para cendekiawan Eropa pada beberapa kesempatan. Penerjemah
Injil dan pendeta Mohr diketahui pernah membangun observatorium di
atap rumahnya, meski belakangan mengeluhkan bahwa “tidak ada ilmu
pengetahuan” di Batavia selain yang ditujukan untuk “mendapatkan uang
dan menjadi cepat kaya”. sesudah meninggalnya Gubernur Jenderal Mossel,
yang mensponsori penerbitan Injil berbahasa Melayu karya Mohr dan
mungkin juga pengagum observatorium, dua gubernur jenderal berikutnya
jelas memusuhi upaya ilmiah apa pun. Lantas, pada 1777 sang penentang
terakhir tiada, dan tahun berikutnya warga Batavia untuk Seni dan Ilmu
Pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pun
lahir.
Kekuatan penggerak di belakang komunitas ini yaitu Freemason
dan anggota warga Haarlem untuk Ilmu pengetahuan, J.C.M.
Radermacher. Yang lebih penting, Radermacher yaitu menantu sesama
pendiri, Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (bertugas 1777–80). Sejenis
pencerahan telah datang ke Hindia Timur. Sementara para anggota warga
Batavia mengarahkan sebagian besar perhatian mereka pada perkara-perkara
pertanian, botanis, dan historis, tidaklah benar mengatakan bahwa sama
sekali tak ada ketertarikan terhadap Islam dan keberhasilannya di kawasan
ini. Pada sebuah pertemuan yang diadakan pada 30 Juni 1782, diputuskan
untuk menawarkan hadiah uang kepada siapa pun yang bisa menghasilkan
sebuah makalah untuk menjelaskan bagaimana “Muhamed, para Imam, serta
para guru dan misionaris Musleman penerusnya” berhasil mengislamkan
orang-orang kafir di berbagai wilayah dan kepulauan Nusantara. Tujuannya
jelas untuk menghasilkan sebuah model bagi Kristenisasi penduduk pada
masa depan, namun , yang menarik, disarankan agar jawaban dicari dari orang-
orang Muslim terpelajar, dan bahwa jawaban dari seorang muslim juga akan
diganjar sepenuhnya seperti dari seorang Eropa.
Dinyatakan bahwa kompetisi seperti itulah yang mungkin menginspirasi
Brandes untuk membuat sketsa para santri dan “pendeta” berserban yang
sedang shalat di Batavia.95 Namun, kita mungkin tidak pernah mengetahuinya
isebab seperti hampir setiap kontes yang disponsori oleh komite, tak seorang
pun pernah maju untuk mengklaim secara resmi hadiah beberapa 100 ducat.
Juga jelas bahwa meski berkonsultasi dengan seorang muslim terpelajar
memang disarankan, seseorang tidak boleh berkonsultasi terlalu dekat, seperti
yang dialami Residen Surakarta, Andries Hartsinck (1755–1811), pada 1790
saat dia dicurigai isebab mengenakan pakaian Jawa dan kerap mengunjungi
keraton Pakubuwana IV untuk tujuan mendapat pelajaran agama.
Para cendekiawan Belanda (dan beberapa Islamis Indonesia) bertanya-
tanya apakah Pakubuwana IV mendukung sebuah faksi Wahhabi di keraton.
Ricklefs cenderung menerima pendapat bahwa Pakubuwana sekadar
mengikuti penafsiran yang kurang ortodoks dan anti-Karang terhadap
Syattariyyah.98 Klik Pakubuwana bukanlah satu-satunya kekuatan keagamaan
baru di tanah Jawa. sesudah nya, menyusul pelancong Inggris dan berbagai
kelompok kepentingan Kristen metropolitan menyaksikan pendirian
warga Misionaris Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap) di
Rotterdam pada 1797, dengan pandangan mata tertuju pada hadiah yang
belum dimenangi di Timur.
Pembahasan singkat di atas telah menunjukkan bahwa kita perlu
mempertimbangkan sejarah panjang kompetisi antara Kristen Protestan dan
Islam di Nusantara dalam kaitannya dengan gagasan-gagasan yang diterima
mengenai apa makna agama yang disebut terakhir ini bagi orang-orang Eropa
dalam konteks perdagangan dan imperium. Tampaknya Islam memang
merupakan musuh yang tak asing di bagian dunia baru. Kehadirannya (dan
ekspansinya yang patut diperhatikan) tidak niscaya memunculkan banyak
materi tercetak. Walaupun begitu, beberapa cendekiawan Belanda, banyak
di antaranya yaitu klerikus, berhasil mendapatkan gagasan-gagasan baru
mengenai Islam dalam proses memperoleh teks-teks Melayu yang diniatkan
sebagai bekal untuk penerjemahan Injil. Sebagaimana akan kita lihat,
pengalaman dan analisis tak langsung semacam itu—meski serampangan dan
penuh muatan ideologis—akan mewarnai banyak interaksi yang akan terjadi
kemudian.
Universitas Leiden patut dikenal isebab simpanan manuskrip-manuskrip Islam-nya. Namun, koleksi Indonesia-nya memiliki sejarah yang ganjil,
agak mirip sejarah usaha tropis Belanda secara umum. Seorang sejarawan
Belanda terkemuka menegaskan bahwa upaya-upaya untuk memberikan
pengetahuan yang berguna mengenai berbagai bahasa dan kebudayaan lokal
kepada para pejabat kolonial berlangsung tersendat-sendat dan baru benar-
benar dimulai secara serius sesudah kekuasaan peralihan Inggris pada 1811–
16. Selama sebagian besar abad kesembilan belas, kecendekiawanan Belanda
mengikuti jejak Inggris, didorong oleh kebutuhan untuk bersaing dengan
satu-satunya kekuatan nyata yang menguasai gelombang yang mengempas
dermaga-dermaga dari Rotterdam dan Batavia hingga London dan Kolkata.1
Meski demikian, Inggris tidak sampai ke Batavia tanpa perlawanan
dan bisa dikatakan melanjutkan fondasi yang dibangun Belanda. sesudah
kelahiran Republik Batavia di Belanda pada 1795, pembubaran VOC yang
mengikutinya, dan kemudian penggabungan di bawah Bonaparte pada 1806,
para gubernur ditugaskan ke Hindia dengan gagasan sangat berbeda yang
disesuaikan untuk mempertahankan kemenangan mereka di Asia. Di bawah
Marshall Herman Daendels (menjabat 1808–11), Jalan Raya Pos yang besar
dibangun melintasi sisi sepanjang Jawa. Berbagai inventaris pun dibuat untuk
menyiapkan penguasaan yang lebih langsung terhadap puluhan juta rakyat
Asia isebab para pendahulu korporat mereka hanya memiliki pemahaman
paling samar mengenai jumlah orang yang mereka kuasai.2
Daendels juga memerintahkan agar dilakukan persiapan untuk menilai
keadaan pendidikan Jawa dan memberikan sesuatu yang merupakan
alternatif Eropa.3 Berbagai upaya seperti itu segera terhenti isebab perang-
perang di Eropa, demikian pula di Samudra Hindia. Sebagai buntut dari
banyaknya pertempuran, serangkaian petualang-imperialis yang lain mulai
mempertaruhkan klaim mereka atas kepulauan Indonesia. Di antaranya
L I M A
REZIM-REZIM BARU
PENGETAHUAN
1 8 0 0 – 1 8 6 5
100 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
yaitu Letnan Gubernur Jawa masa depan (menjabat 1811–1816), Thomas
Stamford Raffles (1781–1826) dan Surveyor Jenderal India, Kolonel Colin
Mackenzie (1753–1821). Keduanya berusaha mendapatkan teks apa pun
sebisanya, kerap dengan menjarah perpustakaan istana-istana yang mengintai
kesempatan untuk kembali merdeka.4 Sayangnya, sebagian dari koleksi
Raffles musnah dilalap api di kapal Fame pada 1824. Sebagian besar materi
lain, serta banyak koleksi Mackenzie, berhasil sampai di London pada saat
yang bersamaan dengan pengapalan sisa-sisa koleksi Islam dari perpustakaan
Palembang ke Batavia Belanda.5
Sebelum kedatangan Raffles, minat Inggris terhadap urusan-urusan
di luar India “mereka” sudah berkembang, paling menonjol dalam diri
pendukung Raffles, William Marsden (1754–1836), sang veteran Bencoolen
(Bengkulu). saat dia menerbitkan History of Sumatra-nya pada 1783,
Marsden mengungkapkan sedikit keterkejutan pada kurangnya minat
terhadap sejarah yang ditunjukkan oleh Portugis dan para pesaing mereka
dari Atlantik Utara. isebab belum pernah melihat prosiding warga
Batavia, Marsden menyatakan bahwa keengganan Belanda untuk mencatat
sejarah wilayah kekuasaan yaitu akibat kegemaran mereka pada kerahasiaan
perdagangan. Marsden melangkah hingga sejauh menghubungkan hal itu
dengan “apa yang diyakini sebagai kecondongan watak bangsa [mereka] ...
