an
mulai disyariatkan, maka Bilal yaitu orang pertama yang menjadi
muadzin dalam Islam.
Jika ia selesai mengumandangkan adzan, maka ia akan berdiri di depan
pintu rumah Rasulullah Saw dan berkata: “Hayya alas shalah… Hayya alal
falah…”
Jika Rasulullah Saw telah keluar dari kamarnya dan Bilal telah melihat
Beliau datang, maka Bilal akan mengumandangkan iqamat.
An Najasy raja Habasyah pernah memberikan hadiah kepada
Rasulullah Saw dengan 3 tombak pendek yang merupakan barang berharga
yang dimiliki oleh para raja. Rasul lalu mengambil salah satu dari tombak
tadi, lalu satunya lagi ia berikan kepada Ali bin Abi Thalib dan
satunya lagi ia berikan kepada Umar bin Khattab. lalu tombak yang
diambil oleh Rasul untuk dirinya diberikan kepada Bilal. Maka tombak
ini senantiasa dibawa oleh Bilal sepanjang hidupnya.
Bilal selalu membawa tombak tadi pada setiap hari Iedul Fitri dan Iedul
Adha. Ia juga membawanya saat shalat Istisqa’. Ia menempatkan tombak
ini dihadapannya, jika shalat tidak dilaksanakan di masjid.
Bilal turut serta bersama Rasulullah Saw dalam perang Badr. Ia
menyaksikan sendiri dengan dua mata kepalanya bagaimana Allah
membuktikan janji-Nya, menolong tentara-Nya. Dan ia menyaksikan
banyak para kafir Quraisy tewas menemui ajalnya padahal mereka dulu
pernah menyiksa Bilal dengan amat keji.
Ia juga melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mati tertebas pedang
kaum muslimin, dan darah mereka mengucur sebab tusukan tombak
kaum muslimin.
Saat Rasulullah Saw memasuki kota Mekkah untuk menaklukkannya,
Beliau didampingi oleh Bilal bin Rabah.
Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi oleh 3
orang saja, mereka yaitu : Utsman bin Thalhah114 sang pemegang kunci
Ka’bah, Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari
orang kesayangan Beliau, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah.
Tatkala waktu Zhuhur telah tiba, banyak sekali manusia yang berada di
sekeliling Rasulullah Saw. Dan orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk
Islam secara sukarela atau terpaksa menyaksikan jumlah manusia yang
sedemikian banyaknya.
Pada saat itu, Rasulullah Saw memanggil Bilal bin Rabah. Beliau
memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah untuk mengumumkan
kalimat tauhid. Maka Bilal pun melakukan perintah ini .
Ia mengalunkan Adzan dengan suaranya yang keras.
Maka ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal. Ribuan lisan manusia
yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk.
Sedangkan mereka yang di dalam hatinya terdapat penyakit merasakan
adanya kedengkian dan kebencian yang membuat hati mereka menjadi
tercabik-cabik.
Begitu Bilal mengucapkan kalimat berikut dalam Adzannya: “Asyhadu
Anna Muhammadan Rasulullah” Berkatalah Juwairiyah binti Abu Jahal:
“Demi umurku, sungguh Allah Swt telah meninggikan sebutan namamu.
Adapun shalat, maka kami akan melakukannya, akan tetapi demi Allah,
kami tidak menyukai manusia yang pernah membunuh orang-orang yang
kami cintai.” Ayahnya Juwairiyah terbunuh pada perang Badr.
Khalid bin Usaid berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
kemurahan kepada bapakku sehingga ia tidak turut menyaksikan kejadian
hari ini.” Bapaknya Khalid telah mati satu hari sebelum terjadinya
penaklukan Mekkah.
AlHarits bin Hisyam berkata: “Celaka, andaikan aku sudah wafat
sebelum aku melihat Bilal berada di atas Ka’bah.”
114
Utsman bin Thalhah yaitu pemelihara Ka’bah. Ia masuk Islam pada saat perundingan
Hudaibiyah. Ia berhijrah ke Madinah bersama Khalid bin Walid. Ia pernah menemani Ummu Salamah
saat berhijrah ke Madinah sebelum Utsman masuk Islam.
Al Hakim bin Abi Al Ash berkata: “Demi Allah, ini yaitu musibah
besar jika seorang budak Bani Jumah bersuara dari atas bangunan115 ini.”
Dan bersama mereka terdapat Abu Sufyan bin Harb yang berkata: “Aku
tidak akan mengatakan apapun… Sebab kalau aku mengeluarkan satu kata
saja dari mulutku, debu-debu ini akan menyampaikan ucapanku ini
kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal terus menjadi muadzin Rasulullah Saw selama hidupnya.
DanRasul Saw menjadi cinta kepada suara ini yang dahulunya pernah
disiksa namun selalu mengatakan: “Ahad… Ahad”
Begitu Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya. Saat itu waktu
shalat telah tiba. Maka berdirilah Bilal untuk mengumandangkan adzan
kepada manusia –saat itu Nabi Saw sudah dikafankan namun belum
dikubur-, saat ia hendak mengucapkan Asyhadu Anna Muhammadan
Rasulullah… ia serasa tercekik, dan suaranya tidak keluar dari
kerongkongan. Maka sontak, semua kaum muslimin yang ada pada saat itu
menangis, dan mereka semua tenggelam dalam kesedihan.
lalu sesudah tiga hari sejak hari itu, Bilal kembali
mengumandangkan adzan. Namun setiap kali ia sampai pada kalimat
Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, ia menangis dan menangislah
semua orang yang mendengarnya.
Pada saat itu, Bilal meminta kepada Khalifah Abu Bakar untuk
mengizinkannya agar tidak mengumandangkan adzan terlebih dahulu
sebab ia merasa tidak sanggup untuk melakukannya.
Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk turut dalam jihad
di jalan Allah dan tinggal di negeri Syam untuk menghadapi musuh.
Abu Bakar menjadi ragu dalam memberikan izin kepada Bilal. Maka
Bilal pun berkata kepada khalifah: “Jika engkau telah membeliku untuk
kepentingan dirimu, maka tahanlah aku. Jika engkau telah memerdekakan
aku, maka biarkanlah aku sesuai kehendak Allah Yang telah membuatmu
memerdekakan aku.”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, aku tidak berniat membelimu,
kecuali sebab Allah! Aku tidak memerdekakan mu kecuali di jalan-Nya.”
lalu Bilal berkata: “Aku tidak akan mengumandangkan adzan untuk
siapapun sesudah Rasulullah wafat.” Abu Bakar berkata: “Engkau berhak
untuk itu.”
115
Yang dimaksud dengan bangunan di sini yaitu Ka’bah
Bilal berangkat dari Madinah Al Munawarah bersama utusan pertama
pasukan muslimin. Dan ia tinggal di Daraya dekat dari Damaskus.
Bilal masih tidak mau mengumandangkan adzan sehingga Umar bin
Khattab datang ke negeri Syam yang menjumpai Bilal sesudah sekian lama
tidak berjumpa.
