u 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan
pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini
merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset
Bank.
Agunan yang dapat dibeli oleh Bank yaitu Agunan yang
pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka
waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bank negara kita memuat antara lain :
a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS
yaitu Agunan yang pembiayaannya telah dikategori
kan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”,
termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan” yaitu pimpinan
413
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen
setingkat menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Pembinaan yang dilakukan Bank negara kita , antara lain, mengenai
aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji
kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta
aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank
Syariah dan UUS.
Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (o f f - s i t e
s u p e r v i s i o n ) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung
(o n - s i t e s u p e r v i s i o n ) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank
yang bersangkutan.
Pasal 51
Ayat (1)
Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya
dalam rangka memelihara kepercayaan warga .
414
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun
elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank
negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait
dengan Bank” yaitu setiap bagian ruangan dari kantor
bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan
objek pengawasan Bank negara kita .
Huruf b
Yang dimaksud dengan “data/dokumen” yaitu segala
jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis
yang terkait dengan objek pengawasan Bank negara kita .
Yang dimaksud dengan “setiap pihak” yaitu orang
atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap
pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik
langsung maupun tidak langsung, antara lain, u l t i m a t e
s h a r e h o l d e r atau pihak tertentu yang namanya tidak
tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang
saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan
operasional bank atau keputusan manajemen bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun
rekening Pembiayaan” yaitu rekening-rekening, baik
yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun
pada Bank lain, yang terkait dengan objek
pengawasan/pemeriksaan Bank negara kita .
415
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” yaitu pihak yang
menurut penilaian Bank negara kita memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
A yat(l)
Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasar
penilaian Bank negara kita , kondisi usaha Bank semakin
memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya
permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta
pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasar prinsip
kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan”
antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus
( t a n t i e m ) , pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau
kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
416
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pihak lain” yaitu pihak di
luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan
usaha lain, maupun individu yang memenuhi
persyaratan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad” yaitu upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyamas)
atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota
komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan
kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif
417
dikenakan secara kolektif bila kesalahan itu dilakukan
secara kolektif.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini
yaitu UUS yang sudah ada berdasar izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.
418
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita NOMOR 4867
419
PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Hukum Kewarisan
Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan
menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan
berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan,
disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat
manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan
ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Ulahi. Aturan
hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan warga dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu
system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan
zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat
dipaparkan sebagai berikut:
1. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan
tatacara pembagian warisan dalam warga yang didasarkan
atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya
diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang
sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan
serta merampas harta peperangan.
2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena
dipandang tidak mampu memangui senjata guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/
atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris
secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam
dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang
421
menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat
itu Allah SWT. Berfirman :
“H a i o r a n g - o r a n g y a n g b e r i m a n , t i d a k h a l a l b a g i k a m u
m e m p u s a k a i w a n i t a d e n g a n j a l a n p a k s a
3. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi. bila salah seorang dari mereka
yang telah mengadakan peijanjian bersaudara itu meninggal dunia
maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar
1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah
sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi
berdasar janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga
dijadikan dasar untuk saling mewarisi. bila anak angkat itu
telah dewasa maka ia memiliki hak untuk sepenuhnya mewarisi
harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan
pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
5. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke
Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara
Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan
hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin
dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
6. Dari paparan itu di atas dapat disimpulkan bahwa dasar
untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah yaitu :
a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
b. Adanya pengangkatan anak
c. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris itu disyaratkan harus laki-laki dan
sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak
dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam
di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin
dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan
dasar untuk saling mewarisi.
7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya
pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah
inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang
ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan
yang harus ditaati oleh setiap muslim.
422
8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat
mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian)
untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka
memiliki hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun
banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam
Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya
dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut:
’ ’B a g i o r a n g l a k i - l a k i a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a
p e n i n g g a l a n i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a ; d a n b a g i o r a n g
p e r e m p u a n j u g a a d a h a k ( b a g i a n ) d a r i h a r t a p e n i n g g a l a n
i b u , b a p a k , d a n k e r a b a t n y a , b a i k s e d i k i t a t a u b a n y a k
m e n u r u t b a g i a n y a n g t e l a h d i t e t a p k a n ” .
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT.
Berfirman yang artinya:
’’A l l a h m e n s y a r i ’a t k a n b a g i m u t e n t a n g ( p e m b a g i a n p u s a k a
u n t u k ) a n a k - a n a k m u , y a i t u b a h w a b a g i a n s e o r a n g a n a k l a k i -
l a k i s a m a d e n g a n b a g i a n d u a o r a n g a n a k p e r e m p u a n ” .
9. Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara
(janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al
Ahzab, yang artinya:
”..... d a n o r a n g - o r a n g y a n g m e m p u n y a i h u b u n g a n d a r a h
s e b a g i a n n y a a d a l a h l e b i h b e r h a k d a r i p a d a s e b a g i a n y a n g
l a i n d i d a l a m k i t a b A l l a h d a r i p a d a o r a n g - o r a n g m u k m i n d a n
o r a n g - o r a n g M u h a j i r i n , k e c u a l i k a l a u k a m u m a u b e r b u a t
b a i k k e p a d a s a u d a r a - s a u d a r a m u .....”
