Tampilkan postingan dengan label esegese perjanjian lama 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label esegese perjanjian lama 1. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Desember 2025

esegese perjanjian lama 1

   

  


Sebagian besar Kitab Suci Perjanjian Lama membuat para 

pembacanya memiliki kesan bahwa kitab-kitab yang tersusun di dalamnya 

seolah-olah narasi sejarah. Pembacaan secara teliti atas Kitab-Kitab Sejarah 

akan membuat kesan itu mendapat penjelasannya. Pada periode Kerajaan 

Tunggal Israel dirintis timbullah tren gaya penulisan baru. Para panitera 

kerajaan menyusun arsip atau memoar terkait peristiwa dan peristiwa penting 

yang berdinamika di kerajaan tersebut. Misalnya, teks 1Raj.11:41. Teks ini 

memuat kitab narasi hidup Raja Salomo. Teks 1Raj.14:19.29 menjadi contoh 

lainnya. Teks ini memuat narasi sejarah raja-raja Israel (Utara) dan Yehuda 

(Selatan). Berdasarkan konteks ini, narasi pembangunan, pemulihan, dan 

pengudusan Bait Allah Yerusalem (1Raj.6-8) berasal dari memoar atau jurnal 

semacam itu. 

Berbeda dari legenda dan saga, narasi sejarah berbasiskan pada 

sumber yang dapat dipercaya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa narasi sejarah 

dalam Kitab Suci Perjanjian Lama lantas merupakan catatan atau laporan 

akurat murni. Penulis atau editor memanfaatkan catatan-catatan tersebut tidak 

sekadar sebagai dokumentasi kronologis. Penulis atau editor juga memakai 

catatan-catatan tertulis itu untuk maksud pembinaan iman, hidup susila, atau 

kepentingan moral lainnya. 

Dengan maksud itu pula Buku Ajar Mata Kuliah Eksegese: PL 

Sejarah (FIL 182129-02) ini disusun. Catatan-catatan tertulis ini kiranya 

membantu para pembacanya, terutama mahasiswa tidak saja menemukan 

penjelasan atas ayat-ayat dari Kitab Suci Perjanjian Lama, secara khusus 

Kitab-Kitab Sejarah. Lebih dari itu, diharapkan para mahasiswa sebagai orang 

beriman mendapatkan juga pembinaan iman, pembinaan hidup susila, atau 

kepentingan-kepentingan moral lainnya.  

 

Ditilik dari namanya, Kitab-kitab Sejarah bermakna ‘Kitab-kitab yang 

berisi kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau’. 

Dalam pemaknaan ini, Kitab-kitab Sejarah dapat disamakan dengan ‘Buku 

Sejarah Dunia’ atau ‘Buku Sejarah Nasional’. Akan tetapi, dalam konteks 

Kitab Suci, kata ‘sejarah’ selalu memuat makna ‘sejarah iman’. Sejarah iman 

adalah kejadian dan peristiwa yang dilihat dengan mata atau sudut pandang 

iman. Di sinilah terletak perbedaan antara ‘sejarah biasa (profan)’ dengan 

‘sejarah iman’. 

‘Sejarah biasa’ meninjau kejadian atau peristiwa yang sama dari sudut 

pandang mata iman. Misalnya, peristiwa eksodus atau keluaran bangsa Israel 

dari Mesir. ‘Sejarah biasa’ melihat peristiwa itu sekadar sebagai salah satu 

 2 

  

peristiwa pergerakan biasa dari suatu bangsa yang ditindas bangsa lainnya 

atau penokohan satu figur tertentu (Musa). Akan tetapi, ‘sejarah iman’ 

memandang momen tersebut sebagai suatu peristiwa luar biasa, yaitu campur 

tangan Allah. Demikian pula, peristiwa perpindahan Abram dari Haran (Ur-

Kasdim) menuju ke tanah terjanji Kanaan. Sejarah biasa melihatnya sekadar 

sebagai perpindahan biasa kaum pengembara (bangsa nomaden) dari satu 

wilayah ke wilayah lainnya secara geografis. Akan tetapi, sejarah iman 

memandang peristiwa tersebut sebagai panggilan dan perintah Allah kepada 

Abram. Oleh karena itu, istilah teknis ‘Kitab-kitab Sejarah’ harus dipahami 

dalam konteks ‘sejarah iman’. Dengan demikian, harus ada perbedaan antara 

pemahaman antara yang sesungguhnya terjadi (realitas historis) dengan 

permenungan iman akan kehadiran Allah dalam momen tersebut.  

 

B. PENYAJIAN MATERI 

1. Identifikasi Definisi ‘Sejarah’ 

Sebelum masuk ke dalam daftar kitab-kitab yang termasuk dalam 

Kitab-kitab Sejarah ini, perlu dipahami bahwa kegiatan membaca-menulis 

merupakan hasil budaya manusia yang muncul pada periode tertentu sejarah 

manusia. Artinya, kemampuan membaca-menulis bukan merupakan 

kemampuan yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Dengan kata lain, ada 

periode tertentu di mana manusia tidak memiliki kemampuan membaca dan 

menulis (buta huruf). Berdasarkan kondisi tersebut, muncullah pertanyaan, 

kapan kegiatan tulis-menulis ini mulai lahir di Israel? Pertanyaan ini menarik, 

tetapi jarang sekali dipertanyakan. Alasannya, jawaban pertanyaan ini adalah 

sesuatu yang bersifat kompleks. Sejumlah pendapat dari para ahli muncul 

terkait pertanyaan sekaligus jawabannya ini.  

Banyak orang mengajukan asumsi bahwa kegiatan tulis-menulis di 

Israel hanya dimungkinkan dengan munculnya institusi kerajaan. Asumsi ini 

 3 

  

masuk akal. Supaya dapat mengatur administrasi kerajaan, termasuk di 

dalamnya hubungan dan perjanjian dengan bangsa lain, sebuah kerajaan 

membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan tulis-menulis secara 

khusus. Berdasarkan asumsi ini, diduga kuat budaya tulis-menulis mulai 

muncul sekitar abad ke-10. Secara lebih spesifik, zaman Raja Salomo. 

Kemungkinan lainnya adalah periode munculnya Kisah Sejarah 

Deuteronomistis. Yang dimaksudkan adalah tulisan awal berupa narasi 

tentang sejarah Israel yang berasal dari zaman Raja Yosia (640-609 sM). 

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, sejumlah catatan 

dapat dipertimbangkan. Pertama, Kitab-kitab Sejarah yang ada sekarang 

(paling tidak sebagian besarnya) ini mulai ditulis dan diedit tidak lebih awal 

dari abad ketujuh atau beberapa ratus tahun setelah periode Yosua dan periode 

Hakim-hakim. Kedua, tidak berarti bahwa sejarah yang ditulis adalah sejarah 

yang direkayasa. Para penulisnya tetap menggunakan bahan-bahan dan tradisi 

yang tersedia. Akan tetapi, bahan-bahan serta tradisi tersebut bukan pertama-

tama berkaitan dengan sejarah, melainkan berupa legenda atau cerita rakyat. 

Oleh karena itu, walaupun mengandung informasi tentang sejarah Israel yang 

kurang lebih dapat dipertanggungjawabkan, kitab-kitab sejarah ini hanya 

dapat digunakan dengan sangat bijaksana jika akan dipakai untuk 

merekonstruksi sejarah Israel. 

Rekonstruksi sejarah Israel seperti ditampilkan dalam Kitab-kitab 

Sejarah bersifat sangat ideologis. Artinya, tulisan-tulisan itu diwarnai dengan 

sangat kuat teologi Deuteronomistis yang memiliki pola sebab-akibat dalam 

wujud dosa-hukuman dan kebaikan-ganjaran. Tulisan-tulisan itu disusun dari 

sudut pandang atau perspektif Yehuda (Kerajaan Selatan). Sudut pandang ini 

berkeyakinan sangat kuat bahwa Yerusalem dan dinasti Daud adalah pilihan 

Allah. Sikap terhadap Kerajaan Utara (Israel) kurang simpatik. Sementara itu, 

sikap terhadap Bangsa-bangsa Kanaan bahkan lebih buruk. Sudut pandang 

 4 

  

Yehuda memandang Bangsa Kanaan semata-mata sebagai ancaman bagi 

Bangsa Yahudi dan perjanjiannya dengan YHWH.  

Penulis sejarah ini jelas berusaha menyusun narasi yang akurat tentang 

masa lampau. Akan tetapi, secara lebih spesifik mereka juga ingin 

memasukkan pandangan teologis mereka tentang sejarah. Pandangan teologis 

itu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebenarnya sebagai karya Allah 

sendiri sebagai tanggapan atas perilaku manusia. Analisis yang cermat atas 

Kitab-kitab Sejarah menunjukkan bahwa di sejumlah narasinya terdapat 

jejak-jejak pandangan editorial yang berbeda-beda yang selanjutnya 

dijadikan satu. Misalnya, dalam Kitab 1Samuel dapat ditemukan dua 

pandangan tentang terbentuknya kerajaan. Yang satu positif. Lainnya, 

negatif. 

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, 

seorang pembaca harus memiliki kehati-hatian saat bermaksud 

merekonstruksi sejarah Israel berdasarkan narasi Kitab Suci secara umum, 

dan Kitab-kitab Sejarah secara khusus. Dalam konteks ini Kitab Suci 

bukanlah sumber sejarah dalam arti ketat. Sejarah yang ditampilkan dalam 

tulisan-tulisan tersebut adalah sejarah bangsa Israel dalam hubungannya 

dengan YHWH, Allah mereka. Narasi itu menampilkan sejarah kesetiaan 

YHWH dan ketidaksetiaan Israel. kenyataan tersebut menjelaskan bahwa 

pewahyuan Allah tidak hanya melalui kata-kata. Pewahyuan Allah juga 

terjadi melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah. Secara umum, 

penulisan sejarah tidak pernah dapat melepaskan diri dari sudut pandang atau 

perspektif tertentu. Secara khusus, penulisan Kitab-kitab Sejarah 

menggunakan perspektif atau sudut pandang teologis. Konsekuensinya, 

menggunakan Kitab Suci sebagai sumber informasi guna merekonstruksi 

sejarah (Israel) hanya dapat dilakukan dengan ekstra hati-hati karena bias 

teologisnya terlalu besar. 

 5 

  

Secara lebih khusus Gereja menegaskan sikapnya terhadap historisitas 

tulisan ‘sejarah’ ini melalui Komisi Kitab Suci Kepausan dalam responsa-nya 

tertanggal 23 Juni 1905. Tanggapan Gereja negatif, kecuali dalam kasus 

tertentu jika dapat dibuktikan dengan argumen kuat bahwa penulis suci tidak 

bermaksud memberikan suatu sejarah yang besar dan ketat, melainkan (dalam 

narasi sejarah) menyajikan suatu perumpamaan atau alegori (makna lain yang 

berbeda dari makna literal dan historis dari kata-kata tersebut). Pernyataan ini 

diulang lagi dalam surat Komisi Kitab Suci Kepausan kepada Kardinal 

Suhard, Uskup Agung Paris, tertanggal 16 Januari 1948. Kardinal Suhard 

menanyakan historisitas sebelas bab awal dari Kitab Kejadian.  

