kepada
Ahmad al-Fatani. Namun, tidak sama seperti kedua Jawi yang lebih tua, Syekh
Tahir tampaknya menerima gagasan-gagasan Salafi Muhammad ‘Abduh. Dia
pergi ke Kairo untuk bertemu ‘Abduh. Bahkan, dalam arti tertentu, jalur
lintasan keluarganya melambangkan pergeseran dalam Islam Jawi elite dari
yang tadinya Syattariyyah, yang disponsori istana, menjadi Naqsyabandiyyah
yang reformis dan akhirnya menjadi Salafiyyah Kairo yang rasionalis.
Sudah ada beberapa pembahasan mengenai arti penting al-Imam dalam
menyebarkan pesan kaum reformis (dan nasionalis) Kairo.25 Namun, di sini,
saya ingin menyoroti beberapa aspek dalam perlakuan surat kabar ini terhadap
Sufisme tarekat dan ketegangan yang dimunculkannya dalam hubungan
antara para anggota dewan pengurus yang berkebangsaan Arab dan Melayu.
Sementara penyebab pastinya akan tetap menjadi misteri, dua perubahan
penting yang terjadi pada 1908 pasti berkontribusi terhadap kematian
mendadak surat kabar ini. Salah satunya yaitu usaha untuk mengambil alih
kendali atas surat kabar ini yang dilakukan pada Februari oleh para anggota
dewan pengurus yang memihak kepentingan-kepentingan Arab. Mereka ini
meliputi Sayyid Shaykh b. Ahmad al-Hadi, al-Kalali, Muhammad b. ‘Aqil
(1863–1931, seorang menantu Sayyid ‘Utsman), dan Hasan b. ‘Alwi b.
Shahab; meski surat kabar masih diredakturi oleh Hajji ‘Abbas b. Muhammad
Taha yang Melayu. Pergeseran lainnya yaitu peningkatan yang mencolok
dalam perdebatan mengenai posisi Sufisme dalam kehidupan beragama
orang-orang Melayu.
Ini bermula dari sebuah pertanyaan yang relatif tidak berbahaya
mengenai penarikan diri (suluk) yang dikirimkan pada surat kabar dari
Penang pada Januari. Lalu, pertanyaan kedua mengenai persoalan sebuah
tarekat di wilayah Siam yang dikirimkan pada Februari. Pertanyaan pertama
menimbulkan sedikit reaksi, selain ketidaksetujuan standar atas penarikan
diri dari kehidupan yang produktif dan sebuah rekomendasi agar si penanya
melihat buku-buku panduan yang sudah ada mengenai persoalan ini .
Sebaliknya, pertanyaan dari kawasan Siam menciptakan kegemparan.
Sebagiannya, hal ini disebabkan oleh gambaran-gambaran yang relatif
mengerikan mengenai berbagai perkumpulan campuran kaum beriman
212 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
yang mencari visi Ilahiah sembari mengentak-entakkan kaki mereka dan
mengganggu ketenangan, gambaran yang jelas mengingatkan pada surat Raja
Kelantan kepada Ahmad al-Fatani.
Sang penanya meminta penjelasan tentang keaslian praktik-praktik
semacam itu dan apakah penguasa seharusnya turun tangan. Pada Maret
bagian surat-menyurat dalam surat kabar ini menampilkan paragraf-paragraf
yang tersisa dari tanggapan yang dibiarkan menggantung dalam terbitan
sebelumnya, bersama kesaksian lain mengenai praktik-praktik kotor tarekat
yang dimaksud, yang hampir pasti merupakan tarekat Cik ‘Id, yang dikutuk
sebagai “sang gadungan dari para penipu pada zaman kita”, meski disertai
dengan pembatasan-pembatasan yang subtil:
Semua yang masuk ke tarekat ini pastilah tidak tahu agama dan tugas di
dunia, yang telah mereka tinggalkan dengan alasan dunia yaitu jalan yang
bertentangan dengan Syari‘ah .... isebab , mereka menjauhi [dunia ini] dengan
tarian dzikr dan gerak memutar serta mematikan diri dengan gerakan melompat
dan mengentak. Hal-hal semacam itu tak lain hanyalah bahaya bagi kehidupan
ini dan kehidupan yang akan datang.26
Sementara al-Imam bisa jadi sudah mengutuk pembunuhan diri yang
keliru seperti itu, para editornya tampaknya tak mampu membunuh kisah
ini. Lebih banyak surat diterima mengenai praktik-praktik tarekat, terutama
di Sumatra dan Malaya. Segera menjadi jelas bahwa target kisah-kisah ini
seringkali yaitu para syekh Khalidi setempat isebab praktik khalwa dan
rabita yang secara khusus diserang. Sebagai tanggapan, al-Imam menawarkan
jawaban sangat standar yang familier dari perdebatan internal di antara
para pembaharu Ghazalian, dengan menyatakan bahwa, sebagaimana
telah diramalkan Nabi, “penyakit orang-orang lampau” telah berkembang,
membuat orang tersesat dari “Sufisme sejati ... jalan lurus Nabi ... dan semua
sahabatnya dan para ulama”:
Orang-orang besar di antara Sufisme pada masa-masa sebelumnya yaitu
orang-orang pilihan, seperti orang-orang dengan pengetahuan mendalam,
orang-orang besar di antara para sayyid ‘Alawi, dan mereka yang mengikuti
jejak orang-orang besar itu dengan menaati Kitab serta Sunah Nabi. Namun,
[sekarang ada] orang-orang yang menciptakan tuhan dari hawa nafsu mereka
sendiri dan merusak agama dengan menambah-nambahkan padanya dan
menyampaikannya secara keliru, membentuk segala macam karya berisi
penyimpangan .... Sebenarnya mereka yang dari jenis ini kebanyakan yaitu
para penjaja agama yang meminum darah semua orang melarat .... Hendaknya
semua orang menjaga diri dari mereka ... [isebab ] satu saja dari orang-orang ini
lebih berbahaya bagi semua muslim dibandingkan sekian banyak iblis!27
DARI SUFISME KE SALAFISME — 213
Reaksi atas hal ini muncul tak lama kemudian di surat kabar lain, Utusan
Melayu. Seorang pengirim surat yang gelisah dari Penang meminta dalil Al-
Quran bagi sikap al-Imam mengenai praktik rabita, hadis, atau bahkan Sayr
al-salikin karya al-Falimbani. Sang pengirim dari Penang lebih jauh mendesak
warga untuk meminta nasihat kepada seorang syekh terpelajar dari
Mekah yang berkunjung ke Singapura bernama ‘Abdallah al-Zawawi.28
Tanggapan al-Imam—yang pada saat bersamaan menjawab Tengku
Muhammad Jamil dari Serdang yang menanyakan apakah Al-Quran
membenarkan rabita—lebih murka daripada sebelumnya. Tanggapan itu
menegaskan bahwa Al-Quran mengutuk praktik demikian. Sang penulis
bahkan mengaku heran dengan penyebutan syekh al-Falimbani dan al-Zawawi:
[K]arena dua orang ini yaitu ulama yang diperhitungkan. Karya-karyanya
menjelaskan persoalan-persoalan yang diturunkan dari Allah dan Nabi-Nya tanpa
satu pun dari mereka [mengambil] hak untuk mengubah atau menambahkan
pada agama sesuatu pun yang tidak termasuk darinya. Bagaimanapun, isebab
kami percaya bahwa S.A. terbukti tidak mampu menunjukkan bukti semacam
itu, bisakah [kami memohon] dengan rendah hati agar Habib [al-Zawawi]
membantunya? Namun, kami duga dia akan memilih menyimpan hal-hal itu
untuk dirinya sendiri isebab Sayyid ‘Abdallah al-Zawawi merupakan salah satu
landasan al-Imam ... dan kami telah menyerap berbagai ajaran dan arahannya
dalam dada kami.29
Pastinya banyak hal yang ingin disimpan al-Zawawi untuk dirinya
sendiri. sesudah diusir dari Hijaz, sahabat Muhammad b. ‘Aqil sekaligus
Snouck Hurgronje ini mampu menggunakan berbagai koneksinya terdahulu
untuk memperoleh tempat berlindung di Hindia. Al-Zawawi berpindah-
pindah secara rutin antara Riau, Pontianak, dan Batavia, tempat dia kerap
mengunjungi Snouck Hurgronje, meski bukannya tanpa hambatan sesekali
dari para pejabat pemerintah.30
Masih tidak jelas apakah semua ini diketahui oleh seluruh editor al-
Imam, yang usaha mereka semula dinyatakan sebagai usaha yang berguna oleh
Sayyid ‘Utsman. Fakta bahwa sebuah tulisan dalam surat kabar ini mengenai
para cendekiawan Barat yang telah menyusupi kota suci Mekah sama sekali
tidak menunjuk Snouck Hurgronje atau nama aliasnya ‘Abd al-Ghaffar
menunjukkan adanya semacam hubungan positif.31 Yang juga tidak jelas
yaitu pandangan al-Zawawi mengenai Sufisme tarekat. Namun, kenyataan
bahwa kunjungannya ke Riau pada 1893–94 mendorong penerbitan buku
panduan mendiang ayahnya menunjukkan adanya komitmen berkelanjutan
terhadap penafsiran yang lebih elitis terhadap Naqsyabandiyyah ketimbang
penafsiran yang ditawarkan oleh para syekh Khalidiyyah atau Qadiriyyah wa-
Naqsyabandiyyah.
