Minggu, 29 Desember 2024

amsal 1



buku yang sedang Anda pegang ini yaitu  salah satu bagian dari 

Tafsiran Alkitab dari Matthew Henry yang secara lengkap men-

cakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Untuk edisi bahasa 

Indonesianya, tafsiran tersebut diterbitkan dalam bentuk kitab per 

kitab. Kitab Amsal merupakan kitab keenam yang diterbitkan dalam 

bahasa Indonesia.  

Matthew Henry (1662-1714) yaitu  seorang Inggris yang mulai 

menulis Tafsiran Alkitab yang terkenal ini pada usia 21 tahun. Karya-

nya ini dianggap sebagai tafsiran Alkitab yang sarat makna dan sa-

ngat terkenal di dunia. 

Kekuatan terutama terletak pada nasihat 

praktis dan saran pastoralnya. Tafsirannya mengandung banyak mu-

tiara kebenaran yang segar dan sangat tepat. Walaupun ada cukup 

banyak kecaman di dalamnya, ia sendiri sebenarnya tidak pernah ber-

niat menuliskan tafsiran yang demikian, seperti yang berulang kali 

ditekankannya sendiri. Beberapa pakar theologi seperti Whitefield dan 

Spurgeon selalu menggunakan tafsirannya ini dan merekomendasikan-

nya kepada orang-orang untuk mereka baca. Whitefield membaca 

seluruh tafsirannya sampai empat kali; kali terakhir sambil berlutut. 

Spurgeon berkata, “Setiap hamba Tuhan harus membaca seluruh taf-

siran ini dengan saksama, paling sedikit satu kali.” 

Sejak kecil Matthew sudah terbiasa menulis renungan atau ke-

simpulan Firman Tuhan di atas kertas kecil. Namun, baru pada ta-

hun 1704 ia mulai sungguh-sungguh menulis dengan maksud me-

nerbitkan tafsiran tersebut. Terutama menjelang akhir hidupnya, ia 

mengabdikan diri untuk menyusun tafsiran itu.  

Buku pertama tentang Kitab Kejadian diterbitkan pada tahun 

1708 dan tafsiran tentang keempat Injil diterbitkan pada tahun 1710. 


Sebelum meninggal, ia sempat menyelesaikan tafsiran Kisah Para Ra-

sul. sesudah  kematiannya, Surat-surat dan Wahyu diselesaikan oleh 

13 orang pendeta berdasarkan catatan-catatan Matthew Henry yang 

telah disiapkannya sebelum meninggal. Edisi total seluruh kitab-

kitab diterbitkan pada tahun 1811.    

berulang kali direvisi dan dicetak ulang. 

Buku itu juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti 

bahasa Belanda, Arab, Rusia, dan kini sedang diterjemahkan ke 

dalam bahasa Telugu dan Ivrit, yaitu bahasa Ibrani modern.  

Riwayat Hidup Matthew Henry 

Matthew Henry lahir pada tahun 1662 di Inggris. saat  itu gereja 

Anglikan menjalin hubungan baik dengan gereja Roma Katolik. Yang 

memerintah pada masa itu yaitu  Raja Karel II, yang secara resmi 

diangkat sebagai kepala gereja. Raja Karel II ingin memulihkan ke-

kuasaan gereja Anglikan sehingga orang Kristen Protestan lainnya sa-

ngat dianiaya. Mereka disebut dissenter, orang yang memisahkan diri 

dari gereja resmi. 

Puncak penganiayaan itu terjadi saat  pada 24 Agustus 1662 

lebih dari dua ribu pendeta gereja Presbiterian dilarang berkhotbah 

lagi. Mereka dipecat dan jabatan mereka dianggap tidak sah.  

Pada masa yang sulit itu lahirlah Matthew Henry. Ayahnya, 

Philip Henry, yaitu  seorang pendeta dari golongan Puritan, sedang-

kan ibunya, Katherine Matthewes, seorang keturunan bangsawan. 

  sebab  Katherine berasal dari keluarga kaya, sepanjang hidupnya 

Philip Henry tak perlu memikirkan uang atau bersusah payah men-

cari nafkah bagi keluarganya, sehingga ia dapat dengan sepenuh hati 

mengabdikan diri untuk pelayanannya sebagai hamba Tuhan. 

Matthew yaitu  anak kedua. Kakaknya, John, meninggal pada usia 6 

tahun   sebab  penyakit campak. saat  masih balita, Matthew sendiri 

juga terserang penyakit itu dan nyaris direnggut maut. 

Dari kecilnya Matthew sudah tampak memiliki bermacam-ma-

cam bakat, sangat cerdas, dan pintar. namun  yang lebih penting lagi, 

sejak kecil ia sudah mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan 

mengakui-Nya sebagai Juruselamatnya. Usianya baru tiga tahun 

saat  ia sudah mampu membaca satu pasal dari Alkitab lalu mem-

berikan keterangan dan pesan tentang apa yang dibacanya.  


Dengan demikian Matthew sudah menyiapkan diri untuk tugas-

nya di kemudian hari, yaitu tugas pelayanan sebagai pendeta.  

Sejak masa kecilnya Matthew sudah diajarkan bahasa Ibrani, 

Yunani, dan Latin oleh ayahnya, sehingga walaupun masih sangat 

muda, ia sudah pandai membaca Alkitab dalam bahasa aslinya. 

Pada tahun 1685, saat  berusia 23 tahun, Matthew pindah ke 

London, ibu kota Inggris, untuk belajar hukum di Universitas Lon-

don. Matthew tidak berniat untuk menjadi ahli hukum, ia hanya me-

nuruti saran ayahnya dan orang lain yang berpendapat bahwa studi 

itu akan memberikan manfaat besar baginya   sebab  keadaan di Ing-

gris pada masa itu tidak menentu bagi orang Kristen, khususnya 

kaum Puritan. 

Beberapa tahun kemudian Matthew kembali ke kampung hala-

mannya. Dalam hatinya ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Kemu-

dian, ia diperbolehkan berkhotbah kepada beberapa jemaat di sekitar 

Broad Oak. Ia menyampaikan Firman Tuhan dengan penuh kuasa. Ti-

dak lama sesudah  itu, ia dipanggil oleh dua jemaat, satu di London dan 

satu lagi jemaat kecil di wilayah pedalaman, yaitu Chester. sesudah  ber-

doa dengan tekun dan meminta petunjuk Tuhan, ia akhirnya memilih 

jemaat Chester, dan pada tanggal 9 Mei 1687 ia diteguhkan sebagai 

pendeta di jemaat tersebut. Waktu itu Matthew berusia 25 tahun. 

Di Chester, Matthew Henry bertemu dengan Katharine Hardware. 

Mereka menikah pada tanggal 19 Juli 1687. Pernikahan itu sangat har-

monis dan baik   sebab  didasarkan atas cinta dan iman kepada Tuhan. 

Namun pernikahan itu hanya berlangsung selama satu setengah tahun. 

Katharine yang sedang hamil terkena penyakit cacar. Segera sesudah  

melahirkan seorang anak wanita , ia meninggal pada usia 25 tahun. 

Matthew sangat terpukul oleh dukacita ini. Anak Matthew dan 

Katherine dibaptis oleh kakeknya, yaitu Pendeta Philip, ayah Matthew. 

