bangan ilmu pengetahuan dan filsafat atau secara
umum di Barat tentu saja tidak terlepas dari peran dan pengaruh
epistemologi, ilmu, dan filsafat ataupun peradaban Islam
sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh perkembangan pemikiran
Islam dan ilmu di Andalusia dan Cordoba telah memberi
pencerahan kepada dunia Barat pada akhir abad pertengahan dan
awal abad modern.
Dalam perkembangan selanjutnya,
epistemologi tidak hanya terbatas penggunaannya dalam filsafat
semata, namun juga mulai mengarah kepada semua bidang ilmu
termasuk ilmu yang sifatnya praktis sekalipun serta aspek-aspek
kehidupan manusia lainnya. Muthahari menjelaskan bahwa
epistemologi sangat penting sebagai landasan pandangan dunia
dan pandangan dunia yaitu landasan ideologi.
1
Senada dengan Muthahari, Muhammad Amin memahami
epistemologi sebagai produk dari suatu pandangan dunia (world
view) warga terkait dengan konsep tentang manusia,
semesta, dan Tuhan. Konsep ini menjadi dasar terhadap
lahirnya disiplin ilmu dan cabang pengetahuan yang beragam,
filsafat pendidikan, dan infrastruktur institusional serta berperan
penting pembetukan karakter individu yang pada gilirannya
membentuk suatu tatanan warga dalam membangun suatu
paradaban.
Istilah pandangan dunia (world view) bagi Mario Bunge
lebih cenderung menyebutnya dengan kosmologi. Kosmologi
yaitu suatu penyelidikan terhadap unsur-unsur dan bentukbentuk dasar dari semesta (universe). Lebih jauh Bunge
menguraikan sepuluh paradigma kosmologi yang berkembang dan
telah membentuk berbagai epistemologi dalam sejarah pemikiran
manusia. Sepuluh paradigma kosmologi ini yaitu holisme,
hirarkisme, probabalisme, dinamisisme, dialektik, atomisme,
mekanisme, sakralisme, tekstualisme, dan sistemisme.
Bunge kemudian merinci konsep-konsep epistemologi dari
sepuluh paradigma kosmologi ini . Holisme cenderung memakai intuisi dalam epistemologinya. Hirarkisme
menganut epistemologi evolusionisme. Probabalisme memperkuat
epistemologi induksi dalam teori-teori ilmiah. Dinamisme lebih
cenderung epistemologi proses. Dialektika mengedepankan
epistemologi konflik dan kontradiktif. Atomisme menjadikan
epistemologi naturalistik dan non-antroposentris. Mekanisme
menganut epistemologi Newtonian-Cartesian yang bersifat
mekanistik. Sakralisme berdasarkan epistemologi keagamaan
(religious) yang mensucikan konsep dan ajaran tertentu serta
melihat konsep dan ajaran yang lain secara buta. Tekstualisme
memandang dunia ini sebagai teks yang tak terbatas dan lebih
dekat pada idealisme. Terakhir, sistemisme merupakan gabungan
dari kosmologi yang pertama sampai ketujuh.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam konteks
pengetahuan agama dan pengetahuan ilmiah telah terjadi
perdebatan yang cukup hangat di kalangan para pemikir termasuk
di kalangan praktisi pendidikan. Pertanyaan yang paling mendasar
yaitu bagaimana posisi pengetahuan agama dan pengetahuan
ilmiah dan pola interaksi kedua jenis pengetahuan ini . AlA>miri> dan al-Sijista>ni> memandang bahwa konten pengetahuan
yang berasal dari wahyu (revealed knowledge) dan yang bukan
berasal dari wahyu (non revealed knowledge) ini pada
dasarnya tidak tumpang tindih (unoverlap), melainkan keduanya
berfungsi saling melengkapi satu sama lain.
Epistemologi Modernisme Barat sangat didominasi oleh
epistemologi fondasionalisme. Fondasionalisme berarti bahwa
semua pengetahuan dan keyakinan dapat diterima dan diakui
kebenarannya jika memiliki dasar yang jelas, tidak dapat
diragukan, tidak dapat dibantah, dan tidak dapat dikoreksi.
Epistemologi yang dipakai oleh fondasionalisme terutama yaitu
rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Sementara epistemologi
kontemporer pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh epistemologi
modern yang didominasi oleh empirisme, rasionalisme, dan
kritisisme, atau dengan kata lain epistemologi kontemporer
merupakan daur ulang dari epistemologi modern.
Dalam perkembangan pemikiran pada peradaban Barat,
epistemologi menempati posisi yang sangat besar dan sentral
sehingga metafisika dan ontologi agak terkesampingkan. Untuk
membuktikan bahwa ontologi dan metafisika kurang mendapat
perhatian dalam perkembangan filsafat modern, penulis terlebih
dahulu menguraikan tentang dominasi epistemologi dan hegemoni
positivisme pada abad modern di Barat. Kurangnya perhatian
terhadap ontologi dan dominasi epistemologi dalam filsafat Barat
modern ini , tentu saja masih dapat diperdebatkan tergantung
perspektif yang digunakan.
Contoh lain persoalan ontologi dan metafisika direduksi
menjadi masalah epistemologi yaitu seperti yang dilakukan oleh
Immanuel Kant. Ia mereduksi masalah kemungkinan ontologi
menjadi pertanyaan bagaimana kemungkinan pengetahuan yang
bersifat a priori? Jawabannya ia formulasikan dengan konsep
critique of pure reason. Intinya epistemologi Kant berpandangan
bahwa akal budi manusia hanya dapat mencapai phenomena dan
bukan noumena.
Sayyid Hossein Nasr menilai bahwa filsafat Cogito Ergo
Sum (aku berfikir maka aku ada) yang dikembangkan oleh Rene
Descartes telah menggeser ontologi filsafat Barat yang pada
awalnya fokus pada wujud (being) menjadi analisis terhadap
refleksi mental dari wujud ini .
Di samping tiga aliran utama ini yaitu rasionalisme,
empirisme, dan kritisisme, positivisme juga menjadi tiang utama
peradaban Barat. Positivisme dikembangkan oleh Auguste Comte.
Comte membagi tiga tahap perkembangan pemikiran
manusia yaitu teologis, metafisis, dan positif. Bagi Radu Morea
dan Ion Josan, hegemoni epistemologi positivisme ini banyak
memengaruhi perkembangan sains dan cenderung menggeser
agama. Hegemoni epistemologi positivisme ini juga menjadikan
superioritas peradaban Barat yang dirasuki oleh mentalitas
kolonial. Berdasarkan tiga tahap perkembangan pemikiran
manusia menurut Comte ini , jelas tahap positif telah
menafikan dua tahap sebelumnya yaitu teologis dan metafisis.
Positivisme sangat sesuai dengan sains modern yang hanya
mengakui kebenaran yang bersifat pasti, positif, dan faktual, serta
empiris. Oleh karena itu, positivisme memang baik langsung
maupun tidak telah menafikan kebenaran agama dan metafisika.
Penyebab lain terjadinya krisis epistemologi di Barat
yaitu positivisme logis. Positivisme logis berpijak pada
epistemologi Hume. Epistemologi Hume yaitu skeptisisme
empiris. Perkembangan sains modern yang didasarkan pada
empirisme Hume menyebabkan epistemologi sains modern sangat
lemah, apalagi jika epistemologi ini menjadi dasar etika,
metafisika dan agama. Oleh karena itulah, perlu dicari dan
ditemukan epistemologi yang lebih kuat dan lebih baik untuk
menjadi dasar pengembangan sains agar sejalan dengan etika,
metafisika, dan agama. Bagi positvisme logis, kebenaran dapat
diterima jika ia dapat dibuktikan dengan verifikasi empiris.
Pernyataan metafisika diyakini oleh aliran positivisme logis
sebagai tidak bermakna karena tidak dapat diverifikasi secara
empiris.
Hans-Johann Glock mempertanyakan eksistensi dari
ontologi yang merupakan bagian dari metafisika. Hal itu beranjak dari, seperti yang telah diuraikan di atas, aliran positivisme logis
yang berpandangan bahwa metafisika tidak bermakna. Glock
menganalisis tulisannya dengan memakai filsafat analitik dan
epistemologi Wittgenstein, Carnap, dan Ryle, serta Quine.
Kesimpulan dari tulisannya ini yaitu masih meragukan
keberadaan ontologi dan metafisika karena menurutnya belum ada
penemuan filsafat yang benar-benar dapat membuktikannya baik
melalui maupun tanpa bantuan sains.