10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan
dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... d a n T u h a n t i d a k m e n j a d i k a n a n a k - a n a k a n g k a t m u n
s e b a g a i a n a k k a n d u n g m u s e n d i r i . Y a n g d e m i k i a n i t u
h a n y a l a h p e r k a t a a n m u d i m u l u t m u s a j a . S e d a n g A l l a h
m e n g a t a k a n y a n g s e b e n a r n y a d a n m e n u n j u k k a n j a l a n ( y a n g
b e n a r ) . P a n g g i l l a h m e r e k a d e n g a n m e m a k a i n a m a - n a m a
a y a h n y a ( y a n g s e b e n a r n y a ) s e b a b y a n g d e m i k i a n i t u l e b i h
a d i l d i s i s i A l l a h . J i k a k a m u t i d a k m e n g e t a h u i a y a h n y a m a k a
( p a n g g i l l a h m e r e k a s e p e r t i m e m a n g g i l ) s a u d a r a - s a u d a r a m u
s e a g a m a d a n m a u l a - m a u l a m u ( y a k n i o r a n g - o r a n g y a n g
b e r a d a d i b a w a h p e m e l i h a r a a n m u ) "
423
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula
bahwa:
”M u h a m m a d i t u s e k a l i - k a l i b u k a n l a h b a p a k d a r i s e o r a n g
l a k i - l a k i d i a n t a r a k a m u t e t a p i d i a a d a l a h R a s u l A l l a h d a n
p e n u t u p p a r a n a b i .
11. Sedang mengenai kewarisan berdasar persaudaraan karena
hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya:
’’T i d a k a d a k e w a j i b a n b e r h i j r a h l a g i s e t e l a h p e n a k l u k a n k o t a
M a k k a h ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang
dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara
Muhajirin dengan Anshor.
12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak
tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di
Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan
dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan).
Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara
berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang
kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan
warga yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga
yang ersifat bilateral.
13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun
oleh syari’ah Islam yaitu sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat warga
Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga
mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik
kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol itu telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada
masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan
diajarkan kepada ummat Islam di negara kita . Ketidakseimbangan
telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang
di negara kita yaitu kukum keluarga yang bersifat bilateral,
sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal
424
sehingga hukum kewarisan patrilineal itu kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas
untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji
ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
14. Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW.
Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia
menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi
pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing
merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum,
yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan
ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Oleh karenanya kedua hukum itu harus memiliki sifat,
asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan
enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, bila
terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi
ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya
dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem
hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama
dengan Hukum Perkawinan.
16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun ada berbagai
Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini
terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan warga ,
pemikiran, ketaatan terhadap. syari’ah, dan sebagainya yang
berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum
kewarisan Islam di negara kita , dan juga menimbulkan disparitas
nya putusan Pengadilan Agama.
17. Disamping itu, corak kehidupan warga Arab yang bersifat
patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman
terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang
kita pelajari selama ini yaitu hukum kewarisan yang lebih
bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman warga
Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil
karena corak kehidupan warga kita yaitu bilateral,
sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.
18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah
Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas
membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan,
termasuk disini yaitu Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk
memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris
dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang
jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan
warga Islam negara kita yang bilateral semakin terasa
mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden
Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan
Islam di negara kita , KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :
’ ’W a l h a s i l , h u k u m f a r a i d y a n g a d a p e r l u d i b i n a l a g i , t e r u t a m a
u n t u k I n d o n e s i a , d e n g a n h u k u m f a r a i d k o n k r i t y a n g d a p a t
m e n c a k u p s o a l - s o a l p e n t i n g y a n g b e r k a i t d e n g a n f a r a i d , d a n
m e n c a k u p p e t u n j u k a y a t - a y a t A l Q u r ’a n d a n A l H a d i t s y a n g t e l a h
d i p o t o n g o l e h s e b a g i a n u l a m a f i q i h . B i l a p e m b i n a a n i t u b e r h a s i l ,
I n s y a A l l a h p e r s e n g k e t a a n k i t a d a p a t t e r s e l e s a i k a n . ”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu
fiqih dengan rasa keadilan warga islam maka perlu diadakan kaji ulang
terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada
sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah
gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya
dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.
HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA
Dalam peradilan atau dalam hukum negara kita juga ada hukum
waris adat. Selama ini, khususnya sebelum munculnya UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama memang sering terjadi kerancuan. Bagi umat
muslim mau membagi warisannya secara apa. Jika ia mau membagi
menurut hukum Islam bagaimana, jika ia mau membagi secara hukum adat
atau perdata bagaimana. Artinya, sebelum keluarnya UU Pengadilan Agama
masing-masing orang memiliki pilihan atau opsi dengan cara apa ia akan
membagi warisannya. Misalnya yang beragama islam bisa saja tidak
mengambil secara waris Islam tapi bisa ke waris perdata. Jadi sebelum
keluarnya UU Pengadilan Agama, mantan wapres (Adam Malik) juga
pemah menyelesaikan kasus waris itu ke pengadilan negeri.
Kemudian apa yang menjadi perbedaan antara masing-masing itu? yang
jelas dalam waris Islam bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan.
sedang dalam hukum waris perdata bagian perempuan seimbang atau
sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa bila kata sepakat atau
musyawarah antara para ahli waris maka warisan bisa dibagi secara sama
rata.
Setelah adanya UU Pengadilan Agama hak opsi itu ditegaskan bahwa
bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada hukum Islam,
pembagian warisnya harus secara Islam dan jika timbul sengketa harus
diselesaikan di Pengadilan Agama. Perbedaan lainnya yaitu bahwa dalam
waris Islam ada unsur ta'abudi atau ibadah, karena dilaksanakan
berdasar hukum agama atau taat kepada hukum-hukum yang diturunkan
oleh Al-qur'an dan hadis.
Dalam hukum waris Islam dikenal juga adanya mahjub (tertutupnya
ahli waris). Bukan terhalang, tapi tertutup. Misalnya seorang cucu tidak bisa
mendapat warisan jika ada anak. Kemudian kakek juga tidak dapat warisan
kalau bapaknya masih ada.
