dasar, yang
diterbitkan pada 1603, yang menyertakan kata-kata bahasa Arab dan Turki
yang berguna untuk berdagang di Samudra Hindia.5
Karyanya bukanlah daftar pertama semacam itu yang terbit dalam bahasa
Belanda. Dua tahun sebelumnya, laporan resmi ekspedisi telah terbit, dengan
daftar kata-kata Melayu dan Jawa yang digunakan di Kepulauan Maluku,
tempat para pedagang itu berhasil bernegosiasi dengan para penguasa Ternate
dan menikmati hubungan bersahabat dengan seorang makelar rempah-
rempah dari Turki di Banda.6 Laporan van Neck juga memuat gambar-gambar
istana, tanaman, dan masjid kawasan ini yang lebih sederhana dan lebih
realistis dibandingkan gambar-gambar dalam Prima pars Lodewijckszoon.
Selain itu, terdapat dua gambaran singkat mengenai praktik Islam. Salah
satunya gambaran iring-iringan ke masjid Kerajaan Ternate untuk Perayaan
Kurban yang menghiasi sampul buku ini (lihat Gambar 5), dan yang
lain gambaran shalat harian di Banda. Sebagaimana dijelaskan:
Para penduduk pada umumnya yaitu orang-orang kafir, yang menganut
keyakinan Mahometish, yang sangat mereka taati. Mereka tidak akan datang
ataupun pergi dari pasar tanpa berdoa terlebih dulu di Kuil mereka, yang
mereka sebut Musquita dalam bahasa mereka .... saat mereka selesai bersuci
dan berbasuh, mereka pergi ke Gereja mereka dan berdoa dengan seruan dan
teriakan. Suaranya begitu nyaring sehingga kita bisa mendengarnya dari jarak
dua puluh rumah lebih dengan kata-kata yang biasanya mereka katakan dua
atau tiga kali: Stofferolla, Stofferolla, Ascehad an la, Ascehed an la, Yll la, Ascehad
an la, Yll lol la, Yll lol la, Yll lol la, Machumed die rossulla. saat mengucapkan
kata terakhir itu, mereka mengusapkan tangan ke muka, dengan itu mereka
menunjukkan ketaatan yang besar. Selain itu, mereka mengucapkan doa-doa
lain, yang dilakukan dengan lirih dan sebagian besarnya dengan bergumam,
yang lebih kurang dengan urutan: Mereka [pertama-tama] menggelar sebuah
permadani kecil di lantai, lalu berdiri di atasnya sembari mengarahkan mata ke
langit dua atau tiga kali. Mereka kemudian menjatuhkan diri dengan mantap
pada lutut, menempatkan kepala di lantai dua atau tiga kali. Mereka kerap
melakukan hal ini bersama-sama, di rumah-rumah, di tempat umum, di
perahu-perahu cadik, di jalan-jalan, dan di pantai.7
Dilihat dari sudut pandang masa kini, wajar jika buku ini tidak berhasil
memuaskan siapa pun yang ingin tahu tentang Islam atau bahasa-bahasa yang
digunakan. Doa-doa yang dikutip agak kacau dan daftar kata yang disusun
secara alfabetis hanya berisi sedikit muatan yang secara spesifik bersifat
keagamaan. Tuhan keliru diterjemahkan dalam bahasa “Melayu” dengan kata
(Portugis) Dios, dan dalam bahasa “Jawa” dengan kata (Arab) Ala.8
Dialog-dialog singkat yang disajikan Frederick de Houtman dalam
kamusnya, meski memberikan wawasan mengenai berbagai harapan
perdagangan Belanda, namun tidak memuaskan dalam urusan memberikan
perincian mengenai agama. Padahal, dia mengaku ditawari berpindah agama,
baik melalui bujukan perkawinan maupun ancaman terhadap pribadinya.9
Di sisi lain, laporannya yang tak diterbitkan memuat data mengenai praktik
dan keyakinan sosial, seperti bergadang untuk melihat bulan dan kedatangan
Mahdi, meski semua itu tetap agak sulit dimengerti oleh orang Belanda yang
menyaksikan para kolega juniornya menyerah pada tawaran kebebasan dan
menjadi murtad satu demi satu.
De Houtman juga memasukkan versinya sendiri mengenai sebuah
sidang di hadapan beberapa hakim saat dia menjelaskan penolakannya
untuk meninggalkan agama Kristen dan argumennya mengenai keunggulan
agama Reformasi-nya atas bangsa Portugis pemeluk Katolik Roma penyembah
berhala. Ini disampaikannya dalam bahasa Melayu, dengan mendasarkan
argumennya pada gagasan Al-Qurani bahwa Yesus yaitu “ruh Tuhan” (QS
4: 171, 172).10 Atau, setidaknya itulah yang dalam pemahamannya dikatakan
orang selama penahanannya. Namun, kita harus agak hati-hati dalam
BERBAGAI PANDANGAN FUNDAMENTAL MENGENAI ISLAM HINDIA — 81
menerima klaim kefasihannya, mengingat de Houtman memahami bahwa
Syahadat berarti Muhammad yaitu “kekasih” Tuhan, bukan “utusan”-Nya.
Bagaimanapun, tampaknya sang Cheech atau “penasihat tertinggi raja”,
(paling mungkin Syekh Syams al-Din dari Pasai) menganggap bahasa Melayu
de Houtman cukup baik sehingga sang syekh memintanya menerjemahkan
beberapa surat berbahasa Belanda.
Pernah dinyatakan bahwa para pelancong Belanda awal seperti Houtman
bersaudara anti terhadap Islam dan oleh isebab itu hanya mencurahkan
sedikit upaya untuk menggambarkan agama ini dibandingkan perhatian
yang mereka berikan pada agama-agama India dan Tiongkok yang lebih baru.
Mereka hanya menyebutkan ciri-ciri tertentu yang menarik minat isebab
sangat berbeda dari Islam yang mereka lihat lebih jauh di Barat. Keakraban
yang telah lama dengan Islam ditunjukkan, misalnya, oleh pemuatan van
Neck terhadap beberapa pasase yang diambil dari sebuah versi Portugis Alf
masa’il, yang sudah beredar di Eropa sejak penerjemahannya dari bahasa
Arab ke bahasa Latin pada abad kedua belas. Namun, ini tampaknya muncul
segera sesudah penggambaran iring-iringan menuju masjid di Ternate, yang
menyarankan bahwa teks ini sengaja direproduksi isebab ia dikenal di
Kepulauan Maluku (dengan demikian seabad sebelum François Valentijn
[1666–1727] mendokumentasikan keberadaan banyak salinan teks ini
di sana).
Secara keseluruhan kiranya adil menyatakan bahwa keuntunganlah
sebenarnya yang utama dari ekspansi Belanda, bukannya perjumpaan antar-
iman, meskipun nyatanya Gereja Reformasi Belanda mengincar Hindia sejak
permulaan operasi di sana. Semula keprihatinan mereka bersifat domestik,
mengkhawatirkan jiwa orang-orang Belanda terkatung-katung di tengah
lautan kekafiran. Itinerario sudah menjelaskan bahwa seluruh wilayah Timur
“dirasuki” oleh sekte Mahometish dan “mesquita-mesquita”-nya, meskipun
ini jelas kurang “menyeramkan” dibandingkan yang dipersembahkan kaum
Brahman di “pagoda-pagoda” mereka. Di Amsterdam pada Februari 1603
ketujuh belas Direktur Kongsi Hindia Timur Bersatu (VOC) yang baru
dibentuk menerima sebuah resolusi yang menyerukan penunjukan dua
“orang yang tepat dan kompeten untuk mengabarkan Firman Tuhan dan
menjauhkan orang-orang dari godaan kaum Moor dan Ateis”. Tak lama
kemudian kaum Moor dan Ateis itu sendiri menjadi sasaran yang dimaksud.
