terungkap pengakuan bahwa Ia akan di-
jadikan korban demi kebaikan seluruh bangsa. Bukan se-
kadar bahwa Ia harus mati, namun dikatakan lebih berguna.
3. Persetujuan Hanas terhadap penganiayaan Kristus. Ia men-
jadikan dirinya sebagai orang yang turut mengambil bagian
dalam kesalahan ini,
(1) Bersama para perwira pasukan dan penjaga-penjaga Bait
Allah yang tanpa dasar hukum atau belas kasihan telah
membelenggu Yesus. Ia menyetujui hal itu dengan mem-
biarkan Yesus tetap terikat saat seharusnya ia melepas-
kan ikatan itu, sebab Yesus tidak dinyatakan bersalah da-
lam kejahatan apa pun, juga tidak berusaha melarikan diri.
Jika kita tidak melakukan apa yang sebenarnya dapat kita
lakukan untuk membatalkan apa yang salah dilakukan
orang, maka kita menjadi pembantu pelaku kejahatan itu
ex post facto – secara retroaktif (terlibat sesudah peristiwa itu
terjadi). Para prajurit yang kasar itu masih lebih dapat di-
maafkan dalam tindakan mengikat Dia daripada Hanas,
yang seharusnya lebih tahu namun tetap membiarkan Yesus
dalam keadaan terikat.
(2) Bersama imam kepala dan Mahkamah Agama yang telah
menghukum Kristus dan menganiaya Dia sampai mati.
Hanas memang tidak hadir bersama mereka, namun dia
sungguh mengharapkan keberhasilan mereka, dan turut
mengambil bagian dalam perbuatan mereka yang jahat.
III. Di istana Kayafas, Simon Petrus mulai menyangkal Gurunya (ay.
15-18).
1. Dengan susah payah Petrus berhasil masuk ke halaman tem-
pat pengadilan itu diselenggarakan, seperti yang dicatat dalam
ayat 15-16.
Di sini kita dapat mengamati:
(1) Kebaikan hati Petrus kepada Kristus, yang (meskipun ak-
hirnya terbukti bukan kebaikan hati) dapat dilihat dalam
dua hal:
[1] Bahwa ia mengikuti Yesus saat Ia dibawa pergi. Meski-
pun pada mulanya ia melarikan diri bersama murid-
murid lainnya, ia kemudian berusaha sedikit membera-
nikan diri dan tetap mengikuti Dia dari jarak tertentu.
Ia teringat akan janji yang pernah ia buat untuk tetap
tinggal bersama-Nya, berapa pun harga yang harus di-
bayar. Mereka yang telah mengikuti Kristus di saat-saat
saat Dia dihormati dan ikut menikmati penghormatan
itu pada saat banyak orang bersorak “Hosana” bagi Dia,
seharusnya juga tetap mengikuti Dia di saat-saat saat
Dia dihina dan turut mengambil bagian bersama-Nya
dalam semua penghinaan ini. Mereka yang sungguh-
sungguh mengasihi dan menghormati Kristus akan
mengikuti Dia dalam segala keadaan dari awal sampai
akhir.
[2] saat ia tidak dapat masuk ke tempat Yesus yang se-
dang dikelilingi musuh-musuh-Nya, ia tinggal di luar
dekat pintu, berusaha sedekat mungkin dengan-Nya
serta menunggu kesempatan untuk dapat lebih mende-
kat. Demikianlah, bila menghadapi perlawanan saat
mengiringi Kristus, kita harus menunjukkan kesetiaan
atas janji kita. Walaupun begitu, kebaikan hati Petrus
untuk terus mengikuti Kristus ini pun bukanlah ke-
baikan yang sebenarnya, sebab ia tidak memiliki cu-
kup kekuatan dan keberanian untuk tetap setia. Seperti
yang terbukti, ia malah masuk perangkap. Bahkan tin-
dakannya untuk mengikuti Kristus ini, kalau kita per-
timbangkan dari semua segi, pantas untuk disalahkan,
sebab Kristus, yang mengenal dia lebih baik daripada
dia mengenal dirinya sendiri, telah menyampaikan
kepadanya (13:36), “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak
dapat mengikuti Aku sekarang.” Kristus juga telah me-
ngatakan kepadanya berulang kali bahwa ia akan me-
nyangkali Kristus. Selain itu, belum lama berselang ia
sendiri sudah menyaksikan kelemahan dirinya dalam
hal meninggalkan Dia. Perhatikanlah, kita harus ber-
hati-hati agar tidak mencobai Allah dengan menghadapi
kesulitan yang melampaui kekuatan kita dan berusaha
terlampau jauh dalam menempuh jalan penderitaan.
jika panggilan kita cukup jelas untuk mengorban-
kan diri, kita dapat berharap bahwa Allah akan me-
mampukan kita untuk menghormati Dia dalam penderi-
taan itu. Namun, seandainya tidak demikian, maka kita
patut merasa khawatir bahwa Allah akan membiarkan
kita mempermalukan diri kita sendiri.
(2) Kebaikan hati murid yang lain (yang pergi bersama Petrus)
terhadap Petrus juga terbukti bukan kebaikan yang se-
sungguhnya. Berulang kali Rasul Yohanes berbicara dalam
Injil ini tentang dirinya sendiri dengan menggunakan istilah
murid yang lain. sebab itu, banyak penafsir tergerak un-
tuk menafsirkan bahwa murid lain yang ditulis di sini ada-
lah Yohanes. Ada banyak dugaan yang dikemukakan para
penafsir ini bagaimana Yohanes bisa begitu dikenal oleh
Imam Besar. Propter generis nobilitatem – terlahir dari ke-
luarga terhormat, kata Jerome [bapa gereja abad keempat,
dalam Epitaph Marcel – ed.], seolah-olah ia terlahir sebagai
pria terhormat yang lebih baik daripada Yakobus, saudara-
nya, padahal keduanya yaitu anak-anak Zebedeus, se-
orang nelayan. Adapula yang mengatakan bahwa ia telah
menjual hartanya kepada Imam Besar. Yang lain lagi me-
ngatakan bahwa ia menyediakan kebutuhan ikan bagi
keluarga Imam Besar ini. Kedua pendapat ini sangat mus-
tahil. Kalau saya sendiri, saya tidak melihat alasan untuk
berpendapat bahwa murid yang lain ini yaitu Yohanes
atau salah satu dari kedua belas murid. Boleh jadi orang
itu yaitu domba Kristus yang lain, yang tidak terhitung
dalam kelompok kedua belas murid, seperti yang tertulis
dalam Alkitab bahasa Aram, unus ex discipulis aliis – salah
seorang dari murid-murid yang lain yang percaya kepada
Kristus, namun tinggal di Yerusalem dan tetap tinggal di
sana. Mungkin orang itu yaitu Yusuf orang Arimatea atau
Nikodemus yang dikenal oleh Imam Besar namun yang tidak
ia ketahui sebagai murid-murid Kristus. Perhatikanlah,
sama seperti ada banyak orang yang tampak seperti murid
padahal bukan, demikian pula ada banyak orang yang me-
mang murid, namun tampaknya bukan. Ada banyak orang
baik yang bersembunyi di dalam istana-istana, bahkan di
istana Nero sekalipun, serta juga di dalam kerumunan
orang. Kita tidak boleh menyimpulkan seseorang sebagai
musuh Kristus hanya sebab ia kenal dan bergaul dengan
musuh-musuh-Nya.
Sekarang:
[1] Murid yang lain ini, siapa pun dia, menunjukkan rasa
hormat kepada Petrus dengan memasukkan dia ke da-
lam istana Imam Besar. Bukan sekadar untuk memuas-
kan rasa ingin tahu dan kasih sayangnya, namun juga
untuk memberi kesempatan agar dia dapat berguna
bagi Gurunya dalam persidangan ini, bila keadaan me-
mungkinkan. Mereka yang sungguh-sungguh mengasihi
Kristus dan jalan-jalan-Nya, meskipun harus banyak
menahan diri dan diliputi perasaan was-was dan putus
asa, namun jika memiliki iman yang tulus, mereka akan
menemukan jalan yang merupakan panggilan bagi me-
reka dan mereka akan siap untuk melakukan perbuat-
an baik sebagai seorang murid. Boleh jadi Petrus per-
nah memperkenalkan murid ini untuk bercakap-cakap
dengan Kristus, dan kini murid ini pun membalas
kebaikan hati Petrus dan tidak malu untuk mengakui
dia, meskipun saat ini tampaknya keadaan Petrus sung-
guh mengenaskan.
