aan terhadap teks kosmologi Ibn
‘Arabi sebab pendekatan ini merupakan interpretasi teks yang relevan untuk
penelitian ini.
Pendekatan hermenetik fenomenologi sebagai upaya untuk memahami secara
menyeluruh kandungan teks yang bersifat filosofis sehingga konsep-konsep filosofis
dapat dipahami secara akurat dan komprehensif melalui teknik analisa data sebagai
berikut:154
Pertama, melakukan bracketing dalam penelitian filsafat disebut epoche, yakni
menyimpan asumsi, keyakinan dan pengetahuan yang penulis miliki tidak
mendahului data dan informasi tentang objek yang diteliti dengan menetapkan fokus
kajian terhadap konsep kosmologi Sufi Ibn ‘Arabi sebagai sebuah ajaran yang
mengandung makna kesadaran kosmik. Tema ini dipilih berlandaskan
keterjangkauan referensi, waktu dan bersesuaian dengan konsentrasi pemikiran yang
penulis tetapkan. Selanjutnya penulis membuat skema teori dengan melihat
argument-argumen filosofis tentang wujud Tuhan, perbedaan konsep, asumsi dan
paradigm, kosmologi dari beragam perspektif dalam diskursus teori di bab 2.
Kedua, dengan menggunakan pendekatan historis155 sebagai sebuah upaya untuk
menelusuri asal usul dan perkembangan pemikiran Ibn ‘Arabi sehingga dapat
diketahui melalui karya-karyanya serta syarah-syarah yang dilakukan oleh murid-
muridnya. Dalam hal ini penulis fokus pada syarah Fusus al-Hikam yang ditulis oleh
Dawoed Qaysari.
Ketiga, dengan pendekatan interpretasi, penulis berupaya untuk memahami teks
ajaran Ibn ‘Arabi yang cenderung paradoksal namun menjadi lebih mudah untuk
dipahami, sebab secara teoritis kitab Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi yang terkait
dengan kosmologi banyak diinterpretasi oleh Chittick156, Moh. Haj Yoesef157 dan
lain-lain, sehingga terlihat ide utama (main idea) dan kerangka teoritis (theoritical
framework)158dari karya-karya Ibn ‘Arabi. Terutama konsep tentang wahdatul Wujud
dan tajalli.
Keempat, secara struktural penelitian ini akan melihat sususnan logis sistimatis
dari pemikiran Ibn ‘Arabi dan menganalisis sistematika pemikirannya, sehingga bisa
memberikan gambaran yang utuh terhadap seluruh konsep metafisikanya.
G. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan, penelitian ini terdari enam bab. Bab pertama yaitu bagian
pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi, perumusan dan
pembatasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, penelitian terdahulu
yang relevan, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Bab pertama ini
merupakan kerangka awal dan dasar dari penelitian ini.
Bab kedua berisi tentang perdebatan akademik meliputi; pertama, ragam
argumen wujud Tuhan, mulai dari argumen ontologis, kosmologis dan teolologis –
dengan tujuan untuk membedah ragam argumen bukti-bukti keberadaan Tuhan. Poin
kedua diskursus kosmologis untuk melihat perbedaan epistemologi dan paradigma
antara al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan yang autentik dan autoritatif, sains,
teologi, filsuf dan tasawuf, menjadi pintu masuk untuk melihat posisioning
kosmologi Ibn ‘Arabi. Selanjutnya poin ketiga, paradigma kesadaran kosmik,
mengurai tentang konsep simbol, kosmos dan ruang kesadaran serta lokus kesadaran
kosmik. Sub bab ini bertujuan mengurai makna dibalik simbol kosmos dan
menjelaskan hakikat manusia sebagai lokus seluruh pengetahuan nomena dan
fenomena.
Bab ketiga dinamika spiritual dan pemikiran metafisika Ibn ‘Arabi berisi tentang
sekilas riwayat hidup, riwayat spiritual, dan karya-karya intelektual Ibn ‘Arabi (kitab
futuhat al-Makiyyah, Fusus al-Hikam dan Shajaratul Kaun) ketiga kitab ini sebagai
sumber utama yang menjadi rujukan yang terkait dengan tema kosmologi. Poin
selanjutnya yaitu pemikiran metafisika Ibn ‘Arabi sebagai fondasi dan pengantar
sebelum mendedah konsep kosmologi Ibn ‘Arabi dengan mengeksplore ajaran
tentang wujud al-haqq, tanzih-tashbih dan al a’yan al-tsabitah.
Bab keempat berisi tentang konsep kosmologi Ibn ‘Arabi terkait dengan Tajalli
sebagai titik pijak manifestasi yang menjelaskan tentang konsep tajalli dan
bagaimana tajalli pertama dan kedua memanifestasi, dari dimensi ontologi diuraikan
tiga basic penciptaan, yaitu hakikat Muhammadiyah sebagai dimensi Dzat Tuhan, al-
harkah al-hubbiyah sebagai dimensi Iradah Tuhan, Nafas ar-Rahman sebagai
dimensi Kalam Kun. Selanjutnya, mengurai tentang lima derajat Realitas dari hierarki
Ahadiyyah, Wahidiyyah, serta tiga derajat kosmos yakni tentang dimensi
makrokosmos (Jabarut-Malukut-Mulk), mikrokosmos (Ruh-Jiwa-Raga), dan dimensi
alam insani sebagai kesempurnaan manifestasi yang dikenal dengan Insan Kamil.
Bab kelima mengkaji kemungkinan relevansi ajaran kosmologi Ibn 'Arabi
terhadap kesadaran spiritual manusia. Bab ini merupakan hasil analisa dari teori
kesadaran kosmik dan pembacaan secara hermeneutik-fenomenologis terhadap
ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi serta relevansinya terhadap kesadaran spiritual manusia
bahwa setiap derajat kosmos memiliki relasi eksistensial dengan keadaan jiwa
manusia. Uraian bab ini diawali dengan relasi kesadaraan kausalitas dimana Tuhan
sebagai Sang Penyebab, relasi simbolik menjelaskan bahwa kosmos sebagai simbol
anagogic, dan relasi eksistensial antara Tuhan, manusia, dan kosmos. Uraian
selanjutnya tentang tiga derajat kesadaran spiritual dengan tiga basis epistimologi
yaitu derajat shari’at dengan basis logika, derajat thariqat dengan basis intelek, dan
derajat haqiqat dengan basis shuhud. Bagian akhir bab ini menganalisis implikasi
kesadaran spiritual pada puncak perjalanan jiwa menuju transkosmik serta urgensi
ajaran tasawuf dalam kehidupan modern dan implikasinya dalam dimensi etik yang
meliputi tasawuf menghubungkan kembali ke akar tradisi, dari kesalehan individu
menuju kesalehan sosial, dan refleksi kesadaran tauhid dalam dimensi etika
lingkungan.
Bab keenam yaitu bab penutup yang terdiri kesimpulan dan rekomendasi
penelitian.