[dan] kecintaan mereka pada keuntungan, yang cenderung mengalihkan
pikiran dari semua pencarian liberal”.6
Dibandingkan Raffles, yang tidak ragu-ragu untuk mempergunakan
sekaligus menutup jalan bagi kontribusi para cendekiawan Belanda, Marsden
memperbaiki pernyataannya yang berlebihan itu pada edisi-edisi berikut
dari karyanya ini , dengan memberi penghormatan kepada Valentijn.7
Selain itu, dia mengenali berbagai kegagalan para pendahulu Inggris-nya di
Bencoolen. saat mengumpulkan dan membandingkan sekelompok teks
Islami yang sekarang berada di perpustakaan School of Oriental and African
Studies di London, Marsden percaya bahwa Islam yaitu pengaruh asing yang
melenyapkan kebudayaan asli bangsa-bangsa di Nusantara. Dia tidak menyukai
penggunaan istilah “Melayu” isebab jubah seorang muslim didasarkan hanya
pada sunat dan kemampuan untuk membaca tulisan Arab dan menyesalkan
proses yang membuat orang-orang Minangkabau “kehilangan sebagian besar
karakter Sumatra sejati mereka”.8 Lebih jauh dia menuding bahwa jati diri
orang Aceh lebih lemah lagi isebab telah mengadopsi cara-cara Arab dan
aksara Arab secara begitu menyeluruh. Meskipun menyatakan bahasa Melayu
bisa disombongkan sebagai “bahasa Italia dari Timur”, Marsden menyesalkan
bahwa bahasa Arab berhasil melakukan “invasi sehari-hari” dalam bentuk Al-
Quran dan buku-buku lain di atas kertas yang memuat “dongeng-dongeng
legenda” yang dianggapnya hanya memiliki sedikit kegunaan sebagai karangan.9
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 101
Rasa tidak suka terhadap dongeng-dongeng legenda membuat Marsden
bersimpati, setidaknya hingga tingkat tertentu, kepada al-Falimbani, yang
rekan-rekannya sangat mungkin telah dia jumpai. Namun, ada orang-orang
lain dalam ekspedisi Jawa 1811 yang akan menerima persis karya-karya ini. Di
antara mereka yaitu John Leyden (1775–1811), seorang Skot yang terkenal
menguasai bahasa-bahasa Oriental, termasuk Melayu, yang kali pertama
dilihatnya pada 1802 saat menyalin 69 judul karya Werndly. sesudah
berkunjung ke Penang pada 1805 dan bersahabat dengan Raffles, Leyden
mulai mengerjakan terjemahan Sulalat al-salatin, yang oleh Werndly disebut
buku berbahasa Melayu “paling berharga”.10
Tak diragukan lagi, Leyden gatal ingin melakukan penjarahan literatur
sendiri. Walaupun begitu, ekspedisi ke Jawa akan menjadi petualangan
tersingkatnya isebab Leyden terserang tifus begitu mendarat dan memeriksa
sebuah perpustakaan setempat (barangkali perpustakaan warga Batavia).
Tiadanya Orientalis kesukaannya, Raffles menjalin hubungan yang berguna
dengan para pejabat penting Belanda dan mengawasi kebangkitan warga
Batavia. Hindia menjadi sebuah wilayah untuk dijelajahi dan dieksploitasi
meski atas nama kemajuan bagi para penduduk pribuminya. Jika slogan
warga Batavia menegaskan bahwa usaha-usahanya yaitu “untuk
kebaikan bersama”, Raffles membuat klaim eksplisit bahwa kekuasaan Inggris
dirancang untuk meningkatkan pribumi. Mengesampingkan ketulusannya,
masa bulan madu berlangsung singkat bagi Raffles. Dia diperintahkan
mengembalikan Jawa kepada Belanda pada 1818 dan pergi ke Bencoolen
(Bengkulu). Di sana dia merencanakan penciptaan Singapura Inggris pada
1819 dan menyaksikan terjemahan Leyden atas Sulalat al-salatin dicetak
sebagai Malay Annals.11
KEBANGKITAN BELANDA
saat Belanda kembali berkuasa, mereka membuat sebuah upaya baru untuk
mengumpulkan informasi mengenai pendidikan pribumi dengan niat untuk
menggantinya dengan sesuatu yang mereka buat sendiri. Mengikuti instruksi
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal G.A.G.P. van der Capellen (menjabat
1816–26) pada Desember 1818, para pejabat setempat diminta agar pada
Maret berikutnya menyelidiki: (1) pendidikan apa yang diberikan kepada
pribumi Jawa, (2) siapa yang menyelenggarakannya, (3) di mana pendidikan
berlangsung dan siapa yang membiayainya, dan (4) bagian populasi mana
yang dipengaruhinya.12 Hanya selusin kepala administratif yang memenuhi
instruksi, dan, bahkan dengan mengizinkan bias dan ketidakpahaman
yang lazim, gambaran yang mereka lukiskan mengenai pesantren-pesantren
sangatlah muram.13 Meski “para pendeta” dan guru mengajari murid—kadang
102 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
beberapa besar murid—dengan pengetahuan pasif mengenai Al-Quran dan
teknik-teknik terkait yang dibutuhkan untuk membaca, hanya sedikit lulusan
yang dianggap melek huruf secara fungsional dalam bahasa Melayu, apalagi
Arab atau Jawa. Bahkan, di pusat-pusat seperti Surabaya, diduga bahwa
pendidikan agama hanya terbatas pada hafalan beberapa pasase dari Al-Quran
dan dasar-dasar baca-tulis Arab.
