Minggu, 29 Desember 2024

teologi ali syariati 2


 para pengusung teologi pembebasan 

hampir sama, yakitu ingin mendobrak kemampanan lembaga resmi keagamaan 

(ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan dan 

berpaling dari kenyataan riil umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. 

Mereka sama-sama mendobrak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang 

telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan 

menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama 

berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan 

hak menafsirkan agama kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk 

yaitu  ajaran agama yang sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat. 

 Seperti yang pernah di nyatakan oleh Leonardo Boff, teologi 

pembebasan yaitu  pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan ntaya 

suatu praktis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, 

ini yaitu  pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, 

yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem 

sosial keagamaan, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, 

serta kelompok-kelompok warga   yang berbasis keagamaan. 

Kalau diperhatikan sejak tahun 1971, pemikiran-pemikiran Syariati 

memang telah muncul dalam corak yang berbeda dengan kebanyak pemikiran 

konvensional dan konservatif waktu itu. Syariati merupakan seorang pemikir 

revolusioner, makanya menurut Syariati ide-ide ravolusioner itu harus lahir dari 

tradisi agama. Artinya agama harus menjadi sentral idiologi politik keagamaan 

yang difungsionalisasi sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan 

rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Namun utnk 

membawa perubahan bagi tertindasnya rakyat dari kolonialisme ekonomi, 

politik di perlukan dua bentuk revolusi, yaitu;  pertama,  revolusi nasional yang 

bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi 

jug auntuk merevitalisasi kebudayaan dan identitas nasional. Kedua,  revolusi 

sosial untuk menghapus semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna 

menciptakan warga  yang adil tanpa kelas.28 

Menurut Syariati, negara-negara ke tiga termasuk Iran harus 

menumbuhkan kembali nasionalismenya, memulihkan kembali warisan budaya 

dan keagamaannya yang belum di jajah oleh Barat. Negara dunia ketiga  

                                                         

dihinggapi oleh penyakit imperialisme internasional, rasisme, penindasan kelas, 

ketidak adilan dan mabuk dengan budaya Barat. Makanya Syariati sangat 

mengecam imperialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh besar 

yang harus di berantas dalam jangka panjang. Namun menurut nya yang sangat 

mendesak untuk di berantas yaitu  ; pertama,  marxisme vulgar yang menjelma 

dalam bentuk Stanilisme yang digandrungi banyak intelektual dan yang kedua, 

Islam konservatif sebagaimana yang dipahami oleh banyak ulama.29 

Imperialisme dalam bentuk pemkiran tidak luput dari perhatian Syariati, 

terutama yang berkaitan dengan Marxisme. Dalam bagian tertentu Syariati 

menggunakan analis Marxis dala menjelaskan perkembangan warga , 

perlawanan, sikap kritis dan oposisinya atas kekuatan yang mapan. Syariati 

memang memberi  apresiasi baik terhadap pendekatan Marxis, tetapi bukan 

berarti pendekatan ini diterimanya begitu saja, ia mengecam dan mengkritik 

marxisme yang tumbuh dalam bentuk partai dan komunis. Dengan begitu 

Syariati terkesan orang yang mengikuti Marxisme yang berbaju Islam, meski ia 

melihat Marx dlam tiga fase yang terpisah satu sama lain yaitu30: 

Pertama, Marx muda seorang filsuf ateistis, yang mengembangkan 

materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, jiwa dan kehidupan di akhirat. 

Sifat ateistis marx ini dikembangkan ke luar Eropa dalam memerangi gereja 

reaksioner mereka mengecam seluruh bentuk agama tanpa kualifikasi. 

Kedua,  Marx dewasa, yang terutama merupakan seorang ilmuwan sosial 

yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang 

dikuasai. Marx dalam hal ini lebih jauh menjelaskan tentang bagaimana hukum-

hukum “determinisme historis” bukan “determinisme ekonomi”. 

Ketiga, Marx tua, yang terutama merupakan politisi. Dalam kapasitas ini, 

Marx dan Marxisme menjelma menjadi partai revolusioner. Marx ini sering 

membuat prediksi yang pantas dari segi politis, tetapi tidak sesuai dengan 

metodologi ilmu sosialnya, inilah yang disebut oleh Syariati dengan “Marxisme 

ilmiah”. 

 

Dari penjelasan di atas, kecendrungan dari Syariati yaitu  pada Marx 

dewasa, artinya ia menerima sejumlah pemikiran dan aksi Marx ke dua ini, 

terutama cara pandangnya tentang pembagian warga , alat-alat produksi dan 

                                                          

pembentukan warga  atas dasar suprastruktur yang bersifat politis-ideologis, 

di sinilah Syariati memasukkan agama ke dalam suprastruktur ideologis-politis.  

Islam menurut Syariati yaitu  suatu dogma yang hadir sebagai jawaban 

atas perilaku-perilaku penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh 

warga  abad jahiliyah. Dalam konteks ini Islam hadir sebagai ideologi yang 

membebaskan dan secara substantif melakukan revolusi yang signifikan dalam 

sejarah peradaban    

  Islam menjadi suatu kekuatan yang menandai terjadinya perubahan 

dalam peradaban umat manusia, tidak hanya dlam hal ritual keagamaan, akan 

tetapi juga dlam hal ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Sistem norma 

dan nilai dalam Islam menjadi ukuran bagi semua umat manusia dalam 

membentuk kepribadian, perilaku dan sikap seseorang yang jujur, adil dan 

berperikemanusiaan. Sebagai ideologi besar Islam memberi  altenatif-

alternatif solusi cerdas secara ideologis yang berpihak kepada kaum yang lemah 

dan tertindas.  

Perjuangan menegakkan nilai-nilai fundamental Islam itu dilakukan Nabi 

dengan sahabat melalui taktik dan strategi politik yang genius sehingga secara 

revolutif  kondisi masyarkat jahiliyah dapat ditransformasi menjadi warga  

yang beradab dan religius. Pada masa pra-kenabian, kedudukan perempuan 

terpuruk dalam sistem patriarkhat yang despotic (aniaya) namun Islam telah 

merubahnya menjadi berkedudukan yang equality (sejajar) dalam kehidupan 

pada semua bidang.  

