unya pribadi yang keberadaannya dalam komisi Utsman
disepakati seluruh riwayat. Hanya beberapa kecil Muslim yang
menyatakan keheranannya kenapa Ibn Mas‘ud tidak menempati
posisi Zayd. Ibn Mas‘ud, seperti terlihat, telah lama menjadi Mus-
lim, bahkan saat Zayd belum lagi lahir, dan pengetahuannya
tentang al-Quran memang sangat meyakinkan. namun ,
pertimbangan-pertimbangan politik tampaknya telah mewarnai
pemilihan Zayd. Utsman barangkali memandang bahwa pemuda
cekatan, berinteligensi tinggi, pernah melakukan pekerjaan yang
sama di masa sebelumnya, dan – mungkin paling penting – loyal
terhadap Khalifah, jelas merupakan pilihan yang lebih baik
daripada seorang pejabat senior yang keras kepala.
Sebaliknya, agak sulit menentukan alasan pemilihan tiga
anggota komisi lainnya yang berasal dari suku Quraisy. Alasan
utama pemilihan ketiganya, seperti terlihat dalam riwayat di atas,
adalah menjaga kesejatian dialek Quraisy dalam penyalinan mushaf.
Sehubungan dengan Sa‘id ibn al-‘Ash, sejak 29H ia menjadi
gubernur Kufah. Apakah saat pembentukan komisi ia berada di
Madinah atau dipanggil secara khusus oleh Khalifah, merupakan
hal yang tidak dapat dipastikan. Sementara kepribadian dua
pemuda Quraisy lainnya juga tidak begitu jelas dalam riwayat-
riwayat yang sampai ke tangan kita.
Dalam salahsatu versi minoritas, nama Sa‘id hilang dari
keanggotaan komisi dan sebagai gantinya muncul nama Abd Al-
lah ibn Amr ibn al-‘Ash dan Abd Allah ibn Abbas.3 Penyebutan
Ibn Abbas di sini jelas menunjukkan suatu tendensi untuk
memasukkan peran keluarga Nabi dalam pembuatan kodeks resmi.
Sementara beberapa versi minoritas lainnya menyebutkan
keterlibatan Ubay ibn Ka‘b dalam komisi yang dibentuk Utsman.4
namun , sebagaimana ditunjukkan di atas, riwayat ini secara
sederhana bisa ditolak dengan merujuk tahun kematiannya pada
22H, yang jauh mendahului pembentukan komisi Utsman.5
Penyebutan nama Ubay, dalam riwayat-riwayat ini , dikaitkan
dengan 12 anggota komisi yang dibentuk Utsman. Dalam suatu
versi yang agak ringkas tidak disebutkan nama ke-12 anggota itu,
dan basis untuk penulisan mushaf utsmani adalah lembaran-
lembaran di dalam kotak al-Quran (rab‘ah) yang tersimpan di
rumah Umar ibn Khaththab.6 Penyebutan beberapa besar anggota
komisi yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar ini tampaknya
bertujuan untuk melibatkan warga Madinah dalam
pengumpulan resmi.
Sementara dalam beberapa riwayat lainnya, hanya disebutkan
dua nama yang mengerjakan kodifikasi pada masa Utsman, yaitu
Zayd ibn Tsabit dan Sa‘id ibn al-‘Ash, dengan pertimbangan bahwa
Zayd merupakan penulis terbaik yang pernah menyalin wahyu
pada masa Nabi – sebab itu ia ditugaskan untuk menulis – dan
Sa‘id merupakan yang terfasih bahasanya – sebab itu ditugaskan
untuk mengimlak atau mendikte.7 namun , terkadang posisi ini
terbalik: Zayd mendikte sedangkan Sa‘id menulis.8 Varian lainnya,
seperti dilaporkan Ibn Abi Dawud, mengemukakan nama Aban
ibn Sa‘id ibn al-‘Ash – paman dari Sa‘id yang sering disebut dalam
riwayat – bersama Zayd.9 Aban memang pernah berperan sebagai
sekretaris Nabi. namun , menurut riwayat lain, ia meninggal dalam
pertempuran Yarmuk pada 14H, sehingga keterlibatannya dalam
komisi Utsman jelas merupakan rekayasa belakangan, atau secara
tidak sengaja nama Sa‘id tertukar dengan namanya dalam proses
transmisi.
Di samping riwayat-riwayat yang telah disebutkan, ada
versi minoritas lainnya – seperti disitir Ibn Abi Dawud – yang
menjelaskan bahwa Umar mengawali pengumpulan al-Quran,
namun tidak sempat menyelesaikannya sebab terbunuh. Utsman,
yang menggantikan Umar sebagai khalifah, melanjutkan pekerjaan
ini dan menyelesaikannya. Dalam riwayat ini, akhir versi
mayoritas dalam pengumpulan pertama Zayd tentang bagian
terakhir al-Quran (9:127), yang ditemukan pada Khuzaimah ibn
Tsabit, juga dicakupkan.10 Mirip dengan versi minoritas ini adalah
riwayat Abd Allah ibn al-Zubayr yang mengabarkan bahwa
seseorang menghadap Umar dan melaporkan pertikaian umat Is-
lam tentang al-Quran. sebab itu, Umar memutuskan
mengumpulkan al-Quran hanya dalam satu bacaan. namun , saat
tengah melaksanakan pengumpulan, ia terbunuh. Orang yang sama
– yang menghadap Umar – kemudian menghadap Khalifah Utsman
dan menyampaikan hal senada. Utsman kemudian memutuskan
untuk mengkodifikasi al-Quran dan memerintahkan Abd Allah
ibn al-Zubayr meminjam mushaf Aisyah. Setelah diteliti dan
dilakukan perbaikan, Utsman lalu merobek lembaran-lembaran
lainnya.11 Riwayat-riwayat semacam ini hanya terlihat memperkecil
peran Utsman yang demikian besarnya. Sedangkan penyebutan
mushaf Aisyah sebagai basis kodifikasi Utsman tampak bersifat
tendensius,12 dan bertabrakan dengan versi mayoritas yang
menyebutkan kodeks Hafshah sebagai basisnya.
Terlepas dari masalah anggota-anggota komisi yang ditunjuk
Utsman, perintah yang ditujukan kepada komisi ini adalah
menyalin al-Quran dalam dialek suku Quraisy, sebab – seperti
disebutkan dalam versi mayoritas – kitab suci itu diwahyukan
dalam bahasa mereka. namun , suatu riwayat mengungkapkan bahwa
saat terjadi perselisihan di antara anggota komisi tentang
penulisan suatu kata dalam 2:248 (cf. 20:39), di mana Zayd
berpendapat bahwa kata ini mesti ditulis tãbûhun (p8 dengan
p), sementara anggota komisi lain beranggapan mesti ditulis tãbût
(58 dengan 5), maka Utsman menjelaskan bahwa bentuk tulisan
terakhir – yakni dengan 5 – adalah dialek Quraisy asli.13 Pandangan
ini jelas keliru, sebab tãbût bukanlah kata Arab asli, namun berasal
dari bahasa Abisinia (Habsyi).14 Demikian pula, gagasan yang
berkembang dikalangan sarjana Muslim bahwa teks utsmani
mencakup ahruf al-sab‘ah, dalam pengertian tujuh dialek, jelas
bertabrakan dengan versi mayoritas di atas yang menyebutkan
penyalinan ini hanya dibatasi pada dialek Quraisy.
Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy ini
sebenarnya patut dipertanyakan. Al-Quran sendiri, di beberapa
tempat (16:103; 26:195), menegaskan bahwa ia diwahyukan dalam
“lisan Arab yang jelas”. Penelitian terakhir tentang bahasa al-Quran
menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang
digunakan dalam syair-syair pra-Islam. Bahasa ini merupakan
Hochsprache – atau lingua franca, lazimnya disebut ‘arabiyyah –
yang dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, dan merupakan
satu kesatuan bahasa sebab kesesuaiannya yang besar dalam
masalah leksikal maupun gramatik. Lebih jauh, Hochsprache atau
lingua franca ini bukanlah dialek suku atau suku-suku tertentu.
Sebagian sarjana Muslim cenderung berasumsi bahwa sebab Nabi
dan pengikutnya yang awal berasal dari suku Quraisy, maka mereka
tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku ini .
Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku
Quraisy itu identik dengan bahasa syair. namun , beberapa informasi
tentang dialek suku-suku Arab pada masa Nabi yang berhasil
diselamatkan, cenderung menyangkali keyakinan bahwa dialek
Quraisy identik dengan bahasa syair.
