para pengusung teologi pembebasan
hampir sama, yakitu ingin mendobrak kemampanan lembaga resmi keagamaan
(ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan dan
berpaling dari kenyataan riil umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu.
Mereka sama-sama mendobrak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang
telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan
menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama
berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan
hak menafsirkan agama kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk
yaitu ajaran agama yang sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Seperti yang pernah di nyatakan oleh Leonardo Boff, teologi
pembebasan yaitu pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan ntaya
suatu praktis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff,
ini yaitu pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas,
yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem
sosial keagamaan, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh,
serta kelompok-kelompok warga yang berbasis keagamaan.
Kalau diperhatikan sejak tahun 1971, pemikiran-pemikiran Syariati
memang telah muncul dalam corak yang berbeda dengan kebanyak pemikiran
konvensional dan konservatif waktu itu. Syariati merupakan seorang pemikir
revolusioner, makanya menurut Syariati ide-ide ravolusioner itu harus lahir dari
tradisi agama. Artinya agama harus menjadi sentral idiologi politik keagamaan
yang difungsionalisasi sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan
rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Namun utnk
membawa perubahan bagi tertindasnya rakyat dari kolonialisme ekonomi,
politik di perlukan dua bentuk revolusi, yaitu; pertama, revolusi nasional yang
bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi
jug auntuk merevitalisasi kebudayaan dan identitas nasional. Kedua, revolusi
sosial untuk menghapus semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna
menciptakan warga yang adil tanpa kelas.28
Menurut Syariati, negara-negara ke tiga termasuk Iran harus
menumbuhkan kembali nasionalismenya, memulihkan kembali warisan budaya
dan keagamaannya yang belum di jajah oleh Barat. Negara dunia ketiga
dihinggapi oleh penyakit imperialisme internasional, rasisme, penindasan kelas,
ketidak adilan dan mabuk dengan budaya Barat. Makanya Syariati sangat
mengecam imperialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh besar
yang harus di berantas dalam jangka panjang. Namun menurut nya yang sangat
mendesak untuk di berantas yaitu ; pertama, marxisme vulgar yang menjelma
dalam bentuk Stanilisme yang digandrungi banyak intelektual dan yang kedua,
Islam konservatif sebagaimana yang dipahami oleh banyak ulama.29
Imperialisme dalam bentuk pemkiran tidak luput dari perhatian Syariati,
terutama yang berkaitan dengan Marxisme. Dalam bagian tertentu Syariati
menggunakan analis Marxis dala menjelaskan perkembangan warga ,
perlawanan, sikap kritis dan oposisinya atas kekuatan yang mapan. Syariati
memang memberi apresiasi baik terhadap pendekatan Marxis, tetapi bukan
berarti pendekatan ini diterimanya begitu saja, ia mengecam dan mengkritik
marxisme yang tumbuh dalam bentuk partai dan komunis. Dengan begitu
Syariati terkesan orang yang mengikuti Marxisme yang berbaju Islam, meski ia
melihat Marx dlam tiga fase yang terpisah satu sama lain yaitu30:
Pertama, Marx muda seorang filsuf ateistis, yang mengembangkan
materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, jiwa dan kehidupan di akhirat.
Sifat ateistis marx ini dikembangkan ke luar Eropa dalam memerangi gereja
reaksioner mereka mengecam seluruh bentuk agama tanpa kualifikasi.
Kedua, Marx dewasa, yang terutama merupakan seorang ilmuwan sosial
yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang
dikuasai. Marx dalam hal ini lebih jauh menjelaskan tentang bagaimana hukum-
hukum “determinisme historis” bukan “determinisme ekonomi”.
Ketiga, Marx tua, yang terutama merupakan politisi. Dalam kapasitas ini,
Marx dan Marxisme menjelma menjadi partai revolusioner. Marx ini sering
membuat prediksi yang pantas dari segi politis, tetapi tidak sesuai dengan
metodologi ilmu sosialnya, inilah yang disebut oleh Syariati dengan “Marxisme
ilmiah”.
Dari penjelasan di atas, kecendrungan dari Syariati yaitu pada Marx
dewasa, artinya ia menerima sejumlah pemikiran dan aksi Marx ke dua ini,
terutama cara pandangnya tentang pembagian warga , alat-alat produksi dan
pembentukan warga atas dasar suprastruktur yang bersifat politis-ideologis,
di sinilah Syariati memasukkan agama ke dalam suprastruktur ideologis-politis.
Islam menurut Syariati yaitu suatu dogma yang hadir sebagai jawaban
atas perilaku-perilaku penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh
warga abad jahiliyah. Dalam konteks ini Islam hadir sebagai ideologi yang
membebaskan dan secara substantif melakukan revolusi yang signifikan dalam
sejarah peradaban
Islam menjadi suatu kekuatan yang menandai terjadinya perubahan
dalam peradaban umat manusia, tidak hanya dlam hal ritual keagamaan, akan
tetapi juga dlam hal ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Sistem norma
dan nilai dalam Islam menjadi ukuran bagi semua umat manusia dalam
membentuk kepribadian, perilaku dan sikap seseorang yang jujur, adil dan
berperikemanusiaan. Sebagai ideologi besar Islam memberi altenatif-
alternatif solusi cerdas secara ideologis yang berpihak kepada kaum yang lemah
dan tertindas.
Perjuangan menegakkan nilai-nilai fundamental Islam itu dilakukan Nabi
dengan sahabat melalui taktik dan strategi politik yang genius sehingga secara
revolutif kondisi masyarkat jahiliyah dapat ditransformasi menjadi warga
yang beradab dan religius. Pada masa pra-kenabian, kedudukan perempuan
terpuruk dalam sistem patriarkhat yang despotic (aniaya) namun Islam telah
merubahnya menjadi berkedudukan yang equality (sejajar) dalam kehidupan
pada semua bidang.