Bahkan, pada 1606 sebuah kontrak dibuat dengan seorang mahasiswa di
Leiden dengan maksud mengajarinya “bahasa Maleytse atau bahasa Hindia
lainnya yang sesuai” untuk mengajarkan “Firman Tuhan kepada orang-orang
Kafir yang buta”.
Bahkan, tanpa orang-orang terlatih dari metropolitan semacam itu (si
mahasiswa tidak pernah ditugaskan), kalangan pemuda istana Ambon di
Kepulauan Maluku yang ditangkap dari Portugis pada 1605 (dengan bantuan
orang-orang Muslim), akan mendapat pelajaran menggunakan Cort Begrip
(Katekismus Singkat) karya Philip Marnix St. Aldegonde (1538–98). Buku
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada sekitar 1608 oleh
sang gubernur baru, Frederick de Houtman.16 Selanjutnya, pada 1609 VOC
memerintahkan Gubernur Jenderal untuk Hindia yang hendak berangkat
menuju tempat tugas, Pieter Both (bertugas sejak 1610 sampai 1614) untuk
mengumpulkan informasi mengenai para penduduk dan menemukan zcara
terbaik untuk melakukan “perpindahan agama orang-orang non-Kristen”.17
Lima tahun kemudian dewan gereja Delff dan Delflant menyerukan
pendirian sebuah lembaga pelatihan di Leiden, tempat para teolog terkenal
di universitas bisa melatih para misionaris potensial dengan berbagai
keterampilan yang dibutuhkan untuk membungkam “orang-orang Yahudi,
Mahumedist, Bonce, Bremine, dan para penggoda lainnya”. Juga dinyatakan
agar kaum muda sebaiknya belajar “bahasa Maleytse” untuk menghemat waktu
yang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat saat mereka tiba
di Hindia.
Meski tidak ada sesuatu pun yang segera dilaksanakan, seruan ini
mendapat dukungan dari negara dalam waktu singkat pada 1622 saat
pendahuluan Piagam VOC diubah untuk menetapkan bahwa sejak saat itu
negara akan peduli terhadap “pemeliharaan keimanan publik”. Pada tahun
yang sama Antoine de Waele (Walaeus, 1573–1639) ditugaskan mendirikan
lembaga pelatihan di Leiden, sesudah dewan “tujuh belas” menyetujui resolusi
pendirian lembaga semacam itu pada 1621.20 Perubahan-perubahan ini,
sebagiannya, merupakan akibat tekanan dalam negeri yang berpuncak pada
Sinode Dordrecht 1618–19 yang mengukuhkan “lima pokok” Calvinisme
sebagai ajaran resmi negara, dan sebagian lagi akibat meningkatnya jumlah
penganut Katolik berbahasa Portugis dan Melayu yang berada di bawah
kekuasaan VOC sesudah pengambilalihan markas-markas Portugis di Asia.
Wajar saja jika “orang-orang Kafir dan Moor” masih dipandang sebagai
sasaran, meski seperti akan kita lihat sebagian misionaris di lapangan mulai
meragukan efektivitasnya.
Akan namun , Belanda bukanlah tempat bagi keraguan religius. Anggota
warga yang tidak disukai para pejabat negara pun sangat mendukung
pemberantasan Islam sesudah orang-orang Katolik berhasil ditangani.
Selama penahanannya di kastil Loevestein pada 1619–21, Hugo de Groot
(Grotius, 1583–1645) mencurahkan beberapa syair berima untuk menyesali
penyebaran bersejarah “Mahumetisterije” di Asia Kecil dan Afrika. Namun,
India dan Hindia yang lebih jauh tetap tak disebut oleh Grotius. Padahal, dia
telah menulis risalah pertamanya untuk membenarkan perampasan sebuah
kapal Iberia oleh VOC di Selat Malaka pada 1603.
Dalam jangka panjang, ketentuan-ketentuan Calvinisme Dortian
semakin kuat seiring perkembangan VOC. Hal ini isebab VOC diberi
kewenangan untuk bertindak sebagai kekuatan mandiri untuk mendirikan
markas-markas dan pusat-pusat perdagangan dari Tanjung Harapan (markas
di sana didirikan pada 1652) hingga Nagasaki (1641) serta menyusun pasukan
untuk mempertahankan markas-markas itu dan menakuti para pesaing.
Bahkan, pada abad ketujuh belas, VOC menjadi kekuatan perdagangan
terbesar di dunia yang jauh mengungguli para pesaingnya.
KEBINGUNGAN PARA CENDEKIAWAN DAN MISIONARIS
Meskipun transaksi pribadi dilarang bagi para pegawai VOC, beberapa
dari mereka—termasuk para pendeta Calvinis—mendapatkan keuntungan
dengan berdagang produk-produk Nusantara. Sebagian—beberapa kecil—
dari mereka kembali ke Eropa membawa teks-teks, termasuk fragmen-fragmen
Al-Quran, Burdah karya al-Busiri, Idah fi l-fiqh (Penjelasan Yurisprudensi)
yang anonim, dan ‘Aqa’id karya ‘Umar b. Muhammad al-Nasafi (w. 1142)
Yang sangat menarik yaitu sekelompok teks yang akhirnya disimpan di
Universitas Leiden. Meskipun sudah memiliki Akademi-nya sejak 1575,
sudah lama Republik Belanda tidak memiliki pakar tetap mengenai Hindia.
Di antara korban jangka panjang ketiadaan pengetahuan ini yaitu sebuah
manuskrip lontar yang sampai ke tangan seorang guru besar bahasa Yunani,
Bonaventura Vulcanius (1538–1614), sesudah kembalinya armada Belanda
yang pertama atau kedua. Traktat ini, yang memuat ajaran-ajaran Islam yang
dikaitkan dengan Seh Bari, lama dikenali sebagai teks berbahasa Jepang.24
Kondisi di atas bukan hendak mengatakan bahwa semua materi yang
dibawa dari Hindia masuk keranjang yang keliru, meski beberapa teks
jelas dikelompokkan ke dalam kategori “terlalu kabur untuk dipecahkan”.
Misalnya, meski telah diketahui berbahasa Jawa pada 1597, sebuah traktat
Sufi harus menunggu hingga 1881 untuk diterbitkan dalam bentuk ilmiah.