Islam sebagai agama yang memiliki agenda jangka panjang untuk 

menghilangkan hegemmoni suku Quraisy  yang arogan dan tradisi perbudakan 

yang terjadi pada masa itu. Nabi Muhammad mengembangkan misi membangun 

tatanan baru untuk kemanusiaan dan keadilan sosial, Islam sebagai ideologi 

memiliki agenda revolusioner yaitu: pertama, Nabi Muhammad menekankan 

kesatuan yaitu menghilangkan sekat-sekat kesukuan. Kedua, Nabi Muhammad 

pada periodeMekkah menentukan persamaan derajat di antara para umatnya 

tanpa memandang status sosial datau asal-usul suku. 

 

Dengan memotret misi besar Nabi Muhammad tersebut, tampaknya Al 

Syariati juga menjadikan Islam sebagai ideologi pergerakannya dalam rangka 

menentang rezim Syah Pahrlevi yang zalim dan tidak berlaku adil terhadap 

rakyat. Setelah Syariati menyelesaikan pendidikannya di Perancis sejak 

September 1964, sikap kritisnya bertambah menguat. Namun cara dia 

mengeritik itu tidak lagi secara langsung, akan tetapi yaitu  dengan cara 

membuat soosk bayangan. Artinya Syariati menciptakan figur simbolis kaum 

tertindas sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Syah Pahlevi. Di sini di 

menggunakan tokoh Abu Dzar sebagai tokoh yag tangguh dalam menghadapi 

kekayaan, kekuasaan dan bahkan otoritas agama untuk menyelamatkan Islam 

autentik. Syariati merujuk kepada Abu Dzar sebagai sosok yang menginspirasi 

gerakan intelektualnya, lebih jauh lagi Syariati menemukan Abu Dzar sebagai 

sosok yang membuat ia yakin bahwa konsep-konsep seperti keadilan sosial, 

kebebasan dan sosialisme yang samapai ke Iran yaitu  merupakan warisan 

Islam. Sehingga dia mengatakan bahwa Abu Dzar yaitu  leluhur segenap mahab 

egaliter pasca-Revolusi Perancis.31 

Islam merupakan agama yang membimbing kepada kemajuan agama 

pembebasan dan agama bagi mereka yang tertindas. Dan Islam itu bukanlah 

idieologi manusia yang terbatas pada masa dan persada tertentu, tetapi 

merupakan arus yang mengalir sepanjang perjalanan sejarah. Islam yang 

ditawarkan oleh Syariati tidak hanya sebatas agama ritual dan fikih, tetapi lebih 

dari itu yaitu  yang menjangkau persoalan politik dan sosial kewarga an. 

Dan tidak juga hanya sekedar dogma yang mengatur bagaiman cara beribadah, 

akan tetapi lebih menyentuh pada bagaiman cara menegakkan keadilan, strategi 

melawan kezhaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustadafin). 

Islam dalam pandangan Syariati yaitu  Islam yang bersifat revolusioner, 

itulah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat-Nya. 

Namun dalam perkembangannya Islam menjadi sebuah dogma yang berisi do’a-

                                                         

do’a dan ritual yang tidak menjangkau wilayah kemanusiaan. Dalam hal ini 

Syariati membangun gagasan revolusi Islamnya dengan mengusung ideologi 

pembebasan (ideologi of liberation) sebagaimana banyak yang disuarakan di 

negara-negara Amerika Latin dan Asia32. Revolsi dalam pemikiran Syariati 

sebenarnya ingin melakukan delegitimasi paradigma umat islam yang bersifat 

ritus-ritus. Dengan konsep yang demikian Islam terkesan bahwa Islam itu yaitu  

agama yang pasif, dan bahkan Islam itu juga terkesan sebagai seperangkat 

dogma yang ambigu. berdasar  pola pemahaman itulah,   Syariati 

berpendapat bahwa Islam merupakan suatu bentuk ajaran yang bersifat 

revolusioner, makanya ia harus berkembang dan dinamis dalam praktiknya. 

Islam sebagai suatu idiologi menurut Syariati yaitu  “suatu keyakinan yang 

dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan yang timbul dan memecahkan 

masalah-masalah dalam warga . Idiologi itu yaitu  untuk mengarahkan 

suatu warga  atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan perjuangannya. 

sedang  idiologi di pilih yaitu  untuk mengubah dan merombak status quo 

secara fundamental. Dengan demikian maka, akan terdapat dua jenis agaa yaitu; 

pertama,  agama sebagai idiologi, dan kedua,  agama sebagai kumpulan tradisi 

dan konversi sosial atau juga sebagai support dalam suatu kelompok. 

Islam sebagai idiologi akan membawa kepada terbentuknya orde sosial 

baru yang bersandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam struktur 

sosial warga . Islam yang demikian membawa pengaruh yang sangat besar 

terhadap mereka yang sudah lama tertindas oleh ketidak adilan dan diskriminasi 

yang ada. Makanya di sana Islam berfungsi sebagai kekuatan yang bisa 

melepaskan manusia dari jeratan sistem sosial dan politik yang ada. 

Syariati merumuskan idiologi ini untuk membangun kembali kesadaran 

keagamaan rakyat agar keluar dari penindasan rezim dan Islam Syiah menjadi 

alat untuk perubahan itu. Sedang islammenurut Syariati yaitu  agama yang 

bukan hasil dari sebuah kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahid, 

bahkan bukan pula Islam sebagai sebuah tradisi umum, tetapi yaitu  Islam yang 

                                                         

dalam kerangka pikir Abu Dzar. Islam datang sebagai upaya untuk mrespon 

persoalan-persoalan yang muncul daalam warga . Makanya di  sini Islam di 

pahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif dan di posisikan 

sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial politik, seperti 

penindasan, diskriminasi, ketidak adilan dan sebagainya. Semangat islam 

sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi warga  Islam 

untuk membangun peradaban baru yang progressif, partisipasif tanpa penindasan 

dan ketidakadilan. 