DISKURSUS KOSMOLOGI DAN PARADIGMA KESADARAN KOSMIK
Pada bab ini akan membahas perdebatan tentang argumen wujud Tuhan dari
beberapa filsuf yang terkait dengan argumen ontologi, kosmologi, dan teleologis.
Pada bagian berikutnya akan diuraikan berbagai ragam diskursus kosmologi
perspektif al-Qur’an, sains, filsafat, teologi, dan tasawuf. Selanjutnya, pada bagian
paradigma kesadaran kosmis akan diuraikan konsep simbol dan bahasa kosmik,
kosmos dan simbol kesadaran, serta manusia sebagai lokus kesadaran kosmos.
A. Argumentasi Wujud Tuhan
Perdebatan terhadap wujud Tuhan tidak hanya didasarkan pada doktrin teologi
yang berbasis pada wahyu atau kitab suci namun membutuhkan argumen rasional yang
berbasis pada logika filosofis1. Berbagai argumen penalaran rasional menjadi kunci
perdebatan dalam filsafat yang dimulai dengan pertanyaan “Apakah Tuhan itu ada?”
dan “Bagaimana Tuhan mewujud?”. Perdebatan tentang eksistensi Tuhan menjadi
kajian filsafat sebagai ikhtiar untuk mencari jawaban masalah wujud tertinggi secara
kritis.2
Cerminan logis para filsuf tentang eksistensi Tuhan salah satunya yaitu sebagai
pertanggungjawaban terhadap pengakuan keimanan sebagaimana terdapat dalam
ajaran-ajaran agama besar seperti Islam, Yahudi, dan Kristen. sebab fondasi setiap
agama yaitu doktrin atau keyakinan tentang Tuhan. Nasr menekankan makna agama
(religio) sebagai ikatan antara manusia dan al-Haqq yang di dalamnya terkandung
metode dan doktrin tentang Sang Mutlak yang bertujuan mengembalikan manusia
agar terhubung kembali dengan al-Haqq.3 Meskipun kepercayaan pada hakikatnya
bersifat emosional namun membutuhkan penjelasan rasional sebagai penunjang iman.4
sebab pada dasarnya argumen hanya memuaskan secara akal sedangkan iman tidak
hanya bersifat logis dan rasional namun merupakan pengalaman religius.5 Para filsuf
dan teolog mengajukan ragam argumen tentang eksistensi wujud namun ujung yang
dituju yaitu sama, yakni pencarian tentang eksistensi Tuhan.6 Hal ini menjelaskan
agama merupakan jalan atau tali penghubung manusia kepada sisi Ketuhanannya.7
Dalam filsafat Yunani, dua tokoh yang berpengaruh besar yang meletakkan ide-
ide dasar tentang pencarian esensi dan hakikat dibalik benda yang merupakan urusan
logika yaitu Plato (429-348 SM)8 dan Aristoteles (384-322 SM)9. Menurut Plato,
mendefinisikan dunia menjadi dua, yakni “dunia maujud” (world of becoming) yang
selalu berubah dan tidak permanen, dan “dunia wujud” (world of being) yang
merupakan dunia ideal yang dihuni oleh “ bentuk-bentuk” ideal yang bersifat abadi
dan tidak berubah.10 Plato pula yang pertama menggunakan istilah theologia
9Aristoteles lahir sekitar tahun 384 SM di Sagira di Thrace. Ayahnya yaitu dokter
pribadi raja Macedonia. Kira-kira umur 8 tahun ia pergi ke Athena dan menjadi murid Plato
selama dua puluh tahun hingga Plato wafat. Aristoteles juga mendirikan sekolah Lyceum
Athena, yang menjadi saingan Akademi Plato. Ia melarikan diri ketika Alexander meninggal.
Meski ia murid Plato, namun ia mengkritik Plato dan mengajukan teorinya sendiri. Berbeda
dengan kecemerlangan Plato yang berwatak halus, gaya Aristoteles kasar dan keras. Dari
karya Aristoteles muncullah istilah metafisika (metaphysica), bahasa filosofis yang memuat
penelitian mengenai dunia “yang Satu” dibalik “yang banyak”. Aristoteles diperkirakan
meninggal tahun 322 SM.
Konsep utama Plato tentang eksistensi Tuhan yaitu forma dari Yang Baik,
forma tertinggi di dunia, forma yang diidentikkannya dengan Allah. Aristoteles
memikirkan Penggerak Yang Tak Tergerakkan yang menyebabkan semua perubahan
dan gerakan dan keinginan akan kesempurnaan di semesta telah diidentikan dengan
Allah.12 Sebagai Penggerak Pertama terlepas dari materi maka Aristoteles
mengistilahkan Penggerak Pertama ini sebagai Aktus Murni.13
Sementara para filsuf muslim mendiskusikan beberapa argumen tentang
eksistensi Tuhan, seperti yang dijelaskan oleh Majid Fakhry dengan urutan sebagai
berikut: (1) dalil al-hudust (a novitate mundi), (2) dalil al-imkan (a contingent
mundi), dan (3) dalil al-inayah (a teleological argument).14 Kelompok pertama
diwakili oleh Al-Kindi (w.866), kelompok yang kedua Ibnu Sina (w.1037), dan yang
terakhir Ibn Rusyd (w.1198). Dalam penjelasan berikut tidak diuraikan sebagai mana
kategori yang dijelaskan Majid Fakhry, namun didiskusikan dalam tiga argumen yaitu
argumen ontologis, argumen kosmologis dan argumen teleologis. Seperti penjelasan
berikut ini:
1) Argumen Ontologis (The ontological argument)
Argumen ontologis15 yaitu argumen yang didasarkan pada Realitas yang
mewujud melalui konsep yang hanya didasarkan pada logika (ilmu tentang wujud
Tuhan yang sempurna)16namun konsep tersebut tidak menyebabkan sebuah
kesimpulan bahwa kebenaran bergantung pada pembuktian (proof) sebab kebenaran
tidak bisa diciptakan oleh pikiran. Namun, kebenaran yang telah menampilkan
dirinya dalam pikiran, melalui sebuah kunci yang diberikan operasi mental. Artinya
bahwa Realitas itu akan tampil pada pikiran manusia pada saat pikirannya melakukan
aktifitas atau operasi mental tertentu. Argumen ini dipopulekan oleh Kant kemudian
menjadi argumen ontologis eksistensi Tuhan.17
Setiap argumen akan tampil berdasarkan sebuah keyakinan tertentu. Oleh sebab
itu, bukti ontologis sebagaimana pernah dipresentasikan oleh Saint Augustine (354–
430) dan Saint Anselm, hanya akan berarti bagi seseorang yang sudah memiliki
beberapa keyakinan awal.
St. Anselmus (1033-1109)18 , Anselmus mengawali argumennya dengan premis
‘Tuhan yaitu sesuatu yang tidak ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain
Dia’19 dalam bukunya proslogion,20 dari premis di atas argumen Anselm berkembang
dalam rangkaian tahapan dengan cara sebagai berikut:
- Ia yaitu satu kebenaran konseptual bahwa Tuhan yaitu keberadaan terbesar yang
bisa dibayangkan dalam pikiran.
