Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah alquran 9. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 9

 


unya pribadi yang keberadaannya dalam komisi Utsman

disepakati seluruh riwayat. Hanya beberapa  kecil Muslim yang

menyatakan keheranannya kenapa Ibn Mas‘ud tidak menempati

posisi Zayd. Ibn Mas‘ud, seperti terlihat, telah lama menjadi Mus-

lim, bahkan saat  Zayd belum lagi lahir, dan pengetahuannya

tentang al-Quran memang sangat meyakinkan. namun ,

pertimbangan-pertimbangan politik tampaknya telah mewarnai

pemilihan Zayd. Utsman barangkali memandang bahwa pemuda

cekatan, berinteligensi tinggi, pernah melakukan pekerjaan yang

sama di masa sebelumnya, dan – mungkin paling penting – loyal

terhadap Khalifah, jelas merupakan pilihan yang lebih baik

daripada seorang pejabat senior yang keras kepala.

Sebaliknya, agak sulit menentukan alasan pemilihan tiga

anggota komisi lainnya yang berasal dari suku Quraisy. Alasan

utama pemilihan ketiganya, seperti terlihat dalam riwayat di atas,

adalah menjaga kesejatian dialek Quraisy dalam penyalinan mushaf.

Sehubungan dengan Sa‘id ibn al-‘Ash, sejak 29H ia menjadi

gubernur Kufah. Apakah saat  pembentukan komisi ia berada di

Madinah atau dipanggil secara khusus oleh Khalifah, merupakan

hal yang tidak dapat dipastikan. Sementara kepribadian dua

pemuda Quraisy lainnya juga tidak begitu jelas dalam riwayat-

riwayat yang sampai ke tangan kita.

Dalam salahsatu versi minoritas, nama Sa‘id hilang dari

keanggotaan komisi dan sebagai gantinya muncul nama Abd Al-

lah ibn Amr ibn al-‘Ash dan Abd Allah ibn Abbas.3  Penyebutan

Ibn Abbas di sini jelas menunjukkan suatu tendensi untuk

memasukkan peran keluarga Nabi dalam pembuatan kodeks resmi.

Sementara beberapa  versi minoritas lainnya menyebutkan

keterlibatan Ubay ibn Ka‘b dalam komisi yang dibentuk Utsman.4

namun , sebagaimana ditunjukkan di atas, riwayat ini secara

sederhana bisa ditolak dengan merujuk tahun kematiannya pada

22H, yang jauh mendahului pembentukan komisi Utsman.5

Penyebutan nama Ubay, dalam riwayat-riwayat ini , dikaitkan

dengan 12 anggota komisi yang dibentuk Utsman. Dalam suatu

versi yang agak ringkas tidak disebutkan nama ke-12 anggota itu,

dan basis untuk penulisan mushaf utsmani adalah lembaran-

lembaran di dalam kotak al-Quran (rab‘ah) yang tersimpan di

rumah Umar ibn Khaththab.6  Penyebutan beberapa  besar anggota

komisi yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar ini tampaknya

bertujuan untuk melibatkan warga  Madinah dalam

pengumpulan resmi.

Sementara dalam beberapa  riwayat lainnya, hanya disebutkan

dua nama yang mengerjakan kodifikasi pada masa Utsman, yaitu

Zayd ibn Tsabit dan Sa‘id ibn al-‘Ash, dengan pertimbangan bahwa

Zayd merupakan penulis terbaik yang pernah menyalin wahyu

pada masa Nabi – sebab  itu ia ditugaskan untuk menulis – dan

Sa‘id merupakan yang terfasih bahasanya – sebab  itu ditugaskan

untuk mengimlak atau mendikte.7  namun , terkadang posisi ini

terbalik: Zayd mendikte sedangkan Sa‘id menulis.8  Varian lainnya,

seperti dilaporkan Ibn Abi Dawud, mengemukakan nama Aban

ibn Sa‘id ibn al-‘Ash – paman dari Sa‘id yang sering disebut dalam

riwayat – bersama Zayd.9  Aban memang pernah berperan sebagai

sekretaris Nabi. namun , menurut riwayat lain, ia meninggal dalam

pertempuran Yarmuk pada 14H, sehingga keterlibatannya dalam

komisi Utsman jelas merupakan rekayasa belakangan, atau secara

tidak sengaja nama Sa‘id tertukar dengan namanya dalam proses

transmisi.

Di samping riwayat-riwayat yang telah disebutkan, ada 

versi minoritas lainnya – seperti disitir Ibn Abi Dawud – yang

menjelaskan bahwa Umar mengawali pengumpulan al-Quran,

namun  tidak sempat menyelesaikannya sebab  terbunuh. Utsman,

yang menggantikan Umar sebagai khalifah, melanjutkan pekerjaan

ini  dan menyelesaikannya. Dalam riwayat ini, akhir versi

mayoritas dalam pengumpulan pertama Zayd tentang bagian

terakhir al-Quran (9:127), yang ditemukan pada Khuzaimah ibn

Tsabit, juga dicakupkan.10  Mirip dengan versi minoritas ini adalah

riwayat Abd Allah ibn al-Zubayr yang mengabarkan bahwa

seseorang menghadap Umar dan melaporkan pertikaian umat Is-

lam tentang al-Quran. sebab  itu, Umar memutuskan

mengumpulkan al-Quran hanya dalam satu bacaan. namun , saat 

tengah melaksanakan pengumpulan, ia terbunuh. Orang yang sama

– yang menghadap Umar – kemudian menghadap Khalifah Utsman

dan menyampaikan hal senada. Utsman kemudian memutuskan

untuk mengkodifikasi al-Quran dan memerintahkan Abd Allah

ibn al-Zubayr meminjam mushaf Aisyah. Setelah diteliti dan

dilakukan perbaikan, Utsman lalu merobek lembaran-lembaran

lainnya.11  Riwayat-riwayat semacam ini hanya terlihat memperkecil

peran Utsman yang demikian besarnya. Sedangkan penyebutan

mushaf Aisyah sebagai basis kodifikasi Utsman tampak bersifat

tendensius,12  dan bertabrakan dengan versi mayoritas yang

menyebutkan kodeks Hafshah sebagai basisnya.

Terlepas dari masalah anggota-anggota komisi yang ditunjuk

Utsman, perintah yang ditujukan kepada komisi ini  adalah

menyalin al-Quran dalam dialek suku Quraisy, sebab  – seperti

disebutkan dalam versi mayoritas –  kitab suci itu diwahyukan

dalam bahasa mereka. namun , suatu riwayat mengungkapkan bahwa

saat  terjadi perselisihan di antara anggota komisi tentang

penulisan suatu kata dalam 2:248 (cf. 20:39), di mana Zayd

berpendapat bahwa kata ini  mesti ditulis tãbûhun (p8 dengan

p), sementara anggota komisi lain beranggapan mesti ditulis tãbût

(58 dengan 5), maka Utsman menjelaskan bahwa bentuk tulisan

terakhir – yakni dengan 5 – adalah dialek Quraisy asli.13  Pandangan

ini jelas keliru, sebab  tãbût bukanlah kata Arab asli, namun  berasal

dari bahasa Abisinia (Habsyi).14  Demikian pula, gagasan yang

berkembang dikalangan sarjana Muslim bahwa teks utsmani

mencakup ahruf al-sab‘ah, dalam pengertian tujuh dialek, jelas

bertabrakan dengan versi mayoritas di atas yang menyebutkan

penyalinan ini  hanya dibatasi pada dialek Quraisy.

Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy ini

sebenarnya patut dipertanyakan. Al-Quran sendiri, di beberapa

tempat (16:103; 26:195), menegaskan bahwa ia diwahyukan dalam

“lisan Arab yang jelas”. Penelitian terakhir tentang bahasa al-Quran

menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang

digunakan dalam syair-syair pra-Islam. Bahasa ini merupakan

Hochsprache – atau lingua franca, lazimnya disebut ‘arabiyyah –

yang dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, dan merupakan

satu kesatuan bahasa sebab  kesesuaiannya yang besar dalam

masalah leksikal maupun gramatik. Lebih jauh, Hochsprache atau

lingua franca ini bukanlah dialek suku atau suku-suku tertentu.

Sebagian sarjana Muslim cenderung berasumsi bahwa sebab  Nabi

dan pengikutnya yang awal berasal dari suku Quraisy, maka mereka

tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku ini .

Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku

Quraisy itu identik dengan bahasa syair. namun , beberapa  informasi

tentang dialek suku-suku Arab pada masa Nabi yang berhasil

diselamatkan, cenderung menyangkali keyakinan bahwa dialek

Quraisy identik dengan bahasa syair.

