tempat dia
menarik perhatian putra-putra Susuhunan. Dia menganugerahkan jubah
kehormatan kepada salah seorang pangeran sebagai wakilnya dan tinggal di
rumah seorang pangeran lain, tempat dia mengeluarkan topi dan pakaian
untuk murid-murid potensial lainnya. Baru saat Bupati mengetahui perkara
ini, Susuhunan menekan tarekat ini . ‘Abd al-Qadir kemudian ditangkap
di Semarang.
Seperti yang akan kita lihat (di Bab 8), catatan-catatan yang dibuat oleh
Snouck Hurgronje pada sekitar 1890 menunjukkan bahwa banyak tokoh
Naqsyabandi Jawa menjadi penganut Syattariyyah sebelum petualangan
mereka ke luar negeri. namun , mereka berbeda dari kaum proto-Naqsyabandi
di Sumatra isebab saat kembali mereka kerap mengajarkan ritual-ritual
Khalidiyyah bersama-sama dengan ritual Syattariyyah. Selain itu, para syekh
Syattari dan Naqsyabandi menghadapi lawan yang sama berupa ajaran-ajaran
yang kerap dikaitkan dengan Wali Sanga. Mereka ini yaitu para penganut
yang oleh Kartawidjaja disebut “Tarek Moehamaddia”, meskipun mereka
lebih menyukai nama “Akmaliyyah” sebagai sekadar sebuah tingkatan dalam
sebuah hierarki praksis bayangan.
Pada pertengahan abad khususnya di Jawa Tengah, guru-guru seperti
Hasan Mawlani (alias Kiai Lengkong) dan muridnya Nur Hakim berhasil
memperoleh pengikut dalam jumlah besar. Nama pertama, yang pesantrennya
berada di sekitar Kedu, di Kuningan, memiliki metode yang sangat keras dalam
mengajar murid-muridnya. Menurut Jan Isaäc van Sevenhoven (w. 1841),
yang mengunjungi pesantren itu pada 1839, Kiai Lengkong mengajari murid-
muridnya agar makan dan tidur sekadar untuk bertahan hidup. Mereka juga
menghabiskan sebagian besar waktu untuk berbaring tengkurap membaca
teks dengan cahaya yang masuk lewat lubang-lubang kecil di dinding kamar
komunal mereka.
Kiai Lengkong, yang oleh van Sevenhoven diklaim sebagai seorang haji,
pada akhirnya tertarik pada putra-putra kelompok elite Jawa di tempat-tempat
sejauh Surabaya. Hal ini membangkitkan kemarahan para guru pesaing
sekaligus mengganggu para pejabat Belanda yang tidak mengerti. Sebagian
dari guru-guru ini , yang memiliki koneksi priayi, menggambarkannya
sebagai bahaya baru bagi negara; persis seperti yang diramalkan “J.L.V.”,
pengamat Belanda yang dikutip di atas, akan menjadi nasib Agama Dul.
Maka, Kiai Lengkong pun dilaporkan kepada otoritas Belanda pada 1842
dan dipaksa hidup dalam pengasingan di Tondano, Sulawesi Utara.52
Hubungan antara murid dari para guru semacam itu dan pengikut rival-
rival mereka yang lebih memiliki jaringan secara global tidak selalu tegang;
bahkan pihak yang disebut terakhir ini sendiri kadang-kadang juga dicurigai.
Hal demikian terjadi pada Ahmad Rifa’i, yang bentrok dengan para pejabat
yang diejeknya sebagai “padri” yang tidak becus pada 1850-an, dan yang secara
retrospektif dianggap sebagai seorang Naqsyabandi dalam laporan Belanda
pada 1881.53 Banyak hal bergantung pada konteks lokal dan hubungan pribadi,
seperti disebutkan dalam catatan seorang Akmali yang aktif di Jawa pada 1880-
an.berdasar laporan Akmali ini, yang dikenal sebagai Mas Rahmat, yang
menyatakan ayahnya yaitu seorang sahabat Diponegoro, mampu bergerak
bebas di tanah-tanah perdikan di Jawa dan Madura, meskipun jelas bahwa dia
lebih dekat dengan para priayi yang tidak puas ketimbang dengan kaum Sufi dan
para ahli fikih yang dia klaim menghormati dirinya. Meski Mas Rahmat yang
kaya itu memang dihormati oleh banyak orang, sulit untuk memercayai seluruh
klaimnya. Pastinya kita harus meragukan bahwa para cendekiawan Madura
memintanya menafsirkan Bayan al-sirr (Penjelasan Rahasia) dan Tuhfa.55 Pada
masa itu mereka dianggap sebagai bagian dari golongan para ahli tata bahasa
terbaik di Nusantara, dan ajaran tarekat tidak mungkin tak mereka ketahui.
Sebagian pasti menganggap Mas Rahmat sebagai orang kaya baru. Lagi pula,
dia belum pernah melaksanakan haji, yang dianggap merupakan tanda sebagai
seorang guru Islam yang sepenuhnya berkomitmen di kalangan elite desa-desa
perdikan, pondok-pondok independen, dan warga luas di luarnya.
TUJUAN-TUJUAN HAJI
Sementara orang-orang yang ingin jadi wali seperti Mas Rahmat bisa
menemukan keramahan di pondok-pondok sebagaimana tarekat-tarekat
yang lebih baru menyusupi jejaring priayi, hubungan dengan Timur Tengah
yang menopang para guru tarekat-tarekat ini , sebagaimana bakal kita
lihat, menghasilkan tingkat ketegangan tertentu dalam warga Belanda.
Para cendekiawan metropolitan seperti Salomon Keijzer (1825–68) dari
Delft menunjuk Kairo sebagai sumber perubahan pada 1860-an, mungkin
saat mengetahui bahwa silabus pesantren pada saat itu memasukkan sebuah
komentar atas Umm al-barahin yang disusun oleh Ibrahim al-Bajuri, Syekh al-
Azhar antara 1847 dan 1860.56 Sebuah pondok khusus sudah didirikan untuk
orang-orang Jawi di Kairo, namun pondok ini dihuni oleh campuran
murid-murid dari Arabi Selatan dan “India”. Enam murid yang pada 1871
menjadi penghuni pergi pada 1875, dan tidak akan ada lagi kehadiran Jawi
yang menonjol hingga 1880-an, yang merupakan poin yang akan kita bahas
kembali.
Sedikit orang yang setia menuju Kairo pada tahun-tahun itu—di
antaranya Nawawi dari Banten dan Ahmad al-Fatani (lihat di bawah)—pusat
yang penting tetaplah Mekah.58 Peziarah dan calon cendekiawan dengan
jumlah yang terus bertambah berdatangan ke Hijaz. Transportasi kapal
uap sudah tersedia dengan rute yang relatif aman. Selama tur ke pesantren-
pesantren pesisir utara pada 1885, L.W.C. van den Berg mencatat bahwa dia
nyaris tidak bertemu dengan ulama yang belajar di Kairo. Mekah yaitu kiblat
yang sebenarnya. Para cendekiawan yang menghabiskan waktu bertahun-
tahun di sana umumnya fasih berbahasa Arab dan, dalam pandangan van den
Berg, yaitu “orang-orang maju”.
saat kembali, banyak haji tertarik menjadi cendekiawan-cendekiawan
Jawi terkemuka atau mendukung perkumpulan-perkumpulan para guru
Naqsyabandi. Sebaliknya, pada 1899 hanya ada seorang haji dari seluruh
pengikut Nur Hakim di Banyumas yang diperkirakan mencapai tiga ribu
orang. Baik Nur Hakim maupun para wakilnya tidak pernah ke Mekah.60
Tampak bahwa haji menempatkan diri seseorang di atas rekan-rekan mereka.
