Tampilkan postingan dengan label yohanes 16. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label yohanes 16. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Januari 2025

yohanes 16

 


terungkap pengakuan bahwa Ia akan di-

jadikan korban demi kebaikan seluruh bangsa. Bukan se-

kadar bahwa Ia harus mati, namun  dikatakan lebih berguna. 

3. Persetujuan Hanas terhadap penganiayaan Kristus. Ia men-

jadikan dirinya sebagai orang yang turut mengambil bagian 

dalam kesalahan ini, 

(1) Bersama para perwira pasukan dan penjaga-penjaga Bait 

Allah yang tanpa dasar hukum atau belas kasihan telah 

membelenggu Yesus. Ia menyetujui hal itu dengan mem-

biarkan Yesus tetap terikat saat  seharusnya ia melepas-

kan ikatan itu, sebab  Yesus tidak dinyatakan bersalah da-

lam kejahatan apa pun, juga tidak berusaha melarikan diri. 

Jika kita tidak melakukan apa yang sebenarnya dapat kita 

lakukan untuk membatalkan apa yang salah dilakukan 

orang, maka kita menjadi pembantu pelaku kejahatan itu 

ex post facto – secara retroaktif (terlibat sesudah  peristiwa itu 

terjadi). Para prajurit yang kasar itu masih lebih dapat di-

maafkan dalam tindakan mengikat Dia daripada Hanas, 

yang seharusnya lebih tahu namun  tetap membiarkan Yesus 

dalam keadaan terikat. 

(2) Bersama imam kepala dan Mahkamah Agama yang telah 

menghukum Kristus dan menganiaya Dia sampai mati. 

Hanas memang tidak hadir bersama mereka, namun dia 

sungguh mengharapkan keberhasilan mereka, dan turut 

mengambil bagian dalam perbuatan mereka yang jahat.  

III. Di istana Kayafas, Simon Petrus mulai menyangkal Gurunya (ay. 

15-18).  

1. Dengan susah payah Petrus berhasil masuk ke halaman tem-

pat pengadilan itu diselenggarakan, seperti yang dicatat dalam 

ayat 15-16.  

Di sini kita dapat mengamati: 

(1) Kebaikan hati Petrus kepada Kristus, yang (meskipun ak-

hirnya terbukti bukan kebaikan hati) dapat dilihat dalam 

dua hal: 

[1] Bahwa ia mengikuti Yesus saat  Ia dibawa pergi. Meski-

pun pada mulanya ia melarikan diri bersama murid-

murid lainnya, ia kemudian berusaha sedikit membera-

nikan diri dan tetap mengikuti Dia dari jarak tertentu. 

Ia teringat akan janji yang pernah ia buat untuk tetap 

tinggal bersama-Nya, berapa pun harga yang harus di-

bayar. Mereka yang telah mengikuti Kristus di saat-saat 

saat  Dia dihormati dan ikut menikmati penghormatan 

itu pada saat banyak orang bersorak “Hosana” bagi Dia, 

seharusnya juga tetap mengikuti Dia di saat-saat saat  

Dia dihina dan turut mengambil bagian bersama-Nya 

dalam semua penghinaan ini. Mereka yang sungguh-

sungguh mengasihi dan menghormati Kristus akan 

mengikuti Dia dalam segala keadaan dari awal sampai 

akhir. 

[2] saat  ia tidak dapat masuk ke tempat Yesus yang se-

dang dikelilingi musuh-musuh-Nya, ia tinggal di luar 

dekat pintu, berusaha sedekat mungkin dengan-Nya 

serta menunggu kesempatan untuk dapat lebih mende-

kat. Demikianlah, bila menghadapi perlawanan saat 

mengiringi Kristus, kita harus menunjukkan kesetiaan 

atas janji kita. Walaupun begitu, kebaikan hati Petrus 

untuk terus mengikuti Kristus ini pun bukanlah ke-

baikan yang sebenarnya, sebab  ia tidak memiliki cu-

kup kekuatan dan keberanian untuk tetap setia. Seperti 

yang terbukti, ia malah masuk perangkap. Bahkan tin-

dakannya untuk mengikuti Kristus ini, kalau kita per-

timbangkan dari semua segi, pantas untuk disalahkan, 

sebab  Kristus, yang mengenal dia lebih baik daripada 

dia mengenal dirinya sendiri, telah menyampaikan 

kepadanya (13:36), “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak 

dapat mengikuti Aku sekarang.” Kristus juga telah me-

ngatakan kepadanya berulang kali bahwa ia akan me-

nyangkali Kristus. Selain itu, belum lama berselang ia 

sendiri sudah menyaksikan kelemahan dirinya dalam 

hal meninggalkan Dia. Perhatikanlah, kita harus ber-

hati-hati agar tidak mencobai Allah dengan menghadapi 

kesulitan yang melampaui kekuatan kita dan berusaha 

terlampau jauh dalam menempuh jalan penderitaan. 

jika   panggilan kita cukup jelas untuk mengorban-

kan diri, kita dapat berharap bahwa Allah akan me-

mampukan kita untuk menghormati Dia dalam penderi-

taan itu. Namun, seandainya tidak demikian, maka kita 

patut merasa khawatir bahwa Allah akan membiarkan 

kita mempermalukan diri kita sendiri. 

(2) Kebaikan hati murid yang lain (yang pergi bersama Petrus) 

terhadap Petrus juga terbukti bukan kebaikan yang se-

sungguhnya. Berulang kali Rasul Yohanes berbicara dalam 

Injil ini tentang dirinya sendiri dengan menggunakan istilah 

murid yang lain. sebab  itu, banyak penafsir tergerak un-

tuk menafsirkan bahwa murid lain yang ditulis di sini ada-

lah Yohanes. Ada banyak dugaan yang dikemukakan para 

penafsir ini bagaimana Yohanes bisa begitu dikenal oleh 

Imam Besar. Propter generis nobilitatem – terlahir dari ke-

luarga terhormat, kata Jerome [bapa gereja abad keempat, 

dalam Epitaph Marcel – ed.], seolah-olah ia terlahir sebagai 

pria terhormat yang lebih baik daripada Yakobus, saudara-

nya, padahal keduanya yaitu  anak-anak Zebedeus, se-

orang nelayan. Adapula yang mengatakan bahwa ia telah 

menjual hartanya kepada Imam Besar. Yang lain lagi me-

ngatakan bahwa ia menyediakan kebutuhan ikan bagi 

keluarga Imam Besar ini. Kedua pendapat ini sangat mus-

tahil. Kalau saya sendiri, saya tidak melihat alasan untuk 

berpendapat bahwa murid yang lain ini yaitu  Yohanes 

atau salah satu dari kedua belas murid. Boleh jadi orang 

itu yaitu  domba Kristus yang lain, yang tidak terhitung 

dalam kelompok kedua belas murid, seperti yang tertulis 

dalam Alkitab bahasa Aram, unus ex discipulis aliis – salah 

seorang dari murid-murid yang lain yang percaya kepada 

Kristus, namun tinggal di Yerusalem dan tetap tinggal di 

sana. Mungkin orang itu yaitu  Yusuf orang Arimatea atau 

Nikodemus yang dikenal oleh Imam Besar namun  yang tidak 

ia ketahui sebagai murid-murid Kristus. Perhatikanlah, 

sama seperti ada banyak orang yang tampak seperti murid 

padahal bukan, demikian pula ada banyak orang yang me-

mang murid, namun tampaknya bukan. Ada banyak orang 

baik yang bersembunyi di dalam istana-istana, bahkan di 

istana Nero sekalipun, serta juga di dalam kerumunan 

orang. Kita tidak boleh menyimpulkan seseorang sebagai 

musuh Kristus hanya sebab  ia kenal dan bergaul dengan 

musuh-musuh-Nya.  

Sekarang: 

[1] Murid yang lain ini, siapa pun dia, menunjukkan rasa 

hormat kepada Petrus dengan memasukkan dia ke da-

lam istana Imam Besar. Bukan sekadar untuk memuas-

kan rasa ingin tahu dan kasih sayangnya, namun  juga 

untuk memberi kesempatan agar dia dapat berguna 

bagi Gurunya dalam persidangan ini, bila keadaan me-

mungkinkan. Mereka yang sungguh-sungguh mengasihi 

Kristus dan jalan-jalan-Nya, meskipun harus banyak 

menahan diri dan diliputi perasaan was-was dan putus 

asa, namun jika memiliki iman yang tulus, mereka akan 

menemukan jalan yang merupakan panggilan bagi me-

reka dan mereka akan siap untuk melakukan perbuat-

an baik sebagai seorang murid. Boleh jadi Petrus per-

nah memperkenalkan murid ini untuk bercakap-cakap 

dengan Kristus, dan kini murid ini  pun membalas 

kebaikan hati Petrus dan tidak malu untuk mengakui 

dia, meskipun saat ini tampaknya keadaan Petrus sung-

guh mengenaskan. 

