Kamis, 26 Desember 2024

hukum islam 13

 


iri yang menghadapi masalah yang 

berbeda pula. Dalam menghadapi masalah yang berbeda, pegangan mereka 

tetap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Oleh karena itu, timbullah 

penjelasan dan penafsiran berbeda dalam menghadapi masalah berbeda itu.

Dalam perkembangan sejarah, penjelasan dan penafsiran berbeda itu 

mengambil bentuk mazhab dan aliran-aliran. Mazhab dan aliran itu 

terkadang tidak hanya menunjukkan perbedaan pendapat, tetapi juga 

pendapat yang saling bertentangan.

Demikianlah dalam soal keimanan, yang menjadi ajaran paling pokok 

dalam Islam, ada  lima aliran teologi atau ilmu kalam. Masalah yang 

pertama timbul dalam bidang ini yaitu  kedudukan pembuat dosa besar, 

seperti membunuh orang tanpa alasan yang sah, berzina, menjalankan riba, 

dan durhaka kepada orang tua. Dipersoalkan apakah pembuat dosa besar 

masih mukmin, masih orang Islam atau tidak? Golongan keras yang dalam 

sejarah teologi dikenal dengan K h a w a r i j ,  mengatakan bahwa pembuat dosa

besar bukan mukmin lagi melainkan sudah menjadi kafir dan ke luar dari 

Islam. Golongan lembut M u r j i ' a h  berpendapat, bahwa pembuat dosa besar 

tetap mukmin, orang Islam dan bukan kafir. Golongan rasional, M u k t a z i l a h ,  

berpendapat lain pembuat dosa besar tidak mukmin, tidak kafir, dan 

hanyalah muslim. Bagi M u k t a z i l a h ,  orang mukmin yaitu  orang yang 

mengucapkan dua syahadat dan menjalankan ajaran Islam, sedang  orang 

muslim yaitu  orang yang hanya mengucapkan dua syahadat, namun tidak 

melaksanakan ajaran Islam.

Perbedaan penafsiran ini timbul karena dalam Alquran tidak ada ayat- 

ayat yang secara terperinci dan definitif menyebut siapa yang mukmin dan 

siapa yang kafir. Ayat hanya menyebut iman mencakup kepercayaan kepada 

Tuhan, malaikat, rasul, kitab, dan hari perhitungan di akhirat. Ketika terjadi 

peperangan dan pembunuhan antara sesama muslim di zaman Usman, Ali, 

dan Muawiyah, timbullah pertanyaan tentang pembuat dosa besar. Dalam 

menjawab pertanyaan itu timbullah penafsiran yang berbeda-beda.

Setelah ulama Islam mulai dari abad ke-8 Masehi mempelajari filsafat 

Yunani dalam usaha menentang serangan bersifat filosofis yang datang dari 

luar Islam, filsafat mempengaruhi pemikiran keagamaan dalam Islam. 

Sebagai akibatnya, timbullah dalam Islam teologi rasional dan teologi 

tradisional. Teologi rasional banyak memakai penafsiran metaforis, 

sedang  teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah.

"Tangan Tuhan" dan "kursi Tuhan" yang ada  dalam Alquran 

diartikan teologi rasional "kekuasaan Tuhan", sedang  teologi tradisional 

tetap berpegang pada arti harfiah, yaitu "tangan" dan "kursi", walaupun tidak 

sama dengan tangan dan kursi manusia. Demikian pula dalam soal kemauan 

dan perbuatan manusia, teologi rasional menganut paham adanya kebebasan 

manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan, sedang  teologi 

tradisional menganut paham fatalisme. Perbedaan penafsiran ini timbul 

karena ayat-ayat mengenai tangan dan perbuatan manusia itu  tidak 

mengandung penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan 

kata-kata itu.

Dalam hubungan ini, bahwa dalam perkembangan penjelasan dan 

penafsiran selanjutnya, para ulama Islam membagi ayat-ayat Alquran dalam 

dua kelompok: ayat-ayat yang artinya pasti sebagaimana diberikan teks dan 

tidak dapat ditakwilkan lagi ( q a t h ' i  a l - d a l a l a h )  dan ayat-ayat yang artinya 

masih dapat ditakwilkan ( z h a n n i  a l - d a l a l a h ) .  Yang banyak ada  dalam 

Alquran yaitu  ayat-ayat yang z h a n n i  a l - d a l a l a h ,  ayat-ayat yang artinya 

dapat ditakwilkan, yaitu ayat-ayat yang tidak mesti diambil arti tersuratnya, 

tetapi dapat diambil arti tersiratnya. "Kursi" dan "tangan" Tuhan itu 

termasuk dalam kelompok ayat z h a n n i  a l - d a l a l a h .  Demikian juga j a n n a t  

(surga) dan n a r  (neraka). J a n n a t  dalam arti tersurat menggambarkan istana 

yang penuh dengan kesenangan jasmani, sedang  n a r  secara harfiah 

menggambarkan api yang menyala-nyala. Kaum syariat mengambil arti 

harfiah ini, namun kaum sufi dan filosofi mengambil arti tersirat, yaitu 

kesenangan dan kesengsaraan ruhani yang secara tersirat terletak di belakang 

gambaran jasmani tentang surga dan neraka yang diberikan Alquran.