- Tuhan ada dalam pikiran kita sebagai sebuah ide.
- Baik di dalam atau di luar pikiran Tuhan yaitu keberadaan yang terbesar.
- Maka itu, Tuhan itu harus ada dalam pikiran maupun di luar pikiran.
Kesemuanya itu dapat dirangkum dalam satu argumentasi bahwa Tuhan yaitu
pengada terbesar yang dapat dipahami, lebih besar yang berada dalam kenyataan
daripada yang ada dalam pikiran. Maka kesimpulannya Allah itu ada. Dengan kata
lain, Tuhan yang tertinggi, terjauh, dan terdalam dari yang dipikirkan manusia.
Argument St. Anselmus memunculkan pertanyaan apakah ada sesuatu yang
harus berada hanya sebab kita memikirkannya. Bukti atau argumen Anselmus
disandarkan pada pemikiran murni dan bukan pada pengalaman yang bersifat a-
priori, yakni tanpa pengetahuan sebelumnya mengenai dunia namun kita dituntut
untuk memahaminya.22 Baginya manusia dapat memikirkan sesuatu yang
kebesarannya tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu
Yang Maha Besar, Maha Sempurna, sesuatu Yang Tak Terbatas. Dzat yang serupa
ini mesti mempunyai wujud dalam hakikat, sebab kalau Ia tak memiliki wujud dalam
realitas dan hanya mempunyai wujud dalam pikiran, Dzat itu tidak mempunyai sifat
lebih besar dan sempurna daripada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam
alam hakikat lebih besar dan sempurna daripada yang ada dalam pikiran. Dan wujud
itu yaitu Tuhan. Dengan demikian, Tuhan itu pasti ada.23
Rene Descartes (1596-1650),24 untuk argumen eksistensi Tuhan, menggunakan
bukti ontologis dan mengklaim bahwa eksistensi Tuhan bersifat niscaya. Descartes
sangat dipengaruhi oleh Plato dan yakin bahwa manusia dilahirkan dengan ide-ide
bawaan. Dengan demikian, Descartes menemukan dua cara untuk mencapai kepada
penerimaan adanya Tuhan, yang pertama secara kausal, yakni menurut skema sebab
akibat dari fakta bahwa manusia selalu mencari kesempurnaan kebenaran namun
sekaligus diimplikasikan bahwa manusia serba terbatas dan bukan sumber
kesempurnaan. Maka, bagi Descartes harus ada penyebab pertama yang bukan “Aku”
yang menanamkan kesempurnaan dalam diriku namun dia yaitu Tuhan. Kedua,
secara ontologis menurut prinsip “eksistensi = Ada” dengan mengambil alih argumen
Anselmus disebut argumen ontologis Descartes dalam filsafatnya “cogito ergo sum,
sive existo” (“aku berfikir maka aku ada, atau lebih tepat aku bereksistensi”). Jika
ada pernyataan bahwa Tuhan itu sempurna, maka manusia menyandang predikat
sempurna sebab predikat sempurna tidak mungkin berdiri sendiri tanpa terkait
dengan eksistensi yang riil. Kesimpulannya yaitu Tuhan itu ada.25
Benedict Spinoza (1632-1677) memulai filsafatnya dengan pengertian substansi,
sebagai jawaban terhadap problem filsafat Descartes tentang bagaimanakah Tuhan,
jiwa dan dunia materi bisa dipikirkan sebagai suatu kesatuan yang utuh.26 Spinoza
menggunakan bukti ontologis di dalam Ethics-nya, meskipun definisinya akan Tuhan
berbeda baik dari definisi Kristen maupun Yahudi. Di dalam posisi kesebelas dari
Buku I, Spinoza menulis “Tuhan atau substansi, yang terdiri dari atribut-atribut yang
tidak terbatas, masing-masingnya menyatakan esensialitas abadi tanpa batas, harus
ada.” Spinoza mendifinisikan substansi sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya
sendiri dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya substansi yaitu sesuatu yang secara
konseptual tidak membutuhkan konsep yang lain untuk membentuknya. Maka
substansi dipahami sebagai sesuatu yang abadi, tunggal dan mutlak dan tidak butuh
pada yang lain. Tuhan bagi Spinoza yaitu satu-satunya substansi, asal dari segala
keberadaan dan segala prulalitas yang ada di alam berasal darinya yang hanya
berfungsi sebagai modi dari Tuhan sebagai substansi tunggal.27
Martin Heidegger (1889-1976) memulai filsafatnya dengan pertanyaan yang
mendasar “Mengapa bisa ada sesuatu, dan bukan hanya ketiadaan?” Heidegger
mengubah perkataan Descartes “Saya berpikir, maka saya ada” diganti dengan “Saya
berada, maka saya berpikir”. Perhatian Heidegger pada “Ada” telah diadaptasikan
sebagai cara berbicara mengenai Allah. Bahasa Heidegger, menurut beberapa orang,
memungkinkan terbentuknya “teologi kodrati” baru, yang dengannya manusia dapat
melihat dunia dan dengan begitu mulai berbicara mengenai Allah. Bagi Heidegger
Kitab Suci secara eksistensial dilihat sebagai simbol dan bahasa mengenai “Ada”
sebagai Tuhan.28
Al-Farabi (872-950), filsuf Muslim yang dijuluki guru kedua (al-mu’allim al-
tsani) mengungkapkan dalil ontologi tentang wujud Tuhan. Menurutnya wujud yang
sempurna dan yang paling awal yaitu wujud Tuhan. Esensi dan wujud-Nya tidak
mungkin tidak eksis dan tidak memiliki ketidakwujudan. sebab Dzat Tuhan yang
sempurna yaitu qadim, abadi, dan otonom.29 Al-Farabi mengungkapkan argumen
tentang wujud Tuhan dengan dalil kesempurnaan. Yang pertama tidak mungkin tidak
sempurna dan tidak ada wujud lain yang melebihi kesempurnaan-Nya sebab dia
yaitu yang pertama.30 Menurut Madjid Fakhry, argumen ontologis al-Farabi dalam
kitabnya Madinah al Fadhilah dengan alasan: pertama, Tuhan harus dibayangkan
sebagai kesempurnaan mutlak dan tidak pada yang selain-Nya, kedua bahwa Wujud
benar-benar ada dan tidak mustahil menurut logika.31
Ibn Sina (980 – 1037 M), Ibn Sina menurut Madjid Fakhry termasuk kategori
filsuf muslim yang menggunakan argumen wujud Tuhan berlandaskan dalil al inkam
(a contingent mundi)32 yang menggambarkan Tuhan sebagai pencipta dunia melalui
serangkaian perantara. Wujud dari entitas yang ada bisa bersifat niscaya (wajib) atau
tidak niscaya dalam dirinya, disebabkan oleh tabiatnya sendiri. Wujud yang tidak
niscaya dalam dirinya bisa bersifat tidak mungkin (mumtani’) atau mungkin
(mumkin). Dengan konsep Wujud niscaya dan wujud mungkin, wujud kosmos yang
bersifat mungkin bergantung pada Wajib al-Wujud.33 Bagi Ibn Sina membuktikan
keberadaan Tuhan yaitu puncak spekulasi metafisika. Tidak ada keraguan lagi
bahwa wujud niscaya itu ada, setiap mawujud yang bersifat mungkin bergantung pada
Wujud niscaya. Wujud yang niscaya itulah yang dinamakan Tuhan, dimana semua
mahluk memancar secara abadi.