Dalam riwayat versi mayoritas juga disebutkan bahwa bagian
tertentu al-Quran (33:23) telah terlupakan, namun dapat ditemukan
pada Khuzaimah ibn Tsabit, kemudian diletakkan pada tempatnya
yang semestinya. Thabari menuturkan bahwa bagian al-Quran
ini diketahui non-eksistensinya pada pemeriksaan pertama.
Pada pemeriksaan kedua, ditemukan non-eksistensi bagian al-Quran
lainnya, yakni akhir surat 9 – tepat-nya 9:127-128 – yang kemudian
bisa diperoleh dari Abu Khuzaimah.16 Sementara Tirmidzi hanya
menyebutkan terlupakannya bagian al-Quran yang terakhir.17
Dalam kasus semacam ini, riwayat-riwayat ini barangkali
tertukar dengan riwayat pengumpulan pertama dalam proses
transmisinya. Namun riwayat-riwayat ini secara jelas
menunjukkn bahwa komisi yang dipimpin Zayd telah berusaha
sekuat tenaga untuk mengumpulkan seluruh potongan wahyu yang
dapat mereka temukan. Tugas ini berhasil dilakukan, sebab –
sebagaimana akan ditunjukkan – tidak pernah ada satu keberatan
yang betul-betul substansial dan bisa menafikan kelengkapan
mushaf utsmani yang dikodifikasikannya.
Kesulitan paling serius dalam versi mayoritas mencuat
sehubungan dengan mushaf Hafshah. Kesan yang diperoleh dari
riwayat versi mayoritas adalah bahwa tugas komisi yang dipimpin
Zayd hanyalah membuat suatu salinan yang memadai dari mushaf
Hafshah. Dari beberapa riwayat diketahui bahwa mushaf ini sangat
diinginkan oleh Khalifah Marwan – bahkan sejak menjabat sebagai
gubernur Madinah – untuk dimusnahkan, yang baru berhasil
dilakukannya setelah wafatnya Hafshah. Alasan pemusnahannya
adalah kekhawatiran Marwan bahwa bacaan-bacaan tidak lazim di
dalamnya akan menimbulkan perselisihan di dalam warga .18
Riwayat ini membuktikan bahwa mushaf Hafshah jelas tidak
memadai sebagai basis teks resmi al-Quran. Namun, benang merah
yang hendak ditarik di sini adalah keterkaitan mushaf Hafshah
dengan pengumpulan pertama Zayd di masa Abu Bakr, sehingga
nama-nama khalifah sebelum Utsman memiliki peran penting
dalam proses pengumpulan mushaf resmi. Sebagaimana
ditunjukkan dalam bab 4, kisah pengumpulan pertama itu hanya
rekayasa belakangan yang dilakukan dengan tujuan memandulkan
peran Utsman yang luar biasa dalam kasus ini. Sementara
keterkaitan Hafshah dalam versi mayoritas di atas, dengan
demikian, mesti dipandang sebagai rekayasa belakangan dengan
tujuan senada.
Jadi, mesti ditetapkan bahwa komisi bentukan Utsman, yang
dimotori Zayd Ibn Tsabit, telah mengumpulkan al-Quran dari
berbagai sumber dan menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf yang
kemudian disebarkan ke berbagai kota metropolitan Islam saat
itu. Pengumpulan pada masa ini – berdasar keterkaitannya
dengan ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan pada 30H, bisa
ditetapkan dilakukan sekitar tahun ini hingga menjelang
terbunuhnya Utsman pada 35 H – lebih merupakan usaha untuk
penyeragaman atau standardisasi teks dan bacaan al-Quran. Latar
belakang perbedaan bacaan yang mengakibatkan diambilnya
keputusan pengumpulan dengan sepenuhnya menjustifikasi
kesimpulan ini. Lebih jauh, usaha standardisasi teks al-Quran yang
dilakukan Utsman itu jelas merupakan suatu kenyataan sejarah
yang pasti.19 namun , saat peristiwa ini ditransmisikan dari generasi
ke generasi, terjadi distorsi lewat berbagai tambal sulam dan bahkan
pengebirian peran besar Utsman dengan pengaitannya kepada
prestasi-prestasi “ilusif” para pendahulunya.20 sebab itu, riwayat-
riwayat tentang pengumpulan kedua Zayd ibn Tsabit ini harus
diterima secara diskriminatif, sebagaimana ditunjukkan di atas.
Penyebaran Mushaf Utsmani
Telah dikemukakan bahwa setelah selesai melakukan kodifikasi
al-Quran, beberapa salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai
kota metropolitan Islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf
yang berhasil diselesaikan penulisannya dan ke kota-kota mana
saja ia dikirim sangat beragam. Menurut pandangan yang diterima
secara luas, satu mushaf al-Quran disimpan di Madinah, dan tiga
salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.21 Pendapat
populer lainnya, yang dipegang penulis Itqãn, menyebut lima
eksemplar dan menambahkan kota Makkah ke jajaran empat kota
di atas.22 Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang
digandakan itu ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke
lima kota yang baru disebutkan, dan sisanya satu eksemplar
disimpan oleh Utsman. Mushaf di tangan Utsman inilah yang
kemudian dikenal sebagai al-imãm (mushaf induk).23 Sedangkan
Ibn abi Dawud menuturkan pandangan Abu Hatim al-Sijistani
(w. 863) bahwa mushaf yang berhasil diselesaikan penulisannya
beberapa 7 eksemplar, dan menambahkan kota Yaman dan Bahrain
ke dalam jajaran lima kota penerima salinan mushaf.24
Berbagai sudut pandang yang diutarakan di atas menimbulkan
permasalahan tentang riwayat mana yang paling dapat dipegang
sehubungan dengan mushaf-mushaf Utsman. Seperti terlihat dalam
latar belakang kodifikasi Utsman, pengumpulan pada masa itu
terkait erat dengan perbedaan bacaan di kalangan pasukan Mus-
lim yang direkrut dari Siria dan Irak. Jadi, riwayat pertama – yang
menyebutkan eksistensi 4 salinan mushaf, 3 di antaranya dikirim
ke Kufah, Bashrah dan Damaskus – merupakan yang paling sesuai
dengan latar belakang kodifikasi ini . Kota-kota Kufah, Bashrah
dan Damaskus saat itu merupakan kota-kota terpenting di
propinsi Irak dan Siria. Di kota-kota inilah garnisun-garnisun
kekhalifahan direkrut dan ditempatkan. Selain itu, dalam riwayat
pengumpulan Utsman, yang ditonjolkan sebagai pusat perhatian
Khalifah saat itu adalah bagaimana mengakhiri pertikaian di
dalam pasukan Muslim tentang bacaan al-Quran. Dengan
demikian, tujuan lanjutan untuk menyatukan seluruh wilayah
kekhalifah kepada satu teks standar al-Quran, bukan merupakan
kebutuhan utama, sekalipun Utsman mungkin saja telah
memikirkannya. Penyebutan kota Makkah, dalam riwayat lainnya,
barangkali terkait secara langsung dengan makna kota ini sebagai
tanah kelahiran Nabi dan tanah suci pertama Islam di mana Ka’bah
berada. Sementara penyebutan tujuh kota dalam riwayat terakhir
di atas barangkali terkait dengan “kesakralan” angka tujuh: al-Quran
telah diwahyukan dalam tujuh ahrûf, yang belakangan juga
ditafsirkan sebagai tujuh bacaan dalam qirã’ãt al-sab‘.
Setelah penyebaran mushaf utsmani, berbagai mushaf atau
fragmen al-Quran lainnya – seperti disebutkan dalam riwayat versi
mayoritas di atas – dimusnahkan atas perintah Khalifah. Menurut
Schwally, seluruh riwayat tentang pemusnahan mushaf atau
fragmen al-Quran non-utsmani hanya menyebutkan kejadiannya
di kota-kota yang disebutkan di atas, bahkan terbatas pada daerah
Irak dan Siria.25 Para penguasa kota-kota ini tentunya memiliki
kekuasaan untuk menjalankan amanat Khalifah sejauh menyangkut
pemilikan umum, namun tidak demikian halnya dengan mushaf
atau fragmen yang menjadi milik pribadi. saat membahas mushaf
Ibn Mas‘ud dan Abu Musa dalam bab 5, telah dikemukakan bahwa
kedua sahabat Nabi ini termasuk orang yang menolak menyerahkan
mushafnya untuk dimusnahkan.