Meski demikian, laporan-laporan ini memberikan beberapa
perincian yang untuk kali pertama muncul dalam catatan Belanda. Sebuah
laporan dari Rembang memberikan daftar teks-teks yang diajarkan di berbagai
“langgar” dan “mesigit” oleh sekitar 32 pendeta. Meski mengikuti praktik
Jawa dengan mendaftar buku berdasar topiknya, bukan berdasar judul
resminya, daftar ini mengonfirmasi informasi dalam Serat Centhini mengenai
asupan ilmiah waktu itu.14 Juga menjadi jelas bahwa keluarga-keluarga
terkemuka lebih memilih mendidik putra-putra mereka di rumah di bawah
bimbingan para kepala administrator dan juru tulis mereka. Kadang-kadang
seorang murid yang menjanjikan dikirim keluar dari rumah, paling sering ke
pelabuhan Surabaya dan Semarang, tempat penggunaan bahasa Melayu konon
terbatas pada eselon atas, dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah pedalaman yang
lebih tinggi di Madiun, Ponorogo, dan Yogyakarta.
Tampaknya semua informasi yang dikumpulkan sia-sia isebab
tanggapannya sekadar diarsipkan dan tak ada tindakan lebih jauh. Nasib yang
sama menimpa survei lain yang dilaksanakan pada 1831, yang pada dasarnya
mengulangi pekerjaan 1819; meski kali ini empat belas administrator
mengirimkan data yang mencakup beberapa tempat pengajaran yang
memusingkan.15 Lagi-lagi pendidikannya digambarkan sebagai buruk, hanya
memberikan pengetahuan mengenai teks yang sepenuhnya pasif, meski
beberapa tamatan benar-benar mampu melafalkan teks-teks ini dengan
sangat baik. Diduga bahwa kalangan elite lebih suka mendidik putra-putra
(dan putri-putri) mereka di dalam batas-batas lingkungan istana. Patut dicatat
bahwa salah satu komisi pribumi yang mengirimkan laporan, melampirkan
beberapa usulan untuk pengenalan persekolahan bergaya Barat dan
pengawasan seluruh guru dan sekolah, termasuk pesantren, di bawah sebuah
lembaga yang dikepalai para pejabat muslim yang ditunjuk secara lokal.16
Yang benar-benar mengejutkan dalam laporan-laporan ini ,
setidaknya dalam bentuk ringkasannya, yaitu bahwa tak ada penyebutan
eksplisit apalagi kekhawatiran terhadap Mekah sebagai tujuan
kecendekiawanan. Pesantren diasumsikan melayani mereka yang berminat
dari anggota warga di bawah tingkatan elite priayi yang semakin
terbaratkan (dan meluas). Hanya ada sedikit petunjuk mengenai murid yang
pergi lebih jauh dari rumah, ataupun mengenai jumlah uang yang beredar
selain sebagai imbalan sukarela untuk membantu sang guru.17 Terlepas dari hal
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 103
ini, kita sekarang tahu bahwa semakin banyak orang mampu melaksanakan
haji serta untuk belajar. Ini juga merupakan momen saat lebih banyak guru,
termasuk orang-orang Arab, mengadu nasib ke Kawasan Tapal Kuda untuk
menawarkan kelas-kelas yang diselenggarakan dalam bahasa Melayu. Ini
yaitu perkembangan yang tak banyak diramalkan. Sultan Madura, misalnya,
menganggap pendidikan dasar langgar sudah memadai untuk membangun
pikiran rakyatnya kecuali yang “paling berangasan”.18
Dengan keuntungan pengetahuan kita tentang masa lalu, tampaknya ada
perbedaan yang kian lebar antara persepsi orang Jawa dan Belanda mengenai
posisi elite priayi vis-à-vis Islam. Perbedaan yang setara antara yang literer dan
yang religius juga mewujud dalam berbagai warga Batavia. Barangkali
menyadari Raffles telah menerbitkan Malay Annals karya Leyden, pada 1823
komite pengarah Belanda menawarkan hadiah untuk menerjemahkan karya
yang sama ke dalam bahasa mereka sendiri. Tujuan mereka yaitu mengakui
nilainya sebagai sebuah sejarah dan gaya sastranya yang halus.19 Sumbangan
apa pun yang mungkin diberikan untuk memahami Islam sama sekali tidak
dipedulikan, sebagaimana berbagai perincian mengenai Islam masih diabaikan
dalam analisis-analisis kebijakan yang dibawa kembali di bawah bendera
Belanda. Dalam sebuah laporan panjang mengenai Palembang, Komisioner
J.I. van Sevenhoven bisa jadi sudah mendokumentasikan dengan baik
tingkatan-tingkatan ulama dan para guru di sana. Namun, dia menyimpulkan
bahwa istana yang telah mengangkat mereka tidaklah benar-benar religius.
Sevenhoven bahkan menyatakan bahwa istana tidak disukai oleh populasi
Arab setempat, yang terisolasi di tengah-tengah penduduk yang secara umum
percaya takhayul dan durhaka.20
Tak terlalu jauh dari sana, di Bencoolen, seorang mantan Residen Jawa
Tengah, Letkol H.G. Nahuijs, berembuk dengan Raffles dan menyuarakan
visi bersama mereka mengenai masa depan orang-orang kafir Jawa:
Agar tidak membuat dunia tersinggung, kita tidak sekali pun boleh
mendiskusikan soal-soal yang bertentangan dengan berbagai prasangka atau
keyakinan agama orang-orang yang lebih tua atau yang akan berbenturan dengan
agama Mohammedan. Ini sama sekali bukan menghalangi pembinaan kaum
muda melalui kisah-kisah moral terpilih untuk memupuk rasa bertanggung
jawab serta rasa hormat dan kebajikan. Keadaan benar-benar menguntungkan
isebab dengan kepemimpinan jenderal yang baik banyak bantuan bisa
diperoleh. Orang Jawa sangat menyukai cerita, sampai-sampai para pangeran
menghabiskan berjam-jam waktu mereka untuk siapa saja yang bisa menarik
perhatian dengan satu atau lain cerita. Tak kurang menguntungkannya bahwa
pribumi Jawa, berbeda dari pengikut Mohammed yang lain, lebih dekat ke
agama Kristen dan lebih mudah mengubah adat istiadatnya menjadi adat
orang-orang Eropa. Bagi saya, hal itu membuka prospek yang membahagiakan.
104 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
Di bawah bimbingan pemerintah yang memahami dan kebapakan, tak lama
lagi orang-orang Jawa akan menganut Kristen meski tidak dalam nama, tapi
dalam praktik. Menurut cara pikir saya, yang terakhir lebih berharga ketimbang
yang pertama.21
Surat Nahuijs diterbitkan di Breda pada 1826. Terlepas dari apa yang
disesalkannya sebagai “rangkaian keadaan yang tak menguntungkan” yang
memaksa Belanda bertempur merebut hampir seluruh bekas kekuasaannya
sehingga “darah penduduk pribumi ... tertumpah di seantero tanah kekuasaan
ini”, tatanan Belanda sudah bergerak menuju pemulihan penuhnya.22 Selain
itu, Inggris dan Belanda, meski aktif bersaing satu sama lain, bersama-sama
memanfaatkan kekuatan ilmu pengetahuan dan retorika agama untuk
mendukung usahanya, yang digambarkan oleh seorang misionaris pada masa
belakangan sebagai “mengenalkan peradaban ke tengah-tengah jutaan orang”.23
MENCETAK ULANG PENGETAHUAN KRISTEN
Untuk sebagian orang, kekuasaan peralihan Inggris lebih dari sekadar
menyurvei wilayah yang baru saja dimenangkan untuk meningkatkan
reputasi pribadi mereka. Di antara pasukan ekspedisi, terdapat mereka yang
memandang Nusantara sebagai lapangan misi potensial, terlepas dari berbagai
sejarah kegagalan mereka di kawasan ini. Yang mereka miliki dan tidak dimiliki
para pendatang terdahulu yaitu alat cetak yang mudah dibawa-bawa. Bagi
mereka, ini sama penting dengan meriam bagi serdadu pelindung mereka.