Tanggapan Komisi Kitab Suci Kepausan menunjukkan bahwa di satu 

pihak, masih ada semacam keengganan untuk menerima bahwa Kitab Suci 

tidak (selalu) menyajikan data historis. Akan tetapi, di lain pihak sudah mulai 

ada keterbukaan ke arah tersebut. Sekarang ini, banyak orang tanpa kesulitan 

menerima bahwa Kitab Suci tidak dapat begitu saja diandaikan menyajikan 

informasi sejarah yang selalu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.  

 

2. Bentuk Sastra Kitab-Kitab Sejarah 

Dibandingkan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, bentuk sastra Kitab-

kitab Sejarah ini memiliki karakteristik tersendiri. Selaras dengan hakikatnya 

sebagai kitab yang bertujuan mengisahkan ‘sejarah’ (iman) Israel, hampir 

seluruh kisah (sejarah), mulai dari Kitab Yosua sampai dengan Kitab 1Raja-

raja dan Kitab Ezra-Nehemia mengambil bentuk sastra prosa dalam wujud 

narasi. Hanya beberapa teks yang merupakan puisi. Misalnya, teks Hak.5 

yang memuat ‘Kidung Debora’ atau teks 2Sam.22 yang memuat ‘Kidung 

Syukur Daud’. 

Dengan mengambil bentuk sastra kisah atau narasi, sejarah 

disampaikan secara kronologis atau linier. Penulis merangkaikan satu 

 6 

  

peristiwa satu sesudah perisitwa yang lain. Pada bagian tertentu penulis juga 

menyampaikan satu peristiwa sebagai penyebab atau latar belakang dari 

peristiwa yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara umum, 

Kitab-kitab Sejarah dari Kitab Yosua sampai dengan Kitab Ezra-Nehemia 

mengisahkan suatu rangkaian dinamika perjalanan bangsa Yahudi. Salah satu 

benang merah tematik yang menyatukan seluruh narasi tersebut adalah ‘tanah 

terjanji’. Narasi ini mengaitkan Kitab-kitab Sejarah dengan bagian awal 

Kitab-kitab Pentateukh yang mengisahkan bahwa ‘tanah’ yang dijanjikan 

YHWH kepada Abraham dan keturunannya sampai pada akhir Pentateukh 

tetap belum tergenapi secara nyata. Barulah pada zaman Yosua, janji ‘tanah’ 

tersebut tergenapi. Bagian awal atau pertama Kitab-kitab Sejarah 

menarasikan bangsa Yahudi menyeberangi sungai Yordan dan mulai 

memasuki tanah terjanji. Teks Yos.1-12 mengisahkan dinamika penaklukan 

ini terjadi. Sementara bagian kedua (Yos.13-21) mengisahkan proses Yosua 

membagi-bagikan tanah terjanji tersebut kepada keduabelas suku Israel. 

Kitab ini menutup dirinya dengan dua pidato Yosua sebelum wafat. Periode 

narasi ini mencakup kurun waktu kira-kira 1225-1200 sM. 

Selanjutnya Kitab Hakim-hakim menggambarkan bangsa Israel di 

tanah terjanji tanpa adanya seorang pemimpin besar yang berwibawa seperti 

Yosua. Tiadanya pemimpin membuat kondisi bangsa Israel bertambah rawan. 

Gangguan dari bangsa-bangsa sekitar serta godaan yang menerpa bangsa 

Israel untuk berpaling dari YHWH sangatlah besar. Situasi seperti itu 

membuka peluang terpicunya bangsa Israel untuk memikirkan jalan keluar 

lain. Salah satunya, bentuk monarki (kerajaan) yang dianggap mampu 

mempersatukan dan mengorganisasikan bangsa secara lebih baik. Di antara 

kitab Hakim-hakim dan Samuel pembaca menjumpai sebuah novel kecil 

tentang Rut. Pembaca dapat memandang novel kecil ini sebagai selingan di 

luar narasi panjang bangsa Israel. Akan tetapi, sebenarnya pembaca dapat 

 7 

  

menempatkan novel kecil ini sebagai suatu kisah close-up pada zaman para 

hakim. Kisah close-up ini membantu pembaca mendapatkan sudut pandang 

yang lebih spesifik tentang kondisi bangsa Yahudi pada periode Hakim-

hakim. 

Kitab 1-2Samuel mengisahkan bahwa pada akhirnya bangsa Israel 

berhasil mewujudkan impian mereka untuk membentuk suatu pemerintahan 

monarki. Mereka memilih dari antara mereka seorang raja. Dua kitab ini 

mengisahkan dua raja pertama Israel, yaitu Saul dan Daud. Dua raja ini 

memberikan warna yang berbeda dalam dinamika Bangsa Israel terkait 

relasinya dengan YHWH. Selanjutnya, kitab 1-2Raja-raja mengisahkan raja-

raja yang menggantikan Saul dan Daud. Periode yang dikisahkan adalah 

sampai kerajaan Israel terpecah menjadi dua dan selanjutnya secara definitif 

hancur. Sebelas bab pertama kitab 1Raja-Raja mengisahkan raja besar 

Salomo yang membangun Bait Allah. Setelah Salomo wafat, kerajaan 

terpecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Utara (Israel) dan Kerajaan Selatan 

(Yehuda). Kedua kerajaan ini berjalan berdampingan sampai ajal menjemput 

mereka masing-masing. Kerajaan Israel hancur secara definitif pada 722 sM. 

Sementara itu, secara definitif Kerajaan Yehuda hancur pada 587 sM. 

Penduduknya  dibuang ke Babilonia. Pada akhir kitab 2Raja-raja (akhir Kisah 

Sejarah Deuteronomistis – KSDtr) tanah yang dijanjikan dan dianugerahkan 

YHWH kepada bangsa Yahudi akhirnya lepas lagi dari genggaman mereka. 

Ditinjau dari sudut isi dan teologi masing-masing kitab, Kitab Yosua, 

Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja memiliki kaitan yang 

erat satu dengan yang lainnya. Keempat kitab ini berisi satu rangkaian narasi 

panjang mengenai sejarah bangsa Israel. Narasi itu membentang mulai dari 

perebutan tanah Kanaan sampai pembuangan ke Babel (1250-586 sM). Kitab 

Yosua mengisahkan perjuangan Bangsa Israel yang dipimpin Yosua. Mereka 

berjuang merebut, menduduki, dan membagi-bagikan tanah Kanaan yang 

 8 

  

berhasil direbutnya itu kepada ke-duabelas suku Israel. Kitab Hakim-hakim 

mengisahkan peristiwa-peristiwa yang dialami ke-duabelas suku Israel saat 

baru saja menetap di tanah Kanaan. Secara khusus, yang mendapat sorotan 

adalah peperangan melawan musuh di bawah pimpinan para Hakim. Kitab 

Samuel mengisahkan dinamika ke-duabelas suku Israel bersekutu untuk 

membentuk suatu kerajaan. Salah satu yang mendapat sorotan adalah usaha 

mereka mengangkat Saul menjadi raja pertama. Setelah itu, yang juga 

menjadi sorotan adalah suksesi kekuasaan dari Saul kepada Daud sebagai 

penggantinya.  

Kitab Raja-raja mengisahkan kelanjutan Kerajaan Israel setelah periode 

pemerintahan Raja Daud. Narasi itu membentang dari periode pemerintahan 

Salomo sebagai raja, perpecahan kerajaan menjadi dua (Utara dan Selatan), 

sampai kehancuran kedua kerajaan itu secara definitif. Kesinambungan narasi 

keempat kitab ini nampak jelas dari awal dan akhir kisah dari masing-masing 

kitab (Yos.24:29 dan Hak.1:1; Hak.21:25 dan 1Sam.8:5; 2Sam.23:1 dan 

1Raj.2:1). Teologi keempat kitab ini pun sama. Keempat kitab itu mengusung 

teologi tentang Allah yang tidak pernah mengingkari firman-Nya yang telah 

diucapkan melalui para bapa bangsa dan para nabi. Allah tetap setia kendati 

bangsa Israel terus-menerus berpaling dari-Nya untuk sujud menyembah 

allah-allah lain. Setiap orang beriman dapat melihat bahwa seluruh sejarah 

Israel hanya terdiri dari kemurahan Allah sekaligus keserakahan Israel, 

kesetiaan Allah dan kemurtadan Israel, serta pengampunan Allah dan 

kedosaan Israel yang terus-menerus terulang kembali (Hak.2:11-19).  

Setelah menyimak masing-masing kandungan teologisnya, pembaca 

sekurang-kurangnya dapat memetik lima pesan pokok Kitab Yosua, Kitab 

Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja. 

  

 9 

  

(1) Hanya Yahwe, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan 

Mesir. Oleh karena itu, Yahwe adalah satu-satunya Allah yang 

harus disembah dan dipuja. Semua allah lain dan patung berhala 

mereka harus disingkirkan dari bumi Israel.  

(2) YHWH, Allah Israel, harus disembah dan dipuja hanya di kenisah 

Yerusalem, tempat yang dipilih Yahwe sendiri. Konsekuensinya, 

semua tempat ibadat lain, baik kuil-kuil resmi maupun bukit-bukit 

pengorbanan harus dihancurkan.  

(3) YHWH memberkati mereka yang setia kepada perjanjian dan 

menghukum mereka yang melanggar perjanjian. Jika ingin hidup 

sejahtera dan bahagia, bangsa Israel haruslah menaati perjanjian 

mereka dengan YHWH.  

(4) Sejarah keselamatan Israel ditentukan firman YHWH melalui para 

nabi. Sebaliknya, kebijakan politik dan ekonomi yang menjadi 

program para raja tidak memberi keselamatan. Jika ingin selamat, 

raja dan bangsa Israel harus mendengarkan firman YHWH yang 

diserukan para nabi.  

(5) Malapetaka telah menimpa bangsa Israel karena mereka melanggar 

perjanjian dan tidak mau mendengarkan firman YHWH. 

Kehancuran dan pembuangan berasal dari kesalahan raja dan 

bangsa Israel sendiri. Bencana atau malapetaka bukanlah akibat 

kelalaian atau ketidakmampuan YHWH. 

  

Pesan pokok ini diungkapkan dengan jelas dalam teks-teks kunci. 

Misalnya, teks-teks Yos.23-24; Hak.2; 1Sam.12; 2Sam.7; 1Raj.8.11; dan 

2Raj.17.25. Di luar itu pembaca dapat memandang Kitab 1-2Tawarikh 

sebagai duplikat Kitab 1-2Raja-raja. Alasannya, praktis Kitab 1-2Tawarikh 

mengisahkan tawarikh (daftar) raja-raja Israel yang berujung pada 

 10 

  

pembuangan Babel. Hanya bagian akhir teks 2Taw.36:22-23 yang memuat 

informasi tentang akhir masa pembuangan yang tidak terdapat dalam 2Raja-

raja. Bagian ini yang praktis diulang dalam teks Ezr.1:1-4 menjadi titik 

sambung antara Kitab 1-2Tawarikh yang adalah periode sebelum 

pembuangan dengan Kitab Ezra-Nehemia yang merupakan periode pasca-

pembuangan. Walau bangsa Israel kembali dari pembuangan, tetap saja tanah 

itu masih berada di tangan Persia. Mereka hanya memiliki otonomi terbatas. 

