uan L a n d r a a d di Semarang. Kitab
hukum ini memuat hukum pidana dan hukum perdata Islam. Pada tahun
1760, diterbitkan pula suatu himpunan peraturan hukum Islam mengenai
kewarisan dan perkawinan, kitab ini diberi nama C o m p e n d i u m F r e i j e r . Di
samping dua kitab ini masih ada kitab yang dibuat di zaman VOC, seperti
kitab P a p a k e m C i r e b o n pada tahun 1768 dan kitab C o m p e n d i u m v a n
C l o o t w i j c k untuk daerah Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan. Setelah
kekuasaan VOC berakhir, negara kita dikuasai oleh kolonialis Belanda dan
kemudian oleh Inggris. Sampai tahun 1816 posisi hukum Islam masih
mantap. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris menyatakan bahwa
hukum yang berlaku di kalangan rakyat yaitu hukum Islam yang bersumber
dari Alquran, sehingga pelaksanaan hukum kewarisan dan hukum
perkawinan berjalan sebagaimana mestinya. Salomon Keyzer berpendapat
bahwa hukum Islamlah yang berlaku di kalangan orang-orang Jawa.
Pendapat ini dikuatkan oleh L.W.C. Van den Berg yang mengatakan bahwa
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk
agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.
Pendapat Van den Berg di atas mendapat tantangan dari Christian
Snouck Hurgronje. Christian Snouck Hurgronje berpendapat bahwa yang
berlaku bagi orang Islam negara kita bukanlah hukum Islam, melainkan
hukum adat. Di dalam hukum adat itu memang telah ada pengaruh
hukum Islam, tetapi pengamh itu baru memiliki kekuatan hukum kalau
telah benar-benar diterima oleh hukum adat. Pendapat ini dikembangkan
secara sistematis dan ilmiah oleh Cornells van Vollenhoven dan Betrand ter
Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan
pengikutnya.
Pendapat yang dikemukakan Christian Snouck Hurgronje di atas
mendapat tantangan dari pemikir hukum Islam di negara kita . Menurut
mereka, teori yang dikemukakan oleh Hurgronje itu memiliki maksud-
maksud politik untuk mematahkan perlawanan bangsa negara kita yang
dijiwai oleh hukum Islam terhadap kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan
teori itu, kata mereka, Belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum
Islam dalam warga yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran dan
pembunuhan terhadap pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti yang di
Aceh ketika itu ,
Selain itu, pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah yang
menyebabkan, pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah
komisi untuk meninjau kembali wewenang P r i e s t e r r a a d atau R a a d Agama
di Jawa dan Madura. Sebelum itu, yakni pada tahun 1882 secara resmi
menurut hukum ketatanegaraan Hindia Belanda Pengadilan Agama berwe
nang mengadili perkara kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan
hukum Islam. Komisi yang diketuai oleh Betrand ter Haar Bzn ini memberi
rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau
kembali wewenang Pengadilan Agama, Dengan alasan bahwa hukum
kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka dengan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dicabutlah wewenang R a a d Agama atau
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan.
Kalau Pengadilan Agama Islam di Jawa dicabut kewenangannya untuk
menyelesaikan perkara kewarisan sejak tahun 1937, berarti Pengadilan
Agama tidak berfungsi lagi untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Namun,
kenyataannya Pengadilan Agama tetap menyelesaikan perkara kewarisan
dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Oleh karena itu, kebanyakan
Pengadilan Agama selalu menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu
hanya untuk melayani konsultasi masalah kewarisan. Di beberapa daerah,
Pengadilan Agama menerima lebih banyak perkara kewarisan bila
dibandingkan dengan perkara kewarisan yang diterima oleh Pengadilan
Negeri . Hasil Penelitian Daniel S. Lev
itu lebih lanjut dibuktikan oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Menurut hasil penelitian itu, pada tahun 1976, dari 1.081 orang yang
mengajukan masalah kewarisan pada Pengadilan di Jakarta, 1.034 orang
(95,65%) mengajukan masalahnya pada Pengadilan Agama, 47 orang
(4,35%) pada Pengadilan Negeri. Mereka yang mengajukan
permasalahannya ke Pengadilan Agama itu menganggap bahwa apa yang
diputuskan di sana yaitu Islamiah, sesuai dengan kesadaran hukum yang
diyakininya. Oleh karena itu, keadilan yang Islamiah mendasari pilihan
hukum serta lembaganya
Setelah kemerdekaan negara kita , pemimpin Islam dengan berbagai cara
berupaya untuk mengembalikan hukum Islam pada kejayaannya semula.
Begitulah, menjelang kemerdekaan negara kita Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan negara kita dibentuk pada tahun 1945, dan bersidang
untuk merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara
negara kita merdeka di kemudian hari. Pemimpin Islam yang menjadi anggota
badan itu terus berusaha mendudukkan hukum Islam dalam Negara
negara kita itu kelak. Setelah melalui berbagai tukar pikiran dalam
musyawarah, para pemimpin negara kita , baik yang beragama Islam maupun
yang non-Islam berusaha merancang dan merumuskan Undang-Undang
Dasar Republik negara kita , yang kemudian dikenal dengan UUD 1945
mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam Piagam Jakarta (22 Juni
1945). Di dalam Piagam Jakarta itu, dinyatakan antara lain bahwa negara
"berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tujuh kata terakhir ini dihilangkan dari
Pembukaan UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita
tanggal 18 Agustus 1945 dengan imbalan tambahan kata "Yang Maha Esa",
sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan "Yang Maha Esa"
ini dijadikan garis hukum dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 ayat (1)
mengandung arti bahwa negara berdiri atas keinsafan bangsa dan warga
untuk mematuhi norma kesusilaan. Oleh karena itu, tidak ada peluang bagi
hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi di dalam Negara Republik
negara kita ,
Selain perkembangan hukum Islam melalui perundang-undangan di
atas, dapat juga dilihat pada perkembangan ijtihad, i j m a ' para ulama
mengenai sistem kewarisan bilateral menurut Quran dan Hadis, kedudukan
ahli waris pengganti (mawali) dalam kewarisan Islam dan lahirnya kaidah
hukum perkawinan Islam, hukum kewarisan Islam, dan hukum kewakafan
Islam. Sebagai contoh perkembangan ijtihad, di antaranya, Hazairin
mengemukakan bahwa perkataan mawali yang ada dalam Alquran
Surah An-Nisaa' (4) ayat 33 mengandung pengertian ahli waris pengganti.