Islam sebagai agama yang memiliki agenda jangka panjang untuk
menghilangkan hegemmoni suku Quraisy yang arogan dan tradisi perbudakan
yang terjadi pada masa itu. Nabi Muhammad mengembangkan misi membangun
tatanan baru untuk kemanusiaan dan keadilan sosial, Islam sebagai ideologi
memiliki agenda revolusioner yaitu: pertama, Nabi Muhammad menekankan
kesatuan yaitu menghilangkan sekat-sekat kesukuan. Kedua, Nabi Muhammad
pada periodeMekkah menentukan persamaan derajat di antara para umatnya
tanpa memandang status sosial datau asal-usul suku.
Dengan memotret misi besar Nabi Muhammad tersebut, tampaknya Al
Syariati juga menjadikan Islam sebagai ideologi pergerakannya dalam rangka
menentang rezim Syah Pahrlevi yang zalim dan tidak berlaku adil terhadap
rakyat. Setelah Syariati menyelesaikan pendidikannya di Perancis sejak
September 1964, sikap kritisnya bertambah menguat. Namun cara dia
mengeritik itu tidak lagi secara langsung, akan tetapi yaitu dengan cara
membuat soosk bayangan. Artinya Syariati menciptakan figur simbolis kaum
tertindas sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Syah Pahlevi. Di sini di
menggunakan tokoh Abu Dzar sebagai tokoh yag tangguh dalam menghadapi
kekayaan, kekuasaan dan bahkan otoritas agama untuk menyelamatkan Islam
autentik. Syariati merujuk kepada Abu Dzar sebagai sosok yang menginspirasi
gerakan intelektualnya, lebih jauh lagi Syariati menemukan Abu Dzar sebagai
sosok yang membuat ia yakin bahwa konsep-konsep seperti keadilan sosial,
kebebasan dan sosialisme yang samapai ke Iran yaitu merupakan warisan
Islam. Sehingga dia mengatakan bahwa Abu Dzar yaitu leluhur segenap mahab
egaliter pasca-Revolusi Perancis.31
Islam merupakan agama yang membimbing kepada kemajuan agama
pembebasan dan agama bagi mereka yang tertindas. Dan Islam itu bukanlah
idieologi manusia yang terbatas pada masa dan persada tertentu, tetapi
merupakan arus yang mengalir sepanjang perjalanan sejarah. Islam yang
ditawarkan oleh Syariati tidak hanya sebatas agama ritual dan fikih, tetapi lebih
dari itu yaitu yang menjangkau persoalan politik dan sosial kewarga an.
Dan tidak juga hanya sekedar dogma yang mengatur bagaiman cara beribadah,
akan tetapi lebih menyentuh pada bagaiman cara menegakkan keadilan, strategi
melawan kezhaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustadafin).
Islam dalam pandangan Syariati yaitu Islam yang bersifat revolusioner,
itulah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat-Nya.
Namun dalam perkembangannya Islam menjadi sebuah dogma yang berisi do’a-
do’a dan ritual yang tidak menjangkau wilayah kemanusiaan. Dalam hal ini
Syariati membangun gagasan revolusi Islamnya dengan mengusung ideologi
pembebasan (ideologi of liberation) sebagaimana banyak yang disuarakan di
negara-negara Amerika Latin dan Asia32. Revolsi dalam pemikiran Syariati
sebenarnya ingin melakukan delegitimasi paradigma umat islam yang bersifat
ritus-ritus. Dengan konsep yang demikian Islam terkesan bahwa Islam itu yaitu
agama yang pasif, dan bahkan Islam itu juga terkesan sebagai seperangkat
dogma yang ambigu. berdasar pola pemahaman itulah, Syariati
berpendapat bahwa Islam merupakan suatu bentuk ajaran yang bersifat
revolusioner, makanya ia harus berkembang dan dinamis dalam praktiknya.
Islam sebagai suatu idiologi menurut Syariati yaitu “suatu keyakinan yang
dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan yang timbul dan memecahkan
masalah-masalah dalam warga . Idiologi itu yaitu untuk mengarahkan
suatu warga atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan perjuangannya.
sedang idiologi di pilih yaitu untuk mengubah dan merombak status quo
secara fundamental. Dengan demikian maka, akan terdapat dua jenis agaa yaitu;
pertama, agama sebagai idiologi, dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi
dan konversi sosial atau juga sebagai support dalam suatu kelompok.
Islam sebagai idiologi akan membawa kepada terbentuknya orde sosial
baru yang bersandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam struktur
sosial warga . Islam yang demikian membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap mereka yang sudah lama tertindas oleh ketidak adilan dan diskriminasi
yang ada. Makanya di sana Islam berfungsi sebagai kekuatan yang bisa
melepaskan manusia dari jeratan sistem sosial dan politik yang ada.
Syariati merumuskan idiologi ini untuk membangun kembali kesadaran
keagamaan rakyat agar keluar dari penindasan rezim dan Islam Syiah menjadi
alat untuk perubahan itu. Sedang islammenurut Syariati yaitu agama yang
bukan hasil dari sebuah kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahid,
bahkan bukan pula Islam sebagai sebuah tradisi umum, tetapi yaitu Islam yang
dalam kerangka pikir Abu Dzar. Islam datang sebagai upaya untuk mrespon
persoalan-persoalan yang muncul daalam warga . Makanya di sini Islam di
pahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif dan di posisikan
sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial politik, seperti
penindasan, diskriminasi, ketidak adilan dan sebagainya. Semangat islam
sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi warga Islam
untuk membangun peradaban baru yang progressif, partisipasif tanpa penindasan
dan ketidakadilan.