Kitab Ezra-Nehemia memuat dinamika pembangunan fisik kota Yerusalem 

serta pembaharuan komunitas secara religius di bawah pimpinan Ezra. 

Demikianlah akhir dari narasi yang merentang panjang dalam kurun 

waktu kurang lebih delapan abad (mulai dari abad keduabelas sampai dengan 

abad keempat). Justru karena kitab-kitab ini berbentuk narasi, pendekatan 

yang paling tepat untuk membaca dan menafsirkannya adalah Pendekatan 

Naratif yang masuk dalam Metode Sinkronis. Tentu saja penggunaan 

Pendekatan Naratif tidak serta merta mengesampingkan atau membuang 

begitu saja Metode Diakronis. Oleh karena itu, untuk menganalisis teks, 

pembaca cenderung membaca dan menafsirkan teks-teks Kitab-kitab Sejarah 

melalui sudut pandang Pendekatan Naratif dan Metode Diakronis. 

 

3. Karakteristik Kitab-Kitab Sejarah 

Dalam Kitab Suci Ibrani ‘Kitab-kitab Sejarah’ juga mendapat sebutan 

‘Kitab-kitab Nabi Terdahulu’. Di dalamnya termuat Kitab Yosua, Kitab 

Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja. Sedangkan menurut Kitab 

Suci Yunani (Septuaginta – LXX), ‘Kitab-kitab Sejarah’ ini meliputi Kitab 

Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Rut, Kitab Samuel, Kitab Raja-raja, Kitab 

Tawarikh, Kitab Ezra, Kitab Nehemia (Ezra II), Kitab Ester, Kitab Yudit, 

Kitab Tobit, dan Kitab Makabe. Kitab-kitab ini mendapat sebutan sebagai 

‘Kitab-kitab Sejarah’ karena mengisahkan sejarah iman bangsa Israel dari 

 11 

  

periode Musa (±1250 sM) sampai periode Pembuangan (±586 sM), 

disambung dari periode Akhir Pembuangan (±538 sM) sampai periode 

pemberontakan kaum nasionalis Makabe (±135 sM). 

Kitab-kitab ini mengisahkan pergulatan dan perkembangan iman 

bangsa Israel dalam sejarah hidup mereka selama lebih dari 1.000 tahun. 

Selama kurun waktu tersebut bangsa Israel berjuang untuk masuk tanah 

terjanji Kanaan. Selain itu, mereka juga berjuang untuk menetap serta 

bertumbuh dan berkembang menjadi satu kerajaan. Akhirnya, kurun waktu 

itu juga mencatat kondisi bangsa Israel yang hancur berantakan. Dalam 

kondisi hancur itu identitas mereka sebagai satu bangsa nyaris lenyap. Akan 

tetapi, dari titik terendah itu bangsa Israel mulai bangkit dari kehancuran. 

Mereka berjuang untuk menegakkan kembali Kerajaan Israel yang berdaulat 

dan berkuasa menentukan nasib mereka sendiri. Di antara keduabelas kitab 

itu, ada empat kitab yang kerap mendapat sebutan sebagai ‘Novel Sejarah’ 

atau ‘Roman Historis’. Keempat kitab itu adalah Kitab Rut, Kitab Ester, Kitab 

Yudit, dan Kitab Tobit. Keempat kitab ini memuat narasi tokoh-tokoh tertentu 

dalam sejarah Israel yang hebat dan patut diteladani. Tiga di antara tokoh-

tokoh panutan itu adalah perempuan, yaitu Rut, Ester, dan Yudit. 

Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja 

juga kerap mendapat sebutan ‘Kitab-kitab Sejarah Deuteronomistis’. 

Alasannya, kitab-kitab tersebut mengambil banyak inspirasi dari teologi 

Kitab Deuteronomium atau Kitab Ulangan. Menurut pandangan penulis Kitab 

Ulangan, YHWH menghadapkan bangsa Israel kepada dua pilihan. Pertama, 

‘kehidupan’. Kedua, ‘kematian’. Jika memilih kehidupan, bangsa Israel harus 

mengasihi YHWH dengan berpaut pada-Nya. Sebaliknya, jika memilih 

kematian, bangsa Israel boleh atau dapat berpaling dari YHWH dan sujud 

menyembah allah lain (Ul.30:15-20).  

 12 

  

Oleh karena mengasihi bangsa Israel dan menginginkan keselamatan 

mereka (Ul.7:7-8), YHWH mendesak bangsa Israel memilih kehidupan 

(Ul.30:19-20). Akan tetapi, dalam kenyataannya, bangsa Israel cenderung 

memilih kematian daripada kehidupan. Sepanjang hidup mereka, sejak narasi 

keluaran dari Mesir sampai dengan pembuangan ke Babel, bangsa Israel 

terus-menerus dan berkali-kali berpaling dari YHWH dan sujud menyembah 

allah lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa YHWH juga kerap 

menghukum bangsa Israel. Salah satu hukuman terberat yang dijatuhkan 

YHWH untuk bangsa Israel adalah menghancur-leburkan kerajaan mereka 

dan membuang mereka ke Babel. Pandangan penulis Kitab Ulangan ini 

nampak jelas terbaca dalam Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel, 

dan Kitab Raja-raja (Yos.23-24; Hak.2; 1Sam.12; 2Sam.7; 1Raj.8.11; 

2Raj.17.25). Akibat pengaruh kitab Ulangan, narasi-narasi yang bervariasi 

dari keempat kitab berikutnya (Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja) 

menjadi satu rantai panjang dinamika sejarah tentang ‘kesetiaan Allah’ dan 

‘kemurtadan Israel’. 

Meskipun juga memuat narasi mengenai nenek moyang bangsa Israel, 

dari awal dunia sampai awal bangsa Israel yang terbentuk dari keduabelas 

suku, Pentateukh atau Taurat atau kelima Kitab Musa (Kejadian, Keluaran, 

Imamat, Bilangan, dan Ulangan) tidak termasuk dalam golongan ‘Kitab-kitab 

Sejarah’. Terkait dengan gagasan ini, sejumlah ahli mengemukakan 

alasannya. 

 

(1)  Sudah sejak awal tradisi membedakan Pentateukh dari Kitab Nabi-

nabi Terdahulu yang kemudian disebut ‘Kitab-kitab Sejarah’. 

Sesuai namanya, ‘tōrāh’ (Ibrani) atau ‘tawrāt’ (Arab) yang 

bermakna ‘petunjuk’, ‘pengajaran’, ‘hukum’, ‘wejangan’, ‘aturan 

 13 

  

atau nasihat’, kelima kitab Musa itu memuat lebih banyak ‘Taurat’ 

daripada ‘sejarah’. 

(2) Berbeda dari ‘Kitab-kitab Sejarah’ yang berkisah secara lebih logis 

dan sesuai dengan realitas sejarah, narasi dalam Pentateukh 

cenderung bersifat mitos dan kurang didukung realitas sejarah. 

Dalam hal ini, perlu disadari bahwa Pentateukh disusun jauh 

kemudian (dari sudut pandang waktu] dibandingkan kejadian atau 

peristiwa yang dikisahkan. Pentateukh disusun saat bangsa Israel 

telah mengalami kehancuran dan baru mulai kembali membangun 

sejarah baru. Pentateukh disusun untuk menjadi peringatan supaya 

bangsa Israel jangan mengulangi lagi kesalahan yang sama. Selain 

itu, proses menyusun Pentateukh juga bertujuan supaya bangsa 

Israel senantiasa berpedoman pada awal sejarah terdahulu. 

 

Dalam tradisi Yahudi, Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab 

Samuel, dan Kitab Raja-raja mendapat sebutan sebagai ‘Kitab-kitab Nabi-

nabi Terdahulu’. Menurut tradisi itu pula, keempat kitab ini ditulis oleh ‘Nabi’ 

Yosua, ‘Nabi’ Samuel, dan Nabi Yeremia. Tradisi itu beranggapan bahwa 

Kitab Yosua ditulis Yosua sendiri. Kitab Hakim-hakim dan Kitab Samuel 

ditulis Samuel. Sedangkan Kitab Raja-raja ditulis Yeremia. Ketiga penulis ini 

kerap mendapat sebutan ‘nabi-nabi’ karena mereka pun meyuarakan firman 

atau sabda Allah, sebagaimana para nabi lainnya. Selain itu, keempat kitab 

ini banyak memuat narasi tentang nabi-nabi tertentu (Gad, Natan, Elia, dan 

Elisa) berikut nubuat-nubuat mereka. Guna membedakan kitab-kitab ini 

dengan kitab-kitab para nabi lain, yang dalam Kitab Suci Ibrani disebut 

‘nebî’îm’, para ahli kerap menyebut kitab-kitab ini sebagai ‘nebî’îm 

ri’syonîm’ (nabi-nabi terdahulu). Dengan demikian, akhirnya muncul dua 

istilah teknis dalam tradisi Yahudi. Pertama, Kitab ‘Nabi-nabi Terdahulu’ 

 14 

  

yang mencakup Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja. Kedua, 

Kitab ‘Nabi-nabi Kemudian’ yang mencakup Kitab-kitab Nubuat Yesaya, 

Yeremia, Yehezkiel, dan keduabelas nabi lainnya. Istilah teknis ‘Nabi-nabi 

Terdahulu’ mendapatkan pembenaran atau masuk akal sejauh keempat kitab 

itu juga berisikan semangat dan warta kenabian, khususnya semangat dan 

warta Kitab Ulangan dan Kitab Yeremia, yang menyerukan kesetiaan total 

kepada YHWH. 

 

C. RANGKUMAN 

(1) Dalam konteks Kitab Suci, kata ‘sejarah’ selalu memuat makna ‘sejarah 

iman’. Sejarah iman adalah kejadian dan peristiwa yang dilihat dengan 

mata atau sudut pandang iman. Oleh karena itu, istilah teknis ‘Kitab-kitab 

Sejarah’ harus dipahami dalam konteks ‘sejarah iman’. Dengan 

demikian, harus ada perbedaan antara pemahaman antara yang 

sesungguhnya terjadi (realitas historis) dengan permenungan iman akan 

kehadiran Allah dalam momen tersebut. 

(2) Selaras dengan hakikatnya sebagai kitab yang bertujuan mengisahkan 

‘sejarah’ (iman) Israel, hampir seluruh kisah (sejarah), mulai dari Kitab 

Yosua sampai dengan Kitab 1Raja-raja dan Kitab Ezra-Nehemia 

mengambil bentuk sastra prosa dalam wujud narasi. Hanya beberapa teks 

yang merupakan puisi. Misalnya, teks Hak.5 yang memuat ‘Kidung 

Debora’ atau teks 2Sam.22 yang memuat ‘Kidung Syukur Daud’.  

