Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 12

 


kepada 

Ahmad al-Fatani. Namun, tidak sama seperti kedua Jawi yang lebih tua, Syekh 

Tahir tampaknya menerima gagasan-gagasan Salafi Muhammad ‘Abduh. Dia 

pergi ke Kairo untuk bertemu ‘Abduh. Bahkan, dalam arti tertentu, jalur 

lintasan keluarganya melambangkan pergeseran dalam Islam Jawi elite dari 

yang tadinya Syattariyyah, yang disponsori istana, menjadi Naqsyabandiyyah 

yang reformis dan akhirnya menjadi Salafiyyah Kairo yang rasionalis.

Sudah ada beberapa pembahasan mengenai arti penting al-Imam dalam 

menyebarkan pesan kaum reformis (dan nasionalis) Kairo.25 Namun, di sini, 

saya ingin menyoroti beberapa aspek dalam perlakuan surat kabar ini terhadap 

Sufisme tarekat dan ketegangan yang dimunculkannya dalam hubungan 

antara para anggota dewan pengurus yang berkebangsaan Arab dan Melayu. 

Sementara penyebab pastinya akan tetap menjadi misteri, dua perubahan 

penting yang terjadi pada 1908 pasti berkontribusi terhadap kematian 

mendadak surat kabar ini. Salah satunya yaitu  usaha untuk mengambil alih 

kendali atas surat kabar ini yang dilakukan pada Februari oleh para anggota 

dewan pengurus yang memihak kepentingan-kepentingan Arab. Mereka ini 

meliputi Sayyid Shaykh b. Ahmad al-Hadi, al-Kalali, Muhammad b. ‘Aqil 

(1863–1931, seorang menantu Sayyid ‘Utsman), dan Hasan b. ‘Alwi b. 

Shahab; meski surat kabar masih diredakturi oleh Hajji ‘Abbas b. Muhammad 

Taha yang Melayu. Pergeseran lainnya yaitu  peningkatan yang mencolok 

dalam perdebatan mengenai posisi Sufisme dalam kehidupan beragama 

orang-orang Melayu.

Ini bermula dari sebuah pertanyaan yang relatif tidak berbahaya 

mengenai penarikan diri (suluk) yang dikirimkan pada surat kabar dari 

Penang pada Januari. Lalu, pertanyaan kedua mengenai persoalan sebuah 

tarekat di wilayah Siam yang dikirimkan pada Februari. Pertanyaan pertama 

menimbulkan sedikit reaksi, selain ketidaksetujuan standar atas penarikan 

diri dari kehidupan yang produktif dan sebuah rekomendasi agar si penanya 

melihat buku-buku panduan yang sudah ada mengenai persoalan ini . 

Sebaliknya, pertanyaan dari kawasan Siam menciptakan kegemparan. 

Sebagiannya, hal ini disebabkan oleh gambaran-gambaran yang relatif 

mengerikan mengenai berbagai perkumpulan campuran kaum beriman 

212  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

yang mencari visi Ilahiah sembari mengentak-entakkan kaki mereka dan 

mengganggu ketenangan, gambaran yang jelas mengingatkan pada surat Raja 

Kelantan kepada Ahmad al-Fatani.

Sang penanya meminta penjelasan tentang keaslian praktik-praktik 

semacam itu dan apakah penguasa seharusnya turun tangan. Pada Maret 

bagian surat-menyurat dalam surat kabar ini menampilkan paragraf-paragraf 

yang tersisa dari tanggapan yang dibiarkan menggantung dalam terbitan 

sebelumnya, bersama kesaksian lain mengenai praktik-praktik kotor tarekat 

yang dimaksud, yang hampir pasti merupakan tarekat Cik ‘Id, yang dikutuk 

sebagai “sang gadungan dari para penipu pada zaman kita”, meski disertai 

dengan pembatasan-pembatasan yang subtil:

Semua yang masuk ke tarekat ini pastilah tidak tahu agama dan tugas di 

dunia, yang telah mereka tinggalkan dengan alasan dunia yaitu  jalan yang 

bertentangan dengan Syari‘ah .... isebab , mereka menjauhi [dunia ini] dengan 

tarian dzikr dan gerak memutar serta mematikan diri dengan gerakan melompat 

dan mengentak. Hal-hal semacam itu tak lain hanyalah bahaya bagi kehidupan 

ini dan kehidupan yang akan datang.26

Sementara al-Imam bisa jadi sudah mengutuk pembunuhan diri yang 

keliru seperti itu, para editornya tampaknya tak mampu membunuh kisah 

ini. Lebih banyak surat diterima mengenai praktik-praktik tarekat, terutama 

di Sumatra dan Malaya. Segera menjadi jelas bahwa target kisah-kisah ini 

seringkali yaitu  para syekh Khalidi setempat isebab  praktik khalwa dan 

rabita yang secara khusus diserang. Sebagai tanggapan, al-Imam menawarkan 

jawaban sangat standar yang familier dari perdebatan internal di antara 

para pembaharu Ghazalian, dengan menyatakan bahwa, sebagaimana 

telah diramalkan Nabi, “penyakit orang-orang lampau” telah berkembang, 

membuat orang tersesat dari “Sufisme sejati ... jalan lurus Nabi ... dan semua 

sahabatnya dan para ulama”:

Orang-orang besar di antara Sufisme pada masa-masa sebelumnya yaitu  

orang-orang pilihan, seperti orang-orang dengan pengetahuan mendalam, 

orang-orang besar di antara para sayyid ‘Alawi, dan mereka yang mengikuti 

jejak orang-orang besar itu dengan menaati Kitab serta Sunah Nabi. Namun, 

[sekarang ada] orang-orang yang menciptakan tuhan dari hawa nafsu mereka 

sendiri dan merusak agama dengan menambah-nambahkan padanya dan 

menyampaikannya secara keliru, membentuk segala macam karya berisi 

penyimpangan .... Sebenarnya mereka yang dari jenis ini kebanyakan yaitu  

para penjaja agama yang meminum darah semua orang melarat .... Hendaknya 

semua orang menjaga diri dari mereka ... [isebab ] satu saja dari orang-orang ini 

lebih berbahaya bagi semua muslim dibandingkan sekian banyak iblis!27

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  213

Reaksi atas hal ini muncul tak lama kemudian di surat kabar lain, Utusan 

Melayu. Seorang pengirim surat yang gelisah dari Penang meminta dalil Al-

Quran bagi sikap al-Imam mengenai praktik rabita, hadis, atau bahkan Sayr 

al-salikin karya al-Falimbani. Sang pengirim dari Penang lebih jauh mendesak 

warga  untuk meminta nasihat kepada seorang syekh terpelajar dari 

Mekah yang berkunjung ke Singapura bernama ‘Abdallah al-Zawawi.28

Tanggapan al-Imam—yang pada saat bersamaan menjawab Tengku 

Muhammad Jamil dari Serdang yang menanyakan apakah Al-Quran 

membenarkan rabita—lebih murka daripada sebelumnya. Tanggapan itu 

menegaskan bahwa Al-Quran mengutuk praktik demikian. Sang penulis 

bahkan mengaku heran dengan penyebutan syekh al-Falimbani dan al-Zawawi:

[K]arena dua orang ini yaitu  ulama yang diperhitungkan. Karya-karyanya 

menjelaskan persoalan-persoalan yang diturunkan dari Allah dan Nabi-Nya tanpa 

satu pun dari mereka [mengambil] hak untuk mengubah atau menambahkan 

pada agama sesuatu pun yang tidak termasuk darinya. Bagaimanapun, isebab  

kami percaya bahwa S.A. terbukti tidak mampu menunjukkan bukti semacam 

itu, bisakah [kami memohon] dengan rendah hati agar Habib [al-Zawawi] 

membantunya? Namun, kami duga dia akan memilih menyimpan hal-hal itu 

untuk dirinya sendiri isebab  Sayyid ‘Abdallah al-Zawawi merupakan salah satu 

landasan al-Imam ... dan kami telah menyerap berbagai ajaran dan arahannya 

dalam dada kami.29

Pastinya banyak hal yang ingin disimpan al-Zawawi untuk dirinya 

sendiri. sesudah  diusir dari Hijaz, sahabat Muhammad b. ‘Aqil sekaligus 

Snouck Hurgronje ini mampu menggunakan berbagai koneksinya terdahulu 

untuk memperoleh tempat berlindung di Hindia. Al-Zawawi berpindah-

pindah secara rutin antara Riau, Pontianak, dan Batavia, tempat dia kerap 

mengunjungi Snouck Hurgronje, meski bukannya tanpa hambatan sesekali 

dari para pejabat pemerintah.30

Masih tidak jelas apakah semua ini diketahui oleh seluruh editor al-

Imam, yang usaha mereka semula dinyatakan sebagai usaha yang berguna oleh 

Sayyid ‘Utsman. Fakta bahwa sebuah tulisan dalam surat kabar ini mengenai 

para cendekiawan Barat yang telah menyusupi kota suci Mekah sama sekali 

tidak menunjuk Snouck Hurgronje atau nama aliasnya ‘Abd al-Ghaffar 

menunjukkan adanya semacam hubungan positif.31 Yang juga tidak jelas 

yaitu  pandangan al-Zawawi mengenai Sufisme tarekat. Namun, kenyataan 

bahwa kunjungannya ke Riau pada 1893–94 mendorong penerbitan buku 

panduan mendiang ayahnya menunjukkan adanya komitmen berkelanjutan 

terhadap penafsiran yang lebih elitis terhadap Naqsyabandiyyah ketimbang 

penafsiran yang ditawarkan oleh para syekh Khalidiyyah atau Qadiriyyah wa-

Naqsyabandiyyah.

214  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

Tak diragukan lagi, persoalan ini sama sekali belum selesai. Saling jawab 

lebih lanjut antara para pembaca al-Imam dan Utusan Melayu menunjukkan 

bahwa para guru setempat sama sekali tidak terkesan oleh keseluruhan 

perkara ini. Satu pihak melangkah begitu jauh membela ajaran-ajaran mereka, 

dengan menyebut silsilah Sulayman Afandi atau mendesak agar persoalan-

persoalan semacam itu tidak didiskusikan di surat kabar. Sementara itu, pihak 

lain mengutip karya Ahmad Khatib Izhar zaghl al-kadhibin yang sekarang 

memiliki nama buruk dan melampirkan fatwa para ulama Mekah.

Harus diperhatikan bahwa bukanlah al-Imam yang memunculkan 

momok Ahmad Khatib, meski berbagai sumber dan kutipan keduanya 

memiliki kesamaan yang mencolok. Bahkan, rujukan pada Izhar muncul 

dalam sebuah surat yang dikirim oleh “Masbuq” pada Utusan Melayu, yang 

para editornya jelas berharap bahwa perkaranya akan selesai dengan semacam 

pernyataan otoritatif dari Mekah.32 Namun, dalam al-Imam kontroversi ini 

akan menghabiskan lebih banyak cetakan isebab  surat kabar ini mengklaim 

menawarkan ruang bagi para ahli ataupun para pencela. Murid al-Haqq dari 

Perak yang tampak sangat menyesal, misalnya, mengaku berhasil selamat 

sesudah  hampir masuk ke tarekat Sulayman Afandi akibat membaca salinan 

al-Imam milik seseorang, yang mengukuhkan keraguan-keraguan yang sudah 

ada dalam benaknya.33 Murid al-Yaqin dari Pahang yang juga jelas merupakan 

nama palsu membela ajaran dan otoritas Khalidiyyah dibandingkan “sebagian 

tarekat pada masa sekarang”, dan mendesak agar Murid al-Haqq memeriksa 

tulisan-tulisan Ahmad Khatib Sambas, belum lagi karya-karya Isma‘il al-

Minankabawi dan tokoh terkemuka Khalidi Suriah, ‘Abd al-Majid al-Khani, 

penulis Bahja al-saniyya yang cetakan Kairo-nya bisa dipesan dari katalog 

Muhammad Siraj di Singapura.34

Para guru lainnya juga sudah bosan dengan kehebohan ini. Jika kita 

hendak memercayai laporan-laporan yang dikirimkan pada al-Manar dari 

Singapura dan Kuala Lumpur pada Agustus 1908, para guru tarekat mulai 

melarang pembacaan dan penyebaran al-Imam secara umum di kalangan 

murid mereka dan kalangan orang awam. Jika kita menerima kemungkinan 

bahwa kebanyakan pembaca al-Imam berada di kalangan tarekat, dan 

kemudian dalam komunitas-komunitas yang menyokong mereka, boikot 

semacam itu pastinya akan memengaruhi kelangsungan hidup surat kabar 

ini  isebab  akan lebih banyak tinta yang dihabiskan untuk persoalan-

persoalan tarekat pada 1908.35

saat  edisi Kairo berbagai serangan lebih lanjut Ahmad Khatib tersedia, 

perancuan ajaran-ajarannya dengan apa yang disuarakan al-Imam menjadi 

lebih lazim. Mereka juga lebih erat dikaitkan dengan pernyataan-pernyataan 

Rasyid Rida, membuat para pengamat Barat berikutnya menobatkan surat 

kabar ini  sebagai pertanda “modernisme” Salafi di Nusantara. Walaupun 

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  215

begitu, al-Imam bukanlah sekadar soal menerjemahkan pesan Muhammad 

‘Abduh, dan terdapat ketegangan yang signifikan antara Kairo dan Singapura. 

Kritik Rida terhadap keistimewaan ‘Alawiyyah, terutama sikapnya mengenai 

kesamaan hukum antara sayyid dan non-sayyid, pastinya sangat problematis 

bagi sebagian dari para penyokong dan editor al-Imam yang lebih berorientasi 

‘Alawi, yang tidak akan pernah mempermasalahkan persoalan kesetaraan 

hukum atau asumsi bahwa para leluhur mereka dari kalangan Arab elite-lah 

yang membawa Islam ke negeri-negeri Jawi.

Sebaliknya, beberapa kontributor dan pembaca Melayu mungkin sangat 

tidak setuju. Sangat mungkin bahwa pada akhir 1908 para penyokong dan 

sisa pembaca al-Imam bertanya-tanya apa sebenarnya konstituen mereka. 

Kenyataan bahwa pada tahun-tahun sesudah nya kita mendapati para tokoh 

al-Imam berada pada sisi-sisi yang berbeda dalam berbagai perselisihan 

ideologis akan menunjukkan bahwa memang terdapat retakan internal pada 

masa-masa terakhir surat kabar ini . Pada Januari 1909 al-Imam tidak ada 

lagi, dan al-Zawawi kembali ke Hijaz untuk menduduki jabatan yang pernah 

diduduki Ahmad Dahlan. Namun, ini sama sekali bukanlah akhir terbitan 

berkala dengan aksara Arab di Singapura, apalagi akhir perselisihan mengenai 

kepemimpinan komunitas Muslim. Setidaknya empat surat kabar muncul 

pada bulan-bulan berikutnya, masing-masing menyatakan jalur khasnya 

sendiri untuk melakukan pembaharuan. Bedanya, kini mereka menawarkan 

pembaharuan pada dua komunitas yang terpisah, dan dengan dua bahasa.