Tentu saja karya-karya tercetak mudah dikenal. Bagian-bagian Injil Matius
karya Ruyl dikirimkan dari Enkhuizen awal 1629, diikuti salinan-salinan
Perjanjian Baru-nya yang kemudian diperbaiki oleh Heurnius pada 1650-an.
VOC mengawasi penerbitan teks-teks keagamaan sejak 1659 seiring usaha
menjaga hubungannya yang ambigu dengan gereja-gereja reformasi. yaitu
kekuasaan peralihan Inggris dan penemuan litografi yang memungkinkan
ledakan aktivitas cetak di kawasan ini. Tak lama sesudah kedatangan para agen
warga Misionaris London, kegiatan percetakan dimulai; di Malaka pada
1817, Negeri-Negeri Selat dan Batavia pada 1822, dan Padang pada 1834.24
Inggris sekali lagi diikuti oleh Belanda melalui pendirian warga Injil
Belanda pada 1814, yang bekerja untuk memastikan kitab suci tersedia baik
dalam aksara Jawi maupun Latin. Proyek pertama yaitu pengerjaan ulang
Injil Leijdecker, yang dicetak pada 1820.25
Media ini menjanjikan, namun para misionaris mengakui bahwa kendala
budaya utama masih harus diatasi. Pada Juli 1828 W.H. Medhurst (1796–
1857) melaporkan dari Singapura mengenai berbagai kesulitan serta jalan
keluar yang mungkin:
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 105
Orang-orang Melayu hanya punya sedikit, atau sama sekali tidak punya,
buku cetakan. saat diberi buku yang dibuat dengan huruf cetak, mereka
menganggapnya sama sekali berbeda dan begitu asing tampilannya. Mereka
cenderung menolaknya berdasar alasan ini . Pribumi di sini telah
terbiasa membaca buku dengan titik-titik, yang sulit untuk diletakkan pada
setiap kata menggunakan huruf cetak. Semua ini mudah diperbaiki dalam
percetakan litografis: buku-buku yang dicetak menggunakan cara ini, memiliki
penampilan manuskrip. Dengan sebuah inskripsi Mohammedan di bagian awal,
terbitan kita mendapatkan penerimaan semudah terbitan mereka sendiri.26
Dibutuhkan lebih dari sekadar inskripsi “Mohammedan” di bagian awal.
Pengoperasian mesin-mesin cetak baru bergantung kepada para penerjemah
lokal, yang mengambil lebih banyak hal dari juragan mereka daripada sekadar
pengetahuan mengenai teologi Kristen. Contoh paling terkenal yaitu
Munsyi Abdullah, yang membantu Leyden di Penang, Raffles, Medhurst,
dan misionaris-misionaris lainnya di Singapura. Dengan bekerja bersama
orang-orang ini selama dua dekade, Munsyi Abdullah mendapat pemahaman
mengenai percetakan tipografis. Kenangan tentang kebakaran di kapal Fame
mendorongnya memilih jalan pelestarian sastra dan sejarah Melayu pada
1840-an, menciptakan preseden baik bagi Kemas Azhari di Palembang
maupun Husayn al-Habsyi di Surabaya.27
Bukan berarti para pastor tidak mendapatkan pengikut baru atau bahwa
mereka tidak memiliki pemahaman mengenai agama orang-orang yang
hendak mereka terima. Bahasa Arab berada di luar jangkauan pengetahuan
kebanyakan misionaris. Terdapat bukti kuat bahwa di Batavia setidaknya
mereka mendapatkan bantuan aktif pemeluk baru yang memiliki cukup
pengetahuan mengenai bahasa ini . Teks yang relevan yaitu sebuah
salinan tulisan tangan dari Hikayat Maryam wa-‘Isa. Diselesaikan pada 1826,
teks ini memuat banyak kutipan Injil dalam bahasa Arab dengan penjelasan
bahasa Melayu. Dengan demikian, ini berjalan jauh melampaui inskripsi di
awal ala Medhurst. Teks ini meniru karya tafsir tradisional yang penuh
oleh penjelasan mengenai kitab suci. Pernyataan keimanan dirumuskan ulang
sehingga bercorak mistis, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bahwa Yesus yaitu ruh Allah.”28
Sekali lagi, konsep-konsep semacam itu sama sekali tidak baru. Kita
bisa mengingat bahwa saat dipenjara di Aceh, Frederick de Houtman
membangun pembelaannya terhadap agama Kristen berdasar penyebutan
Al-Quran terhadap Yesus sebagai ruh Allah, juga diketahui bahwa Isaac
St. Martin memiliki salinan Mazmur dalam bahasa Arab.29 namun , teks-
teks semacam itu sekarang dicetak dalam jumlah besar, seperti serangkaian
himne yang disusun oleh seorang pendeta Baptis yang aktif di Jawa, William
Robinson (1784–1853).30 Meski begitu, bentuk yaitu satu hal dan isi
106 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
yaitu hal lain. Itulah kunci persoalannya, persoalan yang akan menjangkiti
pemahaman kolonial mengenai periode cikal bakal dalam sejarah Islam di
Asia Tenggara. Ketakutan pun kini naik pentas.
Gambar 5. Makam Malik Ibrahim, dari Van Hoëvell, Reis over Java, I, 156–57.
PARA PENDETA PERANG
sesudah itu dia menarik jamnya dari saku dan berkata kepada para pendeta, “Jika
menghargai nyawa, Anda tidak akan buang-buang waktu dengan obrolan basa-
basi.”31 (Le Bron de Vexela kepada para pengikut Kiai Mojo, November 1828)
Belanda dan Inggris sama-sama mengandaikan bahwa lawan mereka didukung
oleh sekelompok pendeta, sama seperti para pendeta mereka sendiri. Di
Bengkulu, para pelopor tren terbaru dari Mekah segera dipanggil (secara
meremehkan) kaum “Padri”, yang merupakan pengolahan-ulang lama atas
istilah Iberia untuk “pendeta”. Inggris sudah menggunakan istilah ini di India.
