Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori semesta muslim 2. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Desember 2024

teori semesta muslim 2


 aan terhadap teks kosmologi Ibn 

‘Arabi sebab  pendekatan ini merupakan interpretasi teks yang relevan untuk 

penelitian ini. 

Pendekatan hermenetik fenomenologi sebagai upaya untuk memahami secara 

menyeluruh kandungan teks yang bersifat filosofis sehingga konsep-konsep filosofis 

dapat dipahami secara akurat dan komprehensif melalui teknik analisa data sebagai 

berikut:154 

Pertama, melakukan bracketing dalam penelitian filsafat disebut epoche, yakni 

menyimpan asumsi, keyakinan dan pengetahuan yang penulis miliki tidak 

mendahului data dan informasi tentang objek yang diteliti dengan menetapkan fokus 

kajian terhadap konsep kosmologi Sufi Ibn ‘Arabi sebagai sebuah ajaran yang 

mengandung makna kesadaran kosmik. Tema ini dipilih berlandaskan 

keterjangkauan referensi, waktu dan bersesuaian dengan konsentrasi pemikiran yang 

penulis tetapkan. Selanjutnya penulis membuat skema teori dengan melihat 

argument-argumen filosofis tentang wujud Tuhan, perbedaan konsep, asumsi dan 

paradigm, kosmologi dari beragam perspektif dalam diskursus teori di bab 2. 

Kedua, dengan menggunakan pendekatan historis155 sebagai sebuah upaya untuk 

menelusuri asal usul dan perkembangan pemikiran Ibn ‘Arabi sehingga dapat 

diketahui melalui karya-karyanya serta syarah-syarah yang dilakukan oleh murid-

muridnya. Dalam hal ini penulis fokus pada syarah Fusus al-Hikam yang ditulis oleh 

Dawoed Qaysari. 

Ketiga,  dengan pendekatan interpretasi, penulis berupaya untuk memahami teks 

ajaran Ibn ‘Arabi yang cenderung paradoksal namun  menjadi lebih mudah untuk 

dipahami, sebab  secara teoritis kitab Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi yang terkait 

dengan kosmologi banyak diinterpretasi oleh Chittick156, Moh. Haj Yoesef157 dan 

lain-lain, sehingga terlihat ide utama (main idea) dan kerangka teoritis (theoritical 

framework)158dari karya-karya Ibn ‘Arabi.  Terutama konsep tentang wahdatul Wujud 

dan tajalli. 

 

 

 

Keempat, secara struktural penelitian ini akan melihat sususnan logis sistimatis 

dari pemikiran Ibn ‘Arabi dan menganalisis sistematika pemikirannya, sehingga bisa 

memberikan gambaran yang utuh terhadap seluruh konsep metafisikanya. 

  

G. Sistematika Pembahasan  

Secara keseluruhan, penelitian ini terdari enam bab. Bab pertama yaitu  bagian 

pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi, perumusan dan 

pembatasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, penelitian terdahulu 

yang relevan, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Bab pertama ini 

merupakan kerangka awal dan dasar dari penelitian ini. 

Bab kedua berisi tentang perdebatan akademik meliputi; pertama, ragam 

argumen wujud Tuhan, mulai dari argumen ontologis, kosmologis dan teolologis – 

dengan tujuan untuk membedah ragam argumen bukti-bukti keberadaan Tuhan. Poin 

kedua diskursus kosmologis untuk melihat perbedaan epistemologi dan paradigma 

antara al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan yang autentik dan autoritatif, sains, 

teologi, filsuf dan tasawuf, menjadi pintu masuk untuk melihat posisioning 

kosmologi Ibn ‘Arabi. Selanjutnya poin ketiga, paradigma kesadaran kosmik, 

mengurai tentang konsep simbol, kosmos dan ruang kesadaran serta lokus kesadaran 

kosmik. Sub bab ini bertujuan mengurai makna dibalik simbol kosmos dan 

menjelaskan hakikat manusia sebagai lokus seluruh pengetahuan nomena dan 

fenomena. 

Bab ketiga dinamika spiritual dan pemikiran metafisika Ibn ‘Arabi berisi tentang 

sekilas riwayat hidup, riwayat spiritual, dan karya-karya intelektual Ibn ‘Arabi (kitab 

futuhat al-Makiyyah, Fusus al-Hikam dan Shajaratul Kaun) ketiga kitab ini sebagai 

sumber utama yang menjadi rujukan yang terkait dengan tema kosmologi. Poin 

selanjutnya yaitu  pemikiran metafisika Ibn ‘Arabi sebagai fondasi dan pengantar 

sebelum mendedah konsep kosmologi Ibn ‘Arabi dengan mengeksplore ajaran 

tentang wujud al-haqq, tanzih-tashbih dan al a’yan al-tsabitah.  

Bab keempat berisi tentang konsep kosmologi Ibn ‘Arabi terkait dengan Tajalli 

sebagai titik pijak manifestasi yang menjelaskan tentang konsep tajalli dan 

bagaimana tajalli pertama dan kedua memanifestasi, dari dimensi ontologi diuraikan 

tiga basic penciptaan, yaitu hakikat Muhammadiyah sebagai dimensi Dzat Tuhan, al-

harkah al-hubbiyah sebagai dimensi Iradah Tuhan, Nafas ar-Rahman sebagai 

dimensi Kalam Kun. Selanjutnya, mengurai tentang lima derajat Realitas dari hierarki 

Ahadiyyah, Wahidiyyah, serta tiga derajat kosmos yakni tentang dimensi 

makrokosmos (Jabarut-Malukut-Mulk), mikrokosmos (Ruh-Jiwa-Raga), dan dimensi 

alam insani sebagai kesempurnaan manifestasi yang dikenal dengan Insan Kamil.  

Bab kelima mengkaji kemungkinan relevansi ajaran kosmologi Ibn 'Arabi 

terhadap kesadaran spiritual manusia. Bab ini merupakan hasil analisa dari teori 

kesadaran kosmik dan pembacaan secara hermeneutik-fenomenologis terhadap 

ajaran kosmologi Ibn ‘Arabi serta relevansinya terhadap kesadaran spiritual manusia 

 

 

bahwa setiap derajat kosmos memiliki relasi eksistensial dengan keadaan jiwa 

manusia. Uraian bab ini diawali dengan relasi kesadaraan kausalitas dimana Tuhan 

sebagai Sang Penyebab, relasi simbolik menjelaskan bahwa kosmos sebagai simbol 

anagogic, dan relasi eksistensial antara Tuhan, manusia, dan kosmos. Uraian 

selanjutnya tentang tiga derajat kesadaran spiritual dengan tiga basis epistimologi 

yaitu derajat shari’at dengan basis logika, derajat thariqat dengan basis intelek, dan 

derajat haqiqat dengan basis shuhud. Bagian akhir bab ini menganalisis implikasi 

kesadaran spiritual pada puncak perjalanan jiwa menuju transkosmik serta urgensi 

ajaran tasawuf dalam kehidupan modern dan implikasinya dalam dimensi etik yang 

meliputi tasawuf menghubungkan kembali ke akar tradisi, dari kesalehan individu 

menuju kesalehan sosial, dan refleksi kesadaran tauhid dalam dimensi etika 

lingkungan. 

Bab keenam yaitu  bab penutup yang terdiri kesimpulan dan rekomendasi 

penelitian. 

