Senin, 30 Desember 2024

sahabat nabi muhammad 12

 


ini , biasanya bangsa Quraisy melakukan 

pembicaraan mereka pada masa jahiliah. Dalam rumah ini , para 

pembesar Quraisy berkumpul untuk membuat konspirasi terhadap diri 

Rasulullah Saw. 

Hakim bin Hazama berniat untuk melepas rumah ini  –sepertinya 

ia ingin membuat tirai sehingga ia dapat melupakan masa lalunya yang 

begitu suram- lalu ia menjualnya dengan harga 100 ribu dirham. Maka 

seorang pemuda dari suku Quraisy berkata kepadanya: “Engkau telah 

menjual rumah kemuliaan bangsa Quraisy, wahai paman?” Hakim lalu 

berkata kepadanya: “Engkau keliru, ananda. Semua kemuliaan telah sirna 

dan tidak ada yang tersisa selain taqwa. Aku tidak menjualnya, kecuali 

untuk membeli sebuah rumah di surga. Aku mempersaksikan kepada 

kalian bahwa aku akan menginfakkan uang penjualan rumah ini di jalan 

Allah Swt.” 

  

 sesudah  masuk Islam Hakim bin Hazam melakukan haji. Ia menggiring 

100 unta yang akan memberinya pahala yang banyak.  lalu  ia 

menyembelih semua unta ini  untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Pada haji selanjutnya, ia berdiri di padang Arafah, ia disertai oleh 100 

orang budaknya. Pada setiap leher budak tadi terdapat gantungan dari 

perak yang terukir disana tulisan: Ini yaitu  budak-budak yang 

dimerdekakan sebab  Allah dari Hakim bin Hazam. 

lalu  ia membebaskan mereka semuanya. 

Pada haji yang ketiga kalinya,ia menggiring 1000 domba –ya, seribu 

unta- Ia menyembelih semua domba ini  di Mina, dan memberikan 

dagingnya kepada kaum muslimin yang fakir sebagai sebuah sarana untuk 

bertaqarrub kepada Allah Swt. 

  

 sesudah  perang Hunainin usai, Hakim bin Hazam meminta kepada 

Rasulullah Saw ghanimah dan lalu Rasul memberikan kepadanya. Ia 

meminta kepada Beliau lagi dan diberikan. Sehingga ia menerima 100 unta 

–pada saat itu, ia baru saja masuk Islam- Rasulullah Saw lalu bersabda 

kepadanya: “Ya Hakim, harta ini yaitu  manis dan amat disukai oleh 

manusia. Barang siapa yang mengambil harta ini  dengan sifat qanaah, 

maka ia akan diberi keberkahan. Siapa yang mengambilnya dengan 

katamakan,maka ia tidak akan mendapatkan berkah, dan ia akan menjadi 

orang yang terus makan tapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang 

atas lebih baik dibandingkan  tangan yang bawah.” 

Begitu ia mendengar sabda Rasulullah Saw tadi,ia lalu berkata: “Ya 

Rasulullah, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak 

akan meminta apapun kepada seseorang  sesudah mu, aku tidak akan 

mengambil apapun dari seseorang hingga aku meninggalkan dunia.” 

Hakim menepati janjinya dengan sungguh-sungguh. 

Pada masa Abu Bakar,Hakim seringkali dipanggil untuk mengambil 

jatahnya dari Baitul Maal Muslimin, namun ia menolaknya. 

Pada masa Umar bin Khattab, ia pun sering dipanggil untuk mengambil 

jatahnya dari dari Baitul Maal Muslimin, namun ia masih menolaknya. 

Lalu Umar berkata dihadapan orang-orang: “Aku mempersaksikan 

kepada kalian, wahai seluruh muslimin bahwa aku telah memanggil Hakim 

untuk mengambil haknya, akan tetapi ia menolak. 

Hakim masih saja memegang prinsipnya untuk tidak mengambil 

apapun dari seseorang sehingga ia wafat. 


Abbad Bin Bisyrin 

“Tidak Ada yang Menandingi Keutamaan 3 Orang dari Suku Anshar, 

Mereka yaitu : Sa’d Bin Muadz, Usaid Bin Al Hudhair & Abbad Bin 

Bisyrin.”  (Aisyah, Ummul Mukminin) 

 

Abbad bin Bisyrin yaitu  sebuah nama yang bersinar dalam sejarah 

dakwah Muhammad. 

Jika engkau mencarinya diantara para hamba-hamba Allah; maka 

engkau akan mendapati dirinya sebagai orang yang bertaqwa, 

berkepribadian bersih, senantiasa bangun di tengah malam membaca 

berjuz-juz Al Qur’an. 

Jika engkau mencarinya di antara para pahlawan, maka engkau akan 

mendapatinya bahwa ia yaitu  seorang yang gagah berani yang turun di 

berbagai pertempuran untuk menegakkan kalimat Allah Swt. 

Jika engkau mencarinya di antara para wali (gubernur), maka engkau 

akan mendapatinya bahwa dia yaitu  seroang yang kuat dan dipercaya 

untuk mengurus harta kaum muslimin… sehingga Aisyah ra berkata 

tentang dirinya dan dua orang lagi dari sukunya: “Tiga orang dari suku 

Anshar yang tidak tertandingi oleh seorangpun dalam keutamaan. 

Semuanya berasal dari Bani Abdil Asyhal: Sa’d bin Muadz, Usaid bin Al 

Hudhair dan Abbad bin Bisyrin. 

Abbad bin Bisyrin Al Asyhaly saat muncul di penjuru Yatsrib sinar 

petunjuk Muhammad kala itu ia masih seorang remaja yang masih segar. 

Dari wajahnya terpancar kesucian dan harga diri. Dari prilakunya terlihat 

bahwa ia yaitu  seorang anak yang cerdas, meskipun pada saat itu ia 

belum genap 25 tahun. 

  

Ia telah bergabung dengan sang da’I dari Mekkah yang bernama 

Mus’ab bin Umair, maka segeralah terhubung ikatan iman di antara 

keduanya. Dan kedua jiwa mereka disatukan oleh akhlak yang terpuji dan 

sifat yang mulia. 

Ia mendengarkan Mus’ab yang membacakan Al Qur’an dengan suara 

yang lembut dan tenang, dan dengan intonasinya yang berkesan. Maka 

Abbad begitu cinta dengan kalamullah, dan membiarkan kalam ini  

menembus relung hatinya yang terdalam sebagai tempat bersemayam ayat-

ayat Tuhan. Ia menjadikan ayat-ayat Allah ini  menjadi kesibukannya 

yang baru yang senantiasa ia ulang-ulang di waktu malam dan siang. Pada 

  

saat ia bermukim atau sedang melakukan perjalanan. Sehingga ia dikenal 

dikalangan sahabat sebagai Imam dan sahabat Al Qur’an. 

  

Suatu malam Rasulullah Saw sedang melakukan shalat Tahajjud di 

rumah Ais’yah yang menempel dengan dinding masjid. lalu  Beliau 

mendengar suara Abbad bin Bisyrin yang sedang membaca Al Qur’an 

dengan begitu jernih dan segar seperti saat Jibril membawakannya kepada 

hati Beliau. Rasul lalu bertanya: “Wahai Aisyah, Apakah ini suara Abbad 

bin Bisyrin?!” Aisyah menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Rasul berdo’a: “Ya 

Allah, ampunilah dirinya!” 

