Tampilkan postingan dengan label hukum islam 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

hukum islam 3

 


ting yang menarik perhatian di s in i:

a. Mengenai porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki masih 

dipertahankan secara ketat bahwa bagian anak laki-laki yaitu  dua 

berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 176), walaupun 

sebenarnya cukup banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam 

sendiri yang menginginkan penentuan bagian yang sama antara laki- 

laki dan perempuan. Tetapi karena dalil Al Quran tentang hal ini cukup 

tegas kompilasi Hukum Islam menuangkannya sebagaimana itu  di 

atas.

b. Mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian waris juga 

dimungkinkan. Pasal 183 menentukan bahwa para ahli waris dapat 

bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, 

setelah masing-masing menyadari bagiannya. Ketentuan ini akan 

membuka peluang, setelah para pihak yang terlibat menentukan bagian- 

bagian masing-masing yang seharusnya mereka terima selanjutnya 

mereka tentukan secara musyawarah misalnya semua harta dibagi sama 

di antara ahli waris.

c. Penentuan bagian dari masing-masing ahli waris yaitu  sesuai dengan 

ketentuan faraid yang umumnya ditentukan kasus per kasus seperti 

dapat dilihat dalam pasal 177-182.

56

d. Pembagian waris tidak mesti harus membagikan bendanya secara fisik. 

Pasal 189 mengatur tentang pembagian warisan yang berupa lahan 

pertanian yang luasnya kurang dari 2 Ha yang harus dipertahankan dan 

dimanfaatkan bersama atau dengan membayar harga tanah sehingga 

tanahnya tetap dipegang oleh seorang ahli waris saja.

Pasal 187 mengatur tentang tatacara pembagian warisan, yang 

selanjutnya harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 192 dan 193 yang ada di 

bawah Bab tentang "Aul dan rad" (istilah ini perlu dicarikan padanannya 

dalam bahasa negara kita ), pasal 190 mengatur tentang pembagian warisan 

bagi mereka yang memiliki  istri lebih dari seorang.

Masih ada ketentuan lain yang seharusnya dimasukkan dalam Bab 

mengenai ahli waris yaitu tentang waris pengganti sebagaimana yang diatur 

dalam pasal 185. Dengan adanya ketentuan seperti ini dalam kompilasi maka 

kita sudah mengambil sikap bahwa dalam hukum Islam negara kita  

dimungkinkan terjadinya penggantian tempat dalam warisan, walaupun 

dalam paham yang lain hal yang demikian tidak dikenal dalam hukum Islam.

Bab V mengatur tentang wasiat (pasal 194-209) baik menyangkut 

mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal- 

hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. sedang  Bab VI (pasal 210- 

214) yaitu  tentang hibah yang hanya diatur secara singkat.

6.3 HUKUM PERWAKAFAN

Bagian terakhir atau Buku Ke-III Kompilasi Hukum Islam yaitu  

tentang Hukum Perwakafan. Adapun sistematikanya yaitu  sebagai berikut:

Bab I Ketentuan Umum (pasal 215)

Bab II Fungsi, unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (pasal 216-222)

Bab III Tatacara perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (pasal 223- 

224)

Bab IV Perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf (pasal 225- 

227)

Bab V Ketentuan Peralihan (pasal 228)

Apa yang diatur dalam Bab ini isinya jauh lebih sedikit bilamana 

dibandingkan dengan dua buku terdahulu sehingga tidak banyak hal yang 

perlu dikomentari dalam bagian ini. Selain itu materi hukum yang termuat 

dalam bagian ini juga sedikit berbeda dengan materi hukum yang diatur

57

dalam dua buku terdahulu yang disebut sebagai materi hukum yang bersifat 

peka, maka persoalan mengenai perwakafan yaitu  termasuk dalam 

lapangan hukum yang bersifat sedikit agak netral.