Dalam riwayat versi mayoritas juga disebutkan bahwa bagian

tertentu al-Quran (33:23) telah terlupakan, namun  dapat ditemukan

pada Khuzaimah ibn Tsabit, kemudian diletakkan pada tempatnya

yang semestinya. Thabari menuturkan bahwa bagian al-Quran

ini  diketahui non-eksistensinya pada pemeriksaan pertama.

Pada pemeriksaan kedua, ditemukan non-eksistensi bagian al-Quran

lainnya, yakni akhir surat 9 –  tepat-nya 9:127-128 – yang kemudian

bisa diperoleh dari Abu Khuzaimah.16  Sementara Tirmidzi hanya

menyebutkan terlupakannya bagian al-Quran yang terakhir.17

Dalam kasus semacam ini, riwayat-riwayat ini  barangkali

tertukar dengan riwayat pengumpulan pertama dalam proses

transmisinya. Namun riwayat-riwayat ini  secara jelas

menunjukkn bahwa komisi yang dipimpin Zayd telah berusaha 

sekuat tenaga untuk mengumpulkan seluruh potongan wahyu yang

dapat mereka temukan. Tugas ini berhasil dilakukan, sebab  –

sebagaimana akan ditunjukkan – tidak pernah ada satu keberatan

yang betul-betul substansial dan bisa menafikan kelengkapan

mushaf utsmani yang dikodifikasikannya.

Kesulitan paling serius dalam versi mayoritas mencuat

sehubungan dengan mushaf Hafshah. Kesan yang diperoleh dari

riwayat versi mayoritas adalah bahwa tugas komisi yang dipimpin

Zayd hanyalah membuat suatu salinan yang memadai dari mushaf

Hafshah. Dari beberapa  riwayat diketahui bahwa mushaf ini sangat

diinginkan oleh Khalifah Marwan – bahkan sejak menjabat sebagai

gubernur Madinah – untuk dimusnahkan, yang baru berhasil

dilakukannya setelah wafatnya Hafshah. Alasan pemusnahannya

adalah kekhawatiran Marwan bahwa bacaan-bacaan tidak lazim di

dalamnya akan menimbulkan perselisihan di dalam warga .18

Riwayat ini membuktikan bahwa mushaf Hafshah jelas tidak

memadai sebagai basis teks resmi al-Quran. Namun, benang merah

yang hendak ditarik di sini adalah keterkaitan mushaf Hafshah

dengan pengumpulan pertama Zayd di masa Abu Bakr, sehingga

nama-nama khalifah sebelum Utsman memiliki peran penting

dalam proses pengumpulan mushaf resmi. Sebagaimana

ditunjukkan dalam bab 4, kisah pengumpulan pertama itu hanya

rekayasa belakangan yang dilakukan dengan tujuan memandulkan

peran Utsman yang luar biasa dalam kasus ini. Sementara

keterkaitan Hafshah dalam versi mayoritas di atas, dengan

demikian, mesti dipandang sebagai rekayasa belakangan dengan

tujuan senada.

Jadi, mesti ditetapkan bahwa komisi bentukan Utsman, yang

dimotori Zayd Ibn Tsabit, telah mengumpulkan al-Quran dari

berbagai sumber dan menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf yang

kemudian disebarkan ke berbagai kota metropolitan Islam saat 

itu. Pengumpulan pada masa ini – berdasar  keterkaitannya

dengan ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan pada 30H, bisa

ditetapkan dilakukan sekitar tahun ini  hingga menjelang

terbunuhnya Utsman pada 35 H – lebih merupakan usaha  untuk

penyeragaman atau standardisasi teks dan bacaan al-Quran. Latar

belakang perbedaan bacaan yang mengakibatkan diambilnya

keputusan pengumpulan dengan sepenuhnya menjustifikasi

kesimpulan ini. Lebih jauh, usaha  standardisasi teks al-Quran yang

dilakukan Utsman itu jelas merupakan suatu kenyataan sejarah

yang pasti.19  namun , saat  peristiwa ini ditransmisikan dari generasi

ke generasi, terjadi distorsi lewat berbagai tambal sulam dan bahkan

pengebirian peran besar Utsman dengan pengaitannya kepada

prestasi-prestasi “ilusif” para pendahulunya.20  sebab  itu, riwayat-

riwayat tentang pengumpulan kedua Zayd ibn Tsabit ini harus

diterima secara diskriminatif, sebagaimana ditunjukkan di atas.

Penyebaran Mushaf Utsmani

Telah dikemukakan bahwa setelah selesai melakukan kodifikasi

al-Quran, beberapa  salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai

kota metropolitan Islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf

yang berhasil diselesaikan penulisannya dan ke kota-kota mana

saja ia  dikirim sangat beragam. Menurut pandangan yang diterima

secara luas, satu mushaf al-Quran disimpan di Madinah, dan tiga

salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.21  Pendapat

populer lainnya, yang dipegang penulis Itqãn, menyebut lima

eksemplar dan menambahkan kota Makkah ke jajaran empat kota

di atas.22  Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang

digandakan itu ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke

lima kota yang baru disebutkan, dan sisanya satu eksemplar

disimpan oleh Utsman. Mushaf di tangan Utsman inilah yang

kemudian dikenal sebagai al-imãm (mushaf induk).23  Sedangkan

Ibn abi Dawud menuturkan pandangan Abu Hatim al-Sijistani

(w. 863) bahwa mushaf yang berhasil diselesaikan penulisannya

beberapa  7 eksemplar, dan  menambahkan kota Yaman dan Bahrain

ke dalam jajaran lima kota penerima salinan mushaf.24

Berbagai sudut pandang yang diutarakan di atas menimbulkan

permasalahan tentang riwayat mana yang paling dapat dipegang

sehubungan dengan mushaf-mushaf Utsman. Seperti terlihat dalam

latar belakang kodifikasi Utsman, pengumpulan pada masa itu

terkait erat dengan perbedaan bacaan di kalangan pasukan Mus-

lim yang direkrut dari Siria dan Irak. Jadi, riwayat pertama – yang

menyebutkan eksistensi 4 salinan mushaf, 3 di antaranya dikirim

ke Kufah, Bashrah dan Damaskus – merupakan yang paling sesuai

dengan latar belakang kodifikasi ini . Kota-kota Kufah, Bashrah

dan Damaskus saat  itu merupakan kota-kota terpenting di

propinsi Irak dan Siria. Di kota-kota inilah garnisun-garnisun

kekhalifahan direkrut dan ditempatkan. Selain itu, dalam riwayat

pengumpulan Utsman, yang ditonjolkan sebagai pusat perhatian

Khalifah saat  itu adalah bagaimana mengakhiri pertikaian di

dalam pasukan Muslim tentang bacaan al-Quran. Dengan

demikian, tujuan lanjutan untuk menyatukan seluruh wilayah

kekhalifah kepada satu teks standar al-Quran, bukan merupakan

kebutuhan utama, sekalipun Utsman mungkin saja telah

memikirkannya. Penyebutan kota Makkah, dalam riwayat lainnya,

barangkali terkait secara langsung dengan makna kota ini sebagai

tanah kelahiran Nabi dan tanah suci pertama Islam di mana Ka’bah

berada. Sementara penyebutan tujuh kota dalam riwayat terakhir

di atas barangkali terkait dengan “kesakralan” angka tujuh: al-Quran

telah diwahyukan dalam tujuh ahrûf, yang belakangan juga

ditafsirkan sebagai tujuh bacaan dalam qirã’ãt al-sab‘.

Setelah penyebaran mushaf utsmani, berbagai mushaf atau

fragmen al-Quran lainnya – seperti disebutkan dalam riwayat versi

mayoritas di atas – dimusnahkan atas perintah Khalifah. Menurut

Schwally, seluruh riwayat tentang pemusnahan mushaf atau

fragmen al-Quran non-utsmani hanya menyebutkan kejadiannya

di kota-kota yang disebutkan di atas, bahkan terbatas pada daerah

Irak dan Siria.25  Para penguasa kota-kota ini  tentunya memiliki

kekuasaan untuk menjalankan amanat Khalifah sejauh menyangkut

pemilikan umum, namun  tidak demikian halnya dengan mushaf

atau fragmen yang menjadi milik pribadi. saat  membahas mushaf

Ibn Mas‘ud dan Abu Musa dalam bab 5, telah dikemukakan bahwa

kedua sahabat Nabi ini termasuk orang yang menolak menyerahkan

mushafnya untuk dimusnahkan.