Umar amat rindu kepada Bilal dan amat hormat kepadanya. Sehingga
jika nama Abu Bakar disebut didepannya, maka Umar akan berkata: “Abu
Bakar yaitu pemimpin kami dan dialah yang telah memerdekakan
pemimpin kami (maksudnya yaitu Bilal).”
Pada saat itulah para sahabat mendesak Bilal untuk mengumandangkan
adzan dihadapan Umar Al Faruq.
Begitu suara Bilal berkumandang, Umar serta-merta meneteskan air
mata, dan semua sahabat yang ada pada saat itu turut menangis, sehingga
bulu janggut menjadi basah oleh air mata.
Bilal telah berhasil membangkitkan kerinduan mereka kepada
Madinah.
Sang pengumandang adzan ini terus tinggal di Damaskus sehingga
menjumpai ajalnya di sana. Istrinya setia mendampingi Bilal saat menjelang
maut sambil berkata: “Duh, kasihannya!” Dan Bilal membuka kedua
matanya setiap kali istrinya berkata demikian, dan ia berkata: “Alangkah
gembiranya!”
lalu Bilal melepaskan nafas terakhirnya sambil melantunkan:
“Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, yaitu Muhammad dan
para sahabatnya… Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, yaitu
Muhammad dan para sahabatnya.”
Habib Bin Zaid Al Anshary
“Keberkahan Allah atas Kalian Wahai Penghuni Rumah. Rahmat
Allah atas Kalian Wahai Penghuni Rumah.” (Pujian Rasulullah Saw
Terhadap Habib & Keluarganya)
Di sebuah rumah dimana semerbak iman meliputi setiap penjuru.
Diiringi dengan rasa pengorbanan dari masing-masing anggota keluarga.
Disanalah tumbuh Habib Bin Zaid Al Anshary.
Ayahnya bernama Zaid bin A’shim salah seorang pemuka kaum
muslimin di Yatsrib. Dia juga termasuk salah seorang dari 70 orang yang
melakukan turut serta di Aqabah116 untuk menyatakan bai’at kepada
Rasulullah. Dan Zaid saat itu ditemani oleh istri dan dua anaknya.
Ibunya yaitu Ummu Umarah yang bernasab kepada bani Al
Maziniyah117. Dialah wanita pertama yang mengangkat senjata demi
membela agama Allah Swt dan Muhammad Rasulullah Saw.
Saudaranya yaitu Abdullah bin Zaid yang berani mati membela
Rasulullah Saw dalam peristiwa Uhud.
Rasulullah Saw pernah bersabda tentang keluarga ini: “Keberkahan
Allah atas kalian wahai penghuni rumah. Rahmat Allah atas kalian wahai
penghuni rumah.”
Cahaya ilahi menembus relung hati Habib bin Zaid saat ia masih
berusia muda, dan ia merasakan adanya kenyamanan dalam agama ini.
Ia mendapatkan surat perintah untuk turut serta bersama ibu, bapak,
bibi dan saudaranya pergi ke Mekkah untuk bergabung bersama 70 orang
mulia dalam membuat catatan sejarah; dimana ia akan menjulurkan
tangannya yang kecil untuk berbaiat kepada Rasulullah Saw ditengah
kegelepan Bai’at Aqabah.
Sejak saat itu, Rasulullah Saw bagi Habib yaitu orang yang paling ia
cintai melebihi ibu dan bapaknya. Dan Islam baginya, kini lebih mahal
dibandingkan dirinya sendiri.
116
Aqabah yaitu sebuah tempat di Mina, dimana para orang-orang Anshar pertama
menyatakan berbai’at kepada Nabi Saw
117
Profilnya dapat dilihat dalam buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis.
Habib tidak ikut serta dalam perang Badr, sebab pada saat itu ia masih
berusia belia.
Ia juga tidak berpartisipasi dalam perang Uhud, sebab pada saat itu ia
belum mampu untuk mengangkat senjata. Akan tetapi sesudah itu ia
mengikuti semua peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw, dan pada
setiap peperangan yang ia ikuti ia memiliki peran yang penting,
perjuangan yang luar biasa dan pengorbanan yang tiada tara.
Disamping bahwa semua pertempuran dan peperangan ini amat hebat
dan ganas yang pada hakikatnya yaitu hiperbolik atas sebuah peristiwa
besar yang akan kami paparkan selanjutnya bagi Anda. Sebuah kisah yang
akan menyentuh dan mengguncangkan perasaanmu sebagiaman telah
mengguncang perasaan jutaan orang; sejka zaman kenabian hingga saat
kini. Kisah ini akan membuatmu kagum, sebagaimana ia telah memberikan
kekaguman kepada banyak orang sepanjang zaman.
Marilah kita dengarkan kisah yang memukau ini dari bagian awalnya.
Pada tahun 9 Hijriyah. Islam pada waktu itu sudah kuat, kokoh dan
mengakar. Pada saat itulah banyak delegasi bangsa Arab berdatangan dari
daerah yang jauh untuk menjumpai Rasulullah Saw di Yatsrib serta untuk
menyatakan keislaman mereka di hadapan Beliau saw lalu berbai’at untuk
senantiasa patuh dan setia kepada Beliau Saw.
Salah satu dari delegasi ini yaitu utusan dari Bani Haifah yang datang
dari daerah dataran tinggi Najd.
Para delegasi itu mengikatkan unta-unta mereka di pinggiran kota
Madinah. Dan mereka menitipkan barang-barang mereka kepada seorang
pria yang dikenal dengan Musailamah bin Khabib Al Hanafi. lalu
delegasi ini lalu berjalan untuk menemui Nabi Saw dan menyatakan
keislaman mereka dan kaumnya dihadapan Nabi Saw. Lalu Rasulullah Saw
menerima kedatangan mereka dengan hangat dan memerintahkan agar
masing-masing mereka diberikan hadiah, termasuk hadiah bagi teman
mereka yang mereka titipkan barang.
Delegasi ini belum lagi sampai ke tanah air mereka di Najd, sewaktu
Musailamah bin Habib menyatakan murtad (keluar dari Islam) dan berkata
di hadapan mereka: “Bahwa dirinya yaitu seorang Nabi yang diutus Allah
kepada Bani Hanifah sebagaimana Allah telah mengutus Muhammad bin
Abdullah kepada Quraisy.”
Maka serentaklah kaumnya mendatangi Musailamah dengan berbagai
macam motivasi yang terpentingnya yaitu sebab fanatisme kesukuan,
sehingga ada salah seorang di antara mereka mengatakan: “Aku bersaksi
bahwa Muhammad yaitu orang yang jujur dan Musailamah yaitu
pendusta. Akan tetapi seorang pendusta dari Rabiah118 lebih aku sukai
dibandingkan orang yang jujur dari Mudhar.119
Saat Musailamah semakin kokoh dan banyak mendapatkan dukungan,
ia menuliskan sebuah surat kepada Rasulullah Saw yang berbunyi: “Dari
Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah. Semoga
kesejahteraan bagimu. Amma Ba’du… Aku telah berbagi urusan dengan
mu. Bagi kami yaitu separuh bumi, dan bagi Quraisy separuhnya lagi.
