n akan menyiksa orang kafir. Allah tidak berbohong atas apa
yang telah disampaikan-Nya.
Menurutnya Allah tidak bersifat zalim meskipun ia menciptakan
kezaliman sebab Ia menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Ia mengatakan
bahwa perbuatan jahat terjadi berdasarkan qada dari Allah sebab
Allah yang menciptakannya. namun Allah tidak bersifat jahat sebab ia
menciptakannya bukan untuk diri-Nya.35 Pandangan yang demikian
tampaknya merupakan konsukuensi dari ketidakmampuannya lari dari
konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Itulah tampaknya yang
membuat al-Asy’ari memahami keadilan Tuhan sebagai Allah pemilik yang
berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya dan menggunakannya
sesuai pengetahuan dan kehendak-Nya.
Menurut al-Baqillani, Allah memakmurkan orang yang diciptakan-
Nya dan melindungi orang-orang yang menaati-Nya. Ia tidak memberi
pertolongan terhadap pelaku maksiat. Ia memberikan kebaikan, keburukan,
keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan, kesenangan, kesusahan,
kesehatan, penyakit, petunjuk, dan kesehatan kepada semua hamba-Nya
sebagai keadilan-Nya. Ia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-Nya
sesuai dengan firman-Nya ”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-
Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. 21: 23). Dalam ayat lain
dikatakan ”Katakanlah: Allah memiliki hujjah yang jelas lagi kuat, maka
jika Dia menghendaki pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semua. (QS.
6: 149).
Di akhirat Allah swt. akan membangkitkan kembali semua manusia
dengan menghidupkan mereka untuk menentukan dan menimbang amal
mereka. Ia juga menyediakan surga dan neraka. Semua itu merupakan
keadilan-Nya. Meskipun Allah akan melindungi orang yang ditaatinya,
menurut al-Baqillani ketaatan janganlah sebab mengharapkan pahala
sebagaimana suatu perbuatan dipandang maksiat bukan sebab adanya
siksa. Allah tidak wajib memberikan pahala kepada seseorang. Apa
yang diperintahkan Allah kepada manusia merupakan kewajiban bagi
mereka. Sementara ia sendiri tidak memiliki kewajiban. Tidak seorang
pun diantara manusia yang dapat memberikan kewajiban kepada-Nya.
Kewajiban hakikat-Nya yaitu mendapat celaan jika meninggalkannya.
Allah swt. terlepas dari celaan.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa pahala sebab dari Allah, bukan
semata-mata sebab amal seseorang sesuai dengan ayat ”Agar Allah memberi
pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-
Nya.” (QS. 30: 45) Dalam ayat lain dikatakan ”Dan sekiranya tidaklah sebab
karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada kamu semua.”(QS. 24: 20).
Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi saw. mengatakan: ”Seseorang
tidak masuk surga sebab amalnya. Ditanya lagi, termasuk engkau (Nabi)
juga tidak? Nabi menjawab termasuk saya, kecuali Allah melimpahkan
rahmat-Nya.”
Pandangan diatas menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan pahala dan siksa, al-Baqillani masih terikat pada konsep
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurutnya, Allah mengutus
Rasul dan Nabi sebab Ia yaitu penguasa yang berbuat sekehendak-Nya. Ia
juga menciptakan mu’jizat untuk menunjukkan kebenaran ajaran Nabi dan
Rasul sebagaimana Nabi Musa as. datang pada zaman dengan mengubah
tongkat menjadi ular. Nabi Isa datang pada zaman berkembangnya ilmu
pengobatan. Ia dapat menghidupkan orang mati, menyembuhkan kebutaan
dan penyakit kusta. Nabi Muhammad saw. datang pada saat berkembangnya
syair. Ia membawa al-Qur’an yang mengalahkan segala bentuk syair dan
sastra ini . Mu’jizat para Nabi itu semua yaitu perbuatan Allah yang
diluar kebiasaan.
Al-Baqillani mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini
yaitu atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Orang mukmin tidak akan
beriman kecuali atas kehendak-Nya. Demikian pula orang kafir tidak
akan menjadi kafir kecuali sebab dikehendaki-Nya. Dengan demikian ia
berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah yang memandang Allah hanya
menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi
bukan atas kehendak-Nya.
