Tampilkan postingan dengan label ayub 13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayub 13. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Januari 2025

ayub 13


 3).  

II. Ia membujuk Ayub untuk merendahkan diri di hadapan 

Allah dan merasa malu pada diri sendiri (ay. 14-16).  

III. Ia memberi Ayub sebuah nasihat yang panjang tentang ke-

adaan celaka dari orang fasik, yang mengeraskan hati ter-

hadap Allah dan penghukuman yang dipersiapkan bagi mere-

ka (ay. 17-35). Ada manfaat baik dapat digali dari teguran-

tegurannya (sebab jelas) dan tentang ajarannya (sebab sehat), 

kendati keduanya secara salah ditujukan kepada Ayub.  

Teguran Elifas yang Kedua 

(15:1-16) 

1 Maka Elifas, orang Téman, menjawab: 2 “Apakah orang yang mempunyai 

hikmat menjawab dengan pengetahuan kosong, dan mengisi pikirannya de-

ngan angin? 3 Apakah ia menegur dengan percakapan yang tidak berguna, 

dan dengan perkataan yang tidak berfaedah? 4 Lagipula engkau melenyapkan 

rasa takut dan mengurangi rasa hormat kepada Allah. 5 Kesalahanmulah 

yang mengajar mulutmu, dan bahasa orang licik yang kaupilih. 6 Mulutmu 

sendirilah yang mempersalahkan engkau, bukan aku; bibirmu sendiri men-

jadi saksi menentang engkau. 7 Apakah engkau dilahirkan sebagai manusia 

yang pertama, atau dijadikan lebih dahulu dari pada bukit-bukit? 8 Apakah 

engkau turut mendengarkan di dalam musyawarah Allah dan meraih hikmat 

bagi dirimu? 9 Apakah yang kauketahui, yang tidak kami ketahui? Apakah 

yang kaumengerti, yang tidak terang bagi kami? 10 Di antara kami juga ada 

orang yang beruban dan yang lanjut umurnya, yang lebih tua umurnya dari 

pada ayahmu. 11 Kurangkah artinya bagimu penghiburan Allah, dan perkata-

an yang dengan lemah lembut ditujukan kepadamu? 12 Mengapa engkau di-

hanyutkan oleh perasaan hatimu dan mengapa matamu menyala-nyala,  

13 sehingga engkau memalingkan hatimu menentang Allah, dan mulutmu 

mengeluarkan perkataan serupa itu? 14 Masakan manusia bersih, masakan 

benar yang lahir dari perempuan? 15 Sesungguhnya, para suci-Nya tidak di-

percayai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih pada pandangan-Nya; 16 lebih-

lebih lagi orang yang keji dan bejat, yang menghirup kecurangan seperti air. 

Elifas di sini menyerang Ayub, sebab  Ayub menentang apa yang dia 

dan teman-temannya katakan sebelumnya, dan tidak mau menyetu-

jui dan memujinya, seperti yang mereka harapkan. Orang-orang yang 

sombong cenderung sangat tersinggung jika mereka tidak dapat 

memengaruhi semua orang di sekitarnya dengan nasihat dan per-

kataan mereka. Mereka akan mengecam orang-orang itu sebagai 

bodoh dan keras kepala, dan tidak tahu apa-apa, kalau tidak sepakat 

dengan segala sesuatu yang mereka katakan. Beberapa kejahatan 

besar dituduhkan Elifas di sini terhadap Ayub, hanya sebab  Ayub 

tidak mau mengakui dirinya seorang yang munafik. 

I. Elifas menuduh Ayub bodoh dan tidak masuk akal (ay. 2-3), bah-

wa, meskipun dahulunya terkenal bijaksana, namun kini dia te-

lah kehilangan reputasinya itu. Siapa saja akan berkata bahwa 

hikmatnya telah meninggalkannya, sehingga sekarang dia ber-

bicara tidak karuan dan tanpa arah. Bildad mulai menuduh Ayub 

demikian (8:2), dan Zofar juga (11:2-3). Memang sudah biasa bagi 

orang-orang yang berdebat dengan perasaan marah untuk saling 

menggambarkan pemikiran dan alasan lawannya sebagai tidak 

karuan dan menggelikan. Mereka lupa akan celaka yang menimpa 

orang yang menyebut saudaranya Raca, dan Engkau bodoh. Me-

mang benar,  

1. Bahwa ada banyak pengetahuan yang sia-sia di dunia ini, ilmu 

pengetahuan palsu, yang tak berguna, dan sebab nya tidak 

berharga.  

2. Bahwa inilah pengetahuan yang sombong, yang dengannya 

manusia membusung dalam kesombongan atas pencapaian-

nya sendiri.  

3. Bahwa, apa saja pengetahuan sia-sia yang dimiliki seseorang 

di dalam kepalanya, jika dia dipandang sebagai seorang yang 

bijaksana, maka dia tidak seharusnya mengungkapkannya, 

melainkan membiarkannya mati bersamanya sebagaimana se-

layaknya.  

4. Pembicaraan yang tidak berguna yaitu  pembicaraan buruk. 

Kita harus memberikan pertanggungjawaban di hari yang be-

sar itu, tidak hanya untuk kata-kata yang jahat, melainkan 

juga untuk kata-kata yang tak berguna. Oleh sebab  itu, per-

kataan yang tidak menghasilkan sesuatu yang baik, yang tidak 

berguna bagi Allah atau sesama kita, atau tidak adil buat diri 

sendiri, yang tidak membuka jalan bagi pengajaran, maka le-

bih baik tidak diucapkan. Perkataan yang seperti angin, ringan 

dan kosong, terutama yang seperti angin timur, menyakitkan 

dan merusak, akan merusak diri sendiri atau orang lain, dan 

besarlah pertanggungjawabannya.  

5. Pengetahuan yang sia-sia atau pembicaraan yang tidak ber-

guna harus ditegur dan dikecam, terutama bila diucapkan se-

orang yang bijaksana, yang tidak patut baginya dan sangat 

merugikan orang lain sebab  memberikan teladan buruk.  

II. Ia menuduh Ayub tidak saleh dan tidak beragama (ay. 4): “Engkau 

melenyapkan rasa takut,” yaitu, “takut akan Allah, dan itu yang 

seharusnya engkau miliki. Lalu mengurangi rasa hormat kepada 

Allah [KJV: engkau menahan doa].” Lihatlah apa itu inti dari aga-

ma, yaitu takut akan Allah, hormat kepada-Nya, dan berdoa ke-

pada-Nya. Takut akan Allah merupakan prinsip atau pegangan 

dasar yang paling dibutuhkan, sedangkan berdoa kepada-Nya me-

rupakan tindakan yang paling berguna. Di mana tidak ada takut 

akan Allah, maka tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan. Dan 

orang-orang yang hidup tanpa doa sudah tentu hidup tanpa Allah 

di dalam dunia. Orang-orang yang menahan doa, memberi bukti 

bahwa mereka melenyapkan rasa takut akan Allah. Barang siapa 

tidak punya rasa hormat kepada keagungan Allah, tidak punya 

rasa takut kepada murka-Nya, pastilah ia tidak punya kepedulian 

terhadap jiwanya dan kekekalan, sebab  tidak mau memohon 

anugerah-Nya. Orang-orang yang tidak berdoa tidak memiliki rasa 

takut akan Allah dan tidak mendapat anugerah. saat  takut 

akan Allah dilenyapkan, maka semua dosa dibiarkan masuk, dan 

terbukalah pintu bagi segala macam kenajisan. Hal ini terutama 

buruk bagi mereka yang tadinya memiliki sedikit rasa takut akan 

Allah, namun  kemudian membuangnya sekarang, yang tadinya 

sering berdoa, namun  sekarang menahannya. Betapa dalamnya 

mereka telah jatuh! Betapa kasih mula-mula mereka telah hilang! 

Hal itu menunjukkan semacam kekuatan yang ada pada mereka. 

