Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sahabat nabi muhammad 11. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 11

 


an 

mulai disyariatkan, maka Bilal yaitu  orang pertama yang menjadi 

muadzin dalam Islam. 

Jika ia selesai mengumandangkan adzan, maka ia akan berdiri di depan 

pintu rumah Rasulullah Saw dan berkata: “Hayya alas shalah… Hayya alal 

falah…” 

Jika Rasulullah Saw telah keluar dari kamarnya dan Bilal telah melihat 

Beliau datang, maka Bilal akan mengumandangkan iqamat. 

  

An Najasy raja Habasyah pernah memberikan hadiah kepada 

Rasulullah Saw dengan 3 tombak pendek yang merupakan barang berharga 

yang dimiliki oleh para raja. Rasul lalu mengambil salah satu dari tombak 

tadi, lalu  satunya lagi ia berikan kepada Ali bin Abi Thalib dan 

satunya lagi ia berikan kepada Umar bin Khattab. lalu  tombak yang 

diambil oleh Rasul untuk dirinya diberikan kepada Bilal. Maka tombak 

ini  senantiasa dibawa oleh Bilal sepanjang hidupnya. 

Bilal selalu membawa tombak tadi pada setiap hari Iedul Fitri dan Iedul 

Adha. Ia juga membawanya saat shalat Istisqa’. Ia menempatkan tombak 

ini  dihadapannya, jika shalat tidak dilaksanakan di masjid. 

  

Bilal turut serta bersama Rasulullah Saw dalam perang Badr. Ia 

menyaksikan sendiri dengan dua mata kepalanya bagaimana Allah 

membuktikan janji-Nya, menolong tentara-Nya. Dan ia menyaksikan 

banyak para kafir Quraisy tewas menemui ajalnya padahal mereka dulu 

pernah menyiksa Bilal dengan amat keji. 

Ia juga melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mati tertebas pedang 

kaum muslimin, dan darah mereka mengucur sebab  tusukan tombak 

kaum muslimin. 

  

Saat Rasulullah Saw memasuki kota Mekkah untuk menaklukkannya, 

Beliau didampingi oleh Bilal bin Rabah. 

Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi oleh 3 

orang saja, mereka yaitu : Utsman bin Thalhah114 sang pemegang kunci 

Ka’bah, Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari 

orang kesayangan Beliau, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah. 

Tatkala waktu Zhuhur telah tiba, banyak sekali manusia yang berada di 

sekeliling Rasulullah Saw. Dan orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk 

Islam secara sukarela atau terpaksa menyaksikan jumlah manusia yang 

sedemikian banyaknya. 

Pada saat itu, Rasulullah Saw memanggil Bilal bin Rabah. Beliau 

memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah untuk mengumumkan 

kalimat tauhid. Maka Bilal pun melakukan perintah ini . 

Ia mengalunkan Adzan dengan suaranya yang keras. 

Maka ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal. Ribuan lisan manusia 

yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk. 

Sedangkan mereka yang di dalam hatinya terdapat penyakit merasakan 

adanya kedengkian dan kebencian yang membuat hati mereka menjadi 

tercabik-cabik. 

Begitu Bilal mengucapkan kalimat berikut dalam Adzannya: “Asyhadu 

Anna Muhammadan Rasulullah” Berkatalah Juwairiyah binti Abu Jahal: 

“Demi umurku, sungguh Allah Swt telah meninggikan sebutan namamu. 

Adapun shalat, maka kami akan melakukannya, akan tetapi demi Allah, 

kami tidak menyukai manusia yang pernah membunuh orang-orang yang 

kami cintai.” Ayahnya Juwairiyah terbunuh pada perang Badr. 

Khalid bin Usaid berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi 

kemurahan kepada bapakku sehingga ia tidak turut menyaksikan kejadian 

hari ini.” Bapaknya Khalid telah mati satu hari sebelum terjadinya 

penaklukan Mekkah. 

AlHarits bin Hisyam berkata: “Celaka, andaikan aku sudah wafat 

sebelum aku melihat Bilal berada di atas Ka’bah.” 

                                                     

114

 Utsman bin Thalhah yaitu  pemelihara Ka’bah. Ia masuk Islam pada saat perundingan 

Hudaibiyah. Ia berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin Walid. Ia pernah menemani Ummu Salamah 

saat berhijrah ke Madinah sebelum Utsman masuk Islam. 

Al Hakim bin Abi Al Ash berkata: “Demi Allah, ini yaitu  musibah 

besar jika seorang budak Bani Jumah bersuara dari atas bangunan115 ini.” 

Dan bersama mereka terdapat Abu Sufyan bin Harb yang berkata: “Aku 

tidak akan mengatakan apapun… Sebab kalau aku mengeluarkan satu kata 

saja dari mulutku, debu-debu ini akan menyampaikan ucapanku ini  

kepada Muhammad bin Abdullah.” 

  

Bilal terus menjadi muadzin Rasulullah Saw selama hidupnya. 

DanRasul Saw menjadi cinta kepada suara ini yang dahulunya pernah 

disiksa namun selalu mengatakan: “Ahad… Ahad” 

Begitu Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya. Saat itu waktu 

shalat telah tiba. Maka berdirilah Bilal untuk mengumandangkan adzan 

kepada manusia –saat itu Nabi Saw sudah dikafankan namun belum 

dikubur-, saat ia hendak mengucapkan Asyhadu Anna Muhammadan 

Rasulullah… ia serasa tercekik, dan suaranya tidak keluar dari 

kerongkongan. Maka sontak, semua kaum muslimin yang ada pada saat itu 

menangis, dan mereka semua tenggelam dalam kesedihan. 

lalu   sesudah  tiga hari sejak hari itu, Bilal kembali 

mengumandangkan adzan. Namun setiap kali ia sampai pada kalimat 

Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, ia menangis dan menangislah 

semua orang yang mendengarnya. 

Pada saat itu, Bilal meminta kepada Khalifah Abu Bakar untuk 

mengizinkannya agar tidak mengumandangkan adzan terlebih dahulu 

sebab  ia merasa tidak sanggup untuk melakukannya. 

Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk turut dalam jihad 

di jalan Allah dan tinggal di negeri Syam untuk menghadapi musuh. 

Abu Bakar menjadi ragu dalam memberikan izin kepada Bilal. Maka 

Bilal pun berkata kepada khalifah: “Jika engkau telah membeliku untuk 

kepentingan dirimu, maka tahanlah aku. Jika engkau telah memerdekakan 

aku, maka biarkanlah aku sesuai kehendak Allah Yang telah membuatmu 

memerdekakan aku.” 

Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, aku tidak berniat membelimu, 

kecuali sebab  Allah! Aku tidak memerdekakan mu kecuali di jalan-Nya.” 

lalu  Bilal berkata: “Aku tidak akan mengumandangkan adzan untuk 

siapapun  sesudah  Rasulullah wafat.” Abu Bakar berkata: “Engkau berhak 

untuk itu.” 

  

                                                     

115

 Yang dimaksud dengan bangunan di sini yaitu  Ka’bah 

Bilal berangkat dari Madinah Al Munawarah bersama utusan pertama 

pasukan muslimin. Dan ia tinggal di Daraya dekat dari Damaskus. 

Bilal masih tidak mau mengumandangkan adzan sehingga Umar bin 

Khattab datang ke negeri Syam yang menjumpai Bilal  sesudah  sekian lama 

tidak berjumpa. 