2) Argumen Kosmologis (the cosmological argument)
Argumen kosmologi35 yaitu argumen sebab-akibat (Prime Cause). Tuhan
sebagai penyebab yang tak terbatas, transenden dan positif. Dalam kajian kosmologi
dan metafisika digunakan sebagai salah satu argumen eksistensi Tuhan yakni
menjelaskan bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dari dan berdasarkan fakta
tentang dunia.36 Namun, mereka yang menolak keberadaan “super natural” ini, akan
melihat argumen kosmologis Aristoteles maupun Plato, sebagai bukti yang tidak
berarti. Menurut mereka, ide tentang Tuhan hanya mengkompensasi kejahilan kita
terhadap “sebab-sebab”. Dengan kata lain, asumsi mereka bahwa ide tentang Tuhan
hanya mengingatkan kita kepada kausalitas. Bagi mereka, argumen kosmologis ini
hanya mengimplikasikan sebuah kesadaran mendalam tentang kausalitas namun ia
bukanlah sebuah asumsi murni.
St .Thomas Aquinas (1225–1274)37 mendasarkan argumennya pada keberadaan
alam dengan menggunakan alasan rasional dan menolak pandangan teolog yang
mengatakan bahwa masalah keimanan dan eksistensi Tuhan tidak bisa dijelaskan
secara filsafat. Aquinas berprinsip bahwa eksistensi Tuhan bisa dijelakan secara
rasio.38 sebab itulah Aquinas mengemukakan lima argumennya yang dikenal
dengan The Five Ways39 untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Ia memulai
pembuktiannya dengan mengajukan pertanyaan: “apakah jelas dengan sendirinya
bahwa ada Tuhan? Dapatkan argumen itu dibuat gamblang?” Aquinas meyakini
bahwa eksistensi Tuhan tidak jelas dari diri-Nya sendiri, manusia tidak dapat
menggambarkan Tuhan sebagaimana manusia dapat menggambarkan sebuah objek.
Tapi ia percaya dengan merefleksikan bentuk-bentuk alami dunia memberikan
banyak bukti bahwa Tuhan ada. Ia menyimpulkan bahwa kesadaran akan adanya
Tuhan tidak ditanamkan oleh kodrat dengan satu cara istimewa manapun dalam diri
manusia.40
Al-Kindi (w 886) merupakan filususf muslim yang menggunakan argumen
kebaharuan (dalil al-huduts) a novitate mundi juga mengajukan lima argumen41 untuk
membuktikan eksistensi Tuhan. Filsafat al-Kindi menganggap bahwa Tuhan tidak
mempunyai hakikat (ainiyah atau mahiyah). Tuhan tidak ainiyah sebab Dia tidak
termasuk bagian dari benda-benda yang ada di alam, bahkan Dialah Penciptanya. Dia
tidak tersusun dari materi dan bentuk (al-hayula wa al-surah). Tuhan tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah sebab Tuhan bukan genus atau species.
Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya, selain Dia semuanya
mempunyai arti banyak.42
Al-Kindi mengikuti Aristoteles dengan membuktikan eksistensi penggerak
pertama sebagai Tuhan dan Tuhan yaitu satu-satunya pelaku yang sejati (the only
true agent).43 Menurut al-Kindi segala sesuatu pasti mempunyai sebab sebagai
penggerak yang tak tergerakkan. Prinsip pertama yaitu wujud itu sendiri, tidak
berubah dan sempurna. Perbedaan al-Kindi dengan Aristoteles sebab al-Kindi
menjelaskan ajaran al-Qur’an tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo)
dan menolak keabadian alam.44
Ikhwan al-Safa berpendapat menurutnya alam merupakan sesuatu yang
potensial, oleh sebab itu alam memerlukan sesuatu (agen) yang aktual untuk
mengaktualkan (mewujudkan) alam. Dzat yang aktual yaitu Tuhan. Tuhan
merupakan self sufficient (sebab yang berdiri sendiri) bagi keberadaan alam.
Sedangkan alam merupakan akibat yang bergantung keberadaannya pada sebab. Hal
ini di dasari alam yaitu potensi, dan sebagai potensi alam tidak bisa mengadakan
dirinya sendiri. Ketika alam mewujud seperti sekarang, berarti ada agen yang
bertanggung jawab atas keberadaannya. Agen yang dimaksud yaitu Tuhan itu
sendiri, Dzat yang berperan sebagai sebab pertama dari segala yang ada di alam
semesta.45 Tuhan sebagai pencipta merupakan wujud pertama dan menjadi sebab
segala sesuatu.
Para rasionalis telah keliru dalam memahami apa itu bukti. Bukti yaitu sebuah
penyingkapan – Ia menyingkap tirai – dan Ia bukan cahaya. Bukti tidak berarti bahwa
kita akan melangkah dari ketidaktahuan ke dalam pengetahuan. Namun, bukti yaitu
kunci atau simbol. Sebenarnya argumen mendasar ini lebih menunjukkan (indicates)
dari membuktikan (proves). Semua argumen sebenarnya bukanlah argumen tapi
hanya sebuah isyarat dan petunjuk (pointers). Ia tidak bisa berfungsi lebih dari sebuah
garis pedoman atau aide-memoire sebab ia sama sekali tidak memungkinkan kita
untuk membuktikan Sang Absolut diluar diri-Nya sendiri. Tidak ada apapun yang
berada diluar Sang Absolut sehingga bisa menjadi bukti kepada-Nya. Jika makna
“membuktikan” yaitu mengetahui sesuatu melalui sebuah strategi mental,
konsekuensinya yaitu tidak akan mungkin ada “bukti-bukti tentang Tuhan”. Hal ini
juga menjelaskan mengapa metafisika simbolis dan kontemplatif bisa ada tanpa bukti.
Kesimpulannya bahwa kosmos atau alam, sama sekali tidak bisa menjadi sesuatu
yang membuktikan keberadaan Tuhan. Hal tersebut disebab kan hakikat Tuhan
yaitu hakikat absolut yang tidak terbatas. Tentunya alam tidak bisa menjadi entitas
yang berbeda dan terpisah dari Sang Absolut atau berada “dalam” Sang Absolut.
Tuhan yaitu Realitas yang tak terbatas, maka itu apapun yang ada tentu sekali akan
ada di “dalam-Nya”, dan begitu juga Dia akan terlihat berada di dalam alam.