[2] Namun, kebaikan ini terbukti tidaklah membawa ke-
baikan, sebaliknya malah membawa bencana. Sebab
dengan membiarkan Petrus masuk ke dalam halaman
istana Imam Besar, ia membiarkan Petrus masuk ke da-
lam pencobaan, dan akibatnya sungguh buruk. Perhati-
kanlah, kebaikan hati para sahabat kita sering kali jus-
tru terbukti menjadi perangkap bagi kita, dan ini terjadi
bila kebaikan itu dilandasi dengan rasa sayang yang
salah arah.
2. sesudah berhasil masuk, Petrus langsung diserang dan dika-
lahkan oleh pencobaan (ay. 17).
Amatilah hal-hal berikut ini:
(1) Betapa remehnya serangan yang dilancarkan. Serangan itu
dilakukan melalui seorang hamba perempuan dungu yang
hanya diberi tanggung jawab sederhana untuk menjaga
pintu. Perempuan ini menantang Petrus dengan mengaju-
kan pertanyaan yang dilontarkan asal-asalan, “Bukankah
engkau juga murid orang itu?” Mungkin ia merasa curiga
dengan penampilan Petrus yang takut-takut dan masuk
dengan hati-hati. Sering kali kita perlu menjaga alasan
yang baik jika mempunyai niat hati yang baik, sehingga
dapat menampilkan wajah yang baik pula. Cukup beralasan
bagi Petrus untuk takut seandainya yang mengancam itu
Malkhus dan berkata, “Inilah dia yang memotong telingaku,
untuk itu aku akan memenggal kepalanya.” Namun, bila
itu hanya seorang hamba perempuan yang sekadar berta-
nya, Bukankah engkau juga murid orang itu?, seharusnya
Petrus dapat menjawab tanpa takut-takut, Memangnya ke-
napa kalau aku memang murid-Nya? Seandainya para ham-
ba itu mempermalukan dia dan memperolok-oloknya kare-
na Yesus, maka pasti dia tidak akan dapat menanggung-
nya, sebab orang-orang yang hanya sanggup menanggung
sedikit bagi Kristus tidak akan dapat menanggung beban
ini. Ini ibarat orang yang merasa lelah hanya sebab berlari
dengan orang yang berjalan kaki.
(2) Betapa cepatnya ia menyerah pada pencobaan. Tanpa ber-
pikir panjang lagi, ia langsung menjawab, bukan. Kalau
saja ia memiliki keberanian seekor singa, mungkin ia akan
berkata, “Menjadi kehormatanku bahwa aku memang mu-
rid-Nya.” Atau jika ia cukup cerdik seperti seekor ular, ia
akan diam saja pada saat itu, sebab waktu itu yaitu
waktu yang jahat. namun yang ia pedulikan hanyalah kese-
lamatan dirinya. Ia berpikir bahwa ia tidak dapat melin-
dungi diri selain dengan menyangkal secara tegas, bukan.
Dia bukan saja menyangkal, namun bahkan meremehkan
dan mencela kata-kata perempuan itu.
(3) Ia masuk lebih jauh lagi ke dalam pencobaan itu. Semen-
tara itu hamba-hamba dan penjaga-penjaga Bait Allah ber-
diri berdiang di situ, dan Petrus juga berdiri berdiang ber-
sama-sama mereka (ay. 18).
[1] Lihatlah bagaimana hamba-hamba ini lebih banyak me-
nyenangkan diri mereka sendiri. Suhu udara begitu di-
ngin pada malam itu, sehingga mereka memasang api
arang untuk menghangatkan diri mereka sendiri, bukan
untuk tuan-tuan mereka (tuan-tuan mereka sedang
begitu bersemangat menyiksa Kristus sehingga melupa-
kan suhu yang dingin itu). Mereka juga tidak peduli apa
jadinya dengan Kristus. Yang mereka pedulikan hanya-
lah duduk dan menghangatkan diri sendiri (Am. 6:6).
[2] Lihatlah bagaimana Petrus berkumpul bersama mereka
dan menjadi salah seorang di antara mereka. Ia berdiri
berdiang di situ.
Pertama, ini yaitu kesalahan yang cukup buruk se-
bab ia tidak menyertai Gurunya dan memperlihatkan
diri bagi-Nya di bagian ujung gedung itu, tempat Yesus
saat itu sedang diperiksa. Jika Gurunya memanggil,
setidaknya ia dapat tampil sebagai saksi bagi Yesus me-
nentang kesaksian para saksi dusta yang bersumpah
melawan Kristus. Ia dapat memberi kesaksian de-
ngan cermat tentang apa yang telah terjadi dan ia juga
dapat mengaitkannya dengan murid-murid lain yang
tidak dapat masuk untuk mengikuti jalannya pengadil-
an. Tentunya ia sudah melihat contoh yang diberikan
oleh Gurunya bagaimana harus membawa diri saat
datang gilirannya untuk menderita seperti ini. Namun,
hati nurani atau rasa ingin tahunya tidak mampu mem-
bawanya masuk ke ruang pengadilan itu. Sebaliknya, Ia
hanya duduk berdiang saja, seolah seperti Gallio, ia
sama sekali tidak menghiraukan hal itu. Namun, kita
juga punya alasan untuk menduga bahwa saat itu hati-
nya dipenuhi oleh kesedihan dan keprihatinan men-
dalam yang tidak tertahankan lagi. Hanya saja, ia tidak
memiliki keberanian untuk mengakuinya. Tuhan, ja-
nganlah membawa kami ke dalam pencobaan.
Kedua, yang lebih buruk lagi yaitu , ia bergabung
dengan orang-orang yang menjadi musuh Gurunya:
Petrus berdiri berdiang bersama-sama mereka. Mengha-
ngatkan badan sungguh merupakan alasan yang buruk
bahwa ia harus bergabung bersama mereka. Hal-hal
kecil dapat menarik orang ke dalam kumpulan yang ja-
hat, dan umumnya mereka ditarik oleh kesukaan akan
sepercik api kesenangan kecil. Jika semangat dan gai-
rah Petrus terhadap Gurunya tidak membeku, namun
tetap penuh semangat membara seperti beberapa jam
sebelumnya, ia tidak akan sempat berdiang mengha-
ngatkan diri seperti sekarang. Petrus dapat dipersalah-
kan dalam banyak hal:
1. sebab ia bergaul dengan orang-orang jahat ini dan
tetap bersama-sama dengan mereka. Tidak diragu-
kan bahwa mereka sangat menikmati tugas malam
ini, sambil mengolok-olok Kristus, mengejek kata-
kata yang diucapkan-Nya, perbuatan yang telah dila-
kukan-Nya, dan merayakan kemenangan atas-Nya.
Kesenangan seperti apa yang dapat dinikmati Petrus
dari keadaan seperti ini? Jika ia mengucapkan kata-
kata seperti yang mereka katakan atau dengan
diam-diam memberi persetujuan, berarti ia telah
melibatkan dirinya di dalam dosa. Jika tidak, sebe-
narnya ia tengah membahayakan dirinya sendiri.
Jika Petrus tidak mempunyai cukup keberanian un-
tuk tampil secara terbuka bagi Gurunya, setidaknya
ia masih dapat melakukan banyak kegiatan lain, se-
perti misalnya menyingkir ke sebuah sudut dan
diam-diam menangisi penderitaan Gurunya serta do-
sanya sendiri sebab mencampakkan Dia. Jika ia
tidak mampu berbuat baik, setidaknya ia dapat
menjauhi perbuatan yang dapat menyakiti orang
lain. Lebih baik bersembunyi daripada muncul tanpa
tujuan atau maksud jahat.
2. sebab ia memang ingin disangka sebagai salah se-
orang dari mereka, supaya tidak dicurigai sebagai
seorang murid Kristus. Benarkah ini Petrus? Betapa
berlawanannya keadaan ini dengan doa dari setiap
orang yang saleh, Janganlah mencabut nyawaku ber-
sama-sama orang berdosa. Saul yang juga termasuk
golongan nabi tidak terlampau menggelikan seperti
Daud yang berada di tengah orang Filistin. Orang-
orang yang mengejek nasib orang pencemooh sudah
semestinya takut untuk duduk dalam kumpulan pen-
cemooh. Sungguh berbahaya untuk berdiang ber-
sama orang-orang yang dapat membakar diri kita
(Mzm. 141:4).