Demikian pula Belanda telah merujuk sang mediator pseudo-Utsmani dari
1753–54 sebagai “Padre Grande”. Dengan mudah istilah ini juga diadopsi
oleh orang-orang Indonesia yang sinis. Pada 1850-an para misionaris di Jawa
Barat disebut padri oleh orang-orang Sunda yang curiga. Ahmad Rifa‘i pun
menyerang muslim yang bersekutu dengan Belanda dengan sebutan serupa.32
Orang Eropa memandang para haji dan imam sebagai pendeta-pendeta
yang susah dihadapi. Di sisi lain, orang Eropa juga tak segan menyematkan
pujian kepada mereka. Kolonel Nahuijs dan Raffles sama-sama memandang
kaum “Padre” sebagai para aktivis saleh yang berusaha “memperbaiki moral
bangsa Melayu yang benar-benar merosot dan sangat bertentangan dengan
ajaran-ajaran Mohammedan atau Islam”. Keduanya bahkan mencurigai
(barangkali isebab penamaan mereka) bahwa semula mereka yaitu
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 107
“sekelompok orang Melayu Kristen”.33 Raffles telah menulis kepada Marsden
pada 1820 bahwa kaum Padri “menyerupai kaum Wahabee dari padang pasir”
dan telah membuktikan diri sebagai “paling kasar dan sewenang-wenang”,
meskipun pemerintahan mereka tampaknya “diperhitungkan untuk
melaksanakan reformasi dan perbaikan”. Walaupun begitu, Raffles mengaku
kepada sepupunya yang seorang klerikus bahwa dia jauh lebih suka melihat
ratusan misionaris Kristen diutus ke dataran-dataran tinggi ketimbang orang-
orang dengan “Koran di satu tangan, dan pedang di tangan yang lain”, yang
membawa “pengaruh merusak sang nabi palsu dari Mekah”.34
Sumatra Barat didera kekerasan selama sekitar sembilan belas tahun
sebelum campur tangan pertama Belanda saat para Tuanku dari berbagai
kubu mengampanyekan penghancuran arena sabung ayam yang dihias dengan
mewah serta balairung tradisional yang merupakan kebanggaan banyak desa
lawan-lawan mereka. Dengan kembali berkuasa, Belanda memantapkan diri
di Padang dan mulai menghadapi kaum Padri pada 1821. Serangan pertama
ini ditunda saat mereka menyadari bahwa Inggris tidak akan mendukung.
Sebuah perjanjian pun ditandatangani dengan para Tuanku di Bonjol
dan Alahan Panjang pada Maret 1824.35 saat berbagai peristiwa tidak
menguntungkan Belanda untuk sementara waktu di Jawa, sebuah perjanjian
damai yang lebih luas disepakati pada November 1825. Pada masa kelembaman
inilah Belanda meminta Syekh Jalal al-Din dari Samiang untuk menyiapkan
ringkasannya mengenai sejarah perang di kalangan orang-orang yang dengan
santun dirujuknya sebagai “Paderi”.36 Namun, penyebutan ini tak lebih dari
sekadar rujukan sambil lalu untuk memungkasi apa yang disebutnya “perang
agama”, yang dilancarkan para Tuanku terhadap pihak Adat kerajaan sebelum
berubah menjadi pertarungan di antara mereka sendiri.37
Pada waktu Jalal al-Din, yang dikira Belanda sebagai putra Tuanku Nan
Tua, menulis laporannya, perang internal sudah hampir usai. Terhentinya
perdagangan independen ke utara oleh penarikan diri Inggris (dan kerja
sama mereka dengan Belanda), terdapat penurunan yang sepadan dalam
semangat keagamaan yang ditopang oleh pertanian Padri. Ini tidak berlaku
di perbentengan Bonjol, tempat sang Tuan akan membuka kembali konflik
pada 1830-an sesudah berdamai dengan faksi Adat. Dia akhirnya dikalahkan
pada 1837.
Bukanlah ironi kecil bahwa salah satu orang Jawa yang dikirim untuk
memerangi kaum Padri memiliki gelar mentereng “Ali Basa” yang termakan
hasutan untuk membelot dari Diponegoro pada Oktober 1829. Sudah
dinyatakan bahwa dengan kekalahan Diponegoro, “bukan hanya orang
Jawa, melainkan sesudah itu juga para penguasa kolonial Eropa, yang peduli
mengenai seperti apa atau akan menjadi seperti apa kaum Muslim Jawa”.38
Hal yang sama (dan barangkali lebih lagi) bisa dikatakan untuk Sumatra,
108 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
yang (kini) Komisioner Jenderal van Sevenhoven bahkan membuat seruan
langsung kepada orang-orang Dataran Tinggi Padang pada 1833, menyatakan
mereka sebagai sesama monoteis yang telah disesatkan oleh sebagian guru
mereka.39 Bagaimanapun, meskipun negara kolonial mungkin memiliki
pikiran yang samar-samar untuk mengubah atau mengarahkan kembali
pendidikan orang-orang Jawa dan Sumatra, tapi belum cukup peduli untuk
menyebarkan informasi yang dimilikinya mengenai sistem pendidikan yang
ada. Mengumpulkan informasi tampak seperti hal yang lebih baik untuk
dilakukan ketimbang membagikannya. Barangkali penjelasan mengenai hal
ini berada pada kenyataan bahwa para pakar kolonial benar-benar kewalahan
menghadapi limpahan informasi. Mencoba memahami tumpukan bahan
yang baru saja ditambahkan ke perpustakaan mereka sesudah begitu banyak
penaklukan merupakan tugas yang menciutkan nyali.
MEMBUAT PEMAHAMAN KRISTEN TERHADAP PERPUSTAKAAN-
PERPUSTAKAAN RAMPASAN
Belanda dan Inggris menikmati bagian mereka masing-masing dari
kemenangan militer. Namun, terlepas dari harapan yang kuat dan doa-doa
yang dicetak, pengkristenan orang-orang Muslim lokal sangatlah jarang.
