itorial bukan milik kelompok ini dan kelompok itu, yang dalam proses mendapatkannya memaksa jutaan penduduk
asli menanggung keberadaan yang mengenaskan sebagai pengungsi. Saat itu,
segala upaya sekularisasi agama Kristen dan Yahudi guna mengubah mereka
menjadi lambangJambang yang diambil dari luar dalam kehidupan sehari-hari,
telah mengalami sedikit kemajuan. Akan tetapi, keinginan hendak melenyapkan Tuhan, agama, dan sejarah dari jirva kaum Muslimin hanya membuahkan
tantangan yang lebih besar: bahkan ketika proses sekularisasi mulai menapak
jalan masuk, kaum Muslimin tidak dapat menoleransi pihak Israel. Keberhasilan dalam bidang ini, sekarang ditujukan untuk membuktikan bahwa
seluruh referensi mengenai orang-orang Yahudi atau Palestina yang ada dalam
teks-teks Islam adalah palsu,s7 sekaligus mengikuti jejak Perjanjian Barus8dalam menyikat bersih semua ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur'dn yang
d i li hat seb agai anti - S emit.
Sepanjang kaum Muslimin berpegang teguh dengan Al-Qur'dn sebagai
Kalam Allah yang tak mungkin diubah, isu pembersihan tetap di luar jangkauan mereka; dalam hal ini Wansbrough memperagakan "bukti" bahwa AlQur'dn yang ada sekarang ini bukan lagi semata-mata"karyatulis Mu[rammad",
tetapi karya banyak komunitas yang terpencar-pencar di seluruh dunia Islam
yang membangun teks itu sekitar dua ratus tahun lebih.se Mengutip Humphreys:
Wansbrough berharap bisa menetapkan dua poin utama:
- Kitab suci Islam - bukan hanya hadith, bahkan Al-Qur'5n itu sendiri -
dihasilkan oleh sebab kontroversi mazhab yang memakan waktu lebih
dari dua abad, yang kemudian secara fiktif ditarik pada satu titik asal
penciptaan oleh bangsa Arab.
- Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, dibentuk atas prototype kependetaan Yahudi.60
Untuk hal in, dapat kita tambahkan tentang karya kontemporer Yehude
Nevo dan J. Koren yang menerapkan pendekatan revisionis dalam studi Islam
dengan hasil-hasil yang mengejutkan. Ketika menerangkan survey arkeologi
Jordan dan Semenanjung Arabia, mereka mengatakan bahwa walaupun peninggalan-peninggalan peradaban Hellenistik, Nabatean, Romawi dan Bizantin
telah ditemukan, tidak ada indikasi bahwa budaya Arab setempat pada abad ke-
6 dan awal abad ke-7 Masehi telah terwujud.
Secara khusus, wilayah penyembahan berhala Jahiliah pada abad ke
enam dan ke tujuh, dan tempat-tempat suci orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh sumber-sumber Islam tidak ditemui di Hijaz
[bagian barat Arab] dan di tempat-tempat lain yang diteliti....Lagi pula,
hasil penemuan arkeologi mengungkap bahwa tidak ada bekas-bekas
kependudukan Yahudi di Madinah, Khaybar atau Wadi al-Quna. Duapoin itu berlainan sekali dengan keterangan sumber-sumber literatur
Islam mengenai komposisi demografi Hijaz sebelum Islam.6r
Koren dan Nevo juga beranggapan bahwa, sebaliknya, bukti yang melimpah tentang penyembahan berhala terdapat di Najaf Tengah (sebelah utara
Palestina), satu wilayah yang tidak disebut dalam sumber-sumber Islam. Penggalian tempat-tempat suci menunjukkan bahwa penyembahan berhala masih
ada dijalankan sehingga awal kekuasaan pemerintahan Abbasiyah (pertengahan abad ke delapan Masehi), yang di beberapa wilayah Najaf masih mempertahankan identitas keberhalaan pada permulaan 150 tahun zaman keislaman.
Tempat-tempat suci tersebut dan juga topografi yang terdapat di sekelilingnya,
betul-betul sifatnya analogi (mereka menuduh) berlandaskan penjelasan
penyembahan berhala di Hijaz seperti dikutip oleh sumber-sumber Muslim.