Jadi dalam hukum waris Islam dikenal ashabul furud, yaitu mereka
yang berhak menerima bagian waris secara mutlak atau tidak akan tertutup
oleh siapapun juga. Ashabul furud ini pertama kali yaitu suami atau istri
yang ditinggal mati oleh istri atau suaminya. Suami atau istri ini mutlak
mendapat harta warisan pewaris (pihak yang meninggal) dan tidak bisa
terhalang oleh siapapun juga. Namun bila si pewaris memiliki anak,
maka anak-anaknya (baik yang perempuan dan laki-laki) juga mendapat
warisan itu.
Kalau yang meninggal yaitu istri dan tidak memiliki anak, maka si
suami mendapat separuh dari harta warisan, sedang jika punya anak si
suami mendapat V4. Kalau yang meninggal yaitu suami dan tidak memiliki
anak, maka si istri mendapat V4 dari harta warisan pewaris, sedang jika
punya anak maka si istri mendapat V8. Kalau orang tua pewaris masih hidup,
maka bapak dan ibu pewaris juga mendapat harta warisan dan tidak bisa
tertutup oleh siapapun juga. Jadi ada ashabul furud yang ke atas (yaitu orang
tua), menyamping (yaitu suami atau istri) dan ke bawah (yaitu anak).
Saudara kandung (kakak atau adik) pewaris bisa saja mendapat warisan jika
pewaris tidak memiliki anak.
Dalam hukum syar'i Islam ini juga diatur masalah rumah tangga mulai
dari seseorang belum lahir sampai meninggal. Begitu pula masalah harta-
harta itu sendiri. Contohnya setelah dia menikah dan kemudian bercerai itu
kan ada ketentuan mengenai harta bersama yang dipilah dengan harta
bawaan. Begitu juga ketika seseorang meninggal, maka disitu dikenal juga
harta peninggalan dan harta warisan. Dalam bab 1 Pasal 171 poin d KHI
disebutkan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Hak-hak ini misalnya hak cipta atau hak kekayaan intelektual.
Kemudian di KHI juga dijelaskan mengenai harta warisan, yaitu harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah dipakai untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Pemberian untuk
kerabat ini yang mungkin akan kita bahas lagi lebih lanjut yaitu masalah
wasiat.
Jadi harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris,
sedang harta warisan mumi yaitu harta bawaan ditambah harta bersama
dari suami atau istrinya setelah dipilah dan dikurangi biaya pengurusan
waktu dia sakit (jika memang sakit), meninggal, mengubur, membayar
hutang (jika punya hutang) dan wasiat, bila punya wasiat dipilah juga
wasiatnya. Harta warisan mumi inilah yang nantinya akan dibagi-bagi
kepada ahli waris. Bisa juga terjadi dimana harta warisan mumi justru
kurang, sehingga ahli waris yang hams menanggung semua biaya-biaya
yang tadi. Dalam surat An Nisa ayat 11 dikatakan bahwa Allah berwasiat
kepada kamu untuk membagi warisan sesuai dengan syariat setelah dihitung
wasiatnya (dipilah wasiatnya) dan diselesaikan hutang-piutangnya. Jadi
kalau ada hutang piutang nanti kita lihat hartanya berapa, hutangnya berapa.
Kalau memang defisit atau minus itulah yang harus ditanggung bersama
sesuai kesepakatan musyawarah.
bila harta peninggalan itu memang ada ahli warisnya maka ahli
warisnya itu tetap dibagi, karena harta peninggalan itu yaitu harta secara
umum. sedang harta warisan mumi yaitu harta yang sudah dibersihkan
dari segala umsan yang tadi.
sedang untuk wasiat dalam hukum waris perdata barat dikenal
dengan testamen. Wasiat itu hams dibagi setelah pemberi wasiat meninggal.
Wasiat ada yang tertutup dan terbuka dan bisa diberikan kepada siapa saja.
Wasiat berbeda dengan hibah, karena kalau hibah boleh dilaksanakan selama
si pemberi masih hidup, sedang wasiat baru boleh dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal. Wasiat ini bisa dilakukan secara lisan atau
tertulis dan dilakukan terhadap harta yang dimiliki secara sempurna, artinya
bukan harta dalam sengketa. Misalnya seorang bapak mewasiatkan sebidang
tanah yang memang dia punya kepada anaknya. Wasiat juga tidak boleh
lebih dari V3 harta warisan. Wasiat akan diperhitungkan sebagai bagian dari
warisan kalau dia lebih dari V3 . Anak laki-laki langsung mendapat bagian
asshobah atau sisa harta. Wasiat juga hams disaksikan oleh dua orang saksi
dan hams secara otentik dicatatkan di kantor notaris. Dalam Al-qur'an
disebutkan bahwa "bila seseorang menjelang ajal atau sedang dalam
bepergian jauh hendaknya dia membuat wasiat kepada keluarganya." Oleh
karena kita wajib berwasiat kepada keluarga kita bila kita mau pergi
jauh.
Untuk kasus dimana misalnya seseorang meninggal, dimana
sebelumnya dia Memberi hibah ke anaknya yang pertama. Tetapi dua
orang anaknya yang lain tidak diberi hibah. Maka selama hibah itu diberikan
kepada ahli waris itu akan diperhitungkan sebagai bagian warisan. Namun
kalau hibah itu diberikan kepada yang bukan ahli waris akan dilihat
bagaimana hibah itu dilaksanakan, sah atau tidak? otentik atau tidak? karena
hibah juga ada yang di bawah tangan. Kalau hibah itu tidak sah maka
pemberian hibahnya bisa ditarik dengan cara pembatalan hibah. Namun kita
juga perlu melihat unsur keadilannya juga, Kalau semua harta diberikan
kepada anak angkat atau menantu kesayangan dimana mereka itu
sebenarnya bukan ahli waris, maka perlu dilihat apakah hibah itu disetujui
oleh ahli waris yang lainnya.