Pemusnahan mushaf dan fragmen non-utsmani, menurut
sebagian riwayat di atas, dilakukan dengan merobeknya – kharaqa
(;S), atau sinonimnya syaqqa dan mazaqa. namun hal ini barangkali
tidak dapat dibenarkan, sebab sisa-sisa sobekan tentunya masih
bisa disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim memberitakan
pemusnahan dilakukan dengan membakarnya – haraqa (;) –
dan, dengan demikian, tidak tertinggal sesuatupun.26 Boleh jadi
bahwa riwayat pertama ini – secara sengaja atau tidak – telah
mengalami penyimpangan dalam proses transmisi tertulisnya,
sebab kata “merobek” dan “membakar” dalam kedua riwayat itu
jelas didasarkan pada kerangka konsonantal yang sama (;), dan
perbedaannya hanya terletak pada ada tidaknya satu titik diakritis
di atas huruf pertama.
Pemusnahan materi-materi al-Quran non-utsmani, dengan
tujuan utama menyebarluaskan edisi kanonik resmi, tidak dicapai
dalam waktu singkat. saat itu, al-Quran – terutama sekali –
dipelihara dalam bentuk hafalan menurut bacaan tertentu. Adalah
pelik membayangkan bagaimana hafalan yang telah mapan di
kepala seseorang kemudian mesti disesuaikan dengan mushaf resmi
yang dikeluarkan Utsman. Dalam kondisi semacam ini, ditambah
keengganan beberapa sahabat Nabi – seperti Ibn Mas‘ud dan Abu
Musa al-Asy‘ari – untuk mengikutinya, kodeks utsmani tentunya
tidak segera mewarga dalam waktu singkat, hingga suatu
generasi baru penghafal al-Quran dalam tradisi teks utsmani
muncul. Setelah itu, kodeks-kodeks pra-utsmani secara bertahap
menghilang dengan sendirinya tanpa perlu dimusnahkan.
Salinan-salinan mushaf utsmani yang diedarkan di beberapa
kota, dalam kenyataannya, tidak sempurna secara absolut.
Kenyataan ini diakui beberapa otoritas Muslim yang awal. beberapa
riwayat melaporkan tentang ditemukannya beberapa kekeliruan
di dalam salinan-salinan mushaf ini . 27 Yang paling populer
darinya adalah riwayat yang mengungkapkan bahwa Utsman
sendiri, saat memeriksa salah satu eksemplar yang telah selesai
ditulis, menemukan ungkapan-ungkapan keliru dan mengatakan
bahwa kekeliruan itu tidak perlu diubah, sebab orang-orang Arab
– dengan lisãn mereka – bisa membetulkannya.28 Riwayat populer
lainnya mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa
kekeliruan penulisan di beberapa tempat: (i) dalam 2:17, “wa-l-
mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-shãbirûna”); (ii) dalam
4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-l-mu’tûna” (untuk
“lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-lladzîna ãmanû …
wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam 20:63, “in
hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”); dan menegaskannya
sebagai kekeliruan yang dilakukan para penulis.29 Riwayat-riwayat
semacam ini secara jelas memberi kesan bahwa teks utsmani tidak
dapat diubah lagi, sekalipun ada kekeliruan di dalamnya.
Apabila kekeliruan semacam itu tidak dapat diubah,
kemungkinan yang tinggal adalah membacanya secara berbeda dari
tulisannya, seperti ditegaskan Utsman dalam riwayat di atas.
Pandangan semacam ini kemudian berkembang, dan Ashim al-
Jahdari merupakan salah satu penganutnya yang terkemuka.
Perkembangannya bahkan sampai ke sistem pembacaan teks resmi.
Jadi, Abu Amr – salah seorang imam kiraah tujuh – membaca
20:63 dengan hãdzayni. Pemuka ahli hadits, Ibrahim al-Nakha‘i
(w. 96H), menjelaskan perbedaan ini sebagai keunikan (i‘jãz)
ortografi utsmani.30 Namun, beberapa qurrã’ yang belakangan
mengusaha kan jalan keluarnya dengan menyatukan antara tulisan
dengan bacaan, dan memberi penjelasan agar teks yang
dipermasalahkan selaras dengan tuntutan bahasa dan makna.
usaha -usaha ini akan didiskusikan lebih jauh dalam bab 9.
Keberadaan laporan tentang beberapa kekeliruan di dalam teks
utsmani, pada faktanya, sangat tidak menyenangkan bagi kaum
Muslimin. Pada masa silam, diusaha kan untuk menyilidiki
keabsahan laporan-laporan itu dengan jarh (kritik isnãd ), yang
dalam sebagian besar kasus – kecuali riwayat dari Aisyah – berhasil
dinyatakan ahistoris. Sementara sebagian sarjana Muslim secara
sederhana menyatakan keseluruhan laporan ini sebagai tidak
dapat dipercaya. Kemunculan usaha -usaha semacam ini bisa diberi
penanggalan sekitar penghujung abad ke-3H. Pada masa Abu Ubayd
– yakni pada permulaan abad ke-3H – riwayat-riwayat tentang
kekeliruan teks utsmani masih dituturkan secara sederhana,
sebagaimana adanya. namun , pada masa Ibn al-Anbari (w. 327 atau
328H) dan Thabari (w. 310H), selalu muncul usaha keduanya untuk
menyelamatkan tradisi teks utsmani.
Mengenai nasib mushaf-mushaf yang disebarkan Utsman, tidak
ada pemberitaan yang pasti tentangnya. Dengan pengecualian
mushaf al-imãm – yang paling sering dirujuk – mushaf-mushaf
ini memiliki riwayat yang gelap dan hampir-hampir tidak
memainkan peran berarti dalam kajian-kajian al-Quran. Menurut
Ibn Qutaibah (w. sekitar 276H), mushaf al-imãm – setelah
terbunuhnya Khalifah Ketiga – berpindah ke tangan puteranya,
Khalid, dan kemudian diwariskan secara turun-temurun. Sementara
Malik ibn Anas (w. 179H) menjelaskan bahwa mushaf ini
telah hilang. Menurut al-Kindi, mushaf ini terbakar dalam
peristiwa pemberontakan Abu al-Saraya pada 200H. namun , Abu
Ubayd mengaku melihat mushaf ini yang masih berbekas
darah Utsman.
Pada abad pertengahan, pengembara termasyhur Ibn Batutah
(w. 779H) menceriterakan telah melihat salinan atau lembaran
yang dibuat Utsman di Granada, Marakesh, Bashrah, dan kota-
kota lainnya.33 Sementara Ibn Katsir (w. 774H) mengemukakan
pernah melihat kopi al-Quran, sangat mungkin dibuat pada masa
Utsman, yang dipindahkan pada 518H dari Tiberia ke Damaskus.
Dikatakannya bahwa mushaf itu “besar dan lebar dengan tulisan
yang indah, jelas, rapih dan sempurna, di atas kertas kulit yang –
menurut saya – terbuat dari kulit unta”.34 Mushaf ini, menurut
riwayat lain, kemudian dibawa ke Leningrad dan akhirnya ke
Inggris. Sebagian sarjana berpendapat bahwa mushaf ini masih
tetap tersimpan di masjid Damaskus dan musnah saat masjid
itu terbakar pada 1310H.
Ibn Jubair (w. 614H) menuturkan pernah melihat sebuah
manuskrip di masjid Madinah pada 580H. Beberapa riwayat
menerangkan bahwa naskah ini tetap berada di sana sampai
kekhalifahan Turki Utsmani mengambilnya pada 1334H. saat
perang Dunia Pertama berakhir, mushaf ini dibawa ke Berlin dan
diserahkan kepada mantan Kaisar William II, dan sesuai dengan
pasal 246 dari Perjanjian Versailles – di mana Turki merupakan
pihak yang kalah perang – naskah ini tetap berada di Jerman dan
akan dipelihara oleh negara ini : “Dalam jangka waktu 6 bulan
sejak diberlakukannya perjanjian ini, Jerman akan selalu menjaga
naskah asli al-Quran milik Yang Mulia Raja Hijaz, yang diambil
dari Madinah oleh penguasa Turki, dan pernah dipersembahkan
kepada bekas Kaisar William II.”36 namun , akhirnya mushaf ini
dikembalikan lagi ke Istanbul.
ada sebuah manuskrip al-Quran yang disimpan di masjid
al-Hussain di Kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan
ditulis dengan tulisan kufi kuno. namun , bisa dikemukakan dugaan
bahwa naskah ini merupakan salinan dari Mushaf Utsman.37
Semisal dengannya adalah manuskrip yang tersimpan di Tashkent.