(3) Kitab-kitab ini mengisahkan pergulatan dan perkembangan iman bangsa 

Israel dalam sejarah hidup mereka selama lebih dari 1.000 tahun. Selama 

kurun waktu tersebut bangsa Israel berjuang untuk masuk tanah terjanji 

Kanaan. Selain itu, mereka juga berjuang untuk menetap serta bertumbuh 

dan berkembang menjadi satu kerajaan. Akhirnya, kurun waktu itu juga 

mencatat kondisi bangsa Israel yang hancur berantakan. 

 

PENGANTAR UMUM: KISAH SEJARAH DEUTERONOMISTIS 

(

Pembaharuan atau reformasi Deuteronomistis terhenti akibat wafatnya 

Raja Yosia (609 sM). Akan tetapi, di kalangan tertentu, terutama yang dekat 

dengannya, cita-cita reformasi Raja Yosia tetap dikobarkan. Kalangan ini 

lantas menyusun sebuah karya raksasa. Mahakarya tersebut memuat kisah 

sejarah Bangsa Israel sejak Musa sampai dengan Periode Pembuangan. 

Kemungkinan besar karya itu telah dimulai sejak periode Raja Yosia. Rintisan 

tersebut terus dikerjakan selama beberapa generasi sampai sekitar 560 sM. 

Para penyusun kisah atau narasi ini menggunakan banyak materi kunno. 

Sebagian besarnya dalam wujud tradisi lisan. Akan tetapi, sebagian lainnya 

adalah tradisi tertulis. Tradisi tertulis ini memuat suatu refleksi teologis 

tentang sejarah Bangsa Israel. Sebagai indikator untuk menilai tokoh-tokoh 

dan peristiwa yang ada dalam narasi tersebut, digunakanlah naskah teks Ul.5-

 17 

  

28. Berdasarkan indikator tersebut, kelompok penyusun narasi sekaligus 

kelompok terdekat Raja Yosia ini mendapat sebutan ‘Kelompok 

Deuteronomistis’. Kitab Ulangan 5-28 para proses editorialnya mendapat 

tambahan dengan teks Ulangan 1-4 dan teks Ulangan 29-34. Secara 

keseluruhan gabungan materi ini menjadi pengantar bagi kisah atau narasi 

yang memuat Kitab-Kitab Yosua, Hakim-Hakim, 1-2Samuel, dan 1-2Raja-

Raja. Penyusunan Kisah Sejarah Deuteronomistis (KSDtr) yang telah dimulai 

sejak Raja Yosia diteruskan pada saat Pembuangan Babel. Naskah ini 

mendapat wujud definitifnya pada sekitar 560 sM. 

 

B. PENYAJIAN MATERI 

Martin Noth mengajukan tiga gagasan terkait Kitab-kitab Sejarah 

Deuteronomistik (KSDtr.). Pertama, (para) penulis atau editornya menyusun 

kitab-kitab ini selama periode Pembuangan di Babel. Kedua, kitab-kitab ini 

merupakan satu kesatuan tulisan yang direncanakan dan disusun dengan 

sangat baik. Kitab-kitab ini merupakan buah tangan penulis yang sangat 

terampil. Ketiga, (para) penulis atau editor kitab-kitab ini menyusun atau 

menulis dengan menggunakan kombinasi dari aneka sumber dan komentar 

redaksional dengan pertimbangan yang sangat bijaksana dan teliti. Selain 

ketiga gagasan ini, Noth juga mengajukan hipotesis bahwa kitab-kitab ini 

merupakan catatan yang memuat dokumen-dokumen penghakiman dan 

penghukuman bagi Bangsa Israel karena ketidak-setiaan mereka kepada 

perjanjian dengan Yahwe. 

Sejumlah ahli tidak sepakat dengan gagasan Noth, terutama gagasannya 

yang pertama. Para ahli cenderung menerima gagasan bahwa kitab-kitab ini 

masuk dan proses penulisan sekaligus mendapat wujudnya yang definitif 

pada periode pemerintahan Raja Yosia. Oleh karena itu, tidak mengherankan 

jika kitab-kitab ini memuat narasi tentang para pemimpin Bangsa Israel. Para 

 18 

  

pemimpin Bangsa Israel yang masuk dalam narasi terutama adalah yang setia 

pada pembaharuan perjanjian berdasarkan Tradisi Ulangan atau Tradisi 

Deuteronomistik. Gagasan ini masuk akal karena yang paling gencar 

mempromosikan upaya reformasi berbasiskan Tradisi Deuteronomistik 

adalah Raja Yosia.  

Penulis atau editor kitab-kitab ini mengurutkan para pemimpin Bangsa 

Israel mulai dari Musa sampai dengan Raja Yosia. Urutan semacam ini dipilih 

untuk membangun suatu narasi tentang keberhasilan para pemimpin Bangsa 

Israel yang berpegang erat pada Tradisi Deuteronomistik. Keberhasilan para 

pemimpin ini terjadi karena Tradisi Deuteronomistik adalah tradisi yang 

ditetapkan Allah sendiri supaya diberlakukan secara legal dalam kehidupan 

Bangsa Israel, terutama kehidupan religius mereka. Para pemimpin yang 

menempatkan Tradisi Deuteromistik ini membawa rakyatnya hidup selaras 

dengan Hukum Taurat yang merupakan buah utama tradisi ini. 

Guna melukiskan pengaruh kuat Tradisi Deuteronomistik pada 

kehidupan Bangsa Israel, penulis atau editor mengorganisasikan kitab-kitab 

ini menjadi tiga periode historis. Masing-masing periode mendapat dominasi 

pola kepemimpinan tertentu. Periode pertama meliputi masa kepemimpinan 

Musa sampai dengan wafatnya sang pengganti, yaitu Yosua. Dalam periode 

tersebut diungkapkan bahwa Musa mengawali terikatnya Bangsa Israel 

dengan Hukum Taurat. Selanjutnya, Yosua sebagai pengganti meneruskan 

proyek rintisan Musa tersebut dengan terus-menerus mengingatkan Bangsa 

Israel supaya tetap berpegang pada Hukum Taurat. Selain itu, Yosua juga 

menuntaskan perjalanan Bangsa Israel menuju kepenuhan atau penggenapan 

janji Allah yang diberikan kepada mereka melalui Musa. 

Periode kedua adalah era kebangkitan para Hakim samapi dengan 

munculnya para Raja. Para Hakim mengisi kekosongan posisi kepemimpinan 

dari era Pemimpin Karismatis yang menampilkan Musa dan Yosua karena 

 19 

  

setelah keduanya wafat, Bangsa Israel tidak lagi memiliki pemimpin tunggal 

atas dua belas suku tersebut. Pada era kepimpinan para Hakim, Bangsa Israel 

mengungkapkan ketidak-puasannya karena mereka tidak memiliki seorang 

pemimpin tunggal. Atas desakan dan tuntutan tersebut, Samuel sebagai 

Hakim terakhir sekaligus Nabi, memohon kepada Allah supaya Bangsa Israel 

memeroleh seorang raja. Akhirnya, Allah menganugerahkan seorang raja 

kepada Bangsa Israel dalam diri Saul. Periode ini menutup dirinya dengan 

penetapan Saul sebagai Raja Bangsa Israel. Penetapan Saul sebagai raja ini 

dilaksanakan Samuel.  

Periode ketiga mencakup sejarah kerajaan dari era berkuasanya Raja 

Saul (1Sam.13:1) sampai dengan pemerintahan Raja Yosia. Periode ini 

mengakhiri dirinya dengan laporan tentang perayaan Paskah Bangsa Israel 

dalam teks 2Raj.23:21-23. Butir penting alur sejarah dalam tiga periodisasi 

itu adalah otoritas para Nabi untuk menafsirkan Sabda Allah sekaligus 

membimbing Bangsa Israel, termasuk rajanya menghayati hidup selaras 

dengan Hukum Taurat. Garis-garis otoritatif para Nabi ini sangat nampak 

pada akhir periode kedua. Salah satunya nampak pada narasi penunjukan 

sekaligus penetapan Saul sebagai Raja Bangsa Israel yang dilaksanakan 

Samuel untuk memenuhi tuntutan masyarakat (1Sam.8). Dengan demikian, 

periode ketiga menjadi periode di mana Bangsa Israel berjalan sebagai bangsa 

di bawah bimbingan Raja sekaligus Nabi. 

 

1. Periode Pertama: Kepemimpinan Karismatis 

Narasi periode ini berawal dari pidato Musa di hadapan Bangsa Israel. 

Saat itu Bangsa Israel telah tiba di tepi Sungai Yordan. Mereka telah 

menaklukkan bangsa-bangsa di sekitar wilayah tersebut. Mereka harus 

menyeberangi Sungai Yordan supaya dapat sampai ke Tanah Terjanji, 

sekaligus mengalami penggenapan janji Yahwe kepada mereka. Dalam 

 20 

  

pidato itu Musa menampakkan kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin 

karismatis. Kualitas diri itu tidak dapat terlepas dari kesetiaannya pada Tradisi 

Deuteronomistik yang berbasiskan ketaatan pada Hukum Taurat. Musa 

melaksanakan otoritasnya selaras dengan wahyu yang diperolehnya dari 

Allah.  

Musa memanfaatkan otoritasnya itu untuk menyampaikan tiga 

gagasannya kepada Bangsa Israel. Pertama, dengan otoritasnya Musa 

menafsirkan sejarah (iman) Bangsa Israel berdasarkan sejarah masa lalu 

(Ul.1-3) sampai dengan titik waktu tersebut. Kedua, Musa menggunakan 

otoritasnya untuk menetapkan program bagi kehidupan masa depan Bangsa 

Israel di Tanah Terjanji. Program itu berbasiskan pada kesetiaan pada Tradisi 

Deuteronomistik dan Hukum Taurat. Basis itu menjadi penting sebagai 

indikator kesuksesan Bangsa Israel di masa yang akan datang. Ketiga, dengan 

otoritasnya Musa memilih dan mengangkat seorang pemimpin karismatis 

untuk menggantikannya (Ul3:28; 31:7-8). Musa memilih dan mengangkat 

Yosua untuk meneruskan otoritasnya menjaga kesetiaan pada Tradisi 

Deuteronomistis.  

Segera nampak perbedaan otoritas antara Musa dan Yosua. Pada diri 

Musa, otoritas itu datang secara langsung berkat pewahyuan yang 

diterimanya. Sedangkan pada diri Yosua, otoritas itu berwujud upaya untuk 

menafsirkan kata-kata atau instruksi Musa berbasiskan wahyu tersebut. 

Dengan kata lain, Musa tampil sebagai pemimpin paradigmatik. Artinya, ia 

merangkum semua otoritas yang diperlukan untuk mengarungi sekaligus 

menafsir sejarah keselamatan Bangsa Israel berbasiskan Tradisi 

Deuteronomistis. Sedangkan para pemimpin setelahnya menjalankan hanya 

beberapa atau salah satu dari semua otoritas yang dimiliki Musa itu seturut 

dengan konteks atau dinamika yang terjadi pada zamannya. 