Dua dari surat kabar beraksara Arab itu jelas merupakan penerus al-

Imam. Salah satunya, al-Islah, yang menampilkan artikel-artikel karya al-

Kalali. sesudah  memulai produksi di tempat lain, al-Islah segera menempati 

gedung al-Imam. Namun, agak berbeda dari pendahulunya, al-Islah 

mengadopsi kebijakan yang secara terbuka pro-sayyid. Sementara itu, 

percetakan asli al-Islah digunakan untuk surat kabar kedua, al-Husam, yang 

mengklaim orang-orang Arab Riau dan Johor sebagai khalayak pembacanya. 

Ada lagi surat kabar ketiga, al-Watan, di bawah bimbingan editorial seorang 

sayyid yang lain, Muhammad b. ‘Abd al-Rahman al-Masyhur, yang dikaitkan 

dengan masa-masa awal Jam’iyyat al-Khayr, sebuah organisasi kesejahteraan 

Arab yang didirikan di Batavia sekitar 1905.36

Dari ketiga surat kabar ini , al-Watan yaitu  yang paling berwarna 

Arab, mendorong yang modern sembari menjaga hak-hak istimewa kaum 

sayyid. Al-Watan juga jelas-jelas berpihak kepada para reformis Kairo, 

menuduh al-Manar dan para editornya sebenarnya perwakilan Wahhabiyyah 

yang menyamar dengan buruk. Sayyid ‘Utsman juga tidak menyukai nada 

al-Manar. Cucunya, Muhammad b. Hasyim b. Tahir (1882–1960) semula 

yaitu  koresponden reguler, sedangkan Sayyid ‘Utsman mendapati dirinya 

dan tulisan-tulisannya dikritik Sayyid Rasyid Rida yang membencinya akibat 

216  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

surat-surat lain dari kawasan ini yang mencemooh kolaborasinya dengan 

Snouck. saat  pada 1909 Rida mulai menampilkan artikel-artikel yang 

mencelanya sebagai “Dajjal”, Sayyid ‘Utsman yang berusia delapan puluhan 

itu menyerang balik melalui karyanya yang menuduh Jamal al-Din al-Afghani, 

“si Koptik” Muhammad ‘Abduh, dan “penguasa al-Manar” Rasyid Rida 

sebagai para dajjal sebenarnya yang merusak kaum Muslim modern. Rida bisa 

jadi memuji menantu ‘Utsman, yakni Bin ‘Aqil, atas kerjanya menyebarkan 

pesan al-Manar di Asia. Namun, Bin ‘Aqil tidak menyukai sikap orang Suriah 

itu mengenai martabat sayyid dan mulai khawatir bahwa dia telah menganut 

tulisan-tulisan Ibn Taymiyyah, yang pada saat itu merupakan sumber utama 

bagi para pangarang Wahhabi.37

Surat kabar berbahasa Arab lainnya yang muncul sesudah  al-Imam 

bisa dikelompokkan sebagai corong bagi sikap pro-‘Alawi yang dipaksakan 

kepada mereka oleh lingkungan kolonial, juga dapat dibedakan satu sama 

lain dengan melihat sejauh mana mereka menolak Salafiyyah. Adil kiranya 

jika dikatakan bahwa klaim mereka masing-masing terhadap kesahihan dalam 

menyampaikan reformasi dengan beragam corak mungkin telah memunculkan 

reaksi di kalangan kolaborator lokal yang dianggap berasal dari keturunan 

yang kurang terhormat. Ini bisa dengan mudah dilihat di halaman-halaman 

Neracha, penerus pertama al-Imam yang berbahasa Melayu. Neracha dieditori 

‘Abbas b. Muhammad Taha. Kehadirannya segera diikuti kelahiran surat kabar 

berbahasa Melayu lain yang dicetak di Kairo, al-Ittihad, yang memandang 

perjuangan orang-orang “Jawi” terpisah dari perjuangan-perjuangan muslim 

lain, termasuk perjuangan orang-orang Turki dan Mesir.38

Bisa dikatakan bahwa kejawian bisa dianggap mendasari penerus al-

Imam di Sumatra Barat yang bahkan lebih polemis, al-Munir. Surat kabar ini 

didirikan oleh sekelompok murid Ahmad Khatib al-Minankabawi pada 1911. 

Al-Munir bahkan melangkah lebih jauh dalam mengadopsi kebijakan eksklusi 

baik terhadap tarekat maupun para sayyid ‘Alawi. Padang kemungkinan besar 

merupakan salah satu dari sedikit lokasi di Nusantara yang memungkinkan 

hal semacam ini bisa terjadi. Meski turut andil dalam kampanye membantu 

Naqsyabandiyyah, Sumatra Barat memiliki komunitas Hadrami terkecil di 

Nusantara. Hal ini isebab  Hadrami hanya melakukan sedikit usaha untuk 

masuk ke warga  matrilineal. Kakek Ahmad Khatib jelas bukan seorang 

sayyid. Dia memang menghormati para syarif Mekah pendukungnya, tapi 

dalam berbagai percakapan dia juga merenungkan bagian yang tidak setara 

bagi Jawi di Arabia.39

Apakah para pemimpin di belakang al-Munir—‘Abdallah Ahmad, Hajji 

Rasul, dan Syekh Jamil dari Jambek—telah sepenuhnya beralih dari Sufisme 

elitis Sayyid ‘Utsman dan Ahmad Khatib ke Salafisme Muhammad ‘Abduh 

dan Rasyid Rida tidak segera terlihat. Yang jelas, mereka dianggap oleh lawan 

DARI SUFISME KE SALAFISME  —  217

sebagai kaum Wahhabi baru dan para pewaris langsung kaum Padri. Mereka 

sendiri sebenarnya meninggalkan apa yang tampaknya merupakan enam abad 

usaha peniruan ortodoksi Mekah secara sadar di bawah para penguasa Jawi 

yang telah menanamkan berbagai tiang puja-puji bagi para sayyid asing dan 

para wali setempat. Seperti akan kita lihat, beberapa cendekiawan Belanda 

tidak bisa tidak menyetujui sikap mereka dan bergabung bersama mereka 

dalam menatap masa depan yang kelihatannya lebih cerah.

  

Dalam bab yang singkat ini, sekali lagi kita mengarahkan pandangan 

melampaui wilayah Belanda untuk melacak transmisi reformisme Islam ke 

Nusantara. Ini yaitu  kisah yang dibentuk oleh suara-suara Melayu, namun  

akhirnya terhubung dengan Kairo, tempat percetakan dan aktivisme publik 

menjadi ciri khas gerakan Salafi baru Muhammad ‘Abduh dan Muhammad 

Rasyid Rida. Sebagai bagian dari kebijakan mereka untuk menata ulang 

warga  Muslim, gerakan ini menyerukan agar kaum Muslim memutus 

jaringan patronase lama yang diorganisasikan di seputar tarekat dan sayyid. 

Namun, seperti kita lihat dalam kasus al-Imam dan kemunculannya, gagasan-

gagasan demikian sebenarnya diluncurkan oleh para pemikir yang persis 

memiliki hubungan-hubungan semacam itu. Tujuan mereka bisa diselaraskan: 

keduanya hendak membatasi Sufisme untuk kalangan elite dan mendorong 

perluasan pemahaman yang tepat terhadap Syari‘ah kepada lingkaran pembaca 

yang lebih luas. Namun, terdapat ketegangan inheren dalam “harmoni” ini. 

Ketegangan itu secara tak terhindarkan mengakibatkan runtuhnya berbagai 

pembaharuan yang dipimpin sayyid dan, seperti kita lihat, munculnya ruang 

publik yang semakin terpecah-pecah di Hindia Belanda. Ke depannya, 

berbagai aliran gerakan muslim “modernis” berusaha memimpin di bawah 

pengawasan Kantor Urusan Pribumi (namun  bukan lagi Arab). 