Satu komentar yang bersifat umum dalam bagian ini ialah sebagian 

besar dari Pasal-pasalnya memiliki  banyak kemiripan dengan apa yang 

diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan 

Tanah Milik. Hanya saja PP No. 28 Tahun 1977 terbatas pada perwakafan 

Tanah milik sedang  kompilasi yaitu  perwakafan pada umumnya. Du­

plikasi memang tidak mungkin dihindari sama sekali tetapi kenyataan yang 

ada dapat menimbulkan kesan bahwa kompilasi Buku ke-III hanya 

merupakan copy belaka dari PP No. 28 Tahun 1989 dengan menghilangkan 

perwakafan Tanah Milik menjadi perwakafan saja.

Sesuai dengan tujuannya semula bahwa kompilasi ini akan memuat 

materi hukum Islam yang diangkat dari berbagai pendapat hukum dikenal 

dalam hukum Islam maka Kompilasi Hukum Islam ini harus memuat hukum 

substantif dari Hukum Islam yang dalam hal ini materi hukum perwakafan 

sebagaimana yang diatur dalam kita-kitab fikih. sedang  PP No. 28 tahun 

1977 seharusnya lebih menitikberatkan pada aspek proseduralnya yang 

menyangkut masalah tata cara dan prosedur administratif lainnya. Akan 

tetapi, karena PP No. 28 Tahun 1977 tidak hanya mengatur masalah 

prosedural semata tetapi juga banyak yang bersifat hukum substantifnya, 

maka seharusnya Kompilasi membatasi diri dari hal-hal yang bersifat teknis 

dan lebih banyak memperdalam apa yang bersifat substantif itu . Hal ini 

nanti dapat dilihat bilamana kita membahas materi buku ke-III Kompilasi 

Hukum Islam tentang perwakafan.

Ketentuan umum, yaitu pasal 215 memuat uraian dari berbagai 

pengertian. Empat pengertian yaitu wakaf, wakif, ikrar dan nadzir yaitu  

mengambil over dari Pasal 1 PP No, 28 Tahun 1977. Selanjutnya 

ditambahkan tentang pengertian benda wakaf dan pejabat pembuat Akta 

Ikrar Wakaf. Pasal 215 ayat (7) isinya yaitu  sama dengan pasal 9 ayat (2) 

PP No. 28 Tahun 1977.

Mengenai fungsi wakaf yang diatur dalam pasal 216 yaitu  sama 

dengan apa yang diatur dalam pasal 2 PP No. 28 Tahun 1977 bahwa fungsi 

wakaf yaitu  mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan 

wakaf. Mengenai syarat-syarat wakaf yang disebut dalam pasal 217 ayat (1) 

dan (2) memiliki  kemiripan dengan pasal 3 PP, sedang  ayat (3) yaitu  

mirip dengan Pasal 4 PP. Selanjutnya Pasal 218 mirip dengan pasal 5 

sedang  pasal 219 mirip dengan pasal 6 kecuali di sini ditambahkan 

dengan bunyi teks dari sumpah yang harus diucapkan oleh nadzir yang tidak

58

dimasukkan dalam pasal 6 itu . Pasal 220 mirip dengan Pasal 7 dan 

Pasal 222 mirip dengan Pasal 8 sedang  pasal 221 yaitu  merupakan 

ketentuan yang hanya ada dalam kompilasi.

Mengenai tata cara perwakafan yang diatur dalam Pasal 223 mirip 

dengan Pasal 9 akan tetapi karena ada semacam keinginan untuk 

memaksakan pasal itu  perwakafan pada umumnya dengan Pasal 9 yang 

memang khusus berlaku untuk tanah maka timbul semacam kerancuan. Pasal 

223 tidak menyebut sertifikat sebagai alat bukti sebagaimana Pasal 9, tetapi 

dengan menyebutkan pada ayat (4) huruf b "jika benda yang diwakafkan 

berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari 

Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan 

pemilikan benda tidak bergerak itu ", pada hal sebenarnya kalau 

seandainya disebutkan sebagaimana Pasal 9 sertifikat Hak milik atau bukti 

lain tidaklah serumit seperti itu  di atas dan tidak akan menimbulkan 

kesan untuk tanah yang sudah bersertifikat masih diperlukan bukti seperti 

itu  di atas. Dapat ditambahkan bahwa ketentuan yang mirip dengan apa 

yang itu  di atas dalam pasal 9 yaitu  sebagai keterangan bahwa tanah 

yang bersangkutan tidak dalam sengketa.