Umar amat rindu kepada Bilal dan amat hormat kepadanya. Sehingga 

jika nama Abu Bakar disebut didepannya, maka Umar akan berkata: “Abu 

Bakar yaitu  pemimpin kami dan dialah yang telah memerdekakan 

pemimpin kami (maksudnya yaitu  Bilal).” 

Pada saat itulah para sahabat mendesak Bilal untuk mengumandangkan 

adzan dihadapan Umar Al Faruq. 

Begitu suara Bilal berkumandang, Umar serta-merta meneteskan air 

mata, dan semua sahabat yang ada pada saat itu turut menangis, sehingga 

bulu janggut menjadi basah oleh air mata. 

Bilal telah berhasil membangkitkan kerinduan mereka kepada 

Madinah. 

  

Sang pengumandang adzan ini terus tinggal di Damaskus sehingga 

menjumpai ajalnya di sana. Istrinya setia mendampingi Bilal saat menjelang 

maut sambil berkata: “Duh, kasihannya!” Dan Bilal membuka kedua 

matanya setiap kali istrinya berkata demikian, dan ia berkata: “Alangkah 

gembiranya!” 

lalu  Bilal melepaskan nafas terakhirnya sambil melantunkan: 

“Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, yaitu Muhammad dan 

para sahabatnya… Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, yaitu 

Muhammad dan para sahabatnya.” 


Habib Bin Zaid Al Anshary 

“Keberkahan Allah atas Kalian Wahai Penghuni Rumah. Rahmat 

Allah atas Kalian Wahai Penghuni Rumah.” (Pujian Rasulullah Saw 

Terhadap Habib & Keluarganya) 

 

Di sebuah rumah dimana semerbak iman meliputi setiap penjuru. 

Diiringi dengan rasa pengorbanan dari masing-masing anggota keluarga. 

Disanalah tumbuh Habib Bin Zaid Al Anshary. 

Ayahnya bernama Zaid bin A’shim salah seorang pemuka kaum 

muslimin di Yatsrib. Dia juga termasuk salah seorang dari 70 orang yang 

melakukan turut serta di Aqabah116 untuk menyatakan bai’at kepada 

Rasulullah. Dan Zaid saat itu ditemani oleh istri dan dua anaknya. 

Ibunya yaitu  Ummu Umarah yang bernasab kepada bani Al 

Maziniyah117. Dialah wanita pertama yang mengangkat senjata demi 

membela agama Allah Swt dan Muhammad Rasulullah Saw. 

Saudaranya yaitu  Abdullah bin Zaid yang berani mati membela 

Rasulullah Saw dalam peristiwa Uhud. 

Rasulullah Saw pernah bersabda tentang keluarga ini: “Keberkahan 

Allah atas kalian wahai penghuni rumah. Rahmat Allah atas kalian wahai 

penghuni rumah.” 

Cahaya ilahi menembus relung hati Habib bin Zaid saat ia masih 

berusia muda, dan ia merasakan adanya kenyamanan dalam agama ini. 

Ia mendapatkan surat perintah untuk turut serta bersama ibu, bapak, 

bibi dan saudaranya pergi ke Mekkah untuk bergabung bersama 70 orang 

mulia dalam membuat catatan sejarah; dimana ia akan menjulurkan 

tangannya yang kecil untuk berbaiat kepada Rasulullah Saw ditengah 

kegelepan Bai’at Aqabah. 

Sejak saat itu, Rasulullah Saw bagi Habib yaitu  orang yang paling ia 

cintai melebihi ibu dan bapaknya. Dan Islam baginya, kini lebih mahal 

dibandingkan  dirinya sendiri. 

  

                                                     

116

 Aqabah yaitu  sebuah tempat di Mina, dimana para orang-orang Anshar pertama 

menyatakan berbai’at kepada Nabi Saw 

117

 Profilnya dapat dilihat dalam buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis. 

Habib tidak ikut serta dalam perang Badr, sebab  pada saat itu ia masih 

berusia belia. 

Ia juga tidak berpartisipasi dalam perang Uhud, sebab pada saat itu ia 

belum mampu untuk mengangkat senjata. Akan tetapi  sesudah  itu ia 

mengikuti semua peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw, dan pada 

setiap peperangan yang ia ikuti ia memiliki peran yang penting, 

perjuangan yang luar biasa dan pengorbanan yang tiada tara. 

Disamping bahwa semua pertempuran dan peperangan ini amat hebat 

dan ganas yang pada hakikatnya yaitu  hiperbolik atas sebuah peristiwa 

besar yang akan kami paparkan selanjutnya bagi Anda. Sebuah kisah yang 

akan menyentuh dan mengguncangkan perasaanmu sebagiaman telah 

mengguncang perasaan jutaan orang; sejka zaman kenabian hingga saat 

kini. Kisah ini akan membuatmu kagum, sebagaimana ia telah memberikan 

kekaguman kepada banyak orang sepanjang zaman. 

Marilah kita dengarkan kisah yang memukau ini dari bagian awalnya. 

  

Pada tahun 9 Hijriyah. Islam pada waktu itu sudah kuat, kokoh dan 

mengakar. Pada saat itulah banyak delegasi bangsa Arab berdatangan dari 

daerah yang jauh untuk menjumpai Rasulullah Saw di Yatsrib serta untuk 

menyatakan keislaman mereka di hadapan Beliau saw lalu berbai’at untuk 

senantiasa patuh dan setia kepada Beliau Saw. 

Salah satu dari delegasi ini yaitu  utusan dari Bani Haifah yang datang 

dari daerah dataran tinggi Najd. 

  

Para delegasi itu mengikatkan unta-unta mereka di pinggiran kota 

Madinah. Dan mereka menitipkan barang-barang mereka kepada seorang 

pria yang dikenal dengan Musailamah bin Khabib Al Hanafi. lalu  

delegasi ini lalu berjalan untuk menemui Nabi Saw dan menyatakan 

keislaman mereka dan kaumnya dihadapan Nabi Saw. Lalu Rasulullah Saw 

menerima kedatangan mereka dengan hangat dan memerintahkan agar 

masing-masing mereka diberikan hadiah, termasuk hadiah bagi teman 

mereka yang mereka titipkan barang. 

  

Delegasi ini belum lagi sampai ke tanah air mereka di Najd, sewaktu 

Musailamah bin Habib menyatakan murtad (keluar dari Islam) dan berkata 

di hadapan mereka: “Bahwa dirinya yaitu  seorang Nabi yang diutus Allah 

kepada Bani Hanifah sebagaimana Allah telah mengutus Muhammad bin 

Abdullah kepada Quraisy.” 

Maka serentaklah kaumnya mendatangi Musailamah dengan berbagai 

macam motivasi yang terpentingnya yaitu  sebab  fanatisme kesukuan, 

sehingga ada salah seorang di antara mereka mengatakan: “Aku bersaksi 

bahwa Muhammad yaitu  orang yang jujur dan Musailamah yaitu  

pendusta. Akan tetapi seorang pendusta dari Rabiah118 lebih aku sukai 

dibandingkan  orang yang jujur dari Mudhar.119 

  

Saat Musailamah semakin kokoh dan banyak mendapatkan dukungan, 

ia menuliskan sebuah surat kepada Rasulullah Saw yang berbunyi: “Dari 

Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah. Semoga 

kesejahteraan bagimu. Amma Ba’du… Aku telah berbagi urusan dengan 

mu. Bagi kami yaitu  separuh bumi, dan bagi Quraisy separuhnya lagi. 