Dalam surat-surat pensiunan wedana yang ditulisnya dengan nama samaran, Snouck Hurgronje menegaskan, seperti yang dilakukan setiap 

cendekiawan muslim yang terhormat, bahwa Sufi sejati bisa dikenali dari 

silsilahnya. Namun, sang wedana tidak mengatakan apa-apa mengenai individu 

yang sama itu sebagai mewakili sebuah bahaya bagi negara. Juga jelas bahwa 

perhatian pribadi Snouck sejak awal yaitu  menguraikan berbagai silsilah yang 

ditemukannya di lapangan, dengan niat mengungkapkan silsilah sejati sejarah 

Hindia. Pada Januari 1890 dia menulis kepada mentornya, Nöldeke, bahwa 

dia berharap menghabiskan musim hujan dengan bundel-bundel materinya 

yang baru saja dikumpulkan. Terlepas dari “segala macam kerja pemerintahan 

yang belum selesai”, yang dia harapkan berkisar di seputar data etnografisnya 

dan menuntaskan kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh van den Berg, dia 

sangat bersemangat dengan berbagai kemungkinan dalam materi yang telah dia 

kumpulkan mengenai “penyebaran paling dini berbagai persaudaraan mistis 

di kawasan-kawasan ini”, yang diklaimnya memberikan “sebuah wawasan 

mengenai penyebaran Islam paling awal di sini, dan cara bagaimana Islam dan 

Hinduisme berhadapan dan berinteraksi”. Pada tahun itu pula Snouck menulis 

dengan kerangka yang sama kepada Direktur bidang Pendidikan bahwa dia 

memiliki “sebuah koleksi yang kaya” berupa literatur pribumi yang dapat 

dimanfaatkannya pada tahap tertentu “demi menyajikan sejarah masuknya 

Islam dan sifatnya pada masa kini dengan pemahaman yang lebih jelas.”1

Kebanyakan pejabat Belanda memiliki prioritas sangat berbeda. Mereka 

ingin mengetahui bagaimana memaknai berbagai manifestasi Islam yang 

terlihat di hadapan mereka setiap hari. Di mata mereka, tugas utama Snouck 

yaitu  menjelaskan soal-soal yurisprudensi, atau lebih lagi bahan-bahan yang 

dibawa dari rakyat yang memberontak. sesudah  urusan Selompret Malajoe 

pada 1896, misalnya, Snouck berkorespondensi dengan Asisten Residen Polisi 

di Semarang, G. Hogenraad. Mata-mata Hogenraad melaporkan bahwa para 

S E B E L A S

PARA PENASIHAT 

UNTUK INDONESIË 

1 9 0 6 – 1 9 1 9

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  219

guru setempat menggunakan Jami’ al-usul fi l-awliya’ cetakan Kairo untuk 

mencari kekebalan. Sebagai tanggapan, Snouck menasihatkan (sekali lagi) 

bahwa tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyyah yaitu  gerakan panteistik 

“yang sepenuhnya bebas dari aspirasi politik”, dan bahwa buku-buku ini  

tidak memberikan petunjuk yang spesifik mengenai perkara semacam itu.2

Seperti van den Berg, Snouck mendapati bahwa minat historisnya harus 

diletakkan jauh di belakang tugas-tugas dinasnya, terutama saat terlibat 

dalam banyak ekspedisi ke Aceh. Namun, selama nasihatnya diikuti oleh para 

pejabat yang penuh perhatian seperti Hogenraad, ini barangkali merupakan 

pil yang tidak terlalu pahit untuk ditelan. Mejanya kerap disesaki berbagai 

informasi mengenai serangan tertentu. Dia bisa dengan mudah menugaskan 

agar dokumen-dokumen menarik disalin atau sekadar ditambahkan pada 

koleksinya. Namun, saat  menjadi semakin jelas bahwa apa yang dikatakannya 

membentur telinga-telinga tuli atau yang dikatakannya harus diulang-ulang 

untuk pejabat yang masih hijau, dia mulai merindukan cakrawala baru.3

Dengan diangkatnya Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal pada 

1904, sang penasihat yang dilanda ketidakpuasan itu melihat jendela 

peluangnya di Hindia diselimuti kabut. Pada April 1906 Snouck berlayar 

ke Eropa. Pintu-pintu Akademi Leiden akan terbuka baginya, sebagaimana 

pintu-pintu Halaman Suci di Mekah terbuka untuk al-Zawawi pada akhir 

1908. Snouck diangkat secara resmi dalam fakultas pada akhir Oktober 

1906, tapi dia tetap menjadi penasihat senior untuk takhta Belanda dan 

mengawasi pengajuan para calon administrator kolonial hingga pensiun pada 

1927. Pastinya pendidikan berkualitas untuk para pejabat merupakan sebuah 

prioritas penting baginya. Mengulangi perselisihan awalnya dengan status 

quo, dia mengirim serangkaian surat pada surat kabar-surat kabar terkemuka 

dan mengungkapkan penyesalannya mengenai kondisi pendidikan untuk 

para pegawai luar negeri. Menurutnya, kebanyakan instruktur lebih tertarik 

menunjukkan apa yang diyakini sebagai keunggulan kebudayaan Barat 

ketimbang menyampaikan informasi mengenai budaya dan bahasa yang 

barangkali akan dijumpai para siswa mereka. Berlainan dengan Inggris, yang 

menurut Snouck telah lama memahami berbagai kebutuhan pendidikan para 

pejabat kolonial mereka.4

Sementara itu, di Batavia, yang pertama dari beberapa cendekiawan 

dengan kecenderungan serupa menduduki jabatannya, meski sebagai Penasihat 

untuk Urusan-Urusan “Pribumi” bukannya “Pribumi dan Arab”. Dia yaitu  

G.A.J. Hazeu, seorang ahli Jawa pemilik tesis mengenai wayang klasik di 

Leiden pada 1897, yang penilaiannya mengenai penyebab pemberontakan 

Gedangan ditolak Van Heutsz.5 saat  Hazeu menjadi bawahan langsung 

Snouck sesudah  kedatangannya di Batavia pada 1898, pengaruh Snouck telah 

menyebar luas. P.S. van Ronkel (1870–1954), putra pengkhotbah ternama 

220  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

dengan nama sama, terinspirasi untuk melacak asal usul Hikayat Amir 

Hamza dengan menggunakan pengamatan-pengamatan Snouck mengenai 

kesusastraan populer dan hubungannya dengan sejarah Islam di Nusantara. 

Dia bahkan mendahului Hazeu pada 1895 sebagai Penasihat Sementara 

untuk Bahasa-Bahasa Hindia.6

Van Ronkel meninggalkan Snouck dan pindah ke sekolah Willem 

III. Namun, kepindahannya tidak berarti membuatnya lupa pesan Snouck. 

Dia mengakhiri kelasnya untuk 1900 dengan pernyataan bahwa umat 

Muslim harus belajar menyingkirkan doktrin jihad dan mengakui bahwa 

agama mereka hanyalah “sebuah ritual untuk mencapai keselamatan abadi”. 

Namun, sebelum tujuan itu tercapai, “semua bangsa Mohamedan yang 

kurang berbudaya harus belajar membungkuk pada pemerintah Eropa yang 

perkasa”.7 Snouck tidak selalu berpikiran baik terhadap para bintang yang 

tertarik ke arahnya, tak peduli betapa bersemangat mereka berbagi pendapat 

dan menyebarkan pesannya. Sebaliknya, pada 1900, dia menilai Hazeu 

sebagai seorang ahli Jawa yang menjanjikan. N. Adriani (1865–1926) seorang 

linguis komparatif yang baik, mengabaikan van Ronkel dan mengklaim 

lebih jauh bahwa “dunia pemikiran” ketiganya hanyalah kebetulan bagi 

dunia pemikirannya.8 Pada 1904 T.W. Juynboll (1866–1948) muncul secara 

mengejutkan dengan kualitas buku panduannya mengenai hukum Syafi‘i 

isebab  Snouck menganggap semangat para Orientalis generasinya “lebih 

buruk” dibandingkan semangat dua generasi sebelumnya.9

Barangkali generasi baru hanya terlalu berhati-hati untuk 

mempertanyakan berbagai    para guru mereka yang blakblakan. 