Allah menguatkan Matthew dalam dukacita yang melandanya. 

sesudah  satu tahun lebih telah berlalu, mertuanya menganjurkannya 

untuk menikah lagi. Pada Juli 1690, Matthew menikah dengan Mary 

Warburton. Tahun berikutnya, mereka diberkati dengan seorang bayi, 

yang diberi nama Elisabeth. Namun, saat baru berumur satu sete-

ngah tahun, ia meninggal   sebab  demam tinggi dan penyakit batuk 

rejan. Setahun kemudian mereka mendapat seorang anak wanita  

lagi. Dan bayi ini pun meninggal, tiga minggu kemudian. Betapa be-

rat dan pedih penderitaan orangtuanya. Sesudah peristiwa ini, 

Matthew memeriksa diri dengan sangat teliti apakah ada dosa dalam 

hidup atau hatinya yang menyebabkan kematian anak-anaknya. Ia 

mengakhiri catatannya sebagai berikut, “Ingatlah bahwa anak-anak 

itu diambil dari dunia yang jahat dan dibawa ke sorga. Mereka tidak 

lahir percuma dan sekarang mereka telah boleh menghuni kota Yeru-

salem yang di sorga.” 

Beberapa waktu kemudian mereka mendapat seorang anak perem-

puan yang bertahan hidup. Demikianlah suka dan duka silih berganti 

dalam kehidupan Matthew Henry. Secara keseluruhan, Matthew Henry 

mendapat 10 anak, termasuk seorang putri dari pernikahan pertama. 

Selama 25 tahun Matthew Henry melayani jemaatnya di Chester. Ia 

sering mendapat panggilan dari jemaat-jemaat di London untuk mela-

yani di sana, namun  berulang kali ia menolak panggilan tersebut   sebab  

merasa terlalu terikat kepada jemaat di Chester. Namun akhirnya, ia 

yakin bahwa Allah sendiri telah memanggilnya untuk menjadi hamba 

Tuhan di London, dan   sebab  itu ia menyerah kepada kehendak Allah.  

Pada akhir hidupnya, Matthew Henry terkena penyakit diabetes, 

sehingga sering merasa letih dan lemah. Sejak masa muda, ia bekerja 

dari pagi buta sampai larut malam, namun  menjelang akhir hayatnya 

ia tidak mampu lagi. Ia sering mengeluh   sebab  kesehatannya yang 

semakin menurun. 

Pada bulan Juni 1714 ia berkhotbah satu kali lagi di Chester, 

tempat pelayanannya yang dulu. Ia berkhotbah tentang Ibrani 4:9, 

“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat 

Allah.” Ia seolah-olah menyadari bahwa hari Minggu itu merupakan 

hari Minggu terakhir baginya di dunia ini. Secara khusus ia mene-

kankan hal perhentian di sorga supaya anak-anak Allah dapat me-

nikmati kebersamaan dengan Tuhan.  

Sekembalinya ke London, ia merasa kurang sehat. Malam itu ia 

sulit tidur dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dipenuhi 

rasa damai dan menulis pesan terakhirnya: “Kehidupan orang yang 

mengabdikan diri bagi pelayanan Tuhan merupakan hidup yang pa-

ling menyenangkan dan penuh penghiburan.” Ia mengembuskan 

nafas terakhir pada tanggal 22 Juni 1714, dan dimakamkan tiga hari 

kemudian di Chester. Nas dalam kebaktian pemakamannya diambil 

dari Matius 25:21, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali 

perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah 

setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung 

jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam keba-

hagiaan tuanmu.”   


I. Seorang penulis baru, atau lebih tepatnya seorang juru tulis, atau 

sebuah pena (kalau Anda mau mengatakan demikian) yang dipa-

kai oleh Roh Kudus untuk mengungkapkan pikiran Allah kepada 

kita, yang menulis sebagaimana ia digerakkan oleh tangan Allah 

(begitulah Roh Allah disebut). Orang ini yaitu  Salomo. Melalui 

tangannya jadilah kitab suci ini dan dua kitab yang mengikutinya, 

Pengkhotbah dan Kidung Agung, sebuah khotbah dan sebuah ki-

dung. Menurut pendapat sebagian orang, Salomo menulis Kidung 

Agung saat  masih sangat muda, Amsal saat  paruh baya, dan 

Pengkhotbah saat  sudah tua. Dalam judul Kidung Agungnya, ia 

hanya menyebut dirinya sebagai Salomo, mungkin   sebab  ia me-

nulisnya sebelum naik takhta, saat  dipenuhi oleh Roh Kudus 

pada waktu muda. Dalam judul Amsalnya, ia menyebut dirinya 

sebagai Salomo bin Daud, raja Israel, sebab pada waktu itu ia 

memerintah atas seluruh Israel. Dalam judul Pengkhotbahnya, ia 

menyebut dirinya sebagai anak Daud, raja di Yerusalem,   sebab  

mungkin pada waktu itu pengaruhnya atas suku-suku yang jauh 

sudah berkurang, dan pemerintahannya terbatas di sekitar 

Yerusalem. Mengenai penulis ini, kita dapat mengamati, 

1. Bahwa ia yaitu  seorang raja, dan anak raja. Sebagian besar 

penulis kitab suci, sampai sejauh ini, merupakan orang-orang 

yang berkedudukan tinggi di dunia, seperti Musa dan Yosua, 

Samuel dan Daud, dan sekarang Salomo. Namun, sesudahnya, 

penulis-penulis yang penuh ilham pada umumnya yaitu  

nabi-nabi yang miskin, orang-orang yang tidak terpandang di 

dunia,   sebab  pembabakan baru yang kian mendekat. Dalam 

pembabakan ini Allah akan memilih apa yang lemah dan bo-

doh bagi dunia untuk memalukan orang-orang yang berhikmat 

dan yang kuat, dan orang miskin harus dipekerjakan untuk 

memberitakan Injil. Salomo yaitu  seorang raja yang kaya 

raya, dan kekuasaannya sangatlah luas, raja nomor wahid. 

Namun demikian, ia bergemar dalam mempelajari perkara-per-

kara ilahi, dan merupakan seorang nabi dan anak nabi. Bu-

kanlah suatu penghinaan bagi raja-raja dan penguasa-pengua-

sa besar di dunia untuk mengajarkan agama dan hukum-

hukumnya kepada orang-orang di sekitar mereka. 

2.  Bahwa ia yaitu  seorang yang dikaruniai Allah dengan hikmat 

dan pengetahuan yang luar biasa, sebagai jawaban atas doa-

doanya pada waktu ia naik takhta. Doanya itu patut dicontoh: 

“Berilah aku hikmat dan pengertian.” Jawaban untuk doa itu 

membesarkan hati: ia mendapatkan apa yang diinginkanya 

dan semua hal lain ditambahkan kepadanya. Sekarang di sini 

kita mendapati bagaimana ia memanfaatkan dengan baik hik-

mat yang telah diberikan Allah kepadanya. Ia tidak hanya 

mengatur dirinya sendiri dan kerajaannya dengan hikmat itu, 

namun  memberikan aturan-aturan hikmat kepada orang lain 

juga, dan meneruskannya kepada angkatan berikutnya. Demi-

kian pulalah kita harus mengembangkan talenta-talenta yang 

dipercayakan kepada kita, sesuai dengan apa talenta-talenta 

itu.  

3.  Bahwa ia yaitu  orang yang tidak luput dari kesalahan, dan 

menjelang akhir hidupnya berpaling dari jalan-jalan Allah yang 

baik itu, yang kepadanya dia mengarahkan orang lain dalam 

kitab ini. Kita bisa membaca kisahnya dalam 1 Raja-raja 11, 

dan sungguh merupakan kisah yang sedih, bahwa penulis 

kitab seperti ini sampai murtad seperti yang diperbuatnya. 

Janganlah kabarkan itu di Gat. namun  biarlah dari sini orang-

orang penting yang tersohor berjaga-jaga agar tidak sombong 

atau merasa aman-aman. Biarlah kita semua belajar untuk 

tidak menganggap buruk ajaran-ajaran yang baik meskipun 

kita mendapatkannya dari orang-orang yang hidupnya tidak 

sepenuhnya sesuai dengan apa yang mereka ajarkan sendiri. 