Terlepas dari keraguan dari Glock di atas, yang lagi-lagi
dipengaruhi oleh dominasi epistemologi modern, dalam
pandangan sebagian filsuf maupun saintis, ontologi dan metafisika
diakui sebagai bagian dari filsafat yang tidak dapat dipisahkan.
Ontologi dan metafisika yaitu bidang filsafat yang paling dasar
karena membahas realitas baik yang fisik maupun metafisik.
Pertanyaan yang paling dasar dalam bidang ini yaitu apakah itu
realitas, apakah manusia sama dengan makhluk hidup lainnya, apa
yang dimaksud dengan jiwa, roh, apakah makna kausalitas, ruang,
dan waktu, dan hal-hal yang mendasar lainnya.
Ontologi yaitu cabang dari filsafat dan bagian dari
metafisika yang berhubungan dengan sifat eksistensi atau wujud.
Metafisika merupakan cabang filsafat yang meliputi ontologi,
kosmologi, serta kajian tentang sifat dasar manusia dan Tuhan
Menurut Bernardo Cantens, Charles Peirce menganggap bahwa
metafisika sebagai ilmu abstrak (abstract science) sehingga
metodenya seharusnya murni teoretis. Teolog dan investigasi
metafisiknya sangat berguna dan penting dalam pengembangan
serta pertumbuhan agama dan keyakinan.
Epistemologi merupakan salah satu yang penting dalam
membentuk perkembangan keilmuan dan peradaban manusia. Kondisi seseorang, lembaga, bangsa, dan peradaban manusia
ditentukan salah satunya oleh epistemologi yang dipahami dan
diterapkan, termasuk epistemologi berperan dalam membangun
ideologi, world view, paradigma, serta pandangan hidup suatu
warga atau bangsa.
Paradigma terdiri dari paradigma inti (core paradigm),
paradigma tepi (peripheral paradigm), dan paradigma pengembara
(wandering paradigm). Paradigma inti menampilkan konsep utama
dalam warga serta mewarnai paradigma tepi sehingga pada
tahap selanjutnya menggerakan paradigma level ketiga yang
disebut dengan wandering paradigm atau paradigma pengembara
meskipun keberadaan paradigma level ketiga ini tidak terlalu
tergantung dengan paradigma inti. Dalam konteks sains, sains
tidak hanya menfungsikan paradigma tapi lebih dari itu yaitu
sebagai sebuah sistem secara keseluruhan.
Hegemoni epistemologi modern telah terbukti menjadi
pandangan dunia (World View) modernisme. Setelah modernisme
menguasai peradaban dunia lebih kurang tiga abad, kemudian
muncul posmodernisme yang mengusung model epistemologi baru
atau paling tidak berupaya mengkritik epistemologi modernisme
yang didominasi oleh epistemologi fondasionalisme dan kerangka
berfikir Newtonian-Cartesian ini . Posmodernisme sendiri
masih banyak diperdebatkan eksistensi dan pemikirannya karena
belum memiliki karangka berfikir yang jelas seperti modernisme.
Terlepas dari kerangka yang belum begitu jelas, posmodernisme
paling tidak merupakan suatu alternatif antitesis dari modernisme.
Pemikiran Islam kontemporer dalam hal tertentu dipengaruhi dan
bersentuhan baik langsung maupun tidak dengan posmodernisme.
Posmodernisme merupakan serangan langsung terhadap
beberapa klaim modernisme terkait dengan eksistensi makna,
epistemologi dan nilai dari pencerahan abad ke-1 . Abdul Hadi
menguraikan paling tidak ada empat ciri utama dari
posmodernisme yaitu kematian subjek, penyangkalan realitas
objektif, ketidakbermaknaan, dan penolakan terhadap narasi besar (kebenaran). Posmodernisme setidaknya bermakna sebagai
perubahan budaya yang telah dibangun atas dasar epistemologi
modernisme yang bersifat fondasional, dualisme, dan bebas nilai
menjadi budaya dengan epistemologi yang bersifat antifondasional, pluralisme dan sarat nilai.
Berkembangnya hermeneutik yaitu salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dari posmodernisme. Dalam konteks
hermeneutik, ada dua masalah mendasar dalam epistemologi
tradisional yang dipersoalkan oleh filsuf hermeneutik. Masalah
pertama yaitu mereka tidak setuju terhadap reduksi proses
kognitif yang menyeluruh menjadi seperti model tunggal dalam
ilmu-ilmu alam (natural sciences) yaitu observasi empiris.
Masalah kedua yaitu mereka menolak konsep ahistoris bahwa
subjek yang mengetahui berada di luar dari yang diketahui dan
dimaknai olehnya. Filsuf hermeneutik membedakan antara
fenomena penjelasan (erklaren) yang cocok untuk natural sciences
dan fenomena pemahaman (verstehen) yang tepat untuk human
sciences. Dengan kata lain, metode empiris (penjelasan)
merupakan derivasi dari metode pemahaman. Bagi Kant,
pengalaman merupakan penerimaan dari kesan empiris yang
diformulasikan oleh berbagai kategori pemahaman, sedangkan
bagi filsuf hermeneutik, pengalaman secara historis merupakan
akumulasi pengetahuan dari sebuah tradisi yang di dalamnya
ditemukan makna khusus yang ada pada teks. Josep Blecher
membagi peran hermeneutik dalam pemikiran kontemporer dalam
tiga fungsi. Fungsi ini yaitu hermeneutik sebagai metode
(seperti Emilio Betti), filsafat (Gadamer), dan kritik (Habermas).
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan
epistemologi dalam membangun pandangan dunia (world view)
dari sebuah peradaban manusia yang berkembang pada zaman dan
wilayah tertentu.
B. Diskursus Epistemologi dan Dinamika Pemikiran Islam Epistemologi sebagai sebuah pandangan dunia memang
sangat penting dalam perkembangan sebuah peradaban. Salah satu
bagian penting dalam peradaban Islam yaitu kontribusi dari
pemikiran Islam (islamic thought).
Pemahaman terhadap makna dan eksistensi pemikiran
Islam harus memperhatikan secara serius hal berikut ini. Pertama,
Islam tidak dapat dipisahkan dengan umat Islam. Oleh karena itu,
umat Islam (manusia) tidak dapat terlepas dari aspek kesejarahan
serta hubungannya dengan umat dan peradaban lain. Kedua,
pemikiran Islam bukanlah dipandang sebagai wahyu suci atau teks
agung namun hanya merupakan seperangkat pemikiran manusia
(umat Islam) dalam memahami ajaran Islam serta upaya untuk
memecahkan persoalan-persoalan keagamaan terkait dengan
lingkungan dan sejarah kehidupan manusia.
Islam dan umatnya tidak terlepas dari historisitas dan
interaksi dengan pemikiran dan umat lain. Oleh karena itu,
pemikiran Islam sejak masa klasik sampai masa kontemporer tidak
dapat dikatakan berdiri sendiri tanpa ada pergumulan dan
persentuhan dengan epistemologi dan peradaban lain.
Perkembangan pemikiran Islam klasik sangat jelas sekali adanya
interaksi dengan filsafat Yunani, Romawi dan Persia. Hal itu
dibuktikan dengan adanya penterjemahan karya-karya filsafat
Yunani terutama Aristoteles dan Plato ke dalam bahasa Arab pada
masa Bani Abbasiyah. Dalam bidang filsafat, dunia Islam
memiliki beberapa filsuf dan pemikir besar Islam seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya. Demikian juga dalam bidang
kalam muncul beberapa mutakallimin/teolog yang merumuskan
pemikiran mereka tentang kalam atau teologi. Beberapa aliran
kalam telah mewarnai pergumulan pemikiran Islam klasik seperti
Mu’tazilah, Ash’ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya.
Pemikiran Islam bukanlah wahyu suci seperti Al-Quran.
Oleh karena itu, konsep-konsep dalam pemikiran Islam tingkat
kebenarannya tidak absolute. Pemikiran Islam yang telah
melahirkan beberapa pandangan dan rumusan tentang berbagai hal
yang terkait dengan manusia dan problematika keberagamaannya
dapat saja memiliki kelemahan bahkan kekeliruan atau paling
tidak masih terikat pada ruang dan waktu. Pemikiran Islam akan
tetap mengalami berbagai dinamika dan perubahan terkait dengan perkembangan kualitas pemahaman umat Islam terhadap dasar
ajaran Islam serta perkembangan dinamika kehidupan manusia.