Akan tetapi Quraisy yaitu  kaum yang melewati batas.” 

Musailamah mengirimkan surat ini  lewat dua orang dari 

kaumnya. Saat surat ini  dibacakan kepada Nabi Saw, lalu Beliau 

bertanya kepada kedua utusan tadi: “Apa pendapat kalian berdua?” Mereka 

menjawab: “Kami berpendapat sebagaimana yang ia katakan.” lalu  

Rasulullah bersabda kepada keduanya: “Demi Allah, kalau saja para Rasul 

tidak dibunuh, maka pasti sudah aku tebas leher kalian berdua!” lalu  

Rasul mengirimkan surat kepada Musailamah yang berbunyi: 

“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah kepada 

Musailamah sang pendusta. Kesejahteraan kepada mereka yang mengikuti 

petunjuk. Amma Ba’du… Bumi yaitu  milik Allah yang Ia wariskan kepada 

siapa saja dari hamba-Nya yang Ia kehendaki, dan akibat yang baik 

hanyalah bagi orang yang bertaqwa.” 

lalu  Rasulullah Saw menitipkan surat ini  kepada kedua 

orang tadi. 

  

Kejahatan yang dilakukan oleh Musailamah semakin merebak dan 

merajalela. Lalu Rasulullah Saw mengambil keputusan untuk mengirimkan 

sebuah surat kepadanya yang berisikan ancaman untuk menghentikan 

kesesatan dirinya. lalu  Rasulullah Saw menyuruh tokoh cerita kita ini 

yang bernama Habib bin Zaid untuk membawa surat ini  kepada 

Musailamah. 

Pada hari itu, Habib bin Zaid hanyalah seorang pemuda yang baru 

menginjak usia remaja. Namun ia yaitu  seorang pemuda yang teguh 

beriman dengan menjaga keimanannya dari ujung rambut hingga ujung 

kakinya. 

                                                     

118

 Rabiah yaitu  sebuah kabilah besar di Arab yang menjadi kabilah bagi Musailamah 

119

 Mudhar yaitu  kabilah Rasulullah Saw 

  

Berangkatlah Habib bin Zaid untuk menjalankan perintah Rasulullah 

Saw tanpa merasa ragu dan khawatir. Ia melewati bukit dan lereng 

sehingga ia tiba di perkampungan Bani Hanifah di dataran tinggi Najd. 

lalu  ia menyerahkan surat Rasulullah Saw kepada Musailamah. 

Begitu Musailamah membaca apa yang tertuliskan dalam surat ini , 

maka terpancarlah rona kemarahan dan kedengkian dari dalam dadanya. 

Dari roman mukanya yang berwarna merah terlihat adanya kejahatan dan 

pengkhianatan. Musailamah lalu memerintahkan pembantunya untuk 

mengikat Habib bin Zaid dan membawanya pada esok hari di waktu 

Dhuha.  

Keesokan harinya Musailamah membuka majlisnya. Disekelilingnya 

ada para pemuka kaum yang menjadi pengikut dirinya yang terbesar. 

Musailamah juga mengizinkan kalangan umum untuk hadir. lalu  ia 

memerintahkan agar Habib bin Zaid di bawa masuk, dan masuklah ia 

dengan tangan dan kaki terikat. 

  

Habib bin Zaid berdiri di tengah kerumunan yang ramai ini. Ia 

mendapati bahwa orang yang ada semuanya penuh dengan kedengkian 

dan kebencian. Mereka semua terlihat emosi dan selalu mendenguskan 

hidung mereka sebagai tanda kekesalan. 

lalu  Musailamah melihat ke arah Habib dan bertanya: “Apakah 

engkau bersaksi bahwa Muhammad yaitu  Rasulullah?” Ia menjawab: “Ya. 

Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu  utusan Allah.” Maka Musailamah 

berdiam sejenak tanda marah lalu bertanya: “Apakah engkau bersaksi 

bahwa aku yaitu  Rasulullah?” Maka Habib menjawab dengan nada sinis: 

“Telingaku sedikit tuli sehingga tidak bisa mendengar apa yang kau 

katakan.” 

Maka berubahlah rona wajah Musailamah dan ia mulai menggigit 

bibirnya tanda marah dan ia berkata kepada para algojonya: “Potonglah 

sebuah anggota dari tubuhnya!”  

Lalu datanglah para algojo menghampiri Habib. Mereka memotong 

salah satu anggota tubuhnya sehingga bagian yang terpotong ini  

menggelinding di atas tanah… 

lalu  Musailamah mengulangi pertanyaan yang sama kepadanya: 

“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad yaitu  Rasulullah?” Ia 

menjawab: “Ya. Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu  Rasulullah.” 

Musailamah bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku yaitu  

Rasulullah?” Habib menjawab: “Aku telah katakan kepadamu, bahwa 

telingaku sedikit tuli sehingga tidak bisa mendengarkan apa yang kau 

katakan.” 

lalu  Musailamah memerintahkan para algojonya untuk 

memotong anggota tubuh Habib yang lain. Maka dipotonglah salah satu 

anggota tubuh yang lain dari diri Habib sehingga anggota tubuh ini  

jatuh menggelinding di tanah dan berkumpul dengan anggota tubuh yang 

terpotong lebih dahulu. Para manusia yang hadir pada saat itu 

menyaksikan dengan mata kepala mereka dengan keheranan atas 

keteguhan dan penolakan Habib kepada Musailamah. 

Terus saja Musailamah bertanya, para algojo memotong bagian 

tubuhnya, namun Habib tetap menjawab: “Aku bersaksi bahwa 

Muhammad yaitu  Rasulullah.” 

Sehingga hampir separuh tubuhnya telah terpotong dan berceceran di 

atas tanah… sementara separuhnya lagi yaitu  merupakan tumpukan yang 

berbicara. Akhirnya, ruhnya pun meninggalkan jasad, sementara kedua 

bibirnya yang suci terus menyebut nama Nabi Saw yang telah ia bai’at pada 

malam Aqabah… yaitu nama Muhammad sebagai Rasulullah. 

Kisah tewasnya Habib terdengar oleh ibunya yang bernama Nasibah Al 

Maziniah. Ia mampu menerimanya dan dapat menguasai kesedihannya. Ia 

berharap anaknya akan mendapatkan balasan terbaik dari Allah. 

Pada peristiwa Yamamah. Abu Bakar As Shiddiq menyiapkan sebuah 

pasukan untuk memerangi Musailamah Al Kadzzab. Dan Abu Bakar 

menjadikan panglima atas pasukan ini yaitu  Khalid bin Walid ra. 

Maka bergabunglah dalam pasukan pejuang yang gagah berani ini 

Nasibah Al Maziniah dan putranya yang bernama Abdullah. Keduanya 

berniat untuk berjihad di jalan Allah sekaligus menuntut balas atas Habib 

dari orang yang telah membunuhnya. 

  

Pada perang Yamamah yang sengit, terlihatlah Nasibah yang 

menerobos pasukan musuh dengan semangat bagaikan seekor singa betina 

yang menerkam, dan ia berkata: “Mana musuh Allah? Tunjukan kepadaku, 

mana musuh Allah?” 