214 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
Tak diragukan lagi, persoalan ini sama sekali belum selesai. Saling jawab
lebih lanjut antara para pembaca al-Imam dan Utusan Melayu menunjukkan
bahwa para guru setempat sama sekali tidak terkesan oleh keseluruhan
perkara ini. Satu pihak melangkah begitu jauh membela ajaran-ajaran mereka,
dengan menyebut silsilah Sulayman Afandi atau mendesak agar persoalan-
persoalan semacam itu tidak didiskusikan di surat kabar. Sementara itu, pihak
lain mengutip karya Ahmad Khatib Izhar zaghl al-kadhibin yang sekarang
memiliki nama buruk dan melampirkan fatwa para ulama Mekah.
Harus diperhatikan bahwa bukanlah al-Imam yang memunculkan
momok Ahmad Khatib, meski berbagai sumber dan kutipan keduanya
memiliki kesamaan yang mencolok. Bahkan, rujukan pada Izhar muncul
dalam sebuah surat yang dikirim oleh “Masbuq” pada Utusan Melayu, yang
para editornya jelas berharap bahwa perkaranya akan selesai dengan semacam
pernyataan otoritatif dari Mekah.32 Namun, dalam al-Imam kontroversi ini
akan menghabiskan lebih banyak cetakan isebab surat kabar ini mengklaim
menawarkan ruang bagi para ahli ataupun para pencela. Murid al-Haqq dari
Perak yang tampak sangat menyesal, misalnya, mengaku berhasil selamat
sesudah hampir masuk ke tarekat Sulayman Afandi akibat membaca salinan
al-Imam milik seseorang, yang mengukuhkan keraguan-keraguan yang sudah
ada dalam benaknya.33 Murid al-Yaqin dari Pahang yang juga jelas merupakan
nama palsu membela ajaran dan otoritas Khalidiyyah dibandingkan “sebagian
tarekat pada masa sekarang”, dan mendesak agar Murid al-Haqq memeriksa
tulisan-tulisan Ahmad Khatib Sambas, belum lagi karya-karya Isma‘il al-
Minankabawi dan tokoh terkemuka Khalidi Suriah, ‘Abd al-Majid al-Khani,
penulis Bahja al-saniyya yang cetakan Kairo-nya bisa dipesan dari katalog
Muhammad Siraj di Singapura.34
Para guru lainnya juga sudah bosan dengan kehebohan ini. Jika kita
hendak memercayai laporan-laporan yang dikirimkan pada al-Manar dari
Singapura dan Kuala Lumpur pada Agustus 1908, para guru tarekat mulai
melarang pembacaan dan penyebaran al-Imam secara umum di kalangan
murid mereka dan kalangan orang awam. Jika kita menerima kemungkinan
bahwa kebanyakan pembaca al-Imam berada di kalangan tarekat, dan
kemudian dalam komunitas-komunitas yang menyokong mereka, boikot
semacam itu pastinya akan memengaruhi kelangsungan hidup surat kabar
ini isebab akan lebih banyak tinta yang dihabiskan untuk persoalan-
persoalan tarekat pada 1908.35
saat edisi Kairo berbagai serangan lebih lanjut Ahmad Khatib tersedia,
perancuan ajaran-ajarannya dengan apa yang disuarakan al-Imam menjadi
lebih lazim. Mereka juga lebih erat dikaitkan dengan pernyataan-pernyataan
Rasyid Rida, membuat para pengamat Barat berikutnya menobatkan surat
kabar ini sebagai pertanda “modernisme” Salafi di Nusantara. Walaupun
DARI SUFISME KE SALAFISME — 215
begitu, al-Imam bukanlah sekadar soal menerjemahkan pesan Muhammad
‘Abduh, dan terdapat ketegangan yang signifikan antara Kairo dan Singapura.
Kritik Rida terhadap keistimewaan ‘Alawiyyah, terutama sikapnya mengenai
kesamaan hukum antara sayyid dan non-sayyid, pastinya sangat problematis
bagi sebagian dari para penyokong dan editor al-Imam yang lebih berorientasi
‘Alawi, yang tidak akan pernah mempermasalahkan persoalan kesetaraan
hukum atau asumsi bahwa para leluhur mereka dari kalangan Arab elite-lah
yang membawa Islam ke negeri-negeri Jawi.
Sebaliknya, beberapa kontributor dan pembaca Melayu mungkin sangat
tidak setuju. Sangat mungkin bahwa pada akhir 1908 para penyokong dan
sisa pembaca al-Imam bertanya-tanya apa sebenarnya konstituen mereka.
Kenyataan bahwa pada tahun-tahun sesudah nya kita mendapati para tokoh
al-Imam berada pada sisi-sisi yang berbeda dalam berbagai perselisihan
ideologis akan menunjukkan bahwa memang terdapat retakan internal pada
masa-masa terakhir surat kabar ini . Pada Januari 1909 al-Imam tidak ada
lagi, dan al-Zawawi kembali ke Hijaz untuk menduduki jabatan yang pernah
diduduki Ahmad Dahlan. Namun, ini sama sekali bukanlah akhir terbitan
berkala dengan aksara Arab di Singapura, apalagi akhir perselisihan mengenai
kepemimpinan komunitas Muslim. Setidaknya empat surat kabar muncul
pada bulan-bulan berikutnya, masing-masing menyatakan jalur khasnya
sendiri untuk melakukan pembaharuan. Bedanya, kini mereka menawarkan
pembaharuan pada dua komunitas yang terpisah, dan dengan dua bahasa.