IV. Petrus, sahabat Kristus, mulai menyangkal Dia. Imam Besar, mu-
suh-Nya, mulai mendakwa Dia, atau lebih tepatnya mendesak Dia
untuk mendakwa diri sendiri (ay. 19-21). Tampaknya upaya per-
tama yaitu membuktikan bahwa Dia seorang penyesat dan Guru
yang mengajarkan pengajaran sesat. Itulah yang ingin dituturkan
oleh penulis Injil ini. saat mereka gagal membuktikan tuduhan
ini, mereka mendakwa Dia dengan tuduhan penghujatan, yang
dicatat oleh para penulis Injil lainnya, dan sebab itu tidak dising-
gung di sini.
Perhatikanlah:
1. Pokok-pokok tuduhan yang diajukan atas Kristus (ay. 19), ya-
itu tentang murid-murid-Nya dan ajaran-Nya.
Perhatikanlah:
(1) Ketidaklaziman jalannya pemeriksaan. Jalan pemeriksaan
itu bertentangan dengan tata peraturan keadilan. Mereka
membelenggu Dia layaknya seorang penjahat, dan seka-
rang saat Ia menjadi tahanan mereka, mereka tidak me-
nemukan kesalahan apa pun yang dapat dituduhkan ke
atas-Nya. Tidak ada surat dakwaan, tidak ada jaksa penun-
tut. Sebaliknya, sang hakim sendiri bertindak sebagai pe-
nuntut, dan tahanan itu sendiri harus menjadi saksi bagi
dirinya sendiri. Berlawanan dengan semua akal sehat dan
keadilan, Ia dijadikan pendakwa terhadap diri-Nya sendiri.
(2) Tujuan yang ingin dicapai. Maka mulailah Imam Besar (oun
– sebab itu, yang tampaknya merujuk pada ay. 14), sebab
telah memutuskan bahwa Kristus harus dikorbankan un-
tuk memuaskan kebencian mereka dengan dalih demi
kebaikan seluruh bangsa, menanyai Kristus dengan perta-
nyaan-pertanyaan menyelidik yang dapat mengancam kehi-
dupan-Nya. Imam Besar memeriksa Dia,
[1] Menyangkut murid-murid-Nya, sehingga ia dapat menu-
duh Dia melakukan penghasutan dan menetapkan Dia
sebagai orang yang berbahaya bagi pemerintahan Ro-
mawi dan juga jemaat Yahudi. Ia bertanya kepada
Yesus siapa murid-murid-Nya – berapa jumlah mereka –
dari daerah mana – siapa nama-nama mereka dan sifat-
sifat mereka. Semua pertanyaan ini secara tidak lang-
sung hendak menyatakan bahwa murid-murid-Nya itu
dirancang untuk menjadi prajurit-prajurit, dan pada
saatnya nanti akan menjadi kelompok yang memba-
hayakan. Ada yang menduga bahwa pertanyaan-perta-
nyaan Imam Besar tentang murid-murid-Nya yaitu ,
“Sekarang mereka menjadi apa? Di manakah mereka?
Mengapa mereka tidak muncul?” Mereka hendak mem-
permalukan Dia dengan menunjukkan sikap pengecut
murid-murid-Nya yang sekarang meninggalkan Dia, dan
dengan demikian menambah penderitaan-Nya. Ada
yang penting dalam hal ini, yaitu bahwa panggilan dan
pengakuan Kristus atas murid-murid-Nya merupakan
hal pertama yang dituduhkan terhadap Dia, sebab bagi
merekalah, Ia menguduskan diri dan menderita.
[2] Perihal ajaran-Nya, supaya mereka dapat mendakwa
Dia dengan tuduhan penyesatan, dan mengganjar-Nya
dengan hukuman berdasarkan hukum mengenai nabi-
nabi palsu (Ul. 13:9-10). Perkara semacam ini hanya da-
pat diperiksa di pengadilan ini (Ul. 17:12). sebab
itu, seorang nabi tidak boleh dibunuh selain di Yerusa-
lem, tempat pengadilan itu diadakan. Mereka tidak da-
pat membuktikan adanya penyesatan dalam ajaran-
Nya, namun mereka berharap dapat mendesak-desak Dia
dan mengorek sesuatu dari-Nya untuk dapat memutar-
balikkan prasangka terhadap Dia dan menyatakan bah-
wa Dia berdosa di dalam suatu perkataan-Nya (Yes.
29:21). Mereka tidak berkata apa-apa perihal mujizat-
mujizat-Nya, sebab mereka yakin, mereka tidak dapat
membantah hal itu. Ia telah banyak berbuat baik mela-
lui mujizat-mujizat itu, sekaligus membuktikan bahwa
pengajaran-Nya tidak dapat dibantah lagi. Jadi, saat
musuh-musuh Kristus dengan giat berbantah mengenai
kebenaran-Nya, dengan sengaja pula mereka menutup
mata terhadap bukti-bukti yang ada mengenai kebenar-
an itu, dan tidak mau memperhatikannya.
2. Pembelaan Kristus dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
pemeriksaan ini.
(1) Tentang murid-murid-Nya, Ia tidak berkata apa pun, kare-
na pertanyaan ini tidak berkaitan dengan pokok persoalan
yang dituduhkan. Jika pengajaran-Nya memang sehat dan
baik, maka murid-murid yang Ia ajar akan mengikuti apa
yang diperbuat dan diperbolehkan oleh Guru mereka sen-
diri. Jika Kayafas, dengan mempertanyakan murid-murid
ini, berniat menjerat dan membawa mereka ke dalam ma-
salah, maka betapa baiknya Kristus itu bagi mereka, kare-
na Ia tidak mengatakan apa pun tentang mereka. Kristus
memang telah berkata, “Biarkanlah mereka ini pergi.” Sean-
dainya Imam Besar bermaksud mengejek Dia dengan kepe-
ngecutan mereka, maka tidak heran jika Ia tidak berkata
apa-apa tentang hal itu, sebab :
Rudet hæc opprobria nobis,
et dici potuisse, et non potuisse refelli –
Aib datang menyertai tuduhan yang ternyata tidak dapat di-
buktikan.
sebab itu, Ia tidak akan berkata apa pun untuk meng-
hukum mereka, dan juga tidak dapat mengatakan apa pun
untuk membenarkan mereka.
(2) Tentang pengajaran-Nya, Ia tidak berbicara apa-apa secara
khusus tentang pokok persoalan ini, namun secara umum Ia
mengaitkan diri-Nya dengan orang-orang yang telah men-
dengarkan Dia. Ajaran-Nya terbuka bukan hanya di hadap-
an Allah, namun juga dinyatakan di dalam hati nurani
orang-orang yang mendengarkan-Nya itu (ay. 20-21).
[1] Diam-diam Ia menuduh para hakim yang mengadili-Nya
telah bertindak melawan hukum. Dia memang tidak
berbicara buruk tentang para pemimpin bangsa itu,
atau berkata kepada para penguasa ini , kamu
fasik. Sebaliknya, Ia menyerukan tata aturan hukum
yang berlaku dalam pengadilan mereka sendiri, apakah
mereka telah berlaku adil sesuai hukum ini . Sung-
guhkah kamu memberi keputusan yang adil, hai para
penguasa? (Mzm. 58:2). Jadi di sini Ia bertanya, Meng-
apakah engkau menanyai Aku? Ini menunjukkan ada-
nya dua kejanggalan dalam jalannya pengadilan itu.
Pertama, “Mengapa sekarang engkau menanyai Aku
tentang pengajaran-Ku, sementara engkau telah menya-
takannya sesat?” Mereka telah mengeluarkan perintah
pengadilan untuk mengucilkan setiap orang yang meng-
aku Dia sebagai Mesias (9:22), telah mengeluarkan per-
nyataan untuk menahan Dia, dan bagaimana mungkin
sekarang mereka bertanya seperti apa pengajaran-Nya
itu? Demikianlah, Ia telah dinyatakan bersalah tanpa
dimintai keterangan, seperti halnya yang terjadi dengan
ajaran dan perkara-Nya.
Kedua, “Mengapa sekarang engkau menanyai Aku?
Haruskah Aku mendakwa diri-Ku sendiri, jika kamu
tidak memiliki bukti melawan Aku?”