Perkembangan ini akan sangat ditentukan oleh
karakteristik pemikiran keagamaan yang berkembang dan dipakai
oleh umat Islam. Amin Abdullah menyebut paling tidak pola
pemikiran keagamaan dalam Islam terdiri dari tiga model. Model
pemikiran keagamaan Islam ini yaitu absolutely absolute,
absolutely relative, dan relatively absolute. Model yang pertama,
absolutely absolute, memandang ajaran agama bersifat tauqi>fy
dengan mengedepankan unsur wahyu dibandingkan akal, ta’abuddi
dibandingkan ta’aqulli, serta qat’iyat dibandingkan zanniyat. Pola pikir
keagamaan model ini sangat ketat dan kaku. Pola pikir seperti ini
sangat mudah pada pensakralan pemikiran keagamaan dan bersifat
ofensif terhadap pemikiran lain. Model yang kedua, absolutely
relative, merupakan pandangan keagamaan yang sangat erat
kaitannya dengan ilmu sosial dan budaya. Agama hanya dilihat
dari sisi eksoterik atau lahiriah semata, tidak dari sisi esoterik atau
batinniyah. Model yang ketiga, relatively absolute, merupakan
sikap yang terbuka dan moderat dalam pandangan keagamaan.
Pandangan ini juga memegang teguh sikap keberagamaan yang
diyakini tanpa mencela dan merendahkan pandangan keagamaan
yang berbeda dengannya.
Hampir senada dengan pandangan Amin Abdullah di atas,
Sastrapratedja mengungkapkan bahwa ada tiga pola pikir
sebagai reaksi agama terhadap perkembangan agama yang
bersentuhan dengan hal-hal yang baru atau modernitas. Ketiga
pola reaksi ini yaitu deduksi, reduksi, dan induksi. Deduksi
yaitu upaya untuk menegaskan kembali otoritas agama yang
bersumber pada wahyu seperti model teologi Karl Barth. Reduksi
yaitu memaknai agama secara sekular agar sesuai dan berguna
terhadap perkembangan zaman. Induksi yaitu upaya menyingkap
pengalaman manusiawi yang ada dalam ajaran agama atau
disebut transendentalisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Pemikiran Islam (Islamic thought) meliputi beberapa
bidang dalam pengkajian Islam. Dalam beberapa referensi
kontemporer, bidang-bidang yang termasuk dalam ranah pemikiran Islam yaitu kalam, filsafat Islam, tasawuf, dan ushul
fiqh. Abdullah Saeed mengemukakan beberapa aspek yang
termasuk dalam pemikiran Islam yaitu ushul fiqh, teologi, filsafat,
politik, seni, dan tasawuf baik yang berlangsung sebelum masa
modern maupun pada masa modern. Rumusan Abdullah Saeed
ini pada dasarnya menunjukkan bahwa pemikiran Islam
memiliki ranah kajian yang cukup luas. Referensi-referensi
sebelumnya, ranah pemikiran Islam hanya terbatas pada kalam,
filsafat, dan tasawuf.
Konsep pemikiran Islam kontemporer menggambarkan
besarnya arus intelektual yang mendominasi dunia Islam
kontemporer sejak akhir Perang Dunia II. Persoalan yang
mendominasi pada dunia Islam kontemporer yaitu nasionalisme,
islamisme, westernisasi dan negara. Pemikiran Islam mengalami
berbagai dinamika yang luar biasa sejak periode Islam awal
sampai pada abad modern. Pemikiran Islam kontemporer yang
berkembang juga tidak terlepas dari peran pemikiran, historis,
sosial budaya termasuk epistemologi. Persentuhan dan pertemuan
pemikiran Islam dengan semua elemen-elemen ini telah
mengkonstruksi bangunan epistemologi sendiri dalam pemikiran
Islam.
Pada zaman skolastik Islam, perdebatan epistemologi juga
berlangsung antara empirik-rasional murni dengan empirikrasional substansial/transendental dengan dasar wahyu.
Perdebatan ini antara Ahmad Ibn Hambal dengan para filosof
paripatetik seperti Ibnu Sina, al-Farabi dan al-Razi. Filsafat yang
berkembang pada masa awal Islam disebut dengan filsafat
paripatetik. Filsafat paripatetik salah satu cirinya dalam
epistemologi mereka banyak memakai rasio dan silogismeAristoteles. Dalam konteks ini, filsafat pada aliran paripatetik
lebih banyak dipengaruhi epistemologi filsafat Yunani.
Filsafat paripatetik dalam Islam ini telah
memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan sains
terutama kontribusi metodologis. Filsafat ini memberi
kontribusi substantif yang signifikan terhadap filsafat keilmuan
esensialisme Eropa.
Di samping aliran paripatetik, Mulyadhi juga
mengemukakan aliran-aliran lain dalam filsafat Islam yang
memiliki model epistemologi yang berbeda dengan aliran
paripatetik. Aliran-aliran lain ini yaitu iluminasionis
(isyra>qi), ‘irfa>ni (tasawuf), dan h{ikmah muta’aliyyah. Aliran
iluminasionis atau isyra>qi memberi posisi yang penting
terhadap intuisi sebagai pendamping rasio atau bahkan sebagai
dasar dari penalaran rasional dalam epistemologinya. Tokoh yang
terkenal yaitu Suhrawardi yang mencoba mensintesiskan
epistemologi ‘irfa>ni dan burha>ni. Aliran ‘irfa>ni sendiri merupakan
aliran tasawuf yang memiliki sistem epistemologi yang khas.
Aliran ini lebih menekankan pada pengalaman mistik dalam
mendapat pengetahuan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Para
tokoh dalam aliran ini disebutkan seperti Jalaluddin Rumi dan Ibn
‘Arabi. Aliran yang terakhir yaitu h{ikmah muta’aliyyah. Aliran
ini dikembangkan oleh Shard al-Din al-Syirazi atau yang lebih
dikenal dengan Mulla Shadra. Secara epistemologis, aliran ini
memakai tidak hanya akal diskursif tapi juga pengalaman
mistik. 1
Pemikiran Islam seperti yang telah diuraikan di atas
mengalami berbagai dinamika perkembangan yang beragam dan
dialektis, termasuk telah melahirkan beragam model atau konsep
epistemologi. Aksin Wijaya merinci paling tidak tujuh kategori
perkembangan pemikiran Islam sejak masa klasik sampai
kontemporer yang terkait keragaman epistemologi dan dialektika
Islam dengan realitas. Ketujuh kategori ini yaitu doktrin
(seperti teologi dan fiqh), aliran (seperti Sunni dan Syi’ah), politik
(seperti Wahabi dan Hizbut Tahrir), kawasan (seperti Islam Asia
Tenggara dan Timur Tengah), identitas (seperti Islam formal), fungsi (Islam ‚Kiri‛ dan Islam Liberal), dan nalar (seperti Islam
Aqidah-Syari’ah).
Terjadinya perdebatan, perbincangan, dan diskusi yang
cukup intens tentang epistemologi pada pemikiran Islam
kontemporer baik itu dalam buku buku ilmiah akademik, jurnal,
dan media menunjukkan bahwa persoalan epistemologi atau yang
lebih besar lagi pandangan dunia umat Islam dewasa ini menjadi
perhatian cukup serius untuk dirumuskan. Islam yang pada masa
awal memiliki karakter epistemologi yang kuat dan terarah telah
mampu menguasai atau paling memimpin peradaban dunia pada
waktu itu. Di tengah melemahnya berbagai hal dalam kehidupan
umat Islam, termasuk epistemologi yang mulai kehilangan arah
dalam konsep penerapannya, Barat kemudian menguasai
peradaban dunia dengan berpijak pada epistemologi materialistik,
empiris, dan rasionalis.
Epistemologi yang dikembangkan dalam pemikiran Islam
kontemporer tentu saja tidak terlepas dari kelemahan dan
kelebihannya. Oleh karena itu, konsep universalisme Islam sebagai
sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamin mesti mampu menjawab
tantangan dan perubahan zaman dengan tetap berpegang pada
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Bangunan epistemologi Islam
yang kuat dan terarah akan menjadi daya tarik sendiri bagi umat
dan peradaban lain, sehingga Islam dapat memberi peran
penting dalam membangun peradaban manusia. Epistemologi
yang demikian secara langsung maupun tidak langsung juga dapat
meningkatkan pemahaman keagamaan umat Islam ke arah yang
lebih dinamis, egaliter, toleran dan aplikatif. Pada akhirnya Islam
akan mendapatkan kembali masa kejayaan seperti yang telah
dialami sebelumnya.