  

Abbad bin Bisyrin mengikuti Rasululllah Saw dalam setiap peperangan 

yang Beliau lakukan. Dalam setiap perang, ia memiliki kisah yang pantas 

bagi seorang pemegang Al Qur’an… 

Salah satunya yaitu  saat Rasulullah Saw baru kembali dari perang 

Dzatu Riqa’, Beliau berhenti bersama dengan muslimin lainnya di sebuah 

lereng untuk bermalam di sana. 

Salah seorang dari pasukan muslimin telah menawan –di tengah 

perang- seorang wanita musyrikin tanpa sepengetahuan suaminya. Begitu 

suaminya pulang –dan tidak menemukan istrinya- ia bersumpah demi Lata 

dan Uzza untuk menyusul Muhammad dan para sahabatnya, dan tidaka 

akan kembali kecuali  sesudah  membunuh salah seorang dari mereka. 

  

Hampir saja pasukan muslimin mengistirahatkan unta-unta mereka di 

lereng, lalu Rasulullah Saw bertanya kepada mereka: “Siapa yang akan 

berjaga pada malam ini?” 

Maka berdirilah Abbad bin Bisyrin dan Ammar bin Yasir yang berkata: 

“Kami yang akan berjaga, ya Rasulullah!” 

Begitu mereka keluar menuju mulut lembah, Abbad bin Bisyrin berkata 

kepada sahabatnya Ammar bin Yasir: “Pada bagian malam yang mana 

engkau mau tidur, awal atau akhirnya?” Ammar menjawab: “Aku akan 

tidur di awalnya.” Lalu berbaringlah Ammar tidak jauh dari Abbad. 

  

Malam begitu tenang dan damai. Bintang, pepohonan dan batu-batuan 

bertasbih dan bertahmid seraya mensucikan Tuhannya. Maka jiwa Abbad 

bin Bisyrin begitu ingin melakukan ibadah dan rindu untuk membaca Al 

Qur’an. 

Saat yang paling sukai dalam membaca Al Qur’an yaitu  pada saat ia 

shalat, maka ia menggabungkan kenikmatan shalat dengan kenikmatan 

membaca Al Qur’an. 

Ia menghadap kiblat dan mulai melakukan shalat. Ia mulai membaca 

Surat Al Kahf dengan suaranya yang merdu. 

Tatkala ia sedang menyerap cahaya ilahi ini, tenggelam dalam berbagai 

nikmat sinar-Nya, maka datanglah pria yang mencari istrinya dengan 

langkah yang cepat. Begitu ia melihat Abbad dari kejauhan yang berdiri di 

mulut lereng, ia mengetahui bahwa Nabi Saw dan para sahabatnya berada 

di dalam lereng ini  dan bahwa orang yang berdiri yaitu  penjaga 

mereka. Lalu ia menyiapkan busur panahnya, lalu  mengambil sebuah 

anak panah dari tempatnya, lalu  melepaskannya ke arah Abbad lalu 

melukainya. 

Abbad lalu mencabut anak panah itu dari tubuhnya lalu meneruskan 

bacaan dan larut dalam shalat. 

lalu  orang tadi melepaskan anak panah yang kedua dan 

mengenai tubuhnya. Lalu Abbad mencabutnya lagi seperti yang ia lakukan 

sebelumnya. lalu  pria tadi memanahnya untuk kali yang ketiga. 

Abbad pun mencabutnya lagi seperti 2 anak panah sebelumnya. lalu  

ia beringsut sehingga mendekat ke arah sahabatnya lalu 

membangunkannya sambil berkata: “Bangunlah, luka-luka ini telah 

membuatku payah.” 

Begitu pria tadi melihat mereka berdua, ia langsung lari 

menyelamatkan diri. 

  

Maka disinilah Ammar melihat tubuh Abbad yang berlumuran darah 

yang mengalir dari 3 luka. Ia bertanya kepada Abbad: “Subhanallah, 

mengapa engkau tidak membangungkan aku saat panah pertama 

mengenaimu?!” Abbad menjawab: “Aku sedang membaca surat yang aku 

tidak ingin memutusnya hingga ia selesai. Demi Allah, kalau aku tidak 

khawatir dapat membuat benteng Rasulullah Saw menjadi tak terjaga 

sebagaimana yang Beliau perintahkan, maka jiwaku yang terputus lebih 

aku sukai dari pada memutus bacaan ini .” 

  

Saat peperangan melawan kaum murtadin terjadi pada masa 

pemerintahan Abu Bakar ra. Khalifah Abu Bakar menyiapkan sebuah 

pasukan yang berjumlah amat banyak untuk menumpas perlawanan yang 

dipimpin oleh Musailamah Al Kadzzab dan para orang-orang murtad yang 

menjadi pendukungnya serta untuk mengembalikan mereka lagi kepada 

pangkuan Islam. Abbad bin Bisyrin termasuk salah seorang prajurit yang 

berangkat dalam misi ini. 

Abbad melihat –di tengah peperangan dimana kaum muslimin belum 

dapat membukukan kemenangan- adanya kaum Anshar yang 

mengandalkan kaum muhajirin, dan kaum muhajirin juga mengandalkan 

kaum Anshar yang membuat hati Abbad menjadi penuh kejengkelan. Ia 

juga mendengar mereka saling meledek sehingga telinganya serasa dicucuk 

duri. Maka Abbad merasa yakin bahwa kaum muslimin tidak akan berhasil 

dalam perang ini kecuali bila setiap kelompok berpisah dari lainnya untuk 

mengemban tugas masing-masing… dan agar para mujahidin yang teguh 

dan sabar mengerti dengan sebenar-benarnya. 

  

Pada malam sebelum terjadinya perang, Abbad bermimpi dalam 

tidurnya bahwa langit terbuka untuknya. Begitu ia masuk ke dalam langit, 

ia tertarik ke dalam dan pintu langit pun tertutup kembali. 

Keesokan paginya, ia menceritakan hal itu kepada Abu Said Al Khudry, 

dan Abbad berkata: “Demi Allah, itu menandakan bahwa aku akan 

mendapatkan syahadah (kematian dalam berjuang di jalan Allah).” 

  

Begitu matahari sudah mulai meninggi dan perang pun telah di mulai. 

Abbad bin Bisyrin naik ke sebuah tempat yang tinggi dan berteriak: “Wahai 

kaum Anshar… berpencarlah kalian dari pasukan! Patahkanlah sarung 

pedang kalian! Dan janganlah kalian meninggalkan Islam yang datang dari 

arah mu!” 

Ia terus saja meneriakkan seruannya sehingga berkumpul 

dihadapannya 400 orang Anshar, termasuk dari mereka yaitu  Tsabit bin 

Qais, Al Barra bin Malik dan Abu Dajjanah, pemilik pedang Rasulullah 

Saw. 

Abbad bin Bisyrin lalu merangsek masuk ke barisan musuh bersama 

mereka dengan menebaskan pedang mereka. Begitu beraninya sehingga ia 

menghampiri kematian dengan dadanya. Sehingga pertahanan Musailamah 

Al Kadzzab dan para pendukungnya semakin melemah yang membuat 

mereka berlindung ke Hadiqatul Maut (Taman Kematian). 

