Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sain Alquran 11. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

sain Alquran 11


 bangan ilmu pengetahuan dan filsafat atau secara 

umum di Barat tentu saja tidak terlepas dari peran dan pengaruh 

epistemologi, ilmu, dan filsafat ataupun peradaban Islam 

sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh perkembangan pemikiran 

Islam dan ilmu di Andalusia dan Cordoba telah memberi  

pencerahan kepada dunia Barat pada akhir abad pertengahan dan 

awal abad modern.

   Dalam perkembangan selanjutnya, 

epistemologi tidak hanya terbatas penggunaannya dalam filsafat

semata, namun juga mulai mengarah kepada semua bidang ilmu 

termasuk ilmu yang sifatnya praktis sekalipun serta aspek-aspek 

kehidupan manusia lainnya. Muthahari menjelaskan bahwa 

epistemologi sangat penting sebagai landasan pandangan dunia 

dan pandangan dunia yaitu  landasan ideologi.

 1

Senada dengan Muthahari, Muhammad Amin memahami 

epistemologi sebagai produk dari suatu pandangan dunia (world

view) warga  terkait dengan konsep tentang manusia, 

semesta, dan Tuhan. Konsep ini  menjadi dasar terhadap 

lahirnya disiplin ilmu dan cabang pengetahuan yang beragam, 

filsafat pendidikan, dan infrastruktur institusional serta berperan 

penting pembetukan karakter individu yang pada gilirannya 

membentuk suatu tatanan warga  dalam membangun suatu 

paradaban.  

Istilah pandangan dunia (world view) bagi Mario Bunge 

lebih cenderung menyebutnya dengan kosmologi. Kosmologi

yaitu  suatu penyelidikan terhadap unsur-unsur dan bentuk￾bentuk dasar dari semesta (universe). Lebih jauh Bunge 

menguraikan sepuluh paradigma kosmologi yang berkembang dan 

telah membentuk berbagai epistemologi dalam sejarah pemikiran 

manusia. Sepuluh paradigma kosmologi ini  yaitu  holisme, 

hirarkisme, probabalisme, dinamisisme, dialektik, atomisme, 

mekanisme, sakralisme, tekstualisme, dan sistemisme.  

Bunge kemudian merinci konsep-konsep epistemologi dari 

sepuluh paradigma kosmologi ini . Holisme cenderung memakai  intuisi dalam epistemologinya. Hirarkisme 

menganut epistemologi evolusionisme. Probabalisme memperkuat 

epistemologi induksi dalam teori-teori ilmiah. Dinamisme lebih 

cenderung epistemologi proses. Dialektika mengedepankan 

epistemologi konflik dan kontradiktif. Atomisme menjadikan 

epistemologi naturalistik dan non-antroposentris. Mekanisme 

menganut epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat 

mekanistik. Sakralisme berdasarkan epistemologi keagamaan 

(religious) yang mensucikan konsep dan ajaran tertentu serta 

melihat konsep dan ajaran yang lain secara buta. Tekstualisme 

memandang dunia ini sebagai teks yang tak terbatas dan lebih 

dekat pada idealisme. Terakhir, sistemisme merupakan gabungan 

dari kosmologi yang pertama sampai ketujuh.  

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam konteks 

pengetahuan agama dan pengetahuan ilmiah telah terjadi 

perdebatan yang cukup hangat di kalangan para pemikir termasuk 

di kalangan praktisi pendidikan. Pertanyaan yang paling mendasar 

yaitu  bagaimana posisi pengetahuan agama dan pengetahuan 

ilmiah dan pola interaksi kedua jenis pengetahuan ini . Al￾A>miri> dan al-Sijista>ni> memandang bahwa konten pengetahuan

yang berasal dari wahyu (revealed knowledge) dan yang bukan 

berasal dari wahyu (non revealed knowledge) ini  pada 

dasarnya tidak tumpang tindih (unoverlap), melainkan keduanya 

berfungsi saling melengkapi satu sama lain.  

Epistemologi Modernisme Barat sangat didominasi oleh 

epistemologi fondasionalisme. Fondasionalisme berarti bahwa 

semua pengetahuan dan keyakinan dapat diterima dan diakui 

kebenarannya jika  memiliki dasar yang jelas, tidak dapat 

diragukan, tidak dapat dibantah, dan tidak dapat dikoreksi. 

Epistemologi yang dipakai oleh fondasionalisme terutama yaitu  

rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.   Sementara epistemologi 

kontemporer pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh epistemologi

modern yang didominasi oleh empirisme, rasionalisme, dan 

kritisisme, atau dengan kata lain epistemologi kontemporer 

merupakan daur ulang dari epistemologi modern. 

Dalam perkembangan pemikiran pada peradaban Barat, 

epistemologi menempati posisi yang sangat besar dan sentral 

sehingga metafisika dan ontologi agak terkesampingkan. Untuk 

membuktikan bahwa ontologi dan metafisika kurang mendapat 

perhatian dalam perkembangan filsafat modern, penulis terlebih 

dahulu menguraikan tentang dominasi epistemologi dan hegemoni 

positivisme pada abad modern di Barat. Kurangnya perhatian 

terhadap ontologi dan dominasi epistemologi dalam filsafat Barat 

modern ini , tentu saja masih dapat diperdebatkan tergantung 

perspektif yang digunakan. 

Contoh lain persoalan ontologi dan metafisika direduksi 

menjadi masalah epistemologi yaitu  seperti yang dilakukan oleh 

Immanuel Kant.   Ia mereduksi masalah kemungkinan ontologi 

menjadi pertanyaan bagaimana kemungkinan pengetahuan yang 

bersifat a priori? Jawabannya ia formulasikan dengan konsep 

critique of pure reason. Intinya epistemologi Kant berpandangan 

bahwa akal budi manusia hanya dapat mencapai phenomena dan 

bukan noumena.

  

Sayyid Hossein Nasr menilai bahwa filsafat Cogito Ergo 

Sum (aku berfikir maka aku ada) yang dikembangkan oleh Rene 

Descartes telah menggeser ontologi filsafat Barat yang pada 

awalnya fokus pada wujud (being) menjadi analisis terhadap 

refleksi mental dari wujud ini .  

Di samping tiga aliran utama ini  yaitu rasionalisme, 

empirisme, dan kritisisme, positivisme juga menjadi tiang utama 

peradaban Barat. Positivisme dikembangkan oleh Auguste Comte.

   Comte membagi tiga tahap perkembangan pemikiran 

manusia yaitu teologis, metafisis, dan positif. Bagi Radu Morea 

dan Ion Josan, hegemoni epistemologi positivisme ini banyak 

memengaruhi perkembangan sains dan cenderung menggeser 

agama. Hegemoni epistemologi positivisme ini juga menjadikan 

superioritas peradaban Barat yang dirasuki oleh mentalitas 

kolonial.  Berdasarkan tiga tahap perkembangan pemikiran 

manusia menurut Comte ini , jelas tahap positif telah 

menafikan dua tahap sebelumnya yaitu teologis dan metafisis. 

Positivisme sangat sesuai dengan sains modern yang hanya 

mengakui kebenaran yang bersifat pasti, positif, dan faktual, serta 

empiris. Oleh karena itu, positivisme memang baik langsung 

maupun tidak telah menafikan kebenaran agama dan metafisika.

Penyebab lain terjadinya krisis epistemologi di Barat 

yaitu  positivisme logis. Positivisme logis berpijak pada 

epistemologi Hume. Epistemologi Hume yaitu  skeptisisme

empiris. Perkembangan sains modern yang didasarkan pada 

empirisme Hume menyebabkan epistemologi sains modern sangat 

lemah, apalagi jika epistemologi ini  menjadi dasar etika, 

metafisika dan agama. Oleh karena itulah, perlu dicari dan 

ditemukan epistemologi yang lebih kuat dan lebih baik untuk 

menjadi dasar pengembangan sains agar sejalan dengan etika, 

metafisika, dan agama.   Bagi positvisme logis, kebenaran dapat 

diterima jika ia dapat dibuktikan dengan verifikasi empiris. 

Pernyataan metafisika diyakini oleh aliran positivisme logis 

sebagai tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara 

empiris.

Hans-Johann Glock mempertanyakan eksistensi dari 

ontologi yang merupakan bagian dari metafisika. Hal itu beranjak dari, seperti yang telah diuraikan di atas, aliran positivisme logis 

yang berpandangan bahwa metafisika tidak bermakna. Glock 

menganalisis tulisannya dengan memakai  filsafat analitik dan 

epistemologi Wittgenstein, Carnap, dan Ryle, serta Quine. 

Kesimpulan dari tulisannya ini  yaitu  masih meragukan 

keberadaan ontologi dan metafisika karena menurutnya belum ada 

penemuan filsafat yang benar-benar dapat membuktikannya baik 

melalui maupun tanpa bantuan sains.  