 Teologi pembebasan yaitu  produk kerohanian, dan harus diakui dengan 

menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk 

akal. Teologi pembebasan telah memberi  sumbangsih yang amat besar 

terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal 

tersebut telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional 

keagamaan yang mapan. Beberapa di antara doktrin itu yaitu ; 1) gugatan moral 

dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai 

suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) penggunaan alat analisis marxisme 

dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada 

kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut 

kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks keagamaan, 5) perlawanan 

menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama, 6) kecaman terhadap 

teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani 

Platonis.33 

 Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang di 

usung oleh kalangan revolusioner dilingkungan agama Katholik, Islam 

revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih memiliki  kerangka pikir 

yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadarn rohani dan Islam 

pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-

masing memiliki  tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk 

                                                          

memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan 

otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini. 

 Sebagaimana yang terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan 

Islam yaitu  untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang 

tertindas dan ekspolitasi, mereka inilah yang disebut dengan kelompok 

warga  yang lemah. warga  yang sebagian anggotanya mengeksploitasi 

sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai 

warga  Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas 

Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran 

dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar terhindar dari 

keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya 

warga  Islam. Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan bahwa sebuah negara 

dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa 

bertahan jika di dalamnya terdapat dhulim (penindasan). 

 Namun apa yang selama ini di gelisahkan oleh Ali Syariati yaitu  

bahwa, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental 

dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru 

menyokong kemapanan yang sudah kuat itu.  

Begitulah pemikiran Syariati dalam hal agama atau Islam pada khsusnya, 

yang selalu di kaitkan dengan persoalan-persoalan kewarga an, keadilan dan 

suatu perubahan. 

Sumebr-sumber Pembahasan teologi  Islam 

Adapun sumber pembahasan yang digunakan untuk membangun Ilmu 

Teologi Islam menggunakan beberapa sumber antara lain : 

1. Sumber yang ideal. Yang di maksud dengan sumber yang ideal yaitu  al-

Quran dan al-Hadits yang di dalamnnya dapat memuat data yang 

berkaitan dengan objek kajian dalam Ilmu Tauhid. Misalnya, telah 

dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal sholeh yang 

dilakukan oleh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila 

didasari dengan akidah Islam yang benar. sebab  penyimpangan dari 

36 

 

akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni. Dan 

penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT. 

sedang  Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh 

orang kafir, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini 

Allah SWT berfirman, yang artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara 

kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah 

yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah 

penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqoroh : 217) 

2. Sumber Historik. Sumber historik yaitu  perkembangan pemikiran yang 

berkaitan dengan objek kajian ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam 

kalangan internal umat Islam maupun pemikiran eksternal yang masuk 

kedalam rumah tangga Islam. Sebab, setelah Rasulullah saw wafat, Islam 

menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat Islam berkenalan dengan 

ajaran-ajaran, atau pemikiran-pemikiran dari luar Islam, misalnya dari 

Persia dan Yunani. Sumber historik akan menentukan fakta, sedang   

fakta diketahui melalui dokumen-dokumen. 

Metode Pembahasan Studi Teologi Islam 

Ada dua metode atau cara dalam pembahasan Ilmu Tauhid, yakni: 

Pertama, Menggunakan dalil naqli. pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Quran 

yaitu  tauhid, nabi Muhammad saw diutus Allah kepada umat manusia yaitu  

juga untuk mendengarkan ketauhidan tersebut, sebab  itu ilmu tauhid yang 

terdapat didalam Al-Quran dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah saw dalam 

haditsnya. Penegasan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah itu 

maha Esa antara lain: “Katakanlah “Dia-lah Allah, yang Maha Esa; Allah yaitu  

Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan 

diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS. Al-

Ikhlas:1, yang artinya. Keesaan Allah SWT tidak hanya pada zat-nya tapi juga 

esa pada sifat dan af’al (perbuatan)-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat yaitu  

Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian. Esa pada sifat berarti sifat 


 

Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun memiliki  

sifat sebagaimana sifat Allah SWT. 

Kedua, Menggunakan dalil aqli. Penggunaan metode rasional yaitu  salah. 

Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu bahwa iman yang 

diperoleh secara taklid mudah terkena sikap ragu-ragu dan mudah goyah apabila 

berhadapan dengan hujjah yang lebih kuat dan lebih mapan. sebab  itu ulama 

sepakat melarang sikap taklid didalam beriman. Orang harus melakukan nalar 

dan penalaran baik dengan memakai dalil aqli maupun dalil naqli. Didalam Al-

Quran banyak ditemukan ayat yang mengkritik sikap taqlid ini, antara 

mengkritik sikap taklid ini, antara lain; “apabila dikatakan kepada mereka, 

marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rosul-Nya. Mereka 

menjawab, cukuplah bagi kami apa yang kita dapatkan dari bapak-bapak kami, 

meskipun bapak-bapak mereka tidakmengetahui apa-apa (tidak punya hujjah 

yang kuat) dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Maidah  : 104). Ayat ini 

mengandung kritikan terhadap sikap yang hanya ikut-ikutan sedang  nenek 

moyang yang diikutinya tidak memiliki hujjah yang kuat bagi keyakinannya. 

Dalam hukum akal dijelaskan, apabila kita menerima suatu keterangan, maka 

akal kita tentu akan menerima dengan salah suatu pendapat atau keputusan 

hukum, seperti, (1). Membenarkan dan mempercayainya (wajib aqli). (2). 

Mengingkari dan tidak mempercayainya (muhal atau mustahil) 

(3)Memungkinkan (jaiz). Adapun dalam hal keyakinan, teori keyakinan 

membagi tipe keyakinan ada tiga, yaitu: (1). Keyakinan itu ada dua, sentral dan 

periferal, (2). Makin sentral sebuah keyakinan, ia makin dipertahankan untuk 

tidak berubah, (3). Jika terjadi perubahan pada keyakinan sentral, maka sistem 

keyakinan yang lainnya akan ikut berubah. 