Di bawah gerbang taman itulah Abbad bin Bisyrin jatuh terpuruk 

sebagai seorang syahid yang tewas berlumuran darah… di tubuhnya 

banyak sekali bekas luka tebasan pedang, tusukan tombak dan anak panah, 

sehingga pasukan muslimin tidak sanggup lagi untuk mengenalinya, 

kecuali  sesudah  mereka menemukan salah satu tanda di tubuhnya. 


Zaid Bin Tsabit Al Anshary 

Penterjemah Rasulullah 

“Siapa yang Lebih Menguasai Ilmu Qafiyah dibandingkan  Hasan & 

Putranya… Siapa yang Lebih Tahu Tentang Ilmu Ma’ani dibandingkan  

Zaid Bin Tsabit” (Hassan Bin Tsabit) 

 

Kita kini sedang memasuki tahun kedua hijriyah… kota Madinah 

semakin sesak dipenuhi oleh manusia yang bersiap-siap untuk menyambut 

perang Badr. 

Nabi Saw melakukan cek akhir pada pasukan pertama yang akan 

berangkat dibawah komandonya sendiri untuk berjihad di jalan Allah dan 

menegakkan kalimat-Nya di muka bumi. 

Terlihat di sana, ada seorang anak kecil yang belum genap berusia 12 

tahun yang nampak memiliki kecerdasan dan kemuliaan diri. 

Di tangannya terdapat sebilah pedang yang sama panjangnya dengan 

tubuh bocah tadi atau lebih panjang dari tubuhnya. Ia mendekat ke arah 

Rasul Saw lalu berkata: “Aku akan menjadi pelindungmu, ya Rasulullah. 

Izinkanlah aku untuk turut serta bersamamu dan berperang melawan 

musuh-musuh Allah di bawah panjimu.” 

Rasulullah Saw lalu melihat anak ini dengan perasaan senang dan 

kagum. lalu  Beliau menepuk pundak anak ini dengan lembut dan 

penuh perasaan sayang. Beliau menghibur anak ini, lalu  

menyuruhnya pulang sebab  ia masih berusia dini. 

  

Pulanglah bocah kecil tadi dengan menyeret pedangnya ke tanah 

dengan perasaan kesal dan sedih, sebab ia dilarang untuk menemani 

Rasulullah Saw dalam peperangan pertama yang Beliau lakukan. 

Di belakang langkahnya juga turut pulang ibunya yang bernama An 

Nawar binti Malik, yang juga tidak kalah bersedih dan kesal. 

Ibunya telah berharap bahwa matanya akan berbinar-binar saat 

melihat anaknyaberjalan bersama rombongan pria dewasa untuk berjihad 

di bawah komando Rasulullah Saw. 

Ibunya berharap bahwa bocahnya dapat menempati posisi yang 

diharapkan yang dapat diisi oleh ayahnya kalau saja ia masih hidup. 

  

  

Akan tetapi bocah Anshar ini saat ia tidak berhasil untuk mendekatkan 

diri kepada Rasulullah Saw dalam bidang ini sebab  usianya yang masih 

kecil, akan tetapi kecerdasannya –yang tidak berhubungan dengan umur- 

membuat dirinya dapat berhubungan dengan Nabi Saw. 

Bidang itu yaitu : ilmu pengetahuan dan hapalan. 

lalu  bocah tadi menceritakan ide ini kepada ibunya. Maka senang 

dan gembiralah ibunya, dan ia semangat untuk mewujudkan ide anaknya. 

  

An Nawar menceritakan keinginan anaknya kepada para pria dari 

kaumnya. Maka beberapa pria tadi berangkat untuk menemui Rasulullah 

Saw dan berkata kepada Beliau: “Ya Nabi Allah, ini yaitu  seorang dari 

anak kami yang bernama Zaid bin Tsabit yang mampu menghapal 17 surat 

dari kitab Allah. Ia membacanya dengan benar persis seperti yang 

diturunkan kepada hatimu. 

Lebih dari itu, ia yaitu  anak yang cerdas yang pandai menulis dan 

membaca. Ia ingin sekali dengan potensi yang ada dapat mendekatkan diri 

kepadamu dan mendampingimu… Jika engkau berkenan, silahkan 

dengarkan penuturannya!” 

  

Rasulullah Saw lalu mendengarkan dari bocah Zaid bin Tsabit beberapa 

ayat Al Qur’an yang ia hapalkan. Rupanya bocah ini mampu membacanya 

dengan begitu baik, dan pelafalannya pun sempurna. Kalimat Al Qur’an 

keluar dari kedua bibirnya seperti bintang di langit yang menyala. 

Bacaannya begitu memberikan ilustrasi akan apa yang sedang ia baca. 

Setiap tanda waqaf di mana ia berhenti, menandakan bahwa ia amat 

mengerti akan hal yang dibacanya. 

Maka gembiralah hati Nabi Saw sebab  mendapati bahwa bocah ini 

memiliki potensi yang lebih dari apa yang mereka katakan. Hal yang 

membuat Rasul lebih gembira yaitu  sebab  bocah ini amat pandai 

menulis… maka Rasulullah Saw melihat ke arah bocah ini dan bersabda: 

“Ya Zaid, pelajarilah untukku tulisan bangsa Yahudi. Sebab aku tidak 

mempercayai mereka atas apa yang aku katakan!” Maka Zaid menjawab: 

“Baik, ya Rasulullah!” 

Maka mulailah Zaid mempelajari bahasa Ibrani sehingga ia menguasai 

bahasa ini  dalam waktu singkat saja. lalu  ia menuliskan bahasa 

ini  kepada Rasulullah, jika ia berkeinginan untuk menulis surat buat 

bangsa Yahudi. Dan Zaid akan membacakan kepada Rasul, jika mereka 

mengirimkan surat kepada Beliau. 

Lalu ia juga mempelajari bahasa Suryani126 atas perintah Rasul, 

sebagaimana ia mempelajari bahasa Ibrani. 

Maka sejak saat itu pemuda yang bernama Zaid bin Tsabit menjadi 

penterjemah Rasulullah Saw. 

  

Begitu Rasulullah Saw merasa percaya akan kecerdasan dan sifat 

amanah Zaid, ketelitian dan pemahamannya, maka Nabi Saw 

mempercayakan dia untuk menuliskan risalah langit yang turun ke bumi. 

Maka Rasul Saw menunjuknya sebagai salah seorang pencatat wahyu 

Allah… 

Maka jika ada beberapa ayat Al Qur’an yang turun pada hati Beliau, 

maka Beliau akan memanggil Zaid dan bersabda: “Tulislah, ya Zaid!” Maka 

Zaid pun akan menuliskannya. 

Maka Zaid bin Tsabit pun menerima langsung ayat-ayat Al Qur’an dari 

Rasulullah waktu demi waktu, sehingga ia tumbuh dewasa bersama ayat-

ayat Al Qur’an. Ia menerima Al Qur’an yang baruu saja turun langsung 

dari mulut Rasulullah Saw yang berkenan dengan asbabun nuzul tertentu. 

Hal itu membuat jiwa Zaid semakin terang dengan sinar cahaya Al Qur’an, 

dan menjadikan akal Zaid bercahaya dengan sinar syariatnya. 

Maka pemuda yang beruntung ini semakin mendalamkan 

kemampuannya dalam bidang Al Qur’an. Ia menjadi sumbur referensi 

pertama dalam bidang Al Qur’an bagi ummat Islam  sesudah  wafatnya 

Rasulullah Saw. 

Dia menjadi koordinator pengumpul Kitabullah dalam masa Abu Bakar. 

