Tampilkan postingan dengan label mati hidup menurut islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mati hidup menurut islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Januari 2025

mati hidup menurut islam

 



Penyebutan pada kata mati dan hidup berdasar  konsep Islam adalah sebuah 

rantai kehidupan yang saling menghubungkan. Artinya, bahwa kematian adalah satu 

dimensi kehidupan berikutnya dan akan berlangsung setelah proses kehidupan yang 

pertama. Peristiwa kematian dan kehidupan, oleh al-Qur’an dinilai sebagai bentuk 

penciptaan yang patut diperhatikan secara seksama; dan bahkan perhatian kepada kedua 

kata ini (mati dan hidup) memerlukan analisis secara aktual, dengan mengacu kepada 

sifat Tuhan melalui representasi asma’ al-husna, bahwa tingkat kebaikan Tuhan memang 

tak terbatas. Dengan kata lain, kematian dan kehidupan adalah suatu penciptaan Tuhan 

yang patut disyukuri dan diterima seikhlas mungkin sebagai landasan ketaqwaan seorang 

hamba dalam konteks keimanan.          


Sekali seseorang menyatakan dirinya telah beriman—melalui penyebutan dua ka-

limat syahadat, maka dengan sendirinya ia telah menerangkan status dirinya dalam keadaan 

sebagai muslim. Pencapaian pada penyebutan kata dua kalimat syahadat, sesungguhnya, 

telah menandai seseorang memasuki fase kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan yang 

dinilai sama sekali baru dalam diri seorang muslim, yang kemudian menjadi identik dengan 

perubahan total, sekiranya mengikuti bahasa al-Qur’an, berarti seseorang telah menerima 

apa saja dalam bentuk dan keadaan apapun sebagai sebuah konsekuensi, termasuk penetapan 

konsepsi Allah sebagai Tuhan yang berkuasa mutlak. 

Disebab kan manusia (insan) dalam pengertian hamba (‘abd) telah menempatkan 

Tuhan sebagai Penguasa Mutlak, maka yang diperlukan oleh seorang hamba adalah pengab-

dian kepada-Nya. Ketika pengabdian ini terbentuk meski secara sepihak (tanpa paksaan; tan-

pa syarat oleh hamba), maka yang menjadi perhatian utama berikutnya adalah posisi seorang 

hamba (‘abd) tentu harus berbuat dan bertingkah laku layaknya seorang hamba. Penekanan 

pada dimensi pengabdian seorang hamba kepada Tuhan-Nya adalah reaksi al-Qur’an yang 

bernilai teosentris, bahwa Tuhan yang pantas disembah dan Dia yang menguasai langit dan 

bumi; dan ini dapat ditunjukkan dengan jelas pada ayat berikut ini:

Artinya: “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di 

antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. 

Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?

Apa yang melandasi uraian di atas, kiranya bertujuan memberi sebuah gambaran 

di mana seorang muslim-Islam atau kata kerjanya, aslama berdasar  pengertian yang di-

gunakan dalam frasa aslama wajha-hu li-Allahi, yang secara harfiah berarti, “Ia telah me-

nyerahkan wajahnya kepada Allah”,3 makna sesungguhnya adalah seseorang yang dengan 

sukarela menyerahkan dirinya kepada kehendak Ilahi dan mempercayakan dirinya hanya 

sepenuhnya kepada Allah. Alasan ini telah dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 128 se-

bagai berikut:   

Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh 

kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada 


Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan 

terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha 

Penyayang”.

Supaya kajian ini lebih mengarah dalam konsep eskatologis, maka eksistensi mati 

dan hidup adalah sebuah peniscayaan yang patut diterima dan diyakini oleh manusia seb-

agai muslim. Penerimaan dalam konteks teologi misalnya, sesungguhnya mati dan hidup 

adalah sebuah rantai kehidupan yang saling menghubungkan—yakni sesuatu yang mewakili 

tahap transisi antara dua wilayah (kutub A sebagai sebuah wilayah kematian dan kutub B 

sebagai wilayah kehidupan). Kedua wilayah ini, antara mati dan hidup, dalam bahasa al-

