na perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
143
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan itu pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasar kepentingan anak; bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban itu , Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya itu ;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk Memberi
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak itu ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
144
Pasal 44
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
i , bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina
^ ak itu akibat dibandingkan perzinaan itu .
,adilan Memberi keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
mintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X
^ HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak itu mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali bila
kepentingan anak itu menghendakinya.
145
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kek
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang terten
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus k
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwena>
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: \
1. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
itu .
BAB XI
PERWALIAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan
di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak itu atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan keperca
yaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
146
(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada
dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang itu
dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang
dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak itu
dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian itu .
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran itu dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasar bukti-bukti
yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan itu ayat (2) pasal ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
147
yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan diluar negara kita
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar negara kita antara dua orang
warganegara negara kita atau seorang warganegara negara kita dengan
warganegara Asing yaitu sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara negara kita tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah
negara kita , surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di negara kita tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan negara kita .
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan
Republik negara kita yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai
hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
148
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di negara kita dilakukan
menurut Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat itu dalam ayat (1) telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk Memberi surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan
Memberi keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang itu ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
memiliki kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan
dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperli
hatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam
Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedang ia
mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan
tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan dihukum jabatan.
149
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59
ayat (1) Undang-undang ini.
Pasal 62
Bagian Keempat
Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
2. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan
Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut
peraturan-peraturan lama, yaitu sah.
Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasar
hukum lama maupun berdasar Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini
maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
1. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua
isteri dan anaknya;
2. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak memiliki hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi;
3. Semua isteri memiliki hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang
menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
150
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasar atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-
undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan negara kita
Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.
1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan
pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Ttd.
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
151
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 1974 NOMOR 1
152
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN UMUM :
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti negara kita yaitu mutlak adanya
Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan Memberi landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan
dalam warga kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai
golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:
1. bagi orang-orang negara kita Asli yang beragama Islam berlaku
hukum Agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;
2. bagi orang-orang negara kita Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
3. bagi orang-orang negara kita Asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijks Ordonnantie Christen negara kita (S. 1933 Nomor 74);
4. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara negara kita
keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
5. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara
negara kita keturunan Timur Asing lainnya itu berlaku hukum
Adat mereka;
153
6. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara negara kita keturunan
Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.
3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, sedang di lain fihak harus dapat pula menampung
segala kenyataan yang hidup dalam warga dewasa ini. Undang
undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan.
4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas
mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan
zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-
undang ini yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil
dan material.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan
yaitu sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan yaitu sama halnya
dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya bila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama
dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat
beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang
suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan bila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.
154
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan memiliki hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah
bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang, inj
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam
belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga
yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini
menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang
Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri yaitu seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun
dalam pergaulan warga , sehingga dengan demikian segala
sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.
5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang
telah ada yaitu sah. Demikian pula bila mengenai sesuatu hal
Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku
ketentuan yang ada.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasar Pancasila, dimana Sila yang
pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja memiliki peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan,
yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan
menjadi hak dan kewajiban orang tua.
155
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan
diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai
dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam Undang- undang ini.
Pasal 3
1. Undang-undang ini menganut asas monogami.
2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah
syarat yang itu dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi hams
mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan
dari salon suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
1. Oleh karena perkawinan memiliki maksud agar suami dan isteri
dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai
pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan hams disetujui
oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan itu ,
tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini,
tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut
ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
undang ini.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Cukup jelas.
5. Cukup jelas.
6. Cukup jelas.
Pasal 2
156
Pasal 7
1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu
ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap
perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan
negara kita Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
3. Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Oleh karena perkawinan memiliki maksud agar suami dan isteri
dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat
dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama
lain.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32
Tahun 1954.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
157
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak
batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
158
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk
taklik-talak.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
bila perkawinan Putus, maka harta bersama itu diatur menurut
Hukumnya masing-masing.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
159
Pasal 39
1. Cukup jelas.
2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
yaitu :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pema
dat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang libel berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah-tangga.
3. Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
160
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk
kekuasaan sebagai wali-nikah.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
161
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019
Pasal 57
Cukup jelas.