Dalam sebuah puisi satir, ditulis pada 1867, Raden Muhammad Husayn dari
Krawang berkali-kali mengingatkan putra-putra kalangan elite “Sunda dan
Jawa” mengenai beban finansial haji, mengenai bahaya rampok di jalan, atau
lebih buruk lagi berakhir menjadi kuli di Singapura, Jepang, atau Malabar.
Sementara itu, dia menasihati beberapa orang yang berhasil kembali agar
menekuni kajian agama dan tidak bertindak layaknya guru bagi seluruh
warga .
Entah mereka kembali sebagai orang terpelajar atau terhormat, jelas
bahwa beberapa besar orang yang terlibat dalam hubungan baru dan lebih
intensif dengan Mekah ini merajut beragam sekolah Islam di kawasan ini
menjadi lebih erat. Pertumbuhan fenomenal terjadi di pesantren-pesantren
Jawa, diperkuat oleh kehadiran para ahli tata bahasa dan ilmu syair di Madura,
dan juga beberapa ahli fikih dari Sumbawa. Pada 1850-an sesuatu pastinya
menarik lebih banyak murid dari Jawa Barat, yang sebelumnya lebih menyukai
perjalanan ke barat laut ke Aceh, Kedah, atau bahkan Patani (sebuah situs
penting bagi para cendekiawan dari semenanjung hingga permulaan abad
kedua puluh).
Ini bukan berarti bahwa perjalanan-perjalanan di Malaya terhenti.
Jaringan Sumatra–Malaya tetap hidup, bahkan sesudah Belanda memulai
tiga dekade usaha mereka untuk menaklukkan Aceh pada 1873. Persilangan
kedua jalur bukanlah Batavia-nya Belanda, melainkan Singapura-nya Inggris.
Di sana jemaah haji, ahli fikih, dan Sufi bisa bertemu. Seperti Sumatra dan
Jawa, Singapura menjadi saksi perselisihan antara para pendukung berbagai
penafsiran hukum dan Sufisme yang saling bersaing. Pada awal 1850-
an Isma‘il al-Minankabawi dimuliakan di Penang, Singapura, Riau, dan
Kedah. Ini membuat murka Salim b. Sumayr, yang meyakini bahwa orang
Minangkabau itu membaiat orang-orang ke dalam Naqsyabandiyyah tanpa
persiapan sebelum membawa mereka kembali ke Kota Suci. Menurut sesama
orang Arab-nya, Sayyid ‘Utsman dari Batavia (1822–1914), Bin Sumayr
bahkan memiliki catatan sanggahan terhadap Isma‘il yang dicetak dan beredar
di Singapura pada 1852–53.64
Ini bukan usaha terakhir seorang Jawi mengumpulkan orang-orang
cakap untuk keluarga tarekat-tarekat Naqsyabandi. Pada 1860-an seorang
Kalimantan yang tinggal di Singapura, Ahmad Khatib dari Sambas (1802–
72), memadukan ritual-ritual Naqsyabandiyyah dengan silsilah Qadiriyyah;
yang keduanya diklaim merupakan gerak maju dari Sammaniyyah. Dia
menggalang dukungan dari Sumatra hingga Lombok di bawah wakil-wakil
seperti Ahmad dari Lampung, Muhammad Ma’ruf di Palembang, dan
Muhammad al-Bali.
sesudah kematiannya, jubah Ahmad Khatib diwariskan kepada wakilnya
di Banten, ‘Abd al-Karim, yang bermukim di Singapura pada awal 1870-an.
‘Abd al-Karim memperoleh banyak murid dari Jawa Barat hingga Madura.
Pada 1889, misalnya, gabungan kota-kota Batavia, Tangerang, dan Buitenzorg
memiliki sekitar guru pesantren. Delapan di antaranya mengajarkan
Sufisme tarekat kepada orang-orang dari semua kalangan, termasuk Komandan
Manggabesar. Dari kedelapan guru ini , empat yaitu Naqsyabandi yang
terkait dengan Sulayman Afandi dan masing-masing memiliki rata-rata empat
puluh murid. Angka ini disamai oleh dua “Qadiri” di Ciomas dan Citrap.
Wakil ‘Abd al-Karim yang lain, ‘Abd al-Rahim al-Asy’ari dari Buitenzorg,
mengklaim jumlah murid yang menakjubkan: enam ribu.
Kemudian dibacanya: Muhammadun basyarun la kal-basyari bal huwa kal-yaqut
bayn al-hajari.68 (Kayfiyyat khatm qur’an, diterbitkan di Bombay 1298)
Muhammad yaitu manusia yang bukan seperti manusia umumnya, melainkan
seperti batu yakut di antara bebatuan.
Ada satu jenis batu yang akan terbukti sangat berguna bagi para propagandis
muslim abad kesembilan belas saat mereka mencari berbagai versi ortodoksi
Mekah yang semakin seragam. Batu itu yaitu batu kapur yang digunakan
untuk mengecap halaman-halaman yang tak terhitung jumlahnya dengan teks
menggunakan teknik baru litografi. Namun, pada akhir abad itu, tampaknya
tak ada konsensus ilmiah mengenai dampaknya. Pada sebuah tur yang
diadakan pada pertengahan 1880-an, cendekiawan Belanda van den Berg
menganggap bahan-bahan cetakan di Jawa sebagai sekadar hadiah. Beberapa
tahun kemudian, rivalnya, Snouck Hurgronje, membuktikan persebaran dan
kegunaan bahan-bahan cetakan ini sebagaimana dia mencatat terjadinya
lonjakan penggunaan bahan cetakan dalam lingkaran pengajaran Mekah pada
1885.
Dalam arti tertentu, sikap tidak peduli van den Berg mengantisipasi sebuah
prasangka umum kecendekiawanan terhadap nilai historis percetakan muslim
dan kurangnya minat untuk memeriksa teks-teks cetakan jika dibanding
dengan bahan-bahan manuskrip, sebuah sikap yang akan kita diskusikan lebih
jauh di bawah. Memang kaum Muslim tidak menggunakan cetakan seperti
di Eropa Barat. Alasan untuk hal itu terutama yaitu dianggap tidak bersifat
religius atau irasional. Juga terdapat bukti bahwa tawaran tipografis orang-
orang Eropa dianggap hampir tidak bisa diterima dari sudut pandang estetis.
Cukup menarik kiranya mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang-orang
Asia Tenggara mengenai dokumen berbahasa Arab pertama yang dicetak
di Leiden pada 1596, yang merupakan permohonan keamanan perjalanan
dan perdagangan yang disusun oleh Frans van Ravelingen (Raphelengius,
1539–97) untuk kapal-kapal yang berlayar menuju “pulau-pulau yang jauh
dari perbatasan kami”. Kemungkinan besar permohonan itu tidak memiliki
banyak dampak. Sebagaimana akan kita lihat, lebih dari dua abad kemudian,
para misionaris di Singapura mengeluh bahwa persembahan mereka dianggap
asing dan tidak menyenangkan.
Sebagaimana di India, terobosan besar untuk Asia Tenggara muncul
dengan adopsi litografi, yang memungkinkan replikasi gaya-gaya kaligrafi
yang disukai untuk teks Al-Quran. Mengikuti pola India, teknologi
ini diwariskan oleh para perintis misi kepada para individu dengan alasan
pencarian keuntungan sekaligus penyebaran agama mereka.73 Di Singapura,
salah seorang pewaris semacam ini yaitu penerjemah Munsyi Abdullah, yang
mencetak sebuah edisi Sulalat al-salatin pada 1841.74 Orang-orang lain pun
segera mengadopsi percetakan. Jika karya-karya yang secara eksplisit bercorak
Islami belum bisa diadopsi, setidaknya untuk teks-teks yang diharapkan
menarik minat khalayak Muslim. Raja ‘Ali Haji dari Riau (1809–73) mencetak
karyanya, Hikayat Sultan ‘Abd al-Muluk di Singapura pada 1845.