Qur’an merupakan bagian yang sama menuju kehidupan yang abadi.4 sebab nya, kedua 

pemahaman antara mati dan hidup menjadi lebih khas, jika tidak dikatakan identik, di mana 

al-Qur’an telah memainkan peranan penting menginformasikan kedua kata ini berdasar  

konteks apa saja sebagai manifestasi yang pasti terniscayakan. Perhatian yang dinilai pent-

ing ini, oleh al-Qur’an meski diklasifikasi sebagai kasus biasa “nasib manusia”—mati dan 

hidup—namun itu tetap memiliki magnet yang sama dalam konteks sebagai suatu pencip-

taan. Artinya, ada yang menciptakan akan kematian sebagaimana penciptaan adanya sebuah 

kehidupan.

Artinya: “Dan mereka berkata: “Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di 

dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain 

masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak 

lain hanyalah menduga-duga saja”.

Penegasan pada ayat di atas, sesungguhnya, kematian berdasar  versi masyara-

kat jahiliyah Pagan sangatlah terikat oleh masa (dahr). Informasi al-Qur’an ini menandakan 

dampak nihilisme yang begitu pesimistik di kalangan masyarakat Arab Pagan menyangkut 

kematian; dan pemahaman ini ternyata tidak termanifestasi dalam konteks kehidupan. Ke-

tentuan ini mengembalikan pada tingkat pemahaman Arab Pagan terkait gagasan kebangki-

tan kembali tubuh yang telah mati, dan biasanya dinyatakan melalui kata-kata ba’atha dan 

anshara (nashr).

Artinya: “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan 

kita di dunia Ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.”6

Pengingkaran terhadap adanya kematian (maut) tanpa harus menyilang pemaha-

man yang disebabkan oleh masa (dahr), sebagaimana argumentasi atau ekstensifikasi Arab 

Jahiliyah, al-Qur’an dengan tegas memberi posisi yang khas bahwa kematian (sebagai ses-

uatu yang natural-biologis; sebagai fenomena),7 yang merupakan titik akhir dari sebuah ke-

hidupan dunia. Atau dengan kata lain, bahwa titik akhir kematian Arab Pagan adalah dahr 

(sebagai nasib; determinasi). Adapun titik akhir kematian, dalam konsep al-Qur’an adalah 

ajal. Kata ajal, atau hari (waktu) yang telah dijanjikan (ditetapkan) adalah struktur kata yang 

memberi sinyal yang pasti dan mutlak dan bukan dari hasil imajinasi yang tidak berdasar 

layaknya pandangan Arab Pagan. Ini dibutikan sesuai dengan ayat berikut di bawah ini:

Artinya: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, 

kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh…”?

Demikian pula ayat berikut ini menjelaskan sebagai berikut:

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya 

ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah 

mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).”

Dengan demikian, bagaimanapun keniscayaan mati dalam bentuk ajal, menurut 

al-Qur’an tidak menuju pada pandangan nihilisme, sebagaimana yang dipahami oleh ma-

syarakat Arab Pagan, lantaran ajal dalam al-Qur’an bukanlah titik akhir eksistensi manusia. 

Sebaliknya, kematian merupakan permualaan kehidupan yang sama sekali baru dan lain, 

kehidupan abadi (khulud). Dalam sistem ini, ajal (kematian) pada setiap orang tidak lain 

adalah sebagai tahap pertengahan dari seluruh rentang kehidupannya, suatu titik balik dalam 

sejarah kehidupan yang terletak antara dunia dan akhirat.

B. Konsep Mati dan Hidup 

Dari segi ke-bahasaan, istilah kata mati (al-mawt) memiliki korelasi yang sama 

dengan istilah pancaindera,11 akal12 dan Iain-lain13. Korelasi ini mengandung pemahaman 

bahwa, kematian yang dimaksud berarti telah kehilangan kekuatan atau kemampuan 

untuk hidup; dan ini sama seperti seseorang telah kehilangan sejumlah organ tubuh, 

yang menyebabkan seseorang tidak dapat merasakan atau melihat sesuatu. Mati 


mengindikasikan berlawanan dengan kata hidup (al-hayah),14 meski kemudian kedua 

kata ini murupakan ciptaan Allah swt. Namun demikian, mati dan hidup berkaitan erat 

dengan kedudukan dan perwujudan roh. 