Terlepas dari keraguan dari Glock di atas, yang lagi-lagi 

dipengaruhi oleh dominasi epistemologi modern, dalam 

pandangan sebagian filsuf maupun saintis, ontologi dan metafisika 

diakui sebagai bagian dari filsafat yang tidak dapat dipisahkan. 

Ontologi dan metafisika yaitu  bidang filsafat yang paling dasar 

karena membahas realitas baik yang fisik maupun metafisik. 

Pertanyaan yang paling dasar dalam bidang ini yaitu  apakah itu 

realitas, apakah manusia sama dengan makhluk hidup lainnya, apa 

yang dimaksud dengan jiwa, roh, apakah makna kausalitas, ruang, 

dan waktu, dan hal-hal yang mendasar lainnya.  

Ontologi yaitu  cabang dari filsafat dan bagian dari 

metafisika yang berhubungan dengan sifat eksistensi atau wujud. 

Metafisika merupakan cabang filsafat yang meliputi ontologi, 

kosmologi, serta kajian tentang sifat dasar manusia dan Tuhan  

Menurut Bernardo Cantens, Charles Peirce menganggap bahwa 

metafisika sebagai ilmu abstrak (abstract science) sehingga 

metodenya seharusnya murni teoretis. Teolog dan investigasi 

metafisiknya sangat berguna dan penting dalam pengembangan 

serta pertumbuhan agama dan keyakinan.  

Epistemologi merupakan salah satu yang penting dalam 

membentuk perkembangan keilmuan dan peradaban manusia. Kondisi seseorang, lembaga, bangsa, dan peradaban manusia 

ditentukan salah satunya oleh epistemologi yang dipahami dan 

diterapkan, termasuk epistemologi berperan dalam membangun 

ideologi, world view, paradigma, serta pandangan hidup suatu 

warga  atau bangsa. 

Paradigma terdiri dari paradigma inti (core paradigm), 

paradigma tepi (peripheral paradigm), dan paradigma pengembara 

(wandering paradigm). Paradigma inti menampilkan konsep utama 

dalam warga  serta mewarnai paradigma tepi sehingga pada 

tahap selanjutnya menggerakan paradigma level ketiga yang 

disebut dengan wandering paradigm atau paradigma pengembara 

meskipun keberadaan paradigma level ketiga ini tidak terlalu 

tergantung dengan paradigma inti. Dalam konteks sains, sains 

tidak hanya menfungsikan paradigma tapi lebih dari itu yaitu 

sebagai sebuah sistem secara keseluruhan.  

Hegemoni epistemologi modern telah terbukti menjadi 

pandangan dunia (World View) modernisme. Setelah modernisme 

menguasai peradaban dunia lebih kurang tiga abad, kemudian 

muncul posmodernisme yang mengusung model epistemologi baru 

atau paling tidak berupaya mengkritik epistemologi modernisme

yang didominasi oleh epistemologi fondasionalisme dan kerangka 

berfikir Newtonian-Cartesian ini . Posmodernisme sendiri 

masih banyak diperdebatkan eksistensi dan pemikirannya karena 

belum memiliki karangka berfikir yang jelas seperti modernisme. 

Terlepas dari kerangka yang belum begitu jelas, posmodernisme 

paling tidak merupakan suatu alternatif antitesis dari modernisme. 

Pemikiran Islam kontemporer dalam hal tertentu dipengaruhi dan 

bersentuhan baik langsung maupun tidak dengan posmodernisme.

Posmodernisme merupakan serangan langsung terhadap 

beberapa klaim modernisme terkait dengan eksistensi makna, 

epistemologi dan nilai dari pencerahan abad ke-1 .   Abdul Hadi 

menguraikan paling tidak ada empat ciri utama dari 

posmodernisme yaitu kematian subjek, penyangkalan realitas 

objektif, ketidakbermaknaan, dan penolakan terhadap narasi besar (kebenaran).   Posmodernisme setidaknya bermakna sebagai 

perubahan budaya yang telah dibangun atas dasar epistemologi 

modernisme yang bersifat fondasional, dualisme, dan bebas nilai 

menjadi budaya dengan epistemologi yang bersifat anti￾fondasional, pluralisme dan sarat nilai.  

Berkembangnya hermeneutik yaitu  salah satu bagian 

yang tidak terpisahkan dari posmodernisme. Dalam konteks 

hermeneutik, ada dua masalah mendasar dalam epistemologi 

tradisional yang dipersoalkan oleh filsuf hermeneutik. Masalah 

pertama yaitu  mereka tidak setuju terhadap reduksi proses 

kognitif yang menyeluruh menjadi seperti model tunggal dalam 

ilmu-ilmu alam (natural sciences) yaitu observasi empiris. 

Masalah kedua yaitu  mereka menolak konsep ahistoris bahwa 

subjek yang mengetahui berada di luar dari yang diketahui dan 

dimaknai olehnya. Filsuf hermeneutik membedakan antara 

fenomena penjelasan (erklaren) yang cocok untuk natural sciences

dan fenomena pemahaman (verstehen) yang tepat untuk human 

sciences. Dengan kata lain, metode empiris (penjelasan) 

merupakan derivasi dari metode pemahaman. Bagi Kant, 

pengalaman merupakan penerimaan dari kesan empiris yang 

diformulasikan oleh berbagai kategori pemahaman, sedangkan 

bagi filsuf hermeneutik, pengalaman secara historis merupakan 

akumulasi pengetahuan dari sebuah tradisi yang di dalamnya 

ditemukan makna khusus yang ada  pada teks.  Josep Blecher 

membagi peran hermeneutik dalam pemikiran kontemporer dalam 

tiga fungsi. Fungsi ini  yaitu  hermeneutik sebagai metode 

(seperti Emilio Betti), filsafat (Gadamer), dan kritik (Habermas). 

Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan 

epistemologi dalam membangun pandangan dunia (world view) 

dari sebuah peradaban manusia yang berkembang pada zaman dan 

wilayah tertentu. 

 

B. Diskursus Epistemologi dan Dinamika Pemikiran Islam Epistemologi sebagai sebuah pandangan dunia memang 

sangat penting dalam perkembangan sebuah peradaban. Salah satu 

bagian penting dalam peradaban Islam yaitu  kontribusi dari 

pemikiran Islam (islamic thought).

Pemahaman terhadap makna dan eksistensi pemikiran 

Islam harus memperhatikan secara serius hal berikut ini. Pertama, 

Islam tidak dapat dipisahkan dengan umat Islam. Oleh karena itu, 

umat Islam (manusia) tidak dapat terlepas dari aspek kesejarahan 

serta hubungannya dengan umat dan peradaban lain. Kedua, 

pemikiran Islam bukanlah dipandang sebagai wahyu suci atau teks

agung namun hanya merupakan seperangkat pemikiran manusia 

(umat Islam) dalam memahami ajaran Islam serta upaya untuk 

memecahkan persoalan-persoalan keagamaan terkait dengan 

lingkungan dan sejarah kehidupan manusia.  

Islam dan umatnya tidak terlepas dari historisitas dan 

interaksi dengan pemikiran dan umat lain. Oleh karena itu, 

pemikiran Islam sejak masa klasik sampai masa kontemporer tidak 

dapat dikatakan berdiri sendiri tanpa ada pergumulan dan 

persentuhan dengan epistemologi dan peradaban lain. 

Perkembangan pemikiran Islam klasik sangat jelas sekali adanya 

interaksi dengan filsafat Yunani, Romawi dan Persia. Hal itu 

dibuktikan dengan adanya penterjemahan karya-karya filsafat 

Yunani terutama Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Arab pada 

masa Bani Abbasiyah. Dalam bidang filsafat, dunia Islam 

memiliki beberapa filsuf dan pemikir besar Islam seperti al-Kindi, 

al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya. Demikian juga dalam bidang 

kalam muncul beberapa mutakallimin/teolog yang merumuskan 

pemikiran mereka tentang kalam atau teologi. Beberapa aliran 

kalam telah mewarnai pergumulan pemikiran Islam klasik seperti 

Mu’tazilah, Ash’ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya. 

Pemikiran Islam bukanlah wahyu suci seperti Al-Quran. 

Oleh karena itu, konsep-konsep dalam pemikiran Islam tingkat 

kebenarannya tidak absolute. Pemikiran Islam yang telah 

melahirkan beberapa pandangan dan rumusan tentang berbagai hal 

yang terkait dengan manusia dan problematika keberagamaannya 

dapat saja memiliki kelemahan bahkan kekeliruan atau paling 

tidak masih terikat pada ruang dan waktu. Pemikiran Islam akan 

tetap mengalami berbagai dinamika dan perubahan terkait dengan perkembangan kualitas pemahaman umat Islam terhadap dasar 

ajaran Islam serta perkembangan dinamika kehidupan manusia. 