Takut akan Allah hendak memeluk mereka, namun  mereka mem-

buangnya. Doa hendak dipanjatkan, namun  mereka menahannya. 

Dan, dalam keduanya, mereka menggoyahkan segala keyakinan. 

Orang-orang yang menghilangkan doa atau menahan dan memba-

tasinya, memadamkan roh sebagai anak Allah dan menyangkal 

diri dari kebebasan untuk beribadah. Hal ini memang buruk, te-

tapi lebih buruk lagi untuk menahan orang lain untuk berdoa, 

melarang dan menghalangi doa, seperti Darius (Dan. 6:7). Nah 

mengenai rasa takut kepada Allah dan keharusan berdoa, mari 

kita lihat selanjutnya. 

1. Elifas menuduh Ayub tidak takut Allah, entah,  

(1) sebab  itulah yang diperbuatnya. Ia menganggap bahwa 

Ayub berbicara tentang Allah begitu bebasnya seakan-akan 

dia setara dengan-Nya. Dia menuduh Ayub begitu keras 

dengan kata-kata yang kasar berbicara tentang Allah. Juga, 

menurut Elifas, Ayub banyak menantang Allah untuk 

mengujinya dengan adil, sampai tidak peduli lagi dengan 

semua ibadah kepada-Nya. Tuduhan ini sepenuhnya salah, 

namun tidak tanpa alasan. Kita tidak hanya harus meme-

lihara doa dan takut akan Allah, namun  juga jangan menge-

luarkan ungkapan yang ceroboh yang mungkin dapat mem-

beri kesempatan kepada orang-orang yang mencari kesem-

patan untuk mempersoalkan kesungguhan dan ketulusan 

kita di dalam beragama. Atau,  

(2) sebab  itulah yang dapat disimpulkan orang dari ajaran 

yang dipertahankan Ayub. “Jika benar,” pikir Elifas, “yang 

Ayub katakan, bahwa seseorang bisa saja dengan hebat ter-

timpa malapetaka walaupun ia seorang yang benar, maka 

selamat tinggallah agama, tidak perlu lagi doa dan takut 

akan Allah. Apabila segala sesuatu tidak terkecuali menim-

pa semua orang, dan orang yang paling baik pun mendapat 

perlakukan yang terburuk di dalam dunia ini, maka setiap 

orang akan siap untuk berkata, sia-sia beribadah kepada 

Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus 

dilakukan terhadap-Nya? (Mal. 3:14). Sia-sia sama sekali 

aku mempertahankan hati yang bersih (Mzm. 73:13-14). 

Siapakah yang akan jujur bila kemah para perampok men-

jadi makmur (12:6). Apabila tidak ada pengampunan dari 

Allah (7:21), siapakah yang akan takut akan Dia? (Mzm. 

130:4). Apabila Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang 

tidak bersalah (9:23), apabila Ia menjadi begitu sukar dite-

mui (9:32), siapakah yang akan berdoa kepada-Nya?” Per-

hatikanlah, bahkan orang baik dan bijaksana sering bersa-

lah dengan berbuat tidak adil kepada lawan debat mereka, 

saat  sedang berdebat dengan hebatnya. Yaitu, mereka 

menuduh lawan debat mereka dengan hal-hal yang salah 

disimpulkan dari pendapat lawan debat mereka itu, jika 

pendapat itu tidak mereka sukai. Hal ini sama saja dengan 

tidak melakukan apa yang kita ingin orang lain perbuat 

bagi kita sendiri.  

2. Elifas memakai  sindiran yang keras ini untuk menuduh 

Ayub telah berlaku kurang hormat (ay. 5): Kesalahanmu yang 

mengajarkan mulutmu (KJV: mulutmu mengucapkan kesalahan-

mu), dan engkau mengejarkannya. “Engkau mengajarkan orang 

lain untuk mempunyai pikiran yang keras terhadap Allah dan 

agama seperti yang engkau miliki.” Memang buruk untuk me-

niadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang 

paling kecil, namun lebih buruk lagi untuk mengajari orang 

demikian (Mat. 5:19). Jika kita berpikiran jahat, hendaknya 

kita mengatup mulut kita untuk menekan pikiran yang jahat 

tersebut (Ams. 30:32), dan berusaha keras tidak mengucap-

kannya. Ini seperti memberikan peringatan supaya tidak me-

nyebarkannya keluar hingga mempermalukan Allah dan meru-

sak orang lain. Amatilah, saat  manusia telah melenyapkan 

rasa takut akan Allah dan doa kepada-Nya, maka mulut me-

reka mengucapkan kesalahan. Barang siapa berhenti melaku-

kan kebaikan, ia segera belajar melakukan kejahatan. Apa 

yang dapat kita harapkan dari orang yang tidak mempersen-

jatai diri dengan anugerah Allah untuk melawannya selain 

segala macam kejahatan? namun  bahasa orang licik yang kau-

pilih, yaitu, “Engkau mengucapkan kesalahanmu dengan ber-

lagak dan berpura-pura saleh, dengan mencampurkan kata-

kata yang baik dengan yang buruk, seperti yang dilakukan 

pedagang dengan dagangan mereka supaya mendapat banyak 

untung.” Mulut yang penuh kesalahan tidak dapat melakukan 

begitu banyak kejahatan tanpa lidah yang licik. Si ular mem-

perdaya Hawa melalui kelicikannya (Lih. Rm. 16:18). Lidah 

orang yang licik berbicara dengan rancangan dan pertimbang-

an. Oleh sebab  itu, orang-orang yang memakai nya dapat 

dikatakan memilihnya, sebab  dapat melayani tujuan mereka 

lebih baik ketimbang lidah orang yang benar. namun , akan 

terbukti pada akhirnya, bahwa kejujuran yaitu  cara yang 

terbaik. Elifas, dalam percakapannya yang pertama, telah me-

lawan Ayub hanya berdasarkan dugaan saja (4:6-7), namun  

sekarang dia telah memiliki bukti yang melawan Ayub dengan 

memakai percakapan Ayub sendiri (ay. 6): Mulutmu sendirilah 

yang mempersalahkan engkau, bukan aku. namun  dia seharus-

nya mempertimbangkan, bahwa dia dan teman-temannya sen-

diri yang telah memancing kemarahan Ayub sehingga menga-

takan apa yang sekarang dimanfaatkannya. Dan tindakannya 

itu tidaklah adil. Orang-orang yang paling patut dikutuk ada-

lah yang dikutuk oleh dirinya sendiri (Tit. 3:11; Luk. 19:22). 

Banyak orang tidak perlu lagi ditenggelamkan selain oleh 

lidahnya sendiri yang akan jatuh menimpanya. 

III. Ia menuduh Ayub dengan kesombongan dan kebanggaan diri yang 

tidak dapat dihalangi. Tuntutan Ayub itu sebenarnya adil saja, ma-

suk akal dan tidak berlebihan (12:3), bahwa aku pun punya peng-

ertian seperti kalian. namun  lihatlah bagaimana mereka justru 

mencari kesempatan untuk melawan dia, dengan menganggap dia 

seakan-akan berpura-pura lebih bijaksana daripada siapa pun. 

sebab  dia tidak mau mengakui bahwa mereka satu-satunya yang 

menguasai hikmat, mereka balik menganggap Ayub yang meman-

dang diri sendiri satu-satunya yang berhikmat (ay. 7-9). Seakan-

akan dia lebih unggul dari semua manusia,  

1. Bahwa dia lebih lama dalam mengenal dunia, sehingga lebih 

banyak pengalaman: “Apakah engkau dilahirkan sebagai ma-

nusia yang pertama? Dan sebab  itu lebih tua dari kita, dan 

lebih cakap untuk memberi pengertian tentang hikmat orang 

zaman dahulu kala dan hukuman dari zaman yang pertama 

dan yang mula-mula, yang paling bijaksana dan paling murni? 

