Tampilkan postingan dengan label hukum islam 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum islam 11. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 11

 


u 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan 

pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini 

merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset 

Bank.

Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu  Agunan yang 

pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka 

waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan 

Peraturan Bank negara kita  memuat antara lain :

a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS 

yaitu  Agunan yang pembiayaannya telah dikategori­

kan macet selama jangka waktu tertentu;

b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”, 

termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi 

wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu  pimpinan

413

departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen 

setingkat menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai 

aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji 

kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta 

aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank 

Syariah dan UUS.

Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e  

s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung 

(o n - s i t e  s u p e r v i s i o n )  dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank 

yang bersangkutan.

Pasal 51

Ayat (1)

Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya 

dalam rangka memelihara kepercayaan warga .

414

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun 

elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank 

negara kita .

Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait 

dengan Bank” yaitu  setiap bagian ruangan dari kantor 

bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan 

objek pengawasan Bank negara kita .

Huruf b

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu  segala 

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis 

yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita . 

Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu  orang 

atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap 

pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik 

langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e  

s h a r e h o l d e r  atau pihak tertentu yang namanya tidak 

tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang 

saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan 

operasional bank atau keputusan manajemen bank.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun 

rekening Pembiayaan” yaitu  rekening-rekening, baik 

yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun 

pada Bank lain, yang terkait dengan objek 

pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .

415

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu  pihak yang 

menurut penilaian Bank negara kita  memiliki kompetensi 

untuk melaksanakan pemeriksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 54

A yat(l)

Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang 

membahayakan kelangsungan usahanya bila  berdasar  

penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin 

memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya 

permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta 

pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar  prinsip 

kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.

Huruf a

Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” 

antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus 

( t a n t i e m ) ,  pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau 

kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

416

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu  pihak di 

luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan 

usaha lain, maupun individu yang memenuhi 

persyaratan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan 

sesuai dengan isi Akad” yaitu  upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas) 

atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 56

Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota 

komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan 

kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif

417

dikenakan secara kolektif bila  kesalahan itu  dilakukan 

secara kolektif.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Ayat (1)

UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini 

yaitu  UUS yang sudah ada berdasar  izin pembukaan 

Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.

418

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita  NOMOR 4867

419


PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN 

Hukum Kewarisan

Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan 

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan 

menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan 

berapa bagiannya masing-masing.

Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, 

disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat 

manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan 

ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan 

hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan 

kebutuhan warga  dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu 

system hukum kewarisan yang sempurna.

Sejarah Hukum Kewarisan Islam

Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan 

zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat 

dipaparkan sebagai berikut:

1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan 

tatacara pembagian warisan dalam warga  yang didasarkan 

atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya 

diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang 

sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna 

mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan 

serta merampas harta peperangan.

2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena 

dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan 

kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas 

harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ 

atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris 

secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam 

dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang

421

menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat 

itu  Allah SWT. Berfirman :

“H a i  o r a n g - o r a n g  y a n g  b e r i m a n ,  t i d a k  h a l a l  b a g i  k a m u

m e m p u s a k a i  w a n i t a  d e n g a n  j a l a n  p a k s a

3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi. bila  salah seorang dari mereka 

yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia 

maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 

1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah 

sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi 

berdasar  janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.

4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga 

dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila  anak angkat itu 

telah dewasa maka ia memiliki  hak untuk sepenuhnya mewarisi 

harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan 

pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.

5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke 

Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara 

Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan 

hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin 

dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.

6. Dari paparan itu  di atas dapat disimpulkan bahwa dasar 

untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu  :

a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan

b. Adanya pengangkatan anak

c. Adanya janji setia untuk bersaudara

Ketiga jenis ahli waris itu  disyaratkan harus laki-laki dan 

sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak 

dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam 

di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin 

dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan 

dasar untuk saling mewarisi.

7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya 

pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah 

inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang 

ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan 

yang harus ditaati oleh setiap muslim.