Dua dari surat kabar beraksara Arab itu jelas merupakan penerus al-
Imam. Salah satunya, al-Islah, yang menampilkan artikel-artikel karya al-
Kalali. sesudah memulai produksi di tempat lain, al-Islah segera menempati
gedung al-Imam. Namun, agak berbeda dari pendahulunya, al-Islah
mengadopsi kebijakan yang secara terbuka pro-sayyid. Sementara itu,
percetakan asli al-Islah digunakan untuk surat kabar kedua, al-Husam, yang
mengklaim orang-orang Arab Riau dan Johor sebagai khalayak pembacanya.
Ada lagi surat kabar ketiga, al-Watan, di bawah bimbingan editorial seorang
sayyid yang lain, Muhammad b. ‘Abd al-Rahman al-Masyhur, yang dikaitkan
dengan masa-masa awal Jam’iyyat al-Khayr, sebuah organisasi kesejahteraan
Arab yang didirikan di Batavia sekitar 1905.36
Dari ketiga surat kabar ini , al-Watan yaitu yang paling berwarna
Arab, mendorong yang modern sembari menjaga hak-hak istimewa kaum
sayyid. Al-Watan juga jelas-jelas berpihak kepada para reformis Kairo,
menuduh al-Manar dan para editornya sebenarnya perwakilan Wahhabiyyah
yang menyamar dengan buruk. Sayyid ‘Utsman juga tidak menyukai nada
al-Manar. Cucunya, Muhammad b. Hasyim b. Tahir (1882–1960) semula
yaitu koresponden reguler, sedangkan Sayyid ‘Utsman mendapati dirinya
dan tulisan-tulisannya dikritik Sayyid Rasyid Rida yang membencinya akibat
216 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
surat-surat lain dari kawasan ini yang mencemooh kolaborasinya dengan
Snouck. saat pada 1909 Rida mulai menampilkan artikel-artikel yang
mencelanya sebagai “Dajjal”, Sayyid ‘Utsman yang berusia delapan puluhan
itu menyerang balik melalui karyanya yang menuduh Jamal al-Din al-Afghani,
“si Koptik” Muhammad ‘Abduh, dan “penguasa al-Manar” Rasyid Rida
sebagai para dajjal sebenarnya yang merusak kaum Muslim modern. Rida bisa
jadi memuji menantu ‘Utsman, yakni Bin ‘Aqil, atas kerjanya menyebarkan
pesan al-Manar di Asia. Namun, Bin ‘Aqil tidak menyukai sikap orang Suriah
itu mengenai martabat sayyid dan mulai khawatir bahwa dia telah menganut
tulisan-tulisan Ibn Taymiyyah, yang pada saat itu merupakan sumber utama
bagi para pangarang Wahhabi.37
Surat kabar berbahasa Arab lainnya yang muncul sesudah al-Imam
bisa dikelompokkan sebagai corong bagi sikap pro-‘Alawi yang dipaksakan
kepada mereka oleh lingkungan kolonial, juga dapat dibedakan satu sama
lain dengan melihat sejauh mana mereka menolak Salafiyyah. Adil kiranya
jika dikatakan bahwa klaim mereka masing-masing terhadap kesahihan dalam
menyampaikan reformasi dengan beragam corak mungkin telah memunculkan
reaksi di kalangan kolaborator lokal yang dianggap berasal dari keturunan
yang kurang terhormat. Ini bisa dengan mudah dilihat di halaman-halaman
Neracha, penerus pertama al-Imam yang berbahasa Melayu. Neracha dieditori
‘Abbas b. Muhammad Taha. Kehadirannya segera diikuti kelahiran surat kabar
berbahasa Melayu lain yang dicetak di Kairo, al-Ittihad, yang memandang
perjuangan orang-orang “Jawi” terpisah dari perjuangan-perjuangan muslim
lain, termasuk perjuangan orang-orang Turki dan Mesir.38
Bisa dikatakan bahwa kejawian bisa dianggap mendasari penerus al-
Imam di Sumatra Barat yang bahkan lebih polemis, al-Munir. Surat kabar ini
didirikan oleh sekelompok murid Ahmad Khatib al-Minankabawi pada 1911.
Al-Munir bahkan melangkah lebih jauh dalam mengadopsi kebijakan eksklusi
baik terhadap tarekat maupun para sayyid ‘Alawi. Padang kemungkinan besar
merupakan salah satu dari sedikit lokasi di Nusantara yang memungkinkan
hal semacam ini bisa terjadi. Meski turut andil dalam kampanye membantu
Naqsyabandiyyah, Sumatra Barat memiliki komunitas Hadrami terkecil di
Nusantara. Hal ini isebab Hadrami hanya melakukan sedikit usaha untuk
masuk ke warga matrilineal. Kakek Ahmad Khatib jelas bukan seorang
sayyid. Dia memang menghormati para syarif Mekah pendukungnya, tapi
dalam berbagai percakapan dia juga merenungkan bagian yang tidak setara
bagi Jawi di Arabia.39
Apakah para pemimpin di belakang al-Munir—‘Abdallah Ahmad, Hajji
Rasul, dan Syekh Jamil dari Jambek—telah sepenuhnya beralih dari Sufisme
elitis Sayyid ‘Utsman dan Ahmad Khatib ke Salafisme Muhammad ‘Abduh
dan Rasyid Rida tidak segera terlihat. Yang jelas, mereka dianggap oleh lawan
DARI SUFISME KE SALAFISME — 217
sebagai kaum Wahhabi baru dan para pewaris langsung kaum Padri. Mereka
sendiri sebenarnya meninggalkan apa yang tampaknya merupakan enam abad
usaha peniruan ortodoksi Mekah secara sadar di bawah para penguasa Jawi
yang telah menanamkan berbagai tiang puja-puji bagi para sayyid asing dan
para wali setempat. Seperti akan kita lihat, beberapa cendekiawan Belanda
tidak bisa tidak menyetujui sikap mereka dan bergabung bersama mereka
dalam menatap masa depan yang kelihatannya lebih cerah.
Dalam bab yang singkat ini, sekali lagi kita mengarahkan pandangan
melampaui wilayah Belanda untuk melacak transmisi reformisme Islam ke
Nusantara. Ini yaitu kisah yang dibentuk oleh suara-suara Melayu, namun
akhirnya terhubung dengan Kairo, tempat percetakan dan aktivisme publik
menjadi ciri khas gerakan Salafi baru Muhammad ‘Abduh dan Muhammad
Rasyid Rida. Sebagai bagian dari kebijakan mereka untuk menata ulang
warga Muslim, gerakan ini menyerukan agar kaum Muslim memutus
jaringan patronase lama yang diorganisasikan di seputar tarekat dan sayyid.
Namun, seperti kita lihat dalam kasus al-Imam dan kemunculannya, gagasan-
gagasan demikian sebenarnya diluncurkan oleh para pemikir yang persis
memiliki hubungan-hubungan semacam itu. Tujuan mereka bisa diselaraskan:
keduanya hendak membatasi Sufisme untuk kalangan elite dan mendorong
perluasan pemahaman yang tepat terhadap Syari‘ah kepada lingkaran pembaca
yang lebih luas. Namun, terdapat ketegangan inheren dalam “harmoni” ini.
Ketegangan itu secara tak terhindarkan mengakibatkan runtuhnya berbagai
pembaharuan yang dipimpin sayyid dan, seperti kita lihat, munculnya ruang
publik yang semakin terpecah-pecah di Hindia Belanda. Ke depannya,
berbagai aliran gerakan muslim “modernis” berusaha memimpin di bawah
pengawasan Kantor Urusan Pribumi (namun bukan lagi Arab).