[2] Namun, kebaikan ini terbukti tidaklah membawa ke-

baikan, sebaliknya malah membawa bencana. Sebab 

dengan membiarkan Petrus masuk ke dalam halaman 

istana Imam Besar, ia membiarkan Petrus masuk ke da-

lam pencobaan, dan akibatnya sungguh buruk. Perhati-

kanlah, kebaikan hati para sahabat kita sering kali jus-

tru terbukti menjadi perangkap bagi kita, dan ini terjadi 

bila kebaikan itu dilandasi dengan rasa sayang yang 

salah arah.  

2. sesudah  berhasil masuk, Petrus langsung diserang dan dika-

lahkan oleh pencobaan (ay. 17).  

Amatilah hal-hal berikut ini:  

(1) Betapa remehnya serangan yang dilancarkan. Serangan itu 

dilakukan melalui seorang hamba perempuan dungu yang 

hanya diberi tanggung jawab sederhana untuk menjaga 

pintu. Perempuan ini menantang Petrus dengan mengaju-

kan pertanyaan yang dilontarkan asal-asalan, “Bukankah 

engkau juga murid orang itu?” Mungkin ia merasa curiga 

dengan penampilan Petrus yang takut-takut dan masuk 

dengan hati-hati. Sering kali kita perlu menjaga alasan 

yang baik jika mempunyai niat hati yang baik, sehingga 

dapat menampilkan wajah yang baik pula. Cukup beralasan 

bagi Petrus untuk takut seandainya yang mengancam itu 

Malkhus dan berkata, “Inilah dia yang memotong telingaku, 

untuk itu aku akan memenggal kepalanya.” Namun, bila 

itu hanya seorang hamba perempuan yang sekadar berta-

nya, Bukankah engkau juga murid orang itu?, seharusnya 

Petrus dapat menjawab tanpa takut-takut, Memangnya ke-

napa kalau aku memang murid-Nya? Seandainya para ham-

ba itu mempermalukan dia dan memperolok-oloknya kare-

na Yesus, maka pasti dia tidak akan dapat menanggung-

nya, sebab  orang-orang yang hanya sanggup menanggung 

sedikit bagi Kristus tidak akan dapat menanggung beban 

ini. Ini ibarat orang yang merasa lelah hanya sebab  berlari 

dengan orang yang berjalan kaki.  

(2) Betapa cepatnya ia menyerah pada pencobaan. Tanpa ber-

pikir panjang lagi, ia langsung menjawab, bukan. Kalau 

saja ia memiliki keberanian seekor singa, mungkin ia akan 

berkata, “Menjadi kehormatanku bahwa aku memang mu-

rid-Nya.” Atau jika ia cukup cerdik seperti seekor ular, ia 

akan diam saja pada saat itu, sebab  waktu itu yaitu  

waktu yang jahat. namun  yang ia pedulikan hanyalah kese-

lamatan dirinya. Ia berpikir bahwa ia tidak dapat melin-

dungi diri selain dengan menyangkal secara tegas, bukan. 

Dia bukan saja menyangkal, namun  bahkan meremehkan 

dan mencela kata-kata perempuan itu.  

(3) Ia masuk lebih jauh lagi ke dalam pencobaan itu. Semen-

tara itu hamba-hamba dan penjaga-penjaga Bait Allah ber-

diri berdiang di situ, dan Petrus juga berdiri berdiang ber-

sama-sama mereka (ay. 18).  

[1] Lihatlah bagaimana hamba-hamba ini lebih banyak me-

nyenangkan diri mereka sendiri. Suhu udara begitu di-

ngin pada malam itu, sehingga mereka memasang api 

arang untuk menghangatkan diri mereka sendiri, bukan 

untuk tuan-tuan mereka (tuan-tuan mereka sedang 

begitu bersemangat menyiksa Kristus sehingga melupa-

kan suhu yang dingin itu). Mereka juga tidak peduli apa 

jadinya dengan Kristus. Yang mereka pedulikan hanya-

lah duduk dan menghangatkan diri sendiri (Am. 6:6).  

[2] Lihatlah bagaimana Petrus berkumpul bersama mereka 

dan menjadi salah seorang di antara mereka. Ia berdiri 

berdiang di situ.  

Pertama, ini yaitu  kesalahan yang cukup buruk se-

bab ia tidak menyertai Gurunya dan memperlihatkan 

diri bagi-Nya di bagian ujung gedung itu, tempat Yesus 

saat itu sedang diperiksa. Jika Gurunya memanggil, 

setidaknya ia dapat tampil sebagai saksi bagi Yesus me-

nentang kesaksian para saksi dusta yang bersumpah 

melawan Kristus. Ia dapat memberi  kesaksian de-

ngan cermat tentang apa yang telah terjadi dan ia juga 

dapat mengaitkannya dengan murid-murid lain yang 

tidak dapat masuk untuk mengikuti jalannya pengadil-

an. Tentunya ia sudah melihat contoh yang diberikan 

oleh Gurunya bagaimana harus membawa diri saat  

datang gilirannya untuk menderita seperti ini. Namun, 

hati nurani atau rasa ingin tahunya tidak mampu mem-

bawanya masuk ke ruang pengadilan itu. Sebaliknya, Ia 

hanya duduk berdiang saja, seolah seperti Gallio, ia 

sama sekali tidak menghiraukan hal itu. Namun, kita 

juga punya alasan untuk menduga bahwa saat itu hati-

nya dipenuhi oleh kesedihan dan keprihatinan men-

dalam yang tidak tertahankan lagi. Hanya saja, ia tidak 

memiliki keberanian untuk mengakuinya. Tuhan, ja-

nganlah membawa kami ke dalam pencobaan.  

Kedua, yang lebih buruk lagi yaitu , ia bergabung 

dengan orang-orang yang menjadi musuh Gurunya: 

Petrus berdiri berdiang bersama-sama mereka. Mengha-

ngatkan badan sungguh merupakan alasan yang buruk 

bahwa ia harus bergabung bersama mereka. Hal-hal 

kecil dapat menarik orang ke dalam kumpulan yang ja-

hat, dan umumnya mereka ditarik oleh kesukaan akan 

sepercik api kesenangan kecil. Jika semangat dan gai-

rah Petrus terhadap Gurunya tidak membeku, namun  

tetap penuh semangat membara seperti beberapa jam 

sebelumnya, ia tidak akan sempat berdiang mengha-

ngatkan diri seperti sekarang. Petrus dapat dipersalah-

kan dalam banyak hal:  

1. sebab  ia bergaul dengan orang-orang jahat ini dan 

tetap bersama-sama dengan mereka. Tidak diragu-

kan bahwa mereka sangat menikmati tugas malam 

ini, sambil mengolok-olok Kristus, mengejek kata-

kata yang diucapkan-Nya, perbuatan yang telah dila-

kukan-Nya, dan merayakan kemenangan atas-Nya. 

Kesenangan seperti apa yang dapat dinikmati Petrus 

dari keadaan seperti ini? Jika ia mengucapkan kata-

kata seperti yang mereka katakan atau dengan 

diam-diam memberi  persetujuan, berarti ia telah 

melibatkan dirinya di dalam dosa. Jika tidak, sebe-

narnya ia tengah membahayakan dirinya sendiri. 

Jika Petrus tidak mempunyai cukup keberanian un-

tuk tampil secara terbuka bagi Gurunya, setidaknya 

ia masih dapat melakukan banyak kegiatan lain, se-

perti misalnya menyingkir ke sebuah sudut dan 

diam-diam menangisi penderitaan Gurunya serta do-

sanya sendiri sebab  mencampakkan Dia. Jika ia 

tidak mampu berbuat baik, setidaknya ia dapat 

menjauhi perbuatan yang dapat menyakiti orang 

lain. Lebih baik bersembunyi daripada muncul tanpa 

tujuan atau maksud jahat.  

2. sebab  ia memang ingin disangka sebagai salah se-

orang dari mereka, supaya tidak dicurigai sebagai 

seorang murid Kristus. Benarkah ini Petrus? Betapa 

berlawanannya keadaan ini dengan doa dari setiap 

orang yang saleh, Janganlah mencabut nyawaku ber-

sama-sama orang berdosa. Saul yang juga termasuk 

golongan nabi tidak terlampau menggelikan seperti 

Daud yang berada di tengah orang Filistin. Orang-

orang yang mengejek nasib orang pencemooh sudah 

semestinya takut untuk duduk dalam kumpulan pen-

cemooh. Sungguh berbahaya untuk berdiang ber-

sama orang-orang yang dapat membakar diri kita 

(Mzm. 141:4).  