Menurut beliau, perkataan ahli waris pengganti itu tidak ada sangkut pautnya
dengan ganti-mengganti ahli waris. Ia hanya menunjukkan siapa yang
menjadi ahli waris kalau penghubungnya telah meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris. Istilah itu ada dalam hukum adat warga muslim
negara kita . Hazairin mengangkatnya untuk mengisi kekosongan hukum yang
ada dalam sistem hukum kewarisan Islam yang dianggap telah mapan
sejak masuknya Islam di negara kita sampai tahun 1960-an. Kekosongan itu
yaitu mengenai kedudukan cucu, melalui anak perempuan, dalam hukum
kewarisan Islam
Mengenai kedudukan cucu dalam hukum kewarisan Islam, yang
ketentuannya tidak ada di dalam Quran dan Hadis, sehingga pemikiran
para ahli hukum Islamiah yang memecahkannya atau yang biasa disebut
ijtihad. Pemecahan pertama dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yang pada
pokoknya menyatakan bahwa cucu melalui anak laki-laki menjadi ahli waris
dan menghijab seperti anak laki-laki bila tidak ada anak laki-laki lain
bagi pewaris yang masih hidup. Ijtihad Zaid bin Tsabit ini memecahkan
masalah cucu sebagai ahli waris, tetapi pemecahan itu hanya mengenai cucu
melalui anak laki-laki saja, tidak mengenai cucu melalui anak perempuan.
Ijtihad ini logis dalam sistem kekerabatan patrilineal di tempat Zaid
mengeluarkan pendapatnya pada zaman itu
Hukum kewarisan Islam mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris
pengganti atau mawali seperti disebutkan di atas, ketentuannya didapatkan
melalui ijtihad atau hasil pemikiran yang mendalam dari para ahli hukum
Islam, sehingga mungkin saja ada perbedaan pada suatu tempat dengan
tempat lainnya. Sebab, hasil pemikiran itu dipengaruhi oleh budaya hukum
( l e g a l c u l t u r e ) yang berlaku di suatu tempat atau negara. Hal ini sejalan
pendapat Roscoe Pound yang mengatakan bahwa, hukum itu berbeda di
suatu tempat dengan tempat lainnya karena adanya perbedaan budaya
hukum (Roscoe Pound, 1986: 143). Sebagai contoh mengenai kedudukan
ahli waris pengganti (mawali) di negara kita berbeda dari kedudukan ahli
waris pengganti di negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti di
Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.
D. KOMPILASI HUKUM ISLAM
Proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak terlepas dari
pertumbuhan, perkembangan hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama
sebelum dan sesudah warga negara kita memproklamasikan kemerde
kaannya pada tanggal 17 Xgustus 1945. Oleh karena itu, membicarakan
Hukum Islam di negara kita tidak dapat dipisahkan dari eksistensi: (1)
perkembangan Hukum Islam dan perannya, (2) Kompilasi Hukum Islam, (3)
pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama. Selain itu akan diuraikan
latar belakang KHI, gagasan dasar KHI, dan realisasi KHI.
1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah
Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan
dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang
itu menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan
pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedang
pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun
undang-undang itu ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di
lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah
penandatanganan Surat Keputusan Bersama (8KB) Ketua Mahkamah Agung
dengan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3,
dan 4 tahun 1983. Keempat SKB dimaksud, yaitu jalan pintas sambil
menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan
Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada
saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas pembinaan teknis
yustisial Peradilan Agama merasakan adanya beberapa kelemahan. Sebagai
contoh, hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama
cenderung simpang siur, simpang siur dimaksud, sebagai akibat dari
perbedaan pendapat para ulama pada suatu persoalan. Untuk mengatasi
perbedaan itu, perlu menetapkan satu buku hukum yang menghimpun semua
hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat
dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.
2. Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam
Busthanul Arifin (pencetus Kompilasi Hukum Islam) mengemukakan
pendapat berikut,
(1) Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di negara kita harus ada antara
lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh para aparat
penegak hukum maupun oleh warga .
(2) Persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan sudah
menyebabkan hal-hal.
(3) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum
Islam itu ( m a a a n z a k i l l a h u ) .
(4) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu
( t a n f i d z i y a h ) .
(5) Akibat kepanjangannya yaitu tidak mampu memakai jalan dan
alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan
perundang-undangan lainnya.
(6) Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam
diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu sebagai
berikut.
a. Di India pada masa pemerintahan Raja An Rijeb yang membuat
dan memberlakukan perundang-undangan Islam yang terkenal
dengan FatwaAlamfiri.
b. Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah
A l - A h k a m A l - A d l i y a h . Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi
di Sudan. berdasar hal di atas, sejalan dengan apa yang telah
dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1958, yaitu hanya
memakai 13 buah kitab kuning. Kitab kuning dimaksud,
sudah dipergunakan selama ini di Peradilan. Oleh karena itu,
upaya ke arah kesatuan dan kepastian hukum sejalan dengan apa
yang dilakukan di negara-negara itu . Dari situlah kemudian
muncul gagasan untuk membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai
buku hukum bagi Pengadilan Agama.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran
hukum warga yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat
(1) yang berbunyi: "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga ". Selain itu,
Fikih Islam mengungkapkan kaidah: "Hukum Islam dapat berubah karena
perubahan waktu, tempat, dan keadaan". Keadaan warga itu selalu
berkembang karena memakai metode yang sangat memperhatikan rasa
keadilan warga . Di antara metode itu ialah m a s l a h a t m u r s a l a h , i s t i h s a n ,
i s t i s h s h a b , dan u r f .
4. Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam yaitu fikih negara kita karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita .
Fikih negara kita dimaksud yaitu fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin
dan T.M, Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki tipe fikih lokal
semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih-Hindy, fikih lain-lain yang sangat
memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga setempat, yang
bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih
dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada Unifikasi mazhab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di negara kita .
5. Realisasi Kompilasi Hukum Islam
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam merupakan penjabaran dari
Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal
49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai,
untuk mewujudkan kesadaran warga mengenai pelaksanaan hukum
Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf.
Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui
Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25
Maret 1985. Di dalam SKB dimaksud, ditentukan para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk dan jabatan masing-masing
dalam proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang dipakai dalam
proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Pelaksanaan proyek dimaksud, memiliki dua pertimbangan.
P e r t a m a , sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan Peradilan di negara kita , khususnya di
lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam
yang selama ini telah menjadi hukum positif di Pengadilan Agama. K e d u a ,
untuk mencapai maksud itu demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu
membentuk tim proyek yang susunannya terdiri atas pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama Republik negara kita .
Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di negara kita yaitu
menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi Hakim Pengadilan
Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa
negara kita yang beragama Islam. Oleh karena itu, tidak terjadi lagi simpang
siur keputusan Pengadilan Agama.
bila tidak ada KHI atau para hakim di Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan perkara, maka ia berpedoman kepada referensi kitab fikih
yang dibuat oleh para fuqaha terdahulu berdasar situasi dan kondisinya di
mana fuqaha itu berada, hakim dalam menyelesaikan perkara yang sama
sering putusannya berbeda sebagai akibat rujukan yang berbeda. Oleh karena
itu, Busthanul Arifin mempersoalkan, hukum Islam yang mana yang
dijadikan rujukan jika dalam satu masalah tertentu ada banyak pendapat.