Aksin Wijaya berkesimpulan bahwa perkembangan
epistemologi Islam dari klasik sampai kontemporer ternyata
bersifat sangat revolusioner dari teologi yang bercorak teoretisteosentris menjadi teoantroposentris dan antroposentris. Penulis
sendiri tidak begitu sependapat dengan kesimpulan Aksin ini
bahwa revolusi epistemologi dalam Islam sampai kembali ke
antroposentris. Hal itu berarti, kembali pada abad modern di Barat
yang bercorak antroposentris atau bahkan seperti epistemologi
masa Socrates pada filsafat Yunani Kuno. Penulis lebih
sependapat bahwa epistemologi Islam kontemporer yaitu teoantroposentris.
Tantangan terbesar filsafat sains sepanjang sejarah dengan
berbagai variasi dan dinamikanya yaitu bagaimana
mengartikulasikan kaidah-kaidah epistemologis menjadi berguna
tanpa membatasi diri dari berbagai kritik. Fayerabend melihat
sains tidak terdiri dari satu epistemologi melainkan mengandung
banyak epistemologi. Persoalan epistemologi yang telah dibahas
dalam epistemologi tradisional perlu diperluas dan dikembangkan
lebih jauh termasuk persoalan intelectual virtues dibandingkan
melakukan orientasi kembali epistemologi tradisonal dengan
intelectual virtues. Hal ini dikemukakannya untuk membantah
pandangan Linda Zagzebski tentang pentingnya peran intelectual
virtues (dipahami sebagai karakter) dalam epistemologi.
Epistemologi yang mengabaikan sejarah terutama sejarah
tentang persoalan-persoalan kefilsafatan yaitu tidak mempunyai
arah yang jelas dan buta. Dalam pandangan epistemologi
analitika bahwa pengetahuan merupakan struktur dari sebuah
teori.
Muhammad Amin mengemukakan komparasi antara
epistemologi Islam dan epistemologi Barat. Sumber utama
pengetahuan dalam epistemologi Islam yaitu al-Quran dan Hadis.
Akal dan indera yaitu sebagai sumber kedua dan memiliki peran
yang terbatas. Dalam epistemologi Barat, akal dan indera menjadi
sumber utama pengetahuan, sedangkan agama memiliki peran
yang sedikit. Tujuan pengetahuan dalam epistemologi Islam
yaitu untuk mengetahui mengetahui Tuhan dan diri manusia itu
sendiri dalam rangka kepatuhan dan ibadah. Sementara tujuan
pengetahuan dalam epistemologi Barat yaitu kehidupan dunia
dan kesenangan.
Sistematika pengetahuan dalam epistemologi Islam
meliputi pengetahuan wahyu yaitu al-Quran dan Hadis,
pengetahuan yang terkait dengan wahyu dan implementasinya
seperti bahasa Arab dan hukum Islam, pengetahuan yang
didasarkan pada wahyu dan akal serta indera seperti ekonomi dan
psikologi, dan pengetahuan yang murni didasarkan atas akal dan
indera seperti pertanian dan teknik. Epistemologi Barat membagi
pengetahuan menjadi ilmu kealaman (natural sciences), ilmu sosial
(social sciences), ilmu seni dan kemanusiaan (arts and
humanities), dan teknologi. Ilmu keagamaan murni bersifat
personal.
C. Sejarah dan Perkembangan Sains dalam Islam
Semangat ilmiah umat Islam secara historis telah ada pada
masa hijrah Rasulullah dan pengikutnya ke Madinah. Beberapa
orang dari suku Aws dan Khasraj memiliki kemampuan baca tulis
yang baik. Sejalan dengan perkembangan umat Islam di Madinah,
nabi memberi perhatian yang luar biasa untuk peningkatan
kemampuan baca tulis umat Islam. Suatu hal yang menarik
bahkan nabi membebaskan tawanan Perang Badar setelah mereka
mengajarkan baca tulis terhadap umat Islam. Kuttab yang telah
dikenal sebelum Islam di Jazirah Arab tetap diteruskan oleh umat
Islam terutama sebagai lembaga atau tempat untuk mempelajari
baca tulis. Fokus kajian Kuttab baik di rumah maupun kawasan
mesjid terutama menuliskan wahyu yang diterima oleh nabi. Pada
perkembangan selanjutnya, umat Islam mendirikan madrasah
(setara dengan universitas) untuk mendalami agama dan sains.
Pengembangan sains telah dimulai pada masa Khalifah
Usman bin Affan. Pada masa ini beberapa prestasi yang dapat
dikatakan terkait dengan sains dan teknologi dapat dicapai.
Prestasi-prestasi ini yaitu antara lain pembangunan
bendungan, mesjid, jalan, dan jembatan. Berdasarkan sejarah
awal ini , konsep dan penerapan pengembangan pengetahuan
dan sains dalam pengertian luas dalam Islam telah dimulai pada
awal kelahiran Islam.
Paling tidak ada tiga teori atau fase awal dari
perkembangan sains dalam Islam sampai masa penurunan kembali
sains ini . Fase pertama yaitu adanya kontak antara
peradaban Islam dengan peradaban Byzantium dan Sasanid Iran
yang telah mendorong terjadinya perluasan Islam dari jazirah Arab
ke Persia dan Eropa. Fase kedua yaitu penterjemahan karyakarya klasik Yunani Kuno ke dalam Bahasa Arab setelah
terjadinya fase pertama. Karya-karya Yunani Kuno ini
tersimpan di Byzantium dan Sasanid Iran. Fase ketiga yaitu
transmisi intelektual dari filsafat dan sains Yunani ke peradaban
Islam yang pertama kali melalui pemikir-pemikir dan pemuka
agama di Syiria. 1
Sains dalam dunia Islam awal menempati posisi yang
cukup penting terutama setelah masuknya filsafat. Beberapa
upaya telah dilakukan oleh khalifah untuk mengembangkan
filsafat dan sains terutama khalifah pada masa Bani Abbasiyah
dan dinasti-dinasti Islam berikutnya. Dengan kata lain, Umat
Islam pernah mengalami masa keemasan (golden age) dalam
konteks peradaban, termasuk sains dan teknologi.
Secara historis pada masa awal Islam, pengembangan dan
penyebaran Islam di Jazirah Arab, Afrika, dan wilayah lainnya
yang dilakukan oleh Khulafa> al-Ra>shidi>n, Bani Umayyah, dan
Bani Abassiyah serta dinasti kesultanan Islam sesudahnya telah
mendorong terhadap perkembangan sains dan teknologi di dunia
Islam. Pemerintahan dan warga membutuhkan bagaimana
pengelolaan sistem pemerintahan, pengembangan ekonomi,
kebutuhan pangan dan sandang, kekuatan militer, dan sebagainya.
Semua aspek ini harus ditopang dan didukung oleh sains
seperti matematika, fisika, biologi, ekonomi dan sebagainya. Oleh
karena itulah, khalifah dan jajarannya berupaya untuk membuat
berbagai terobosan untuk kesejahteraan rakyat dan kelangsungan
kekhalifahannya.
Di antara berbagai terobosan ini yaitu
penterjemahan karya-karya penting dalam filsafat serta
pengembangan ilmu kedokteran, astronomi, revolusi pertanian,
sistem pertahanan, ekonomi, manajemen konflik, dan
sebagainya. George Saliba menilai bahwa penterjemahan besarbesaran karya-karya filsafat dan sains Yunani Kuno pada masa
khalifah al-Mamun ini merupakan pemicu perkembangan
sains di dunia Islam meskipun ada perbedaan dan
pertentangan bagi sebagian umat Islam itu sendiri.
Puncak dan masa keemasan pengembangan sains
kekhalifahan Islam yaitu pada masa Khalifah al-Ma’mun yang
berlangsung selama tahun ( 1 - M). Khalifah al-Ma’mun
dianggap oleh banyak Sejarawan sebagai tokoh utama pendukung
rasionalisme di dunia Islam (the Great Champion of Rationalism)
dan sebagai khalifah yang lebih mengutamakan pengembangan
sains dibandingkan yang lain. Khalifah al-Mamun menaklukan
Byzantium dan memboyong seluruh buku-buku ke Baghdad.