  

 


DISKURSUS KOSMOLOGI DAN PARADIGMA KESADARAN KOSMIK 

 

Pada bab ini akan membahas perdebatan tentang argumen wujud Tuhan dari 

beberapa filsuf yang terkait dengan argumen ontologi, kosmologi, dan teleologis. 

Pada bagian berikutnya akan diuraikan berbagai ragam diskursus kosmologi 

perspektif al-Qur’an, sains, filsafat, teologi, dan tasawuf. Selanjutnya, pada bagian 

paradigma kesadaran kosmis akan diuraikan konsep simbol dan bahasa kosmik, 

kosmos dan simbol kesadaran, serta manusia sebagai lokus kesadaran kosmos. 

 

A. Argumentasi Wujud Tuhan 

Perdebatan terhadap wujud Tuhan tidak hanya didasarkan pada doktrin teologi 

yang berbasis pada wahyu atau kitab suci namun  membutuhkan argumen rasional yang 

berbasis pada logika filosofis1. Berbagai argumen penalaran rasional menjadi kunci 

perdebatan dalam filsafat yang dimulai dengan pertanyaan “Apakah Tuhan itu ada?” 

dan “Bagaimana Tuhan mewujud?”. Perdebatan tentang eksistensi Tuhan menjadi 

kajian filsafat sebagai ikhtiar untuk mencari jawaban masalah wujud tertinggi secara 

kritis.2 

Cerminan logis para filsuf tentang eksistensi Tuhan salah satunya yaitu  sebagai 

pertanggungjawaban terhadap pengakuan keimanan sebagaimana terdapat dalam 

ajaran-ajaran agama besar seperti Islam, Yahudi, dan Kristen. sebab  fondasi setiap 

agama yaitu  doktrin atau keyakinan tentang Tuhan. Nasr menekankan makna agama 

(religio) sebagai ikatan antara manusia dan al-Haqq yang di dalamnya terkandung 

metode dan doktrin tentang Sang Mutlak yang bertujuan mengembalikan manusia 

agar terhubung kembali dengan al-Haqq.3 Meskipun kepercayaan pada hakikatnya 

bersifat emosional namun  membutuhkan penjelasan rasional sebagai penunjang iman.4 

sebab  pada dasarnya argumen hanya memuaskan secara akal sedangkan iman tidak 

hanya bersifat logis dan rasional namun  merupakan pengalaman religius.5 Para filsuf 

 


dan teolog mengajukan ragam argumen tentang eksistensi wujud namun  ujung yang 

dituju yaitu  sama, yakni pencarian tentang eksistensi Tuhan.6 Hal ini menjelaskan 

agama merupakan jalan atau tali penghubung manusia kepada sisi Ketuhanannya.7 

Dalam filsafat Yunani, dua tokoh yang berpengaruh besar yang meletakkan ide-

ide dasar tentang pencarian esensi dan hakikat dibalik benda yang merupakan urusan 

logika yaitu  Plato (429-348 SM)8 dan Aristoteles (384-322 SM)9. Menurut Plato, 

mendefinisikan dunia menjadi dua, yakni “dunia maujud” (world of becoming) yang 

selalu berubah dan tidak permanen, dan “dunia wujud” (world of being) yang 

merupakan dunia ideal yang dihuni oleh “ bentuk-bentuk” ideal yang bersifat abadi 

dan tidak berubah.10 Plato pula yang pertama menggunakan istilah theologia 

 

 


9Aristoteles lahir sekitar tahun 384 SM di Sagira di Thrace. Ayahnya yaitu  dokter 

pribadi raja Macedonia. Kira-kira umur 8 tahun ia pergi ke Athena dan menjadi murid Plato 

selama dua puluh tahun hingga Plato wafat. Aristoteles juga mendirikan sekolah Lyceum 

Athena, yang menjadi saingan Akademi Plato. Ia melarikan diri ketika Alexander meninggal. 

Meski ia murid Plato, namun  ia mengkritik Plato dan mengajukan teorinya sendiri. Berbeda 

dengan kecemerlangan Plato yang berwatak halus, gaya Aristoteles kasar dan keras. Dari 

karya Aristoteles muncullah istilah metafisika (metaphysica), bahasa filosofis yang memuat 

penelitian mengenai dunia “yang Satu” dibalik “yang banyak”. Aristoteles diperkirakan 

meninggal tahun 322 SM. 

 Konsep utama Plato tentang eksistensi Tuhan yaitu forma dari Yang Baik, 

forma tertinggi di dunia, forma yang diidentikkannya dengan Allah. Aristoteles 

memikirkan Penggerak Yang Tak Tergerakkan yang menyebabkan semua perubahan 

dan gerakan dan keinginan akan kesempurnaan di semesta telah diidentikan dengan 

Allah.12 Sebagai Penggerak Pertama terlepas dari materi maka Aristoteles 

mengistilahkan Penggerak Pertama ini sebagai Aktus Murni.13  

Sementara para filsuf muslim mendiskusikan beberapa argumen tentang 

eksistensi Tuhan, seperti yang dijelaskan oleh Majid Fakhry dengan urutan sebagai 

berikut: (1) dalil al-hudust (a novitate mundi), (2) dalil al-imkan (a contingent 

mundi), dan (3) dalil al-inayah (a teleological argument).14 Kelompok pertama 

diwakili oleh Al-Kindi (w.866), kelompok yang kedua Ibnu Sina (w.1037), dan yang 

terakhir Ibn Rusyd (w.1198). Dalam penjelasan berikut tidak diuraikan sebagai mana 

kategori yang dijelaskan Majid Fakhry, namun  didiskusikan dalam tiga argumen yaitu 

argumen ontologis, argumen kosmologis dan argumen teleologis. Seperti penjelasan 

berikut ini: 

 

1) Argumen Ontologis (The ontological argument) 

Argumen ontologis15 yaitu  argumen yang didasarkan pada Realitas yang 

mewujud melalui konsep yang hanya didasarkan pada logika (ilmu tentang wujud 

Tuhan yang sempurna)16namun  konsep tersebut tidak menyebabkan sebuah 

kesimpulan bahwa kebenaran bergantung pada pembuktian (proof) sebab  kebenaran 

tidak bisa diciptakan oleh pikiran. Namun, kebenaran yang telah menampilkan 

dirinya dalam pikiran, melalui sebuah kunci yang diberikan operasi mental. Artinya 

bahwa Realitas itu akan tampil pada pikiran manusia pada saat pikirannya melakukan 

 

aktifitas atau operasi mental tertentu. Argumen ini dipopulekan oleh Kant kemudian 

menjadi argumen ontologis eksistensi Tuhan.17 

Setiap argumen akan tampil berdasarkan sebuah keyakinan tertentu. Oleh sebab  

itu, bukti ontologis sebagaimana pernah dipresentasikan oleh Saint Augustine (354–

430) dan Saint Anselm, hanya akan berarti bagi seseorang yang sudah memiliki 

beberapa keyakinan awal. 

St. Anselmus (1033-1109)18 , Anselmus mengawali argumennya dengan premis 

‘Tuhan yaitu  sesuatu yang tidak ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain 

Dia’19 dalam bukunya proslogion,20 dari premis di atas argumen Anselm berkembang 

dalam rangkaian tahapan dengan cara sebagai berikut: 

- Ia yaitu  satu kebenaran konseptual bahwa Tuhan yaitu  keberadaan terbesar yang 

bisa dibayangkan dalam pikiran. 