Pemusnahan mushaf dan fragmen non-utsmani, menurut

sebagian riwayat di atas, dilakukan dengan merobeknya – kharaqa

(;S), atau sinonimnya syaqqa dan mazaqa. namun  hal ini barangkali

tidak dapat dibenarkan, sebab  sisa-sisa sobekan tentunya masih

bisa disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim memberitakan

pemusnahan dilakukan dengan membakarnya – haraqa (;) –

dan, dengan demikian, tidak tertinggal sesuatupun.26  Boleh jadi

bahwa riwayat pertama ini – secara sengaja atau tidak – telah

mengalami penyimpangan dalam proses transmisi tertulisnya,

sebab  kata “merobek” dan “membakar” dalam kedua riwayat itu

jelas didasarkan pada kerangka konsonantal yang sama (;), dan

perbedaannya hanya terletak pada ada tidaknya satu titik diakritis

di atas huruf pertama.

Pemusnahan materi-materi al-Quran non-utsmani, dengan

tujuan utama menyebarluaskan edisi kanonik resmi, tidak dicapai

dalam waktu singkat. saat  itu, al-Quran – terutama sekali –

dipelihara dalam bentuk hafalan menurut bacaan tertentu. Adalah

pelik membayangkan bagaimana hafalan yang telah mapan di

kepala seseorang kemudian mesti disesuaikan dengan mushaf resmi

yang dikeluarkan Utsman. Dalam kondisi semacam ini, ditambah

keengganan beberapa sahabat Nabi – seperti Ibn Mas‘ud dan Abu

Musa al-Asy‘ari – untuk mengikutinya, kodeks utsmani tentunya

tidak segera mewarga  dalam waktu singkat, hingga suatu

generasi baru penghafal al-Quran dalam tradisi teks utsmani

muncul. Setelah itu, kodeks-kodeks pra-utsmani secara bertahap

menghilang dengan sendirinya tanpa perlu dimusnahkan.

Salinan-salinan mushaf utsmani yang diedarkan di beberapa 

kota, dalam kenyataannya, tidak sempurna secara absolut.

Kenyataan ini diakui beberapa  otoritas Muslim yang awal. beberapa 

riwayat melaporkan tentang ditemukannya beberapa kekeliruan

di dalam salinan-salinan mushaf ini . 27  Yang paling populer

darinya adalah riwayat yang mengungkapkan bahwa Utsman

sendiri, saat  memeriksa salah satu eksemplar yang telah selesai

ditulis, menemukan ungkapan-ungkapan keliru dan mengatakan

bahwa kekeliruan itu tidak perlu diubah, sebab  orang-orang Arab

– dengan lisãn mereka – bisa membetulkannya.28  Riwayat  populer

lainnya mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa 

kekeliruan penulisan di beberapa tempat: (i) dalam 2:17, “wa-l-

mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-shãbirûna”); (ii) dalam

4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-l-mu’tûna” (untuk

“lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-lladzîna ãmanû …

wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam 20:63, “in

hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”); dan  menegaskannya

sebagai kekeliruan yang dilakukan para penulis.29  Riwayat-riwayat

semacam ini secara jelas memberi kesan bahwa teks utsmani tidak

dapat diubah lagi, sekalipun ada  kekeliruan di dalamnya.

Apabila kekeliruan semacam itu tidak dapat diubah,

kemungkinan yang tinggal adalah membacanya secara berbeda dari

tulisannya, seperti ditegaskan Utsman dalam riwayat di atas.

Pandangan semacam ini kemudian berkembang, dan Ashim al-

Jahdari merupakan salah satu penganutnya yang terkemuka.

Perkembangannya bahkan sampai ke sistem pembacaan teks resmi.

Jadi, Abu Amr – salah seorang imam kiraah tujuh – membaca

20:63 dengan hãdzayni. Pemuka ahli hadits, Ibrahim al-Nakha‘i

(w. 96H), menjelaskan perbedaan ini sebagai keunikan (i‘jãz)

ortografi utsmani.30  Namun, beberapa  qurrã’ yang belakangan

mengusaha kan jalan keluarnya dengan menyatukan antara tulisan

dengan bacaan, dan memberi penjelasan agar teks yang

dipermasalahkan selaras dengan tuntutan bahasa dan makna.

usaha -usaha  ini akan didiskusikan lebih jauh dalam bab 9.

Keberadaan laporan tentang beberapa  kekeliruan di dalam teks

utsmani, pada faktanya, sangat tidak menyenangkan bagi kaum

Muslimin. Pada masa silam, diusaha kan untuk menyilidiki

keabsahan laporan-laporan itu dengan jarh (kritik isnãd ), yang

dalam sebagian besar kasus – kecuali riwayat dari Aisyah – berhasil

dinyatakan ahistoris. Sementara sebagian sarjana Muslim secara

sederhana menyatakan keseluruhan laporan ini  sebagai tidak

dapat dipercaya. Kemunculan usaha -usaha  semacam ini bisa diberi

penanggalan sekitar penghujung abad ke-3H. Pada masa Abu Ubayd

– yakni pada permulaan abad ke-3H – riwayat-riwayat tentang

kekeliruan teks utsmani masih dituturkan secara sederhana,

sebagaimana adanya. namun , pada masa Ibn al-Anbari (w. 327 atau

328H) dan Thabari (w. 310H), selalu muncul usaha  keduanya untuk

menyelamatkan tradisi teks utsmani.

Mengenai nasib mushaf-mushaf yang disebarkan Utsman, tidak

ada  pemberitaan yang pasti tentangnya. Dengan pengecualian

mushaf al-imãm – yang paling sering dirujuk – mushaf-mushaf

ini  memiliki riwayat yang gelap dan hampir-hampir tidak

memainkan peran  berarti dalam kajian-kajian al-Quran. Menurut

Ibn Qutaibah (w. sekitar 276H), mushaf al-imãm – setelah

terbunuhnya Khalifah Ketiga – berpindah ke tangan puteranya,

Khalid, dan kemudian diwariskan secara turun-temurun. Sementara

Malik ibn Anas (w. 179H) menjelaskan bahwa mushaf ini 

telah hilang. Menurut al-Kindi, mushaf ini  terbakar dalam

peristiwa pemberontakan Abu al-Saraya pada 200H. namun , Abu

Ubayd mengaku melihat mushaf ini  yang masih berbekas

darah Utsman.

Pada abad pertengahan, pengembara termasyhur Ibn Batutah

(w. 779H) menceriterakan telah melihat salinan atau lembaran

yang dibuat Utsman di Granada, Marakesh, Bashrah, dan kota-

kota lainnya.33  Sementara Ibn Katsir (w. 774H) mengemukakan

pernah melihat kopi al-Quran, sangat mungkin dibuat pada masa

Utsman, yang dipindahkan pada 518H dari Tiberia ke Damaskus.

Dikatakannya bahwa mushaf itu “besar dan lebar dengan tulisan

yang indah, jelas, rapih dan sempurna, di atas kertas kulit yang –

menurut saya – terbuat dari kulit unta”.34  Mushaf ini, menurut

riwayat lain, kemudian dibawa ke Leningrad dan akhirnya ke

Inggris. Sebagian sarjana berpendapat bahwa mushaf ini  masih

tetap tersimpan di masjid Damaskus dan musnah saat  masjid

itu terbakar pada 1310H.

Ibn Jubair (w. 614H) menuturkan pernah melihat sebuah

manuskrip di masjid Madinah pada 580H. Beberapa riwayat

menerangkan bahwa naskah ini  tetap berada di sana sampai

kekhalifahan Turki Utsmani mengambilnya pada 1334H. saat 

perang Dunia Pertama berakhir, mushaf ini dibawa ke Berlin dan

diserahkan kepada mantan Kaisar William II, dan sesuai dengan

pasal 246 dari Perjanjian Versailles – di mana Turki merupakan

pihak yang kalah perang – naskah ini tetap berada di Jerman dan 

akan dipelihara oleh negara ini : “Dalam jangka waktu 6 bulan

sejak diberlakukannya perjanjian ini, Jerman akan selalu menjaga

naskah asli al-Quran milik Yang Mulia Raja Hijaz, yang diambil

dari Madinah oleh penguasa Turki, dan pernah dipersembahkan

kepada bekas Kaisar William II.”36  namun , akhirnya mushaf ini 

dikembalikan lagi ke Istanbul.

ada  sebuah manuskrip al-Quran yang disimpan di masjid

al-Hussain di Kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan

ditulis dengan tulisan kufi kuno. namun , bisa dikemukakan dugaan

bahwa naskah ini  merupakan salinan dari Mushaf Utsman.37

Semisal dengannya adalah manuskrip yang tersimpan di Tashkent.