[2] Ia menegaskan dan membuktikan bahwa Ia jujur dan
terbuka dalam menyampaikan ajaran-Nya di depan
umum. Kejahatan yang hendak dituduhkan oleh Majelis
Agama yaitu penyebaran ajaran-ajaran berbahaya se-
cara diam-diam dan rahasia (Ul. 13:6). sebab itu,
Kristus membersihkan diri sepenuh-penuhnya dari se-
mua tuduhan mengenai hal ini.
Pertama, mengenai cara Ia mengajar. Ia berbicara se-
cara terbuka, parrēsia – dengan kebebasan dan keterus-
terangan dalam berbicara. Ia tidak menyampaikan hal-
hal yang tidak jelas dan bermakna ganda, seperti ramal-
an-ramalan yang diberikan orang di kuil Apollo. Orang-
orang yang ingin merusak kebenaran dan menyebarkan
pemikiran-pemikiran yang rusak biasanya berusaha
melaksanakan maksudnya itu dengan perkataan yang
tidak jelas, menyebarkan keraguan-raguan, membuat
kesulitan, dan menyatakan omong kosong. Sebaliknya,
Kristus mengungkapkan diri sepenuhnya, dengan ber-
kata, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya. Teguran-
teguran-Nya bersifat bebas dan berani, sementara ke-
saksian-kesaksian-Nya menyatakan kebobrokan zaman
itu.
Kedua, mengenai orang-orang yang diajar-Nya. Ia
berbicara kepada dunia, kepada semua yang mempu-
nyai telinga untuk mendengar, dan yang mau mende-
ngarkan Dia, kaya atau miskin, terpelajar atau tidak
terpelajar, Yahudi atau bukan Yahudi, sahabat atau
musuh. Ajaran-Nya tidak kenal takut akan kecaman
masyarakat luas. Ia juga tidak pernah segan-segan
membagikan pengetahuan itu kepada siapa saja (seperti
yang biasa dilakukan oleh para penemu langka). Seba-
liknya, ia menyampaikannya dengan bebas, seperti be-
basnya matahari memberi sinarnya.
Ketiga, tentang tempat Ia mengajar. saat berada di
desa-desa dan kampung-kampung, Ia biasa mengajar di
tempat-tempat ibadat, yaitu tempat-tempat pertemuan
untuk beribadah, dan pada pertemuan hari Sabat. Keti-
ka berada di Yerusalem, Ia mengajarkan ajaran yang
sama di Bait Allah pada saat hari-hari raya resmi keaga-
maan, saat orang-orang Yahudi dari segenap penjuru
negeri datang berhimpun di sana. Meskipun Ia juga se-
ring mengajar di rumah-rumah pribadi, di atas gunung-
gunung, dan di tepi pantai, untuk menunjukkan bahwa
firman dan ibadah penyembahan-Nya tidak dibatasi
hanya di Bait-bait Suci dan tempat-tempat ibadat, na-
mun demikian apa yang diajarkan-Nya untuk tiap-tiap
orang secara pribadi sama saja dengan apa yang disam-
paikan-Nya di depan orang banyak. Perhatikanlah, para
pelayan Kristus tidak perlu merasa malu menyampai-
kan ajaran Kristus secara langsung, jelas dan apa
adanya di tengah-tengah perhimpunan besar, sebab
ajaran itu membawa serta bersamanya kekuatan dan
keindahannya sendiri. Merupakan keinginan para pela-
yan Kristus yang setia agar seluruh dunia mendengar
ajaran Kristus yang mereka sampaikan. Hikmat berseru
nyaring di tempat-tempat terbuka (Ams. 1:21; 8:3; 9:3).
Keempat, tentang ajaran itu sendiri. Ia tidak pernah
sembunyi-sembunyi membicarakan sesuatu yang berla-
wanan dengan yang Ia katakan di depan umum. Yang
dilakukan-Nya hanyalah mengulangi dan menjelaskan
apa yang telah disampaikan-Nya, Aku tidak pernah ber-
bicara sembunyi-sembunyi. Tidak sedikit pun Ia merasa
ragu atas kebenaran ajaran-Nya itu, dan Ia tidak me-
reka-reka yang jahat di dalamnya. Ia tidak perlu men-
cari tempat bersembunyi, sebab Ia tidak takut terha-
dap apa pun. Ia juga tidak pernah mengatakan hal-hal
yang membuat-Nya harus merasa malu. Apa yang Ia
bicarakan secara pribadi dengan murid-murid-Nya, Ia
perintahkan untuk mereka beritakan dari atas atap ru-
mah (Mat. 10:27). Allah berkata mengenai diri-Nya sen-
diri (Yes. 45:19), Tidak pernah Aku berkata dengan sem-
bunyi. Perintah-Nya bukanlah suatu rahasia (Ul. 30:11,
TL). Dan kebenaran iman juga berbicara seperti itu (Rm.
10:6). Veritas nihil metuit nisi abscondi – kebenaran
tidak takut apa pun selain pembungkaman [maksudnya,
kebenaran harus diungkapkan – pen.]. – Tertullian.
[3] Ia menunjuk kepada orang-orang yang telah mende-
ngarkan Dia dan menginginkan agar mereka dapat di-
periksa untuk mengetahui pengajaran apa yang telah Ia
ajarkan, apakah berbahaya seperti yang disangka, “Ta-
nyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kuka-
takan kepada mereka. Beberapa orang yang dimaksud-
kan-Nya mungkin berada di dalam gedung pengadilan
itu, atau mungkin juga dibangunkan dari tidur mereka
dan disuruh pergi ke sana.” Yang Ia maksudkan di sini
bukanlah sahabat-sahabat dan para pengikut-Nya, yang
bisa dianggap pasti akan berbicara demi kepentingan-
Nya, namun tanyailah mereka yang berhati jujur dan
bersikap tidak memihak, tanyailah pejabat-pejabatmu
sendiri. Sebagian di antara mereka mengira Ia menun-
juk kepada mereka saat Ia berkata, Sungguh, mereka
tahu apa yang telah Kukatakan. Mereka ini mengira Ia
menunjuk pada laporan yang mereka buat tentang ajar-
an-Nya (7:46), Belum pernah seorang manusia berkata
seperti orang itu! Tidak, kalian bahkan boleh bertanya
kepada orang-orang yang duduk di kursi pengadilan ini.
Mungkin beberapa di antara mereka ini pernah
mendengar Dia mengajar dan dibuat terdiam seribu ba-
hasa oleh Dia. Perhatikanlah, ajaran Kristus dapat me-
nyentuh hati semua orang yang mengetahuinya. Kebe-
naran dan dalih yang ada di dalamnya sedemikian kuat-
nya sehingga mereka yang hendak menghakimi secara
tidak adil pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mem-
berikan kesaksian tentang kebenaran ajaran-Nya itu.
V. Sementara para hakim sedang memeriksa Kristus, seorang pen-
jaga yang berdiri di situ berlaku tidak pantas terhadap-Nya (ay.
22-23).
1. Perbuatan salah seorang penjaga itu sungguh sangat meng-
hina. Meskipun Kristus berbicara dengan begitu tenang diser-
tai bukti yang meyakinkan, orang yang kurang ajar ini menam-
par muka-Nya, mungkin di sisi kepala atau wajah-Nya, sambil
berkata, Begitukah jawab-Mu kepada Imam Besar? Seolah-olah
Kristus telah berlaku kasar terhadap pengadilan ini.
(1) Ia menampar Kristus, edōke rhapisma – ia memberi pu-
kulan kepada-Nya. Ada yang mengartikan ini sebagai pu-
kulan yang dilakukan dengan sebuah tongkat pemukul
atau tongkat jabatan, yang berasal dari kata rhabdos, yaitu
tongkat yang melambangkan jabatan yang disandangnya.