Selain itu, tak ada jaminan bahwa karya-karya semacam itu akan tetap berada
di Belanda. Enam teks berbahasa Melayu milik Thomas van Erpe (Erpenius,
1584–1624), dipinjamkan kepada Guru Besar “Bahasa Arab dan Bahasa-
Bahasa Oriental Lain” di Leiden pada 1613. saat dia meninggal, keenam
teks itu akan dijual kepada Duke of Buckingham, George Villiers (1592–
1628). Demikian pula sebuah kamus bahasa Melayu milik pewaris Erpenius,
Jacob Gool (Golius, 1596–1667), hendak dibeli untuk Uskup Agung Inggris
Narcissus Marsh (1638–1713). Ada kenyataan bahwa sesuatu yang ada dalam
koleksi belum tentu dibaca. Pada 1613 dibutuhkan seorang pelawat Morisco
(muslim yang memilih memeluk Kristen daripada diusir dari Iberia—Penerj.),
Ahmad b. Qasim al-Hajari, untuk mengenali sebuah risalah berbahasa Arab
berkenaan dengan topik Sufisme filosofis yang dibawa dari Hindia. Kenyataan
bahwa bahasa Arab tingkat tinggi dikenal di Hindia tampaknya sama-sama
mengejutkan bagi sang Morisco dan para tuan rumahnya yang terpelajar,
termasuk Erpenius,
Di wilayah Timur yang lebih luas, terdapat pemahaman yang kian
mendalam mengenai berbagai budaya dan agama Hindia. Lebih banyak hal
bisa dikumpulkan dari surat-surat yang dikirimkan ke Tanah Air ketimbang
dari catatan tercetak, sebuah fenomena yang dapat dikaitkan dengan anggapan
bahwa informasi mengenai soal-soal semacam itu tidak begitu berguna di
metropolis ketimbang dengan ketiadaan pengetahuan itu sendiri. Lagi
pula, harus ada orang-orang di lapangan yang memiliki keterampilan untuk
mempelajari Islam via bahasa-bahasa ekspresinya. Ahmad b. al-Hajari sudah
bertemu orang Belanda semacam itu, Pieter Maertensz. Dia dikenal pendiam
dan ditugaskan ke Marakesh pada 1607 isebab sudah cukup mempelajari
bahasa Arab saat berada di Kepulauan Maluku.
Mengingat pengalamannya, sangat mungkin si Pendiam itu juga tahu
sedikit bahasa Melayu isebab Belanda pastinya tidak berlayar ke Nusantara
tanpa peta atau bantuan ahli bahasa. Bahasa Melayu sudah ada di wilayah
publik jauh sebelum Frederick de Houtman mempersembahkan Spraeck
ende Woord-boeck yang dihasilkan dengan susah payah pada VOC. Salah
seorang penyintas ekspedisi Magellan, Antonio Pigafetta (sekitar 1491–1534),
menerbitkan daftar kata untuk orang-orang Maluku pada 1520-an (misi ini
melibatkan seorang penerjemah Melayu yang diambil dari Malaka pada 1511).
Wajar jika sebuah daftar bermula dengan istilah-istilah Islami seperti “Tuhan”
(Alla), “Kristen” (Naceran), “Turki” (Rumno), “Moor” (Musulman/Isilam),
“Kafir” (Caphre), “Masjid” (Mischit), dan “Pendeta” (Maulana catip mudin).29
Seperti yang juga sudah kita lihat, laporan-laporan dua armada pertama
Belanda juga memasukkan lampiran berbahasa Melayu dan Jawa. De Houtman
barangkali ingin melangkah lebih jauh dan melampaui para pendahulu
Katolik-nya seperti Francis Xavier (1506–52), yang telah menerjemahkan
beberapa katekismus ke bahasa Melayu pada 1548. Pada 1608 de Houtman
menerjemahkan Cort Begrip karya Aldegonde untuk digunakan di sekolah-
sekolah yang telah dibukanya di Ambon.30 Kemudian, pada 1612 seorang
pedagang di Ambon, Albert Cornelisz Ruyl, menyelesaikan sebuah terjemahan
Injil Matius ke bahasa Melayu, bersama pengantar dan versi revisi leksikon de
Houtman; meski ada beberapa keberatan terhadap penggunaannya. Seorang
misionaris menyatakan bahwa mengajarkan agama dengan selain bahasa
sendiri—maksudnya menggunakan bahasa Melayu terhadap orang-orang
Ambon—beraroma Katolik.
Caspar Wiltens (aktif 1615–19) yang juga bersikap negatif lebih jauh
meyakini bahwa orang-orang lokal mengalami kesulitan memahami bahasa
Melayu “Aceh” de Houtman. Meski demikian, mereka bersikeras dalam
upaya mereka mengkristenkan para penghuni pulau. Wiltens bekerja sama
dengan Sebastiaan Danckaerts yang tiba pada 1618 mengembangkan kamus
de Houtman. Danckaerts juga menggarap versi perbaikan katekismus
Aldegonde. Kedua buku ini diterbitkan berdasar perintah Majelis
Amsterdam pada 1623 hingga berjumlah ribuan kopi.34 Tampaknya ada
sesuatu yang menyebabkan optimisme itu di kalangan VOC, terutama saat
pulau-pulau penting di Kepulauan Banda berhasil dikuasai Belanda selama
masa jabatan Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen (bertugas dari 1618 hingga
1623 dan sekali lagi sejak 1624 sampai 1629), seorang pengikut fanatik
Calvinisme Dortian yang memiliki harapan mengubah agama semua “orang-
orang Hindia”.
Akan namun , tidak semuanya sejalan dengan keinginan Belanda. Surat-
surat dari Ambon kerap menyesalkan keramahtamahan yang ditunjukkan
kepada “para paus” Banda, yang mendirikan sekolah-sekolah di antara
penduduk setempat untuk mengajarkan “hukum Moor”. Sebagai balasan,
Belanda membakar masjid-masjid yang baru didirikan di berbagai tempat
mereka mengklaim yurisdiksi dan menempatkan pasukan untuk mencegah
kembalinya misionaris muslim. Seorang pedagang senior memungkasi
suratnya pada Agustus 1619 dengan tulisan tentang beragam masjid baru:
“Inilah warisan tanah ini, benar-benar tahu orang-orang Moor merupakan
musuh bebuyutan kita, yang tampaknya baik-baik saja di luar, namun palsu di
hati”.
Kepalsuan semacam itu juga dihubungkan dengan para mualaf dalam
lingkaran Belanda, terutama mereka yang patuh untuk disunat oleh orang-
orang Banda atau Gujarat. sesudah mengirim ekspedisi untuk membakar
sebuah masjid dan sekolah yang didirikan oleh orang-orang murtad setempat
di “Rossonive” pada Juni 1619, Gubernur Ambon, Herman van Speult
(menjabat 1618–24), berusaha membuat Danckaerts meyakinkan “dua
moodens atau paus Moor” dalam wilayah istana untuk berhenti dari semua
aktivitas lebih jauh. Van Speult kemudian mengancam semua orang Kristen
setempat dengan penyitaan harta benda mereka dan pengusiran untuk
dibuang atau dibunuh kalau mereka terlibat dalam berbagai “takhayul” Moor
seperti mengenakan serban. Dia juga mengeluarkan ancaman keras bahwa
mereka yang memiliki nama Kristen namun berhati Moor akan segera punah.39
Terdapat beberapa momen yang pastinya penuh harapan bagi Belanda,
seperti perpindahan agama sebagian penghuni pulau kecil Rozengain, di
Kepulauan Banda, pada Agustus 1622. sesudah memberikan pengajaran
mengenai Sepuluh Perintah Tuhan dan Doa Bapa Kami, dengan bantuan
bangsawan setempat yang menjelaskannya dalam bahasa Melayu, para
misionaris ditemui oleh kerumunan banyak orang yang bertanya kapan
persisnya Kristus datang, mengapa dia datang sebagai manusia, dan hukuman
bagi balasan kejahatan dalam kehidupan ini. Lebih jauh mereka penasaran
mengenai apa yang diketahui oleh Belanda tentang Muhammad dan ajaran-
ajarannya.
saat kami memberi tahu kepada mereka bahwa dia yaitu seorang pedagang
Arab, juga pemimpin beberapa pencuri, perampok, dan pembunuh, serta
bahwa di kalangan sahabatnya ada seorang penyihir Yahudi, para penghujat,
dan penggoda lainnya yang telah membuat sebuah buku, bernama Alcoran,
yang sudah sangat kalian kenal, yang digunakan oleh sebagian nabi atau paus
Moor .... [Kemudian] mereka bertanya apa yang kami ketahui mengenai
kandungannya. Kami jawab bahwa tentu itu tidaklah tersembunyi dari kami.41
Meskipun merasa percaya diri, apa yang dinyatakan para misionaris itu
menunjukkan bahwa pengetahuan mereka mengenai Islam mencerminkan
praksis sosial ketimbang teks Al-Quran. Mereka percaya bahwa Al-Quran
mengajarkan (1) bahwa semua orang harus disunat, (2) bahwa orang-orang
beriman harus berikrar menjauhi alkohol dan babi, (3) bahwa lelaki muslim
bisa menikahi perempuan sebanyak yang mereka mau, dan (4) bahwa sebuah
surga dijanjikan oleh Muhammad, yang berbagai mukjizat dan “perilaku
busuknya” akan mereka jelaskan.