II. Cara menulis yang baru, yang di dalamnya hikmat ilahi diajarkan 

kepada kita melalui amsal-amsal, atau kalimat-kalimat pendek, 

yang memuat seluruh maknanya secara sendiri-sendiri dalam se-

tiap kalimat dan tidak berhubungan satu sama lain. Sebelumnya 

kita sudah mendapati hukum-hukum, sejarah-sejarah, dan nyanyi-

an-nyanyian ilahi, dan sekarang amsal-amsal ilahi. Seperti itulah 

beragam cara yang telah dipakai oleh Hikmat Tak Terbatas untuk 

mengajar kita, supaya,   sebab  tidak satu pun batu yang tidak di-

balik untuk membawa kebaikan bagi kita, kita tidak dapat ber-

dalih jika kita binasa dalam kebodohan kita. Mengajar dengan 

amsal merupakan, 

1. Cara mengajar di zaman kuno. Ini merupakan cara yang paling 

kuno di antara orang-orang Yunani. Setiap orang dari tujuh 

orang bijak Yunani mempunyai semacam satu pepatah yang di 

dalamnya terkandung nilai mengenai dirinya sendiri, dan yang 

membuatnya tersohor. Pepatah-pepatah itu digoreskan pada 

tiang-tiang, dan dipuja-puja dengan begitu rupa sampai orang 

mengatakannya turun dari sorga. A cœlo descendit, Gnothi 

seauton – Kenalilah dirimu sendiri yaitu  perintah yang turun 

dari sorga.  

2. Cara mengajar yang jelas dan mudah, yang tidak membutuh-

kan banyak usaha besar dari guru maupun murid, dan juga 

tidak memeras otak serta ingatan mereka. Ungkapan-ungkap-

an yang panjang dan argumentasi-argumentasi yang sukar 

harus menguras pikiran yang menyusunnya maupun yang ha-

rus memahaminya, sedangkan sebuah amsal, yang menyam-

paikan pengertian sekaligus buktinya dalam kalimat singkat, 

cepat ditangkap dan diikuti, dan mudah diingat. Baik ibadah-

ibadah Daud maupun ajaran-ajaran Salomo singkat namun  

padat. Cara pengungkapan seperti ini dapat dicontoh oleh 

orang-orang yang melayani perkara-perkara kudus, baik da-

lam berdoa maupun berkhotbah.  

3.  Cara mengajar yang bermanfaat, dan secara menakjubkan me-

menuhi apa yang ingin dicapai. Kata mashal, yang di sini digu-

nakan untuk amsal, berasal dari kata yang berarti memerintah 

atau mempunyai kekuasaan,   sebab  kekuatan dan pengaruh 

yang berkuasa yang dimiliki pepatah-pepatah bijak dan berbo-

bot atas anak-anak manusia. Barangsiapa mengajar dengan 

peribahasa berarti dominatur in concionibus – menguasai para 

pendengarnya. Mudah untuk mengamati bagaimana dunia 

diatur oleh amsal. Perkataan seperti peribahasa orang tua-tua 

(1Sam. 24:14), atau (sebagaimana yang biasa kita katakan) 

seperti kata pepatah, amat berpengaruh dalam membentuk 

gagasan-gagasan kebanyakan orang dan membulatkan tekad-

tekad mereka. Banyak dari hikmat orang-orang zaman dulu 

diteruskan kepada keturunan mereka melalui amsal. Sebagian 

orang berpendapat bahwa kita bisa menilai sifat dan tabiat 

sebuah bangsa melalui ciri-ciri peribahasa rakyatnya. Amsal 

dalam percakapan yaitu  seperti aksioma (pernyataan yang 

dianggap benar – pen.) dalam filsafat, seperti maksim (kebe-

naran umum – pen.) dalam hukum, dan dalil dalam matema-

tika, yang tidak dibantah siapa pun, namun  yang berusaha di-

uraikan semua orang agar hal-hal tersebut berpihak kepada 

mereka. Namun, ada banyak amsal yang bobrok, yang cende-

rung merusak pikiran manusia dan mengeraskan mereka di 

dalam dosa. Iblis mempunyai pepatah-pepatahnya sendiri, dan 

dunia serta kedagingan juga mempunyai pepatah-pepatah 

mereka sendiri, yang mencerminkan penghinaan terhadap 

Allah dan agama (seperti dalam Yehezkiel 12:22; 18:2). Agar 

kita waspada terhadap pengaruh-pengaruh jahatnya, Allah 

juga mempunyai pepatah-pepatah-Nya sendiri, yang kesemua-

nya bijak dan baik, dan bertujuan menjadikan kita demikian. 

Amsal-amsal Salomo ini bukanlah sekadar kumpulan kata-

kata bijak yang sudah disampaikan sebelumnya, sebagaimana 

sebagian orang menyangkanya, melainkan apa yang diungkap-

kan oleh Roh Allah kepada Salomo. Yang pertama-tama dari 

amsal ini (1:7) selaras dengan apa yang sudah difirmankan 

Allah kepada manusia pada mulanya (Ayb. 28:28, sesungguh-

nya, takut akan Tuhan, itulah hikmat).   sebab  itu, walaupun 

Salomo orang besar, dan namanya merupakan jaminan mutu 

bagi tulisan-tulisannya seperti nama orang-orang besar lain, 

namun, sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Salomo. 

Allahlah, melalui Salomo, yang di sini berbicara kepada kita. 

Saya katakan, kepada kita. Sebab amsal-amsal ini ditulis un-

tuk menjadi pelajaran bagi kita, dan, saat  Salomo berbicara 

kepada anaknya, nasihat itu dikatakan berbicara kepada kita 

seperti kepada anak-anak (Ibr. 12:5). Sama seperti tidak ada 

kitab yang begitu bermanfaat bagi ibadah-ibadah kita seperti 


mazmur-mazmur Daud, demikian pula tidak ada kitab yang 

begitu bermanfaat untuk mengatur segala perilaku kita de-

ngan benar seperti amsal-amsal Salomo. Seperti yang dikata-

kan Daud tentang perintah-perintah Allah, amsal-amsal Sa-

lomo itu teramat sangat luas. Dalam kalimat-kalimat pendek, 

amsal-amsalnya berisi kumpulan lengkap perkara-perkara 

ilahi yang berkaitan dengan etika, politik, dan ekonomi, de-

ngan menyingkapkan setiap kejahatan, memuji setiap kebaik-

an, dan menyarankan pedoman-pedoman untuk mengatur diri 

kita dalam setiap hubungan dan keadaan, dan dalam setiap 

alur pembicaraan. Uskup Hall, seorang cendekiawan, menarik 

sebuah ajaran filsafat moral dari Amsal dan Pengkhotbah Sa-

lomo ini. Sembilan pasal pertama dari kitab Amsal ini dianggap 

sebagai pendahuluan, yang menasihati kita agar mempelajari 

dan melaksanakan aturan-aturan hikmat, dan memperingatkan 

kita terhadap perkara-perkara yang akan menghalang-halangi 

kita dalam melakukannya. Jadi, di sini kita mendapati jilid 

pertama dari amsal-amsal Salomo dalam pasal 10-24. sesudah  

itu jilid kedua, pasal 25-29. Kemudian nubuatan Agur, pasal 

30, dan nubuatan Lemuel, pasal 31. Maksud dari kesemuanya 

ini satu dan sama, untuk mengarahkan kita agar mengatur 

perilaku hidup kita dengan baik sehingga pada akhirnya kita 

dapat melihat keselamatan yang datang dari Tuhan. Komentar 

terbaik untuk aturan-aturan ini yaitu  dengan diatur oleh-

nya.    