Perkembangan ini  akan sangat ditentukan oleh 

karakteristik pemikiran keagamaan yang berkembang dan dipakai 

oleh umat Islam. Amin Abdullah menyebut paling tidak pola 

pemikiran keagamaan dalam Islam terdiri dari tiga model. Model 

pemikiran keagamaan Islam ini  yaitu absolutely absolute, 

absolutely relative, dan relatively absolute. Model yang pertama, 

absolutely absolute, memandang ajaran agama bersifat tauqi>fy

dengan mengedepankan unsur wahyu dibandingkan  akal, ta’abuddi

dibandingkan  ta’aqulli, serta qat’iyat dibandingkan  zanniyat. Pola pikir 

keagamaan model ini sangat ketat dan kaku. Pola pikir seperti ini 

sangat mudah pada pensakralan pemikiran keagamaan dan bersifat 

ofensif terhadap pemikiran lain. Model yang kedua, absolutely 

relative, merupakan pandangan keagamaan yang sangat erat 

kaitannya dengan ilmu sosial dan budaya. Agama hanya dilihat 

dari sisi eksoterik atau lahiriah semata, tidak dari sisi esoterik atau 

batinniyah. Model yang ketiga, relatively absolute, merupakan 

sikap yang terbuka dan moderat dalam pandangan keagamaan. 

Pandangan ini juga memegang teguh sikap keberagamaan yang 

diyakini tanpa mencela dan merendahkan pandangan keagamaan 

yang berbeda dengannya.  

Hampir senada dengan pandangan Amin Abdullah di atas, 

Sastrapratedja mengungkapkan bahwa ada  tiga pola pikir 

sebagai reaksi agama terhadap perkembangan agama yang 

bersentuhan dengan hal-hal yang baru atau modernitas. Ketiga 

pola reaksi ini  yaitu deduksi, reduksi, dan induksi. Deduksi 

yaitu  upaya untuk menegaskan kembali otoritas agama yang 

bersumber pada wahyu seperti model teologi Karl Barth. Reduksi 

yaitu  memaknai agama secara sekular agar sesuai dan berguna 

terhadap perkembangan zaman. Induksi yaitu  upaya menyingkap 

pengalaman manusiawi yang ada  dalam ajaran agama atau 

disebut transendentalisasi nilai-nilai kemanusiaan.  

Pemikiran Islam (Islamic thought) meliputi beberapa 

bidang dalam pengkajian Islam. Dalam beberapa referensi 

kontemporer, bidang-bidang yang termasuk dalam ranah pemikiran Islam yaitu  kalam, filsafat Islam, tasawuf, dan ushul 

fiqh. Abdullah Saeed mengemukakan beberapa aspek yang 

termasuk dalam pemikiran Islam yaitu ushul fiqh, teologi, filsafat, 

politik, seni, dan tasawuf baik yang berlangsung sebelum masa 

modern maupun pada masa modern.   Rumusan Abdullah Saeed 

ini  pada dasarnya menunjukkan bahwa pemikiran Islam 

memiliki ranah kajian yang cukup luas. Referensi-referensi 

sebelumnya, ranah pemikiran Islam hanya terbatas pada kalam, 

filsafat, dan tasawuf.  

 

Konsep pemikiran Islam kontemporer menggambarkan 

besarnya arus intelektual yang mendominasi dunia Islam 

kontemporer sejak akhir Perang Dunia II. Persoalan yang 

mendominasi pada dunia Islam kontemporer yaitu  nasionalisme, 

islamisme, westernisasi dan negara.   Pemikiran Islam mengalami 

berbagai dinamika yang luar biasa sejak periode Islam awal 

sampai pada abad modern. Pemikiran Islam kontemporer yang 

berkembang juga tidak terlepas dari peran pemikiran, historis, 

sosial budaya termasuk epistemologi. Persentuhan dan pertemuan 

pemikiran Islam dengan semua elemen-elemen ini  telah 

mengkonstruksi bangunan epistemologi sendiri dalam pemikiran 

Islam. 

Pada zaman skolastik Islam, perdebatan epistemologi juga 

berlangsung antara empirik-rasional murni dengan empirik￾rasional substansial/transendental dengan dasar wahyu. 

Perdebatan ini  antara Ahmad Ibn Hambal dengan para filosof 

paripatetik seperti Ibnu Sina, al-Farabi dan al-Razi.   Filsafat yang 

berkembang pada masa awal Islam disebut dengan filsafat 

paripatetik. Filsafat paripatetik salah satu cirinya dalam 

epistemologi mereka banyak memakai  rasio dan silogismeAristoteles.   Dalam konteks ini, filsafat pada aliran paripatetik 

lebih banyak dipengaruhi epistemologi filsafat Yunani. 

Filsafat paripatetik dalam Islam ini  telah 

memberi  kontribusi yang besar terhadap perkembangan sains 

terutama kontribusi metodologis. Filsafat ini memberi  

kontribusi substantif yang signifikan terhadap filsafat keilmuan 

esensialisme Eropa.  

 

Di samping aliran paripatetik, Mulyadhi juga 

mengemukakan aliran-aliran lain dalam filsafat Islam yang 

memiliki model epistemologi yang berbeda dengan aliran 

paripatetik. Aliran-aliran lain ini  yaitu  iluminasionis 

(isyra>qi), ‘irfa>ni (tasawuf), dan h{ikmah muta’aliyyah. Aliran 

iluminasionis atau isyra>qi memberi  posisi yang penting 

terhadap intuisi sebagai pendamping rasio atau bahkan sebagai 

dasar dari penalaran rasional dalam epistemologinya. Tokoh yang 

terkenal yaitu  Suhrawardi yang mencoba mensintesiskan 

epistemologi ‘irfa>ni dan burha>ni. Aliran ‘irfa>ni sendiri merupakan 

aliran tasawuf yang memiliki sistem epistemologi yang khas. 

Aliran ini lebih menekankan pada pengalaman mistik dalam 

mendapat pengetahuan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Para 

tokoh dalam aliran ini disebutkan seperti Jalaluddin Rumi dan Ibn 

‘Arabi. Aliran yang terakhir yaitu  h{ikmah muta’aliyyah. Aliran 

ini dikembangkan oleh Shard al-Din al-Syirazi atau yang lebih 

dikenal dengan Mulla Shadra. Secara epistemologis, aliran ini 

memakai  tidak hanya akal diskursif tapi juga pengalaman 

mistik. 1

 

Pemikiran Islam seperti yang telah diuraikan di atas 

mengalami berbagai dinamika perkembangan yang beragam dan 

dialektis, termasuk telah melahirkan beragam model atau konsep 

epistemologi. Aksin Wijaya merinci paling tidak tujuh kategori 

perkembangan pemikiran Islam sejak masa klasik sampai 

kontemporer yang terkait keragaman epistemologi dan dialektika 

Islam dengan realitas. Ketujuh kategori ini  yaitu  doktrin

(seperti teologi dan fiqh), aliran (seperti Sunni dan Syi’ah), politik 

(seperti Wahabi dan Hizbut Tahrir), kawasan (seperti Islam Asia 

Tenggara dan Timur Tengah), identitas (seperti Islam formal), fungsi (Islam ‚Kiri‛ dan Islam Liberal), dan nalar (seperti Islam 

Aqidah-Syari’ah).  

 

Terjadinya perdebatan, perbincangan, dan diskusi yang 

cukup intens tentang epistemologi pada pemikiran Islam 

kontemporer baik itu dalam buku buku ilmiah akademik, jurnal, 

dan media menunjukkan bahwa persoalan epistemologi atau yang 

lebih besar lagi pandangan dunia umat Islam dewasa ini menjadi 

perhatian cukup serius untuk dirumuskan. Islam yang pada masa 

awal memiliki karakter epistemologi yang kuat dan terarah telah 

mampu menguasai atau paling memimpin peradaban dunia pada 

waktu itu. Di tengah melemahnya berbagai hal dalam kehidupan 

umat Islam, termasuk epistemologi yang mulai kehilangan arah 

dalam konsep penerapannya, Barat kemudian menguasai 

peradaban dunia dengan berpijak pada epistemologi materialistik, 

empiris, dan rasionalis. 

Epistemologi yang dikembangkan dalam pemikiran Islam 

kontemporer tentu saja tidak terlepas dari kelemahan dan 

kelebihannya. Oleh karena itu, konsep universalisme Islam sebagai 

sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamin mesti mampu menjawab 

tantangan dan perubahan zaman dengan tetap berpegang pada 

prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Bangunan epistemologi Islam 

yang kuat dan terarah akan menjadi daya tarik sendiri bagi umat 

dan peradaban lain, sehingga Islam dapat memberi  peran 

penting dalam membangun peradaban manusia. Epistemologi 

yang demikian secara langsung maupun tidak langsung juga dapat 

meningkatkan pemahaman keagamaan umat Islam ke arah yang 

lebih dinamis, egaliter, toleran dan aplikatif. Pada akhirnya Islam 

akan mendapatkan kembali masa kejayaan seperti yang telah 

dialami sebelumnya. 