 21 

  

Dalam pidatonya Musa mengajak Bangsa Israel meninjau kembali 

perjanjian yang dilakukan pendahulu mereka di Horeb. Generasi yang baru 

saja keluar dari perbudakan Mesir mengikat diri mereka dalam perjanjian 

dengan Allah. Dalam perjanjian tersebut Allah menjanjikan bahwa mereka 

akan menaklukkan Tanah Terjanji (Ul.1:6-8). Akan tetapi, Bangsa Israel 

kurang sabar. Akibatnya, berkali-kali mereka memberontak terhadap Allah 

dan mengingkari perjanjian. Menurut Tradisi Deuteronomistis, tindakan 

semacam itu pantas mendapat ganjaran hukuman dalam wujud pembalasan 

Ilahi. Musa menunjukkan bahwa pembalasan Ilahi itu benar-benar terwujud 

karena generasi awal itu musnah di padang gurun (Ul.2:14-15). Yang penting 

diperhatikan di sini bukanlah pembalasan Ilahi itu sendiri. Yang perlu 

mendapat perhatian adalah bahwa kriteria Tradisi Deuteronomistis nampak 

pada nubuatan janji Allah dalam wujud sumpah-Nya (Ul.1:35) dan 

penggenapan atas janji tersebut (Ul.2:14). 

Kriteria Tradisi Deuteronomistis juga nampak dalam teks Ul.12:8-12. 

Secara khusus teks Ul.12:9-10 memuat narasi tentang Musa yang memberi 

penegasan atas janji penaklukan musuh untuk merebut Tanah Terjanji dan 

terbebasnya Bangsa Israel dari musuh-musuh tersebut. Ayat selanjutnya 

memberikan gambaran atau program kehidupan yang akan dijalani bangsa 

Israel saat sudah bebas dari ancaman musuh dan mengelola Tanah Terjanji. 

Program hidup yang harus dijalani Bangsa Israel adalah ibadah kepada Allah 

secara eksklusif sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Tradisi 

Deuteronomistis. Pada gilirannya, kesetiaan ini akan membuahkan aneka 

macam berkat bagi bangsa tersebut. Secara kronologis program ini berawal 

dari penaklukan musuh dan perebutan Tanah Terjanji di bawah pimpinan 

Yosua (Yos.21:43-45). Akhir dari program itu adalah buah-buah manis 

kesuksesan berkat kesetiaan pada perjanjian dalam wujud pembangunan dan 

penahbisan Bait Suci Yerusalem pada periode pemerintahan Raja Salomo 

 22 

  

(1Raj.8:56). Kesuksesan itu hanya berumur singkat. Ketidak-setiaan Raja 

Salomo mengakibatkan kerajaan hancur. Akan tetapi, periode pemerintahan 

Raja Yosia membangkitkan kembali kepercayaan bahwa dengan reformasi 

yang dilakukannya, kejayaan Bangsa Israel akan kembali.      

Komentar penutup periode ini dijumpai pada teks Yos.24:29-31 dan 

teks Hak.2:10. Teks-teks ini menegaskan posisi Tradisi Deuteronomistis yang 

harus menjadi basis kesetiaan generasi penakluk musuh sekaligus generasi 

perintis masuk Tanah Terjanji. Keberhasilan generasi ini tidak dapat 

dilepaskan dari kesetiaan mereka pada perjanjian (Yos.24:31) yang 

membuahkan penggenapan janji tersebut (Yos.43-45) sebagai hadiah 

kesetiaan (Yos.24:31). Dengan demikian, periode ini menutup dirinya dengan 

penegasan legalitas interpretasi Musa atas peristiwa yang tercatat dalam teks 

Ul.1-3 tentang perjanjian di Horeb sebagai landasan perjanian antara Allah 

dengan Bangsa Israel. 

 

2. Periode Kedua: Bangsa Israel dari Era Para Hakim Menuju Era 

Para Raja 

 Bagian awal periode ini segera memberikan gambaran kontras dan 

tajam antara kondisi di saat Bangsa Israel di bawah kendali para Pemimpin 

Karismatis dengan kondisi sesudahnya. Dinamika menuju realisasi program 

hidup sebagaimana yang disampaikan para Pemimpin Karismatis terancam 

ketidak-setiaan yang berulang-ulang dan terus-menerus dilakukan generasi-

generasi berikutnya (Hak.2:11-19). Selain ketidak-setiaan, aneka macam 

ancaman dari luar terus datang silih berganti. Misalnya, musuh-musuh yang 

datang ingin merebut tanah. Terjadi dinamika setia-murtad. Pada periode para 

Hakim ini Bangsa Israel berkali-kali murtad. Akan tetapi, berkat hadirnya 

sejumlah Hakim di periode kelam itu, Bangsa Israel dapat kembali selamat. 

 23 

  

Pola dinamis ini menunjukkan perbedaan tajam dengan periode para 

Pemimpin Karismatis yang cenderung linier. 

Masalah utama periode ini adalah tidak adanya pemimpin tunggal yang 

dapat membawa seluruh Bangsa Israel sebagai satu kesatuan untuk tetap setia 

pada perjanjian. Sejumlah peristiwa menunjukkan upaya menyelesaikan 

masalah ini. Antara lain, upaya Abimelekh untuk menjadi raja. Akan tetapi, 

upayanya ini gagal total (Hak.9). Oleh karena upaya ini gagal, Bangsa Israel 

kembali kepada pola kepemimpinan sporadis para Hakim sembari 

memulihkan ketertiban yang sempat kacau akibat upaya Abimelekh tersebut 

(Hak.10:1-5). Penulis kitab membangun narasi dalam periode ini dengan 

mengumpulkan dan menggunakan dokumen-dokumen yang memuat narasi 

masa-masa sulit Bangsa Israel pada periode pra-monarki. Dokumen-dokumen 

tersebut adalah produk Tradisi Deuteronomistis yang ditemukan di Israel dan 

Yehuda. Para ahli kerap menyebut masa ini sebagai tahap pertama dari 

periode kedua. 

Tahap kedua dari periode kedua ini melukiskan pergerakan dinamis 

sejarah Bangsa Israel menuju terbentuknya monarki. Para penulis atau editor 

kitab membangun tahap kedua ini dari kumpulan narasi para Hakim. Setelah 

sejumlah narasi para Hakim dengan karakteristiknya masing-masing, tahap 

kedua ini mengerucut pada satu sosok, yaitu Samuel. Samuel muncul sebagai 

Hakim. Sebagai Hakim, Samuel memiliki tugas khusus yang tidak dimiliki 

para Hakim sebelumnya, yaitu mencari, memilih, dan menetapkan Raja bagi 

Bangsa Israel. Sebenarnya pola tahap kedua ini tidak berbeda dengan pola 

tahap pertama. Polanya tetaplah dinamis dalam wujud sikap murtad-setia 

Bangsa Israel terhadap perjanjian. Pola ini memuncak pada kegagalan para 

putra Eli memimpin Bangsa Israel (1Sam.1:1-2:36). Kegagalan ini paralel 

dengan kegagalan Abimelekh. Kegagalan ini memberi kapet merah bagi 

Samuel untuk berperan sebagai Hakim terakhir. Di sini nampak jelas bahwa 

 24 

  

kesetiaan pada Tradisi Deuteronomistis menjadi fitur yang tidak dapat 

dikecualikan untuk menuju pada era Kerajaan atau Monarki Israel. 

Peralihan kepemimpinan Bangsa Israel menuju era Kerajaan 

menemukan wujudnya dalam majelis di Gilgal. Di sana Samuel 

memeteraikan perintah Allah dalam memilih dan mengurapi Saul sebagai 

raja. Di Gilgal semua orang anggota Bangsa Israel bersatu untuk menjadi Saul 

sebagai Raja Bangsa Israel. Dengan meterai dan pengurapan tersebut Bangsa 

Israel memiliki suatu bentuk kepemimpinan yang baru, yaitu kepemimpinan 

di bawah kendali Nabi dan Raja. Sekaligus, dalam wujud kepemimpinan yang 

baru ini Bangsa Israel berhasil mengembalikan momentum kepemimpinan 

sebagaimana terjadi pada periode para Pemimpin Karismatis. Momentum ini 

memampukan Bangsa Israel merealisasikan sekaligus menyelesaikan 

program-program awal yang belum atau gagal terlaksana (Ul.12:10-11 dan 

1Raj.8:56). 

 

3. Periode Ketiga:  Bangsa Israel di Bawah Kepemimpinan Nabi dan 

Raja 

Periode ini mencakup waktu yang paling luas dan panjang. Penulis atau 

editor membangun periode ini dengan bantuan tiga sumber utama. Pertama, 

ada sejumlah catatan tentang nubuatan. Catatan ini menelusuri narasi awal 

monarki melalui Raja Daud sampai dengan Raja Salomo. Narasi berlanjut 

dengan peristiwa terpecahnya Kerajaan Tunggal Israel menjadi dua. Narasi 

berikutnya mengikuti alur kronologi yang terjadi di Kerajaan Utara (Israel) 

sampai dengan kudeta Yehu yang sukses. Kedua, catatan tentang perluasan 

wilayah Kerajaan Utara dan sejumlah nubuatan yang melengkapi narasi 

tentang Kerajaan Utara. Nubuatan itu mencakup laporan singkat tentang 

pemerintahan setiap raja dari Raja Yehu sampai dengan Raja Hosea. Laporan 

 25 

  

singkat itu juga berisi penilaian terhadap kualitas masing-masing raja. 

Kriterianya berbasiskan kesetiaan pada Tradisi Deuteronomistis.  

Ketiga, dokumen dari Kerajaan Selatan yang memberikan catatan 

paralel tentang pemerintahan para raja mulai dari Daud, terpecahnya Kerajaan 

Tunggal Israel, pemerintahan Raja Rehabeam, sampai dengan penyelesaian 

krisis Siro-Efraim yang sukses dari Raja Hizkia. Sebagaimana dokumen dari 

Kerajaan Utara, ada formulasi penilaian para raja yang berbasiskan kesetiaan 

pada Tradisi Deuteronomistis. Masing-masing sumber tersebut diadaptasi 

untuk memajukan promosi teologis Tradisi Deuteronomistis sebagaimana 

adagium yang berlaku saat itu, ‘segala janji yang baik, yang diucapkan Musa, 

hamba-Nya’ (1Raj.8:56) akan terlaksana. 

Penulis atau editor juga mengolah kembali pidato-pidato kenabian yang 

sesuai untuk memposisikan para nabi seperti Musa dalam hal menafsirkan 

perjalanan sejarah keselamatan Bangsa Israel menurut kriteria Tradisi 

Deuteronomistis. Kriteria itu mewujud dalam tiga sikap. Pertama, sikap setia 

yang eksklusif kepada Yahweh. Kedua, sikap setia pada ibadah yang terpusat 

di Bait Suci. Ketiga, sikap setia kepada Sabda Allah yang keluar dari mulut 

para Nabi. Kesetiaan akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan. 

Ketidak-setiaan akan menyeret pada kondisi yang sebaliknya. Raja yang setia 

akan berhasil. Sebaliknya, raja yang tidak setia akan gagal, bahkan mati. 