Mushaf ini dikabarkan sebagai mushaf yang tengah dibaca Utsman
saat terbunuh. Pada masa kekhalifahan Umaiyah, naskah ini
dibawa ke Andalusia dan kemudian ke Fez di Maroko. Dari
Maroko, mushaf ini kemudian dibawa ke Samarkand, dan
tetap berada di sana hingga 1868. Pada 1869, naskah ini dibawa ke
St. Petersburg dan disimpan di kota ini hingga 1917. Pada 1924,
naskah ini akhirnya kembali ke Tashkent dan tetap tersimpan di
sana hingga dewasa ini.38
Berbagai kesimpangsiuran tentang mushaf-mushaf utsmani ini
pada gilirannya mengantarkan beberapa sarjana Muslim pada
keyakinan bahwa naskah-naskah ini telah hilang tanpa bekas.
Manuskrip-manuskrip kuno yang ada dewasa ini hanya dipandang
sebagai salinan sempurna dari mushaf-mushaf utsmani. Pandangan
semacam ini, misalnya, diekspresikan oleh al-Zarqani.39 Sejalan
dengannya, penelitian-penelitian tentang naskah kuno al-Quran
mengungkapkan bahwa manuskrip-manuskrip al-Quran tertua –
baik dalam bentuk lengkap atau hanya sebagian saja – yang ada
dewasa ini adalah yang berasal dari abad ke-2H.
Varian-varian Mushaf Utsmani
Sebagaimana telah diungkapkan, mushaf-mushaf yang
diedarkan Utsman ke beberapa kota metropolitan Islam memiliki
beberapa variasi yang keberadaannya dikaitkan dengan kesalahan
yang dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Quran.
beberapa sarjana Muslim berusaha menjelaskan bahwa riwayat-
riwayat ini memiliki kelemahan yang menegasikan
eksistensinya. namun , kenyataannya adalah bahwa varian teks al-
Quran kota-kota besar Islam, yang darinya riwayat-riwayat varian
kiraah bersumber, telah memungkinkan untuk membuat
kesimpulan yang aman tentang mushaf awal yang diedarkan
Utsman: setiap teks al-Quran lokal secara jelas telah dipelihara
dengan penuh kesetiaan kepada mushaf awal. Teks tertulisnya tidak
hanya diriwayatkan secara ortografis, namun juga didukung dengan
riwayat-riwayat lisan.
Varian-varian mushaf utsmani ini sampai ke tangan kita melalui
karya Abu Ubayd, Fadlã’il al-Qur’ãn, dan karya Abu Amr al-Dani
(w.1062), al-Muqni‘ fî Ma‘rifat Marsûmi Mashãhif Ahl al-Amshãr.
Daftar varian yang diungkapkan dalam kedua karya ini pada
prinsipnya saling menguatkan, sehingga memperkuat derajat
kepercayaan terhadap kandungannya. Bergstraesser telah
menghimpun varian-varian yang ada dalam kedua karya ini
saat membahas tentang varian mushaf utsmani. Uraian dalam
paragraf-paragraf berikut didasarkan pada himpunan yang dibuat
Bergstraesser.
Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama adalah
yang ada pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus
menyalin kata
$ – sebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf
lain – tanpa $ ( yakni
). Kasus kedua ditemukan pada permulaan
2:132, di mana dalam mushaf Madinah, Damaskus, dan imãm
tertulis %A$$ sementara mushaf lainnya menyalin dengan %A$$.
Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama ada dalam 3:133,
di mana ungkapan L$ – sebagaimana ada dalam mushaf-
mushaf lainnya – disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus dan
imãm, tanpa $ ( yakni L ). Varian kedua dalam 3:184, pada
ungkapan 8
$ , yang disalin dalam mushaf Damaskus dengan
8
8$ . Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada
ungkapan -)
dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam
mushaf Damaskus dengan q-)
. Dua varian lagi direkam dalam
surat 5. Pertama adalah dalam 5:53, di mana ungkapan J $ –
dalam berbagai mushaf – disalin dalam mushaf Madinah dan
Damaskus tanpa $ (yakni J ). Dalam 5:54, ungkapan M –
sebagaimana ada dalam mushaf lainnya – disalin dalam mushaf
Madinah, Damaskus dan imãm sebagai GM.
Dalam surat 6, tiga varian ditemukan. Dalam 6:32, ungkapan
di sebagian besar mushaf, yakni S&M)
$, disalin dalam mushaf
Damaskus dengan S&M
$. Ungkapan dalam 6:63, -27 dalam
berbagai mushaf, disalin dengan -27 (yakni: 727 ) dalam mushaf
Kufah. Sementara ungkapan FrcFG&$
(6:137) dalam berbagai
mushaf, disalin dalam mushaf Damaskus dengan FcFG&$
( Fc sama dengan FIc ). Dalam surat 7, ada empat varian
yang direkam. Dalam 7:3, ungkapan $ dalam berbagai mushaf,
disalin dalam mushaf Damaskus dengan $ . Ungkapan ,$
dalam 7:43, disalin tanpa $ dalam mushaf Damaskus (yakni , ).
Sedangkan kata J
dalam 7:75, disalin dengan menambahkan $
(yakni J
$ ) dalam mushaf Damaskus. Sedangkan dalam 7:141,
ungkapan -27 (yakni -27) dalam berbagai mushaf, disalin
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 241
sebagai -27 (yakni 27 ) dalam mushaf Damaskus. Dua varian
lain ditemukan dalam surat 9. Pertama adalah ungkapan N@
(9:100) dalam berbagai mushaf, disalin dengan tambahan 4, (yakni
N@4, ) dalam mushaf Makkah. Kedua adalah ungkapan 4
$
(9:107) dalam mushaf lainnya, disalin tanpa $ (yakni 4
) dalam
mushaf Madinah dan Damaskus. Sementara sebuah varian direkam
dalam 10:22, di mana ungkapan - dalam berbagai mushaf,
disalin dengan * dalam mushaf Damaskus.
ada dua varian dalam surat 18. Varian pertama adalah
ungkapan N, dalam 18:36, seperti ada dalam berbagai mushaf,
disalin dalam mushaf Madinah, Makkah dan Damaskus sebagai
N,. Varian kedua adalah ungkapan %, (18:95), dalam berbagai
mushaf, yang disalin sebagai %, dalam mushaf Makkah.
Beberapa varian lain yang ditemukan dalam surat-surat
selanjutnya adalah ungkapan
$ (21:30) dalam berbagai mushaf,
disalin dengan
dalam mushaf Makkah. Kata ' (23:87,89) dalam
berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Bashrah dengan '.
Ungkapan J7$ (25:25), disalin dengan J7$ dalam mushaf Makkah.
Dalam 26:217, ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin
dengan dalam mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan
(yakni %-i-
) dalam 27:21, disalin dengan %--
dalam mushaf
Makkah. Ungkapan J
$ (28:37), disalin tanpa $ (yakni J
) dalam
mushaf Makkah. Dalam 36:35, ungkapan () L dalam berbagai
mushaf, disalin sebagai C) L dalam mushaf Kufah. Sementara
ungkapan %7$, dalam 39:64, disalin dalam mushaf Damaskus
sebagai %7$,.
ada dua varian yang direkam dalam surat 40. Varian
pertama adalah ungkapan N, (40:21) dalam mushaf lainnya, yang
disalin dengan , dalam mushaf Damaskus. Varian kedua adalah
ungkapan $ (40:26), yang direkam sebagai $ dalam mushaf
Kufah. Dalam 42:30, ungkapan + , disalin dengan 8 dalam
mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan %N* (43:71) dalam
mushaf-mushaf lainnya, disalin sebagai (-N* dalam mushaf
Madinah, Damaskus dan imãm. Dalam 46:17, ungkapan ,
disalin dengan (yakni 7 ) dalam mushaf Kufah. Ungkapan
N- (47:18) dalam berbagai mushaf, disalin dengan N dalam
mushaf Makkah.
Dalam surat 55, ada dua varian yang direkam. Pertama
dalam 55:12, di mana ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin
sebagai dalam mushaf Damaskus. Kedua, ungkapan (55:78),
yang disalin sebagai $ dalam mushaf Damaskus. Dua varian lagi
direkam dalam surat 57. Varian pertama adalah ungkapan ML$q$
(57:10) dalam berbagai mushaf, disalin sebagai ML$$ dalam mushaf
Damaskus. Varian kedua adalah ungkapan %_
F' (57:25) dalam
berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Madinah dan Damaskus
sebagai %_
' . Varian terakhir yang direkam ada dalam surat
91, tepatnya pada ungkapan &$ (91:15) dalam berbagai mushaf.
Ungkapan ini disalin sebagai q dalam mushaf Madinah dan
Damaskus.
