Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah islam di indonesia 4. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 4

 


tempat dia 

menarik perhatian putra-putra Susuhunan. Dia menganugerahkan jubah 

kehormatan kepada salah seorang pangeran sebagai wakilnya dan tinggal di 

rumah seorang pangeran lain, tempat dia mengeluarkan topi dan pakaian 

untuk murid-murid potensial lainnya. Baru saat  Bupati mengetahui perkara 

ini, Susuhunan menekan tarekat ini . ‘Abd al-Qadir kemudian ditangkap 

di Semarang.

Seperti yang akan kita lihat (di Bab 8), catatan-catatan yang dibuat oleh 

Snouck Hurgronje pada sekitar 1890 menunjukkan bahwa banyak tokoh 

Naqsyabandi Jawa menjadi penganut Syattariyyah sebelum petualangan 

mereka ke luar negeri. namun , mereka berbeda dari kaum proto-Naqsyabandi 

di Sumatra isebab  saat  kembali mereka kerap mengajarkan ritual-ritual 

Khalidiyyah bersama-sama dengan ritual Syattariyyah. Selain itu, para syekh 

Syattari dan Naqsyabandi menghadapi lawan yang sama berupa ajaran-ajaran 

yang kerap dikaitkan dengan Wali Sanga. Mereka ini yaitu  para penganut 

yang oleh Kartawidjaja disebut “Tarek Moehamaddia”, meskipun mereka 

lebih menyukai nama “Akmaliyyah” sebagai sekadar sebuah tingkatan dalam 

sebuah hierarki praksis bayangan. 

Pada pertengahan abad khususnya di Jawa Tengah, guru-guru seperti 

Hasan Mawlani (alias Kiai Lengkong) dan muridnya Nur Hakim berhasil 

memperoleh pengikut dalam jumlah besar. Nama pertama, yang pesantrennya 

berada di sekitar Kedu, di Kuningan, memiliki metode yang sangat keras dalam 

mengajar murid-muridnya. Menurut Jan Isaäc van Sevenhoven (w. 1841), 

yang mengunjungi pesantren itu pada 1839, Kiai Lengkong mengajari murid-

muridnya agar makan dan tidur sekadar untuk bertahan hidup. Mereka juga 

menghabiskan sebagian besar waktu untuk berbaring tengkurap membaca 

teks dengan cahaya yang masuk lewat lubang-lubang kecil di dinding kamar 

komunal mereka.

Kiai Lengkong, yang oleh van Sevenhoven diklaim sebagai seorang haji, 

pada akhirnya tertarik pada putra-putra kelompok elite Jawa di tempat-tempat 

sejauh Surabaya. Hal ini membangkitkan kemarahan para guru pesaing 

sekaligus mengganggu para pejabat Belanda yang tidak mengerti. Sebagian 

dari guru-guru ini , yang memiliki koneksi priayi, menggambarkannya 

sebagai bahaya baru bagi negara; persis seperti yang diramalkan “J.L.V.”, 

pengamat Belanda yang dikutip di atas, akan menjadi nasib Agama Dul. 

Maka, Kiai Lengkong pun dilaporkan kepada otoritas Belanda pada 1842 

dan dipaksa hidup dalam pengasingan di Tondano, Sulawesi Utara.52

Hubungan antara murid dari para guru semacam itu dan pengikut rival-

rival mereka yang lebih memiliki jaringan secara global tidak selalu tegang; 

bahkan pihak yang disebut terakhir ini sendiri kadang-kadang juga dicurigai. 

Hal demikian terjadi pada Ahmad Rifa’i, yang bentrok dengan para pejabat 

yang diejeknya sebagai “padri” yang tidak becus pada 1850-an, dan yang secara 

retrospektif dianggap sebagai seorang Naqsyabandi dalam laporan Belanda 

pada 1881.53 Banyak hal bergantung pada konteks lokal dan hubungan pribadi, 

seperti disebutkan dalam catatan seorang Akmali yang aktif di Jawa pada 1880-

an.berdasar  laporan Akmali ini, yang dikenal sebagai Mas Rahmat, yang 

menyatakan ayahnya yaitu  seorang sahabat Diponegoro, mampu bergerak 

bebas di tanah-tanah perdikan di Jawa dan Madura, meskipun jelas bahwa dia 

lebih dekat dengan para priayi yang tidak puas ketimbang dengan kaum Sufi dan 

para ahli fikih yang dia klaim menghormati dirinya. Meski Mas Rahmat yang 

kaya itu memang dihormati oleh banyak orang, sulit untuk memercayai seluruh 

klaimnya. Pastinya kita harus meragukan bahwa para cendekiawan Madura 

memintanya menafsirkan Bayan al-sirr (Penjelasan Rahasia) dan Tuhfa.55 Pada 

masa itu mereka dianggap sebagai bagian dari golongan para ahli tata bahasa 

terbaik di Nusantara, dan ajaran tarekat tidak mungkin tak mereka ketahui. 

Sebagian pasti menganggap Mas Rahmat sebagai orang kaya baru. Lagi pula, 

dia belum pernah melaksanakan haji, yang dianggap merupakan tanda sebagai 

seorang guru Islam yang sepenuhnya berkomitmen di kalangan elite desa-desa 

perdikan, pondok-pondok independen, dan warga  luas di luarnya.

TUJUAN-TUJUAN HAJI

Sementara orang-orang yang ingin jadi wali seperti Mas Rahmat bisa 

menemukan keramahan di pondok-pondok sebagaimana tarekat-tarekat 

yang lebih baru menyusupi jejaring priayi, hubungan dengan Timur Tengah 

yang menopang para guru tarekat-tarekat ini , sebagaimana bakal kita 

lihat, menghasilkan tingkat ketegangan tertentu dalam warga  Belanda. 

Para cendekiawan metropolitan seperti Salomon Keijzer (1825–68) dari 

Delft menunjuk Kairo sebagai sumber perubahan pada 1860-an, mungkin 

saat  mengetahui bahwa silabus pesantren pada saat itu memasukkan sebuah 

komentar atas Umm al-barahin yang disusun oleh Ibrahim al-Bajuri, Syekh al-

Azhar antara 1847 dan 1860.56 Sebuah pondok khusus sudah didirikan untuk 

orang-orang Jawi di Kairo, namun  pondok ini  dihuni oleh campuran 

murid-murid dari Arabi Selatan dan “India”. Enam murid yang pada 1871 

menjadi penghuni pergi pada 1875, dan tidak akan ada lagi kehadiran Jawi 

yang menonjol hingga 1880-an, yang merupakan poin yang akan kita bahas 

kembali.

Sedikit orang yang setia menuju Kairo pada tahun-tahun itu—di 

antaranya Nawawi dari Banten dan Ahmad al-Fatani (lihat di bawah)—pusat 

yang penting tetaplah Mekah.58 Peziarah dan calon cendekiawan dengan 

jumlah yang terus bertambah berdatangan ke Hijaz. Transportasi kapal 

uap sudah tersedia dengan rute yang relatif aman. Selama tur ke pesantren-

pesantren pesisir utara pada 1885, L.W.C. van den Berg mencatat bahwa dia 

nyaris tidak bertemu dengan ulama yang belajar di Kairo. Mekah yaitu  kiblat 

yang sebenarnya. Para cendekiawan yang menghabiskan waktu bertahun-

tahun di sana umumnya fasih berbahasa Arab dan, dalam pandangan van den 

Berg, yaitu  “orang-orang maju”.

saat  kembali, banyak haji tertarik menjadi cendekiawan-cendekiawan 

Jawi terkemuka atau mendukung perkumpulan-perkumpulan para guru 

Naqsyabandi. Sebaliknya, pada 1899 hanya ada seorang haji dari seluruh 

pengikut Nur Hakim di Banyumas yang diperkirakan mencapai tiga ribu 

orang. Baik Nur Hakim maupun para wakilnya tidak pernah ke Mekah.60 

Tampak bahwa haji menempatkan diri seseorang di atas rekan-rekan mereka. 