Hal yang sama muncul dalam masalah pendaftarkan benda wakaf 

(Pasal 224) dibandingkan dengan Pasal 10 PP tentang pendaftaran wakaf 

tanah milik. Dalam PP yang secara yuridis memang berkaitan dengan 

pendaftaran tanah yang ditentukan dana Undang-undang Pokok Agraria dan 

PP No. 10 Tahun 1961 mandaftarkan perwakafan kepada Bupati/Waliko- 

tamadya yang pada waktu itu memang membawahi Sub-Direktorat Agraria 

dimana untuk masa sekarang harus dibaca Kantor Pertahanan Kabupaten/ 

Kotamadya. Ketentuan ini memang cocok untuk tanah.

Pasal 224 Kompilasi yang mengatur Pendaftaran Benda Wakaf yang 

tentunya mencakup tanah/benda tetap dan bukan tanah atau benda bergerak, 

menentukan bahwa setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan 

ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan 

Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan 

mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftar perwakafan benda 

yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestariannya. Yang 

menjadi tidak jelas di sini dalam pengertian apa pendaftaran dimaksud dan 

apakah tugas camat untuk melakukan pendaftaran benda wakaf dimaksud 

dan apa konsekuensi yuridisnya. Untuk tanah sesuai dengan ketentuan 

itu  di atas pendaftarannya harus kepada BPN maka masih perlu untuk 

dipersoalkan apakah masih harus didaftarkan lagi sesuai dengan ketentuan 

pasal 223 Kompilasi. Kalau ini hanya ditujukan kepada benda bergerak juga

59

masih tidak jelas makna dari pendaftaran yang disebutkan untuk menjaga 

keutuhan dan kelestariannya.

Mengenai perubahan penggunaan benda wakaf sebagaimana yang 

diatur dalam Pasal 225 pada dasarnya mirip dengan pasal 11 PP, hanya saja 

bedanya kalau dalam Pasal 11 untuk perubahan diperlukan persetujuan 

tertulis dari Menteri Agama, tetapi dalam pasal 225 perubahan diberikan 

dengan persetujuan Kepala Kantor Urusan Agama atas saran dari Majelis 

Ulama Kecamatan dan Camat setempat Kalau apa yang diaturkan dalam 

Pasal 225 diberlakukan juga untuk perwakafan tanah akan ada  

penyimpangan yang cukup drastis dari PP No. 28 Tahun 1977.

Selanjutnya mengenai persoalan penyelesaian perselisihan benda wakaf 

yang diatur dalam Pasal 226 memiliki  kemiripan dengan Pasal 12 PP akan 

tetapi dalam redaksi yang dapat mengundang tafsiran yang jauh berbeda. 

Pasal 12 PP No. 28 Tahun 1977 merumuskan penyelesaian perselisihan 

sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui 

Pengadilan Agama setempat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- 

undangan yang berlaku. sedang  pasal 226 berbunyi penyelesaian 

perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir 

diajukan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku. Jadi Pengadilan Agama hanya 

memeriksa persoalan benda wakaf yang dalam pengertian PP No. 28 Tahun 

1977 mungkin tidak menjadi kompetisi Pengadilan Agama tetapi Pengadilan 

Negeri, karena Pengadilan Agama hanya berwenang memeriksa dan 

mengadili perkara tentang wakaf.

