi hak dan kewajiban orang tua.

155

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan 

diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai 

dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum 

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan 

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan 

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan 

lain dalam Undang- undang ini.

Pasal 3

1. Undang-undang ini menganut asas monogami.

2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah 

syarat yang itu  dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi hams 

mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan 

dari salon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

1. Oleh karena perkawinan memiliki  maksud agar suami dan isteri 

dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai 

pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan hams disetujui 

oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan itu , 

tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, 

tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut 

ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang 

tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang- 

undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- 

undang ini.

2. Cukup jelas.

3. Cukup jelas.

4. Cukup jelas.

5. Cukup jelas.

6. Cukup jelas.

Pasal 2

156

Pasal 7

1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu 

ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.

2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan- 

ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap 

perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam 

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan 

negara kita  Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

3. Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Oleh karena perkawinan memiliki  maksud agar suami dan isteri 

dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang 

mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat 

dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini 

dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, 

sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama 

lain.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam 

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 

Tahun 1954.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

157

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak 

batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing 

tidak menentukan lain.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

158

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk 

taklik-talak.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

bila  perkawinan Putus, maka harta bersama itu  diatur menurut 

Hukumnya masing-masing.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum 

agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

159

Pasal 39

1. Cukup jelas.

2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian

yaitu :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pema­

dat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) 

tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa 

alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun 

atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan 

berlangsung.

d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan 

berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang 

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya 

sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi 

dalam rumah-tangga.

3. Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

160

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk 

kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

161

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019

Pasal 57

Cukup jelas.

162

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita  

NOMOR 9 TAHUN 1975 

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 

1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,

Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran 

Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran 

Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk 

mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur 

ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang 

itu ;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 

1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAK­

SANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 

1974 TENTANG PERKAWINAN.

BABI

KETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

a. Undang-undang yaitu  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan;

b. Pengadilan yaitu  Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama 

Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya;

c. Pengadilan Negeri yaitu  Pengadilan dalam lingkungan Peradilan 

Umum;

d. Pegawai Pencatat yaitu  pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.

BABU

PENCATATAN PERKAWINAN 

Pasal 2

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat 

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 

tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain 

agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor 

catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang- 

undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku 

bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasar  berbagai peraturan 

yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana 

ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah 

ini.

Pasal 3

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan 

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan 

dilangsungkan.

164

(2) Pemberitahuan itu  dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 

10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu itu  dalam ayat (2) dipicu  

sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati 

Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau 

oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat 

kediaman calon mempelai dan bila  salah seorang atau keduanya pernah 

kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melang­

sungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah 

dipenuhi dan apakah tidak ada  halangan perkawinan menurut 

Undang-undang.

(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) 

Pegawai Pencatat meneliti pula :

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. 

Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat 

dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal- 

usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang 

setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekeijaan dan 

tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat 

(2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, bila  salah seorang calon 

mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh 

satu) tahun;

d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam 

hal calon mempelai yaitu  seorang suami yang masih mempunya 

isteri;

165

e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) 

Undang-undang;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal 

perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk 

kedua kalinya atau lebih;

g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ 

PANGAB, bila  salah seorang calon mempelai atau keduanya 

anggota Angkatan Bersenjata;

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh 

Pegawai Pencatat, bila  salah seorang calon mempelai atau 

keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang 

penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat 

ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

(2) bila  ternyata dari hasil penelitian ada  halangan perkawinan 

sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya 

persyaratan itu  dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, 

keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada 

orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada 

sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan 

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan 

dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang 

ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang 

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari 

calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; bila  salah 

seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau 

suami mereka terdahulu;

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

166

BAB III

TATACARA PERKAWINAN

Pasal 10

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman 

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud 

dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing 

agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing 

hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan 

dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11

(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan- 

ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai 

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai 

Pencatat berdasar  ketentuan yang berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, 

selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat 

yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan 

perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah 

atau yang mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah 

tercatat secara resmi.