Manfaat Mempelajari teologi Islam 

 

Teologi Islam Sebagai Disiplin sebuah Ilmu merupakan salah satu dari 

tiga pondasi Islam yang pemahamannya harus ada pada setiap orang. Dengan 


 

mempelajari teologi Islam, kita dapat memperkuat aqidah kita dan mempererat 

serta menjaga ukhwah Islamiyah dalam ber’itiqod 

Hubungan Filsafat, Tasawuf dan Teologi dalam Islam 

Hubungan Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf ketiganya berusaha mencari 

kebenaran (al-haq) dengan metode yang berbeda satu sama lainnya. Jika tasawuf 

memperoleh kebenaran sejati melalui mata hati, ilmu kalam ingin mengetahui 

kebenaran ajaran agama melalui penalaran ratio lalu dirujukkan kepada nash, 

dan filsafat menghasilkan kebenaran spekulatif tentang segala yang ada. Pada 

intinya ketiganya mendalami pencarian segala yang bersifat ghaib / rahasia yang 

dianggap sebagai kebenaran terjauh di mana tidak semua orang dapat 

menjangkaunya. 

Ada Beberapa keterkaitan antara Ilmu teologi Islam, filsafat, dan tasawuf 

dalam objek kajian. Objek kajian ilmu kalam yaitu  ketuhanan dan segala 

sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat yaitu  masalah 

ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. 

sedang  objek kajian tasawuf yaitu  Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan 

terhadap-Nya. Jadi dilihat dari objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang 

ketuhanan. Menurut argument filsafat, ilmu kalam dibangun atas dasar logika. 

Oleh sebab  itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak bisa 

dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Kerelatifan logika 

menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan. Baik ilmu kalam, filsafat, 

maupun tasawuf berususan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. 

Dan Perbedaan antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek 

metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah 

landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis) 

dan argumentasi naqliyah yang berfungsi untuk mempertahankan keyakinan 

ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadilah) / 

dialog keagamaan.Sementara filsafat yaitu  sebuah ilmu yang digunakan untuk 

memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara 


menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) 

serta universal (mendalam) dan terikat logika. Adapun ilmu tasawuf yaitu  ilmu 

yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat 

subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Sebagian pakar 

mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf yaitu  dzauq, intuisi, atau ilham, atau 

inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf 

dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya 

datang dari subjek sendiri 

Pembahasan teologi merupakan pembahasan dalam hal yang komplit 

dalam pemikiran Islam.sebab  teologi merupakan kajian yang selalu dikaitkan 

dengan keyakinan dan pemikiran seseorang. Artinya kedua hal itu tidak bisa 

dipisahkan satu sama lain dan saling mengisi di antara satu sama lainnya. 

Apabila iman sudah kuat kalau pemikirannya tidak berfungsi, maka akan ada 

kepincangan antara kehidupan dunia dengan akhiratnya. 

Teologi yaitu  ilmu yang membahas tentang masalah keyakinan kepada 

Allah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan Allah, di antaranya tentang 

perbuatan Allah, dosa besar dan dosa kecil dan juga qadha dan qadhar. Adapun 

dalam kajian teologi Pembebasan Ali Syariati ini yaitu  berbicara tentang 

persoalan tauhid, sebab  Ali Syariati yaitu  seorang pemikir yang membawa 

konsep tauhid, bahkan bisa dikatakn sebagai seorang muslim monoteistik yang 

radikal. Dan tidak puas dengan menjadikan monoteistik sebagai konsep filosofis  

sebuah doktrin teologis yang cuma diperdebatkan. 

 

 

2. Konsep Ali Syariati tentang Kepemimpinan 

 

Syariati begitu kental dengan syi’ah, disebabkan oleh kondisi politik di 

Iran yang merupakan basis terkuat aliran syi’ah. Syariati memulai konsep 

imamah dengan terlebih dahulu memahami makna ummah membandingkan 

istilah nation, qaum, qabilah dan sya’b dengan ummah. Keempat istilah itu ada 

pengecualian pada istilah qabilah sebab itu sama sekali mengandung arti 

kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja kelebihan istilah qabilah juga 

ditemukan pada istilah ummah 

Dalam istilah ummah ada gerakan yang mengarah kepada tujuan 

bersama, yang nerupakan landasan ideologis.istilah ummah secara terperinci 

mengandung tiga konsep yaitu; pertama, kebersamaan dalam arah dan tujuan, 

kedua,  gerakan menuju arah dan tujuan tersebut, ketiga, keharusan adanya 

pimpinan dan petunjuk kolektif. Secara kaian filologinya yaitu   mungkin ada 

ummah tanpa adanya imamah. Di sini terkesan bahwa ada sift yang 

rmelindungi dari bahaya, menguasai massa dan membuat ketenangan dan 

kedamaian. 

Syariati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis yang 

selalu  bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang  

bahwa tanggung jawab paling utama dan penting  dari imamah yaitu  

perwujudan dan penegakan  asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, 

perubahan dan transformasi dalam bentknya yang paling cepat, lalu meakukan 

akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya 

ambisi sebagian individu terhadap ketenangan  dan kenyamanan. 

Dengan ungkapan lain Syariati mengatakan  bahwa imamah dalam 

mazhab pemikiran syi’ah yaitu  kepemimpinan progresif dan rsvolusioner 

yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimnbing 

manusia serta membangun warga  di atas fondasi yang benar dan kuat, 

yang bakal menarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian 

dalam mengambil keputusan. 

  Adapun tugas imam menurut Syariati, tidak hanya terbatas memimpin 

manusia dalam salah satu aspek politik, kewarga an dan perekonomian, 

juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai 

panglima, amir atau khalifah. Akan tetapi tugasnya yaitu  menyampaikan 

kepada umat manusia dlam semua aspek kemanusiaan yang bermacam ragam. 

Seorang imam dalam arti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi 

selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian Syariati 

mengingatkan  bahwa imam bukanlah supra-manusia, akan tetapi manusia bisa 

yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super. 