3) Argumen Teleologis (the teological argument)
Argumen teleologis46 merupakan salah satu argumen eksistensi Tuhan, yang
didasarkan pada pemikiran filosofis bahwa dunia atau alam ini menunjukkan
keteraturan, ketentraman dan kesempurnaan yang bertujuan (teleological order), dan
kenyataan tersebut sangat tidak mungkin terjadi begitu saja, tentu ada yang
mengaturnya. Sang Pengatur itulah yang disebut Tuhan (An Intelligent Designer),
atau (Supernatural Designer)47 Argumen kosmologis akan berangkat dari eksistensi
alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sementara argumen-argumen teleologis
akan berangkat dari keteraturan alam, maka itu ia mengisyaratkan kepada sebuah
pemikiran awal yang mengaturnya.
Dalam tradisi Islam argumen teleologis dapat ditelusuri dalam karya al-Ghazali
al Hikmah Fi Mahluqat Allah (kearifan dalam penciptaan mahluk).48 Al-Ghazali
mengutip ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan prinsip teleologis dan antropiknya,
diantaranya:
نودتهت مكلعل لابسو ارهناو مكبديمت نا يساور ضرلاا ىف ىقلاو
“dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itutidak guncang bersama
kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat
petunjuk” (QS. An Nahl [16]:15).
Ibn Rusyd (w 1198) merupakan filsuf muslim yang menggunakan tiga argumen
untuk pembuktian tentang wujud Tuhan. 49 Pertama yaitu dalil al-inayah yang
bersandar pada al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, alasan dibalik luasnya penjelasan al-
Qur’an mengenai al-inayah sebab wahyu berfungsi untuk mengajak manusia
memberdayakan potensi mentalnya dengan perantara argumen rancangan.50 Untuk
mendukung pendapatnya, Ibn Rusyd merujuk ayat;
اداتوا لابجلاو .ادهم ضرلاا لعجن ملا
‘‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gung
sebagai pasak?’’ (QS. An Naba [78]: 6-7).
Kedua yaitu dalil Ikhtira yang didasarkan pada fenomena penciptaan segala
makhluk hidup atau pun makhluk mati di mana kita yakin adanya Allah yang
menciptakan. Oleh sebab itu, kita wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam
dan mengetahui semua realita ini berasal dari Allah. Dalam mendukung pendaptnya,
Ibn Rusyd merujuk ayat :
ناو ۗ هل وعمتجا ولو بابذ اوقلخي نل الله نود نم نوعدت نيذّلا نا ۗ هل اوعمتساف لثم برض سانلا اهياآي
بولطملاو بلاطلا فعض ۗ هنم هوذقنتسي لا ائيش بابّذلا مهبلسي
‘‘Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah!
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor
lalt pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali dari lalat itu.
Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah ’’ (QS. Al-Hajj [22]: 73).
Yang ketiga yaitu dalil harakah sebagai dalil yang meyakinkan dalam
membuktikan adanya Allah menurut Ibn Rusyd dan juga Aristoteles. Gerak selalu
berubah-ubah atau tidak tetap pada suatu keadaan dan semua jenis gerak berakhir
pada Penggerak Pertama yang tidak bergerak sama sekali. Ia menyebut Penggerak
Pertama yang azali yaitu Allah SWT. Ibn Rusyd merujuk ayat berikut untuk dalil
harakah.
نونمؤي لافا ۗيّح ئيش لك ءآملا نم انلعجو اۗمهنقتفف اقتر اتناك ضرلااو تاومسلا نّا آورفك نيذّلا ىري ملوا
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka
mengapa mereka tidak beriman?” (QS. Al-Anbiya [21]: 30).
Sebagai seorang filsuf Ibn Ruysd mempercayai adanya hukum kausalitas, bahwa
sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya sebab semua peristiwa tidak terlepas dari
sunatullah.51
Richard Swinburne52 dengan sederhana mencontohkan keteraturan buku di
perpustakaan yang tersusun berdasarkan abjad pengarangnya oleh petugas
perpustakaan, atau keteraturan langkah kaki manusia saat berjalan santai. Kedua
contoh tersebut yaitu contoh keteraturan yang diciptakan manusia. Maka di atas
keteraturan yang manusia ciptakan terdapat keteraturan yang tidak bisa diciptakan
manusia, yang merupakan komprehensibilitas keteraturan alam sebagai bukti
keberadaan Tuhan, oleh para filsuf ini dimodifikasi sebagai reaksi dan kesadaran
terdalam manusia dalam memahami hakikat dan makna alam semesta ini.53
William Paley (1743-1803),54 mengatakan bahwa mata yaitu alat yang
sempurna untuk mencapai aktivitas melihat. Paley menganalogikan alam dengan
sebuah jam. Anggaplah ada seseorang yang tidak pernah melihat jam dalam
hidupnya, ia kemudian menemukan benda itu ditengah padang pasir. Semua yang ia
lihat pada jam itu yaitu struktur mekanik yang semua bagian-bagiannya saling
bekerja sama. Ia menyimpulkan bahwa benda ini dibuat oleh seorang yang pintar
dengan tujuan tertentu. Begitupun juga dengan alam raya ini, alam penuh dengan
keteraturan. Artinya itu semua ada Dzat penciptanya Yang Maha Kuasa.55
Bukti teleologis tidak bisa menyelamatkan orang-orang beriman yang tidak
berpikiran metafisis dari kesulitan yang mereka rasakan melalui kesadaran mereka
terhadap kesengsaraan dunia ini. Namun, ini tidak menunjukkan kelemahan bukti itu.
Mereka tidak bisa terselamatkan oleh bukti ini semata-mata sebab kedangkalan
pemahaman mereka yang merupakan hasil dari kelalaian atau kemalasan mental.
Sebagian orang-orang beriman lebih memilih untuk berpegang kepada materi dan
mengklaim bahwa pikiran kita tidak mampu menjelaskan ketidaksempurnaan yang
ada dalam ciptaan.
B. Diskursus Kosmologi
Perdebatan dalam sub bab ini terkait dengan beragam diskursus kosmologis
tentang kosmologi dari perspektif al-Quran, sains, teologi, filsafat dan tasawuf
sebagai berikut:
1. Perspektif Al-Qur’an
Dalam Islam dibedakan antara ayat yang tertulis (tadwini) dan ayat yang secara
ontologis berhubungan dengan eksistensi kosmik (takwini). Hal ini tidak berarti ada
dua al-Qur’an melainkan secara metafisis, al-Qur’an mempunyai aspek pengetahuan
yang berhubungan dengan teksnya, sementara aspek batin berhubungan dengan
sifatnya sebagai tipe utama kosmos. Dilihat dari sudut bahwa al-Qur’an yaitu
kosmos di mana manusia hidup dan bernapas, al-Qur’an menyatakan bahwa segala
fenomena alam dan kejiwaan yaitu tanda-tanda keberadaan-Nya. Hal ini memberi
gambaran bahwa hubungan fenomena kosmos dan ayat al-Qur’an yaitu hal yang
esensial dalam konsepsi Islam tentang kosmos dan pengetahuan.56
Ajaran al-Qur’an mengenai penciptaan langit dan bumi merupakan dasar dan
prinsip yang utama dalam Islam. Ayat-ayat yang terkait dengan alam semesta dan
fenomenanya disebut ayat kawniyyah57. Ayat-ayat kawniyyah, menurut Ahmad
Baiquni, mendorong agar umat manusia memikirkan penciptaan alam semesta tidak
hanya dengan cara kontemplasi namun dengan kegiatan observasional yang disertai
dengan pengukuran. Yang demikian mengindikasikan ilmu tidak hanya bersifat
kontemplatif seperti warisan Yunani terhadap pemikiran Islam namun dimulai dengan
cara empiris sehingga tersusunlah dasar-dasar sains. Metode ilmiah, berupa
pengukuran melalui observasi dan pertimbangan rasional mulai dikembangkan dan
diterapkan, telah mengubah astrologi menjadi astronomi.58 Maka sejak abad ke 12 M,
muncul kajian alam semesta yang bersifat observasional di kalangan umat Islam.