Sepanjang waktu, dewan gereja Amsterdam dan Delft tetap menyadari
adanya kebutuhan untuk melatih para misionaris yang memenuhi persyaratan
dan diutamakan di Leiden, untuk diutus ke Hindia. Mereka juga sangat
mengetahui bahwa bahasa Melayu akan menjadi keterampilan kunci sebagai
senjata melawan kaum Muslim, yang seperti ditunjukkan berbagai laporan
terus memperluas jaringan sekolah-masjid mereka dan menyunat para
penduduk pulau. saat Walaeus ditugaskan di Leiden, sebuah pendidikan
tentang apa yang selintas disebutnya sebagai “bahasa paling lazim di negeri-
negeri ini”, dianggap tepat bagi para mahasiswa yang hendak mengarungi kota
yang sangat berbahaya. Walaeus mengusulkan agar sebelum berangkat mereka
diberi sedikit pelatihan bahasa oleh orang yang baru pulang, “ortodoks”, dan
punya kemampuan bahasa ini .
Tak diragukan lagi, harapan-harapan yang tinggi telah mengantarkan pada
pendirian Collegium Indicum. Seorang penggerak pendiriannya, dokter Justus
Heurnius (1587–1652), menyatakan bahwa Tuhan telah “menyingkapkan
kekayaan Hindia bagi kita agar Kerajaan Kristus ... [akan] tersebar dalam
perjalanan menuju dan di negeri-negeri Timur yang luas”.44 Heurnius
mempraktikkan apa yang dikhotbahkannya. Antara 1622 dan 1638 dia pergi
sendiri ke Hindia. Belakangan dia menerbitkan beragam risalah Kristen dalam
bahasa Melayu. Dia juga membantu membawa Injil Belanda-Melayu karya
Ruyl ke percetakan metropolitan pada 1629, dan sesudah kembali pada 1639,
dia terlibat dalam penyebarannya. Dalam sebuah usaha terkait, Heurnius
mengalihkan upayanya ke bidang leksikografi Melayu dengan memperbarui
karya Wiltens dan Danckaerts atas perintah VOC pada 1650.45
Dibandingkan kecermatan upaya-upaya Heurnius, dan meski ada
pernyataannya bahwa sukses besar telah diraih oleh Walaeus, hasil yang
dicapai para mahasiswa di Leiden sangatlah tidak memadai. Collegium hanya
melatih dua lusin pengkhotbah, yang dikirim ke pos-pos di Ceylon, Ambon,
dan Formosa, sebelum ditutup oleh VOC pada 1632. Pada saat itu Heurnius
bentrok dengan pihak berwenang di Batavia mengenai tingkat kebebasan
yang diizinkan bagi misi, baik oleh VOC maupun dewan-dewan metropolitan
yang saling bersaing. Terlepas dari pernyataan resminya, pada 1630-an VOC
pastinya tak terlalu berminat pada komitmennya. Memang benar bahwa ada
penyangkalan terhadap rencana penutupan Collegium Indicum dan janji
samar-samar untuk mendukung pelatihan misionaris, namun dewan “tujuh
belas” menganggap akan lebih efisien melatih putra-putra para pegawai
Belanda setempat di sebuah seminari di Hindia. Pada kenyataannya, mereka
tidak mendirikan lembaga semacam itu untuk sekian waktu mendatang. Pada
Desember 1638 seorang misionaris yang menulis dari Batavia menyesalkan
kenyataan bahwa tak satu pun dari laporan yang mereka kirimkan selama
beberapa tahun sebelumnya mendapat tanggapan.
Bahasa Melayu atau Jawa yang bisa dipelajari di Belanda jelas tetap
merupakan kepentingan sekunder bagi beberapa orang dibandingkan tugas
yang lebih genting, yaitu menghadapi Katolik dan sesudah nya menghadapi
muslim yang paling dekat dengan jangkauan. Warga Universitas Leiden yang
terdidik sejak lama menganggap studi komparatif bahasa-bahasa Semit jauh
lebih bernilai bagi sebuah perguruan tinggi modern dibandingkan pengajaran
bahasa Melayu. Pakar Arab, Golius, memiliki sebuah kamus bahasa Melayu
saat dia meninggal pada 1667. Namun, kecil kemungkinan bahwa dialah
penyusunnya, mengingat banyak sekali kekeliruan ejaan dan definisi istilah-
istilah bahasa Arab, belum lagi fakta bahwa kolom-kolom bahasa Melayu
ditulis dengan huruf Latin, bukan Arab.
Pada tilikan pertama, dokumen ini mungkin mengingatkan pada
karya guru ortodoks Heurnius. Walaupun begitu, kemungkinan ini bisa
dikecualikan berdasar alasan-alasan kodikologis, dan bisa saja Heurnius
sendiri-lah penyusunnya.48 Siapa pun penyusunnya, tampak bahwa dia
tidak tahu tentang dasar teologi sebagian dari istilah-istilah teknis yang telah
disalinnya. Misalnya, penjelasannya yang ganjil mengenai “Aijaan thabida”
(yakni, a’yan tsabita) sebagai “terlihat dan bisa didemonstrasikan”.49 Ini persis
berlawanan dengan makna istilah ini yang sebenarnya, yang secara
umum merujuk pada aspek-aspek ketuhanan yang tak bisa dimengerti dan
berubah. Dengan demikian, definisi tadi mengingatkan pada sebuah entri
yang ditulis berdasar ingatan atau pada seorang cendekiawan Melayu
yang berusaha menjelaskan konsep “realisasi” dan penerapannya pada kajian
martabat tujuh wujud.
Pastinya, terdapat petunjuk dalam kamus ini yang memberi kita sebuah
pemahaman betapa Belanda tidak siap memahami elite Islam, dan juga
pemahaman tentang seberapa jauh Islamisasi telah berlangsung di kalangan
penduduk Indonesia yang lebih luas. Dengan menerima definisi-definisi
kamus milik Golius secara apa adanya, kita sampai pada pemahaman bahwa
teks (kitab) dihargai isebab kekuatannya sebagai azimat isebab kandungan
tertulisnya dan bahwa bentuk verbal hajj dimengerti sebagai bermakna
“membaca sesuatu dari kitab suci dalam bahasa Arab”, bukannya melaksanakan
ibadah haji. Di satu sisi, ada penjelasan untuk istilah-istilah fakir, faqih, haram
dan kafir, tapi di sisi lain kita tidak mendapati penyebutan mengenai pondok,
dzikr, atau juga tariqa.