Menurut dia, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni
harus ada kepastian hukum
Kompilasi Hukum Islam yaitu fikih negara kita karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam negara kita .
Fikih negara kita dimaksud yaitu fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin
dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya memiliki tipe fikih lokal
semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum warga setempat, yang
bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih
dalam menjawab satu persoalan fikih. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di negara kita ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di negara kita .
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN
TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA ISLAM
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata f l g h j i n a y a h .
F i q h j i n a y a h yaitu segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang m u k a l l a f (orang yang
dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum
yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan
kriminal yaitu tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum
serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat
dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia
untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menem
patkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri
maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang
berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Alquran merupakan penjelasan Allah tentang syariat, sehingga disebut
A l - B a y a n (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar memiliki
empat cara dan salah satunya yaitu Allah Memberi penjelasan dalam
bentuk n a s h (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang
membunuh tanpa hak hukumannya harus dibunuh oleh keluarga korban atas
adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali
bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang
berstatusjanda atau duda dan/atau sudah menikah hukumannya yaitu
rajam.* Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar,
pencurian, perampokan, penuduhan berzina dan orang murtad. Hal-hal
seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Alquran.
Hukum rajam yaitu hukuman bagi pezina janda dan/atau duda serta orang yang
memiliki istri dan/atau suami. Rajam, yaitu pezina digalikan lubang yang kemudian
dimasukkan di lubang sampai lehernya (ditanam hidup-hidup) lalu dilempari batu sampai
meninggal. Sanksi hukuman itu dilakukan karena melanggar hak Tuhan sehingga hukuman
Tuhan yang dijadikan acuan.
B. RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA ISLAM
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan
(termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh seseorang, berzina, minuman
khamar membunuh atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta
seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan yang semacamnya
yang berkaitan dengan kepidanaan.
C. JENIS HUKUMAN
Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam hukum
pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu (a) ketentuan hukuman yang pasti
mengenai berat ringannya hukuman termasuk q i s h a s h dan d i y a t yang
tercantum di dalam Alquran dan hadis yang biasa disebut h u d u d , (b)
ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang biasa
disebut hukuman to ' z i r . Hukum publik (Islam) yaitu j i n a y a h yang memuat
aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam
j a r i m a h h u d u d maupun dalam j a r i m a h t a ' z i r . J a r i m a h yaitu perbuatan
tindak pidana. J a r i m a h h u d u d yaitu perbuatan pidana yang memiliki
bentuk dan batas hukumannya di dalam Alquran dan sunnah Nabi
Muhammad saw. Lain halnya j a r i m a h t a ' z i r . J a r i m a h t a ' z i r yaitu perbuatan
pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
(hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.
D. TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tujuan hukum pidana Islam yaitu memelihara jiwa, akal, harta
warga secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum
pidana Islam amat penting dalam kehidupan berwarga . Sebab, empat
dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana
Islam, dan dua di antaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata
Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata
dipelihara oleh ketentuan hukum pidana Islam.
Selain itu, perlu diungkapkan bahwa tujuan hukum pada umumnya
seperti yang telah diungkapkan yaitu menegakkan keadilan sehingga
terwujud ketertiban dan ketenteraman warga , Oleh karena itu, putusan
hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh warga .
warga yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan. Hal ini
berdasar dalil hukum yang bersumber dari Alquran Surah An-Nisaa' (4)
ayat 65 :
Mate d ete T u h a n m u , m e r e k a ( p a d a h a k i k a t n y a ) t i d a k b e r i m a n h i n g g a
m e r e k a m e n j a d i k a n k a m u h a k i m d a l a m p e r k a r a y a n g m e r e k a
p e r s e l i s i h k a n , k e m u d i a n m e r e k a t i d a k m e r a s a k e b e r a t a n d a l a m h a t i
m e r e k a t e r h a d a p p u t u s a n y a n g k a m u b e r i k a n , d a n m e r e k a m e n e r i m ' a
d e n g a n s e p e n u h n y a .
Dalil hukum dari ayat Alquran di atas dapal diketahui dan dipahami
bahwa Allah menjelaskan, walaupun ada orang-orang yang mengaku
beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah beriman selama mereka tidak mau
mematuhi putusan hakim yang adil, seperti putusan Nabi Muhammad saw.
sebagai Rasul yang pernah menetapkan penyelesaian perselisihan di antara
umatnya. Sebagai contoh, suatu peristiwa yang diceritakan oleh Bukhari
Muslim, yaitu Zubair bin Awwam mengadukan seorang laki-laki kaum
Anshar kepada Nabi Muhammad saw. dalam suatu perselisihan tentang air
untuk kebun kurma. Nabi Muhammad saw. memberi putusan seraya berkata
kepada Zubair: A i r i l a h k e b u n m u i t u l e b i h d a h u l u k e m u d i a n a i r k a n l a h
k e p a d a k e b u n t e t a n g g a m u . Maka laki-laki itu berkata: "Apakah karena dia
anak bibimu hai Rasulullah". Maka berubahlah muka Nabi Muhammad saw.
karena ia mendengar tuduhan dimaksud. Namun, Nabi Muhammad saw.
berkata lagi (untuk menguatkan putusannya): H a i Z u b a i r a i r i l a h k e b u n m u
i t u s e h i n g g a a i r i t u m e r a t a i n y a , k e m u d i a n a l i r k a n l a h k e p a d a k e b u n
t e t a n g g a m u .
Hikmah peristiwa dimaksud yaitu bahwasanya hukum harus dipatuhi
dan setiap putusan harus mengandung rasa keadilan agar dengan ikhlas
dipatuhi oleh anggota warga . Kasus mengairi kebun korma yang
langsung ditangani oleh Nabi Muhammad saw. itu, mengandung rasa
keadilan. Sebab, kedua belah pihak memperoleh aliran air yang
memungkinkan tumbuhnya pohon kurma yang menjadi sumber kehidupan
mereka berdua. Dari kasus ini juga jelas bahwa Nabi Muhammad saw.
mencela perbuatan monopoli dalam sesuatu usaha.
Selain hal itu , dapat juga dipahami bahwa pemanfaatan hak milik
berupa tanah sebagai salah satu sumber kehidupan manusia yang paling
vital, maka hendaklah memakai asas keseimbangan. Contoh, setiap
orang berhak memakai hak miliknya menurut kehendaknya, tetapi ia
pun berkewajiban dalam memakai haknya dimaksud, tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, bebas memakai tanahnya sesuai dengan
kehendaknya, tetapi ia berkewajiban pula menjamin pemenuhan kepentingan
umum seperti menjamin lancarnya pengairan yang berdekatan dengan
tanahnya yang mengairi sawah petani. Oleh karena itu, ia tidak boleh
mengelola tanah itu yang mengakibatkan dapat menghambat
tersalurnya air ke persawahan para petani. Sebaliknya, seseorang tidak dapat
dengan memakai dalih untuk kepentingan umum, sehingga tidak
memberi ganti kerugian yang wajar terhadap tanah seseorang yang diambil
untuk kepentingan umum (H. Baharuddin Lopa, 1996: 127).