Jadi bukti arkeologi menunjukkan bahwa tempat-tempat suci berhala
seperti ditegaskan dalam sumber-sumber umat Islam tidak terdapat pada
masa jahiliah di Hijaz, melainkan tempat-tempat suci yang benar-benar
menyerupainya terdapat di Najaf Tengah seketika setelah dinasti
Abbasiyah berkuasa. Hal ini, pada gilirannya, menunjukkan bahwa
semua ceita mengenai agama Jahiliah di Hijaz dapat diproyeksikan
kembali dengan baik tentang satu keberhalaan yang sebenamya dapat
dilacak dari periode kemudian dan dari wilayah lain.6z
Jika kita terima pernyataan Koren dan Nevo, bahwa tidak terdapat bukti
permukiman Yahudi di Hijaz di zaman Nabi Muhammad saw, hasil yang logis
adalah menafikan semua ayat-ayat Al-Qur'dn mengenai Yahudi, karena hal itu
tidak mungkin "dikarang" oleh Muhammad. Jadi masyarakat Islam, katanya,
telah menambah pada masa berikutnya yang kemudian disebut sebagai AlQur'dn; mengembalikan Kitab itu kepada bentuk 'aslinya' (yang menurut
mereka merupakan tulisan Muhammad) memerlukan penghapusan secara tepat
terhadap pemalsuan dan ayat-ayat yang bersifat anti-Semit. Dan, jika kita
percaya bahwa keberhalaan pra-jahiliah seperti ditegaskan dalam Al-Qur'dn
dan Sunnah sebagai proyeksi ke belakang yang bersifat fiktiftentang budaya
yang berkembang di sebelah utara Palestina, maka dengan memperluas figure
Muhammad semakin dipertanyakan. Memproyeksikan kembali, barangkali,
dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan kuno tentang keberadaan
pendeta Yahudi di Palestina, yang menjadikan ulasan Koren dan Nevo persis
sama dengan teori Wansbrough. Dengan cara demikian, kaum Muslimin jadi
berutang terhadap jasa baik agama Yahudi karena menyajikan dasar-dasar yang
fiktif bagi identitas dan sejarah asal-usul mereka yang, pada gilirannya, juga
berfungsi sebagai motivasi seterusnya dalam memusnahkan ayat-ayat AlQur'an yang mencaci maki perilaku orang-orang Yahudi.
5. Kesimpulan
Kebanyakan negara-negara Islam di sekitar Israel telah diperingatkan
akan pentingnya mengubah kurikulum sekolah guna melenyapkan beberapa
poin yang dapat meredam rasa benci terhadap orang-orang Yahudi.63 Namun,
Al-Qur'dn tetap menjadi kendala tujuan ini: sebuah kita suci yang selalu
menegaskan mental kepala batu dan tabiat pelanggaran orang-orang Yahudi, di
mana ayat-ayat mengenai mereka membasahi bibir anak-anak sekolah, bacaan
sewaktu shalat berjamaah di masjid-masjid, rasa kesal orang-orang Islam sewaktu membaca Muglraf di waktu malam mengenai perilaku buruk yang hampir
menjamah semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, memahami motivasi yang
mendorong melakukan kajian Al-Qur'6n dewasa dianggap suatu kemestian,
dengan harapan hasil kajian itu, dapat menyelamatkan para pembaca untuk
tidak terperangkap secara tidak sadar.
Kajian Strugnell dan Delitzsch mengenai tema-tema Yahudi, sudah
dianggap banci karena tuduhan-tuduhan anti-semitisme. Israel Antiquity
Department mempertimbangkan kualifikasi itu berdasarkan visi yang sesuai
dengan ideologinya. Namun sebaliknya, setiap orang Kristen, Yahudi, dan
Ateis yang terlibat dalam penipuan disengaja serta merendahkan berbagai ketentuan, keindahan, sejarah, dan masa depan prospek Islam diizinkan menyebut
dirinya seorang syekh, agar kaum Muslimin percaya akan kejujuran dan mau
menerima penemuan-penemuannya. Pendapat ini tentunya tidak dapat diberi
pembelaan. Mengapa penolakan akademis yang mereka lakukan terhadap
orang-orang yang anti-Semitff tidak dapat diterapkan terhadap mereka yang
merusak Islam dengan agenda terselubung? Mengapa ilmuwan non-Muslim
harus dianggap sebagai pemegang otoritas guna mengesktradisi ilmuwan
Muslim yang mengamalkan ajaran agama mereka? Mengapa para tokoh gereja
seperti Mingana, Guillaume, Watt, Anderson, Lammanse, dan masih banyak
lagi yang tidak mengharap sesuatu kecuali ingin melihat agama mereka mampu
menutupi sinar Islam yang harus dijadikan standar penelitian yang katanya
"tidak memihak"? Apa perlunya menganggap Muir sebagai pemegang otoritas
dalam sirah Nabi Muhammad, sementara ia menganggap Al-Qur'dn sebagai
"musuh Peradaban, Kebebasan, dan Kebenaran yang tak kenal kompromi di
mana Dunia belum mengetahuiny a?"