Al-Baqillani mengemukakan bebarapa argumen untuk mendukung
pendapatnya, seperti firman Allah:
)١١٨( نَيفِلِتَخْمُ نَوُلازَيَ �لَوَ ۖ ةًدَحِاوَ ةً َّمأُا سَاَّنلا لَعَجََل كَُّبرَ ءَاشَ وَْلوَ
)١١٩( ۗ مْهُقَلَخَ كَِلٰذَِلوَ ۚ كَُّبرَ مَحِرَ نْمَ �َّلِإا
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, namun senantiasa berselisih pendapat”. (QS. 11: 118), “Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka”. (QS. 11: 119).
Menurut al-Baqillani bahwa jika menghendaki, Dia pasti dapat
menjadikan semua manusia beriman atau kufur dan sesat. Ayat itu
betolak belakang dengan kaum Mu’tazilah yang memandang bahwa Allah
swt. hanya menghendaki semua manusia beriman. Justru Allah sendiri
mengatakan bahwa ia menghendaki dan menjadikan mereka berbeda sesuai
dengan ayat-Nya ”Mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS. 11: 118), dan
Allah sendiri tidak menghendaki mereka menjadi satu umat sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat-Nya ”Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu.” (QS. 11: 119) sebab Ia hanya ingin merahmati sebagian dari
mereka.
Dalam ayat lain Allah mengisyaratkan bahwa hidayah terjadi atas
kehendak-Nya dan kesesatan terjadi juga atas kehendak-Nya, sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya,
لْعَجْيَ هَُّلضِيُ نْأَا دْرِيُ نْمَوَ ۖمِالَسْ ِإالِْل هُرَدْصَ حْرَشْيَ هُيَدِهْيَ نْأَا هَُّللا دِرِيُ نْمَفَ
اجًرَحَ اقًِّيضَ هُرَدْصَ
“Barang siapa yang hendak diberikan Allah kepadanya petunjuk niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk memeluk Islam. Dan barang siapa
yang dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Ia menjadikan dadanya
sesak lagi sempit”. (QS. 6: 125).
Disamping itu, Allah mengatakan bahwa Allah menciptakan sebagian
jin dan manusia untuk dimasukkan ke dalam neraka, sesuai dengan firman-
Nya: “
ۖ سِْن ِإ�لْاوَ ِّنجِْلا نَمِ ارًيثِكَ مََّنهَجَِل اَنْأارَذَ دْقََلوَ
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka Jahannam
kebanyakan dari Jin dan manusia” (QS. 7: 179).
Di samping itu dalam ayat yang lain,
ءٍيْشَ َّلُك مْهِيْلَعَ اَنرْشَحَوَ ٰىتَوْمَْلا مُهُمََّلكَوَ ةَكَِئالَمَْلا مُهِيَْلِإا انَْل َّزَن انََّنأَا وَْلوَ
هَُّللا ءَاشَيَ نْأَا �َّلِإا اونُمِؤْيُِل اوُناكَ امَ الًبُُق
“Kalau sekiranya kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-
orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan
pula segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak juga akan
beriman, kecuali jika Allah menghendaki”. (QS.6: 111).43
Menurut al-Baqillani berdasarkan ayat di atas Allah memberitahukan
bahwa orang yang dikehendaki-Nya beriman dapat beriman dan orang yang
dikehendaki-Nya kafir tidak dapat beriman sebab ia ingin menyesatkannya,
sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya,
ۚ ائًيْشَ هَِّللا نَمِ هَُل كَلِمْتَ نْلَفَ هُتَنَتْفِ هَُّللا دِرِيُ نْمَوَ
“Barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka berkali-kali
kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun yang datang dari Allah”.
Disamping itu Allah mengatakan dalam salah satu ayat-Nya: ”Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah semua orang yang di muka bumi
beriman.” (QS. 10: 99). namun orang-orang kafir ditetapkan Allah dihati
mereka kekafiran, seperti disebut dalam ayat ”Mereka itu yaitu orang-
orang yang Allah tidak ingin mensucikan hati mereka.” (QS. 5: 41).