Dalam surat-surat pensiunan wedana yang ditulisnya dengan nama samaran, Snouck Hurgronje menegaskan, seperti yang dilakukan setiap
cendekiawan muslim yang terhormat, bahwa Sufi sejati bisa dikenali dari
silsilahnya. Namun, sang wedana tidak mengatakan apa-apa mengenai individu
yang sama itu sebagai mewakili sebuah bahaya bagi negara. Juga jelas bahwa
perhatian pribadi Snouck sejak awal yaitu menguraikan berbagai silsilah yang
ditemukannya di lapangan, dengan niat mengungkapkan silsilah sejati sejarah
Hindia. Pada Januari 1890 dia menulis kepada mentornya, Nöldeke, bahwa
dia berharap menghabiskan musim hujan dengan bundel-bundel materinya
yang baru saja dikumpulkan. Terlepas dari “segala macam kerja pemerintahan
yang belum selesai”, yang dia harapkan berkisar di seputar data etnografisnya
dan menuntaskan kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh van den Berg, dia
sangat bersemangat dengan berbagai kemungkinan dalam materi yang telah dia
kumpulkan mengenai “penyebaran paling dini berbagai persaudaraan mistis
di kawasan-kawasan ini”, yang diklaimnya memberikan “sebuah wawasan
mengenai penyebaran Islam paling awal di sini, dan cara bagaimana Islam dan
Hinduisme berhadapan dan berinteraksi”. Pada tahun itu pula Snouck menulis
dengan kerangka yang sama kepada Direktur bidang Pendidikan bahwa dia
memiliki “sebuah koleksi yang kaya” berupa literatur pribumi yang dapat
dimanfaatkannya pada tahap tertentu “demi menyajikan sejarah masuknya
Islam dan sifatnya pada masa kini dengan pemahaman yang lebih jelas.”1
Kebanyakan pejabat Belanda memiliki prioritas sangat berbeda. Mereka
ingin mengetahui bagaimana memaknai berbagai manifestasi Islam yang
terlihat di hadapan mereka setiap hari. Di mata mereka, tugas utama Snouck
yaitu menjelaskan soal-soal yurisprudensi, atau lebih lagi bahan-bahan yang
dibawa dari rakyat yang memberontak. sesudah urusan Selompret Malajoe
pada 1896, misalnya, Snouck berkorespondensi dengan Asisten Residen Polisi
di Semarang, G. Hogenraad. Mata-mata Hogenraad melaporkan bahwa para
S E B E L A S
PARA PENASIHAT
UNTUK INDONESIË
1 9 0 6 – 1 9 1 9
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 219
guru setempat menggunakan Jami’ al-usul fi l-awliya’ cetakan Kairo untuk
mencari kekebalan. Sebagai tanggapan, Snouck menasihatkan (sekali lagi)
bahwa tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyyah yaitu gerakan panteistik
“yang sepenuhnya bebas dari aspirasi politik”, dan bahwa buku-buku ini
tidak memberikan petunjuk yang spesifik mengenai perkara semacam itu.2
Seperti van den Berg, Snouck mendapati bahwa minat historisnya harus
diletakkan jauh di belakang tugas-tugas dinasnya, terutama saat terlibat
dalam banyak ekspedisi ke Aceh. Namun, selama nasihatnya diikuti oleh para
pejabat yang penuh perhatian seperti Hogenraad, ini barangkali merupakan
pil yang tidak terlalu pahit untuk ditelan. Mejanya kerap disesaki berbagai
informasi mengenai serangan tertentu. Dia bisa dengan mudah menugaskan
agar dokumen-dokumen menarik disalin atau sekadar ditambahkan pada
koleksinya. Namun, saat menjadi semakin jelas bahwa apa yang dikatakannya
membentur telinga-telinga tuli atau yang dikatakannya harus diulang-ulang
untuk pejabat yang masih hijau, dia mulai merindukan cakrawala baru.3
Dengan diangkatnya Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal pada
1904, sang penasihat yang dilanda ketidakpuasan itu melihat jendela
peluangnya di Hindia diselimuti kabut. Pada April 1906 Snouck berlayar
ke Eropa. Pintu-pintu Akademi Leiden akan terbuka baginya, sebagaimana
pintu-pintu Halaman Suci di Mekah terbuka untuk al-Zawawi pada akhir
1908. Snouck diangkat secara resmi dalam fakultas pada akhir Oktober
1906, tapi dia tetap menjadi penasihat senior untuk takhta Belanda dan
mengawasi pengajuan para calon administrator kolonial hingga pensiun pada
1927. Pastinya pendidikan berkualitas untuk para pejabat merupakan sebuah
prioritas penting baginya. Mengulangi perselisihan awalnya dengan status
quo, dia mengirim serangkaian surat pada surat kabar-surat kabar terkemuka
dan mengungkapkan penyesalannya mengenai kondisi pendidikan untuk
para pegawai luar negeri. Menurutnya, kebanyakan instruktur lebih tertarik
menunjukkan apa yang diyakini sebagai keunggulan kebudayaan Barat
ketimbang menyampaikan informasi mengenai budaya dan bahasa yang
barangkali akan dijumpai para siswa mereka. Berlainan dengan Inggris, yang
menurut Snouck telah lama memahami berbagai kebutuhan pendidikan para
pejabat kolonial mereka.4
Sementara itu, di Batavia, yang pertama dari beberapa cendekiawan
dengan kecenderungan serupa menduduki jabatannya, meski sebagai Penasihat
untuk Urusan-Urusan “Pribumi” bukannya “Pribumi dan Arab”. Dia yaitu
G.A.J. Hazeu, seorang ahli Jawa pemilik tesis mengenai wayang klasik di
Leiden pada 1897, yang penilaiannya mengenai penyebab pemberontakan
Gedangan ditolak Van Heutsz.5 saat Hazeu menjadi bawahan langsung
Snouck sesudah kedatangannya di Batavia pada 1898, pengaruh Snouck telah
menyebar luas. P.S. van Ronkel (1870–1954), putra pengkhotbah ternama
220 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
dengan nama sama, terinspirasi untuk melacak asal usul Hikayat Amir
Hamza dengan menggunakan pengamatan-pengamatan Snouck mengenai
kesusastraan populer dan hubungannya dengan sejarah Islam di Nusantara.
Dia bahkan mendahului Hazeu pada 1895 sebagai Penasihat Sementara
untuk Bahasa-Bahasa Hindia.6
Van Ronkel meninggalkan Snouck dan pindah ke sekolah Willem
III. Namun, kepindahannya tidak berarti membuatnya lupa pesan Snouck.
Dia mengakhiri kelasnya untuk 1900 dengan pernyataan bahwa umat
Muslim harus belajar menyingkirkan doktrin jihad dan mengakui bahwa
agama mereka hanyalah “sebuah ritual untuk mencapai keselamatan abadi”.