Materi-materi keagamaan pertama yang diproduksi secara massal
muncul dari Palembang, tempat bahan-bahan itu dicetak oleh Kemas Hajji
Muhammad Azhari, yang telah menghabiskan banyak waktu di Mekah dan
namanya menyiratkan sebentuk hubungan tertentu dengan Kairo. sesudah
memiliki percetakannya sendiri di Singapura pada 1848 dengan biaya f500,
dia mendapatkan kembali uangnya dengan cepat saat edisi Al-Quran-nya
muncul pada 1854, yang harganya mencapai f25. Harga yang setara dengan
biaya untuk membeli sebuah manuskrip yang disalin secara profesional.
Usaha Palembang ini segera ditiru di Surabaya, tempat Husayn al-Habsyi
(w. 1893) memproduksi sebuah teks mawlid, Syaraf al-anam (Kemuliaan
Umat Manusia), yang dijualnya seharga f15 pada 1853. Di kota tetangga
Riau, percetakan litografis dimulai di Pulau Penyengat saat Raja ‘Ali Haji
menyusun penanggalan hari-hari baik serta panduan penggunaan bahasa.
Pada saat itu lingkungan Masjid Sultan ‘Ali di Singapura telah menjadi situs
bagi beberapa toko-percetakan di tangan orang-orang pesisir utara Jawa yang
penawaran pertamanya terutama berasal dari tradisi Melayu-Muslim, yang
dihasilkan oleh para juru tulis dari Kelantan dan Terengganu. Tulisan-tulisan
al-Raniri dan para penerusnya terwakili dengan baik; Sabil al-muhtadin karya
Arsyad al-Banjari dicetak pada 1859; dan Sirat muncul pada 1864.
Karya-karya al-Falimbani muncul pada 1870-an, namun bukan mengenai
Ghazalian. Di antara karya-karya pertama yang diproduksi di Singapura yaitu
Bidayat al-mubtadi wa-’umdat al-awladi (Permulaan Sang Pemula dan Sandaran
Anak-Anak), bukannya Bidayat al-mubtadi bi-fadl allah al-muhdi (Permulaan
Sang Pemula dengan Anugerah Allah Sang Pembimbing) yang lebih tua, yang kali
pertama muncul pada 1861 berkat dukungan Muhammad Arsyad b. Qasim
al-Jawi. Tanda terbit pada edisi cetak ulang di Istanbul menyatakan bahwa
karya ini kali pertama diselesaikan di Mekah pada Juni 1838 oleh Yusuf
al-Ghani al-Sumbawi. Mengingat keberadaan salinan-salinan manuskrip yang
lebih awal, kemungkinan besar dia sudah mengajarkan kompilasi ini untuk
beberapa waktu, dan dengan demikian menjadi sinonim dengannya. Lebih
jauh, tampaknya edisi 1861 telah dikoreksi di Mekah pada 1854 oleh Sayyid
‘Abd al-Rahman b. Saqqaf al-Saqqaf sebelum dikirimkan ke toko-percetakan
di Singapura milik orang Palembang Anang b. Baqsin b. Hajji Kamal al-Din
Editornya lebih dari mungkin yaitu pemilik kapal Hadrami dan
saudagar Jawa terkemuka ‘Abd al-Rahman al-Saqqaf, yang mendirikan
Alsagoff dan Rekan pada 1848 bersama putranya Ahmad (w. 1906), yang
terlibat dalam pengangkutan ribuan jemaah haji ke Mekah.83 Bisa jadi bahwa
teks ini dirancang secara khusus untuk menarik minat para penumpang
mereka. Sesuai dengan judulnya, Bidayat al-mubtadi membicarakan prinsip-
prinsip keyakinan serta sifat-sifat Tuhan dan para nabi-Nya, dalam konteks
sebuah almanak yang menyertakan instruksi mengenai kesucian ritual dan
makanan yang dilarang.
Dalam edisi ini, al-Sumbawi secara bebas menambahi terjemahannya
dengan pasase-pasase yang ditujukan kepada khalayak Jawi-nya. Misalnya,
saat dia menyebut bahwa sari buah dan santan kelapa termasuk jenis air
yang tidak sah digunakan berwudu sebelum shalat, atau bahwa konsumsi atau
pengorbanan binatang yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab dilarang
atau setidaknya harus dihindari.84 Dia juga membicarakan, meski secara
singkat, salah tafsir lokal terhadap ritual dan penggunaan bahasa “Jawi” untuk
memanjatkan doa sementara bahasa Arab lebih disukai.
Bidayat pastinya merupakan sebuah kaitan yang setia terhadap
kecendekiawanan yang lebih awal. Atau, juga disukai isebab menawarkan
hubungan dengan para cendekiawan Jawi elite masa itu. Kalau saja bukan
isebab perbedaan-perbedaan kultural antara orang-orang Sumbawa dan
Bima, yang berbagi pulau dan tradisi kecendekiawanan Melayu yang sama,
kita mungkin bisa mengaitkan Yusuf al-Ghani al-Sumbawi dengan ‘Abd al-
Ghani dari Bima yang termasyhur. Dalam Bidayat, kita mendapati sebuah
produk yang khas Jawi. Dihasilkan oleh para cendekiawan dan juru tulis dari
seluruh Nusantara, dan disokong oleh patronase Arab, di dalamnya terdapat
teks yang secara eksplisit bercorak Islam yang dirancang untuk memiliki
daya tarik yang luas. Terdapat beberapa teks semacam itu. Yang lain yaitu
Kayfiyyat khatm qur’an (Cara-Cara Mengkhatamkan Al-Quran), yang muncul
kali pertama pada 1877. Bunga rampai ini memberikan keuntungan
finansial isebab dicetak ulang, baik di Singapura maupun di Bombay,
oleh sebagian orang yang terlibat dalam pencetakan Bidayat al-mubtadi di
Istanbul. Dengan bagian-bagian yang beraneka ragam dan pemisah halaman
yang meniru manuskrip berhias gambar, Kayfiyyat berisi doa-doa yang sesuai
untuk berbagai ritual besar ataupun kecil dan menyertakan ringkasan Umm
al-barahin yang disusun oleh guru Ahmad Khatib Sambas di Mekah, Ahmad
al-Marzuqi.
Berbagai bunga rampai semacam Kayfiyyat kadang dijilid bersama buku-
buku panduan fikih, atau dengan volume-volume lain yang ditujukan untuk
publik saleh yang kian banyak. Edisi Bombay Kayfiyyat (dan barangkali juga
edisi Singapura yang asli dari 1877) dijilid dengan sebuah panduan haji yang
dinukil dari Ihya’ ‘ulum al-din oleh Muhammad Zayn al-Din al-Sumbawi.
Edisi ini merupakan kompilasi karyanya sendiri yang diawali dengan bagian-
bagian dari Umm al-barahin (pokok komentarnya sendiri dari 1888). Buku-
buku panduan semacam itu memainkan bagian dalam proses lebih luas untuk
menyampaikan sebuah ortodoksi yang semakin didefinisikan dengan cetakan
di kawasan ini. Patut dicatat bahwa penawaran percetakan-percetakan Melayu
sejalan dengan peralihan sebelumnya ke arah penekanan yang jelas terhadap
moralitas publik Ghazalian, meskipun karya-karya para Sufi spekulatif masih
bisa ditemukan di perpustakaan-perpustakaan pribadi.90
Penyebutan cetakan ulang Bombay dan Istanbul sekaligus menunjukkan
bahwa Singapura tidak lagi menjadi satu-satunya sumber teks-teks ini .