Sebagaimana yang teramati oleh Snouck Hurgronje pada 1886, pandangan-
pandangan awal Belanda mengenai Islam lebih banyak dibentuk oleh apa
yang disebutnya “keyakinan yang masuk akal” ketimbang oleh pengetahuan
historis.51 Seiring berlalunya abad ketujuh belas, keyakinan itu beralih pada
gagasan Protestan mengenai kembali ke teks. Hal ini mengikuti awalan berupa
periode keterbukaan relatif yang ditandai, misalnya oleh para cendekiawan
seperti Erpenius yang terlibat dalam diskusi-diskusi bersahabat di Leiden
dengan sang Morisco pelawat Ibn al-Hajari mengenai topik teologi, atau
dengan humanis yang berhasil selamat di kawasan tropis seperti Jacob de Bondt
(Bontius, 1592–1631) yang bermukim di Batavia dari 1627 sampai 1631.
Apa yang benar-benar dilakukan orang-orang Asia Tenggara
sebagai muslim, selain disunat, melaksanakan ritual-ritual kalendris, dan
membangun masjid-masjid yang saling bersaing serta sekolah-sekolah yang
melekat dengannya, biasanya tidak terlalu menarik bagi para cendekiawan
yang berpikiran lebih religius di Tanah Air. Inilah anggapan seorang profesor
di Universitas Utrecht, Gisbertus Voetius (1589–1676), yang pada 1655
menerbitkan sebuah panduan bagi para pendeta yang hendak berangkat
bertugas. Buku panduan Voetius dituliskan dengan gaya Sokratik dan
didasarkan sebuah karya dari abad kelima belas yang disusun oleh seorang
muslim yang berpindah memeluk Kristen, Johannes Andrea dari Valencia,
yang diterbitkan ulang oleh Voetius pada 1646.53 Meskipun sudah belajar
sedikit bahasa Arab dari Erpenius, Voetius biasanya bersandar pada sumber-
sumber sekunder, bukannya merujuk teks-teks yang dibawa kembali dari
Timur.
Meskipun sebagian kalangan terpelajar di Negeri-Negeri Dataran
Rendah tetap tidak tahu apa-apa, atau barangkali lebih suka tetap begitu,
namun jelas bahwa bisa ditemukan semakin banyak orang yang bisa menjadi
perantara bagi VOC untuk menggunakan bahasa-bahasa penduduk pribumi.
Walaupun begitu, yang tidak bisa dijelaskan oleh para mediator semacam
ini, yang kerap merupakan keturunan dari perkawinan campur, yaitu
kecenderungan keagamaan yang secara teoretis dimiliki bersama oleh para
penguasa bawahan Belanda dan rakyat mereka yang beraneka ragam yang kini
tersebar dari Malaka (diambil alih dari Portugis pada 1641) hingga Makassar
(ditaklukkan pada 1669) dan Kepulauan Maluku (sepenuhnya dikuasai pada
pengujung 1650-an).
Hal serupa juga berlaku untuk perwakilan Gereja Reformasi, dengan
stok Injil berbahasa Melayu yang terus bertambah, yang lebih memilih
menggembala jemaah yang tadinya Katolik di bawah bimbingan para pastor
berbahasa Melayu. Salah seorang misionaris semacam itu yaitu François
Valentijn muda, yang sesampai di Batavia pada 1686 terkesan oleh bahasa
Melayu Isaäc Hellenius. Tak lama sesudah nya, dia juga terkesan oleh seorang
perwira militer di Jepara, Maurits van Happel, yang memahami bahasa
Jawi dan mengklaim punya peranan, meski diragukan, dalam penangkapan
Syekh Yusuf.54 Bukti mengenai keahlian kebahasaan yang lebih banyak
bisa dikumpulkan dari catatan-catatan mengenai harta milik Komandan
Garnisun Batavia, Isaac de Saint Martin (1629–96). Perpustakaan besarnya
mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa.55 Manuskrip-
manuskrip inilah yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal
Batavia. Proses penambahannya ke dalam koleksi digambarkan oleh Melchior
Leijdecker (1645–1701), yang tugas tetapnya sejak 1691 yaitu menghasilkan
kamus dan Injil berbahasa Melayu yang definitif.
Dengan kata lain, pokok yang lebih luas yaitu : pengetahuan tentang
bahasa merupakan satu hal, pengetahuan tentang agama yaitu hal yang lain.
Meskipun Isaac de Saint Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai
bahasa dan kebudayaan orang-orang Banten, dia memasrahkan urusan-
urusan agama kepada herbalis dan pedagang didikan Leiden, Herbert de Jager
(sekitar 1636–97). De Jager—yang terkenal mengetahui bahasa Sanskerta,
Persia, dan Singhale—dipekerjakan di Batavia pada 1683 untuk memberikan
pendidikan bahasa Arab dan Melayu guna “memajukan agama Melayu”—
maksudnya, dalam hal ini, Kristen Protestan.
Contoh terakhir orang Barat terpelajar yaitu seorang pedagang dan
naturalis yang menjelajah lebih jauh ke pedalaman yang berkorespondensi
dengan de Jager dan Saint Martin mengenai soal-soal botanis. Dia yaitu
Georg Rumph (Rumphius, 1627–1702) yang kelahiran Jerman. Sebagai
serdadu VOC, Rumphius tiba di Kepulauan Maluku pada 1652. Dia
ditugaskan sebagai pedagang junior isebab dianugerahi penguasaan bahasa
Melayu dan Portugis yang sangat berguna. Di luar tugas resminya, dia
mencurahkan waktu sebanyak mungkin untuk serangkaian sejarah alam
berdasar tulisan-tulisan karya Bontius dan observasinya di Ambon.
Sepanjang proyeknya, Rumphius bersandar pada banyak informasi yang
diberikan istrinya yang pribumi dan para informan yang merupakan orang-
orang berpengaruh di warga setempat. Di antara mereka, raja buangan
dari Kerajaan Timor, Solomon Speelman (dikembalikan ke takhta oleh VOC
pada 1680), dan “Iman Reti”, seorang “Pendeta Moor” dari Pulau Buru,
yang digambarkan Rumphius sebagai “guru” dalam urusan botanis. Sumber
berharga lainnya yaitu “Patti Cuhu” (Pati Kuhu), seorang tokoh dari Desa
“Ely” di Semenanjung Hitu.
Tak diragukan lagi, melalui berbagai hubungan lintas agama semacam
itulah Rumphius berhasil menyusun kamus bahasa Melayu (yang sekarang
hilang) pada pengujung 1660-an dan awal 1670-an. Kita pasti bertanya-tanya
mungkinkah orang-orang Muslim yang berpengetahuan perihal perkara-
perkara seperti a’yan tsabita atau aturan-aturan fiqh berbagi atau memengaruhi
ketidaksukaan Rumphius terhadap “takhayul”. Pada satu titik, dia mengejek
Sunan Giri sebagai “orang suci palsu” yang sudah lama memperdaya banyak
orang dengan membagi-bagikan tanah istimewa, gelang apung, dan besi India
teberkati yang diambil dari “kuil” yang dinyatakannya akan membuat kebal
si pemakai.