Buku-buku ini kemudian dikumpulkan di Bait al-H}ikmah
(The House of Wisdom) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Bait al-H{}ikmah (The House of Wisdom) yaitu institusi yang
dibentuk Khalifah al-Mamun untuk mempelajari dan mendalami
filsafat dan sains. Institusi ini dapat dikatakan sebagai pusat riset
dan universitas. Di samping itu, ia juga mendirikan observatorium
pertama dalam dunia Islam yaitu Shamsiya pada tahun M.
Secara teologis, Khalifah al-Mamun mendukung
berkembangnya Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi
rasional dalam Islam. Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab
teologi resmi oleh khalifah dengan kebijakannya yang disebut mih{na. Mu’tazilah sebagai pemahaman rasional dalam teologi
sangat relevan dengan semangat pengembangan sains dan filsafat
pada masa itu.
Mulai periode kedua perkembangan Islam di Spanyol
( - 1 M), pengembangan sains mendapatkan perhatian yang
tinggi dari khalifah yaitu pada masa Khalifah Abdurrahman alAushat. Pada pariode ketiga, Khalifah Abd al-Rahman al-Nashir
mendirikan Universitas Cordova sehingga pada masa inilah sains
mengalami puncak kejayaannya sama halnya dengan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad.
Masa Fathimiyah, sama halnya dengan pada masa Dinasti
Abbasiyah, juga sangat memperhatikan pengembangan sains dan
filsafat. Salah satu peristiwa penting pada dinasti ini yaitu
didirikannya Universitas Al-Azhar pada tahun M sebagai
pusat riset dan pendidikan. Di samping itu, pada masa ini juga
muncul filsuf dan saintis besar di dunia Islam yaitu Ibn Sina yang
telah memberi dasar bagi pengembangan kedokteran modern.
Ibn Haitham juga merupakan salah satu ilmuwan besar yang lahir
pada dinasti ini dengan konsep pengembangan optik dan
astronomi.
Pada tahun 1 , Dinasti Fathimiyah di bawah
kehkalifahan al-Hakim mendirikan Dar al-H{}ikmah (House of
Wisdom) di Kairo. Akademi ini menjadi pusat riset dan
pengajaran astronomi, matematika, kedokteran, dan astrologi serta
pemikiran Syi’ah berdasarkan patron Fathimiyah di tengah
mayoritas Sunni.1
Beberapa saintis penting dan terkemuka dalam bidang
kedokteran pada masa Islam abad pertengahan yaitu Ibn Sina
(Avicenna), Abul Qasim al-Zahrawi (Abuscasis), dan Ibn al-Nafis.
Ibn Sina dapat dikatakan sebagai peletak dasar kedokteran modern
dengan karyanya yang terkenal terkait dengan bidang ini yaitu
al-Qann fi al-Tibb (the Canon of Medicine). Abul Qasim alZahrawi (Abuscasis) yaitu ahli bedah terkemuka di dunia Islam
pada masa itu. Ibn al-Nafis menurut sebagian besar Sejarawan dan
penulis yaitu orang yang menemukan sistem sirkulasi darah pada
tubuh manusia. Nafis dapat dikatakan sebagai dokter ahli jantung
terkemuka di dunia Islam pada masa itu.1 Sebagian ilmuwan
ini termasuk Ibn al-Nafis yaitu pelarian dari Baghdad
akibat serangan Bangsa Mongol.1
Peran dan kontribusi Islam awal terhadap perkembangan
sains dalam berbagai bidang masih terjadi perdebatan dan
perbedaan pendapat, namun dalam bidang matematika dan sistem
bilangan, peran dan kontribusi Islam sangat besar dan tidak
diragukan lagi. Perkembangan sains dan teknologi modern sangat
terkait dengan sistem matematika dan bilangan yang
dikembangkan Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa alKhawarizmi.1 Jabi>r Ibn Hayyan dan al-Ra>zi juga memiliki peran
dan kontribusi yang sangat penting dalam pengembangan sains
bidang kimia.
Peradaban Islam pada abad ke- sampai pertengahan abad
ke-1 pada dasarnya menjadi pusat perkembangan sains
khususnya the exact sciences yang meliputi matematika,
astronomi, geografi, dan optik. Perkembangan sains pada masa itu
dipicu dengan gencarnya penterjemahan berbagai karya Yunani,
Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Kemudian perkembangan
sains di dunia Islam yang telah dirumuskan ke dalam bahasa Arab,
pada abad ke-1 dan 1 diterjemahkan ke bahasa Latin dan inilah
yang menjadi pendorong munculnya renaissance di Eropa.1
Islam di Spanyol memberi kontribusi yang sangat
penting bagi perkembangan sains tidak hanya di dunia Islam tapi
juga di Barat pada masa modern. Tiga tokoh penting terkait
dengan perkembangan sains dan filsafat serta agama yaitu Ibnu
Rushd (Averrous), Ibn Arabi, dan Musa bin Maimun.1 Peran Ibn
Rushd yang sangat penting yaitu karyanya Tahafut at Tahafut
yang merespon karya al-Ghazali Tahafut al-Fala>sifah. Karya alGhazali ini dianggap melemahkan peran filsafat dan
pengembangan sains. Bagi Mulyadhi Kartanegara, keberhasilan al-
Ghazali dalam mengangkat derajat ilmu-ilmu agama berdampak
terhadap pudarnya filsafat dan cabang-cabangnya serta kemudian
menurunnya tradisi keilmuan rasional yang menyertainya.1
Pandangan bahwa pemikiran al-Ghazali berdampak
negatif terhadap perkembangan sains ini dibantah oleh
sebagian pemikir. Salah satu pakar kontemporer, Frank Griffel,
menganggap bahwa teologi yang dikembangkan oleh al-Ghazali
pada dasarnya sangat relevan dan mendukung perkembangan
sains. Ia menjelaskan bahwa al-Ghazali secara tidak langsung
tidak menghambat perkembangan sains, namun justru
memberi landasan teologis yang jelas terhadap perkembangan
sains dengan konsep konsmologinya.1
Menurut Sayyid Hossein Nasr, Islam telah memberi
kontribusi yang sangat besar dan penting dalam pengembangan
sains, termasuk sains modern. Pengembangan sains di dunia Islam
pada masa awal tidaklah hanya sebatas menerjemahkan dan
mengadopsi sains dan filsafat Yunani, India, Persia, dan termasuk
Cina, tapi ilmuwan Muslim pada masa itu juga memiliki
kreativitas dan inovasi yang luar biasa dalam pengembangan
sains. Contoh konkrit dari inovasi itu yaitu dalam bidang
matematika yang menjadi dasar pengembangan sains modern
dewasa ini.1
Senada dengan Sayyid Hossein Nasr, Mehdi Nakosteen
menyebut masa -1 M sebagai periode adaptif-kreatif bagi
umat Islam dalam mengembangkan sains dan pendidikan.1
Perkembangan sains yang luar biasa di dunia Islam pada abad ke-
sampai dengan abad ke-1 yaitu kemungkinan karena akal dan
pemikiran kritis menjadi sentral dalam Islam.11 Setelah
mengalami masa keemasan dan kejayaan sains di dunia Islamselama kurang lebih empat abad, perkembangan sains di dunia
Islam selajutnya menurun seiring dengan menurunnya semangat
pengembangan pemikiran Islam, ortodoksi dan runtuhnya
pemerintahan Islam. Selanjutnya, perkembangan sains secara
pesat bergeser ke Barat dengan semangat modernisme yang
diperkokoh oleh bangunan epistemologi modern yang bersifat
empiris, rasionalis, dan positif dan cenderung sekular.
Pertanyaan lebih lanjut yaitu mengapa revolusi ilmiah
tidak terjadi di dunia Islam dan terjadi justru di Barat. John
Walbridge, dengan mengutip Loris Cohen, menguraikan tiga hal.