Mengenai benda yang menjadi objek perwakafan, dalam pasal 50 UU  

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditentukan dalam hal teijadi 

sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain (yang sudah tentu 

berkenaan dengan benda yang diwakafkan) dalam hal perkara-perkara 

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus yang mengenai 

objek yang menjadi sengketa itu  harus diputuskan lebih dahulu oleh 

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 227 tentang pengawasan memiliki  kemiripan dengan pasal 13 

PP No. 20 Tahun 1977. Pengawasan menurut Pasal 13 hanya ditentukan 

secara umum bahwa pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya 

diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama. 

sedang  pasal 227 menentukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas 

dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama oleh Kepala Kantor 

Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan 

Agama yang mewilayahinya. Jadi di sini hanya dalam bentuk terbatas dan

60

Memberi  wewenang/tugas tambahan kepada Pengadilan Agama untuk 

melakukan pengawasan terhadap nadzir bersama-sama dengan KUA dan 

MUI kecamatan.

Sekedar tambahan mengenai persoalan ini, dalam peraturan Menteri 

Agama No. 1 Tahun 1978 tentang pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 diatur 

tentang pengawasan dan bimbingan dalam Pasal 14 yang menentukan bahwa 

pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unit-unit 

Organisasi Departemen Agama secara hirarkhis sebagai diatur dalam 

keputusan Menteri Agama tentang susunan Organisasi dan tata kerja 

Departemen Agama.

61


BUKU I

HUKUM PERKAWINAN

BABI

KETENTUAN UMUM  

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :

a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan 

perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita,

b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau 

pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk 

bertindak sebagai wali nikah;

c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul 

yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua 

orang saksi;

d. Mahar yaitu  pemberian dari calon mempelai pria kepada calon 

mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak 

bertentangan dengan hukum Islam;

e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria 

setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji 

talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin 

terjadi dimasa yang akan datang;

f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah yaitu  harta yang 

diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam 

ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa 

mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

g. Pemeliharaan atak atau hadhonah yaitu  kegiatan mengasuh, 

memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri 

sendiri;

h. Perwalian yaitu  kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk 

melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan 

dan atas nama anak yang tidak memiliki  kedua orang tua, orang tua 

yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

Disalin dari “Kompilasi Hukum Islam di negara kita ”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam 

Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.

63

i. Khuluk yaitu  perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan 

Memberi  tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;

j. Mutah yaitu  pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak 

berupa bendaatau uang dan lainnya.

BABU

DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2

Perkawinan menurut hukun Islam yaitu  pernikahan, yaitu akad yang 

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan 

melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga 

yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4

Perkawinan yaitu  sah, bila  dilakukan menurut hukum Islam 

sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan.

Pasal 5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi warga  Islam setiap 

perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan itu  apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai 

Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 

Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus 

dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat 

Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat 

Nikah tidak memiliki  kekuatan Hukum.

64

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat 

oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, 

dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas 

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat 

perkawian;

(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- 

undang No. 1 Tahun 1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki  

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Thaun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau 

isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan 

dengan perkawinan itu.

Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan 

surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan 

perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal 9

(1) bila  bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang 

dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan 

Agama.

(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat 

diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk 

yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

65

BAB III

PEMINANGAN 

Pasal 11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak 

mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat 

dipercaya.

Pasal 12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih 

perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah 

raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria 

lain, selama pinangan pria itu  belum putus atau belum ada 

penolakan dari pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang 

putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang 

meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas 

memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata 

cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, 

sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

BAB IV

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu

Rukun

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri; ?

66

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua 

Calon Mempelai

Pasal 15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya 

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang 

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o.l tahun 1974 yakni calon 

suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang- 

kurangnya berumur 16 tahun.

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus 

mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) 

dan (5) UU N o.l Tahun 1974.

Pasal 16

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan 

tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa 

diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah mena­

nyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi 

nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon 

mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu 

persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat 

dimengerti.

Pasal 18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan perni­

kahan tidak ada  halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

67

Bagian Ketiga

Wali Nikah

Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi 

bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang 

memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, 

kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat 

tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, 

kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara 

laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung 

ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki 

seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(2) bila  dalam satu kelompok wali nikah ada  beberapa orang yang 

sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi 

wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon 

mempelai wanita.

(3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang 

paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat 

yang seayah.