Siapa saja yang hendak menulis perihal Islam, hendaknya terlebih dahulu
dia menarik sebuah keputusan percaya bahwa Muhammad adalah seorang
Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa beliau benar-benar seorang Rasul
dan yang paling mulia di antara para nabi, mereka bakal menikmati kepustakaan l.radith yang mengagumkan dan wahyu ketuhanan yang dapat dijadikan
sebagai sumber inspirasi. Secara pasti mereka akan menemukan banyak kesamaan, bahkan sepenuhnya cocok dengan berbagai masalah yang sangat mendasar. Adapun perbedaan-perbedaan kecil yang muncul karena perubahan
keadaan, hal ini dapat dianggap sebagai suatu yang alami dan kemanusiaan.
Bagi mereka yang menolak pandangan ini, akibatnya mereka melihatnya
(Muhammad) sebagai penipu majnun atau pendusta yang mengaku-ngaku jadi
nabi. Hal ini merupakan refleksi sikap yang diambil oleh semua ilmuwan nonMuslim, di mana upaya yang mereka lakukan perlu dipilah-pilah:jika mereka
tidak mau membuktikan ketidakjujuran Mul.rammad atau kesalahan Al-Qur'6n,
apakah yang menjadi penghalang bagi mereka untuk menerima Islam?
Dalam urusan keislaman, penelitian dunia Barat telah mengalami kemajuan dari sekadar subjektivitas kepada pemunculan dogma anti ajaran Islam.
Pandangan ini berasal dari peristiwa masa lalu: persaingan agama yang sengit,
abad-abad Perang Salib, penjajahan tanah air kaum Muslimin, dan kebanggaan
penjajahan yang berubah menjadi penghinaan terang-terangan terhadap adat
istiadat, kepercayaan, dan sejarah kaum Muslimin. Untuk hal ini, kita dapat
menambahkan motif-motif baru juga: penanaman paham sekuler untuk menopang asimilasi Yahudi secara global dan menjamin kesatuan tanah Israel.
Sejalan dengan garis keturunan nenek moyang, usaha-usaha mereka akan terus
berjalan, melalui penyerangan terhadap Al-Qur'6n dan menudingnya sebagai
hasil karya masyarakat, seperti leluhur mereka membuat istilah yang mencerahkan 'Muhammadans' di mana seolah-olah kaum Muslimin sujud di depan
berhala emas yang diberi nama demikian.
Kata-kata mutiara Ibn Sirin (w. 110 H.) dirasa lebih diperlukan saat ini
ketimbang waktu sebelumnya:
Ilmu ini [mengenai agama] menjelma atau merupakan keimanan, dari itu,
berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu.
Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan Islam-baik AlQur'6n, tafsir, [radith, fiqih, sejarah,...dll.-hendaknya hanya tulisan kaum
Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak diperhatikan.
Hal ini, akan diterima maupun tidak, tergantung pada jasa dan kebaikan
mereka.2 Tetapi untuk para individu yang jelas berasal dari luar komunitas
Muslim, motif mereka terselubung di balik sikap dusta yang dipoles dengan
istilah kejujuran, di mana kita hanya dapat melayani mereka dengan sikap
antipati. Kita tidak boleh menganggap mereka sebagai syekfi Islam,3 dan kita
tidak dapat menerima anggapan mereka tentang gelar itu.
Dalam liputan pers tentang tuduhan Presiden Clinton beberapa tahun
yang lalu, saya tidak pernah mendengar seorang pemain tenis ataupun pengkritik dunia seni (teater) yang diminta keterangan tentang pendapat hukum
terhadap masalah tersebut, kendati naskah Undang-undang Dasar Amerika
Serikat mudah didapat bagi semua yang berminat baca. Diskusi tentang hukum
tentunya hanya terbatas di kalangan pakar bidang tersebut, guru besar undangundang, dan lain-lain. Para guru besar dari tempat lain tidak dibenarkan berpartisipasi, karena hal itu merupakan penentuan nasib masa depan internal
negara Amerika Serikat. Malangnya, hal ini tidak seperti perlakuan mereka
terhadap Islam. Bolehkah seorang komentator film-setelah membaca Undangundang Dasar dan mendengar ucapan para pengacara dalam liputan surat
kabar-memiliki pandangan hukum setaraf dengan pandangan para ilmuwan?