Kajian mereka sudah dapat disebut kosmologi, bukan astronomi atau astrologi. 59
Al-Qur’an merupakan eksistensi yang menyerupai alam semesta dan segala
benda yang ada di dalamnya berisi semua elemen eksistensi yang universal. Tersusun
dari kata-kata, dengan sendirinya al-Qur’an menuju simbolisme tentang pena dan
logos. Pena merupakan lambang pengetahuan-Nya, sementara kertas (Lauhul
mahfudz) yang melambangkan manifestasi dari kosmos yang substansial, material,
dan pasif 60. Pena melambangkan pengetahuan, sementara kertas melambangkan
substansi. Dari sini muncul pandangan bahwa kosmos tercipta dari kata-kata (kun).
Seperti halnya
نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإو ۖ ض أر ألْٱو توٰمٰسّلٱ عيدب
“Allah Pencipta langit dan bumi, apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia
hanya berkata kepadanya: "Jadilah!" maka jadilah sesuatu.” (QS. Al-Baqarah[2]:
117).
نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإ ۚ ٰٓهنحٰأبس ۖ دلو نم ذخّتي نأ لّلّ ناك ام
“Tidak patut bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah
menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah
sesuatu itu.” (QS. Maryam [19]: 35).
نوكيف نك هل لوقي نأ أًـأيش دارأ ٰٓاذإ ٰٓهر أمأ ٰٓامّنإ
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata
kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah sesuatu itu.” (QS. Yaasiin [36]: 82).
نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإف ۖ تيميو ى أحي ىذّلٱ وه
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak
menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah
sesuatu itu.” (QS. Al-Mu’min [40]: 68).
نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإ ۚ ءٰٓاشي ام قل أخي لّلّٱ كلذٰك لاق ۗرٌشب ىنأسس أمي أملو دٌلو ىل نوكي ىّٰنأ بّر أتلاق
نوكيف
“Dia (Maryam) berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai
anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?". Dia (Allah)
berfirman, "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki. Apabila Dia
hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah
sesuatu itu.” (QS. Al-Imran [3]: 47).
نوكيف نك هل لاق مّث بارت نم هقلخ ۖ مداء لثمك لّلّٱ دنع ىٰسيع لثم نّإ
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi AllAh, seperti (penciptaan)
Adam. Dia menciptakan dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya: "Jadilah"
(seorang manusia), maka jadilah sesuatu itu”(QS. Al-Imran [3]:59) .
Al-Qur’an memiliki lebih 700 ayat tentang penciptaan alam semesta dan
menyebutkan 30 istilah tentang anjuran ‘berpikir’ dan ‘belajar’. Sebagaimana yang
diupayakan penafsirannya oleh Ibnu Abbas dan Saniah al-Suyuti.61
Prinsip-prinsip dasar al-Qur’an berbeda dengan buku-buku kosmologi atau
buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan penciptaan alam semesta
secara sistematis.62 Meskipun dalam al-Qur’an tidak ditemukan keterangan secara
rinci yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta namun disepakati bahwa
proses penciptaan alam semesta yaitu Allah sebagai Sang Khaliq dan alam sebagai
makhluk (ciptaan).63 Menurut Sirajuddin Zar, istilah-istilah yang diungkapkan al-
Qur’an tentang penciptaan diantaranya: Khalq, Bad’, Fathr, Shun, Ja’l, Amr, Nasy’,
Bad.64
Beberapa ayat yang menggambarkan tentang asal usul alam semesta bahwa
Allah yang maha kuasa menciptakan alam semesta sebab iradah-Nya, diantaranya
لاو يلو نم هنود نم مكلام ۗ شرعلا ىلع ىوتسا مث ماّيا ةتس يف امهنيب امو ضرلااو تومسلا قلخ يذلا الله
نوركذتت لافا ۗ عيفش
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada
seorangpun penolong maupun pemberi syafa’at selain Dia. Maka apakah kamu
tidak memperhatikan?’’ (QS. As-Sajdah [32]: 4).
ادضع نيلضملا ذختم تنكامو ۖ مهسفنا قلخ لاو ضرلااو تومسلا قلخ مهتدهشاآم
“Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucuunya) untuk menyaksikan
penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan Aku
tidak menjadikan orang yang menyesatkan itu sebagai penolong’’ (QS. Al-Kahf [18]:
51).
ميلع ءيش لكب وهو ۗ تومس عبس نهىوّسف ءآمسلا ىلا ىوتسا مث اعيمج ضرلاا يف ام مكل قلخ يذّلا وه
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu
kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannta menjadi tujuh langit.
Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu’’ (QS. Al-Baqarah [2]: 29).
M. Quraish Shihab merujuk pendapat ilmuwan Mesir (Zaghlul an-Najjar)
tentang konsep penciptaan alam semesta, bahwa proses penciptaan alam raya melalui
enam periode sebagai berikut:
Pertama yaitu periode ar-Ratq yaitu gumpulan yang menyatu. Periode kedua
yaitu al-Fatq yaitu masa terjadinya dentuman dahsyat (Big Bang) yang
mengakibatkan terjadinya awan atau kabut asap. Periode ketiga yaitu terciptanya
unsur-unsur pembentukan langit yang terjadi melalui gas hidrogen dan helium.
Periode keempat terciptanya bumi dan benda-benda angkasa dengan berpisahnya
awan berasap itu serta memadatnya akibat daya tarik. Periode kelima yaitu masa
penghamparan bumi serta pembentukan kulit bumi lalu pemecahannya, pergerakan
oasis dan pembentukan benua-benua dan gunung-gunung serta sungai-sungai dan
yang lain. Periode keenam adalam pembentukan kehidupan dalam bentuknya yang
paling sederhana, hingga penciptaan manusia.65
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan dalam al-Qur’an
dapat kita jumpai dalam fase-fase penciptaan alam semesta sebagai berikut: bahwa
alam diciptakan selama 6 hari sesuai dengan ayat “Allah yang menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada seorangpun penolong maupun pemberi
syafa’at selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. As-Sajadah
[32]: 4)66. Fase pertama dimulai dengan ledakan besar (Big Bang) yang dijelaskan
dalam ayat “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
itu keduanya dahulu menyatu; kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak
beriman?” (QS. Al-Anbiya [21]: 30)67.