Daftar varian dalam kedua riwayat di atas hanya merupakan
beberapa kecil varian yang berhasil direkam dari keberadaan varian-
varian mushaf utsmani yang awal. Mengamati hubungan antara
varian satu dengan lainnya, terlihat bahwa tulisan mushaf
Damaskus – yang paling banyak mengandung ragam bacaan –
berada dalam satu posisi dengan mushaf Madinah pada titik-titik
di mana mushaf-mushaf lainnya membias. Mushaf Damaskus ini
juga tidak pernah berlawanan dengan mushaf Madinah, saat ia
selaras dengan mushaf-mushaf lainnya. Sementara mushaf Bashrah
tidak pernah bersamaan pada suatu titik membias dari mushaf-
mushaf lain. Sedangkan mushaf Kufah memiliki bacaan di
beberapa tempat yang senada dengan bacaan mushaf Bashrah. Dari
hubungan-hubungan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa
mushaf yang paling awal adalah mushaf Madinah. Dari mushaf
inilah disalin mushaf Damaskus dan Bashrah. Sementara dari
mushaf Bashrahlah disalin mushaf Kufah. Secara skematis, asal-
usul mushaf-mushaf ini dapat dikemukakan sebagai berikut:42
Mushaf Madinah
Mushaf Damaskus Mushaf Bashrah
Mushaf Kufah
Seperti terlihat, mushaf Damaskus paling sering memiliki
bacaan yang menjauh dari mushaf Madinah. Sementara Mushaf
Makkah, yang tidak dimasukkan dalam skema di atas, memiliki
bacaan independen di beberapa tempat, sedangkan di tempat
lainnya mengikuti mushaf Madinah dan Damaskus, atau mushaf
Bashrah dan Kufah. Hal ini menunjukkan eksistensinya sebagai
suatu teks yang bersifat eklektik, dan penulisannya mungkin
dilakukan lebih belakangan dari keempat mushaf lain yang ada
dalam skema.
Varian-varian di atas, dalam kenyataannya, belum mencakup
varian ortografi yang eksis dalam mushaf-mushaf amshãr. Ada dua
kelompok varian ortografi yang bisa dihitung ke dalam ragam
perbedaan mushaf-mushaf itu. Kelompok pertama mencakup
beberapa kecil bagian al-Quran yang hanya bersifat sebagai varian
ortografis, namun dalam beberapa kasus merupakan perbedaan
bacaan. Dalam 10:96, mushaf Damaskus menyalin kata kalimah
( )), sebagaimana ada dalam mushaf-mushaf lainnya, dengan
5 ) (bentuk jamak). Dalam 17:93, kata
, seperti tertulis dalam
mushaf-mushaf lain, disalin dengan J
dalam mushaf Makkah
dan Damaskus. Demikian pula kata
dalam 21: 4, sebagaimana
tertulis dalam mushaf-mushaf lain, disalin dengan J
dalam mushaf
Kufah. Kata J
dalam 23: 112,114, disalin dengan
dalam mushaf
Kufah. Dalam kasus-kasus semacam ini, penulisan
dengan bacaan
J
menunjukkan bahwa perbedaan yang ada hanya bersifat
ortografis. Kasus senada terjadi dalam 43:68. Kata G+L dalam ayat
ini ditemukan dalam mushaf Madinah dan Damaskus, sedangkan
mushaf Bashrah dan Kufah menyalinnya dengan G+L .
Kelompok kedua mencakup bagian-bagian al-Quran yang
mungkin bisa dikelompokkan ke dalam daftar varian mashãhif,
atau paling tidak ke dalam kelompok pertama di atas. Varian yang
eksis dalam kelompok ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Penulisan kata F8 dalam mushaf Irak dan Damaskus untuk surat
2, sedangkan mushaf lainnya adalah -F8. Surat 4:36, dalam mushaf
Kufah tertulis , mushaf lainnya . Surat 76:16, dalam mashaf
Bashrah tertulis
, dalam Mushaf Madinah dan Kufah tertulis
. Kata C-*
(yakni 5d*
) dalam 55:24, disalin dalam
mushaf Irak dengan C*
(yakni: 5*
). Di samping itu, ada
beberapa varian lainnya yang bersumber dari imam-imam kiraah
atau mushaf sahabat Nabi dan ragam bacaan yang tidak populer.
Contohnya adalah 2:98, di mana kata J-, (mîkãla, sebagaimana
bacaan Abu Amr dan Hafsh dari Ashim) dibaca oleh Nafi‘ sebagai
--, (mîkã’il, atau mîkã’îl seperti dibaca imam kiraat lainnya);
atau surat 12:7, di mana kata +L menggantikan kata 5 ;43 atau
kata i- dalam 17:40 dibaca – misalnya dalam kiraah Hafsh ‘an
Ashim – sebagai (d-, yang merupakan bacaan tidak terkenal; dan
lainnya. Kesemuanya ini menunjukkan adanya proses infiltrasi
atau pemaksaan masuk bacaan-bacaan non-utsmani ke dalam teks
tertulis.
Karakteristik Mushaf Utsmani
ada beberapa Pandangan yang mengungkapkan bahwa
susunan surat dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi. Al-Suyuthi
mengutip pendapat bahwa Utsman mengumpulkan lembaran-
lembaran (shuhuf) al-Quran ke dalam satu mushaf menurut tertib
suratnya (murattaban li-suwarihi).44 Sementara di tempat lain, ia
mengemukakan suatu riwayat yang menyatakan bahwa Utsman
memerintahkan komisinya untuk menempatkan surat-surat
panjang secara berurutan.45 Lebih jelas lagi adalah pernyataan al-
Ya‘qubi, “Utsman mengkodifikasikan al-Quran, menyusun (allafa)
dan mengumpulkan surat-surat panjang dengan surat-surat panjang
dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek.” 46
Berbagai gagasan di atas menunjuk kepada prinsip penyusunan
surat al-Quran dalam mushaf utsmani, yaitu: mulai dari surat-
surat panjang ke arah surat-surat yang lebih pendek. Prinsip
semacam ini pada umumnya diikuti sebagian besar sahabat Nabi
dalam aransemen surat mushaf-mushaf mereka – antara lain Ali,
Ibn Mas‘ud dan Ubay.47 Pengecualian untuk jenis aransemen surat
semacam ini adalah mushaf Ibn Abbas yang tersusun secara
kronologis. Hanya di dua tempat dalam mushaf utsmani, prinsip
ini terlihat menyimpang secara radikal dalam aplikasinya.48 Pertama
adalah surat pendek al-Fãtihah (surat 1) yang ditempatkan paling
awal, di depan surat paling panjang (surat 2). namun penamaannya
paling populer – yakni al-Fãtihah, “pembukaan” – bisa memberi
indikasi tentang penempatannya pada urutan pertama. Kedua
adalah penempatan surat terpendek (surat 108) bukan pada
penghujung mushaf. Penjelasan tentang penempatan surat ini
yang dikemukakan sejauh ini tidak begitu memuaskan
dibandingkan penempatan surat al-Fãtihah.
Jumlah surat di dalam mushaf utsmani – kesemuanya 114
surat – berada di tengah-tengah antara jumlah surat dalam mushaf
Ubay (116 surat) dan Ibn Mas‘ud (111 atau 112 surat). Surat-surat
ini, dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan nama-nama yang
beragam. Tidak jarang ada dua nama atau lebih untuk satu
surat, dan dalam literatur-literatur Islam yang awal, ada
rujukan-rujukan kepada nama-nama lainnya yang digunakan untuk
suatu waktu, namun belakangan dibuang atau tidak digunakan lagi.
Contohnya, surat 1, selain dirujuk dengan nama al-Fãtihah, dikenal
pula dengan nama fãtihatu-l-kitãb (pembuka kitab) atau umm al-
kitãb/al-qur’ãn (induk kitab/al-Quran), al-kãfîyah atau al-wãfîyah
(“yang mencukupi”), al-asãs (“fondasi”), al-syifã’ atau al-syãfîyah
(“penawar”), al-shalãt (“doa”) dan al-hamd (“puja-puji”).
Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana Muslim
mengenai penamaan ke-114 surat ini , sekalipun sekuensi atau
tata urutannya telah ditetapkan secara definitif di dalam mushaf
utsmani.49 Jadi, merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama
yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari al-
Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang
beragam itu. Namun, dapat dikemukakan dugaan bahwa segera
setelah adanya kodifikasi al-Quran, timbul kebutuhan untuk
pemberian nama-nama surat guna memudahkan perujukannya,
dan sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-
nama surat yang beragam itu telah mewarga . Fragmen papirus
al-Quran yang berasal dari pertengahan abad ke-8 – diedit oleh
Nabia Abbott – merupakan salah satu bukti tertulisnya.50
Berbagai penamaan surat yang populer di kalangan kaum
Muslimin ini telah dikumpulkan oleh Rudi Paret – sekalipun tidak
bersifat menyeluruh – di dalam Konkordanz al-Qurannya.51 Daftar
yang dihimpun Paret ini, dengan tambahan jumlah ayat dalam
setiap surat menurut versi al-Quran standar Mesir, dapat dikemukan
sebagai berikut:
Nama-nama Surat al-Quran
No. Surat Nama-nama Surat Jml. Ayat
1 al-Fãtihah, Fãtihatu-l-kitãb, Umm al-kitãb 7
2 al-Baqarah 286
3 Ãli ‘Imrãn 200
4 al-Nisã’ 176
5 al-Mã’idah, al-‘Uqûd 120
6 al-An‘ãm 165
7 al-A‘rãf, Alif-Lãm-Mîm-Shãd 206
8 al-Anfãl 75
9 al-Tawbah, Barã’ah 129
10 Yûnus 109
11 Hûd 123
12 Yûsuf 111
13 al-Ra‘d 43
14 Ibrãhîm 52
15 al-Hijr, Ashhãb al-hijr 99
16 al-Nahl, al-Ni‘am 128
17 al-Isrã’, Banî Isrã’îl, Subhãna 111
18 al-Kahfi, Ashhãb al-kahfi 110
19 Maryam, Kãf-Hã-Yã-‘Ain-Shãd 98
20 Thã-hã, al-Kalîm 135
21 al-Anbiyã’, Iqtaraba, Iqtaraba li-l-nãs hisãbuhum 112
22 al-Hajj 78
23 al-Mu’minûn, Qad aflaha-l-mu’minûn 118
24 al-Nûr 64
25 al-Furqãn, Tabãraqa-lladzî al-furqãn, Tabãraka al-furqãn 77
26 al-Syu‘arã’, Thã-Sîn al-syu‘arã’ 227
27 al-Naml, Thã-Sîn al-Naml, Sulaymãn, Thã-Sîn Sulaymãn 93
28 al-Qashash, Thã-Sîn-Mîm al-qashash 88
29 al-’Ankabût 69
30 al-Rûm, Alif-Lãm-Mîm gulibati-l-rûm 60
31 Luqmãn 34
32 al-Sajdah, Alif-Lãm-Mîm al-sajdah, Alif-Lãm-Mîm
tanzîl, Tanzil al-sajdah, al-Madlãji‘ 30
33 al-Ahzãb 73
34 Saba’ 54
35 Fãthir, Alhamdu li-llãhi fãthir, al-malã’ikah 45
36 Yã-Sîn, Yã-Sîn wa-l-qur’ãn 83
37 al-Shãffãt 182
38 Shãd, Shãd wa-l-qur’ãn 88
39 al-Zumar, Tanzîl al-zumar, al-Guraf 75
40 Gãfir, al-Mu’minûn, Hã-Mîm al-mu’minûn, al-Thaul 85
41 Fushshilat, al-Sajdah, al-Mashãbih 54
42 al-Syûrã, Hã-Mîm al-syûrã, Hã-Mîm-‘Ain-Sîn-Qãf 53
43 al-Zukhruf, Hã-Mîm al-zukhruf 89
44 al-Dukhãn, Hã-Mîm al-dukhãn 59
45 al-Jãtsiyah, Hã-Mîm al-jãtsiyah, al-Syarî‘ah,
Hã-Mîm al-syarî‘ah, al-Dahr, Hã-Mîm tanzîl 37
46 al-Ahqãf, Hã-Mîm al-ahqãf 35
47 Muhammad, al-Qitãl, Alladzîna kafarû 38
48 al-Fath, Innã fatahnã laka, Inna fatahnã 29
49 al-Hujurãt 18
50 Qãf, Qãf wa-l-qur’ãn, al-Majîd, al-Bãsiqãt 45
51 al-Dzãriyãt, Wa-l-Dzãriyãt 60
52 al-Thûr, Wa-l-thûr 49
53 al-Najm, Wa-l-najm 62
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 247
54 al-Qamar, Iqtarabati-l-sã‘ah wa-l-syaqqati-l-qamar,
Iqtarabati-l-sã‘ah, Iqtarabat 55
55 al-Rahmãn 78
56 al-Wãqi‘ah, Idzã waqa‘ati-l-wãqi‘ah, Idzã waqa‘at 96
57 al-Hadîd 29
58 al-Mujãdalah, al-Zhihãr 22
59 al-Hasyr 24
60 al-Mumtahanah, al-Mumtahinah, al-Imtihãn, al-Mar‘ah 13
61 al-Shaff, al-Hawãrîyîn, al-Hawãrîyûn 14
62 al-Jumu‘ah 11
63 al-Munãfiqûn, Idzã jà’aka-l-munãfiqûn 11
64 al-Tagãbun 18
65 al-Thalãq, Yã ayyhã-l-nabîyu idzã thalaqtum al-nisã’,
Sûrat al-nisã’ al-qushrã 12
66 al-Tahrîm, al-Nabî, Yã ayyuhã-l-nabîyu
limã tuharrimu, Limã tuharrimu 12
67 al-Mulk, Tabãraka-lladzî biyadihi al-mulk, Tabãraka 30
68 al-Qalam, Nûn wa-l-qalam, Nûn 52
69 al-Hãqqah 52
70 al-Ma‘ãrij, Dzi-l-ma‘ãrij, sa’ala sã’il, al-Wãqi‘ 44
71 Nûh, Innã arsalnã nûhan, Inna arsalnã 28
72 al-Jinn, Qul ûhiya ilaiya, Qul ûhiya 28
73 al-Muzzammil, Yã ayyuhã-l-muzzammil 20
74 al-Muddatstsir, Yã ayyuhã-l-muddatstsir 56
75 al-Qiyãmah, La uqsimu bi-yawmi-l-qiyãmah 40
76 al-Insãn, Hal atã ‘ala-l-insãn, Hal atã 31
77 al-Mursalãt, Wa-l-mursalãti‘urfan, Wa-l-mursalãt 50
78 al-Naba’, ‘Amma yatasã’alûna, ‘Amma, al-Tasã’ul, al-Mu‘shirãt 40
79 al-Nãzi‘ãt, Wa-l-nãzi‘ãt 46
80 ‘Abasa, ‘Abasa wa tawallã 40
81 al-Takwîr, Idzã-l-syamsu kûwwirat, Idzã-l-syams, Kûwwirat 29
82 al-Infithãr, Idzã-l-syamsu-nfatharat, Infatharãt 19
83 al-Muttaffifîn, Waylun lil-muthaffifîn 36
84 al-Insyiqãq, Idzã-l-syamsu-nsyaqqat, Insyaqqat 25
85 al-Burûj, Wa-l-samã’i dzãti-l-burûj, al-Samã’ dzãt al-burûj 22
86 al-Thãriq, Wa-l-samã’i wa-l-thãriq 17
87 al-A‘lã, Sabbih-isma rabbika-l-a‘lã,
Sabbih-isma rabbika, Sabbih 19
88 al-Gãsyiyah, Hal atãka hadîtsu-l-gãsyiyah, Hal atãka 26
89 al-Fajr, Wa-l-fajr 30
90 al-Balad, Lã uqsimu bi-hãdza-l-balad, Lã uqsimu 20
91 al-Syams, Wa-l-syamsi wa-dluhãhã, Wa-l-syams,
al-Syamsu wa-dluhãhã 15
92 al-Layl, Wa-l-layli idzã yagsyã, Wa-l-layl 21
93 al-Dluhã, Wa-l-dluhã 11
94 al-Syarh, Alam nasyrah laka shadraka,
Alam nasyrah laka, Alam nasyrah 8
95 al-Tîn, Wa-l-tîni wa-l-zaytûn, Wa-l-tîn 8
96 al-‘Alaq, Iqra’ bi-smi rabbika, Iqra’ bi-smi 19
97 al-Qadr, Innã anzalnãhu 5
98 al-Bayyinah, Lam yakuni-lladzîna min ahli-l-kitãb 8
99 al-Zalzalah, Idzã zulzilati-l-ardlu zilzãlahã, Idzã zulzilat 8
100 al-‘Ãdiyat, Wa-l-‘ãdiyati shubhan, Wa-l-‘ãdiyat 11
101 al-Qãri‘ah 11
102 al-Takãtsur, Alhãkum al-takãtsur, Alhãkum 8
103 al-‘Ashr, Wa-l-‘ashr 3
104 al-Humazah, Waylun li-kulli humazah, Humazah 9
105 al-Fîl, Alam tara kayfa fa‘ala rabbuka bi ashhãb al-fîl,
Alam tara, Alam 5
106 Quraisy, Li-îlãfi quraisy, Li-îlãf 4
107 al-Mã‘ûn, Ara’ayta-lladzî, Ara’ayta, al-Dîn 7
108 al-Kawtsar, Innã a‘thaynãka al-kautsar, Innã a‘taynãka 3
109 al-Kãfirûn, Qul yã ayyuhã-l-kãfirûn, al-‘Ibãdah 6
110 al-Nashr, Idzã jã’a nashru-llãh wa-l-fath, Idzã jã’a nashru-llãh,
Idzã jã’a, Nashru-llãh, al-Taudi‘ 3
111 al-Masad, Tabbat yadã abî lahabin wa-tabba,
Tabbat yadã abî lahab, Tabbat, Abî lahab 5
112 al-Ikhlãsh, Qul huwa-llãhu ahad 4
113 al-Falaq, A‘ûdzu bi-rabbi-l-falaq 5
114 al-Nãs, A‘ûdzu bi-rabbi-l-nãs 6
Penelitian sepintas terhadap nama-nama surat di atas
menunjukkan non-eksistensinya kaidah yang baku tentang
penamaan surat. Terkadang surat-surat dirujuk secara mekanis
menurut ungkapan yang ada dibagian awalnya, seperti penyebutan
surat 78 sebagai ‘amma yatasã’alûn atau sekedar ‘amma. Di lain
kesempatan, penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci
yang muncul pada permulaan surat – misalnya surat 30: al-Rûm
dan surat 35: Fãthir – atau di pertengahan surat – misalnya surat 2:
al-Baqarah (ayat 67-73) dan surat 16: an-Nahl (ayat 68-69) – atau di
penghujung surat – misalnya surat 26: al-Syu‘arã’ (ayat 224-226).