Aksin Wijaya berkesimpulan bahwa perkembangan 

epistemologi Islam dari klasik sampai kontemporer ternyata 

bersifat sangat revolusioner dari teologi yang bercorak teoretis￾teosentris menjadi teoantroposentris dan antroposentris.   Penulis 

sendiri tidak begitu sependapat dengan kesimpulan Aksin ini  

bahwa revolusi epistemologi dalam Islam sampai kembali ke 

antroposentris. Hal itu berarti, kembali pada abad modern di Barat 

yang bercorak antroposentris atau bahkan seperti epistemologi

masa Socrates pada filsafat Yunani Kuno. Penulis lebih 

sependapat bahwa epistemologi Islam kontemporer yaitu  teo￾antroposentris. 

Tantangan terbesar filsafat sains sepanjang sejarah dengan 

berbagai variasi dan dinamikanya yaitu  bagaimana 

mengartikulasikan kaidah-kaidah epistemologis menjadi berguna 

tanpa membatasi diri dari berbagai kritik. Fayerabend melihat 

sains tidak terdiri dari satu epistemologi melainkan mengandung 

banyak epistemologi.   Persoalan epistemologi yang telah dibahas 

dalam epistemologi tradisional perlu diperluas dan dikembangkan 

lebih jauh termasuk persoalan intelectual virtues dibandingkan  

melakukan orientasi kembali epistemologi tradisonal dengan 

intelectual virtues. Hal ini dikemukakannya untuk membantah 

pandangan Linda Zagzebski tentang pentingnya peran intelectual 

virtues (dipahami sebagai karakter) dalam epistemologi.  

Epistemologi yang mengabaikan sejarah terutama sejarah 

tentang persoalan-persoalan kefilsafatan yaitu  tidak mempunyai 

arah yang jelas dan buta.   Dalam pandangan epistemologi 

analitika bahwa pengetahuan merupakan struktur dari sebuah 

teori. 

Muhammad Amin mengemukakan komparasi antara 

epistemologi Islam dan epistemologi Barat. Sumber utama 

pengetahuan dalam epistemologi Islam yaitu  al-Quran dan Hadis. 

Akal dan indera yaitu  sebagai sumber kedua dan memiliki peran 

yang terbatas. Dalam epistemologi Barat, akal dan indera menjadi 

sumber utama pengetahuan, sedangkan agama memiliki peran 

yang sedikit. Tujuan pengetahuan dalam epistemologi Islam 

yaitu  untuk mengetahui mengetahui Tuhan dan diri manusia itu 

sendiri dalam rangka kepatuhan dan ibadah. Sementara tujuan

pengetahuan dalam epistemologi Barat yaitu  kehidupan dunia 

dan kesenangan.  

Sistematika pengetahuan dalam epistemologi Islam 

meliputi pengetahuan wahyu yaitu al-Quran dan Hadis, 

pengetahuan yang terkait dengan wahyu dan implementasinya 

seperti bahasa Arab dan hukum Islam, pengetahuan yang 

didasarkan pada wahyu dan akal serta indera seperti ekonomi dan 

psikologi, dan pengetahuan yang murni didasarkan atas akal dan 

indera seperti pertanian dan teknik. Epistemologi Barat membagi 

pengetahuan menjadi ilmu kealaman (natural sciences), ilmu sosial 

(social sciences), ilmu seni dan kemanusiaan (arts and 

humanities), dan teknologi. Ilmu keagamaan murni bersifat 

personal.  

C. Sejarah dan Perkembangan Sains dalam Islam 

Semangat ilmiah umat Islam secara historis telah ada pada 

masa hijrah Rasulullah dan pengikutnya ke Madinah. Beberapa 

orang dari suku Aws dan Khasraj memiliki kemampuan baca tulis 

yang baik. Sejalan dengan perkembangan umat Islam di Madinah, 

nabi memberi  perhatian yang luar biasa untuk peningkatan 

kemampuan baca tulis umat Islam. Suatu hal yang menarik 

bahkan nabi membebaskan tawanan Perang Badar setelah mereka 

mengajarkan baca tulis terhadap umat Islam. Kuttab yang telah 

dikenal sebelum Islam di Jazirah Arab tetap diteruskan oleh umat 

Islam terutama sebagai lembaga atau tempat untuk mempelajari 

baca tulis. Fokus kajian Kuttab baik di rumah maupun kawasan 

mesjid terutama menuliskan wahyu yang diterima oleh nabi. Pada 

perkembangan selanjutnya, umat Islam mendirikan madrasah 

(setara dengan universitas) untuk mendalami agama dan sains.

  

Pengembangan sains telah dimulai pada masa Khalifah 

Usman bin Affan. Pada masa ini beberapa prestasi yang dapat 

dikatakan terkait dengan sains dan teknologi dapat dicapai. 

Prestasi-prestasi ini  yaitu  antara lain pembangunan 

bendungan, mesjid, jalan, dan jembatan.   Berdasarkan sejarah 

awal ini , konsep dan penerapan pengembangan pengetahuan 

dan sains dalam pengertian luas dalam Islam telah dimulai pada 

awal kelahiran Islam.

Paling tidak ada tiga teori atau fase awal dari 

perkembangan sains dalam Islam sampai masa penurunan kembali 

sains ini . Fase pertama yaitu  adanya kontak antara 

peradaban Islam dengan peradaban Byzantium dan Sasanid Iran 

yang telah mendorong terjadinya perluasan Islam dari jazirah Arab 

ke Persia dan Eropa. Fase kedua yaitu  penterjemahan karya￾karya klasik Yunani Kuno ke dalam Bahasa Arab setelah 

terjadinya fase pertama. Karya-karya Yunani Kuno ini  

tersimpan di Byzantium dan Sasanid Iran. Fase ketiga yaitu  

transmisi intelektual dari filsafat dan sains Yunani ke peradaban 

Islam yang pertama kali melalui pemikir-pemikir dan pemuka 

agama di Syiria. 1

 

Sains dalam dunia Islam awal menempati posisi yang 

cukup penting terutama setelah masuknya filsafat. Beberapa 

upaya telah dilakukan oleh khalifah untuk mengembangkan 

filsafat dan sains terutama khalifah pada masa Bani Abbasiyah 

dan dinasti-dinasti Islam berikutnya. Dengan kata lain, Umat 

Islam pernah mengalami masa keemasan (golden age) dalam 

konteks peradaban, termasuk sains dan teknologi. 

Secara historis pada masa awal Islam, pengembangan dan 

penyebaran Islam di Jazirah Arab, Afrika, dan wilayah lainnya 

yang dilakukan oleh Khulafa> al-Ra>shidi>n, Bani Umayyah, dan 

Bani Abassiyah serta dinasti kesultanan Islam sesudahnya telah 

mendorong terhadap perkembangan sains dan teknologi di dunia 

Islam. Pemerintahan dan warga  membutuhkan bagaimana 

pengelolaan sistem pemerintahan, pengembangan ekonomi, 

kebutuhan pangan dan sandang, kekuatan militer, dan sebagainya. 

Semua aspek ini  harus ditopang dan didukung oleh sains 

seperti matematika, fisika, biologi, ekonomi dan sebagainya. Oleh 

karena itulah, khalifah dan jajarannya berupaya untuk membuat 

berbagai terobosan untuk kesejahteraan rakyat dan kelangsungan 

kekhalifahannya.  

Di antara berbagai terobosan ini  yaitu  

penterjemahan karya-karya penting dalam filsafat serta 

pengembangan ilmu kedokteran, astronomi, revolusi pertanian,

sistem pertahanan, ekonomi, manajemen konflik, dan 

sebagainya.   George Saliba menilai bahwa penterjemahan besar￾besaran karya-karya filsafat dan sains Yunani Kuno pada masa 

khalifah al-Mamun ini  merupakan pemicu perkembangan 

sains di dunia Islam meskipun ada  perbedaan dan 

pertentangan bagi sebagian umat Islam itu sendiri.  

Puncak dan masa keemasan pengembangan sains 

kekhalifahan Islam yaitu  pada masa Khalifah al-Ma’mun yang 

berlangsung selama    tahun ( 1 -   M). Khalifah al-Ma’mun 

dianggap oleh banyak Sejarawan sebagai tokoh utama pendukung 

rasionalisme di dunia Islam (the Great Champion of Rationalism) 

dan sebagai khalifah yang lebih mengutamakan pengembangan 

sains dibandingkan yang lain. Khalifah al-Mamun menaklukan 

Byzantium dan memboyong seluruh buku-buku ke Baghdad. 