Namun, sebelum tujuan itu tercapai, “semua bangsa Mohamedan yang
kurang berbudaya harus belajar membungkuk pada pemerintah Eropa yang
perkasa”.7 Snouck tidak selalu berpikiran baik terhadap para bintang yang
tertarik ke arahnya, tak peduli betapa bersemangat mereka berbagi pendapat
dan menyebarkan pesannya. Sebaliknya, pada 1900, dia menilai Hazeu
sebagai seorang ahli Jawa yang menjanjikan. N. Adriani (1865–1926) seorang
linguis komparatif yang baik, mengabaikan van Ronkel dan mengklaim
lebih jauh bahwa “dunia pemikiran” ketiganya hanyalah kebetulan bagi
dunia pemikirannya.8 Pada 1904 T.W. Juynboll (1866–1948) muncul secara
mengejutkan dengan kualitas buku panduannya mengenai hukum Syafi‘i
isebab Snouck menganggap semangat para Orientalis generasinya “lebih
buruk” dibandingkan semangat dua generasi sebelumnya.9
Barangkali generasi baru hanya terlalu berhati-hati untuk
mempertanyakan berbagai para guru mereka yang blakblakan.
Dia berani menantang para pendahulunya dan memilih jalur yang lebih
aman dalam sub-bidang yang berkaitan namun berbeda, khususnya sesudah
kembali ke Leiden dan mulai merencanakan Encyclopedia of Islam (1908–
36) yang pertama. Bukan tidak mungkin bagi mereka yang bekerja di
bawah pengawasan langsung Snouck untuk mendapat perlindungan dan
memenangkan penghormatannya. Hazeu pastinya memperoleh pujian isebab
bantuannya dalam menyiapkan terbitnya karya Snouck mengenai Dataran
Tinggi Gayo.10 Mereka yang bekerja dekat dengan Snouck segera mengerti
bahwa yaitu hal bijak untuk memanfaatkan berbagai materi yang ditawarkan
lelaki itu yang terlalu disibukkan dengan tugas-tugas administratifnya untuk
mencurahkan perhatian pribadinya pada bahan-bahan ini . Juga hal bijak
untuk mendengarkan secara saksama apa yang dikatakan Snouck. Substansi
buku panduan Juynboll, misalnya, secara langsung berasal dari kuliah-kuliah
Snouck, dan dengan demikian dari pengalamannya di Mekah.11
Seorang penasihat negara kolonial mengenai soal-soal hukum Islam
tentu saja perlu memahami prinsip-prinsip yang mendasari kepercayaan
dan hak waris, dan ini menjadi sangat penting sesudah Ordonansi Guru
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 221
diterapkan pada 1905. Sebuah usaha lain untuk memperkuat cengkeraman
terhadap Islam sebagai sebuah institusi, ordonansi ini memerintahkan agar
para guru sejak saat itu mendaftarkan baik ajaran maupun pesantren mereka.
Para guru yang sama menganggap sang Penasihat sebagai pembela dalam
hal-hal semacam ini, sebagaimana yang kita lihat dalam kasus tiga guru dari
Kediri yang dicabut haknya untuk melaksanakan shalat Jumat di pondok
mereka pada 1909. Salah seorangnya secara khusus menarik perhatian Hazeu
isebab tampaknya lelaki ini, Muhammad Minhad, di Afdeling Trenggalek,
kehilangan hak istimewanya dengan alasan tidak menyatakan dirinya seorang
guru Naqsyabandiyyah dan isebab buku-bukunya.12 Hazeu memprotes
tindakan ini dan pemikiran yang ada di belakangnya secara keras:
Contoh ini sekali lagi menggambarkan konsekuensi yang tak dikehendaki
dari ketidakpercayaan yang kerap, dan sangat kentara, dikembangkan oleh
Pemerintah (juga Pemerintah Pribumi) terhadap para guru tarekat secara umum.
Ketidakpercayaan demikian menjadikan orang-orang ini pada gilirannya juga
tidak percaya kepada Pemerintah dan terdorong berbuat kebohongan dan
kepalsuan demi mendapat kesempatan untuk memberikan pendidikan secara
rahasia. Perbuatan yang bagaimanapun dihargai oleh orang Jawa kebanyakan,
tapi tak tertangkap mata Pemerintah. Maka, dalam Daftar para Kjahi dan Guru
di Karesidenan Kediri untuk 1903, kita hanya mendapati sedikit guru agama
yang terdaftar memberikan pengajaran tarekat. Suatu kontradiksi mencolok
dengan kenyataan! Benar-benar banyak guru tarekat sejak masa sangat lampau
di Kediri, dan mereka ada di sana sekarang. Tak perlu dikatakan bahwa metode
bertindak seperti ini terhadap para guru tarekat jelas harus dihindari, baik
berdasar pertimbangan etis maupun politis. Lagi pula, pengawasan para
guru agama yang dikehendaki oleh Ordonansi Guru tidak bisa mencapai
tujuannya jika para guru tarekat tidak tercantum dalam daftar.13
Hazeu kemudian menunjukkan bahwa, di antara berbagai tarekat (yang
diyakini kuno) yang dipraktikkan di Hindia, hanya beberapa yang ditemukan
mempromosikan ajaran-ajaran yang menentang tatanan yang berlaku.
Dengan demikian, bisa jadi “tak ada alasan” untuk melarang praktik-praktik
tarekat, sebagaimana yang terjadi di beberapa kabupaten. Ini bukan berarti
Hazeu menyukai tarekat yang diyakininya sebagai warisan leluhur. Terlepas
dari sentimen pan-Islam yang kadang memengaruhi artikel-artikel al-Imam,
dan yang membenarkan pengawasan berkelanjutan, dengan perhatian yang
penuh kehati-hatian Hazeu mengamati surat kabar ini dan para editornya
yang terhormat yang berusaha melaksanakan program mereka di dalam batas-
batas hukum, meminta saran (dan kontribusi) dari para sekutu, tak kurang
dari Sayyid ‘Utsman.14
Kita sudah mencatat sikap al-Imam mengenai tarekat dan melihat
betapa mempertanyakan asal usul mistis tarekat akan menjadi tugas utama
222 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
bagi banyak murid terpilih Snouck. Tidak semuanya merasa sangat diberkati
oleh mentor mereka itu. Salah seorang yang tidak setia kepada Snouck yaitu
D.A. Rinkes (1878–1954). Semula dikirimkan ke Taman Botani di Bogor
pada 1899, dia mendaftar di Akademi Willem III guna mencari prospek
karier yang lebih luas dan ditempatkan di Korinci, Sumatra Barat, pada
1903. Dia kembali ke Belanda dan mendaftar di Leiden pada 1906 untuk
mengikuti ketertarikan yang dikembangkan di bawah bimbingan Hazeu dan
van Ronkel. Di sana dia banyak menggunakan berbagai manuskrip yang telah
dikumpulkan Snouck di lapangan, yang tak diragukan lagi mengesankannya
dengan hasratnya untuk mengaitkan pengamatan personal dengan sumber-
sumber arsip. Dia mempertahankan hasilnya yang berupa sejarah ‘Abd al-
Ra’uf al-Sinkili dan Syattariyyah pada 1909, memperluas pengamatan Snouck
mengenai pengaruh Syattariyyah terhadap ‘Abd al-Muhyi Pamijahan. Karya
ini diikuti serangkaian artikel Rinkes yang ditujukan untuk Wali Sanga
dalam TBG, jurnal utama bagi riset Hindia. Sebuah putusan terakhir mengenai
jumlah mereka menjadi tidak berarti saat Rinkes meninggalkan proyek