IV. Petrus, sahabat Kristus, mulai menyangkal Dia. Imam Besar, mu-

suh-Nya, mulai mendakwa Dia, atau lebih tepatnya mendesak Dia 

untuk mendakwa diri sendiri (ay. 19-21). Tampaknya upaya per-

tama yaitu  membuktikan bahwa Dia seorang penyesat dan Guru 

yang mengajarkan pengajaran sesat. Itulah yang ingin dituturkan 

oleh penulis Injil ini. saat  mereka gagal membuktikan tuduhan 

ini, mereka mendakwa Dia dengan tuduhan penghujatan, yang 

dicatat oleh para penulis Injil lainnya, dan sebab  itu tidak dising-

gung di sini.  

Perhatikanlah:  

1. Pokok-pokok tuduhan yang diajukan atas Kristus (ay. 19), ya-

itu tentang murid-murid-Nya dan ajaran-Nya.  

 

Perhatikanlah: 

(1) Ketidaklaziman jalannya pemeriksaan. Jalan pemeriksaan 

itu bertentangan dengan tata peraturan keadilan. Mereka 

membelenggu Dia layaknya seorang penjahat, dan seka-

rang saat  Ia menjadi tahanan mereka, mereka tidak me-

nemukan kesalahan apa pun yang dapat dituduhkan ke 

atas-Nya. Tidak ada surat dakwaan, tidak ada jaksa penun-

tut. Sebaliknya, sang hakim sendiri bertindak sebagai pe-

nuntut, dan tahanan itu sendiri harus menjadi saksi bagi 

dirinya sendiri. Berlawanan dengan semua akal sehat dan 

keadilan, Ia dijadikan pendakwa terhadap diri-Nya sendiri.  

(2) Tujuan yang ingin dicapai. Maka mulailah Imam Besar (oun 

– sebab  itu, yang tampaknya merujuk pada ay. 14), sebab  

telah memutuskan bahwa Kristus harus dikorbankan un-

tuk memuaskan kebencian mereka dengan dalih demi 

kebaikan seluruh bangsa, menanyai Kristus dengan perta-

nyaan-pertanyaan menyelidik yang dapat mengancam kehi-

dupan-Nya. Imam Besar memeriksa Dia,  

[1] Menyangkut murid-murid-Nya, sehingga ia dapat menu-

duh Dia melakukan penghasutan dan menetapkan Dia 

sebagai orang yang berbahaya bagi pemerintahan Ro-

mawi dan juga jemaat Yahudi. Ia bertanya kepada 

Yesus siapa murid-murid-Nya – berapa jumlah mereka – 

dari daerah mana – siapa nama-nama mereka dan sifat-

sifat mereka. Semua pertanyaan ini secara tidak lang-

sung hendak menyatakan bahwa murid-murid-Nya itu 

dirancang untuk menjadi prajurit-prajurit, dan pada 

saatnya nanti akan menjadi kelompok yang memba-

hayakan. Ada yang menduga bahwa pertanyaan-perta-

nyaan Imam Besar tentang murid-murid-Nya yaitu , 

“Sekarang mereka menjadi apa? Di manakah mereka? 

Mengapa mereka tidak muncul?” Mereka hendak mem-

permalukan Dia dengan menunjukkan sikap pengecut 

murid-murid-Nya yang sekarang meninggalkan Dia, dan 

dengan demikian menambah penderitaan-Nya. Ada 

yang penting dalam hal ini, yaitu bahwa panggilan dan 

pengakuan Kristus atas murid-murid-Nya merupakan 

hal pertama yang dituduhkan terhadap Dia, sebab  bagi 

merekalah, Ia menguduskan diri dan menderita.  

[2] Perihal ajaran-Nya, supaya mereka dapat mendakwa 

Dia dengan tuduhan penyesatan, dan mengganjar-Nya 

dengan hukuman berdasarkan hukum mengenai nabi-

nabi palsu (Ul. 13:9-10). Perkara semacam ini hanya da-

pat diperiksa di pengadilan ini  (Ul. 17:12). sebab  

itu, seorang nabi tidak boleh dibunuh selain di Yerusa-

lem, tempat pengadilan itu diadakan. Mereka tidak da-

pat membuktikan adanya penyesatan dalam ajaran-

Nya, namun  mereka berharap dapat mendesak-desak Dia 

dan mengorek sesuatu dari-Nya untuk dapat memutar-

balikkan prasangka terhadap Dia dan menyatakan bah-

wa Dia berdosa di dalam suatu perkataan-Nya (Yes. 

29:21). Mereka tidak berkata apa-apa perihal mujizat-

mujizat-Nya, sebab  mereka yakin, mereka tidak dapat 

membantah hal itu. Ia telah banyak berbuat baik mela-

lui mujizat-mujizat itu, sekaligus membuktikan bahwa 

pengajaran-Nya tidak dapat dibantah lagi. Jadi, saat  

musuh-musuh Kristus dengan giat berbantah mengenai 

kebenaran-Nya, dengan sengaja pula mereka menutup 

mata terhadap bukti-bukti yang ada mengenai kebenar-

an itu, dan tidak mau memperhatikannya.  

2. Pembelaan Kristus dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan 

pemeriksaan ini.  

(1) Tentang murid-murid-Nya, Ia tidak berkata apa pun, kare-

na pertanyaan ini tidak berkaitan dengan pokok persoalan 

yang dituduhkan. Jika pengajaran-Nya memang sehat dan 

baik, maka murid-murid yang Ia ajar akan mengikuti apa 

yang diperbuat dan diperbolehkan oleh Guru mereka sen-

diri. Jika Kayafas, dengan mempertanyakan murid-murid 

ini, berniat menjerat dan membawa mereka ke dalam ma-

salah, maka betapa baiknya Kristus itu bagi mereka, kare-

na Ia tidak mengatakan apa pun tentang mereka. Kristus 

memang telah berkata, “Biarkanlah mereka ini pergi.” Sean-

dainya Imam Besar bermaksud mengejek Dia dengan kepe-

ngecutan mereka, maka tidak heran jika Ia tidak berkata 

apa-apa tentang hal itu, sebab :  

Rudet hæc opprobria nobis,  

et dici potuisse, et non potuisse refelli –  

Aib datang menyertai tuduhan yang ternyata tidak dapat di-

buktikan.  

sebab  itu, Ia tidak akan berkata apa pun untuk meng-

hukum mereka, dan juga tidak dapat mengatakan apa pun 

untuk membenarkan mereka.  

(2) Tentang pengajaran-Nya, Ia tidak berbicara apa-apa secara 

khusus tentang pokok persoalan ini, namun  secara umum Ia 

mengaitkan diri-Nya dengan orang-orang yang telah men-

dengarkan Dia. Ajaran-Nya terbuka bukan hanya di hadap-

an Allah, namun  juga dinyatakan di dalam hati nurani 

orang-orang yang mendengarkan-Nya itu (ay. 20-21).  

[1] Diam-diam Ia menuduh para hakim yang mengadili-Nya 

telah bertindak melawan hukum. Dia memang tidak 

berbicara buruk tentang para pemimpin bangsa itu, 

atau berkata kepada para penguasa ini , kamu 

fasik. Sebaliknya, Ia menyerukan tata aturan hukum 

yang berlaku dalam pengadilan mereka sendiri, apakah 

mereka telah berlaku adil sesuai hukum ini . Sung-

guhkah kamu memberi keputusan yang adil, hai para 

penguasa? (Mzm. 58:2). Jadi di sini Ia bertanya, Meng-

apakah engkau menanyai Aku? Ini menunjukkan ada-

nya dua kejanggalan dalam jalannya pengadilan itu.  

Pertama, “Mengapa sekarang engkau menanyai Aku 

tentang pengajaran-Ku, sementara engkau telah menya-

takannya sesat?” Mereka telah mengeluarkan perintah 

pengadilan untuk mengucilkan setiap orang yang meng-

aku Dia sebagai Mesias (9:22), telah mengeluarkan per-

nyataan untuk menahan Dia, dan bagaimana mungkin 

sekarang mereka bertanya seperti apa pengajaran-Nya 

itu? Demikianlah, Ia telah dinyatakan bersalah tanpa 

dimintai keterangan, seperti halnya yang terjadi dengan 

ajaran dan perkara-Nya.  

Kedua, “Mengapa sekarang engkau menanyai Aku? 