Saat ia menemukan Musailamah telah terjerembab di atas tanah dengan 

pedang kaum muslimin yang berlumuran darahnya, maka tenang dan 

puaslah jiwa Nasibah. Mengapa tidak?… Bukankah Allah Swt telah 

membalaskan hal yang setimpal kepada orang celaka yang telah 

membunuh putranya yang berbakti lagi bertaqwa? 

Benar. Keduanya telah kembali kepada Tuhannya. Akan tetapi salah 

seorang kembali ke surga, dan yang satunya lagi kembali ke neraka. 


Abu Thalhah Al Anshary          

(Zaid Bin Sahl) 

 “Abu Thalhah Menjalani Hidupnya dengan Berpuasa & Berjihad. Ia 

Juga Mati dalam Kondisi Berpuasa dan Berjihad…” 

 

Zaid bin Sahl yang dijuluki dengan Abu Thalhah mengetahui bahwa Al 

Rumaisha binti Milhan An Najariyah120 yang dikenal dengan nama Ummu 

Salim sudah tidak bersuami lagi  sesudah  suaminya meninggal dunia. Maka 

gembiralah hati Abu Thalhah mendengarnya. 

Tidak mengherankan, sebab  Ummu Salim yaitu  seorang wanita yang 

amat menjaga harga diri dan terkenal kecerdasan akalnya. 

Maka Abu Thalhah berniat untuk meminangnya sebelum ia kedahuluan 

oleh orang lain yang berminat untuk mengkhitbah wanita seperti Ummu 

Salim ini… Abu Thalhah begitu percaya diri bahwa Ummu Salim tidak 

akan menolak pinangannya dan menerima pinangan pria lain. Sebab dia 

yaitu  seorang pria dewasa yang berusia matang. Memiliki status 

terhormat. Dan memiliki harta yang banyak. 

Ditambah lagi, ia yaitu  salah seorang patriot Bani Najjar, dan salah 

seorang pemanah Yatsrib yang terkenal. 

  

Berangkatlah Abu Thalhah ke rumah Ummu Salim… 

Saat di tengah jalan, Abu Thalhah teringat bahwa Ummu Salim telah 

mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh seorang Da’I dari Mekkah 

yang bernama Mus’ab bin Umair. Ia tahu bahwa Ummu Salim telah 

beriman kepada Muhammad dan masuk ke dalam agamanya. 

Akan tetapi masih saja Abu Thalhah berkata dalam dirinya: 

“Memangnya kenapa? Bukankah suami Ummu Salim yang telah meninggal 

pun masih berpegang teguh dengan agama kakek moyangnya, dan 

berpaling dari agama dan dakwah Muhammad?!” 

  

                                                     

120

 Ada yang mengatakan bahwa namanya yaitu  Al Rumaisha atau Al Ghumaisha. Yang paling 

benar yaitu  bahwa nama ini  yaitu  hanyalah sifat dari dirinya saja. Lihatlah profilnya dalam 

buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis. 

  

Abu Thalhah sampai di rumah Ummu Salim dan ia meminta agar 

diizinkan masuk. Ummu Salim pun memberinya izin. Saat itu, anak Ummu 

Salim yang bernama Anas turut mendampinginya. Lalu Abu Thalhah 

mengutarakan maksudnya dan Ummu Salim menjawab: “Orang sepertimu, 

ya Abu Thalhah tidak akan ditolak. Akan tetapi aku tidak akan menikah 

denganmu sebab  engkau yaitu  orang kafir.” Maka Abu Thalhah segera 

menduga bahwa Ummu Salim telah berdalih dan ia telah memilih orang 

lain yang lebih banyak hartanya dan lebih mulya kedudukannya. 

lalu  ia bertanya: “Demi Allah, Siapakah orangnya yang telah 

membuatmu menolak ku, wahai Ummu Salim?” 

Ummu Salim balik bertanya: “Lalu apa yang menghalangiku?!” 

Abu Thalhah menjawab: “Benda yang kuning dan putih, yaitu emas dan 

perak mungkin?” 

Ummu Salim bertanya keheranan: “Emas dan perak?!” 

Abu Thalhah menjawab dengan dugaan: “Ya.” 

Ummu Salim berkata: “Aku bersaksi kepadamu, wahai Abu Thalhah. 

Dan aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa jika engkau masuk 

Islam maka aku akan menerimamu sebagai suami tanpa perlu diberi emas 

dan perak. Dan aku akan menjadikan keislamanmu sebagai maharnya!” 

  

Begitu Abu Thalhah mendengar ucapan Ummu Salim, maka pikirannya 

melayang kepada berhala yang ia buat dari kayu terbaik. Ia membayangkan 

berhala yang selalu ia sembah sebagaimana yang sering dilakukan oleh 

para pembesar kaumnya. 

Akan tetapi Ummu Salim tidak memberinya kesempatan dan langsung 

bertanya: “Apakah engkau tidak tahu, wahai Abu Thalhah bahwa tuhan 

yang kau sembah selain Allah yaitu  tumbuh dan berasal dari tanah?!” 

Abu Thalhah menjawab: “Benar.” Ummu Salim mengejar: “Apakah 

engkau tidak merasa malu jika engkau menyembah bagian dari pohon yang 

separuhnya engkau sembah dan pada saat yang sama ada orang lain yang 

menjadikannya sebagai kayu bakar. Orang ini  memanfaatkan api dari 

kayu tadi atau membuat roti dari tepung dengan api tadi… Jika engkau 

masuk Islam, wahai Abu Thalhah maka aku akan menerimamu sebagai 

suami, dan aku tidak meminta mahar apapun selain Islam. 

Abu Thalhah bertanya: “Siapa yang dapat membuatku masuk Islam?” 

Ummu Salim menjawab: “Aku yang akan melakukannya untukmu.” Abu 

Thalhah bertanya: “Bagaimana caranya?” Ummu Salim menjawab: 

“Ucapkanlah kalimat haq dan kau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah 

dan bahwa Muhammad yaitu  Rasulullah.” Lalu akhirnya, Abu Thalhah 

dapat menikahi Ummu Salim. 

Kaum muslimin berkata: “Kami tidak pernah mendengar mahar yang 

lebih mulya dibandingkan  mahar Ummu Salim. Ia telah menjadikan mahar 

untuknya yaitu  Islam.” 

  

Sejak saat itu Abu Thalhah bergabung di bawah panji Islam, dan ia 

mendedikasikan semua potensinya untuk berkhidmat di dalamnya. 

Abu Thalhah lalu menjadi salah seorang dari 70 manusia yang berbaiat 

kepada Rasul pada peristiwa Aqabah. Dan ia ditemani oleh istrinya yang 

bernama Ummu Salim. 

Dia juga salah seorang dari 12 pimpinan yang ditunjuk oleh Rasulullah 

Saw pada malam itu untuk memimpin kaum muslimin Yatsrib. 

Lalu Abu Thalhah turut serta dalam seluruh pertempuran yang 

dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan ia melewatinya dengan begitu tegar 

dan gagah berani. 

Akan tetapi perjuangan yang diberikan Abu Thalhah dalam membela 

Rasulullah Saw yaitu  pada peristiwa Uhud. Dan Anda sesaat lagi akan 

mendengarkan kisah peristiwa ini . 