ini sesudah menulis bagian-bagian yang mengkhususkan diri hanya pada
empat wali, mengenai sifat dasar yang ajaib, dan mengenai kekuatan makam.15
Tidak semua murid Snouck di Leiden mencurahkan perhatian pada
kajian silsilah mistis, para wali, dan magis, namun masih adil kiranya jika
dikatakan bahwa kebanyakan mereka terobsesi dengan pertanyaan mengenai
asal usul. Dalam arti tertentu apa yang mereka lakukan tidaklah begitu
berbeda dari apa yang hendak dicapai oleh sebagian cendekiawan muslim
hingga sebuah titik. isebab meski mereka semua menyaring laporan-laporan
yang asli dari yang palsu, hanya orang-orang Muslim-lah yang melakukan hal
ini demi mencari kebenaran agama. Atau, setidaknya hanya orang-orang
Muslim di luar Leiden. Beberapa orang Indonesia dari kalangan elite yang
bekerja di universitas di bawah bimbingan langsung Snouck mendapat jenis
pendidikan yang sama seperti para sejawat Belanda mereka. Barangkali yang
paling terkenal dari mereka yaitu Hoesein Djajadiningrat (1886–1960),
sepupu Aboe Bakar, dan orang Indonesia pertama yang menyelesaikan gelar
doktor di Leiden (pada 1913) dengan kajian kritisnya mengenai Sajarah
Banten. Pada 1909 Snouck menilainya sebagai yang paling baik dari semua
anak didik ilmiahnya.16
Selama tahun-tahun berikutnya saat Snouck mengambil peran
mentor bagi para pejabat masa depan yang pengujiannya dia awasi dan bagi
sangat sedikit mahasiswa Hindia yang tidak tertarik ke bidang hukum dan
kedokteran yang prestisius, Snouck selalu menekankan aspek-aspek historis
Islam dan perannya di Hindia. Dalam artikel-artikelnya, dia barangkali tidak
merujuk secara langsung pada tulisan-tulisan ‘Abduh dan Rida, atau pada
berbagai aktivitas Turki Muda, namun dia memiliki pandangan optimistis yang
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 223
hati-hati terhadap tujuan umum reformasi mereka. Selain ini, jelaslah bahwa
Snouck percaya bahwa, dengan penyebaran kekuasaan Eropa yang tampaknya
tak bisa dihentikan hampir di seluruh negeri-negeri muslim, Mekah menjadi
benteng terakhir “ortodoksi zaman pertengahan yang konservatif ”—atau apa
yang bahkan bisa disebut Islam “antik”—dan merupakan sumber “kepicikan
spiritual dan fanatisme yang dibawa ke Nusantara”. Juga jelas bahwa Snouck
masih menganggap tarekat memainkan peran dalam mengimpor nilai-nilai
antik ini. Dalam berbagai kuliah dan kolom surat kabar dia masih merujuk
pada penurunan derajat tarekat di kalangan orang-orang awam, mengingatkan
para pembacanya bahwa lembaga-lembaga semacam itu masih bisa menjadi
instrumen yang berbahaya di tangan para guru yang tak punya prinsip. Meski
demikian, dia merasa bahwa gagasan-gagasannya telah memiliki dampak dan
bahwa kekuasaan Belanda serta pendidikan modern kian “mengemansipasi”
orang-orang Muslim dan menyemai benih revolusi di kalangan elite yang oleh
pemerintah kolonial harus dibina atau dibiarkan berkembang berdasar
syarat-syaratnya sendiri. isebab meski memuji berbagai perubahan di Turki
dan Mesir, Snouck menulis surat kepada Nöldeke mengenai “keyakinan
mutlak”-nya bahwa “Indonesië” akan terbukti merupakan situs yang paling
mungkin bagi pendekatan kembali antara Islam dan humanisme, meski
gerakan-gerakan baru ini menimbulkan bahaya potensial bagi negara.17
Optimismenya juga tampaknya diproyeksikan pada kedudukan
perempuan dan menurunnya kekuatan kaum Sufi. Dia bahkan mengumumkan
kepada publik bahwa terdapat lebih sedikit perlawanan di Hindia terhadap
emansipasi perempuan dibandingkan di Turki atau Mesir, meski orang-
orang kebanyakan masih “berpegang teguh pada jubah para guru Sufi”, atau
mempersembahkan pertunjukan wayang untuk para wali. Dia secara eksplisit
menyuarakan harapan bahwa zaman modern dan paparan kebudayaan Barat
akan mengakhiri kecintaan populer terhadap para wali. Namun, sebagai
seorang sejarawan, Snouck menyatakan bahwa bagaimanapun kita harus
berterima kasih kepada para pemuja wali yang terbelakang itu. Dalam “tulisan-
tulisan mistis yang menyimpang” itulah kita bisa melihat kepribadian sejati
“kaum Mohammedan Hindia”. Bahkan, sebagaimana didapati di sekolah-
sekolah modern, Snouck mengklaim bahwa kita masih bisa menemukan
“perpaduan dan perbandingan yang paling muskil”, serta “absurditas yang
paling menggelikan”.18
saat sampai pada perbandingan, Snouck tidak bisa tidak mencatat
sambil lalu bahwa kisah-kisah tertentu dari Indonesia tampaknya
mengingatkan pada kisah-kisah dari tempat lain di Dunia Muslim. Dalam
sebuah catatan kaki dia menyarankan bahwa nasib Lemah Abang yang
menyimpang tampaknya merupakan pengulangan dari kesyahidan al-Hallaj.
Tak diragukan lagi dia telah mengomunikasikan hal ini dengan cendekiawan
224 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
Prancis Louis Massignon (1883–1962), yang tinggal bersamanya pada
1921. Murid-muridnya belakangan bertanya-tanya bagaimana Snouck dan
Massignon bisa tinggal bersama, mengingat Snouck terkenal tidak menyukai
orang-orang Katolik dan mencela bahasa Arab si orang Prancis. Namun,
surat-surat kepada Nöldeke menunjukkan adanya kehangatan yang tulus di
antara Snouck dan Massignon. Meskipun kehangatan itu tidak mencegah
Snouck untuk menyatakan bahwa baginya karya Massignon “nyaris tak bisa
dicerna”.19
Barangkali ini isebab rasa suka yang diakui Snouck secara terbuka terhadap
kejernihan al-Ghazali dibandingkan kesamaran Ibn al-‘Arabi. Pastinya, al-
Hallaj bukanlah yang paling menonjol dalam pikiran Snouck sepuluh tahun
sebelumnya saat dia mengungkapkan pandangannya mengenai apa kiranya
yang dibutuhkan “kaum Mohammedan Hindia” “untuk mempertahankan
sebuah tempat dalam berbagai urusan dunia”. Sebagaimana telah dinyatakan
Snouck, mereka “dengan senang hati menerima” kepemimpinan Belanda
dalam pendidikan dan pembangunan, “oleh isebab itu tanpa prasyarat apa
pun mereka meninggalkan para wali kuno demi kami”. Snouck bahkan
memungkasi kuliah ini dengan menyatakan bahwa tugas historis yang
besar di depan bangsa Belanda yaitu memberantas segala bentuk kepicikan
agama, sekuler, atau politis dalam apa yang merupakan negara kolonial Hindia
Belanda yang sudah jelas batas-batasnya. Dia tampaknya memikirkan Hindia
dengan mengecualikan dunia Melayu. Di satu sisi, dia menggambarkan
dampak reformisme Ghazalian terhadap tarekat-tarekat seperti Sammaniyyah.