Akan tetapi Quraisy yaitu kaum yang melewati batas.”
Musailamah mengirimkan surat ini lewat dua orang dari
kaumnya. Saat surat ini dibacakan kepada Nabi Saw, lalu Beliau
bertanya kepada kedua utusan tadi: “Apa pendapat kalian berdua?” Mereka
menjawab: “Kami berpendapat sebagaimana yang ia katakan.” lalu
Rasulullah bersabda kepada keduanya: “Demi Allah, kalau saja para Rasul
tidak dibunuh, maka pasti sudah aku tebas leher kalian berdua!” lalu
Rasul mengirimkan surat kepada Musailamah yang berbunyi:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah kepada
Musailamah sang pendusta. Kesejahteraan kepada mereka yang mengikuti
petunjuk. Amma Ba’du… Bumi yaitu milik Allah yang Ia wariskan kepada
siapa saja dari hamba-Nya yang Ia kehendaki, dan akibat yang baik
hanyalah bagi orang yang bertaqwa.”
lalu Rasulullah Saw menitipkan surat ini kepada kedua
orang tadi.
Kejahatan yang dilakukan oleh Musailamah semakin merebak dan
merajalela. Lalu Rasulullah Saw mengambil keputusan untuk mengirimkan
sebuah surat kepadanya yang berisikan ancaman untuk menghentikan
kesesatan dirinya. lalu Rasulullah Saw menyuruh tokoh cerita kita ini
yang bernama Habib bin Zaid untuk membawa surat ini kepada
Musailamah.
Pada hari itu, Habib bin Zaid hanyalah seorang pemuda yang baru
menginjak usia remaja. Namun ia yaitu seorang pemuda yang teguh
beriman dengan menjaga keimanannya dari ujung rambut hingga ujung
kakinya.
118
Rabiah yaitu sebuah kabilah besar di Arab yang menjadi kabilah bagi Musailamah
119
Mudhar yaitu kabilah Rasulullah Saw
Berangkatlah Habib bin Zaid untuk menjalankan perintah Rasulullah
Saw tanpa merasa ragu dan khawatir. Ia melewati bukit dan lereng
sehingga ia tiba di perkampungan Bani Hanifah di dataran tinggi Najd.
lalu ia menyerahkan surat Rasulullah Saw kepada Musailamah.
Begitu Musailamah membaca apa yang tertuliskan dalam surat ini ,
maka terpancarlah rona kemarahan dan kedengkian dari dalam dadanya.
Dari roman mukanya yang berwarna merah terlihat adanya kejahatan dan
pengkhianatan. Musailamah lalu memerintahkan pembantunya untuk
mengikat Habib bin Zaid dan membawanya pada esok hari di waktu
Dhuha.
Keesokan harinya Musailamah membuka majlisnya. Disekelilingnya
ada para pemuka kaum yang menjadi pengikut dirinya yang terbesar.
Musailamah juga mengizinkan kalangan umum untuk hadir. lalu ia
memerintahkan agar Habib bin Zaid di bawa masuk, dan masuklah ia
dengan tangan dan kaki terikat.
Habib bin Zaid berdiri di tengah kerumunan yang ramai ini. Ia
mendapati bahwa orang yang ada semuanya penuh dengan kedengkian
dan kebencian. Mereka semua terlihat emosi dan selalu mendenguskan
hidung mereka sebagai tanda kekesalan.
lalu Musailamah melihat ke arah Habib dan bertanya: “Apakah
engkau bersaksi bahwa Muhammad yaitu Rasulullah?” Ia menjawab: “Ya.
Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu utusan Allah.” Maka Musailamah
berdiam sejenak tanda marah lalu bertanya: “Apakah engkau bersaksi
bahwa aku yaitu Rasulullah?” Maka Habib menjawab dengan nada sinis:
“Telingaku sedikit tuli sehingga tidak bisa mendengar apa yang kau
katakan.”
Maka berubahlah rona wajah Musailamah dan ia mulai menggigit
bibirnya tanda marah dan ia berkata kepada para algojonya: “Potonglah
sebuah anggota dari tubuhnya!”
Lalu datanglah para algojo menghampiri Habib. Mereka memotong
salah satu anggota tubuhnya sehingga bagian yang terpotong ini
menggelinding di atas tanah…
lalu Musailamah mengulangi pertanyaan yang sama kepadanya:
“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad yaitu Rasulullah?” Ia
menjawab: “Ya. Aku bersaksi bahwa Muhammad yaitu Rasulullah.”
Musailamah bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku yaitu
Rasulullah?” Habib menjawab: “Aku telah katakan kepadamu, bahwa
telingaku sedikit tuli sehingga tidak bisa mendengarkan apa yang kau
katakan.”
lalu Musailamah memerintahkan para algojonya untuk
memotong anggota tubuh Habib yang lain. Maka dipotonglah salah satu
anggota tubuh yang lain dari diri Habib sehingga anggota tubuh ini
jatuh menggelinding di tanah dan berkumpul dengan anggota tubuh yang
terpotong lebih dahulu. Para manusia yang hadir pada saat itu
menyaksikan dengan mata kepala mereka dengan keheranan atas
keteguhan dan penolakan Habib kepada Musailamah.
Terus saja Musailamah bertanya, para algojo memotong bagian
tubuhnya, namun Habib tetap menjawab: “Aku bersaksi bahwa
Muhammad yaitu Rasulullah.”
Sehingga hampir separuh tubuhnya telah terpotong dan berceceran di
atas tanah… sementara separuhnya lagi yaitu merupakan tumpukan yang
berbicara. Akhirnya, ruhnya pun meninggalkan jasad, sementara kedua
bibirnya yang suci terus menyebut nama Nabi Saw yang telah ia bai’at pada
malam Aqabah… yaitu nama Muhammad sebagai Rasulullah.
Kisah tewasnya Habib terdengar oleh ibunya yang bernama Nasibah Al
Maziniah. Ia mampu menerimanya dan dapat menguasai kesedihannya. Ia
berharap anaknya akan mendapatkan balasan terbaik dari Allah.
Pada peristiwa Yamamah. Abu Bakar As Shiddiq menyiapkan sebuah
pasukan untuk memerangi Musailamah Al Kadzzab. Dan Abu Bakar
menjadikan panglima atas pasukan ini yaitu Khalid bin Walid ra.
Maka bergabunglah dalam pasukan pejuang yang gagah berani ini
Nasibah Al Maziniah dan putranya yang bernama Abdullah. Keduanya
berniat untuk berjihad di jalan Allah sekaligus menuntut balas atas Habib
dari orang yang telah membunuhnya.
Pada perang Yamamah yang sengit, terlihatlah Nasibah yang
menerobos pasukan musuh dengan semangat bagaikan seekor singa betina
yang menerkam, dan ia berkata: “Mana musuh Allah? Tunjukan kepadaku,
mana musuh Allah?”