 

 

 

PASAL  1  

orang-orang yang membaca mazmur-mazmur Daud, terutama 

pada bagian-bagian akhirnya, akan tergoda untuk berpikir bah-

wa agama hanyalah masalah gejolak perasaan semata, dan cuma ber-

urusan dengan luapan-luapan emosi di dalam ibadah. Tidak diragu-

kan lagi bahwa memang ada waktu untuk itu, dan jika ada sorga di 

atas bumi, maka di situlah letaknya. namun , selama kita berada di 

bumi, kita tidak bisa sepenuhnya hanyut dalam perasaan-perasaan 

itu. Kita mempunyai hidup badani yang harus kita jalani, harus 

menunjukkan perilaku baik di dalam dunia, dan ke dalam perkara 

itulah sekarang kita diajar untuk membawa serta agama kita. Agama 

itu merupakan hal yang bisa diterima akal, dan sangat bermanfaat 

untuk mengatur kehidupan manusia, dan berkuasa untuk membuat 

kita bijaksana sama seperti untuk membuat kita taat, untuk mem-

buat wajah kita bersinar di hadapan manusia, dalam perkataan yang 

bijak, jujur, dan bermanfaat, sehingga membuat hati terbakar dengan 

perasaan-perasaan yang kudus dan saleh bagi Allah. Dalam pasal ini 

kita mendapati,  

I. Judul kitabnya, yang menunjukkan maksud dan rancangan 

kitab itu secara umum (ay. 1-6).  

II. Asas utamanya disarankan untuk kita pertimbangkan de-

ngan sungguh-sungguh (ay. 7-9).  

III. Peringatan yang penting akan pergaulan yang buruk (ay. 10-

19). 

IV. Gambaran yang benar dan hidup tentang seruan-seruan 

hikmat terhadap anak-anak manusia, dan kehancuran yang 

pasti akan menimpa orang-orang yang tidak mau mendengar 

seruan-seruan itu (ay. 20-33). 


Rancangan Amsal  

(1:1-6) 

1 Amsal-amsal Salomo bin Daud, raja Israel, 2 untuk mengetahui hikmat dan 

didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, 3 untuk menerima didik-

an yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, 4 un-

tuk memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan 

pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda – 5 baiklah orang bijak 

mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian mem-

peroleh bahan pertimbangan – 6 untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan 

dan teka-teki orang bijak. 

Di sini kita mendapati pengantar kitab ini, yang menurut sebagian 

orang ditambahkan oleh penyusun dan penerbitnya, seperti halnya 

Kitab Ezra. Namun, lebih tepat jika pengantar ini dianggap sebagai 

tulisan yang ditulis oleh Salomo sendiri, yang, dalam permulaan 

kitabnya, mengemukakan apa maksudnya dalam menulis kitab itu, 

agar ia tetap pada apa yang ingin dikerjakannya, dan semakin dekat 

mencapai maksudnya.  

Kita diberitahukan di sini:  

I. Siapa yang menulis kata-kata bijak ini (ay. 1). Kata-kata itu ada-

lah amsal-amsal Salomo. 

1. Namanya berarti suka damai, dan sifat dari jiwanya maupun 

pemerintahannya sesuai dengan namanya itu. Keduanya suka 

damai. Daud, yang hidupnya penuh dengan permasalahan, 

menulis kitab renungan. Sebab, adakah seorang di antara kita 

yang menderita? Baiklah ia berdoa. Salomo, yang hidup de-

ngan tenang, menulis kitab pengajaran. Sebab jika  jemaat 

berada dalam keadaan damai, jemaat itu dibangun. Dalam 

masa-masa damai, kita harus mempelajari, dan mengajarkan 

kepada orang lain, apa yang harus dilakukan oleh kita dan 

mereka dalam masa-masa susah. 

2. Ia yaitu  anak Daud. yaitu  kehormatannya untuk mempu-

nyai hubungan dengan orang baik itu, dan ia menganggapnya 

demikian untuk alasan yang baik, sebab hidupnya menjadi 

lebih baik   sebab  itu (1Raj. 11:12). Ia sudah diberkati dengan 

pendidikan yang baik, dan banyak doa yang baik telah dipan-

jatkan untuknya (Mzm. 72:1), dan dampak dari keduanya ter-

lihat dalam hikmat dan manfaat yang dia berikan. Adakalanya 

angkatan orang benar diberkati seperti itu, agar mereka men-

jadi berkat, berkat yang unggul, pada masa mereka. Kristus 

sering kali disebut Anak Daud, dan Salomo merupakan pelam-

bang Kristus dalam hal ini, seperti dalam hal-hal lain, bahwa 

ia membuka mulutnya mengatakan perumpamaan atau amsal.  

3. Ia yaitu  raja Israel – seorang raja, namun bukanlah peng-

hinaan baginya untuk menjadi pendidik bagi orang-orang yang 

tidak berpengetahuan, dan pengajar bagi anak-anak kecil. Ia 

raja bangsa Israel, suatu umat yang di tengah-tengahnya Allah 

dikenal dan nama-Nya besar. Di antara mereka ia mempelajari 

hikmat, dan kepada mereka ia menyampaikannya. Seluruh 

bumi berikhtiar menghadap Salomo untuk menyaksikan hik-

matnya, yang mengungguli segala hikmat orang lain (1Raj. 

4:30; 10:24). yaitu  suatu kehormatan bagi Israel bahwa raja 

mereka merupakan seorang pengajar seperti itu, seorang yang 

bisa dimintai nasihat bijak seperti itu. Salomo terkenal akan 

perkataan-perkataan bijaknya. Setiap kata yang diucapkannya 

berbobot, dan mengandung sesuatu yang mengejutkan dan 

membangun. Hamba-hambanya yang melayaninya, dan yang 

mendengarkan hikmatnya, sudah mengumpulkan tiga ribu 

amsal darinya yang mereka tulis dalam buku-buku harian 

mereka. namun  amsal-amsal dalam kitab ini yaitu  tulisannya 

sendiri, dan jumlahnya tidak sampai seribu. Dalam amsal-am-

sal ini ia mendapat ilham ilahi. Sebagian orang berpikir bahwa 

kitab-kitab apokrifa Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo disusun 

dari amsal-amsalnya yang lain itu, yang tidak begitu terilhami, 

yang di dalamnya ada  banyak perkataan baik dan sangat 

bermanfaat. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, kitab-

kitab itu kalah jauh dengan kitab ini. Para penguasa Romawi 

mempunyai simbol atau semboyannya sendiri-sendiri, sebagai-

mana sekarang banyak penguasa mempunyai lambang pang-

kat mereka. namun  Salomo mempunyai banyak perkataan yang 

berbobot, bukan seperti perkataan-perkataan mereka, yang 

dipinjam dari orang lain, melainkan semuanya merupakan ha-

sil dari hikmat luar biasa yang telah dikaruniakan Allah ke-

padanya. 

II. Untuk tujuan apa amsal-amsal itu ditulis (ay. 2-4), bukan untuk 

mendapatkan nama baik bagi penulisnya, atau memperkuat ke-

pentingannya di antara hamba-hambanya, melainkan untuk men-

datangkan manfaat dan keuntungan bagi semua orang yang di 

setiap waktu dan tempat akan memerintah diri mereka sendiri 

dengan perkataan-perkataan ini, dan mempelajarinya baik-baik. 

Kitab ini akan menolong kita, 

1.  Untuk membentuk gagasan-gagasan yang benar tentang se-

gala sesuatu, dan memenuhi pikiran kita dengan ide-ide yang 

jernih dan jelas tentang semua itu, agar kita dapat mengetahui 

hikmat dan didikan, hikmat yang didapat melalui didikan itu, 

melalui pewahyuan ilahi. Dengan kitab ini, kita juga dapat 

mengetahui sendiri bagaimana berbicara dan bertindak secara 

bijak dan bagaimana memberikan didikan kepada orang lain.  