Teologi pembebasan yaitu produk kerohanian, dan harus diakui dengan
menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk
akal. Teologi pembebasan telah memberi sumbangsih yang amat besar
terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal
tersebut telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional
keagamaan yang mapan. Beberapa di antara doktrin itu yaitu ; 1) gugatan moral
dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai
suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) penggunaan alat analisis marxisme
dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada
kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut
kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks keagamaan, 5) perlawanan
menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama, 6) kecaman terhadap
teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani
Platonis.33
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang di
usung oleh kalangan revolusioner dilingkungan agama Katholik, Islam
revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih memiliki kerangka pikir
yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadarn rohani dan Islam
pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-
masing memiliki tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk
memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan
otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan
Islam yaitu untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang
tertindas dan ekspolitasi, mereka inilah yang disebut dengan kelompok
warga yang lemah. warga yang sebagian anggotanya mengeksploitasi
sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai
warga Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas
Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran
dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar terhindar dari
keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya
warga Islam. Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan bahwa sebuah negara
dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa
bertahan jika di dalamnya terdapat dhulim (penindasan).
Namun apa yang selama ini di gelisahkan oleh Ali Syariati yaitu
bahwa, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental
dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru
menyokong kemapanan yang sudah kuat itu.
Begitulah pemikiran Syariati dalam hal agama atau Islam pada khsusnya,
yang selalu di kaitkan dengan persoalan-persoalan kewarga an, keadilan dan
suatu perubahan.
Sumebr-sumber Pembahasan teologi Islam
Adapun sumber pembahasan yang digunakan untuk membangun Ilmu
Teologi Islam menggunakan beberapa sumber antara lain :
1. Sumber yang ideal. Yang di maksud dengan sumber yang ideal yaitu al-
Quran dan al-Hadits yang di dalamnnya dapat memuat data yang
berkaitan dengan objek kajian dalam Ilmu Tauhid. Misalnya, telah
dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal sholeh yang
dilakukan oleh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila
didasari dengan akidah Islam yang benar. sebab penyimpangan dari
36
akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni. Dan
penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT.
sedang Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh
orang kafir, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqoroh : 217)
2. Sumber Historik. Sumber historik yaitu perkembangan pemikiran yang
berkaitan dengan objek kajian ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam
kalangan internal umat Islam maupun pemikiran eksternal yang masuk
kedalam rumah tangga Islam. Sebab, setelah Rasulullah saw wafat, Islam
menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat Islam berkenalan dengan
ajaran-ajaran, atau pemikiran-pemikiran dari luar Islam, misalnya dari
Persia dan Yunani. Sumber historik akan menentukan fakta, sedang
fakta diketahui melalui dokumen-dokumen.
Metode Pembahasan Studi Teologi Islam
Ada dua metode atau cara dalam pembahasan Ilmu Tauhid, yakni:
Pertama, Menggunakan dalil naqli. pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Quran
yaitu tauhid, nabi Muhammad saw diutus Allah kepada umat manusia yaitu
juga untuk mendengarkan ketauhidan tersebut, sebab itu ilmu tauhid yang
terdapat didalam Al-Quran dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah saw dalam
haditsnya. Penegasan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah itu
maha Esa antara lain: “Katakanlah “Dia-lah Allah, yang Maha Esa; Allah yaitu
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS. Al-
Ikhlas:1, yang artinya. Keesaan Allah SWT tidak hanya pada zat-nya tapi juga
esa pada sifat dan af’al (perbuatan)-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat yaitu
Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian. Esa pada sifat berarti sifat
Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun memiliki
sifat sebagaimana sifat Allah SWT.
Kedua, Menggunakan dalil aqli. Penggunaan metode rasional yaitu salah.
Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu bahwa iman yang
diperoleh secara taklid mudah terkena sikap ragu-ragu dan mudah goyah apabila
berhadapan dengan hujjah yang lebih kuat dan lebih mapan. sebab itu ulama
sepakat melarang sikap taklid didalam beriman. Orang harus melakukan nalar
dan penalaran baik dengan memakai dalil aqli maupun dalil naqli. Didalam Al-
Quran banyak ditemukan ayat yang mengkritik sikap taqlid ini, antara
mengkritik sikap taklid ini, antara lain; “apabila dikatakan kepada mereka,
marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rosul-Nya. Mereka
menjawab, cukuplah bagi kami apa yang kita dapatkan dari bapak-bapak kami,
meskipun bapak-bapak mereka tidakmengetahui apa-apa (tidak punya hujjah
yang kuat) dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Maidah : 104). Ayat ini
mengandung kritikan terhadap sikap yang hanya ikut-ikutan sedang nenek
moyang yang diikutinya tidak memiliki hujjah yang kuat bagi keyakinannya.
Dalam hukum akal dijelaskan, apabila kita menerima suatu keterangan, maka
akal kita tentu akan menerima dengan salah suatu pendapat atau keputusan
hukum, seperti, (1). Membenarkan dan mempercayainya (wajib aqli). (2).
Mengingkari dan tidak mempercayainya (muhal atau mustahil)
(3)Memungkinkan (jaiz). Adapun dalam hal keyakinan, teori keyakinan
membagi tipe keyakinan ada tiga, yaitu: (1). Keyakinan itu ada dua, sentral dan
periferal, (2). Makin sentral sebuah keyakinan, ia makin dipertahankan untuk
tidak berubah, (3). Jika terjadi perubahan pada keyakinan sentral, maka sistem
keyakinan yang lainnya akan ikut berubah.