- Tuhan ada dalam pikiran kita sebagai sebuah ide. 

- Baik di dalam atau di luar pikiran Tuhan yaitu  keberadaan yang terbesar.  

- Maka itu, Tuhan itu harus ada dalam pikiran maupun di luar pikiran.  

Kesemuanya itu dapat dirangkum dalam satu argumentasi bahwa Tuhan yaitu  

pengada terbesar yang dapat dipahami, lebih besar yang berada dalam kenyataan 

daripada yang ada dalam pikiran. Maka kesimpulannya Allah itu ada. Dengan kata 

lain, Tuhan yang tertinggi, terjauh, dan terdalam dari yang dipikirkan manusia.

 

Argument St. Anselmus memunculkan pertanyaan apakah ada sesuatu yang 

harus berada hanya sebab  kita memikirkannya. Bukti atau argumen Anselmus 

disandarkan pada pemikiran murni dan bukan pada pengalaman yang bersifat a-

priori, yakni tanpa pengetahuan sebelumnya mengenai dunia namun  kita dituntut 

untuk memahaminya.22 Baginya manusia dapat memikirkan sesuatu yang 

kebesarannya tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu 

Yang Maha Besar, Maha Sempurna, sesuatu Yang Tak Terbatas. Dzat yang serupa 

ini mesti mempunyai wujud dalam hakikat, sebab kalau Ia tak memiliki wujud dalam 

realitas dan hanya mempunyai wujud dalam pikiran, Dzat itu tidak mempunyai sifat 

lebih besar dan sempurna daripada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam 

alam hakikat lebih besar dan sempurna daripada yang ada dalam pikiran. Dan wujud 

itu yaitu  Tuhan. Dengan demikian, Tuhan itu pasti ada.23 

Rene Descartes (1596-1650),24 untuk argumen eksistensi Tuhan, menggunakan 

bukti ontologis dan mengklaim bahwa eksistensi Tuhan bersifat niscaya. Descartes 

sangat dipengaruhi oleh Plato dan yakin bahwa manusia dilahirkan dengan ide-ide 

bawaan. Dengan demikian, Descartes menemukan dua cara untuk mencapai kepada 

penerimaan adanya Tuhan, yang pertama secara kausal, yakni menurut skema sebab 

akibat dari fakta bahwa manusia selalu mencari kesempurnaan kebenaran namun  

sekaligus diimplikasikan bahwa manusia serba terbatas dan bukan sumber 

kesempurnaan. Maka, bagi Descartes harus ada penyebab pertama yang bukan “Aku” 

yang menanamkan kesempurnaan dalam diriku namun  dia yaitu  Tuhan. Kedua, 

secara ontologis menurut prinsip “eksistensi = Ada” dengan mengambil alih argumen 

Anselmus disebut argumen ontologis Descartes dalam filsafatnya “cogito ergo sum, 

sive existo” (“aku berfikir maka aku ada, atau lebih tepat aku bereksistensi”). Jika 

ada pernyataan bahwa Tuhan itu sempurna, maka manusia menyandang predikat 

sempurna sebab  predikat sempurna tidak mungkin berdiri sendiri tanpa terkait 

dengan eksistensi yang riil. Kesimpulannya yaitu  Tuhan itu ada.25 

Benedict Spinoza (1632-1677) memulai filsafatnya dengan pengertian substansi, 

sebagai jawaban terhadap problem filsafat Descartes tentang bagaimanakah Tuhan, 

jiwa dan dunia materi bisa dipikirkan sebagai suatu kesatuan yang utuh.26  Spinoza 

menggunakan bukti ontologis di dalam Ethics-nya, meskipun definisinya akan Tuhan 

berbeda baik dari definisi Kristen maupun Yahudi. Di dalam posisi kesebelas dari 

 


 

Buku I, Spinoza menulis “Tuhan atau substansi, yang terdiri dari atribut-atribut yang 

tidak terbatas, masing-masingnya menyatakan esensialitas abadi tanpa batas, harus 

ada.” Spinoza mendifinisikan substansi sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya 

sendiri dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya substansi yaitu  sesuatu yang secara 

konseptual tidak membutuhkan konsep yang lain untuk membentuknya. Maka 

substansi dipahami sebagai sesuatu yang abadi, tunggal dan mutlak dan tidak butuh 

pada yang lain. Tuhan bagi Spinoza yaitu  satu-satunya substansi, asal dari segala 

keberadaan dan segala prulalitas yang ada di alam berasal darinya yang hanya 

berfungsi sebagai modi dari Tuhan sebagai substansi tunggal.27 

Martin Heidegger (1889-1976) memulai filsafatnya dengan pertanyaan yang 

mendasar “Mengapa bisa ada sesuatu, dan bukan hanya ketiadaan?” Heidegger 

mengubah perkataan Descartes “Saya berpikir, maka saya ada” diganti dengan “Saya 

berada, maka saya berpikir”. Perhatian Heidegger pada “Ada” telah diadaptasikan 

sebagai cara berbicara mengenai Allah. Bahasa Heidegger, menurut beberapa orang, 

memungkinkan terbentuknya “teologi kodrati” baru, yang dengannya manusia dapat 

melihat dunia dan dengan begitu mulai berbicara mengenai Allah. Bagi Heidegger 

Kitab Suci secara eksistensial dilihat sebagai simbol dan bahasa mengenai “Ada” 

sebagai Tuhan.28  

Al-Farabi (872-950), filsuf Muslim yang dijuluki guru kedua (al-mu’allim al-

tsani) mengungkapkan dalil ontologi tentang wujud Tuhan. Menurutnya wujud yang 

sempurna dan yang paling awal yaitu  wujud Tuhan. Esensi dan wujud-Nya tidak 

mungkin tidak eksis dan tidak memiliki ketidakwujudan. sebab  Dzat Tuhan yang 

sempurna yaitu  qadim, abadi, dan otonom.29 Al-Farabi mengungkapkan argumen 

tentang wujud Tuhan dengan dalil kesempurnaan. Yang pertama tidak mungkin tidak 

sempurna dan tidak ada wujud lain yang melebihi kesempurnaan-Nya sebab  dia 

yaitu  yang pertama.30 Menurut Madjid Fakhry, argumen ontologis al-Farabi dalam 

kitabnya Madinah al Fadhilah dengan alasan: pertama, Tuhan harus dibayangkan 

sebagai kesempurnaan mutlak dan tidak pada yang selain-Nya, kedua bahwa Wujud 

benar-benar ada dan tidak mustahil menurut logika.31 

Ibn Sina (980 – 1037 M), Ibn Sina menurut Madjid Fakhry termasuk kategori 

filsuf muslim yang menggunakan argumen wujud Tuhan berlandaskan dalil al inkam  

 


(a contingent mundi)32 yang menggambarkan Tuhan sebagai pencipta dunia melalui 

serangkaian perantara. Wujud dari entitas yang ada bisa bersifat niscaya (wajib) atau 

tidak niscaya dalam dirinya, disebabkan oleh tabiatnya sendiri. Wujud yang tidak 

niscaya dalam dirinya bisa bersifat tidak mungkin (mumtani’) atau mungkin 

(mumkin). Dengan konsep Wujud niscaya dan wujud mungkin, wujud kosmos yang 

bersifat mungkin bergantung pada Wajib al-Wujud.33 Bagi Ibn Sina membuktikan 

keberadaan Tuhan yaitu  puncak spekulasi metafisika. Tidak ada keraguan lagi 

bahwa wujud niscaya itu ada, setiap mawujud yang bersifat mungkin bergantung pada 

Wujud niscaya. Wujud yang niscaya itulah yang dinamakan Tuhan, dimana semua 

mahluk memancar secara abadi.  