Selain itu, ada pengaruh kondisi pasar. Sebagaimana diamati Proudfoot,
basis komersial percetakan di Asia Tenggara sebenarnya yaitu publikasi
puisi dan hikayat. Pada 1870-an bertambah dengan produksi cerita-cerita
populer, termasuk puisi Hamzah al-Fansuri dan kisah-kisah mukjizat dalam
kehidupan Muhammad.91 Perkembangan ini tidak menyenangkan semua
orang isebab banyak santri tidak terlalu menyukai hikayat-hikayat populer.
Mereka bisa merasa lega dengan meningkatnya jumlah muatan yang secara
eksplisit bercorak Islami yang diproduksi jauh di luar negeri, termasuk di
Mekah. Juga dari percetakan-percetakan semacam itu berbagai serangan baru
bisa diluncurkan.
Seorang kritikus gigih sekian lama menggunakan percetakannya
sendiri untuk menyampaikan berbagai kekeliruan lawan-lawannya dan
membombardir publik dengan koreksi-koreksinya. Kritikus ini yaitu Sayyid
‘Utsman, yang mulai memproduksi berbagai risalah di Batavia pada 1875
Dilahirkan di Batavia pada 1822, cucu ‘Abd al-Rahman al-Misri itu belajar di
Mekah antara 1841 dan 1847 kepada ‘Abd al-Ghani dari Bima dan Ahmad
Dahlan sebelum berusaha menciptakan hidup dan karier untuk dirinya di
Hadramaut. Dia kembali ke Batavia pada 1862 dan tampaknya berusaha
mengklaim posisi para pendahulu Jawi-nya isebab sebuah ode anumerta
menunjukkan bahwa dia pergi ke sana untuk menggantikan gurunya yang
sakit, ‘Abd al-Ghani Bima.
Pastinya, hal ini menunjukkan hasrat adanya otoritas yuridis
utama bagi kaum Muslim Jawi secara umum. Untuk mereka, Sayyid ‘Utsman
menghasilkan tulisan yang ajek. Dengan kata-kata yang tajam, dia mengutuk
apa pun yang dianggapnya sebagai “inovasi” (bid’ah). Namun, tidaklah benar
bahwa semua inovasi dianggap sebagai bidah oleh para cendekiawan muslim.
Arsyad al-Banjari, misalnya, mengambil sikap bahwa hal-hal seperti tafsir dan
penjelasan kebahasaan merupakan inovasi, namun semua itu sangatlah penting.
Begitu pula, diskusi mengenai Sufisme atau pendirian sekolah-sekolah
merupakan praktik yang diterima, dan menghiasi manuskrip dengan gambar
tidak disukai namun ditoleransi. Sayyid ‘Utsman pastinya setuju isebab dia
memproduksi banyak komentar dan diskusi berbahasa Melayu yang mengejek
karya-karya yang disukai oleh rival-rival lokalnya. Selain itu, dia yaitu seorang
kritikus budaya Melayu yang gigih, menegaskan bahwa hikayat tradisional
merupakan sisa-sisa kebudayaan Hindu yang menyimpang, terutama Hikayat
Amir Hamza dan Hikayat Nabi Bercukur. Dia juga menyerang penggunaan
azimat “yang dicetak di negara-negara Arab”, dan berbagai teks berbahasa
Arab, Persia, atau terjemahan Melayu dan Jawa berisi doa-doa yang tidak
dapat dipastikan kesahihannya, seperti yang ditemukan di belakang salinan
ayat-ayat Al-Quran yang dicetak di Singapura. Semua teks semacam itu harus
dibakar, dan sebagai gantinya dia menyarankan risalah-risalahnya sendiri dan
karya Ahmad Dahlan.
Meski ‘Utsman tidak menyukai hikayat-hikayat Melayu, dia menghabiskan
lebih banyak waktu mengutuk Naqsyabandiyyah. Dia meluncurkan serangan
pertamanya melalui karya berbahasa Melayu-Arab Nasiha al-aniqa (Nasihat
yang Indah) dari 1883 dengan mendaur ulang serangan Ibn Sumayr terhadap
Isma‘il al-Minankabawi dan menambahkan hal-hal yang berkaitan dari
tulisan Ahmad Dahlan. Pada 1886 karya ini diikuti sebuah risalah berbahasa
Arab bertajuk al-Watsiqa al-wafiyya (Dokumen yang Memadai). Dalam kedua
kasus itu, ‘Utsman mengklaim bahwa dia menulisnya untuk menanggapi
berbagai pertanyaan dari para pemohon lokal. Watsiqa juga ditujukan untuk
memperbaiki kritik buku pertamanya dengan memberikan dokumentasi yang
lebih lengkap. sesudah pertama-tama memberikan perhatian eksplisit terhadap
nama-nama hakikat yang sebenarnya dan para pendirinya, mulai dengan
sesama sayyid ‘Alawi, ‘Utsman menekankan bahwa pengetahuan tarekat yang
sejati berlandaskan pada pengetahuan Syari‘ah. Di sini dia mengutip tulisan-
tulisan al-Ghazali, al-Haddad, dan al-Yafi‘i, sembari mengutip otoritas Mekah
yang masih hidup, Abu Bakr Shatta’ dan Ahmad Dahlan.
Tak diragukan lagi bahwa kaum Khalidi yaitu target utama Sayyid
‘Utsman saat dia mengikuti Ahmad Dahlan dalam mencerca baiat mereka,
atau saat dia menegaskan bahwa manuskrip-manuskrip lokal yang berisi
syair-syair yang dikaitkan kepada Abu Bakr al-Siddiq “menjadi tertawaan
orang-orang Arab dan Persia”. Meskipun hanya pernah mendengar tentang
pertemuan-pertemuan malam (kaum Khalidi), ‘Utsman mengklaim pernah
melihat praktik tarian dan nyanyian mereka, melantunkan syair-syair pujian
mengikuti tabuhan genderang. ‘Utsman mencemooh para guru lokal mereka,
yang menurutnya mengaku-aku tahu seni kekebalan. Sayyid ‘Utsman
berharap bahwa para pembacanya akan menyadari kekeliruan cara mereka,
dan dia mendorong setiap murid untuk melakukan introspeksi yang serius
Polemikus seperti ‘Utsman bisa menggunakan percetakan untuk
melawan ortodoksi Mekah yang baru, namun mereka masih memonopoli
media yang baru muncul ini. Untuk mencapai tujuan ini , Sayyid
‘Utsman dengan gigih mengeluarkan buku-buku doa, panduan pelafalan,
kalender kamariah atau waktu shalat, pengantar gaya menulis surat, kamus,
dan panduan haji terbitannya sendiri. isebab hikayat-hikayat dan puisi-puisi
Singapura masih mengalahkan penjualan teks-teks mengenai dogma dan
prosodi, dia tahu bahwa tantangan para syekh setempat hanyalah satu bagian
dari pertempuran. Untunglah bagi ‘Utsman, dia bisa mengandalkan teman-
temannya di berbagai tempat yang sangat penting. Salah satu dari tempat-
tempat ini yaitu Mekah.
PARA GURU MEKAH
Serangan Sayyid ‘Utsman terhadap Naqsyabandiyyah menyertai publikasi
sebuah fatwa menentang Sulayman Afandi oleh Ahmad Dahlan pada
pengujung 1883 atau awal 1884. Bertujuan menjawab sebuah pertanyaan
resmi yang diajukan oleh Gubernur Utsmani mengenai kebenaran sebuah
risalah yang dihasilkan oleh Sulayman, fatwa ini mengutuk ajaran-ajaran
Sulayman dan mendesak agar pamflet-pamfletnya dimusnahkan dari muka
Bumi “dengan cara apa pun”.98 Fatwa ini kemudian dikirimkan kepada Sultan
Langkat dan Deli di pesisir utara Sumatra, serta kepada wakil utama Sulayman
di Langkat, ‘Abd al-Wahhab “Jawa”.99 Khalidiyyah sudah berkuasa di banyak
istana di dunia Melayu, sebagaimana jelas dari kian menonjolnya cap yang
memuat nama Khalidi. Bahkan, pernah dinyatakan bahwa hal ini bisa jadi
terkait dengan transmisi berkelanjutan teks-teks Dagistani yang berwibawa
ke wilayah Kalimantan–Filipina Selatan dan meningkatnya popularitas kisah-
kisah yang berhubungan dengan Perang Rusia-Turki 1877–78.