Manfaat Mempelajari teologi Islam
Teologi Islam Sebagai Disiplin sebuah Ilmu merupakan salah satu dari
tiga pondasi Islam yang pemahamannya harus ada pada setiap orang. Dengan
mempelajari teologi Islam, kita dapat memperkuat aqidah kita dan mempererat
serta menjaga ukhwah Islamiyah dalam ber’itiqod
Hubungan Filsafat, Tasawuf dan Teologi dalam Islam
Hubungan Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf ketiganya berusaha mencari
kebenaran (al-haq) dengan metode yang berbeda satu sama lainnya. Jika tasawuf
memperoleh kebenaran sejati melalui mata hati, ilmu kalam ingin mengetahui
kebenaran ajaran agama melalui penalaran ratio lalu dirujukkan kepada nash,
dan filsafat menghasilkan kebenaran spekulatif tentang segala yang ada. Pada
intinya ketiganya mendalami pencarian segala yang bersifat ghaib / rahasia yang
dianggap sebagai kebenaran terjauh di mana tidak semua orang dapat
menjangkaunya.
Ada Beberapa keterkaitan antara Ilmu teologi Islam, filsafat, dan tasawuf
dalam objek kajian. Objek kajian ilmu kalam yaitu ketuhanan dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat yaitu masalah
ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada.
sedang objek kajian tasawuf yaitu Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan
terhadap-Nya. Jadi dilihat dari objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang
ketuhanan. Menurut argument filsafat, ilmu kalam dibangun atas dasar logika.
Oleh sebab itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak bisa
dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Kerelatifan logika
menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan. Baik ilmu kalam, filsafat,
maupun tasawuf berususan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
Dan Perbedaan antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek
metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis)
dan argumentasi naqliyah yang berfungsi untuk mempertahankan keyakinan
ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadilah) /
dialog keagamaan.Sementara filsafat yaitu sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh)
serta universal (mendalam) dan terikat logika. Adapun ilmu tasawuf yaitu ilmu
yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat
subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Sebagian pakar
mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf yaitu dzauq, intuisi, atau ilham, atau
inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf
dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya
datang dari subjek sendiri
Pembahasan teologi merupakan pembahasan dalam hal yang komplit
dalam pemikiran Islam.sebab teologi merupakan kajian yang selalu dikaitkan
dengan keyakinan dan pemikiran seseorang. Artinya kedua hal itu tidak bisa
dipisahkan satu sama lain dan saling mengisi di antara satu sama lainnya.
Apabila iman sudah kuat kalau pemikirannya tidak berfungsi, maka akan ada
kepincangan antara kehidupan dunia dengan akhiratnya.
Teologi yaitu ilmu yang membahas tentang masalah keyakinan kepada
Allah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan Allah, di antaranya tentang
perbuatan Allah, dosa besar dan dosa kecil dan juga qadha dan qadhar. Adapun
dalam kajian teologi Pembebasan Ali Syariati ini yaitu berbicara tentang
persoalan tauhid, sebab Ali Syariati yaitu seorang pemikir yang membawa
konsep tauhid, bahkan bisa dikatakn sebagai seorang muslim monoteistik yang
radikal. Dan tidak puas dengan menjadikan monoteistik sebagai konsep filosofis
sebuah doktrin teologis yang cuma diperdebatkan.
2. Konsep Ali Syariati tentang Kepemimpinan
Syariati begitu kental dengan syi’ah, disebabkan oleh kondisi politik di
Iran yang merupakan basis terkuat aliran syi’ah. Syariati memulai konsep
imamah dengan terlebih dahulu memahami makna ummah membandingkan
istilah nation, qaum, qabilah dan sya’b dengan ummah. Keempat istilah itu ada
pengecualian pada istilah qabilah sebab itu sama sekali mengandung arti
kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja kelebihan istilah qabilah juga
ditemukan pada istilah ummah
Dalam istilah ummah ada gerakan yang mengarah kepada tujuan
bersama, yang nerupakan landasan ideologis.istilah ummah secara terperinci
mengandung tiga konsep yaitu; pertama, kebersamaan dalam arah dan tujuan,
kedua, gerakan menuju arah dan tujuan tersebut, ketiga, keharusan adanya
pimpinan dan petunjuk kolektif. Secara kaian filologinya yaitu mungkin ada
ummah tanpa adanya imamah. Di sini terkesan bahwa ada sift yang
rmelindungi dari bahaya, menguasai massa dan membuat ketenangan dan
kedamaian.
Syariati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis yang
selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang
bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah yaitu
perwujudan dan penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan,
perubahan dan transformasi dalam bentknya yang paling cepat, lalu meakukan
akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya
ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.
Dengan ungkapan lain Syariati mengatakan bahwa imamah dalam
mazhab pemikiran syi’ah yaitu kepemimpinan progresif dan rsvolusioner
yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimnbing
manusia serta membangun warga di atas fondasi yang benar dan kuat,
yang bakal menarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian
dalam mengambil keputusan.
Adapun tugas imam menurut Syariati, tidak hanya terbatas memimpin
manusia dalam salah satu aspek politik, kewarga an dan perekonomian,
juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai
panglima, amir atau khalifah. Akan tetapi tugasnya yaitu menyampaikan
kepada umat manusia dlam semua aspek kemanusiaan yang bermacam ragam.
Seorang imam dalam arti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi
selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian Syariati
mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia, akan tetapi manusia bisa
yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super.