162
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : bahwa untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019), dipandang perlu untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur
ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang
itu ;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAK
SANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a. Undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
b. Pengadilan yaitu Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama
Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya;
c. Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum;
d. Pegawai Pencatat yaitu pegawai pencatat perkawinan dan perceraian.
BABU
PENCATATAN PERKAWINAN
Pasal 2
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor
catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasar berbagai peraturan
yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
164
(2) Pemberitahuan itu dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu itu dalam ayat (2) dipicu
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau
oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai dan bila salah seorang atau keduanya pernah
kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.
Pasal 6
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melang
sungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak ada halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)
Pegawai Pencatat meneliti pula :
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-
usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang
setingkat dengan itu;
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekeijaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai;
c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, bila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam
hal calon mempelai yaitu seorang suami yang masih mempunya
isteri;
165
e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk
kedua kalinya atau lebih;
g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/
PANGAB, bila salah seorang calon mempelai atau keduanya
anggota Angkatan Bersenjata;
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat, bila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang
penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat
ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) bila ternyata dari hasil penelitian ada halangan perkawinan
sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya
persyaratan itu dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini,
keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; bila salah
seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau
suami mereka terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
166
BAB III
TATACARA PERKAWINAN
Pasal 10
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud
dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasar ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah
atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
BAB IV
AKTA PERKAWINAN
Pasal 12
Akta perkawinan memuat:
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami-isteri;
bila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga
nama isteri atau suami terdahulu;
167
b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua
mereka;
c. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-
undang;
d. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
e. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;
f. Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;
g. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi
anggota Angkatan Bersenjata;
h. Perjanjian perkawinan bila ada;
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para
saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;
j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekeijaan dan tempat kediaman
kuasa bila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Pasal 13
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
BAB V
TATACARA PERCERAIAN
Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam
Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
168
memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 bila memang
ada alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan
tentang terjadinya perceraian itu . Surat keterangan itu dikirimkan
kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu teijadi untuk diadakan
pencatatan perceraian.
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.
Pasal 19
Perceraian dapat teijadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
169
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Pasal 20
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.
(2) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui
atau tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan itu kepada tergugat
melalui Perwakilan Republik negara kita setempat.
Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan itu dalam Pasal 19 huruf b,
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
(2) Gugatan itu dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua)
tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima bila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan itu dalam Pasal 19 huruf f,
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan itu dalam ayat (1) dapat diterima bila telah cukup
jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan
pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-
orang yang dekat dengan suami-isteri itu.
Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan
170
perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan
Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasar pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri itu untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak isteri.
Pasal 25
Gugatan perceraian gugur bila suami atau isteri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang itu .
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. bila
yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan
melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
171
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27
(1) bila tergugat berada dalam keadaan seperti itu dalam Pasal 20
ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu
atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media itu ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali bila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
Pasal 28
bila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik negara kita
setempat.
Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan
perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan itu oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka.
(3) bila tergugat berada dalam keadaan seperti itu dalam Pasal 20
ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
172
Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan
kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 32
bila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasar alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian
dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 33
bila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 34
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama
Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 35
(1) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai
kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai
Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang
diperuntukkan untuk itu.
173
(2) bila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan
daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan,
maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa
bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat itu dicatat
pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan
kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
(3) Kelalaian mengirimkan salinan putusan itu dalam ayat (1) menjadi
tanggungjawab Panitera yang bersangkutan bila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 36
(1) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk
dikukuhkan.
(2) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-
kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri
dan dibubuhi cap dinas pada putusan itu .
(3) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali
putusan itu kepada Pengadilan Agama.
BAB VI
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pasal 37
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.
Pasal 38
(1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak
yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat
tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.
174
(2) Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan
sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan pembatalan
perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara
itu dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah
ini.
BAB VII
WAKTU TUNGGU
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
1. bila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
2. bila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
3. bila perkawinan putus sedang janda itu dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda itu dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum yang tetap, sedang bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
bila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
175
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, bila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
- surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
- surat keterangan pajak penghasilan; atau
- surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Memberi putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
176
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Kecuali bila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka:
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3,
10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima
ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan
pelanggaran.