Mushaf ini dikabarkan sebagai mushaf yang tengah dibaca Utsman

saat  terbunuh. Pada masa kekhalifahan Umaiyah, naskah ini 

dibawa ke Andalusia dan kemudian ke Fez di Maroko. Dari

Maroko, mushaf ini  kemudian dibawa ke Samarkand, dan

tetap berada di sana hingga 1868. Pada 1869, naskah ini dibawa ke

St. Petersburg dan disimpan di kota ini hingga 1917. Pada 1924,

naskah ini akhirnya kembali ke Tashkent dan tetap tersimpan di

sana hingga dewasa ini.38

Berbagai kesimpangsiuran tentang mushaf-mushaf utsmani ini

pada gilirannya mengantarkan beberapa  sarjana Muslim pada

keyakinan bahwa naskah-naskah ini  telah hilang tanpa bekas.

Manuskrip-manuskrip kuno yang ada dewasa ini hanya dipandang

sebagai salinan sempurna dari mushaf-mushaf utsmani. Pandangan

semacam ini, misalnya, diekspresikan oleh al-Zarqani.39  Sejalan

dengannya, penelitian-penelitian tentang naskah kuno al-Quran

mengungkapkan bahwa manuskrip-manuskrip al-Quran tertua –

baik dalam bentuk lengkap atau hanya sebagian saja – yang ada

dewasa ini adalah yang berasal dari abad ke-2H.

Varian-varian Mushaf Utsmani

Sebagaimana telah diungkapkan, mushaf-mushaf yang

diedarkan Utsman ke beberapa kota metropolitan Islam memiliki

beberapa  variasi yang keberadaannya dikaitkan dengan kesalahan

yang dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Quran.

beberapa  sarjana Muslim berusaha  menjelaskan bahwa riwayat-

riwayat ini  memiliki kelemahan yang menegasikan

eksistensinya. namun , kenyataannya adalah bahwa varian teks al-

Quran kota-kota besar Islam, yang darinya riwayat-riwayat varian

kiraah bersumber, telah memungkinkan untuk membuat

kesimpulan yang aman tentang mushaf awal yang diedarkan

Utsman: setiap teks al-Quran lokal secara jelas telah dipelihara

dengan penuh kesetiaan kepada mushaf awal. Teks tertulisnya tidak

hanya diriwayatkan secara ortografis, namun  juga didukung dengan

riwayat-riwayat lisan.

Varian-varian mushaf utsmani ini sampai ke tangan kita melalui

karya Abu Ubayd, Fadlã’il al-Qur’ãn, dan karya Abu Amr al-Dani

(w.1062), al-Muqni‘ fî Ma‘rifat Marsûmi Mashãhif Ahl al-Amshãr.

Daftar varian yang diungkapkan dalam kedua karya ini pada

prinsipnya saling menguatkan, sehingga memperkuat derajat

kepercayaan terhadap kandungannya. Bergstraesser telah

menghimpun varian-varian yang ada dalam kedua karya ini 

saat  membahas tentang varian mushaf utsmani. Uraian dalam

paragraf-paragraf berikut didasarkan pada himpunan yang dibuat

Bergstraesser.

Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama adalah

yang ada  pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus

menyalin kata 



$ – sebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf

lain – tanpa $ ( yakni 



). Kasus kedua ditemukan pada permulaan

2:132, di mana dalam mushaf Madinah, Damaskus, dan imãm

tertulis %A$ $ sementara mushaf lainnya menyalin dengan %A$$.

Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama ada  dalam 3:133,

di mana ungkapan L$ – sebagaimana ada  dalam mushaf-

mushaf lainnya – disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus dan

imãm,  tanpa $ ( yakni L ). Varian kedua dalam 3:184, pada

ungkapan 8

$ , yang disalin dalam mushaf Damaskus dengan

8

8$ . Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada

ungkapan -)

 dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam

mushaf Damaskus  dengan q-)

 . Dua varian lagi direkam dalam

surat 5. Pertama adalah dalam 5:53, di mana ungkapan J $ –

dalam berbagai mushaf – disalin dalam mushaf Madinah dan

Damaskus tanpa $ (yakni J  ). Dalam 5:54, ungkapan M –

sebagaimana ada  dalam mushaf lainnya – disalin dalam mushaf

Madinah, Damaskus dan imãm sebagai GM.

Dalam surat 6, tiga varian ditemukan. Dalam 6:32, ungkapan

di sebagian besar mushaf, yakni S&  M)

$, disalin dalam mushaf

Damaskus dengan S&  M

$. Ungkapan dalam 6:63,  -27 dalam

berbagai mushaf, disalin dengan -27 (yakni: 727 ) dalam mushaf

Kufah. Sementara ungkapan FrcFG&$ 

 (6:137) dalam berbagai

mushaf, disalin dalam mushaf Damaskus dengan  FcFG&$ 

( Fc sama dengan FIc ). Dalam surat 7, ada  empat varian

yang direkam. Dalam 7:3, ungkapan $  dalam berbagai mushaf,

disalin dalam mushaf Damaskus dengan $ . Ungkapan ,$

dalam 7:43, disalin tanpa $ dalam mushaf Damaskus (yakni , ).

Sedangkan kata J

 dalam 7:75, disalin dengan menambahkan $

(yakni J

$ ) dalam mushaf Damaskus. Sedangkan dalam 7:141,

ungkapan -27 (yakni -27 ) dalam berbagai mushaf, disalin

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  241

sebagai -27 (yakni 27 ) dalam mushaf Damaskus. Dua varian

lain  ditemukan dalam surat 9. Pertama adalah ungkapan N@

(9:100) dalam berbagai mushaf, disalin dengan tambahan 4, (yakni

N@4, ) dalam mushaf Makkah. Kedua adalah ungkapan 4

$

(9:107) dalam mushaf lainnya, disalin tanpa $ (yakni 4

) dalam

mushaf Madinah dan Damaskus. Sementara sebuah varian direkam

dalam 10:22, di mana ungkapan - dalam berbagai mushaf,

disalin dengan * dalam mushaf Damaskus.

ada  dua varian dalam surat 18. Varian pertama adalah

ungkapan N, dalam 18:36, seperti ada  dalam berbagai mushaf,

disalin dalam mushaf Madinah, Makkah dan Damaskus sebagai

 N,. Varian kedua adalah ungkapan %, (18:95), dalam berbagai

mushaf, yang disalin sebagai %, dalam mushaf Makkah.

Beberapa varian lain yang ditemukan dalam surat-surat

selanjutnya adalah ungkapan 

$ (21:30) dalam berbagai mushaf,

disalin dengan 

dalam mushaf Makkah. Kata ' (23:87,89) dalam

berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Bashrah dengan ' .

Ungkapan J7$ (25:25), disalin dengan J7$ dalam mushaf Makkah.

Dalam 26:217, ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin

dengan  dalam mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan


  (yakni %-i-

 ) dalam 27:21, disalin dengan %--

 dalam mushaf

Makkah. Ungkapan J

$ (28:37), disalin tanpa $ (yakni J

 ) dalam

mushaf Makkah. Dalam 36:35, ungkapan () L dalam berbagai

mushaf, disalin sebagai C) L dalam mushaf Kufah. Sementara

ungkapan %7$,  dalam 39:64, disalin dalam mushaf Damaskus

sebagai %7$,.

ada  dua varian yang direkam dalam surat 40. Varian

pertama adalah ungkapan N, (40:21) dalam mushaf lainnya, yang

disalin dengan , dalam mushaf Damaskus. Varian kedua adalah

ungkapan  $ (40:26), yang direkam sebagai  $ dalam mushaf

Kufah. Dalam 42:30, ungkapan  + , disalin dengan  8 dalam

mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan %N* (43:71) dalam

mushaf-mushaf lainnya, disalin sebagai (-N* dalam mushaf

Madinah, Damaskus dan imãm. Dalam 46:17, ungkapan  ,

disalin dengan  (yakni  7 ) dalam mushaf Kufah. Ungkapan

N- (47:18) dalam berbagai mushaf, disalin dengan N dalam

mushaf Makkah.

Dalam surat 55, ada  dua varian yang direkam. Pertama

dalam 55:12, di mana ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin

sebagai  dalam mushaf Damaskus. Kedua, ungkapan  (55:78),

yang disalin sebagai $ dalam mushaf Damaskus. Dua varian lagi

direkam dalam surat 57. Varian pertama adalah ungkapan ML$q$

(57:10) dalam berbagai mushaf, disalin sebagai ML$$ dalam mushaf

Damaskus. Varian kedua adalah ungkapan %_

F' (57:25) dalam

berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Madinah dan Damaskus

sebagai %_

' . Varian terakhir yang direkam ada  dalam surat

91, tepatnya pada ungkapan &$ (91:15) dalam berbagai mushaf.

Ungkapan ini disalin sebagai q dalam mushaf Madinah dan

Damaskus.