Namun, bila tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang
dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad saw., baik yang termuat di dalam
Alquran maupun yang ada di dalam Al-Hadis, yaitu untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala
yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna
kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam yaitu
kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu, dan
warga . Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-
Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang dikutip
oleh H. Hamka Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta .
DISKURSUS TENTANG
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
A. FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG PEMBARUAN HUKUM
ISLAM
Salah satu anugerah Allah S WT yang tidak ternilai harganya bagi manusia
yaitu kecerdasan. Dengan kecerdasan akalnya, manusia dapat mengem
bangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun peradaban demi
kesejahteraan umat manusia. Kecerdasan memungkinkan manusia lebih
maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif.
Sayangnya anugerah kecerdasan ini seringkah tidak atau belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia. Banyak ditemukan watak
manusia, khususnya umat Islam yang bermalas-malasan atau tidak
memakai kecerdasannya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi umat Islam bersikap malas
dalam berpikir dan mulai memasuki periode teks dan s y a r h (deskripsi atas
teks) dalam bidang fikih Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Ketertinggalan peradaban umat Islam dibandingkan dengan dunia Barat
yang mengakibatkan tertinggalnya fikih dan terhentinya ijtihad.
2. Dari faktor di atas, muncullah pembakuan fikih mazhab. Para ulama
masing-masing mazhab menuliskan hasil ijtihad yang bersifat pokok
atau elementer di dalam sejumlah persoalan yang kemudian mereka
fatwakan. Mereka meyakini bahwa apa yang dibukukannya telah cukup
memenuhi kebutuhan umat Islam. Mereka merasa puas dengan kitab-
kitab besar para mujtahid yang ada.
3. Fanatisme mazhab. Masing-masing ulama hanya bersikukuh pada
mazhab tertentu; hanya mementingkan pengajaran mazhabnya dan
pelestarian prinsip dan penyusunan cabang-cabangnya; hanya mengajak
umat berpaham secara monologis atau kepada mazhab yang dipilihnya;
dan meyakini bahwa mazhabnyalah yang benar. Hal inilah yang
dikategorikan sebagai klaim kebenaran ( t r u t h c l a i m ) .
4. Semakin meningkatnya penolakan terhadap ijtihad. Kitab para ulama
mazhab mengandung banyak kritikan terhadap mazhab lain. Misalnya,
yang dikatakan Al-Jashash Al-Hanafi di dalam kitabnya, A l - A h k a m
A l q u r a n , yang mengandung kritikan terhadap mazhab lain.
5. Adanya pertikaian antarmazhab karena para hakim pada masa-masa
tertentu telah menetapkan berbagai keputusan hukum berdasar
mazhab tertentu yang dia peluk. Mereka menolak jika harus keluar dari
berbagai ketetapan yang telah ditentukan oleh para ulama mereka.
Fanatisme mazhab yaitu salah satu faktor pembakuan yang dilakukan
oleh para ulama fikih dan pengagung fikih mereka.
6. Berkembangnya sikap iri hati di antara para ulama yang menyebabkan
mereka menolak ijtihad karena takut lawan-lawannya menjadi kuat dan
melontarkan sesuatu yang baru. Hal ini membuat mereka bersikukuh
terhadap pendapat para ulama terdahulu ( a l - m u t a q a d d i m i r i ) .
Sumber kekeliruan yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup
terletak pada ketidakmampuan mereka untuk membedakan antara ijtihad
yang bisa mengantarkan pelakunya pada pembentukan mazhab fikih dan
ijtihad terbuka. Hal ini menyebabkan pelakunya mendapatkan dirinya
bersepakat dengan salah satu mazhab lain tanpa disengaja dan tanpa terikat
dengan langkah-langkah mazhab itu.
Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah
tertutup, antara lain sebagai berikut.
P e r t a m a , hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat,
jinayat, dan sebagainya dianggap sudah lengkap dan dibukukan secara rinci
dan rapi. Oleh karena itu, ijtihad dalam hal ini tidak diperlukan lagi.
K e d u a , mayoritas kaum Sunni hanya mengakui mazhab empat. Karena
itu, penganut Ahlu as-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari mazhab
empat dan tidak boleh pindah mazhab.
K e t i g a , membuka pintu ijtihad, selain sesuatu yang percuma dan
membuang-buang waktu, hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri
atas kumpulan pendapat dua mazhab atau lebih yang dikenal dengan istilah
t a l f i q yang kebolehannya masih diperselisihkan oleh kalangan ulama u s h u l ;
hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu mazhab empat, berarti ijtihad
itu hanyalah t a h s i l a l - h a s i l , hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di
luar mazhab empat tidak dianggap sah oleh mayoritas ulama Ahlu as-
Sunnah; hukum yang tidak seorang pun membenarkannya yang pada
hakikatnya sama dengan menentang ijmak.
K e e m p a t , kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad
keempat Hijriyah sampai saat ini, tidak seorang ulama pun berani
menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikutnya sebagai seorang
m u j t a h i d m u t l a q m u s t a q i l . Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat
berijtihad itu memang sangat sulit, sehingga dapat dikatakan tidak mungkin
lagi untuk saat sekarang.
Keempat alasan di atas yang menggiring umat Islam semakin malas
untuk berpikir dan pasrah dengan mengikuti berbagai mazhab yang telah ada
karena mereka menilai, bahwa ijtihad bukanlah aktivitas yang mudah
dilakukannya. Dengan demikian, sejak awal abad keempat sampai akhir
abad ke-12 Hijriyah, umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang
pemikiran (khususnya bidang hukum Islam). Mereka tidak berani
menunjukkan kreativitasnya karena takut melakukan kesalahan atau tidak
cukup mampu secara keilmuan.
B. URGENSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Seorang filsuf sekaligus negarawan Francis, Andre Malraux, meramalkan
bahwa abad ke 21 yaitu abad agama. Manusia tidak akan s u r v i v e di abad
itu, bila nilai-nilai agama tidak diaktualisasikan kembali. Ada beberapa
fakta penting yang akan mempengaruhi dan membentuk manusia masa
depan, yang berkembang dalam proses sejarah kehidupan atau pergulatan
hidup manusia di dunia.
Pada abad permulaan ke-20, agama seperti telah dikesampingkan akibat
berkibarnya humanisme, rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan berbagai
ideology sekuler. Namun demikian, agama tetap berkembang dengan cepat
di masa lalu bahkan menjadi sumber motivasi dalam proses kesejarahan
manusia.