Ketiga kriteria itu sangat jelas dan tegas. Ketiga kriteris tersebut juga 

mengikat erat para raja, baik yang berkuasa di Kerajaan Utara, maupun yang 

berkuasa di Kerajaan Selatan. Sikap setia pada Yahwe dan perjanjiannya 

menjadi sesuatu yang sangat mutlak untuk mendapatkan keselamatan. Sikap 

setia ini tidak hanya harus dimiliki secara personal. Setiap raja juga harus 

membawa atau mengajak rakyatnya untuk menghayati sikap setia yang 

serupa. Jika gagal, ia akan mendapatkan bencana. Jika berhasil, ia mendapat 

hadiah berupa periode pemerintahan yang menyenangkan.  

 26 

  

Sejumlah raja berkomitmen untuk setia. Komitmen ini nampak pada 

bagian akhir narasi periode ketiga ini (2Raj.23:3b.21-23). Yang menjadi 

motivasi untuk membangun komitmen ini adalah dua peristiwa besar yang 

menjadi pengalaman berharga Bangsa Israel. Pertama, penobatan dan 

pengurapan Saul menjadi Raja pertama Bangsa Israel (1Sam.11:15). Kedua, 

penahbisan Bait Suci di Yerusalem (1Raj.8:14.55). Selain itu, penemuan 

gulungan kitab (Ulangan) dan penggunaanya sebagai landasan reformasi 

senantiasa mengingatkan orang pada periode Musa. Oleh karena itu, titik 

perhatian periode ini terletak pada keberhasilan pemerintahan Raja Yosia. 

Keberhasilan itu bukan saja sebagai sesuatu yang bersifat reformatif. Akan 

tetapi, keberhasilan adalah analog atau mengulang kembali narasi sukses 

Musa, Yosua, dan generasi penakluk Tanah Terjanji. Dengan demikian, 

pemerintahan Raja Yosia sebagaimana masa awal Bangsa Israel di Tanah 

Terjanji, menjadi awal dari era baru bagi Bangsa Israel di generasi berikutnya 

untuk menemukan wujud relevan sikap setia pada Tradisi Deuteronomistis 

yang membawa pada keselamatan. 

 

C. RANGKUMAN 

(1) Para pemimpin Bangsa Israel yang masuk dalam narasi terutama adalah 

yang setia pada pembaharuan perjanjian berdasarkan Tradisi Ulangan 

atau Tradisi Deuteronomistik. Gagasan ini masuk akal karena yang 

paling gencar mempromosikan upaya reformasi berbasiskan Tradisi 

Deuteronomistik adalah Raja Yosia. 

(2) Program hidup yang harus dijalani Bangsa Israel adalah ibadah kepada 

Allah secara eksklusif sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Tradisi 

Deuteronomistis. Pada gilirannya, kesetiaan ini akan membuahkan aneka 

macam berkat bagi bangsa tersebut. 

 27 

  

(3) Titik perhatian periode Kisah Sejarah Deuteronomistis, terutama saat 

Bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi dan Raja terletak pada 

keberhasilan pemerintahan Raja Yosia. Keberhasilan itu bukan saja 

sebagai sesuatu yang bersifat reformatif. Akan tetapi, keberhasilan 

adalah analog atau mengulang kembali narasi sukses Musa, Yosua, dan 

generasi penakluk Tanah Terjanji. 


PENGANTAR UMUM: KISAH SEJARAH KRONISTIS (

Sekitar 400 sM seorang atau sekelompok orang Levita atau keturunan 

Suku Lewi menyusun sebuah karya sejarah. Karya sejarah itu meliputi kurun 

waktu dari periode Raja Daud sampai dengan periode Ezra-Nehemia. 

Penyusun atau editor mengawali rangkaian sejarah itu dengan sederetan 

daftar silsilah. Daftar itu berawal dari Adam sebagai manusia pertama sampai 

dengan Raja Daud. Dengan memanfaatkan Kitab 1-2Samuel dan Kitab 1-

2Raja-Raja sebagai sumber utamanya, penulis atau editor menyusun narasi 

sejarah itu. Selain kedua sumber tersebut, sebenarnya penulis juga 

menggunakan sumber-sumber lain yang kemungkinan besar berasal dari 

Periode Pembuangan. Penulis atau editor merangkaikan narasi dari pelbagai 

sumber itu dengan dua pusat perhatian. Pertama, Kenizah atau Bait Allah 

Yerusalem. Kedua, wangsa atau keturunan Kerajaan Daud (Selatan-Yehuda). 

Berdasarkan dua pusat perhatian itu menjadi jelas bahwa Kitab Sejarah 

 29 

  

Kronistis cenderung merupakan memoar atau catatan-catatan sejarah di 

Kerajaan Selatan. Kerajaan Utara tidak mendapat sorotan karena dianggap 

menyeleweng. Bagian kedua Kisah Sejarah Kronistis sangat mengandalkan 

catatan-catatan yang disusun kedua tokohnya, yaitu Ezra dan Nehemia.   

 

B. PENYAJIAN MATERI 

Teks-teks Kitab Suci tidak hanya mencerminkan realitas sejarah pada 

masa proses komposisi atau proses peredaksiannya melalui teks itu sendiri. 

Teks-teks itu juga sekaligus menciptakan dunia tekstual. Teks-teks tersebut 

memberikan pilihan-pilihan teologis yang mendasar, merancang cetak biru 

untuk interpretasi realitas, sekaligus menarik batas-batas antara institusi 

politik, individu, etnis, dan posisi yang memiliki pengaruh yang menentukan 

identitas seorang individu atau kelompok individu dalam teks Kitab Suci 

tersebut. misalnya, perlakuan terhadap orang-orang Samaria dalam Kitab 

Suci Ibrani yang dilanjutkan tradisi Yahudi-Kristiani pada periode 

selanjutnya. Teks-teks berkontribusi membangun karikatur atau 

penggambaran karakteristikal tentang orang Samaria sebagai Komunitas 

Gerizim dengan menyebarkan isu-isu negatif, bahkan fitnah bahwa mereka 

adalah sekte sesat sekaligus orang asing yang harus dijauhi. Gambaran 

semacam ini termuat di dalam Kisah Sejarah Kronistis. 

 

1. Konflik Samaria-Yehuda  

Relasi Samaria dengan Yahudi yang buruk sebenarnya menjadi rusak 

bukan akibat konflik antar mereka, melainkan akibat isu-isu yang ditiupkan 

di antara mereka. Isu-isu tersebut berkembang biak terutama pada Periode 

Kerajaan Persia berkuasa. Terpisahnya sebagian Bangsa Israel yang berada di 

pembuangan dengan orang-orang Samaria yang masih mendiami tanah 

Palestina membuat isu-isu negatif mudah dihembuskan. Padahal, sejatinya 

 30 

  

mereka sama-sama menyembah dan beribadah kepada Yahweh. Akan tetapi, 

seolah-olah yang mendapat identitas atau sebutan sebagai penyembah 

Yahweh sejati hanyalah Bangsa Israel atau orang Yahudi. Sebaliknya, orang 

Samaria mendapat stigma sebagai penyembah dewa-dewa kafir. Dampak 

stigma ini sampai pada proses redaksional Kitab-Kitab Sejarah Kronistis yang 

memuat Kitab 1-2Tawarikh, Kitab Ezra, dan Kitab Nehemia. Akibatnya, 

kitab-kitab ini, terutama Kitab Ezra-Nehemia banyak menampilkan konflik 

Samaria-Yahudi. 

Secara tradisional Kitab Ezra-Nehemia masuk dalam konflik Samaria-

Yahudi. Lebih dari itu, sejumlah teksnya bahkan memberi gambaran ekstrim 

konfrontasi itu. Misalnya, teks Ezra 4:1-24 yang melukiskan relasi Samaria-

Yahudi secara paradigmatik untuk keseluruhan kitab. Teks tersebut masuk 

dalam narasi besar pembangunan kembali Bait Allah (Ezra 1-6). Narasi besar 

itu mengungkapkan bahwa proses membangun Bait Allah tidak mudah. 

Kesulitan terutama datang akibat terjadinya gangguan dan ancaman dari 

suku-suku tetangga (Ezr.3:3). Yang dimaksudkan dengan suku tetangga yang 

mengancam dan mengganggu adalah Suku Samaria. Penulis Kitab Ezra 

menempatkan konfrontasi antara Bangsa Israel (Yahudi) dengan orang 

Samaria pada periode awal pemulihan kembali Bait Allah (Ezr.4:1-5; 6-23). 

Konflik di awal proses pembangunan atau pemulihan ini adalah dampak isu 

yang dihembuskan rejim Persia selama masa pembuangan Bangsa Israel. Isu 

negatif ini menjadi semacam api dalam sekam. Saat mendapat kesempatan 

kembali ke Tanah Terjanji, api dalam sekam ini benar-benar tersulut menjadi 

kobaran konflik. 

Kitab 1-2Tawarikh memberikan gambaran yang lebih kompleks 

terhadap konflik Samaria-Yudea. Pengaruh Periode Persia akhir sekaligus 

awal Periode Helenistik sangat memberi pengaruh pada gambaran konflik itu. 

Dukungan kedua periode sangat berpengaruh, bahkan membebani penulis 

 31 

  

Kitab 1-2Tawarikh. Akibatnya, sudut pandang Kitab 1-2Tawarikh sangat 

anti-Samaria. Kitab(-kitab) ini seolah-olah menjadi lanjutan dari Kitab(-

kitab) sebelumnya (Kitab Ezra-Nehemia) dalam upaya menggambarkan 

stigma sekaligus gambaran negatif orang Samaria. Bahkan, sejumlah ahli 

menyebut bahwa Kitab 1-2Tawarikh sangat tergabtung pada Kitab Ezra-

Nehemia terkait sudut pandang terhadap orang Samaria. Karakteristik sudut 

pandang ini sekaligus (dan sekali lagi) menjadi ciri khas Kisah Sejarah 

Kronistis (KSK). Alfred Noth bahkan menyebutkan bahwa Kitab-Kitab 

Sejarah Kronistis merupakan buku pegangan dasar atau narasi inti bagi 

mereka yang termasuk dalam komunitas Yerusalem yang kerap menyebut diri 

mereka sebagai ‘Sisa-sisa Israel yang sejati’. Kelompok fanatik ini 

mengklaim sebagai penerus sejati dan legal tradisi Yudaisme. 

 

2. Karakteristik 1-2Tawarikh 

Akan tetapi, sejak 1960-an sejumlah ahli memandang bahwa Kitab 1-

2Tawarikh adalah karya yang independen. Kitab ini lepas dari ketergantungan 

pada materi atau sudut pandang Kitab Ezra-Nehemia. Pandangan atau 

gagasan ini memandang Kitab 1-2Tawarikh sebagai narasi yang menyajikan 

konsep ‘Pan-Israel’. Istilah ‘Pan-Israel’ adalah memandang Bangsa Israel 

sebagai satu kesatuan bangsa yang satu dan utuh. Pandangan ini melihat 

bahwa baik mereka yang mengalami pembuangan, maupun yang tinggal 

bertahan di Tanah Terjanji memiliki hak disebut sebagai Bangsa Israel tanpa 

kecuali. Dengan sudut pandang tersebut, sebagian Kitab 1-2Tawarikh tidak 

menyampaikan narasi konflik Samaria-Yudea. Sebaliknya, kitab ini 

menampilkan sejumlah narasi bernuansa inklusif terhadap para penyembah 

Yahweh yang tinggal di Utara (orang Samaria). Singkat kata, Kitab 1-

2Tawarikh bukan merupakan ekstensifikasi gagasan Kitab Ezra-Nehemia, 

terutama terkait konflik Samaria-Yudea. Dengan cara atau sudut 

 32 

  

pandangannya tersendiri, kitab ini mengungkapkan karakteristik berbeda 

dalam ibadat yang dilakukan orang Samaria kepada Yahweh. 