Daftar varian dalam kedua riwayat di atas hanya merupakan

beberapa  kecil varian yang berhasil direkam dari keberadaan varian-

varian mushaf utsmani yang awal.  Mengamati hubungan antara

varian satu dengan lainnya, terlihat bahwa tulisan mushaf

Damaskus – yang paling banyak mengandung ragam bacaan –

berada dalam satu posisi dengan mushaf Madinah pada titik-titik

di mana mushaf-mushaf lainnya membias. Mushaf Damaskus ini

juga tidak pernah berlawanan dengan mushaf Madinah, saat  ia

selaras dengan mushaf-mushaf lainnya. Sementara mushaf Bashrah

tidak pernah bersamaan pada suatu titik membias dari mushaf-

mushaf lain. Sedangkan mushaf Kufah memiliki bacaan di

beberapa tempat yang senada dengan bacaan mushaf Bashrah. Dari

hubungan-hubungan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa

mushaf yang paling awal adalah mushaf Madinah. Dari mushaf

inilah disalin mushaf Damaskus dan Bashrah. Sementara dari

mushaf Bashrahlah disalin mushaf Kufah. Secara skematis, asal-

usul mushaf-mushaf ini  dapat dikemukakan sebagai berikut:42

                           Mushaf Madinah

Mushaf Damaskus                         Mushaf Bashrah

                                                    Mushaf Kufah

Seperti terlihat, mushaf Damaskus paling sering memiliki

bacaan yang menjauh dari mushaf Madinah. Sementara Mushaf

Makkah, yang tidak dimasukkan dalam skema di atas, memiliki

bacaan independen di beberapa  tempat, sedangkan di tempat

lainnya mengikuti mushaf Madinah dan Damaskus, atau mushaf

Bashrah dan Kufah. Hal ini menunjukkan eksistensinya sebagai

suatu teks yang bersifat eklektik, dan penulisannya mungkin

dilakukan lebih belakangan dari keempat mushaf lain yang ada 

dalam skema.

Varian-varian di atas, dalam kenyataannya, belum mencakup

varian ortografi yang eksis dalam mushaf-mushaf amshãr. Ada dua

kelompok varian ortografi yang bisa dihitung ke dalam ragam

perbedaan mushaf-mushaf itu. Kelompok pertama mencakup

beberapa  kecil bagian al-Quran yang hanya bersifat sebagai varian

ortografis, namun  dalam beberapa kasus merupakan perbedaan

bacaan. Dalam 10:96, mushaf Damaskus menyalin kata kalimah

( )), sebagaimana ada  dalam mushaf-mushaf lainnya, dengan

5 ) (bentuk jamak). Dalam 17:93, kata 

, seperti tertulis dalam

mushaf-mushaf lain, disalin dengan J

 dalam mushaf Makkah

dan Damaskus. Demikian pula kata 

 dalam 21: 4, sebagaimana

tertulis dalam mushaf-mushaf lain, disalin dengan J

 dalam mushaf

Kufah. Kata J

 dalam 23: 112,114, disalin dengan 

 dalam mushaf

Kufah. Dalam kasus-kasus semacam ini, penulisan 

 dengan bacaan

J

 menunjukkan bahwa perbedaan yang ada hanya bersifat

ortografis. Kasus senada terjadi dalam 43:68. Kata G+L dalam ayat

ini ditemukan dalam mushaf Madinah dan Damaskus, sedangkan

mushaf Bashrah dan Kufah menyalinnya dengan G+L .

Kelompok kedua mencakup bagian-bagian al-Quran yang

mungkin bisa dikelompokkan ke dalam daftar varian mashãhif,

atau paling tidak ke dalam kelompok pertama di atas. Varian yang

eksis dalam kelompok ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Penulisan kata F8 dalam mushaf Irak dan Damaskus untuk surat

2, sedangkan mushaf lainnya adalah -F8 . Surat 4:36, dalam mushaf

Kufah tertulis , mushaf lainnya  . Surat 76:16, dalam mashaf

Bashrah tertulis  

 , dalam Mushaf Madinah dan Kufah tertulis

 

. Kata C-* 

(yakni 5d* 

) dalam 55:24, disalin dalam

mushaf Irak dengan C* 

(yakni: 5* 

). Di samping itu, ada 

beberapa  varian lainnya yang bersumber dari imam-imam kiraah

atau mushaf sahabat Nabi dan ragam bacaan yang tidak populer.

Contohnya adalah 2:98, di mana kata J-, (mîkãla, sebagaimana

bacaan Abu Amr dan Hafsh dari Ashim) dibaca oleh Nafi‘ sebagai

--, (mîkã’il, atau mîkã’îl seperti dibaca imam kiraat lainnya);

atau surat 12:7, di mana kata +L menggantikan kata 5  ;43  atau

kata i- dalam 17:40 dibaca – misalnya dalam kiraah Hafsh ‘an

Ashim – sebagai (d-, yang merupakan bacaan tidak terkenal; dan

lainnya. Kesemuanya ini menunjukkan adanya proses infiltrasi

atau pemaksaan masuk bacaan-bacaan non-utsmani ke dalam teks

tertulis.

Karakteristik Mushaf Utsmani

ada  beberapa  Pandangan yang mengungkapkan bahwa

susunan surat dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi. Al-Suyuthi

mengutip pendapat bahwa Utsman mengumpulkan lembaran-

lembaran (shuhuf) al-Quran ke dalam satu mushaf menurut tertib

suratnya (murattaban li-suwarihi).44  Sementara di tempat lain, ia

mengemukakan suatu riwayat yang menyatakan bahwa Utsman

memerintahkan komisinya untuk menempatkan surat-surat

panjang secara berurutan.45  Lebih jelas lagi adalah pernyataan al-

Ya‘qubi, “Utsman mengkodifikasikan al-Quran, menyusun (allafa)

dan mengumpulkan surat-surat panjang dengan surat-surat panjang

dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek.” 46

Berbagai gagasan di atas menunjuk kepada prinsip penyusunan

surat al-Quran dalam mushaf utsmani, yaitu: mulai dari surat-

surat panjang ke arah surat-surat yang lebih pendek. Prinsip

semacam ini pada umumnya diikuti sebagian besar sahabat Nabi

dalam aransemen surat mushaf-mushaf mereka – antara lain Ali,

Ibn Mas‘ud dan Ubay.47  Pengecualian untuk jenis aransemen surat

semacam ini adalah mushaf Ibn Abbas yang tersusun secara

kronologis. Hanya di dua tempat dalam mushaf utsmani, prinsip

ini terlihat menyimpang secara radikal dalam aplikasinya.48  Pertama

adalah surat pendek al-Fãtihah (surat 1) yang ditempatkan paling

awal, di depan surat paling panjang (surat 2). namun  penamaannya

paling populer – yakni al-Fãtihah, “pembukaan” – bisa memberi

indikasi tentang penempatannya pada urutan pertama. Kedua

adalah penempatan surat terpendek (surat 108) bukan pada

penghujung mushaf. Penjelasan tentang penempatan surat ini 

yang dikemukakan sejauh ini tidak begitu memuaskan

dibandingkan  penempatan surat al-Fãtihah.

Jumlah surat di dalam mushaf utsmani – kesemuanya 114

surat – berada di tengah-tengah antara jumlah surat dalam mushaf

Ubay  (116 surat) dan Ibn Mas‘ud (111 atau 112 surat). Surat-surat

ini, dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan nama-nama yang

beragam. Tidak jarang ada  dua nama atau lebih untuk satu

surat, dan dalam literatur-literatur Islam yang awal, ada 

rujukan-rujukan kepada nama-nama lainnya yang digunakan untuk

suatu waktu, namun  belakangan dibuang atau tidak digunakan lagi.

Contohnya, surat 1, selain  dirujuk dengan nama al-Fãtihah, dikenal

pula dengan nama fãtihatu-l-kitãb (pembuka kitab) atau umm al-

kitãb/al-qur’ãn (induk kitab/al-Quran), al-kãfîyah atau al-wãfîyah

(“yang mencukupi”), al-asãs (“fondasi”), al-syifã’ atau al-syãfîyah

(“penawar”), al-shalãt (“doa”) dan al-hamd (“puja-puji”).

Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana Muslim

mengenai penamaan ke-114 surat ini , sekalipun sekuensi atau

tata urutannya telah ditetapkan secara definitif di dalam mushaf

utsmani.49  Jadi, merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama

yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari al-

Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang

beragam itu. Namun, dapat dikemukakan dugaan bahwa segera

setelah adanya kodifikasi al-Quran, timbul kebutuhan untuk

pemberian nama-nama surat guna memudahkan perujukannya,

dan sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-

nama surat yang beragam itu telah mewarga . Fragmen papirus

al-Quran yang berasal dari pertengahan abad ke-8 – diedit oleh

Nabia Abbott – merupakan salah satu bukti tertulisnya.50

Berbagai penamaan surat yang populer di kalangan kaum

Muslimin ini telah dikumpulkan oleh Rudi Paret – sekalipun tidak

bersifat menyeluruh – di dalam Konkordanz al-Qurannya.51  Daftar

yang dihimpun Paret ini, dengan tambahan jumlah ayat dalam

setiap surat menurut versi al-Quran standar Mesir, dapat dikemukan

sebagai berikut:

Nama-nama Surat al-Quran

  No.  Surat                                Nama-nama  Surat                                      Jml.  Ayat

1 al-Fãtihah, Fãtihatu-l-kitãb, Umm al-kitãb 7

2 al-Baqarah 286

3 Ãli ‘Imrãn 200

4 al-Nisã’ 176

5 al-Mã’idah, al-‘Uqûd 120

6 al-An‘ãm 165

7 al-A‘rãf, Alif-Lãm-Mîm-Shãd 206

8 al-Anfãl 75

9 al-Tawbah,  Barã’ah 129

10 Yûnus 109

11 Hûd 123

12 Yûsuf 111

13 al-Ra‘d 43

14 Ibrãhîm 52

15 al-Hijr, Ashhãb al-hijr 99

16 al-Nahl, al-Ni‘am 128

17 al-Isrã’, Banî Isrã’îl, Subhãna 111

18 al-Kahfi,  Ashhãb al-kahfi 110

19 Maryam, Kãf-Hã-Yã-‘Ain-Shãd 98

20 Thã-hã, al-Kalîm 135

21 al-Anbiyã’, Iqtaraba,  Iqtaraba li-l-nãs hisãbuhum 112

22 al-Hajj 78

23 al-Mu’minûn, Qad aflaha-l-mu’minûn 118

24 al-Nûr 64

25 al-Furqãn, Tabãraqa-lladzî al-furqãn, Tabãraka al-furqãn 77

26 al-Syu‘arã’, Thã-Sîn al-syu‘arã’ 227

27 al-Naml, Thã-Sîn al-Naml, Sulaymãn, Thã-Sîn Sulaymãn 93

28 al-Qashash,  Thã-Sîn-Mîm al-qashash 88

29 al-’Ankabût 69

30 al-Rûm,  Alif-Lãm-Mîm gulibati-l-rûm 60

31 Luqmãn 34

32 al-Sajdah, Alif-Lãm-Mîm al-sajdah, Alif-Lãm-Mîm

tanzîl, Tanzil al-sajdah, al-Madlãji‘ 30

33 al-Ahzãb 73

34 Saba’ 54

35 Fãthir, Alhamdu li-llãhi fãthir,  al-malã’ikah 45

36 Yã-Sîn, Yã-Sîn wa-l-qur’ãn 83

37 al-Shãffãt 182

38 Shãd, Shãd wa-l-qur’ãn 88

39 al-Zumar, Tanzîl al-zumar, al-Guraf 75

40 Gãfir, al-Mu’minûn,  Hã-Mîm al-mu’minûn, al-Thaul 85

41 Fushshilat,  al-Sajdah, al-Mashãbih 54

42 al-Syûrã, Hã-Mîm al-syûrã, Hã-Mîm-‘Ain-Sîn-Qãf 53

43 al-Zukhruf, Hã-Mîm al-zukhruf 89

44 al-Dukhãn, Hã-Mîm al-dukhãn 59

45 al-Jãtsiyah, Hã-Mîm al-jãtsiyah, al-Syarî‘ah,

Hã-Mîm al-syarî‘ah, al-Dahr, Hã-Mîm tanzîl 37

46 al-Ahqãf, Hã-Mîm al-ahqãf 35

47 Muhammad, al-Qitãl, Alladzîna kafarû 38

48 al-Fath, Innã fatahnã laka, Inna fatahnã 29

49 al-Hujurãt 18

50 Qãf, Qãf wa-l-qur’ãn, al-Majîd, al-Bãsiqãt 45

51 al-Dzãriyãt, Wa-l-Dzãriyãt 60

52 al-Thûr, Wa-l-thûr 49

53 al-Najm, Wa-l-najm 62

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  247

54 al-Qamar, Iqtarabati-l-sã‘ah wa-l-syaqqati-l-qamar,

Iqtarabati-l-sã‘ah, Iqtarabat 55

55 al-Rahmãn 78

56 al-Wãqi‘ah, Idzã waqa‘ati-l-wãqi‘ah, Idzã waqa‘at 96

57 al-Hadîd 29

58 al-Mujãdalah, al-Zhihãr 22

59 al-Hasyr 24

60 al-Mumtahanah, al-Mumtahinah, al-Imtihãn, al-Mar‘ah 13

61 al-Shaff, al-Hawãrîyîn, al-Hawãrîyûn 14

62 al-Jumu‘ah 11

63 al-Munãfiqûn, Idzã jà’aka-l-munãfiqûn 11

64 al-Tagãbun 18

65 al-Thalãq, Yã ayyhã-l-nabîyu idzã thalaqtum al-nisã’,

Sûrat al-nisã’ al-qushrã 12

66 al-Tahrîm, al-Nabî, Yã ayyuhã-l-nabîyu

limã tuharrimu, Limã tuharrimu 12

67 al-Mulk, Tabãraka-lladzî biyadihi al-mulk, Tabãraka 30

68 al-Qalam, Nûn wa-l-qalam, Nûn 52

69 al-Hãqqah 52

70 al-Ma‘ãrij, Dzi-l-ma‘ãrij, sa’ala sã’il, al-Wãqi‘ 44

71 Nûh, Innã arsalnã nûhan, Inna arsalnã 28

72 al-Jinn, Qul ûhiya ilaiya, Qul ûhiya 28

73 al-Muzzammil, Yã ayyuhã-l-muzzammil 20

74 al-Muddatstsir, Yã ayyuhã-l-muddatstsir 56

75 al-Qiyãmah, La uqsimu bi-yawmi-l-qiyãmah 40

76 al-Insãn, Hal atã ‘ala-l-insãn, Hal atã 31

77 al-Mursalãt, Wa-l-mursalãti‘urfan, Wa-l-mursalãt 50

78 al-Naba’, ‘Amma yatasã’alûna, ‘Amma, al-Tasã’ul, al-Mu‘shirãt 40

79 al-Nãzi‘ãt, Wa-l-nãzi‘ãt 46

80 ‘Abasa, ‘Abasa wa tawallã 40

81 al-Takwîr, Idzã-l-syamsu kûwwirat, Idzã-l-syams, Kûwwirat 29

82 al-Infithãr, Idzã-l-syamsu-nfatharat, Infatharãt 19

83 al-Muttaffifîn, Waylun lil-muthaffifîn 36

84 al-Insyiqãq, Idzã-l-syamsu-nsyaqqat, Insyaqqat 25

85 al-Burûj, Wa-l-samã’i dzãti-l-burûj, al-Samã’ dzãt al-burûj 22

86 al-Thãriq, Wa-l-samã’i wa-l-thãriq 17

87 al-A‘lã, Sabbih-isma rabbika-l-a‘lã,

Sabbih-isma rabbika, Sabbih 19

88 al-Gãsyiyah, Hal atãka hadîtsu-l-gãsyiyah, Hal atãka 26

89 al-Fajr, Wa-l-fajr 30

90 al-Balad, Lã uqsimu bi-hãdza-l-balad,  Lã uqsimu 20

91 al-Syams, Wa-l-syamsi wa-dluhãhã, Wa-l-syams,

al-Syamsu wa-dluhãhã 15

92 al-Layl, Wa-l-layli idzã yagsyã, Wa-l-layl 21

93 al-Dluhã, Wa-l-dluhã 11

94 al-Syarh, Alam nasyrah laka shadraka,

                              Alam nasyrah laka, Alam nasyrah 8

95 al-Tîn, Wa-l-tîni wa-l-zaytûn, Wa-l-tîn 8

96 al-‘Alaq, Iqra’ bi-smi rabbika, Iqra’ bi-smi 19

97 al-Qadr, Innã anzalnãhu 5

98 al-Bayyinah, Lam yakuni-lladzîna min ahli-l-kitãb 8

99 al-Zalzalah, Idzã zulzilati-l-ardlu zilzãlahã, Idzã zulzilat 8

100 al-‘Ãdiyat, Wa-l-‘ãdiyati shubhan, Wa-l-‘ãdiyat 11

101 al-Qãri‘ah 11

102 al-Takãtsur, Alhãkum al-takãtsur, Alhãkum 8

103 al-‘Ashr, Wa-l-‘ashr 3

104 al-Humazah, Waylun li-kulli humazah, Humazah 9

105 al-Fîl, Alam tara kayfa fa‘ala rabbuka bi ashhãb al-fîl,

Alam tara, Alam 5

106 Quraisy, Li-îlãfi quraisy, Li-îlãf 4

107 al-Mã‘ûn, Ara’ayta-lladzî, Ara’ayta, al-Dîn 7

108 al-Kawtsar, Innã a‘thaynãka al-kautsar, Innã a‘taynãka 3

109 al-Kãfirûn, Qul yã ayyuhã-l-kãfirûn, al-‘Ibãdah 6

110 al-Nashr, Idzã jã’a nashru-llãh wa-l-fath, Idzã jã’a nashru-llãh,

Idzã jã’a, Nashru-llãh, al-Taudi‘ 3

111 al-Masad, Tabbat yadã abî lahabin wa-tabba,

Tabbat yadã abî lahab, Tabbat, Abî lahab 5