BAB X
PENUTUP
Pasal 46
Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini,
maka ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengaturan
tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi anggota Angkatan
Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menteri HANKAM/PANGAB.
Pasal 47
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku.
177
Pasal 48
Petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang masih dianggap perlu untuk kelancaran
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri
Kehakiman, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, baik bersama-sama
maupun dalam bidangnya masing-masing.
Pasal 49
(1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975;
(2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, merupakan pelaksanaan
secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik negara kita .
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
ttd.
SOEHARTO
JENDERAL TNI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1975
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 1975 NOMOR 12
178
m
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK negara kita
NOMOR 9 TAHUN 1975
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR
1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
UMUM:
Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif
masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang
menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tatacara pelaksanaan
perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian,
tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan
perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah-
masalah itu , yang diharapkan akan dapat memperlancar dan
mengamankan pelaksanaan dari Undang-undang itu . Dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah ini maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan
secara efektif dari Undang-undang Nomor 1 itu , ialah pada tanggal 1
Oktober 1975.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan
langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan
dari berbagai Departemen/Instansi yang bersangkutan, khususnya dari
Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam
Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu
179
ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan itu .
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1) dan (2)
Dengan adanya ketentuan itu dalam pasal ini maka
pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni
Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan
Sipil atau instansi/ pejabat yang membantunya.
Ayat (3)
Dengan demikian maka hal-hal yang berhubungan dengan tatacara
pencatatan perkawinan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan itu dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini, sedang ketentuan-ketentuan khusus
yang menyangkut tatacara pencatatan perkawinan yang diatur
dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
bila ada alasan yang sangat penting untuk segera
melangsungkan perkawinan meskipun belum lampau 10 (sepuluh)
hari, misalnya karena salah seorang dari calon mempelai akan
segera pergi ke luar negeri untuk melaksanakan tugas negara,
maka yang demikian itu dimungkinkan dengan mengajukan
permohonan dispensasi.
180
Pada prinsipnya kehendak untuk melangsungkan perkawinan harus
dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau
oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi bila karena sesuatu alasan
yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan secara
lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat
dilakukan secara tertulis. Selain itu maka yang dapat mewakili calon
mempelai untuk memberitahukan kehendak melangsungkan
perkawinan yaitu wali atau orang lain yang ditunjuk berdasar
kuasa khusus.
Pasal 5
Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka
dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantum
kan baik nama kecil maupun nama keluarga. sedang bagi mereka
yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama
kecilnya saja ataupun namanya saja.
Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat
dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.
Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitahuan itu merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya
hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang
beragama Islam.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf f
Surat kematian diberikan oleh Lurah/Kepala Desa yang
meliputi wilayah tempat kediaman suatu atau isteri terdahulu.
bila Lurah/Kepala Desa tidak dapat Memberi
keterangan dimaksud berhubung tidak adanya laporan
mengenai kematian itu, maka dapat diberikan keterangan lain
yang sah, atau keterangan yang diberikan di bawah sumpah
oleh yang bersangkutan di hadapan Pegawai Pencatat.
Pasal 4
181
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “diberitahukan kepada mempelai atau
kepada orang tua atau kepada wakilnya”, yaitu bahwa
pemberitahuan mengenai adanya halangan perkawinan itu harus
ditujukan dan disampaikan kepada salah satu dibandingkan mereka itu
yang datang memberitahukan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan.
Pasal 8
Maksud pengumuman itu yaitu untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
bagi dilangsungkannya suatu perkawinan bila yang demikian itu
diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 9
Pengumuman dilakukan:
- di kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi
wilayah tempat perkawinan dilangsungkan, dan
- di kantor/kantor-kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman
masing-masing calon mempelai.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan di
dalam pasal ini mempakan ketentuan minimal sehingga masih
dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai nomor
akta, tanggal, bulan, tahun pendaftaran; jam, tanggal, bulan dan tahun
182
pernikahan dilakukan; nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat;
tandatangan para mempelai Pegawai Pencatat; para saksi, dan bagi
yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya; bentuk dari
maskawin atau izin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang
memerlukannya berdasar peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Huruf f; Persetujuan yang dimaksud di sini dinyatakan secara
tertulis atas dasar sukarela, bebas dari tekanan, ancaman atau paksaan.