Haruskah Aku mendakwa diri-Ku sendiri, jika kamu 

tidak memiliki bukti melawan Aku?”  

[2] Ia menegaskan dan membuktikan bahwa Ia jujur dan 

terbuka dalam menyampaikan ajaran-Nya di depan 

umum. Kejahatan yang hendak dituduhkan oleh Majelis 

Agama yaitu  penyebaran ajaran-ajaran berbahaya se-

cara diam-diam dan rahasia (Ul. 13:6). sebab  itu, 

Kristus membersihkan diri sepenuh-penuhnya dari se-

mua tuduhan mengenai hal ini.  

Pertama, mengenai cara Ia mengajar. Ia berbicara se-

cara terbuka, parrēsia – dengan kebebasan dan keterus-

terangan dalam berbicara. Ia tidak menyampaikan hal-

hal yang tidak jelas dan bermakna ganda, seperti ramal-

an-ramalan yang diberikan orang di kuil Apollo. Orang-

orang yang ingin merusak kebenaran dan menyebarkan 

pemikiran-pemikiran yang rusak biasanya berusaha 

melaksanakan maksudnya itu dengan perkataan yang 

tidak jelas, menyebarkan keraguan-raguan, membuat 

kesulitan, dan menyatakan omong kosong. Sebaliknya, 

Kristus mengungkapkan diri sepenuhnya, dengan ber-

kata, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya. Teguran-

teguran-Nya bersifat bebas dan berani, sementara ke-

saksian-kesaksian-Nya menyatakan kebobrokan zaman 

itu.  

Kedua, mengenai orang-orang yang diajar-Nya. Ia 

berbicara kepada dunia, kepada semua yang mempu-

nyai telinga untuk mendengar, dan yang mau mende-

ngarkan Dia, kaya atau miskin, terpelajar atau tidak 

terpelajar, Yahudi atau bukan Yahudi, sahabat atau 

musuh. Ajaran-Nya tidak kenal takut akan kecaman 

masyarakat luas. Ia juga tidak pernah segan-segan 

membagikan pengetahuan itu kepada siapa saja (seperti 

yang biasa dilakukan oleh para penemu langka). Seba-

liknya, ia menyampaikannya dengan bebas, seperti be-

basnya matahari memberi  sinarnya.  

Ketiga, tentang tempat Ia mengajar. saat  berada di 

desa-desa dan kampung-kampung, Ia biasa mengajar di 

tempat-tempat ibadat, yaitu tempat-tempat pertemuan 

untuk beribadah, dan pada pertemuan hari Sabat. Keti-

ka berada di Yerusalem, Ia mengajarkan ajaran yang 

sama di Bait Allah pada saat hari-hari raya resmi keaga-

maan, saat  orang-orang Yahudi dari segenap penjuru 

negeri datang berhimpun di sana. Meskipun Ia juga se-

ring mengajar di rumah-rumah pribadi, di atas gunung-

gunung, dan di tepi pantai, untuk menunjukkan bahwa 

firman dan ibadah penyembahan-Nya tidak dibatasi 

hanya di Bait-bait Suci dan tempat-tempat ibadat, na-

mun demikian apa yang diajarkan-Nya untuk tiap-tiap 

orang secara pribadi sama saja dengan apa yang disam-

paikan-Nya di depan orang banyak. Perhatikanlah, para 

pelayan Kristus tidak perlu merasa malu menyampai-

kan ajaran Kristus secara langsung, jelas dan apa 

adanya di tengah-tengah perhimpunan besar, sebab  

ajaran itu membawa serta bersamanya kekuatan dan 

keindahannya sendiri. Merupakan keinginan para pela-

yan Kristus yang setia agar seluruh dunia mendengar 

ajaran Kristus yang mereka sampaikan. Hikmat berseru 

nyaring di tempat-tempat terbuka (Ams. 1:21; 8:3; 9:3).  

Keempat, tentang ajaran itu sendiri. Ia tidak pernah 

sembunyi-sembunyi membicarakan sesuatu yang berla-

wanan dengan yang Ia katakan di depan umum. Yang 

dilakukan-Nya hanyalah mengulangi dan menjelaskan 

apa yang telah disampaikan-Nya, Aku tidak pernah ber-

bicara sembunyi-sembunyi. Tidak sedikit pun Ia merasa 

ragu atas kebenaran ajaran-Nya itu, dan Ia tidak me-

reka-reka yang jahat di dalamnya. Ia tidak perlu men-

cari tempat bersembunyi, sebab  Ia tidak takut terha-

dap apa pun. Ia juga tidak pernah mengatakan hal-hal 

yang membuat-Nya harus merasa malu. Apa yang Ia 

bicarakan secara pribadi dengan murid-murid-Nya, Ia 

perintahkan untuk mereka beritakan dari atas atap ru-

mah (Mat. 10:27). Allah berkata mengenai diri-Nya sen-

diri (Yes. 45:19), Tidak pernah Aku berkata dengan sem-

bunyi. Perintah-Nya bukanlah suatu rahasia (Ul. 30:11, 

TL). Dan kebenaran iman juga berbicara seperti itu (Rm. 

10:6). Veritas nihil metuit nisi abscondi – kebenaran 

tidak takut apa pun selain pembungkaman [maksudnya, 

kebenaran harus diungkapkan – pen.]. – Tertullian. 

[3] Ia menunjuk kepada orang-orang yang telah mende-

ngarkan Dia dan menginginkan agar mereka dapat di-

periksa untuk mengetahui pengajaran apa yang telah Ia 

ajarkan, apakah berbahaya seperti yang disangka, “Ta-

nyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kuka-

takan kepada mereka. Beberapa orang yang dimaksud-

kan-Nya mungkin berada di dalam gedung pengadilan 

itu, atau mungkin juga dibangunkan dari tidur mereka 

dan disuruh pergi ke sana.” Yang Ia maksudkan di sini 

bukanlah sahabat-sahabat dan para pengikut-Nya, yang 

bisa dianggap pasti akan berbicara demi kepentingan-

Nya, namun  tanyailah mereka yang berhati jujur dan 

bersikap tidak memihak, tanyailah pejabat-pejabatmu 

sendiri. Sebagian di antara mereka mengira Ia menun-

juk kepada mereka saat  Ia berkata, Sungguh, mereka 

tahu apa yang telah Kukatakan. Mereka ini mengira Ia 

menunjuk pada laporan yang mereka buat tentang ajar-

an-Nya (7:46), Belum pernah seorang manusia berkata 

seperti orang itu! Tidak, kalian bahkan boleh bertanya 

kepada orang-orang yang duduk di kursi pengadilan ini. 

Mungkin beberapa di antara mereka ini  pernah 

mendengar Dia mengajar dan dibuat terdiam seribu ba-

hasa oleh Dia. Perhatikanlah, ajaran Kristus dapat me-

nyentuh hati semua orang yang mengetahuinya. Kebe-

naran dan dalih yang ada di dalamnya sedemikian kuat-

nya sehingga mereka yang hendak menghakimi secara 

tidak adil pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mem-

berikan kesaksian tentang kebenaran ajaran-Nya itu.  

V. Sementara para hakim sedang memeriksa Kristus, seorang pen-

jaga yang berdiri di situ berlaku tidak pantas terhadap-Nya (ay. 

22-23).  

1. Perbuatan salah seorang penjaga itu sungguh sangat meng-

hina. Meskipun Kristus berbicara dengan begitu tenang diser-

tai bukti yang meyakinkan, orang yang kurang ajar ini menam-

par muka-Nya, mungkin di sisi kepala atau wajah-Nya, sambil 

berkata, Begitukah jawab-Mu kepada Imam Besar? Seolah-olah 

Kristus telah berlaku kasar terhadap pengadilan ini.  

(1) Ia menampar Kristus, edōke rhapisma – ia memberi  pu-

kulan kepada-Nya. Ada yang mengartikan ini sebagai pu-

kulan yang dilakukan dengan sebuah tongkat pemukul 

atau tongkat jabatan, yang berasal dari kata rhabdos, yaitu 

tongkat yang melambangkan jabatan yang disandangnya. 