422

8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat 

mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) 

untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka 

memiliki  hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun 

banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam 

Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya 

dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:

’ ’B a g i  o r a n g  l a k i - l a k i  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  

p e n i n g g a l a n  i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ;  d a n  b a g i  o r a n g  

p e r e m p u a n  j u g a  a d a  h a k  ( b a g i a n )  d a r i  h a r t a  p e n i n g g a l a n  

i b u ,  b a p a k ,  d a n  k e r a b a t n y a ,  b a i k  s e d i k i t  a t a u  b a n y a k  

m e n u r u t  b a g i a n  y a n g  t e l a h  d i t e t a p k a n  ” .

Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT. 

Berfirman yang artinya:

’’A l l a h  m e n s y a r i ’a t k a n  b a g i m u  t e n t a n g  ( p e m b a g i a n  p u s a k a  

u n t u k )  a n a k - a n a k m u ,  y a i t u  b a h w a  b a g i a n  s e o r a n g  a n a k  l a k i -  

l a k i  s a m a  d e n g a n  b a g i a n  d u a  o r a n g  a n a k  p e r e m p u a n  ” .

9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara 

(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al 

Ahzab, yang artinya:

”..... d a n  o r a n g - o r a n g  y a n g  m e m p u n y a i  h u b u n g a n  d a r a h

s e b a g i a n n y a  a d a l a h  l e b i h  b e r h a k  d a r i p a d a  s e b a g i a n  y a n g  

l a i n  d i  d a l a m  k i t a b  A l l a h  d a r i p a d a  o r a n g - o r a n g  m u k m i n  d a n  

o r a n g - o r a n g  M u h a j i r i n ,  k e c u a l i  k a l a u  k a m u  m a u  b e r b u a t  

b a i k  k e p a d a  s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”

10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan 

dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :

”..... d a n  T u h a n  t i d a k  m e n j a d i k a n  a n a k - a n a k  a n g k a t m u n

s e b a g a i  a n a k  k a n d u n g m u  s e n d i r i .  Y a n g  d e m i k i a n  i t u  

h a n y a l a h  p e r k a t a a n m u  d i  m u l u t m u  s a j a .  S e d a n g  A l l a h  

m e n g a t a k a n  y a n g  s e b e n a r n y a  d a n  m e n u n j u k k a n  j a l a n  ( y a n g  

b e n a r ) .  P a n g g i l l a h  m e r e k a  d e n g a n  m e m a k a i  n a m a - n a m a  

a y a h n y a  ( y a n g  s e b e n a r n y a )  s e b a b  y a n g  d e m i k i a n  i t u  l e b i h  

a d i l  d i  s i s i  A l l a h .  J i k a  k a m u  t i d a k  m e n g e t a h u i  a y a h n y a  m a k a  

( p a n g g i l l a h  m e r e k a  s e p e r t i  m e m a n g g i l )  s a u d a r a - s a u d a r a m u  

s e a g a m a  d a n  m a u l a - m a u l a m u  ( y a k n i  o r a n g - o r a n g  y a n g  

b e r a d a  d i  b a w a h  p e m e l i h a r a a n m u )  "

423

Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula 

bahwa:

”M u h a m m a d  i t u  s e k a l i - k a l i  b u k a n l a h  b a p a k  d a r i  s e o r a n g  

l a k i - l a k i  d i  a n t a r a  k a m u  t e t a p i  d i a  a d a l a h  R a s u l  A l l a h  d a n  

p e n u t u p  p a r a  n a b i .

11. Sedang mengenai kewarisan berdasar  persaudaraan karena 

hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan 

Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :

Artinya:

’’T i d a k  a d a  k e w a j i b a n  b e r h i j r a h  l a g i  s e t e l a h  p e n a k l u k a n  k o t a  

M a k k a h  ”  (HR. Bukhori dan Muslim)

Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang 

dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara 

Muhajirin dengan Anshor.

12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak 

tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di 

Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan 

dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). 

Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara 

berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang 

kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan 

warga  yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga 

yang ersifat bilateral.