Semua hal seputar urusan Sulayman didokumentasi dalam sebuah
pamflet susulan yang dikeluarkan oleh Dahlan di percetakan negara yang
baru didirikan. sesudah kata pengantar Gubernur, Dahlan melaporkan bahwa
Sulayman telah menulis risalah mengenai “kebiasaan-kebiasaan Khalidiyyah”
yang mengolok-olok tiga rival: Musa Afandi serta Yahya Bey al-Taghistani dan
putranya, Khalil Pasha al-Taghistani. Sulayman diduga telah mengejek kerja
keras yang mereka ajarkan, seperti dalam bait yang tajam berikut:
Seperti orang jangak mereka menari,
padahal seperti keledai mereka berbunyi.
Mengira diri di jalan penuh restu,
dibanding peragu pun mereka lebih keliru.
Pada gilirannya Dahlan pun memulai sebuah paparan yang menunjukkan
kesahihan tarian Sufi dan kemungkinan bahwa Nabi mengajarkan dzikr
yang disertai gerakan-gerakan tertentu. Oleh isebab itu, dia mendesak
agar risalah Sulayman dimusnahkan dan agar sang syekh itu bertobat. Para
ulama terkemuka Mekah mendukung Dahlan. Akibatnya, Sulayman dipaksa
menyerahkan seluruh otoritas kepada Khalil Pasha. Ini yaitu hasil yang
diterima dengan senang hati di Deli dan Langkat, tempat empat wakil Khalil
Pasha telah memiliki pengaruh terhadap para sultan.
Pastinya ada hal lain dalam perkara di atas ketimbang sekadar pertanyaan
kebenaran doktriner. Sulayman yaitu pecundang utama dalam sebuah
pertempuran memperebutkan monopoli atas para calon Naqsyabandi dari
negeri-negeri Utsmani dan Asia Tenggara.103 Sebenarnya baik dirinya maupun
Khalil Pasha sudah terlibat dalam perang kata-kata dengan menyebarkan
pamflet-pamflet mereka sendiri, meski tak satu pun dari pamflet-pamflet ini
diproduksi di Mekah di percetakan yang diklaim Dahlan akan mengalahkan
dunia dalam menghasilkan teks-teks berbahasa Arab, Turki, dan Melayu.
Sebuah subcabang dari percetakan Mekah ini bahkan memproduksi
karya-karya Jawi di bawah Da’ud al-Fatani, Ahmad b. Muhammad Zayn al-
Fatani (1856–1908).105 Jika belum memperoleh keterampilan di Singapura,
al-Fatani pasti beradaptasi dengan cepat pada profesi ini di Kairo, tempat dia
pernah singgah pada akhir 1870-an, memeriksa buku-buku seperti Hidayat al-
salikin karya al-Falimbani yang pada 1881 merupakan karya Melayu pertama
yang dipublikasikan oleh percetakan negara. Karya ini memberikan berbagai
hubungan yang membuatnya diangkat di Mekah, tempat dia memastikan
bahwa serangkaian karya-karya Jawi penting diterbitkan, terutama karyanya
sendiri dan rekan-rekannya sesama orang Patani.
Penerbitan cetak yaitu sarana ideal untuk mereproduksi pandangan-
pandangan yuridis, dan penawaran Dahlan mengenai Sulayman tak lain
hanyalah salah satu yang diproduksi dengan mempertimbangkan khalayak
Jawi. Pada 1892 sebuah kompilasi dwibahasa berisi fatwa-fatwa para tokoh
mazhab Syafi‘i Mekah diterbitkan. Diberi judul Muhimmat al-nafa’is (Permata
Berharga), terbitan ini menyertakan komentar pinggir oleh Da’ud al-Fatani.
Namun, selain perdebatan mengenai peringatan tahunan wali dan sebuah
pertanyaan tunggal mengenai aturan-aturan dzikr, berdasar teks ini kita
akan tergoda untuk menyimpulkan bahwa hanya terdapat sedikit perdebatan
publik mengenai praktik Sufi di Asia Tenggara, setidaknya dibandingkan
jumlah pertanyaan mengenai pewarisan dan sunat.108 Sebagian besar karya
yang dicetak Ahmad al-Fatani yaitu terjemahan dari para guru masa lalu
seperti Ibn ‘Ata’ Allah, ketimbang pamflet-pamflet militan karya Ibn Sumayr,
Ahmad Dahlan, atau Sayyid ‘Utsman. Namun, percetakan Mekah yang
ini juga tidak menerbitkan buku-buku panduan Sufi yang disajikan secara
sembrono sebagaimana yang masih dipublikasikan di Singapura dan Bombay.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai apa dan di mana para syekh Jawi
menerbitkan karya mereka.
Ketahuilah, wahai Murid, bahwa kitab-kitab mengenai tarekat itu banyak, jelas,
dan terkenal. (Muhammad al-Khani, al-Bahja al-saniyya, Kairo, sekitar 1901)
Untuk memahami proses bagaimana Naqsyabandiyyah berhasil mengungguli
Syattariyyah di Asia Tenggara, kita harus mengingat peran menonjol yang
dimainkan oleh percetakan, sebuah peran yang melengkapi keunggulan
Naqsyabandiyyah yang lebih harfiah di Jabal Abi Qubays. Seorang cendekiawan
terkemuka mengenai percetakan Melayu menyatakan bahwa banyak literatur
ibadah Sufi pastinya ada dalam bentuk tercetak di Asia Tenggara—termasuk
buku-buku doa, wasiat, dan teks-teks azimat. Ini yaitu gambaran yang juga
kita jumpai di tempat-tempat lain sekaligus menunjukkan bahwa penerimaan
percetakan mungkin bergantung pada beragam jenis khalayak pembaca yang
saling terhubung yang ada dalam berbagai persaudaraan Sufi.110
Kaum Naqsyabandi Suriah sangat aktif dalam menyebarkan warisan
al-Sya’rani dan menerbitkan buku-buku panduan mereka di Istanbul,
Beirut, dan Kairo. Buku-buku panduan seperti Jami’ al-usul fi l-awliya’
(Kompilasi Asal Usul para Wali) yang disusun secara alfabetis karya Ahmad
b. Mustafa al-Kumushkhanawi (sekitar 1812–sekitar 1893) dan Bahja al-
saniyya (Kegembiraan yang Cemerlang) karya ‘Abd al-Majid b. Muhammad
al-Khani, yang menjelaskan berbagai teknik dan terminologi Naqsyabandi,
tersedia secara luas dan berhasil sampai ke Asia Tenggara lewat tangan
jemaah haji yang pulang.111 Demikian pula karya-karya para guru Asia
Tenggara. Ahmad Khatib dari Sambas pastinya memanfaatkan percetakan,
dan 1870 mengeluarkan publikasi buku pegangan pendeknya, Futuh al-
’arifin (Kemenangan-Kemenangan Kaum Berilmu). Diselesaikan di Mekah,
dan disalin oleh muridnya yang orang Palembang, Muhammad Ma’ruf,
cetakan Singapura ini menampilkan penafsirannya terhadap ritual-ritual
Naqsyabandi dipadukan dengan silsilah tarekatnya sendiri, Qadiriyyah wa-
Naqsyabandiyyah.