  

2) Argumen Kosmologis (the cosmological argument) 

Argumen kosmologi35 yaitu  argumen sebab-akibat (Prime Cause). Tuhan 

sebagai penyebab yang tak terbatas, transenden dan positif. Dalam kajian kosmologi 

dan metafisika digunakan sebagai salah satu argumen eksistensi Tuhan yakni 

menjelaskan bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dari dan berdasarkan fakta 

tentang dunia.36 Namun, mereka yang menolak keberadaan “super natural” ini, akan 

melihat argumen kosmologis Aristoteles maupun Plato, sebagai bukti yang tidak 

berarti. Menurut mereka, ide tentang Tuhan hanya mengkompensasi kejahilan kita 

terhadap “sebab-sebab”. Dengan kata lain, asumsi mereka bahwa ide tentang Tuhan 

hanya mengingatkan kita kepada kausalitas. Bagi mereka, argumen kosmologis ini 

hanya mengimplikasikan sebuah kesadaran mendalam tentang kausalitas namun  ia 

bukanlah sebuah asumsi murni.  

St .Thomas Aquinas (1225–1274)37 mendasarkan argumennya pada keberadaan 

alam dengan menggunakan alasan rasional dan menolak pandangan teolog yang 

mengatakan bahwa masalah keimanan dan eksistensi Tuhan tidak bisa dijelaskan 

secara filsafat. Aquinas berprinsip bahwa eksistensi Tuhan bisa dijelakan secara 

 


rasio.38 sebab  itulah Aquinas mengemukakan lima argumennya yang dikenal 

dengan The Five Ways39 untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Ia memulai 

pembuktiannya dengan mengajukan pertanyaan: “apakah jelas dengan sendirinya 

bahwa ada Tuhan? Dapatkan argumen itu dibuat gamblang?” Aquinas meyakini 

bahwa eksistensi Tuhan tidak jelas dari diri-Nya sendiri, manusia tidak dapat 

menggambarkan Tuhan sebagaimana manusia dapat menggambarkan sebuah objek. 

Tapi ia percaya dengan merefleksikan bentuk-bentuk alami dunia memberikan 

banyak bukti bahwa Tuhan ada. Ia menyimpulkan bahwa kesadaran akan adanya 

Tuhan tidak ditanamkan oleh kodrat dengan satu cara istimewa manapun dalam diri 

manusia.40 

Al-Kindi (w 886) merupakan filususf muslim yang menggunakan argumen 

kebaharuan (dalil al-huduts) a novitate mundi juga mengajukan lima argumen41 untuk 

membuktikan eksistensi Tuhan. Filsafat al-Kindi menganggap bahwa Tuhan tidak 

mempunyai hakikat (ainiyah atau mahiyah). Tuhan tidak ainiyah sebab  Dia tidak 

termasuk bagian dari benda-benda yang ada di alam, bahkan Dialah Penciptanya. Dia 

tidak tersusun dari materi dan bentuk (al-hayula wa al-surah). Tuhan tidak 

mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah sebab  Tuhan bukan genus atau species. 

Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan-Nya, selain Dia semuanya 

mempunyai arti banyak.42 

Al-Kindi mengikuti Aristoteles dengan membuktikan eksistensi penggerak 

pertama sebagai Tuhan dan Tuhan yaitu  satu-satunya pelaku yang sejati (the only 

true agent).43 Menurut al-Kindi segala sesuatu pasti mempunyai sebab sebagai 

penggerak yang tak tergerakkan. Prinsip pertama yaitu  wujud itu sendiri, tidak 

berubah dan sempurna. Perbedaan al-Kindi dengan Aristoteles sebab  al-Kindi 

 


menjelaskan ajaran al-Qur’an tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) 

dan menolak keabadian alam.44 

Ikhwan al-Safa berpendapat menurutnya alam merupakan sesuatu yang 

potensial, oleh sebab  itu alam memerlukan sesuatu (agen) yang aktual untuk 

mengaktualkan (mewujudkan) alam. Dzat yang aktual yaitu  Tuhan. Tuhan 

merupakan self sufficient (sebab yang berdiri sendiri) bagi keberadaan alam. 

Sedangkan alam merupakan akibat yang bergantung keberadaannya pada sebab. Hal 

ini di dasari alam yaitu  potensi, dan sebagai potensi alam tidak bisa mengadakan 

dirinya sendiri. Ketika alam mewujud seperti sekarang, berarti ada agen yang 

bertanggung jawab atas keberadaannya. Agen yang dimaksud yaitu  Tuhan itu 

sendiri, Dzat yang berperan sebagai sebab pertama dari segala yang ada di alam 

semesta.45 Tuhan sebagai pencipta merupakan wujud pertama dan menjadi sebab 

segala sesuatu.  

Para rasionalis telah keliru dalam memahami apa itu bukti. Bukti yaitu  sebuah 

penyingkapan – Ia menyingkap tirai – dan Ia bukan cahaya. Bukti tidak berarti bahwa 

kita akan melangkah dari ketidaktahuan ke dalam pengetahuan. Namun, bukti yaitu  

kunci atau simbol. Sebenarnya argumen mendasar ini lebih menunjukkan (indicates) 

dari membuktikan (proves). Semua argumen sebenarnya bukanlah argumen tapi 

hanya sebuah isyarat dan petunjuk (pointers). Ia tidak bisa berfungsi lebih dari sebuah 

garis pedoman atau aide-memoire sebab  ia sama sekali tidak memungkinkan kita 

untuk membuktikan Sang Absolut diluar diri-Nya sendiri. Tidak ada apapun yang 

berada diluar Sang Absolut sehingga bisa menjadi bukti kepada-Nya. Jika makna 

“membuktikan” yaitu  mengetahui sesuatu melalui sebuah strategi mental, 

konsekuensinya yaitu  tidak akan mungkin ada “bukti-bukti tentang Tuhan”. Hal ini 

juga menjelaskan mengapa metafisika simbolis dan kontemplatif bisa ada tanpa bukti.   

Kesimpulannya bahwa kosmos atau alam, sama sekali tidak bisa menjadi sesuatu 

yang membuktikan keberadaan Tuhan. Hal tersebut disebab kan hakikat Tuhan 

yaitu  hakikat absolut yang tidak terbatas. Tentunya alam tidak bisa menjadi entitas 

yang berbeda dan terpisah dari Sang Absolut atau berada “dalam” Sang Absolut. 

Tuhan yaitu  Realitas yang tak terbatas, maka itu apapun yang ada tentu sekali akan 

ada di “dalam-Nya”, dan begitu juga Dia akan terlihat berada di dalam alam.     

 

 

 

3) Argumen Teleologis (the teological argument)  

 


Argumen teleologis46 merupakan salah satu argumen eksistensi Tuhan, yang 

didasarkan pada pemikiran filosofis bahwa dunia atau alam ini menunjukkan 

keteraturan, ketentraman dan kesempurnaan yang bertujuan (teleological order), dan 

kenyataan tersebut sangat tidak mungkin terjadi begitu saja, tentu ada yang 

mengaturnya. Sang Pengatur itulah yang disebut Tuhan (An Intelligent Designer), 

atau (Supernatural Designer)47 Argumen kosmologis akan berangkat dari eksistensi 

alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sementara argumen-argumen teleologis 

akan berangkat dari keteraturan alam, maka itu ia mengisyaratkan kepada sebuah 

pemikiran awal yang mengaturnya.  