Dalam al-Qur’an, perkataan al-mawt disebutkan sebanyak lima puluh (50) kali 

dalam bentuk mufrad, dan enam (6) kali dalam bentuk jama’ (al-amwat).Di antara ayat-

ayat yang berkaitan dengan mati adalah: 


Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.”

Artinya: “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang 

kamu selalu lari daripadanya.”.

Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, 

Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu…” 

Demikian pula untuk kata hidup (al-hayah). Kata ini mengandung makna 

hidup, kehidupan, tumbuh berkembang, kekal, atau berguna. Kata hayat dalam al-

Qur’an selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia di dunia yang ditandai antara lain 

dengan pertumbuhan fisik, pertambahan usia, pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan 

silaturrahmi, kepemilikan harta, kedudukan, kemegahan, dan seterusnya yang kemudian 

pikun dan pada gilirannya akan mati.

Kata hayat termasuk kata yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dan, al-

Qur’an bahkan menginformasikan bahwa kata ini  diulang sebanyak tujuh puluh 

enam (76) kali. Enam puluh delapan (68) kali di antaranya dihubungkan dengan kata al-

dunya, sehingga tersusun menjadi kata al-hayah al-dunya, yang berarti kehidupan dunia 

sebagai lawan dari kehidupan akhirat.

Artinya: “Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, 

melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan 

kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah 

orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak 

akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan 

dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, 

padahal ia adalah penantang yang paling keras.”

Artinya: “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang 

memperdayakan.”

berdasar  kedua kata antara mati dan hidup, sebagaimana uraian di atas, 

sesungguhnya oleh al-Qur’an biasa dikonfrontasikan sebagai pasangan yang saling 

melengkapi. Bahkan dalam al-Qur’an, jumlah kata al-mawt dan yang seakar dengannya 

sebanyak jumlah kata al-hayah dan yang seakar dengannya, yakni seratus empat puluh 

lima (145) kali.21 Penyebutan kata mati dan hidup dari sekian banyak kodrat dan kuasa 

agaknya disebabkan sebab  kedua hal ini merupakan bukti yang paling jelas tentang 

kuasa-Nya dalam konteks manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain-Nya dan 

mati tidak dapat ditampik oleh siapa pun. Keduanya tidak dapat dilakukan.       

Secara sederhana, al-Qur’an turut mengemukakan pengertian yang hampir sama 

tanpa terdapat perubahan maksud. Al-Qur’an menunjukkan bahwa setiap makhluk yang 

bernyawa (ruh) pasti mati, bahkan alam dunia pun akan diakhiri dengan mati (kiamat).22 

Oleh sebab  itu, kematian adalah suatu kepastian, dan tiada satu pun yang dapat melarikan 

diri daripadanya; dan bahkan mati yang akan mendatanginya. Di sini al-Qur’an justru 

mensifatkan mati sebagai sunnah Allah swt yang umum bagi segala kejadian. Di samping 

itu, mati merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan peristiwa 

kejadiannya berlaku pada setiap detik (lahzah), masa (waqt) dan pada setiap jiwa (nafs) 

menuju untuk menerima ajal.

Mati menjadi titik pemisah di antara dua perkara, yakni masa, keadaan dan 

kehidupan dunia menuju kepada masa, keadaan dan kehidupan akhirat yang abadi. la 

bertindak sebagai pintu ke alam akhirat (hayah al-akhirah).25 Ini memberikan implikasi 

bahwa sekiranya kematian tidak berlaku sudah tentu persoalan-persoalan yang berkaitan 

dengan alam akhirat tidak akan berlaku. Dengan berlakunya kematian, keadilan di alam 

akhirat yang abadi mulai dilaksanakan dan kiamat (al-qiymah) bagi setiap manusia pun 

telah dimulai. Dengan demikian, bahwa mati dianggap sebagai perpindahan dari suatu 

kejadian dalam bentuk hidup kepada suatu kejadian yang lain berdasar  keterangan 

Allah dalam surat al-Waqi’ah ayat 61. 

Artinya: “Untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu 

(dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu 

ketahui.”

Terdapat beberapa keterangan yang diberikan kepada persoalan kematian. 