Selanjutnya fase kedua yaitu pembentukan langit yang tertuang dalam ayat
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian
Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia
maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah [2]: 29).68 Fase ketiga, fase ini
yaitu proses penciptaan tata surya, termasuk bumi dan matahari yang dijelaskan
dalam ayat “Dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita), dan menjadikan siang-
nya (terang benderang)” (QS. An-Nazi’at [79]: 29).69 Pada fase keempat yaitu
terjadinya lautan dan daratan yang berasal dari pemadatan kulit bumi atau yang
disebut penghamparan bumi di mana tertuang dalam ayat “Dan setelah itu bumi Dia
hamparkan” (QS. An-Nazi’at [79]: 30).70 Berikutnya, fase kelima hadirnya air dan
atmosfer sebagai sumber kehidupan yang mana dijelaskan dalam ayat “…Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air …” (QS. Al- Anbiya[21]: 30).71
Dan terakhir, fase keenam, yaitu lahirnya kehidupan di bumi dimulai dengan adanya
makhluk bersel tunggal. Pada fase ini juga dimulai proses-proses geologis seperti
pergeseran lempengan tektonik.
Kandungan al-Qur’an memotivasi manusia untuk mempelajari ayat-ayat (tanda-
tanda), melalui alam dan sejarah, agar manusia memahami konsep dan prinsip
keterciptaan alam. Diantaranya al-Qur’an menjelaskan tentang fenomena alam
semesta bahwa langit dan bumi dipisahkan dari satu nukleus, dari pemisahan itu,
maka terbentuklah bintang dan galaksi sama halnya dengan penjelasan sains tentang
teori big bang. 72
Mirza Tahir Ahmad menjelaskan bahwa sekitar 13 abad sebelum Edwin
Hubble(1889-1953) menemukan konsep alam semesta yang mengembang
(expanding universe) pada tahun 1920-an, model kosmologi Big Bang dan model
kosmologi yang lain, al-Qur’an telah menjelaskan bahwa konsep ekspansi alam telah
dijelaskan secara eksklusif seperti halnya pada :
نوعسوملاّناو دياب اهنينب ءآمسّلاوَ
”Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar
meluaskannya.’’ (QS.Az-Zāriyāt [51]: 47).
نودهاملا معنفاهنشرف ضرلااو
”Dan bumi telah Kami hamparkan; maka (Kami) sebaik-baik yang
menghamparkan.’’ (QS. Az-Zāriyāt [51]: 48).
Hal ini menjelaskan bahwa proses penciptaan alam secara berproses
(berkembang) dan tidak statis. Seperti halnya QS. 21: 31 “Tidakkah orang-orang kafir
melihat bahwa langit dan bumi yaitu massa yang tertutup (ratqan), lalu Kami
cengkehkan mereka sampai hancur (fataqna)? Dan Kami buat dari air setiap makhluk
hidup. Maka apakah mereka tidak beriman?” Ayat ini menunjukkan bahwa segala
sesuatu di alam semesta pada awalnya yaitu satu wujud dan kemudian terpisah-
pisah yang berarti keseluruhan materi diciptakan melalui ledakan besar.73
Dapat disimpulkan bahwa kosmologi dalam perspektif al-Qur’an, alam semesta
muncul dari iradah Tuhan melalui kalam kun sebagai petunjuk bagi manusia.
2. Perspektif Sains
Saintisme modern bermula dengan munculnya Revolusi Copernican pada zaman
Renaisan abad ke-16 M dan menemukan bentuknya yang mutakhir pada abad ke-17
dibawah pengaruh rasionalisme Cartesian dan terutama sekali berkat lahirnya
kosmologi Newtonian. Penemuan-penemuan Copernicus, Kelper dan Galileo di
bidang Astronomi, menggunakan jasa geometri dan matematika, berhasil mengubah
pandangan kaum intelektual tentang pusat perputaran alam semesta. Sebelumnya
mereka mengikuti pandangan resmi gereja bahwa bumi merupakan pusat peredaran
alam semesta (Geosentrism). Planet-planet di angkasa raya, bulan dam matahari,
semuanya beredar mengelilingi bumi. Copernicus membuktikan melalui penelitian
ilmiahnya bahwa sesungguhnya bukan bumi, namun matahari yang menjadi pusat
perputaran alam semesta (Heliosentrism).74
Dampak penemuan ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang
terhadap agama dan menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru yang serba
ilmiah dan rasional. Terlebih-lebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di
bidang fisika, yaitu tentang gerakan dan gravitasi yang merupakan sumber perputaran
segala sesuatu di alam semesta ini. Penemuan inilah yang melahirkan teori baru
dibidang fisika dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi atau falsafah
kealaman yang ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan falsafah dan
cabang-cabang ilmu lain di luar fisika seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi,
etika dan ilmu politik.75
Newton dan para ilmuan sesudahnya berhasil membebaskan manusia dari
kepercayaan magis alam gaib, sekaligus memenjara manusia dalam belenggu
keyakinan terhadap kekuatan magis science. Dalam alam pikiran Newton tidak ada
ruang bagi aktivitas kerohanian. Tuhan, kesadaran, hati nurani, cinta kasih, emosi dan
intuisi – semua dicampakkan keluar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada hukum
gerakan dan gravitasi. Alam hanya terdiri dari kekuatan material yang buta. Perbuatan
manusia yang lahir dari kesadaran dan pikirannya dengan sendirinya diredusir
menjadi materi yang bergerak disebabkan kekuatan buta.76 Newton dengan teori
Gravitasi menyatakan bahwa “penjelasan ilmiah tentang alam hanya bisa
menerangkan perilaku jagat raya – bukan tentang Pencipta.
Stephen Hawking,77 dalam teori black hole mengatakan; “bahwa Tuhan tidak
tidak ada hubungannya dengan penciptaan alam. Rasio yang dibangun yaitu bahwa
alam memiliki hukum gravitasi, sehingga alam bisa mencipta dirinya sendiri.”
Selanjutnya Hawking menjelaskan tentang Teori M78 sebagai teori pamungkas alam
semesta, juga menawarkan jawaban untuk persoalan penciptaan “bahwa alam
semesta bukan satu-satunya alam semesta – dan memprediksi bahwa ada banyak
sekali alam yang tercipta dari ketiadaan, dan penciptaan tidak membutuhkan campur
tangan Tuhan.” Selanjutnya ia mengatakan bahwa gagasan tentang “Tuhan
mubazir”79 begitu juga dengan tesis David Hume “tidak ada alasan mengapa alam
semesta mengada”. Tesis yang sama dimunculkan oleh Bohar dan Heinsberg, bahwa
beberapa peristiwa kuantum terjadi tanpa sebab, dengan alasan “sebab rumitnya
penjelasan sesuatu itu ada”.80 Jadi seluruh sains berlangsung atas asumsi bahwa ada
alasan mengapa sesuatu ada sebagaimana adanya maka tidak ada penyebabnya.