Buku-buku ini  kemudian dikumpulkan di Bait al-H}ikmah

(The House of Wisdom) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. 

Bait al-H{}ikmah (The House of Wisdom) yaitu  institusi yang 

dibentuk Khalifah al-Mamun untuk mempelajari dan mendalami 

filsafat dan sains. Institusi ini dapat dikatakan sebagai pusat riset 

dan universitas. Di samping itu, ia juga mendirikan observatorium 

pertama dalam dunia Islam yaitu Shamsiya pada tahun     M.  

Secara teologis, Khalifah al-Mamun mendukung 

berkembangnya Mu’tazilah   sebagai sebuah aliran teologi 

rasional dalam Islam. Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab 

teologi resmi oleh khalifah dengan kebijakannya yang disebut mih{na. Mu’tazilah sebagai pemahaman rasional dalam teologi 

sangat relevan dengan semangat pengembangan sains dan filsafat

pada masa itu.  

Mulai periode kedua perkembangan Islam di Spanyol 

(   - 1  M), pengembangan sains mendapatkan perhatian yang 

tinggi dari khalifah yaitu pada masa Khalifah Abdurrahman al￾Aushat. Pada pariode ketiga, Khalifah Abd al-Rahman al-Nashir 

mendirikan Universitas Cordova sehingga pada masa inilah sains 

mengalami puncak kejayaannya sama halnya dengan Dinasti 

Abbasiyah di Baghdad.  

 

Masa Fathimiyah, sama halnya dengan pada masa Dinasti 

Abbasiyah, juga sangat memperhatikan pengembangan sains dan 

filsafat. Salah satu peristiwa penting pada dinasti ini yaitu  

didirikannya Universitas Al-Azhar pada tahun     M sebagai 

pusat riset dan pendidikan. Di samping itu, pada masa ini juga 

muncul filsuf dan saintis besar di dunia Islam yaitu Ibn Sina yang 

telah memberi  dasar bagi pengembangan kedokteran modern. 

Ibn Haitham juga merupakan salah satu ilmuwan besar yang lahir 

pada dinasti ini dengan konsep pengembangan optik dan 

astronomi.

   Pada tahun 1   , Dinasti Fathimiyah di bawah 

kehkalifahan al-Hakim mendirikan Dar al-H{}ikmah (House of 

Wisdom) di Kairo. Akademi ini menjadi pusat riset dan 

pengajaran astronomi, matematika, kedokteran, dan astrologi serta 

pemikiran Syi’ah berdasarkan patron Fathimiyah di tengah 

mayoritas Sunni.1  

Beberapa saintis penting dan terkemuka dalam bidang 

kedokteran pada masa Islam abad pertengahan yaitu  Ibn Sina 

(Avicenna), Abul Qasim al-Zahrawi (Abuscasis), dan Ibn al-Nafis. 

Ibn Sina dapat dikatakan sebagai peletak dasar kedokteran modern 

dengan karyanya yang terkenal terkait dengan bidang ini yaitu  

al-Qann fi al-Tibb (the Canon of Medicine). Abul Qasim al￾Zahrawi (Abuscasis) yaitu  ahli bedah terkemuka di dunia Islam 

pada masa itu. Ibn al-Nafis menurut sebagian besar Sejarawan dan 

penulis yaitu  orang yang menemukan sistem sirkulasi darah pada 

tubuh manusia. Nafis dapat dikatakan sebagai dokter ahli jantung 

terkemuka di dunia Islam pada masa itu.1  Sebagian ilmuwan 

ini  termasuk Ibn al-Nafis yaitu  pelarian dari Baghdad 

akibat serangan Bangsa Mongol.1  

Peran dan kontribusi Islam awal terhadap perkembangan 

sains dalam berbagai bidang masih terjadi perdebatan dan 

perbedaan pendapat, namun dalam bidang matematika dan sistem 

bilangan, peran dan kontribusi Islam sangat besar dan tidak 

diragukan lagi. Perkembangan sains dan teknologi modern sangat 

terkait dengan sistem matematika dan bilangan yang 

dikembangkan Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa al￾Khawarizmi.1   Jabi>r Ibn Hayyan dan al-Ra>zi juga memiliki peran 

dan kontribusi yang sangat penting dalam pengembangan sains 

bidang kimia. 

 Peradaban Islam pada abad ke-  sampai pertengahan abad 

ke-1  pada dasarnya menjadi pusat perkembangan sains 

khususnya the exact sciences yang meliputi matematika, 

astronomi, geografi, dan optik. Perkembangan sains pada masa itu 

dipicu dengan gencarnya penterjemahan berbagai karya Yunani, 

Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Kemudian perkembangan 

sains di dunia Islam yang telah dirumuskan ke dalam bahasa Arab, 

pada abad ke-1 dan 1  diterjemahkan ke bahasa Latin dan inilah 

yang menjadi pendorong munculnya renaissance di Eropa.1  

Islam di Spanyol memberi  kontribusi yang sangat 

penting bagi perkembangan sains tidak hanya di dunia Islam tapi 

juga di Barat pada masa modern. Tiga tokoh penting terkait 

dengan perkembangan sains dan filsafat serta agama yaitu  Ibnu 

Rushd (Averrous), Ibn Arabi, dan Musa bin Maimun.1   Peran Ibn 

Rushd yang sangat penting yaitu  karyanya Tahafut at Tahafut

yang merespon karya al-Ghazali Tahafut al-Fala>sifah. Karya al￾Ghazali ini dianggap melemahkan peran filsafat dan 

pengembangan sains. Bagi Mulyadhi Kartanegara, keberhasilan al-

Ghazali dalam mengangkat derajat ilmu-ilmu agama berdampak 

terhadap pudarnya filsafat dan cabang-cabangnya serta kemudian 

menurunnya tradisi keilmuan rasional yang menyertainya.1  

Pandangan bahwa pemikiran al-Ghazali berdampak 

negatif terhadap perkembangan sains ini  dibantah oleh 

sebagian pemikir. Salah satu pakar kontemporer, Frank Griffel, 

menganggap bahwa teologi yang dikembangkan oleh al-Ghazali 

pada dasarnya sangat relevan dan mendukung perkembangan 

sains. Ia menjelaskan bahwa al-Ghazali secara tidak langsung 

tidak menghambat perkembangan sains, namun justru 

memberi  landasan teologis yang jelas terhadap perkembangan 

sains dengan konsep konsmologinya.1  

Menurut Sayyid Hossein Nasr, Islam telah memberi  

kontribusi yang sangat besar dan penting dalam pengembangan 

sains, termasuk sains modern. Pengembangan sains di dunia Islam 

pada masa awal tidaklah hanya sebatas menerjemahkan dan 

mengadopsi sains dan filsafat Yunani, India, Persia, dan termasuk 

Cina, tapi ilmuwan Muslim pada masa itu juga memiliki 

kreativitas dan inovasi yang luar biasa dalam pengembangan 

sains. Contoh konkrit dari inovasi itu yaitu  dalam bidang 

matematika yang menjadi dasar pengembangan sains modern

dewasa ini.1  

Senada dengan Sayyid Hossein Nasr, Mehdi Nakosteen 

menyebut masa    -1    M sebagai periode adaptif-kreatif bagi 

umat Islam dalam mengembangkan sains dan pendidikan.1  

Perkembangan sains yang luar biasa di dunia Islam pada abad ke-  

sampai dengan abad ke-1  yaitu  kemungkinan karena akal dan 

pemikiran kritis menjadi sentral dalam Islam.11  Setelah 

mengalami masa keemasan dan kejayaan sains di dunia Islamselama kurang lebih empat abad, perkembangan sains di dunia 

Islam selajutnya menurun seiring dengan menurunnya semangat 

pengembangan pemikiran Islam, ortodoksi dan runtuhnya 

pemerintahan Islam. Selanjutnya, perkembangan sains secara 

pesat bergeser ke Barat dengan semangat modernisme yang 

diperkokoh oleh bangunan epistemologi modern yang bersifat 

empiris, rasionalis, dan positif dan cenderung sekular.

Pertanyaan lebih lanjut yaitu  mengapa revolusi ilmiah 

tidak terjadi di dunia Islam dan terjadi justru di Barat. John 

Walbridge, dengan mengutip Loris Cohen, menguraikan tiga hal. 