Hibah itu setidaknya memerlukan bukti otentik berupa akta yang
memperkuat bahwasanya itu yaitu hibah yang telah menjadi hak milik
seseorang ya. Tapi sekarang ini banyak terjadi, dimana hibah hanya
dilakukan secara lisan, sehingga beberapa tahun sesudah pemberi hibah
meninggal timbul permasalahan. Menghadapi hal yang seperti ini faktor
yang diutamakan yaitu pengakuan dari yang menerima hibah dan bukti
bukti lainnya, seperti surat, catatan, bukti awal dan kesaksian dua orang
saksi. yaitu tugas pengadilan untuk membuktikan apakah hibah itu sah
atau tidak.
Waris dapat menyebabkan konflik bila ada anak diluar nikah.
Untuk itu, maka anak hasil perkawinan memiliki kedudukan lebih kuat,
karena untuk membuktikan adanya hubungan darah harus dengan bukti yang
sah/otentik bahwa kedua orang tua mereka menikah secara sah dan
dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan. Selanjutnya, anak luar kawin
tidak mendapat warisan dari ayahnya, hanya mendapat warisan dari si ibu.
Untuk suatu keadaan dimana seorang istri yang sedang hamil dan
kemudian suaminya meninggal, juga terkadang menimbulkan permasalahan
tersendiri dan menimbulkan pertanyaan apakah si anak yang dikandung ini
bisa terhitung sebagai ahli waris? Pada dasaranya ahli waris yaitu orang
yang ada pada waktu si pewaris meninggal atau wafat. Timbul satu
pengembangan, bagaimana jika ahli waris meninggal sebelum si pewaris
meninggal? bila si anak lahir bertepatan dengan meninggalnya suami itu
perlu diperhitungkan sebagai bagian anak laki-laki. Namun bila kembali
kepada kaidah hukum atau norma, ahli waris yaitu orang yang ada pada
waktu si pewaris wafat. Artinya kalau anak itu lahir setelah ayahnya
meninggal atau ketika ayahnya meninggal si anak masih dalam kandungan
maka ia tidak menjadi ahli waris.
Hal ini berbeda dengan hukum perdata. Menurut pasal 2 KUHPerdata,
dinyatakan bahwa anak yang sedang dalam berada dalam kandungan
merupakan subyek hukum. Sehingga dengan demikian, bayi dalam
kandungan pun memiliki hak mewaris. Dalam fikih juga ada pendapat
demikian. Jadi tadi sudah saya katakan secara sepintas bahwa anak itu
dihitung sebagai anak laki-laki. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan
bahwa itu tidak bisa, karena si anak itu tidak ada/wujudnya belum ada
waktu si pewaris meninggal. Sehingga dengan demikian, bila si anak
itu lahir, maka dia tetap akan mendapat warisan, namun hanya dari
ibunya.
ada juga suatu kasus dimana dalam sebuah keluarga ada
delapan orang bersaudara. Sebelum ayah mereka meninggal kedelapan anak
sudah menandatangani surat hibah sebuah rumah untuk kakak yang tertua.
Tetapi kakak yang tertua yaitu anak diluar nikah dan sekarang ia ingin
menjual rumah hibah itu . Dalam kasus ini timbul pertanyaan apakah
kedelapan anak itu masih punya hak untuk mendapat bagian ?
Dalam kasus ini jika memang timbul sengketa maka pengadilan akan
melihat bagaimana proses hibah itu berlangsung, sah atau tidak? Disetujui
atau tidak oleh ahli waris. Bisa aja yang satu setuju tetapi ketujuh yang lain
tidak. Atau yang bertujuh setuju tetapi yang satu tidak. Kalau demikian
halnya artinya hibah itu artinya bermasalah, karena tidak disetujui oleh
semua ahli waris. Seperti tadi sudah saya jelaskan bahwa wasiat tidak boleh
dari V3 harta waris. Kemudian kalau pihak yang menerima hibah yaitu
anak diluar nikah berarti dia bukan sebagai ahli waris dan dengan demikian
tidak masuk dalam hitungan ahli waris.
Namun bila sang anak luar nikah itu sudah diakui oleh ayah maka
hibah itu tidak akan menjadi masalah. Kalau kasus seperti ini teijadi maka
pengadilan akan melihat dan akan menghitung kembali siapa ahli warisnya.
Ahli waris itu yang delapan bersaudara itu diluar kakak yang diluar nikah
itu. Si kakak yang diluar nikah itu tentu akan kita hitung wasiatnya
berdasar persetujuan semuanya dan tidak boleh dari V3. Artinya di bawah
V3 boleh.
Jika harta hibahnya itu mau dijual oleh kakak yang diluar nikah tadi,
maka para adik tentunya harus tetap mendapat bagian dari penjualan hibah
itu karena hibah itu merupakan harta warisan. Bagaimana kalau
sudah terlanjur dijual ? tentunya ini akan menjadi sengketa masalah harta.