Terkadang nama-nama surat diambil dari nama-diri yang muncul
di dalamnya, seperti surat 10: Yûnus, 12: Yûsuf, dan 71: Nûh.
Perujukan nama surat berdasar kandungannya juga terkadang
muncul, misalnya surat 1: al-Fãtihah, surat 21: al-Anbiyã’, dan surat
112: al-Ikhlãsh. Di dalam karya monumentalnya, al-Itqãn, al-Suyuthi
secara khusus mengungkapkan berbagai ragam penamaan surat-
surat dalam suatu bab, yakni naw‘ 17, “Pengetahuan tentang Nama-
nama al-Quran dan Nama-nama Suratnya.”52
Ke-114 surat di atas pada masa yang awal diklasifikasikan ke
dalam empat kategori utama: (i) al-thiwãl, tujuh surat terpanjang,
mulai surat 2 sampai surat 9; (ii) al-mi’ûn, surat-surat yang terdiri
dari seratus ayat atau lebih, mulai dari surat 10 sampai surat 35;
(iii) al-matsãnî, surat-surat yang kurang dari seratus ayat, mulai
surat 36 sampai surat 49; dan (iv) al-mufashshal, surat-surat pendek,
mulai dari surat 50 sampai surat 114.53 Pada tahap berikutnya al-
Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w.95H) memperkenalkan ke dalam
tradisi teks utsmani pembagian al-Quran ke dalam dua bagian,
tiga bagian, empat bagian dan tujuh bagian,54 yang tampaknya
diselaraskan dengan usaha pembacaannya dalam dua hari hingga
satu minggu. Pada perkembangan selanjutnya – juga untuk tujuan
pembacaan – kaum Muslimin membaginya ke dalam 30 bagian
atau juz’ (pl. ajzã’) yang hampir sama. Pembagian ini berkaitan
dengan jumlah hari di bulan Ramadlan, di mana tiap juz al-Quran
dibaca setiap harinya. Pembagian yang 30 juz’ ini biasanya diberi
tanda di pinggiran salinan kitab suci ini .
Bagian yang lebih kecil lagi adalah hizb yang membagi juz
menjadi dua – jadi dalam setiap juz ada dua hizb. Bagian yang
lebih kecil dari hizb adalah perempatan hizb (rub‘ al-hizb), yang
juga sering diberi tanda di pinggiran salinan al-Quran. Pembagian
lainnya adalah ruku‘, beberapa 554 untuk keseluruhan al-Quran.
namun panjang-pendeknya ruku‘ tidak seragam: surat panjang
biasanya terdiri dari beberapa ruku‘, dan surat pendek berisi satu
ruku‘. Keseluruhan pembagian al-Quran ini, yang diberi tanda
tertentu di pinggiran teks kitab suci, bukanlah bagian orisinal
wahyu. Bahkan tanda-tanda yang menunjukkan kepada bilangan
ayat dan tanda waqaf (waqf, ?
$ ) – secara harfiah “berhenti”, tanda
boleh tidaknya menghentikan bacaan pada akhir kalimat atau ayat
– dituliskan di dalam teks.55
Ke-114 surat – kecuali surat 9 – dalam salinan-salinan al-Quran
biasanya diawali dengan formula bismillãh al-rahmãn al-rahîm,
“Dengan nama Tuhan, yang pengasih, yang penyayang,” lazimnya
diringkas dengan istilah tasmiyah atau basmalah. Sekalipun tidak
ada riwayat yang menyebutkan bahwa formula ini telah
diperkenalkan oleh Utsman dalam mushafnya, eksistensinya dalam
kodeks-kodeks pra-utsmani ditunjukkan beberapa riwayat.56 Pada
permulaan Islam, para qurrã’ dari Makkah dan Kufah menghitung
basmalah sebagai ayat tersendiri, sementara para qurrã’ dari
Bashrah, Madinah dan Siria hanya memandangnya sebagai marka
pemisah (fawãshil ) antara surat-surat.57 namun , merupakan suatu
kenyataan bahwa formula ini telah dikenal oleh Nabi, bahkan
diajarkan al-Quran. Dalam 27:30 disebutkan bahwa Sulaiman
mengirim sepucuk surat kepada Ratu Bilqis, di mana ungkapan
bismillãh al-rahmãn al-rahîm mengawali suratnya. Senada dengan
ini, surat-surat yang dikirimkan Nabi Muhammad ke berbagai
penguasa dunia di masanya diawali dengan tasmiyah.58 Dalam
96:1 – yang dipandang sebagai wahyu pertama – Nabi diperintahkan
untuk membaca dengan nama Tuhannya. Perbedaan penetapan
basmalah sebagai bagian al-Quran atau bukan, telah membawa
implikasi lebih jauh dalam praktek shalat. Yang menghitung
basmalah sebagai bagian al-Quran akan menyaringkan bacaan for-
mula ini di dalam shalat. Sementara yang tidak menghitung-
nya sebagai bagian kitab suci itu akan memelankan pembacaannya
atau bahkan menghilangkannya di dalam shalat.59
Setiap pembacaan al-Quran lazimnya diawali dengan ungkapan
isti‘ãdzah atau ta‘ãwudz, sebuah formula untuk memohon
perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan – formula yang
lazim adalah: a‘ûdzu bi-llãhi min al-syaythãn al-rajîm, “Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang dirajam.” Formula
isti‘ãdzah ini jarang ditulis di dalam mushaf-mushaf tercetak. namun ,
al-Quran terlihat menganjurkan pembacaannya: “Bila kamu
membaca al-Quran, berlindunglah kepada Allah dari setan yang
dirajam”(16:98). Setelah itu, barulah formula basmalah – yang
menurut sebagian sarjana merupakan bagian al-Quran dan
lazimnya disalin di dalam mushaf-mushaf – dibacakan.
Setelah formula basmalah, pada permulaan dua puluh sembilan
surat di dalam al-Quran ada suatu atau sekelompok huruf
hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah atau
berdiri sendiri. beberapa nama lazimnya digunakan para sarjana
Muslim untuk merujuk huruf-huruf ini , seperti fawãtih al-
suwar (“pembuka-pembuka surat”), awã’il al-suwar (“permulaan-
permulaan surat”), al-hurûf al-muqaththa‘ah/‘ãt (“huruf-huruf
potong/terpisah”), dan lain-lain. Sementara sebutan yang lazim
digunakan sarjana Barat saat merujuk huruf-huruf ini adalah
“huruf-huruf misterius.”60 Huruf-huruf ini , jika dihitung
secara tidak berulang, adalah:
-
pada permulaan surat 2; 3; 29; 30; 3l; dan 32.