Bukti sebaliknya, seperti dicatat Rumphius melalui olok-olok, muncul
pada 1680 dengan mengambil bentuk sebuah peluru senapan Belanda dan
belati seorang Madura.61 Di titik lain, dia mencemooh praktik tradisional
pengucilan diri asketis (tapa) yang lazim di Pulau Bima. Katanya, “Sebuah
relikui durhaka kekafiran orang-orang Moor secara melawan hukum sehingga
dilakukan sembunyi-sembunyi.”
saat mereka menghendaki sesuatu dari Djing, yakni, Daemon (yang mereka
bedakan dari Setan atau Iblis) atau saat mereka ingin mempelajari muslihat
baru, menginginkan kekayaan atau cari untung dan kebal senjata, sukses
merampok, menggarong, atau mencuri, berjudi, atau masalah cinta, dsb., mereka
pergi ke tempat-tempat jauh dan pegunungan tinggi, tinggal di sana untuk
sementara, siang dan malam, dan membawa beberapa persembahan kepada sang
Djing ... [yang] memberi mereka sepotong kecil kayu atau batu kecil, yang harus
mereka kenakan agar mendapatkan hal-hal yang mereka minta. Demikianlah,
mereka berpikir bahwa diri mereka itu religius dalam cara mereka sendiri.62
Rumphius menjelaskan praktik-praktik semacam itu sebagai sisa-sisa
kekafiran. Djing bisa dengan mudah diidentifikasi sebagai Jin, yang diakui
oleh Al-Quran, atau setidaknya sebagai kesediaan pihak warga lokal untuk
mendukung keyakinan muslim terhadap makhluk itu dan kemujaraban
azimat. Bagaimanapun, azimat-azimat seperti gelang apung Sunan Giri cukup
layak digambarkan dalam Rariteiten-kammer (Lemari Barang-Barang Aneh)
karya Rumphius.
Patut diingat bahwa de Jager, Saint Martin, dan Rumphius yaitu orang-
orang aneh terpelajar yang hanyut jauh dari rumah. Pesan-pesan sampingan
Rumphius yang melaporkan praktik-praktik Islam setempat tidak terbit hingga
1740-an saat VOC kemudian memutuskan bahwa tak ada satu pun dari
rahasia dagangnya yang berharga terancam risiko lewat penerbitan karya-karya
sejarah alam yang lebih besar tempat rahasia-rahasia itu berada. Sebenarnya,
begitu sedikit hal baru mengenai Islam yang tersedia dalam bentuk tercetak di
Belanda selama masa hidup mereka sampai seorang mantan murid Leijdecker
dan Voetius, Adriaan Reland (Relandus, 1676–1718), mengumandangkan
seruan menuntut pengetahuan yang lebih luas mengenai agama ini dalam
Religione Mohammedica (Agama Mohammedan) sejak 1705.64
Relandus bukanlah apolog bagi Islam. Argumen-argumennya terutama
dirancang untuk mempersenjatai orang-orang Protestan seperti dirinya
melawan para polemikus Katolik yang menuduh mereka menjadi muslim.
Sebagaimana dibantah Relandus, ajaran-ajaran Gereja Katolik mengenai
hal-hal semacam doa untuk orang mati, perantaraan para santo, dan banyak
peziarahan lebih mirip dengan “Mohammedanisme” ketimbang agama
mereka sendiri sesudah direformasi.65 Namun, sesudah itu dia mendorong
mereka yang berhubungan dengan imperium Turki dan orang-orang Muslim
di koloni-koloni mereka yang jauh agar mencurahkan lebih banyak waktu
untuk mempelajari bahasa Arab dan Al-Quran agar bisa berdebat secara
cerdas. Dia bahkan bercanda mengenai potensi terjadinya pergeseran sikap
di kalangan rekan-rekan senegaranya jika negara mau menawarkan hadiah
kepada siapa pun yang berhasil membuat seorang muslim memeluk Kristen
dengan usaha semacam itu.
Terlepas dari seruan Relandus, hanya sedikit orang yang berpikiran bahwa
teks-teks mengenai Islam akan mendapat pembaca. François Valentijn, yang
memasok Relandus dengan sebagian manuskripnya, konon diyakinkan bahwa
catatan-catatan mengenai agama ini kemungkinan kecil mendapatkan
khalayak. Valentijn pastinya memiliki peluang yang bagus untuk
membentuk sebuah opini isebab sudah ditempatkan di Ambon, Banda, Jawa
Timur, dan Batavia sejak 1686 hingga 1694 dan 1706 hingga 1713. Selama
periode pertama, Valentijn dibimbing oleh Rumphius, yang catatan-catatan
dan ukiran-ukirannya dengan bebas dia masukkan dalam Oud en Nieuw Oost-
Indiën (Hindia Timur Lama dan Baru) karyanya dari 1724–26. Valentijn
dituduh melakukan banyak ketidakpatutan selama usahanya di Hindia, selain
dituduh memiliki pemahaman yang tidak memadai terhadap bahasa Melayu.
Sebagai pihak yang bertahan, dia punya kebiasaan meremehkan cendekiawan
lain yang sedikit paham bahasa Melayu, atau bahkan bahasa Arab. Misalnya,
Saint Martin, yang dianggap oleh Valentijn sangat lamban.68
Valentijn juga beradu pena dengan Leijdecker di Batavia dan dengan
para pencela setempat seperti Pieter Worm (Petrus van der Vorm, 1664–
1731) mengenai persoalan bentuk bahasa Melayu apa yang tepat untuk
menyampaikan Injil. Apabila van der Vorm dan Leijdecker lebih memilih
menerjemahkan kitab suci dalam bahasa “Melayu Tinggi” yang universal,
Valentijn cenderung pada penggunaan dialek-dialek lokal. Menurutnya,
bahasa Melayu benar-benar merupakan cagar bagi kebudayaan Islam.
Penilaiannya ini memiliki dasar yang kuat. Kita mungkin ingat bahwa
terjemahan-terjemahan de Houtman dianggap tidak sesuai oleh beberapa
vikaris awal, atau juga Heurnius yang mengeluh bahwa penduduk yang tidak
terislamisasi sedikit mengerti bahasa Melayu yang mereka gunakan.
Pada akhirnya, Injil Valentijn lenyap dengan cara yang sama seperti
kumpulan catatan mengenai serangkaian manuskrip berbahasa Melayu-Arab
miliknya. berdasar sebuah obituari dari 1727, kumpulan catatan ini
meliputi “Sebuah Gambaran mengenai Agama para Pengikut Muhhamed”
yang disajikan dengan Vitae Nabi Musa dan Yusuf dalam bahasa “Melayu
Tinggi”. Selain itu, dari katalog penjualan perpustakaannya jelas bahwa
dia memiliki setidaknya dua salinan Ma’rifat al-islam, yang sangat mungkin
menjadi pijakan dasarnya.
Valentijn bukanlah satu-satunya yang mengusahakan karya semacam
itu. Leijdecker menerjemahkan bagian awal Idah fi l-fiqh, sementara van der
Vorm menerjemahkan Mir’at al-mu’min (Cermin Orang-Orang Beriman)
karya Syams al-Din. Terlepas dari beberapa kemunduran, Valentijn berhasil
menyajikan informasi mengenai Islam dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën-
nya yang berkenaan dengan Ambon, Makassar, dan Jawa. Untuk Ambon,
dia merujuk pada sumber-sumber berbahasa Portugis dan Melayu untuk
menjelaskan kedatangan Islam sebagai hasil kerja “Pati Toeban” (yakni Sunan
Bonang yang dimakamkan di Tuban) sesudah pengislaman orang-orang
Maluku. Valentijn juga mampu membedakan secara memadai antara orang-
orang Suni dan Syi‘ah untuk menyatakan bahwa orang-orang “Moor” yang
telah membawa Islam yaitu orang-orang Suni sebagaimana bangsa Arab yang
diduga telah mengislamkan Jawa. Meski demikian, Valentijn tidak terlalu
menghargai kebanyakan muslim Ambon isebab dianggap tidak mengetahui
teks-teks mereka sendiri, meskipun dia mengatakan pernah mengamati orang-
orang yang tengah shalat di sebuah masjid di Hila serta bertemu seorang
pendeta yang memanjatkan doa memohon dia masuk Islam.