Dalam sebuah puisi satir, ditulis pada 1867, Raden Muhammad Husayn dari 

Krawang berkali-kali mengingatkan putra-putra kalangan elite “Sunda dan 

Jawa” mengenai beban finansial haji, mengenai bahaya rampok di jalan, atau 

lebih buruk lagi berakhir menjadi kuli di Singapura, Jepang, atau Malabar. 

Sementara itu, dia menasihati beberapa orang yang berhasil kembali agar 

menekuni kajian agama dan tidak bertindak layaknya guru bagi seluruh 

warga .

Entah mereka kembali sebagai orang terpelajar atau terhormat, jelas 

bahwa beberapa  besar orang yang terlibat dalam hubungan baru dan lebih 

intensif dengan Mekah ini merajut beragam sekolah Islam di kawasan ini 

menjadi lebih erat. Pertumbuhan fenomenal terjadi di pesantren-pesantren 

Jawa, diperkuat oleh kehadiran para ahli tata bahasa dan ilmu syair di Madura, 


dan juga beberapa  ahli fikih dari Sumbawa. Pada 1850-an sesuatu pastinya 

menarik lebih banyak murid dari Jawa Barat, yang sebelumnya lebih menyukai 

perjalanan ke barat laut ke Aceh, Kedah, atau bahkan Patani (sebuah situs 

penting bagi para cendekiawan dari semenanjung hingga permulaan abad 

kedua puluh).

Ini bukan berarti bahwa perjalanan-perjalanan di Malaya terhenti. 

Jaringan Sumatra–Malaya tetap hidup, bahkan sesudah  Belanda memulai 

tiga dekade usaha mereka untuk menaklukkan Aceh pada 1873. Persilangan 

kedua jalur bukanlah Batavia-nya Belanda, melainkan Singapura-nya Inggris. 

Di sana jemaah haji, ahli fikih, dan Sufi bisa bertemu. Seperti Sumatra dan 

Jawa, Singapura menjadi saksi perselisihan antara para pendukung berbagai 

penafsiran hukum dan Sufisme yang saling bersaing. Pada awal 1850-

an Isma‘il al-Minankabawi dimuliakan di Penang, Singapura, Riau, dan 

Kedah. Ini membuat murka Salim b. Sumayr, yang meyakini bahwa orang 

Minangkabau itu membaiat orang-orang ke dalam Naqsyabandiyyah tanpa 

persiapan sebelum membawa mereka kembali ke Kota Suci. Menurut sesama 

orang Arab-nya, Sayyid ‘Utsman dari Batavia (1822–1914), Bin Sumayr 

bahkan memiliki catatan sanggahan terhadap Isma‘il yang dicetak dan beredar 

di Singapura pada 1852–53.64

Ini bukan usaha terakhir seorang Jawi mengumpulkan orang-orang 

cakap untuk keluarga tarekat-tarekat Naqsyabandi. Pada 1860-an seorang 

Kalimantan yang tinggal di Singapura, Ahmad Khatib dari Sambas (1802–

72), memadukan ritual-ritual Naqsyabandiyyah dengan silsilah Qadiriyyah; 

yang keduanya diklaim merupakan gerak maju dari Sammaniyyah. Dia 

menggalang dukungan dari Sumatra hingga Lombok di bawah wakil-wakil 

seperti Ahmad dari Lampung, Muhammad Ma’ruf di Palembang, dan 

Muhammad al-Bali. 

sesudah  kematiannya, jubah Ahmad Khatib diwariskan kepada wakilnya 

di Banten, ‘Abd al-Karim, yang bermukim di Singapura pada awal 1870-an. 

‘Abd al-Karim memperoleh banyak murid dari Jawa Barat hingga Madura. 

Pada 1889, misalnya, gabungan kota-kota Batavia, Tangerang, dan Buitenzorg 

memiliki sekitar  guru pesantren. Delapan di antaranya mengajarkan 

Sufisme tarekat kepada orang-orang dari semua kalangan, termasuk Komandan 

Manggabesar. Dari kedelapan guru ini , empat yaitu  Naqsyabandi yang 

terkait dengan Sulayman Afandi dan masing-masing memiliki rata-rata empat 

puluh murid. Angka ini disamai oleh dua “Qadiri” di Ciomas dan Citrap. 

Wakil ‘Abd al-Karim yang lain, ‘Abd al-Rahim al-Asy’ari dari Buitenzorg, 

mengklaim jumlah murid yang menakjubkan: enam ribu.

Kemudian dibacanya: Muhammadun basyarun la kal-basyari bal huwa kal-yaqut 

bayn al-hajari.68 (Kayfiyyat khatm qur’an, diterbitkan di Bombay 1298)

Muhammad yaitu  manusia yang bukan seperti manusia umumnya, melainkan 

seperti batu yakut di antara bebatuan.

Ada satu jenis batu yang akan terbukti sangat berguna bagi para propagandis 

muslim abad kesembilan belas saat  mereka mencari berbagai versi ortodoksi 

Mekah yang semakin seragam. Batu itu yaitu  batu kapur yang digunakan 

untuk mengecap halaman-halaman yang tak terhitung jumlahnya dengan teks 

menggunakan teknik baru litografi. Namun, pada akhir abad itu, tampaknya 

tak ada konsensus ilmiah mengenai dampaknya. Pada sebuah tur yang 

diadakan pada pertengahan 1880-an, cendekiawan Belanda van den Berg 

menganggap bahan-bahan cetakan di Jawa sebagai sekadar hadiah. Beberapa 

tahun kemudian, rivalnya, Snouck Hurgronje, membuktikan persebaran dan 

kegunaan bahan-bahan cetakan ini  sebagaimana dia mencatat terjadinya 

lonjakan penggunaan bahan cetakan dalam lingkaran pengajaran Mekah pada 

1885.

Dalam arti tertentu, sikap tidak peduli van den Berg mengantisipasi sebuah 

prasangka umum kecendekiawanan terhadap nilai historis percetakan muslim 

dan kurangnya minat untuk memeriksa teks-teks cetakan jika dibanding 

dengan bahan-bahan manuskrip, sebuah sikap yang akan kita diskusikan lebih 

jauh di bawah. Memang kaum Muslim tidak menggunakan cetakan seperti 

di Eropa Barat. Alasan untuk hal itu terutama yaitu  dianggap tidak bersifat 

religius atau irasional. Juga terdapat bukti bahwa tawaran tipografis orang-

orang Eropa dianggap hampir tidak bisa diterima dari sudut pandang estetis. 

Cukup menarik kiranya mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang-orang 

Asia Tenggara mengenai dokumen berbahasa Arab pertama yang dicetak 

di Leiden pada 1596, yang merupakan permohonan keamanan perjalanan 

dan perdagangan yang disusun oleh Frans van Ravelingen (Raphelengius, 

1539–97) untuk kapal-kapal yang berlayar menuju “pulau-pulau yang jauh 

dari perbatasan kami”. Kemungkinan besar permohonan itu tidak memiliki 

banyak dampak. Sebagaimana akan kita lihat, lebih dari dua abad kemudian, 

para misionaris di Singapura mengeluh bahwa persembahan mereka dianggap 

asing dan tidak menyenangkan.

Sebagaimana di India, terobosan besar untuk Asia Tenggara muncul 

dengan adopsi litografi, yang memungkinkan replikasi gaya-gaya kaligrafi 

yang disukai untuk teks Al-Quran. Mengikuti pola India, teknologi 

ini diwariskan oleh para perintis misi kepada para individu dengan alasan 

pencarian keuntungan sekaligus penyebaran agama mereka.73 Di Singapura, 

salah seorang pewaris semacam ini yaitu  penerjemah Munsyi Abdullah, yang 

mencetak sebuah edisi Sulalat al-salatin pada 1841.74 Orang-orang lain pun 

segera mengadopsi percetakan. Jika karya-karya yang secara eksplisit bercorak 

Islami belum bisa diadopsi, setidaknya untuk teks-teks yang diharapkan 

menarik minat khalayak Muslim. Raja ‘Ali Haji dari Riau (1809–73) mencetak 

karyanya, Hikayat Sultan ‘Abd al-Muluk di Singapura pada 1845. 