-
pada permulaan surat l0; ll; l2; l4 dan l5.
- P
pada permulaan surat 7.
-
pada permulaan surat l3.
- PW-N pada permulaan surat l9.
- (= pada permulaan surat 20.
- = pada permulaan surat 26 dan 28.
- >= pada permulaan surat 27.
- > pada permulaan surat 36.
- s pada permulaan surat 38.
- pada permulaan surat 40; 41; 43; 44; 45 dan 46.
- XW pada permulaan surat 42.
- ; pada permulaan surat 50.
- pada permulaan surat 68.
Kaum Muslimin telah berusaha sepanjang sejarah Islam untuk
menyelami rahasia makna huruf-huruf misterius ini , dan
penafsiran yang berkembang di kalangan sarjana Muslim awal
tentangnya, dapat dikemukakan secara ringkas ke dalam tiga sudut
pandang utama:61
(i) Penafsiran yang memandang huruf-huruf ini masuk
ke dalam kategori ayat ayat mutasyâbihât yang maknanya
hanya diketahui Allah;
(ii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu sebagai
singkatan-singkatan untuk kata-kata atau kalimat-kalimat
tertentu;
(iii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan
merupakan singkatan. namun , sebagaimana akan
dijelaskan di bawah, kelompok pandangan ini juga
mengajukan beberapa kemungkinan tentang penafsiran
maknanya.
Pandangan kelompok pertama tidak memberikan solusi yang
jelas – bahkan sama sekali tidak mengajukan solusi apapun –
mengenai makna fawãtih al-suwar. sebab itu, bahasan lebih jauh
tentangnya tidak begitu relevan diungkapkan di sini. Kelompok
kedua, yang memandang “huruf-huruf potong” sebagai singkatan-
singkatan untuk kata atau kalimat tertentu, mengajukan solusi
yang sangat bervariasi tentang kepanjangan huruf-huruf ini .
Berbagai penafsiran tentangnya yang berkembang di dalam
kelompok ini dapat diringkas sebagai berikut:
-
: al-rahmãn; anã-llãh a‘lam; atau allãh lathîf majîd.
-
: al-rahmãn; atau anã-llãh arã.
- P
: allãh al-rahmãn al-shamad; al-mushawwir; anã-llãh
afdlal; anã-llãh al-shãdiq; atau alam nasyrah laka
shadrak.
-
: anã-llãh a‘lam wa arã.62
- PW-N : kãfin hãdin amîn ‘azîz shãdiq; karîm hãdin hakîm
‘alîm shãdiq; al-malik allãh al-‘azîz al-mushawwir;
al-kãfî al-hãdî al-‘ãlim al-shãdiq; kãfin hãdin amîn
‘ãlim shãdiq; atau anã al-kabîr al-hãdî ‘aliyyun amîn
shãdiq.
- (= : dzû al-thawl.
- = : dzû al-thawl al-quddûs al-rahmãn.
- >= : dzû al-thawl al-quddûs.
- > : yã sayyid al-mursalîn.
- s : shadaqa-llãh; uqsimu bi-l-shamad al-shãni‘ al-shãdiq;
shãdi yã muhammad ‘amalaka bi-l-qur’ãn; atau
shãdi muhammad qulûb al-‘ibãd.
- : al-rahmãn al-rahîm.
- XW : al-rahmãn al-‘alîm al-quddûs al-qãhir.
- ; : qãdir; qãhir; qudlî al-amr; atau uqsimu bi-quwwatin
qalb muhammad.
- : al-rahmãn; nûr; nãshir; atau al-hût.
Pandangan tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan
kata atau kalimat tertentu, seperti terlihat di atas, sebagian besarnya
bersumber dari Ibn Abbas, salah seorang sepupu Nabi, yang
dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar dalam tafsir al-
Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius
ini telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak
terbatas. Seseorang bisa saja mengartikan huruf-huruf itu selaras
dengan gagasan yang dikehendakinya, baik dengan pijakan artifisial
ataupun tanpa pijakan yang masuk akal. Satu-satunya pemaknaan
yang agak logis adalah pemaknaan huruf nûn di awal surat 68
sebagai al-hût, “ikan.” Kata nûn yang dialihkan ke dalam bahasa
Arab dari bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan,” dan dalam
ayat 48 surat yang sama, Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shãhib
al-hût juga bernama dzû-l-nûn.63
Dalam kelompok ketiga, ada suatu kesepakatan bahwa
“huruf-huruf potong” yang ada pada permulaan beberapa surat
al-Quran itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat
tertentu. namun sehubungan dengan makna huruf-huruf ini ,
kelompok ini juga mengajukan kemungkinan-kemungkinan
penafsiran yang sangat bervariasi. Pandangan-pandangan yang
berkembang di dalam kelompok ketiga ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
(i) Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang
secara tidak jelas merujuk kepada nama-nama nabi,
misal-nya (= , dan > (baca: thãhã, hãmîm, yãsîn);64
nama surat-surat tertentu di dalam al-Quran, misalnya
surat yãsîn; nama-nama gunung, misalnya XW dan ; ;
nama laut, misalnya s , “laut yang di atasnya berdiri
Arsy Tuhan” atau “laut yang di dalamnya orang-orang
mati menjadi hidup;” dan terakhir, merujuk kepada al-
lawh al-mahfûzh atau “tinta,” sebagaimana bisa
ditetapkan berdasar konteks dimana huruf muncul.
(ii) Huruf-huruf ini merupakan tanda-tanda mistik
dengan makna simbolik atau apokaliptik yang didasarkan
pada nilai-nilai numerik alfabet Semitik-Utara, misalnya:
: l + 30 + 40 = 71;
P
: 1 + 30 + 40 + 60 = 131;
: 1 + 30 + 200 = 231;
: 1 + 30 + 40 + 200 = 27l; dll.
Angka-angka ini, menurut sebagian mufassir, menunjuk-
kan usia umat Nabi Muhammad.
(iii) Huruf-huruf itu merupakan media untuk membangkit-
kan perhatian Nabi kepada wahyu Ilahi yang akan
disampaikan Jibril, atau untuk memesonakan para
pendengar Nabi sehingga lebih menaruh perhatian
kepada risalah Tuhan yang disampaikannya.
(iv) Huruf-huruf ini adalah semata-mata huruf Arab,
yang menunjukkan bahwa wahyu Ilahi diturunkan dalam
bahasa yang diakrabi warga Nabi, yaitu bahasa Arab.
Keempatbelas huruf potong itu – yakni bila huruf-huruf
yang ada di permulaan dua puluh sembilan surat itu
dihitung secara tidak berulang – terpilih secara seksama
dan mewakili separuh alfabet Arab, yang dari segi
artikulasinya mencakup keseluruhan sistem alfabet.
(v) Huruf-huruf itu merupakan marka-marka pemisah
(fawâshil) antara satu surat dengan surat lainnya.
Sebagaimana dengan pandangan kelompok kedua, gagasan-
gagasan tentang makna huruf-huruf misterius yang diajukan
kelompok terakhir ini juga telah masuk ke dalam wilayah spekulasi
yang tidak terbatas. namun masalah kunci yang tidak pernah
disentuh kedua kelompok ini, demikian pula kelompok pertama,
adalah mengapa hanya dua puluh sembilan permulaan surat al-
Quran yang memiliki “huruf-huruf potong,” sementara 85 surat
lainnya tidak?
Sekalipun demikian, ketiga sudut pandang sarjana Muslim
dari masa yang awal di atas telah meletakkan preseden yang cukup
solid untuk spekulasi tafsir sarjana-sarjana Muslim belakangan
tentang makna fawâtih al-suwar. Penafsiran-penafsiran yang muncul
belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan belum keluar
dari gagasan-gagasan klasik ini , sekalipun beberapa diantaranya
merupakan improvisasi atau varian darinya. Al-Suyuthi, setelah
mendiskusikan berbagai pandangan tentang makna fawâtih,
menyimpulkan bahwa fawâtih adalah huruf-huruf atau simbol-
simbol misterius yang makna hakikinya hanya diketahui oleh
Tuhan.65 Jadi, al-Suyuthi pada prinsipnya mengikuti sudut pandang
kelompok pertama; dan pendapat semacam ini masih tetap
dipegang beberapa mufassir modern. Demikian pula, gagasan
tentang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata dan kalimat
tertentu hingga kini tetap populer di kalangan mufassir Muslim.66
Dalam kaitannya dengan gagasan kelompok ketiga, beberapa
sarjana Muslim modern telah mengemukakan varian-varian ba