2. Untuk membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, kebaik-

an dan keburukan – untuk mengerti kata-kata yang bermakna, 

untuk memahaminya, untuk menilainya, untuk berjaga-jaga 

terhadap kesalahan, dan untuk menerapkan apa yang sudah 

diajarkan kepada kita agar kita dapat memahami hal-hal yang 

berbeda dan tidak mudah tertipu. Kita juga dapat memilih apa 

yang baik dan tidak kehilangan keuntungan darinya, sebagai-

mana yang didoakan oleh Rasul Paulus (Flp. 1:10).  

3.  Untuk mengatur perilaku kita agar benar dalam segala hal (ay. 

3). Kitab ini mau memberi, agar kita dapat menerima, didikan 

yang menjadikan pandai, pengetahuan yang akan mengatur 

perilaku kita dalam kebenaran, keadilan dan kejujuran (ay. 3), 

yang akan mencondongkan kita untuk memberikan kepada se-

mua apa yang pantas mereka dapatkan. Memberikan kepada 

Allah apa yang menjadi milik Allah, dalam menghayati ajaran 

agama, dan kepada semua orang apa yang pantas mereka 

dapatkan, sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang harus kita 

lakukan kepada mereka   sebab  hubungan, pekerjaan, persetu-

juan, atau hal-hal lain. Perhatikanlah, orang-orang yang be-

nar-benar bijaksana, dan hanya mereka ini saja, yaitu  orang 

yang berhati-hati dalam segala hal. Rancangan kitab suci ada-

lah untuk mengajarkan hikmat itu kepada kita, kebenaran 

dalam menjalankan perintah-perintah Allah pada loh pertama, 

keadilan pada loh kedua, dan kejujuran (maksudnya ketulus-

an) di dalam keduanya. Begitulah sebagian orang membeda-

kannya.  


III. Untuk siapa amsal-amsal ini ditulis (ay. 4). Amsal-amsal ini bisa 

digunakan oleh semua orang, namun  terutama dirancang, 

1.  Untuk orang yang tak berpengalaman, untuk memberikan ke-

cerdasan kepada mereka. Didikan-didikan yang diberikan di 

sini jelas dan mudah, dan disesuaikan dengan kemampuan 

yang terendah, para pengembara, meskipun orang-orang bodoh, 

tidak akan keliru memahaminya. Orang-orang yang akan me-

nerima keuntungan darinya yaitu  mereka yang sadar akan 

ketidaktahuan mereka sendiri dan kebutuhan mereka untuk 

diajar, dan oleh sebab itu berkeinginan untuk menerima didik-

an. Selain itu, orang-orang yang menerima didikan-didikan ini 

dalam terang dan kuasanya, meskipun tidak berpengalaman, 

akan dibuat cerdas. Mereka akan pandai dalam mengetahui 

dosa yang harus mereka hindari dan kewajiban yang harus 

mereka lakukan, dan untuk menghindar dari tipu muslihat si 

pencoba. Barangsiapa tulus seperti merpati dengan menjalan-

kan aturan-aturan Salomo bisa menjadi cerdik seperti ular. 

Orang yang sebelumnya bodoh sehingga berbuat dosa akan 

menjadi bijaksana saat  mulai mengatur dirinya dengan fir-

man Allah.  

2.  Untuk orang muda, untuk memberi mereka pengetahuan serta 

kebijaksanaan. Masa muda yaitu  masa belajar, memahami 

didikan-didikan, menerima kesan-kesan, dan mengingat-ingat 

apa yang sudah diajarkan. Oleh sebab itu, sangatlah penting 

bagi pikiran kita untuk dipenuhi dengan hal-hal yang baik, 

dan ia pun tidak dapat menerima inti sari yang lebih baik 

selain dari amsal-amsal Salomo. Orang muda itu gegabah, 

panas hati, dan tidak berhati-hati. Manusia dilahirkan seperti 

anak keledai liar, dan oleh sebab itu perlu dikekang oleh 

kekangan-kekangan dan diatur oleh aturan-aturan yang kita 

dapati di sini. Jika saja kaum muda mau menjaga jalan-jalan 

mereka sesuai dengan amsal-amsal Salomo, maka mereka akan 

cepat memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan orang-orang 

tua. Salomo melihat kepada keturunan yang akan datang dalam 

menulis kitab ini, dengan berharap dapat memenuhi pikiran 

angkatan yang sedang bangkit dengan kelimpahan asas-asas 

hikmat dan kebajikan. 

 

IV. Manfaat baik apa yang bisa diambil dari amsal-amsal itu (ay. 5-6). 

Orang-orang yang muda dan tak berpengalaman dapat menjadi 

bijaksana dengannya, dan tidak dilarang memasuki sekolah Sa-

lomo seperti yang terjadi dengan sekolah Plato. namun  apakah 

sekolahnya hanya untuk orang-orang seperti itu saja? Tidak. Yang 

ada di sini bukan hanya susu untuk bayi, melainkan juga makan-

an yang keras untuk orang kuat. Kitab ini tidak hanya akan 

membuat orang bodoh menjadi bijak dan orang jahat menjadi 

baik, namun  juga akan membuat orang bijak menjadi lebih bijak 

dan orang baik menjadi lebih baik. Walaupun orang tak berpeng-

alaman dan orang muda mungkin meremehkan didikan-didikan 

itu, dan tidak menjadi lebih baik   sebab nya, namun orang bijak 

akan mendengar. Hikmat akan dibenarkan oleh anak-anaknya, 

meskipun bukan oleh anak-anak yang duduk di pasar. Perhati-

kanlah, orang bijak sekalipun harus mendengar, dan tidak boleh 

menganggap diri mereka terlalu bijak untuk belajar. Orang bijak 

sadar akan kekurangan-kekurangannya sendiri (Plurima ignoro, 

sed ignorantiam meam non ignoro – Aku tidak tahu akan banyak 

hal, kecuali ketidaktahuanku sendiri), dan oleh sebab itu ia masih 

terus maju, agar dapat menambah ilmu, dapat tahu lebih banyak 

dan lebih baik, lebih jernih dan lebih jelas, dan bisa tahu lebih 

baik bagaimana memanfaatkan apa yang diketahuinya. Selama 

kita hidup kita harus berusaha menambah semua ilmu yang ber-

guna. Ada pepatah dari salah seorang rabi Yahudi yang terkemu-

ka yang berbunyi, Qui non auget scientiam, amittit de ea – Jika per-

bendaharaan pengetahuan kita tidak bertambah, maka berarti itu 

terbuang. Dan siapa yang mau menambah ilmu harus mempela-

jari Kitab Suci. Kitab ini menyempurnakan manusia kepunyaan 

Allah. Orang yang bijak, dengan menambah ilmu, tidak saja ber-

manfaat bagi dirinya sendiri, namun  juga bagi orang lain.  

1. Sebagai penasihat. Orang yang berpengertian dan memahami 

pedoman-pedoman hikmat ini, dengan membandingkannya 

satu sama lain dan dengan mengamat-amati sendiri, secara 

berangsur-angsur akan memperoleh bahan pertimbangan. Ia 

mempunyai peluang besar untuk maju, dan akan dimintai na-

sihat sebagai orang bijak, dan dipercaya untuk mengatur per-

kara-perkara orang banyak. Ia akan duduk di kursi pimpinan, 

begitulah yang diartikan oleh kata itu. Perhatikanlah, ketekun-

an yaitu  jalan menuju kehormatan. Orang-orang yang diber-

kati Allah dengan hikmat harus berusaha untuk melakukan 

apa yang baik dengan hikmat itu, sesuai dengan kemampuan 

mereka. Menjadi penasihat bagi raja memang lebih terhormat, 

namun  menjadi penasihat bagi orang miskin lebih mulia, seperti 

yang dilakukan Ayub dengan hikmatnya (Ayb. 29:15), aku 

menjadi mata bagi orang buta.  