  

Abu Thalhah begitu mencintai Rasulullah Saw sehingga mengisi relung 

hati terdalamnya. Kecintaan ini  hingga memenuhi setiap ruang aliran 

darahnya. Ia tidak pernah bosan memandang Rasulullah. Ia tidak pernah 

merasa jemu mendengarkan pembicaraan dan sabda Beliau… Jika Abu 

Thalhah sedang berada bersama Rasulullah Saw, ia akan bertekuk lutut 

dihadapan Beliau dan berkata: “Jiwaku yaitu  taruhan atas jiwamu. 

Wajahku akan senantiasa menjadi pelindung wajahmu.” 

Pada saat perang Uhud, pasukan muslimin kocar-kacir sehingga 

meninggalkan Rasulullah Saw dan membuat pihak musyrikin dapat 

menyerang Rasulullah Saw dari semua penjuru. Pasukan musyrikin 

berhasil membuat gigi geraham Rasul tanggal. Mereka dapat melukai 

kening Beliau dan melukai bibirnya. Dan darah mengalir deras dari wajah 

Rasulullah… 

Bahkan para pendusta meneriakkan bahwa Muhammad telah 

terbunuh, sehingga pasukan muslimin bertambah lemah dan akhirnya 

menyerah dihadapan para musuh Allah. 

Pada saat itu, hanya tersisa sedikit orang saja yang bersama Rasulullah 

Saw dan salah satunya yaitu  Abu Thalhah. 

  

Abu Thalhah berdiri di depan Rasulullah Saw bagaikan gunung yang 

kokoh, dimana Rasulullah Saw berdiri melindungi diri dibelakang 

tubuhnya. 

Lalu Abu Thalhah menggenggam erat busur panahnya. lalu  ia 

meletakkan anak panah yang tidak pernah meleset. Ia lalu membela 

Rasulullah Saw mati-matian dengan mengarahkan kepada pasukan 

musyrikin satu demi satu. 

Nabi Saw mengintip dari balik tubuh Abu Thalhah untuk melihat 

sasaran anak panahnya. Lalu Abu Thalhah berkata dengan nada khawatir 

kepada Beliau: “Demi, ayah dan ibuku, janganlah engkau memunculkan 

kepala kepada mereka sebab itu dapat membuatmu terkena panah mereka. 

Leherku akan menjadi pelindung lehermu. Dadaku akan menjadi tameng 

bagi dadamu. Aku akan berkorban untukmu… 

Lalu ada seorang pria dari pasukan muslimin yang melintasi lari 

dihadapan Rasulullah Saw dan ia membawa sebuah kantung berisi anak 

panah. Maka Rasulullah memanggilnya dan berkata: “Hamburkan anak-

anak panahmu dihadapan Abu Thalhah dan janganlah kau bawa lari!” 

Abu Thalhah terus melindungi Rasulullah Saw sehingga ia telah 

mematahkan 3 buah busur panah. Ia telah berhasil dengan izin Allah 

membunuh beberapa orang dari pasukan musyrikin. Lalu, berakhirlah 

peperangan dan Allah berkenan menyelamatkan Nabi-Nya dengan 

perlindungan yang telah Ia berikan kepadanya. 

  

Bila Abu Thalhah mampu berderma di jalan Allah pada saat-saat sulit, 

maka ia akan lebih dermawan lagi pada saat-saat lapang. 

Yang membuktikan hal ini yaitu  bahwa dirinya memiliki sebuah 

kebun kurma dan anggur yang tidak ditemukan di kota Yatsrib kebun yang 

lebih besar pohonnya, lebih bagus buahnya dan lebih jernih airnya. 

Saat Abu Thalhah sedang melakukan shalat dibawa daun-daun pohon 

yang lebat, perhatiannya tertarik dengan seekor burunng yang bernyanyi, 

berwarna hijau dan memiliki paruh berwarna merah. Kedua kakinya pun 

berwarna. 

Burung tadi melompat-lompat di dahan pohon sambil bernyanyi dan 

menari. Abu Thalhah menjadi kagum dengan pemandangan ini,lalu 

mengiringi pemikirannya dengan bertasbih. 

Tak lama lalu , Abu Thalhah sadarkan diri. Ia dapati bahwa 

dirinya sudah tidak ingat lagi akan bilangan rakaat shalatnya? Apakah 

dua… tiga? Ia sendiri tidak tahu. 

Begitu ia usai melaksanakan shalat, ia mendatangi Rasulullah Saw dan 

menyampaikan keluhan bahwa dirinya telah diperdaya oleh kebunnya 

sendiri,dengan pohon yang rindang dan burung yang berkicau, sehingga 

membuatnya lalai dari shalat. 

lalu  Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah Saw: “Saksikanlah, 

ya Rasulullah! Aku jadikan kebun ini sebagai sedekah di jalan Allah Swt. 

Gunakanlah sekehendak Allah dan Rasul-Nya!” 

  

Abu Thalhah menjalani hidupnya dengan senantiasa berpuasa dan 

berjihad. Dan ia pun mati saat berpuasa dan berjihad. 

Telah diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Abu Thalhah masih 

terus hidup sekitar 30 tahun  sesudah  wafatnya Rasulullah Saw dengan terus 

berpuasa kecuali pada hari-hari besar dimana puasa diharamkan. 

Ia terus hidup sehingga menjadi seorang tua-renta. Akan tetapi 

ketuaannya tidak menjadikan dirinya terhalang dari berjihad di jalan Allah 

Swt, dan mengarungi bumi untuk menegakkan kalimat Allah dan 

memuliakan agama-Nya. 

Salah satunya yaitu  ketikan pasukan muslimin berniat untuk 

melakukan sebuah peperangan di lautan pada masa khalifah Utsman bin 

Affan. 

Abu Thalhah bersiap-siap untuk berangkat bersama pasukan muslimin, 

namun anak-anaknya berkata: “Semoga Allah merahmatimu, wahai ayah 

kami. Engkau kini sudah amat tua. Engkau telah berjuang bersama 

Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Mengapa kini engkau tidak 

beristirahat saja dan membiarkan kami yang melakukan jihad?” 

Abu Thalhah menjawab: “Allah Swt berfirman:  

(#ρ ãÏΡ$# $]ù$ xÅz Zω$ s)ÏO uρ   

“Berangkatlah dalam kondisi ringan maupun berat.” (QS. At-Taubah 

[9] : 41)  

Ia telah menyeru kita semua untuk berangkat… baik tua ataupun 

muda, dan ia tidak pernah memberikan batasan umur.” 

lalu  ia pergi ke luar untuk berangkat… 

  

Saat Abu Thalhah yang sudah tua itu berada di atas kapal di tengah laut 

bersama pasukan muslimin yang lain, ia lalu jatuh sakit sehingga wafat. 

Maka pasukan muslimin mencoba untuk mencari sebuah pulau untuk 

menguburkan jasad Abu Thalhah, akan tetapi mereka tidak menemukan 

satu pulau pun kecuali  sesudah  7 hari. Abu Thalhah selama masa itu 

ditutupi oleh mereka namun jasadnya tidak berubah sedikitpun seolah dia 

hanya tertidur saja. 

Di tengah lautan, jauh dari keluarga dan rumah, disanalah Abu 

Thalhah dimakamkan. 

Jauhnya ia dikuburkan dari manusia tidak akan menyebabkan 

kemudharatan bagi dirinya, selagi ia senantiasa dekat kepada Allah Swt. 