Saat ia menemukan Musailamah telah terjerembab di atas tanah dengan
pedang kaum muslimin yang berlumuran darahnya, maka tenang dan
puaslah jiwa Nasibah. Mengapa tidak?… Bukankah Allah Swt telah
membalaskan hal yang setimpal kepada orang celaka yang telah
membunuh putranya yang berbakti lagi bertaqwa?
Benar. Keduanya telah kembali kepada Tuhannya. Akan tetapi salah
seorang kembali ke surga, dan yang satunya lagi kembali ke neraka.
Abu Thalhah Al Anshary
(Zaid Bin Sahl)
“Abu Thalhah Menjalani Hidupnya dengan Berpuasa & Berjihad. Ia
Juga Mati dalam Kondisi Berpuasa dan Berjihad…”
Zaid bin Sahl yang dijuluki dengan Abu Thalhah mengetahui bahwa Al
Rumaisha binti Milhan An Najariyah120 yang dikenal dengan nama Ummu
Salim sudah tidak bersuami lagi sesudah suaminya meninggal dunia. Maka
gembiralah hati Abu Thalhah mendengarnya.
Tidak mengherankan, sebab Ummu Salim yaitu seorang wanita yang
amat menjaga harga diri dan terkenal kecerdasan akalnya.
Maka Abu Thalhah berniat untuk meminangnya sebelum ia kedahuluan
oleh orang lain yang berminat untuk mengkhitbah wanita seperti Ummu
Salim ini… Abu Thalhah begitu percaya diri bahwa Ummu Salim tidak
akan menolak pinangannya dan menerima pinangan pria lain. Sebab dia
yaitu seorang pria dewasa yang berusia matang. Memiliki status
terhormat. Dan memiliki harta yang banyak.
Ditambah lagi, ia yaitu salah seorang patriot Bani Najjar, dan salah
seorang pemanah Yatsrib yang terkenal.
Berangkatlah Abu Thalhah ke rumah Ummu Salim…
Saat di tengah jalan, Abu Thalhah teringat bahwa Ummu Salim telah
mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh seorang Da’I dari Mekkah
yang bernama Mus’ab bin Umair. Ia tahu bahwa Ummu Salim telah
beriman kepada Muhammad dan masuk ke dalam agamanya.
Akan tetapi masih saja Abu Thalhah berkata dalam dirinya:
“Memangnya kenapa? Bukankah suami Ummu Salim yang telah meninggal
pun masih berpegang teguh dengan agama kakek moyangnya, dan
berpaling dari agama dan dakwah Muhammad?!”
120
Ada yang mengatakan bahwa namanya yaitu Al Rumaisha atau Al Ghumaisha. Yang paling
benar yaitu bahwa nama ini yaitu hanyalah sifat dari dirinya saja. Lihatlah profilnya dalam
buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis.
Abu Thalhah sampai di rumah Ummu Salim dan ia meminta agar
diizinkan masuk. Ummu Salim pun memberinya izin. Saat itu, anak Ummu
Salim yang bernama Anas turut mendampinginya. Lalu Abu Thalhah
mengutarakan maksudnya dan Ummu Salim menjawab: “Orang sepertimu,
ya Abu Thalhah tidak akan ditolak. Akan tetapi aku tidak akan menikah
denganmu sebab engkau yaitu orang kafir.” Maka Abu Thalhah segera
menduga bahwa Ummu Salim telah berdalih dan ia telah memilih orang
lain yang lebih banyak hartanya dan lebih mulya kedudukannya.
lalu ia bertanya: “Demi Allah, Siapakah orangnya yang telah
membuatmu menolak ku, wahai Ummu Salim?”
Ummu Salim balik bertanya: “Lalu apa yang menghalangiku?!”
Abu Thalhah menjawab: “Benda yang kuning dan putih, yaitu emas dan
perak mungkin?”
Ummu Salim bertanya keheranan: “Emas dan perak?!”
Abu Thalhah menjawab dengan dugaan: “Ya.”
Ummu Salim berkata: “Aku bersaksi kepadamu, wahai Abu Thalhah.
Dan aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa jika engkau masuk
Islam maka aku akan menerimamu sebagai suami tanpa perlu diberi emas
dan perak. Dan aku akan menjadikan keislamanmu sebagai maharnya!”
Begitu Abu Thalhah mendengar ucapan Ummu Salim, maka pikirannya
melayang kepada berhala yang ia buat dari kayu terbaik. Ia membayangkan
berhala yang selalu ia sembah sebagaimana yang sering dilakukan oleh
para pembesar kaumnya.
Akan tetapi Ummu Salim tidak memberinya kesempatan dan langsung
bertanya: “Apakah engkau tidak tahu, wahai Abu Thalhah bahwa tuhan
yang kau sembah selain Allah yaitu tumbuh dan berasal dari tanah?!”
Abu Thalhah menjawab: “Benar.” Ummu Salim mengejar: “Apakah
engkau tidak merasa malu jika engkau menyembah bagian dari pohon yang
separuhnya engkau sembah dan pada saat yang sama ada orang lain yang
menjadikannya sebagai kayu bakar. Orang ini memanfaatkan api dari
kayu tadi atau membuat roti dari tepung dengan api tadi… Jika engkau
masuk Islam, wahai Abu Thalhah maka aku akan menerimamu sebagai
suami, dan aku tidak meminta mahar apapun selain Islam.
Abu Thalhah bertanya: “Siapa yang dapat membuatku masuk Islam?”
Ummu Salim menjawab: “Aku yang akan melakukannya untukmu.” Abu
Thalhah bertanya: “Bagaimana caranya?” Ummu Salim menjawab:
“Ucapkanlah kalimat haq dan kau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad yaitu Rasulullah.” Lalu akhirnya, Abu Thalhah
dapat menikahi Ummu Salim.
Kaum muslimin berkata: “Kami tidak pernah mendengar mahar yang
lebih mulya dibandingkan mahar Ummu Salim. Ia telah menjadikan mahar
untuknya yaitu Islam.”
Sejak saat itu Abu Thalhah bergabung di bawah panji Islam, dan ia
mendedikasikan semua potensinya untuk berkhidmat di dalamnya.
Abu Thalhah lalu menjadi salah seorang dari 70 manusia yang berbaiat
kepada Rasul pada peristiwa Aqabah. Dan ia ditemani oleh istrinya yang
bernama Ummu Salim.
Dia juga salah seorang dari 12 pimpinan yang ditunjuk oleh Rasulullah
Saw pada malam itu untuk memimpin kaum muslimin Yatsrib.
Lalu Abu Thalhah turut serta dalam seluruh pertempuran yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan ia melewatinya dengan begitu tegar
dan gagah berani.
Akan tetapi perjuangan yang diberikan Abu Thalhah dalam membela
Rasulullah Saw yaitu pada peristiwa Uhud. Dan Anda sesaat lagi akan
mendengarkan kisah peristiwa ini .
Abu Thalhah begitu mencintai Rasulullah Saw sehingga mengisi relung
hati terdalamnya. Kecintaan ini hingga memenuhi setiap ruang aliran
darahnya. Ia tidak pernah bosan memandang Rasulullah. Ia tidak pernah
merasa jemu mendengarkan pembicaraan dan sabda Beliau… Jika Abu
Thalhah sedang berada bersama Rasulullah Saw, ia akan bertekuk lutut
dihadapan Beliau dan berkata: “Jiwaku yaitu taruhan atas jiwamu.