3. Pemikiran Ali Syariati Tentang Raunsyanfikr 

a. Pengertian 

 

Istilah raunsyanfikr sudah di kenal di Iran, sejak abad ke-19, yang 

secara harfiahnya di artikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”.34 Tetapi 

secara historis istilah ini menunjukkan pada pengertian umum tentang kaum 

intelektual sekuler yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai di 

pakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi dan 

dipengaruhi oleh para filosof  Eropa abad ke-18 yang dikenal sebagai abad 

pencerahan. 

 Pada awalnya pengertian Raunsyanfikr hanya terbatas untuk orang-

orang tertentu saja, di antaranya yaitu  kaum intelektual yang berpaham 

modernis dan berkecendrungan liberal, yang bekerja dan berfikir secara 

profesional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan politik, 

sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya, kelompok ini berbeda 

dan membedakan diri dari mereka yang disebut sebagai Mullah atau ahli-ahli 

ilmu agama.35 Yang dalam lingkungan dunia Islam dikenal dengan sebutan 

“ulama”. Perbedaan itu tidak asing lagi, bagi Syariati kelompok ini  dikenal 

dengan istilah “kiyai” atau “ulama” dan “cendekiawan” atau “intelegensi” di 

pihak lain.

 

 Akan tetapi apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalam 

revolusi dapat di sejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan.

Kedua kelompok itu malah memiliki  ciri-ciri yang bertolak belakang, 

katrena itu menjelang tahun 1978, pengertian raunsyfikr telah berubah atau 

berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang 

terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada hal-hal yang 

menjadikan mereka dikenal sebagai alim-i-raunsyfkr.38 

Kalau dianalisa secara bahasanya, maka tidak ada contoh yang 

universal untuk menjadi “yang tercerahkan” sebab  posisi dan kondisi 

seseorang tidak bisa di samakan pada posisi dan kondisi yang lain. 

Contohnya, seseorang yang bisa tercerahkan di daerah Afrika Hitam, tetapi 

orang itu belum tentu bisa tercerahkan pada negara yang berkomunitas 

Islam. Seseorang yang mungkin bisa dianggap sebagai orang yang 

tercerahkan di Perancis atau negara industri Eropa, dan ia yaitu  seorang 

yang sederhana dan jujur yang tercerahkan, yang sangat berperan di 

warga nya, tetapi orang yang sama belum tentu bisa memainkan peran 

yang sama di India, artinya seseorang itu belum tentu bisa memainkan peran 

yang sama di tempat yang sama.39 Maksudnya yaitu  pencerahan itu 

berkaitan dengan waktu, tempat, lingkungan sosial dan kondisi sejarah. 

 Rausyanfikr yaitu  kata Persia yang artinya “pemikir yang 

tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggeris terkadang disebut intellectual atau 

enlightened thinkers.40 Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang 

ilmuwan menemukan kenyataan, seorang raunsyafikr menemukan 

kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, 

                                                          

raunsyafikr memberi  penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan 

berbicara dengan bahasa universal, raunsyafikr seperti para Nabi, berbicara 

dengan bahasa kaumnya. lmuwan bersikap netral dalam menjalankan 

pekerjaannya, raunsyafikr harus melibatkan diri pada ideologinya.41 

 Berkaitan dengan hal di atas, Jalaludin Rahmat membedakan sarjana, 

ilmuwan dan intelektual. Sarjana di artikan sebagai orang yang lulus dari 

Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya ini banyak, sebab  

setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan yaitu  orang yang 

mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan 

pengamatan maupun dengan analisis sendiri. Di antara sekian banyak 

sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi 

ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin dan menjadi tukang-

tukang profesional. 

 Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok 

orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. 

Mereka juga bukan ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu 

penalaran dan pemikiran . Mereka yaitu h kelompok orang yang merasa 

terpanggil untuk memperbaiki warga nya, menangkap aspirasi mereka, 

merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, 

menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.42   

 Memang kata “intelektual” memeiliki banyak arti. Begitu beragamnya 

definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan istilah itu sama 

sekali. Tetapi James Mac Gregor Burns, saat  bercerita tentang intellectual 

leadership sebagai transforming leadership, mengaratikan intellektual 

seperti Syariati menjelaskan kata rausyanfikr. Menurut Burn, ciri utama 

intellektual yaitu  a devotee of ideas, knowledge, values. Seorang intelektual 

yaitu  orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang 

                                                         

mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.43 Dalam definisi ini, orang yang 

hanya menggarap gagasan-gagasan dan data analitis yaitu  seorang teoritis, 

orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif yaitu  seorang 

moralitas, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat 

imajinasi yang teratur yaitu  seorang intelektual” kata Burns. 

 Dengan demikian intelektual itu yaitu , orang yang mencoba 

membentuk lingkungannya dengan gagasan-gagasan analis dan normatifnya. 

sedang  menurut Edward A, Shils, dalam intellectual Enciclopedia of the 

Social Science, dijelaskan bahwa tugas intelektual yaitu  “menafsirkn 

pengalaman masa lalu warga , mendidik pemuda dalam tradisi dan 

keterampilan warga nya, melancarkan dan membimbing pengalaman 

astetis dan keagamaan berbagai sektor warga  ...”44  

 Bagi Syariati, tidak semua yang tercerahkan yaitu  intelektual, dan tidak 

semua intelektual peraih gelar akademis yaitu  orang yang tercerahkan. 

Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” yaitu  orang yang sadar 

akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) dimasanya, serta setting 

kesejarahan dan kewarga annya yang memberinya rasa tanggung jawab 

sosial. Mereka yaitu  individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, 

yang tujuan dan tanggung jawab utamanya yaitu  membangkitkan karunia 

Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. sebab  hanya 

kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh 

menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. 