3. Pemikiran Ali Syariati Tentang Raunsyanfikr
a. Pengertian
Istilah raunsyanfikr sudah di kenal di Iran, sejak abad ke-19, yang
secara harfiahnya di artikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”.34 Tetapi
secara historis istilah ini menunjukkan pada pengertian umum tentang kaum
intelektual sekuler yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai di
pakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi dan
dipengaruhi oleh para filosof Eropa abad ke-18 yang dikenal sebagai abad
pencerahan.
Pada awalnya pengertian Raunsyanfikr hanya terbatas untuk orang-
orang tertentu saja, di antaranya yaitu kaum intelektual yang berpaham
modernis dan berkecendrungan liberal, yang bekerja dan berfikir secara
profesional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan politik,
sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya, kelompok ini berbeda
dan membedakan diri dari mereka yang disebut sebagai Mullah atau ahli-ahli
ilmu agama.35 Yang dalam lingkungan dunia Islam dikenal dengan sebutan
“ulama”. Perbedaan itu tidak asing lagi, bagi Syariati kelompok ini dikenal
dengan istilah “kiyai” atau “ulama” dan “cendekiawan” atau “intelegensi” di
pihak lain.
Akan tetapi apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalam
revolusi dapat di sejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan.
Kedua kelompok itu malah memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang,
katrena itu menjelang tahun 1978, pengertian raunsyfikr telah berubah atau
berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang
terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada hal-hal yang
menjadikan mereka dikenal sebagai alim-i-raunsyfkr.38
Kalau dianalisa secara bahasanya, maka tidak ada contoh yang
universal untuk menjadi “yang tercerahkan” sebab posisi dan kondisi
seseorang tidak bisa di samakan pada posisi dan kondisi yang lain.
Contohnya, seseorang yang bisa tercerahkan di daerah Afrika Hitam, tetapi
orang itu belum tentu bisa tercerahkan pada negara yang berkomunitas
Islam. Seseorang yang mungkin bisa dianggap sebagai orang yang
tercerahkan di Perancis atau negara industri Eropa, dan ia yaitu seorang
yang sederhana dan jujur yang tercerahkan, yang sangat berperan di
warga nya, tetapi orang yang sama belum tentu bisa memainkan peran
yang sama di India, artinya seseorang itu belum tentu bisa memainkan peran
yang sama di tempat yang sama.39 Maksudnya yaitu pencerahan itu
berkaitan dengan waktu, tempat, lingkungan sosial dan kondisi sejarah.
Rausyanfikr yaitu kata Persia yang artinya “pemikir yang
tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggeris terkadang disebut intellectual atau
enlightened thinkers.40 Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang
ilmuwan menemukan kenyataan, seorang raunsyafikr menemukan
kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya,
raunsyafikr memberi penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan
berbicara dengan bahasa universal, raunsyafikr seperti para Nabi, berbicara
dengan bahasa kaumnya. lmuwan bersikap netral dalam menjalankan
pekerjaannya, raunsyafikr harus melibatkan diri pada ideologinya.41
Berkaitan dengan hal di atas, Jalaludin Rahmat membedakan sarjana,
ilmuwan dan intelektual. Sarjana di artikan sebagai orang yang lulus dari
Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya ini banyak, sebab
setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan yaitu orang yang
mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan
pengamatan maupun dengan analisis sendiri. Di antara sekian banyak
sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi
ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin dan menjadi tukang-
tukang profesional.
Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok
orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana.
Mereka juga bukan ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu
penalaran dan pemikiran . Mereka yaitu h kelompok orang yang merasa
terpanggil untuk memperbaiki warga nya, menangkap aspirasi mereka,
merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang,
menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.42
Memang kata “intelektual” memeiliki banyak arti. Begitu beragamnya
definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan istilah itu sama
sekali. Tetapi James Mac Gregor Burns, saat bercerita tentang intellectual
leadership sebagai transforming leadership, mengaratikan intellektual
seperti Syariati menjelaskan kata rausyanfikr. Menurut Burn, ciri utama
intellektual yaitu a devotee of ideas, knowledge, values. Seorang intelektual
yaitu orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang
mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.43 Dalam definisi ini, orang yang
hanya menggarap gagasan-gagasan dan data analitis yaitu seorang teoritis,
orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif yaitu seorang
moralitas, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat
imajinasi yang teratur yaitu seorang intelektual” kata Burns.
Dengan demikian intelektual itu yaitu , orang yang mencoba
membentuk lingkungannya dengan gagasan-gagasan analis dan normatifnya.
sedang menurut Edward A, Shils, dalam intellectual Enciclopedia of the
Social Science, dijelaskan bahwa tugas intelektual yaitu “menafsirkn
pengalaman masa lalu warga , mendidik pemuda dalam tradisi dan
keterampilan warga nya, melancarkan dan membimbing pengalaman
astetis dan keagamaan berbagai sektor warga ...”44
Bagi Syariati, tidak semua yang tercerahkan yaitu intelektual, dan tidak
semua intelektual peraih gelar akademis yaitu orang yang tercerahkan.
Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” yaitu orang yang sadar
akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) dimasanya, serta setting
kesejarahan dan kewarga annya yang memberinya rasa tanggung jawab
sosial. Mereka yaitu individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab,
yang tujuan dan tanggung jawab utamanya yaitu membangkitkan karunia
Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. sebab hanya
kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh
menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Perubahan-perubahan itu akhirnya melahirkan jenius-jenius hebat dan
menciptakan lompatan-lompatan hebat, yang pada gilirannya menjadi batu
loncatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawan-pahlawan
yang agung. Mereka mengajarkan pada warga bagaimana caranya
“berubah” dan akan mengarahkan kemana perubahan itu. Mereka
menjalankan misi “menjadi” (becoming) dan merintis jalan dengan memberi
jawaban kepada pertanyaan “akan menjadi apakah kita?”45
Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof.