Wajahku akan senantiasa menjadi pelindung wajahmu.”
Pada saat perang Uhud, pasukan muslimin kocar-kacir sehingga
meninggalkan Rasulullah Saw dan membuat pihak musyrikin dapat
menyerang Rasulullah Saw dari semua penjuru. Pasukan musyrikin
berhasil membuat gigi geraham Rasul tanggal. Mereka dapat melukai
kening Beliau dan melukai bibirnya. Dan darah mengalir deras dari wajah
Rasulullah…
Bahkan para pendusta meneriakkan bahwa Muhammad telah
terbunuh, sehingga pasukan muslimin bertambah lemah dan akhirnya
menyerah dihadapan para musuh Allah.
Pada saat itu, hanya tersisa sedikit orang saja yang bersama Rasulullah
Saw dan salah satunya yaitu Abu Thalhah.
Abu Thalhah berdiri di depan Rasulullah Saw bagaikan gunung yang
kokoh, dimana Rasulullah Saw berdiri melindungi diri dibelakang
tubuhnya.
Lalu Abu Thalhah menggenggam erat busur panahnya. lalu ia
meletakkan anak panah yang tidak pernah meleset. Ia lalu membela
Rasulullah Saw mati-matian dengan mengarahkan kepada pasukan
musyrikin satu demi satu.
Nabi Saw mengintip dari balik tubuh Abu Thalhah untuk melihat
sasaran anak panahnya. Lalu Abu Thalhah berkata dengan nada khawatir
kepada Beliau: “Demi, ayah dan ibuku, janganlah engkau memunculkan
kepala kepada mereka sebab itu dapat membuatmu terkena panah mereka.
Leherku akan menjadi pelindung lehermu. Dadaku akan menjadi tameng
bagi dadamu. Aku akan berkorban untukmu…
Lalu ada seorang pria dari pasukan muslimin yang melintasi lari
dihadapan Rasulullah Saw dan ia membawa sebuah kantung berisi anak
panah. Maka Rasulullah memanggilnya dan berkata: “Hamburkan anak-
anak panahmu dihadapan Abu Thalhah dan janganlah kau bawa lari!”
Abu Thalhah terus melindungi Rasulullah Saw sehingga ia telah
mematahkan 3 buah busur panah. Ia telah berhasil dengan izin Allah
membunuh beberapa orang dari pasukan musyrikin. Lalu, berakhirlah
peperangan dan Allah berkenan menyelamatkan Nabi-Nya dengan
perlindungan yang telah Ia berikan kepadanya.
Bila Abu Thalhah mampu berderma di jalan Allah pada saat-saat sulit,
maka ia akan lebih dermawan lagi pada saat-saat lapang.
Yang membuktikan hal ini yaitu bahwa dirinya memiliki sebuah
kebun kurma dan anggur yang tidak ditemukan di kota Yatsrib kebun yang
lebih besar pohonnya, lebih bagus buahnya dan lebih jernih airnya.
Saat Abu Thalhah sedang melakukan shalat dibawa daun-daun pohon
yang lebat, perhatiannya tertarik dengan seekor burunng yang bernyanyi,
berwarna hijau dan memiliki paruh berwarna merah. Kedua kakinya pun
berwarna.
Burung tadi melompat-lompat di dahan pohon sambil bernyanyi dan
menari. Abu Thalhah menjadi kagum dengan pemandangan ini,lalu
mengiringi pemikirannya dengan bertasbih.
Tak lama lalu , Abu Thalhah sadarkan diri. Ia dapati bahwa
dirinya sudah tidak ingat lagi akan bilangan rakaat shalatnya? Apakah
dua… tiga? Ia sendiri tidak tahu.
Begitu ia usai melaksanakan shalat, ia mendatangi Rasulullah Saw dan
menyampaikan keluhan bahwa dirinya telah diperdaya oleh kebunnya
sendiri,dengan pohon yang rindang dan burung yang berkicau, sehingga
membuatnya lalai dari shalat.
lalu Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah Saw: “Saksikanlah,
ya Rasulullah! Aku jadikan kebun ini sebagai sedekah di jalan Allah Swt.
Gunakanlah sekehendak Allah dan Rasul-Nya!”
Abu Thalhah menjalani hidupnya dengan senantiasa berpuasa dan
berjihad. Dan ia pun mati saat berpuasa dan berjihad.
Telah diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Abu Thalhah masih
terus hidup sekitar 30 tahun sesudah wafatnya Rasulullah Saw dengan terus
berpuasa kecuali pada hari-hari besar dimana puasa diharamkan.
Ia terus hidup sehingga menjadi seorang tua-renta. Akan tetapi
ketuaannya tidak menjadikan dirinya terhalang dari berjihad di jalan Allah
Swt, dan mengarungi bumi untuk menegakkan kalimat Allah dan
memuliakan agama-Nya.
Salah satunya yaitu ketikan pasukan muslimin berniat untuk
melakukan sebuah peperangan di lautan pada masa khalifah Utsman bin
Affan.
Abu Thalhah bersiap-siap untuk berangkat bersama pasukan muslimin,
namun anak-anaknya berkata: “Semoga Allah merahmatimu, wahai ayah
kami. Engkau kini sudah amat tua. Engkau telah berjuang bersama
Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Mengapa kini engkau tidak
beristirahat saja dan membiarkan kami yang melakukan jihad?”
Abu Thalhah menjawab: “Allah Swt berfirman:
(#ρ ãÏΡ$# $]ù$ xÅz Zω$ s)ÏO uρ
“Berangkatlah dalam kondisi ringan maupun berat.” (QS. At-Taubah
[9] : 41)
Ia telah menyeru kita semua untuk berangkat… baik tua ataupun
muda, dan ia tidak pernah memberikan batasan umur.”
lalu ia pergi ke luar untuk berangkat…
Saat Abu Thalhah yang sudah tua itu berada di atas kapal di tengah laut
bersama pasukan muslimin yang lain, ia lalu jatuh sakit sehingga wafat.
Maka pasukan muslimin mencoba untuk mencari sebuah pulau untuk
menguburkan jasad Abu Thalhah, akan tetapi mereka tidak menemukan
satu pulau pun kecuali sesudah 7 hari. Abu Thalhah selama masa itu
ditutupi oleh mereka namun jasadnya tidak berubah sedikitpun seolah dia
hanya tertidur saja.
Di tengah lautan, jauh dari keluarga dan rumah, disanalah Abu
Thalhah dimakamkan.
Jauhnya ia dikuburkan dari manusia tidak akan menyebabkan
kemudharatan bagi dirinya, selagi ia senantiasa dekat kepada Allah Swt.