Dia berani menantang para pendahulunya dan memilih jalur yang lebih 

aman dalam sub-bidang yang berkaitan namun  berbeda, khususnya sesudah  

kembali ke Leiden dan mulai merencanakan Encyclopedia of Islam (1908–

36) yang pertama. Bukan tidak mungkin bagi mereka yang bekerja di 

bawah pengawasan langsung Snouck untuk mendapat perlindungan dan 

memenangkan penghormatannya. Hazeu pastinya memperoleh pujian isebab  

bantuannya dalam menyiapkan terbitnya karya Snouck mengenai Dataran 

Tinggi Gayo.10 Mereka yang bekerja dekat dengan Snouck segera mengerti 

bahwa yaitu  hal bijak untuk memanfaatkan berbagai materi yang ditawarkan 

lelaki itu yang terlalu disibukkan dengan tugas-tugas administratifnya untuk 

mencurahkan perhatian pribadinya pada bahan-bahan ini . Juga hal bijak 

untuk mendengarkan secara saksama apa yang dikatakan Snouck. Substansi 

buku panduan Juynboll, misalnya, secara langsung berasal dari kuliah-kuliah 

Snouck, dan dengan demikian dari pengalamannya di Mekah.11

Seorang penasihat negara kolonial mengenai soal-soal hukum Islam 

tentu saja perlu memahami prinsip-prinsip yang mendasari kepercayaan 

dan hak waris, dan ini menjadi sangat penting sesudah  Ordonansi Guru 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  221

diterapkan pada 1905. Sebuah usaha lain untuk memperkuat cengkeraman 

terhadap Islam sebagai sebuah institusi, ordonansi ini memerintahkan agar 

para guru sejak saat itu mendaftarkan baik ajaran maupun pesantren mereka. 

Para guru yang sama menganggap sang Penasihat sebagai pembela dalam 

hal-hal semacam ini, sebagaimana yang kita lihat dalam kasus tiga guru dari 

Kediri yang dicabut haknya untuk melaksanakan shalat Jumat di pondok 

mereka pada 1909. Salah seorangnya secara khusus menarik perhatian Hazeu 

isebab  tampaknya lelaki ini, Muhammad Minhad, di Afdeling Trenggalek, 

kehilangan hak istimewanya dengan alasan tidak menyatakan dirinya seorang 

guru Naqsyabandiyyah dan isebab  buku-bukunya.12 Hazeu memprotes 

tindakan ini  dan pemikiran yang ada di belakangnya secara keras:

Contoh ini sekali lagi menggambarkan konsekuensi yang tak dikehendaki 

dari ketidakpercayaan yang kerap, dan sangat kentara, dikembangkan oleh 

Pemerintah (juga Pemerintah Pribumi) terhadap para guru tarekat secara umum. 

Ketidakpercayaan demikian menjadikan orang-orang ini pada gilirannya juga 

tidak percaya kepada Pemerintah dan terdorong berbuat kebohongan dan 

kepalsuan demi mendapat kesempatan untuk memberikan pendidikan secara 

rahasia. Perbuatan yang bagaimanapun dihargai oleh orang Jawa kebanyakan, 

tapi tak tertangkap mata Pemerintah. Maka, dalam Daftar para Kjahi dan Guru 

di Karesidenan Kediri untuk 1903, kita hanya mendapati sedikit guru agama 

yang terdaftar memberikan pengajaran tarekat. Suatu kontradiksi mencolok 

dengan kenyataan! Benar-benar banyak guru tarekat sejak masa sangat lampau 

di Kediri, dan mereka ada di sana sekarang. Tak perlu dikatakan bahwa metode 

bertindak seperti ini terhadap para guru tarekat jelas harus dihindari, baik 

berdasar  pertimbangan etis maupun politis. Lagi pula, pengawasan para 

guru agama yang dikehendaki oleh Ordonansi Guru tidak bisa mencapai 

tujuannya jika para guru tarekat tidak tercantum dalam daftar.13

Hazeu kemudian menunjukkan bahwa, di antara berbagai tarekat (yang 

diyakini kuno) yang dipraktikkan di Hindia, hanya beberapa yang ditemukan 

mempromosikan ajaran-ajaran yang menentang tatanan yang berlaku. 