Pertama, kerusakan yang begitu luas akibat dari invansi barbar
terhadap sumber-sumber kebudayaan Islam. Kedua, kegagalan
sains untuk mendapatkan daya tarik dan komitmen dari
intelektual muslim. Ketiga, kegagalan untuk merekonsiliasi sains
dan Islam.111
Memperkuat argumen di atas, menurut Ehsan Masood,
salah satu penyebab melemahkan sains di dunia Islam yaitu
akibat dari kolonialisme. Di samping itu, pola pengembangan
sains pada masa Islam awal tidak didukung dan dikembangkan
oleh sistem seperti pada zaman modern. Semangat, kebijakan, dan
upaya pengembangan sains di dunia Islam awal lebih merupakan
prinsip dan obsesi pribadi khalifah, seperti al-Ma’mun, sehingga
ketika sang khalifah wafat, kebijakan dan semangat
pengembangan sains tidak diteruskan oleh penggantinya.11
Komaruddin Hidayat menguraikan paling tidak dua hal
yang menyebabkan terhambatnya perkembangan sains dalam
Islam termasuk ilmu-ilmu keislaman itu sendiri. Pertama, prestasi
ilmiah umat Islam pada masa kejayaannya begitu luar biasa dan
tinggi, sehingga perkembangan berikutnya tampak linear dan
stagnan. Umat sesudahnya cenderung tidak melakukan ijtihad dan
inovasi keilmuan. Pengembangan keilmuan lebih menfokuskan
pada penguatan aspek ritual, ibadah, dan dakwah atau dengan kata
lain cenderung untuk memelihara ortodoksi.11 Lebih jauh ia
menjelaskan bahwa pada masa kejayaan Islam abad pertengahan, umat Islam gagal membangun fondasi dan institusi yang kuat dan
professional dalam sains dan filsafat karena disibukkan dengan
pertikaian politik dan kekuasaan.11
D. Dinamika Relasi Sains Modern dan Agama
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi
memiliki hubungan yang sangat penting dengan sains sehingga
pemahaman dan dinamika sains perlu dibahas pada sub bab ini.
Secara historis pada dasarnya sains merupakan unsur yang
sangat melekat pada kehidupan manusia. Sains dimulai dari
pemahaman dan penggunaan yang paling sederhana sampai
kepada konsep yang sangat komplikatif telah mewarnai dinamika
peradaban manusia. Dengan kata lain, sains dalam pengertian
yang tradisional sampai kepada modern menjadi bagian yang
integral bagi perkembangan peradaban dunia. Menurut Lakatos,
sejarah sains tanpa filsafat sains yaitu buta, sedangkan filsafat
sains tanpa sejarah sains yaitu kosong.11 Sejarah sains yaitu
sebagai labor bagi epistemologi.
11 Oleh karena itu, untuk
memahami sains perlu memahami epistemologi yang berkembang
pada masa itu.
Sains Modern menurut Sardar yaitu sains yang
diterapkan dewasa ini yang dimulai sejak masa pencerahan di
Eropa abad ke-1 . Ciri utamanya yaitu mereduksi akal yang
didasarkan pada keyakinan teologis menjadi bersifat mekanistik,
atomistik, dan materialistik.11
Nasr memandang beberapa bentuk dan aliran sains
tradisional seperti Mesir, India dan Cina berbeda dengan sains
yang berkembang dalam Islam dalam konteks dan hubungannya
dengan sains modern di Barat. Ketiga bentuk sains tradisional
ini baik dari materi dan waktu perkembangannya sangat
berbeda jauh dengan sains modern, sedangkan sains Islam
memiliki hubungan dan peran yang sangat jelas dan dekat dalam
hal materi dan waktunya terhadap sains modern Barat.11 Menurut
Nasr, ciri yang menonjol dari sains tradisional yang membuatnya
bermakna dan jelas yaitu prinsip-prinsip metafisika yang
mendasari pengetahuannya.11
Dari sudut pandang epistemologi (filsafat pengetahuan),
sains bertolak dari pengetahuan empiris sehingga kebenaran sains
dapat diukur dan dapat diverifikasi. Berbeda dengan sains, agama
memakai kitab suci sebagai salah satu sumber pengetahuan
termasuk dalam memahami dan meyakini hal-hal yang bersifat
metafisik. Secara filosofis, empirisme kemudian menjadi dasar
berkembangnya aliran empirisme logis atau sering juga disebut
positivisme logis1 . Bagi aliran ini, sebuah pernyataan termasuk
pernyataan terkait pengetahuan dapat diterima dan bermakna
jika dapat diverifikasi secara empiris. Oleh karena itu, aliran
ini menolak pernyataan metafisika karena dianggap tidak
bermakna (meaningless).
Dalam perkembangan pemikiran di Barat, epistemologi
pada masa modern juga memiliki peranan penting dalam
perkembangan peradaban manusia tidak hanya di Barat, tapi juga
termasuk di dunia Islam. Setelah Islam mengalami kemunduran,
perkembangan filsafat dan sains bergeser ke Barat. Barat yang
mengalami kemunduran pada abad pertengahan (the dark of
middle age) kemudian bangkit dari keterpurukan. Pada abad
tengah, agama (Kristen) begitu mendominasi segala aspek
kehidupan sehingga perkembangan ilmu dan filsafat menjadi
terhambat. Pada masa ini, epistemologi yang berkembang yaitu
teosentris. Memasuki abab modern, muncullah beberapa pemikir
Barat yang mencoba mendobrak epistemologi teosentris.
Pendobrak awal abad modern di Barat yaitu Francis Bacon,
Giodarno Bruno, dan Nicollo Machiavelli. Ketiga tokoh ini
merupakan pendukung Revolusi Copernicus yang telah mengkritik
Gereja dengan teori Heliosentrisnya (Matahari sebagai pusat tata
surya), bukan Geosentris seperti yang dipahami gereja
sebelumnya. Bacon melakukan gebrakan dalam bidang filsafat
ilmu, Bruno dalam filsafat ketuhanan, dan Machiavelli dalam
filsafat sosial dan politik.1 Perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat atau secara umum di Barat tentu saja tidak terlepas dari
peran dan pengaruh epistemologi, ilmu, dan filsafat ataupun
peradaban Islam sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh,
perkembangan pemikiran Islam dan ilmu di Andalusia dan
Cordoba telah memberi pencerahan kepada dunia Barat pada
akhir abad pertengahan dan awal abad modern.1
Bagi sebagian besar saintis, sejarah sains merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sains itu sendiri.1 Sejarah dan
filsafat memiliki kesamaan dalam hal objek materi
pembahasannya, meskipun keduanya mempunyai distingsi yang
jelas secara epistemologis. Epistemologi sejarah yaitu
mempertanyakan apa yang telah terjadi dan bagaimana serta
mengapa sesuatu itu terjadi sebelumnya hingga sekarang. Pada sisi
lain, filsafat mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi
hingga saat ini dan bagaimana cara yang terbaik untuk
mengetahui hal ini . Perbedaan antara epistemologi sejarah
dan filsafat ini juga berdampak terhadap perbedaan antara
sejarah sains dan filsafat sains. Sejarah sains hanya fokus pada apa
yang telah berkembang pada sains, sementara filsafat sains fokus
pada apa yang sesungguhnya terjadi pada sains dan bagaimanacara memahami sains dengan tepat.1 Dalam pengembangan dan
inovasi sains termasuk kombinasinya dengan aktifitas dan tradisi
ilmiah merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan
pemahaman filosofis dan sosiologis yang khusus.1 Demikian juga
dengan pemahaman epistemologi yang berkembang pada kurun
waktu tertentu, juga membutuhkan pemahaman yang utuh dan
komprehensif tentang paradigma, kondisi sosio kultural yang
berkembang pada masa ini .