(4) bila  dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni 

sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah,

68

mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan 

yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

bila  wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi 

syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna 

wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser 

kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah bila  wali nasab 

tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui 

tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat 

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama 

tentang wali itu .

Bagian Keempat 

Saksi Nikah

Pasal 24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki- 

laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu 

atau tuli.

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta 

menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah 

dilangsungkan.

69

Bagian Kelima

Akad Nikah

Pasal 27

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun 

dan tidak berselang waktu.

Pasal 28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang 

bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara 

pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada 

pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang 

tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu yaitu  

untuk mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai 

pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

BABY

MAHAR

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai 

wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31

Penentuan mahar berdasar  atas kesederhanaan dan kemudahan yang 

dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu 

menjadi hak pribadinya.

70

Pasal 33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

(2) bila  calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh 

ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum 

ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 34

(1) Kewajiban menyerahkan mahar-mahar bukan merupakan rukun dalam 

perkawinan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, 

tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam 

keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35

(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar 

setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

(2) bila  suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar 

belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36

bila  mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti 

dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain 

yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang 

mahar yang hilang.

Pasal 37

bila  terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang 

ditetapkan, penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

(1) bila  mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi 

calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan 

mahal dianggap lunas.

(2) bila  isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami 

harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama 

Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

71

BAB VI

LARANGAN KAWIN

Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan 

seorang wanita dipicu :

(1) Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkan­

nya atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas 

isterinya;

b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, 

kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu 

qobla al dukhul;

d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus 

ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis 

lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan 

sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke 

atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan 

seorang wanita karena keadaan tertentu :

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan

pria lain;

72

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang 

memiliki  hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan itu  pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya 

telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang 

wanita bila  pria itu  sedang memiliki  4 (empat) orang isteri yang 

keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah 

talak raj'i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali 

perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :

a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;

b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili'an.

(2) Larangan itu  pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi 

telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan itu  putus 

ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang 

pria yang tidak beragama Islam.

73

BAB VII

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam

bentuk:

1. Taklik talak dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

(2) bila  keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi 

kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh- 

sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan 

Agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada 

setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan 

tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon 

mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai 

Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian itu  dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta 

probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal 

itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi 

perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk 

mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau 

harta syarikat.

Pasal 48

(1) bila  dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama 

atau harta syarikat, maka perjanjian itu  tidak boleh menghilangkan 

kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

74

(2) bila  dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan 

itu  pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama 

atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya 

kebutuhan rumah tangga.

Pasal 49

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik 

yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang 

diperoleh masing-masing selama perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan itu  pada ayat (1) dapat juga 

diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat 

perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi 

harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan 

pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di 

hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan 

bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai 

Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.

(3) Sejak pendaftaran itu , pencabutan telah mengikat kepada suami 

isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak 

tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat 

kabar setempat.

(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang 

bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan 

tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh 

merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak 

ketiga.

Pasal 51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri 

untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan 

gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

75

Pasal 52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan 

keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan 

biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII 

KAWIN HAMIL

Pasal 53

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang 

menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat 

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak 

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melang­

sungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.

(2) bila  terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya 

masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

BAB IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55

(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai 

empat isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku 

adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.

(3) bila  syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin 

dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

76

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin 

dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut 

pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan 

Pemerintah No.9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat 

tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memiliki  kekuatan hukum.

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya Memberi  izin kepada seorang suami yang

akan beristeri lebih dari seorang bila  :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disem­

buhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk 

memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat 

yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang N o.l Tahun 1974 yaitu :

a. adanya pesetujuan isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup 

ister-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan 

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat 

diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada 

persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan 

isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi 

seorang suami bila  isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai 

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau 

bila  tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang- 

kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat 

penilaian Hakim.