BAB IV

AKTA PERKAWINAN 

Pasal 12

Akta perkawinan memuat:

a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan 

tempat kediaman suami-isteri;

bila  salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga 

nama isteri atau suami terdahulu;

167

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua 

mereka;

c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang- 

undang;

d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi 

anggota Angkatan Bersenjata;

h. Perjanjian perkawinan bila  ada;

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para 

saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekeijaan dan tempat kediaman 

kuasa bila  perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pasal 13

(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan 

oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan 

dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.

(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta 

perkawinan.

BAB V

TATACARA PERCERAIAN 

Pasal 14

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama 

Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada 

Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia 

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta 

meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam 

Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

168

memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan 

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk 

menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 bila  memang 

ada  alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan 

Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang 

bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam 

rumah tangga.

Pasal 17

Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian 

yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan 

tentang terjadinya perceraian itu . Surat keterangan itu dikirimkan 

kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu teijadi untuk diadakan 

pencatatan perceraian.

Pasal 18

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan 

sidang pengadilan.

Pasal 19

Perceraian dapat teijadi karena alasan atau alasan-alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, 

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun 

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau 

karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau 

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang 

membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat 

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

169

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah 

tangga.

Pasal 20

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya 

kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman 

tergugat.

(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui 

atau tidak memiliki  tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan 

perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. 

Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan itu  kepada tergugat 

melalui Perwakilan Republik negara kita  setempat.

Pasal 21

(1) Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam Pasal 19 huruf b, 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.

(2) Gugatan itu  dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) 

tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.

(3) Gugatan dapat diterima bila  tergugat menyatakan atau menunjukkan 

sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22

(1) Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam Pasal 19 huruf f, 

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.

(2) Gugatan itu  dalam ayat (1) dapat diterima bila  telah cukup 

jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan 

pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang- 

orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Pasal 23

Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat

hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai

dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan

170

perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan 

Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan 

bahwa putusan itu telah memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 24

(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat atau berdasar  pertimbangan bahaya yang mungkin 

ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri itu  untuk 

tidak tinggal dalam satu rumah.

(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat 

atau tergugat, Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan 

pendidikan anak;

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya 

barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau 

barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang 

menjadi hak isteri.

Pasal 25

Gugatan perceraian gugur bila  suami atau isteri meninggal sebelum

adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 26

(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan 

perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan 

dipanggil untuk menghadiri sidang itu .

(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi 

Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk 

oleh Ketua Pengadilan Agama.

(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. bila  

yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan 

melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.

(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan 

secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau 

kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.

171

(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 27

(1) bila  tergugat berada dalam keadaan seperti itu  dalam Pasal 20 

ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada 

papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu 

atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh 

Pengadilan.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass 

media itu  ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan 

tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.

(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) 

dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) 

dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa 

hadirnya tergugat, kecuali bila  gugatan itu tanpa hak atau tidak 

beralasan.

Pasal 28

bila  tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik negara kita  

setempat.

Pasal 29

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat- 

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan 

perceraian.

(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan 

perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan 

diterimanya panggilan itu  oleh penggugat maupun tergugat atau 

kuasa mereka.

(3) bila  tergugat berada dalam keadaan seperti itu  dalam Pasal 20 

ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang- 

kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan 

perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.

172

Pasal 30

Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri 

atau mewakilkan kepada kuasanya.

Pasal 31

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan 

kedua pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan 

pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 32

bila  tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian 

baru berdasar  alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian 

dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 33

bila  tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian 

dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 34

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya 

terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor 

pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama 

Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 35

(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk 

berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan 

sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah memiliki  

kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai 

kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai 

Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang 

diperuntukkan untuk itu.

173

(2) bila  perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan 

daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, 

maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa 

bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat 

perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat itu  dicatat 

pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi 

perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan 

kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.

(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan itu  dalam ayat (1) menjadi 

tanggungjawab Panitera yang bersangkutan bila  yang demikian itu 

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal 36

(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah 

perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah memiliki  

kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk 

dikukuhkan.

(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata- 

kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri 

dan dibubuhi cap dinas pada putusan itu .

(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah 

diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali 

putusan itu kepada Pengadilan Agama.