Seorang filosof Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan
keyakinan, sebab Aristoteles bukanlah seorang rausyanfikr sebab dia tidak
memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun dalam warga nya. Di
samping itu juga Aristoteles tidak pernah membangkitkan kesadaran massa
yang menderita terhadap fakta-fakta warga mereka.
Plato sebagai seorang filosof juga tidak berbeda dengan Aristoteles,
sebab Plato juga tidak pernah mempengaruhi persoalan-persoalan
warga nya secara menentukan, meskipun memang berhasil membangun
suatu madzhab berfikir. Problemnya yaitu seorang ilmuwan dan dokter
dengan pengetahuan yang cukup banyak, tetapi ilmunya tidak berpengaruh
sama sekali pada nasib zaman dan warga nya. Andaikata bangsa Yunani
memiliki seribu orang seperti mereka, maka kehidupan bangsa Yunani
akan sama saja seperti sebelumnya, malah mungkin lebih buruk, sebab
intelektual-intelektual seperti itu merupakan konsumen-konsumen mulus
yang hidup menggantungkan diri pada kekuatan para petani. Yang
dibutuhkan Yunani bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi intelektual aktif
untuk memperbaiki dan mengubah nasib para budak yang malang, walaupun
intelektual tersebut mungkin dari kalangan orang biasa atau para hamba.
Terbelenggu dalam pemikiran tentang misteri penciptaan sebagai misteri
utamanya dan esensinya, sang filosof tidak dapat melibatkan dirinya untuk
memecahkan masalah-masalah kewarga an.46
Menurut Ali Syariati, para Nabi datang bukan sekedar untuk
mengajarkan dzikir dan do’a. Melainkam mereka datang membawa suatu
ideologi pembebasan. Artinya para Nabi yaitu orang-orang yang lahir di
tengah-tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang
sanggup mengubah suatu warga yang korup dan beku menjadi kekuatan
yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban,
kebudayaan dan pahlawan.47 Nabi Ibrahim datang untuk membebaskan umat
manusia dari penyembahan terhadap berhala dan dari kekejaman raja
Namrud. Nabi Musa juga datang untuk membebaskan kaumnya dari
cengkraman raja Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan.
Demikian pula keadaannya dengan Nabi Muhammad SAW, datang untuk
membebaskan umatnya dari kebudayaan Jahiliyyah. Oleh sebab itu, para
Nabi harus dilihat secara terpisah dengan filosof, ilmuwan, artis dan manusia
kebanyakan.
Di dalam warga Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang
memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan
analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga memahami sejarah
Islam sebagai seorang yang Islamologis. Untuk pengertian ini al-Quran
sebenarnya memiliki istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul albab,
dalam al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama Republik
Indonesia mengartikan ulul albab sebagai “orang-orang yang berakal, orang-
orang yang memiliki pikiran”, terjemahan yang tidak terlalu tepat,
sedang secara istilah bahsa inggerisnya men of understanding, men of
wisdom.
Untuk memahami siapa yang dimaksud dengan ulul albab, bisa dilihat
pada surat Ali Imran ayat 191 yang berbunyi:
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan Kami tiyaitu Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” ( Q.S. Ali Imran: 191)
Dari keterangan ayat tersebut di atas, dapat diketahui ciri-ciri seorang
ulul albab itu yaitu ; a) berdzikir atau mengingat Tuhan dalam segala situasi
dan kondisi, b) memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang
pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan
kebesaran Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk
kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi, dan c) berusaha dan berkreasi
dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasi-hasil yang diperoleh dari
pemikiran dan perhatian tersebut. Dari penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa, peran ulul albab itu tidak hanya sebatas perumusan dan pengarahan
tujuan-tujuan, tetapi yaitu sekaligus harus memberi contoh pelaksanaan
serta sosialisasinya di tengah warga .
sedang Jalaluddin Rahmat menyebutkan lima tanda-tanda atau ciri-
ciri seorang ulul albab yaitu:
a. Bersungguh-sungguh mencari ilmu
b. Mau mempertahankan keyakinannya
c. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan
d. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT, dan
e. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain
untukmemperbaiki warga nya, bersedia memberi peringatan
kepada warga kalau terjadi ketimpangan, dan mau diprotes
kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di
laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku
perpustakaan, dia tampil di hadapan warga , terpanggil hatinya
untuk memperbaiki ketidakberesan ditengah-tengah warga .49
Dengan demikian seorang ulul albab tidak jauh berbeda dengan
rausyanfikr, apabila diperhatikan tanda-tanda ulul albab dengan
rausyanfikr itu sama, dimana sebagaiman telah disebutkan oleh Ali
Syariati yaitu orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human
condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan
kewarga annya yang membrasa tanggung jawab sosial. Mereka
yaitu individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang
tujuan dan tanggung jawabnya yang utama yaitu membangkitkan
karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata.
Kaena kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis
dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
2. Faktor Munculnya Rausyanfikr
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan awal, bahwa
raunsyafikr dikenal pada dekade belahan kedua abad ke-19 di Iran, dimana
istilah ini yaitu untuk menunjukkan pada kaum intelektual sekuler atau kaum
intelektual yang berpaham modernis, berkecenderungan liberal, yang bekerja
dan berfikir professional bahkan terpanggil hatinya untuk melakukan perubahan-
operubahan sosial, sampai istilah ini berkembang lebih luas.