Sekarang digenapilah Kitab Suci (Yes. 50:6), Aku memberi-

kan pipiku, eis rhapismata (begitulah terjemahan dalam 

Septuaginta) untuk kata pukulan (tamparan), kata yang 

digunakan di sini. Mikha 4:14 juga digenapi, dengan tong-

kat mereka memukul pipi orang yang memerintah Israel 

[Dalam teks Matthew Henry dan KJV, ayat ini disebutkan 

ada pada Mi. 5:1 – pen.]. Juga di dalam perlambang yang 

ada di dalam jawaban Ayub (Ayb. 16:10), Mereka menampar 

pipiku dengan cercaan. Sungguh sangat tidak adil untuk 

memukul orang yang berkata benar dan tidak berbuat 

salah. Sungguh kurang ajar bila seorang hamba rendah 

seperti ini menampar seorang yang sedang menyampaikan 

pertanggungjawabannya. Sungguh pengecut untuk me-

nampar orang yang tangan-Nya terbelenggu, dan sungguh 

biadab untuk menampar seorang tahanan di depan sidang 

pengadilan. Di sini terjadi pelanggaran tata tertib sidang 

pengadilan. Damai dihancurkan di hadapan wajah peng-

adilan, dan para hakim pun menyetujuinya. Rasa malu 

pada wajah ini yaitu  milik kita, namun  Kristus mengambil-

nya untuk diri-Nya sendiri, “Akulah yang menanggung 

kutuk itu, rasa malu itu.”  

(2) Ia menegur Kristus dengan sangat angkuh, Begitukah ja-

wab-Mu kepada Imam Besar? Seolah-olah Yesus yang ter-

puji itu tidak layak berbicara kepada tuannya, atau tidak 

cukup bijaksana untuk mengetahui cara berbicara kepada 

Imam Besar. Bagaikan seorang tahanan yang kasar dan 

bebal, Kristus harus dikendalikan oleh penjaga itu dan di-

ajarkan cara berperilaku. Beberapa penulis kuno berang-

gapan bahwa penjaga ini yaitu  Malkhus, yang berutang 

budi kepada Kristus atas kesembuhan telinganya dan ke-

palanya yang selamat, namun balasan yang jahat inilah 

yang diberikan kepada-Nya. Namun, siapa pun orang itu, ia 

melakukannya untuk menyenangkan hati dan menjilat 

Imam Besar, sebab  apa yang ia katakan menyiratkan rasa 

cemburu atas martabat Imam Besar. Para pemimpin yang 

lalim tidak akan kekurangan pelayan-pelayan jahat, yang 

siap mendera orang-orang yang dianiaya tuan-tuan mere-

ka. Ada seorang penerus jabatan Imam Besar yang menyu-

ruh orang yang berdiri di dekat Paulus untuk menampar 

mulut Paulus (Kis. 23:2). Ada yang berpendapat bahwa pen-

jaga ini merasa dituduh oleh Kristus saat  Ia menunjuk 

pada orang-orang yang pernah mendengarkan pengajaran-

Nya, seolah-olah Kristus menyuruh dia untuk bersaksi. 

Mungkin ia yaitu  salah seorang dari penjaga-penjaga 

yang telah memberi  laporan yang baik tentang Dia 

(7:46), dan supaya jangan disangka sebagai seorang yang 

berteman dengan Kristus secara sembunyi-sembunyi, ia 

pun menunjukkan dirinya sebagai seorang musuh besar-

Nya.  

2. Kristus menerima penghinaan ini tanpa perlawanan dan de-

ngan kesabaran yang luar biasa (ay. 23). “Jikalau kata-Ku itu 

salah, dalam kata-kata yang baru Aku ucapkan, tunjukkanlah 

salahnya. Hormatilah sidang pengadilan ini, biarkan mereka 

menghakimi perkara itu, merekalah hakim-hakim yang berwe-

nang untuk itu. namun , jikalau perkataan-Ku itu benar, dan 

memang itulah kenyataannya, mengapakah engkau menampar 

Aku?” Kristus bisa saja membalas orang itu dengan mujizat 

penuh murka, dapat membuatnya menjadi bisu dan mati, atau 

membuat tangannya yang teracung kepada-Nya menjadi layu 

dan lemah. namun  hari itu yaitu  hari kesabaran dan penderi-

taan-Nya, dan Kristus menjawab dia dengan hikmat yang lahir 

dari kelemahlembutan. Kristus hendak mengajar kita supaya 

tidak membalas dendam sendiri, tidak membalas caci maki de-

ngan caci maki, namun  menanggung segala luka dengan ketu-

lusan seekor burung merpati. Bahkan terlebih lagi, dengan 

kecerdikan seekor ular, seperti Juruselamat kita, kita menun-

jukkan ketidakadilan mereka dan membela perkara tentang 

perbuatan mereka itu di hadapan pejabat-pejabat hukum pe-

merintah. Kristus tidak memberi  pipi yang lain, dan sebab  

itu aturan dalam Matius 5:39 itu tidak boleh dipahami secara 

harfiah. Dapat saja seseorang memberi  pipinya yang lain, 

namun  masih dipenuhi kebencian di dalam hatinya. Namun, de-

ngan membandingkan perintah Kristus dengan teladan yang 

ditunjukkan-Nya, kita dapat belajar:  

(1) Bahwa dalam perkara-perkara seperti itu kita tidak boleh 

membalas dendam sendiri dan menjadi hakim atas perkara 

kita sendiri. Lebih baik kita menerima daripada memberi 

kesempatan bagi tamparan kedua, yang dapat menimbul-

kan pertengkaran. Kita boleh mempertahankan diri, namun  

tidak boleh membalas sendiri. Pejabat hukum pemerintah-

lah (jika dipandang perlu untuk menjaga keamanan masya-

rakat dan mencegah serta membuat ngeri para pelaku keja-

hatan) yang berhak mengadakan pembalasan (Rm. 13:4).  

(2) Rasa sakit hati atas luka yang ditimbulkan pada diri kita 

harus selalu dijaga agar ada dalam batas-batas yang wajar, 

jangan berlebihan. Seperti yang dilakukan Kristus di sini, 

saat  Ia menderita, Ia memberi  penjelasan, namun  Ia tidak 

mengancam. Dengan adil Ia berbantah dengan orang yang 

menyakiti-Nya. Begitu jugalah hendaknya kita berlaku.  

(3) saat  dipanggil untuk menderita, kita harus menyesuai-

kan diri dengan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh 

penderitaan itu, dengan kesabaran. Saat satu penghinaan 

datang, hendaknya kita bersiap diri untuk menerima peng-

hinaan yang lain, dan memanfaatkan hal itu menjadi se-

suatu yang baik.    

VI. Sementara para penjaga menganiaya dan mempermainkan Kris-

tus, Petrus justru terus menyangkali Dia (ay. 25-27). Sungguh se-

buah kisah yang menyedihkan, dan bukan penderitaan yang pa-

ling ringan bagi Kristus.  

1. Petrus mengulangi dosa penyangkalan itu untuk kedua kali-

nya (ay. 25). Sementara ia masih berdiri berdiang bersama-

sama penjaga-penjaga itu seperti salah seorang dari mereka, 

orang-orang itu bertanya kepadanya, “Bukankah engkau juga 

seorang murid-Nya? Mau apa engkau di sini bersama-sama 

kami?” Mungkin ia juga mendengar bahwa Kristus diperiksa 

berkenaan dengan murid-murid-Nya, dan sebab  itu ia takut 

ditangkap atau setidaknya ditampar seperti Gurunya jika 

mengaku. Jadi, dengan ringan ia menyangkali hal itu dan ber-

kata, “Bukan.”  

(1) Itu yaitu  kebodohan terbesar yang dilakukan Petrus kare-

na menjerumuskan diri ke dalam pencobaan dengan cara 

terus berkumpul bersama-sama mereka yang sebenarnya 

tidak cocok dengannya dan tidak memiliki urusan apa pun 

dengan dirinya. Ia tetap tinggal di sana untuk berdiang 

menghangatkan diri. namun , orang-orang yang berdiang 

bersama pelaku kejahatan biasanya akan menjadi dingin 

terhadap orang-orang yang baik dan hal-hal yang baik. 

Mereka yang menyukai kehangatan Iblis akan berada da-

lam bahaya menghadapi api Iblis. Petrus seharusnya ber-

diri di dekat Gurunya di dalam ruang pengadilan, dan 

memperoleh kehangatan yang lebih baik daripada di sini. 

Dekat api kasih Gurunya, yang tidak dapat dipadamkan 

oleh air yang banyak (Kid. 8:6-7). Di sana ia dapat mengha-

ngatkan diri dengan semangat kepada Gurunya dan de-

ngan amarah terhadap para penganiaya-Nya. Namun, yang 

dilakukannya malah berdiang menghangatkan diri bersama 

para penjaga itu daripada memanas terhadap mereka. Te-

tapi bagaimana seorang (seorang murid) saja dapat menjadi 

panas? (Pkh. 4:11).  