Meskipun ada berbagai keberatan diajukan mengenai silsilah dan kualitas
litografinya yang rendah, anggota tarekat yang besar menjadi pasar terkurung.
Sebuah versi tipografis yang jauh lebih rapi dari karya ini yang disalin
oleh Muhammad al-Bali mendapat tempat dalam Miriyya Press di Mekah
pada 1887/88, yang dijuduli ulang menjadi Fath al-‘arifin (Kemenangan Kaum
Berilmu). Pada Futuh al-‘arifin cetakan 1870, nama-nama para penerjemah
dan penyalin yang dipekerjakan di Singapura menyebutkan setidaknya
seorang Khalidi. Ini barangkali berkat usaha keras Isma‘il al-Minankabawi,
yang Mawahib rabb al-falak (Anugerah-Anugerah Tuhan Pemilik Langit)
karyanya muncul di Penang pada 1868 dengan sponsor seorang pemilik toko
dari Palembang. Para patron semacam itu pastinya tidak menentang usaha
mengambil keuntungan personal dari penyebaran pesan-pesan Khalidi—
saat , misalnya, mereka membiarkan tetap ada kesan bahwa Syair Mekah dan
Madinah yaitu karya Syekh Isma‘il, bukan hasil suntingannya pada 1834
terhadap teks Da’ud dari Sunur.
Aktivitas cetak ini tidak berarti bahwa ikatan pribadi yang dibentuk
melalui transmisi teks tertulis sekarang sudah menjadi bagian masa lalu.
Futuh al-‘arifin akan sampai ke Sumatra Barat serta Jawa Barat dalam bentuk
salinan-salinan tercetak dan juga akan berfungsi sebagai basis bagi salinan-
salinan yang ditulis tangan. Seorang penjual buku dari Palembang yang
tinggal di Lampung diketahui menyimpan sebuah silsilah tulisan tangan dari
utusan Ahmad Khatib, Muhammad al-Bali. Tidak berarti dengan adanya
percetakan, tarekat-tarekat pesaing yang memiliki lebih sedikit koneksi
internasional menjadi lenyap sesaat . Bukti dari 1890-an menyatakan
sebaliknya, bahwa tarekat-tarekat lokal pesaing menggunakan strategi yang
sama. Tidak hanya ada rujukan terus-menerus terhadap para tokoh besar Sufi
secara lebih luas dalam Kayfiyyat khatm qur’an, juga terdapat petunjuk dzikr
dan reproduksi dua silsilah paling masyhur; yang satu Syattari, dan satu lagi
Sammani.
Volume-volume semacam itu sangat murah dibandingkan kitab-kitab
pengantar pesantren atau kitab-kitab rujukan dari Kairo.119 Selain itu, muncul
pula sekumpulan syair berorientasi tarekat seperti Syair hakikat (1867) yang
memberikan berbagai petunjuk kepada “semua anak Tuhan yang muda
maupun tua”, dan Syair Mekah dan Madinah (1869) yang dikemas ulang sekali
lagi sebagai sebuah panduan haji.120 Contoh lainnya yaitu Syair syariat dan
tarekat yang dulu kerap dijumpai, sebuah risalah 25 halaman berisi nasihat
berima yang merenungkan proses penuaan dan pencarian pengetahuan
mengenai Ilahi, yang muncul kali pertama pada 1881.
Meskipun materi seperti di atas tidak mesti menunjukkan kekhasan
tarekat tertentu, namun rujukan yang ajek terhadap penolakan hal duniawi
menambah kesan umum bahwa ajaran tarekat tetaplah sahih dan aktual.
Harus diakui bahwa tarekat-tarekat yang berorientasi Mekah memainkan
peranan penting dalam mengomunikasikan modernitas, dengan penekanan
terhadap keserentakan, keseragaman, ketepatan larangan isebab pastinya tidak
ada kesepakatan mengenai hari apa saat ini di Mekah, Padang, dan Batavia.
Kita menyaksikan hal ini dalam perdebatan yang muncul di Sumatra Barat.
Kaum Syattari setempat, yang meyakini penggunaan mata telanjang untuk
menghitung permulaan bulan kamariah, ditantang oleh kaum Naqsyabandi.
Kemungkinan besar mereka yaitu para pengikut Khalidi dengan hubungan
kepada Syekh Ahmad Lampung (lihat Gambar 8), yang membanggakan
penggunaan cara mereka yang “ilmiah” terhadap perhitungan (hisab) atau
tabulasi yang tersedia di toko-toko buku yang kerap mereka kunjungi.
Meskipun hanya sedikit teks yang lestari, percetakan tentu memainkan peranan
dalam perdebatan antara para syekh yang bersaing di jalanan Singapura,
Palembang, dan Batavia. Seperti halnya di Mekah yang menjadikan pamflet
sebagai sarana dalam usaha para pengarangnya untuk mendaki ketinggian
Jabal Abi Qubays. Walaupun begitu, meyakinkan publik bukanlah satu-
satunya kunci keberhasilan isebab patronase kerajaan yaitu hal penting di
seluruh wilayah Utsmani. Banyak hal juga terjadi di Hindia Belanda, dan
selain pengesahan yang dicarinya dari jantung kecendekiawanan Imperium
Utsmani, Sayyid ‘Utsman juga diuntungkan oleh hubungannya dengan
negara kolonial.
Hubungan Sayyid ‘Utsman dengan Belanda menyatu erat sesudah
salah satu elemen tarekat Qadiriyya wa-Naqsyabandiyya membantai para
pejabat Belanda dan pribumi di Cilegon, sebuah kota di Jawa Barat, pada
9 Juli 1888. sesudah itu, buku-buku Sayyid ‘Utsman mengenai tarekat
disubsidi oleh pemerintah. Ini mencakup pencetakan ulang Nasiha-nya,
Manhaj al-istiqama fi l-din bi-l-salama (Bimbingan Menuju Agama Membuat
Amalan yang Selamat) karyanya yang lebih lengkap dari 1890, dan sebuah
pengolahan ulang Wathiqa-nya yang disederhanakan dalam bahasa Melayu:
Arti tarekat dengan pendek bicaranya, pada 1891. Buku yang terakhir ini
menawarkan indikasi paling jelas mengenai sikapnya bagi khalayak Jawi.
‘Utsman menegaskan bahwa para mistikus sejati mengarahkan pujiannya
kepada Tuhan tanpa hasrat akan imbalan, di bawah bimbingan para guru
seperti Baha’ al-Din Naqsyaband dan ‘Abd al-Qadir al-Jilani, berkumpul di
rumah-rumah yang diwakafkan oleh para penyokong yang saleh. Para guru
ini juga menyusun banyak sekali buku, namun penyebarannya dibatasi agar
tidak membingungkan kalangan awam.
Seiring berjalannya waktu, banyak Sufi palsu menyusupi perkumpulan-
perkumpulan mereka. Guru-guru palsu pun bermunculan. ‘Utsman sangat
spesifik dalam hal ini, dengan mengklaim bahwa “empat puluh tahun terakhir”
telah menyaksikan munculnya banyak penipu rakus yang memanfaatkan nama
Naqsyabandiyyah. Namun, mereka bisa dikalahkan, sebagaimana banyak
cendekiawan “Mekah dan di tempat-tempat lain” sudah mengalahkan para
guru palsu berikut pengikut bodohnya. Pada titik ini ‘Utsman menuturkan
kasus “37 tahun” sebelumnya saat seorang Minangkabau (tak bernama)
datang ke Singapura dan mengklaim sebagai seorang Naqsyabandi hanya
untuk diungkap kepalsuannya oleh Salim b. Sumayr. ‘Utsman juga sadar akan
tindakan-tindakan “sekitar empat tahun lalu” yang dilakukan mentornya yang
tak disebut namanya, Ahmad Dahlan.