Sebahagian mengatakan mati sebagai bentuk penyucian dari kotoran yang meliputi 

perbuatan dosa dan ia boleh dianggap sebagai tempat kesucian yang biasa digunakan 

untuk menghilangkan sejumlah bentuk kotoran. Oleh kerana itu, kematian merupakan 

peluang terakhir bagi setiap manusia untuk membebaskan diri dari sejumlah dosa dan 

menyucikan diri dari segala bentuk keburukan. Penyucian ini termanifestasi kepada dua 

golongan manusia, yaitu apakah seseorang itu sebagai mukmin atau kafir. 

Adapun terkait dengan persoalan pengambilan ruh yang dimiliki oleh setiap 

makhluk, al-Qur’an mengemukakan beberapa penjelasan mengenainya. Sebahagian ayat 

menggambarkan Allah swt sendiri mematikan makhluk-makhluk-Nya yang bernyawa 

(al-anfus).26 Sementara dalam ayat yang lain disebutkan, bahwa malaikat maut yang akan 

melakukannya,27 sedangkan ayat seterusnya menunjukkan malaikat-malaikat yang akan 

mematikannya.28 Dalam menguraikan persoalan ini , merujuk kepada argumentasi 

‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Allah swt melakukan segala urusan mengikuti kehendak-

Nya. Untuk tujuan itu, Allah swt telah memilih malaikat maut secara khusus sebagai 

wakil-Nya untuk melaksanakan tugas itu dengan mengacu berdasar  kehendak-Nya. 

Malaikat maut pula diwakili dan dibantu oleh para malaikat yang menjadi utusannya 

untuk melaksanakan tugas dalam rangka pengambilan ruh setiap makhluk-Nya, Oleh 

sebab  ruh manusia diklasifikasi kepada dua hal, antara yang “baik” dan yang “jahat”, 

maka para malaikat yang ditugaskan untuk mengambil ruh ini  juga dikatakan terdiri 

dari dua kategori, yaitu malaikat rahmat dan malaikat azab. Adapun Malaikat rahmat 

ditugaskan mengambil ruh orang-orang yang baik dan taat (ahl al-ta’ah), sementara 

malaikat azab juga mengambil ruh orang-orang yang jahat dan ingkar (ahl al-ma’siyah)

Untuk memperjelas hal ini secara umum, beliau mengklasifikasikan manusia di 

dunia ini kepada dua golongan:

Pertama: Orang yang bersenang-senang dan terdiri dari orang-orang kafir. Kedua: 

Orang yang melepaskan diri dari beban orang-orang mukmin, yang dengan kematiannya 

itu dapat melepaskan diri dari dunia dan ujian-ujiannya.31 berdasar  klasifikasi di atas, 

sekiranya dibiarkan manusia tanpa kematian, tentulah mereka akan senantiasa berupaya 

mengarahkan kepada setiap perbuatan yang mengadung dosa dan maksiat. sebab  itu, 

mati bermaksud untuk menjadi peringatan (wa’id) bagi manusia. 

berdasar  uraian di atas, maka ketentuan mati dan hidup merupakan persoalan 

yang berhubungan dengan hikmah Allah swt dalam konteks yang begitu dinamis dan 

praktis sebagai bentuk pertanggungjawaban:

Pertama, Allah menciptakan mati dan hidup bermaksud untuk menguji, 

membedakan dan menentukan manusia berdasar  amalan dan perbuatan mereka 

terhadap perintah dan larangan yang Allah swt kemukakan untuk diberikan pembalasan. 

Kedua, menghindari dunia ini yang tampak sempit lantaran dipenuhi oleh keturunan 

manusia yang banyak. Ketiga, sebagai peringatan (wa’id) kepada semua makhluk, 

khususnya manusia dan jin supaya dengan demikian, mereka senantiasa menjaga diri 

dalam setiap perbuatannya.

Adapun alasan Allah merahasiakan tentang kematian dan kehidupan lantaran 

disebabkan sebagai berikut:

Pertama, sekiranya manusia mengetahui datangnya kematiannya atau adanya 

kehidupan, maka dimungkinkan bahwa manusia gagal dalam tugasnya sebelum ajalnya 

tiba. Untuk itu, adalah suatu rahmat dan perbuatannya menjadi faktor penggerak dalam 

kehidupan. Kedua, kejahilan itu sebagai sesuatu yang berbentuk pendidikan kerana 

sekiranya diketahui tiba waktunya ajal, sudah tentu manusia tidak menjadi sombong. 