Di sebagian besar wilayah dunia, tampak intensitas keberagamaan
semakin tinggi. Gejala ini, merupakan reaksi dari orientasi materialisme
yang eksklusif dari sebagian besar ideologi sekuler yang bersaing di abad
ke-20. Gejala ini merupakan reaksi baik gagasan maupun hasil dari
d e v e l o p m e n t a l i s m .
warga dunia sekarang ini ditimpa oleh kekurangan pangan dan
ketidakstabilan ekonomi, kerusakan lingkungan, berbagai bentuk bencana
alam39, kontinuitas konflik, dan ancaman bahaya nuklir. Berbagai kenyataan
39 Memilukan! Trenggalek yang aman dan tenteram tiba-tiba diterjang banjir bandang yang
luar biasa dahsyatnya. Ratusan rumah rusak, ribuan hektar sawah hancur, puluhan manusia
tewas, dan ratusan lainnya luka parah. Berbarengan dengan itu, sejumlah daerah di
Kalimantan dan Sumatra juga diterjang banjir. Di Sumatra Barat, misalnya, longsor
menimbun jalan utama Solok-Padang dan menewaskan sedikitnya empat orang. Di Riau,
anehnya, banjir muncul bersamaan dengan asap kebakaran hutan. Ya, banjir dan api
muncul bersamaan. Peristiwa yang tampak kontras itu terjadi di negara kita . Tragisnya,
kedua peristiwa itu berkaitan dengan perusakan hutan. Setiap musim hujan, banjir dan
longsor terus terjadi di hampir seluruh wilayah negara kita . Pekan pertama Januari 2006,
banjir bandang menerjang Jember, Jawa Timur, menewaskan 50 orang lebih. Lalu longsor
ini menunjukkan bahwa manusia kini sedang sakit dan dilanda malaise
spiritual. Sementara itu, industri dan teknologi maju tidak membawa
kepuasan bagi manusia. Oleh karena itu, tanggung jawab agamalah untuk
mengartikulasi kerinduan manusia terhadap makna hidup yang lebih tinggi;
dan menunjukkan alternatif untuk mendapatkan kepuasan yang
sesungguhnya.
Pemisahan antara agama dan negara merupakan salah satu prinsip dari
demokrasi politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia,
khususnya negara-negara yang terdiri atas multi-etnis, yang membutuhkan
saling pengertian dan menghormati antarwarga negaranya yang memiliki
perbedaan ras maupun agama. Namun begitu, sampai sekarang masih
ada negara-negara yang mendasarkan diri pada agama terutama dalam
Islam, di mana tekad untuk membentuk negara yang berdasar agama
masih begitu kuat.
Sebagian dari kebangkitan atau intensitas keberagamaan dalam bidang
politik yaitu munculnya persepsi bahwa pemisahan antara agama dan
negara telah menyebabkan kehancuran nilai-nilai agama dalam mekanisme
pemerintahan bahkan menimbulkan perceraian antara etika dan politik.
Di antara pertanyaan yang ditujukan pada penulis ketika membuka
seminar mengenai hal di atas terutama dalam kedudukannya sebagai
pemimpin dari agama yang berbeda-beda, yakni mampukah agama
mengembangkan perannya dalam kancah politik tanpa menyodorkan
dogmatisme dan pembobrokan struktur warga , sehingga agama bisa
menyelesaikan konflik yang ada? Mungkinkah agama bekerja sama dalam
berusaha membentuk warga yang lebih bermoral, meskipun tetap
memiliki pandangan yang berbeda dalam keimanan dan tujuan hidupnya?
Dalam mencari jawaban pertanyaan ini, penulis pikir sangat penting
untuk pertama-tama mengenai, bahwa agama merupakan segalanya bagi
manusia. Agama yaitu suatu jalan menuju keselamatan manusia, pedoman
dan penilaian atas perbuatan manusia, dan petunjuk wahyu yang membawa
manusia kepada suatu kebenaran transenden. Agama juga bisa didefinisikan
menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah, menewaskan 200 orang lebih. Seterusnya banjir dan
longsor menimpa Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan pulau-pulau lain. Kini, tiga
bulan setelah tragedi Jember dan Banjarnegara, tragedi yang sama menimpa Trenggalek.
Sepertinya kita sudah merasa terbiasa dengan bencana itu . Padahal, mestinya kita
berpikir: Mengapa banjir dan longsor terus saja terjadi? Apakah pemerintah gagal
mengatasi pencegahan banjir dan longsor yang telah menelan biaya miliaran rupiah tiap
tahun?
suatu bentuk kosmologi yang membawa pikiran dan pesan-pesan untuk
mencapai keselamatan manusia.
Keberagamaan manusia pada saat yang bersamaan selalu disertai
dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda. Di
warga , agama merupakan suatu e s t a b l i s h m e n t yang kuat dan terikat erat
dalam sistem sosial politik, dan ekonomi warga . Agama merupakan
a g e n t o f c h a n g e dan mobilisasi, sekaligus juga menjadi kekuatan
immobilisasi dari komunitas manusia. Agama baik dipandang dari aspek
individual maupun sosial yaitu sumber moral maupun etika; sebuah
pedoman untuk menuju kebaikan. Dari dimensi ini, sangat penting untuk
mengidentifikasi semua peran agama dalam kehidupan, sehingga
Memberi kemungkinan untuk bekerja sama yang saling menguntungkan.
Komunikasi di antara agama sangat penting untuk mencapai bentuk
kerja sama. Kesetiaan masing-masing penganut agama diperdalam dengan
refleksinya, ada banyak cara; menyangkut cara pandang dan ekspresi
terhadap kebenaran; dan itu merupakan awal toleransi dan kerendahan hati.
Banyak masalah yang memiliki persamaan nilai dalam agama-agama,
yang mana bisa dikatakan bahwa agama merupakan m a j o r e l e m e n t dalam
budaya. Komunikasi dalam kerangka toleransi yang saling menguntungkan
akan memperkaya spiritual, seperti tersirat dalam Alquran, yang menyatakan
bahwa perbedaan akan memacu manusia untuk berlomba dalam kebaikan.
Agama dalam aspek duniawinya merupakan e s t a b l i s h m e n t , sumber
nilai dan kekuatan mobilisasi yang sering menimbulkan konflik dalam
sejarah umat manusia. Oleh karena itu, kerja sama antara manusia masa
datang bahkan kerja sama para penganut satu agama pun perlu, karena
terbukti dalam satu agama yang sama sering muncul konflik
antarpengikutnya. Sebagai contoh, konflik antara gereja-gereja yang telah
mapan dengan teologi pembebasan; antara Sunni dan Syi'ah; antara kaum
mistikus dan pekerja sosial. Sebagai pengaku sumber kebenaran mutlak,
agama harus memiliki peranan dominan yang mana pada suatu ketika
perlu berada di luar proses sejarah. Persepsi dan pengertian kita bisa berubah
karena waktu, namun kebenaran mutlak tetap abadi. Tuhan tidak pernah
berubah, meskipun nama-nama Tuhan berbeda. Namun meski kebenaran itu
abadi, tetapi agama itu tetap historis; menjelma dalam pergolakan hidup
manusia. Fakta menunjukkan, bahwa agama ternyata tidak mudah bekerja
sama dengan sejarah. Bahkan seringkah, agama berusaha membengkokkan
jalannya sejarah, menurut kehendak persepsinya. Agama sering mencuatkan
amarah dan terkadang meledakkan senjata untuk menggilas kekuatan sekuler
dan menguasai jiwa manusia. Begitulah hubungan antarperanan agama, baik
secara historis maupun ahistoris; antara transendensi dan keduniaan yang
terjadi dalam kehidupan manusia, yang sesungguhnya sangat menarik untuk
dikaji.