Kitab 1-2Tawarikh memberikan observasi terkait karakteristik berbeda 

ibadat atau penyembahan kepada Yahweh. Menurut kitab ini, karakteristik 

yang berbeda terkait praktik atau ortopraksis ibadat ini sebenarnya sudah 

terjadi sejak Kerajaan Tunggal Israel terpecah menjadi dua (Utara dan 

Selatan). Setelah kerajaan tunggal ini menjadi dua, masing-masing 

pemerintahan segera menetapkan dua tempat ibadat yang berbeda. Kerajaan 

Selatan tetap menempatkan Yerusalem sebagai pusat peribadatan mereka. 

Sementara itu, Kerajaan Utara menetapkan Betel dan Dan sebagai pusat 

peribadatan mereka. Rupanya yang terjadi bukan hanya tempat yang berbeda 

dan terpisah. Lebih dari itu, ortopraksis peribadatan juga mulai berbeda.  

Sentimen yang tumbuh di masing-masing pihak menyuburkan gagasan 

bahwa ortopraksis yang dilaksanakan pihak yang berbeda itu tidaklah sah atau 

keliru. Gagasan inilah yang memicu tumbuhnya gagasan bahwa di Kerajaan 

Utara orang tidak menyembah Yahweh. ‘....kamilah yang memelihara 

kewajiban kami terhadap TUHAN, Allah kami, tetapi kamulah yang 

meninggalkan-Nya’ (2Taw.13:11b). Teks tersebut menggunakan kata ganti 

yang berbeda, yaitu ‘kami’ dan ‘kamu’. Perbedaan penggunaan kedua kata 

ganti yang berlanjut dengan perbedaan tindakan menegaskan adanya 

perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Secara eksplisit nampak upaya 

untuk membedakan diri sekaligus menyatakan yang satu benar dan yang lain 

keliru dalam hubungan antara Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan dalam 

praktik peribadatan. Lebih lanjut dalam teks sebelumnya Raja Abia yang saat 

itu berkuasa di Selatan mengecam Raja Yerobeam yang berkuasa di Utara.  

 

“Bukankah kamu telah menyingkirkan imam-imam TUHAN, anak-anak 

Harun itu, dan orang-orang Lewi, lalu mengangkat imam-imam menurut 

 33 

  

kebiasaan bangsa-bangsa negeri-negeri lain, sehingga setiap orang yang 

datang untuk ditahbiskan dengan seekor lembu jantan muda dan tujuh ekor 

domba jantan, dijadikan imam untuk sesuatu yang bukan Allah. Tetapi kami 

ini, TUHANlah Allah kami, dan kami tidak meninggalkan-Nya. Dan anak-

anak Harunlah yang melayani TUHAN sebagai imam, sedang orang Lewi 

menunaikan tugasnya” (2Taw.13:9-10).    

 

Pidato Raja Abia menekankan kekeliruan orang Kerajaan Utara dalam 

praktik peribadatan. Imamat mereka bukanlah dari garis keturunan Harun. 

Imamat mereka berasal dari orang-orang awam yang tidak boleh ditahbiskan 

menurut Hukum Taurat. Selain itu, tempat mereka melakukan ibadat juga 

salah. Akan tetapi, jika membacanya secara teliti, sebenarnya teks tidak 

menyebutkan secara spesifik lokasi tempat peribadatan itu. Para pembaca, 

terutama mereka yang berasal dari golongan fanatik Yahudi Selatan berharap 

ada penyebutan Betel sebagai lokasinya. Akan tetapi, sekali lagi, lokasi tidak 

disebutkan. Ada kemungkinan penulis Kitab 1-2Tawarikh sengaja 

menyembunyikan lokasi. Motivasinya adalah untuk tetap membuka 

kemungkinan bahwa pada saat itu memang terjadi perbedaan tata ibadat. 

Akan tetapi, perbedaan ini tidak dapat dikenakan kepada semua orang yang 

berada di Kerajaan Utara. Motivasi lain yang disampaikan secara implisit 

adalah bahwa tidak ada tempat lain untuk beribadat kepada Yahwe selain 

Yerusalem. Sekaligus, dengan itu Kitab 1-2Tawarikh bermaksud menegaskan 

sentralitas Yerusalem sebagai tempat ibadat legal Bangsa Israel. 

 

3. Dua Simpulan 

Dua simpulan penting dapat ditarik dari gagasan sentralisasi ibadat 

dalam Kitab 1-2Tawarikh. Pertama, Kitab 1-2Tawarikh membingkai ulang 

tradisi sentralisasi Pentateukh sebagai satu-satunya pedoman, walaupun tetap 

 34 

  

terbuka kemungkinan keragaman tafsirnya. Kedua, perkembangan peran 

sentral Yerusalem, Bait Allahnya, dan fungsi imamatnya mencerminkan 

terjadinya polemik peribadatan yang terjadi di Samaria. Dengan kata lain, 

kekeliruan ibadat di Samaria terjadi lebih karena persoalan tempat dan 

petugasnya. Kekeliruan tidak persis mengarah pada konsep teologisnya. 

Kekeliruan itu lebih menyasar pada kepentingan politis. Kekeliruan tempat 

dan petugas ibadat menunjukkan bahwa Kerajaan Utara bukanlah 

pemerintahan yang legal. Kerajaan Utara bukanlah kerajaan yang sah. 

Dengan kata lain, kekeliruan kultis menjadi alasan untuk mengklaim bahwa 

Kerajaan Utara adalah wujud monarki yang keliru atau tidak sah.  

Penggambaran karakteristik yang berbeda secara sosiologis, kultural, 

dan kultis antara orang Samaria dengan Bangsa Israel (Yahudi) menjadi 

semacam propaganda politis untuk menegaskan bahwa Kerajaan Selatan 

(Yehuda) adalah kerajaan yang sah. Orang Samaria menjadi semacam korban 

dari konflik ini. Kitab Ezra-Nehemia menyebutnya sebagai ‘orang asing’. 

Sementara itu, Kitab 1-2Tawarikh menjulukinya sebagai ‘orang bukan 

Israel’. Dalam hal ini Kitab 1-2Tawarikh lebib ‘ramah’ dibandingkan Kitab 

Ezra-Nehemia. Sebutan ‘orang bukan Israel’ sekadar menempatkan orang 

Samaria sebagai yang berbeda. Akan tetapi, dengan menyebutnya sebagai 

‘orang asing’, Kitab Ezra-Nehemia memposisikan orang Samaria sebagai 

kafir. 

 

C. RANGKUMAN 

(1) Kitab Sejarah Kronistis cenderung merupakan memoar atau catatan-

catatan sejarah di Kerajaan Selatan. Kerajaan Utara tidak mendapat 

sorotan karena dianggap menyeleweng. Bagian kedua Kisah Sejarah 

Kronistis sangat mengandalkan catatan-catatan yang disusun kedua 

tokohnya, yaitu Ezra dan Nehemia. 

 35 

  

(2) Istilah ‘Pan-Israel’ adalah memandang Bangsa Israel sebagai satu 

kesatuan bangsa yang satu dan utuh. Pandangan ini melihat bahwa baik 

mereka yang mengalami pembuangan, maupun yang tinggal bertahan di 

Tanah Terjanji memiliki hak disebut sebagai Bangsa Israel tanpa kecuali. 

Secara khusus Kitab1-2Tawarikh menampilkan sejumlah narasi 

bernuansa inklusif terhadap para penyembah Yahweh yang tinggal di 

Utara (orang Samaria). 

(3) Penggambaran karakteristik yang berbeda secara sosiologis, kultural, dan 

kultis antara orang Samaria dengan Bangsa Israel (Yahudi) menjadi 

semacam propaganda politis untuk menegaskan bahwa Kerajaan Selatan 

(Yehuda) adalah kerajaan yang sah. 


TINJAUAN KITAB YOSUA DAN TAFSIRAN ATAS 

 

 


Mungkin banyak orang mengenal kisah Yosua dan penaklukan Yerikho 

yang spektakuler. Kisah itu merupakan salah satu kisah yang terdapat dalam 

kitab pertama yang mau dibicarakan dalam bagian ini, yaitu Kitab Yosua. 

Judul kitab ini tentu saja diambil dari nama tokoh utamanya, yaitu Yosua. 

Nama ini berarti ‘TUHAN menyelamatkan’ atau ‘Semoga TUHAN 

menyelamatkan’. Tokoh yang meneruskan tugas Musa ini sebenarnya 

bernama asli Hosea (Bil.13:8). Akan tetapi, kemudian Musa menggantinya 

menjadi Yosua [Bil.13:16]. Dalam LXX, nama ini ditulis’Iësous’. Nama ini 

sama dengan nama ‘Yesus’, anak Maria. Sementara dalam Vulgata 

(terjemahan Latin), nama ini menjadi ‘Iosue’. Justru berdasarkan kemiripan 

nama ini, dapat dipikirkan hubungan antara nama Yosua dengan Yesus. 

Misalnya, apakah kesamaan nama ini memiliki makna tertentu atau tidak ada 

 37 

  

kaitan, tetapi hanya karena sama-sama memiliki nama Yesus, yang 

nampaknya cukup umum di masyarakat Yahudi.  

Dalam teks Yos.24:26 terdapat kutipan ‘Yosua menuliskan semuanya 

itu dalam kitab hukum Allah, lalu ia mengambil batu yang besar dan 

mendirikannya di sana, di bawah pohon besar, di tempat kudus TUHAN’. 

Akan tetapi, keterangan seperti ini tampaknya tidak dapat diandalkan. 

Menurut tradisi rabinik, kitab ini ditulis nabi Samuel. Oleh karena itu, di 

dalam tradisi Yahudi, kitab ini tergolong pada kitab nabi-nabi yang terdahulu. 

Kendati demikian, para ahli berpendapat bahwa penulis kitab ini tidak 

anonim. Akan tetapi, besar kemungkinan ada kaitannya dengan penulis kitab 

Ulangan. 

 

B. PENYAJIAN MATERI 

1. Posisi Kitab Yosua dalam Kanon 

Telah disebutkan bahwa nama Yosua praktis identik dengan nama 

Yesus, anak Maria. Yang berbeda adalah versinya. Yosua adalah nama Ibrani. 

Sementara Yesus adalah versi Yunani. Selain kesamaan formal ini, juga dapat 

ditelusuri kesamaan-kesamaan lain sebagaimana Gereja menafsirkan nama 

Yosua. Sekurang-kurangnya ada dua sudut pandang yang dipakai untuk 

melihat keserupaan itu. 