112 al-Ikhlãsh, Qul huwa-llãhu ahad 4

113 al-Falaq, A‘ûdzu bi-rabbi-l-falaq 5

114 al-Nãs, A‘ûdzu bi-rabbi-l-nãs 6

  Penelitian sepintas terhadap nama-nama surat di atas

menunjukkan non-eksistensinya kaidah yang baku tentang

penamaan surat. Terkadang surat-surat dirujuk secara mekanis

menurut ungkapan yang ada dibagian awalnya, seperti penyebutan

surat 78 sebagai ‘amma yatasã’alûn atau sekedar ‘amma. Di lain

kesempatan, penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci

yang muncul pada permulaan surat – misalnya surat 30: al-Rûm

dan surat 35: Fãthir – atau di pertengahan surat – misalnya surat 2:

al-Baqarah (ayat 67-73) dan surat 16: an-Nahl (ayat 68-69) – atau di

penghujung surat – misalnya surat 26: al-Syu‘arã’ (ayat 224-226).

Terkadang nama-nama surat diambil dari nama-diri yang muncul

di dalamnya, seperti surat 10: Yûnus, 12: Yûsuf, dan 71: Nûh.

Perujukan nama surat berdasar  kandungannya juga terkadang

muncul, misalnya surat 1: al-Fãtihah, surat 21: al-Anbiyã’, dan surat

112: al-Ikhlãsh. Di dalam karya monumentalnya, al-Itqãn, al-Suyuthi

secara khusus mengungkapkan berbagai ragam penamaan surat-

surat dalam suatu bab, yakni naw‘ 17, “Pengetahuan tentang Nama-

nama al-Quran dan Nama-nama Suratnya.”52

Ke-114 surat di atas pada masa yang awal diklasifikasikan ke

dalam empat kategori utama: (i) al-thiwãl, tujuh surat terpanjang,

mulai surat 2 sampai surat 9;  (ii) al-mi’ûn, surat-surat yang terdiri

dari seratus ayat atau lebih, mulai dari surat 10 sampai surat 35;

(iii) al-matsãnî, surat-surat yang kurang dari seratus ayat, mulai

surat 36 sampai surat 49; dan (iv) al-mufashshal, surat-surat pendek,

mulai dari surat 50 sampai surat 114.53  Pada tahap berikutnya al-

Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w.95H) memperkenalkan ke dalam

tradisi teks utsmani pembagian al-Quran ke dalam dua bagian,

tiga bagian, empat bagian dan tujuh bagian,54  yang tampaknya

diselaraskan dengan usaha  pembacaannya dalam dua hari hingga

satu minggu. Pada perkembangan selanjutnya  –  juga untuk tujuan

pembacaan – kaum Muslimin membaginya ke dalam 30 bagian

atau juz’ (pl. ajzã’) yang hampir sama. Pembagian ini berkaitan

dengan jumlah hari di bulan Ramadlan, di mana tiap juz al-Quran

dibaca setiap harinya. Pembagian yang 30 juz’ ini biasanya diberi

tanda di pinggiran salinan kitab suci ini .

Bagian yang lebih kecil lagi adalah hizb yang membagi juz

menjadi dua – jadi dalam setiap juz ada dua hizb. Bagian yang

lebih kecil dari hizb adalah perempatan hizb (rub‘ al-hizb), yang

juga sering diberi tanda di pinggiran salinan al-Quran. Pembagian

lainnya adalah ruku‘, beberapa  554 untuk keseluruhan al-Quran.

namun  panjang-pendeknya ruku‘ tidak seragam: surat panjang

biasanya terdiri dari beberapa ruku‘, dan surat pendek berisi satu

ruku‘. Keseluruhan pembagian al-Quran ini, yang diberi tanda

tertentu di pinggiran teks kitab suci, bukanlah bagian orisinal

wahyu. Bahkan tanda-tanda yang menunjukkan kepada bilangan

ayat dan tanda waqaf (waqf, ?

$ ) – secara harfiah “berhenti”, tanda

boleh tidaknya menghentikan bacaan pada akhir kalimat atau ayat

– dituliskan di dalam teks.55

Ke-114 surat – kecuali surat 9 – dalam salinan-salinan al-Quran

biasanya diawali dengan formula bismillãh al-rahmãn al-rahîm,

“Dengan nama Tuhan, yang pengasih, yang penyayang,” lazimnya

diringkas dengan istilah tasmiyah atau basmalah. Sekalipun tidak

ada  riwayat yang menyebutkan bahwa formula ini telah

diperkenalkan oleh Utsman dalam mushafnya, eksistensinya dalam

kodeks-kodeks pra-utsmani ditunjukkan beberapa  riwayat.56  Pada

permulaan Islam, para qurrã’ dari Makkah dan Kufah menghitung

basmalah sebagai ayat tersendiri, sementara para qurrã’  dari

Bashrah, Madinah dan Siria hanya memandangnya sebagai marka

pemisah (fawãshil ) antara surat-surat.57  namun , merupakan suatu

kenyataan bahwa formula ini telah dikenal oleh Nabi, bahkan

diajarkan al-Quran. Dalam 27:30 disebutkan bahwa Sulaiman

mengirim sepucuk surat kepada Ratu Bilqis, di mana ungkapan

bismillãh al-rahmãn al-rahîm mengawali suratnya. Senada dengan

ini, surat-surat yang dikirimkan Nabi Muhammad ke berbagai

penguasa dunia di masanya diawali dengan tasmiyah.58  Dalam

96:1 – yang dipandang sebagai wahyu pertama – Nabi diperintahkan

untuk membaca dengan nama Tuhannya. Perbedaan penetapan

basmalah sebagai bagian al-Quran atau bukan, telah membawa

implikasi lebih jauh dalam praktek shalat. Yang menghitung

basmalah sebagai bagian al-Quran akan menyaringkan bacaan for-

mula ini  di dalam shalat. Sementara yang tidak menghitung-

nya sebagai bagian kitab suci itu akan memelankan pembacaannya

atau bahkan menghilangkannya di dalam shalat.59

Setiap pembacaan al-Quran lazimnya diawali dengan ungkapan

isti‘ãdzah atau ta‘ãwudz, sebuah formula untuk memohon

perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan – formula yang

lazim adalah: a‘ûdzu bi-llãhi min al-syaythãn al-rajîm, “Aku

berlindung kepada Allah dari setan yang dirajam.” Formula

isti‘ãdzah ini jarang ditulis di dalam mushaf-mushaf tercetak. namun ,

al-Quran terlihat menganjurkan pembacaannya: “Bila kamu

membaca al-Quran, berlindunglah kepada Allah dari setan yang

dirajam”(16:98). Setelah itu, barulah formula basmalah – yang

menurut sebagian sarjana merupakan bagian al-Quran dan

lazimnya disalin di dalam mushaf-mushaf  – dibacakan.

Setelah formula basmalah, pada permulaan dua puluh sembilan

surat di dalam al-Quran ada  suatu atau sekelompok huruf

hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah atau

berdiri sendiri. beberapa  nama lazimnya digunakan para sarjana

Muslim untuk merujuk huruf-huruf ini , seperti fawãtih al-

suwar (“pembuka-pembuka surat”), awã’il al-suwar (“permulaan-

permulaan surat”), al-hurûf al-muqaththa‘ah/‘ãt (“huruf-huruf

potong/terpisah”), dan lain-lain. Sementara  sebutan yang lazim

digunakan sarjana Barat saat  merujuk huruf-huruf ini adalah

“huruf-huruf misterius.”60  Huruf-huruf ini , jika dihitung

secara tidak berulang, adalah:

- 

pada permulaan surat 2; 3; 29; 30; 3l; dan 32.