Sekarang digenapilah Kitab Suci (Yes. 50:6), Aku memberi-
kan pipiku, eis rhapismata (begitulah terjemahan dalam
Septuaginta) untuk kata pukulan (tamparan), kata yang
digunakan di sini. Mikha 4:14 juga digenapi, dengan tong-
kat mereka memukul pipi orang yang memerintah Israel
[Dalam teks Matthew Henry dan KJV, ayat ini disebutkan
ada pada Mi. 5:1 – pen.]. Juga di dalam perlambang yang
ada di dalam jawaban Ayub (Ayb. 16:10), Mereka menampar
pipiku dengan cercaan. Sungguh sangat tidak adil untuk
memukul orang yang berkata benar dan tidak berbuat
salah. Sungguh kurang ajar bila seorang hamba rendah
seperti ini menampar seorang yang sedang menyampaikan
pertanggungjawabannya. Sungguh pengecut untuk me-
nampar orang yang tangan-Nya terbelenggu, dan sungguh
biadab untuk menampar seorang tahanan di depan sidang
pengadilan. Di sini terjadi pelanggaran tata tertib sidang
pengadilan. Damai dihancurkan di hadapan wajah peng-
adilan, dan para hakim pun menyetujuinya. Rasa malu
pada wajah ini yaitu milik kita, namun Kristus mengambil-
nya untuk diri-Nya sendiri, “Akulah yang menanggung
kutuk itu, rasa malu itu.”
(2) Ia menegur Kristus dengan sangat angkuh, Begitukah ja-
wab-Mu kepada Imam Besar? Seolah-olah Yesus yang ter-
puji itu tidak layak berbicara kepada tuannya, atau tidak
cukup bijaksana untuk mengetahui cara berbicara kepada
Imam Besar. Bagaikan seorang tahanan yang kasar dan
bebal, Kristus harus dikendalikan oleh penjaga itu dan di-
ajarkan cara berperilaku. Beberapa penulis kuno berang-
gapan bahwa penjaga ini yaitu Malkhus, yang berutang
budi kepada Kristus atas kesembuhan telinganya dan ke-
palanya yang selamat, namun balasan yang jahat inilah
yang diberikan kepada-Nya. Namun, siapa pun orang itu, ia
melakukannya untuk menyenangkan hati dan menjilat
Imam Besar, sebab apa yang ia katakan menyiratkan rasa
cemburu atas martabat Imam Besar. Para pemimpin yang
lalim tidak akan kekurangan pelayan-pelayan jahat, yang
siap mendera orang-orang yang dianiaya tuan-tuan mere-
ka. Ada seorang penerus jabatan Imam Besar yang menyu-
ruh orang yang berdiri di dekat Paulus untuk menampar
mulut Paulus (Kis. 23:2). Ada yang berpendapat bahwa pen-
jaga ini merasa dituduh oleh Kristus saat Ia menunjuk
pada orang-orang yang pernah mendengarkan pengajaran-
Nya, seolah-olah Kristus menyuruh dia untuk bersaksi.
Mungkin ia yaitu salah seorang dari penjaga-penjaga
yang telah memberi laporan yang baik tentang Dia
(7:46), dan supaya jangan disangka sebagai seorang yang
berteman dengan Kristus secara sembunyi-sembunyi, ia
pun menunjukkan dirinya sebagai seorang musuh besar-
Nya.
2. Kristus menerima penghinaan ini tanpa perlawanan dan de-
ngan kesabaran yang luar biasa (ay. 23). “Jikalau kata-Ku itu
salah, dalam kata-kata yang baru Aku ucapkan, tunjukkanlah
salahnya. Hormatilah sidang pengadilan ini, biarkan mereka
menghakimi perkara itu, merekalah hakim-hakim yang berwe-
nang untuk itu. namun , jikalau perkataan-Ku itu benar, dan
memang itulah kenyataannya, mengapakah engkau menampar
Aku?” Kristus bisa saja membalas orang itu dengan mujizat
penuh murka, dapat membuatnya menjadi bisu dan mati, atau
membuat tangannya yang teracung kepada-Nya menjadi layu
dan lemah. namun hari itu yaitu hari kesabaran dan penderi-
taan-Nya, dan Kristus menjawab dia dengan hikmat yang lahir
dari kelemahlembutan. Kristus hendak mengajar kita supaya
tidak membalas dendam sendiri, tidak membalas caci maki de-
ngan caci maki, namun menanggung segala luka dengan ketu-
lusan seekor burung merpati. Bahkan terlebih lagi, dengan
kecerdikan seekor ular, seperti Juruselamat kita, kita menun-
jukkan ketidakadilan mereka dan membela perkara tentang
perbuatan mereka itu di hadapan pejabat-pejabat hukum pe-
merintah. Kristus tidak memberi pipi yang lain, dan sebab
itu aturan dalam Matius 5:39 itu tidak boleh dipahami secara
harfiah. Dapat saja seseorang memberi pipinya yang lain,
namun masih dipenuhi kebencian di dalam hatinya. Namun, de-
ngan membandingkan perintah Kristus dengan teladan yang
ditunjukkan-Nya, kita dapat belajar:
(1) Bahwa dalam perkara-perkara seperti itu kita tidak boleh
membalas dendam sendiri dan menjadi hakim atas perkara
kita sendiri. Lebih baik kita menerima daripada memberi
kesempatan bagi tamparan kedua, yang dapat menimbul-
kan pertengkaran. Kita boleh mempertahankan diri, namun
tidak boleh membalas sendiri. Pejabat hukum pemerintah-
lah (jika dipandang perlu untuk menjaga keamanan masya-
rakat dan mencegah serta membuat ngeri para pelaku keja-
hatan) yang berhak mengadakan pembalasan (Rm. 13:4).
(2) Rasa sakit hati atas luka yang ditimbulkan pada diri kita
harus selalu dijaga agar ada dalam batas-batas yang wajar,
jangan berlebihan. Seperti yang dilakukan Kristus di sini,
saat Ia menderita, Ia memberi penjelasan, namun Ia tidak
mengancam. Dengan adil Ia berbantah dengan orang yang
menyakiti-Nya. Begitu jugalah hendaknya kita berlaku.
(3) saat dipanggil untuk menderita, kita harus menyesuai-
kan diri dengan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh
penderitaan itu, dengan kesabaran. Saat satu penghinaan
datang, hendaknya kita bersiap diri untuk menerima peng-
hinaan yang lain, dan memanfaatkan hal itu menjadi se-
suatu yang baik.
VI. Sementara para penjaga menganiaya dan mempermainkan Kris-
tus, Petrus justru terus menyangkali Dia (ay. 25-27). Sungguh se-
buah kisah yang menyedihkan, dan bukan penderitaan yang pa-
ling ringan bagi Kristus.
1. Petrus mengulangi dosa penyangkalan itu untuk kedua kali-
nya (ay. 25). Sementara ia masih berdiri berdiang bersama-
sama penjaga-penjaga itu seperti salah seorang dari mereka,
orang-orang itu bertanya kepadanya, “Bukankah engkau juga
seorang murid-Nya? Mau apa engkau di sini bersama-sama
kami?” Mungkin ia juga mendengar bahwa Kristus diperiksa
berkenaan dengan murid-murid-Nya, dan sebab itu ia takut
ditangkap atau setidaknya ditampar seperti Gurunya jika
mengaku. Jadi, dengan ringan ia menyangkali hal itu dan ber-
kata, “Bukan.”
(1) Itu yaitu kebodohan terbesar yang dilakukan Petrus kare-
na menjerumuskan diri ke dalam pencobaan dengan cara
terus berkumpul bersama-sama mereka yang sebenarnya
tidak cocok dengannya dan tidak memiliki urusan apa pun
dengan dirinya. Ia tetap tinggal di sana untuk berdiang
menghangatkan diri. namun , orang-orang yang berdiang
bersama pelaku kejahatan biasanya akan menjadi dingin
terhadap orang-orang yang baik dan hal-hal yang baik.
Mereka yang menyukai kehangatan Iblis akan berada da-
lam bahaya menghadapi api Iblis. Petrus seharusnya ber-
diri di dekat Gurunya di dalam ruang pengadilan, dan
memperoleh kehangatan yang lebih baik daripada di sini.
Dekat api kasih Gurunya, yang tidak dapat dipadamkan
oleh air yang banyak (Kid. 8:6-7). Di sana ia dapat mengha-
ngatkan diri dengan semangat kepada Gurunya dan de-
ngan amarah terhadap para penganiaya-Nya. Namun, yang
dilakukannya malah berdiang menghangatkan diri bersama
para penjaga itu daripada memanas terhadap mereka. Te-
tapi bagaimana seorang (seorang murid) saja dapat menjadi
panas? (Pkh. 4:11).