Materi-materi keagamaan pertama yang diproduksi secara massal 

muncul dari Palembang, tempat bahan-bahan itu dicetak oleh Kemas Hajji 

Muhammad Azhari, yang telah menghabiskan banyak waktu di Mekah dan 

namanya menyiratkan sebentuk hubungan tertentu dengan Kairo. sesudah  

memiliki percetakannya sendiri di Singapura pada 1848 dengan biaya f500, 

dia mendapatkan kembali uangnya dengan cepat saat  edisi Al-Quran-nya 

muncul pada 1854, yang harganya mencapai f25. Harga yang setara dengan 

biaya untuk membeli sebuah manuskrip yang disalin secara profesional.

Usaha Palembang ini segera ditiru di Surabaya, tempat Husayn al-Habsyi 

(w. 1893) memproduksi sebuah teks mawlid, Syaraf al-anam (Kemuliaan 

Umat Manusia), yang dijualnya seharga f15 pada 1853. Di kota tetangga 

Riau, percetakan litografis dimulai di Pulau Penyengat saat  Raja ‘Ali Haji 

menyusun penanggalan hari-hari baik serta panduan penggunaan bahasa.

Pada saat itu lingkungan Masjid Sultan ‘Ali di Singapura telah menjadi situs 

bagi beberapa  toko-percetakan di tangan orang-orang pesisir utara Jawa yang 

penawaran pertamanya terutama berasal dari tradisi Melayu-Muslim, yang 

dihasilkan oleh para juru tulis dari Kelantan dan Terengganu. Tulisan-tulisan 

al-Raniri dan para penerusnya terwakili dengan baik; Sabil al-muhtadin karya 

Arsyad al-Banjari dicetak pada 1859; dan Sirat muncul pada 1864.

Karya-karya al-Falimbani muncul pada 1870-an, namun  bukan mengenai 

Ghazalian. Di antara karya-karya pertama yang diproduksi di Singapura yaitu  

Bidayat al-mubtadi wa-’umdat al-awladi (Permulaan Sang Pemula dan Sandaran 

Anak-Anak), bukannya Bidayat al-mubtadi bi-fadl allah al-muhdi (Permulaan 

Sang Pemula dengan Anugerah Allah Sang Pembimbing) yang lebih tua, yang kali 

pertama muncul pada 1861 berkat dukungan Muhammad Arsyad b. Qasim 

al-Jawi. Tanda terbit pada edisi cetak ulang di Istanbul menyatakan bahwa 

karya ini  kali pertama diselesaikan di Mekah pada Juni 1838 oleh Yusuf 

al-Ghani al-Sumbawi. Mengingat keberadaan salinan-salinan manuskrip yang 

lebih awal, kemungkinan besar dia sudah mengajarkan kompilasi ini untuk 

beberapa waktu, dan dengan demikian menjadi sinonim dengannya. Lebih 

jauh, tampaknya edisi 1861 telah dikoreksi di Mekah pada 1854 oleh Sayyid 

‘Abd al-Rahman b. Saqqaf al-Saqqaf sebelum dikirimkan ke toko-percetakan 

di Singapura milik orang Palembang Anang b. Baqsin b. Hajji Kamal al-Din

Editornya lebih dari mungkin yaitu  pemilik kapal Hadrami dan 

saudagar Jawa terkemuka ‘Abd al-Rahman al-Saqqaf, yang mendirikan 

Alsagoff dan Rekan pada 1848 bersama putranya Ahmad (w. 1906), yang 

terlibat dalam pengangkutan ribuan jemaah haji ke Mekah.83 Bisa jadi bahwa 

teks ini  dirancang secara khusus untuk menarik minat para penumpang 

mereka. Sesuai dengan judulnya, Bidayat al-mubtadi membicarakan prinsip-

prinsip keyakinan serta sifat-sifat Tuhan dan para nabi-Nya, dalam konteks 

sebuah almanak yang menyertakan instruksi mengenai kesucian ritual dan 

makanan yang dilarang. 

Dalam edisi ini, al-Sumbawi secara bebas menambahi terjemahannya 

dengan pasase-pasase yang ditujukan kepada khalayak Jawi-nya. Misalnya, 

saat  dia menyebut bahwa sari buah dan santan kelapa termasuk jenis air 

yang tidak sah digunakan berwudu sebelum shalat, atau bahwa konsumsi atau 

pengorbanan binatang yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab dilarang 

atau setidaknya harus dihindari.84 Dia juga membicarakan, meski secara 

singkat, salah tafsir lokal terhadap ritual dan penggunaan bahasa “Jawi” untuk 

memanjatkan doa sementara bahasa Arab lebih disukai.

Bidayat pastinya merupakan sebuah kaitan yang setia terhadap 

kecendekiawanan yang lebih awal. Atau, juga disukai isebab  menawarkan 

hubungan dengan para cendekiawan Jawi elite masa itu. Kalau saja bukan 

isebab  perbedaan-perbedaan kultural antara orang-orang Sumbawa dan 

Bima, yang berbagi pulau dan tradisi kecendekiawanan Melayu yang sama, 

kita mungkin bisa mengaitkan Yusuf al-Ghani al-Sumbawi dengan ‘Abd al-

Ghani dari Bima yang termasyhur. Dalam Bidayat, kita mendapati sebuah 

produk yang khas Jawi. Dihasilkan oleh para cendekiawan dan juru tulis dari 

seluruh Nusantara, dan disokong oleh patronase Arab, di dalamnya terdapat 

teks yang secara eksplisit bercorak Islam yang dirancang untuk memiliki 

daya tarik yang luas. Terdapat beberapa teks semacam itu. Yang lain yaitu  

Kayfiyyat khatm qur’an (Cara-Cara Mengkhatamkan Al-Quran), yang muncul 

kali pertama pada 1877. Bunga rampai ini memberikan keuntungan 

finansial isebab  dicetak ulang, baik di Singapura maupun di Bombay, 

oleh sebagian orang yang terlibat dalam pencetakan Bidayat al-mubtadi di 

Istanbul. Dengan bagian-bagian yang beraneka ragam dan pemisah halaman 

yang meniru manuskrip berhias gambar, Kayfiyyat berisi doa-doa yang sesuai 

untuk berbagai ritual besar ataupun kecil dan menyertakan ringkasan Umm 

al-barahin yang disusun oleh guru Ahmad Khatib Sambas di Mekah, Ahmad 

al-Marzuqi.

Berbagai bunga rampai semacam Kayfiyyat kadang dijilid bersama buku-

buku panduan fikih, atau dengan volume-volume lain yang ditujukan untuk 

publik saleh yang kian banyak. Edisi Bombay Kayfiyyat (dan barangkali juga 

edisi Singapura yang asli dari 1877) dijilid dengan sebuah panduan haji yang 

dinukil dari Ihya’ ‘ulum al-din oleh Muhammad Zayn al-Din al-Sumbawi. 

Edisi ini merupakan kompilasi karyanya sendiri yang diawali dengan bagian-

bagian dari Umm al-barahin (pokok komentarnya sendiri dari 1888). Buku-

buku panduan semacam itu memainkan bagian dalam proses lebih luas untuk 

menyampaikan sebuah ortodoksi yang semakin didefinisikan dengan cetakan 

di kawasan ini. Patut dicatat bahwa penawaran percetakan-percetakan Melayu 

sejalan dengan peralihan sebelumnya ke arah penekanan yang jelas terhadap 

moralitas publik Ghazalian, meskipun karya-karya para Sufi spekulatif masih 

bisa ditemukan di perpustakaan-perpustakaan pribadi.90

Penyebutan cetakan ulang Bombay dan Istanbul sekaligus menunjukkan 

bahwa Singapura tidak lagi menjadi satu-satunya sumber teks-teks ini . 