Ia juga menjadi tokoh yang berhasil menyatukan mushaf-mushaf Al Qur’an 

pada masa Utsman bin Affan. 

Apakah masih ada posisi yang melebihi hal ini yang dicita-citakan?! 

Apakah ada di atas kemuliaan ini, kemuliaan yang masih di kejar oleh jiwa 

manusia?! 

  

Salah satu keistimewan Al Qur’an yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit 

yaitu  bahwa Al Qur’an selalu menerangi jalan kebenaran baginya pada 

beberapa kondisi di mana orang-orang yang pintar pun sering merasa 

bingung. Di hari Saqifah127 kaum muslimin bersilang pendapat tentang 

orang yang tepat untuk menggantikan Rasulullah Saw. 

                                                     

126

 Suryani yaitu  salah satu bahasa yang berkembang di negeri Syam dan banyak dipakai oleh 

beberapa suku di sana 

127

 Saqifah ini yaitu  milik Bani Saidah dimana kaum muslimin berkumpul  sesudah  wafatnya 

Rasulullah Saw untuk merundingkan urusan khilafah. 

Kaum muhajirin berkata: “Di kelompok kamilah seharusnya terdapat 

khilafah Rasulullah, sebab kamilah kaum yang lebih pantas.” 

Sebagian orang Anshar berkata: “Malah khilafah ini  sepantasnya, 

berasal dari kami.” 

Ada juga yang mengatakan: “Malah khilafah itu dapat berasal dari 

kami dan kalian secara bersama-sama. Sebab Rasulullah Saw jika hendak 

menyuruh seseorang dari kalian untuk mengerjakan sesuatu, Beliau pasti 

menyuruh salah seorang dari kami untuk sama-sama mengerjakannya.” 

Hampir saja terjadi fitnah yang amat besar. Padahal Nabi Saw baru di 

kafan dan masih berada di tengah mereka belum dikubur. 

Di saat itulah, kalimat tegas dan cerdas yang muncul dari petunjuk Al 

Qur’an amat dibutuhkan sehingga dapat membuat tenang fitnah yang akan 

bergejolak, dan memberikan cahaya bagi orang-orang bingung yang 

mencari jalan kebenaran. 

Maka meluncurlah kalimat ini dari mulut Zaid bin Tsabit Al Anshary. 

Tatkala ia melihat ke arah kaumnya dan berkata: “Wahai, para suku 

Anshar… Rasulullah Saw berasal dari suku muhajirin, maka orang yang 

menjadi khalifah Beliau yaitu  seorang dari suku muhajirin yang sama 

seperti Beliau… dan kita dulunya yaitu  anshar (penolong) Rasulullah 

Saw, maka sebaiknya kita tetap menjadi anshar (penolong) bagi khalifah 

 sesudah nya dan pembantunya dalam kebenaran. 

lalu  Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar 

As Shiddiq dan berkata: “Inilah khalifah kalian, bai’atlah dia oleh kalian!” 

  

Zaid bin Tsabit dengan keutamaan Al Qur’an dan pemahamannya serta 

lamanya ia mendampingi Rasulullah telah menjadikan dirinya sebagai 

menara petunjuk bagi kaum muslimin. Para khalifah sering meminta 

pendapatnya dalam masalah-masalah pelik, dan orang-orang muslimin 

juga kerap meminta fatwa kepadanya dalam berbagai permasalahan. 

Mereka sering kali mengadukan masalah-masalah waris kepadanya, 

sebab  tidak ada lagi di kalangan kaum muslimin –saat itu- orang yang 

lebih tahu dan mengerti akan hukum waris dan lebih cerdas darinya dalam 

membagikan harta warisan. Umar bin Khattab pernah berkhutbah di 

hadapan kaum muslimin pada hari Al Jabiyah128 yang berbunyi: “Wahai 

manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, maka hendaknya ia 

mendatangi Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak menanyakan tentang 

masalah fiqih, maka silahkan datang kepada Muadz bin Jabal. Siapa yang 

hendak menanyakan tentang harta, maka datanglah kepadaku. Sebab Allah 

                                                     

128

 Al Jabiyah yaitu  sebuah desayang terletak di barat Syiria. Di desa ini  Umar bin Khattab 

berkumpul dengan para sahabat untuk membahas permasalahan penaklukan. Ia berkhutbah dengan 

khutbahnya yang terkenal di sana. Maka hari itu dikenal dengan hari Al Jabiyah. 

telah menjadikan aku wali (orang yang mengurus) harta ini , dan aku 

juga yang berhak untuk membagikannya.” 

  

Para penuntut ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in129 mengetahui 

dengan amat baik kedudukan Zaid bin Tsabit yang hingga membuat 

mereka memuliakan dirinya sebab  ilmu yang ia kuasai dalam dadanya. 

Inilah seorang yang dikenal dengan lautan ilmu yang bernama 

Abdullah bin Abbas yang mendapati Zaid bin Tsabit yang hendak menaiki 

kendaraannya. Abdullah berdiri di hadapan Zaid lalu memegangi hewan 

kendaraannya, dan ia sendiri yang memegang tali kendali hewan 

tunggangan ini  seraya menariknya. 

Zaid bin Tsabit lalu berkata kepadanya: “Tidak usah kau lakukan itu, 

wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas lalu menjawab: “Beginilah kami 

diperintahkan untuk berlaku kepada para ulama kami!” lalu  Zaid 

berkata kepadanya: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Maka Ibnu Abbas 

menjulurkan tangannya ke arah Zaid. Lalu menunduklah Zaid ke arah 

tangan ini  dan ia menciumnya sambil berkata: “Beginilah kami 

diperintahkan untuk berlaku kepada Ahli bait Nabi kami!” 

  

Begitu Zaid bin Tsabit telah kembali ke pangkuan Tuhannya, maka 

kaum muslimin menangisi ilmu sebab  kematiannya yang turut 

dikuburkan bersama jasadnya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini telah 

meninggal orang yang amat luas ilmunya dalam ummat ini. Semoga Allah 

Swt berkenan menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.” 

Dan sang penyair Rasulullah yang bernama Hassan bin Tsabit membuat 

sebuah syair ratapan atas dirinya yang berbunyi: “Siapa yang lebih 

menguasai ilmu qafiyah dibandingkan  Hasan dan putranya… siapa yang lebih 

tahu tentang ilmu ma’ani dibandingkan  Zaid bin Tsabit?!” 


                                                     

129

 Tabiin yaitu  golongan pertama  sesudah  para sahabat Rasul Saw. Para ulama hadits membagi 

mereka dalam beberapa thabaqat (tingkatan). Kelompok pertama dari tabiin yaitu  mereka yang 

sempat berjumpa dengan 10 orang sahabat yang dijamin surga. Kelompok terakhir dari tabiin yaitu  

yang masih sempat berjumpa dengan para sahabat yang  termasuk usia kecil atau yang sempat 

berjumpa dengan para sahabat yang mati belakangan… 

Rabi’ah Bin Ka’b 

“Rabi’ah Bin Ka’b Melakukan Ibadah dengan Sungguh-Sungguh 

Agar Ia Dapat Menyusul Rasulullah Saw di Surga… Sebagaimana Ia 

Pernah Hidup Bersama Beliau Sebagai Seorang Pembantu di Dunia.” 