 Perubahan-perubahan itu akhirnya melahirkan jenius-jenius hebat dan 

menciptakan lompatan-lompatan hebat, yang pada gilirannya menjadi batu 

loncatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawan-pahlawan 

yang agung. Mereka mengajarkan pada warga  bagaimana caranya 

“berubah” dan akan mengarahkan kemana perubahan itu. Mereka 

                                                          

menjalankan misi “menjadi” (becoming) dan merintis jalan dengan memberi 

jawaban kepada pertanyaan “akan menjadi apakah kita?”45  

 Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof. 

Seorang filosof Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan 

keyakinan, sebab  Aristoteles bukanlah seorang rausyanfikr sebab dia tidak 

memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun dalam warga nya. Di 

samping itu juga Aristoteles tidak pernah membangkitkan kesadaran massa 

yang menderita terhadap fakta-fakta warga  mereka. 

 Plato sebagai seorang filosof juga tidak berbeda dengan Aristoteles, 

sebab  Plato juga tidak pernah mempengaruhi persoalan-persoalan 

warga nya secara menentukan, meskipun memang berhasil membangun 

suatu madzhab berfikir. Problemnya yaitu  seorang ilmuwan dan dokter 

dengan pengetahuan yang cukup banyak, tetapi ilmunya tidak berpengaruh 

sama sekali pada nasib zaman dan warga nya. Andaikata bangsa Yunani 

memiliki  seribu orang seperti mereka, maka kehidupan bangsa Yunani 

akan sama saja seperti sebelumnya, malah mungkin lebih buruk, sebab  

intelektual-intelektual seperti itu merupakan konsumen-konsumen mulus 

yang hidup menggantungkan diri pada kekuatan para petani. Yang 

dibutuhkan Yunani bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi intelektual aktif 

untuk memperbaiki dan mengubah nasib para budak yang malang, walaupun 

intelektual tersebut mungkin dari kalangan orang biasa atau para hamba. 

Terbelenggu dalam pemikiran tentang misteri penciptaan sebagai misteri 

utamanya dan esensinya, sang filosof tidak dapat melibatkan dirinya untuk 

memecahkan masalah-masalah kewarga an.46 

 Menurut Ali Syariati, para Nabi datang bukan sekedar untuk 

mengajarkan dzikir dan do’a. Melainkam mereka datang membawa suatu 

ideologi pembebasan. Artinya para Nabi yaitu  orang-orang yang lahir di 

tengah-tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang 

                                                          

sanggup mengubah suatu warga  yang korup dan beku menjadi kekuatan 

yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, 

kebudayaan dan pahlawan.47 Nabi Ibrahim datang untuk membebaskan umat 

manusia dari penyembahan terhadap berhala dan dari kekejaman raja 

Namrud. Nabi Musa juga datang untuk membebaskan kaumnya dari 

cengkraman raja Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. 

Demikian pula keadaannya dengan Nabi Muhammad SAW, datang untuk 

membebaskan umatnya dari kebudayaan Jahiliyyah. Oleh sebab itu, para 

Nabi harus dilihat secara terpisah dengan filosof, ilmuwan, artis dan manusia 

kebanyakan. 

Di dalam warga  Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang 

memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan 

analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga memahami sejarah 

Islam sebagai seorang yang Islamologis. Untuk pengertian ini al-Quran 

sebenarnya memiliki  istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul albab, 

dalam al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama Republik 

Indonesia mengartikan ulul albab sebagai “orang-orang yang berakal, orang-

orang yang memiliki  pikiran”, terjemahan yang tidak terlalu tepat, 

sedang  secara istilah bahsa inggerisnya men of understanding, men of 

wisdom. 

Untuk memahami siapa yang dimaksud dengan ulul albab, bisa dilihat 

pada surat Ali Imran ayat 191 yang berbunyi: 

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau 

duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang 

penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan Kami tiyaitu  Engkau 

                                                          


menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami 

dari siksa neraka.” ( Q.S. Ali Imran: 191) 

Dari keterangan ayat tersebut di atas, dapat diketahui ciri-ciri seorang 

ulul albab itu yaitu ; a) berdzikir atau mengingat Tuhan dalam segala situasi 

dan kondisi, b) memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang 

pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan 

kebesaran  Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk 

kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi, dan c) berusaha dan berkreasi 

dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasi-hasil yang diperoleh dari 

pemikiran dan perhatian tersebut. Dari penjelasan di atas dapat diketahui 

bahwa, peran ulul albab itu tidak hanya sebatas perumusan dan pengarahan 

tujuan-tujuan, tetapi yaitu  sekaligus harus memberi  contoh pelaksanaan 

serta sosialisasinya di tengah warga .

sedang  Jalaluddin Rahmat menyebutkan lima tanda-tanda atau ciri-

ciri  seorang ulul albab yaitu: 

a. Bersungguh-sungguh mencari ilmu 

b. Mau mempertahankan keyakinannya 

c. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan 

d. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT, dan 

e. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain 

untukmemperbaiki warga nya, bersedia memberi  peringatan 

kepada warga  kalau terjadi ketimpangan, dan mau diprotes 

kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di 

laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku 

perpustakaan, dia tampil di hadapan warga , terpanggil hatinya 

untuk memperbaiki ketidakberesan ditengah-tengah warga .49    

Dengan demikian seorang ulul albab tidak jauh berbeda dengan 

rausyanfikr, apabila diperhatikan tanda-tanda ulul albab dengan 

                                                         

rausyanfikr itu sama, dimana sebagaiman telah disebutkan oleh  Ali 

Syariati yaitu orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human 

condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan 

kewarga annya yang membrasa tanggung jawab sosial. Mereka 

yaitu  individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang 

tujuan dan tanggung jawabnya yang utama yaitu  membangkitkan 

karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. 

Kaena kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis 

dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. 

 2. Faktor Munculnya Rausyanfikr 

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan awal, bahwa 

raunsyafikr dikenal pada dekade belahan kedua abad ke-19 di Iran, dimana 

istilah ini yaitu  untuk menunjukkan pada kaum intelektual sekuler atau kaum 

intelektual yang berpaham modernis, berkecenderungan liberal, yang bekerja 

dan berfikir professional bahkan terpanggil hatinya untuk melakukan perubahan-

operubahan sosial, sampai istilah ini berkembang lebih luas. 