Apakah engkau ada lebih dulu dari Adam?” Demikian yang da-

pat ditafsir. “Bukankah dia menderita sebab  dosa. Dan tidak-

kah engkau juga, yang menderita sedemikian hebat, mengakui 

dirimu seorang berdosa? Apakah engkau dijadikan lebih da-

hulu dari pada bukit-bukit, seperti Hikmat itu sendiri? (Ams. 

8:23, dst.). Haruskah segala pertimbangan Allah, yang sama be-

sarnya seperti gunung-gunung (Mzm. 36:7), dan yang tak dapat 

digoyahkan seperti bukit-bukit yang abadi, tunduk kepada pen-

dapatmu dan membungkuk kepadanya? Lebih mengenalkah 

engkau dunia ini daripada kita semua? Tidak, engkau ini hanya-

lah anak kemarin dulu sama seperti kita” (8:9). Atau,  

2. Dalam hal lebih dekat mengenal Allah (ay. 8): “Apakah engkau 

turut mendengarkan di dalam musyawarah Allah? Apakah eng-

kau mau berlagak menjadi anggota dewan penasihat sorga, 

sehingga engkau dapat memberikan alasan yang lebih baik 

daripada orang lain mengenai alasan segala tindakan Allah?” 

Ada hal-hal rahasia tentang Allah, yang tidak dinyatakan ke-

pada kita, dan sebab nya kita tidak boleh berlagak menge-

tahuinya. Lancanglah orang-orang yang berani melakukannya. 

Elifas juga menganggap Ayub,  

(1) Memandang diri memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki 

oleh orang lain: “Apakah engkau meraih hikmat bagi dirimu, 

seakan-akan tak ada orang lain yang bijaksana?” Ayub ber-

kata (13:2), Apa yang kamu tahu, aku juga tahu. Dan kini 

mereka kembali kepadanya, sesuai kebiasaan para pende-

bat, yang suka memuji diri sendiri: Apakah yang kauketa-

hui, yang tidak kami ketahui? Betapa umumnya jawaban 

seperti ini di dalam panasnya perdebatan! Namun setelah 

dilihat-lihat, para pendebat seperti ini biasanya tidak ada 

apa-apanya sebenarnya!  

(2) Melawan orang-orang zaman dahulu, yang terhormat, yang 

di bawah bayang-bayangnya semua pihak yang berselisih 

berusaha melindungi diri: “Di antara kami juga ada orang 

yang beruban dan yang lanjut umurnya (ay. 10). Kita memi-

liki nenek moyang di pihak kita. Semua ahli dari jemaat 

dahulu kala yaitu  sumber pendapat kita.” Suatu hal bisa 

saja segera dikatakan, namun  tidak begitu segera terbukti. 

Dan, saat  terbukti, kebenaran tidak segera ditemukan 

dan terbukti seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. 

Daud lebih menyukai pengetahuan Kitab Suci yang benar 

daripada perkataan orang-orang zaman dahulu (Mzm. 

119:100): Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, se-

bab aku memegang titah-titah-Mu. Atau mungkin satu atau 

lebih, jika tidak ketiga-tiganya, dari teman-teman Ayub ini, 

lebih tua umurnya daripadanya (32:6), dan sebab nya me-

reka berpikir dia terikat untuk mengakui mereka di pihak 

yang benar. Hal ini juga yang sering dipakai para lawan 

debat untuk membuat keributan tanpa tujuan jelas. Jika 

mereka lebih tua dari lawan debat mereka, dan berkata me-

reka mengetahui sesuatu sebelum lawan-lawan mereka di-

lahirkan, maka perkataan mereka ini tidak dapat membe-

narkan pikiran mereka bahwa lawan debat mereka itu som-

bong dan bebal. Sebab yang paling tua tidak selalu yang 

paling bijaksana (32:9). 

IV. Elifas menuduh Ayub telah memandang hina semua nasihat dan 

penghiburan yang diberikan oleh teman-temannya (ay. 11): Ku-

rangkah artinya bagimu penghiburan Allah?  

1. Elifas merasa jengkel bahwa Ayub tidak menghargai peng-

hiburan yang diberikan olehnya dan teman-temannya kepada-

nya sebagaimana tampaknya, dan bahwa Ayub tidak menyam-

but setiap kata yang mereka katakan sebagai benar dan pen-

ting. Memang benar bahwa mereka menyampaikan beberapa 

hal yang sangat baik, namun  mereka payah dalam menerapkan 

perkataan mereka itu untuk menghiburnya. Perhatikanlah, 

kita cenderung menganggap apa yang kita katakan itu hebat 

dan sangat berarti, padahal orang lain mungkin dengan alasan 

yang baik menganggapnya kecil dan tidak penting. Paulus ada 

menemukan orang-orang yang terpandang itu tidak memaksa-

kan sesuatu yang lain kepadaku (Gal. 2:6).  

2. Ayub menganggap perbuatan Ayub sebagai meremehkan peng-

hiburan Allah secara umum, seakan-akan dia memandang 

sebelah mata terhadap penghiburan yang mereka berikan itu, 

padahal sebenarnya tidak demikian. Seandainya dia tidak 

menghargainya, dia tidak mungkin dapat menanggung pen-

deritaannya dengan baik. Perhatikanlah,  

(1)  Penghiburan Allah sesungguhnya bukanlah hal yang kecil. 

Penghiburan ilahi yaitu  hal-hal yang besar, yaitu, peng-

hiburan yang dari Allah, terutama penghiburan yang ada di 

dalam Allah.  

(2) Penghiburan Allah bukanlah hal kecil, namun sangat dira-

tapi jika kita memandangnya kecil. Merupakan suatu peng-

hinaan kepada Allah, dan suatu bukti dari pikiran yang 

menyimpang dan rusak, untuk menghina dan meremehkan 

segala kesukaan rohani dan membenci tanah yang menye-

nangkan. “Aduh!,” kata Elifas “perkataan yang dengan 

lemah lembut ditujukan kepadamu [KJV: adakah yang eng-

kau rahasiakan?]. Apakah engkau ada memiliki suatu obat 

penghibur mendukung dirimu, sesuatu yang rahasia, yang 

tak seorang pun dapat mengaku-ngaku mengetahuinya?” 

Atau, “Adakah suatu dosa rahasia yang tersimpan dan di-

manjakan di dalam dadamu, yang menghalangi kerja peng-

hiburan ilahi?” Tak seorang pun dapat meremehkan peng-

hiburan ilahi kecuali ia secara diam-diam menyukai dunia 

dan daging.  