Dalam tradisi Islam argumen teleologis dapat ditelusuri dalam karya al-Ghazali 

al Hikmah Fi Mahluqat Allah (kearifan dalam penciptaan mahluk).48 Al-Ghazali 

mengutip ayat-ayat al-Qur’an terkait dengan prinsip teleologis dan antropiknya, 

diantaranya:  

 نودتهت مكلعل لابسو ارهناو مكبديمت نا يساور ضرلاا ىف ىقلاو 

“dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itutidak guncang bersama 

kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat 

petunjuk” (QS. An Nahl [16]:15). 

Ibn Rusyd (w 1198) merupakan filsuf muslim yang menggunakan tiga argumen 

untuk pembuktian tentang wujud Tuhan. 49 Pertama yaitu  dalil al-inayah yang 

bersandar pada al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, alasan dibalik luasnya penjelasan al-

Qur’an mengenai al-inayah sebab  wahyu berfungsi untuk mengajak manusia 

memberdayakan potensi mentalnya dengan perantara argumen rancangan.50 Untuk 

mendukung pendapatnya, Ibn Rusyd merujuk ayat; 

 اداتوا لابجلاو .ادهم ضرلاا لعجن ملا 

‘‘Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gung 

sebagai pasak?’’ (QS. An Naba [78]: 6-7). 

Kedua yaitu  dalil Ikhtira yang didasarkan pada fenomena penciptaan segala 

makhluk hidup atau pun makhluk mati di mana kita yakin adanya Allah yang 

menciptakan. Oleh sebab  itu, kita wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam 

 


dan mengetahui semua realita ini berasal dari Allah. Dalam mendukung pendaptnya, 

Ibn Rusyd merujuk ayat :  

 ناو ۗ هل وعمتجا ولو بابذ اوقلخي نل الله نود نم نوعدت نيذّلا نا ۗ هل اوعمتساف لثم برض سانلا اهياآي

  بولطملاو بلاطلا فعض ۗ هنم هوذقنتسي لا ائيش بابّذلا مهبلسي 

 ‘‘Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! 

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor 

lalt pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu 

merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali dari lalat itu. 

Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah ’’ (QS. Al-Hajj [22]: 73). 

  Yang ketiga yaitu  dalil harakah sebagai dalil yang meyakinkan dalam 

membuktikan adanya Allah menurut Ibn Rusyd dan juga Aristoteles. Gerak selalu 

berubah-ubah atau tidak tetap pada suatu keadaan dan semua jenis gerak berakhir 

pada Penggerak Pertama yang tidak bergerak sama sekali. Ia menyebut Penggerak 

Pertama yang azali yaitu  Allah SWT. Ibn Rusyd merujuk ayat berikut untuk dalil 

harakah.  

 نونمؤي لافا ۗيّح ئيش لك ءآملا نم انلعجو اۗمهنقتفف اقتر اتناك ضرلااو تاومسلا نّا آورفك نيذّلا ىري ملوا 

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi 

keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka 

mengapa mereka tidak beriman?” (QS. Al-Anbiya [21]: 30). 

Sebagai seorang filsuf Ibn Ruysd mempercayai adanya hukum kausalitas, bahwa 

sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya sebab  semua peristiwa tidak terlepas dari 

sunatullah.51  

Richard Swinburne52 dengan sederhana mencontohkan keteraturan buku di 

perpustakaan yang tersusun berdasarkan abjad pengarangnya oleh petugas 

perpustakaan, atau keteraturan langkah kaki manusia saat berjalan santai. Kedua 

contoh tersebut yaitu  contoh keteraturan yang diciptakan manusia. Maka di atas 

keteraturan yang manusia ciptakan terdapat keteraturan yang tidak bisa diciptakan 

manusia, yang merupakan komprehensibilitas keteraturan alam sebagai bukti 

keberadaan Tuhan, oleh para filsuf ini dimodifikasi sebagai reaksi dan kesadaran 

terdalam manusia dalam memahami hakikat dan makna alam semesta ini.53 

William Paley (1743-1803),54 mengatakan bahwa mata yaitu  alat yang 

sempurna untuk mencapai aktivitas melihat. Paley menganalogikan alam dengan 

 


sebuah jam. Anggaplah ada seseorang yang tidak pernah melihat jam dalam 

hidupnya, ia kemudian menemukan benda itu ditengah padang pasir. Semua yang ia 

lihat pada jam itu yaitu  struktur mekanik yang semua bagian-bagiannya saling 

bekerja sama. Ia menyimpulkan bahwa benda ini dibuat oleh seorang yang pintar 

dengan tujuan tertentu. Begitupun juga dengan alam raya ini, alam penuh dengan 

keteraturan. Artinya itu semua ada Dzat penciptanya Yang Maha Kuasa.55 

Bukti teleologis tidak bisa menyelamatkan orang-orang beriman yang tidak 

berpikiran metafisis dari kesulitan yang mereka rasakan melalui kesadaran mereka 

terhadap kesengsaraan dunia ini. Namun, ini tidak menunjukkan kelemahan bukti itu. 

Mereka tidak bisa terselamatkan oleh bukti ini semata-mata sebab  kedangkalan 

pemahaman mereka yang merupakan hasil dari kelalaian atau kemalasan mental. 

Sebagian orang-orang beriman lebih memilih untuk berpegang kepada materi dan 

mengklaim bahwa pikiran kita tidak mampu menjelaskan ketidaksempurnaan yang 

ada dalam ciptaan.   

 

B. Diskursus Kosmologi 

Perdebatan dalam sub bab ini terkait dengan beragam diskursus kosmologis 

tentang kosmologi dari perspektif al-Quran, sains, teologi, filsafat dan tasawuf 

sebagai berikut: 

1. Perspektif Al-Qur’an   

Dalam Islam dibedakan antara ayat yang tertulis (tadwini) dan ayat yang secara 

ontologis berhubungan dengan eksistensi kosmik (takwini). Hal ini tidak berarti ada 

dua al-Qur’an melainkan secara metafisis, al-Qur’an mempunyai aspek pengetahuan 

yang berhubungan dengan teksnya, sementara aspek batin berhubungan dengan 

sifatnya sebagai tipe utama kosmos. Dilihat dari sudut bahwa al-Qur’an yaitu  

kosmos di mana manusia hidup dan bernapas, al-Qur’an menyatakan bahwa segala 

fenomena alam dan kejiwaan yaitu  tanda-tanda keberadaan-Nya. Hal ini memberi 

gambaran bahwa hubungan fenomena kosmos dan ayat al-Qur’an yaitu  hal yang 

esensial dalam konsepsi Islam tentang kosmos dan pengetahuan.56 

Ajaran al-Qur’an mengenai penciptaan langit dan bumi merupakan dasar dan   

prinsip yang utama dalam Islam. Ayat-ayat yang terkait dengan alam semesta dan 

fenomenanya disebut ayat kawniyyah57. Ayat-ayat kawniyyah, menurut Ahmad 

Baiquni, mendorong agar umat manusia memikirkan penciptaan alam semesta tidak 

hanya dengan cara kontemplasi namun  dengan kegiatan observasional yang disertai 

dengan pengukuran. Yang demikian mengindikasikan ilmu tidak hanya bersifat 

kontemplatif seperti warisan Yunani terhadap pemikiran Islam namun  dimulai dengan 

cara empiris sehingga tersusunlah dasar-dasar sains. Metode ilmiah, berupa 

pengukuran melalui observasi dan pertimbangan rasional mulai dikembangkan dan 

 


 

diterapkan, telah mengubah astrologi menjadi astronomi.58 Maka sejak abad ke 12 M, 

muncul kajian alam semesta yang bersifat observasional di kalangan umat Islam. 