Sains modern yang merupakan warisan dari paradigma
rasionalistik Descartes cenderung memposisikan saintis sebagai
imparsial, pasif dan pengamat langsung terhadap fenomena.1
Pengembangan sains membutuhkan paradigma baru. Paradigma
baru mesti didasarkan atas seperangkat konsep dan nilai baru yang
sesuai dengan masa depan sains itu sendiri. Pemikiran baru
ini harus memiliki beberapa nilai yang penting yaitu human
sentris, sarat nilai, inklusif, holistik, ekologis, dan sintetis.1
Perdebatan tentang relasi sains dan agama merupakan
sebuah tema yang sangat luas dan menarik serta meliputi berbagai
aspek. Aspek pembahasan relasi sains dan agama ini mencakup
mulai dari masalah yang kontroversial seperti yang diangkat oleh
pemikir ateis dan pendukungnya sampai pada persoalan interrelasi
sains dan agama terkait dengan perhatian agama terhadap
lingkungan. Persoalan relasi sains dan agama ini telah
menjadi pembahasan penting sepanjang sejarah dan telah
melibatkan berbagai perspektif dalam agama dan budaya.1
Secara lebih umum relasi modernitas, sekularisme, sains dan agama secara historis dan kultural menurut Taylor mencakup
banyak aspek.1
Perkembangan sains itu sendiri yang begitu cepat dan
berbagai tantangan yang muncul akibat perkembangannya seperti
gerakan menentang evolusionisme menjadikan pembahasan relasi
sains dan agama selalu dinamis dan berkembang.1 Berbagai fakta
yang telah disebutkan di atas menjadi bukti bahwa masalah relasi
sains dan agama yaitu cukup kompleks. Kompleksitas masalah
relasi sains dan agama memerlukan pendekatan yang beragam pula
dalam membahas relasi keduanya. Sejarawan lebih tertarik dan
fokus pada relasi sains dan agama serta dinamikanya yang terjadi
pada masa lampau. Para filsuf mendalami dinamika sains dan
agama berkaitan dengan eksistensi Tuhan, filsafat perenial dan
hubungannya dengan potensi pikiran manusia dan kebebasan
berkehendak, serta epistemologi. Teolog lebih menfokuskan pada
implikasi teologis hubungan sains dan agama. Sosiolog
menganalisis pola-pola kepercayaan dan relasi kekuasaan terkait
dengan hubungan sains dan agama. Sementara itu, para saintis
atau ilmuwan sendiri mempelajari apa implikasi ilmiah yang
mungkin muncul ketika terjadi interaksi dengan keyakinan
agama.1 1
Dalam sejarah perkembangan sains, sains modern dimulai
pada masa pencerahan (enlightenment) yang ditandai dengan
terpisahnya ilmu-ilmu alam (natural sciences) dari filsafat.
Selanjutnya pada abad ke-1 , ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan
(social sciences dan humanities) menjadi disiplin ilmu tersendiri di
berbagai universitas di Barat.1
Ian Barbour membagi empat pola relasi sains dan agama
yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi, sedangkan John
F. Haught membagi menjadi konflik, kontras, kontak, dan
konfirmasi. Tipologi Barbour dan Haught secara garis besar
yaitu sama.
David O. Tolman mengklasifikasikan tiga pandangan
terhadap sains dan agama. Ketiga pandangan ini yaitu
pandangan pro sains, anti sains, dan moderat. Dalam essainya
ini , ketiga pandangan ini direpresentasikan dengan tiga
orang yaitu Steven Weinberg, Bryan Aplleyard dan ia sendiri.
pandangan pertama yang dicontohkan dengan Steven Weinberg,
seorang ahli fisika terkemuka abad ke- , berupaya mendorong
agama ke dalam ranah nilai dan moral sehingga terbebas dari
serangan sains. Pada ranah ini , agama memberi legitimasi
terhadap hal-hal yang sebenranya berbahaya terhadap keilmuan
dan rasionalitas seperti perbudakan. Bahkan lebih jauh lagi, sains
menolak eksistensi Tuhan.
Pandangan anti sains direpresentasikan oleh Tolman
berasal dari perspektif keagamaan, karena menurutnya sebagian
besar penganut agama yang taat boleh jadi anti sains. Salah satu
pandangan anti sains cenderung menganggap bebrapa peristiwa
keajaiban alam sebagai mu’jizat (miracle). Prinsip lain yaitu
kreasionisme yaitu pandangan bahwa alam ini diciptakan oleh
Tuhan dan menentang teori evolusi Darwin. Bahkan Appleyard
menganngap bahwa sains modern menjadi penyebab kerusakan
alam dan pudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu,
Appleyard mengajukan beberapa solusi yaitu environmetalisme,
kembali ke agama ortodoks, dan spiritualitas sains baru.
Pandangan ketiga yaitu pandangan moderate. Pandangan ini
mengakui kebenaran agama dan mengamalkannya serta tidak
menafikan pentingnya pengembangan sains.1
Hannan Reinen secara garis besar menyimpulkan bahwa
relasi sains dan agama dalam konteks sosiologi dalam beberapa
posisi. Pertama, agama sebagai salah satu dari sumber pemikiran
ilmiah. Kedua, pada posisi sains yang mapan, agama paling tidak
menurut pandangan saintis sebagai suatu yang inferior. Ketiga,
ketika sains tidak dapat menggantikan dengan sempurna peran
dan posisi agama, maka pentingannya agama semakin
mengemuka. Keempat, jika sikap positif muncul mengarah
pada berbagai makna terhadap agama, para saintis akan menyadari
pentingnya sains dan agama.
Dua pendekatan utama tentang sejarah relasi sains dan
agama di Barat yaitu konflik dan harmoni yaitu pandangan yang
cenderung sebagai sebuah penyederhanaan yang berlebihan
(oversimplified). Pandangan oversimplikasi ini termasuk
kasus pertentangan antara Galilei dengan gereja. Konflik dan
harmoni antara sains dan agama pada dasarnya tidaklah terjadi
sepanjang waktu, namun relasi ini terjadi pada masa-masa
tertentu. Dengan kata lain, relasi sains dan agama sepanjang
sejarah yaitu lebih kompleks dan lebih beragam dari relasi
konflik dan harmoni saja seperti pemisahan, integrasi, dialog dan
subordinasi.1
Stefano Bigliardi mengkritik dan menganalisis empat
kategori relasi sains dan agama menurut Ian Barbour yaitu
konflik, independen, dialog, dan integrasi. Konflik digambarkan
Barbour secara tidak seimbang antara sains, pra sains, dan
keyakinan atau agama. Penjelasan tentang independen tidak
memuaskan terkait dengan pengalaman keagamaan dan
interpretasi pengalaman. Pada kategori dialog dan integrasi
ada upaya Barbour untuk melakukan sintesis metafisik dari
kontribusi sains dan agama. 1
Sains Barat dan teologi Kristen secara historis yaitu dua
tradisi yang berlawanan, antagonistik dan tidak dapat
direkonsiliasi. Konflik antara mentalitas keagamaan dan
pandangan ilmiah yaitu narasi umum yang terjadi dalam sejarah
Barat. Agama didasarkan pada keyakinan sedangkan sains
didasarkan pada fakta yang dapat diverifikasi dan metode rasional
yang ketat. Secara lebih tegas, Franklin Gamwell menyebut sains
dan agama di Barat sebagai dikotomi yang tidak dapat
dipertemukan (the unbridgeable dichotomy
Sains modern pada awalnya dianggap sebagai ancaman
bagi agama khususnya gereja, karena berbagai temuan dan teori
yang dikembangkan oleh saintis diantaranya ada yang
bertentangan dengan konsep dan pemahaman gereja pada masa
itu. Salah satu saintis yang kritis terhadap pemahaman gereja pada
masa awal sains modern yaitu Johannes Keppler. Ia pada
dasarnya berupaya memahami agama (Kristen) tidaklah
bertentangan dengan sains, bahkan baginya interrelasi agama dan
sains yaitu saling melengkapi (complementary). Interaksi sains
dan agama pada dasarnya bersifat konstruktif dan bernilai. Sains
bersifat dinamis dan berkembang secara tetap, sementara agama
dalam beberapa hal juga bersifat dinamis. Oleh karena itu, pada
dasarnya sangat memungkinkan terjadinya interaksi dan saling
melengkapi antara sains dan agama. Pemikiran keagamaan
Keppler ini mempunyai kontribusi yang positif terhadap
perkembagan sains modern pada masa awal pemikirannya tentang
relasi Tuhan, manusia, dan alam. Tuhan yaitu pencipta, manusia
yaitu yang mengetahui, dan alam yaitu yang diketahui.
Manusia dan alam sangat terkait dan tergantung pada Tuhan
karena keduanya merupakan gambaran (image) dari Tuhan.1
Dalam perkembangan sains di Barat pada abad
pertengahan dan modern, perdebatan tentang pola hubungannya
dengan agama seolah-olah tidak berhenti. Masing-masing pihak
baik dari kalangan saintis maupun teolog, termasuk juga filosof
berupaya untuk memperkuat pola hubungan relasi dan agama yang
diyakini kebenarannya. Sebelum renaissance
1
agama begitu
mendominasi sehingga perkembangan sains menjadi terhambat.