V. Ia menuduh Ayub melawan Allah dan agama (ay. 12-13): “Meng-

apa engkau dihanyutkan oleh perasaan hatimu hingga mengeluar-

kan semua ungkapan yang tidak rohani dan tidak senonoh?” Per-

hatikanlah, tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, kare-

na ia diseret dan dipikat olehnya (Yak. 1:14). Apabila kita men-

jauhkan diri dari Allah dan tugas panggilan kita, atau masuk ke 

dalam sesuatu yang salah, maka hati kita sendirilah yang mem-

bawa kita ke sana. Jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah 

orang yang akan menanggungnya. saat  jiwa berbelok menjauh, 

itu sebab  ada suatu dorongan yang keras dan yang tidak terken-

dalikan. Hati yang rusak menghanyutkan manusia, seperti biasa-

nya, dengan paksa, untuk melawan keyakinan hati mereka. “Apa 

yang membuat matamu berkedip? Mengapa begitu ceroboh dan 

tak peduli dengan apa yang dikatakan kepadamu, mendengarkan-

nya seolah-olah engkau setengah tertidur? Mengapa begitu men-

cemooh, meremehkan apa yang kita katakan, seakan-akan eng-

kau menjadi hina kalau memperhatikannya? Apa yang telah kita 

katakan sehingga patut untuk diremehkan, bahkan, sehingga eng-

kau memalingkan hatimu menentang Allah?” Sudah buruk bahwa 

hatinya dijauhkan dari Allah, namun  jauh lebih buruk lagi bahwa 

hatinya berbalik melawan Allah. namun  memang begitulah yang 

terjadi, saat  orang meninggalkan Allah, ia akan segera tampil 

memusuhi-Nya secara terang-terangan. namun  bagaimanakah hal 

ini terjadi? Mengapa, “Engkau membiarkan kata-kata yang demi-

kian keluar dari mulutmu, mempertanyakan Allah, keadilan-Nya 

dan kebaikan-Nya.” Inilah sifat dari orang fasik bahwa mereka 

membuka mulut melawan langit (Mzm. 73:9), yang merupakan 

suatu tanda pasti bahwa roh telah berpaling melawan Allah. Elifas 

menganggap roh Ayub menjadi kecut terhadap Allah, sehingga 

berpaling dari keadaannya, dan kesal berurusan dengan-Nya. Eli-

fas tampaknya tidak jujur dan tidak rendah hati, sebab jika tidak 

dia tidak akan mereka-reka yang keras seperti ini terhadap perka-

taan Ayub, seorang yang sangat terkenal dengan kesalehannya dan 

kini mengalami pencobaan. Sikap Elifas ini pada dasarnya memberi 

keuntungan kepada Iblis, dan mengakui bahwa Ayub telah melaku-

kan apa yang dikatakannya, yaitu mengutuk Allah di hadapan-Nya. 

VI. Elifas menuduh Ayub telah membenarkan diri sedemikian rupa 

sampai menyangkal bagiannya dalam kerusakan dan kecemaran 

kodrat umat manusia (ay. 14): Masakan manusia bersih? Mengapa 

Ayub mengaku-ngaku bersih, atau menginginkan orang menda-

patinya demikian. Apakah dia yang dilahirkan dari seorang perem-

puan, seorang perempuan yang berdosa, masakan dia benar? 

Perhatikanlah,  

1. Kebenaran yaitu  kemurnian. Kebenaran membuat kita ber-

kenan kepada Allah dan merasa diri sendiri tenteram (Mzm. 

18:24).  

2. Manusia, dalam keadaannya yang jatuh, tidak dapat berlagak 

bersih dan benar di hadapan Allah, entah untuk membebaskan 

diri dari keadilan Allah atau supaya mendapat perkenanan-Nya.  

3. Manusia akan ditetapkan najis dan tidak benar sebab  dilahir-

kan dari seorang perempuan, dari siapa ia mendapat kodrat 

yang rusak, yang menjadi ia bersalah dan cemar. Dengan kebe-

naran yang jelas ini Elifas hendak menginsafkan Ayub, padahal 

hal yang sama baru saja dikatakan juga oleh Ayub (14:4): Siapa 

dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? namun  apakah 

sebab  perkataannya itu maka Ayub yaitu  seorang munafik 

dan jahat, yang sama sekali disangkalnya? Sama sekali tidak. 

Kendati manusia, sebab  dilahirkan dari seorang perempuan, 

tidaklah bersih, namun, sebab  dilahirkan kembali oleh Roh, 

dia bersih.  

4. Selanjutnya untuk membuktikan perkatannya itu, di sini 

Elifas menunjukkan,  

(1) Bahwa ciptaan yang paling mulia tidak sempurna dan tidak 

murni di hadapan Allah (ay. 15). Allah tidak menaruh keya-

kinan pada orang kudus dan malaikat. Ia memakai  

keduanya, namun  tidak mempercayakan pelayanan-Nya ke-

pada keduanya, tanpa memberi mereka kekuatan dan hik-

mat yang baru, sebab  Ia tahu bahwa mereka tidaklah me-

madai dari dirinya sendiri, tidak lebih hebat atau lebih baik 

daripada yang diperbuat anugerah-Nya pada diri mereka. Ia 

tidak berpuas diri dengan seluruh langit sendiri. Betapa 

pun murni mereka tampaknya kepada kita, di mata-Nya 

mereka memiliki banyak noda dan cela: Seluruh langit pun 

tidak bersih pada pandangan-Nya. Jika bintang-bintang 

(kata Tuan Caryl) tidak memiliki terang di hadapan mata-

hari, terang apakah yang dipunyai matahari di hadapan 

Allah! (Lih. Yes. 24:23).  

(2) Bahwa manusia lebih buruk lagi (ay. 16): Lebih-lebih lagi 

orang yang keji dan bejat! Apabila orang-orang kudus saja 

tidak dapat dipercaya, betapa terlebih lagi orang-orang ber-

dosa. Jika seluruh langit saja tidak murni, padahal mereka 

murni seperti telah dijadikan Allah, betapa terlebih lagi 

manusia, yang telah merosot. Bahkan, ia keji dan bejat di 

pemandangan Allah, dan meskipun bertobat, ia tetap demi-

kian di matanya sendiri, dan sebab nya ia membenci diri-

nya sendiri. Dosa yaitu  sesuatu yang menjijikkan, mem-

buat manusia penuh kebencian. Tubuh dosa juga demi-

kian, dan sebab nya disebut suatu jasad, sesuatu yang 

menjijikkan. Bukankah menjijikkan, dan cukup untuk 

membuat orang mual, melihat seorang manusia makan 

ampas babi atau minum minuman yang membuat perut 

mual? Sedemikian menjijikkan sehingga dia menghirup ke-

curangan (sesuatu yang menjijikkan yang dibenci TUHAN) 

dengan rakus dan bersukanya, seperti orang minum air 

saat  kehausan. Itulah yang menjadi minumannya setiap 

saat. Memang biasa bagi orang berdosa untuk melakukan 

perbuatan dosa. Dosa memang melegakan, namun  tidak me-

muaskan, nafsu makan orang tua. Dosa hanya seperti sete-

tes air bagi orang. Semakin orang berdosa, semakin ia ingin 

berbuat dosa.  

Teguran Elifas yang Kedua 

(15:17-35) 

17 Aku hendak menerangkan sesuatu kepadamu, dengarkanlah aku, dan apa 

yang telah kulihat, hendak kuceritakan, 18 yakni apa yang diberitakan oleh 

orang yang mempunyai hikmat, yang nenek moyang mereka tidak sem-

bunyikan, 19 saat  hanya kepada mereka negeri itu diberikan, dan tidak ada 

seorang asing pun masuk ke tengah-tengah mereka. 20 Orang fasik menggele-

tar sepanjang hidupnya, demikian juga orang lalim selama tahun-tahun yang 

disediakan baginya. 21 Bunyi yang dahsyat sampai ke telinganya, pada masa 

damai ia didatangi perusak. 22 Ia tidak percaya, bahwa ia akan kembali dari 

kegelapan: ia sudah ditentukan untuk dimakan pedang. 23 Ia mengembara 

untuk mencari makan, entah ke mana. Ia tahu, bahwa hari kegelapan siap 

menantikan dia. 24 Ia ditakutkan oleh kesesakan dan kesempitan, yang 

menggagahinya laksana raja yang siap menyergap. 25 sebab  ia telah menge-

dangkan tangannya melawan Allah dan berani menantang Yang Mahakuasa; 

26 dengan bertegang leher ia berlari-lari menghadapi Dia, dengan perisainya 

yang berlapis tebal. 27 Mukanya telah ditutupinya dengan lemak, dan lapisan 

lemak dikenakannya pada pinggangnya; 28 ia menetap di kota-kota yang telah 

hancur, di rumah-rumah yang tidak dapat didiami orang, yang ditentukan 

untuk tetap menjadi reruntuhan. 29 Ia takkan menjadi kaya dan hartanya 

tidak kekal, serta miliknya pun tidak bertambah-tambah di bumi. 30 Ia tidak 

akan luput dari kegelapan, tunasnya akan dilayukan oleh nyala api, dan ia 

akan dilenyapkan oleh nafas mulut-Nya. 31 Janganlah ia percaya kepada 

kesia-siaan, akan tertipulah ia, sebab  kesia-siaan akan menjadi ganjaran-

nya. 32 Sebelum genap masanya, ajalnya akan sampai; dan rantingnya pun 

tidak akan menghijau. 33 Ia seperti pohon anggur yang gugur buahnya dan 

seperti pohon zaitun yang jatuh bunganya. 34 sebab  kawanan orang-orang 

fasik tidak berhasil, dan api memakan habis kemah-kemah orang yang ma-

kan suap. 35 Mereka menghamilkan bencana dan melahirkan kejahatan, dan 

tipu daya dikandung hati mereka.” 