Bahkan, “orang-orang kafir” di kawasan ini pun tidak berminat. (Dan,
peruntungan orang-orang Amerika tidak lebih baik. sesudah tujuh tahun
beroperasi, misi Amerika di Singapura hanya bisa mengkristenkan lima orang
Tionghoa sehingga ditutup pada 1843.) Seiring berlalunya waktu, makin
banyak pejabat yang barangkali sampai pada yang sama: muslim
pribumi itu keras kepala, setia kepada ulama-ulama pelawat yang aktif di
kalangan mereka. Seperti sudah kita lihat, para pelawat semacam itu (dan para
pemudik Jawi yang jumlahnya kian banyak) memiliki pengaruh yang makin
menguat terhadap istana-istana di Nusantara. Ini bisa dilihat dari contoh
teks-teks dari beberapa perpustakaan istana yang dirampas sebagai barang
pampasan perang, dari Selangor (1784), Yogyakarta (1812), Bone (1814),
dan Palembang, oleh Inggris pada 1812, dan kemudian diambil kembali
oleh Belanda pada 1821.40 Namun, koleksi-koleksi ini ditambah teks-teks
non-istana, seperti panduan Sufi yang dirampas saat kejatuhan Bonjol, gagal
membuat sebagian orang Eropa yakin terhadap komitmen kaum Muslim
Asia Tenggara terhadap agama mereka. Raffles hanya mengambil beberapa
syair dan teks berbahasa Jawa milik Sultan Badr al-Din dari Palembang. Dia
meninggalkan beberapa besar koleksi berbahasa Arab dan Melayu. Teks-teks
ini juga diabaikan oleh van Sevenhoven dalam perlakuannya terhadap istana
ini , yang dianggapnya tidak punya kesamaan apa pun dengan komunitas
Arab yang bermukim di sana.41
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 109
Raffles dan van Sevenhoven memang bersikap lebih meremehkan,
sementara John Crawfurd (1783–1868) beranggapan bahwa orang-orang
Melayu dikenal sebagai muslim “teladan” namun toleran. Crawfurd menyebut
orang-orang Jawa sebagai “yang paling longgar dalam prinsip dan praktik
mereka”, isebab “sedikitnya hubungan mereka dengan kaum Mohamedan
asing”.42 Namun, seberapa banyak yang benar-benar dia ketahui mengenai
hubungan semacam itu patut diragukan isebab hubungan demikian kerap
terjadi di luar Nusantara, di luar ruang lingkup pengetahuan orang-orang
Eropa. Bagaimanapun, bukti yang ada di hadapan mereka menunjukkan
sebuah pembaruan pendekatan berbasis teks terhadap Islam. Barangkali hal
ini paling jelas didemonstrasikan oleh koleksi rampasan yang paling menarik,
yakni koleksi dari Banten, yang kesultanannya dihapus oleh Raffles pada
1813. Isinya baru akan digambarkan pada 1833–35 oleh B. Schaap.
Schaap, yang belakangan bertugas sebagai Asisten Sekretaris Gubernemen
di Batavia, kebetulan yaitu anggota komite kamus Belanda dan pemilik Hikayat
Maryam wa-‘Isa. Kebetulan ini memberi kita satu lagi contoh bagaimana
minat terhadap linguistik dan penyebaran agama Kristen tumpang tindih di
tingkat dinas. Namun, sekali lagi, para pengkaji Islam hanya bisa kecewa dengan
definisi singkat Schaap, yang menunjukkan terbatasnya minat (atau mungkin
sekadar terbatasnya waktu) bagi perincian-perincian yang lebih halus mengenai
pengetahuan Islam. Dia menggolongkan sebagian koleksi Banten sebagai
berkaitan dengan “bahasa”, “kewajiban-kewajiban”, dan “agama” (pada satu
contoh “lagu-lagu keagamaan atau zikir-zikir”). Namun, jelas bahwa banyak
dari karya yang dihadapinya itu yaitu karya-karya Sufi tingkat lanjut berbahasa
Arab. Barangkali ini menjelaskan mengapa gambaran pertama mengenai koleksi
warga Batavia, yang dibuat oleh pengelolanya, R. Friederich (1817–75),
berkaitan dengan materi berbahasa Arab. Seperti akan kita lihat, prioritas ini
sesuai dengan kewajiban pelajar di pusat pendidikan Delft.
DARI BATAVIA DAN SURAKARTA KE BREDA, DELFT, DAN LEIDEN
Belanda di bawah pimpinan Willem II (berkuasa 1813–40) mengarahkan
berbagai usaha untuk membekali para pejabat kolonial dengan pengetahuan
bahasa Melayu dan Jawa. Jika VOC dahulu mengirimkan para pejabat beserta
keluarga dan percaya bahwa mereka akan mendapatkan posisi yang kuat dan
mempelajari bahasa apa pun yang mereka butuhkan saat mendarat, negara
baru ini pada akhirnya akan memerlukan generasi lelaki muda dan lajang
yang diharapkan mampu menggunakan salah satu bahasa utama Nusantara
sebelum memulai kerja resmi mereka.
Setidaknya begitulah rencananya. Di antara pelopor yang kita sebut
Indonesianis yaitu P.P. Roorda van Eijsinga (1796–1856). Dia dikirim ke
110 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
Jawa sebagai seorang serdadu pada 1819 dan terlibat dalam pengajaran bahasa
Melayu di Batavia, tempat dia juga menyusun sebuah gramatika bahasa itu.
Sementara bagi rekannya yang ahli Jawa, A.D. Cornets de Groot (1804–29)
yang tak berumur panjang, Melayu tidak mesti merupakan bahasa pilihan
bagi mereka yang mulai bertugas di Hindia. Sekolah formal pertama untuk
para pejabat, yang meniru College of Fort William di Kolkata dan mendapat
dorongan dari pemberontakan Diponegoro, didirikan di Surakarta pada 1832
di bawah bimbingan seorang Jerman J.F.C. Gericke (1799–1857), yang sudah
dipekerjakan di Hindia oleh warga Injil Belanda.43
sesudah sebuah permulaan yang ambisius, Gericke meninggalkan
panggung dan digantikan oleh penerjemah keturunan campuran Eropa-Asia
untuk Keraton Solo, C.F. Winter (1799–1859). Catatan-catatan Winter
mewarnai tata bahasa yang muncul belakangan karya Taco Roorda (1801–
79). Sekolah ini harus bekerja keras akibat ketatnya anggaran dan terbatasnya
minat pemerintah sebelum akhirnya ditutup pada 1843 dan digantikan
sekolah pelatihan dinas metropolitan yang didirikan di Delft pada 1842.
Sebagian orang berpandangan bahwa, sesudah berbagai perang untuk
menegaskan dan memperluas kendali Belanda atas Hindia, upaya-upaya
semacam itu terlalu sedikit dan terlambat. Namun, Delft bukanlah tempat
pelatihan pertama di Belanda. Sudah ada pemikiran untuk mendirikan
sebuah sekolah khusus di Leiden, dan Roorda van Eijsinga sudah direkrut ke
Akademi Militer di Breda pada Oktober 1836, tempat dia mulai menggarap
panduan mengenai Hindia yang berjilid-jilid, tapi hanya enam halaman yang
berkaitan dengan praktik Islam di Jawa.44
Sejarawan Belanda Cees Fasseur pernah bercanda bahwa rekrutmen
Roorda van Eijsinga yaitu sebuah contoh Mars (dewa perang Romawi—
Penerj.) yang mengalahkan Minerva (dewi kebijaksanaan Romawi—Penerj.).45
Namun, Mars tidak terlayani dengan baik oleh sang veteran dan dia pun segera
dibarengi oleh seorang muda, P.J. Veth (1814–95), yang karya utamanya
menunjukkan saling hubungan antara iman keagamaan, orientalisme, dan
kadang utilitarianisme kolonial yang tidak menyenangkan. Berangkat dari
kecenderungan untuk mengambil karier klerikal yang dinyatakannya secara
terbuka, Veth memanfaatkan tawaran Roorda van Eijsinga pada 1838 untuk
bekerja sebagai guru bahasa Inggris dan Melayu (meskipun tidak pernah ke
Hindia).
Walaupun tidak pernah bepergian ke Timur, Veth pasti tahu perlunya
mendemonstrasikan pengetahuan mengenai bahasa Arab dan Islam. Ini
dicapai dengan menghasilkan edisi teks Lubb allubab (Inti Segala Inti) karya al-
Suyuti yang diberi pengantar dengan pernyataan bahwa bangsa Melayu tidak
memiliki kesusastraan sebelum mereka mengadopsi Islam.46 Veth tinggal di
Breda selama tiga tahun sebelum pindah untuk mengajar di Atheneum yang
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 111
nahas di Franeker. Dengan Atheneum yang hampir ditutup dan penunjukan
Taco Roorda di Delft, Veth pindah ke Atheneum Amsterdam pada 1843,
tempat dia menyampaikan orasi pembukaannya mengenai “Pentingnya
Praktik Islamologi dan Sejarahnya untuk para Teolog Kristen”.47
Veth tetap merupakan semacam perkecualian (yang terang-terangan)
di Amsterdam saat pekerjaan sebenarnya untuk melatih para pejabat yang
akan dikirim ke Hindia dimulai di Delft pada 1842. Di sana orang-orang
muda dibekali untuk ditempatkan di berbagai pertambangan, perkebunan,
dan kantor klerikal. Sementara Institut Jawa berfokus pada kesusastraan Jawa
sebagai alat utama pejabat modern, di Delft bidang ini menjadi pelajaran
penunjang bagi pelajaran-pelajaran yang lebih praktis seperti mineralogi,
agronomi, dan bacaan fragmentaris mengenai hukum Romawi dan juga
hukum Islam yang berbahasa Arab dan Melayu.