Sebaliknya, sejak renaissance, perkembangan sains begitu pesat
dan mendominasi kehidupan manusia sehingga agama seolah-olah
terpinggirkan dan bahkan beberapa konsep agama termasuk Tuhan
ditolak keberadaannya. Dalam konteks teologi dan filsafat, pergulatan relasi agama dan sains menjadi salah satu penyebab
munculnya atheisme1 dan saintisme.1 1
Setelah enlightenment, sebagian besar agamawan
berupaya keras untuk merekonstruksi posisi agama di tengah
dominasi pandangan ilmiah yang begitu luas. Dalam menghadapi
perkembangan dan tantangan sains, sebagian mengambil posisi
defensif dengan cara berupaya untuk mempertahankan paham
keagamaan. Posisi selanjutnya yaitu mempertentangkan agama
dan sains serta menjadikan sains dan akal lebih rendah dari wahyu.
Model berikutnya yaitu meletakkan agama dan sains sebagai dua
ranah yang berbeda dan tidak dapat disetarakan. Posisi terakhir
yaitu memahami sains dan agama sebagai dua hal yang sejalan
dan sains membantu membuktikan kebenaran agama.1
Konflik sains dan agama lebih merupakan perbedaan
pandangan terhadap dasar agama dan keyakinan serta budaya yang
didasarkan atas pengetahuan yang sangat terbatas, sementara
sains didasarkan pada aturan logis dan verifikasi eksperimen.
Banyak aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dijelaskan oleh
teori-teori ilmiah dan hal itu menjadi ranah keyakinan sosial dan
agama.
Berdasarkan atas teori ideologi yang berlandaskan
pemikiran Dan Sperber, Agama dan sains dapat dikategorikan
sebagai ideologi. Sperber membedakan pengetahuan/kepercayaan
reflektif dan intuitif. Pengetahuan intuitif yaitu bebas dari
ideologi karena didasarkan atas persepsi langsung atau
penyimpulan yang sangat sederhana. Sains dan agama keduanya
merupakan pengetahuan reflektif sehingga dapat dikategorikan
sebagai ideologi meskipun tingkatannya berbeda. Sains
mempunyai otonomi yang berarti teori ilmiah tidak dapat
dibantah oleh argumen non ilmiah termasuk agama. Dalam hal ini,
sains merupakan sebuah konteks metarepresentasi yang tidak
dapat dipertanyakan atau memiliki otoritas. Otoritas sains berbeda
dengan otoritas teologi. Kebenaran teologi bersifat statis dan
tidak dapat dipertanyakan, sedangkan kebenaran sains selalu
berpeluang untuk dipertanyakan. Prinsip otonomi sains yaitu
tetap pada sikap kritis, bukan sikap menolak.1
Colin A. Russell mengemukakan bahwa konflik antara
sains dan agama di Barat (biasanya dengan Kristen) merupakan
dampak langsung dari persoalan yang terkait dengan pemikiran
Galileo Galilei dan Charles Darwin. Konflik ini menurutnya
terjadi pada ranah epistemologi, metodologi, etika, sosial.1 Lebih
jauh Colin menguraikan tentang kelemahan-kelemahan pandangan
yang menganggap adanya konflik antara sains dan agama.
Kelemahan ini yaitu terhambatnya kemungkinan adanya
relasi lain antara sains dan agama, terabainya beberapa bukti
adanya kedekatan sains dan agama, terabainya beberapa beberapa
kemajuan sains dan agama, pembatasan terhadap beragamnya ide
dalam agama dan sains, memicu munculnya pandangan yang
bersifat menyimpang (distortive) terhadap pertentangan antara
sains dan agama, serta berhenti hanya pada masalah minor
perbedaan pandangan ketimbang konflik yang lebih besar.1
David Ray Griffin mengklasifikasikan konflik antara sains
dan agama ke dalam tiga bentuk dasar. Pertama yaitu sains menyalahkan keyakinan agama yang terkait dengan fakta-fakta
tertentu seperti konsep penciptaan alam yang ada dalam kitab suci
(Bible). Kedua yaitu konflik terhadap konsep yang lebih luas
yaitu pandangan naturalistik sains dan supra naturalistik agama.
Konflik bentuk kedua ini lebih dalam dan berada di belakang
konflik bentuk pertama. Konflik bentuk ketiga yaitu pandangan
para saintis tidak hanya terbatas pada konsep naturalisme tapi
lebih jauh dari itu dalam bentuk pandangan yang bersifat
materialistik, ateistik dan sensasionistik yang semuanya
berhadapan langsung dengan pandangan teistik agama maupun
filsafat.
1
Dalam sejarah sains, pertentangan dan perbedaan
pandangan terhadap sains, sains semu dan non sains sering terjadi
dengan pengetahuan dan keyakinan dalam agama yang hampir
tidak diterima sebagai pengetahuan ilmiah.
1 Konflik yang sangat
jelas muncul dipermukaan antara sains dan agama dalam sejarah
yaitu dalam persoalan eksistensi Tuhan. Agama meyakini
tentang eksistensi Tuhan, sementara sains secara empirik tidak
dapat memberi penjelasan yang memadai tentang eksistensi
Tuhan. Filsafat terutama prinsip kausalitas memberi kontribusi
yang sangat signifikan untuk terjadinya dialog antara sains dan
agama.1
Pandangan bahwa agama bertentangan dengan sains
memiliki dasar anggapan yang lemah. Dalam konteks Kristen di
Eropa, hanya ada dua contoh konflik antara agama dan sains
yaitu kasus Galileo Galilei dan Evolusi Darwinisme. Untuk kasus
pertama yaitu sebuah kesalahpahaman dan Gereja pada masa
Paus Yohannes Paulus II secara resmi telah mengakui kesalahan
karena mengutuk Galileo Galilei. Oleh karena itu, meskipun gereja mengaku salah dalam hal ini , tidaklah tepat jika kasus satusatunya ini dikonstruksi sebagai permusuhan gereja terhadap
sains. persoalan sesungguhnya yang terjadi di Barat yaitu bukan
konflik prinsipil antara sains dan agama melainkan perkembangan
suatu rasionalitas ilmiah yang semakin berat sebelah dan tertutup
terhadap dimensi makna dan nilai. Sedangkan teori evolusi
Darwin memang benar-benar bertentangan dengan konsep yang
diyakini agama meskipun masih terbuka peluang bagi pemikir dan
ilmuwan untuk merekonstruksi pemahaman agama dalam konteks
ini.1 Pandangan bahwa konflik sains dan agama tidak dapat
dihindari dan tidak dapat direkonsiliasi yaitu bersifat
simplifikasi.
Pertentangan atau perbedaan agama dan sains berakar
pada perbedaan etika keduanya. Agama menuntut sikap
penerimaan yang teguh, tanpa ragu dan pasti, sedangkan sains
didasarkan pada skeptisisme dan sikap tidak berkepentingan
(disinterestedness) dari hasil kegiatan ilmiah selain nilai ilmiah itu
sendiri. Pertentangan antara sains khususnya sains alam dengan
agama telah berlangsung begitu lama, meskipun dewasa ini sudah
sangat jarang terjadi. Pertentangan antara agama dan sains dewasa
ini lebih banyak terhadap sains sosial. Pertentangan itu justru
lebih disebabkan karena persaingan agama dan ilmu sosial dalam
menjelaskan kenyataan.1 1
Survey di Amerika menunjukkan tiga perspektif besar
dalam memandang relasi sains dan agama. Ketiga perspektif
ini yaitu tradisional ( %), Modern ( %), dan Post
Secular ( 1%). Kelompok tradisional memandang bahwa agama
lebih utama dan penting dari pada sains. Pandangan modern
melihat bahwa agama dan sains bertentangan. Post secular melihat
agama dan sains sebagai dua hal yang tidak bertentangan dan
bahkan harmoni. Hal yang menarik dari perspektif ketiga ini
yaitu dasar dari pandangan mereka. Mereka mendasarkan
pandangannya lebih kepada akar pemahaman keagamaan dari pada
arus utama sains.
Kebenaran relatif pada ilmu dan kebenaran absolut pada
agama sering sering kali dibenturkan. Meskipun kebenaran ilmu
sangat mengesankan, namun ia tidak akan menyamai kebenaran
agama yang bersifat absolut dan abadi.1 Pandangan demikian
juga termasuk mempertentangkan antara agama dan sains.
Memang secara historis dan faktual mesti diakui bahwa relasi
sains dan agama pernah berjalan tidak harmonis seperti yang
terjadi di Barat. Coyne memandang bahwa sains dan agama tidak
cocok karena keduanya memiliki perbedaan metode untuk
mengetah