Kajian mereka sudah dapat disebut kosmologi, bukan astronomi atau astrologi. 59 

Al-Qur’an merupakan eksistensi yang menyerupai alam semesta dan segala 

benda yang ada di dalamnya berisi semua elemen eksistensi yang universal. Tersusun 

dari kata-kata, dengan sendirinya al-Qur’an menuju simbolisme tentang pena dan 

logos. Pena merupakan lambang pengetahuan-Nya, sementara kertas (Lauhul 

mahfudz) yang melambangkan manifestasi dari kosmos yang substansial, material, 

dan pasif 60. Pena melambangkan pengetahuan, sementara kertas melambangkan 

substansi. Dari sini muncul pandangan bahwa kosmos tercipta dari kata-kata (kun). 

Seperti halnya 

 نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإو ۖ ض أر ألْٱو توٰمٰسّلٱ عيدب 

“Allah Pencipta langit dan bumi, apabila  Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia 

hanya berkata kepadanya: "Jadilah!" maka jadilah sesuatu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 

117). 

 نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإ ۚ ٰٓهنحٰأبس ۖ دلو نم ذخّتي نأ لّلّ ناك ام 

“Tidak patut bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah 

menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah 

sesuatu itu.” (QS. Maryam [19]: 35). 

 نوكيف نك هل لوقي نأ أًـأيش دارأ ٰٓاذإ ٰٓهر أمأ ٰٓامّنإ 

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata 

kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah sesuatu itu.” (QS. Yaasiin [36]: 82). 

 نوكيف نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإف ۖ تيميو ى أحي ىذّلٱ وه 

“Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Maka apabila Dia hendak 

menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah 

sesuatu itu.” (QS. Al-Mu’min [40]: 68). 

 نك هل لوقي امّنإف ارً أمأ ٰٓىٰضق اذإ ۚ ءٰٓاشي ام قل أخي لّلّٱ كلذٰك لاق ۗرٌشب ىنأسس أمي أملو دٌلو ىل نوكي ىّٰنأ بّر أتلاق

 نوكيف 

“Dia (Maryam) berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai 

anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku?". Dia (Allah) 

berfirman, "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki. Apabila Dia 

hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah 

sesuatu itu.” (QS. Al-Imran [3]: 47). 

 نوكيف نك هل لاق مّث بارت نم هقلخ ۖ مداء لثمك لّلّٱ دنع ىٰسيع لثم نّإ 


“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi AllAh, seperti (penciptaan) 

Adam. Dia menciptakan dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya: "Jadilah" 

(seorang manusia), maka jadilah sesuatu itu”(QS. Al-Imran [3]:59) . 

Al-Qur’an memiliki lebih 700 ayat tentang penciptaan alam semesta dan 

menyebutkan 30 istilah tentang anjuran ‘berpikir’ dan ‘belajar’. Sebagaimana yang 

diupayakan penafsirannya oleh Ibnu Abbas dan Saniah al-Suyuti.61 

Prinsip-prinsip dasar al-Qur’an berbeda dengan buku-buku kosmologi atau 

buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang menguraikan penciptaan alam semesta 

secara sistematis.62 Meskipun dalam al-Qur’an tidak ditemukan keterangan secara 

rinci yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta namun  disepakati bahwa 

proses penciptaan alam semesta yaitu  Allah sebagai Sang Khaliq dan alam sebagai 

makhluk (ciptaan).63 Menurut Sirajuddin Zar, istilah-istilah yang diungkapkan al-

Qur’an tentang penciptaan diantaranya: Khalq, Bad’, Fathr, Shun, Ja’l, Amr, Nasy’, 

Bad.64 

Beberapa ayat yang menggambarkan tentang asal usul alam semesta bahwa 

Allah yang maha kuasa menciptakan alam semesta sebab  iradah-Nya, diantaranya  

 لاو يلو نم هنود نم مكلام ۗ شرعلا ىلع ىوتسا مث ماّيا ةتس يف امهنيب امو ضرلااو تومسلا قلخ يذلا الله

 نوركذتت لافا ۗ عيفش 

“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya 

dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas  ‘Arsy. Bagimu tidak ada 

seorangpun penolong maupun pemberi syafa’at  selain Dia. Maka apakah kamu 

tidak memperhatikan?’’ (QS. As-Sajdah [32]: 4). 

 ادضع نيلضملا ذختم تنكامو ۖ مهسفنا قلخ لاو ضرلااو تومسلا قلخ مهتدهشاآم 

“Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucuunya) untuk menyaksikan 

penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan Aku 

tidak menjadikan orang yang menyesatkan itu sebagai penolong’’ (QS. Al-Kahf [18]: 

51). 

 ميلع ءيش لكب وهو ۗ تومس عبس نهىوّسف ءآمسلا ىلا ىوتسا مث اعيمج ضرلاا يف ام مكل قلخ يذّلا وه 

 

 

 

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu 

kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannta menjadi tujuh langit. 

Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu’’ (QS. Al-Baqarah [2]: 29). 

M. Quraish Shihab merujuk pendapat ilmuwan Mesir (Zaghlul an-Najjar) 

tentang konsep penciptaan alam semesta, bahwa proses penciptaan alam raya melalui 

enam periode sebagai berikut: 

Pertama yaitu  periode ar-Ratq yaitu gumpulan yang menyatu. Periode kedua 

yaitu  al-Fatq yaitu masa terjadinya dentuman dahsyat (Big Bang) yang 

mengakibatkan terjadinya awan atau kabut asap. Periode ketiga yaitu  terciptanya 

unsur-unsur pembentukan langit yang terjadi melalui gas hidrogen dan helium. 

Periode keempat terciptanya bumi dan benda-benda angkasa dengan berpisahnya 

awan berasap itu serta memadatnya akibat daya tarik. Periode kelima yaitu  masa 

penghamparan bumi serta pembentukan kulit bumi lalu pemecahannya, pergerakan 

oasis dan pembentukan benua-benua dan gunung-gunung serta sungai-sungai dan 

yang lain. Periode keenam adalam pembentukan kehidupan dalam bentuknya yang 

paling sederhana, hingga penciptaan manusia.65 

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan dalam al-Qur’an 

dapat kita jumpai dalam fase-fase penciptaan alam semesta sebagai berikut: bahwa 

alam diciptakan selama 6 hari sesuai dengan ayat “Allah yang menciptakan langit dan 

bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia 

bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada seorangpun penolong maupun pemberi 

syafa’at selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. As-Sajadah 

[32]: 4)66. Fase pertama dimulai dengan ledakan besar (Big Bang) yang dijelaskan 

dalam ayat “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi 

itu keduanya dahulu menyatu; kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami 

jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak 

beriman?” (QS. Al-Anbiya [21]: 30)67. 