Kalau dalam bidang keimanan, yang merupakan masalah paling pokok 

dalam Islam, ada  aliran-aliran yang berbeda pendapat, maka tidak 

mengherankan kalau dalam bidang ibadah dan bidang muamalat atau hidup 

kewarga an manusia, ada  pula mazhab-mazhab. Imam mazhab 

yang banyak memakai rasio yaitu  Abu Hanifah dan yang banyak memakai 

sunnah atau hadis yaitu  Ahmad Ibn Hanbal. Dalam hal bidang ilmu kalam 

atau teologi Islam, dalam bidang hukum fikih yang berhubungan dengan 

ibadah dan hidup kewarga an manusia ada  pula mazhab yang 

rasional dan tradisional.

Sebagai contoh dalam soal ibadah dapat diambil penentuan permulaan 

hari puasa, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. R u ' y a t  oleh golongan 

rasional diartikan melihat dengan otak, yaitu perhitungan atau hisab, 

sedang  golongan tradisional mengartikan r u ' y a t  "melihat" dengan mata 

kepala.

Dalam hidup kewarga an, ayat Alquran sebagaimana telah disebut 

di atas, berjumlah kira-kira 230 ayat. Perincian yang diberikan oleh Abdul 

Wahab Khallaf, seorang Guru Besar dalam bidang hukum Islam yaitu  

sebagai berikut: hidup kekeluargaan 70 ayat, jual beli 70 ayat, soal pidana 30 

ayat, hubungan muslim dengan nonmuslim 25 ayat, peradilan 13 ayat, 

hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat, serta soal kenegaraan 10 ayat.

Sesuai dengan sifat dasar ayat-ayat Alquran di atas, yaitu hanya 

mengandung ajaran dasar dan prinsip-prinsip, banyak berbentuk z h a n n i  a l -  

d a l a l a h  danfianya sedikit berbentuk q a t h ' i  a l - d a l a l a h  maka ayat-ayat 

mengenai hidup kewarga an ini juga memerlukan penjelasan dan 

penafsiran yang banyak dari para ulama hukum Islam. Sebagaimana dalam 

bidang lain di sini juga banyak dijumpai perbedaan pendapat dan penafsiran.

Sebagai contoh dapat diambil perkawinan pria Islam dengan wanita 

ahli kitab, yaitu wanita Yahudi dan Kristen. Dalam mazhab Syafi'i ada 

pendapat bahwa wanita Kristen tidak boleh dikawini seorang pria muslim 

karena ia menganut keyakinan trinitas. Menumt mazhab lain, seorang pria 

Islam boleh kawin dengan wanita Kristen karena dia yaitu  ahli kitab dan

bukan m usyrikah  atau politeis. Ayat Alquran dengan jelas mengatakan 

bahwa orang Islam boleh mengambil wanita ahli kitab menjadi istri.

Alquran surah Al-Maa'idah (5) ayat 5 berbunyi :

D an  d iha la lkan  m engaw in i w an ita -w an ita  y a n g  m en jaga  kehorm a tan  

d i an ta ra  w an ita -w an ita  y a n g  berim an  dan  w an ita -w an ita  y a n g  

m en jaga  kehorm a tan  d i an ta ra  o rang -o rang  y a n g  d ib er i a l-K itab  

sebe lum  kamu, b ila  kam u  te lah  m em baya r  m as kaw in  m ereka  dengan  

m aksu d  m en ikah inya .

Dikarenakan ayat di atas tidak menjelaskan lebih lanjut ahli kitab mana 

yang dimaksud, timbullah perbedaan penafsiran tentang ahli kitab itu .

Semenjak masuknya bank Barat ke dalam Islam pada abad ke-19 

timbullah perbedaan pendapat mengenai haram atau tidaknya bunga bank. 

Yang tegas diharamkan dalam Alquran yaitu  riba (lihat Alquran Surah Al- 

Baqarah (2) ayat 275-278 dan Surah Ali' Imran (3) ayat 1 30). Ayat ini juga 

tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan riba. Yang 

menjadi pertanyaan apakah bunga bank masuk dalam kategori riba. Ada 

yang menganggapnya masuk kategori riba dan mengharamkan bunga bank. 

Di lain pihak menganggapnya bukan riba atau berpendapat bahwa bunga 

bank tidak haram.

Kesimpulan dari uraian di atas bahwa sepanjang masa timbul 

penjelasan dan penafsiran mengenai ajaran dasar dan prinsip-prinsip yang 

terkandung dalam Alquran. Penjelasan dan penafsiran para ulama, yang 

disebut ijtihad, makin lama makin banyak jumlahnya. Ijtihad ulama yang 

jauh lebih banyak dibandingkan  ayat-ayat Alquran itu sendiri, juga merupakan 

ajaran-ajaran Islam. Namun, karena ajaran yang berasal dari ijtihad ini 

yaitu  hasil pemikiran manusia, maka ajaran itu bersifat relatif dan tidak 

absolut.