Selain itu, ada pengaruh kondisi pasar. Sebagaimana diamati Proudfoot, 

basis komersial percetakan di Asia Tenggara sebenarnya yaitu  publikasi 

puisi dan hikayat. Pada 1870-an bertambah dengan produksi cerita-cerita 

populer, termasuk puisi Hamzah al-Fansuri dan kisah-kisah mukjizat dalam 

kehidupan Muhammad.91 Perkembangan ini tidak menyenangkan semua 

orang isebab  banyak santri tidak terlalu menyukai hikayat-hikayat populer.

Mereka bisa merasa lega dengan meningkatnya jumlah muatan yang secara 

eksplisit bercorak Islami yang diproduksi jauh di luar negeri, termasuk di 

Mekah. Juga dari percetakan-percetakan semacam itu berbagai serangan baru 

bisa diluncurkan.

Seorang kritikus gigih sekian lama menggunakan percetakannya 

sendiri untuk menyampaikan berbagai kekeliruan lawan-lawannya dan 

membombardir publik dengan koreksi-koreksinya. Kritikus ini yaitu  Sayyid 

‘Utsman, yang mulai memproduksi berbagai risalah di Batavia pada 1875

Dilahirkan di Batavia pada 1822, cucu ‘Abd al-Rahman al-Misri itu belajar di 

Mekah antara 1841 dan 1847 kepada ‘Abd al-Ghani dari Bima dan Ahmad 

Dahlan sebelum berusaha menciptakan hidup dan karier untuk dirinya di 

Hadramaut. Dia kembali ke Batavia pada 1862 dan tampaknya berusaha 

mengklaim posisi para pendahulu Jawi-nya isebab  sebuah ode anumerta 

menunjukkan bahwa dia pergi ke sana untuk menggantikan gurunya yang 

sakit, ‘Abd al-Ghani Bima.

Pastinya, hal ini  menunjukkan hasrat adanya otoritas yuridis 

utama bagi kaum Muslim Jawi secara umum. Untuk mereka, Sayyid ‘Utsman 

menghasilkan tulisan yang ajek. Dengan kata-kata yang tajam, dia mengutuk 

apa pun yang dianggapnya sebagai “inovasi” (bid’ah). Namun, tidaklah benar 

bahwa semua inovasi dianggap sebagai bidah oleh para cendekiawan muslim. 

Arsyad al-Banjari, misalnya, mengambil sikap bahwa hal-hal seperti tafsir dan 

penjelasan kebahasaan merupakan inovasi, namun  semua itu sangatlah penting. 

Begitu pula, diskusi mengenai Sufisme atau pendirian sekolah-sekolah 

merupakan praktik yang diterima, dan menghiasi manuskrip dengan gambar 

tidak disukai namun  ditoleransi. Sayyid ‘Utsman pastinya setuju isebab  dia 

memproduksi banyak komentar dan diskusi berbahasa Melayu yang mengejek 

karya-karya yang disukai oleh rival-rival lokalnya. Selain itu, dia yaitu  seorang 

kritikus budaya Melayu yang gigih, menegaskan bahwa hikayat tradisional 

merupakan sisa-sisa kebudayaan Hindu yang menyimpang, terutama Hikayat 

Amir Hamza dan Hikayat Nabi Bercukur. Dia juga menyerang penggunaan 

azimat “yang dicetak di negara-negara Arab”, dan berbagai teks berbahasa 

Arab, Persia, atau terjemahan Melayu dan Jawa berisi doa-doa yang tidak 

dapat dipastikan kesahihannya, seperti yang ditemukan di belakang salinan 

ayat-ayat Al-Quran yang dicetak di Singapura. Semua teks semacam itu harus 

dibakar, dan sebagai gantinya dia menyarankan risalah-risalahnya sendiri dan 

karya Ahmad Dahlan.

Meski ‘Utsman tidak menyukai hikayat-hikayat Melayu, dia menghabiskan 

lebih banyak waktu mengutuk Naqsyabandiyyah. Dia meluncurkan serangan 

pertamanya melalui karya berbahasa Melayu-Arab Nasiha al-aniqa (Nasihat 

yang Indah) dari 1883 dengan mendaur ulang serangan Ibn Sumayr terhadap 

Isma‘il al-Minankabawi dan menambahkan hal-hal yang berkaitan dari 

tulisan Ahmad Dahlan. Pada 1886 karya ini diikuti sebuah risalah berbahasa 

Arab bertajuk al-Watsiqa al-wafiyya (Dokumen yang Memadai). Dalam kedua 

kasus itu, ‘Utsman mengklaim bahwa dia menulisnya untuk menanggapi 

berbagai pertanyaan dari para pemohon lokal. Watsiqa juga ditujukan untuk 

memperbaiki kritik buku pertamanya dengan memberikan dokumentasi yang 

lebih lengkap. sesudah  pertama-tama memberikan perhatian eksplisit terhadap 

nama-nama hakikat yang sebenarnya dan para pendirinya, mulai dengan 

sesama sayyid ‘Alawi, ‘Utsman menekankan bahwa pengetahuan tarekat yang 

sejati berlandaskan pada pengetahuan Syari‘ah. Di sini dia mengutip tulisan-

tulisan al-Ghazali, al-Haddad, dan al-Yafi‘i, sembari mengutip otoritas Mekah 

yang masih hidup, Abu Bakr Shatta’ dan Ahmad Dahlan.

Tak diragukan lagi bahwa kaum Khalidi yaitu  target utama Sayyid 

‘Utsman saat  dia mengikuti Ahmad Dahlan dalam mencerca baiat mereka, 

atau saat  dia menegaskan bahwa manuskrip-manuskrip lokal yang berisi 

syair-syair yang dikaitkan kepada Abu Bakr al-Siddiq “menjadi tertawaan 

orang-orang Arab dan Persia”. Meskipun hanya pernah mendengar tentang 

pertemuan-pertemuan malam (kaum Khalidi), ‘Utsman mengklaim pernah 

melihat praktik tarian dan nyanyian mereka, melantunkan syair-syair pujian 

mengikuti tabuhan genderang. ‘Utsman mencemooh para guru lokal mereka, 

yang menurutnya mengaku-aku tahu seni kekebalan. Sayyid ‘Utsman 

berharap bahwa para pembacanya akan menyadari kekeliruan cara mereka, 

dan dia mendorong setiap murid untuk melakukan introspeksi yang serius

Polemikus seperti ‘Utsman bisa menggunakan percetakan untuk 

melawan ortodoksi Mekah yang baru, namun  mereka masih memonopoli 

media yang baru muncul ini. Untuk mencapai tujuan ini , Sayyid 

‘Utsman dengan gigih mengeluarkan buku-buku doa, panduan pelafalan, 

kalender kamariah atau waktu shalat, pengantar gaya menulis surat, kamus, 


dan panduan haji terbitannya sendiri. isebab  hikayat-hikayat dan puisi-puisi 

Singapura masih mengalahkan penjualan teks-teks mengenai dogma dan 

prosodi, dia tahu bahwa tantangan para syekh setempat hanyalah satu bagian 

dari pertempuran. Untunglah bagi ‘Utsman, dia bisa mengandalkan teman-

temannya di berbagai tempat yang sangat penting. Salah satu dari tempat-

tempat ini  yaitu  Mekah.