13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun 

oleh syari’ah Islam yaitu  sistem kekeluargaan yang bersifat 

bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga  

Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga 

mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum 

Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik 

kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu  telah 

mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada 

masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan 

diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan 

telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang 

di negara kita  yaitu  kukum keluarga yang bersifat bilateral, 

sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal

424

sehingga hukum kewarisan patrilineal itu  kurang mendapat 

sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas 

untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji 

ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.

14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. 

Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia 

menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi 

pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.

15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing 

merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, 

yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan 

ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. 

Oleh karenanya kedua hukum itu  harus memiliki  sifat, 

asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan 

enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila  

terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi 

ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya 

dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem 

hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama 

dengan Hukum Perkawinan.

16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada  berbagai 

Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini 

terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga , 

pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang 

berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum 

kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas 

nya putusan Pengadilan Agama.

17. Disamping itu, corak kehidupan warga  Arab yang bersifat 

patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman 

terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang 

kita pelajari selama ini yaitu  hukum kewarisan yang lebih 

bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga  

Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil 

karena corak kehidupan warga  kita yaitu  bilateral, 

sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.

18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah 

Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas 

membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, 

termasuk disini yaitu  Peradilan Agama.

19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang 

Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk 

memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris 

dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang 

jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan 

warga  Islam negara kita  yang bilateral semakin terasa 

mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden 

Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.

20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan 

Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :

’ ’W a l h a s i l ,  h u k u m  f a r a i d  y a n g  a d a  p e r l u  d i b i n a  l a g i ,  t e r u t a m a  

u n t u k  I n d o n e s i a ,  d e n g a n  h u k u m  f a r a i d  k o n k r i t  y a n g  d a p a t  

m e n c a k u p  s o a l - s o a l  p e n t i n g  y a n g  b e r k a i t  d e n g a n  f a r a i d ,  d a n  

m e n c a k u p  p e t u n j u k  a y a t - a y a t  A l  Q u r  ’a n  d a n  A l  H a d i t s  y a n g  t e l a h  

d i p o t o n g  o l e h  s e b a g i a n  u l a m a  f i q i h .  B i l a  p e m b i n a a n  i t u  b e r h a s i l ,  

I n s y a  A l l a h  p e r s e n g k e t a a n  k i t a  d a p a t  t e r s e l e s a i k a n .  ”

Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu 

fiqih dengan rasa keadilan warga  islam maka perlu diadakan kaji ulang 

terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada 

sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah 

gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya 

dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita  juga ada  hukum 

waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun 

1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat 

muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi 

menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat 

atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama 

masing-masing orang memiliki  pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan 

membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak 

mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum 

keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga 

pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.

Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang 

jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan. 

sedang  dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau 

sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi 

Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila  kata sepakat atau 

musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama 

rata.

Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa 

bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam, 

pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus 

diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu  bahwa dalam 

waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan 

berdasar  hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan 

oleh Al-qur'an dan hadis.

Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya 

ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa 

mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan 

kalau bapaknya masih ada.

Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka 

yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup 

oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu  suami atau istri 

yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak 

mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa 

terhalang oleh siapapun juga. Namun bila  si pewaris memiliki anak,

maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat 

warisan itu.

Kalau yang meninggal yaitu  istri dan tidak memiliki anak, maka si 

suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang  jika punya anak si 

suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu  suami dan tidak memiliki 

anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang  jika 

punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup, 

maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa 

tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang 

tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak). 

Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika 

pewaris tidak memiliki anak.

Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai 

dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta- 

harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu 

kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta 

bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga 

harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI 

disebutkan harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. 

Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.

Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta 

bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai  untuk 

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan 

jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk 

kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah 

wasiat.

Jadi harta peninggalan yaitu  harta yang ditinggalkan oleh pewaris, 

sedang  harta warisan mumi yaitu  harta bawaan ditambah harta bersama 

dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan 

waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar 

hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila  punya wasiat dipilah juga 

wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi 

kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru 

kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya 

yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat 

kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung 

wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi 

kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.

Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama 

sesuai kesepakatan musyawarah.

bila  harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli 

warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu  harta secara 

umum. sedang  harta warisan mumi yaitu  harta yang sudah dibersihkan 

dari segala umsan yang tadi.

sedang  untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal 

dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal. 

Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja. 

Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama 

si pemberi masih hidup, sedang  wasiat baru boleh dilaksanakan setelah 

pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau 

tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya 

bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang 

tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh 

lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari 

warisan kalau dia lebih dari V3 .  Anak laki-laki langsung mendapat bagian 

asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi 

dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an 

disebutkan bahwa "bila  seseorang menjelang ajal atau sedang dalam 

bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh 

karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila  kita mau pergi 

jauh.

Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana 

sebelumnya dia Memberi  hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua 

orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan 

kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun 

kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat 

bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena 

hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka 

pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita 

juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan 

kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu 

sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui 

oleh ahli waris yang lainnya.

Hibah itu  setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang 

memperkuat bahwasanya itu yaitu  hibah yang telah menjadi hak milik 

seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya 

dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah

meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor 

yang diutamakan yaitu  pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti 

bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang 

saksi. yaitu  tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah 

atau tidak.

Waris dapat menyebabkan konflik bila  ada  anak diluar nikah. 

Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat, 

karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang 

sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan 

dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin 

tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.

Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan 

kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan 

tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini 

bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu  orang 

yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu 

pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris 

meninggal? bila  si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu 

perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila  kembali 

kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu  orang yang ada pada 

waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya 

meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan 

maka ia tidak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata, 

dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan 

merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam 

kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat 

demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu 

dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan 

bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu  tidak ada/wujudnya belum ada 

waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila  si anak 

itu  lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari 

ibunya.

ada  juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada  

delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak 

sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua. 

Tetapi kakak yang tertua yaitu  anak diluar nikah dan sekarang ia ingin 

menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah 

kedelapan anak itu  masih punya hak untuk mendapat bagian ?

Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan 

melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui 

atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain 

tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian 

halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh 

semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh 

dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu  

anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian 

tidak masuk dalam hitungan ahli waris.

Namun bila  sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka 

hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka 

pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya. 

Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah 

itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya 

berdasar  persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah 

V3 boleh.

Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi, 

maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah 

itu  karena hibah itu  merupakan harta warisan. Bagaimana kalau 

sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta. 

Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga 

(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu 

untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan 

perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak 

luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan 

syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti 

pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan 

dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.

bila  hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan 

menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak. 

Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak 

memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu. 

Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah, 

terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya 

(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara 

lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang  dalam hukum 

perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.

ada  lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah 

tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya

suaminya itu telah memiliki  seorang istri, namun tidak memiliki  anak, 

sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai 

anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya 

meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya. 

Setelah suami itu  meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu 

mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi  sekarang, 

melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang 

di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.

Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka 

pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si 

istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke 

pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris) 

tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa 

perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan. 

Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat 

mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi. 

Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi 

juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada 

itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli 

waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.

Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan, 

dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan 

jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi 

pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian 

harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual 

apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri, 

misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.

bila  seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena 

harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari 

orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.

Di pengadilan agama ada  pertolongan pembagian harta 

peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang 

tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan 

secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan 

pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.

Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka 

hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang 

beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).

Kemudian bila  misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli 

waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual 

bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus 

dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian 

kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut 

secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga 

timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama 

sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan 

Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris 

dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka 

Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk 

memutus sengketa itu .

bila  si pewaris melakukan poligami, bila  dia tidak punya anak 

maka bagian istri yaitu  V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka 

bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama, 

kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya 

hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau 

istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa 

semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat 

anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan  anak 

perempuan.



HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN 

PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita 

A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita 

Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di 

negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat 

Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga  yang mendapat 

legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh 

karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam 

yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita  bila 

dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI 

(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para 

pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam 

dalam negara negara kita  merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para 

pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada 

tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara 

berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 

bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, 

tujuh kata itu  dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian 

diganti dengan kata "Yang Maha Esa".

Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip 

oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis 

hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara 

Republik negara kita  berdasar  atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu 

hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:

1. Dalam negara Republik negara kita  tidak boleh terjadi atau berlaku 

sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat 

Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang 

Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha 

bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik 

negara kita  ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang 

bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan 

bangsa negara kita .

2. Negara Republik negara kita  wajib menjalankan syariat Islam bagi orang 

Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi 

orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu  memerlukan 

perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu 

negara Republik negara kita  wajib menjalankan dalam pengertian 

menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut 

oleh bangsa negara kita  dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum 

agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara 

negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan 

syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita  untuk kepentingan pemeluk 

agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, 

yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat, 

puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik 

keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara 

untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta 

kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng­

garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum 

pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini 

memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan 

Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara 

dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari 

agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara 

Republik negara kita .

3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk 

menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap 

pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi 

terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut 

agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu 

agama yang diakui di negara Republik negara kita  yang dapat dijalankan 

sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya 

hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada 

umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan 

pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan 

agamanya masing-masing 

Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang 

tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu 

perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum) 

ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat 

(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan 

kepercayaan dalam pasal itu  yaitu  kepercayaan agama. Kuncinya 

yaitu  perkataan itu yang ada  di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata 

"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan 

itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan


ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama 


Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus 

Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan 

Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang 

ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu  aqidah, 

kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) 

Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959 

dahulu, pemerintah Republik negara kita  menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 

UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; 

(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum 

dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam 

mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4 

Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita  harus dilakukan 

demi keadilan berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4 

ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) 

berdasar  uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa 

hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara 

Republik negara kita  yaitu  Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian 

dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama, Undang-Undang Republik negara kita  Nomor 38 Tahun 1999 tentang 

Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan 

hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang 

menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di 

negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang 

tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan 

kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita  

yaitu  Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.

B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

bila  membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum 

nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah 

perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring 

pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa 

ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal 

itu akan diuraikan sebagai berikut..

1. Syariah

Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c  L a w  dalam bahasa Inggris 

seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang tidak mengalami 

perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun, 

ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu, 

syariah yaitu  jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah 

memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan 

maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan 

manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya, 

manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan 

kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam 

pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat 

dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan 

bantuan alat negara dalam penerapannya.

2. Fikih (Fiqh)

Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu  hukum Islam yang 

berdasar  pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, 

nash Alquran dan/  atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud, 

sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita  sejak orang negara kita  memeluk 

agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh 

keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu 

bervariasi pada setiap suku dan tempat.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu  puncak pemikiran f i q h  di 

negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama, 

cendekiawan tokoh warga  (tokoh agama dan tokoh adat) dalam 

menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, 

dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10 

Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi 

dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI 

melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan 

melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 

Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut 

dianggap sebagai i j m a '  ulama/ijtihad kolektif warga  negara kita  atau f i q h  

ala negara kita  (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a '  ulama negara kita  diakui 

keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam 

negara kita  dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik

penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga  

maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.

3. Fatwa

Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu  hukum Islam yang 

dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan 

yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita  

mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam. 

Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki  daya ikat secara 

yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan 

Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh 

umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung 

bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat 

Islam.

4. Keputusan Pengadilan Agama

Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu  

keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya 

permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih 

dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat 

kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama 

dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) ,  yang dalam kasus 

tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.

5. Perundang-undangan negara kita 

Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita  yaitu  

yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya 

lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis 

mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang- 

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu 

memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik 

negara kita  (Zainuddin Ali, 2001:136-138).