Wahsy Bin Harb 

“Ia telah Membunuh Orang Terbaik  sesudah  Muhammad… Ia Juga 

Telah Membunuh Orang Terjahat.” (Para Ahli Sejarah) 

 

Siapakah orang yang telah melukai hati Rasulullah Saw, yang telah 

membunuh paman Beliau bernama Hamzah bin Abdul Muthalib pada 

perang Uhud?! 

lalu  menyembuhkan hati kaum muslimin saat ia berhasil 

membunuh Musailamah Al Kadzzab pada perang Yamamah? 

Dialah Wahsy bin Harb Al Habasy yang dikenal dengan Abu Dasmah. 

Ia memiliki sebuah kisah sedih yang berdarah dan begitu keras. 

Dengarkanlah dengan baik tragedi yang ia rasakan. 

Wahsy berkata: “Aku yaitu  seorang budak milik Jubair bin Muth’im 

salah seorang pemuka Quraisy. Pamannya bernama Thu’aimah yang telah 

terbunuh oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, sehingga hal itu mebuat ia 

amat bersedih. Jubair bersumpah demi Lata dan Uzza untuk menuntut 

balas atas kematian pamannya, dan akan membunuh si pembunuh 

pamannya. Dan ia sejak itu selalu menanti kesempatan untuk membunuh 

Hamzah.” 

  

Tidak berselang lama sejka itu, maka bangsa Quraisy memutuskan 

untuk berangkat ke Uhud demi mengalahkan Muhammad bin Abdullah 

dan menuntut balas dendam atas korban perang Badr. Maka disiapkanlah 

pasukan dan dikumpulkanlah semua sekutu mereka. Pasukan itu dipimpin 

oleh Abu Sufyan bin Harb. 

Abu Sufyan memiliki strategi dengan membuat dalam barisan 

pasukannya beberapa orang wanita Quraisy dari kelompok orang yang 

bapak, anak, saudara atau salah seorang anggota keluarganya yang 

terbunuh pada perang Badr. Mereka digunakan untuk memberikan 

semangat kepada pasukan agar terus semangat berjuang dan menghalangi 

para prajurit untuk lari dari medan perang. Salah seorang dari para wanita 

tadi yaitu  istrinya sendiri yang bernama Hindun binti Utbah. Ayah, 

paman dan saudara Hindun telah terbunuh pada perang Badr. 

Begitu pasukan hendak berangkat. Jubair bin Muth’im menoleh ke 

arahku dan bertanya: “Apakah engkau wahai Abu Dasmah hendak 


membebaskan dirimu dari perbudakan?” Aku bertanya: “Siapa yang dapat 

  

melakukannya?” Ia menjawab: “Aku yang akan melakukannya demi 

dirimu.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?!” Ia menjawab: “Jika engkau 

dapat membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, pamannya Muhammad 

sebagai balas dendam atas pamanku Thu’aimah bin Ady, maka engkau 

akan bebas.” 

Aku bertanya: “Siapa yang akan menjamin hal ini  buatku?” Ia 

berkata: “Siapa saja, aku akan mempersaksikan kepada semua manusia hal 

ini.” Aku pun berkata: “Baik, aku akan melakukannya.” 

Wahsy berkata: 

Aku yaitu  seorang Habasyah yang dapat melemparkan alat perang 

sebagaimana orang Habasyah kebanyakan, aku tidak akan meleset dari 

target yang aku lempar. 

Lalu aku mengambil alat perangku dan berangkat bersama pasukan. 

Aku berjalan di barisan belakang dekat dengan barisan wanita. sebab  aku 

yaitu  harapan dalam peperangan ini. Maka setiap kali aku berpapasan 

dengan Hindun,istri Abu Sufyan dan ia melihat ada senjata perang yang 

berkilat dalam genggamanku di bawah terik matahari, maka ia akan 

berkata: “Sembuhkanlah kemarahan hati kami dengan membunuh 

Hamzah, dan penuhilah kesembuhan hati kami!” 

Begitu kami tiba di Uhud dan kedua pasukan pun telah bertemu, maka 

aku langsung mencari Hamzah bin Abdul Muthalib dan aku pernah 

mengenal dia sebelumnya. Hamzah begitu mudah dikenali oleh siapapun, 

sebab ia menaruh sehelai bulu lembut di kepalanya agar dapat memberikan 

petunjuk kepada para sahabatnya sebagaimana kebiasaan para patriot dan 

pejuang gagah berani bangsa Arab lainnya. 

Tidak membutuhkan waktu lama, maka aku langsung dapat melihat 

Hamzah yang merobek lapisan manusia bagaikan seekor unta abu-abu 

yang begitu kuat. Dia menebaskan pedangnya pada leher setiap musuh. 

Tidak ada musuh yang dapat tegak berdiri di hadapannya. 

Begitu aku bersiap untuk membunuhnya, dan saat itu aku berlindung 

pada sebuah pohon atau batu sambil menunggu ia mendekat ke arahku. 

Saat seorang penunggang kuda yang dikenal dengan Siba’ bin Abdil Uzza 

mendekat kepada Hamzah sambil berkata: “Hadapi aku, ya Hamzah… 

Hadapi aku!” 

Maka Hamzah menghadapinya sambil mengatakan: “Kemarilah, wahai 

musyrik!… kemarilah!” 

Begitu cepat Hamzah melibasnya dengan sebuah sabetan pedang. Maka 

jatuhlah Siba’ dengan darah berlumuran dihadapan Hamzah. 

Pada saat itulah aku memiliki posisi yang aku nanti-nanti di depan 

Hamzah. Aku menggenggam senjataku sehingga aku begitu yakin. Aku 

lemparkan ke arah tubuh Hamzah, dan tertancaplah senjataku ini  di 

bawah perutnya hingga tembus di antara kedua kakinya. 

lalu  ia melangkah dua langkah dengan langkah yang berat ke 

arahku. Tidak lama lalu  ia terjerembab. Senjataku masih tertancap di 

tubuhnya. Aku membiarkan senjata ini  bersarang di tubuhnya 

sehingga aku benar-benar yakin bahwa ia telah mati. lalu  aku 

menghampirinya dan aku mencabut senjataku dari tubuhnya. lalu  

aku kembali ke kemah lalu duduk berdiam di sana sebab  aku tidak 

memiliki kepentingan apa-apa dalam perang itu kecuali hanya membunuh 

Hamzah sehingga diriku akan terbebas dan merdeka. 

  

lalu  peperangan berlangsung semakin sengit dan banyak sekali 

korban yang berjatuhan. Akan tetapi kepanikan menyelimuti hati para 

sahabat Muhammad, dan banyak sekali korban yang berjatuhan di pihak 

mereka. 

Pada saat itu, Hindun binti Utbah dan beberapa wanita lainnya 

menghampiri bangkai pasukan muslimin untuk memotong-motong bagian 

tubuh mereka: perut mereka dikoyak, mata mereka dicungkil, hidung 

mereka dipotong dan telinga mereka diputus. 

lalu  Hindun membuat sebuah kalung dan untaian dari hidung 

dan telinga yang ia jadikan hiasan. lalu  ia memberikan kalung dan 

untaian ini  kepadaku sambil berkata: “Keduanya untukmu, wahai Abu 

Dasmah… Keduanya untukmu! Simpanlah keduanya sebab  berharga.” 

Begitu Perang Uhud sudah selesai, aku kembali bersama pasukan ke 

Mekkah. Jubair bin Muth’im lalu menetapi janjinya kepadaku dengan 

membebaskan aku dari belenggu perbudakan, dan akupun merdeka. 