(2) Alangkah malangnya Petrus, saat diserang sekali lagi oleh 

pencobaan. Tidak ada yang dapat diharapkan lagi, sebab  

ini yaitu  tempatnya, ini yaitu  waktunya, untuk penco-

baan. saat  hakim bertanya kepada Kristus mengenai mu-

rid-murid-Nya, mungkin penjaga-penjaga itu merasa terge-

rak dan menantang Petrus sebagai salah seorang murid-

Nya, “Coba, apa jawabmu?”  

Lihatlah di sini:  

[1] Kelicikan si penggoda untuk menghabisi orang yang di-

lihatnya sedang jatuh. Ia lebih mengerahkan kekuatan 

yang lebih besar lagi terhadap orang itu. Sekarang bu-

kan lagi seorang hamba perempuan penjaga pintu yang 

menegur Petrus, namun  semua penjaga. Perhatikanlah, 

menyerah pada satu pencobaan akan mengundang pen-

cobaan lain, dan yang ini mungkin lebih kuat lagi. Iblis 

akan melipatgandakan serangannya saat kita memberi-

nya kesempatan.  

[2] Bahaya pertemanan yang jahat. Umumnya kita selalu 

berusaha membuktikan diri kita supaya bisa diterima 

oleh orang-orang yang kita pilih untuk berteman atau 

berhubungan. Kita menghargai kata-kata mereka yang 

baik untuk menilai diri kita sendiri, dan ingin tampak 

benar dalam pendapat mereka. saat  memilih orang-

orang kita, pada saat yang sama kita juga memilih se-

perti apa pujian yang kita inginkan bagi diri kita sendiri, 

dan dengan begitu kita mengendalikan diri kita sesuai 

dengan ketentuan ini. sebab  itu, penting sekali bagi 

kita untuk membuat pilihan pertama yang baik, dan 

tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak dapat kita 

senangkan tanpa  membuat Allah tidak senang.  

(3) Ini yaitu  kelemahan Petrus yang terbesar, bahkan keja-

hatannya yang terbesar, bahwa dia menyerah pada pen-

cobaan itu dan berkata, “Aku bukan salah satu dari murid-

murid-Nya.” Ia begitu malu dengan sesuatu yang sebenar-

nya menjadi kehormatannya sendiri, dan takut menderita 

sebab nya, padahal ini bisa lebih mendatangkan kehormat-

an baginya lagi. Lihatlah bagaimana takut kepada orang 

mendatangkan jerat. saat  Kristus dikagumi, dipedulikan, 

dan diperlakukan dengan hormat, Petrus menyenangkan 

diri dengan hal itu dan mungkin juga membanggakan diri 

bahwa dia yaitu  murid Kristus, dan dengan demikian tu-

rut berbagi penghormatan yang diberikan kepada Guru-

nya. Begitulah, banyak orang suka dengan agama Kristen 

saat  nama baik agama sedang tenar, namun mereka 

akan malu bila agama dicela. Kita harus menerima agama 

Kristen baik pada waktu senang maupun pada waktu 

susah.  

2. Petrus mengulangi dosa itu untuk ketiga kalinya (ay. 26-27). 

Di sini ia diserang oleh salah satu penjaga, seorang kerabat 

Malkhus, yang saat  mendengar Petrus menyangkal sebagai 

murid Kristus, sangat ingin memastikan dustanya dan berta-

nya, “Bukankah engkau kulihat di taman itu bersama-sama de-

ngan Dia? Lihatlah telinga sanak keluargaku itu.” Lalu Petrus 

menyangkal lagi, seolah-olah ia tidak tahu apa-apa tentang 

Kristus, tentang taman, dan tentang semua perkara ini.  

(1) Serangan pencobaan ketiga ini lebih dekat dibanding de-

ngan yang terdahulu. Pada pencobaan sebelumnya, hu-

bungannya dengan Kristus baru sekadar dicurigai, di sini 

hubungan itu dibuktikan oleh seorang yang melihatnya 

bersama Yesus dan melihatnya menghunus pedang untuk 

mempertahankan diri. Perhatikanlah, orang-orang yang 

mengira bahwa berbuat dosa dapat menolong mereka ke-

luar dari kesulitan, hanyalah semakin menjerat dan mem-

permalukan diri sendiri. Beranilah menghadapi tantangan, 

sebab  kebenaran akan muncul. Persoalan yang berusaha 

kita sembunyikan dengan ucapan dusta akan segera ter-

ungkap, sebab  burung di udara mungkin akan menyampai-

kan ucapanmu. Hubungan keluarga penjaga itu dengan 

Malkhus disebutkan di sini, sebab  keadaan ini semakin 

menakutkan bagi Petrus. “Sekarang,” pikirnya, “habislah 

aku, semuanya sudah tamat, tidak diperlukan kesaksian 

atau penuntut lagi.” Sedapat mungkin, janganlah kita ber-

musuhan dengan siapa pun, sebab  akan tiba saatnya 

orang itu atau sanak keluarganya akan berkuasa atas kita. 

Orang yang membutuhkan sahabat, janganlah membuat 

musuh. Namun, amatilah, meskipun di sini sudah cukup 

banyak bukti melawan Petrus dan cukup banyak bantahan 

terhadap sangkalannya untuk mendakwa dia, ia tetap ber-

hasil meloloskan diri. Tidak ada yang menyakiti dia, atau-

pun berusaha melakukannya. Perhatikanlah, kita sering 

jatuh ke dalam dosa sebab  ketakutan yang tidak berdasar, 

dan seharusnya tidak demikian. Dengan sedikit hikmat dan 

kebulatan hati tidak ada yang akan terjadi.  

(2) Penyerahannya pada pencobaan itu tidaklah lebih baik 

daripada yang sebelumnya: Ia menyangkalnya pula.  

Lihatlah di sini: 

[1] Natur dosa pada umumnya: hatinya menjadi tegar kare-

na tipu daya dosa (Ibr. 3:13). Sungguh sangat menghe-

rankan kalau Petrus dengan beraninya langsung saja 

berdusta dengan begitu yakinnya saat  orang berhasil 

membuktikan siapa dirinya. namun  begitulah, permula-

an dosa yaitu  seperti membuka jalan air. Begitu pagar 

roboh, orang akan mudah berubah dari jahat menjadi 

semakin jahat. 

[2] Natur dosa dusta pada khususnya. Dosa ini sangat su-

bur atau berbuah sifatnya, dan sebab  itu terhitung sa-

ngat parah ukuran dosanya. Satu dusta akan memerlu-

kan dusta yang lain untuk mendukungnya, dan begitu


 seterusnya. Begitulah aturan dalam kebijakan Iblis Male 

facta male factis tegere, ne perpluant – menutup dosa 

dengan dosa, untuk menghindari pelacakan.  

(3) Petunjuk yang diberikan kepada Petrus untuk menyadar-

kan hati nuraninya sangat tepat waktunya dan membaha-

giakan: saat  itu berkokoklah ayam. Dan penyebutan 

mengenai kokok ayam ini menyatakan segalanya mengenai 

pertobatannya. Hal ini juga dicatat oleh penulis-penulis 

Injil lainnya. Kejadian ini membawa dirinya kembali kepada 

dirinya sendiri, dengan mengembalikan perkataan Kristus 

ke dalam ingatannya.  

Perhatikanlah di sini:   

[1] Kepedulian Kristus kepada orang-orang yang menjadi 

milik-Nya walaupun mereka telah melakukan banyak 

kebodohan. jika   mereka jatuh, tidaklah sampai ter-

geletak.  

[2] Keuntungan memiliki pengingat yang setia di dekat kita, 

yang walaupun tidak dapat mengatakan sesuatu mele-

bihi yang telah kita ketahui, namun dapat mengingat-

kan kita mengenai sesuatu yang telah kita ketahui te-

tapi telah kita lupakan. Kokok ayam jantan kepada 

orang lain hanyalah suatu kebetulan belaka dan tidak 

memiliki makna apa-apa. Namun bagi Petrus, kokok 

ayam itu merupakan suara Allah dan memiliki kecende-

rungan yang baik untuk menyadarkan hati nuraninya 

dengan cara mengingatkan dia akan perkataan Kristus.  