Faktor munculnya rausyanfikr ini dipicu oleh adanya “gap“ atau
kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan kaum
intelektual denga Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub teori dengan
kutub praktek, jauhnya rakyat dar budayanya sendiri akibat pengaruh ide-idee
Barat yang hegemonis dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi munculnya
rausyanfikr.
Tragedi yang paling menyedihkan, yang menimpa warga tradisional
pada umumnya dan warga Islam pada khususnya, disebabkan oleh sebab
tidak adanya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelasa
dengan golongan terpelajar. sedang di negara-negara industri Barat, rakyat
jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih bik dan
memiliki pandangan yang relatif serupa. Di Eropa, seorang profesor
unversitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang tidak
terpelajar. juga aprofesir itu tidak memandang dirinya memiliki status yang
lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh yang tak tersentuh,
terbungkus dalam kertas kaca.
Bahkan dalam sejarah awal warga -warga Islam, kesenjangan
besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat jelata tidak ada
para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama termasuk ahli hukum
(fuqaha), ahli teologi (mutakallimin), ahli tafsir al-Quran (mufassirin), para
filosof dan para sastrawan (‘daba) memiliki ikatan erat dengan warga
umum melalui agama. Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminar-seminar
(hazwah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan
hubungan dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat
bahkan masih ada sekarang. Sebagaian besar rakyat jelata yang tidak
terpelajardapat duduk berdampingan dengan ulama, yng telah mencapai status
kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka merasa
cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhan-kebutuhan,
keluhan-keluhan atau persoalan keluarga.
Namun dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern, kaum muda
di didik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tidak
tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan warga , mereka
ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang sama sekali terpisah dari
rakyat jelata. Maka kaum intelektual itu hidup dan bergerak dalam arah yang
sama dengan rakyat, tetapi dalam suatu sangkar emas lingkungan ekslusif.
Ide-ide dan nilai-nilai cultural dan intelektual Barat telah membanjiri
alam pikiran mereka dan sebab itu mempengaruhi cara berpikir mereka. Dari
dunia Barat masalah-masalah ilmiah, penilaian-penilain yang telah
diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode yang sudah di standrisasi,
berbagai kritik dan konsep-konsep serta gagasan-gagasan yang telah mapan,
semuanya di bungkus rapi dan diberi cap, persis seperti makanan kaleng yang
diawetkan, kemudian di kirim kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi
ke Barat.
Di sini mereka baca berbagai cap tersebut, kemudian mereka buka isinya
dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran yang diimport,
tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya terhadap warga ,
maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri dan tanpa kehati-hatian
dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.50
Menurut Ali Syariati cara kita meniru yang paling baik yaitu
menyelidiki jalan yang telah di tempuh oleh Barat yang telah menginginkan
Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang dan kita harus
menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati.
3. Tugas dan Tanggung Jawab Rausyanfikr
Rausyanfikr sebagai seorang yang tercerahkan atau nabi sosial memiliki
pesan dan tanggung jawab yang besar. Sebagai Nabi terakhir Muhammad SAW,
orang yang tercerahkan yang melanjutkan misi kenabian. Sebagaimana di
kemukakan oleh Chandell, bahwa, “pencerahan yaitu suatu bentuk kenabian”.
Setelah Nabi Muhammad saw melanjutkan misi kenabian ini yaitu pribadi
yang sadar, yang di utus untuk menyampaikan misi ini di tengah-tengah
warga untuk mencapai suatu tujuan, kebebasan dan kesempurnaan
manusiawi, dan membantu mereka untuk menyelamatkan diri sendiri dari
kebodohan, kemusyrikan dan penindasan. Bersikap sosial, berada di tengah
warga dan merasa bertanggung jawab atas nasib warga yang
diperbudak dan ditindas yaitu karakteristik hakiki sifat tercerahkan. Orang
yang tercerahkan yaitu seorang nabi yang tidak menerima wahyu, tetapi
mengemban tugas dan tanggung jawabnya.
Jadi, meskipun bukan nabi, orang-orang yang tercerhkan harus
memainkan peranan sebagai nabi bagi warga nya. Ia harus menyerukan
kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan
tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka yang
mandek.
Orang-orang yang tercerahkan seperti nilai-nilai di masa lampau,
berbeda dengan filosof, sastrawan, ilmuwan, mistiskus dan seniman-seniman
yang hidup bersama orang-orang yang memiliki minat yang sama, terpencil
jauh dari warga umum dan berada pada lingkaran warga mereka
sendiri, di gunung-gunung, biara, kuil, universitas, sekolah, perpustakaan dan
rumah-rumah pribadi mereka. Yang terakhir ini dapat melahirkan tugas mereka
sendiri, tanpa mengetahui sesuatupun tentang nasib warga atau
kesengsaraan-kesengsaraan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan meraih
kedudukan mulia sebagai filosof, pendeta yang saleh, mistikus pemuja Tuhan
atau jenius dalam bidang kesenian. Sebaliknya, segera setelah seorang nabi
menerima tugas, ia melangkah langsung menuju jantung warga nya untuk
mencari rakyat. Wahyu pertama misalnya memerintahkan Muhammad untuk
keluar dari pengungsian individualnya, meninggalkan kehidupan pribadi,
keluarga dan kelompoknya dan berdiri di tengah warga memberi mereka
harapan, peringatan, menyerang lambang-lambang kebodohan, kebohongan,
ketahyulan dan menghancurkan Tuhan-tuhan palsu yang telah diciptakan oleh
warga nya sendiri.