Selanjutnya fase kedua yaitu  pembentukan langit yang tertuang dalam ayat 

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian 

Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia 

maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah [2]: 29).68 Fase ketiga, fase ini 

yaitu  proses penciptaan tata surya, termasuk bumi dan matahari yang dijelaskan 

dalam ayat “Dan Dia menjadikan malamnya (gelap gulita), dan menjadikan siang-

 

 

 

nya (terang benderang)” (QS. An-Nazi’at [79]: 29).69 Pada fase keempat yaitu  

terjadinya lautan dan daratan yang berasal dari pemadatan kulit bumi atau yang 

disebut penghamparan bumi di mana tertuang dalam ayat “Dan setelah itu bumi Dia 

hamparkan” (QS. An-Nazi’at [79]: 30).70 Berikutnya, fase kelima hadirnya air dan 

atmosfer sebagai sumber kehidupan yang mana dijelaskan dalam ayat “…Kami 

jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air …” (QS. Al- Anbiya[21]: 30).71 

Dan terakhir, fase keenam, yaitu lahirnya kehidupan di bumi dimulai dengan adanya 

makhluk bersel tunggal. Pada fase ini juga dimulai proses-proses geologis seperti 

pergeseran lempengan tektonik.    

Kandungan al-Qur’an memotivasi manusia untuk mempelajari ayat-ayat (tanda-

tanda), melalui alam dan sejarah, agar manusia memahami konsep dan prinsip 

keterciptaan alam. Diantaranya al-Qur’an menjelaskan tentang fenomena alam 

semesta bahwa langit dan bumi dipisahkan dari satu nukleus, dari pemisahan itu, 

maka terbentuklah bintang dan galaksi sama halnya dengan penjelasan sains tentang 

teori big bang. 72 

Mirza Tahir Ahmad  menjelaskan bahwa sekitar 13 abad sebelum Edwin 

Hubble(1889-1953) menemukan konsep alam semesta yang mengembang 

(expanding universe) pada tahun 1920-an, model kosmologi Big Bang dan model 

kosmologi yang lain, al-Qur’an telah menjelaskan bahwa konsep ekspansi alam telah 

dijelaskan secara eksklusif seperti halnya pada : 

  نوعسوملاّناو دياب اهنينب ءآمسّلاوَ 

”Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar 

meluaskannya.’’ (QS.Az-Zāriyāt [51]: 47). 

 نودهاملا معنفاهنشرف ضرلااو 

”Dan bumi telah Kami hamparkan; maka (Kami) sebaik-baik yang 

 menghamparkan.’’ (QS. Az-Zāriyāt [51]: 48). 

Hal ini menjelaskan bahwa proses penciptaan alam secara berproses 

(berkembang) dan tidak statis. Seperti halnya QS. 21: 31 “Tidakkah orang-orang kafir 

melihat bahwa langit dan bumi yaitu  massa yang tertutup (ratqan), lalu Kami 

cengkehkan mereka sampai hancur (fataqna)? Dan Kami buat dari air setiap makhluk 

hidup. Maka apakah mereka tidak beriman?” Ayat ini menunjukkan bahwa segala 

 


sesuatu di alam semesta pada awalnya yaitu  satu wujud dan kemudian terpisah-

pisah yang berarti keseluruhan materi diciptakan melalui ledakan besar.73 

Dapat disimpulkan bahwa kosmologi dalam perspektif al-Qur’an, alam semesta 

muncul dari iradah Tuhan melalui kalam kun sebagai petunjuk bagi manusia.  

 

2. Perspektif Sains  

Saintisme modern bermula dengan munculnya Revolusi Copernican pada zaman 

Renaisan abad ke-16 M dan menemukan bentuknya yang mutakhir pada abad ke-17 

dibawah pengaruh rasionalisme Cartesian dan terutama sekali berkat lahirnya 

kosmologi Newtonian. Penemuan-penemuan Copernicus, Kelper dan Galileo di 

bidang Astronomi, menggunakan jasa geometri dan matematika, berhasil mengubah 

pandangan kaum intelektual tentang pusat perputaran alam semesta. Sebelumnya 

mereka mengikuti pandangan resmi gereja bahwa bumi merupakan pusat peredaran 

alam semesta (Geosentrism). Planet-planet di angkasa raya, bulan dam matahari, 

semuanya beredar mengelilingi bumi. Copernicus membuktikan melalui penelitian 

ilmiahnya bahwa sesungguhnya bukan bumi, namun  matahari yang menjadi pusat 

perputaran alam semesta (Heliosentrism).74 

Dampak penemuan ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang 

terhadap agama dan menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru yang serba 

ilmiah dan rasional. Terlebih-lebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di 

bidang fisika, yaitu tentang gerakan dan gravitasi yang merupakan sumber perputaran 

segala sesuatu di alam semesta ini. Penemuan inilah yang melahirkan teori baru 

dibidang fisika dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi atau falsafah 

kealaman yang ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan falsafah dan 

cabang-cabang ilmu lain di luar fisika seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, 

etika dan ilmu politik.75 

Newton dan para ilmuan sesudahnya berhasil membebaskan manusia dari 

kepercayaan magis alam gaib, sekaligus memenjara manusia dalam belenggu 

keyakinan terhadap kekuatan magis science. Dalam alam pikiran Newton tidak ada 

ruang bagi aktivitas kerohanian. Tuhan, kesadaran, hati nurani, cinta kasih, emosi dan 

intuisi – semua dicampakkan keluar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada hukum 

gerakan dan gravitasi. Alam hanya terdiri dari kekuatan material yang buta. Perbuatan 

manusia yang lahir dari kesadaran dan pikirannya dengan sendirinya diredusir 

 


menjadi materi yang bergerak disebabkan kekuatan buta.76 Newton dengan teori 

Gravitasi menyatakan bahwa “penjelasan ilmiah tentang alam hanya bisa 

menerangkan perilaku jagat raya – bukan tentang Pencipta. 

Stephen Hawking,77 dalam teori black hole mengatakan; “bahwa Tuhan tidak 

tidak ada hubungannya dengan penciptaan alam. Rasio yang dibangun yaitu  bahwa 

alam memiliki hukum gravitasi, sehingga alam bisa mencipta dirinya sendiri.” 

Selanjutnya Hawking menjelaskan tentang Teori M78 sebagai teori pamungkas alam 

semesta, juga menawarkan jawaban untuk persoalan penciptaan “bahwa alam 

semesta bukan satu-satunya alam semesta – dan memprediksi bahwa ada banyak 

sekali alam yang tercipta dari ketiadaan, dan penciptaan tidak membutuhkan campur 

tangan Tuhan.” Selanjutnya ia mengatakan bahwa gagasan tentang “Tuhan 

mubazir”79 begitu juga dengan tesis David Hume “tidak ada alasan mengapa alam 

semesta mengada”. Tesis yang sama dimunculkan oleh Bohar dan Heinsberg, bahwa 

beberapa peristiwa kuantum terjadi tanpa sebab, dengan alasan “sebab  rumitnya 

penjelasan sesuatu itu ada”.80 Jadi seluruh sains berlangsung atas asumsi bahwa ada 

alasan mengapa sesuatu ada sebagaimana adanya maka tidak ada penyebabnya.  