Kristus di dalam Gedung Pengadilan; 

Kristus di hadapan Pilatus  

(18:28-40) 

23 Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan. saat  

itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu, 

supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah. 29 Se-

bab itu Pilatus ke luar mendapatkan mereka dan berkata: “Apakah tuduhan 

kamu terhadap orang ini?” 30 Jawab mereka kepadanya: “Jikalau Ia bukan 

seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu.” 31 Kata Pilatus 

kepada mereka: “Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut hukum Taurat-

mu.” Kata orang Yahudi itu: “Kami tidak diperbolehkan membunuh sese-

orang.” 32 Demikian hendaknya supaya genaplah firman Yesus, yang dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati. 33 Maka kem-

balilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan berta-

nya kepada-Nya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” 34 Jawab Yesus: “Apa-

kah kau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang 

mengatakannya kepadamu tentang Aku?” 35 Kata Pilatus: “Apakah aku se-

orang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menye-

rahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?” 36 Jawab 

Yesus: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini, jika kerajaan-Ku dari dunia ini, 

pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan ke-

pada orang Yahudi, akan namun  kerajaan-Ku bukan dari sini.” 37 Maka kata 

Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau yaitu  raja?” Jawab Yesus: “Engkau me-

ngatakan bahwa Aku yaitu  raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah 

Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang 

kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-

Ku.” 38a Kata Pilatus kepada-Nya: “Apakah kebenaran itu?” 38b Sesudah me-

ngatakan demikian, keluarlah Pilatus lagi mendapatkan orang-orang Yahudi 

dan berkata kepada mereka: “Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada-

Nya. 39 namun  pada kamu ada kebiasaan, bahwa pada Paskah aku membe-

baskan seorang bagimu. Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja 

orang Yahudi bagimu?” 40 Mereka berteriak pula: “Jangan Dia, melainkan 

Barabas!” Barabas yaitu  seorang penyamun.  

Di sini kita membaca catatan perihal pendakwaan Kristus di hadapan 

Pilatus, wali negeri Romawi, di dalam prætorium (sebuah istilah Latin 

yang dijadikan istilah Yunani), rumah pejabat tinggi Romawi, atau 

gedung pengadilan. Ke sanalah mereka membawa Dia, supaya dapat 

dihukum di pengadilan Romawi dan dieksekusi (dilaksanakan) oleh 

kekuasaan Romawi. sebab  sudah bulat hati bahwa Ia harus mati, 

mereka mengambil langkah ini :    

1. Supaya Kristus dapat dijatuhi hukuman mati secara lebih sah 

dan lebih pasti sesuai dengan undang-undang dasar pemerintah-

an mereka sejak negeri mereka menjadi salah satu provinsi kekai-

saran Romawi. Tidak dengan cara dilempari batu sampai mati da-

lam sebuah huru-hara seperti Stefanus, namun  dihukum mati me-

nurut tata cara pengadilan yang resmi. Demikianlah, Ia diperlaku-

kan seperti seorang penjahat, dijadikan dosa sebab  kita.  

2. Supaya Dia dapat dijatuhi hukuman mati dengan lebih aman. 

Jika mereka dapat melibatkan pemerintah Romawi dalam perkara 

ini, orang-orang akan menjadi takut, sehingga tidak akan terjadi 

keributan.  

3. Supaya Ia dapat dijatuhi hukuman mati dengan lebih banyak me-

nanggung nista. Dari semua kematian, mati di kayu salib yang 

biasa digunakan oleh orang Romawi merupakan kematian yang 

sangat hina. Dengan hukuman itu mereka sangat berhasrat un-

tuk dapat meletakkan tanda kekejian yang tak terhapuskan ke 

atas-Nya sehingga dapat menenggelamkan nama baik-Nya untuk 

selamanya. sebab  itu mereka berseru berulang kali, Salibkan 

Dia.  

4. Supaya Ia dihukum mati tanpa banyak kecaman untuk mereka 

sendiri. Menghukum mati orang yang telah banyak berbuat baik 

bagi dunia ini sungguh merupakan perbuatan yang sangat me-

nyakitkan hati. Itulah sebabnya mereka ingin melemparkan ke-

bencian itu ke atas pemerintah Romawi, menyerahkan hal yang 

kurang dapat diterima ini kepada orang banyak dan menyelamat-

kan diri mereka sendiri dari kecaman. Begitulah, banyak orang 

lebih takut terhadap aib akibat sebuah perbuatan buruk daripada 

terhadap dosa akibat perbuatan itu (Kis. 5:28). Dua hal dapat kita 

amati perihal tindak peradilan ini:  

(1) Siasat dan kegigihan mereka dalam mengadili Dia. Di sini di-

katakan, hari masih pagi. Ada yang menduga bahwa saat itu 

sekitar pukul dua atau tiga dini hari. Ada juga yang mengata-

kan sekitar pukul lima atau enam pagi, saat  sebagian besar 

orang masih terlelap di tempat tidur. Jadi, sangat kecil bahaya 

kemungkinan adanya perlawanan orang banyak yang berpihak 

pada Kristus. Sementara itu, pada saat yang sama mereka me-

merintahkan sejumlah kaki tangan mereka untuk mengum-

pulkan orang-orang yang dapat mereka pengaruhi guna mene-

riakkan seruan menentang Dia. Lihatlah betapa hati mereka 

memang sudah bulat untuk mengadili Dia, betapa bengisnya 

mereka. Sekarang, sebab  Kristus sudah berada dalam geng-

gaman kekuasaan mereka, mereka tidak mau membuang-

buang waktu lagi sampai Ia terpaku di atas kayu salib. Mereka 

rela mengorbankan waktu istirahat supaya perkara ini dilak-

sanakan secepatnya (Mi. 2:1).  

(2) Ketakhayulan dan kemunafikan mereka yang keji. Walaupun 

datang bersama orang hukuman itu supaya semua rencana 

mereka terlaksana dengan baik, imam-imam kepala dan para 

tua-tua itu tidak masuk ke dalam gedung pengadilan, sebab  

tempat itu yaitu  rumah seorang bukan-Yahudi yang tidak 

bersunat. Mereka tetap berdiri di luar pintu agar jangan sam-

pai mereka menajiskan diri dengan memasuki rumah itu, su-

paya mereka dapat tetap makan Paskah. Yang dimaksudkan 

bukanlah makan anak domba Paskah (yang dimakan pada 

malam sebelumnya), namun  makan korban Paskah yang diper-

sembahkan pada hari kelima belas perayaan Paskah, yang me-

reka sebut Chagigah, yaitu Paskah lembu sapi dan kambing 

domba seperti yang diuraikan dalam Ulangan 16:2; 2 Tawarikh 

30:24, dan 35:8-9. Makanan inilah yang harus mereka makan, 

sebab  itu mereka tidak mau masuk ke dalam gedung peng-

adilan itu sebab  takut bersentuhan dengan orang bukan-

Yahudi. Persentuhan yang membuat mereka tercemar, bukan 

secara hukum, melainkan secara adat-istiadat belaka. Inilah 

yang menjadi keberatan mereka. Hebatnya, mereka tidak me-

rasa keberatan untuk melanggar semua hukum keadilan de-

ngan menganiaya Kristus sampai mati. Mereka menapis nya-

muk dari dalam minuman, namun  menelan seekor unta yang ada 

di dalamnya. Sekarang marilah kita lihat apa yang terjadi di 

dalam gedung pengadilan ini . Di sini ada ,  

I. Percakapan Pilatus dengan para pendakwa. Mereka diminta ber-

bicara lebih dahulu untuk menyatakan dakwaan mereka terhadap 

orang hukuman itu sesuai dengan aturan yang berlaku (ay. 29-

32).  

1.  Hakim itu meminta mereka menyatakan tuduhan mereka. Ka-

rena mereka tidak mau masuk, Pilatus keluar mendapatkan 

mereka di depan gedung pengadilan itu. Mengingat jabatan 

Pilatus yang juga seorang pejabat hukum, ia harus berlaku 

adil terhadap semua pihak, dan di sini ada  tiga sikapnya 

yang patut dipuji: 

(1) Kerajinan dan ketekunannya dalam menangani perkara. 

Seandainya itu dilaksanakan sebab  alasan yang baik, be-

tapa baiknya ia sebab  bersedia hadir sepagi itu untuk 

menghakimi. Orang yang melayani kepentingan umum ti-

daklah mendahulukan kesenangan mereka.   

(2) Kerendahan hatinya dalam mengikuti kemauan orang ba-

nyak dan melepaskan sejenak kedudukannya untuk me-

ngabulkan keberatan mereka. Dia bisa saja berkata, “Jika 

mereka tidak mau masuk menghadap aku, suruhlah mere-

ka pulang, sama seperti saat  mereka datang.” Dengan 

cara yang sama kita juga dapat berkata, “Kalau para pen-

dakwa ini merasa berkeberatan untuk menghormati hakim, 

pengaduan mereka tidak perlu didengarkan.” Namun, Pila-

tus tidak bersikap demikian, ia tetap bersabar dengan me-

reka dan keluar mendapatkan mereka. sebab , jika hal itu 

demi kebaikan, kita harus menjadi segala-galanya bagi se-

mua orang.   