Selanjutnya al-Baqillani mengemukakan hadis Nabi yang diriwayatkan
dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar dari bapaknya, dari Nabi saw., bahwa saat
seseorang mendatangi Rasulullah dan bertanya soal iman, Rasul menjawab
sebagai berikut: ”Iman kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya dan kitab-
kitab dan nabi-nabi dan beriman kepada qadar.”
Berdasarkan hadis di atas, ia berpandangan bahwa semua yang
terjadi yaitu berdasarkan qada dan qadar Allah. Allah membahagiakan
orang yang dikehendaki dan ditetapkan-Nya bahagia, dan menyengsarakan
orang yang dikehendaki dan ditetapkan-Nya sengsara. Dalam pada itu,
kaum muslimin sejak masa sahabat sepakat mengatakan bahwa apa yang
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.
Namun demikian, menurut al-Baqillani kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan yang demikian tidaklah menghilangkan ikhtiar manusia
sehingga mereka terpaksa dalam melakukan perbuatannya sebab qadar Allah
di dalam perbuatan ikhtiyariyah manusia hanyalah untuk menetapkannya
(yuhaqqiq ikhtiyarih) dan ia mengetahui perbuatan-perbuatan manusia
sesuai dengan pilihan manusia sendiri.
Dengan demikian al-Baqillani telah sampai pada pandangan bahwa
manusialah yang menentukan dan memilih perbuatannya baik atau buruk.
Pengertian bahwa Allah menciptakan perbuatan manusia dengan demikian
mengandung arti bahwa Ia menyesuaikan penciptaan itu dengan pilihan
manusia. Oleh sebab itu, al-Baqillani tampaknya telah dekat dengan
paham kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat dalam teologi
Mu’tazilah.
Berdasarkan akal dapat dipahami bahwa jika di dalam kekuasaan
seorang raja terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya maka hal itu
menunjukkan kekurangan dan kelemahan raja ini . Allah swt.
disifati dengan sifat-sifat yang sempurna. Oleh sebab itu, tidak terjadi
didalam kekuasaan-Nya sesuatu yang menunjukkan kekurangan dan
kelemahan. Berkaitan dengan itu, maka ayat ”Dan Allah tidak menyukai
kebinasaan”(QS. 2: 205) menurut al-Baqillani memiliki pengertian
bahwa Allah tidak memberi pahala atas kerusakan, tidak memujinya, dan
tidak memerintahkan orang melakukan kejahatan.48 Dengan demikian
Allah tidak meridhai perbuatan jahat. Pandangan ini tidak membawa
pengertian bahwa meskipun perbuatan jahat terjadi atas kehendak Allah,
namun tidak setiap yang dikehendaki-Nya disukai-Nya. Berkaitan dengan
itu, dapat dikemukakan ilustrasi bahwa seorang anak yang membelanjakan
harta pemberian ayahnya kejalan yang tidak baik, tidak dapat dikatakan
bahwa ayahnya ini menyukainya. Berkaitan dengan itu, maka tidak
setiap yang dikehendaki Allah berarti disukai-Nya. Allah tidak menyukai,
tidak memuji, dan memberi pahala atas perbuatan jahat meskipun terjadi
menurut kehendak-Nya.
Pandangan yang demikian membawa pengertian, bahwa Allah tidak
zalim jika menghukum orang yang berbuat jahat sebab perbuatan jahat
bukan merupakan perbuatan yang disukai-Nya.
Al-Baqillani menentang pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan
syirik bukan atas kehendak Allah,50 berdasarkan firman-nya,
نْمِ انَمْ َّرحَ �لَوَ اَنؤُابَآا �لَوَ انَكْرَشْأَا امَ هَُّللا ءَاشَ وَْل اوُكرَشْأَا نَيذَِّلا لُوقُيَسَ
مْهِلِبْقَ نْمِ نَيذَِّلا بَ َّذكَ كَِلٰذَكَ ۚ ءٍيْشَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan nanti akan mengatakan.
Jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak kami tidak mem-
persekutukan-Nya dan tidak pulalah orang-orang sebelum mereka telah
mendustakan para Rasul”.(QS. 6: 148).