PARA GURU MEKAH

Serangan Sayyid ‘Utsman terhadap Naqsyabandiyyah menyertai publikasi 

sebuah fatwa menentang Sulayman Afandi oleh Ahmad Dahlan pada 

pengujung 1883 atau awal 1884. Bertujuan menjawab sebuah pertanyaan 

resmi yang diajukan oleh Gubernur Utsmani mengenai kebenaran sebuah 

risalah yang dihasilkan oleh Sulayman, fatwa ini  mengutuk ajaran-ajaran 

Sulayman dan mendesak agar pamflet-pamfletnya dimusnahkan dari muka 

Bumi “dengan cara apa pun”.98 Fatwa ini kemudian dikirimkan kepada Sultan 

Langkat dan Deli di pesisir utara Sumatra, serta kepada wakil utama Sulayman 

di Langkat, ‘Abd al-Wahhab “Jawa”.99 Khalidiyyah sudah berkuasa di banyak 

istana di dunia Melayu, sebagaimana jelas dari kian menonjolnya cap yang 

memuat nama Khalidi. Bahkan, pernah dinyatakan bahwa hal ini bisa jadi 

terkait dengan transmisi berkelanjutan teks-teks Dagistani yang berwibawa 

ke wilayah Kalimantan–Filipina Selatan dan meningkatnya popularitas kisah-

kisah yang berhubungan dengan Perang Rusia-Turki 1877–78.

Semua hal seputar urusan Sulayman didokumentasi dalam sebuah 

pamflet susulan yang dikeluarkan oleh Dahlan di percetakan negara yang 

baru didirikan. sesudah  kata pengantar Gubernur, Dahlan melaporkan bahwa 

Sulayman telah menulis risalah mengenai “kebiasaan-kebiasaan Khalidiyyah” 

yang mengolok-olok tiga rival: Musa Afandi serta Yahya Bey al-Taghistani dan 

putranya, Khalil Pasha al-Taghistani. Sulayman diduga telah mengejek kerja 

keras yang mereka ajarkan, seperti dalam bait yang tajam berikut:

Seperti orang jangak mereka menari,

padahal seperti keledai mereka berbunyi.

Mengira diri di jalan penuh restu,

dibanding peragu pun mereka lebih keliru.

Pada gilirannya Dahlan pun memulai sebuah paparan yang menunjukkan 

kesahihan tarian Sufi dan kemungkinan bahwa Nabi mengajarkan dzikr 

yang disertai gerakan-gerakan tertentu. Oleh isebab  itu, dia mendesak 

agar risalah Sulayman dimusnahkan dan agar sang syekh itu bertobat. Para 

ulama terkemuka Mekah mendukung Dahlan. Akibatnya, Sulayman dipaksa 

menyerahkan seluruh otoritas kepada Khalil Pasha. Ini yaitu  hasil yang 


diterima dengan senang hati di Deli dan Langkat, tempat empat wakil Khalil 

Pasha telah memiliki pengaruh terhadap para sultan.

Pastinya ada hal lain dalam perkara di atas ketimbang sekadar pertanyaan 

kebenaran doktriner. Sulayman yaitu  pecundang utama dalam sebuah 

pertempuran memperebutkan monopoli atas para calon Naqsyabandi dari 

negeri-negeri Utsmani dan Asia Tenggara.103 Sebenarnya baik dirinya maupun 

Khalil Pasha sudah terlibat dalam perang kata-kata dengan menyebarkan 

pamflet-pamflet mereka sendiri, meski tak satu pun dari pamflet-pamflet ini 

diproduksi di Mekah di percetakan yang diklaim Dahlan akan mengalahkan 

dunia dalam menghasilkan teks-teks berbahasa Arab, Turki, dan Melayu.

Sebuah subcabang dari percetakan Mekah ini  bahkan memproduksi 

karya-karya Jawi di bawah Da’ud al-Fatani, Ahmad b. Muhammad Zayn al-

Fatani (1856–1908).105 Jika belum memperoleh keterampilan di Singapura, 

al-Fatani pasti beradaptasi dengan cepat pada profesi ini di Kairo, tempat dia 

pernah singgah pada akhir 1870-an, memeriksa buku-buku seperti Hidayat al-

salikin karya al-Falimbani yang pada 1881 merupakan karya Melayu pertama 

yang dipublikasikan oleh percetakan negara. Karya ini memberikan berbagai 

hubungan yang membuatnya diangkat di Mekah, tempat dia memastikan 

bahwa serangkaian karya-karya Jawi penting diterbitkan, terutama karyanya 

sendiri dan rekan-rekannya sesama orang Patani.

Penerbitan cetak yaitu  sarana ideal untuk mereproduksi pandangan-

pandangan yuridis, dan penawaran Dahlan mengenai Sulayman tak lain 

hanyalah salah satu yang diproduksi dengan mempertimbangkan khalayak 

Jawi. Pada 1892 sebuah kompilasi dwibahasa berisi fatwa-fatwa para tokoh 

mazhab Syafi‘i Mekah diterbitkan. Diberi judul Muhimmat al-nafa’is (Permata 

Berharga), terbitan ini menyertakan komentar pinggir oleh Da’ud al-Fatani. 

Namun, selain perdebatan mengenai peringatan tahunan wali dan sebuah 

pertanyaan tunggal mengenai aturan-aturan dzikr, berdasar  teks ini kita 

akan tergoda untuk menyimpulkan bahwa hanya terdapat sedikit perdebatan 

publik mengenai praktik Sufi di Asia Tenggara, setidaknya dibandingkan 

jumlah pertanyaan mengenai pewarisan dan sunat.108 Sebagian besar karya 

yang dicetak Ahmad al-Fatani yaitu  terjemahan dari para guru masa lalu 

seperti Ibn ‘Ata’ Allah, ketimbang pamflet-pamflet militan karya Ibn Sumayr, 

Ahmad Dahlan, atau Sayyid ‘Utsman. Namun, percetakan Mekah yang 

ini juga tidak menerbitkan buku-buku panduan Sufi yang disajikan secara 

sembrono sebagaimana yang masih dipublikasikan di Singapura dan Bombay. 

Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai apa dan di mana para syekh Jawi 

menerbitkan karya mereka.


Ketahuilah, wahai Murid, bahwa kitab-kitab mengenai tarekat itu banyak, jelas, 

dan terkenal. (Muhammad al-Khani, al-Bahja al-saniyya, Kairo, sekitar 1901)

Untuk memahami proses bagaimana Naqsyabandiyyah berhasil mengungguli 

Syattariyyah di Asia Tenggara, kita harus mengingat peran menonjol yang 

dimainkan oleh percetakan, sebuah peran yang melengkapi keunggulan 

Naqsyabandiyyah yang lebih harfiah di Jabal Abi Qubays. Seorang cendekiawan 

terkemuka mengenai percetakan Melayu menyatakan bahwa banyak literatur 

ibadah Sufi pastinya ada dalam bentuk tercetak di Asia Tenggara—termasuk 

buku-buku doa, wasiat, dan teks-teks azimat. Ini yaitu  gambaran yang juga 

kita jumpai di tempat-tempat lain sekaligus menunjukkan bahwa penerimaan 

percetakan mungkin bergantung pada beragam jenis khalayak pembaca yang 

saling terhubung yang ada dalam berbagai persaudaraan Sufi.110

Kaum Naqsyabandi Suriah sangat aktif dalam menyebarkan warisan 

al-Sya’rani dan menerbitkan buku-buku panduan mereka di Istanbul, 

Beirut, dan Kairo. Buku-buku panduan seperti Jami’ al-usul fi l-awliya’ 

(Kompilasi Asal Usul para Wali) yang disusun secara alfabetis karya Ahmad 

b. Mustafa al-Kumushkhanawi (sekitar 1812–sekitar 1893) dan Bahja al-

saniyya (Kegembiraan yang Cemerlang) karya ‘Abd al-Majid b. Muhammad 

al-Khani, yang menjelaskan berbagai teknik dan terminologi Naqsyabandi, 

tersedia secara luas dan berhasil sampai ke Asia Tenggara lewat tangan 

jemaah haji yang pulang.111 Demikian pula karya-karya para guru Asia 

Tenggara. Ahmad Khatib dari Sambas pastinya memanfaatkan percetakan, 

dan 1870 mengeluarkan publikasi buku pegangan pendeknya, Futuh al-

’arifin (Kemenangan-Kemenangan Kaum Berilmu). Diselesaikan di Mekah, 

dan disalin oleh muridnya yang orang Palembang, Muhammad Ma’ruf, 

cetakan Singapura ini menampilkan penafsirannya terhadap ritual-ritual 

Naqsyabandi dipadukan dengan silsilah tarekatnya sendiri, Qadiriyyah wa-

Naqsyabandiyyah.