(3) Kepatuhannya terhadap hukum keadilan, dalam hal men-

dengarkan tuduhan dan mencurigai kedengkian di pihak 

penuntut: “Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini? Keja-

hatan apa yang kamu tuduhkan ke atas-Nya, dan bukti-

bukti apa yang kamu miliki berkenaan dengan tuduhan 

itu?” Itu yaitu  dasar-dasar moral yang berlaku umum 

sebelum Valerius Publicola memasukkannya ke dalam Tata 

Hukum Romawi, Ne quis indicta causa condemnetur – Sese-

orang tidak boleh dijatuhi hukuman sebelum diberi kesem-

patan untuk membela diri (Kis. 25:16-17). Sungguh tidak 

beralasan untuk menuntut seseorang tanpa menyertakan 

bukti dalam tuduhan yang diajukan, terlebih lagi mengha-

dapkan seseorang ke depan pengadilan tanpa bukti yang 

jelas-jelas menunjukkan kejahatan orang ini.  

2. Tanpa disertai bukti, apa lagi sesuatu yang khusus dapat mem-

buktikan tuduhan bahwa Ia patut dijatuhi hukuman mati atau 

dipenjarakan (ay. 30), para pendakwa ini meminta Kristus 

dihakimi berdasarkan sebuah dugaan umum bahwa Ia yaitu  

seorang penjahat: Jikalau Ia bukan seorang penjahat, atau pe-

laku kejahatan, kami tidak akan menyerahkan-Nya kepadamu 

untuk dihukum. Hal ini memperlihatkan bahwa mereka, 

(1) Bersikap sangat kasar dan tidak sopan terhadap Pilatus. 

Suatu kumpulan orang jahat yang menebar pengaruh un-

tuk menghina penguasa. saat  Pilatus telah begitu bermu-

rah hati bersedia keluar menemui mereka untuk merun-

dingkan perkara mereka, mereka malah mempermainkan 

dia. Pilatus menyampaikan pertanyaan yang sangat masuk 

akal kepada mereka. Namun, mereka menganggap perta-

nyaan itu begitu bodoh dan menggelikan sehingga menja-

wabnya dengan nada yang semakin merendahkan. 

(2) Bersikap penuh kedengkian dan dendam terhadap Yesus 

Tuhan kita. Benar atau salah, mereka tetap menganggap 

Yesus sebagai seorang penjahat dan memperlakukan Dia 

seperti itu. Kita harus tetap menganggap seseorang tidak 

bersalah sampai pemeriksaan memang membuktikan bah-

wa ia bersalah. namun  mereka menganggap Dia bersalah, 

meskipun Dia telah membuktikan diri tidak bersalah. Me-

reka tidak dapat mengatakan bahwa, “Kristus yaitu  se-

orang pengkhianat, seorang pembunuh, seorang penjahat, 

seorang pembuat huru-hara,” namun  mereka berani berkata 

bahwa, “Ia yaitu  seorang pelaku kejahatan.” Ia yaitu  se-

orang pelaku kejahatan yang berjalan keliling sambil ber-

buat kebaikan! Biarlah dipanggil orang-orang yang telah 

disembuhkan, mereka yang diberi makan dan diajar, mere-

ka yang dibebaskan dari roh-roh jahat dan dibangkitkan 

dari kematian, lalu bertanyalah kepada mereka apakah Dia 

seorang pelaku kejahatan atau bukan. Perhatikanlah, bu-

kanlah hal yang baru lagi kalau orang-orang yang berbuat 

kebaikan diberi cap dan diserang sebagai penjahat bejat.  

(3) Bersikap sangat sombong dan congkak. Menganggap hebat 

penghakiman dan keadilan yang mereka buat sendiri, se-

olah-olah hanya dengan ciri-ciri umum seorang penjahat 

saja sudahlah cukup bagi mereka untuk menyerahkan se-

seorang kepada hakim negara untuk dihukum secara sah. 

Wah, kesombongan seperti apa lagi yang lebih hebat dari-

pada keangkuhan membabi buta seperti ini?  

3. Sang hakim menyerahkan Kristus kembali kepada hukum me-

reka sendiri (ay. 31): “Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut 

hukum Tauratmu, dan jangan menyusahkan aku dengan orang 

itu.”  

Sekarang perhatikan: 

(1) Ada yang berpendapat bahwa dalam hal ini Pilatus menun-

jukkan sikap tunduk kepada mereka dan mengakui ke-

kuasaan mereka serta memperbolehkan mereka mengguna-

kan kekuasaan mereka. Hukuman badan yang dapat mere-

ka berikan, seperti menyesah di dalam rumah-rumah ibadat 

mereka, apakah dengan hukuman mati atau bukan, tidak-

lah jelas. “namun ,” kata Pilatus, “hukumlah Dia sejauh hu-

kummu mengizinkan, dan kalau kamu melakukan lebih 

daripada itu, itu urusanmu sendiri.” Perkataannya ini me-

nunjukkan bahwa ia ingin menyenangkan hati orang Yahu-

di itu, namun  tidak mau melakukan apa yang mereka minta. 

(2) Ada juga yang berpendapat lain dengan mengatakan bahwa 

Pilatus sedang memperolokkan mereka dan mencela keada-

an mereka saat itu yang tidak berdaya dan harus tunduk di 

bawah kekuasaan Romawi. Seharusnya mereka sendiri 

yang menjadi hakim atas kesalahan itu. “Berharaplah,” 

kata Pilatus, “jika kamu memang mau menghakimi, laku-

kanlah sesuai dengan yang kamu inginkan. Kamu telah 

menyatakan Dia bersalah menurut hukummu sendiri, ka-

rena itu hukumlah Dia. Kalau kamu berani, hukumlah Dia 

menurut hukummu sendiri, untuk melaksanakan keingin-

anmu ini.” Sungguh tidak ada lagi yang aneh dan pantas 

seperti orang-orang ini, yang sok memerintah dan berlagak 

bijak, padahal diri sendiri tidak berdaya dan dijajah, dan 

nasib sendiri pun ditentukan orang. Menurut pendapat se-

bagian orang, Pilatus di sini sedang menyinggung Hukum 

Musa, bahwa seolah-olah Hukum ini  memperboleh-

kan apa yang dilarang oleh Hukum Romawi – yakni meng-

hakimi seseorang tanpa mendengarkan keterangan dan 

pembelaan darinya. “Hukummu dapat menjatuhkan hu-

kuman semacam itu, namun  hukum kami tidak.” Jadi, mela-

lui kebusukan mereka, hukum Allah dihujat. Demikian 

pula yang terjadi dengan Injil Kristus.  

4. Mereka menolak mengakui kewenangan hakim-hakim, dan 

(sebab  memang harus begitu) mereka lebih berhasrat menjadi 

pendakwa atau penuntut. Sekarang sikap mereka tidak begitu 

kasar lagi dan lebih merendah. Mereka mengakui, “Kami tidak 

diperbolehkan membunuh seseorang, seringan apa pun hu-

kuman yang dapat kami jatuhkan. Namun, orang ini yaitu  

seorang penjahat yang darah-Nya sangat kami ingini.” 

(1) Sebagian orang berpendapat bahwa mereka telah kehilang-

an kekuasaan untuk menghakimi perkara hidup dan mati 

hanya sebab  kecerobohan mereka, dan kini secara penge-

cut melakukan perbuatan ketidakadilan yang terkenal itu 

pada zaman itu. Begitulah menurut Dr. Lightfoot [theolog 

Inggris abad ketujuh belas – ed.], ouk exesti – kita tidak 

punya kuasa untuk menjatuhkan hukuman mati kepada 

siapa pun juga. Jika kita melakukannya, kita akan segera 

menghadapi keributan besar dari orang banyak.  

(2) Ada juga yang berpendapat bahwa kekuasaan mereka telah 

dilucuti oleh orang-orang Romawi, sebab  mereka tidak 

mempergunakannya dengan baik, atau sebab  mungkin 

kepercayaan ini terlalu besar untuk diserahkan ke dalam 

tangan suatu bangsa yang sudah kalah dan takluk. Hal ini 

jelas tampak saat  mereka menunjukkan rasa hormat ke-

pada Pilatus dan saat  mereka menyadari kekasaran me-

reka terhadapnya (ay. 30). Bahkan lebih daripada itu, ter-

bukti jelas di sini betapa tongkat kerajaan telah beranjak 

dari Yehuda, dan sebab  itulah sekarang Sang Mesias da-

tang (Kej. 49:10). Jika orang-orang Yahudi itu tidak lagi 

memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman mati ke 

atas seseorang, di manakah tongkat kerajaan itu? Meski-

pun begitu, masih juga mereka tidak mau ber