439

440

GAMBARAN UMUM TENTANG 

PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI 

HUKUM ISLAM

A. SKETSA PERADILAN AGAMA

Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita  diketahui melalui 

teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul 

F a t h u l  M u  ' in  seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui 

tiga bentuk. P e r t a m a ,  bentuk t a h k i m ,  berlaku pada zaman permulaan Islam 

yakni pada saat terbentuknya warga  Islam, sehingga orang-orang yang 

bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk 

meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,  

bentuk t a u l i y a h  dari a h l u l  h a l l i  w a l - a q d i ,  berlaku ketika agama Islam 

berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas 

Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau 

ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat 

rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah 

yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk 

menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a ,  bentuk t a u l i y a h  dari 

imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di 

nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus 

kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif, 

baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih 

valid dan memiliki  legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan 

Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh, 

1980:17).

Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah 

Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana 

berupa tahkim telah lama ada dalam warga  negara kita , yakni sejak 

agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio 

lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar 

penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam 

melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan 

rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.

Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di 

negara kita  itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura 

tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur

441

1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang- 

undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).

Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun 

dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura, 

dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan 

tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu 

lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana 

pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan 

perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan 

nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih 

tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970 

dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita . 

sedang  perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan 

Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu  terletak tugas pokok 

di bidang hukum perkawinan; sedang  Peradilan Agama di luar wilayah 

memiliki  tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum 

kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak 

memiliki  dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa 

keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya 

yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun 

1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di 

Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi 

hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika 

dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki 

lebih dibandingkan  pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).

Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh 

pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan 

Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk 

meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa 

hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah 

bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi 

oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e  (Hazairin, 1985: 32). 

Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun 

1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura 

dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal 

49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

442

Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu 

dalam susunannya tidak ada  juru sita, sehingga tidak mampu 

menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan 

Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap 

keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau 

Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).

B. PERADILAN AGAMA DI negara kita 

Peradilan agama yaitu  proses pemberian keadilan berdasar  hukum 

Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan 

Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita . 

Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan 

kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud, 

memiliki  kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang 

berbeda.

Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang 

sederhana berupa t a h k i m ,  yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang- 

orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal 

ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di 

negara kita .

Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal 

29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita  menjadi Undang- 

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada 

tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam 

Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa 

penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional, 

melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu  Peradilan 

Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan 

pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan 

hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama 

Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan, 

kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk 

agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita  diberi 

kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran 

agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan 

diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-

443

garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur 

di antaranya: Peradilan Agama yaitu  peradilan bagi orang-orang yang 

beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan 

tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan 

tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman 

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata 

dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota 

kabupaten, sedang  Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota 

provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah 

pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan 

Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya 

dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu 

Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai 

dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di 

antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut 

susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua 

dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. 

Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang 

ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum 

acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan 

lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang 

penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama).

C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA

Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat 

Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi 

perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al- 

Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih. 

Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, 

Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu  juga 

seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan 

Pasai pada waktu itu yaitu  hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka, 

dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di 

negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para 

ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata 

putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam 

warga  ,

Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita  yang dilakukan oleh para 

saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki  

peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah 

dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan 

pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. 

Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan 

antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang 

disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri 

meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan 

Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh 

h a k a m  melalui t a h k i m  kepada m u h a k k a m  yang merupakan asal usul 

Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan 

perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang 

kemudian berkembang menjadi warga  Islam yang baru memerlukan 

pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah 

dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada 

waktu itu yaitu  (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf 

(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian, 

menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita  secara 

damai,

Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam 

menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan 

pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad 

ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l  M u s t a k i m  (Jalan 

Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H. 

Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l  M u s t a k i m  ini merupakan kitab hukum 

Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita  oleh Syaikh Arsyad 

Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l  M u s t a k i m  

itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l  M u h t a d i n  dan 

dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di 

daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang, 

Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada  

kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam 

menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini 

dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya, 

K u t a r a g a m a ,  S a j i n a t u l  H u k u m ,  dan lain-lain 

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda 

mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri 

sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping

kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini. 

Menurut Ahmad Djamil Latif, ada  bukti-bukti yang menunjukkan 

bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan 

nusantara dan memiliki  pengaruh yang bersifat normatif dalam 

kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan 

hukum pidana ,

Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan 

hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam 

berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di 

wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai 

kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m  M o g h a r r a e r  yang 

memuat hukum orang Jawa untuk keperl