Elifas, setelah menegur Ayub sebab  jawabannya, sekarang memper-

tahankan pendiriannya sendiri, yang berdasarkannya ia membangun 

kecamannya atas Ayub. Pendapatnya yaitu  bahwa orang-orang 

yang jahat pasti menderita sengsara, dan dari situ ia menyimpulkan 

bahwa orang-orang yang menderita pastilah jahat, dan sebab  itu 

Ayub juga demikian. Amatilah, 

I. Kata pembukanya untuk pembicaraannya ini, di mana dia me-

minta perhatian Ayub, yang kecil kemungkinan diperolehnya, 

mengingat dia sendiri tidak banyak memperhatikan dan menghar-

gai apa yang dikatakan Ayub (ay. 17): “Aku hendak menerangkan 

apa yang layak untuk didengarkan, dan tidak mau berbantah, 

seperti yang engkau lakukan, dengan jawaban yang tidak ber-

manfaat.” Demikianlah yang cenderung dilakukan orang, saat  

mereka mengecam pendapat orang lain, mereka memuji diri sen-

diri. Ia berjanji untuk mengajar Ayub,  

1.  Dari pengalaman dan pengamatannya sendiri: “Bahwa yang 

telah kulihat, dalam berbagai kejadian, hendak kuceritakan.” 

Berguna bagi kita untuk memperhatikan segala tindakan pe-

nyelenggaraan Allah tentang anak-anak manusia, dari mana 

banyak pelajaran yang baik dapat dipelajari. Pengamatan baik 

yang telah kita buat, dan dapati berguna, kita harus siap me-

nyampaikannya bagi manfaat orang lain. Dan kita dapat ber-

bicara dengan berani saat  kita menceritakan apa yang telah 

kita lihat sendiri.  

2.  Dari hikmat orang-orang dulu (ay. 18): Apa yang diberitakan 

oleh orang yang mempunyai hikmat, yang nenek moyang mere-

ka tidak sembunyikan. Perhatikanlah, hikmat dan pembelajar-

an orang modern sangat banyak diambil dari orang-orang za-

man dulu. Anak-anak yang baik akan belajar banyak dari 

orangtua mereka yang baik. Dan apa yang telah kita pelajari 

dari nenek moyang kita harus kita teruskan kepada keturunan 

kita dan jangan menyembunyikannya dari generasi yang akan 

datang (Lih. Mzm. 78:3-6). Apabila benang pengetahuan dari 

banyak abad diputus oleh kecerobohan seseorang, dan tidak 

ada yang dilakukan untuk memeliharanya secara murni dan 

utuh, maka generasi selanjutnya mengalami kerugian. Orang-

orang berwewenang yang diikuti oleh Elifas yaitu  orang-

orang yang memang memiliki kekuasaan, orang-orang ber-

pangkat dan terkemuka (ay. 19), kepada mereka negeri diberi-

kan, dan sebab nya engkau dapat menganggap mereka kesa-

yangan sorga dan yang paling mampu membuat pengamatan 

tentang segala urusan bumi ini. Segala ajaran hikmat datang 

dengan keuntungan jika disampaikan oleh orang-orang yang 

memiliki martabat dan kuasa, seperti Salomo. Namun ada 

suatu hikmat yang tidak ada dari penguasa dunia ini yang me-

ngenalnya (1Kor. 2:7-8). 

II. Percakapan Elifas itu sendiri. Ia di sini bertujuan untuk menun-

jukkan, 

1. Bahwa orang-orang yang bijaksana dan baik biasanya hidup 

makmur di dalam dunia ini. Hal ini ia isyaratkan hanya dalam 

Ayub 15:19, bahwa orang-orang yang bijak dan baik seperti 

yang dipikirkannyalah yang memiliki bumi, hanya kepada me-

reka saja. Mereka menikmatinya sepenuhnya dengan damai, 

dan tidak ada orang asing yang muncul di antara mereka, en-

tah untuk berbagi dengan mereka atau mengganggu mereka. 

Ayub sebelumnya berkata, Bumi telah diserahkan ke dalam 

tangan orang fasik (9:24). “Tidak,” kata Elifas, “bumi diberikan 

ke dalam tangan orang-orang kudus dan dijalankan dengan 

iman yang diberikan kepada mereka. Dan mereka tidak diram-

pok atau dijarah oleh orang asing dan musuh yang menyerbu 

mereka, seperti dirimu oleh orang-orang Syeba dan Kasdim.” 

Namun, sebab  banyak dari umat Allah yang secara menga-

gumkan sejahtera di dalam dunia ini, seperti Abraham, Ishak, 

dan Yakub, hal itu tidak berarti bahwa orang-orang yang men-

derita dan jatuh miskin, seperti Ayub, bukanlah umat Allah.  

2. Bahwa orang-orang fasik, terutama para penindas dan pe-

nguasa kejam yang semena-mena, akan terus hidup di bawah 

serangan rasa takut, hidup dengan tidak nyaman, dan binasa 

dengan sangat mengenaskan. Elifas membahas hal ini lebih 

lanjut, dengan menunjukkan bahwa bahkan orang-orang yang 

secara tidak hormat menantang hukuman Allah tidak dapat 

tidak pasti merasa ngeri sendiri sampai akhirnya merasakan 

hukuman itu. Ia berbicara dalam bentuk tunggal, seorang 

fasik, yang berarti (seperti yang dipikirkan oleh sebagian 

orang) Nimrod. Atau mungkin Kedorlaomer, atau seorang pem-

buru perkasa di hadapan TUHAN. Saya takut yang dimaksud-

kannya yaitu  Ayub sendiri, yang dengan tegas dituduhnya 

sebagai penguasa kejam dan dengan takut-takut dijelaskan di 

sini (22:9-10). Di sini dia kira mudah saja untuk menerapkan 

perkataannya itu, dengan penjelasan ini Ayub seperti tampak 

dalam sebuah gelas kaca, melihat mukanya sendiri. Sekarang,  

(1) Mari kita lihat bagaimana Elifas menggambarkan orang ber-

dosa yang hidup secara mengenaskan. Ia memulainya de-

ngan menggambarkan alasan mengapa orang berdosa sam-

pai sengsara (ay. 25-28). Ini bukan seorang pendosa biasa, 

melainkan pendosa kelas kakap, seorang penindas (ay. 20), 

seorang penghujat, dan seorang penganiaya, seorang yang 

tidak takut akan Allah dan tidak memandang manusia.  