Keadaan ini tidak mendatangkan kesempurnaan dari segi aspek spiritual dan tingkat 

kemuliaan sebagai langkah untuk mengatasi kehinaan seorang hamba atau manusia.

C.  Hubungan Etik-Spiritual dalam Kerangka Eskatologis 

Pertanyaan yang mendasar dalam konteks religius-filosofis, seperti yang telah 

diurai di atas, apakah kematian-kehidupan yang merupakan eksistensi manusia memiliki 

etik-spiritual dalam kerangka eskatologis? Untuk menjawab titik temu ini, al-Qur’an 

yang nota bene telah memiliki informasi, jawaban yang benar—dengan memberikan 

kodifikasi dalam sketsa adanya alam barzakh, hari kebangkitan, dan kehidupan neraka 

dan syurga. Investasi ketiga alam ini diyakini al-Qur’an sebagai sesuatu yang pasti, 

dengan pertimbangan, bahwa fase ketiga alam ini akan dilalui berdasar  periode kedua 

alam sebelumnya, yakni kematian dan kehidupan.

Namun demikian, dalam tahapan kehidupan manusia, konsep kematian merupakan 

perihal yang diberi nilai kepada sesuatu yang signifikan. Perhatian pada konsep ini dan 

merupakan bagian yang sama berhubungan secara langsung dengan eksistensi manusia 

pada periode-periode berikutnya, adalah kaitannya dengan konsep penciptaan. Dalam 

kerangka penciptaan, posisi Tuhan adalah pengendali secara mutlak. Penciptaan hanya 

menandai awal kekuasaan Tuhan terhadap segala sesuatu yang diciptakan. Semua urusan 

manusia, sampai yang terkecil dan tak berarti sekalipun semuanya dalam pengawasan 

ketat Allah. Dan, yang paling penting mengenai hal ini adalah bahwa Tuhan, menurut al-

Qur’an adalah Tuhan yang Maha Adil, yang tidak pernah berbuat dhalim (zulm) terhadap 

siapapun (termanifestasi dalam asma’ al-husna).             

Tentu saja persoalan ini telah memberikan simulasi awal, bahwa Tuhan sendiri, 

pada hakikatnya, bersifat etis, maka relasi Tuhan dan manusia tentu juga harus bersifat 

etik. Dengan kata lain, Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara etik, yaitu sebagai 

Tuhan Keadilan dan Kebaikan, demikian pula manusia diharapkan merespon tindakan 

Ilahiah ini juga dengan cara yang etis. Disebab kan Tuhan adalah sang Pencipta, maka 

tuntutan kepada manusia hanya bersyukur dan atau beriman. Sekiranya tuntutan itu 

diterima oleh manusia dengan baik, tentu balasan yang setimpal di kemudian hari akan ia 

terima. Demikian pula, sekiranya tuntutan itu ia tolak, maka balasan Tuhan pun akan ia 

terima di kemudian hari.

Pada dataran di mana manusia cenderung menolak tuntutan Tuhan--di sini, Allah 

merupakan Tuhan yang keras, yang akan membalas di hari Pengadilan, yang balasannya 

sangat pedih (shadid al-iqab), Tuhan yang membalas dendam (dhu intiqam), yang 

kemarahan-Nya (ghadhab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan.

Artinya: “Makanlah di antara rezeki yang baik yang Telah kami berikan kepadamu, 

dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. 


dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.”

Pokok persoalan dari semua uraian di atas, adalah adanya Hari Pengadilan sebagai 

sebuah lembaga hukum yang akan dimintai keterangan hukum (pertanggungjawaban). 

Oleh sebab  itu, pasca kematian merupakan rantai kehidupan selanjutnya yang bertujuan 

untuk dimintai tanggungjawab.

Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di 

antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Gambaran di mana Tuhan sendiri menguasai segala sesuatu dengan tegas, keras, dan 

adil, yang di depan-Nya manusia hanya berdiri diam dengan kepala tertunduk. Investigasi 

pada Hari Pengadilan—suatu peristiwa yang pasti terjadi—harus selalu diperhatikan 

dalam pikiran sedemikian rupa, sehingga bisa menjadikan dirinya bersungguh-sungguh, 

bukannya sembrono dan lalai dalam hidupnya. Inilah yang merupakan pokok dari 

kesalehan dalam Islam. Penekanan mutlak terhadap kesungguhan dalam hidup ini berasal 

dari kesadaran tentang Hari Pengadilan yang akan datang yang sangat ditekankan pada 

periode Mekkah. Inilah taqwa berdasar  makna asalnya.      

Kata taqwa kehilangan warna eskatologisnya yang sangat kuat sesuai dengan 

berjalannya waktu, sehingga pada akhirnya hampir-hampir diartikan sama dengan 

“ketaatan”. Namun, pada mulanya ia menunjukkan suasana yang sangat khusus yang 

berkaitan secara langsung dengan konsep Hari Pengadilan. 


Artinya: “Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat 

siksa-Nya.”

Untuk memperhatikan kata taqwa, dengan kombinasi kepada tiga kata, ittiqa 

(takut), Allah dan ‘iqab (siksaan) dalam kalimat yang pendek ini  dengan sangat 

jelas menerangkan struktur dasar taqwa dalam al-Qur’an menurut bentuk aslinya. Taqwa 

dalam pengertian ini merupakan konsep eskatologis, yang maknanya adalah “takut kepada 

siksaan Ilahi di akhirat.” Dari makna yang asli ini, kemudian muncul makna “ketakutan 

yang patuh (kepada Allah)”, kemudian akhirnya menjadi makna “ketaatan” saja.

Lebih lanjut, konsep taqwa seiring perkembangan zamannya—periode hijriah, 

warna eskatologis ini semakin lemah sampai akhirnya makna taqwa mencapai tahap 

tidak lagi memiliki hubungan nyata dengan citra Hari Pengadilan dan keganasannya, lalu 

berubah menjadi hampir sama dengan ketaatan. Pada tahap ini, taqwa hanya terkait sedikit 

atau sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsep “takut” (khawf). Itulah sebabnya, di 

dalam al-Qur’an kata muttaqi—bentuk partisipial dari ittaqa seringkali digunakan dengan 

pengertian “orang beriman yang taat”, yang menjadi lawan dari kafir.  

Di dalam al-Quran, Muttaqi pada tahap ini diberikan sebuah definisi yang pada 

hakikatnya tidak berbeda dengan muslim atau mukmin. Dalam Surah al-Baqarah, muttaqi 

didefinisikan sebagai “seseorang yang percaya kepada yang gaib, mendirikan salat, 

menafkahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya, dan yang beriman 

kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad, serta yakin akan adanya kehidupan akhirat.

Artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, 

dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka 

yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab 

yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.

Di sini, sebagaimana taqwa sama sekali tidak ada hubungannya dengan eskatologi/

akhirat dan takut terhadap siksaan atau terkait dengan mati dan hidup. Hal ini jelas 

berdasar  fakta bahwa kebaikan dan karunia Allah disebutkan sebagai alasan kenapa 

manusia harus ber-taqwa kepada Tuhan swt secara sungguh-sungguh.

D. Penutup

Secara keseluruhan, bahwa al-Qur’an menjelaskan tentang mati dan hidup 

merupakan persoalan-persoalan yang termasuk dalam ilmu Allah swt yang tidak 

dijelaskan kepada manusia, namun pemahaman tentang kedua kata ini (mati dan hidup), 

oleh al-Qur’an telah diberikan sejumlah informasi agar manusia memperhatikan secara 

seksama pentingnya kedua kata ini. Bahkan dalam al-Qur’an, kedua kata ini (mati dan 

hidup) dinilai sebagai bentuk representasi adanya kehidupan yang abadi setelah adanya 

kematian. sebab nya, manusia atau makhluk yang bernyawa dipastikan akan dijemput 

melalui kematian untuk menuju alam akhirat. Dengan demikian, maka mati dikatakan 

mempunyai ciri-ciri penyucian, perpindahan dan pemisahan.