Ayat ini diatas justru menunjukkan kebohongan orang-orang
yang musyrik yang hendak mengolok-olok Rasulullah. Pada ayat berikutnya
Allah berfirman:
نَيعِمَجْأَا مُْكادَهََل ءَاشَ وْلَفَ ۖ ةُغَِلابَْلا ةُ َّجحُْلا هَِّللِفَ لُْق
“Katakanlah Allah memiliki hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika
Dia menghendaki pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”.
(QS.6: 149).
Dengan demikian, jelas bahwa syirik juga terjadi atas kehendak Allah.
Namun sebagaimana perbuatan jahat lainnya tentu syirik juga bukan
merupakan perbuatan yang disukai-Nya.
Al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa al-jin dan al-ins yang
ada dalam ayat ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51: 56) maksudnya hanyalah sebagian
jin dan sebagian manusia sebab kebanyakan jin dan manusia mati sebelum
sampai batas taklif.
Di dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman ”Sesungguhnya
kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram insya Allah.” (QS. 48: 27).
Menurut al-Baqillani maksud ayat itu yaitu sebagian orang, tidak
semuanya sebab ada diantara orang mukmin yang mati sebelum masuk
ke Masjidil Haram. Untuk memperkuat argumen-argumen di atas, ia
mengatakan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada sebagian orang
agar taat kepada-Nya dan menyesatkan sebagian yang lain sesuai dengan
firman-Nya ”Sebagian diberi-nya petunjuk sebagian lagi telah pasti kesesatan
bagi mereka.’’(QS. 7: 30)
Dalam ayat yang lain jelas Allah swt. Mengatakan ”Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari Jin dan Manusia.”
(QS. 7: 179). Menurut al-Baqillani yang dimaksud dengan Jin dan Manusia
dalam ayat itu yaitu mereka yang tidak taat.54 Dengan demikian ketaatan
dan ketidaktaatan terjadi atas kehendak Allah. Namun ketidaktaatan yaitu
perbuatan yang tidak disukai-Nya.
Kaum Mu’tazilah dengan berpedoman kepada firman Allah “Jika
kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan imanmu dan dia
tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.”(QS. 39: 7) berpandangan bahwa
kekafiran terjadi tidak atas kehendak Allah sebab Allah hanya menghendaki
ketaatan.
Menurut al-Baqillani, jika dikatakan demikian redaksinya yaitu
wala yarda li ahad al-kufr atau wala yarda lakum al-kurf sebab lafaz al-
‘ubudiyya yang dihubungkan dengan Allah dalam ayat ini tujuannya
hanyalah khusus bagi hamba-Nya yang mukmin, tidak termasuk orang-
orang kafir sebagaimana firman-Nya. ”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku
tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka.” (QS. 15: 42). “Hai hamba-
hamba-Ku tiada kekuatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu
bersedih hati.” (QS. 43: 68). Dalam ayat lain disebutkan “Mata air dalam
surga yang dari padanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat
mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS. 76: 6).
Dengan demikian, bagi al-Baqillani yang dimaksud dengan hamba-
hamba-Nya dalam ayat di atas yaitu orang mukmin, bukan orang-orang
kafir. Oleh sebab itu, wala yarda li ‘ibadihi al-kufra maksudnya yaitu
Allah tidak menghendaki bagi orang mukmin kekafiran. Dengan kata
lain, Dia hanya meridhai keimanan bagi mereka. Jika Allah ridha terhadap
sesuatu berarti Dia memuji orang kafir dan tidak dan memberikan ganjaran
atau pahala. Allah tidak memuji orang kafir dan tidak memberi pahala
kepadanya. Oleh sebab itu, Ia tidak meridhainya.56 Dalam pandangan al-
Baqillani semua yang terjadi, baik maupun buruk, benar atas kehendak
Allah, namun hanya menyukai yang baik-baik saja.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa meskipun orang yang berbuat
maksiat dan kafir itu berdasarkan qada’ dan qadar Allah dan ia pula yang
menciptakannya dengan iradat-Nya, namun qada’ dalam konteks ini tidak
berarti bahwa dia memerintahkan untuk melakukannya kemudian dia
meridhainya.
Menurut al-Baqillani, al-qada’ terbagi kepada beberapa macam.