(2) Alangkah malangnya Petrus, saat diserang sekali lagi oleh
pencobaan. Tidak ada yang dapat diharapkan lagi, sebab
ini yaitu tempatnya, ini yaitu waktunya, untuk penco-
baan. saat hakim bertanya kepada Kristus mengenai mu-
rid-murid-Nya, mungkin penjaga-penjaga itu merasa terge-
rak dan menantang Petrus sebagai salah seorang murid-
Nya, “Coba, apa jawabmu?”
Lihatlah di sini:
[1] Kelicikan si penggoda untuk menghabisi orang yang di-
lihatnya sedang jatuh. Ia lebih mengerahkan kekuatan
yang lebih besar lagi terhadap orang itu. Sekarang bu-
kan lagi seorang hamba perempuan penjaga pintu yang
menegur Petrus, namun semua penjaga. Perhatikanlah,
menyerah pada satu pencobaan akan mengundang pen-
cobaan lain, dan yang ini mungkin lebih kuat lagi. Iblis
akan melipatgandakan serangannya saat kita memberi-
nya kesempatan.
[2] Bahaya pertemanan yang jahat. Umumnya kita selalu
berusaha membuktikan diri kita supaya bisa diterima
oleh orang-orang yang kita pilih untuk berteman atau
berhubungan. Kita menghargai kata-kata mereka yang
baik untuk menilai diri kita sendiri, dan ingin tampak
benar dalam pendapat mereka. saat memilih orang-
orang kita, pada saat yang sama kita juga memilih se-
perti apa pujian yang kita inginkan bagi diri kita sendiri,
dan dengan begitu kita mengendalikan diri kita sesuai
dengan ketentuan ini. sebab itu, penting sekali bagi
kita untuk membuat pilihan pertama yang baik, dan
tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak dapat kita
senangkan tanpa membuat Allah tidak senang.
(3) Ini yaitu kelemahan Petrus yang terbesar, bahkan keja-
hatannya yang terbesar, bahwa dia menyerah pada pen-
cobaan itu dan berkata, “Aku bukan salah satu dari murid-
murid-Nya.” Ia begitu malu dengan sesuatu yang sebenar-
nya menjadi kehormatannya sendiri, dan takut menderita
sebab nya, padahal ini bisa lebih mendatangkan kehormat-
an baginya lagi. Lihatlah bagaimana takut kepada orang
mendatangkan jerat. saat Kristus dikagumi, dipedulikan,
dan diperlakukan dengan hormat, Petrus menyenangkan
diri dengan hal itu dan mungkin juga membanggakan diri
bahwa dia yaitu murid Kristus, dan dengan demikian tu-
rut berbagi penghormatan yang diberikan kepada Guru-
nya. Begitulah, banyak orang suka dengan agama Kristen
saat nama baik agama sedang tenar, namun mereka
akan malu bila agama dicela. Kita harus menerima agama
Kristen baik pada waktu senang maupun pada waktu
susah.
2. Petrus mengulangi dosa itu untuk ketiga kalinya (ay. 26-27).
Di sini ia diserang oleh salah satu penjaga, seorang kerabat
Malkhus, yang saat mendengar Petrus menyangkal sebagai
murid Kristus, sangat ingin memastikan dustanya dan berta-
nya, “Bukankah engkau kulihat di taman itu bersama-sama de-
ngan Dia? Lihatlah telinga sanak keluargaku itu.” Lalu Petrus
menyangkal lagi, seolah-olah ia tidak tahu apa-apa tentang
Kristus, tentang taman, dan tentang semua perkara ini.
(1) Serangan pencobaan ketiga ini lebih dekat dibanding de-
ngan yang terdahulu. Pada pencobaan sebelumnya, hu-
bungannya dengan Kristus baru sekadar dicurigai, di sini
hubungan itu dibuktikan oleh seorang yang melihatnya
bersama Yesus dan melihatnya menghunus pedang untuk
mempertahankan diri. Perhatikanlah, orang-orang yang
mengira bahwa berbuat dosa dapat menolong mereka ke-
luar dari kesulitan, hanyalah semakin menjerat dan mem-
permalukan diri sendiri. Beranilah menghadapi tantangan,
sebab kebenaran akan muncul. Persoalan yang berusaha
kita sembunyikan dengan ucapan dusta akan segera ter-
ungkap, sebab burung di udara mungkin akan menyampai-
kan ucapanmu. Hubungan keluarga penjaga itu dengan
Malkhus disebutkan di sini, sebab keadaan ini semakin
menakutkan bagi Petrus. “Sekarang,” pikirnya, “habislah
aku, semuanya sudah tamat, tidak diperlukan kesaksian
atau penuntut lagi.” Sedapat mungkin, janganlah kita ber-
musuhan dengan siapa pun, sebab akan tiba saatnya
orang itu atau sanak keluarganya akan berkuasa atas kita.
Orang yang membutuhkan sahabat, janganlah membuat
musuh. Namun, amatilah, meskipun di sini sudah cukup
banyak bukti melawan Petrus dan cukup banyak bantahan
terhadap sangkalannya untuk mendakwa dia, ia tetap ber-
hasil meloloskan diri. Tidak ada yang menyakiti dia, atau-
pun berusaha melakukannya. Perhatikanlah, kita sering
jatuh ke dalam dosa sebab ketakutan yang tidak berdasar,
dan seharusnya tidak demikian. Dengan sedikit hikmat dan
kebulatan hati tidak ada yang akan terjadi.
(2) Penyerahannya pada pencobaan itu tidaklah lebih baik
daripada yang sebelumnya: Ia menyangkalnya pula.
Lihatlah di sini:
[1] Natur dosa pada umumnya: hatinya menjadi tegar kare-
na tipu daya dosa (Ibr. 3:13). Sungguh sangat menghe-
rankan kalau Petrus dengan beraninya langsung saja
berdusta dengan begitu yakinnya saat orang berhasil
membuktikan siapa dirinya. namun begitulah, permula-
an dosa yaitu seperti membuka jalan air. Begitu pagar
roboh, orang akan mudah berubah dari jahat menjadi
semakin jahat.
[2] Natur dosa dusta pada khususnya. Dosa ini sangat su-
bur atau berbuah sifatnya, dan sebab itu terhitung sa-
ngat parah ukuran dosanya. Satu dusta akan memerlu-
kan dusta yang lain untuk mendukungnya, dan begitu
seterusnya. Begitulah aturan dalam kebijakan Iblis Male
facta male factis tegere, ne perpluant – menutup dosa
dengan dosa, untuk menghindari pelacakan.
(3) Petunjuk yang diberikan kepada Petrus untuk menyadar-
kan hati nuraninya sangat tepat waktunya dan membaha-
giakan: saat itu berkokoklah ayam. Dan penyebutan
mengenai kokok ayam ini menyatakan segalanya mengenai
pertobatannya. Hal ini juga dicatat oleh penulis-penulis
Injil lainnya. Kejadian ini membawa dirinya kembali kepada
dirinya sendiri, dengan mengembalikan perkataan Kristus
ke dalam ingatannya.
Perhatikanlah di sini:
[1] Kepedulian Kristus kepada orang-orang yang menjadi
milik-Nya walaupun mereka telah melakukan banyak
kebodohan. jika mereka jatuh, tidaklah sampai ter-
geletak.
[2] Keuntungan memiliki pengingat yang setia di dekat kita,
yang walaupun tidak dapat mengatakan sesuatu mele-
bihi yang telah kita ketahui, namun dapat mengingat-
kan kita mengenai sesuatu yang telah kita ketahui te-
tapi telah kita lupakan. Kokok ayam jantan kepada
orang lain hanyalah suatu kebetulan belaka dan tidak
memiliki makna apa-apa. Namun bagi Petrus, kokok
ayam itu merupakan suara Allah dan memiliki kecende-
rungan yang baik untuk menyadarkan hati nuraninya
dengan cara mengingatkan dia akan perkataan Kristus.