Menjadi satu dengan warga , bangkit dari kalangan mereka dan
bersama-sama dengan mereka itulah salah satu makna dari kata sifat “ummi”.52
Menjadi satu dengan warga merupakan ciri khas nabi dan orang yang
tercerahkan , yang menjadi pewaris nabi. Dengan demikian mereka tidak boleh
hidup terpencil, tersembunyi dari rakyat dan sebagaimana dikatakan oleh orang-
orang Eropa, berada dalam “menara gading” atau seperti dinyatakan al-Quran
“terbungkus dalam selimut” mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri.
Maka, seorang yang tercerahkan harus turun dari “menara gading” dan
bergabung dengan rakyat, sebab di katakan oleh Chandell, berbicara tentang
rakyat tanpa adanya mereka sama saja dengan kebohongan. Orang-orang yang
berbicara tentang rakyat, warga , kolonialisme, dunia ke tiga dan
sebagainya. Sementara mereka duduk di restoran mewah di Teheran Utara atau
di tempat-temat lainnya, boleh menyebut dirinya ahli sosiologi, politisi,
ilmuwan, penulis, filosof dan sebagainya, tetapi mereka bukan individu-individu
tercerahkan.
Apa yang dilakukan oleh Plato, yaitu menutup pintu akademisnya untuk
rakyat, itu hal yang biasa. Apalagi sampai menyatakan bahwa “barang siapa
yang tidak mengetahui tentang geometri dilarang memasuki taman ini”,
berbincang-bincang dengan beberapa ilmuwan jenius yang memahami geometri
dan memikirkan hanya tentang Republik Utopia, puisi, kebenaran, kepalsuan,
moral dan keadilan. Maka sebaliknya Muhammad tidak boleh berbuat begitu, ia
menjalani awal kehidupannya sendirian di Padang Pasir sebagai gembala, di
rumah Khadijah (isterinya) atau di Goa Hira’ untuk bersemedi. Tetapi segera
setelah ditunjuk sebagai nabi, dari ketinggian gunung yang sepi dan lengang,
cepat-cepat ia turun dan menuju jantung kota Mekkah. Ia menyampaikan
pesannya di bukit Shafa, di hadapan Dar al-Nadwah yang merupakan tempat
pertemuan (majelis) para bangsawan dan menentang keras Tuhan-Tuhan palsu
sembahan warga nya. Muhammad meninggalkan batasan-batasan rumahnya
dan tinggal di mesjid dan membuka pintu kamarnya di mesjid yang menjadi
rumah rakyat. Itu berarti bahwa, ia kini telah menjadi utusan atau nabi yang
terpercya untuk menyampaikan pesan,ia menyibakkan selimut yang
membungkus dirinya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya.
Ali Syariati menekankan pentingnya memahami warga , keyakinan
dan kepercayaan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, sebab-sebab yang
sesungguhnya dari keterbelakangan warga nya dan berbagai tipe sosialnya,
maka setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar dari orang-orang
yang tercerahkan atau rausyanfikr yaitu menemukan penyebab sebenarnya dari
kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya, lebih-lebih ia harus
mendidik warga nya yang bodoh dan masih tertindas, mengenai alasan-
alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis.
Dengan berpijak pada sumber-suumber, tanggung jawab, keluhan-
keluhan dan penderitaan warga nya, ia harus menentukan pemecahan-
pemecahan rasional yang akan memungkinkan warga nya membebaskan
diri mereka dari “status quo”. Berdasrkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-
sumber daya terpendam di dalam warga nya dan diagnosa yang tepat pula
atas penderitaan warga itu, orang yang tercerahkan harus berusaha untuk
menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit
sosial dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan ekternal.
Akhirnya orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman kelompok
rekan-rekan yang terbatas ini kepada warga secara keseluruhan.53
Orang-orang yang tercerahkan cukup tanggap di abad ini telah
menyadari betapa kaum intelektual yang kebarat-baratan telah demikian
tergantung pada Barat dan kebudayaannya. Apa yang mereka pinjam dan impor
dari Barat sering kali tidak relevan dengan maksud-maksud kita dan masalah
kita. Timur menderita kelaparan, Barat menderita kekenyangan. Seseorang yang
kata-katanya bernada kekenyangan tidak akan bermakna bagi seseorang yang
sedang mati kelaparan. Pernyataan-pernyataan dari Barat yaitu tepat dan
bermakna bagi orang Barat. Hanya di tanah asal usulnya kata-kata itu dapat
memetik hasil yang banyak, tetapi tidak di tanah asing. Jika di tanam di tanah
Timur, maka rasa aslinya keharuman dan kaitannya menjadi hilang.54
Dalam pada itu kondisi dan watak warga kita sekarang bukanlah
seperti warga yang terdapat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Bila kita buat
perbandingan antara dan warga tersebut. Kita akan menemukan bahwa
warga kita sesungguhnya mirip dengan warga Eropa abad ke-13,
namun kaum intelektual kita masih terus menyuguhkan pendapat-pendapat abad
ke-19 kepada manusia abad ke-13, makanya mereka tidak mendapatkan para
pendengar yang tidak paham dan bahkan mereka menjadi tidak begitu efektif
dan mandul. Sementara intelektual dari warga ini hidup pada suatu abad
yang mirip dengan abad ke-13 di Eropa, ia menerima pendapat-pendapat,
pemikiran dan gagsan dari kaum intelektual Eropa dari dua abad terakhir. Tidak
aneh jika kekurangan pendengar, sebab ia telah memisahkan diri dari waktu
yang tepat.55 Dengan demikian sangat penting bagi intelektual untuk
mengetahui secara riil yang menjadi kebutuhan dan kondisi sosial suatu
warga .
Seperti yang terjadi pada orang-orang yang tercerahkan pada suatu
masyarkat yang terjajah terutama brtanggung jawab untuk menciptakan
kesadaran kolektif gun