Wahsy Bin Harb
“Ia telah Membunuh Orang Terbaik sesudah Muhammad… Ia Juga
Telah Membunuh Orang Terjahat.” (Para Ahli Sejarah)
Siapakah orang yang telah melukai hati Rasulullah Saw, yang telah
membunuh paman Beliau bernama Hamzah bin Abdul Muthalib pada
perang Uhud?!
lalu menyembuhkan hati kaum muslimin saat ia berhasil
membunuh Musailamah Al Kadzzab pada perang Yamamah?
Dialah Wahsy bin Harb Al Habasy yang dikenal dengan Abu Dasmah.
Ia memiliki sebuah kisah sedih yang berdarah dan begitu keras.
Dengarkanlah dengan baik tragedi yang ia rasakan.
Wahsy berkata: “Aku yaitu seorang budak milik Jubair bin Muth’im
salah seorang pemuka Quraisy. Pamannya bernama Thu’aimah yang telah
terbunuh oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, sehingga hal itu mebuat ia
amat bersedih. Jubair bersumpah demi Lata dan Uzza untuk menuntut
balas atas kematian pamannya, dan akan membunuh si pembunuh
pamannya. Dan ia sejak itu selalu menanti kesempatan untuk membunuh
Hamzah.”
Tidak berselang lama sejka itu, maka bangsa Quraisy memutuskan
untuk berangkat ke Uhud demi mengalahkan Muhammad bin Abdullah
dan menuntut balas dendam atas korban perang Badr. Maka disiapkanlah
pasukan dan dikumpulkanlah semua sekutu mereka. Pasukan itu dipimpin
oleh Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan memiliki strategi dengan membuat dalam barisan
pasukannya beberapa orang wanita Quraisy dari kelompok orang yang
bapak, anak, saudara atau salah seorang anggota keluarganya yang
terbunuh pada perang Badr. Mereka digunakan untuk memberikan
semangat kepada pasukan agar terus semangat berjuang dan menghalangi
para prajurit untuk lari dari medan perang. Salah seorang dari para wanita
tadi yaitu istrinya sendiri yang bernama Hindun binti Utbah. Ayah,
paman dan saudara Hindun telah terbunuh pada perang Badr.
Begitu pasukan hendak berangkat. Jubair bin Muth’im menoleh ke
arahku dan bertanya: “Apakah engkau wahai Abu Dasmah hendak
membebaskan dirimu dari perbudakan?” Aku bertanya: “Siapa yang dapat
melakukannya?” Ia menjawab: “Aku yang akan melakukannya demi
dirimu.” Aku bertanya: “Bagaimana caranya?!” Ia menjawab: “Jika engkau
dapat membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, pamannya Muhammad
sebagai balas dendam atas pamanku Thu’aimah bin Ady, maka engkau
akan bebas.”
Aku bertanya: “Siapa yang akan menjamin hal ini buatku?” Ia
berkata: “Siapa saja, aku akan mempersaksikan kepada semua manusia hal
ini.” Aku pun berkata: “Baik, aku akan melakukannya.”
Wahsy berkata:
Aku yaitu seorang Habasyah yang dapat melemparkan alat perang
sebagaimana orang Habasyah kebanyakan, aku tidak akan meleset dari
target yang aku lempar.
Lalu aku mengambil alat perangku dan berangkat bersama pasukan.
Aku berjalan di barisan belakang dekat dengan barisan wanita. sebab aku
yaitu harapan dalam peperangan ini. Maka setiap kali aku berpapasan
dengan Hindun,istri Abu Sufyan dan ia melihat ada senjata perang yang
berkilat dalam genggamanku di bawah terik matahari, maka ia akan
berkata: “Sembuhkanlah kemarahan hati kami dengan membunuh
Hamzah, dan penuhilah kesembuhan hati kami!”
Begitu kami tiba di Uhud dan kedua pasukan pun telah bertemu, maka
aku langsung mencari Hamzah bin Abdul Muthalib dan aku pernah
mengenal dia sebelumnya. Hamzah begitu mudah dikenali oleh siapapun,
sebab ia menaruh sehelai bulu lembut di kepalanya agar dapat memberikan
petunjuk kepada para sahabatnya sebagaimana kebiasaan para patriot dan
pejuang gagah berani bangsa Arab lainnya.
Tidak membutuhkan waktu lama, maka aku langsung dapat melihat
Hamzah yang merobek lapisan manusia bagaikan seekor unta abu-abu
yang begitu kuat. Dia menebaskan pedangnya pada leher setiap musuh.
Tidak ada musuh yang dapat tegak berdiri di hadapannya.
Begitu aku bersiap untuk membunuhnya, dan saat itu aku berlindung
pada sebuah pohon atau batu sambil menunggu ia mendekat ke arahku.
Saat seorang penunggang kuda yang dikenal dengan Siba’ bin Abdil Uzza
mendekat kepada Hamzah sambil berkata: “Hadapi aku, ya Hamzah…
Hadapi aku!”
Maka Hamzah menghadapinya sambil mengatakan: “Kemarilah, wahai
musyrik!… kemarilah!”
Begitu cepat Hamzah melibasnya dengan sebuah sabetan pedang. Maka
jatuhlah Siba’ dengan darah berlumuran dihadapan Hamzah.
Pada saat itulah aku memiliki posisi yang aku nanti-nanti di depan
Hamzah. Aku menggenggam senjataku sehingga aku begitu yakin. Aku
lemparkan ke arah tubuh Hamzah, dan tertancaplah senjataku ini di
bawah perutnya hingga tembus di antara kedua kakinya.
lalu ia melangkah dua langkah dengan langkah yang berat ke
arahku. Tidak lama lalu ia terjerembab. Senjataku masih tertancap di
tubuhnya. Aku membiarkan senjata ini bersarang di tubuhnya
sehingga aku benar-benar yakin bahwa ia telah mati. lalu aku
menghampirinya dan aku mencabut senjataku dari tubuhnya. lalu
aku kembali ke kemah lalu duduk berdiam di sana sebab aku tidak
memiliki kepentingan apa-apa dalam perang itu kecuali hanya membunuh
Hamzah sehingga diriku akan terbebas dan merdeka.
lalu peperangan berlangsung semakin sengit dan banyak sekali
korban yang berjatuhan. Akan tetapi kepanikan menyelimuti hati para
sahabat Muhammad, dan banyak sekali korban yang berjatuhan di pihak
mereka.
Pada saat itu, Hindun binti Utbah dan beberapa wanita lainnya
menghampiri bangkai pasukan muslimin untuk memotong-motong bagian
tubuh mereka: perut mereka dikoyak, mata mereka dicungkil, hidung
mereka dipotong dan telinga mereka diputus.
lalu Hindun membuat sebuah kalung dan untaian dari hidung
dan telinga yang ia jadikan hiasan. lalu ia memberikan kalung dan
untaian ini kepadaku sambil berkata: “Keduanya untukmu, wahai Abu
Dasmah… Keduanya untukmu! Simpanlah keduanya sebab berharga.”
Begitu Perang Uhud sudah selesai, aku kembali bersama pasukan ke
Mekkah. Jubair bin Muth’im lalu menetapi janjinya kepadaku dengan
membebaskan aku dari belenggu perbudakan, dan akupun merdeka.