Tidak, namun ada orang di luar bidang akademik tertentu, seperti Toby Lester,
menyuarakan pendapat dalam berbagai tulisan yang kemudian dielu-elukan
menempati kedudukan yang sederajat dengan para ilmuwan. Adakah seorang
guru besar hukum kebangsaan Jerman memiliki pengaruh untuk muncul di
layar TV dan memberi instruksi pada orang-orang Amerika bagaimana men-
jalankan sistem perundang-undangan? Tidak, namun para ilmuwan Barat
malah merasa berkewajiban menekan kaum Muslimin bagaimana menafsirkan
agama mereka.
Allah akan tetap agung, baik kita hidup di abad pertama, dua puluh satu,
atau di abad akhir zaman, siapa yang berniat untuk menjatuhkan-Nya, walau
merasa yakin dapat melakukan, hanya akan memusnahkan diri sendiri tanpa
dapat menyentuh satu serat rambut dari Keagungan-Nya. Tidak ada satu orang
pun yang boleh dipaksa untuk memercayai kesucian Al-Qur'6n; manusia harus
menentukan jalan sendiri karena mereka yang bakal menanggung risiko apa
yang mereka lakukan di kemudian hari. Namun dalam hidup ini, tak dibenarkan
orang luar menyeru kaum Muslimin dan membuat ketentuan hukum mengenai
agama mereka. Hanya para ilmuwan Muslim yang pendapatrrya pantas
didengar. Jika hal ini tidak dianggap penting saat ini, maka komunitas Muslim
harus siap menerima caci-maki di masa depan.
Kita hidup dizaman yang serbakritis, dan kemungkinan zaman serbasulit
akan terus melaju: hanya Allah Yang Mahatahu. Satu atau dua dasawarsa yang
lalu, kecenderungan ilmuwan Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan
semua ayat-ayat Al-Qur'dn mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasakan melompat terlalu jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada
sekarang, kita sedang dikepung oleh badai angin ribut yang mengerikan. Apa
yang dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka melakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah mereka
membuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur tangan pihak
Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem auditing pembubaran fiembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara terang-terangan minta
agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'dn tentang seruan jihad atau semua yang
membuat panas telinga orang-orang Yahudi dan Kristen; pengusiran tokohtokoh gurem yang berbau kearaban (tidak perlu saya sebut di sini, karena tidak
layak dipublikasikan); menuduh Islam dengan sebutan yang tak ada satu
makhluk Muslim mengatakan sebelumnya; adanya "pakar terorisme" yang
muncul dalam media internasional untuk mengumumkan keputusan mereka
mengenai teks-teks Islam; pemerintah sekuler Turki dilihat sebagai kelompok
ideal yang perlu dicontoh, sementara pemerintah yang konservatif diproyeksikan sebagai ancaman yang akan mendekati kenyataan. Dalam semua tataran,
kini Al-Qur'dn sedang mendapat serangan yang tak pernah terlintas di benak
pikiran kita sebelumnya.
Apa yang bakal terjadi selanjutnya merupakan misteri dalam genggaman
Allah, namun sekurang-kurangnya yang perlu kita lakukan adalah memahami
prinsip-prinsip agama kita yang tidak mungkin dapat diubah oleh peredaran
zaman. Di atas segalanya, kita harus menjadikan Al-Qur'an sebagai referensikita. Bagian teks mana pun yang mungkin berlainan dengan Mughaf yang ada,
terserah apa yang hendak mereka sebutkan, adalah bukan dan tidak akan
menjadi bagian dari Al-Qur'6n. Demikian halnya, segala upaya dari pihak nonMuslim yang ingin mencekoki pikiran tentang dasar-dasar ajaran dan
legitimasi agamakita, mesti kita tolak tanpa harus berpikir panjang. Bagaimana
pun keadaan suhu politik, pandangan kaum Muslimin terhadap Kitab Suci ini
mesti tetap tak akan tergoyahkan: ia adalah Kalam Allah, yang konstan, terpelihara dari kesalahan, tak mungkin dapat diubah, dan mukjizat yang tak
mungkin direkayasa.
Tamim ad-Ddri meriwayatkan bahwa saya mendengar Nabi bersabda,
"[Agama ini] akan sampai pada apa yang dapat dicapai oleh siang dan
malam, dan Ailah tidak akan meninggalkan sebuah rumah apa pun, baik
ituterbuat dari tanah ataubuluhewan [yaitu di kota atau di desa] sehingga
AIIah memasukkan agama ini ke dalamnya, baik melalui kebesaran
orung-orung yang mulia ataupun melalui ketendahan orang yang dipandang rendah. Begitulah, Allah akan memberi karunia terhadap Islam,
dan Allah akan merendahkannya disebabkan kekufuran."a
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempumakan cahaya-Nya, walaupun orung-orung kafir tidak menyukai.
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk AlQur'an dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala
agama, walaupun orung-orang musyrik tidak menyukai.s