 

Rabi’ah bin Ka’b berkata: “Dulunya aku yaitu  seorang pemuda yang 

beranjak remaja, saat jiwaku mulai disinari oleh cahaya iman, dan hatiku 

mulai dipenuhi dengan ajaran-ajaran agama Islam.” 

Begitu mataku untuk pertama kalinya merasakan kedamaian menatap 

Rasulullah Saw, pandangan pertama ini  telah menimbulkan 

kecintaanku kepadanya sehingga mengisi seluruh anggota tubuhku. Aku 

begitu cinta kepada Beliau sehingga membuatku berpaling dari siapapun 

selainnya. 

Suatu hari aku berkata dalam diri sendiri: Celaka engkau, ya Rabiah! 

Mengapa tidak kau paksakan dirimu untuk berkhidmat kepada 

Rasulullah?!  

Tawarkanlah dirimu kepadanya… Jika Beliau menerimamu, maka 

engkau akan senang berada di dekatnya dan bahagia mendapatkan 

kecintaannya. Malah engkau akan mendapatkan kebaikan di dunia dan 

akhirat. 

Tak lama lalu  aku langsung menawarkan diriku kepada 

Rasulullah. Aku berharap ia mau menerimaku sebagai pembangtunya. 

Beliau rupanya tidak memupus harapanku. Ia menerimaku sebagai 

pembantunya. 

Sejak saat itu, aku menjadi orang yang selalu berada di dekatnya. Aku 

berjalan bersamanya kemana saja Beliau pergi. Aku selalu mengiringi 

Beliau. 

Kalau Beliau melirik ke arahku dengan matanya, maka pasti aku segera 

datang dan sudah berada di hadapannya. Jika ia membutuhkan sesuatu, 

pasti Beliau mendapatiku segera memenuhi kebutuhannya. 

Aku membantu Beliau sepanjang hari. Jika siang sudah pergi dan Beliau 

sudah melakukan shalat Isya dan mulai masuk ke kamarnya untuk tidur, 

maka aku pun pulang dan kembali ke rumah. 

Akan tetapi lalu  aku bertanya dalam diri sendiri: Mau pergi 

kemana, ya Rabiah?! Mungkin saja Rasulullah Saw membutuhkan sesuatu 

pada malam hari. Maka aku pun duduk di depan pintu rumah Rasul Saw, 

dan tidak sedikit pun bergeser dari sana. 

  

Rasulullah Saw terkadang menghabiskan malamnya dengan shalat; aku 

sering mendengar Beliau membaca Surat Al Fatihah. Beliau terus-menerus 

membaca ulang surat ini  pada sebagian malam, sehingga aku merasa 

bosan dan membiarkan Beliau membacanya, atau sebab  aku merasakan 

ngantuk dan mataku sudah berat terasa. 

Terkadang aku mendengar Beliau membaca Samia-Llahu liman 

hamidahu, Beliau terus mengulanginya beberapa lama lebih lama dari pada 

ia membaca surat Al Fatihah berulang-ulang. 

  

Salah satu kebiasaan Rasulullah Saw yaitu  tidak ada orang yang 

berbuat kebaikan kepadanya kecuali Beliau ingin membalasnya dengan 

yang lebih baik lagi kepada orang ini . 

Beliau ingin sekali membalas pengabdianku kepadanya. Pada suatu 

Beliau menghampiriku dan bersabda: “Ya, Rabiah bin Ka’b!” Aku 

menjawab: “Baik, ada apa ya Rasulullah?!” Beliau bersabda: “Mintalah 

kepadaku sesuatu dan aku akan memberikannya padamu!” Aku berpikir 

sejenak dan lalu aku berkata: “Berikanlah aku waktu ya Rasul agar aku 

dapat memikirkan hal apa yang dapat aku minta darimu, nanti akan aku 

beritahu.” Beliau bersabda: “Baik, kalau begitu!” 

Pda saat itu aku yaitu  seorang pemuda yang fakir yang tidak memiliki 

keluarga dan harta apalagi rumah. Akan tetapi aku tinggal di Suffah130 

masjid bersama orang-orang fakir muslimin sepertiku.  Dan manusia pada 

saat itu memanggil kami dengan sebutan Dhuyuf Al Islam (Para tamu 

Islam). 

Jika ada seorang dari kaummuslimin yang membayarkan sedekah, 

maka Rasulullah Saw akan mengirimkan harta sedekah ini  kepada 

kami. 

Jika ada orang yang memberi Beliau hadiah, maka Beliau mengambil 

sedikit dari hadiah ini , lalu  sisanya Beliau berikan kepada kami. 

lalu  aku terpikir untuk meminta sesuatu dari kebaikan dunia 

yang dapat membuatku kaya dan keluar dari kefakiran. Sehingga aku bisa 

menjadi orang lain yang memiliki harta, istri dan anak. 

Akan tetapi sesat lalu  hatiku berkata: “Celaka kamu, ya Rabiah. 

Dunia ini akan hilang dan fana. Dan engkau dalam dunia ini sudah diberi 

rizqi yang telah ditanggung oleh Allah Swt. Rizqi ini  pasti akan 

mendatangimu. Sedangkan Rasulullah Saw memiliki posisi terhormat di sisi 

Tuhannya yang tidak bakal ditolak setiap permintaannya. Maka mintalah 

darinya agar ia meminta kepada Allah kebaikan akhirat bagi dirimu. 

Maka hatiku pun menjadi nyaman dengan pikiran ini . 

                                                     

130

 Suffah yaitu  sebuah tempat di Masjid Rasulullah Saw sebagai tempat berteduh para kaum 

fakir yang tidak memiliki rumah tinggal. Dan mereka semua dikenal dengan Ahli Suffah. 


lalu  aku menghadap Rasulullah Saw dan Beliau bertanya: “Apa 

yang hendak kau katakan, ya Rabiah?!” 

Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku memintamu agar engkau berdo’a 

kepada Allah untukku agar Ia menjadikan aku sebagai pendampingmu di 

surga!” Beliau Saw bertanya: “Siapa yang telah memberimu nasehat akan 

hal ini?” Aku menjawab: “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang 

memberiku nasehat. Akan tetapi saat kau bersabda kepadaku: ‘Mintalah 

kepadaku, pasti akan aku berikan’ hatiku mengatakan agar aku meminta 

kepadamu sebagian dari kebaikan dunia… lalu  tidak lama berselang 

aku lebih memilih kehidupan yang abadi dibandingkan  kehidupan yang fana 

ini, maka aku memintamu agar engkau berdoa untukku kepada Allah agar 

aku dapat menjadi pendampingmu di surga. 

Rasulullah Saw diam beberapa lama lalu  bertanya: “Atau ada 

permintaan selain itu, ya Rabiah?” Aku menjawab: “Tidak, ya Rasulullah. 

Aku tidak akan mengganti apa yang telah aku minta kepadamu.” Beliau 

bersabda: “Baiklah, kalau begitu bantu aku dalam menolong dirimu dengan 

memperbanyak sujud!” 

Maka aku pun bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah agar 

aku dapat mendampingi Rasulullah Saw di surga, sebagaimana aku telah 

beruntung telah menjadi pembantunya dan menemani Beliau di dunia. 

  

lalu  tidak berselang lama sejak saat itu hingga Rasulullah Saw 

memanggilku dan bertanya: “Apakah engkau tidak mau menikah, ya 

Rabiah?”  