Ada beberapa reaksi terhadap kosmologi Big Bang salah satunya yaitu model
Big Bang singularitas tanpa sebab, seperti yang diyakini oleh Q. Smith bahwa alam
semesta yaitu wujud dari ketiadaan tanpa sebab: “Tuhan tidak ada alasan untuk
meyakini bahwa ada argumen kuat, argumen posteriori, ataupun argumen apriori bagi
penyebab Big Bang. Dengan demikian, kita mencapai sebuah kesimpulan umun: tidak
ada filsafat kosmologi Big Bang yang menjadikan beralsan untuk menolak tesis
fundamental kosmologi Big Bang: bahwa alam semesta eksis tanpa sebab.”81
Selanjutnya anggapan bahwa alam muncul dari creation continua, yang merujuk pada
gagasan perubahan di dalam materi yang sudah ada, menurut penjelasan Ian G.
Barbour: “penciptaan berkelanjutan mengungkapkan tema imanensi dan partisipasi
dalam alam yang berlanjut. Tuhan membangun di atas apa yang sudah ada; tiap-tiap
level wujud memerlukan struktur level-level yang lebih rendah.”82 Seperti yang
dikatakan oleh Wolfhart Pannenberg bahwa; “formula creato continua
memperanggapkan konsepsi ketat creato ex nihilo dalam hal sejauh ia mencirikan
kegiatan pelestarian oleh Tuhan sebagai kelanjutan penciptaan dari ketiadaan. sebab
alasan ini saja, gagasan penciptaan berkelanjutan tidak bisa diperlawankan dengan
formula creato ex nihilo.”83
Kosmologi kuantum beranggapan bahwa semesta dipengaruhi oleh efek-efek
kuantum, terutama pada titik yang sangat dekat dengan Dentuman Besar, katakanlah
sebelum waktu Planck, 10 detik setelah Dentuman Besar. Pada waktu itu, semesta
berukuran cukup kecil (diametralnya 10-33 cm, yakni panjang Planck) hingga dapat
dipengaruhi oleh efek-efek kuantum. Pada ranah itulah dapat diduga akan terjadi
fluktuasi energi yang tak ditentukan sebelumnya. Atkins berusaha menghilangkan
setiap pembicaraan tentang tindakan Tuhan dengaan menganggap bahwaa realitas
fisik dapat lahir dari realitas konseptual atau matematik murni melalui sejenis
keniscayaan alamiah. Atkins berusaha mengonstruksi semesta yang berasal dari
ketiadaan. Dia mengira bahwa fluktuasi dapat terjadi dalam ketiadaan, cepat atau
lambat melahirkan secara fisik.84
Dari sudut pandang sains modern, seluruh sejarah semesta yaitu sejarah
evolusi.85 Gagasan tentang evolusi atau seleksi alamiah, spesies-spesies (baik
tumbuhan maupun hewan) muncul bukanlah hasil dari kreasi agen dari luar dirinya
(yang disebut Tuhan), namun sebagai adaptasi mereka terhadap tuntutan dari seleksi
alamiah. Menurut Darwin, agar sebuah spesies bisa bertahan hidup, ia harus berusaha
mengadakan transmutasi secara evolutif, seperti spesies baru. Jadi, dorongan
alamiahlah yang menyebabkan timbulnya spesies-spesies tersebut, dan sama sekali
bukan hasil karya atau desain Tuhan atau agen apapun yang transenden dibalik alam
semesta ini.86
3. Perspektif Teologi
Konsep penciptaan alam creatio ex nihilo merupakan doktrin dasar dari agama-
agama Ibrahim (Abrahimic faiths) bahwa dunia tercipta dari ketiadaan dan semua
berasal dari Yang Transenden yakni Tuhan.87 Hal ini kemudian menjadi perdebatan
baik dikalangan filsuf dan teolog dalam Kristen Islam dan Yahudi.
Dalam teologi Islam alam diciptakan bukan berasal dari sesuatu (asy-ya’, a’yan,
jawahir, a’radh), namun diciptakan dari tiada creatio ex nihilo: al-ijad min al-a’dam-
kemudian mewujud, dengan sifat Qudrah-Nya Allah menciptakan segala sesuatu atas
Iradah-Nya sendiri.88 Pendapat tentang kebaharuan dan kekadiman alam menjadi
perdebatan para teolog, namun uraian rinci tentang penciptaan alam tidak menjadi
perdebatan para teolog namun secara umum para teolog beragam pendapatnya tentang
hubungan Tuhan dengan alam dan fokus bahasannya lebih pada upaya manusia dalam
memahami keesaan Sang Pencipta dan kekuasaan Sang Pencipta. Seperti halnya
aliran al-Maturidiyah dalam kitab at-Tauhid89 bab Ilahiyat yang dijelaskan hanyalah
seputar adanya Sang Pencipta bagi alam, kebaharuan alam, dan keesaan Sang
Pencipta.90
Al-Maturidia91 berpendapat tentang kebaharuan alam dan keharusan adanya
yang menciptakan, bahwa tidak ada seorangpun yang mengklaim tentang ke qadiman
alam, jika ada bagi al-Maturidi berarti orang itu berbohong. Berdasarkan konsep indra
bahwa semua entitas bisa dirasakan pasti membutuhkan sesuatu, sementara sifat
qidam mensyaratkan tidak butuh pada sesuatu yang lain. Qidam cukup dengan ke
qadiman-nya sebab syarat ke qadiman yaitu al-Ghani. Sementara, yang huduts
memerlukan pada yang lain, artinya semua yang bisa dilihat secara indrawi pasti
penuh dengan unsur-unsur yang bertolak belakang.
Para teolog Mu’tazilah mulai mengembangkan argumen kebaharuan alam pada
abad ke-3 sampai ke-9, yang kemudian dikembangkan oleh mazhab Asy’ariyah.
Mazhab Asy’ariyah menekankan karakter keterputusan dan atomistik dari materi,
ruang dan waktu.92 Diterapkan pada aktivitas Tuhan di alam, perspektif ini dikenal
oleh Barat sebagai occasionalism.
Atomisme Asy’ariyah94 terbangun atas perspektif teologis tertata tentang alam
yang terkandung dalam wahyu Islam. Sebuah teologis yang terkait dengan nama-
nama Tuhan, atribut dan kualitas. Dengan tujuan membangun kontruksi religius
untuk menggambarkan bahwa Tuhan yaitu Yang Maha tidak terbatas, juga sebagai
cara untuk mempertahankan keabsolutan Tuhan dan keterlibatan langsung-Nya pada
kedatangan sesuatu ke alam wujud dan kebertahanannya dalam wujud dari satu saat
ke saat lain.95 Untuk membuktikan bahwa bahasan rasional tentang atomisme
dibenarkan secara scriptural (religius) Asy’ariyah mendefinisikan aksiden (‘aradh)
sebagai “sesuatu yang tidak bertahan lama… namun lenyap saat menjelang
kemunculannya”: “…kamu menghendaki hal-hal duniawi (‘aradh) sedangkan Allah
menghendaki akhirat untukmu” (QS. Al-Anfal [8]: 67).
Pendekatan Asy’ariyah terhadap atomisme disimpulkan sebagai berikut:
pertama, mereka merumuskan sebuah kerangka teoritis umu