Untuk berbagai rincian singkat mengenai puasa, perkawinan, dan
sumpah Valentijn bersandar kepada seorang “pendeta” lain dari Hila bernama
Hasan Sulayman. Dia berpandangan bahwa kaum Muslim secara umum lebih
religius dibandingkan orang-orang Belanda di Hindia. Dia juga menyatakan
bahwa mereka yaitu penutur bahasa Melayu yang lebih mahir dibandingkan
orang-orang Kristen berkat literatur mereka yang luas dan beragam. Sebagai
bukti, dia memberikan ringkasan berbagai teks miliknya.
Dalam kasus Makassar, Valentijn mencatat bahwa dia mendapatkan
informasi dari “salah seorang di antara kaum Mohhamedan yang paling
terpelajar” kenalannya, seorang kapten yang berbasis di Batavia bernama
“Dain Matàra”. Yang tampaknya didengar Valentijn yaitu sebuah laporan
mengenai legenda Islamisasi kerajaan di tangan sang pendiri “Dato Bendang”.
Meskipun menyampaikan informasi ini, menurutnya dia mendapati tanggalnya
bermasalah. Valentijn jelas lebih berminat pada sejarah Islam ketimbang
praktik Islam dan secara aktif menghindari bicara mengenainya. Seperti yang
dia nyatakan dalam bagian tulisannya “Perkara-Perkara Makassar”:
Kami tidak akan bicara lagi tentang muatan agama ini, sebagaimana sudah
dilakukan di bawah tajuk Jawa. Di sini kami hanya akan menambahkan
bahwa agama ini sangat menyebar di kalangan orang-orang kafir buta secara
sedemikian rupa sehingga sebagian besar pulau ini [yakni Sulawesi] menjadi
Mohhammedan, sebuah agama yang sangat mudah dan luar biasa ringan untuk
mereka terima, yang juga merupakan alasan mengapa kami bisa mencapai
begitu sedikit hasil ....
Valentijn nyaris tidak menganggap Islam sebagai sebuah agama
serta mendudukkannya di tempat ketiga yang mengenaskan dalam bagian
tulisannya “Perkara-Perkara Agama” sesudah Paganisme dan Agama “Roma”.
Seperti yang sudah dia janjikan, subbagian yang secara eksplisit diberi judul
“agama di Jawa” memuat sedikit informasi selain penyebutan sambil lalu
mengenai pengislaman pulau ini di tangan Syekh “Ibn Moelana” (yakni
Mawlana Maghribi) dan kemudian Pati Tuban. Valentijn juga menegaskan
kembali bahwa, dibandingkan Paganisme, Yahudi, dan Kristen, “agama
Muhammedan” sebenarnya sama sekali bukanlah “agama utama”. Sebaliknya,
dia mengulangi fiksi kuno bahwa Islam diciptakan melalui perpaduan
“endapan-endapan” Yahudi dengan berbagai unsur agama Saba dan Saracen
awal.
Dalam satu abad, Belanda tidak membuat banyak kemajuan
dibandingkan para pesaing muslim mereka. Sebagaimana direnungkan
Valentijn, Al-Quran yang bisa dibaca oleh “siapa pun”, dibaca dari Patani
hingga Jawa. Dia mengakui penyebaran Al-Quran begitu hebat sehingga
“dengan sangat sedikit pengecualian” hampir seluruh pulau ini yaitu
Mohammedan. Dengan menyesal Valentijn menambahkan bahwa mereka
“sejauh ini tidak menyebarkan Islam menggunakan kekerasan”, namun
sebaliknya secara sukarela, dengan pengecualian sedikit orang yang telah
“secara sembrono mengawini perempuan Mohammedan atau mengucapkan
syahadat mereka”.
sesudah mengesampingkan agama sebagian besar orang Jawa yang patut
disesali, Valentijn menulis tentang topik-topik yang dia yakini akan diminati
publiknya sendiri: dia melacak perkembangan Protestantisme di Nusantara
sembari memerinci geografi dan sejarah yang menyertainya. Karya Valentijn
berfungsi sebagai rujukan primer bagi para cendekiawan dan pelawat Belanda
selama lebih dari satu abad, dan dicetak ulang hingga 1860-an. Walaupun
begitu, dia bukanlah satu-satunya tokoh abad kedelapan belas yang menulis
tentang agama orang-orang Jawa dan Melayu, meski secara tidak langsung.
Tokoh lainnya yaitu penerjemah Injil kelahiran Swiss, George Henrik
Werndly (1694–1744), yang ditempatkan di Makassar (1719–23) dan
kemudian di Batavia (sampai 1730), tempat dia membantu Pieter Worm
menerbitkan Injil Leijdecker pada 1723. Juga pada periode inilah dia
menyusun Maleische Spraakkunst (Seni Wicara Melayu) karyanya, tempat dia
menyarankan bahwa Injil yang ditawarkan Valentijn sebenarnya yaitu karya
misionaris lain, Simon De Larges (w. 1677).
Seperti Oud en Nieuw Oost-Indiën karya Valentijn, tata bahasa karya
Werndly menikmati masa penggunaan yang luar biasa panjang di kalangan
para pejabat dan mencapai beberapa edisi hingga abad kesembilan belas.
Namun sekali lagi, keprihatinan cendekiawan ini yaitu penyebaran agama
Kristen. Baru sesudah kemunculan sebuah bibliografi karya-karya yang
diterbitkan oleh rekan-rekannya sesama orang Eropa, yang kesemuanya
diyakini berada di rak-rak Sekretariat Jenderal, Werndly mendaftar ada 69
buku yang menurutnya mendekati perpustakaan berbahasa Melayu ideal,
yang dalam kasusnya sangat mungkin berada di sebuah rak terpisah tak jauh
dari sana. Buku-buku ini meliputi beberapa judul yang bisa dikaitkan dengan
pengajaran Islam isebab daftar Werndly bermula bukan dengan sebuah kronik
kerajaan seperti Sulalat al-salatin meskipun jelas bahwa dia sangat menghargai
karya ini , melainkan dengan sebuah risalah dogmatik berjudul Usul
Agama Islam (Akar-Akar Agama Islam). Dia menyusulinya dengan delapan
judul yang, selain Bustan al-salatin (Taman para Sultan) dan Taj al-salatin
(Mahkota para Sultan), secara sama-samar diidentifikasi sebagai mengenai
fikih atau tafsir. sesudah cukup panjang beralih ke dunia hikayat dan syair,
Werndly memungkasi daftarnya dengan empat belas karya yang bisa jadi
digunakan di pondok-pondok. Karya-karya ini mencakup pula Ma’rifat al-
islam serta Mir’at al-mu’min karya Syams al-Din.80
Daftar karya ini hanya memberikan pemahaman umum mengenai
kandungan buku-bukunya. Kita langsung menyadari beberapa ketiadaan
yang mencolok jika membandingkan daftar Valentijn dan Werndly dengan
inventaris Banten yang dibuat seabad kemudian. Sementara jelas ada buku-
buku mengenai yurisprudensi dasar yang beredar pada awal abad kedelapan
belas, bersama teks-teks eskatologis seperti Kanz al-khafi (Harta Tersembunyi)
karya al-Raniri dan Kashf al-sirr (Penyingkapan Rahasia) yang dihubungkan
pada Hamzah al-Fansuri, kita tidak menemukan bukti keberadaan jenis-jenis
komentar yang secara langsung berciri Ghazalian yang dihasilkan al-Falimbani
setengah abad kemudian. Begitu pula tak ada tanda yang jelas mengenai syair-
syair pujian al-Jazuli atau risalah-risalah al-Sya’rani, yang dipopulerkan oleh
para pembaharu yang didiskusikan pada Bab 2.81
Werndly sendiri mengungkapkan keyakinan bahwa “banyak dan
beragam” buku dapat ditemukan di kalangan orang-orang Melayu. Beberapa
bahkan ditemukan secara hampir bersamaan isebab sebuah lampiran
mendaftar delapan buku sekaligus, termasuk terjemahan tradisi-tradisi
kanonis mengenai berbagai ucapan dan tindakan Nabi serta sebuah salinan
soal-jawab al-Samarqandi. Namun, meski Werndly telah menggunakan
Mir’at karya Syams al-Din untuk pengantarnya, dia menganggap nilainya
yaitu sebagai sebuah sumber mengenai “istilah-istilah teknis kaum pendeta
Mohammedan”.