2.  Sebagai penafsir (ay. 6) – untuk mengerti amsal. Salomo sendiri 

terkenal mampu menguraikan teka-teki dan memecahkan per-

tanyaan-pertanyaan sulit, yang pada zaman dulu dikenal seba-

gai hiburan bagi raja-raja timur. Lihat saja jawaban-jawaban 

yang diberikannya terhadap pertanyaan-pertanyaan ratu 

Syeba, yang menyangka akan membuatnya bingung dengan 

pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang di sini ia ingin memper-

lengkapi para pembacanya dengan talenta itu, sejauh dapat 

berguna untuk tujuan-tujuan yang terbaik. “Mereka akan 

mengerti amsal, bahkan ibarat (KJV: tafsiran – pen.), yang tan-

panya amsal itu seperti kacang yang belum dikupas. jika  

mereka mendengar sebuah kata bijak, meskipun itu kiasan, me-

reka akan menangkap artinya, dan tahu bagaimana mengguna-

kannya.” Perkataan orang bijak itu kadang-kadang seperti 

teka-teki. Dalam surat-surat Rasul Paulus ada hal-hal yang 

yang sukar dipahami. namun  bagi mereka yang,   sebab  mema-

hami betul seluk-beluk Kitab Suci, tahu bagaimana menafsir-

kan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh, mere-

ka akan tenang dan aman. Dengan begitu, jika kita bertanya ke-

pada mereka, “Mengertikah kamu semuanya itu?” mereka akan 

menjawab, “Ya, kami mengerti.” Perhatikanlah, yaitu  pujian 

bagi agama jika orang yang jujur merupakan orang yang ber-

pengetahuan. Oleh sebab itu, semua orang baik harus berusaha 

menjadi cerdas, dan menyelidiki segala sesuatu, dan berjerih 

payah dalam menggunakan sarananya, agar pengetahuan mere-

ka bisa bertambah. 

Peringatan-peringatan Orangtua  

(1:7-9) 

7 Takut akan TUHAN yaitu  permulaan pengetahuan, namun  orang bodoh 

menghina hikmat dan didikan. 8 Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, 

dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu 9 sebab karangan bunga yang 

indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu. 


Salomo, sesudah  mengambil tindakan untuk mengajarkan pengetahu-

an serta kebijaksanaan kepada orang muda, di sini membeberkan 

dua aturan umum untuk dijalankan agar pengetahuan dan kebijak-

sanaan itu diperoleh. Kedua aturan itu yaitu  takut akan Allah dan 

hormat kepada orangtua. Dengan dua hukum moral dasar ini pulalah 

Pitagoras memulai ayat-ayat emasnya, namun  hukum pertamanya 

secara menyedihkan masih dalam keadaan yang sangat buruk. 

Primum, deos immortales cole, parentesque honora – Pertama-tama 

sembahlah dewa-dewi yang tidak bisa mati, lalu hormatilah orangtua-

mu. Untuk menjadikan orang muda sebagaimana mereka seharus-

nya, 

I.   Biarlah mereka memandang hormat kepada Allah sebagai yang 

terutama bagi mereka. 

1. Ia membeberkan kebenaran ini, bahwa takut akan TUHAN ada-

lah permulaan pengetahuan (ay. 7). Takut akan TUHAN yaitu  

bagian utama dari pengetahuan (begitu arti tersiratnya). Takut 

akan TUHAN yaitu  kepala pengetahuan. Maksudnya, 

(1) Dari segala hal yang harus diketahui, inilah yang paling 

jelas, bahwa Allah harus ditakuti, harus dihormati, dilayani, 

dan disembah. Ini benar-benar merupakan permulaan pe-

ngetahuan sehingga orang-orang yang tidak mengetahuinya 

berarti tidak tahu apa-apa.  

(2) Untuk memperoleh semua pengetahuan yang berguna, ini-

lah yang paling penting, bahwa kita takut akan Allah. Kita 

tidak memenuhi syarat untuk mendapat keuntungan dari 

didikan-didikan yang diberikan kepada kita jika pikiran 

kita tidak dipenuhi dengan penghormatan yang kudus 

akan Allah, dan jika setiap hal yang kita pikirkan tidak di-

tundukkan kepada-Nya. Barangsiapa mau melakukan ke-

hendak-Nya, ia akan tahu ajaran-Nya (Yoh. 7:17). 

(3) Sama seperti semua pengetahuan kita harus timbul dari 

takut akan Allah, demikian pula pengetahuan itu harus 

mengarah pada takut akan Allah sebagai kesempurnaan 

dan pusatnya. Orang-orang yang cukup berpengetahuan 

yaitu  orang yang tahu bagaimana takut kepada Allah, 

yang berhati-hati dalam segala hal untuk menyenangkan-

Nya, dan yang takut akan menyakiti hati-Nya dalam hal 

apa pun. Inilah Alfa dan Omega pengetahuan. 

2. Untuk meneguhkan kebenaran ini, agar dalam segala pencari-

an kita akan pengetahuan kita diarahkan dan didorong oleh 

mata yang tertuju kepada Allah, ia mengamati bahwa orang 

bodoh (orang atheis, yang tidak percaya akan Allah) menghina 

hikmat dan didikan.   sebab  tidak ngeri sama sekali terhadap 

segala murka Allah, atau mempunyai keinginan sedikit pun 

akan perkenanan-Nya, mereka tidak akan berterima kasih ke-

pada kita   sebab  telah memberi tahu mereka apa yang dapat 

mereka lakukan agar terhindar dari murka-Nya dan menda-

patkan perkenanan-Nya. Orang-orang yang berkata kepada 

Yang Mahakuasa, “Pergilah dari kami,” yang sama sekali tidak 

takut akan Dia sehingga malah menantang-Nya, tidak akan 

membuat kita terkejut jika mereka tidak ingin mengetahui 

jalan-jalan-Nya, namun  malah merendahkan didikan itu. Per-

hatikanlah, orang-orang bodoh yaitu  mereka yang tidak 

takut kepada Allah dan tidak menghargai Kitab Suci. Walau-

pun mereka mengaku-ngaku mengagumi kecerdikan, sebenar-

nya mereka yaitu  orang-orang yang asing dan musuh-musuh 

bagi hikmat.  

II.   Biarlah mereka menghormati orangtua mereka sebagai atasan 

mereka (ay. 8-9): hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu. Mak-

sudnya, bukan saja ia ingin agar anak-anaknya sendiri mengikuti 

dia dan apa yang dikatakannya kepada mereka, juga bukan hanya 

ia ingin agar murid-muridnya, dan orang-orang yang datang ke-

padanya untuk diajar, melihatnya sebagai bapak mereka dan 

mengikuti perintah-perintahnya sebagaimana layaknya anak-

anak, namun  juga ia ingin agar semua anak patuh dan hormat 

terhadap orangtua mereka, dan menuruti didikan budi pekerti 

dan agama yang diberikan orangtua mereka kepada mereka, se-

suai dengan perintah kelima. 

1. Ia menganggap benar bahwa orangtua, dengan segala hikmat 

yang mereka miliki, akan mendidik anak-anak mereka, dan, 

dengan segala wewenang yang mereka miliki, akan memberi-

kan aturan bagi anak-anak mereka demi kebaikan mereka. 

Anak-anak yaitu  makhluk-makhluk yang berakal, dan oleh 

sebab itu kita tidak boleh memberi mereka aturan tanpa didik-

an. Kita harus menarik mereka dengan tali manusia, dan apa-

bila kita memberi tahu mereka apa yang harus mereka laku-

kan, kita juga harus memberi tahu mereka alasannya. namun  

mereka rusak dan susah diatur, dan oleh sebab itu bersama-

sama dengan didikan diperlukan juga aturan. Abraham tidak 

hanya mau mengajar, namun  juga memerintah rumah tangga-

nya. Baik ayah maupun ibu harus berbuat semampu mereka 

demi memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak 

mereka, dan itu pun masih jauh dari cukup. 