Ada beberapa reaksi terhadap kosmologi Big Bang salah satunya yaitu  model 

Big Bang singularitas tanpa sebab, seperti yang diyakini oleh Q. Smith bahwa alam 

semesta yaitu  wujud dari ketiadaan tanpa sebab: “Tuhan tidak ada alasan untuk 

meyakini bahwa ada argumen kuat, argumen posteriori, ataupun argumen apriori bagi 

penyebab Big Bang. Dengan demikian, kita mencapai sebuah kesimpulan umun: tidak 

ada filsafat kosmologi Big Bang yang menjadikan beralsan untuk menolak tesis 

fundamental kosmologi Big Bang: bahwa alam semesta eksis tanpa sebab.”81 

Selanjutnya anggapan bahwa alam muncul dari creation continua, yang merujuk pada 

gagasan perubahan di dalam materi yang sudah ada, menurut penjelasan Ian G. 

Barbour: “penciptaan berkelanjutan mengungkapkan tema imanensi dan partisipasi 

dalam alam yang berlanjut. Tuhan membangun di atas apa yang sudah ada; tiap-tiap 

 


level wujud memerlukan struktur level-level yang lebih rendah.”82 Seperti yang 

dikatakan oleh Wolfhart Pannenberg bahwa; “formula creato continua 

memperanggapkan konsepsi ketat creato ex nihilo dalam hal sejauh ia mencirikan 

kegiatan pelestarian oleh Tuhan sebagai kelanjutan penciptaan dari ketiadaan. sebab  

alasan ini saja, gagasan penciptaan berkelanjutan tidak bisa diperlawankan dengan 

formula creato ex nihilo.”83  

Kosmologi kuantum beranggapan bahwa semesta dipengaruhi oleh efek-efek 

kuantum, terutama  pada titik yang sangat dekat dengan Dentuman Besar, katakanlah 

sebelum waktu Planck, 10 detik setelah Dentuman Besar. Pada waktu itu, semesta 

berukuran cukup kecil (diametralnya 10-33 cm, yakni panjang Planck) hingga dapat 

dipengaruhi oleh efek-efek kuantum. Pada ranah itulah dapat diduga akan terjadi 

fluktuasi energi yang tak ditentukan sebelumnya. Atkins berusaha menghilangkan 

setiap pembicaraan tentang tindakan Tuhan dengaan menganggap bahwaa realitas 

fisik dapat lahir dari realitas konseptual atau matematik murni melalui sejenis 

keniscayaan alamiah. Atkins berusaha mengonstruksi semesta yang berasal dari 

ketiadaan. Dia mengira bahwa fluktuasi dapat terjadi dalam ketiadaan, cepat atau 

lambat melahirkan secara fisik.84 

Dari sudut pandang sains modern, seluruh sejarah semesta yaitu  sejarah 

evolusi.85 Gagasan tentang evolusi atau seleksi alamiah, spesies-spesies (baik 

tumbuhan maupun hewan) muncul bukanlah hasil dari kreasi agen dari luar dirinya 

(yang disebut Tuhan), namun  sebagai adaptasi mereka terhadap tuntutan dari seleksi 

alamiah. Menurut Darwin, agar sebuah spesies bisa bertahan hidup, ia harus berusaha 

mengadakan transmutasi secara evolutif, seperti spesies baru. Jadi, dorongan 

alamiahlah yang menyebabkan timbulnya spesies-spesies tersebut, dan sama sekali 

bukan hasil karya atau desain Tuhan atau agen apapun yang transenden dibalik alam 

semesta ini.86  

3. Perspektif Teologi   

Konsep penciptaan alam creatio ex nihilo merupakan doktrin dasar dari agama-

agama Ibrahim (Abrahimic faiths) bahwa dunia tercipta dari ketiadaan dan semua 

berasal dari Yang Transenden yakni Tuhan.87 Hal ini kemudian menjadi perdebatan 

baik dikalangan filsuf dan teolog dalam Kristen Islam dan Yahudi. 

 


Dalam teologi Islam alam diciptakan bukan berasal dari sesuatu (asy-ya’, a’yan, 

jawahir, a’radh), namun  diciptakan dari tiada creatio ex nihilo: al-ijad min al-a’dam- 

kemudian mewujud, dengan sifat Qudrah-Nya Allah menciptakan segala sesuatu atas 

Iradah-Nya sendiri.88 Pendapat tentang kebaharuan dan kekadiman alam menjadi 

perdebatan para teolog, namun  uraian rinci tentang penciptaan alam tidak menjadi 

perdebatan para teolog namun  secara umum para teolog beragam pendapatnya tentang 

hubungan Tuhan dengan alam dan fokus bahasannya lebih pada upaya manusia dalam 

memahami keesaan Sang Pencipta dan kekuasaan Sang Pencipta. Seperti halnya 

aliran al-Maturidiyah dalam kitab at-Tauhid89 bab Ilahiyat yang dijelaskan hanyalah 

seputar adanya Sang Pencipta bagi alam, kebaharuan alam, dan keesaan Sang 

Pencipta.90   

Al-Maturidia91 berpendapat tentang kebaharuan alam dan keharusan adanya 

yang menciptakan, bahwa tidak ada seorangpun yang mengklaim tentang ke qadiman 

alam, jika ada bagi al-Maturidi berarti orang itu berbohong. Berdasarkan konsep indra 

bahwa semua entitas bisa dirasakan pasti membutuhkan sesuatu, sementara sifat 

qidam mensyaratkan tidak butuh pada sesuatu yang lain. Qidam cukup dengan ke 

qadiman-nya sebab  syarat ke qadiman yaitu  al-Ghani. Sementara, yang huduts 

memerlukan pada yang lain, artinya semua yang bisa dilihat secara indrawi pasti 

penuh dengan unsur-unsur yang bertolak belakang.   

Para teolog Mu’tazilah mulai mengembangkan argumen kebaharuan alam pada 

abad ke-3 sampai ke-9, yang kemudian dikembangkan oleh mazhab Asy’ariyah. 

Mazhab Asy’ariyah menekankan karakter keterputusan dan atomistik dari materi, 

ruang dan waktu.92 Diterapkan pada aktivitas Tuhan di alam, perspektif ini dikenal 

oleh Barat sebagai occasionalism.

Atomisme Asy’ariyah94 terbangun atas perspektif teologis tertata tentang alam 

yang terkandung dalam wahyu Islam. Sebuah teologis yang terkait dengan nama-

nama Tuhan, atribut dan kualitas. Dengan tujuan membangun kontruksi religius 

untuk menggambarkan bahwa Tuhan yaitu  Yang Maha tidak terbatas, juga sebagai 

cara untuk mempertahankan keabsolutan Tuhan dan keterlibatan langsung-Nya pada 

kedatangan sesuatu ke alam wujud dan kebertahanannya dalam wujud dari satu saat 

ke saat lain.95 Untuk membuktikan bahwa bahasan rasional tentang atomisme 

dibenarkan secara scriptural (religius) Asy’ariyah mendefinisikan aksiden (‘aradh) 

sebagai “sesuatu yang tidak bertahan lama… namun  lenyap saat menjelang 

kemunculannya”: “…kamu menghendaki hal-hal duniawi (‘aradh) sedangkan Allah 

menghendaki akhirat untukmu” (QS. Al-Anfal [8]: 67).  

Pendekatan Asy’ariyah terhadap atomisme disimpulkan sebagai berikut: 

pertama, mereka merumuskan sebuah kerangka teoritis umu