Dengan demikian, bisa jadi “tak ada alasan” untuk melarang praktik-praktik 

tarekat, sebagaimana yang terjadi di beberapa kabupaten. Ini bukan berarti 

Hazeu menyukai tarekat yang diyakininya sebagai warisan leluhur. Terlepas 

dari sentimen pan-Islam yang kadang memengaruhi artikel-artikel al-Imam, 

dan yang membenarkan pengawasan berkelanjutan, dengan perhatian yang 

penuh kehati-hatian Hazeu mengamati surat kabar ini dan para editornya 

yang terhormat yang berusaha melaksanakan program mereka di dalam batas-

batas hukum, meminta saran (dan kontribusi) dari para sekutu, tak kurang 

dari Sayyid ‘Utsman.14

Kita sudah mencatat sikap al-Imam mengenai tarekat dan melihat 

betapa mempertanyakan asal usul mistis tarekat akan menjadi tugas utama 

222  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

bagi banyak murid terpilih Snouck. Tidak semuanya merasa sangat diberkati 

oleh mentor mereka itu. Salah seorang yang tidak setia kepada Snouck yaitu  

D.A. Rinkes (1878–1954). Semula dikirimkan ke Taman Botani di Bogor 

pada 1899, dia mendaftar di Akademi Willem III guna mencari prospek 

karier yang lebih luas dan ditempatkan di Korinci, Sumatra Barat, pada 

1903. Dia kembali ke Belanda dan mendaftar di Leiden pada 1906 untuk 

mengikuti ketertarikan yang dikembangkan di bawah bimbingan Hazeu dan 

van Ronkel. Di sana dia banyak menggunakan berbagai manuskrip yang telah 

dikumpulkan Snouck di lapangan, yang tak diragukan lagi mengesankannya 

dengan hasratnya untuk mengaitkan pengamatan personal dengan sumber-

sumber arsip. Dia mempertahankan hasilnya yang berupa sejarah ‘Abd al-

Ra’uf al-Sinkili dan Syattariyyah pada 1909, memperluas pengamatan Snouck 

mengenai pengaruh Syattariyyah terhadap ‘Abd al-Muhyi Pamijahan. Karya 

ini  diikuti serangkaian artikel Rinkes yang ditujukan untuk Wali Sanga 

dalam TBG, jurnal utama bagi riset Hindia. Sebuah putusan terakhir mengenai 

jumlah mereka menjadi tidak berarti saat  Rinkes meninggalkan proyek 

ini  sesudah  menulis bagian-bagian yang mengkhususkan diri hanya pada 

empat wali, mengenai sifat dasar yang ajaib, dan mengenai kekuatan makam.15

Tidak semua murid Snouck di Leiden mencurahkan perhatian pada 

kajian silsilah mistis, para wali, dan magis, namun  masih adil kiranya jika 

dikatakan bahwa kebanyakan mereka terobsesi dengan pertanyaan mengenai 

asal usul. Dalam arti tertentu apa yang mereka lakukan tidaklah begitu 

berbeda dari apa yang hendak dicapai oleh sebagian cendekiawan muslim 

hingga sebuah titik. isebab  meski mereka semua menyaring laporan-laporan 

yang asli dari yang palsu, hanya orang-orang Muslim-lah yang melakukan hal 

ini  demi mencari kebenaran agama. Atau, setidaknya hanya orang-orang 

Muslim di luar Leiden. Beberapa orang Indonesia dari kalangan elite yang 

bekerja di universitas di bawah bimbingan langsung Snouck mendapat jenis 

pendidikan yang sama seperti para sejawat Belanda mereka. Barangkali yang 

paling terkenal dari mereka yaitu  Hoesein Djajadiningrat (1886–1960), 

sepupu Aboe Bakar, dan orang Indonesia pertama yang menyelesaikan gelar 

doktor di Leiden (pada 1913) dengan kajian kritisnya mengenai Sajarah 

Banten. Pada 1909 Snouck menilainya sebagai yang paling baik dari semua 

anak didik ilmiahnya.16

Selama tahun-tahun berikutnya saat  Snouck mengambil peran 

mentor bagi para pejabat masa depan yang pengujiannya dia awasi dan bagi 

sangat sedikit mahasiswa Hindia yang tidak tertarik ke bidang hukum dan 

kedokteran yang prestisius, Snouck selalu menekankan aspek-aspek historis 

Islam dan perannya di Hindia. Dalam artikel-artikelnya, dia barangkali tidak 

merujuk secara langsung pada tulisan-tulisan ‘Abduh dan Rida, atau pada 

berbagai aktivitas Turki Muda, namun  dia memiliki pandangan optimistis yang 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  223

hati-hati terhadap tujuan umum reformasi mereka. Selain ini, jelaslah bahwa 

Snouck percaya bahwa, dengan penyebaran kekuasaan Eropa yang tampaknya 

tak bisa dihentikan hampir di seluruh negeri-negeri muslim, Mekah menjadi 

benteng terakhir “ortodoksi zaman pertengahan yang konservatif ”—atau apa 

yang bahkan bisa disebut Islam “antik”—dan merupakan sumber “kepicikan 

spiritual dan fanatisme yang dibawa ke Nusantara”. Juga jelas bahwa Snouck 

masih menganggap tarekat memainkan peran dalam mengimpor nilai-nilai 

antik ini. Dalam berbagai kuliah dan kolom surat kabar dia masih merujuk 

pada penurunan derajat tarekat di kalangan orang-orang awam, mengingatkan 

para pembacanya bahwa lembaga-lembaga semacam itu masih bisa menjadi 

instrumen yang berbahaya di tangan para guru yang tak punya prinsip. Meski 

demikian, dia merasa bahwa gagasan-gagasannya telah memiliki dampak dan 

bahwa kekuasaan Belanda serta pendidikan modern kian “mengemansipasi” 

orang-orang Muslim dan menyemai benih revolusi di kalangan elite yang oleh 

pemerintah kolonial harus dibina atau dibiarkan berkembang berdasar  

syarat-syaratnya sendiri. isebab  meski memuji berbagai perubahan di Turki 

dan Mesir, Snouck menulis surat kepada Nöldeke mengenai “keyakinan 

mutlak”-nya bahwa “Indonesië” akan terbukti merupakan situs yang paling 

mungkin bagi pendekatan kembali antara Islam dan humanisme, meski 

gerakan-gerakan baru ini  menimbulkan bahaya potensial bagi negara.17

Optimismenya juga tampaknya diproyeksikan pada kedudukan 

perempuan dan menurunnya kekuatan kaum Sufi. Dia bahkan mengumumkan 

kepada publik bahwa terdapat lebih sedikit perlawanan di Hindia terhadap 

emansipasi perempuan dibandingkan di Turki atau Mesir, meski orang-

orang kebanyakan masih “berpegang teguh pada jubah para guru Sufi”, atau 

mempersembahkan pertunjukan wayang untuk para wali. Dia secara eksplisit 

menyuarakan harapan bahwa zaman modern dan paparan kebudayaan Barat 

akan mengakhiri kecintaan populer terhadap para wali. Namun, sebagai 

seorang sejarawan, Snouck menyatakan bahwa bagaimanapun kita harus 

berterima kasih kepada para pemuja wali yang terbelakang itu. Dalam “tulisan-

tulisan mistis yang menyimpang” itulah kita bisa melihat kepribadian sejati 

“kaum Mohammedan Hindia”. Bahkan, sebagaimana didapati di sekolah-

sekolah modern, Snouck mengklaim bahwa kita masih bisa menemukan 

“perpaduan dan perbandingan yang paling muskil”, serta “absurditas yang 

paling menggelikan”.18

saat  sampai pada perbandingan, Snouck tidak bisa tidak mencatat 

sambil lalu bahwa kisah-kisah tertentu dari Indonesia tampaknya 

mengingatkan pada kisah-kisah dari tempat lain di Dunia Muslim. Dalam 

sebuah catatan kaki dia menyarankan bahwa nasib Lemah Abang yang 

menyimpang tampaknya merupakan pengulangan dari kesyahidan al-Hallaj. 

Tak diragukan lagi dia telah mengomunikasikan hal ini dengan cendekiawan 

224  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

Prancis Louis Massignon (1883–1962), yang tinggal bersamanya pada 

1921. Murid-muridnya belakangan bertanya-tanya bagaimana Snouck dan 

Massignon bisa tinggal bersama, mengingat Snouck terkenal tidak menyukai 

orang-orang Katolik dan mencela bahasa Arab si orang Prancis. Namun, 

surat-surat kepada Nöldeke menunjukkan adanya kehangatan yang tulus di 

antara Snouck dan Massignon. Meskipun kehangatan itu tidak mencegah 

Snouck untuk menyatakan bahwa baginya karya Massignon “nyaris tak bisa 

dicerna”.19

Barangkali ini isebab  rasa suka yang diakui Snouck secara terbuka terhadap 

kejernihan al-Ghazali dibandingkan kesamaran Ibn al-‘Arabi. Pastinya, al-

Hallaj bukanlah yang paling menonjol dalam pikiran Snouck sepuluh tahun 

sebelumnya saat  dia mengungkapkan pandangannya mengenai apa kiranya 

yang dibutuhkan “kaum Mohammedan Hindia” “untuk mempertahankan 

sebuah tempat dalam berbagai urusan dunia”. Sebagaimana telah dinyatakan 

Snouck, mereka “dengan senang hati menerima” kepemimpinan Belanda 

dalam pendidikan dan pembangunan, “oleh isebab  itu tanpa prasyarat apa 

pun mereka meninggalkan para wali kuno demi kami”. Snouck bahkan 

memungkasi kuliah ini  dengan menyatakan bahwa tugas historis yang 

besar di depan bangsa Belanda yaitu  memberantas segala bentuk kepicikan 

agama, sekuler, atau politis dalam apa yang merupakan negara kolonial Hindia 

Belanda yang sudah jelas batas-batasnya. Dia tampaknya memikirkan Hindia 

dengan mengecualikan dunia Melayu. Di satu sisi, dia menggambarkan 

dampak reformisme Ghazalian terhadap tarekat-tarekat seperti Sammaniyyah. 

Di sisi lain, dia tidak pernah mengaitkan sebuah peran dalam sejarah yang 

digambarkan kepada keluarga Sanusi. Hal itu kemungkinan besar isebab  para 

agennya aktif di luar wilayah kekuasaan Belanda dan pada waktu yang lebih 

belakangan daripada periode yang paling menarik minatnya.20

Pemisahan ini membawa kita ke persoalan bahasanya yang menetapkan 

batas-batas teritorial. Segera sesudah  masa tinggalnya di Mekah, tempat dia 

menyaksikan kaum Muslim Nusantara menjadi kian sadar akan sebuah 

identitas Jawi yang terpisah, Snouck mulai menggunakan istilah yang kian 

populer di Leiden, dengan merujuk pada sebagian orang sebagai “Indonesiër”. 