Pasal 56

77

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau Memberi  persetujuan, dan permohonan 

izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasar  atas salah satu alasan 

yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat 

menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri 

yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap 

penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB X

PENCEGAHAN PERKAWINAN 

Pasal 60

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan 

yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon 

isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat- 

syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan 

peraturan Perundang-undangan.

Pasal 61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, 

kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis 

keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali 

pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang 

bersangkutan.

(2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai 

kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah 

perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang 

masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang 

calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

78

Pasal 64

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban 

mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam 

daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan 

memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan 

pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai 

Pencatat Nikah.

Pasal 66

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan bila  pencegahan belum 

dicabut.

Pasal 67

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali 

permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau 

denganputusan Pengadilan Agama.

Pasal 68

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau 

membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya 

pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau 

pasal 12 Undang-undang N o.l Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan 

perkawinan.

Pasal 69

(1) bila  pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan 

itu  ada larangan menurut Undang-undang No.l Tahun 1974 maka 

ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin 

melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan 

diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan itu  disertai 

dengan alasan-alasan penolakannya.

79

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan 

permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai 

Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk 

Memberi  keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan 

penolakan itu  diatas.

(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat 

dan akan Memberi  ketetapan, bila  akan menguatkan penolakan 

itu  ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsung­

kan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang 

mengakibatkan penolakan itu  hilang dan para pihak yang ingin 

kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB XI

BATALNYA PERKAWINAN 

Pasal 70

Perkawinan batal bila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad 

nikah karena sudah memiliki  empat orang isteri sekalipun salah satu 

dari keempat isterinya dalam iddah talak raj'i;

b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili' annya;

c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak 

olehnya, kecuali bila bekas isteri itu  pernah menikah dengan pria 

lain kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul dan pria itu  dan telah 

habis masa iddahnya;

d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki  hubungan 

darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi 

perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang N o.l Tahun 1974, yaitu :

1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau 

keatas.

2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara 

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara 

seorang dengan saudara neneknya.

3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu 

atau ayah tiri.

80

4. berhubungan sesusuan, yaitu omg tua sesusuan, anak sesusuan dan 

bibi atau paman sesusuan.

e. isteri yaitu  saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan 

isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan bila  :

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi 

isteri pria lain yang mafqud.

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana 

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o .l. tahun 1974;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang 

tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan 

perkawinan bila  perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang 

melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan 

perkawinan bila  pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi 

penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri

(3) bila  ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu 

menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah 

itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat 

memakai  haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, 

maka haknya gugur.

Pasal 73

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu  :

a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari 

suami atauisteri;

b. Suami atau isteri;

81

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut 

Undang-undang.

d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam 

rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan 

Perundang-undangan sebagaimana itu  dalam pasal 67.

Pasal 74

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan 

Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau 

perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama 

memiliki  kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat 

berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :

a. perkawinan yang batal karena salah satu sumai atau isteri murtad;

b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu ;

c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber'itikad 

baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang 

tetap.

Pasal 76

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum 

antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII

HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI

Bagian Kesatu 

Umum

Pasal 77

(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah 

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar 

dan susunan warga .

82

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia 

dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara 

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani 

maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;

(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat 

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

Pasal 78

(1) Suami isteri harus memiliki  tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami 

isteri bersama.

Bagian Kedua 

Kedudukan Suami Isteri

Pasal 79

(1) Suami yaitu  kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

(2) Hak dan kedudukan isteri yaitu  seimbang dengan hak dan kedudukan 

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama 

dalam warga .

(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian Ketiga 

Kewajiban Suami

Pasal 80

(1) Suami yaitu  pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan 

tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting 

diputuskan oleh suami isteri bersama.

(2) Suami wajib melindungi isterinya dan Memberi  segala sesuatu 

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(3) Suami wajib Memberi  pendidikan agama kepada isterinya dan 

memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan 

bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

83

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :

a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b. biaya ramah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi 

isteri dan anak;

c. biaya pendididkan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti itu  pada ayat (4) huruf 

a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari 

isterinya.