Tanda-tanda mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi
hukum dalam pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat
menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentafig
pembangunan ini ada suatu kelesuan ( m e l a i s e ) atau kekurangpercayaan
akan hukum dan gunanya dalam warga .
Sebaliknya, dan ini mungkin kedengarannya paradoksal sekali, di
puncak m a l a i s e dan ketiadaan kepercayaan mengenai guna bahkan adanya
hukum di warga kita ini, terdengar jeritan-jeritan yang menandakan
masih percayanya orang di negara kita terhadap keampuhan hukum. Tidak
jemu-jemunya orang mengumandangkan t h e r u l e o f l a w dengan harapan
yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan ke atas
tahtanya, dengan sendirinya segala sesuatu akan beres kembali dan tercapai
m a s y a r a k a t y a n g t a t a t e n t r e m k e r t a r a h a r j a .
Keadaan yang coba dilukiskan di atas, yaitu orang di satu pihak, acuh
tidak acuh atau hilang kepercayaan terhadap hukum, tetapi di lain pihak
memiliki kepercayaan yang naif terhadap kekuatan yang seakan-akan magis
religius dari hukum, mencirikan cara berpikir kita umumnya tentang hukum.
Kedua anggapan tentang hukum itu, sama-sama kurang tepat; yang satu
karena terlalu memandang rendah terhadap arti dari fungsi hukum dalam
warga (lebih menghargai arti dibandingkan kekuasaan), sedang
anggapan yang kedua tidak pula banyak menolong karena terlalu banyak
mengharapkan sesuatu dibandingkan nya.
Kesemuanya ini memaksa kita untuk memahami fungsi hukum dalam
warga ini dengan lebih wajar dengan mencoba meneliti arti dan fungsi
hukum itu secara akal (rasional). Rudolf Von Jhering dalam D e r Z w e c h I m
R e c h t menyebutkan bahwa hukum yaitu keseluruhan peraturan yang
memaksa ( c o m p u l s o r y r u l e s ) yang berlaku dalam suatu negara. Menurut
E.Utrecht, hukum itu yaitu himpunan peraturan (perintah dan larangan)
yang mengurus tata tertib suatu warga dan karena itu harus ditaati oleh
warga itu.
Zaman keemasan hukum Islam, sebagaimana telah disebutkan,
berlangsung sekitar 250 tahun. Setelah itu, yakni sejak pertengahan abad
keempat Hijrah, hukum Islam mengalami periode taklid. Pada masa itu
gerakan ijtihad terhenti, kebebasan berpikir para ulama sudah tidak ada lagi.
Para ulama tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumbernya, yaitu
Alquran dan hadis, tetapi mereka lebih senang bertaklid dan mengikuti fikih
Imam pendahulu. Kemampuan akal mereka, dibatasi dengan mempelajari
mazhab Imam itu , mereka mengha-ramkan dirinya keluar dari batasan
itu. Mereka berusaha memahami lafal-lafal dan ibarat Imam mereka, bukan
berusaha memahami nash syariat dan prinsipnya yang umum. Mereka telah
melupakan ijtihad malah dengan mengatakan pintu ijtihad telah tertutup.
Penyebab utama timbulnya periode taklid ini yaitu karena timbulnya
fanatisme kelompok. Setiap kelompok dari Imam mujtahid membentuk
suatu aliran fikih yang memiliki cara-cara i s t i n b a t h hukum tersendiri, dan
para murid atau anggota dari setiap kelompok berusaha mempertahankan
mazhabnya dengan segala cara sehingga mengalihkan perhatian mereka dari
sumber hukum yang utama, Alquran dan hadis. Sebab lainnya pada masa itu
kekuasaan Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan yang saling bertikai
sehingga para pemimpin dan warga sibuk dengan peperangan, yang
salah satunya mengakibatkan terhentinya gerakan ijtihad.
Berhentinya gerakan ijtihad itu menimbulkan kejumudan dan kebekuan
hukum Islam, sehingga umat Islam selalu mencurigai hal-hal baru dan
mengharamkannya tanpa meneliti terlebih dahulu kegunaan dan
kerugiannya. Mereka menyebutnya sebagai b i d ' a h dan mengharamkannya
karena tidak diatur dalam Islam dan dalam wahyu Tuhan. Mereka
mengharamkan peneijemahan Alquran ke dalam bahasa lain dan melarang
mempelajari pengetahuan umum. Di kalangan umat Islam juga berkembang
pendapat bahwa umat Islam tidak berhak hidup bahagia di dunia, mereka
tidak perlu kaya, dan tidak perlu berkuasa; umat Islam hanya akan mendapat
kebahagiaan dan kesenangan di akhirat nanti.
Sikap taklid mulai didobrak oleh Ibn Taimiyah (1263-1328). Ia secara
tegas berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pemah
tertutup. Seruannya untuk menggairahkan kembali ijtihad berhasil
Memberi pengaruh yang besar di dunia Islam pada masa-masa
berikutnya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad
yang terjadi di Kerajaan Usmani, India, dan Saudi Arabia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah.
Di kerajaan Usmani, sikap taklid itu mulai didobrak sejak akhir abad
ke-13 Hijrah atau abad ke-19 Masehi. Pemerintah Usmani pada waktu itu
menugaskan sekelompok ulama terkemuka untuk menyusun suatu hukum
dalam bidang muamalat yang tidak terikat pada salah satu mazhab.
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad itu, di
India dan Saudi Arabia malah sudah dimulai pada abad ke-18 Masehi. Di
India, gerakan itu dipelopori oleh Syah Waliullah (1703-1762), sedang di
Saudi Arabia, gerakan itu dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab
(1703-1787). Gerakan terakhir ini kemudian dikenal dengan gerakan
W a h a b i a h .
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad yang
dimulai sejak abad ke-18 Masehi inilah yang disebut gerakan pembaruan
hukum Islam, sehingga masa itu sampai sekarang disebut periode pembaruan
hukum Islam. Pembaruan hukum Islam merupakan bagian dari pembaruan
yang terjadi dalam Islam. Jadi, pembaruan dalam Islam lebih luas meliputi
pembaruan dalam bidang pendidikan, politik, kebudayaan, hukum, dan lain-
lain. Gerakan pembaruan dalam arti yang luas ini, di Kerajaan Usmani pun,
menurut Harun Nasution, sudah dimulai sejak abad ke-14 Masehi. Akan
tetapi, pembaruan yang terjadi di Kerajaan Usmani pada waktu itu baru
dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, belum sempat menjamah bidang
hukum Islam serta masalah keagamaan pada umumnya karena pembaruan di
Kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama, sebagaimana
yang terjadi di India dan Saudi Arabia. Ide-ide pembaruan termasuk
pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk
negara kita setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.
Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk
mengembangkan hukum Islam disebut gerakan pembaruan hukum Islam,
sebab gerakan itu muncul untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu
menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Menetapkan ketentuan
hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu
mengandung dua unsur. P e r t a m a , menetapkan hukum terhadap masalah bam
yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. K e d u a ,
menetapkan atau mencari ketentuan hukum bam bagi suatu masalah yang
sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan tidak sesuai
dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang yaitu ketentuan
hukum lama yang mempakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak
mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan warga masa kini.
Untuk itu, perlu ditetapkan ketentuan hukum bam yang lebih mampu
merealisasi kemaslahatan umat yang mempakan tujuan syariat dengan
mempertimbangkan perkembangan bam yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modem. Contohnya ketentuan hukum Islam
mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang telah membolehkan
wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama
menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.
Jadi, pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan
ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modem, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan
ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kemaslahatan manusia masa sekarang. Ketentuan hukum di sini yaitu
ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para
ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.
Pembaruan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi, yaitu
sebagai berikut.
1. bila hasil ijtihad lama itu yaitu salah satu dan sekian kejadian
yang dikandung oleh suatu teks Alquran dan hadis. Dalam keadaan
demikian, pembaruan dilakukan dengan mengangkat pula kejadian
yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadis itu . Contoh,
jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib
zakat, yaitu emas dan perak, tanam-tanaman, buah-buahan, barang
dagangan; binatang ternak, barang tambang, dan barang peninggalan
orang dahulu yang ditemukan waktu digali.
S e b a g i a n d a r i h a s i l u s a h a m u y a n g b a i k - b a i k d a n s e b a g i a n d a r i a p a
y a n g K a m i k e l u a r k a n d a r i b u m i u n t u k k a m u .
Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa
dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar
dalam ruang lingkup arti teks Alquran di atas.
2. bila hasil ijtihad lama didasarkan atas ' u r f setempat, dan bila ' u r f i t u
sudah berubah maka untuk ijtihad lama itu pun dapat diubah dengan
menetapkan hasil ijtihad baru yang didasarkan kepada ' u r f setempat
yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara
wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkan wanita tidak boleh
menjadi kepala negara, sesuai dengan ' u r f warga Islam masa itu
yang tidak bisa menerima wanita sebagai kepala negara. Dengan
berkembangnya paham emansipasi wanita, ' u r f warga Islam
sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai
kepala negara. Hasil ijtihad ulama pun sudah berubah dan sudah
menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.
3. bila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan q i y a s maka pembaruan
dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau
ketentuan hukum yang ditetapkan dengan q i y a s dengan memakai
i s t i l s a n . Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan i s t i l s a n
merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan
oleh q i y a s dan metode i s t i n b a t h hukum yang lain. Contohnya hasil
ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang di- q i y a s -
kan kepada orang j u n u b (orang yang mandi besar) karena sama-sama
hadas besar. Ada ulama yang merasa q i y a s di atas kurang tepat karena
ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun
keduanya sama-sama hadas besar.
Karena pembaruan hukum Islam mengandung arti, bahwa gerakan
ijtihad menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan
dan perkembangan baru maka pembaruan itu dilakukan dengan cara kembali
kepada ajaran asli Alquran dan hadis dan tidak mesti, terikat dengan
ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam
kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih yaitu hasil pemahaman dan
rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada
masa itu, seperti yang dilandaskan atas ' u r f setempat dan karenanya
ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan
perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasi kemaslahatan
umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan masa itu. Adapun
ajaran asli Alquran dan hadis selalu mampu menjawab permasalahan
warga sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung
kembali kepada ajaran asli Alquran dan hadis dengan cara berijtihad
memahami dan menafsirkan ajaran asli itu serta memperhatikan dasar-
dasar atau prinsipnya yang umum. Dengan demikian, ketentuan hukum
Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab
permasalahan warga , dalam arti mampu merealisasi kemaslahatan umat
manusia yang merupakan tujuan syariat Islam.
Melihat kondisi umat Islam yang semakin terpuruk dan ketertinggalan
yang sangat jauh dari peradaban Barat maka diawal abad ke-13 Hijriyah ada
sebuah prakarsa pemikiran yang ingin membukakan cakrawala kepada umat
Islam bahwa pintu ijtihad sesungguhnya masih terbuka lebar. Sebagian
ulama yang dipelopori oleh Imam Asy-Syaukani menyatakan bahwa ijtihad
masih sangat terbuka. Ada beberapa alasan kenapa ijtihad masih terbuka, yaitu
a. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis
menjadi kaku dan beku, sehingga Islam suatu saat akan ditinggalkan
oleh cepatnya perubahan zaman. Sebab banyak kasus baru yang
hukumnya belum dijelaskan oleh Alquran dan As-Sunnah, dan juga
belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu.
b. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama
Islam untuk menciptakari pemikiran yang baik dalam memanfaatkan
dan menggali sumber (dalil) hukum Islam.
c. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap pemasalahan bam yang
dihadapi oleh umat dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam
akan selalu berkembang dan sanggup menjawab tantangan zaman.
Lebih-lebih wilayah ijtihad yang dimaksud hanya memasuki pada
wilayah-wilayah teks yang d z a n n i y a t u a d - d a l a l a h .
Terbukanya pintu ijtihad tentu saja memiliki konsep dan persyaratan
yang utuh agar ijtihad tidak disalahgunakan oleh pihak yang ingin memsak
orisinalitas ajaran Islam. Kemusykilan pengertian dan cakupan ijtihad,
metode ijtihad, serta kualifikasi mujtahid yaitu hal-hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum kita berbicara tentang pentingnya ijtihad. Sudah
sangat jelas, bahwa ijtihad bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh
setiap orang. Membuka pintu ijtihad bukan berarti Memberi hak kepada
setiap orang untuk berijtihad.
Belakangan ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak melakukan
ijtihad tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Asas egalitarianisme Islam
sering dijadikan dalih untuk menolak adanya kaum elit yang memiliki
otoritas benjtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak
mau, melainkan persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang
tidak mampu untuk berijtihad sangat mengundang bahaya. Untuk itulah,
sebelum seseorang melakukan ijtihad harus sudah memenuhi persyaratan
yang ketat, namun tentu saja untuk ukuran saat ini tidak seketat dan seideal
yang dimiliki oleh para mujtahid mutlak.