Akan tetapi persoalan tentang Muhammad setiap hari semakin
berkembang. Kaum muslimin setiap saat semakin terus bertambah. Setiap
kali urusan tentang Muhammad semakin membesar, maka semakin besar
juga kegalauanku. Dan muncullah rasa panik dan takut dalam diriku.
Aku terus saja merasakan hal itu, sehingga saat Muhammad bersama
pasukannya yang amat besar datang untuk menaklukkan kota Mekkah.
Pada saat itu, aku melarikan diri ke Thaif untuk mencari keamanan.
Akan tetapi para penduduk Tha’if tidak menunggu lama untuk
akhirnya tunduk kepada Islam. Mereka telah mempersiapkan utusan untuk
menjumpai Muhammad dan menyatakan bahwa mereka semua akan
masuk ke dalam agamanya.121
121
Lihat Keislaman Bani Tsaqif dalam buku Hadatsa fi Ramadhan karya penulis
Pada saat itu, aku bertambah panik dan bumi terasa begitu sempit, dan
jalan terasa buntu bagiku. lalu aku berkata pada diri sendiri: “Aku
akan pergi ke Syam, atau ke Yaman, atau ke negeri lain.”
Demi Allah, aku saat itu sedang dalam kondisi yang amat kalut, tatkala
ada seorang pria yang memberikan nasehatnya dengan begitu lembut
berkata: “Celaka kamu, ya Wahsy! Demi Allah, Muhammad tidak akan
membunuh siapapun dari manusia yang masuk ke dalam agamanya, dan
bersaksi dengan kesaksian yang sesungguhnya.122”
Begitu aku mendengar ucapannya, maka aku langsung berangkat
menuju Yatsrib untuk mencari Muhammad. Begitu aku tiba di sana, aku
mencari informasi tentangnya dan akhirnya aku tahu bahwa ia sedang
berada di Masjid.
lalu aku menghampirinya dengan perlahan dan hati-hati. Aku
terus berjalan ke arahnya sehingga aku berdiri di belakang kepalanya dan
aku pun berkata: “Asyhadu an La ilaha illa-Llahu wa Anna Muhammadan
Abduhu wa Rasuluhu.”
Begitu ia mendengar dua kalimat syahadat, lalu ia mengangkat
pandangannya. Begitu ia mengenaliku, ia lalu mengalihkan pandangannya
dari diriku dan bertanya: “Apakah engkau Wahsy?” Aku Menjawab:
“Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Duduklah, dan ceritakan
kepadaku bagaimana engkau membunuh Hamzah!” Maka aku duduk dan
menceritakan kisah pembunuhan Hamzah.
Begitu aku selesai menceritakan kisahku, lalu Beliau
memalingkan wajahnya dari ku sambil bersabda: “Celaka engkau, ya
Wahsy! Jauhkanlah wajahmu dariku. Aku tidak mau melihatmu lagi sesudah
hari ini!”
Sejak saat itu aku selalu menghindari agar pandangan Rasulullah Saw
melihat ke arahku. Jika para sahabat duduk dihadapan Beliau, maka aku
akan mengambil tempat di belakangnya.
Aku terus melakukan hal itu, sehingga Rasulullah Saw dipanggil untuk
datang keharibaan Tuhannya.
lalu Wahsy menambahkan: “Meski aku tahu bahwa Islam akan
menghapus segala kesalahan yang dilakukan sebelumnya, akan tetapi aku
terus merasakan kekejian tindakan yang pernah aku lakukan. Dan aku
merasakan kejahatan yang amat hebat yang pernah aku timpakan kepada
Islam dan kaum muslimin. Aku terus mencari kesempatan untuk membayar
segala kesalahan yang pernah aku perbuat.”
122
Maksudnya yaitu kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu
Rasulullah
Begitu Rasulullah berpulang keharibaan Tuhannya, dan kekhalifahan
berpindah ke tangan Abu Bakar. Dan Banu Hanifah pendukung
Musailamah Al Kadzzab mulai kembali murtad. Khalifah Abu Bakar
menyiapkan sebuah pasukan untuk menghadapi Musailamah dan
mengembalikan kaumnya, yaitu Bani Hanifah kepada agama Allah.
Pada saat itu aku berkata pada diriku sendiri: “Demi Allah, inilah
kesempatanmu wahai Wahsy. Manfaatkanlah dengan baik, dan jangan
biarkan ia terlepas dari genggamanmu.
Lalu akupun berangkat bersama pasukan muslimin. Aku membawa alat
perangku yang telah membunuh Hamzah bin Abdil Muthalib. Aku
bersumpah dalam hati bahwa aku akan membunuh Musailamah dengan
senjataku ini, atau aku akan mendapatkan kesyahidan.
Begitu pasukan muslimin mendesak Musailamah dan pasukannya di
Hadiqatul Maut (Taman Kematian)123 dan mengejar para musuh Allah. Aku
lalu mencari-cari Musailamah dan aku mendapatinya sedang berdiri
sambil menggenggam sebilah pedang di tangannya. Aku pun melihat
seorang pria dari Anshar yang sedang mengintai untuk membunuhnya
seperti yang aku lakukan: rupanya kami berdua telah berniat untuk
membunuhnya…
Begitu aku telah mendapatkan posisi yang tepat ke arahnya. Mak aku
langsung mengarahkan senjatanku sehingga ia stabil di tanganku dan
lalu aku lemparkan ke tubuhnya. Dan akhirnya senjataku pun
bersarang di tubuhnya.
Begitu aku sudah melemparkan senjataku ke tubuh Musailamah, maka
orang dari suku Anshar124 tadi langsung melompat ke arahnya dan
menebaskan pedangnya dengan sebuah sabetan.
Maka hanya Tuhanlah yang tahu siapa di antara kami yang telah
berhasil membunuhnya.
Jika ternyata aku yang telah berhasil membunuhnya; maka aku telah
menjadi orang yang telah membuhuh orang terbaik sesudah Muhammad
sAw, dan aku juga yang telah berhasil membunuh orang terjahat.
123
Dia yaitu sebuah taman yang besar tempat berlindungnya Musailamah dan para
pendukungnya. Dinamakan seperti itu sebab banyak sekali pihak kaum murtad yang terbunuh di sana.
124
Ada yang mengatakan bahwa orang ini yaitu Abdullah saudara Habib bin Zaid. Namun
pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa orang ini yaitu Abu Dajanah Sammak bin
Kharsyah pemilik pedang Rasulullah Saw.
Hakim Bin Hazam
“Ada 4 Orang di Mekkah yang Amat Menjauhi Kemusyrikan & Amat
Cinta Kepada Islam… Salah Satunya yaitu Hakim Bin Hazam.”
(Muhammad Rasulullah)
Apakah anda pernah mendengar kisah seorang sahabat Nabi ini?!
Sejarah telah mencatat bahwa dialah bayi satu-satunya yang terlahir di
dalam Ka’bah.
Adapun kisah kelahirannya ini, ringkasnya yaitu bahwa ibunya
masuk ke dalam Ka’bah bersama teman-temannya untuk melihat-lihat.