2. Ia memerintah anak-anak untuk menerima dan juga meng-

ingat pelajaran-pelajaran dan aturan-aturan baik yang diberi-

kan orangtua mereka kepada mereka.  

(1) Untuk menerimanya dengan siap sedia: “Dengarkanlah di-

dikan ayahmu. Dengarkanlah dan camkanlah itu. Dengar-

kanlah dan sambutlah itu, berterima kasihlah untuk itu, 

dan tunduklah kepadanya.”  

(2) Untuk memegangnya dengan teguh: “Jangan menyia-nyia-

kan ajaran mereka. Janganlah berpikir bahwa saat  eng-

kau dewasa, dan tidak lagi diasuh para pembimbing dan 

pengajar, engkau bisa hidup sesukamu. Tidak, ajaran ibu-

mu sesuai dengan ajaran Allahmu, dan oleh sebab itu ja-

nganlah pernah disia-siakan. Engkau dididik di dalam ja-

lan yang harus engkau tempuh, dan oleh sebab itu, saat  

engkau tua, engkau tidak boleh meninggalkan jalan itu.” 

Sebagian orang mengamati bahwa jika  etika orang-

orang bukan-Yahudi, dan hukum orang-orang Persia dan 

Romawi, hanya memastikan agar anak-anak menghormati 

bapak mereka, hukum ilahi menjamin penghormatan ke-

pada ibu juga. 

3. Ia menyarankan didikan ini sebagai sesuatu yang sangat mulia 

dan akan mendatangkan kehormatan kepada kita: “Didikan-

didikan dan ajaran-ajaran orangtuamu, jika dijalani dan diha-

yati betul-betul, akan menjadi karangan bunga yang indah 

bagi kepalamu (ay. 9; KJV: perhiasan indah bagi kepalamu – 

pen.), suatu perhiasan yang, dalam pandangan Allah, mahal 

harganya, dan akan membuatmu tampak besar seperti orang-

orang yang mengenakan kalung emas di leher mereka.” Biarlah

 kebenaran-kebenaran dan perintah-perintah ilahi menjadi bagi 

kita sebuah mahkota kecil, atau kalung lencana sebagai lam-

bang pangkat tertinggi. Marilah kita menghargainya, dan ber-

keinginan sangat untuk mengejarnya, maka kebenaran-kebe-

naran dan perintah-perintah ilahi itu akan menjadi mahkota 

atau kalung lencana bagi kita. Orang-orang yang benar-benar 

berharga, dan yang akan dihargai, yaitu  mereka yang lebih 

menghargai diri mereka sendiri berdasarkan kebajikan dan 

kesalehan mereka dibandingkan  berdasarkan kekayaan dan kehor-

matan duniawi mereka.  

Peringatan-peringatan Orangtua  

(1:10-19) 

10 Hai anakku, jikalau orang berdosa hendak membujuk engkau, janganlah 

engkau menurut; 11 jikalau mereka berkata: “Marilah ikut kami, biarlah kita 

menghadang darah, biarlah kita mengintai orang yang tidak bersalah, dengan 

tidak semena-mena; 12 biarlah kita menelan mereka hidup-hidup seperti du-

nia orang mati, bulat-bulat, seperti mereka yang turun ke liang kubur; 13 kita 

akan mendapat pelbagai benda yang berharga, kita akan memenuhi rumah 

kita dengan barang rampasan; 14 buanglah undimu ke tengah-tengah kami, 

satu pundi-pundi bagi kita sekalian.” 15 Hai anakku, janganlah engkau hidup 

menurut tingkah laku mereka, tahanlah kakimu dari pada jalan mereka, 16 ka-

rena kaki mereka lari menuju kejahatan dan bergegas-gegas untuk menum-

pahkan darah. 17 Sebab percumalah jaring dibentangkan di depan mata segala 

yang bersayap, 18 padahal mereka menghadang darahnya sendiri dan mengin-

tai nyawanya sendiri. 19 Demikianlah pengalaman setiap orang yang loba akan 

keuntungan gelap, yang mengambil nyawa orang yang mempunyainya. 

Dalam perikop ini Salomo memberikan satu lagi aturan umum ke-

pada orang muda, agar mereka mencari tahu, dan tetap berjalan, di 

jalan-jalan hikmat, dan aturan itu yaitu  berjaga-jaga terhadap jerat 

pergaulan buruk. Mazmur-mazmur Daud dimulai dengan peringatan 

ini, dan demikian pula dengan amsal-amsal Salomo. Sebab tidak ada 

hal lain yang lebih merusak, baik untuk ibadah yang hidup maupun 

perilaku sehari-hari dibandingkan  pergaulan yang buruk (ay. 10): “Hai 

anakku, yang aku kasihi dan aku peduli dengan sepenuh hati, jikalau 

orang berdosa hendak membujuk engkau, janganlah engkau menurut.” 

Ini yaitu  nasihat yang baik untuk diberikan orangtua kepada anak-

anak mereka saat  mereka melepaskan anak-anak mereka ke dalam 

dunia. Nasihat ini sama dengan nasihat yang diberikan Rasul Petrus 

kepada orang-orang yang baru bertobat (Kis. 2:40), “Berilah dirimu 

diselamatkan dari angkatan yang jahat ini.”  


 12

Amatilah: 

1. Betapa giat orang fasik menggoda orang lain ke jalan-jalan si pem-

binasa: mereka akan membujuk. Orang-orang berdosa suka men-

cari teman di dalam dosa. Malaikat-malaikat yang jatuh menjadi 

para penggoda hampir segera sesudah  mereka berdosa. Mereka 

tidak mengancam atau berbantah, namun  membujuk dengan puji-

an dan kata-kata manis. Dengan umpan mereka menarik orang 

muda yang tidak waspada kepada kail. namun  mereka keliru jika 

berpikir bahwa dengan membawa orang lain untuk ikut serta da-

lam kesalahan mereka, dan seolah-olah terikat pada tali mereka, 

mereka sendiri akan membayar kurang dari yang seharusnya. 

Sebab akan ada jauh lebih banyak hal yang harus mereka per-

tanggungjawabkan. 

2. Betapa orang muda harus berhati-hati agar tidak tergoda oleh me-

reka: “Janganlah engkau menurut, supaya sekalipun mereka 

membujukmu, mereka tidak dapat memaksamu. Jangan berkata-

kata seperti mereka, dan juga jangan melakukan apa yang mereka 

lakukan, atau apa yang diinginkan mereka untuk engkau laku-

kan. Jangan bersekutu dengan mereka.”  

Untuk memperkuat peringatan ini, 

I. Ia menggambarkan penalaran-penalaran keliru yang digunakan 

orang-orang berdosa dalam bujukan-bujukan mereka, dan tipu 

muslihat yang mereka pakai untuk memperdaya jiwa-jiwa yang 

tidak teguh. Ia berbicara secara khusus tentang penyamun di 

tengah jalan, yang berbuat apa saja yang bisa mereka perbuat un-

tuk menarik orang lain ke dalam komplotan mereka (ay. 11-14). 