C. TUJUAN PEMBARUAN HUKUM ISLAM
Kemajuan yang pesat terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi modem menimbulkan pembahan besar dalam segala bidang
kehidupan manusia. Pada masa awal Islam peperangan masih dengan
memakai pedang, sekarang sudah sampai kepada penggunaan senjata
canggih bempa senjata kimia dan bom nuklir. Begitu pula dengan alat
transportasi masih memakai binatang tunggangan seperti unta, kuda,
dan lain-lain, sekarang sudah sampai pada penggunaan pesawat yang
memiliki kecepatan jelajah yang luar biasa. Jelasnya dalam kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak muncul hal-hal baru dalam
kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan dalam masya-rakat.
Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah baru seperti transfusi
darah, inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung, dan lain-lain perlu
diatur dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan Islam.
Islam sebagai agama wahyu yang terakhir berlaku dan dibutuhkan
sepanjang zaman memiliki pedoman dan prinsip dasar sebagai petunjuk
bagi umat manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat. Sebagai agama yang dibawa untuk menjadi rahmat bagi
sekalian alam, Islam tentu harus dapat menjawab semua permasalahan umat
manusia yang telah dan akan timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kalau Islam tidak mampu menjawab permasalahan umat manusia
tentu akan ditinggalkan. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh siapa pun yang
meyakini kebenaran ajaran Islam.
Agar ajaran Islam selalu mampu menghadapi dan menjawab tantangan
zaman, hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam
perlu terus-menerus diperbarui dengan Memberi penafsiran bam terhadap
n a s h s y a r a k dengan cara menggali kemungkinan lain atau alternatif dalam
syariat yang diyakini mengandung alternatif yang bisa diangkat dalam
menjawab masalah baru. Jadi, pembaruan hukum Islam dimaksudkan agar
hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan syariat semaksimal mungkin,
yaitu merealisasi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Timbul pertanyaan, apakah boleh hukum Islam terus-menerus
diperbarui dan dikembangkan? Bukankah ajaran Islam mutlak kebenarannya
dan tidak berubah? Untuk menjawab pertanyaan ira perlu dipelajari terlebih
dahulu hakikat Islam secara filosofis dan historis. Sebagaimana diketahui
Islam mengandung ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui wahyu. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
melalui Jibril pada hakikatnya yaitu ayat-ayat Alquran dalam teks Arabnya.
Oleh karena itu, kalam Allah dalam Islam harus diartikan secara harfiah,
firman, sabda, atau kata-kata Tuhan.
Hakikat ini memiliki implikasi bahwa jika kata-kata Arab dalam ayat
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad diganti dengan sinonimnya, atau
diubah susunan katanya, atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain maka ayat
yang dihasilkan demikian bukanlah lagi wahyu yang bersifat absolut,
melainkan merupakan penafsiran, hasil buatan manusia, yang bersifat relatif
kebenarannya. Dengan kata lain, penafsiran dan terjemahan itu tidak
mengikat bagi manusia, yang mengikatnya yaitu ayat-ayat dalam teks Arab
itu. Demikianlah sifat dasar dari Alquran sebagai sumber pertama ajaran
Islam.
Adapun hadis sebagai sumber kedua, bukanlah wahyu dalam arti di
atas. Hadis pada umumnya mengandung ucapan dan perbuatan Nabi
Muhammad saw. yang disebut sunnah Nabi serta terpelihara dari kesalahan.
Kalau ada ucapan atau perbuatan Nabi yang salah, beliau mendapat teguran
dari Tuhan. Kalau tidak mendapat teguran, ucapan dan perbuatan Nabi itu
benar. Dengan demikian, Nabi terpelihara dari kesalahan (maksum). Ada
pula hadis yang mengandung bukan ucapan atau perbuatan Nabi, melainkan
arti yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati beliau. Kemudian, Nabilah
yang mengungkapkan arti kata itu dalam kata-kata beliau sendiri, yang
disebut hadis q u d s i . Hadis sebagai sumber kedua memberi penjelasan
terhadap ayat-ayat Alquran.
Ayat Alquran berjumlah lebih dari 6000, namun hanya sebagian dari
jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang
keimanan, ajaran tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan
ajaran tentang hubungan horizontal manusia dengan manusia. Menurut
perkiraan ulama, jumlah ayat itu hanya kira-kira 500 : 130 mengenai
keimanan, 140 mengenai ibadah, dan 230 mengenai muamalah atau hidup
berwarga . Di samping itu, ada pula ayat-ayat yang mengandung
ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat itu mengandung
riwayat tentang nabi sebelum Nabi Muhammad, riwayat umat terdahulu,
teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman umat masa lampau,
hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan.
Dalam.ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang iman, ibadah, dan
hidup berwarga pada umumnya datang dalam bentuk ajaran dasar dan
prinsip tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai cara pelaksanaannya.
Demikian juga dengan ayat-ayat tentang fenomena alam.
Ayat-ayat yang mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip inilah
yang menjadi pegangan utama umat Islam semenjak Nabi Muhammad
wafat, dalam menghadapi berbagai masalah dalam bidang keimanan atau
teologi, bidang ibadah, bidang hidup kewarga an, filsafat, dan
sebagainya.
Timbullah dalam sejarah terhadap penjelasan dan penafsiran tentang
ajaran dasar serta prinsip-prinsip itu. Pemberian penjelasan dan penafsiran
dimulai oleh sahabat Nabi, terutama Abu Bakar, Umar Ibn Al-Khattab,
Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib, yang secara kronologis
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai kepala umat Islam yang
tidak lama setelah hijrah ke Madinah, mengambil bentuk negara. Dalam
memberi penjelasan dan penafsiran mereka dibantu oleh sahabat lain yang
senantiasa mereka ajak bermusyawarah.
Dengan demikian, di samping sunnah Nabi, timbullah sunnah sahabat.
Sunnah sebenarnya berarti tradisi, tetapi sunnah atau tradisi Nabi terpelihara
dari kesalahan, sedang sunnah atau tradisi sahabat tidak. Akan tetapi,
sungguh pun tidak terpelihara dari kesalahan sunnah, tradisi atau sunnah
sahabat berpengaruh besar kepada umat Islam sesudah zaman mereka dan
sampai sekarang pengaruh itu masih tetap ada.
Setelah zaman sahabat, datanglah zaman para ulama besar. Pada zaman
sahabat dunia Islam baru mencakup daerah sekitar semenanjung Arabia,
seperti Palestina, Syria, Irak, Persia, dan Mesir. Adapun zaman sesudah
mereka, daerah-daerah Afrika Utara, Spanyol, Transoxiana, India, dan
daerah lain yang jauh letaknya dari Arabia telah menjadi Islam. Kalau
masalah yang dihadapi sahabat dengan meluasnya daerah Islam ke luar
semenanjung Arabia, daerah yang mencakup berbagai bangsa, bahasa,
kebudayaan, dan adat istiadat, jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi
Nabi di zaman Islam masih terbatas pada semenanjung Arabia yang satu
bahasa, kebudayaan, dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, masalah yang
dihadapi para ulama dengan Islam jauh lebih besar dari yang dihadapi para
sahabat.
Ulama pun tidak berpusat di satu tempat, tetapi masing-masing daerah
memiliki ulamanya sendiri-send