Kristus di dalam Gedung Pengadilan;
Kristus di hadapan Pilatus
(18:28-40)
23 Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan. saat
itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu,
supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah. 29 Se-
bab itu Pilatus ke luar mendapatkan mereka dan berkata: “Apakah tuduhan
kamu terhadap orang ini?” 30 Jawab mereka kepadanya: “Jikalau Ia bukan
seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu.” 31 Kata Pilatus
kepada mereka: “Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut hukum Taurat-
mu.” Kata orang Yahudi itu: “Kami tidak diperbolehkan membunuh sese-
orang.” 32 Demikian hendaknya supaya genaplah firman Yesus, yang dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati. 33 Maka kem-
balilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan berta-
nya kepada-Nya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” 34 Jawab Yesus: “Apa-
kah kau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang
mengatakannya kepadamu tentang Aku?” 35 Kata Pilatus: “Apakah aku se-
orang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menye-
rahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?” 36 Jawab
Yesus: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini, jika kerajaan-Ku dari dunia ini,
pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan ke-
pada orang Yahudi, akan namun kerajaan-Ku bukan dari sini.” 37 Maka kata
Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau yaitu raja?” Jawab Yesus: “Engkau me-
ngatakan bahwa Aku yaitu raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah
Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang
kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-
Ku.” 38a Kata Pilatus kepada-Nya: “Apakah kebenaran itu?” 38b Sesudah me-
ngatakan demikian, keluarlah Pilatus lagi mendapatkan orang-orang Yahudi
dan berkata kepada mereka: “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-
Nya. 39 namun pada kamu ada kebiasaan, bahwa pada Paskah aku membe-
baskan seorang bagimu. Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja
orang Yahudi bagimu?” 40 Mereka berteriak pula: “Jangan Dia, melainkan
Barabas!” Barabas yaitu seorang penyamun.
Di sini kita membaca catatan perihal pendakwaan Kristus di hadapan
Pilatus, wali negeri Romawi, di dalam prætorium (sebuah istilah Latin
yang dijadikan istilah Yunani), rumah pejabat tinggi Romawi, atau
gedung pengadilan. Ke sanalah mereka membawa Dia, supaya dapat
dihukum di pengadilan Romawi dan dieksekusi (dilaksanakan) oleh
kekuasaan Romawi. sebab sudah bulat hati bahwa Ia harus mati,
mereka mengambil langkah ini :
1. Supaya Kristus dapat dijatuhi hukuman mati secara lebih sah
dan lebih pasti sesuai dengan undang-undang dasar pemerintah-
an mereka sejak negeri mereka menjadi salah satu provinsi kekai-
saran Romawi. Tidak dengan cara dilempari batu sampai mati da-
lam sebuah huru-hara seperti Stefanus, namun dihukum mati me-
nurut tata cara pengadilan yang resmi. Demikianlah, Ia diperlaku-
kan seperti seorang penjahat, dijadikan dosa sebab kita.
2. Supaya Dia dapat dijatuhi hukuman mati dengan lebih aman.
Jika mereka dapat melibatkan pemerintah Romawi dalam perkara
ini, orang-orang akan menjadi takut, sehingga tidak akan terjadi
keributan.
3. Supaya Ia dapat dijatuhi hukuman mati dengan lebih banyak me-
nanggung nista. Dari semua kematian, mati di kayu salib yang
biasa digunakan oleh orang Romawi merupakan kematian yang
sangat hina. Dengan hukuman itu mereka sangat berhasrat un-
tuk dapat meletakkan tanda kekejian yang tak terhapuskan ke
atas-Nya sehingga dapat menenggelamkan nama baik-Nya untuk
selamanya. sebab itu mereka berseru berulang kali, Salibkan
Dia.
4. Supaya Ia dihukum mati tanpa banyak kecaman untuk mereka
sendiri. Menghukum mati orang yang telah banyak berbuat baik
bagi dunia ini sungguh merupakan perbuatan yang sangat me-
nyakitkan hati. Itulah sebabnya mereka ingin melemparkan ke-
bencian itu ke atas pemerintah Romawi, menyerahkan hal yang
kurang dapat diterima ini kepada orang banyak dan menyelamat-
kan diri mereka sendiri dari kecaman. Begitulah, banyak orang
lebih takut terhadap aib akibat sebuah perbuatan buruk daripada
terhadap dosa akibat perbuatan itu (Kis. 5:28). Dua hal dapat kita
amati perihal tindak peradilan ini:
(1) Siasat dan kegigihan mereka dalam mengadili Dia. Di sini di-
katakan, hari masih pagi. Ada yang menduga bahwa saat itu
sekitar pukul dua atau tiga dini hari. Ada juga yang mengata-
kan sekitar pukul lima atau enam pagi, saat sebagian besar
orang masih terlelap di tempat tidur. Jadi, sangat kecil bahaya
kemungkinan adanya perlawanan orang banyak yang berpihak
pada Kristus. Sementara itu, pada saat yang sama mereka me-
merintahkan sejumlah kaki tangan mereka untuk mengum-
pulkan orang-orang yang dapat mereka pengaruhi guna mene-
riakkan seruan menentang Dia. Lihatlah betapa hati mereka
memang sudah bulat untuk mengadili Dia, betapa bengisnya
mereka. Sekarang, sebab Kristus sudah berada dalam geng-
gaman kekuasaan mereka, mereka tidak mau membuang-
buang waktu lagi sampai Ia terpaku di atas kayu salib. Mereka
rela mengorbankan waktu istirahat supaya perkara ini dilak-
sanakan secepatnya (Mi. 2:1).
(2) Ketakhayulan dan kemunafikan mereka yang keji. Walaupun
datang bersama orang hukuman itu supaya semua rencana
mereka terlaksana dengan baik, imam-imam kepala dan para
tua-tua itu tidak masuk ke dalam gedung pengadilan, sebab
tempat itu yaitu rumah seorang bukan-Yahudi yang tidak
bersunat. Mereka tetap berdiri di luar pintu agar jangan sam-
pai mereka menajiskan diri dengan memasuki rumah itu, su-
paya mereka dapat tetap makan Paskah. Yang dimaksudkan
bukanlah makan anak domba Paskah (yang dimakan pada
malam sebelumnya), namun makan korban Paskah yang diper-
sembahkan pada hari kelima belas perayaan Paskah, yang me-
reka sebut Chagigah, yaitu Paskah lembu sapi dan kambing
domba seperti yang diuraikan dalam Ulangan 16:2; 2 Tawarikh
30:24, dan 35:8-9. Makanan inilah yang harus mereka makan,
sebab itu mereka tidak mau masuk ke dalam gedung peng-
adilan itu sebab takut bersentuhan dengan orang bukan-
Yahudi. Persentuhan yang membuat mereka tercemar, bukan
secara hukum, melainkan secara adat-istiadat belaka. Inilah
yang menjadi keberatan mereka. Hebatnya, mereka tidak me-
rasa keberatan untuk melanggar semua hukum keadilan de-
ngan menganiaya Kristus sampai mati. Mereka menapis nya-
muk dari dalam minuman, namun menelan seekor unta yang ada
di dalamnya. Sekarang marilah kita lihat apa yang terjadi di
dalam gedung pengadilan ini . Di sini ada ,
I. Percakapan Pilatus dengan para pendakwa. Mereka diminta ber-
bicara lebih dahulu untuk menyatakan dakwaan mereka terhadap
orang hukuman itu sesuai dengan aturan yang berlaku (ay. 29-
32).
1. Hakim itu meminta mereka menyatakan tuduhan mereka. Ka-
rena mereka tidak mau masuk, Pilatus keluar mendapatkan
mereka di depan gedung pengadilan itu. Mengingat jabatan
Pilatus yang juga seorang pejabat hukum, ia harus berlaku
adil terhadap semua pihak, dan di sini ada tiga sikapnya
yang patut dipuji:
(1) Kerajinan dan ketekunannya dalam menangani perkara.
Seandainya itu dilaksanakan sebab alasan yang baik, be-
tapa baiknya ia sebab bersedia hadir sepagi itu untuk
menghakimi. Orang yang melayani kepentingan umum ti-
daklah mendahulukan kesenangan mereka.
(2) Kerendahan hatinya dalam mengikuti kemauan orang ba-
nyak dan melepaskan sejenak kedudukannya untuk me-
ngabulkan keberatan mereka. Dia bisa saja berkata, “Jika
mereka tidak mau masuk menghadap aku, suruhlah mere-
ka pulang, sama seperti saat mereka datang.” Dengan
cara yang sama kita juga dapat berkata, “Kalau para pen-
dakwa ini merasa berkeberatan untuk menghormati hakim,
pengaduan mereka tidak perlu didengarkan.” Namun, Pila-
tus tidak bersikap demikian, ia tetap bersabar dengan me-
reka dan keluar mendapatkan mereka. sebab , jika hal itu
demi kebaikan, kita harus menjadi segala-galanya bagi se-
mua orang.