- 

pada permulaan surat l0; ll; l2; l4 dan l5.

- P 

pada permulaan surat 7.

-  

pada permulaan surat l3.

- PW-N pada permulaan surat l9.

- (= pada permulaan surat 20.

- = pada permulaan surat 26 dan 28.

- >= pada permulaan surat 27.

- > pada permulaan surat 36.

- s pada permulaan surat 38.

-  pada permulaan surat 40; 41; 43; 44; 45 dan 46.

- XW  pada permulaan surat 42.

- ; pada permulaan surat 50.

-  pada permulaan surat 68.

Kaum Muslimin telah berusaha  sepanjang sejarah Islam untuk

menyelami rahasia makna huruf-huruf misterius ini , dan

penafsiran yang berkembang di kalangan sarjana Muslim awal

tentangnya, dapat dikemukakan secara ringkas ke dalam tiga sudut

pandang utama:61

(i) Penafsiran yang memandang huruf-huruf ini  masuk

ke dalam kategori ayat ayat mutasyâbihât yang maknanya

hanya diketahui Allah;

(ii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf  itu sebagai

singkatan-singkatan untuk kata-kata atau kalimat-kalimat

tertentu;

(iii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan

merupakan singkatan. namun , sebagaimana akan

dijelaskan di bawah, kelompok pandangan ini juga

mengajukan beberapa  kemungkinan tentang penafsiran

maknanya.

Pandangan kelompok pertama tidak memberikan solusi yang

jelas – bahkan sama sekali tidak mengajukan solusi apapun –

mengenai makna fawãtih al-suwar. sebab  itu, bahasan lebih jauh

tentangnya tidak begitu relevan diungkapkan di sini. Kelompok

kedua, yang memandang  “huruf-huruf potong” sebagai singkatan-

singkatan untuk kata atau kalimat tertentu, mengajukan solusi

yang sangat bervariasi tentang kepanjangan huruf-huruf ini .

Berbagai penafsiran tentangnya yang berkembang di dalam

kelompok ini dapat diringkas sebagai berikut:

- 

: al-rahmãn;  anã-llãh a‘lam; atau allãh lathîf majîd.

-  

: al-rahmãn; atau anã-llãh arã.

- P 

: allãh al-rahmãn al-shamad; al-mushawwir; anã-llãh

afdlal; anã-llãh al-shãdiq; atau alam nasyrah laka

shadrak.


-   

: anã-llãh a‘lam wa arã.62

- PW-N : kãfin hãdin amîn ‘azîz shãdiq; karîm hãdin hakîm

‘alîm shãdiq; al-malik allãh al-‘azîz al-mushawwir;

al-kãfî al-hãdî al-‘ãlim al-shãdiq; kãfin  hãdin amîn

‘ãlim shãdiq; atau anã al-kabîr al-hãdî ‘aliyyun amîn

shãdiq.

- (= : dzû al-thawl.

- = : dzû al-thawl al-quddûs al-rahmãn.

- >= : dzû al-thawl al-quddûs.

- > : yã sayyid al-mursalîn.

- s : shadaqa-llãh; uqsimu bi-l-shamad al-shãni‘ al-shãdiq;

shãdi yã muhammad ‘amalaka bi-l-qur’ãn; atau

shãdi muhammad qulûb al-‘ibãd.

-  : al-rahmãn al-rahîm.

- XW  : al-rahmãn al-‘alîm al-quddûs al-qãhir.

- ; : qãdir; qãhir; qudlî al-amr;  atau uqsimu bi-quwwatin

qalb muhammad.

-  : al-rahmãn; nûr; nãshir;  atau  al-hût.

Pandangan tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan

kata atau kalimat tertentu, seperti terlihat di atas, sebagian besarnya

bersumber dari Ibn Abbas, salah seorang sepupu Nabi, yang

dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar dalam tafsir al-

Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius

ini  telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak

terbatas. Seseorang bisa saja mengartikan huruf-huruf itu selaras

dengan gagasan yang dikehendakinya, baik dengan pijakan artifisial

ataupun tanpa pijakan yang masuk akal. Satu-satunya pemaknaan

yang agak logis adalah pemaknaan huruf nûn di awal surat 68

sebagai al-hût, “ikan.” Kata nûn yang dialihkan ke dalam bahasa

Arab dari bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan,” dan dalam

ayat 48 surat yang sama, Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shãhib

al-hût juga bernama dzû-l-nûn.63

Dalam kelompok ketiga, ada  suatu kesepakatan bahwa

“huruf-huruf potong” yang ada pada permulaan beberapa  surat

al-Quran itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat

tertentu. namun  sehubungan dengan makna huruf-huruf ini ,

kelompok ini juga mengajukan kemungkinan-kemungkinan

penafsiran yang sangat bervariasi. Pandangan-pandangan yang

berkembang di dalam kelompok ketiga ini dapat dikemukakan

sebagai berikut:

(i) Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang

secara tidak jelas merujuk kepada   nama-nama nabi,

misal-nya (= ,   dan > (baca: thãhã, hãmîm, yãsîn);64

nama surat-surat tertentu di dalam al-Quran, misalnya

surat yãsîn; nama-nama gunung, misalnya XW  dan ; ;

nama laut, misalnya s , “laut yang di atasnya berdiri

Arsy Tuhan” atau “laut yang di dalamnya orang-orang

mati menjadi hidup;” dan terakhir, merujuk kepada al-

lawh al-mahfûzh atau “tinta,” sebagaimana bisa

ditetapkan berdasar  konteks dimana huruf  muncul.

(ii) Huruf-huruf ini  merupakan tanda-tanda mistik

dengan makna simbolik atau apokaliptik yang didasarkan

pada nilai-nilai numerik alfabet Semitik-Utara, misalnya:



:  l + 30 + 40 = 71;

: 1 + 30 + 40 + 60 = 131;



: 1 + 30 + 200 = 231;

: 1 + 30 + 40 + 200 = 27l; dll.

Angka-angka ini, menurut sebagian mufassir, menunjuk-

kan usia umat Nabi  Muhammad.

(iii) Huruf-huruf itu merupakan media untuk membangkit-

kan perhatian Nabi kepada wahyu Ilahi yang akan

disampaikan Jibril, atau untuk memesonakan para

pendengar Nabi sehingga lebih menaruh perhatian

kepada risalah Tuhan yang disampaikannya.

(iv) Huruf-huruf  ini   adalah semata-mata huruf Arab,

yang menunjukkan bahwa wahyu Ilahi diturunkan dalam

bahasa yang diakrabi warga  Nabi, yaitu bahasa Arab.

Keempatbelas huruf potong itu – yakni bila huruf-huruf

yang ada di permulaan dua puluh sembilan surat itu

dihitung secara tidak berulang – terpilih secara seksama

dan mewakili separuh alfabet Arab, yang dari segi

artikulasinya mencakup keseluruhan sistem alfabet.

(v) Huruf-huruf itu merupakan marka-marka pemisah

(fawâshil) antara satu surat dengan surat lainnya.

Sebagaimana dengan pandangan kelompok kedua, gagasan-

gagasan tentang makna huruf-huruf misterius yang diajukan

kelompok terakhir ini juga telah masuk ke dalam wilayah spekulasi

yang tidak terbatas. namun  masalah kunci yang tidak pernah

disentuh kedua kelompok ini, demikian pula kelompok pertama,

adalah mengapa hanya dua puluh sembilan permulaan surat al-

Quran yang memiliki  “huruf-huruf potong,” sementara 85 surat

lainnya tidak?

Sekalipun demikian, ketiga sudut pandang sarjana Muslim

dari masa yang awal di atas telah meletakkan preseden yang cukup

solid untuk spekulasi tafsir sarjana-sarjana Muslim belakangan

tentang makna fawâtih al-suwar. Penafsiran-penafsiran yang muncul

belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan belum keluar

dari gagasan-gagasan klasik ini , sekalipun beberapa diantaranya

merupakan improvisasi atau varian darinya. Al-Suyuthi, setelah

mendiskusikan berbagai pandangan tentang makna fawâtih,

menyimpulkan bahwa fawâtih adalah huruf-huruf atau simbol-

simbol misterius yang makna hakikinya hanya diketahui oleh

Tuhan.65  Jadi, al-Suyuthi pada prinsipnya mengikuti sudut pandang

kelompok pertama; dan pendapat semacam ini masih tetap

dipegang beberapa  mufassir modern. Demikian pula, gagasan

tentang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata dan kalimat

tertentu hingga kini tetap populer di kalangan mufassir Muslim.66

Dalam kaitannya dengan gagasan kelompok ketiga, beberapa 

sarjana Muslim modern telah mengemukakan varian-varian ba