Memang tampaknya Belanda pada akhirnya menjadi lebih mengenal
kaum pendeta ini, jika draf kamus Leijdecker yang banyak diterbitkan itu
dianggap sebuah petunjuk. Disalin pada sekitar 1750, kamus ini menjadi
saksi berkembangnya kesadaran Belanda mengenai istilah-istilah Islami, yang
barangkali mulai digunakan secara lebih umum di kawasan ini. Istilah-istilah
ini meliputi bid’at untuk bidah, chalwa untuk pengasingan diri, dan
santrij untuk santri, meskipun ini sudah diketahui sejak akhir abad ketujuh
belas (pada 1684, misalnya, Syekh Yusuf dibuang ke pengasingan bersama
dua belas “santrij” yang digambarkan sebagai “para paus kuil”). Namun, yang
lebih aneh yaitu penyebutan ahl al-tahqiq yang penuh teka-teki (meski sang
juru tulis menuliskan tahfiq) serta dua istilah yang terbolak-balik secara ganjil,
tariyaka dan tirricat, dijelaskan sebagai “kepasrahan” dan “ketundukan”, yang
menunjuk pada sebuah gagasan tentatif mengenai tarekat sebagai organisasi
quietis.83
Jika gagasan mengenai tarekat dan Sufisme tetap samar-samar, hal-hal
terkait perkawinan dan warisan tidak demikian, terutama saat persoalan
pajak yang dipertaruhkan. Pada Desember 1754 Gubernur Jenderal Jacob
Mossel (menjabat 1750–61) memerintahkan penyusunan bunga rampai
“berbagai hukum dan adat Mahomedan paling penting mengenai warisan,
perkawinan, dan perceraian”, sesudah berkonsultasi dengan “beberapa
pendeta Mahomedan dan pejabat kampong”. Sebuah komite kemudian
mempresentasikan draf untuk diskusi pada Februari 1756 yang diperiksa baik
oleh Belanda maupun para “pendeta” lokal sebelum disebarkan pada 1760.
Juga terlihat dari catatan korespondensi para gubernur jenderal bahwa
penaklukan efektif atas Jawa, yang diresmikan dengan Perjanjian Giyanti
1755, bersamaan dengan Belanda mulai mempertimbangkan pelatihan dan
pengujian bahasa Arab dan Melayu para pejabatnya. Barangkali mereka
ingin menghilangkan ketergantungan terhadap para perantara asing semisal
petualang Utsmani, Sayyid Ibrahim (dikenal dengan berbagai nama seperti
Bapak Sarif Besar atau Padre Grande), yang pernah bernegosiasi atas nama
mereka pada 1753–54. Juga jelas bahwa mereka lebih suka berurusan dengan
negara-negara muslim di Jawa mengingat Batavia mendorong Islamisasi
Kawasan Tapal Kuda sejak 1760-an dengan mengorbankan kekuatan-
kekuatan yang berdekatan di Bali.87
Bahkan, tampaknya sebagian pendeta merasa bahwa mereka pada
akhirnya mendapatkan khalayak Muslim. Pada 1759 J.M. Mohr (1716–75),
seorang pendeta Batavia yang baru saja menyelesaikan empat jilid Injil dalam
edisi bahasa Portugis dan Jawi, berturut-turut pada 1753 dan 1756, memberi
tahu Orientalis Leiden Jan Jacob Schultens (1716–88) bahwa dia bersiap-siap
menyebarkan sekitar 3.500 kopi kepada kalangan kaum Muslim di kawasan
ini. Namun, dia hanya bisa menyesal isebab meskipun telah mengirimi Raja
Terengganu di Semenanjung Malaya sekitar lima puluh kopi melalui tangan
seorang petugas kapal yang memiliki bakat kebahasaan, dia tidak mampu
menyertakan seorang guru yang mengetahui agama “Alkoranic”, yang bisa
memberikan “suara hidup seorang guru yang penyayang dan bijaksana” untuk
tugas ini.
Kembali ke Werndly: teksnya tak diragukan lagi dianggap berguna
oleh para pejabat dan pengkhotbah di seluruh Hindia sampai dengan abad
kesembilan belas. Namun, dari teks ini tak banyak yang khas yang bisa
dipelajari mengenai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain penyebutan
singkat bahwa teks-teks tertentu bermanfaat dan rekomendasi Kanz al-khafi
karya al-Raniri sebagai (mengutip Valentijn) “sebuah buku yang sangat baik
mengenai penciptaan manusia, kematian, kubur, anti-Kristus, Gog dan
Magog, dan hari akhir”, Werndly hanya mengungkapkan berbagai prasangka
yang bisa kita harapkan dari seorang klerikus abad kedelapan belas. Dia
berkomentar bahwa kisah populer Isra Mikraj mengisahkan bagaimana sang
“nabi palsu” dibawa ke Jerusalem di punggung “makhluk khayalan Burâk”,
kemudian ke langit tempat dia melihat singgasana Tuhan.
Jelas bahwa orang-orang seperti Werndly dan para penerus langsungnya
berjarak lebih jauh daripada sekadar dua busur panah dari inti pengetahuan
Islam. Namun saat itu, banyak klerikus merasa bahwa bahasa Melayu yang
lebih mereka pedulikan dibandingkan bahasa Arab, juga tidak benar-benar
sesuai untuk menangani teologi Kristen. Demikianlah keadaannya sehingga
sang cendekiawan ortodoks dalam skriptorium kolonial mungkin mendaki
gunung-gunung istilah teologi Islam dalam manuskrip sembari hanya sedikit
menyadari betapa beberapa puluh meter darinya seorang muslim barangkali
tengah memanjatkan doanya. (Meski sebelumnya ada larangan mengadakan
perkumpulan apa pun bagi kaum Muslim untuk tujuan ibadah atau kajian,
hal-hal semacam itu terus berlangsung.) Oleh isebab itu, untuk observasi-
observasi sezaman mengenai berbagai praktik muslim pada abad kedelapan
belas kita harus kerap bersandar pada pesan sampingan yang sesekali muncul
dalam surat-surat yang ditulis oleh para pelancong terpelajar. Beberapa
permisalan yaitu lukisan-lukisan pastor Lutheran Jan Brandes (1743–1808)
yang sudah diterbitkan. Ada banyak lagi yang merana dalam gudang-gudang
penyimpanan yang lembap.
Pastinya Brandes bukanlah satu-satunya orang Eropa terpelajar yang
mengunjungi Indonesia. Batavia memang menjadi sebuah situs lapangan
bagi