Petama, qada’ dalam arti al-khalq seperti disebutkan dalam ayat ”Maka dia
menjadikan tujuh langit dalam dua masa. “(QS. 41: 12). Kedua, qada dalam
arti al-taslid wa al-khalq disebutkan dalam ayat: ”maka tatkala kami telah
menetapkan kematian Sulaiman.” (QS. 34: 14).
Ketiga, qada dalam arti al-ikhbar wa al-i’lam seperti dalam ayat: “Dan
telah kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab itu: Sesungguhnya
kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali.” (QS. 17: 4).
Keempat, qada’ dalam arti al-amr seperti firman-Nya “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. “(Q.S 17:
23). Kelima, qada’ dalam arti al-hukm wa al-ilzam sebagaimana jika
dikatakan fainna Allah qada al-maasi wa al-kufr, artinya aradahu, wa
khalakahu, waqadarahu, yaitu dia menghendakinya menciptakannya,
dan menentukannya. namun bukan berarti memerintahkan. Al-Baqillani
mengatakan bahwa semua yang ada di alam ini Allah yang menciptakannya.
Dengan kata lain semua yang terjadi yaitu qada’ dan qadar-Nya.
Dalam menanggapi pandangan kaum mu’tazilah yang mengatakan
tidak baik jika Allah menciptakan dan menghendaki kekafiran atau maksiat
kemudian Dia sendiri melarangnya. Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah
telah mengetahui orang kafir itu akan menjadi kafir. Oleh sebab itu, Allah
menciptakan kekafiran itu padanya. Meskipun demikian, Allah melarang
sebagaimana menyakiti Rasul dan orang Mukmin namun Dia menciptakan
penyakit dan kematian pada mereka.
Menurutnya, Allah menciptakan dan menghendaki sesuatu kemudian
melarangnya yaitu baik, tidak buruk, sebab ukuran baik dan buruk itu
yaitu perintah-Nya. Jika sesuai dengan perintahnya, maka sesuatu itu baik,
jika tidak berarti buruk. Semua perbuatannya, perintahnya, dan larangannya
yaitu baik. Dia yaitu penguasa, tidak ada penguasa di atasnya yang
memerintah dan melarangnya. Allah tidak meminta pertanggungjawaban
atas perbuatannya namun manusialah yang bertangung jawab kepadanya,
sebagaimana difirmankan dalam ayat al-Qur’an “Dia tidak ditanya tentang
apa yang diperbuatnya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. 21: 23).60
Dengan demikian, bagi al-Baqillani keadilan Tuhan tidak diukur
berdasarkan kepentingan manusia, semua perbuatannya yaitu
keadilannya. Baginya Tuhan tidak zalim dalam menghukum orang yang
berbuat jahat sebab meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan syirik, atas
kehendaknya namun perbuatan-perbuatan jahat ini tidak disukainya
dan Ia tidak memberikan perintah untuk melakukannya.
Al-Baqillani berbeda dengan al-Asy’ari dalam memahami keadilan
Tuhan. Al-Asy’ari menemui jalan buntu sebab ia hanya berpegang pada
konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga pandangannya
tentang keadilan Tuhan membawa kesan bahwa Allah zalim dalam
menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara itu al-Baqillani pergi
jauh dengan mengemukakan konsep ridhanya dan perintahnya, sehingga
Allah tidak zalim jika menghukum orang yang jahat sebab perbuatan jahat
bukan merupakan perbuatan yang diperintahkan dan diridhainya.
A. Melihat Tuhan
Ada tiga terma yang bermakna “melihat” dalam Al-Qur’an yang perlu
dibatasi guna memberikan pemahaman yang utuh tentang makna melihat
Tuhan. saat terma ini yaitu nadzhara, ra’a dan abshar.
1. Nazhara
Kata nazhara dapat berarti melihat dengan mata (al-nazhar bi al-‘ain);
menunggu (al-intizhar); ada pula yang berarti melihat dengan hati (al-qalb);
menalar dengan cara mempertimbangkan (al-tadabbur); merenungkan (al-
ta’ammul) dan melihat atau menyelidiki (al-bahts). Menurut al-Raghib, kata
nazhar berarti “mengarahkan penglihatan atau pikiran untuk mengetahui
atau melihat sesuatu”.