Di sisi lain, dia tidak pernah mengaitkan sebuah peran dalam sejarah yang
digambarkan kepada keluarga Sanusi. Hal itu kemungkinan besar isebab para
agennya aktif di luar wilayah kekuasaan Belanda dan pada waktu yang lebih
belakangan daripada periode yang paling menarik minatnya.20
Pemisahan ini membawa kita ke persoalan bahasanya yang menetapkan
batas-batas teritorial. Segera sesudah masa tinggalnya di Mekah, tempat dia
menyaksikan kaum Muslim Nusantara menjadi kian sadar akan sebuah
identitas Jawi yang terpisah, Snouck mulai menggunakan istilah yang kian
populer di Leiden, dengan merujuk pada sebagian orang sebagai “Indonesiër”.
Meski demikian, pada 1880-an masih belum ada penyamaan yang pasti
antara Hindia Belanda dan Indonesia, dengan yang pertama dipandang
sebagai sub-bidang dari yang belakangan, dan dalam tulisan dalam Mekka
mengenai “Indonesia yang Muslim”, Snouck masih mengakui keberadaan
nonmuslim baik di dalam maupun di luar daerah kekuasaan Belanda. Ini
juga merupakan kerangka yang digunakan dalam laporannya mengenai
orang-orang Aceh sewaktu dia menggambarkan “kaum Mukmin Indonesia”,
dan “kaum Mohammedan Indonesia”, dan bicara mengenai hal-hal sebagai
entah “khas Indonesia” (seperti praktik-praktik Syattariyyah yang “jelas-jelas
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 225
dipengaruhi Hindu”) atau “tidak khas Indonesia” (seperti pengabaian yang
lazim terhadap shalat harian).21
Istilah-istilah semacam itu juga kerap muncul dalam berbagai artikel dan
kuliahnya. Seiring berlalunya waktu, tampaknya “Hindia” dan “Indonesia”
menjadi sinonim.22 Yang tak pernah dinyatakan Snouck secara eksplisit
yaitu konsep dalam karyanya: “Islam Indonesia” dan kepribadian-nya.
Sebaliknya, lompatan itu akan dilakukan oleh orang-orang lain yang bekerja
di bawah naungan kesarjanaannya. Namun, dengan segala sentimen liberal
mereka, “Indonesia” masih merupakan sebuah abstraksi bagi banyak Indolog
Leiden pada 1910-an. Gerakan nasionalis masih harus mengambil alih istilah
ini isebab para anggota elite Klub Mahasiswa di Leiden lazimnya lebih
mengidentifikasi diri dengan Jawa ketimbang apa yang disebut Pulau-Pulau
Luar. Fokus ini juga lebih dari sekadar tampak dalam judul dan isi sebuah
surat kabar baru yang akan dibaca oleh kebanyakan dari mereka. Didirikan
pada 1921, Djåwå memberi ruang untuk artikel-artikel ilmiah yang lebih
sering berfokus pada kesusastraan dan arkeologi ketimbang pada Islam, meski
sebagian pejabat lulusan baru akan memandangnya sebagai sebuah organ
sesekali bagi artikel mengenai agama ini .
TAREKAT KE SERIKAT, SAYYID KE SYEKH
Meskipun sosoknya dianggap besar dalam sejarah Indonesia, Snouck tak
banyak terkait dengan berbagai perkembangan kalangan reformis di Sumatra
dan Jawa selain membantu mempertahankan sebuah atmosfer yang toleran
untuk aktivitas mereka. Andai saja tinggal di Batavia sesudah 1906, Snouck
pasti akan punya lebih banyak hal untuk disampaikan mengenai persoalan
keterlibatan reformis dalam gerakan nasional yang berkembang pesat. Berawal
dalam konteks perkotaan seperti Padang, Batavia, dan Surakarta, para aktivis
yang berkomitmen pada pesan modernis, yang sebagian besarnya memancar
dari Kairo dan Singapura, mulai bekerja menjalin jaringan sekolah dan
warga . Dalam sebagian kasus, dorongannya yaitu persaingan isebab
para misionaris, serta warga Arab dan Tionghoa, telah mengadopsi
tujuan yang modern dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah
sakit.
Sebagian pihak dalam pemerintah kolonial mengkhawatirkan
perkembangan politik yang demikian. Di sisi lain, para cendekiawan yang
bertugas di Kantor Urusan Pribumi menganggap semua itu sebagai bukti
adanya kehendak melakukan modernisasi di kalangan Muslim pribumi. Jelas
bahwa kaki tangan Snouck aktif membina hubungan dengan para pemimpin
organisasi-organisasi semacam itu, dan mereka pun pada gilirannya mendapat
pembinaan. Di antara orang-orang Muslim yang berada di persimpangan
226 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
antara aktivisme publik, agama, dan kekuasaan yaitu Agoes Salim (1884–
1954) dan Ahmad Surkati (1872–1943). Agoes Salim, seorang Minangkabau
berbakat yang dididik di Batavia oleh Snouck dan dikirim ke Jeddah di bawah
bimbingan Aboe Bakar Djajadiningrat, mendapati dirinya terdampar di
antara jemaah haji yang dia harap dapat dijunjungnya dan Belanda yang dia
coba untuk ditirunya. Dalam setelan kolonial putihnya, Salim menyediakan
sebuah kontras bagi Aboe Bakar dan al-Zawawi, dua perwakilan tatanan
tradisional. Dia kembali ke Jawa, dalam keadaan sudah berubah baik secara
keagamaan maupun politis sesudah bersinggungan dengan Ahmad Khatib
yang yaitu famili dari pihak ibunya. Di Jawa dia bekerja sebagai seorang
kerani dalam pemerintah.
Sementara itu, Ahmad Surkati si orang Sudan sampai ke Jawa melalui
jalur yang sangat berbeda. Direkrut dari Mekah pada 1911, dan segera sesudah
keberangkatan Salim, dia mengajar di Sekolah al-‘Attas (yang berkaitan
dengan perkumpulan kesejahteraan Jam’iyyat al-Khayr) sebelum berpisah
dengan para majikan sayyid-nya pada 1914. Pada 1915 dia yaitu pilihan
yang realistis untuk memimpin gerakan reformis baru di kalangan Arab dari
keturunan yang kurang terhormat. Dikenal sebagai al-Irsyad, gerakan ini
disokong oleh pengusaha kaya dan pimpinan komunitas Arab di Batavia yang
diangkat oleh Belanda sejak 1902, ‘Umar Manqusy (w. sekitar 1948). Surkati
juga berperan sebagai seorang penasihat dalam apa yang pada dasarnya
merupakan organisasi saudara (tua)-nya, Muhammadiyah, yang didirikan di
Yogyakarta pada 1912 oleh Ahmad Dahlan (1868–1923), yang tertarik pada
tulisan-tulisan Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida.