BAB VI

PEMBATALAN PERKAWINAN

Pasal 37

Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

Pasal 38

(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak 

yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah 

hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat 

tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.

174

(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan 

sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan 

perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara 

itu  dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah 

ini.

BAB VII

WAKTU TUNGGU 

Pasal 39

(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 

ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

1. bila  perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu 

ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;

2. bila  perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi 

yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan 

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak 

berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;

3. bila  perkawinan putus sedang janda itu  dalam keadaan 

hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena 

perceraian sedang antara janda itu  dengan bekas suaminya belum 

pernah terjadi hubungan kelamin.

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu 

dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang memiliki  kekuatan 

hukum yang tetap, sedang  bagi perkawinan yang putus karena 

kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

BAB VIII

BERISTERI LEBIH DARI SEORANG

Pasal 40

bila  seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia 

wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

175

Pasal 41

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin 

lagi, ialah :

-  bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

-  bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat 

disembuhkan;

-  bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan 

maupun tertulis, bila  persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, 

persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan 

hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

-  surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani 

oleh bendahara tempat bekerja; atau

-  surat keterangan pajak penghasilan; atau

-  surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap 

isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari 

suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pasal 42

(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, 

Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat- 

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan 

beserta lampiran-lampirannya.

Pasal 43

bila  Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk 

beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Memberi  putusannya yang 

berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

176

Pasal 44

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang 

suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan 

seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA 

Pasal 45

(1) Kecuali bila  ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan 

yang berlaku, maka:

a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 

10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan 

hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima 

ratus rupiah);

b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam 

Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini 

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) 

bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima 

ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan 

pelanggaran.

BAB X 

PENUTUP

Pasal 46

Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, 

maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan 

tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan 

Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.

Pasal 47

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh 

telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.

177

Pasal 48

Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran 

pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri 

Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama 

maupun dalam bidangnya masing-masing.

Pasal 49

(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;

(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan 

secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan 

pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam 

Lembaran Negara Republik negara kita .

Ditetapkan di Jakarta 

pada tanggal 1 April 1975 

PRESIDEN REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SOEHARTO 

JENDERAL TNI

Diundangkan di Jakarta 

pada tanggal 1 April 1975 

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA 

REPUBLIK negara kita , 

ttd.

SUDHARMONO, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  TAHUN 1975 NOMOR 12

178

m

PRESIDEN

REPUBLIK negara kita 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita  

NOMOR 9 TAHUN 1975 

TENTANG

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 

1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UMUM:

Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif 

masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang 

menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan 

perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, 

tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan 

perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari 

seorang dan sebagainya.

Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah- 

masalah itu , yang diharapkan akan dapat memperlancar dan 

mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang itu . Dengan keluarnya 

Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan 

secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 itu , ialah pada tanggal 1 

Oktober 1975.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan 

langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan 

dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan, khususnya dari 

Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam 

Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu

179

ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan 

Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan itu .

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1) dan (2)

Dengan adanya ketentuan itu  dalam pasal ini maka 

pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni 

Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan 

Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.

Ayat (3)

Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara 

pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan 

ketentuan-ketentuan itu  dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 

Peraturan Pemerintah ini, sedang  ketentuan-ketentuan khusus 

yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur 

dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan 

Pemerintah ini.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

bila  ada  alasan yang sangat penting untuk segera 

melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh) 

hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan 

segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara, 

maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan 

permohonan dispensasi.

180

Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus 

dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau 

oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi bila  karena sesuatu alasan 

yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara 

lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat 

dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon 

mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan 

perkawinan yaitu  wali atau orang lain yang ditunjuk berdasar  

kuasa khusus.

Pasal 5

Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka 

dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantum­

kan baik nama kecil maupun nama keluarga. sedang  bagi mereka 

yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama 

kecilnya saja ataupun namanya saja.

Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat 

dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.

Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan itu  merupakan 

ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya 

hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang 

beragama Islam.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf f

Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang 

meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu. 

bila  Lurah/Kepala Desa tidak dapat Memberi  

keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan 

mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain 

yang sah, atau keterangan yang diberikan di bawah sumpah 

oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat.