Pada 1844 salah seorang anggota baru staf Delft, Albert Meursinge
(1812–50), yang mempertahankan tesis di Leiden mengenai Tabaqat al-
mufassirin (Generasi-Generasi para Mufasir) karya al-Suyuti, menghasilkan
buku pandangan mengenai hukum Islam yang dimaksudkan untuk
digunakan oleh para pejabat Eropa dan orang-orang pribumi “yang maju”.
Pada hakikatnya buku itu yaitu sebuah edisi dari karya ‘Abd al-Ra’uf,
Mir’at al-tullab, berasal dari manuskrip Leiden yang dibawa dari Gorontalo,
Sulawesi. Penekanan demikian disamai di Breda. Setahun kemudian, J.J.
de Hollander (1817–86), yang menggantikan Roorda van Eijsinga pada
1843, menghasilkan panduannya sendiri mengenai bahasa dan kesusastraan
Melayu, yang disusuli daftar rujukan karya-karya Melayu pada 1856. Dia juga
menerbitkan serangkaian bunga rampai, yang menyertakan Hikayat Jalal al-
Din berdasar edisi terpisah yang dihasilkan oleh Meursinge pada 1847.48
Meski demikian, bahasa Melayu tetap dipandang rendah. Edisi Hikayat
Jalal al-Din oleh de Hollander memuat banyak koreksi yang keliru, semisal
saat kata berbahasa Arab untuk “zakat” (zakat) yang sudah ditulis dengan
benar dipelintir menjadi mirip “rukuk” (rak‘at).49 Asumsinya, orang-orang
Melayu tidak akrab dengan bahasa Arab seperti yang dipelajari di Akademi
Belanda dan bahasa Melayu sama sekali tidak sesuai untuk menangani konsep-
konsep yang rumit. Jan Pijnappel Gzn. (1822–1901), yang direkrut ke Delft
pada 1850, memandang bahasa Melayu sebagai bahasa yang sederhana untuk
pikiran yang sederhana pula. Namun, dia menawarkan sebuah gramatika asal-
asalan bagi bahasa ini untuk mahasiswa tahun kedua dan ketiga isebab
bahasa Melayu “Tinggi” dimasukkan dalam kurikulum mereka.50
Mengingat para pejabat Belanda akan mengambil putusan terhadap
rakyat Muslim, timbul keprihatinan yang nyata mengenai pengajaran hukum
Islam. Ini terlihat dalam penerjemahan Tuhfat al-muhtaj (Anugerah untuk
Orang yang Membutuhkan) karya al-Haytami ke dalam bahasa Jawa, yang
112 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
diterbitkan pada 1853.51 Kali ini editor yang dimaksud yaitu Salomon
Keijzer, yang tiba di Delft sesudah kematian dini Meursinge pada 1850.
Panduan Keijzer didasarkan pada beberapa teks yang disimpan di Belanda dan
Inggris. Teks-teks ini meliputi versi Banten yang dimiliki Taco Roorda,
serta versi yang bersumber dari makalah-makalah mantan Gubernur Pesisir
Timur Laut Jawa. Kumpulan makalah itu diwasiatkan Nicolaus Engelhard
(1761–1831 atau 1750–1832) untuk Institut Kerajaan Bidang Linguistik dan
Antropologi Hindia Belanda (KITLV) yang baru didirikan.52 sesudah kematian
dini Keijzer, Taco Roorda mengubah judul panduan ini menjadi Sebuah
Buku Pegangan Hukum Mohammedan Berbahasa Jawa.53
Buku panduan ini tetap digunakan di kalangan pejabat di Jawa selama
empat dekade berikutnya, bersama panduan Keijzer lain yang dihasilkan pada
1853 dengan meniru upaya Prancis di Aljazair. Dalam karyanya, Handboek
voor het Mohammedaansch regt (Buku Pegangan Hukum Mohammedan), Keijzer
memberikan argumen yang eksplisit bahwa hukum Islam “murni”—yang
dijelaskan dalam terjemahannya atas Tanbih fi l-fiqh (Pengingat Fikih) karya
Ibrahim b. ‘Ali al-Firuzabadi (w. 1083)—harus dipelajari sebelum melihat
“penyimpangan-penyimpangan” apa pun yang muncul dalam berbagai hukum
lokal di Hindia Belanda.54 Barangkali karya terbaik untuk memahami pemikiran
Keijzer atau ketakutannya seputar Islam di Hindia, bisa ditemukan dalam
sebuah koleksi esai yang diterbitkan pada 1860. Di situ dia mengemukakan
pengetahuannya mengenai hukum Islam secara umum, terutama menyangkut
kumpulan teks berbahasa Jawa dan Melayu yang dikopi di Batavia.
Keijzer menegaskan bahwa orang-orang Hindia sama muslimnya seperti
bangsa-bangsa lain. Pembacaan teks-teks Islam dan pemahaman mengenai
haji penting untuk menghadapi orang-orang Hindia ini. sesudah Perang 1857
di India, disusul pembantaian Jeddah pada 1858, kajian Keijzer mengajukan
sebuah tanda tanya besar pada akademi serta kepentingan kolonial yang
diembannya secara eksplisit.55 Pada inti pertanyaan ini terdapat tuduhan
tentang kurangnya pengetahuan mengenai Mekah dan bagaimana persisnya
pengaruh kota itu digunakan. Sebagaimana dia tuliskan:
[D]i mana pun buku-buku [hukum] diringkas, diedit, dan diterjemahkan demi
kepentingan umum, Islam akan menuntut rangsangan baru agar darah bergerak
cepat di seluruh pembuluhnya. Rangsangan semacam itu akan ditemukan dalam
perjalanan haji ke Mekah, yang dari sana daya-hidup dikirimkan ke negeri-
negeri timur yang paling jauh. Dalam arti, Tanah Suci bukan sekadar tempat
kelahiran Islam, melainkan juga dipelihara. Alih-alih, melalui perjalanan haji,
Mekah menjadi landasan ajaran Mohammed disebarkan dan dibesarkan untuk
hampir semua negeri Mohammedan. Dengan demikian, hal ini menunjukkan
bahwa sejauh berkenaan dengan Kepulauan Hindia, patutlah kita seharusnya
mengukur apa arti penting haji bagi wilayah kita.56
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 113
Dalam diskusi selanjutnya, Keijzer mengikuti sebuah peziarahan teoretis
ke Jeddah sebelum berusaha merekonstruksi sisa perjalanan ini dari
karya-karya yurisprudensi yang sangat dia kenal, memberikan terjemahan
dari doa-doa wajib yang diucapkan pada setiap tahapan ritual. Namun,
Keijzer tahu bahwa tuduhannya harus bersandar pada orang seperti halnya
pada pengetahuan mengenai teks. Oleh isebab itu, dia mengajukan alasan
bagi pembuatan sesuatu yang mirip sebuah gereja muslim, dia percaya
bahwa menggunakan gelar yang sangat Arab mengasingkan orang dari
identitas “nasional” mereka. Keijzer memang bukan penyokong ibadah
haji, mendukung aturan pas 1858 yang keras sebagai usaha mengendalikan
fanatisme Mekah. Dia memandang Islam sebagai agama yang meninggalkan
“kegelapannya” terhadap orang-orang, dan para haji sebagai klerus yang
ditugasi memenuhi peti-peti perang.