Pertama, kerusakan yang begitu luas akibat dari invansi barbar 

terhadap sumber-sumber kebudayaan Islam. Kedua, kegagalan 

sains untuk mendapatkan daya tarik dan komitmen dari 

intelektual muslim. Ketiga, kegagalan untuk merekonsiliasi sains 

dan Islam.111

Memperkuat argumen di atas, menurut Ehsan Masood, 

salah satu penyebab melemahkan sains di dunia Islam yaitu  

akibat dari kolonialisme. Di samping itu, pola pengembangan 

sains pada masa Islam awal tidak didukung dan dikembangkan 

oleh sistem seperti pada zaman modern. Semangat, kebijakan, dan 

upaya pengembangan sains di dunia Islam awal lebih merupakan 

prinsip dan obsesi pribadi khalifah, seperti al-Ma’mun, sehingga 

ketika sang khalifah wafat, kebijakan dan semangat 

pengembangan sains tidak diteruskan oleh penggantinya.11 

Komaruddin Hidayat menguraikan paling tidak dua hal 

yang menyebabkan terhambatnya perkembangan sains dalam 

Islam termasuk ilmu-ilmu keislaman itu sendiri. Pertama, prestasi 

ilmiah umat Islam pada masa kejayaannya begitu luar biasa dan 

tinggi, sehingga perkembangan berikutnya tampak linear dan 

stagnan. Umat sesudahnya cenderung tidak melakukan ijtihad dan 

inovasi keilmuan. Pengembangan keilmuan lebih menfokuskan 

pada penguatan aspek ritual, ibadah, dan dakwah atau dengan kata 

lain cenderung untuk memelihara ortodoksi.11  Lebih jauh ia 

menjelaskan bahwa pada masa kejayaan Islam abad pertengahan, umat Islam gagal membangun fondasi dan institusi yang kuat dan 

professional dalam sains dan filsafat karena disibukkan dengan 

pertikaian politik dan kekuasaan.11 

 

D. Dinamika Relasi Sains Modern dan Agama 

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi 

memiliki hubungan yang sangat penting dengan sains sehingga 

pemahaman dan dinamika sains perlu dibahas pada sub bab ini.

Secara historis pada dasarnya sains merupakan unsur yang 

sangat melekat pada kehidupan manusia. Sains dimulai dari 

pemahaman dan penggunaan yang paling sederhana sampai 

kepada konsep yang sangat komplikatif telah mewarnai dinamika 

peradaban manusia. Dengan kata lain, sains dalam pengertian 

yang tradisional sampai kepada modern menjadi bagian yang 

integral bagi perkembangan peradaban dunia. Menurut Lakatos, 

sejarah sains tanpa filsafat sains yaitu  buta, sedangkan filsafat 

sains tanpa sejarah sains yaitu  kosong.11  Sejarah sains yaitu  

sebagai labor bagi epistemologi.

11  Oleh karena itu, untuk 

memahami sains perlu memahami epistemologi yang berkembang 

pada masa itu.

Sains Modern menurut Sardar yaitu  sains yang 

diterapkan dewasa ini yang dimulai sejak masa pencerahan di 

Eropa abad ke-1 . Ciri utamanya yaitu  mereduksi akal yang 

didasarkan pada keyakinan teologis menjadi bersifat mekanistik, 

atomistik, dan materialistik.11 

Nasr memandang beberapa bentuk dan aliran sains 

tradisional seperti Mesir, India dan Cina berbeda dengan sains 

yang berkembang dalam Islam dalam konteks dan hubungannya

dengan sains modern di Barat. Ketiga bentuk sains tradisional 

ini  baik dari materi dan waktu perkembangannya sangat 

berbeda jauh dengan sains modern, sedangkan sains Islam 

memiliki hubungan dan peran yang sangat jelas dan dekat dalam 

hal materi dan waktunya terhadap sains modern Barat.11  Menurut 

Nasr, ciri yang menonjol dari sains tradisional yang membuatnya 

bermakna dan jelas yaitu  prinsip-prinsip metafisika yang 

mendasari pengetahuannya.11 

Dari sudut pandang epistemologi (filsafat pengetahuan), 

sains bertolak dari pengetahuan empiris sehingga kebenaran sains 

dapat diukur dan dapat diverifikasi. Berbeda dengan sains, agama 

memakai  kitab suci sebagai salah satu sumber pengetahuan 

termasuk dalam memahami dan meyakini hal-hal yang bersifat 

metafisik. Secara filosofis, empirisme kemudian menjadi dasar 

berkembangnya aliran empirisme logis atau sering juga disebut 

positivisme logis1  . Bagi aliran ini, sebuah pernyataan termasuk 

pernyataan terkait pengetahuan dapat diterima dan bermakna 

jika  dapat diverifikasi secara empiris. Oleh karena itu, aliran 

ini menolak pernyataan metafisika karena dianggap tidak 

bermakna (meaningless).

Dalam perkembangan pemikiran di Barat, epistemologi 

pada masa modern juga memiliki peranan penting dalam 

perkembangan peradaban manusia tidak hanya di Barat, tapi juga 

termasuk di dunia Islam. Setelah Islam mengalami kemunduran, 

perkembangan filsafat dan sains bergeser ke Barat. Barat yang 

mengalami kemunduran pada abad pertengahan (the dark of 

middle age) kemudian bangkit dari keterpurukan. Pada abad 

tengah, agama (Kristen) begitu mendominasi segala aspek

kehidupan sehingga perkembangan ilmu dan filsafat menjadi 

terhambat. Pada masa ini, epistemologi yang berkembang yaitu  

teosentris. Memasuki abab modern, muncullah beberapa pemikir 

Barat yang mencoba mendobrak epistemologi teosentris. 

Pendobrak awal abad modern di Barat yaitu  Francis Bacon, 

Giodarno Bruno, dan Nicollo Machiavelli. Ketiga tokoh ini  

merupakan pendukung Revolusi Copernicus yang telah mengkritik 

Gereja dengan teori Heliosentrisnya (Matahari sebagai pusat tata 

surya), bukan Geosentris seperti yang dipahami gereja 

sebelumnya. Bacon melakukan gebrakan dalam bidang filsafat 

ilmu, Bruno dalam filsafat ketuhanan, dan Machiavelli dalam 

filsafat sosial dan politik.1  Perkembangan ilmu pengetahuan dan 

filsafat atau secara umum di Barat tentu saja tidak terlepas dari 

peran dan pengaruh epistemologi, ilmu, dan filsafat ataupun 

peradaban Islam sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh, 

perkembangan pemikiran Islam dan ilmu di Andalusia dan 

Cordoba telah memberi  pencerahan kepada dunia Barat pada 

akhir abad pertengahan dan awal abad modern.1  

Bagi sebagian besar saintis, sejarah sains merupakan 

bagian yang tidak terpisahkan dari sains itu sendiri.1   Sejarah dan 

filsafat memiliki kesamaan dalam hal objek materi 

pembahasannya, meskipun keduanya mempunyai distingsi yang 

jelas secara epistemologis. Epistemologi sejarah yaitu  

mempertanyakan apa yang telah terjadi dan bagaimana serta 

mengapa sesuatu itu terjadi sebelumnya hingga sekarang. Pada sisi 

lain, filsafat mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi 

hingga saat ini dan bagaimana cara yang terbaik untuk 

mengetahui hal ini . Perbedaan antara epistemologi sejarah 

dan filsafat ini  juga berdampak terhadap perbedaan antara 

sejarah sains dan filsafat sains. Sejarah sains hanya fokus pada apa 

yang telah berkembang pada sains, sementara filsafat sains fokus 

pada apa yang sesungguhnya terjadi pada sains dan bagaimanacara memahami sains dengan tepat.1   Dalam pengembangan dan 

inovasi sains termasuk kombinasinya dengan aktifitas dan tradisi 

ilmiah merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan 

pemahaman filosofis dan sosiologis yang khusus.1   Demikian juga 

dengan pemahaman epistemologi yang berkembang pada kurun 

waktu tertentu, juga membutuhkan pemahaman yang utuh dan 

komprehensif tentang paradigma, kondisi sosio kultural yang 

berkembang pada masa ini . 