Kalau sengketa masalah harta teijadi dan sudah melibatkan pihak ketiga
(yaitu pembeli) maka kasus itu dikembalikan kepada pengadilan negeri dulu
untuk diselesaikan. Persoalannya kita bagi dulu sesuai bagian laki-laki dan
perempuan dan yang satu itu dihitung sebagai wasiat. Artinya yang si kakak
luar nikah itu dihitung sebagai wasiat, dan bukan ahli waris dengan dengan
syarat tidak boleh lebih dari V3 harta, tetapi dibawah V3 juga boleh. Nanti
pengadilan akan melihat apakah dia dipersamakan. Kalau dia dipersamakan
dengan perempuan ya dihitung bagian perempuan, begitu juga sebaliknya.
bila hibahnya tidak ditandatangani oleh pemberi hibah akan
menimbulkan permasalahan lagi, apakah hibahnya dianggap sah atau tidak.
Yang jelas kalau secara hukum tidak sah, karena si pemberi hibah tidak
memberi tanda tangan, dan ini bisa digugat oleh mereka yang bersaudara itu.
Kecuali ada pengakuan seluruhnya mengakui bahwa sudah teijadi hibah,
terlepas ada atau tidaknya tanda tangan itu. Tanda tangan itu kan otentik ya
(tertulis). Kalau lisan kan apa yang perlu ditanda tangan. Kalau hibah secara
lisan ya tidak apa-apa tidak ada tanda tangan. sedang dalam hukum
perdata barat, anak diluar nikah jelas diakui atau bisa diakui.
ada lagi satu kasus dimana seorang istri yang menikah di bawah
tangan dengan suaminya dan suaminya kemudian meninggal. Sebelumnya
suaminya itu telah memiliki seorang istri, namun tidak memiliki anak,
sehingga istri pertamanya itu mengangkat seorang anak tetangga sebagai
anaknya. Sebelum suami meninggal, ia pernah berpesan agar jika dirinya
meninggal, maka sang istri dapat meminta hak warisnya kepada ibunya.
Setelah suami itu meninggal si istri meminta hak warisnya kepada ibu
mertuanya. Namun si ibu mertua ini tidak mau Memberi sekarang,
melainkan nanti jika si anak sudah besar. Padahal anak-anak dan si istri yang
di bawah tangan ini memerlukan biaya pendidikan sejak kecil.
Kasus ini cukup rumit, karena menikah dibawah tangan, maka
pembuktiannya menjadi kurang kuat. Untuk itu, maka sang istri untuk itu si
istri yang menikah di bawah tangan ini harus meminta itsbat nikah dulu ke
pengadilan agama, agar perkawinannya dengan suaminya itu (pewaris)
tercatat. Hal ini untuk mencegah alibi mertuanya yang mengatakan bahwa
perkawinan mereka tidak sah atau tidak kuat karena hanya dibawah tangan.
Setelah memperoleh itsbat nikah baru kemudian dia dapat menggugat
mertuanya ke pengadilan agama agar harta warisan suaminya segera dibagi.
Walaupun pada dasarnya harta warisan itu tidak harus segera dibagi tetapi
juga tidak harus ditunda pembagiannya. Pada pokoknya kalau memang ada
itsbat nikah atau buku nikah maka itu akan kita perhitungkan sebagai ahli
waris. Namun demikian pengadilan akan tetap melihat asas-asas keadilan.
Dalam persoalan anak yang masih kecil yang mendapat harta warisan,
dalam Al-qur'an dikatakan bahwa hendaklah dijaga harta anak yatim dan
jangan sampai harta anak yatim itu termakan oleh orang yang menjadi
pelindungnya. Makanya seorang ibu yang punya anak, kemudian ada bagian
harta warisan unutk anaknya itu harus dijaga agar jangan sampai terjual
apalagi berpindah tangan, kecuali untuk kepentingan anak itu sendiri,
misalnya untuk sekolahnya, kesehatannya.
bila seseorang bercerai dia tidak mendapat harta warisan karena
harta warisan itu hanya dalam ikatan perkawinan. Tapi untuk anak-anak dari
orang tua yang bercerai mereka tetap mendapat warisan.
Di pengadilan agama ada pertolongan pembagian harta
peninggalan (P3HP) yang membantu pengurusan harta warisan muslim yang
tidak ada sengketa. Artinya ahli waris sudah sepakat membagi harta warisan
secara tertulis, ada surat-suratnya dan ahli waris mengajukan permohonan
pembagian harta warisan di pengadilan agama melalui jalur P3HP.
Kemudian jika timbul sengketa dalam hal pembagian warisan, maka
hal itu diselesaikan melalui gugatan di pengadilan agama (bagi yang
beragama Islam) dan pengadilan negeri (bagi yang non muslim).
Kemudian bila misalnya dari objek harta warisan dijual oleh ahli
waris, tapi tidak semua ahli waris mengetahui bahwa harta warisan itu dijual
bagaimana? Kalau itu merupakan bagian dari harta warisan harus
dikompensasi. Berapa bagian yang sudah dijual dan berapa bagian
kompensasinya. Ahli waris yang tidak mengetahui ini juga dapat menuntut
secara pidana (tindak pidana penipuan) ahli waris yang lainnya sehingga
timbul sengketa hak. Menurut Pasal 49 dan 50 UU Peradilan Agama
sengketa hak itu harus diselesaikan di pengadilan negeri dulu. Pengadilan
Agama hanya sebatas menentukan siapa ahli waris, berapa bagian ahli waris
dan eksekusi harta waris. Kalau sudah menyangkut sengketa harta maka
Pengadilan Agama akan meminta bantuan dari pengadilan negeri dulu untuk
memutus sengketa itu .
bila si pewaris melakukan poligami, bila dia tidak punya anak
maka bagian istri yaitu V4. Tapi kalau suami istri itu punya anak maka
bagiannya V8. Jumlah V8 ini bukan untuk masing-masing istri (pertama,
kedua, dst) V8. Kalau seperti ini berarti jumlahnya sudah 4/8. Jadi sisanya
hanya tinggal 4/8 atau separuhnya. Yang betul jumlah V8 itu dibagi 4 (kalau
istrinya 4). Untuk bagian anak-anaknya dihitung dari 4 orang istri itu berapa
semua anaknya. Kalau anaknya 10 laki perempuan, berarti 7/8 dibagi 10 buat
anak-anaknya. Dengan perhitungan anak laki-laki 2 bagian dibandingkan anak
perempuan.
HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DAN
PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI negara kita
A. HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM DI negara kita
Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di
negara kita , tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat
Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok warga yang mendapat
legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di negara kita . Oleh
karena itu, umat Islam tidak dapat diceraipisahkan dengan hukum Islam
yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di negara kita bila
dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita ), yaitu para
pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam
dalam negara negara kita merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para
pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada
tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara
berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen,
tujuh kata itu dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian
diganti dengan kata "Yang Maha Esa".
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti 'yang dikutip
oleh muridnya (H. Mohammad Daud AH) mengandung norma dan garis
hukum yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara
Republik negara kita berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu
hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:
1. Dalam negara Republik negara kita tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat
Islam, kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu-Bali bagi orang-orang
Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha
bagi orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik
negara kita ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang
bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan
bangsa negara kita .
2. Negara Republik negara kita wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi
orang Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syariat itu memerlukan
perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua yaitu
negara Republik negara kita wajib menjalankan dalam pengertian
menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut
oleh bangsa negara kita dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum
agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara
negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan
syariat yang dipeluk oleh bangsa negara kita untuk kepentingan pemeluk
agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya,
yang disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum salat, zakat,
puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum dunia baik
keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara
untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta
kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyeleng
garaan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum
pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini
memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan
Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara
dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari
agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara
Republik negara kita .
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya. Oleh karena itu, dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut
agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari Suatu
agama yang diakui di negara Republik negara kita yang dapat dijalankan
sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya
hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada
umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan
pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan
agamanya masing-masing
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu
perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum)
ketika menjelaskan arti perkataan "kepercayaan" yang termuat dalam ayat
(2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan
kepercayaan dalam pasal itu yaitu kepercayaan agama. Kuncinya
yaitu perkataan itu yang ada di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud, Kata
"itu" menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
itu . Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan
ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama
Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus
Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan
Undang-Undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang
ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu yaitu aqidah,
kepercayaan agama . . . ; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1)
Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 Tahun 1959
dahulu, pemerintah Republik negara kita menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29
UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;
(c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum
dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam
mewujudkan keadilan dalam Negara Republik negara kita . Menurut Pasal 4
Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di negara kita harus dilakukan
demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004)
berdasar uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa
hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara
Republik negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian
dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Undang-Undang Republik negara kita Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dan beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan
hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang
menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus (Peradilan Agama) di
negara kita . Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma hukum yang
tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan
kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik negara kita
yaitu Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
B. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
bila membicarakan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional, perlu diungkapkan produk pemikiran hukum Islam dalam sejarah
perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam di negara kita , seiring
pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (1) syariah, (2) fikih, (3) fatwa
ulama/hakim, (4) keputusan pengadilan, dan (5) perundang-undangan. Hal
itu akan diuraikan sebagai berikut..
1. Syariah
Syariah atau yang biasa disebut I s l a m i c L a w dalam bahasa Inggris
seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang tidak mengalami
perubahan sepanjang zaman dan mengikat pada setiap umat Islam. Namun,
ikatan dimaksud, didasari oleh aqidah dan akhlak Islam. Oleh karena itu,
syariah yaitu jalan hidup yang wajib ditempuh oleh setiap muslim. Syariah
memuat ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan, la meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan manusia kepada Tuhan-Nya,
manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan
kehidupannya. Namun, perlu diungkapkan bahwa hukum Islam dalam
pengertian ini seperti yang telah diuraikan bahwa ada yang dapat
dilaksanakan secara perorangan, per kelompok, dan ada yang memerlukan
bantuan alat negara dalam penerapannya.
2. Fikih (Fiqh)
Fikih seperti yang telah diuraikan yaitu hukum Islam yang
berdasar pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat,
nash Alquran dan/ atau hadis Nabi Muhammad. Hukum Islam dimaksud,
sudah diamalkan oleh umat Islam negara kita sejak orang negara kita memeluk
agama Islam. Namun, tingkat pengamalan hukum dimaksud didasari oleh
keimanan setiap orang Islam sehingga ditemukan pengamalan hukum itu
bervariasi pada setiap suku dan tempat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu puncak pemikiran f i q h di
negara kita . Hal dimaksud, didasari oleh keterlibatan para ulama,
cendekiawan tokoh warga (tokoh agama dan tokoh adat) dalam
menentukan hukum Islam dalam hal perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
dan wakaf. KHI dimaksud, secara formal disahkan oleh Presiden tanggal 10
Juni 1991 melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Instruksi
dimaksud ditindaklanjuti tanggal 22 Juli 1991 oleh Menteri Agama RI
melalui Keputusannya Nomor 154 Tahun 1991, kemudian disebarluaskan
melalui Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Nomor 3694/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991. Oleh karena itu, patut
dianggap sebagai i j m a ' ulama/ijtihad kolektif warga negara kita atau f i q h
ala negara kita (istilah Hazairin). KHI sebagai i j m a ' ulama negara kita diakui
keberadaannya dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam
negara kita dalam menjawab setiap persoalan hukum yang muncul baik
penyelesaian kasus sengketa melalui musyawarah di dalam warga
maupun melalui lembaga di Peradilan Agama.
3. Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk fatwa yaitu hukum Islam yang
dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan
yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama negara kita
mengenai larangan Natal Bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.
Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak memiliki daya ikat secara
yuridis formal terhadap peminta fatwa. Namun, fatwa mengenai larangan
Natal bersama dimaksud secara yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh
umat Islam di negara kita . Oleh karena itu, fatwa pada umumnya cenderung
bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat
Islam.
4. Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama yaitu
keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya
permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih
dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat
kepada pihak-pihak yang beperkara. Selain itu, keputusan pengadilan agama
dapat bernilai sebagai yurisprudensi ( j u r i s p r u d e n c e ) , yang dalam kasus
tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
5. Perundang-undangan negara kita
Hukum Islam dalani bentuk perundang-undangan di negara kita yaitu
yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya
lebih luas. Oleh karena itu, sebagai peraturan organik, terkadang tidak elastis
mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan. Sebagai contoh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu
memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik
negara kita (Zainuddin Ali, 2001:136-138).
439
440
GAMBARAN UMUM TENTANG
PERADILAN AGAMA DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. SKETSA PERADILAN AGAMA
Proses terbentuknya Peradilan Agama di negara kita diketahui melalui
teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul
F a t h u l M u ' in seperti yang dikutip oleh Zaini Ahmad Noeh, yaitu melalui
tiga bentuk. P e r t a m a , bentuk t a h k i m , berlaku pada zaman permulaan Islam
yakni pada saat terbentuknya warga Islam, sehingga orang-orang yang
bersengketa atas kesepakatan bersama mendatangi ahli agama untuk
meminta jasanya dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. K e d u a ,
bentuk t a u l i y a h dari a h l u l h a l l i w a l - a q d i , berlaku ketika agama Islam
berkembang di nusantara ini yang ditandai dengan munculnya komunitas
Islam di berbagai wilayah. Di antara mereka ada elite yang tampil atau
ditampilkan sebagai pemegang wibawa dan kekuasaan, baik bersifat
rohaniah maupun politis dalam pengertian sederhana. Kelompok elite inilah
yang pada masa itu berwenang menunjuk figur tertentu untuk
menyelenggarakan urusan Peradilan Agama. K e t i g a , bentuk t a u l i y a h dari
imam sebagai kepala negara, berlaku ketika kerajaan Islam berdiri di
nusantara ini; lebih jelas lagi dengan keberadaan instansi yang mengurus
kepentingan beragama kaum muslimin. Oleh karena itu, secara administratif,
baik keberadaan Peradilan Agama maupun produk hukumnya menjadi lebih
valid dan memiliki legitimatif (pembenaran). Sejak itu lembaga Peradilan
Agama telah mengambil bentuk formal dan konkret (Zaini Ahmad Noeh,
1980:17).
Ahmad Noeh mengemukakan ketiga wajah dimaksud, pertama wajah
Tahkim, yaitu Lembaga Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana
berupa tahkim telah lama ada dalam warga negara kita , yakni sejak
agama Islam datang di nusantara ini. Tahkim'inilah yang menjadi embrio
lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam
melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan
rangkaian kesatuan dengan komponen ajaran agama Islam lainnya.
Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di
negara kita itulah yang dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura
tahun 1882, di sebagian besar keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur
441
1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang-
undangan pembentukannya (Zaini Ahmad Noeh, 1980: 17).
Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun
dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan Agama di Jawa, Madura,
dan di sebagian bekas keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan
tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu
lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana
pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan
perbedaan nama dan perbedaan kewenangannya. Perbedaan penyebutan
nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih
tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970
dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah negara kita .
sedang perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
' Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama yang berlaku di Jawa dan
Madura dari Peradilan Agama di luar wilayah itu yaitu terletak tugas pokok
di bidang hukum perkawinan; sedang Peradilan Agama di luar wilayah
memiliki tugas pokok di bidang hukum perkawinan dan hukum
kewarisan. Perbedaan wewenang Peradilan Agama menurut Hazairin tidak
memiliki dasar hukum, karena tidak ada perbedaan esensial dalam jiwa
keislaman antara orang Jawa dengan orang luar Jawa. Itulah satu-satunya
yang dapat diungkapkan sebagai penyebab perbedaan itu: Sekitar tahun
1930-an pihak Belanda selaras dengan teori resepsinya, melihat keadaan di
Jawa itu yakni hukum faraid belum dapat diterima oleh orang desa, apalagi
hukum adat di Jawa ini khas di bidang kewarisan "lebih adil" katanya jika
dibandingkan dengan hukum faraid yang mengutamakan pihak laki-laki
lebih dibandingkan pihak perempuan (Hazairin, 1985: 32).
Selain itu, Hazairin berpendapat bahwa kesalahan yang diperbuat oleh
pembuat PP No. 45 Tahun 1957 pada Peradilan Agama di luar Jawa dan
Madura haruslah segera diperbaiki karena tidak ada dasarnya untuk
meletakkan syarat bagi Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura bahwa
hukum Islam mestilah telah menjadi hukum (adat) yang berlaku. Nyatalah
bahwa pada tahun 1957 pembuat PP No. 45 Tahun 1957 masih dipengaruhi
oleh politik Belanda yang bernama teori r e c e p t i e (Hazairin, 1985: 32).