  

Akan tetapi persoalan tentang Muhammad setiap hari semakin 

berkembang. Kaum muslimin setiap saat semakin terus bertambah. Setiap 

kali urusan tentang Muhammad semakin membesar, maka semakin besar 

juga kegalauanku. Dan muncullah rasa panik dan takut dalam diriku. 

Aku terus saja merasakan hal itu, sehingga saat Muhammad bersama 

pasukannya yang amat besar datang untuk menaklukkan kota Mekkah. 

Pada saat itu, aku melarikan diri ke Thaif untuk mencari keamanan. 

Akan tetapi para penduduk Tha’if tidak menunggu lama untuk 

akhirnya tunduk kepada Islam. Mereka telah mempersiapkan utusan untuk 

menjumpai Muhammad dan menyatakan bahwa mereka semua akan 

masuk ke dalam agamanya.121 

                                                     

121

 Lihat Keislaman Bani Tsaqif dalam buku Hadatsa fi Ramadhan karya penulis 

Pada saat itu, aku bertambah panik dan bumi terasa begitu sempit, dan 

jalan terasa buntu bagiku. lalu  aku berkata pada diri sendiri: “Aku 

akan pergi ke Syam, atau ke Yaman, atau ke negeri lain.” 

Demi Allah, aku saat itu sedang dalam kondisi yang amat kalut, tatkala 

ada seorang pria yang memberikan nasehatnya dengan begitu lembut 

berkata: “Celaka kamu, ya Wahsy! Demi Allah, Muhammad tidak akan 

membunuh siapapun dari manusia yang masuk ke dalam agamanya, dan 

bersaksi dengan kesaksian yang sesungguhnya.122”  

Begitu aku mendengar ucapannya, maka aku langsung berangkat 

menuju Yatsrib untuk mencari Muhammad. Begitu aku tiba di sana, aku 

mencari informasi tentangnya dan akhirnya aku tahu bahwa ia sedang 

berada di Masjid. 

lalu  aku menghampirinya dengan perlahan dan hati-hati. Aku 

terus berjalan ke arahnya sehingga aku berdiri di belakang kepalanya dan 

aku pun berkata: “Asyhadu an La ilaha illa-Llahu wa Anna Muhammadan 

Abduhu wa Rasuluhu.” 

Begitu ia mendengar dua kalimat syahadat, lalu  ia mengangkat 

pandangannya. Begitu ia mengenaliku, ia lalu mengalihkan pandangannya 

dari diriku dan bertanya: “Apakah engkau Wahsy?” Aku Menjawab: 

“Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Duduklah, dan ceritakan 

kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah!” Maka aku duduk dan 

menceritakan kisah pembunuhan Hamzah. 

Begitu aku selesai menceritakan kisahku, lalu  Beliau 

memalingkan wajahnya dari ku sambil bersabda: “Celaka engkau, ya 

Wahsy! Jauhkanlah wajahmu dariku. Aku tidak mau melihatmu lagi  sesudah  

hari ini!”  

Sejak saat itu aku selalu menghindari agar pandangan Rasulullah Saw 

melihat ke arahku. Jika para sahabat duduk dihadapan Beliau, maka aku 

akan mengambil tempat di belakangnya. 

Aku terus melakukan hal itu, sehingga Rasulullah Saw dipanggil untuk 

datang keharibaan Tuhannya. 

  

lalu  Wahsy menambahkan: “Meski aku tahu bahwa Islam akan 

menghapus segala kesalahan yang dilakukan sebelumnya, akan tetapi aku 

terus merasakan kekejian tindakan yang pernah aku lakukan. Dan aku 

merasakan kejahatan yang amat hebat yang pernah aku timpakan kepada 

Islam dan kaum muslimin. Aku terus mencari kesempatan untuk membayar 

segala kesalahan yang pernah aku perbuat.” 

                                                     

122

 Maksudnya yaitu  kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  

Rasulullah 

  

Begitu Rasulullah berpulang keharibaan Tuhannya, dan kekhalifahan 

berpindah ke tangan Abu Bakar. Dan Banu Hanifah pendukung 

Musailamah Al Kadzzab mulai kembali murtad. Khalifah Abu Bakar 

menyiapkan sebuah pasukan untuk menghadapi Musailamah dan 

mengembalikan kaumnya, yaitu Bani Hanifah kepada agama Allah. 

Pada saat itu aku berkata pada diriku sendiri: “Demi Allah, inilah 

kesempatanmu wahai Wahsy. Manfaatkanlah dengan baik, dan jangan 

biarkan ia terlepas dari genggamanmu. 

Lalu akupun berangkat bersama pasukan muslimin. Aku membawa alat 

perangku yang telah membunuh Hamzah bin Abdil Muthalib. Aku 

bersumpah dalam hati bahwa aku akan membunuh Musailamah dengan 

senjataku ini, atau aku akan mendapatkan kesyahidan. 

Begitu pasukan muslimin mendesak Musailamah dan pasukannya di 

Hadiqatul Maut (Taman Kematian)123 dan mengejar para musuh Allah. Aku 

lalu mencari-cari Musailamah dan aku mendapatinya sedang berdiri 

sambil menggenggam sebilah pedang di tangannya. Aku pun melihat 

seorang pria dari Anshar yang sedang mengintai untuk membunuhnya 

seperti yang aku lakukan: rupanya kami berdua telah berniat untuk 

membunuhnya… 

Begitu aku telah mendapatkan posisi yang tepat ke arahnya. Mak aku 

langsung mengarahkan senjatanku sehingga ia stabil di tanganku dan 

lalu  aku lemparkan ke tubuhnya. Dan akhirnya senjataku pun 

bersarang di tubuhnya. 

Begitu aku sudah melemparkan senjataku ke tubuh Musailamah, maka 

orang dari suku Anshar124 tadi langsung melompat ke arahnya dan 

menebaskan pedangnya dengan sebuah sabetan. 

Maka hanya Tuhanlah yang tahu siapa di antara kami yang telah 

berhasil membunuhnya. 

Jika ternyata aku yang telah berhasil membunuhnya; maka aku telah 

menjadi orang yang telah membuhuh orang terbaik  sesudah  Muhammad 

sAw, dan aku juga yang telah berhasil membunuh orang terjahat. 


                                                     

123

 Dia yaitu  sebuah taman yang besar tempat berlindungnya Musailamah dan para 

pendukungnya. Dinamakan seperti itu sebab  banyak sekali pihak kaum murtad yang terbunuh di sana. 

124

 Ada yang mengatakan bahwa orang ini yaitu  Abdullah saudara Habib bin Zaid. Namun 

pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa orang ini  yaitu  Abu Dajanah Sammak bin 

Kharsyah pemilik pedang Rasulullah Saw. 

Hakim Bin Hazam 

“Ada 4 Orang di Mekkah yang Amat Menjauhi Kemusyrikan & Amat 

Cinta Kepada Islam… Salah Satunya yaitu  Hakim Bin Hazam.” 

(Muhammad Rasulullah) 

 

Apakah anda pernah mendengar kisah seorang sahabat Nabi ini?! 

Sejarah telah mencatat bahwa dialah bayi satu-satunya yang terlahir di 

dalam Ka’bah. 

Adapun kisah kelahirannya ini, ringkasnya yaitu  bahwa ibunya 

masuk ke dalam Ka’bah bersama teman-temannya untuk melihat-lihat. 