Walaupun Sayyid ‘Utsman didukung oleh subsidi negara, dia bukanlah
alat Belanda. Penentangan ‘Utsman terhadap tarekat mendahului ketertarikan
Barat kepadanya. Apa yang mendasari kritiknya pada masa yang lebih awal
itu? Sebagian jawabannya bisa ditemukan dalam persoalan silsilah isebab
pergulatan politik di Kota Suci kerap dibingkai sebagai perdebatan mengenai
klaim garis keturunan Nabi.125 Baik Dahlan maupun ‘Utsman yaitu para
penjaga cita-cita Sufi sebagaimana dilihat dari lensa seorang sayyid. Dahlan
yaitu seorang Khalwati terkenal dan penyebar Haddadiyyah, dan dia bahkan
disebut dalam salah satu karya Hadrami terkenal, Taj al-a‘ras (Mahkota para
Pengantin), sebagai keturunan ‘Abd al-Qadir al-Jilani.126 Begitu pula, Sayyid
‘Utsman tampaknya merupakan anggota ‘Alawiyyah, dan kakeknya yaitu
seorang guru di Mekah pada saat pendudukan Wahhabi.
Jika Snouck Hurgronje bisa dipercaya, ‘Alawiyyah, meski mengakui
kesahihan tarekat-tarekat, menempatkan diri mereka di puncak hierarki Sufi
maupun sayyid.128 Memang kaum ‘Alawi kerap disebut dalam teks-teks tarekat,
dengan orang-orang seperti ‘Abdallah b. ‘Alawi al-Haddad (1634–1720) dan
‘Abdallah al-‘Aydarus berdiri berdampingan dengan para khalifah dan ‘Abd al-
Qadir al-Jilani. Sayyid ‘Utsman juga menyebut-nyebut ‘Abd al-Qadir yang
diyakini sebagai wali dalam pamflet-pamfletnya sebagaimana dia perlu meraih
penerimaan gagasan-gagasannya dengan mengutip para cendekiawan Jawi,
dari masa lalu dan masa kini. Mereka ini termasuk Muhammad Arsyad al-
Banjari dan belakangan, Nawawi dari Banten (1813–97), yang oleh Snouck
dalam magnum opus-nya digambarkan sebagai seorang teladan Sufisme “etis”
atau bahkan “ilmiah” yang rendah hati.
Pada waktu Snouck mengunjungi Mekah, Nawawi dari Banten sedang
memancangkan klaim sebagai otoritas akhir bagi banyak orang Jawa. Karya-
karyanya, yang ditulis di Mekah dan diterbitkan mulai Kairo hingga Surabaya,
tetap penting hingga hari ini. Sebaliknya, pamflet-pamflet Sayyid ‘Utsman
sekarang hampir menjadi sekadar barang aneh. Sementara ‘Utsman berusaha
menjangkau khalayaknya menggunakan bahasa Melayu, Nawawi memiliki
pandangan yang kurang menyenangkan terhadap bahasa ini sebagai wahana
kecendekiawanan. Namun, ini tidak berarti bahwa Nawawi menekankan
ijazah dengan mengorbankan akar Jawi-nya, isebab alih-alih melampaui
jemaah Jawi, dia tetap merupakan sosok penting di dalamnya, dan gayanya
masih dianggap lebih bisa dipahami oleh khalayak Indonesia.131 Gaya bahasa
Arab serupa tampaknya juga memastikan penerimaan karya-karya ‘Abd al-
Hamid dari Kudus, yang juga aktif di Mekah dan mulai mencetak karya-
karyanya di Kairo pada 1891.
Tren ini tidaklah universal di kalangan ulama Jawi. Kecendekiawanan
Ahmad al-Fatani dan Zayn al-Din al-Sumbawi yang masih hidup, misalnya,
jelas menunjukkan rasa bangga terhadap penggunaan bahasa Melayu. Meski
demikian, Nawawi masih mewakili titik akhir sebuah golongan dalam tradisi
tekstual yang lebih luas yang telah kita diskusikan dalam bab-bab ini. Tata
letak kitab-kitabnya yang padat, dipengaruhi percetakan tipografis Mekah
dan Kairo, menunjukkan hal ini. Ruang untuk memberikan anotasi antarbaris
sangatlah kecil, dan bagian pinggirnya, jikapun kosong dari komentar ataupun
respon atas komentar sebelumnya, nyaris tidak cukup lebar untuk memuat
catatan. Dengan demikian, karya ini dimaksudkan untuk dimengerti secara
langsung, dan oleh pembaca tingkat lanjut.
Akan namun , pada 1900, bidang ini pastilah tidak sepenuhnya berada di
tangan orang-orang “putihan”, baik yang terinspirasi tarekat ataupun yang
memiliki keyakinan yang disebut “ilmiah”. Gema benturan terus-menerus
terdengar antara ortodoksi terkait tarekat yang belakangan menyatakan diri
sendiri dengan berbagai praktik Islam lokal lainnya. Praktik yang disebut
terakhir ini akan terus ada di wilayah yang disebut Belanda sebagai “Pulau-
Pulau Luar” hingga abad kedua puluh. Namun, pada saat itu, sebuah retakan
lain yang bertahan lebih lama muncul di ujung barat Nusantara. Sekali lagi,
pertanyaan mengenai Sufisme tarekat akan dikaitkan dengan keadaan Islam
di kalangan para pemeluknya.
Dengan meningkatnya penetrasi ekonomi negara-negara penerus Inggris
dan Belanda di Nusantara secara lebih luas pada abad kesembilan belas, kita
melihat sebuah pergeseran terakhir dalam kisah Jawi. Islam Indonesia, yang
dalam beberapa kasus tertentu didukung ekonomi pribumi yang berkembang,
menjauh dari ortodoksi yang diatur istana menuju hubungan yang lebih dekat
dengan Mekah dan Timur Tengah melalui perantara para guru independen.
Dalam beberapa contoh, baik berkat perang maupun perdamaian, para
guru agama independen ini mampu berjaya, terutama di tempat-tempat yang
paling terhubung dengan perdagangan global, dan mampu beradaptasi dengan
berbagai mode baru organisasi Sufi yang menyaksikan adopsi tarekat-tarekat
yang disukai di Imperium Utsmani. Pada akhir abad kaum Naqsyabandi
khususnya menjajaki cara-cara baru untuk memperluas pengikut mereka. Di
antara cara-cara ini, pengajaran-pengajaran singkat yang agak kontroversial
dan penyebaran bahan-bahan cetakan yang semakin banyak tersedia bagi
kalangan pesantren. Tentu saja terdapat perlawanan terhadap tren ini,
terutama dari elite Arab dan kongsi ekonomi mereka yang terkait dengan
para penguasa Barat di Nusantara, yang pada akhirnya mulai bertanya-tanya
apa sebenarnya yang mereka kuasai.
Buku ini telah mempertanyakan hubungan yang sering dinyatakan antara Sufisme tarekat dan perpindahan agama ke dalam Islam di Asia Tenggara. Saya telah menyatakan bahwa tidak ada bukti pasti bahwa
yang satu merupakan mesin bagi yang lain. Sebaliknya, Sufisme muncul (dan
kemudian kerap muncul kembali) sebagai sebuah isu doktriner yang naik ke
permukaan saat ortodoksi negara perlu disesuaikan kembali agar selaras
dengan standar-standar “Mekah”. Pertanyaan semacam itu menciptakan
sebuah peran dalam kisah perpindahan agama yang diterima bagi para tokoh
seperti ‘Abd al-Ra’uf, Syekh Yusuf, dan murid-murid mereka serta memberikan
ruang penjelajahan pribadi dalam sistem pesantren yang berkembang pesat
bagi sebagian populasi.