Frase nazhara ila bermakna melihat dengan mata sedangan nazhara
fiy bermakna berpikir. Kata al-nazhar arti aslinya berhadapan (al-
muqabalat). Pemakaian kata al-nazhar yang berarti melihat atau berpikir
dalam Al-Qur’an maksudnya yaitu menghadapkan penglihatan atau
pikiran terhadap sasaran tertentu. Menurut Ibn Manzhur, kata al-nazhar
berarti aktifitas indra penglihat, baik dengan mata maupun hati (min nazhr
al-‘ayn wa nazhr bi al-qalb) atau memikirkan sesuatu sesudah melihat obyek
(ta’ammul al-sya’i bi al-‘ayn).
Terma nazhara yang berkaitan dengan melihat Tuhan dijelaskan dalam
QS. al-Qiyamah (75):20-22. Ayat ini menjelaskan bahwa manusia
beriman dapat melihat Tuhan sebagai satu bentuk kenikmatan dalam syurga
yang indikasinya dengan wajah berseri-seri.
2. Al-Ru’yat
Kata al-ru’yat merupakan masdar dari ra’a yang artinya melihat dengan
mata (bi al-‘ayn) atau dapat pula berarti melihat dengan hati (qalb). Al-ru’yat
dapat berarti ilmu pengetahuan (al-‘ilm) sebagai hasil proses berpikir atau
melihat dengan mata dan akal.
Terma al-Ru’yah yang berhubungan dengan melihat Tuhan ada
dalam QS. al-A’raf (7):143. Ayat ini yaitu sebuah ayat yang bersifat
dialogis antara Nabi Musa dengan Allah Swt yang berisi tentang keinginan
Nabi Musa untuk dapat melihat Tuhan.
3. Abshar
Kata abshar merupakan bentuk jamak dari kata kerja bashura atau
bashira yang berarti asal melihat dengan mata. Kata ini juga berarti mata
atau pemandangan yang tajam (hassat al-nazhar).
Kata al-bashar dan al-bashirat dipergunakan untuk menunjukkan
daya akal (al-qalb) untuk memahami sesuatu (berpikir). Al-Bashar yaitu
aktifitas mata melihat (hiss al-‘ain), berpikir (nazhar), lubuk hati (nafaz fiy
al-qalb). Sedangkan kata al-bashirat berarti ketetapan hati (aqidah al-qalb).
Dapat juga berarti kecerdasan (al-fathanat) atau ilmu pengetahuan.
Term abshar yang bertalian dengan melihat Tuhan ada dalam QS.
al-An’am (8):103. Ayat ini memberikan penjelasan yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak dapat dicapai dengan penglihatan.
Ketiga ayat di atas merupakan dalil naqli yang menjadi obyek perdebatan
dikalangan aliran-aliran teologi. Menurut aliran Mu’tazilah, Tuhan tida bisa
dilihat di akhirat dengan mata kepala, sebab Tuhan bersifat immateri. Yang
dapat dilihat dengan mata kepala hanya sesuatu yang bersifat materi.
Tuhan bersifat rohani dan tidak jasmani maka menurut akal, Tuhan tak
dapat dilihat dengan mata kepala.2 Mu’tazilah dengan semangat berapi-api
menolak, kemungkinan melihat Allah dengan mata. Mereka percaya bahwa
hanya dapat beriman kepada Allah, iman yang berakar dalam hati dan akal.
Artinya dilubuk jiwa dan pikirannya orang dapat memiliki keyakinan yang
kuat akan eksistensi Tuhan. Dan inilah tingkat iman yang paling tinggi yang
dapat dimiliki seseorang. Allah sama sekali tak mungkin dapat dilihat.3
Dasar yang dijadikan alasan dalam al-Qur’an surah al-An’am: 103.
رُيبِخَْلا فُيطَِّللا وَهُوَ رَاصَبْأَ �لْا كُرِدْيُ وَهُوَ رُاصَبْأَ �لْا هُُكرِدُْت �لَ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.”4
Sedangkan kaum Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah dapat dilihat
dengan mata pada hari kebangkitan. Kaum Asy’ariyah juga mengutip
ayat-ayat al-Qur’an untuk memperkuat klaim mereka. Salah satu ayat yang
mereka pegangi yaitu surah al-Qiyamah: 22-23.