[1] Ia berani menantang Allah, kekuasaan dan kuasa-Nya 

(ay. 25). Sampaikan kepadanya hukum ilahi dan kewa-

jibannya, maka ia akan menghancurkan segala ikatan-

nya dan tidak akan membiarkan, bahkan sang pembuat 

hukum itu sendiri, mengekang atau berkuasa atas diri-

nya. Ceritakan kepadanya tentang murka ilahi dan ke-

ngeriannya, maka ia akan menantang Yang Mahakuasa 

silakan melakukan yang terburuk, dan ia akan tetap 

melakukan kehendaknya, berjalan dengan caranya sen-

diri, tidak peduli dengan Dia. Ia tidak akan mau diken-

dalikan oleh hukum, atau hati nurani, atau pemberi-

tahuan tentang hukuman yang akan datang. Ia telah 

mengedangkan tangannya melawan Allah, untuk mela-

wan Dia dan kekuatan murka-Nya. Allah sungguh ber-

ada di luar jangkauannya, namun  dia malah yang men-

julurkan tangannya melawan Dia, untuk menunjukkan 

bahwa, seandainya ada di dalam kuasanya, dia akan 

menurunkan Dia sebagai Allah. Kebiadaban seperti ini 

biasa dilakukan sejumlah pendosa yang sungguh-sung-

guh menjadi pembenci Allah (Rm. 1:30), yang pikiran 

fananya bukan hanya memusuhi Dia, namun  juga me-

musuhi diri mereka sendiri (Rm. 8:7). namun  sayang, 

kejahatan orang berdosa sama tak berdayanya seperti 

kekurangajarannya. Apa yang dapat dilakukannya? Ia 

berani menantang melawan Yang Mahakuasa. Ia berpi-

kir dengan kekuatannya yang kejam dan luar biasa he-

bat itu dapat mengubah waktu dan hukum (Dan. 7:25), 

dan, sekalipun Allah bertindak, ia sanggup terus mela-

kukan penjarahan dan perbuatan jahat, tanpa hati 

nurani. Perhatikanlah, sungguh teramat gila dan ku-

rang ajar kalau para pendosa sampai mau bertempur 

melawan Yang Mahakuasa. Celakalah orang yang ber-

bantah dengan Pembentuknya. Inilah yang biasa dipakai 

untuk menggambarkan kelancangan orang berdosa 

yang berani (ay. 26): ia berlari-lari menghadapi Dia, me-

nyongsong Allah sendiri, langsung berhadapan dengan 

Dia, melawan segala perintah dan tindakan-Nya, bah-

kan dengan bertegang leher, seperti seorang petarung 

yang putus asa yang mendapati diri tidak setara dengan 

musuhnya, lalu terbang menerjang wajah musuhnya, 

namun  langsung jatuh di ujung pedangnya sendiri, atau 

di ujung perisainya yang tajam. Biasanya orang-orang 

berdosa menjauh dari Allah. namun  pendosa yang ang-

kuh, yang berbuat dosa dengan tangan yang teracung, 

justru berlari menghadapi Dia, bertarung melawan Dia, 

dan menantang Dia. Dan sangat mudah untuk mene-

bak apa yang bakal terjadi.  

[2] Ia membungkus diri dalam keamanan dan kenyamanan 

(ay. 27): Mukanya telah ditutupinya dengan lemak. Arti-

nya, dagingnya dimanjakan dengan santapan lezat se-

tiap hari dan hatinya dikeraskan terhadap segala hu-

kuman Allah. Perhatikanlah, pemuasan hawa nafsu da-

ging, memberi makan dan menjamunya sampai kenyang, 

sering mengakibatkan kerusakan jiwa dan kepentingan-

nya. Mengapa Allah ditinggalkan dan diremehkan, kalau 

bukan sebab  perut dijadikan allah dan kebahagiaan di-

tempatkan dalam kesenangan indra? Orang-orang yang 

memenuhi diri dengan anggur dan minuman keras me-

lepaskan semua hal yang penting bagi hidup dan mem-

buai diri dengan harapan bahwa besok akan sama se-

perti hari ini (Yes. 56:12). Celaka atas orang-orang yang 

merasa aman di Sion (Am. 6:1, 3-4; Luk. 12:19). Lemak 

yang menutupi wajahnya membuatnya kelihatan berani 

dan angkuh, dan yang menutupi panggulnya membuat-

nya berbaring dengan mudah dan empuk sehingga me-

rasa nyaman. Namun semua ini akan terbukti merupa-

kan perlindungan yang buruk saat menghadapi sem-

buran anak panah murka Allah.  

[3] Ia memperkaya diri dengan banyak jarahan yang diram-

pas dari orang-orang di sekelilingnya (ay. 28). Ia ber-

diam di dalam kota-kota yang dibuatnya sunyi dengan 

mengusir semua penduduk dari sana, supaya dia bisa 

sendirian saja di dalamnya (Yes. 5:8). Orang yang som-

bong dan kejam mengambil kesenangan di dalam ke-

hancuran orang-orang yang mereka hancurkan, dalam 

kota-kota yang telah runtuh (Mzm. 9:7). Mereka ber-

sorak-sorak dalam kehancuran, dengan membuat pen-

duduk kota siap menjadi timbunan, membuat mereka 

ketakutan sehingga harus keluar dari kotanya. Perhati-

kanlah, orang-orang yang bermaksud memiliki dunia 

bagi diri sendiri, dan menggenggam semuanya, akan ke-

hilangan semua penghiburan, dan membuat diri sendiri 

sengsara di tengah-tengah semuanya itu. Bagaimana-

kah penguasa kejam ini mendapat keuntungannya, dan 

menjadikan diri tuan atas kota-kota yang memiliki se-

mua kekayaan dari zaman dahulu? Kita diberi tahu (ay. 

35) bahwa dia mendapatkannya dengan kejahatan dan 

tipu daya, dua unsur utama dari kejahatannya yang me-

rupakan seorang pendusta dan pembunuh sejak se-

mula. Mereka menghamilkan bencana, dan kemudian 

mereka menjalankannya dengan mempersiapkan dusta, 

dengan berpura-pura melindungi mereka yang hendak 

mereka kuasai, berpura-pura mengadakan ikatan per-

damaian supaya memuluskan rencana perang. Dari 

orang-orang jahat yang demikian Allah melepaskan 

orang-orang benar.  

(2) Mari kita sekarang melihat bagaimana keadaan menyedih-

kan dari orang fasik, dalam hukuman rohani maupun hu-

kuman jasmani. 

[1] Damai di hatinya terus terganggu. Ia tampak aman ten-

teram di mata orang-orang di sekitarnya, sehingga me-

reka iri hati kepadanya dan mendambakan diri hidup 

seperti dalam keadaannya. Namun Allah yang tahu apa 

yang ada dalam batin manusia memberi tahu kita bah-

wa dalam hatinya seorang fasik tidak memiliki peng-

hiburan dan kepuasan, sehingga dia lebih patut untuk 

dikasihani daripada didengki.  

Pertama, hati nuraninya sendiri menuduh dia, dan 

dengan rasa sakit pedih dan menusuk-nusuk dia meng-

gelegar sepanjang hidupnya (ay. 20). Ia terus merasa 

tidak tenang memikirkan dosa kesalahannya akibat 

segala kekejaman yang diperbuatnya, dan akibat darah 

yang telah menodai tangannya. Dosa-dosanya menatap-

nya langsung di wajah di mana saja dia berpaling. Diri 

conscia facti mens habet attonitos – Kesalahan yang di-

sadari membuat diri heran dan pikiran kacau.  

Kedua, ia merasa kesal dengan ketidaktentuan keka-

yaan dan kekuasaannya: Jumlah tahun tersembunyi 

bagi orang lalim. Ia tahu, bagaimanapun dia berpura-

pura, bahwa semuanya itu tidak akan bertahan selama-

nya, sehingga takut kehilangan tidak lama lagi. Inilah 

yang diresahkannya.  