Namun, kesalahan pada tahun 1930-an dan kesalahan pada PP No. 45 Tahun
1957 yang membedakan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
dari Peradilan di luar kedua wilayah itu bam dapat diperbaiki melalui Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
442
Selain kekuasaan Peradilan Agama yang berbeda, pengadilan agama itu
dalam susunannya tidak ada juru sita, sehingga tidak mampu
menjalankan keputusannya. Namun, upaya untuk mengendalikan Pengadilan
Agama itu, tetap berlanjut dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (2) bahwa setiap
keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau
Pengadilan Negeri (H. Mohammad Daud Ali, 1991:253).
B. PERADILAN AGAMA DI negara kita
Peradilan agama yaitu proses pemberian keadilan berdasar hukum
Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan
Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di negara kita .
Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam negara Republik negara kita . Lembaga peradilan dimaksud,
memiliki kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang
berbeda.
Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuknya yang
sederhana berupa t a h k i m , yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-
orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Hal
ini, ada di zaman penjajahan Belanda, bahkan sebelum adanya penjajahan di
negara kita .
Sejak rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disahkan tanggal
29 Desember 1989 oleh Presiden Republik negara kita menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada
tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa
penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional,
melainkan juga bagi umat Islam negara kita . Sebabnya yaitu Peradilan
Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di negara kita ; menegakkan
hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama
Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Dengan undang-undang ini, pemeluk
agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk negara kita diberi
kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak ajaran
agaraanya sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan
diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-
443
garis besar isinya, yaitu (1) Bab I tentang ketentuan umum. Hal ini mengatur
di antaranya: Peradilan Agama yaitu peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama, dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan
tingkat banding. Kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
dimaksud, Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibukota
kabupaten, sedang Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, di bawah
pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung di bidang Lingkungan Peradilan
Agama. Pembinaan organisasi, administrasi dan keuangannya seperti halnya
dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu
Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama; (2) Bab II sampai
dengan Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, di
antaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut
susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua
dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang
ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi; (3) Bab IV mengatur hukum
acara Peradilan Agama; (4) Bab V mengatur tentang ketentuan-ketentuan
lain; (5) Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan; (6) Bab VII tentang
penutup (sekarang ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
C. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DAN PERANNYA
Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai (Aceh, dekat
Lhokseumawe sekarang) pada tahun 1345 Masehi, ia mengagumi
perkembangan Islam di negeri itu. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-
Malik Al-Zahir pada diskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fikih.
Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja,
Al-Malik Al-Zahir, yang menjadi Sultan Pasai ketika itu, yaitu juga
seorang fuqaha yang mahir tentang hukum Islam. Yang dianut di Kerajaan
Pasai pada waktu itu yaitu hukum Islam mazhab Syafi'i. Menurut Hamka,
dari Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan Islam lainnya di
negara kita . Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500) para
ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata
putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
warga ,
Dalam proses Islamisasi kepulauan negara kita yang dilakukan oleh para
saudagar melalui perdagangan dan perkawinan hukum Islam memiliki
peran yang amat besar. Misalnya, ketika seorang saudagar hendak menikah
dengan seorang pribumi, maka wanita itu diislamkan lebih dahulu dan
pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam.
Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur hubungan
antaranggotanya dengan kaidah hukum Islam atau kaidah lama yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang suami istri
meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan
Islam. Jika ada sengketa di antara mereka, sengketa itu diselesaikan oleh
h a k a m melalui t a h k i m kepada m u h a k k a m yang merupakan asal usul
Peradilan Agama atau bentuk Peradilan Agama pada permulaan
perkembangan agama Islam di nusantara ini. Pembentukan keluarga yang
kemudian berkembang menjadi warga Islam yang baru memerlukan
pengajaran agama baik untuk anak-anak maupun untuk orang yang telah
dewasa. Secara tradisional, biasanya pelajaran agama yang diajarkan pada
waktu itu yaitu (1) ilmu kalam, (2) ilmu fikih, dan (3) ilmu tasawwuf
(mistik). Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang demikian,
menyebarlah ajaran agama Islam ke seluruh kepulauan negara kita secara
damai,
Setelah agama Islam berakar dalam warga , peran saudagar dalam
menyebarkan ajaran Islam digantikan oleh para ulama sebagai guru dan
pengawal hukum Islam. Misalnya, Nuruddin Ar-Raniri (yang hidup di abad
ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul S i r a t a l M u s t a k i m (Jalan
Lurus) pada tahun 1628. Menurut Hamka seperti yang dikutip oleh H.
Mohammad Daud Ali, kitab S i r a t a l M u s t a k i m ini merupakan kitab hukum
Islam yang pertama disebarkan ke seluruh negara kita oleh Syaikh Arsyad
Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin, kitab hukum S i r a t a l M u s t a k i m
itu diperluas dan diperpanjang uraiannya di dalam S a b i l a l M u h t a d i n dan
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di
daerah kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah kesultanan Palembang,
Banten, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, dan Mataram ada
kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka. Ini
dapat dibuktikan dari karya pujangga yang hidup pada masa itu. Misalnya,
K u t a r a g a m a , S a j i n a t u l H u k u m , dan lain-lain
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum Belanda
mengukuhkan kekuasaannya, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri telah ada dalam warga , tumbuh dan berkembang di samping
kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Menurut Ahmad Djamil Latif, ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa hukum Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan
nusantara dan memiliki pengaruh yang bersifat normatif dalam
kebudayaan negara kita . Pengaruh itu tampak dalam hukum keluarga dan
hukum pidana ,
Ketika VOC dating di nusantara ini, ia tidak saja mengakui keberlakuan
hukum Islam, bahkan berusaha untuk membukukan hukum Islam ke dalam
berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di
wilayah yang mereka kuasai. Tahun 1750 diterbitkan kitab sebagai
kumpulan hukum pertama yang diberi nama kitab H u k u m M o g h a r r a e r yang
memuat hukum orang Jawa untuk keperl