(3) Kepatuhannya terhadap hukum keadilan, dalam hal men-
dengarkan tuduhan dan mencurigai kedengkian di pihak
penuntut: “Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini? Keja-
hatan apa yang kamu tuduhkan ke atas-Nya, dan bukti-
bukti apa yang kamu miliki berkenaan dengan tuduhan
itu?” Itu yaitu dasar-dasar moral yang berlaku umum
sebelum Valerius Publicola memasukkannya ke dalam Tata
Hukum Romawi, Ne quis indicta causa condemnetur – Sese-
orang tidak boleh dijatuhi hukuman sebelum diberi kesem-
patan untuk membela diri (Kis. 25:16-17). Sungguh tidak
beralasan untuk menuntut seseorang tanpa menyertakan
bukti dalam tuduhan yang diajukan, terlebih lagi mengha-
dapkan seseorang ke depan pengadilan tanpa bukti yang
jelas-jelas menunjukkan kejahatan orang ini.
2. Tanpa disertai bukti, apa lagi sesuatu yang khusus dapat mem-
buktikan tuduhan bahwa Ia patut dijatuhi hukuman mati atau
dipenjarakan (ay. 30), para pendakwa ini meminta Kristus
dihakimi berdasarkan sebuah dugaan umum bahwa Ia yaitu
seorang penjahat: Jikalau Ia bukan seorang penjahat, atau pe-
laku kejahatan, kami tidak akan menyerahkan-Nya kepadamu
untuk dihukum. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka,
(1) Bersikap sangat kasar dan tidak sopan terhadap Pilatus.
Suatu kumpulan orang jahat yang menebar pengaruh un-
tuk menghina penguasa. saat Pilatus telah begitu bermu-
rah hati bersedia keluar menemui mereka untuk merun-
dingkan perkara mereka, mereka malah mempermainkan
dia. Pilatus menyampaikan pertanyaan yang sangat masuk
akal kepada mereka. Namun, mereka menganggap perta-
nyaan itu begitu bodoh dan menggelikan sehingga menja-
wabnya dengan nada yang semakin merendahkan.
(2) Bersikap penuh kedengkian dan dendam terhadap Yesus
Tuhan kita. Benar atau salah, mereka tetap menganggap
Yesus sebagai seorang penjahat dan memperlakukan Dia
seperti itu. Kita harus tetap menganggap seseorang tidak
bersalah sampai pemeriksaan memang membuktikan bah-
wa ia bersalah. namun mereka menganggap Dia bersalah,
meskipun Dia telah membuktikan diri tidak bersalah. Me-
reka tidak dapat mengatakan bahwa, “Kristus yaitu se-
orang pengkhianat, seorang pembunuh, seorang penjahat,
seorang pembuat huru-hara,” namun mereka berani berkata
bahwa, “Ia yaitu seorang pelaku kejahatan.” Ia yaitu se-
orang pelaku kejahatan yang berjalan keliling sambil ber-
buat kebaikan! Biarlah dipanggil orang-orang yang telah
disembuhkan, mereka yang diberi makan dan diajar, mere-
ka yang dibebaskan dari roh-roh jahat dan dibangkitkan
dari kematian, lalu bertanyalah kepada mereka apakah Dia
seorang pelaku kejahatan atau bukan. Perhatikanlah, bu-
kanlah hal yang baru lagi kalau orang-orang yang berbuat
kebaikan diberi cap dan diserang sebagai penjahat bejat.
(3) Bersikap sangat sombong dan congkak. Menganggap hebat
penghakiman dan keadilan yang mereka buat sendiri, se-
olah-olah hanya dengan ciri-ciri umum seorang penjahat
saja sudahlah cukup bagi mereka untuk menyerahkan se-
seorang kepada hakim negara untuk dihukum secara sah.
Wah, kesombongan seperti apa lagi yang lebih hebat dari-
pada keangkuhan membabi buta seperti ini?
3. Sang hakim menyerahkan Kristus kembali kepada hukum me-
reka sendiri (ay. 31): “Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut
hukum Tauratmu, dan jangan menyusahkan aku dengan orang
itu.”
Sekarang perhatikan:
(1) Ada yang berpendapat bahwa dalam hal ini Pilatus menun-
jukkan sikap tunduk kepada mereka dan mengakui ke-
kuasaan mereka serta memperbolehkan mereka mengguna-
kan kekuasaan mereka. Hukuman badan yang dapat mere-
ka berikan, seperti menyesah di dalam rumah-rumah ibadat
mereka, apakah dengan hukuman mati atau bukan, tidak-
lah jelas. “namun ,” kata Pilatus, “hukumlah Dia sejauh hu-
kummu mengizinkan, dan kalau kamu melakukan lebih
daripada itu, itu urusanmu sendiri.” Perkataannya ini me-
nunjukkan bahwa ia ingin menyenangkan hati orang Yahu-
di itu, namun tidak mau melakukan apa yang mereka minta.
(2) Ada juga yang berpendapat lain dengan mengatakan bahwa
Pilatus sedang memperolokkan mereka dan mencela keada-
an mereka saat itu yang tidak berdaya dan harus tunduk di
bawah kekuasaan Romawi. Seharusnya mereka sendiri
yang menjadi hakim atas kesalahan itu. “Berharaplah,”
kata Pilatus, “jika kamu memang mau menghakimi, laku-
kanlah sesuai dengan yang kamu inginkan. Kamu telah
menyatakan Dia bersalah menurut hukummu sendiri, ka-
rena itu hukumlah Dia. Kalau kamu berani, hukumlah Dia
menurut hukummu sendiri, untuk melaksanakan keingin-
anmu ini.” Sungguh tidak ada lagi yang aneh dan pantas
seperti orang-orang ini, yang sok memerintah dan berlagak
bijak, padahal diri sendiri tidak berdaya dan dijajah, dan
nasib sendiri pun ditentukan orang. Menurut pendapat se-
bagian orang, Pilatus di sini sedang menyinggung Hukum
Musa, bahwa seolah-olah Hukum ini memperboleh-
kan apa yang dilarang oleh Hukum Romawi – yakni meng-
hakimi seseorang tanpa mendengarkan keterangan dan
pembelaan darinya. “Hukummu dapat menjatuhkan hu-
kuman semacam itu, namun hukum kami tidak.” Jadi, mela-
lui kebusukan mereka, hukum Allah dihujat. Demikian
pula yang terjadi dengan Injil Kristus.
4. Mereka menolak mengakui kewenangan hakim-hakim, dan
(sebab memang harus begitu) mereka lebih berhasrat menjadi
pendakwa atau penuntut. Sekarang sikap mereka tidak begitu
kasar lagi dan lebih merendah. Mereka mengakui, “Kami tidak
diperbolehkan membunuh seseorang, seringan apa pun hu-
kuman yang dapat kami jatuhkan. Namun, orang ini yaitu
seorang penjahat yang darah-Nya sangat kami ingini.”
(1) Sebagian orang berpendapat bahwa mereka telah kehilang-
an kekuasaan untuk menghakimi perkara hidup dan mati
hanya sebab kecerobohan mereka, dan kini secara penge-
cut melakukan perbuatan ketidakadilan yang terkenal itu
pada zaman itu. Begitulah menurut Dr. Lightfoot [theolog
Inggris abad ketujuh belas – ed.], ouk exesti – kita tidak
punya kuasa untuk menjatuhkan hukuman mati kepada
siapa pun juga. Jika kita melakukannya, kita akan segera
menghadapi keributan besar dari orang banyak.
(2) Ada juga yang berpendapat bahwa kekuasaan mereka telah
dilucuti oleh orang-orang Romawi, sebab mereka tidak
mempergunakannya dengan baik, atau sebab mungkin
kepercayaan ini terlalu besar untuk diserahkan ke dalam
tangan suatu bangsa yang sudah kalah dan takluk. Hal ini
jelas tampak saat mereka menunjukkan rasa hormat ke-
pada Pilatus dan saat mereka menyadari kekasaran me-
reka terhadapnya (ay. 30). Bahkan lebih daripada itu, ter-
bukti jelas di sini betapa tongkat kerajaan telah beranjak
dari Yehuda, dan sebab itulah sekarang Sang Mesias da-
tang (Kej. 49:10). Jika orang-orang Yahudi itu tidak lagi
memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman mati ke
atas seseorang, di manakah tongkat kerajaan itu? Meski-
pun begitu, masih juga mereka tidak mau ber