Meskipun ada berbagai keberatan diajukan mengenai silsilah dan kualitas 

litografinya yang rendah, anggota tarekat yang besar menjadi pasar terkurung. 

Sebuah versi tipografis yang jauh lebih rapi dari karya ini  yang disalin 

oleh Muhammad al-Bali mendapat tempat dalam Miriyya Press di Mekah 

pada 1887/88, yang dijuduli ulang menjadi Fath al-‘arifin (Kemenangan Kaum 

Berilmu). Pada Futuh al-‘arifin cetakan 1870, nama-nama para penerjemah 

dan penyalin yang dipekerjakan di Singapura menyebutkan setidaknya 

seorang Khalidi. Ini barangkali berkat usaha keras Isma‘il al-Minankabawi, 

yang Mawahib rabb al-falak (Anugerah-Anugerah Tuhan Pemilik Langit) 

karyanya muncul di Penang pada 1868 dengan sponsor seorang pemilik toko 

dari Palembang. Para patron semacam itu pastinya tidak menentang usaha 


mengambil keuntungan personal dari penyebaran pesan-pesan Khalidi—

saat , misalnya, mereka membiarkan tetap ada kesan bahwa Syair Mekah dan 

Madinah yaitu  karya Syekh Isma‘il, bukan hasil suntingannya pada 1834 

terhadap teks Da’ud dari Sunur.

Aktivitas cetak ini tidak berarti bahwa ikatan pribadi yang dibentuk 

melalui transmisi teks tertulis sekarang sudah menjadi bagian masa lalu. 

Futuh al-‘arifin akan sampai ke Sumatra Barat serta Jawa Barat dalam bentuk 

salinan-salinan tercetak dan juga akan berfungsi sebagai basis bagi salinan-

salinan yang ditulis tangan. Seorang penjual buku dari Palembang yang 

tinggal di Lampung diketahui menyimpan sebuah silsilah tulisan tangan dari 

utusan Ahmad Khatib, Muhammad al-Bali. Tidak berarti dengan adanya 

percetakan, tarekat-tarekat pesaing yang memiliki lebih sedikit koneksi 

internasional menjadi lenyap sesaat . Bukti dari 1890-an menyatakan 

sebaliknya, bahwa tarekat-tarekat lokal pesaing menggunakan strategi yang 

sama. Tidak hanya ada rujukan terus-menerus terhadap para tokoh besar Sufi 

secara lebih luas dalam Kayfiyyat khatm qur’an, juga terdapat petunjuk dzikr 

dan reproduksi dua silsilah paling masyhur; yang satu Syattari, dan satu lagi 

Sammani.

Volume-volume semacam itu sangat murah dibandingkan kitab-kitab 

pengantar pesantren atau kitab-kitab rujukan dari Kairo.119 Selain itu, muncul 

pula sekumpulan syair berorientasi tarekat seperti Syair hakikat (1867) yang 

memberikan berbagai petunjuk kepada “semua anak Tuhan yang muda 

maupun tua”, dan Syair Mekah dan Madinah (1869) yang dikemas ulang sekali 

lagi sebagai sebuah panduan haji.120 Contoh lainnya yaitu  Syair syariat dan 

tarekat yang dulu kerap dijumpai, sebuah risalah 25 halaman berisi nasihat 

berima yang merenungkan proses penuaan dan pencarian pengetahuan 

mengenai Ilahi, yang muncul kali pertama pada 1881.

Meskipun materi seperti di atas tidak mesti menunjukkan kekhasan 

tarekat tertentu, namun  rujukan yang ajek terhadap penolakan hal duniawi 

menambah kesan umum bahwa ajaran tarekat tetaplah sahih dan aktual. 

Harus diakui bahwa tarekat-tarekat yang berorientasi Mekah memainkan 

peranan penting dalam mengomunikasikan modernitas, dengan penekanan 

terhadap keserentakan, keseragaman, ketepatan larangan isebab  pastinya tidak 

ada kesepakatan mengenai hari apa saat ini di Mekah, Padang, dan Batavia. 

Kita menyaksikan hal ini dalam perdebatan yang muncul di Sumatra Barat. 

Kaum Syattari setempat, yang meyakini penggunaan mata telanjang untuk 

menghitung permulaan bulan kamariah, ditantang oleh kaum Naqsyabandi. 

Kemungkinan besar mereka yaitu  para pengikut Khalidi dengan hubungan 

kepada Syekh Ahmad Lampung (lihat Gambar 8), yang membanggakan 

penggunaan cara mereka yang “ilmiah” terhadap perhitungan (hisab) atau 

tabulasi yang tersedia di toko-toko buku yang kerap mereka kunjungi.


Meskipun hanya sedikit teks yang lestari, percetakan tentu memainkan peranan 

dalam perdebatan antara para syekh yang bersaing di jalanan Singapura, 

Palembang, dan Batavia. Seperti halnya di Mekah yang menjadikan pamflet 

sebagai sarana dalam usaha para pengarangnya untuk mendaki ketinggian 

Jabal Abi Qubays. Walaupun begitu, meyakinkan publik bukanlah satu-

satunya kunci keberhasilan isebab  patronase kerajaan yaitu  hal penting di 

seluruh wilayah Utsmani. Banyak hal juga terjadi di Hindia Belanda, dan 

selain pengesahan yang dicarinya dari jantung kecendekiawanan Imperium 

Utsmani, Sayyid ‘Utsman juga diuntungkan oleh hubungannya dengan 

negara kolonial.

Hubungan Sayyid ‘Utsman dengan Belanda menyatu erat sesudah  

salah satu elemen tarekat Qadiriyya wa-Naqsyabandiyya membantai para 

pejabat Belanda dan pribumi di Cilegon, sebuah kota di Jawa Barat, pada 

9 Juli 1888. sesudah  itu, buku-buku Sayyid ‘Utsman mengenai tarekat 

disubsidi oleh pemerintah. Ini mencakup pencetakan ulang Nasiha-nya, 

Manhaj al-istiqama fi l-din bi-l-salama (Bimbingan Menuju Agama Membuat 

Amalan yang Selamat) karyanya yang lebih lengkap dari 1890, dan sebuah 

pengolahan ulang Wathiqa-nya yang disederhanakan dalam bahasa Melayu: 

Arti tarekat dengan pendek bicaranya, pada 1891. Buku yang terakhir ini 

menawarkan indikasi paling jelas mengenai sikapnya bagi khalayak Jawi. 

‘Utsman menegaskan bahwa para mistikus sejati mengarahkan pujiannya 

kepada Tuhan tanpa hasrat akan imbalan, di bawah bimbingan para guru 

seperti Baha’ al-Din Naqsyaband dan ‘Abd al-Qadir al-Jilani, berkumpul di 

rumah-rumah yang diwakafkan oleh para penyokong yang saleh. Para guru 

ini juga menyusun banyak sekali buku, namun  penyebarannya dibatasi agar 

tidak membingungkan kalangan awam. 

Seiring berjalannya waktu, banyak Sufi palsu menyusupi perkumpulan-

perkumpulan mereka. Guru-guru palsu pun bermunculan. ‘Utsman sangat 

spesifik dalam hal ini, dengan mengklaim bahwa “empat puluh tahun terakhir” 

telah menyaksikan munculnya banyak penipu rakus yang memanfaatkan nama 

Naqsyabandiyyah. Namun, mereka bisa dikalahkan, sebagaimana banyak 

cendekiawan “Mekah dan di tempat-tempat lain” sudah mengalahkan para 

guru palsu berikut pengikut bodohnya. Pada titik ini ‘Utsman menuturkan 

kasus “37 tahun” sebelumnya saat  seorang Minangkabau (tak bernama) 

datang ke Singapura dan mengklaim sebagai seorang Naqsyabandi hanya 

untuk diungkap kepalsuannya oleh Salim b. Sumayr. ‘Utsman juga sadar akan 

tindakan-tindakan “sekitar empat tahun lalu” yang dilakukan mentornya yang 

tak disebut namanya, Ahmad Dahlan.