ةٌرَضِاَن ذٍئِمَوْيَ هٌوجُوُ )( ةٌرَظِاَن اهَِّبرَ ىَلِإا
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat.”
Para mutakallim berbeda pendapat tentang melihat Allah dengan
penglihatan mata. Sebagian beranggapan bahwa di dunia ini bisa melihat
Allah dengan penglihatan mata. Sebagian lagi beranggapan boleh-boleh
saja Allah itu menyatu pada suatu jism
Sedangkan menurut Syiah, Allah tak akan pernah dapat dilihat dengan
mata, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Namun, tingkat keyakinan
yang paling tinggi bukanlah keyakinan akal. Keyakinan akal yaitu ilmu
yaqin. Tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari keyakinan akal yaitu
ainul yakin yaitu keyakinan hati. Ainul yaqin (secara harfiah berarti yakin
sebab melihat) mengandung makna menyaksikan Tuhan dengan hati,
bukan dengan mata. Dengan demikian, kendatipun Tuhan tak dapat dilihat
dengan mata, Dia “dapat dilihat” dengan hati.
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Sudahkah melihat Allah?” Beliau
menjawab, Aku tak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat. Namun Dia
dapat dilihat dengan hati, bukan dengan mata. Para Imam Maksum ditanya
apakah Nabi saw. melihat Allah saat Mi’raj. Para imam menjawab, “kalau
dengan mata, tidak. Kalau dengan hati, ya”. Dalam masalah ini hanya kaum
sufi sajalah yang sudut pandangnya menyerupai sikap Syiah.7
Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat
dilihat dengan mata (al-afsar) di akhirat, namun hanya akan diketahui
melalui hati, sebab sebagaimana pandangan Abu al-Husail al- ru’yad bagi
mereka berarti al-alim
Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa Allah dapat dilihat
dengan mata kepala. Oleh sebab itu, mereka menolak pandangan
Mu’tazilah di atas sebab menurut mereka pandangan ini bertentangan
dengan ayat “Maka jika tetap ditempatnya maka niscaya kamu dapat
melihat-Ku.” (QS. 7:143). Disamping itu mereka mengemukakan hadis yang
mengatakan: “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana
kamu melihat bulan ini.”
Kemudian mereka mengemukakan ayat-ayat berikut ini:
ٰىسَومُ اوُلأَاسَ دْقَفَ ۚءِامَ َّسلا نَمِ ابًاتَكِ مْهِيْلَعَ لَ ِّزنَُت نْأَا بِاتَكِْلا لُهْأَا كَُلأَاسْيَ
مْهِمِلْظُِب ةُقَعِا َّصلا مُهُتْذَخَأَافَ ةًرَهْجَ هََّللا اَنرِأَا اوُلاقَفَ كَِلٰذَ نْمِ رَبَكْأَا
“Ahli kitab meminta agar kamu menurunkan kepada mereka kitab suci
dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa
yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: Perlihatkanlah Allah kepada
kami dengan nyata. Maka mereka disambar petir sebab kezaliman
mereka.” (QS. 4:153).
ةُقَعِا َّصلا مُكُتْذَخَأَافَ ةًرَهْجَ هََّللا ىرََن ٰىَّتحَ كََل نَمِؤُْن نَْل ٰىسَومُ ايَ مْتُلُْق ذِْإاوَ
نَورُظُنْتَ مْتُْنأَاوَ
“Dan ingatlah saat kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, sebab itu kamu
disambar halilintar sedang kamu menyaksikannya.” (QS.2: 55).
Al-Asy’ari dan al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa ayat-ayat
ini di atas tidaklah menunjukkan bahwa Allah menolak permohonan
hamba-Nya yang ingin melihatnya dengan terang, sebagaimana pendapat
Mu’tazilah. Allah hanya menolak permintaan mereka, sebab permintaan
itu bertujuan untuk menentang Nabi Musa as. dan Muhammad saw., juga
sebab mereka meragukan kenabian keduanya dan menolak untuk beriman
kepada Allah sampai Allah melakukan keinginan mereka.12
Dengan kata lain, Allah menolak permintaan mereka bukan sebab
yang mereka minta itu mustahil menurut qudrat-Nya, namun sebab semua
permintaan mereka itu hanyalah untuk mengecilkan dan mendurhakai
Rasul, bukan untuk menambah pengetahuan seperti diisyaratkan Allah
dalam firmannya:
يفِ ٰىقَرْتَ وْأَا اعًوبُنْيَ ضِرْأَ �لْا نَمِ انََل رَجُفْتَ ٰىَّتحَ كََل نَمِؤُْن نَْل اوُلاقَوَ
كَِّيقِرُِل نَمِؤُْن نَْلوَ ءِامَ َّسلا
“Dan mereka berkata: Kamu sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga
kamu memancarkan mata air ke bumi untuk kami.” “Atau kamu naik
ke langit, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu
itu.” (QS. 17: 90 dan 93).