Meski demikian, pada 1880-an masih belum ada penyamaan yang pasti 

antara Hindia Belanda dan Indonesia, dengan yang pertama dipandang 

sebagai sub-bidang dari yang belakangan, dan dalam tulisan dalam Mekka 

mengenai “Indonesia yang Muslim”, Snouck masih mengakui keberadaan 

nonmuslim baik di dalam maupun di luar daerah kekuasaan Belanda. Ini 

juga merupakan kerangka yang digunakan dalam laporannya mengenai 

orang-orang Aceh sewaktu dia menggambarkan “kaum Mukmin Indonesia”, 

dan “kaum Mohammedan Indonesia”, dan bicara mengenai hal-hal sebagai 

entah “khas Indonesia” (seperti praktik-praktik Syattariyyah yang “jelas-jelas 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  225

dipengaruhi Hindu”) atau “tidak khas Indonesia” (seperti pengabaian yang 

lazim terhadap shalat harian).21

Istilah-istilah semacam itu juga kerap muncul dalam berbagai artikel dan 

kuliahnya. Seiring berlalunya waktu, tampaknya “Hindia” dan “Indonesia” 

menjadi sinonim.22 Yang tak pernah dinyatakan Snouck secara eksplisit 

yaitu  konsep dalam karyanya: “Islam Indonesia” dan kepribadian-nya. 

Sebaliknya, lompatan itu akan dilakukan oleh orang-orang lain yang bekerja 

di bawah naungan kesarjanaannya. Namun, dengan segala sentimen liberal 

mereka, “Indonesia” masih merupakan sebuah abstraksi bagi banyak Indolog 

Leiden pada 1910-an. Gerakan nasionalis masih harus mengambil alih istilah 

ini  isebab  para anggota elite Klub Mahasiswa di Leiden lazimnya lebih 

mengidentifikasi diri dengan Jawa ketimbang apa yang disebut Pulau-Pulau 

Luar. Fokus ini juga lebih dari sekadar tampak dalam judul dan isi sebuah 

surat kabar baru yang akan dibaca oleh kebanyakan dari mereka. Didirikan 

pada 1921, Djåwå memberi ruang untuk artikel-artikel ilmiah yang lebih 

sering berfokus pada kesusastraan dan arkeologi ketimbang pada Islam, meski 

sebagian pejabat lulusan baru akan memandangnya sebagai sebuah organ 

sesekali bagi artikel mengenai agama ini .

TAREKAT KE SERIKAT, SAYYID KE SYEKH

Meskipun sosoknya dianggap besar dalam sejarah Indonesia, Snouck tak 

banyak terkait dengan berbagai perkembangan kalangan reformis di Sumatra 

dan Jawa selain membantu mempertahankan sebuah atmosfer yang toleran 

untuk aktivitas mereka. Andai saja tinggal di Batavia sesudah  1906, Snouck 

pasti akan punya lebih banyak hal untuk disampaikan mengenai persoalan 

keterlibatan reformis dalam gerakan nasional yang berkembang pesat. Berawal 

dalam konteks perkotaan seperti Padang, Batavia, dan Surakarta, para aktivis 

yang berkomitmen pada pesan modernis, yang sebagian besarnya memancar 

dari Kairo dan Singapura, mulai bekerja menjalin jaringan sekolah dan 

warga . Dalam sebagian kasus, dorongannya yaitu  persaingan isebab  

para misionaris, serta warga  Arab dan Tionghoa, telah mengadopsi 

tujuan yang modern dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan rumah 

sakit.

Sebagian pihak dalam pemerintah kolonial mengkhawatirkan 

perkembangan politik yang demikian. Di sisi lain, para cendekiawan yang 

bertugas di Kantor Urusan Pribumi menganggap semua itu sebagai bukti 

adanya kehendak melakukan modernisasi di kalangan Muslim pribumi. Jelas 

bahwa kaki tangan Snouck aktif membina hubungan dengan para pemimpin 

organisasi-organisasi semacam itu, dan mereka pun pada gilirannya mendapat 

pembinaan. Di antara orang-orang Muslim yang berada di persimpangan 

226  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

antara aktivisme publik, agama, dan kekuasaan yaitu  Agoes Salim (1884–

1954) dan Ahmad Surkati (1872–1943). Agoes Salim, seorang Minangkabau 

berbakat yang dididik di Batavia oleh Snouck dan dikirim ke Jeddah di bawah 

bimbingan Aboe Bakar Djajadiningrat, mendapati dirinya terdampar di 

antara jemaah haji yang dia harap dapat dijunjungnya dan Belanda yang dia 

coba untuk ditirunya. Dalam setelan kolonial putihnya, Salim menyediakan 

sebuah kontras bagi Aboe Bakar dan al-Zawawi, dua perwakilan tatanan 

tradisional. Dia kembali ke Jawa, dalam keadaan sudah berubah baik secara 

keagamaan maupun politis sesudah  bersinggungan dengan Ahmad Khatib 

yang yaitu  famili dari pihak ibunya. Di Jawa dia bekerja sebagai seorang 

kerani dalam pemerintah.

Sementara itu, Ahmad Surkati si orang Sudan sampai ke Jawa melalui 

jalur yang sangat berbeda. Direkrut dari Mekah pada 1911, dan segera sesudah  

keberangkatan Salim, dia mengajar di Sekolah al-‘Attas (yang berkaitan 

dengan perkumpulan kesejahteraan Jam’iyyat al-Khayr) sebelum berpisah 

dengan para majikan sayyid-nya pada 1914. Pada 1915 dia yaitu  pilihan 

yang realistis untuk memimpin gerakan reformis baru di kalangan Arab dari 

keturunan yang kurang terhormat. Dikenal sebagai al-Irsyad, gerakan ini 

disokong oleh pengusaha kaya dan pimpinan komunitas Arab di Batavia yang 

diangkat oleh Belanda sejak 1902, ‘Umar Manqusy (w. sekitar 1948). Surkati 

juga berperan sebagai seorang penasihat dalam apa yang pada dasarnya 

merupakan organisasi saudara (tua)-nya, Muhammadiyah, yang didirikan di 

Yogyakarta pada 1912 oleh Ahmad Dahlan (1868–1923), yang tertarik pada 

tulisan-tulisan Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Rida.

Dahlan merupakan seorang pemimpin lokal yang tengah menjadi, 

setidaknya di atas kertas, gerakan massa terbesar untuk orang-orang pribumi 

Hindia, Sarekat Islam (SI). Perserikatan ini muncul di Surakarta dari sebuah 

komunitas kecil orang Jawa yang, dengan dukungan istana, berusaha 

mempertahankan posisi ekonomi dalam perdagangan batik bersaing melawan 

Tiongkok. Sangat berlawanan dengan dugaan para pendiri SI, banyak kota 

besar di Jawa segera menyaksikan pendirian cabang-cabang persaudaraan, yang 

karakternya sering berbeda satu sama lain seperti dalam kasus Yogyakarta, yang 

tak pernah diizinkan bersinggungan dengan kepentingan Muhammadiyah 

di bawah Ahmad Dahlan. Ini bukan berarti bahwa Sarekat Islam sejak awal 

dirancang sebagai sebuah gerakan sosial. Meski ada rencana untuk mendirikan 

sekolah dan rumah sakit seperti usaha-usaha Muhammadiyah dan para murid 

Ahmad Khatib, hanya sedikit yang dilakukan untuk tujuan ini.23

Meski demikian, “Islam” dalam Sarekat Islam dianggap oleh sebagian 

anggota dan para pengagum dari jauh sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar 

penanda pribumi. Di beberapa kawasan, ritus inisiasi tidaklah berbeda dari 

ritual baiat ke dalam tarekat mistis, sebuah perkembangan yang menggelisahkan 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  227

para guru tarekat-tarekat ini . Namun, penggunaan inisiasi dan perjanjian 

tarekat oleh sebagian calon cabang Sarekat Islam tidak menghalangi Kantor 

Urusan Pribumi dari memberi dukungan kuasi-resminya. Para pemimpin 

Sarekat Islam memastikan bahwa mereka melaporkan kasus mereka kepada 

para penasihat, dengan mengundang Hazeu, Rinkes, dan Sayyid ‘Utsman ke 

kongres-kongres mereka. Sikap ini mendapat balasan setimpal. Pada kongres 

SI di Solo pada 23 Maret 1913, Sayyid ‘Utsman memperkenalkan diri 

sebagai “mufti Islam untuk rakyat” dan memberikan pidato atas permintaan 

pemimpin SI, Tjokroaminoto:

Di antara manfaat keadilan Islam yaitu  larangan bertindak jahat terhadap 

diri sendiri, orang lain, dan negara. Kedua, agama Islam memerintahkan agar 

kita membalas mereka yang berbuat baik kepada kita dengan kebaikan pula, 

serta menegaskan agar kita berterima kasih kepada mereka. Sarekat Islam 

melaksanakan berbagai amal Islam yang baik, berguna, dan tidak menimbulkan 

apa pun yang berbahaya bagi negara. Oleh isebab  itu, kami mengucapkan terima 

kasih kepada Paduka Yang Mulia Sultan Sunan [Pakubuwana X], yang dengan 

restu dan bantuannya Sarekat Islam didirikan dengan segala amal baiknya. 

Semoga Allah Yang Mahakuasa memberinya kesehatan, umur panjang, dan 

kemuliaan, Amin! Kami juga sangat berterima kasih kepada Badan Pemerintah 

Sarekat Islam yang, dengan dorongannya, memungkinkan kita semua umat 

Muslim mengikuti dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam dan 

menjauhi apa yang dilarangnya, dengan demikian memungkinkan kehormatan 

dan rasa aman terbebas dari kemerosotan dan kejahatan, serta kemajuan 

dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Oleh isebab  itu, kami berharap agar 

Allah Yang Mahakuasa menyempurnakan amal baik Sarekat Islam. Selain itu, 

merupakan kewajiban bahwa kita semua mengungkapkan terima kasih kepada 

Pemerintah Belanda, yang, dengan keadilan dan perhatiannya, memungkinkan 

kita mencapai kebahagiaan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama 

tanpa gangguan.24

Pada tahun itu pula sang Penasihat Kehormatan menerbitkan karyanya 

Sinar Istirlam (Cahaya Lentera) yang menyerang keberatan-keberatan yang 

diajukan oleh beberapa guru Naqsyabandiyyah yang memandang Sarekat 

Islam sebagai kekuatan Kristenisasi, konon melalui pembagian “air Kristen” 

dalam inisiasinya. Menunjuk ke halaman-halaman risalahnya sendiri yang 

sudah menguning, ‘Utsman menegaskan kembali bahwa Sarekat Islam harus 

disambut dengan rasa terima kasih kepada pemerintah isebab  tradisinya yang 

tidak turut campur dalam soal-soal keagamaan.25 Namun, faktanya tetaplah 

bahwa Sarekat Islam pada awalnya tidak mendapatkan pengakuan ini , 

dan oleh isebab  itu sebagian anggotanya menyebarkan retorika terima kasih 

Sayyid ‘Utsman dalam sebuah selebaran:

228  —  MASA LALU SUFI, MASA DEPAN MODERN

Di bawah ini yaitu  sebuah permohonan untuk pertimbangan [Pemerintah] 

yang adil berdasar  empat perkara yang orang-orang pribumi merasa 

berterima kasih.

Nomor 1: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas adilnya “kontrak” 

(kuntrak) Pemerintah untuk tidak turut campur dalam perkara-perkara agama.

Nomor 2: orang-orang pribumi sangat berterima kasih isebab  Pemerintah 

mengizinkan pribumi mendapat ketenangan dalam melaksanakan shalat, 

memperbesar masjid, dan menyediakan sumur serta praktik pernikahan, hak 

waris, dan membayar gaji para penghulu dan Raad Agama.

Nomor 3: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas adilnya 

kedamaian dan ketenangan Pemerintah, melindungi pribumi dari berbagai 

kesulitan yang menimpa jasmani, harta, dan agama mereka.

Nomor 4: orang-orang pribumi sangat berterima kasih atas kebijakan 

Pemerintah untuk memberi imbalan kepada mereka yang mengajarkan kebaikan 

kepada pribumi dan menjadi bermanfaat untuk negara tanpa menganjurkan 

mereka berbuat jahat kepadanya.

Maka, dengan mempertimbangkan empat perkara ini, orang-orang pribumi 

dengan sungguh-sungguh meminta dan menggantungkan harapan mereka pada 

keadilan Pemerintah dan restunya untuk memajukan urusan Sarekat Islam .... 26

Sementara itu, Rinkes—menjabat Penasihat untuk Urusan Pribumi 

menyusul naiknya Hazeu menjadi Direktur Pendidikan pada 1912—jelas 

mengecilkan aspek keagamaan SI dalam laporannya pada 13 Mei 1913. Dia 

menyebutnya sebagai asosiasi para pahlawan wayang dengan tokoh kunci 

seperti Tjokroaminoto dan bahkan mendaftar Islam sebagai salah satu faktor 

yang “tidak menguntungkan” untuk dipertimbangkan, walau tetap bisa 

diatasi. Dia menyatakan, meski Ahmad Dahlan yang terkemuka “sangat 

ortodoks, cenderung intoleran”, tapi masih memberikan “kesan simpatik”. 

Dalam pandangan Rinkes, pan-Islamisme Sarekat Islam lebih bersifat sosial 

ketimbang politis, disiapkan untuk berbagai tuntutan pendidikan dengan 

jenis yang sama seperti di kalangan komunitas Arab Batavia dan orang-orang 

Melayu di “Semenanjung Malaka”.27

Argumen-argumen ini  tampaknya meyakinkan Gubernur Jenderal 

yang sedang menjabat, A.W.F. Idenberg (menjabat 1909–16), yang menolak 

keberatan para administrator daerah.

Dalam pandangan saya, Sarekat Islam yaitu  ungkapan dari apa yang bisa kita 

sebut kesadaran diri pribumi yang berkembang. Kerangka pemikiran ini tidak 

muncul secara tiba-tiba, namun  perlahan. Pertama dalam kalangan yang kecil, 

kemudian ke kalangan yang lebih luas isebab  bekerjanya berbagai pengaruh 

berbeda, terutama menurut nasihat Dr. Rinkes yaitu  pendidikan yang 

diberikan atau dimungkinkan oleh Pemerintah .... Juga tidak mengejutkan 

bahwa dalam gerakan ini, yang ditujukan untuk kerja sama begitu banyak pihak, 

unsur keagamaan, Islam, memainkan sebuah peran .... Harus diakui bahwa kita 

PARA PENASIHAT UNTUK INDONESIË  —  229

bisa menganggap unsur Islam ini tidak diinginkan, jika kita menganggapnya 

sebagai sumber bahaya. Namun, pertimbangkan bahwa orang-orang Jawa 

hampir tidak pernah menunjukkan diri sebagai Mahomedan yang fanatik, dan 

lazimnya Islam di Jawa tidak menunju