Pasal 4

181

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau 

kepada orang tua atau kepada wakilnya”, yaitu  bahwa 

pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus 

ditujukan dan disampaikan kepada salah satu dibandingkan  mereka itu 

yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan 

perkawinan.

Pasal 8

Maksud pengumuman itu  yaitu  untuk memberi kesempatan 

kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan 

bagi dilangsungkannya suatu perkawinan bila  yang demikian itu 

diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan 

kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan 

peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 9

Pengumuman dilakukan:

-  di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi 

wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan

-  di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman 

masing-masing calon mempelai.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di 

dalam pasal ini mempakan ketentuan minimal sehingga masih 

dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor 

akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun

182

pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat; 

tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para saksi, dan bagi 

yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari 

maskawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang 

memerlukannya berdasar  peraturan perundang-undangan yang 

berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara 

tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan. 

Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut 

mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak Memberi  izin bagi 

anggota Angkatan Bersenjata.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai 

talak.

Pasal 15.

Cukup jelas.

Pasal 16

Sidang Pengadilan itu , setelah meneliti dan berpendapat adanya 

alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk 

mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian 

menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang 

itu .

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas.

183

Pasal 20

Ayat (1)

Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri 

yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh 

seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan 

perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain 

agama Islam.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya 

dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan 

prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak 

berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasar  

pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak- 

anaknya.

Ayat (2)

Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri 

tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya 

Memberi  nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas

184

kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga 

jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama 

oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami 

menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang 

demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami- 

isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian' bagi 

pihak ketiga.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang 

demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi 

dikabulkannya gugatan perceraian bila  gugatan itu  tidak 

didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud 

Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat(l)

Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang 

pemeriksaan gugatan perceraian yaitu  sebagai usaha 

mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena

185

makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin 

baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi 

keluarga, dan bila  mereka memiliki  anak terutama bagi 

anak-anaknya.

Ayat (2)

Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan 

sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi 

memiliki  waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna 

menghadapi sidang itu . Terutama kepada tergugat harus 

diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari 

secara baik isi gugatan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 30

Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu 

suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi 

kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan 

membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya 

yang diperlukan.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam 

pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak 

terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam 

perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu 

belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah 

pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan 

lain yang dianggap perlu.

Pasal 32

Cukup jelas.

186

Pasal 33

bila  pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan 

tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang 

tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi 

pemeriksaan saksi-saksi.

bila  berdasar  hasil pemeriksaan ada  alasan-alasan yang 

dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami 

atau isteri untuk melakukan perceraian.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan 

Pengadilan Agama hanya dilakukan bila  putusan itu telah 

memiliki  kekuatan hakim yang tetap.

Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan 

Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum 

dilakukan pengukuhan.

Pengukuhan itu  bersifat administratip; Pengadilan Negeri 

tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan 

Agama dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 37

Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa 

akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap 

keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan 

terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar 

Pengadilan.

187

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedang  antara 

wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan 

kelamin, maka bagi wanita itu  tidak ada waktu tunggu; ia 

dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian 

itu.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Huruf c sub iii : bila  tidak mungkin diperoleh surat keterangan 

sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu 

surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak 

mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan 

sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan 

yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.

188

Pejabat Yang melanggar ketentuan itu  dihukum dengan hukuman 

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya 

Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan- 

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang 

perkawinan yang telah ada, bila  telah diatur di dalam Peraturan 

Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Selain hal yang itu  di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang 

diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan 

perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan 

Peraturan Pemerintah ini yakni bila  :

a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang 

sama dengan Peraturan Pemerintah;

b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap 

pengaturannya;

c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan 

Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050

189


HUKUM KEWARISAN ISLAM DI negara kita  

(Analisis Terhadap Buku II Kompilasi Hukum Islam)

A b s t r a c t :  the compilation o f Islamic law (KHI) consists o f  

three books: book one concerns o f marriage; book two concerns o f  

inheritance, and book three concerns o f  religious endowment. 

Unlike book one and book three which have other legislation 

regulating them i.e. Law No. 1/1974 o f marriage, Government 

Regulation No