Aku menjawab: “Aku tidak ingin ada sesuatu yang menyibukkan aku 

dari berkhidmat kepadamu, ya Rasulullah! Apalagi aku tidak memiliki 

sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai mahar. Aku pun tidak punya harta 

untuk membiayai hidupnya.” lalu  Beliau terdiam. Lalu Beliau melihat 

ke arahku untuk kedua kalianya dan bertanya: “Apakah engkau tidak 

berniat untuk menikah, ya Rabiah?!” Aku pun memberikan jawaban yang 

sama kepada Beliau seperti sebelumnya. 

Akan tetapi begitu aku berpikir sejenak dalam hatiaku merasa menyesal 

dengan apa yang telah aku lakukan. Aku pun berkata: “Celaka engkau, ya 

Rabiah! Demi Allah, sungguh Nabi Saw lebih mengetahui dari dirimu apa 

yang terbiak bagi agama dan duniamu, dan ia lebih tahu tentang apa yang 

kau miliki. Demi Allah, jika Rasulullah Saw  sesudah  ini menanyakan aku 

apakah aku hendak menikah, pasti akan aku jawab Beliau dengan jawaban 

ya!” 

  

Tidak lama  sesudah  itu, Rasulullah Saw bertanya kepadaku: “Apakah 

engkau tidak berniat untuk menikah, ya Rabiah?!” Aku menjawab: “Tentu, 


ya Rasul! Akan tetapi siapa yang mau mengambil aku sebagai menantu, 

engkau kan tahu siapa diriku?!” 

lalu  Beliau bersabda: “Pergilah kepada keluarga fulandan 

katakan kepada mereka: bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kalian 

untuk menikahkan aku dengan seorang putri kalian yang bernama 

fulanah!’. 

lalu  aku mendatangi mereka sambil malu-malu dan aku katakan 

kepada mereka: bahwa Rasulullah Saw mengutus aku kepada kalian untuk 

dinikahkan dengan salah seorang putri kalian yang bernama fulanah. 

Mereka bertanya keheranan: “Fulanah?!” Aku menjawab: “Ya, dia.” Maka 

mereka pun berkata: “Selamat datang Rasulullah, selamat datang bagi 

orang yang diutus Rasulullah.” Demi Allah, orang yang diutus Rasulullah 

tidak akan kembali pulang kecuali dengan membawa hal yang 

diinginkannya. 

lalu  mereka melangsungkan akad nikah perkawinanku. 

Maka aku lalu mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, 

aku datang dari sebuah rumah terbaik yang pernah aku temui. Mereka 

mempercayaiku dan menyambutku. Mereka pun menikahkan aku dengan 

putrinya. Lalu dari mana aku dapat memberikan mahar kepada mereka?!” 

Maka Rasul Saw memanggil Buraidah bin Al Hushaib –dia yaitu  salah 

seorang pemuka kaumku (Bani Aslam)- dan Rasul bersabda kepadanya: “Ya 

Buraidah, kumpulkanlah oleh kalian emas seberat biji buat Rabiah!” Maka 

Buraidah mengumpulkannya untukku. 

lalu  Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Bawalah ini kepada 

mereka dan katakan kepada mereka bahwa ini yaitu  mahar putri kalian!” 

Aku pun mendatangi mereka dan menyerahkan ini  kepada mereka 

dan mereka pun menerimanya dengan senang hati. Mereka mengatakan: 

“Ini cukup banyak dan baik.” 

lalu  aku menghadap Rasulullah Saw dan aku berkata kepada 

Beliau: “Aku tidak pernah bertemu sebuah kaum yang lebih mulia dari 

mereka. Mereka senang dengan apa yang aku berikan kepada mereka –

meski sedikit- namun mereka mengatakan: ‘Ini cukup banyak dan baik.’ 

Lalu dari mana aku akan mendapatkan dana untuk membuat walimah, ya 

Rasulullah?!” 

Rasul Saw lalu bersabda kepada Buraidah: “Kumpulkan uang untuk 

Rabiah seharga seekor domba!” lalu  mereka membelikan untukku 

seekor domba yang besar dan gemuk. 

lalu  Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Temuilah Aisyah dan 

katakan kepadanya bahwa ia harus memberikan kepadamu semua gandum 

yang ia miliki!” Aku pun mendatanginya dan Aisyah berkata: “Ini satu 

keranjang yang didalamnya terdapat 7 sha’131 gandum. Demi Allah, kami 

tidak memiliki makanan lain selain itu.” 

lalu  aku membawa domba dan gandum tadi kepada keluarga 

calon istriku. lalu  mereka berkata: “Kami yang akan mengolah 

gandum, sedangkan domba maka suruhlah para sahabatmu untuk 

mengolahnya!” 

Maka aku membawa kembali domba tadi –saya dan beberapa orang 

dari Aslam- lalu  kami menyembelihnya dan lalu kami masak. Maka 

siaplah kini bahwa kami sudah memiliki roti dan makanan. 

Aku pun mengadakan walimah dan aku mengundang Rasulullah Saw 

dan Beliau memenuhi undanganku. 

  

lalu  Rasulullah Saw memberikanku sepetak tanah yang terletak 

di sebelah tanah milik Abu Bakar.Maka mulailah dunia merasuki diriku, 

sehingga aku pernah berselisih dengan Abu Bakar tentang sebuah pohon 

kurma. Aku berkata: “Pohon ini berada di tanahku.” Abu Bakar membalas: 

“Bukan, malah pohon ini  berada di tanahku.” Lalu aku pun 

berargumen dengannya. Dan ia mengucapkan kalimat kasar kepadaku. 

Begitu ia sadar bahwa ia telah berkata kasar, maka ia pun menyesal dan 

berkata: “Ya Rabiah, balaslah ucapan tadi kepadaku sehingga menjadi 

qishas atas ucapanku tadi!” Aku menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan 

melakukannya.” Ia berkata: “Kalau demikian, aku akan menghadap 

Rasulullah Saw untuk mengadukan bahwa engkau tidak mau menuntut 

qishas kepadaku.” 

Maka berangkatlah Abu Bakar untuk menghadapi Nabi Saw, dan aku 

pun mengikutinya dari belakang. 

Beberapa orang dari kaumku Bani Aslam mengikutiku dan berkata: 

“Dia yang memulai dengan mencacimu, dan dia mendahuluimu untuk 

menghadap Rasulullah Saw dan mengadukanmu?!” 

Aku menoleh ke arah mereka dan berkata: “Celaka kalian, apakah 

kalian tidak tahu siapa orang ini?! Dia yaitu  As Shiddiq dan orang muslim 

yang dituakan. Pulanglah kalian sebelum ia menoleh dan melihat kalian 

semua, sehingga ia mengira bahwa kalian datang untuk menolongku, dan 

itu akan membuatnya marah. lalu  ia akan datang kepada Rasulullah 

sehingga membuat Beliau marah sebab Abu Bakar marah. Dan Allah Swt 

pun akan marah sebab  marahnya kedua orang ini  dan akhirnya 

Rabiah pun akan binasa.” Maka mereka pun semua kembali pulang. 

Lalu Abu Bakar menghampiri Nabi Saw, dan ia menceritakan kisah 

kejadiannya sebagaimana aslinya. lalu  Rasulullah Saw mengangkat 

                                                     

131

 Sha’ yaitu  sebuah takaran yang sering digunakan untuk menakar biji-bijian 

kepalanya ke arahku dan bertanya: “Ya Rabiah, apa yang telah terjadi 

antara dirimu dan As Shiddiq?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, ia 

menginginkan agar aku mengatakan kepadanya sebagaimana yang telah ia 

katakan kepadaku, namun aku tidak mau melakukannya.” 