Sains modern yang merupakan warisan dari paradigma 

rasionalistik Descartes cenderung memposisikan saintis sebagai 

imparsial, pasif dan pengamat langsung terhadap fenomena.1  

 

Pengembangan sains membutuhkan paradigma baru. Paradigma 

baru mesti didasarkan atas seperangkat konsep dan nilai baru yang 

sesuai dengan masa depan sains itu sendiri. Pemikiran baru 

ini  harus memiliki beberapa nilai yang penting yaitu human 

sentris, sarat nilai, inklusif, holistik, ekologis, dan sintetis.1  

Perdebatan tentang relasi sains dan agama merupakan 

sebuah tema yang sangat luas dan menarik serta meliputi berbagai 

aspek. Aspek pembahasan relasi sains dan agama ini mencakup 

mulai dari masalah yang kontroversial seperti yang diangkat oleh 

pemikir ateis dan pendukungnya sampai pada persoalan interrelasi 

sains dan agama terkait dengan perhatian agama terhadap 

lingkungan. Persoalan relasi sains dan agama ini  telah 

menjadi pembahasan penting sepanjang sejarah dan telah 

melibatkan berbagai perspektif dalam agama dan budaya.1  

Secara lebih umum relasi modernitas, sekularisme, sains dan agama secara historis dan kultural menurut Taylor mencakup

banyak aspek.1  

Perkembangan sains itu sendiri yang begitu cepat dan 

berbagai tantangan yang muncul akibat perkembangannya seperti 

gerakan menentang evolusionisme menjadikan pembahasan relasi 

sains dan agama selalu dinamis dan berkembang.1   Berbagai fakta 

yang telah disebutkan di atas menjadi bukti bahwa masalah relasi 

sains dan agama yaitu  cukup kompleks. Kompleksitas masalah 

relasi sains dan agama memerlukan pendekatan yang beragam pula 

dalam membahas relasi keduanya. Sejarawan lebih tertarik dan 

fokus pada relasi sains dan agama serta dinamikanya yang terjadi 

pada masa lampau. Para filsuf mendalami dinamika sains dan 

agama berkaitan dengan eksistensi Tuhan, filsafat perenial dan 

hubungannya dengan potensi pikiran manusia dan kebebasan 

berkehendak, serta epistemologi. Teolog lebih menfokuskan pada 

implikasi teologis hubungan sains dan agama. Sosiolog 

menganalisis pola-pola kepercayaan dan relasi kekuasaan terkait 

dengan hubungan sains dan agama. Sementara itu, para saintis 

atau ilmuwan sendiri mempelajari apa implikasi ilmiah yang 

mungkin muncul ketika terjadi interaksi dengan keyakinan 

agama.1 1

Dalam sejarah perkembangan sains, sains modern dimulai 

pada masa pencerahan (enlightenment) yang ditandai dengan 

terpisahnya ilmu-ilmu alam (natural sciences) dari filsafat. 

Selanjutnya pada abad ke-1 , ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan 

(social sciences dan humanities) menjadi disiplin ilmu tersendiri di 

berbagai universitas di Barat.1  

Ian Barbour membagi empat pola relasi sains dan agama 

yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi, sedangkan John 

F. Haught membagi menjadi konflik, kontras, kontak, dan 

konfirmasi. Tipologi Barbour dan Haught secara garis besar 

yaitu  sama.

David O. Tolman mengklasifikasikan tiga pandangan 

terhadap sains dan agama. Ketiga pandangan ini  yaitu  

pandangan pro sains, anti sains, dan moderat. Dalam essainya 

ini , ketiga pandangan ini  direpresentasikan dengan tiga 

orang yaitu Steven Weinberg, Bryan Aplleyard dan ia sendiri. 

pandangan pertama yang dicontohkan dengan Steven Weinberg, 

seorang ahli fisika terkemuka abad ke-  , berupaya mendorong 

agama ke dalam ranah nilai dan moral sehingga terbebas dari 

serangan sains. Pada ranah ini , agama memberi  legitimasi 

terhadap hal-hal yang sebenranya berbahaya terhadap keilmuan 

dan rasionalitas seperti perbudakan. Bahkan lebih jauh lagi, sains 

menolak eksistensi Tuhan. 

Pandangan anti sains direpresentasikan oleh Tolman 

berasal dari perspektif keagamaan, karena menurutnya sebagian 

besar penganut agama yang taat boleh jadi anti sains. Salah satu 

pandangan anti sains cenderung menganggap bebrapa peristiwa 

keajaiban alam sebagai mu’jizat (miracle). Prinsip lain yaitu  

kreasionisme yaitu pandangan bahwa alam ini diciptakan oleh 

Tuhan dan menentang teori evolusi Darwin. Bahkan Appleyard 

menganngap bahwa sains modern menjadi penyebab kerusakan 

alam dan pudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, 

Appleyard mengajukan beberapa solusi yaitu environmetalisme, 

kembali ke agama ortodoks, dan spiritualitas sains baru. 

Pandangan ketiga yaitu  pandangan moderate. Pandangan ini 

mengakui kebenaran agama dan mengamalkannya serta tidak 

menafikan pentingnya pengembangan sains.1  

Hannan Reinen secara garis besar menyimpulkan bahwa 

relasi sains dan agama dalam konteks sosiologi dalam beberapa 

posisi. Pertama, agama sebagai salah satu dari sumber pemikiran 

ilmiah. Kedua, pada posisi sains yang mapan, agama paling tidak 

menurut pandangan saintis sebagai suatu yang inferior. Ketiga, 

ketika sains tidak dapat menggantikan dengan sempurna peran 

dan posisi agama, maka pentingannya agama semakin 

mengemuka. Keempat, jika  sikap positif muncul mengarah 

pada berbagai makna terhadap agama, para saintis akan menyadari 

pentingnya sains dan agama.

Dua pendekatan utama tentang sejarah relasi sains dan 

agama di Barat yaitu konflik dan harmoni yaitu  pandangan yang 

cenderung sebagai sebuah penyederhanaan yang berlebihan 

(oversimplified). Pandangan oversimplikasi ini  termasuk 

kasus pertentangan antara Galilei dengan gereja. Konflik dan 

harmoni antara sains dan agama pada dasarnya tidaklah terjadi 

sepanjang waktu, namun relasi ini  terjadi pada masa-masa 

tertentu. Dengan kata lain, relasi sains dan agama sepanjang 

sejarah yaitu  lebih kompleks dan lebih beragam dari relasi 

konflik dan harmoni saja seperti pemisahan, integrasi, dialog dan 

subordinasi.1  

Stefano Bigliardi mengkritik dan menganalisis empat 

kategori relasi sains dan agama menurut Ian Barbour yaitu 

konflik, independen, dialog, dan integrasi. Konflik digambarkan 

Barbour secara tidak seimbang antara sains, pra sains, dan 

keyakinan atau agama. Penjelasan tentang independen tidak 

memuaskan terkait dengan pengalaman keagamaan dan 

interpretasi pengalaman. Pada kategori dialog dan integrasi 

ada  upaya Barbour untuk melakukan sintesis metafisik dari 

kontribusi sains dan agama. 1  

Sains Barat dan teologi Kristen secara historis yaitu  dua 

tradisi yang berlawanan, antagonistik dan tidak dapat 

direkonsiliasi. Konflik antara mentalitas keagamaan dan 

pandangan ilmiah yaitu  narasi umum yang terjadi dalam sejarah 

Barat. Agama didasarkan pada keyakinan sedangkan sains 

didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi dan metode rasional 

yang ketat. Secara lebih tegas, Franklin Gamwell menyebut sains 

dan agama di Barat sebagai dikotomi yang tidak dapat 

dipertemukan (the unbridgeable dichotomy

Sains modern pada awalnya dianggap sebagai ancaman 

bagi agama khususnya gereja, karena berbagai temuan dan teori 

yang dikembangkan oleh saintis diantaranya ada yang 

bertentangan dengan konsep dan pemahaman gereja pada masa 

itu. Salah satu saintis yang kritis terhadap pemahaman gereja pada 

masa awal sains modern yaitu  Johannes Keppler. Ia pada 

dasarnya berupaya memahami agama (Kristen) tidaklah 

bertentangan dengan sains, bahkan baginya interrelasi agama dan 

sains yaitu  saling melengkapi (complementary). Interaksi sains 

dan agama pada dasarnya bersifat konstruktif dan bernilai. Sains 

bersifat dinamis dan berkembang secara tetap, sementara agama 

dalam beberapa hal juga bersifat dinamis. Oleh karena itu, pada 

dasarnya sangat memungkinkan terjadinya interaksi dan saling 

melengkapi antara sains dan agama. Pemikiran keagamaan 

Keppler ini mempunyai kontribusi yang positif terhadap 

perkembagan sains modern pada masa awal pemikirannya tentang 

relasi Tuhan, manusia, dan alam. Tuhan yaitu  pencipta, manusia 

yaitu  yang mengetahui, dan alam yaitu  yang diketahui. 

Manusia dan alam sangat terkait dan tergantung pada Tuhan 

karena keduanya merupakan gambaran (image) dari Tuhan.1  

Dalam perkembangan sains di Barat pada abad 

pertengahan dan modern, perdebatan tentang pola hubungannya 

dengan agama seolah-olah tidak berhenti. Masing-masing pihak 

baik dari kalangan saintis maupun teolog, termasuk juga filosof 

berupaya untuk memperkuat pola hubungan relasi dan agama yang 

diyakini kebenarannya. Sebelum renaissance

1  

agama begitu 

mendominasi sehingga perkembangan sains menjadi terhambat. 