Huruf g; Menteri HANKAM/PANGAB mengatur lebih lanjut
mengenai Pejabat yang ditunjuknya yang berhak Memberi izin bagi
anggota Angkatan Bersenjata.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Pasal ini berikut Pasal-pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai
talak.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16
Sidang Pengadilan itu , setelah meneliti dan berpendapat adanya
alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian
menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu dalam sidang
itu .
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
183
Pasal 20
Ayat (1)
Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh
seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya
dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan
prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Izin Pengadilan untuk memperkenankan suami-isteri tidak
berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasar
pertimbangan demi kebaikan suami-isteri itu beserta anak-
anaknya.
Ayat (2)
Bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri
tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya
Memberi nafkah kepada isterinya. Demikian pula tugas
184
kewajiban suami-isteri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga
jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama
oleh suami-isteri, maupun harta kekayaan isteri atau suami
menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang
demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami-
isteri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian' bagi
pihak ketiga.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang
demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi
dikabulkannya gugatan perceraian bila gugatan itu tidak
didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud
Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat(l)
Penetapan waktu yang singkat untuk mengadakan sidang
pemeriksaan gugatan perceraian yaitu sebagai usaha
mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena
185
makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh Pengadilan makin
baik, bukan saja bagi kedua suami-isteri itu melainkan bagi
keluarga, dan bila mereka memiliki anak terutama bagi
anak-anaknya.
Ayat (2)
Hendaknya jangka waktu antara penyampaian panggilan dan
sidang diatur agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi
memiliki waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna
menghadapi sidang itu . Terutama kepada tergugat harus
diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari
secara baik isi gugatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu
suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi
kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan
membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya
yang diperlukan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Usaha untuk mendamaikan suami-isteri yang sedang dalam
pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak
terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam
perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu
belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah
pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan
lain yang dianggap perlu.
Pasal 32
Cukup jelas.
186
Pasal 33
bila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian, akan
tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang
tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi
pemeriksaan saksi-saksi.
bila berdasar hasil pemeriksaan ada alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami
atau isteri untuk melakukan perceraian.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan
Pengadilan Agama hanya dilakukan bila putusan itu telah
memiliki kekuatan hakim yang tetap.
Dengan perkataan lain, maka terhadap suatu putusan Pengadilan
Agama yang dimintakan banding atau kasasi, masih belum
dilakukan pengukuhan.
Pengukuhan itu bersifat administratip; Pengadilan Negeri
tidak melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan Pengadilan
Agama dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Mengingat, bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa
akibat yang jauh baik terhadap suami isteri maupun terhadap
keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan
terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar
Pengadilan.
187
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedang antara
wanita itu dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan
kelamin, maka bagi wanita itu tidak ada waktu tunggu; ia
dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian
itu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Huruf c sub iii : bila tidak mungkin diperoleh surat keterangan
sebagaimana dimaksud pada sub i atau ii, maka dapat diusahakan suatu
surat keterangan lain yakni sepanjang Pengadilan dapat menerimanya.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak
mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan
sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan
yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.
188
Pejabat Yang melanggar ketentuan itu dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini maka ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan yang telah ada, bila telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selain hal yang itu di atas maka dalam hal suatu ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini telah diatur didalam peraturan
perundangan tentang perkawinan yang ada maka diperlakukan
Peraturan Pemerintah ini yakni bila :
a. peraturan perundangan yang telah ada memuat pengaturan yang
sama dengan Peraturan Pemerintah;
b. peraturan perundangan yang telah ada belum lengkap
pengaturannya;
c. peraturan perundangan yang telah ada bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3050
189
HUKUM KEWARISAN ISLAM DI negara kita
(Analisis Terhadap Buku II Kompilasi Hukum Islam)
A b s t r a c t : the compilation o f Islamic law (KHI) consists o f
three books: book one concerns o f marriage; book two concerns o f
inheritance, and book three concerns o f religious endowment.
Unlike book one and book three which have other legislation
regulating them i.e. Law No. 1/1974 o f marriage, Government
Regulation No