Lihatlah di sini apa yang diinginkan mereka untuk diperbuat oleh 

orang muda: “Marilah ikut kami (ay. 11). Temanilah kami.” Per-

tama-tama mereka berpura-pura tidak meminta lebih. namun  per-

kenalan itu segera menuntut sesuatu yang lebih (ay. 14): “Buang-

lah undimu ke tengah-tengah kami. Jadilah rekan kami, gabung-

kanlah kekuatanmu dengan kekuatan kami, dan marilah kita ber-

tekad untuk hidup dan mati bersama-sama: apa yang terjadi 

padamu akan terjadi pada kami. Marilah kita membuat satu pun-

di-pundi bagi kita sekalian, supaya apa yang kita dapatkan ber-

sama-sama dapat kita habiskan bersama-sama pula dengan gem-

bira ria.” Itulah yang mereka tuju. Dua hawa nafsu yang tidak 

masuk akal dan tiada habisnya, yang mereka sangka akan di-

puaskan, dan yang dengannya mereka menjerat mangsa ke dalam 

perangkap mereka yaitu : 

1. Kekejaman mereka. Mereka haus darah, dan membenci orang-

orang yang tidak bersalah dan yang tidak pernah memanas-

manasi mereka. Mereka benci orang-orang itu   sebab  melalui 

kejujuran dan ketekunannya, orang-orang itu mempermalu-

kan dan menghukum mereka.   sebab  itu, mereka berkata, 

“Oleh sebab itu, biarlah kita menghadang darah mereka, dan 

mengintai mereka. Mereka sadar bahwa mereka tidak melaku-

kan kejahatan apa-apa, dan   sebab  itu tidak khawatir akan 

bahaya apa pun yang mengancam, sehingga bepergian tanpa 

senjata.   sebab  itu, kita akan memangsa mereka dengan lebih 

mudah. Oh, betapa manisnya jika kita menelan mereka hidup-

hidup!” (ay. 12). Orang-orang yang haus darah ini akan mela-

kukan hal ini dengan sama rakusnya seperti singa melahap 

domba. Kalau ada yang berkeberatan, “Jika korban dibiarkan 

tersisa, maka pembunuhnya akan terungkap;” mereka men-

jawab, “Tidak perlu takut. Kita akan menelan mereka bulat-

bulat seperti orang yang terkubur.” Siapa yang dapat me-

nyangka bahwa sifat manusia sudah merosot sedemikian jauh 

sehingga yang satu merasa senang untuk menghancurkan 

yang lain! 

2. Ketamakan mereka. Mereka berharap mendapatkan banyak 

jarahan dengannya (ay. 13): “Kita akan mendapat pelbagai ben-

da yang berharga dengan mengikuti cara ini. Apa masalahnya 

jika kita mempertaruhkan nyawa kita untuknya? Kita akan 

memenuhi rumah kita dengan barang rampasan.” 

Lihatlah di sini: 

(1) Gagasan mereka mengenai kekayaan duniawi. Mereka me-

nyebutnya benda yang berharga. Padahal itu bukanlah 

benda yang sebenarnya dan juga tidak berharga. Itu hanya-

lah bayang-bayang, kesia-siaan, terutama apa yang didapat 

dengan cara merampas (Mzm. 62:11). Itu seperti sesuatu 

yang tidak ada, yang tidak akan memberikan kepuasan 

penuh kepada manusia. Itu hal yang murah, sudah lazim, 

namun, dalam pandangan mereka, itu berharga, dan oleh 

  sebab nya mereka mau mempertaruhkan hidup mereka, 

dan mungkin jiwa mereka, untuk mengejarnya. yaitu  ke-

salahan yang menghancurkan beribu-ribu orang bahwa me-

reka terlalu menghargai kekayaan dunia ini dan melihatnya 

sebagai benda yang berharga.  

(2) Kelimpahan harta yang mereka janjikan pada diri mereka 

sendiri: kita akan memenuhi rumah kita dengannya. Orang-

orang yang hidup di dalam dosa menjanjikan banyak hal 

bagi diri mereka sendiri, dan bahwa itu akan menjadi ke-

untungan yang berlimpah ruah (semua ini akan kuberikan 

kepadamu, kata si pencoba). namun  hanya dalam mimpi 

mereka makan. Barang-barang segudang akan berkurang 

bahkan tidak sampai segenggam, seperti rumput yang 

tumbuh pada tembok.  

II. Ia menunjukkan betapa merusaknya jalan-jalan ini sebagai alas-

an mengapa kita harus menjauhinya (ay. 15): “Hai anakku, ja-

nganlah engkau hidup menurut tingkah laku mereka; janganlah 

bergaul dengan mereka; jauhkanlah mereka sebisa mungkin dari-

padamu; tahanlah kakimu dari pada jalan mereka. Jangan men-

contoh mereka, dan jangan melakukan apa yang mereka laku-

kan.” Seperti itulah kerusakan sifat kita, sampai-sampai kaki kita 

begitu condong untuk melangkah di jalan dosa. Kalau perlu, kita 

harus keras pada diri kita sendiri untuk menahan kaki kita agar 

tidak ke sana, dan menegur diri kita sendiri jika suatu waktu kita 

mengambil satu langkah saja ke arah sana. 

Pertimbangkanlah: 

1. Betapa merusaknya jalan mereka dengan sendirinya (ay. 16): 

kaki mereka lari menuju kejahatan, menuju pada apa yang 

tidak berkenan kepada Allah dan menyakiti manusia, sebab 

mereka bergegas-gegas untuk menumpahkan darah. Perhati-

kanlah, jalan dosa yaitu  jalan yang menurun. Manusia bu-

kan saja tidak dapat menghentikannya, namun  juga, semakin 

lama mereka berada di dalamnya, semakin cepat mereka ber-

lari, dan bergegas-gegas di dalamnya, seolah-olah mereka ta-

kut tidak dapat melakukan cukup banyak kejahatan dan ber-

tekad untuk tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Mereka 

berkata bahwa mereka akan terus melanjutkannya dengan 

santai (biarlah kita menghadang darah, ay. 11), namun  engkau 

akan mendapati bahwa mereka semua bertindak dengan ter-

gesa-gesa, betapa hati mereka sudah kerasukan Iblis.  

2. Betapa merusaknya akibat-akibat dari jalan itu nanti. Mereka 

diberi tahu dengan jelas bahwa jalan fasik ini pasti akan 

berakhir dengan kehancuran mereka sendiri, namun mereka 

tetap bersikeras di dalamnya. Dalam hal ini, 

(1) Mereka seperti burung yang bodoh yang melihat jaring ter-

bentang untuk menangkapnya. Namun percuma saja wa-

laupun ia melihat jaring. Ia terjerat di dalamnya   sebab  ter-

makan umpan, dan tidak mau memperhatikan peringatan 

yang diberikan oleh matanya sendiri kepadanya (ay. 17). 

namun  kita tahu bahwa kita lebih berharga dari pada ba-

nyak burung pipit, dan oleh sebab itu harus lebih cerdik, 

dan bertindak dengan lebih hati-hati. Allah telah memberi 

kita hikmat melebihi burung di udara (Ayb. 35:11), jadi pan-

taskah jika kita berlaku sama bodohnya seperti mereka?  

(2) Mereka lebih buruk dibandingkan  burung-burung itu, dan tidak 

mempunyai indra jasmani seperti yang kadang-kadang kita 

pikir mereka punya. Sebab penangkap burung tahu bahwa 

percuma saja membentangkan jaringnya di depan mata 

segala yang bersayap, dan oleh sebab itu ia mempunyai 

taktik untuk menyembunyikannya. namun  orang berdosa 

melihat kehancuran di ujung jalannya. Pembunuh, pen-

curi, melihat penjara dan tiang gantungan di depan mata 

mereka, bahkan, mungkin mereka melihat neraka di ha-

dapan mereka. Para penjaga mereka memberi tahu mereka 

bahwa mereka pasti akan mati. namun , itu tidak ada guna-

nya. Mereka bergegas menuju dosa, dan terus berbuat de-

ngan tergesa-gesa di dalamnya, seperti kuda yang melaju 

ke medan perang. Sebab sesungguhnya b