Walaupun Sayyid ‘Utsman didukung oleh subsidi negara, dia bukanlah 

alat Belanda. Penentangan ‘Utsman terhadap tarekat mendahului ketertarikan 

Barat kepadanya. Apa yang mendasari kritiknya pada masa yang lebih awal 

itu? Sebagian jawabannya bisa ditemukan dalam persoalan silsilah isebab  

pergulatan politik di Kota Suci kerap dibingkai sebagai perdebatan mengenai 

klaim garis keturunan Nabi.125 Baik Dahlan maupun ‘Utsman yaitu  para 

penjaga cita-cita Sufi sebagaimana dilihat dari lensa seorang sayyid. Dahlan 

yaitu  seorang Khalwati terkenal dan penyebar Haddadiyyah, dan dia bahkan 

disebut dalam salah satu karya Hadrami terkenal, Taj al-a‘ras (Mahkota para 

Pengantin), sebagai keturunan ‘Abd al-Qadir al-Jilani.126 Begitu pula, Sayyid 

‘Utsman tampaknya merupakan anggota ‘Alawiyyah, dan kakeknya yaitu  

seorang guru di Mekah pada saat pendudukan Wahhabi.

Jika Snouck Hurgronje bisa dipercaya, ‘Alawiyyah, meski mengakui 

kesahihan tarekat-tarekat, menempatkan diri mereka di puncak hierarki Sufi 

maupun sayyid.128 Memang kaum ‘Alawi kerap disebut dalam teks-teks tarekat, 

dengan orang-orang seperti ‘Abdallah b. ‘Alawi al-Haddad (1634–1720) dan 

‘Abdallah al-‘Aydarus berdiri berdampingan dengan para khalifah dan ‘Abd al-

Qadir al-Jilani. Sayyid ‘Utsman juga menyebut-nyebut ‘Abd al-Qadir yang 

diyakini sebagai wali dalam pamflet-pamfletnya sebagaimana dia perlu meraih 

penerimaan gagasan-gagasannya dengan mengutip para cendekiawan Jawi, 

dari masa lalu dan masa kini. Mereka ini termasuk Muhammad Arsyad al-

Banjari dan belakangan, Nawawi dari Banten (1813–97), yang oleh Snouck 

dalam magnum opus-nya digambarkan sebagai seorang teladan Sufisme “etis” 

atau bahkan “ilmiah” yang rendah hati.

Pada waktu Snouck mengunjungi Mekah, Nawawi dari Banten sedang 

memancangkan klaim sebagai otoritas akhir bagi banyak orang Jawa. Karya-

karyanya, yang ditulis di Mekah dan diterbitkan mulai Kairo hingga Surabaya, 

tetap penting hingga hari ini. Sebaliknya, pamflet-pamflet Sayyid ‘Utsman 

sekarang hampir menjadi sekadar barang aneh. Sementara ‘Utsman berusaha 

menjangkau khalayaknya menggunakan bahasa Melayu, Nawawi memiliki 

pandangan yang kurang menyenangkan terhadap bahasa ini sebagai wahana 

kecendekiawanan. Namun, ini tidak berarti bahwa Nawawi menekankan 

ijazah dengan mengorbankan akar Jawi-nya, isebab  alih-alih melampaui 

jemaah Jawi, dia tetap merupakan sosok penting di dalamnya, dan gayanya 

masih dianggap lebih bisa dipahami oleh khalayak Indonesia.131 Gaya bahasa 

Arab serupa tampaknya juga memastikan penerimaan karya-karya ‘Abd al-

Hamid dari Kudus, yang juga aktif di Mekah dan mulai mencetak karya-

karyanya di Kairo pada 1891.

Tren ini tidaklah universal di kalangan ulama Jawi. Kecendekiawanan 

Ahmad al-Fatani dan Zayn al-Din al-Sumbawi yang masih hidup, misalnya, 

jelas menunjukkan rasa bangga terhadap penggunaan bahasa Melayu. Meski 

demikian, Nawawi masih mewakili titik akhir sebuah golongan dalam tradisi 

tekstual yang lebih luas yang telah kita diskusikan dalam bab-bab ini. Tata 

letak kitab-kitabnya yang padat, dipengaruhi percetakan tipografis Mekah 

dan Kairo, menunjukkan hal ini. Ruang untuk memberikan anotasi antarbaris 

sangatlah kecil, dan bagian pinggirnya, jikapun kosong dari komentar ataupun 

respon atas komentar sebelumnya, nyaris tidak cukup lebar untuk memuat 

catatan. Dengan demikian, karya ini dimaksudkan untuk dimengerti secara 

langsung, dan oleh pembaca tingkat lanjut.

Akan namun , pada 1900, bidang ini pastilah tidak sepenuhnya berada di 

tangan orang-orang “putihan”, baik yang terinspirasi tarekat ataupun yang 

memiliki keyakinan yang disebut “ilmiah”. Gema benturan terus-menerus 

terdengar antara ortodoksi terkait tarekat yang belakangan menyatakan diri 

sendiri dengan berbagai praktik Islam lokal lainnya. Praktik yang disebut 

terakhir ini akan terus ada di wilayah yang disebut Belanda sebagai “Pulau-

Pulau Luar” hingga abad kedua puluh. Namun, pada saat itu, sebuah retakan 

lain yang bertahan lebih lama muncul di ujung barat Nusantara. Sekali lagi, 

pertanyaan mengenai Sufisme tarekat akan dikaitkan dengan keadaan Islam 

di kalangan para pemeluknya.

Dengan meningkatnya penetrasi ekonomi negara-negara penerus Inggris 

dan Belanda di Nusantara secara lebih luas pada abad kesembilan belas, kita 

melihat sebuah pergeseran terakhir dalam kisah Jawi. Islam Indonesia, yang 

dalam beberapa kasus tertentu didukung ekonomi pribumi yang berkembang, 

menjauh dari ortodoksi yang diatur istana menuju hubungan yang lebih dekat 

dengan Mekah dan Timur Tengah melalui perantara para guru independen. 

Dalam beberapa contoh, baik berkat perang maupun perdamaian, para 

guru agama independen ini mampu berjaya, terutama di tempat-tempat yang 

paling terhubung dengan perdagangan global, dan mampu beradaptasi dengan 

berbagai mode baru organisasi Sufi yang menyaksikan adopsi tarekat-tarekat 

yang disukai di Imperium Utsmani. Pada akhir abad kaum Naqsyabandi 

khususnya menjajaki cara-cara baru untuk memperluas pengikut mereka. Di 

antara cara-cara ini, pengajaran-pengajaran singkat yang agak kontroversial 

dan penyebaran bahan-bahan cetakan yang semakin banyak tersedia bagi 

kalangan pesantren. Tentu saja terdapat perlawanan terhadap tren ini, 

terutama dari elite Arab dan kongsi ekonomi mereka yang terkait dengan 

para penguasa Barat di Nusantara, yang pada akhirnya mulai bertanya-tanya 

apa sebenarnya yang mereka kuasai. 


Buku ini telah mempertanyakan hubungan yang sering dinyatakan antara Sufisme tarekat dan perpindahan agama ke dalam Islam di Asia Tenggara. Saya telah menyatakan bahwa tidak ada bukti pasti bahwa 

yang satu merupakan mesin bagi yang lain. Sebaliknya, Sufisme muncul (dan 

kemudian kerap muncul kembali) sebagai sebuah isu doktriner yang naik ke 

permukaan saat  ortodoksi negara perlu disesuaikan kembali agar selaras 

dengan standar-standar “Mekah”. Pertanyaan semacam itu menciptakan 

sebuah peran dalam kisah perpindahan agama yang diterima bagi para tokoh 

seperti ‘Abd al-Ra’uf, Syekh Yusuf, dan murid-murid mereka serta memberikan 

ruang penjelajahan pribadi dalam sistem pesantren yang berkembang pesat 

bagi sebagian populasi. 