Dahlan merupakan seorang pemimpin lokal yang tengah menjadi,
setidaknya di atas kertas, gerakan massa terbesar untuk orang-orang pribumi
Hindia, Sarekat Islam (SI). Perserikatan ini muncul di Surakarta dari sebuah
komunitas kecil orang Jawa yang, dengan dukungan istana, berusaha
mempertahankan posisi ekonomi dalam perdagangan batik bersaing melawan
Tiongkok. Sangat berlawanan dengan dugaan para pendiri SI, banyak kota
besar di Jawa segera menyaksikan pendirian cabang-cabang persaudaraan, yang
karakternya sering berbeda satu sama lain seperti dalam kasus Yogyakarta, yang
tak pernah diizinkan bersinggungan dengan kepentingan Muhammadiyah
di bawah Ahmad Dahlan. Ini bukan berarti bahwa Sarekat Islam sejak awal
dirancang sebagai sebuah gerakan sosial. Meski ada rencana untuk mendirikan
sekolah dan rumah sakit seperti usaha-usaha Muhammadiyah dan para murid
Ahmad Khatib, hanya sedikit yang dilakukan untuk tujuan ini.23
Meski demikian, “Islam” dalam Sarekat Islam dianggap oleh sebagian
anggota dan para pengagum dari jauh sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar
penanda pribumi. Di beberapa kawasan, ritus inisiasi tidaklah berbeda dari
ritual baiat ke dalam tarekat mistis, sebuah perkembangan yang menggelisahkan
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 227
para guru tarekat-tarekat ini . Namun, penggunaan inisiasi dan perjanjian
tarekat oleh sebagian calon cabang Sarekat Islam tidak menghalangi Kantor
Urusan Pribumi dari memberi dukungan kuasi-resminya. Para pemimpin
Sarekat Islam memastikan bahwa mereka melaporkan kasus mereka kepada
para penasihat, dengan mengundang Hazeu, Rinkes, dan Sayyid ‘Utsman ke
kongres-kongres mereka. Sikap ini mendapat balasan setimpal. Pada kongres
SI di Solo pada 23 Maret 1913, Sayyid ‘Utsman memperkenalkan diri
sebagai “mufti Islam untuk rakyat” dan memberikan pidato atas permintaan
pemimpin SI, Tjokroaminoto:
Di antara manfaat keadilan Islam yaitu larangan bertindak jahat terhadap
diri sendiri, orang lain, dan negara. Kedua, agama Islam memerintahkan agar
kita membalas mereka yang berbuat baik kepada kita dengan kebaikan pula,
serta menegaskan agar kita berterima kasih kepada mereka. Sarekat Islam
melaksanakan berbagai amal Islam yang baik, berguna, dan tidak menimbulkan
apa pun yang berbahaya bagi negara. Oleh isebab itu, kami mengucapkan terima
kasih kepada Paduka Yang Mulia Sultan Sunan [Pakubuwana X], yang dengan
restu dan bantuannya Sarekat Islam didirikan dengan segala amal baiknya.
Semoga Allah Yang Mahakuasa memberinya kesehatan, umur panjang, dan
kemuliaan, Amin! Kami juga sangat berterima kasih kepada Badan Pemerintah
Sarekat Islam yang, dengan dorongannya, memungkinkan kita semua umat
Muslim mengikuti dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam dan
menjauhi apa yang dilarangnya, dengan demikian memungkinkan kehormatan
dan rasa aman terbebas dari kemerosotan dan kejahatan, serta kemajuan
dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Oleh isebab itu, kami berharap agar
Allah Yang Mahakuasa menyempurnakan amal baik Sarekat Islam. Selain itu,
merupakan kewajiban bahwa kita semua mengungkapkan terima kasih kepada
Pemerintah Belanda, yang, dengan keadilan dan perhatiannya, memungkinkan
kita mencapai kebahagiaan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama
tanpa gangguan.24
Pada tahun itu pula sang Penasihat Kehormatan menerbitkan karyanya
Sinar Istirlam (Cahaya Lentera) yang menyerang keberatan-keberatan yang
diajukan oleh beberapa guru Naqsyabandiyyah yang memandang Sarekat
Islam sebagai kekuatan Kristenisasi, konon melalui pembagian “air Kristen”
dalam inisiasinya. Menunjuk ke halaman-halaman risalahnya sendiri yang
sudah menguning, ‘Utsman menegaskan kembali bahwa Sarekat Islam harus
disambut dengan rasa terima kasih kepada pemerintah isebab tradisinya yang
tidak turut campur dalam soal-soal keagamaan.25 Namun, faktanya tetaplah
bahwa Sarekat Islam pada awalnya tidak mendapatkan pengakuan ini ,
dan oleh isebab itu sebagian anggotanya menyebarkan retorika terima kasih
Sayyid ‘Utsman dalam sebuah selebaran:
228 — MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN
Di bawah ini yaitu sebuah permohonan untuk pertimbangan [Pemerintah]
yang adil berdasar empat perkara yang orang-orang pribumi merasa
berterima kasih.
Nomor 1: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas adilnya “kontrak”
(kuntrak) Pemerintah untuk tidak turut campur dalam perkara-perkara agama.
Nomor 2: orang-orang pribumi sangat berterima kasih isebab Pemerintah
mengizinkan pribumi mendapat ketenangan dalam melaksanakan shalat,
memperbesar masjid, dan menyediakan sumur serta praktik pernikahan, hak
waris, dan membayar gaji para penghulu dan Raad Agama.
Nomor 3: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas adilnya
kedamaian dan ketenangan Pemerintah, melindungi pribumi dari berbagai
kesulitan yang menimpa jasmani, harta, dan agama mereka.
Nomor 4: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas kebijakan
Pemerintah untuk memberi imbalan kepada mereka yang mengajarkan kebaikan
kepada pribumi dan menjadi bermanfaat untuk negara tanpa menganjurkan
mereka berbuat jahat kepadanya.
Maka, dengan mempertimbangkan empat perkara ini, orang-orang pribumi
dengan sungguh-sungguh meminta dan menggantungkan harapan mereka pada
keadilan Pemerintah dan restunya untuk memajukan urusan Sarekat Islam .... 26
Sementara itu, Rinkes—menjabat Penasihat untuk Urusan Pribumi
menyusul naiknya Hazeu menjadi Direktur Pendidikan pada 1912—jelas
mengecilkan aspek keagamaan SI dalam laporannya pada 13 Mei 1913. Dia
menyebutnya sebagai asosiasi para pahlawan wayang dengan tokoh kunci
seperti Tjokroaminoto dan bahkan mendaftar Islam sebagai salah satu faktor
yang “tidak menguntungkan” untuk dipertimbangkan, walau tetap bisa
diatasi. Dia menyatakan, meski Ahmad Dahlan yang terkemuka “sangat
ortodoks, cenderung intoleran”, tapi masih memberikan “kesan simpatik”.
Dalam pandangan Rinkes, pan-Islamisme Sarekat Islam lebih bersifat sosial
ketimbang politis, disiapkan untuk berbagai tuntutan pendidikan dengan
jenis yang sama seperti di kalangan komunitas Arab Batavia dan orang-orang
Melayu di “Semenanjung Malaka”.27
Argumen-argumen ini tampaknya meyakinkan Gubernur Jenderal
yang sedang menjabat, A.W.F. Idenberg (menjabat 1909–16), yang menolak
keberatan para administrator daerah.
Dalam pandangan saya, Sarekat Islam yaitu ungkapan dari apa yang bisa kita
sebut kesadaran diri pribumi yang berkembang. Kerangka pemikiran ini tidak
muncul secara tiba-tiba, namun perlahan. Pertama dalam kalangan yang kecil,
kemudian ke kalangan yang lebih luas isebab bekerjanya berbagai pengaruh
berbeda, terutama menurut nasihat Dr. Rinkes yaitu pendidikan yang
diberikan atau dimungkinkan oleh Pemerintah .... Juga tidak mengejutkan
bahwa dalam gerakan ini, yang ditujukan untuk kerja sama begitu banyak pihak,
unsur keagamaan, Islam, memainkan sebuah peran .... Harus diakui bahwa kita
PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË — 229
bisa menganggap unsur Islam ini tidak diinginkan, jika kita menganggapnya
sebagai sumber bahaya. Namun, pertimbangkan bahwa orang-orang Jawa
hampir tidak pernah menunjukkan diri sebagai Mahomedan yang fanatik, dan
lazimnya Islam di Jawa tidak menunju