Ketiga, ia dicengkeram dengan ketakutan akan ke-

matian yang mengerikan akan penghakiman dan api 

yang dahsyat (Ibr. 10:27). Ketakutan ini membuat dia 

terus-menerus merasakan kengerian dan kekhawatiran, 

sehingga dia harus tinggal bersama Kain di tanah Nod, 

atau mengalami kekacauan (Kej. 4:16), dan menjadi 

seperti, Pasyur, Magor-missabib – suatu kegentaran dari 

segala jurusan (Yer. 20:3-4). Bunyi yang dahsyat sampai 

ke telinganya (ay. 21). Ia tahu bahwa baik langit dan 

bumi sedang marah terhadapnya, bahwa Allah marah 

dengannya dan seluruh dunia membencinya. Ia tidak 

berusaha untuk berdamai dengan siapa saja, sehingga 

selalu menyangka setiap orang yang akan bertemu de-

ngannya, tentulah akan membunuhnya (Kej. 4:14). Atau 

dia seperti orang yang melarikan diri dari utang, yang 

menyangka setiap orang yaitu  penagih utang. Keta-

kutan masuk, pertama-tama, bersama dengan dosa 

(Kej. 3:10) dan masih bersamanya. Bahkan dalam ke-

makmuran dia curiga bahwa si pembinasa akan men-

datanginya, entah seorang malaikat pembinasa yang 

diutus oleh Allah untuk membalaskan pertengkarannya 

dengan Dia, atau warga-Nya yang pernah dilukainya 

akan membalas dendam. Orang-orang yang menimbul-

kan ketakutan orang lain terhadap diri mereka biasanya 

menanggung nodanya bersama orang-orang yang turun 

liang kubur (Yeh. 32:25). Nasib yang akan menimpa me-

reka ini membuat diri mereka menjadi kengerian bagi 

diri mereka sendiri. Inilah yang dikatakan selanjutnya 

(ay. 22): Ia, dalam pengertiannya sendiri, menantikan 

pedang. Sebab dia tahu bahwa barangsiapa ditentukan 

untuk dibunuh dengan pedang, ia harus dibunuh dengan 

pedang (Why. 13:10, KJV: barangsiapa yang membunuh 

dengan pedang harus dibunuh dengan pedang). Hati nu-

rani yang bersalah tampak bagi orang yang berdosa se-

bagai sebuah pedang yang bernyala-nyala, dan me-

nyambar-nyambar (Kej. 3:24), dan dirinya tidak terhin-

dar lagi berlari menyongsongnya. Sekali lagi (ay. 23): Ia 

tahu bahwa hari kegelapan (atau malam kegelapan) siap 

menantikan dia. Hari itu sudah ditentukan baginya dan 

tidak dapat ditolak, sedang mendatanginya dengan ber-

gegas, dan tidak dapat ditunda. Hari kegelapan ini ada-

lah sesuatu yang melampaui kematian. Hari itu yaitu  

hari TUHAN yang bagi semua orang jahat akan menjadi 

kegelapan dan bukan terang, di mana mereka akan di-

binasakan dalam kegelapan pekat, tanpa akhir. Per-

hatikanlah, ada orang fasik, kendati mereka kelihatan 

aman, sesungguhnya telah menerima hukuman mati, 

kematian kekal, di dalam diri mereka, dan dengan jelas 

melihat neraka menganga bagi mereka. Maka tidak he-

ran bahwa hal itu diikuti (ay. 24), kesesakan dan ke-

sempitan  (yaitu kesengsaraan batin dan penderitaan 

jiwa yang dibicarakan dalam Roma 2:8-9, yang merupa-

kan dampak dari murka dan geram Allah yang menceng-

keram hati nurani) yang membuatnya takut akan hal 

yang lebih buruk yang akan datang. Apakah neraka di 

hadapannya jika hal ini sudah menjadi neraka di dalam-

nya? Dan kendati dia mati-matian ingin menghilangkan 

ketakutannya, membuangnya, dan menertawakannya, 

hal itu tidak akan berhasil. Semuanya siap menyergap-

nya, dan menggagahinya, laksana raja yang siap menyer-

gap, dengan kekuatan yang terlalu kuat untuk dilawan. 

Barang siapa ingin menjaga damai di hati, hendaklah ia 

menjaga hati nurani yang baik.  

Keempat, apabila suatu waktu ia berada dalam ma-

salah, ia putus asa untuk keluar (ay. 22): Ia tidak per-

caya, bahwa ia akan kembali dari kegelapan, namun  me-

nyerah ke dalam kebinasaan dan hilang dalam malam 

yang tak pernah berakhir. Orang-orang baik meng-

harapkan terang di waktu malam, terang keluar dari ke-

gelapan. namun  bagi orang yang yang tidak mau kembali 

dari kegelapan dosa, harapan apa yang mereka punyai 

untuk keluar dari kegelapan masalah, melainkan terus 

berjalan di dalamnya? (Mzm. 82:5). Merupakan keseng-

saraan dari orang-orang berdosa yang terkutuk bahwa 

mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah kembali 

keluar dari kegelapan yang pekat, atau melewati jurang 

yang sudah ditetapkan di sana.  

Kelima, ia terus gelisah sebab  kekhawatiran, kira-

nya Allah tidak murka lagi kepada-Nya (ay. 23). Ia begi-

tu takut menjadi miskin, kalau-kalau hartanya habis 

terbuang, sehingga dalam khayalannya, ia mengembara 

untuk mencari makan, entah ke mana, pergi mengemis 

demi sepotong daging, dan berkata, Di mana ini? Orang 

kaya, dalam kelimpahannya, berseru, Apakah yang ha-

rus aku perbuat? (Luk. 12:17). Mungkin dia berpura-

pura takut kekurangan, sebagai alasan atas ketamak-

annya. Jadi adillah jika ia dibuat menderita dengan he-

bat pada akhirnya. Kita membaca tentang orang-orang 

yang kenyang, namun  menyewakan diri sebab  makan-

an (1Sam. 2:5), yang tidak akan dilakukan oleh orang 

berdosa ini. Ia tidak dapat menggali. Ia terlalu gemuk (ay. 

27): namun  meminta-minta dia mungkin merasa malu 

(Lih. Mzm. 109:10). Daud tidak pernah melihat orang 

benar sedemikian ditinggalkan sampai meminta-minta 

roti. Sebab, sesungguhnya, mereka akan diberi makan 

oleh pemberian yang tidak dimintanya (Mzm. 37:4, 25). 

Namun orang fasik tidak akan mendapatkan pemberian 

seperti itu, dan tidak dapat berharap akan diberikan ke-

pada mereka. Bagaimana orang mengharapkan belas 

kasihan, sedangkan ia sendiri tidak pernah menunjuk-

kan belas kasihan?  

[2] Kesejahteraan lahiriahnya akan segera berakhir dan 

segala keyakinannya serta semua penghiburannya akan 

berakhir bersamanya. Bagaimana dia dapat sejahtera 

saat  Allah menyergapnya? Demikianlah sebagian orang 

memahaminya (ay. 26). Siapa yang disergap Allah pasti 

akan jatuh. Sebab saat  Ia menghukum Ia akan me-

nang. Lihat bagaimana hukuman Allah menggagalkan 

orang fasik yang duniawi ini dalam semua perhatian, 

keinginan, dan rencananya, sehingga melengkapi ke-

sengsaraannya.   

Pertama, ia begitu ingin mendapatkan kekayaan, te-

tapi ia takkan menjadi kaya (ay. 29). Pikiran tamaknya 

tetap menahannya dari menjadi sungguh-sungguh kaya. 

Ia tidak kaya sehingga tidak merasa cukup, dan dia ti-

dak merasa cukup sehingga tidak menganggap mempu-

nyai. Hanya kepuasan saja yang merupakan keuntung-

an besar. Penyelenggaraan Allah secara mengherankan 

menahan sebagian orang dari menjadi kaya, mengalah-

kan segala upaya mereka, mematahkan semua tindakan 

mereka, dan menahan mereka selalu tertinggal. Banyak 

orang mendapat banyak kekayaan melalui penipuan 

dan ketidakadilan, namun tidak bertambah kaya: harta-

nya pergi seperti saat  datang. Harta didapatnya mela-

lui satu dosa dan dihabiskan melalui dosa yang lain.  