Beliau lalu bersabda: “Benar. Jangan kau katakan kepadanya seperti apa 

yang telah ia katakan kepadamu, akan tetapi katakanlah: Semoga Allah 

mengampuni Abu Bakar!” 

Maka aku pun mengatakan: “Semoga Allah mengampunimu, wahai 

Abu Bakar!” 

Maka keluarlah Abu Bakar dengan mata yang berlinang. Dan ia 

berkata: “Semoga Allah akan membalas kebaikanmu kepadaku wahai 

Rabiah bin Ka’b… Semoga Allah akan membalas kebaikanmu kepadaku 

wahai Rabiah bin Ka’b.” 


Dzu Al Bijadain                        

(Abdullah al-Muzani) 

 “Dunia telah memanggil-manggil Dzul Bijadain. Namun ia telah 

menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Ia malah 

mengejar akhirat yang ia cari lewat setiap jalan.” 

 

Di sebelah kanan pengelana yang berasal dari Madinah hendak menuju 

Mekkah Al Mukarramah ada sebuah gunung hijau yang sejuk dan enak 

dipandang mata. Gunung ini  dikenal dengan Warqan. Yang 

menempati gunung ini yaitu  sebuah kabilah yang dikenal dengan 

Muzainah. 

  

Di salah satu lereng gunung ini  yang terletak dekat dengan Yatsrib 

telah lahir seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani 

dari kedua orang tua yang miskin. 

Kelahiran bocah ini sesaat sebelum terbitnya cahaya kebenaran dari 

Mekkah Al Mukarramah. 

Akan tetapi kehendak Allah Swt telah menetapkan bahwa ayah bocah 

ini meninggal dunia, padahal bocah ini  belum juga dapat berjalan. 

Maka selain menjadi bocah fakir, ia pun kini menjadi anak yatim. 

Akan tetapi bocah yatim dan fakir ini memiliki seorang paman yang 

begitu kaya dan memiliki keluasan dalam harta. Paman tadi belum juga 

mempunyai anak yang menghiasi hidupnya, atau yang dapat mewarisi 

hartanya. Maka ia begitu senang dengan keponakannya ini. Dan ia 

menjadikan diri dan hartanya seperti milik bocah tadi, seolah dia yaitu  

anaknya sendiri. 

  

Tumbuhlah bocah Al Muzany tadi di pangkuan haribaan gunung 

Warqan yang lebat dengan bunga. Maka gunung yang segar ini  

memberikan pakaian kesantunan dan kelembutan kepada pemuda ini. 

Gunung Warqan juga memberikan kejernihannya kepada pemuda ini. 

Maka tumbuhlah pemuda ini dengan perasaan yang halus, jiwa yang 

bersih dan fitrah yang suci. Dan ini merupakan salah satu sebab lain yang 

membuat pamannya semakin cinta kepadanya. 

  


  

Meskipun pemuda Al Muzany ini sudah tumbuh dewasa sebagaimana 

para pria dewasa. Akan tetapi dia belum pernah mendengar kabar tentang 

agama yang baru, dan ia tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang 

pembawa agama ini yaitu Muhammad bin Abdullah Saw. 

Hal itu terus berlangsung sehingga kota Yatsrib merayakan hari 

bergembiranya dengan kedatangan Rasulullah Saw ke sana sebagai seorang 

yang berhijrah. 

Maka mulailah pemuda Al Mazini ini mengikuti informasi tentang diri 

Rasulullah Saw dan ia terus memantaunya. Sehingga sering kali ia berdiam 

diri sepanjang hari di tengah jalan yang menuju Madinah agar ia dapat 

bertanya kepada orang yang menuju kesana atau kepada orang yang baru 

saja dari sana tentang agama baru dan para pengikutnya. Iapun sering 

menanyakan tentang Nabi Saw dan informasi tentang dirinya, sehingga 

Allah Swt berkenan melapangkan dadanya yang suci untuk menerima 

Islam dan membuka hatinya untuk menyerap cahaya iman. 

Maka bersaksilah pemuda ini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan 

bahwa Muhammad yaitu  utusan Allah. 

Hal itu terjadi, sebelum matanya melihat langsung dengan Rasulullah 

Saw atau telinganya mendegarkan sabda-sabda Beliau. 

Maka dia menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kaumnya yang 

berada di gunung Warqan. 

  

Pemuda Al Muzani ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya 

secara umum dan secara khusus dari pamannya. Ia sering pergike sebuah 

lereng yang jauh untuk beribadah kepada Allah Swt di sebuah sudutnya 

yang jauh dari pandangan manusia. 

Ia amat menantikan dengan sangat hari dimana pamannya akan masuk 

Islam dan agar ia dapat mengumumkan keislamannya… serta agar ia 

beserta pamannya dapat menjumpai Rasulullah Saw,  sesudah  sekian lama ia 

ingin sekali berjumpa dengan Rasul yang menimbulkan rasa rindu dan 

memenuhi seluruh relung hati dan sanubarinya. 

  

Ketika pemuda ini mendapati bahwa kesabarannya telah berlangsung 

cukup lama, dan pamannya semakin jauh dari Islam. Dan sudah banyak 

sekali peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw yang telah 

meninggalkannya satu demi satu. Maka ia mengambil keputusan –tanpa 

berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya- dan ia menghadap pamannya 

seraya berkata: “Paman, Aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau 

masuk Islam sehingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk ke 

dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu maka itu 

amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka 

izinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia. 

  

Begitu ucapan pemuda ini mampir di telinga pamannya, maka sang 

paman langsung emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Lata dan Uzza, 

jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di 

tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup 

miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau 

kelaparan!” 

Ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar. 

Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan. 

Maka pamannya meminta bantuan kepada kaumnya untuk 

menghadapi dirinya. Maka mereka langsung memberikan ancaman dan 

rayuan kepadanya. Dan ia pun berkata kepada mereka: “Lakukanlah segala 

yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad, 

meninggalkan penyembahan batu dan berpaling ke arah penyembahan 

kepada Allah Yang Esa dan Maha Perkasa! Terserah kepada kalian sendiri” 

Maka serta-merta pamannya mengambil kembali apa yang telah 

diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan 

mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia 

tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi 

auratnya saja. 

  

Berangkatlah pemuda Al Muzani ini untuk berhijrah demi 

menyelamatkan agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya. Ia pergi 

meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan ia bermain-main 

sewaktu kecil. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki 

oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala 

dari sisi Allah Swt. 

Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh 

kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya.  

Begitu ia hampir tiba di Yatsrib maka ia merobek bajunya sehingga 

menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya 

lagi ia jadikan pakaian. 

lalu  ia menuju masjid Rasulullah Saw dan menginap di sana pada 

malam itu. 

Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi 

Saw. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi 

Saw dari kamar Beliau. 

Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi Saw, maka melelehlah air 

mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari 

dadanya untuk memberikan tahiyat dan salam kepada Beliau. 

  

Begitu shalat telah selesai dikerjakan, Nabi Saw –sebagaimana biasa- 

memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau 

melihat pemuda Al Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, 

wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul 

bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba 

Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!” 

Kemudia Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di 

dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!” 

Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama 

Abdullah. 

Dan para sahabat Rasul Saw memberinya gelar dengan Dzul Bijadain 

 sesudah  mereka melihat bijadaih dan mereka tidak mau menceritakannya. 

Maka Bijadaih ini lebih terkenal dalam sejarah dari pada gelar yang 

diberikan kepadanya. 

  

Janganlah Anda menanyakan –wahai pembaca yang budiman-tentang 

kebahagiaan Dzul Bijadain saat ia menjadi orang yang tinggal di bawah 

asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia turut 

serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan 

puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia. 

  

Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan 

telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat 

yang ia cari lewat jalan apa saja: 

Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa 

takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al 

Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a sebab  takut kepada Allah). 

Ia mencari akhirat dengan Al Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti 

menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al Qur’an di seluruh penjuru 

masjid Rasulullah Saw. 

Ia juga mencari akhirat dengan cara berjihad. Dan ia tidak pernah 

terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah 

Saw. 

  

Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Rasulullah Saw agar 

berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun 

Rasul Saw mendo’akan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang 

pasukan kafin. 

Maka ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. 

Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Jika 

engkau berangkat berjuang di jalan Allah, lalu  engkau sakit dan mati, 

maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan 

kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau 

mati, maka engkau pun syahid sebab nya.” 

  

Tidak berselang satu hari dan satu malam sejak pembicaraan ini 

sehingga pemuda Al Muzani tadi terserang penyakit demam yang 

menyebabkan ia tewas. 

Sunguh ia meninggal dalam kondisi berhijrah sebab  Allah. Berjihad di 

jalannya. Jauh dari keluarga dan kerabat. Terasing dari kampung halaman.  

Dan Allah akan membalas semua itu dengan kebaikan yang terbaik. 

Para sahabat yang mulya telah mengantarkan jasadnya ke kubur 

dengan kaki-kaki mereka yang suci. 

Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu 

menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulya. 

Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rasul 

yang menunggu di bawah kubur yaitu  Abu Bakar dan Umar, sehingga 

Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!” 

Maka keduanya melepaskan tubuh Al Muzani ini hingga sampai ke tangan 

Rasul Saw. 

Dan Abdullah bin Mas’ud berdiri memperhatikan pemandangan semua 

ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. 

Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 

tahun lebih dulu darinya.” 


Abu Al Ash Bin Al Rabi 

“Abu Al Ash Berbicara Kepadaku & Ia Membenarkanku, Ia Berjanji 

Kepadaku & Ia Menepatinya Untukku.” (Muhammad Rasulullah) 

 

Abu Al Ash bin Al Rabi yaitu  seorang dari suku Al Absyami132 yang 

berafiliasi ke suku Quraisy. Dia yaitu  seorang pemuda yang bagus 

posturnya, dan membuat iri orang yang melihatnya. Kenikmatan hidup 

telah datang pada dirinya dan ia juga memiliki garis keturunan yang mulia. 

Maka ia menjadi idola bagi para penunggang kuda bangsa Arab sebab  ia 

memiliki semua faktor yang dapat dijadikan kebanggan dirinya. Dia juga 

memiliki ciri-ciri manusia yang punya harga diri dan berkomitmen serta 

orang yang mempunyai semua peninggalan leluhurnya. 

  

Abu Al Ash telah mewariskan hobby dagang Quraisy pada dirinya 

sehingga selalu melakukan ekspedisi pada waktu musim dingin dan musim 

panas133. Kafilahnya tidak pernah berhenti melakukan perjalanan pulang-

pergi Mekkah-Syam. Kafilah yang ia miliki terdiri dari 100 unta dan 200 

orang. Banyak manusia yang menyerahkan harta mereka untuk ia 

perdagangkan bersama dengan harta yang ia miliki. Mereka begitu percaya 

kepadanya sebab  mereka sudah mengetahui kecerdasan, kejujuran dan 

sifat amanahnya. 

  

Bibinya yang bernama Khadijah binti Khuwailid istri Nabi Muhammad 

bin Abdullah menjadikan ia seperti anak sendiri. Khadijah menempatkan 

Abul Ash di hati dan rumahnya sebuah tempat yang terhormat yang 

dipenuhi dnegan rasa cinta dan penerimaan. 

Kecintaan Muhammad bin Abdullah pun kepada Abul Ash tidak kalah 

dari kecintaan Khadijah kepadanya. 

  

Waktu berjalan tahun demi tahun menghampiri rumah keluarga 

Muhammad bin Abdullah. Anak putri tertua Beliau yang bernama Zainab 

                                                     

132

 Al Absyami yaitu  suku yang bermula dari Abdu Syams 

133

 Ekspedisi musim dingin ke Yaman, sedangkan ekspedisi musim panas ke Syam. 

  


sudah beranjak remaja. Ia sudah mekar bak sekuntum bunga yang harum 

semerbak. Maka jangak sekali para putara pembesar Mekkah yang hendak 

meminangnya. 

Bagaimana tidak?! Padahal Zainab yaitu  salah seorang putri Quraisy 

yang berasal dari garis keturunan terpandang. Orang tuanya yaitu  

manusia terhormat, dan ia yaitu  gadis yang paling cerdas dan berakhlak 

di sana. 

Akan tetapi, bagaimana mereka dapat meminang Zainab?! 

Sebabnya mereka terhalang oleh sepupu Zainab senidir yang bernama 

Abul Ash bin Al Rabi yang juga seorang pemuda Mekkah!! 

  

Hanya beberapa tahun  sesudah  Zainab binti Muhammad dinikahkan 

dengan Abul Ash, maka terbitlah cahaya Ilahi yang begitu mulia di dataran 

Mekkah. Dan Allah Swt mengutus Nabi-Nya yang bernama Muhammad 

untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran. Allah juga 

memerintahkan Beliau untuk memberikan peringatan kepada keluarganya 

yang terdekat. Maka mereka yang pertama kali beriman kepada Beliau 

yaitu  istrinya Khadijah binti Khuwailid, para putrinya yang bernama 

Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah134, meskipun pada saat 

itu Fathimah masih berusia belia. 

Akan tetapi menantu Beliau Abul Ash enggan untuk meninggalkan 

agama leluhurnya dan menolak untuk masuk Islam sebagaimana yang 

dilakukan oleh istrinya, meskipun Abul Ash amat mencintai istrinya dan 

memberikan seluruh hatinya untuk Zainab. 

  

Begitu pertentangan antara Rasulullah Saw dan Quraisy semakin sengit, 

maka sebagian mereka ada yang berkata: “Payah kalian! Kalian akan dapat 

membuat Muhammad galau sebab  kalian pernah menikahkan putra 

kalian dengan salah satu putrinya. Kalau kalian kembalikan putri ini  

kepadanya, pasti ia akan kerepotan mengurusi mereka!” 

Maka Quraisy yang lain menjawab: “Alangkah bagusnya pendapat 

mu.” Lalu mereka mendatangi Abul Ash dan berkata kepadanya: “Ceraikan 

istrimu, wahai Abul Ash dan pulangkan ia ke rumah orang tuanya. Kami 

akan menikahkanmu dengan wanita mana saja yang paling cantik dari 

suku Quraisy.” 

Abul Ash menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku. 

Aku tidak mau menikahi semua wanita di dunia ini selain dia.” 

                                                     

134

 Lihat profil Fathimah dalam buku Shuwar mi