Begitu memasuki abad kesembilan belas, kita mulai memiliki gambaran
lebih jelas mengenai bentuk-bentuk aktivitas tarekat terpelajar tertentu
sebelum status para penyokong mereka merosot—sebagaimana yang sangat
sering terjadi—menjadi bawahan bangsa Eropa. Hal ini tidak menandai
berakhirnya berbagai program reformasi dari masa sebelumnya. Sebaliknya,
tampaknya beberapa penafsiran tertentu terhadap Sufisme, dan terutama
yang bisa mengklaim hubungan dengan Mekah pascalepas dari cengkeraman
Wahhabiyyah, menjadi penggerak utama perubahan keagamaan. Ini paling
jelas terbukti di Jawa. Di sana, terdapat ketidakpastian yang mendalam
mengenai sekolah-sekolah serta guru-guru mana yang harus menerima
keuntungan kebijakan non-intervensi oleh negara kolonial yang menjadi
pewaris kekuasaan.
Berbagai kontroversi dalam lingkaran-lingkaran terpelajar ataupun
populer ini menjadi pasar bagi produk-produk percetakan muslim di
Singapura, dan memunculkan beberapa pertanyaan yang menuntut kita
untuk memberikan perhatian lebih saksama terhadap cara berbagai bangsa
menjadi familier dengan literatur cetak. Dalam perjalanan proses ini, Islam
menjadi semakin tertanam dalam apa yang disebut ruang publik muslim,
dengan akibat bahwa pengawasan ortodoksi tarekat itu sendiri menjadi
sebuah persoalan kolonial.
Sebagian besar dari proses hubungan dengan Timur Tengah dan
pelembagaan yang tengah berlangsung untuk meniru struktur pembelajarannya
terjadi tanpa dikenali oleh orang-orang Eropa. Walaupun begitu, Belanda
tidaklah sepenuhnya abai. Diktum yang kerap dirujuk bahwa mereka
hanya tertarik pada perdagangan—dan isebab itu sangat berbeda dari para
pendahulu mereka dari Iberia—bisa dikatakan menutup jalan bagi banyak
sekali misi yang saling bersaing yang masuk ke usaha kolonial Belanda.
Meskipun bermula sebagai perusahaan transnasional pertama di dunia,
namun , seperti akan kita lihat di paruh kedua buku ini, warisan Kristen
memainkan peranan dalam membentuk berbagai gagasan mengenai peran
agama dalam konteks kolonial. berdasar alasan-alasan ini , kita
mengalihkan perhatian terhadap berbagai pandangan fundamental mengenai
Islam pada era perusahaan-perusahaan dagang. Ini akan diikuti oleh
pembahasan yang saling menyilang mengenai berbagai bingkai metropolitan
yang digunakan di kelas-kelas kolonial pada abad kesembilan belas dan tulisan-
tulisan misiologis berbasis lapangan yang terkait. Dengan melakukan hal ini,
saya hendak menunjukkan bahwa kadang-kadang terdapat keterputusan
yang signifikan antara apa yang diketahui di lapangan dan pengetahuan yang
disebarkan untuk khalayak Eropa.
Miskit int Moors een kerck.
Masjid, dalam bahasa Moor berarti sebuah gereja.1 (Frederick de Houtman,
“Cort Verhael”, 1601)
Ketertarikan Belanda terhadap Hindia Timur paling bisa dipahami sebagai konsekuensi penaklukan Belanda oleh wangsa Habsburg, yang
kepentingan dagangnya menghubungkan perairan biru langit Filipina dengan
langit muram Negeri-Negeri Dataran Rendah. sesudah perang, Protestan
merebut kemerdekaan. Perdagangan rempah-rempah Timur dipandang sebagai
dukungan potensial bagi republik yang baru. Hal ini dibuat jelas oleh mantan
juru tulis uskup Goa dari Portugis, Jan Huygen van Linschoten (1562–1611),
yang kembali pada 1592 dengan berita mengenai sebuah rute ke Hindia. Dia
menjelaskannya dalam Itinerario-nya yang bergambar dari 1595–96.2
Seperti pesaingnya di seberang Selat, Belanda meluncurkan ekspedisi-
ekspedisi ke kepulauan rempah yang disebut-sebut dalam dongeng. Ekspedisi
ini dilaksanakan misi demi misi dan dibiayai oleh perorangan dari seluruh
Belanda dan beberapa kepangeranan di sekitarnya, dengan kerja sama terang-
terangan dari negara. Tujuannya yaitu mengalihkan hasil panen cengkeh,
bunga pala, dan pala yang berharga tinggi dari Uni Iberia (1580–1640) yang
mengucilkan para pedagang Belanda dari pesisir Portugis.
Kembalinya ekspedisi 1959–97 yang sangat kelelahan di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman (1565–99) dipandang sebagai pertanda
datangnya hal-hal baik, meski hanya membawa pulang sedikit muatan
lada dari Banten sesudah gagal mencapai Kepulauan Maluku. Ekspedisi ini
menghasilkan sebuah buku mengesankan, Prima pars (Buku Pertama) atau
Descriptionis itineris navalis in Indiam Orientalem (Gambaran Perjalanan Laut
di Hindia Timur) karya Willem Lodewijckszoon, yang terbit pada 1598. Buku
ini dipenuhi penggambaran rempah-rempah yang akurat beserta gambar-
gambar yang telah disesuaikan mengenai penduduk yang bisa dijumpai dari
Tanjung Harapan hingga Bali: orang-orang Arab, Persia, bahkan orang-orang
Tionghoa berserban, belum lagi sang “Gubernur” Banten yang didampingi
oleh “Uskup atau Chief Ceque” yang dikirimkan dari Mekah lewat Jeddah.3
Sampai di sana hanyalah separuh dari pertempuran. Para penguasa
antarpelabuhan-pelabuhan dagang, yang mengendalikan perdagangan
rempah-rempah Asia, kerap mendengarkan nasihat para “Uskup” dan mereka
tidak hendak menyerahkan ruang dalam pasar mereka, meski orang-orang
“Frank” (Feringgi) yang terakhir, dan agak berbeda, berusaha menyenangkan
mereka dengan menunjukkan pas berbahasa Arab yang dicetak dengan
sembrono. Para sultan Aceh, yang telah mencoba menggunakan hubungan
dengan Utsmani untuk melawan orang-orang Portugis di Malaka, sangat
bermusuhan terhadap pendirian lebih banyak lagi tempat-tempat perdagangan
Eropa, sebagaimana sikap orang-orang Portugis sendiri.
Kita bisa memercayai laporan nakhoda Inggris John Davis tentang
Cornelis de Houtman yang kembali ke kawasan ini pada 1599 menumpangi
salah satu dari lusinan kapal yang meninggalkan Holland dan Zeeland
pada masa ekspedisi 1598–1600 yang dilakukan oleh Jacob van Neck.
Ketidakbijaksanaannya membuat dia terbunuh di istana Ri’ayat Syah al-
Mukammal dari Aceh (berkuasa 1589–1604).4 Adik Cornelis, Frederick
(1571–1627), yang juga turut dalam pelayaran itu, menuturkan cerita
dengan versi yang berbeda. Frederick menyalahkan persekongkolan yang
direncanakan antara syahbandar dan sultan. Frederick memiliki lebih banyak
waktu untuk mencari tahu apa yang telah terjadi sembari menjalin sejenis
hubungan dengan orang-orang Aceh. isebab dipenjara selama hampir dua
tahun, dia terpaksa mengakrabkan dirinya dengan bahasa Melayu. Belakangan
keahliannya itu dia gunakan untuk menyusun sebuah kamus