(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya 

sebagaimana itu  pada ayat (4) huruf a dan b.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur bila  isteri 

nusyuz.

Bagian Keempat 

Tempat Kediaman

Pasal 81

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak- 

anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.

(2) Tempat kediaman yaitu  tempat tinggal yang layak untuk isteri selama 

dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya 

dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. 

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta 

kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat ramah tangga.

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan 

kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat 

tinggalnya, baik berapa alat perlengkapan ramah tangga maupun sarana 

penunjang lainnya.

Bagian Kelima

Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dari Seorang 

Pasal 82

(1) Suami yang memiliki  isteri lebih dari seorang berkewajiban 

Memberi  tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing

84

isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang 

ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian 

perkawinan.

(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya 

dalam satu tempat kediaman.

Bagian Keenam 

Kewajiban Isteri

Pasal 83

(1) Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin 

kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.

(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari- 

hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan 

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) 

kecuali dengan alasan yang sah.

(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya 

itu  pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal- 

hal untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami itu  pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah 

isteri nusyuz.

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus 

didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup 

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

85

Pasal 86

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta 

isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, 

demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh 

olehnya.

Pasal 87

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh 

masing-masing sebagai hasiah atau warisan yaitu  dibawah 

penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan 

lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri memiliki  hak sepenuhnya untuk melakukan 

perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, 

sodaqah atau lainnya.

Pasal 88

bila  terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, 

maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun 

harta sendiri.

Pasal 90

Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta 

suami yang ada padanya.

Pasal 91

(1) Harta bersama sebagaimana itu  dalam pasal 85 di atas dapat 

berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda 

bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun 

kewajiban.

86

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu 

pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan 

menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93

1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan 

pada hartanya masing-masing.

2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk 

kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta 

isteri

Pasal 94

1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki  isteri 

lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang 

memiliki  isteri lebih dari seorang sebagaimana itu  ayat (1), 

dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga 

atau keempat.

Pasal 95

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan 

Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita 

jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, 

bila  salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan 

membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan 

sebagainya.

2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk 

keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

87

Pasal 96

1. bila  terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak 

pasangan yang hidup lebih lama.

2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri 

atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian 

matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan 

Pengadilan Agama.

Pasal 97

Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta 

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB XIV

PEMELIHARAAN ANAK 

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa yaitu  21 

tahun, sepanjang anak itu  tidak bercacat fisik maupun mental atau 

belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak itu  mengenai segala perbuatan 

hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang 

mampu menunaikan kewajiban itu  bila  kedua orang tuanya 

tidak mampu.

Pasal 99

Anak yang sah yaitu  :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh 

isteri itu .

Pasal 100

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki  hubungan nasab 

dengan ibunya dan keluarga ibunya.

88

Pasal 101

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak

menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li'an.

Pasal 102

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, 

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 

180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya 

perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya 

melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia 

mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu  tidak dapat 

diterima.

Pasal 103

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran 

atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiran alat bukti lainnya itu  dalam ayat (1) tidak ada, 

maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal 

usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti 

berdasar  bukti-bukti yang sah.

(3) Atas dasar ketetapan pengadilan Agama itu  ayat (2), maka instansi 

Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama 

itu  mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pasal 104

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. 

bila  ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan 

dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada 

ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan 

penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan 

ibunya.

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 

tahun yaitu  hak ibunya;

89

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak 

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak 

pemeliharaanya;

c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya 

yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak 

diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena 

keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu 

menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena 

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban itu  pada ayat (1).

BAB XV 

PERWALIAN

Pasal 107

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun 

dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas 

perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang 

kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat itu .

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak itu  atau orang 

lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan 

baik, atau badan hukum.

Pasal 108

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum 

untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya 

sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan 

hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya

90

bila wali itu  pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan 

atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi 

kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di 

bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban 

Memberi  bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya 

untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang 

yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan itu  

menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang 

tidak dapat dihindarkan.