Sebaliknya, sejak renaissance, perkembangan sains begitu pesat 

dan mendominasi kehidupan manusia sehingga agama seolah-olah 

terpinggirkan dan bahkan beberapa konsep agama termasuk Tuhan

ditolak keberadaannya. Dalam konteks teologi dan filsafat, pergulatan relasi agama dan sains menjadi salah satu penyebab 

munculnya atheisme1   dan saintisme.1 1

Setelah enlightenment, sebagian besar agamawan 

berupaya keras untuk merekonstruksi posisi agama di tengah 

dominasi pandangan ilmiah yang begitu luas. Dalam menghadapi 

perkembangan dan tantangan sains, sebagian mengambil posisi 

defensif dengan cara berupaya untuk mempertahankan paham 

keagamaan. Posisi selanjutnya yaitu  mempertentangkan agama 

dan sains serta menjadikan sains dan akal lebih rendah dari wahyu. 

Model berikutnya yaitu  meletakkan agama dan sains sebagai dua 

ranah yang berbeda dan tidak dapat disetarakan. Posisi terakhir 

yaitu  memahami sains dan agama sebagai dua hal yang sejalan 

dan sains membantu membuktikan kebenaran agama.1  

 

Konflik sains dan agama lebih merupakan perbedaan 

pandangan terhadap dasar agama dan keyakinan serta budaya yang 

didasarkan atas pengetahuan yang sangat terbatas, sementara 

sains didasarkan pada aturan logis dan verifikasi eksperimen. 

Banyak aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dijelaskan oleh 

teori-teori ilmiah dan hal itu menjadi ranah keyakinan sosial dan 

agama.

Berdasarkan atas teori ideologi yang berlandaskan 

pemikiran Dan Sperber, Agama dan sains dapat dikategorikan 

sebagai ideologi. Sperber membedakan pengetahuan/kepercayaan 

reflektif dan intuitif. Pengetahuan intuitif yaitu  bebas dari 

ideologi karena didasarkan atas persepsi langsung atau 

penyimpulan yang sangat sederhana. Sains dan agama keduanya 

merupakan pengetahuan reflektif sehingga dapat dikategorikan 

sebagai ideologi meskipun tingkatannya berbeda. Sains 

mempunyai otonomi yang berarti teori ilmiah tidak dapat 

dibantah oleh argumen non ilmiah termasuk agama. Dalam hal ini, 

sains merupakan sebuah konteks metarepresentasi yang tidak 

dapat dipertanyakan atau memiliki otoritas. Otoritas sains berbeda 

dengan otoritas teologi. Kebenaran teologi bersifat statis dan 

tidak dapat dipertanyakan, sedangkan kebenaran sains selalu 

berpeluang untuk dipertanyakan. Prinsip otonomi sains yaitu  

tetap pada sikap kritis, bukan sikap menolak.1  

Colin A. Russell mengemukakan bahwa konflik antara 

sains dan agama di Barat (biasanya dengan Kristen) merupakan 

dampak langsung dari persoalan yang terkait dengan pemikiran 

Galileo Galilei dan Charles Darwin. Konflik ini  menurutnya 

terjadi pada ranah epistemologi, metodologi, etika, sosial.1   Lebih 

jauh Colin menguraikan tentang kelemahan-kelemahan pandangan 

yang menganggap adanya konflik antara sains dan agama. 

Kelemahan ini  yaitu  terhambatnya kemungkinan adanya 

relasi lain antara sains dan agama, terabainya beberapa bukti 

adanya kedekatan sains dan agama, terabainya beberapa beberapa 

kemajuan sains dan agama, pembatasan terhadap beragamnya ide 

dalam agama dan sains, memicu munculnya pandangan yang 

bersifat menyimpang (distortive) terhadap pertentangan antara 

sains dan agama, serta berhenti hanya pada masalah minor 

perbedaan pandangan ketimbang konflik yang lebih besar.1  

David Ray Griffin mengklasifikasikan konflik antara sains 

dan agama ke dalam tiga bentuk dasar. Pertama yaitu  sains menyalahkan keyakinan agama yang terkait dengan fakta-fakta 

tertentu seperti konsep penciptaan alam yang ada dalam kitab suci 

(Bible). Kedua yaitu  konflik terhadap konsep yang lebih luas 

yaitu pandangan naturalistik sains dan supra naturalistik agama. 

Konflik bentuk kedua ini lebih dalam dan berada di belakang 

konflik bentuk pertama. Konflik bentuk ketiga yaitu  pandangan 

para saintis tidak hanya terbatas pada konsep naturalisme tapi 

lebih jauh dari itu dalam bentuk pandangan yang bersifat 

materialistik, ateistik dan sensasionistik yang semuanya 

berhadapan langsung dengan pandangan teistik agama maupun 

filsafat.

1  

Dalam sejarah sains, pertentangan dan perbedaan 

pandangan terhadap sains, sains semu dan non sains sering terjadi 

dengan pengetahuan dan keyakinan dalam agama yang hampir 

tidak diterima sebagai pengetahuan ilmiah.

1   Konflik yang sangat 

jelas muncul dipermukaan antara sains dan agama dalam sejarah 

yaitu  dalam persoalan eksistensi Tuhan. Agama meyakini 

tentang eksistensi Tuhan, sementara sains secara empirik tidak 

dapat memberi  penjelasan yang memadai tentang eksistensi 

Tuhan. Filsafat terutama prinsip kausalitas memberi  kontribusi 

yang sangat signifikan untuk terjadinya dialog antara sains dan 

agama.1  

Pandangan bahwa agama bertentangan dengan sains 

memiliki dasar anggapan yang lemah. Dalam konteks Kristen di 

Eropa, hanya ada  dua contoh konflik antara agama dan sains 

yaitu kasus Galileo Galilei dan Evolusi Darwinisme. Untuk kasus 

pertama yaitu  sebuah kesalahpahaman dan Gereja pada masa 

Paus Yohannes Paulus II secara resmi telah mengakui kesalahan 

karena mengutuk Galileo Galilei. Oleh karena itu, meskipun gereja mengaku salah dalam hal ini , tidaklah tepat jika kasus satu￾satunya ini  dikonstruksi sebagai permusuhan gereja terhadap 

sains. persoalan sesungguhnya yang terjadi di Barat yaitu  bukan 

konflik prinsipil antara sains dan agama melainkan perkembangan 

suatu rasionalitas ilmiah yang semakin berat sebelah dan tertutup 

terhadap dimensi makna dan nilai. Sedangkan teori evolusi 

Darwin memang benar-benar bertentangan dengan konsep yang 

diyakini agama meskipun masih terbuka peluang bagi pemikir dan 

ilmuwan untuk merekonstruksi pemahaman agama dalam konteks 

ini.1   Pandangan bahwa konflik sains dan agama tidak dapat 

dihindari dan tidak dapat direkonsiliasi yaitu  bersifat 

simplifikasi. 

Pertentangan atau perbedaan agama dan sains berakar 

pada perbedaan etika keduanya. Agama menuntut sikap 

penerimaan yang teguh, tanpa ragu dan pasti, sedangkan sains 

didasarkan pada skeptisisme dan sikap tidak berkepentingan 

(disinterestedness) dari hasil kegiatan ilmiah selain nilai ilmiah itu 

sendiri. Pertentangan antara sains khususnya sains alam dengan 

agama telah berlangsung begitu lama, meskipun dewasa ini sudah 

sangat jarang terjadi. Pertentangan antara agama dan sains dewasa 

ini lebih banyak terhadap sains sosial. Pertentangan itu justru 

lebih disebabkan karena persaingan agama dan ilmu sosial dalam 

menjelaskan kenyataan.1 1

Survey di Amerika menunjukkan tiga perspektif besar 

dalam memandang relasi sains dan agama. Ketiga perspektif 

ini  yaitu  tradisional (  %), Modern (  %), dan Post 

Secular ( 1%). Kelompok tradisional memandang bahwa agama 

lebih utama dan penting dari pada sains. Pandangan modern 

melihat bahwa agama dan sains bertentangan. Post secular melihat 

agama dan sains sebagai dua hal yang tidak bertentangan dan 

bahkan harmoni. Hal yang menarik dari perspektif ketiga ini 

yaitu  dasar dari pandangan mereka. Mereka mendasarkan 

pandangannya lebih kepada akar pemahaman keagamaan dari pada 

arus utama sains.

Kebenaran relatif pada ilmu dan kebenaran absolut pada 

agama sering sering kali dibenturkan. Meskipun kebenaran ilmu 

sangat mengesankan, namun ia tidak akan menyamai kebenaran 

agama yang bersifat absolut dan abadi.1   Pandangan demikian 

juga termasuk mempertentangkan antara agama dan sains. 

Memang secara historis dan faktual mesti diakui bahwa relasi 

sains dan agama pernah berjalan tidak harmonis seperti yang 

terjadi di Barat. Coyne memandang bahwa sains dan agama tidak 

cocok karena keduanya memiliki perbedaan metode untuk 

mengetah