Faktor munculnya rausyanfikr ini dipicu oleh adanya “gap“ atau 

kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan kaum 

intelektual denga Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub teori dengan 

kutub praktek, jauhnya rakyat dar budayanya sendiri akibat pengaruh ide-idee 

Barat yang hegemonis dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi munculnya 

rausyanfikr. 

Tragedi yang paling menyedihkan, yang menimpa warga  tradisional 

pada umumnya dan warga  Islam pada khususnya, disebabkan oleh sebab  

tidak adanya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelasa 

dengan golongan terpelajar. sedang  di negara-negara industri Barat, rakyat 

jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih bik dan 

memiliki  pandangan yang relatif serupa. Di Eropa, seorang profesor 

unversitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang tidak 


terpelajar. juga aprofesir itu tidak memandang dirinya memiliki  status yang 

lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh yang tak tersentuh, 

terbungkus dalam kertas kaca. 

Bahkan dalam sejarah awal warga -warga  Islam, kesenjangan 

besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat jelata tidak ada 

para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama termasuk ahli hukum 

(fuqaha), ahli teologi (mutakallimin), ahli tafsir al-Quran (mufassirin), para 

filosof dan para sastrawan (‘daba) memiliki  ikatan erat dengan warga  

umum melalui agama. Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminar-seminar 

(hazwah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan 

hubungan dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat 

bahkan masih ada sekarang. Sebagaian besar rakyat jelata yang tidak 

terpelajardapat duduk berdampingan dengan ulama, yng  telah mencapai status 

kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka merasa 

cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhan-kebutuhan, 

keluhan-keluhan atau persoalan keluarga. 

Namun dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern,  kaum muda 

di didik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tidak 

tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan warga , mereka 

ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang sama sekali terpisah dari 

rakyat jelata. Maka kaum intelektual itu hidup dan bergerak dalam arah yang 

sama dengan rakyat, tetapi dalam suatu sangkar emas lingkungan ekslusif. 

Ide-ide dan nilai-nilai cultural dan intelektual Barat telah membanjiri 

alam pikiran mereka dan sebab  itu mempengaruhi cara berpikir mereka. Dari 

dunia Barat masalah-masalah ilmiah, penilaian-penilain yang telah 

diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode yang sudah di standrisasi, 

berbagai kritik dan konsep-konsep serta gagasan-gagasan yang telah mapan, 

semuanya di bungkus rapi dan diberi cap, persis seperti makanan kaleng yang 

diawetkan, kemudian di kirim kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi 

ke Barat. 


 

Di sini mereka baca berbagai cap tersebut, kemudian mereka buka isinya 

dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran yang diimport, 

tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya terhadap warga , 

maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri dan tanpa kehati-hatian 

dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.50 

Menurut Ali Syariati cara kita meniru yang paling baik yaitu  

menyelidiki jalan yang telah di tempuh oleh Barat yang telah menginginkan 

Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang dan kita harus 

menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati. 

  

 3. Tugas dan Tanggung Jawab Rausyanfikr  

Rausyanfikr sebagai seorang yang tercerahkan atau nabi sosial memiliki 

pesan dan tanggung jawab yang besar. Sebagai Nabi terakhir Muhammad SAW, 

orang yang tercerahkan yang melanjutkan misi kenabian. Sebagaimana di 

kemukakan oleh Chandell, bahwa, “pencerahan yaitu  suatu bentuk kenabian”. 

Setelah Nabi Muhammad saw melanjutkan misi kenabian ini yaitu  pribadi 

yang sadar, yang di utus untuk menyampaikan misi ini di tengah-tengah 

warga  untuk mencapai suatu tujuan, kebebasan dan kesempurnaan 

manusiawi, dan membantu mereka untuk menyelamatkan diri sendiri dari 

kebodohan, kemusyrikan dan penindasan. Bersikap sosial, berada di tengah 

warga  dan merasa bertanggung jawab atas nasib warga  yang 

diperbudak dan ditindas yaitu  karakteristik hakiki sifat tercerahkan. Orang 

yang tercerahkan yaitu  seorang nabi yang tidak menerima wahyu, tetapi 

mengemban tugas dan tanggung jawabnya. 

Jadi, meskipun bukan nabi, orang-orang yang tercerhkan harus 

memainkan peranan sebagai nabi bagi warga nya. Ia harus menyerukan 

kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan 

                                                          

tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka yang 

mandek. 

Orang-orang yang tercerahkan seperti nilai-nilai di masa lampau, 

berbeda dengan filosof, sastrawan, ilmuwan, mistiskus dan seniman-seniman 

yang hidup bersama orang-orang yang memiliki  minat yang sama, terpencil 

jauh dari warga  umum dan berada pada lingkaran warga  mereka 

sendiri, di gunung-gunung, biara, kuil, universitas, sekolah, perpustakaan dan 

rumah-rumah pribadi mereka. Yang terakhir ini dapat melahirkan tugas mereka 

sendiri, tanpa mengetahui sesuatupun tentang nasib warga  atau 

kesengsaraan-kesengsaraan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan meraih 

kedudukan mulia sebagai filosof, pendeta yang saleh, mistikus pemuja Tuhan 

atau jenius dalam bidang kesenian. Sebaliknya, segera setelah seorang nabi 

menerima tugas, ia melangkah langsung menuju jantung warga nya untuk 

mencari rakyat. Wahyu pertama misalnya memerintahkan Muhammad untuk 

keluar dari pengungsian individualnya, meninggalkan kehidupan pribadi, 

keluarga dan kelompoknya dan berdiri di tengah warga  memberi mereka 

harapan, peringatan, menyerang lambang-lambang kebodohan, kebohongan, 

ketahyulan dan menghancurkan Tuhan-tuhan palsu yang telah diciptakan oleh 

warga nya sendiri.