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah 

perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat 

kesalahan atau kelalaiannya.

(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat

(4) Undang-undang N o.l tahun 1974, pertanggungjawaban wali 

itu  ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap 

satu tahun satu kali.

Pasal 111

(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di 

bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 

tahun atau telah menikah.

(2) bila  perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang 

mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah 

perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

Pasal 112

Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah 

perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut 

kepatutan atau bil ma'ruf kalau wali fakir.

91

BAB XVI

PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu 

Umum

Pasal 113

Perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian,

b. Perceraian, dan

c. atas putusan Pengadilan.

Pasal 114

Putusnya perkawinan yang dipicu  karena perceraian dapat terjadi 

karena talak atau berdasar  gugatan perceraian.

Pasal 115

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama 

setelah Pengadilan Agama itu  berusaha dan tidak berhasil menda­

maikan kedua belah pihak.

Pasal 116

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi 

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun 

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau 

karena hal lain diluar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau 

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang 

membahayakan pihak lain;

e. sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat 

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

92

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah 

tangga;

g. Suami melanggar taklik talak;

k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak 

rukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117

Talak yaitu  ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang 

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana 

dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118

Talak Raj'I yaitu  talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk 

selama isteri dalam masa iddah.

Pasal 119

1. Talak Ba'in Shughraa yaitu  talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh 

akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

2. Talak Ba'in Shughraa sebagaimana itu  pada ayat (1) yaitu  :

a. talak yang terjadi qabla al dukhul;

b. talak dengan tebusan atau khuluk;

c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120

Talak Ba'in Kubraa yaitu  talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. 

Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, 

kecuali bila  pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan 

orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan hadis masa 

iddahnya.

Pasal 121

Talak sunny yaitu  talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan 

terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci 

itu .

93

Pasal 122

Talak bid'I yaitu  talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada 

waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah 

dicampuri pada waktu suci itu .

Pasal 123

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di 

depan sidang pengadilan.

Pasal 125

Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk 

selama-lamanya.

Pasal 126

Li'an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya,

sedang  isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran itu .

Pasal 127

Tata cara li'an diatur sebagai berikut:

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau 

pengingkaran anak itu  diikuti sumpah kelima dengan kata-kata 

“laknat Allah atas dirinya bila  tuduhan dan atau pengingkaran 

itu  dusta”

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran itu  dengan sumpah 

empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran itu  tidak 

benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas 

dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran itu  benar”;

c. Tata cara pada huruf a dan huruf b itu  merupakan satu kesatuan 

yang tak terpisahkan;

d. bila  tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka 

dianggap tidak terjadi li'an.

Pasal 128

Li'an hanya sah bila  dilakukan di hadapan sidang Pengadilan 

Agama.

94

Bagian Kedua 

Tata Cara Perceraian

Pasal 129

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya 

mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan 

Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta 

meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan 

itu , dan terhadap keputusan itu  dapat diminta upaya hukum 

banding dan kasasi.

Pasal 131

1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan 

dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh 

hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan 

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan 

talak.

2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak 

dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang 

bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, 

Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami 

untuk mengikrarkan talak.

3. Setelah keputusannya memiliki  kekuatan hukum tetap suami 

mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri 

oleh isteri atau kuasanya.

4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah 

terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak 

baginya memiliki  kekuatah hukum yang tetap maka hak suami untuk 

mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.

5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat 

penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan 

bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.

Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai 

Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan

95

pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada 

suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal 132

1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan 

Agama. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat 

kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua 

Pengadilan Agama memberitahukan gugatan itu  kepada tergugat 

melalui perwakilan Republik negara kita  setempat.

Pasal 133

1. Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam pasal 116 huruf b, 

dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat 

meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.

2. Gugatan dapat diterima bila  tergugat menyatakan atau menunjukkan 

sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 134

Gugatan perceraian karena alasan itu  dalam pasal 116 huruf f, 

dapat d