Dan pada hari itu, Ka’bah di buka sehubungan dengan sebuah acara atau 

kegiatan. 

Pada saat itu, ibunya sedang mengandungnya. Lalu tiba-tiba ia ingin 

segera melahirkan dan saat itu ia sedang berada di dalam Ka’bah dan tidak 

mampu untuk pergi dari sana. 

lalu  dibawakanlah untuknya sebuah potongan kulit, sehingga ia 

melahirkan anaknya di dalam Ka’bah. Dan anak yang dilahirkan itu yaitu  

Hakim bin Hazam bin Khuwailid. Dan dia yaitu  keponakan ummul 

mukminin Sayyidah Khadijah ra. 

Hakim bin Hazam tumbuh dalam sebuah keluarga yang terhormat, 

memiliki kedudukan dan banyak harta. 

Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang cerdas, mulya dan 

terhormat. Itulah yang membuat kaumnya menjadikan dirinya sebagai 

pemimpin mereka dan memulangkan segala permasalahan mereka 

kepadanya khususnya dalam hal rifadah.125 

Hakim sering kali mengeluarkan harta dari koceknya sendiri untuk 

memberikan bekal bagi para haji yang datang ke rumah Allah dan 

kehabisan bekal pada masa jahiliah. 

Hakim yaitu  seorang sahabat akrab Rasulullah Saw sebelum Beliau 

diutus sebagai seorang Nabi. 

Meskipun ia lebih tua 5 tahun dari Nabi Saw, akan tetapi ia senang 

bergaul dan bermain dengan Nabi saw. Dan Rasul pun juga membalas 

kecintaan dan persahabatan Hakim dengan hal yang setimpal. 

                                                     

125

 Rifadah yaitu  salah satu jabatan dalam bangsa Quraisy zaman Jahiliyah dimana pemilik 

jabatan ini harus membantu orang-orang yang membutuhkan dan kekurangan bekal. 

  

Lalu tibalah hubungan kerabat sehingga semakin mempererat 

hubungan keduanya. Hal itu terjadi saat Nabi Saw menikahi bibinya yang 

bernama Khadijah binti Khuwailid ra. 

  

Mungkin Anda akan kaget  sesudah  penjelasan yang telah kami paparkan 

tentang hubungan Hakim dengan Rasulullah Saw jika Anda mengetahui 

bahwa Hakim tidak masuk Islam kecuali  sesudah  Fathu (Penaklukan) 

Makkah.  sesudah  lebih dari dua puluh tahun Rasulullah Saw di utus sebagai 

seorang Nabi!! 

Yang mungkin diduga oleh kebanyakan orang dari seorang pria seperti 

Hakim bin Hazam yang telah diberikan Allah akal yang cerdas, diberikan 

hubungan kekerabatan yang dekat kepada Nabi Saw, semestinya ia menjadi 

orang yang pertama kali beriman kepadanya, membenarkan dakwahnya 

dan menerima petunjuknya. 

Akan tetapi, inilah kehendak Allah! Apa saja yang Allah inginkan, maka 

pasti akan terjadi. 

  

Sebagaimana kita terheran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam, 

maka ia pun merasakan keheranan yang sama akan hal itu. 

Ia hampir saja masuk Islam dan merasakan manisnya iman, sehingga ia 

terus menyesali setiap saat dari umur yang ia habiskan sebagai orang 

musyrik yang menyekutukan Allah dan mendustakan agamanya. 

Suatu saat anaknya mendapati Hakim  sesudah  masuk Islam sedang 

menangis. Anaknya bertanya: “Apa yang membuatmu menangis, duhai 

ayah?!” Ia menjawab: “Semua hal yang begitu banyak yang telah 

membuatku menangis, wahai anakku. Yang pertama yaitu  aku begitu 

terlambat masuk ke dalam Islam yang membuatku selalu ketinggalan dalam 

melakukan kebaikan yang banyak sehingga jika aku berinfaq dengan emas 

sepenuh bumi, maka akupun tidak mampu untuk menyusul mereka. 

lalu  Allah Swt menyelamatkan aku pada perang Badr dan Uhud, 

pada hari itu aku berkata pada diri sendiri: ‘Aku tidak akan menolong 

seorangpun  sesudah  itu untuk menghadapi Rasulullah Saw, dan aku tidak 

akan keluar dari Mekkah. Namun aku terus ditarik untuk membela bangsa 

Quraisy. 

Lalu setiap kali aku hendak masuk Islam, aku melihat orang-orang tua 

suku Quraisy yang tersisa dan memiliki kemampuan yang terus berpegang 

dengan ajaran jahiliah. Maka aku pun mengikuti jejak mereka lagi. Ya 

ampun… kalau saja aku tidak melakukannya. Tidak ada yang membuat 

kita celaka kecuali sebab  kita telah mengikuti jejak para bapak dan 

pembesar kita. Kalau demikian, mengapa aku tidak menangis, wahai 

anakku?!” 

  

Sebagaimana kita merasa aneh dengan keterlambatan Hakim bin 

Hazam dalam memeluk Islam. Sebagaiman ia juga merasa aneh. Akan 

tetapi Nabi Saw merasa kagum dengan pria yang memiliki akal dan 

pemahaman seperti Hakim bin Hazam, yang bagaimana Islam samar 

baginya akan tetapi ia masih berharap agar dirinya dan orang-orang yang 

bersamanya untuk segera masuk ke dalam agama Allah. 

Pada malam sebelum terjadinya Fathu Makkah, Rasulullah Saw 

bersabda kepada para sahabatnya: “Di Mekkah ada empat orang yang amat 

tidak menyukai kemusyrikan dan amat menginginkan Islam.” Ada yang 

bertanya: “Siapa saja mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Attab bin 

Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam dan Suhail bin Amr.” 

Dan termasuk anugerah Allah, bahwa mereka semua akhirnya masuk 

ke dalam Islam. 

  

Begitu Rasulullah Saw masuk ke kota Mekkah untuk menaklukannya, 

Beliau tidak mau memasukinya kecuali bila Hakim bin Hazam dimuliakan. 

lalu  Beliau menyuruh orang untuk menyerukan: “Siapa yang 

bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang tiada sekutu baginya, dan 

bahwa Muhammad yaitu  hambanya dan Rasul-Nya maka dia akan 

aman… Siapa yang mau duduk dihadapan Ka’bah dan meletakkan 

senjatanya maka ia akan aman. Siapa yang menutup pintu rumahnya, maka 

ia akan merasa aman. Siapa yang mau masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, 

maka ia akan aman.” 

Rumah Hakim bin Hazam berada di dataran rendah Mekkah, sementara 

rumah Abu Sufyan berada di dataran tinggi. 

  

Akhirnya, Hakim bin Hazam memeluk Islam yang memenuhi seluruh 

relung hatinya. Ia beriman dengan seluruh butir darahnya dan segenap 

hatinya. 

Dan ia berjanji pada dirinya untuk menebus setiap kekeliruan yang ia 

lakukan pada masa jahiliah, atau mengganti setiap harta yang ia telah 

infaqkan untuk memusuhi Rasulullah dengan yang lebih besar lagi. 

Dan ia pun memenuhi janjinya ini… 

Salah satunya yaitu  ia memberikan Darun Nadwah yaitu sebuah 

rumah yang amat bersejarah. 

Dalam rumah