 Menjadi satu dengan warga , bangkit dari kalangan mereka dan 

bersama-sama dengan mereka itulah salah satu makna dari kata sifat “ummi”.52 

Menjadi satu dengan warga  merupakan ciri khas nabi dan orang yang 

tercerahkan , yang menjadi pewaris nabi. Dengan demikian mereka tidak boleh 

hidup terpencil, tersembunyi dari rakyat dan sebagaimana dikatakan oleh orang-

orang Eropa, berada dalam “menara gading” atau seperti dinyatakan al-Quran 

                                                         

“terbungkus dalam selimut” mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. 

Maka, seorang yang tercerahkan harus turun dari “menara gading” dan 

bergabung dengan rakyat, sebab di katakan oleh Chandell, berbicara tentang 

rakyat tanpa adanya mereka sama saja dengan kebohongan. Orang-orang yang 

berbicara tentang rakyat, warga , kolonialisme, dunia ke tiga dan 

sebagainya. Sementara mereka duduk di restoran mewah di Teheran Utara atau 

di tempat-temat lainnya, boleh menyebut dirinya ahli sosiologi, politisi, 

ilmuwan, penulis, filosof dan sebagainya, tetapi mereka bukan individu-individu 

tercerahkan. 

Apa yang dilakukan oleh Plato, yaitu menutup pintu akademisnya untuk 

rakyat, itu hal yang biasa. Apalagi sampai menyatakan bahwa “barang siapa 

yang  tidak mengetahui tentang geometri dilarang memasuki taman ini”, 

berbincang-bincang dengan beberapa ilmuwan jenius yang memahami geometri 

dan memikirkan hanya tentang Republik Utopia, puisi, kebenaran, kepalsuan, 

moral dan keadilan. Maka sebaliknya Muhammad tidak boleh berbuat begitu, ia 

menjalani awal kehidupannya sendirian di Padang Pasir sebagai gembala, di 

rumah Khadijah (isterinya) atau di Goa Hira’ untuk bersemedi. Tetapi segera 

setelah ditunjuk sebagai nabi, dari ketinggian gunung yang sepi dan lengang, 

cepat-cepat ia turun dan menuju jantung kota Mekkah. Ia menyampaikan 

pesannya di bukit Shafa, di hadapan Dar al-Nadwah yang merupakan tempat 

pertemuan (majelis) para bangsawan dan menentang keras Tuhan-Tuhan palsu 

sembahan warga nya. Muhammad meninggalkan batasan-batasan rumahnya 

dan tinggal di mesjid dan membuka pintu kamarnya di mesjid yang menjadi 

rumah rakyat. Itu berarti bahwa, ia kini telah menjadi utusan atau nabi yang 

terpercya untuk menyampaikan pesan,ia menyibakkan selimut yang 

membungkus dirinya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. 

Ali Syariati menekankan pentingnya memahami warga , keyakinan 

dan kepercayaan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, sebab-sebab yang 

sesungguhnya dari keterbelakangan warga nya dan berbagai tipe sosialnya, 

maka setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar dari orang-orang 

yang tercerahkan atau rausyanfikr yaitu  menemukan penyebab sebenarnya dari 

kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya, lebih-lebih ia harus 

mendidik warga nya yang bodoh dan masih tertindas, mengenai alasan-

alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. 

Dengan berpijak pada sumber-suumber, tanggung jawab, keluhan-

keluhan dan penderitaan warga nya, ia harus menentukan pemecahan-

pemecahan rasional yang akan memungkinkan warga nya membebaskan 

diri mereka dari “status quo”. Berdasrkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-

sumber daya terpendam di dalam warga nya dan diagnosa yang tepat pula 

atas penderitaan warga  itu, orang yang tercerahkan harus berusaha untuk 

menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit 

sosial dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan ekternal. 

Akhirnya orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman kelompok 

rekan-rekan yang terbatas ini kepada warga  secara keseluruhan.53 

Orang-orang yang tercerahkan cukup tanggap di abad ini telah 

menyadari betapa kaum intelektual yang kebarat-baratan telah demikian 

tergantung pada Barat dan kebudayaannya. Apa yang mereka pinjam dan impor 

dari Barat sering kali tidak relevan dengan maksud-maksud kita dan masalah 

kita. Timur menderita kelaparan, Barat menderita kekenyangan. Seseorang yang 

kata-katanya bernada kekenyangan tidak akan bermakna bagi seseorang yang 

sedang mati kelaparan. Pernyataan-pernyataan dari Barat yaitu  tepat dan 

bermakna bagi orang Barat. Hanya di tanah asal usulnya kata-kata itu dapat 

memetik hasil yang banyak, tetapi tidak di tanah asing. Jika di tanam di tanah 

Timur, maka rasa aslinya keharuman dan kaitannya menjadi hilang.54 

Dalam pada itu kondisi dan watak warga  kita sekarang bukanlah 

seperti warga  yang terdapat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Bila kita buat 

perbandingan antara dan warga  tersebut. Kita akan menemukan bahwa 

warga  kita sesungguhnya mirip dengan warga  Eropa abad ke-13, 

                                                         

namun kaum intelektual kita masih terus menyuguhkan pendapat-pendapat abad 

ke-19 kepada manusia abad ke-13, makanya mereka tidak mendapatkan para 

pendengar yang tidak paham dan bahkan mereka menjadi tidak begitu efektif 

dan mandul. Sementara intelektual dari warga  ini hidup pada suatu abad 

yang mirip dengan abad ke-13 di Eropa, ia menerima pendapat-pendapat, 

pemikiran dan gagsan dari kaum intelektual Eropa dari dua abad terakhir. Tidak 

aneh jika kekurangan pendengar, sebab  ia telah memisahkan diri dari waktu 

yang tepat.55 Dengan demikian  sangat penting bagi intelektual untuk 

mengetahui secara riil yang menjadi kebutuhan dan kondisi sosial suatu 

warga . 

Seperti yang terjadi pada orang-orang yang tercerahkan pada suatu 

masyarkat yang terjajah terutama brtanggung jawab untuk menciptakan 

kesadaran kolektif gun