Kedua, ia begitu peduli untuk menjaga apa yang 

sudah diperolehnya, namun  sia-sia: Hartanya tidak ke-

kal. Hartanya semakin berkurang hingga habis. Allah 

menghempasnya dan apa yang muncul di malam hari 

akan lenyap di malam hari. Harta yang cepat diperoleh 

akan segera berkurang. Sebagian orang hidup untuk 

menyaksikan kehancuran harta kekayaan yang telah 

didapat melalui penindasan. Namun, bila ini tidak ter-

jadi, apa yang tertinggal akan pergi dengan terkutuk ke-

pada mereka yang mewarisinya. De male quaesitis vix 

gaudet tertius haeres – kekayaan yang diperoleh dengan 

haram hampir tidak akan dapat dinikmati oleh generasi 

yang ketiga. Ia membeli kekayaan kepadanya dan pewa-

risnya untuk selamanya.  namun  apa gunanya? Ia takkan 

menjadi kaya dan hartanya tidak kekal, serta miliknya 

pun tidak bertambah-tambah di bumi. Baik penghargaan 

maupun penghiburan dari kekayaannya tidak akan ber-

langsung lama. Dan, saat  semuanya itu lenyap, di 

manakah kesempurnaannya? Bagaimana mungkin kita 

berharap kesempurnaan segala sesuatu di bumi ini 

akan berlangsung lama, sedangkan segala sesuatu 

hanyalah sementara, dan kita segera melihat akhir dari 

semua kesempurnaan?  

Ketiga, ia begitu peduli untuk meninggalkan apa 

yang telah diperolehnya dan dijaganya bagi anak-anak 

keturunannya. Namun dalam hal ini pun ia digagalkan. 

Keturunan dari keluarganya akan binasa, padahal di 

dalam diri mereka ia berharap untuk tetap hidup dan 

berkembang serta memiliki nama baik untuk membuat 

mereka semua jaya. Dan rantingnyapun tidak akan 

menghijau (ay. 32). Tunasnya akan dilayukan oleh nyala 

api (ay. 30). Ia akan membuang mereka seperti bunga 

yang tidak pernah jadi, atau seperti pohon anggur yang 

gugur buahnya (ay. 33). Mereka akan mati di permulaan 

hari-hari mereka dan tidak pernah menjadi dewasa. Ba-

nyak keluarga orang dihancurkan oleh kesalahannya.   

Keempat, ia begitu peduli untuk menikmati hartanya 

sendiri. namun  dalam hal itu pun dia juga gagal.  

1. Ia mungkin diambil darinya (ay. 30): Ia akan dilenyap-

kan oleh nafas mulut-Nya, dan meninggalkan kekaya-

annya kepada orang lain, yaitu oleh murka Allah, 

yang, seperti sungai belerang, menyalakan api yang 

menghanguskannya (Yes. 30:33), atau oleh firman-

Nya. Ia berbicara dan perkataan-Nya segera terlak-

sana. Pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari 

padamu. Dan demikian pula orang fasik dirobohkan 

sebab  kejahatannya, orang duniawi dalam kedunia-

wiannya.  

2. Hartanya itu mungkin juga diambil darinya dan ter-

bang seperti seekor burung rajawali ke langit: Ajalnya 

akan sampai (atau putus) sebelum genap masanya 

(ay. 32). Yaitu, dia akan mempertahankan kemak-

murannya, namun  melihat dirinya dilucuti darinya.  

Kelima, ia peduli, saat  dia berada di dalam masa-

lah, bagaimana keluar darinya, bukan bagaimana men-

dapat kebaikan melaluinya. namun  dalam hal ini pun dia 

gagal (ay. 30): Ia tidak akan luput dari kegelapan. saat  

dia mulai jatuh, seperti Haman, semua orang berkata, 

“Jatuhlah engkau.” Dikatakan tentang orang fasik itu 

(ay. 22), Ia tidak percaya, bahwa ia akan kembali dari 

kegelapan. Ia menakuti diri sendiri dengan lamanya 

malapetakanya, dan Allah juga akan memilih khayalan-

nya dan membawa ketakutan kepadanya (Yes. 66:4), 

seperti yang dilakukan-Nya terhadap Israel (Bil. 14:28). 

Allah berkata Amin kepada ketidakpercayaan dan kepu-

tusasaannya.  

Keenam, ia peduli untuk mengamankan teman-te-

mannya dan berharap untuk mengamankan diri sendiri 

melalui pertemanannya dengan mereka. namun  hal itu 

juga sia-sia (ay. 34-35). Kawanan mereka, seluruh per-

sekongkolannya, mereka dan semua perkemahan me-

reka, akan habis dan dimakan oleh api. Kemunafikan 

dan suap dituduhkan kepada mereka di sini, yaitu ber-

laku dusta dengan Allah dan manusia. Mereka meng-

hina Allah dengan dalih agama, mencelakai manusia 

atas nama keadilan. Jelas tidak mungkin bahwa orang-

orang ini akan berakhir dengan baik. Kendati mereka 

bergandengan tangan (Ams. 11:21, KJV) untuk saling 

mendukung dalam segala perbuatan jahat ini, namun 

sungguh orang jahat tidak akan luput dari hukuman.  

(3) Manfaat dan penerapan dari semuanya ini. Apakah kese-

jahteraan orang-orang berdosa yang kurang ajar ini ber-

akhir secara mengenaskan? sebab  itu (ay. 31) Janganlah 

ia percaya kepada kesia-siaan. Kiranya kejahatan yang me-

nimpa orang lain menjadi peringatan bagi kita, dan jangan-

lah kita bersandar pada bulu yang patah terkulai yang se-

lalu mengecewakan orang-orang yang bersandar kepadanya.  

[1] Orang-orang yang percaya kepada jalan berdosa mereka 

dalam memperoleh kekayaan percaya kepada kesia-sia-

an, dan kesia-siaan akan menjadi ganjarannya, sebab 

mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka ha-

rapkan. Keahlian mereka akan menipu dan mungkin 

menghancurkan mereka di dunia ini.  

[2] Orang-orang yang mempercayai kekayaan mereka ke-

tika mereka mendapatkannya, terutama kekayaan yang 

mereka peroleh secara tidak jujur, percaya kepada ke-

sia-siaan. Sebab hal itu tidak akan memberi mereka ke-

puasan. Kesalahan yang melekat padanya akan meng-

hancurkan kegembiraannya. Mereka menabur angin dan 

akan menuai angin puyuh, dan akan mengakui pada 

akhirnya, dengan sangat kebingunan, bahwa hati yang 

tertipu menyesatkan mereka, dan bahwa mereka menipu 

diri sendiri dengan dusta menjadi peganganku (Yes. 

44:20, KJV: suatu kebohongan di tangan kanan mereka). 

 

  

PASAL 16  

asal ini memulai jawaban Ayub terhadap percakapan Elifas yang 

telah kita baca dalam pasal sebelumnya. Jawaban Ayub ini yaitu  

bagian kedua dari lagu ratapan yang sama yang dipakainya sebelum-

nya untuk meratapi dirinya dan diatur untuk nada sedih yang sama.  

I.  Ayub mencela teman-temannya sebab  berkata-kata yang 

tidak pantas tentang dirinya (ay. 1-5).  

II.  Ia menggambarkan perkaranya sangat menyedihkan dalam 

segala hal (ay. 6-16).  

III. Ia masih memegang teguh ketulusan hatinya, dan memohon-

kan penghakiman Allah yang benar atas semua kecaman 

yang tidak benar dari teman-temannya (ay. 14-22). 

Jawaban Ayub Atas Teguran Elifas 

(16:1-5)  

1 namun  Ayub menjawab: 2 “Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur 

sialan kamu semua! 3 Belum habiskah omong kosong itu? Apa yang merang-

sang engkau untuk menyanggah? 4 Aku pun dapat berbicara seperti kamu, se-

kiranya kamu pada tempatku; aku akan menggubah kata-kata indah terhadap 

kamu, dan menggeleng-gelengkan kepala atas kamu. 5 Aku akan menguatkan 

hatimu dengan mulut, dan tidak menahan bibirku mengatakan belas kasihan. 

Baik Ayub