Dan pada hari itu, Ka’bah di buka sehubungan dengan sebuah acara atau
kegiatan.
Pada saat itu, ibunya sedang mengandungnya. Lalu tiba-tiba ia ingin
segera melahirkan dan saat itu ia sedang berada di dalam Ka’bah dan tidak
mampu untuk pergi dari sana.
lalu dibawakanlah untuknya sebuah potongan kulit, sehingga ia
melahirkan anaknya di dalam Ka’bah. Dan anak yang dilahirkan itu yaitu
Hakim bin Hazam bin Khuwailid. Dan dia yaitu keponakan ummul
mukminin Sayyidah Khadijah ra.
Hakim bin Hazam tumbuh dalam sebuah keluarga yang terhormat,
memiliki kedudukan dan banyak harta.
Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang cerdas, mulya dan
terhormat. Itulah yang membuat kaumnya menjadikan dirinya sebagai
pemimpin mereka dan memulangkan segala permasalahan mereka
kepadanya khususnya dalam hal rifadah.125
Hakim sering kali mengeluarkan harta dari koceknya sendiri untuk
memberikan bekal bagi para haji yang datang ke rumah Allah dan
kehabisan bekal pada masa jahiliah.
Hakim yaitu seorang sahabat akrab Rasulullah Saw sebelum Beliau
diutus sebagai seorang Nabi.
Meskipun ia lebih tua 5 tahun dari Nabi Saw, akan tetapi ia senang
bergaul dan bermain dengan Nabi saw. Dan Rasul pun juga membalas
kecintaan dan persahabatan Hakim dengan hal yang setimpal.
125
Rifadah yaitu salah satu jabatan dalam bangsa Quraisy zaman Jahiliyah dimana pemilik
jabatan ini harus membantu orang-orang yang membutuhkan dan kekurangan bekal.
Lalu tibalah hubungan kerabat sehingga semakin mempererat
hubungan keduanya. Hal itu terjadi saat Nabi Saw menikahi bibinya yang
bernama Khadijah binti Khuwailid ra.
Mungkin Anda akan kaget sesudah penjelasan yang telah kami paparkan
tentang hubungan Hakim dengan Rasulullah Saw jika Anda mengetahui
bahwa Hakim tidak masuk Islam kecuali sesudah Fathu (Penaklukan)
Makkah. sesudah lebih dari dua puluh tahun Rasulullah Saw di utus sebagai
seorang Nabi!!
Yang mungkin diduga oleh kebanyakan orang dari seorang pria seperti
Hakim bin Hazam yang telah diberikan Allah akal yang cerdas, diberikan
hubungan kekerabatan yang dekat kepada Nabi Saw, semestinya ia menjadi
orang yang pertama kali beriman kepadanya, membenarkan dakwahnya
dan menerima petunjuknya.
Akan tetapi, inilah kehendak Allah! Apa saja yang Allah inginkan, maka
pasti akan terjadi.
Sebagaimana kita terheran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam,
maka ia pun merasakan keheranan yang sama akan hal itu.
Ia hampir saja masuk Islam dan merasakan manisnya iman, sehingga ia
terus menyesali setiap saat dari umur yang ia habiskan sebagai orang
musyrik yang menyekutukan Allah dan mendustakan agamanya.
Suatu saat anaknya mendapati Hakim sesudah masuk Islam sedang
menangis. Anaknya bertanya: “Apa yang membuatmu menangis, duhai
ayah?!” Ia menjawab: “Semua hal yang begitu banyak yang telah
membuatku menangis, wahai anakku. Yang pertama yaitu aku begitu
terlambat masuk ke dalam Islam yang membuatku selalu ketinggalan dalam
melakukan kebaikan yang banyak sehingga jika aku berinfaq dengan emas
sepenuh bumi, maka akupun tidak mampu untuk menyusul mereka.
lalu Allah Swt menyelamatkan aku pada perang Badr dan Uhud,
pada hari itu aku berkata pada diri sendiri: ‘Aku tidak akan menolong
seorangpun sesudah itu untuk menghadapi Rasulullah Saw, dan aku tidak
akan keluar dari Mekkah. Namun aku terus ditarik untuk membela bangsa
Quraisy.
Lalu setiap kali aku hendak masuk Islam, aku melihat orang-orang tua
suku Quraisy yang tersisa dan memiliki kemampuan yang terus berpegang
dengan ajaran jahiliah. Maka aku pun mengikuti jejak mereka lagi. Ya
ampun… kalau saja aku tidak melakukannya. Tidak ada yang membuat
kita celaka kecuali sebab kita telah mengikuti jejak para bapak dan
pembesar kita. Kalau demikian, mengapa aku tidak menangis, wahai
anakku?!”
Sebagaimana kita merasa aneh dengan keterlambatan Hakim bin
Hazam dalam memeluk Islam. Sebagaiman ia juga merasa aneh. Akan
tetapi Nabi Saw merasa kagum dengan pria yang memiliki akal dan
pemahaman seperti Hakim bin Hazam, yang bagaimana Islam samar
baginya akan tetapi ia masih berharap agar dirinya dan orang-orang yang
bersamanya untuk segera masuk ke dalam agama Allah.
Pada malam sebelum terjadinya Fathu Makkah, Rasulullah Saw
bersabda kepada para sahabatnya: “Di Mekkah ada empat orang yang amat
tidak menyukai kemusyrikan dan amat menginginkan Islam.” Ada yang
bertanya: “Siapa saja mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Attab bin
Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam dan Suhail bin Amr.”
Dan termasuk anugerah Allah, bahwa mereka semua akhirnya masuk
ke dalam Islam.
Begitu Rasulullah Saw masuk ke kota Mekkah untuk menaklukannya,
Beliau tidak mau memasukinya kecuali bila Hakim bin Hazam dimuliakan.
lalu Beliau menyuruh orang untuk menyerukan: “Siapa yang
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang tiada sekutu baginya, dan
bahwa Muhammad yaitu hambanya dan Rasul-Nya maka dia akan
aman… Siapa yang mau duduk dihadapan Ka’bah dan meletakkan
senjatanya maka ia akan aman. Siapa yang menutup pintu rumahnya, maka
ia akan merasa aman. Siapa yang mau masuk ke dalam rumah Abu Sufyan,
maka ia akan aman.”
Rumah Hakim bin Hazam berada di dataran rendah Mekkah, sementara
rumah Abu Sufyan berada di dataran tinggi.
Akhirnya, Hakim bin Hazam memeluk Islam yang memenuhi seluruh
relung hatinya. Ia beriman dengan seluruh butir darahnya dan segenap
hatinya.
Dan ia berjanji pada dirinya untuk menebus setiap kekeliruan yang ia
lakukan pada masa jahiliah, atau mengganti setiap harta yang ia telah
infaqkan untuk memusuhi Rasulullah dengan yang lebih besar lagi.
Dan ia pun memenuhi janjinya ini…
Salah satunya yaitu ia memberikan Darun Nadwah yaitu sebuah
rumah yang amat bersejarah.
Dalam rumah