Pertama, sudut pandang lokasi. Lokasi Yosua sebelum memasuki 

Tanah Terjanji adalah di seberang sungai Yordan. Sementara penampilan 

Yesus yang pertama terjadi di sungai Yordan, yaitu saat Yohanes Pembaptis 

membaptius Yesus. Kedua, sudut pandang sungai atau air yang mengalir. 

Yosua memimpin bangsa Israel memasuki Tanah Terjanji dengan 

menyeberangi sungai Yordan. Yesus pun demikian. Ia memimpin masuk 

umat Allah yang baru menuju Tanah Terjanji sorgawi melalui air sungai 

Yordan. Air sungai Yordan ini dapat juga mendapat makna sebagai 

 38 

  

pembaptisan. Akan tetapi, berbeda dengan Yosua yang berkarya pada tingkat 

duniawi, Yesus menekankan makna yang lebih spiritual. Yosua memimpin 

pembebasan umat Israel dari musuh-musuh dalam arti sesungguhnya. 

Sementara itu, dengan sengsara dan kebangkitan-Nya, Yesus memimpin umat 

manusia terbebas dari perbudakan dosa. Selain itu proses membagi Tanah 

Terjanji untuk keduabelas suku Israel sejajar dengan perkembangan Gereja 

melalui karya kerasulan dua belas rasul-Nya. 

Selain kemiripan tokoh utamanya, jika diperhatikan dengan teliti, 

banyak kemiripan antara kitab Yosua dengan kitab sebelumnya, yaitu Kitab 

Ulangan. Keduanya mengisahkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah 

Israel. Kitab Ulangan merangkum peristiwa-peristiwa yang terjadi atas 

bangsa Israel, sebelum akhirnya sampai ke dataran Moab yang terletak di 

seberang sungai Yordan. Sementara itu Kitab Yosua mengisahkan masuknya 

bangsa Israel ke tanah Kanaan, Tanah Terjanji yang dijanjikan YHWH 

kepada para Bapa Bangsa, Abraham, Ishak dan Yakub. Kedua kitab ini sama-

sama memusatkan perhatian pada ucapan dan tindakan seorang tokoh 

tertentu, yaitu Musa (Ulangan) dan Yosua (Yos). Kedua kitab ini 

berhubungan erat karena yang satu adalah kelanjutan yang lain. 

Memperhatikan kesamaan seperti itu, sangat masuk akal jika pembaca 

lantas beranggapan bahwa Kitab Yosua sebenarnya merupakan simpulan 

logis dari Pentateukh. Penggenapan janji tanah yang diberikan YHWH 

kepada Abraham, Ishak, dan Yakub baru terlaksana dalam Kitab Yosua. Atas 

pertimbangan inilah, sejumlah ahli mengusulkan kesatuan dari kitab Kejadian 

sampai dengan Yosua. Para ahli yang memiliki pertimbangan ini menyatakan 

bahwa orang seharusnya tidak berbicara tentang Pentateukh (lima kitab), 

tetapi Hexateukh (enam kitab). 

Meskipun pendapat ini menarik dan masuk akal, sekurang-kurangnya 

terdapat dua keberatan yang dikemukakan terhadap gagasan ini. Pertama, 

 39 

  

memang benar bahwa dipandang dari sudut janji dan pemenuhan, Pentateukh 

belum lengkap karena pemenuhan janji YHWH kepada Bapa Bangsa masih 

belum terlaksana. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang lainnya, yaitu 

kisah Musa, persoalnya akan menjadi lain. Pentateukh yang kerap kali 

mendapat sebutan sebagai Taurat Musa, berakhir dengan kematian tokoh 

utama Pentateukh, yaitu Musa. Dengan mempertimbangkan ‘kadar’ kedua 

tokoh di hadapan YHWH mungkin lebih baik jika periode Musa dipisahkan 

dari episode Yosua. Dalam hal ini pembaca dapat membandingkan rumusan 

yang terdapat dalam teks Ul.34:10 dengan yang terdapat pada teks Yos.1:1. 

Kedua, selain dengan Kitab Ulangan, Kitab Yosua juga memiliki hubungan 

erat dengan kitab berikutnya, yaitu Kitab Hakim-hakim. Dengan demikian, 

nampaknya sulit untuk melepaskan Kitab Yosua dan Kitab Hakim-hakim. 

Selain itu, jika memang mau dilepaskan, sulit membayangkan bahwa Kitab 

Hakim-hakim menjadi sebuah ‘introduksi’ bagi narasi yang datang 

berikutnya (1-2Samuel dan 1-2Raja-raja). Oleh karena itu, rasanya lebih 

bijaksana membiarkan posisi kitab seperti apa adanya sekarang. 

Sebagaimana telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, secara 

konsisten tradisi Yahudi memandang lima kitab pertama, yang seringkali 

dikaitkan dengan Musa, sebagai satu kesatuan yang disebut Kitab Taurat 

(Pentateukh). Sementara bagian berikutnya, dari Kitab Yosua sampai dengan 

Kitab 2Raja-raja disebut sebagai Kitab ‘Nabi-nabi yang Terdahulu’. Dengan 

demikian, menjadi jelas bahwa baik Kanon Kristen maupun Kanon Yahudi 

sepakat bulat dan tidak mendua dalam putusan memisahkan Ulangan dan 

kitab Yosua. Kedua gagasan yang sempat diusulkan sejumlah ahli, baik 

Hexateukh maupun Tetrateukh, hanya merupakan teori modern yang tidak 

memperhitungkan tradisi. 

Berdasarkan pertimbangan yang telah didiskusikan itu ada dua butir 

yang mendukung posisi Kitab Yosua di posisinya yang sekarang. Pertama, 

 40 

  

Kitab Yosua mengisahkan peristiwa penting dalam sejarah Israel, yaitu 

dinamika penggenapan janji tanah yang sudah merupakan janji turun-

temurun. Dengan penggenapan itu Bangsa Israel akhirnya sampai ke tanah 

yang dijanjikan YHWH sendiri kepada nenek moyang mereka. Rangkaian 

sejarah Israel ini kemudian diakhiri dengan hilangnya tanah terjanji itu 

(2Raj.25:21.27-30). Berdasarkan dinamika tersebut Kitab Yosua membuka 

suatu sejarah baru dalam perjalanan sejarah Bangsa Israel. Tahap itu adalah 

tahap merebut, membagi, dan mempertahankan tanah terjanji. Dengan babak 

baru tersebut menjadi tepatlah posisi yang sekarang ini. Kedua, Kitab Yosua 

juga menandai suatu tahap baru dalam sejarah Bangsa Israel dalam kaitannya 

dengan Hukum Taurat. Karakteristik periode Musa adalah bahwa YHWH 

mewahyukan Diri-Nya secara langsung kepada Musa (Ul.34:10-12) dan 

menganugerahkan Hukum Taurat secara langsung.  Selanjutnya Yosua 

menggantikan Musa. Akan tetapi, Yosua tidak menggantikan peran Musa 

sebagai penerima Hukum Taurat. Yosua hanya menjadi penafsir Hukum 

Taurat tersebut. 

Dua butir pendukung tersebut memadai untuk mempertahankan poisi 

Kitab Yosua dalam tempatnya yang sekarang. Tidak perlulah menganut entah 

Hexateukh atau pun Tetrateukh. Biarlah kelima kitab pertama itu tetap 

sebagai Pentateukh. Sementara itu, biarkanlah pula Kitab Yosua menjadi awal 

dari narasi sejarah Bangsa Israel yang berdinamika dengan Tanah Terjanji 

dan sejumlah persoalannya. 

 

2. Alur Kronologis Kitab Yosua 

Kitab Yosua terbagi atas dua bagian pokok. Pertama, teks Yosua 2-12. 

Bagian ini mengisahkan perebutan secara ajaib Tanah Terjanji (Kanaan) oleh 

suku-suku Israel di bawah pimpinan Yosua. Kedua, teks Yosua 13-22. Bagian 

ini mengisahkan dinamika perjuangan Yosua membagikan Tanah Kanaan di 

 41 

  

antara suku-suku Israel sekaligus menyelesaikan semua persengketaan tapal 

batas dan wilayah masing-masing suku. Bagian pertama (Yos.2-12) menutup 

dirinya dengan suatu daftar panjang raja-raja yang kalah (Yos.12). Sedangkan 

bagian kedua berakhir dengan narasi pendirian mezbah oleh suku-suku di 

seberang Yordan (Yos.22). Akan tetapi, redaktur Kitab Yosua kemudian 

menambahkan suatu pengantar pada teks Yos.1 dan suatu penutup pada teks 

Yos.23-24. Pengantar dan penutup itu memberikan makna teologis pada 

keseluruhan narasi. Pengantar (Yos.1) maupun penutup (Yos.23-24) ini 

mengambil bentuk sastra pidato yang menjelaskan makna perebutan dan 

pemilikan Tanah Kanaan. Dalam teks Yos.1 Allah memberi perintah kepada 

Yosua untuk merebut Tanah Kanaan yang telah dijanjikan kepada nenek 

moyang Israel. Allah pun mengingatkan Yosua supaya tetap berpegang teguh 

pada Hukum Taurat.  

Dalam teks Yos.23-24 Yosua menyampaikan pidato perpisahan yang 

ditujukan kepada para pemimpin bangsa Israel. sekaligus dalam kesempatan 

tersebut Yosua mengajak mereka untuk tetap berpaut dan bersetia kepada 

Allah. Setelah itu, Yosua memperbaharui perjanjian bangsa Israel di Sikhem. 

Di Sikhem sekali lagi Yosua menyampaikan narasi tentang segala karunia 

Allah kepada Bangsa Israel, sekaligus meminta supaya Bangsa Israel tetap 

setia kepada Allah.  

Dengan pola gagasan itu, Kitab Yosua yang ada sekarang ini secara 

garis besar dapat dibagi dengan skema berikut ini. 

 

(1) Perintah YHWH menjadi program narasi seluruh kitab sekaligus 

alasan pidato Yosua untuk merebut tanah Kanaan. Bagian 

selanjutnya dapat dilihat sebagai langkah awal pelaksanaan 

program tersebut (Yos.1:1-18). 

 42 

  

(2) Bagian yang mengisahkan dinamika perjuangan Bangsa Israel 

masuk, merebut, dan menduduki Tanah Kanaan di bawah pimpinan 

Yosua. Semua bangsa yang tinggal di Kanaan waktu itu 

dihancurkan, kecuali suku Gibeon (Yos.9) yang menyerahkan diri. 

Narasi ini merupakan suatu kisah ideologis. Disebut demikian 

karena kisah ini tidak sesuai dengan kenyataan (data historis). 

Narasi ini lebih dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika 

perjuangan seluruh Bangsa Israel masuk dan merebut Tanah 

Terjanji. Di lain pihak, narasi ini juga memunculkan gagasan 

bahwa YHWH-lah yang memberikan tanah tersebut kepada Israel. 

Dengan demikian, janji YHWH yang disampaikan kepada para 

Bapa Bangsa telah dipenuhi. Narasi tentang Akhan 

menggarisbawah