Terlepas dari sikap fanatiknya, Keijzer tetaplah profetik. Dalam sejarah
Mekah-nya, dia menggambarkan sketsa pergulatan tripartit antara berbagai
kelompok kepentingan klan-klan pendukung Syarif, pemerintah Utsmani,
dan gerakan Ibn ‘Abd al-Wahhab. Dia juga memprediksi jika kaum Syarif
atau Wahhabiyyah yang berhasil unggul, guncangan susulannya pasti akan
terasa di “Hindia kita”. Namun, yang barangkali lebih mengejutkan bagi
pembaca modern yaitu posisi yang diambil oleh Keijzer dalam kaitannya
dengan faksi-faksi ini. Di satu sisi, dia tidak punya apa pun selain rasa jijik
terhadap orang-orang Turki yang “menyimpang” dan kaum Syarif yang
dikukuhkan oleh Muhammad ‘Ali “sang pengkhianat”. Di sisi lain, dia
mengungkapkan persetujuan terhadap Ibn ‘Abd al-Wahhab. Menurutnya,
al-Wahhab yaitu seorang terpelajar yang membawa orang lebih memahami
Tuhan dan memberantas banyak “praktik yang tidak manusiawi”, mengubah
Kota Dir’iyya menjadi “Jenewa-nya Mohammedanisme Protestan”. Dia juga
bertanya-tanya apakah ada sesuatu dalam pandangan umum bahwa kaum
Padri Sumatra terinspirasi oleh gerakan ini.57
Keijzer bukanlah satu-satunya Orientalis yang memiliki pandangan
semacam ini. Cendekiawan Prancis, Garcin de Tassy (1794–1878) menyesal
harus sampai pada yang sama pada 1830-an.58 Meski demikian,
G.K. Niemann (1823–1905), Subdirektur Lembaga Pelatihan warga
Injil Belanda di Rotterdam, menerbitkan sebuah panduan mengenai Islam
yang kontennya mengulangi banyak hal yang telah disampaikan Keijzer.
Niemann melakukannya dengan pembahasan yang kurang tegas mengenai
kaum Wahhabi sebagai pembaharu. Dia juga mengajukan keraguan mengenai
“kisah umum” tentang kaum Padri berada di bawah pengaruh Wahhabi,
dengan menegaskan bahwa asal usul mereka jauh lebih kabur.59
Bagaimanapun, semua ini menjadi tidak berarti pada 1860-an saat
baik gerakan Wahhabi maupun Padri benar-benar lumpuh, Keijzer mendesak
114 — KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN
Belanda untuk meniru Inggris mendirikan konsuler di Hijaz untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya “para pendeta” yang mengenakan pakaian
“orang-orang Arab pemenang” di Jawa bisa hidup dengan dibiayai oleh sisa
populasi. Meskipun menyesali ketidaktahuan dan ketidakmampuan begitu
banyak cendekiawan Belanda terdahulu yang mengamati Islam di Nusantara,
dua tahun kemudian Keijzer menerbitkan ulang magnum opus Valentijn
dengan sedikit atau tanpa komentar editorial.60
Beragam sekolah pelatihan bukanlah satu-satunya situs di metropolis
yang berkepentingan terhadap Hindia Belanda yang berkembang. Pada 1851
KITLV didirikan di Delft. Sejak 1853 KITLV menerbitkan jurnalnya sendiri,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (BKI).
Meskipun terbitan berkala ini merupakan corong pertama yang sejalan dengan
Delft dan rezim konservatif yang bertanggung jawab atas kelangsungan Tanam
Paksa, tawaran akademiknya mengenai Islam sama sekali tidak berbeda dari
muatan yang diklaim lebih liberal dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indië
(TNI) yang didirikan di Batavia oleh W.R. van Hoëvell; atau terbitan yang
saat itu masih bergengsi, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
(TBG), tempat dia juga memiliki pengaruh.
Pernah dinyatakan bahwa produk pendidikan Delft di tangan para guru
seperti Roorda dan Keijzer, yang sama-sama tidak punya pengalaman langsung
mengenai Hindia dan kepedulian apa pun terhadap jangkauan pengetahuan
di bawah kesusastraan Jawa “tinggi” serta hukum Arab “murni”, umumnya
merupakan lulusan yang tidak banyak dibekali pengetahuan praktis mengenai
lapangan tugasnya pada masa depan. Kesiapan para lulusan itu untuk
menggunakan bahasa Jawa dan Melayu dalam percakapan sehari-hari dengan
orang-orang Indonesia kira-kira sama seperti kesiapan untuk menggunakan
bahasa Arab saat melaksanakan haji. Delft tentu saja punya pencela, baik
di dalam negeri maupun di Hindia. Akademi selalu mendapatkan ancaman
penutupan seiring berlalunya dekade demi dekade. Pada akhirnya, ada juga
gerai-gerai pesaing yang melatih siswa untuk menghadapi ujian dinas Hindia.
Pada 1864 rezim Liberal baru memindahkan KITLV ke Den Haag dan
menurunkan Delft menjadi sekolah persiapan serta mendirikan Institut Negeri
untuk melatih para pejabat Hindia di Leiden. Keduanya hidup berdampingan,
namun bukan di dalam. Universitas yang keramat dan baru menawarkan kuliah
Bahasa-Bahasa Indonesia pada 1871. Koleksi perpustakaannya dibangun di
sekitar manuskrip-manuskrip yang dikumpulkan oleh Cornets de Groot.
Komite yang mengemukakan alasan bagi pendirian institut di Leiden
meliputi Roorda dan cendekiawan terkenal, Veth, yang kemudian menjadi
stafnya. Namun, kemampuan mengajar Veth dan keterampilan linguistiknya
yang setengah-setengah tidak selalu dihargai oleh para tokoh Leiden. Sang
Arabis yang tengah naik daun, Reinhardt Dozy (1820–83), mengkritik orasi
REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN — 115
Veth mengenai pendidikan Islam yang disampaikan di Franeker. Tak gentar,
Veth tetap bertahan. Dengan beberapa artikel di De Gids, dia berhasil muncul
sebagai ensiklopedis utama mengenai Hindia. Selain itu, Veth yaitu anggota
pendiri KITLV, meski dia pindah untuk mendirikan warga Hindia (IG)
yang lebih liberal pada 1854. Dia juga berada di belakang publikasi berbagai
laporan para pejabat Hindia, seperti laporan Ridder de Stuers mengenai Sumatra
serta terjemahan van Höevell atas teks Jalal al-Din. Dalam pengantarnya, Veth
bahkan tampaknya yaitu orang pertama yang menjabarkan spekulasi Raffles
pada 1822 mengenai kesamaan Wahhabi-Padri.61
Veth dikenal isebab menerbitkan berbagai kontribusi dari beberapa
orang yang mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh Delft seperti Roorda
dan sang pakar Melayu, Pijnappel. Keduanya bergabung dengan Veth di
Leiden. Keijzer yang ragu-ragu ditinggalkan dan menjadi direktur di Delft di
bawah perlindungan dewan kota, menggantikan Roorda yang digaji terlalu
besar. Meskipun pendekatannya diklaim humanis, hanya sedikit yang terbukti
bersemangat mengikuti kuliah-kuliah Veth mengenai Islam dan etnografi
Hindia, atau kelas-kelas bahasa Melayu oleh Pijnappel yang meremehkan.
Akan namun , terlepas dari persaingan antarkota ini , perbedaan
akademis antara staf masing-masing lembaga tidak terlalu mendalam. Bisa
dikatakan bahwa, dalam kaitannya dengan Islam, terdapat sejenis konsensus
metropolitan yang terentang dari akademi hingga sekolah-sekolah pelatihan.
Misal