Begitu memasuki abad kesembilan belas, kita mulai memiliki gambaran 

lebih jelas mengenai bentuk-bentuk aktivitas tarekat terpelajar tertentu 

sebelum status para penyokong mereka merosot—sebagaimana yang sangat 

sering terjadi—menjadi bawahan bangsa Eropa. Hal ini tidak menandai 

berakhirnya berbagai program reformasi dari masa sebelumnya. Sebaliknya, 

tampaknya beberapa penafsiran tertentu terhadap Sufisme, dan terutama 

yang bisa mengklaim hubungan dengan Mekah pascalepas dari cengkeraman 

Wahhabiyyah, menjadi penggerak utama perubahan keagamaan. Ini paling 

jelas terbukti di Jawa. Di sana, terdapat ketidakpastian yang mendalam 

mengenai sekolah-sekolah serta guru-guru mana yang harus menerima 

keuntungan kebijakan non-intervensi oleh negara kolonial yang menjadi 

pewaris kekuasaan. 

Berbagai kontroversi dalam lingkaran-lingkaran terpelajar ataupun 

populer ini menjadi pasar bagi produk-produk percetakan muslim di 

Singapura, dan memunculkan beberapa pertanyaan yang menuntut kita 

untuk memberikan perhatian lebih saksama terhadap cara berbagai bangsa 

menjadi familier dengan literatur cetak. Dalam perjalanan proses ini, Islam 

menjadi semakin tertanam dalam apa yang disebut ruang publik muslim, 

dengan akibat bahwa pengawasan ortodoksi tarekat itu sendiri menjadi 

sebuah persoalan kolonial.

Sebagian besar dari proses hubungan dengan Timur Tengah dan 

pelembagaan yang tengah berlangsung untuk meniru struktur pembelajarannya 

terjadi tanpa dikenali oleh orang-orang Eropa. Walaupun begitu, Belanda 

tidaklah sepenuhnya abai. Diktum yang kerap dirujuk bahwa mereka 

hanya tertarik pada perdagangan—dan isebab  itu sangat berbeda dari para 

pendahulu mereka dari Iberia—bisa dikatakan menutup jalan bagi banyak 

sekali misi yang saling bersaing yang masuk ke usaha kolonial Belanda. 

Meskipun bermula sebagai perusahaan transnasional pertama di dunia, 

namun , seperti akan kita lihat di paruh kedua buku ini, warisan Kristen 

memainkan peranan dalam membentuk berbagai gagasan mengenai peran 

agama dalam konteks kolonial. berdasar  alasan-alasan ini , kita 

mengalihkan perhatian terhadap berbagai pandangan fundamental mengenai 

Islam pada era perusahaan-perusahaan dagang. Ini akan diikuti oleh 

pembahasan yang saling menyilang mengenai berbagai bingkai metropolitan 

yang digunakan di kelas-kelas kolonial pada abad kesembilan belas dan tulisan-

tulisan misiologis berbasis lapangan yang terkait. Dengan melakukan hal ini, 

saya hendak menunjukkan bahwa kadang-kadang terdapat keterputusan 

yang signifikan antara apa yang diketahui di lapangan dan pengetahuan yang 

disebarkan untuk khalayak Eropa. 

Miskit int Moors een kerck.

Masjid, dalam bahasa Moor berarti sebuah gereja.1 (Frederick de Houtman, 

“Cort Verhael”, 1601)

Ketertarikan Belanda terhadap Hindia Timur paling bisa dipahami sebagai konsekuensi penaklukan Belanda oleh wangsa Habsburg, yang 

kepentingan dagangnya menghubungkan perairan biru langit Filipina dengan 

langit muram Negeri-Negeri Dataran Rendah. sesudah  perang, Protestan 

merebut kemerdekaan. Perdagangan rempah-rempah Timur dipandang sebagai 

dukungan potensial bagi republik yang baru. Hal ini dibuat jelas oleh mantan 

juru tulis uskup Goa dari Portugis, Jan Huygen van Linschoten (1562–1611), 

yang kembali pada 1592 dengan berita mengenai sebuah rute ke Hindia. Dia 

menjelaskannya dalam Itinerario-nya yang bergambar dari 1595–96.2

Seperti pesaingnya di seberang Selat, Belanda meluncurkan ekspedisi-

ekspedisi ke kepulauan rempah yang disebut-sebut dalam dongeng. Ekspedisi 

ini dilaksanakan misi demi misi dan dibiayai oleh perorangan dari seluruh 

Belanda dan beberapa kepangeranan di sekitarnya, dengan kerja sama terang-

terangan dari negara. Tujuannya yaitu  mengalihkan hasil panen cengkeh, 

bunga pala, dan pala yang berharga tinggi dari Uni Iberia (1580–1640) yang 

mengucilkan para pedagang Belanda dari pesisir Portugis. 

Kembalinya ekspedisi 1959–97 yang sangat kelelahan di bawah 

pimpinan Cornelis de Houtman (1565–99) dipandang sebagai pertanda 

datangnya hal-hal baik, meski hanya membawa pulang sedikit muatan 

lada dari Banten sesudah  gagal mencapai Kepulauan Maluku. Ekspedisi ini 

menghasilkan sebuah buku mengesankan, Prima pars (Buku Pertama) atau 

Descriptionis itineris navalis in Indiam Orientalem (Gambaran Perjalanan Laut 

di Hindia Timur) karya Willem Lodewijckszoon, yang terbit pada 1598. Buku 

ini dipenuhi penggambaran rempah-rempah yang akurat beserta gambar-

gambar yang telah disesuaikan mengenai penduduk yang bisa dijumpai dari 

Tanjung Harapan hingga Bali: orang-orang Arab, Persia, bahkan orang-orang 

Tionghoa berserban, belum lagi sang “Gubernur” Banten yang didampingi 

oleh “Uskup atau Chief Ceque” yang dikirimkan dari Mekah lewat Jeddah.3

Sampai di sana hanyalah separuh dari pertempuran. Para penguasa 

antarpelabuhan-pelabuhan dagang, yang mengendalikan perdagangan 

rempah-rempah Asia, kerap mendengarkan nasihat para “Uskup” dan mereka 

tidak hendak menyerahkan ruang dalam pasar mereka, meski orang-orang 

“Frank” (Feringgi) yang terakhir, dan agak berbeda, berusaha menyenangkan 

mereka dengan menunjukkan pas berbahasa Arab yang dicetak dengan 

sembrono. Para sultan Aceh, yang telah mencoba menggunakan hubungan 

dengan Utsmani untuk melawan orang-orang Portugis di Malaka, sangat 

bermusuhan terhadap pendirian lebih banyak lagi tempat-tempat perdagangan 

Eropa, sebagaimana sikap orang-orang Portugis sendiri.

Kita bisa memercayai laporan nakhoda Inggris John Davis tentang 

Cornelis de Houtman yang kembali ke kawasan ini pada 1599 menumpangi 

salah satu dari lusinan kapal yang meninggalkan Holland dan Zeeland 

pada masa ekspedisi 1598–1600 yang dilakukan oleh Jacob van Neck. 

Ketidakbijaksanaannya membuat dia terbunuh di istana Ri’ayat Syah al-

Mukammal dari Aceh (berkuasa 1589–1604).4 Adik Cornelis, Frederick 

(1571–1627), yang juga turut dalam pelayaran itu, menuturkan cerita 

dengan versi yang berbeda. Frederick menyalahkan persekongkolan yang 

direncanakan antara syahbandar dan sultan. Frederick memiliki lebih banyak 

waktu untuk mencari tahu apa yang telah terjadi sembari menjalin sejenis 

hubungan dengan orang-orang Aceh. isebab  dipenjara selama hampir dua 

tahun, dia terpaksa mengakrabkan dirinya dengan bahasa Melayu. Belakangan 

keahliannya itu dia gunakan untuk menyusun sebuah kamus