Selanjutnya baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani sependapat bahwa
Allah dapat dilihat dengan mata kepala (al-Afsar) sebab sesuatu yang maujud
dapat dilihat. Yang ma’dumlah yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan
mata.13 Mereka juga mengemukakan ayat “Ya Tuhanku tampakkanlah
dirimu kepadaku agar aku melihatmu.” (QS. 7:143). Kalau ru’yad Allah
itu mustahil seperti pendapat kaum Mu’tazilah, menurut mereka tidak
mungkin Musa as. sebagai Nabinya, yang mempercayai wahyu-Nya dan
menjadi perantaranya dengan manusia meminta yang mustahil pada
sifatnya sebab yang demikian mengecilkan Allah swt., mustahil para Nabi
mengecilkan Allah.
Menurut mereka yang tidak diizinkan melihat Allah di akhirat
hanyalah orang-orang kafir sebagai penghinaan kepada mereka dan
perbedaan antara mereka dengan orang-orang mukmin,15 sebagaimana
disebutkan dalam firmannya:
نَوبُوجُحْمََل ذٍئِمَوْيَ مْهِِّبرَ نْعَ مْهَُّنِإا اَّلكَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu bertumpuk dari
Rahmat Tuhan mereka” (QS. 83: 15),
ةٌرَظِاَن اهَِّبرَ ٰىَلِإا ةٌرَضِاَن ذٍئِمَوْيَ هٌوجُوُ
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri, kepada
Tuhannyalah mereka melihat” (QS. 75: 22-23).
Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat, lafas al-nafsar dalam bahasa
Arab mengandung beberapa pengertian, diantaranya nadzr al-intidzar, al-
fikr wa al-i’tibar, al-rahmat wa al-ta’atif dan al-idrat bi al-absar. 16
Selanjutnya mereka mengatakan jika lafaz al-nafsar bertemu
dengan lafaz al-wajh yang tidak disandarkan kepada suku atau kabilah,
dan dilalui oleh huruf jar, tidak dilalui dua maf ’ul, maksudnya yaitu
mata kepala (al-basr atau ru’yad al-ain) tidak akan mengerti yang lain,
sebagaimana orang Arab mengatakan, undzur ila zaidin bi wajhika artinya
undzur bi al-’ain al-lad fi wajhika.
Berkaitan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari mengatakan bahwa
nadzr al-intidzar tidak ada di surga sebab al-intidzar mengandung
arti samar dan tidak jelas. Sementara ahli surga memperoleh kehidupan
sejahtera dan permanen yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum
pernah didengar di telinga.17 Kehidupan yang permanen dan sejahtera
bukanlah kehidupan yang samar dan tidak jelas, dan bukan kehidupan
yang masih menunggu-nunggu. Al-Asy’ari juga mengatakan, bahwa nadzr
al-tafkir wa al-i’tibar tidak berlaku terhadap Allah sebab hari akhirat
bukanlah dar i’tibar. Demikian pula dengan nadzr al-ta’atif tidak bisa
diterima sebab manusia tidak perlu merasa iba terhadap Tuhan. Oleh
sebab itu, ia mengatakan al-nadzar dalam ayat aila rabbiha nadzirat
berarti penglihatan dengan mata kepala. Sesuai dengan pandangan di atas,
al-Baqillani mengemukakan ayat “lihatlah makanan dan minumanmu yang
belum berubah.” (QS. 2: 259). Al-Nadzar dalam ayat ini menurutnya
bermakna al-idrak bi al-absar sehingga ayat itu bermakna “lihatlah dengan
mata kepalamu”. Berbeda dengan ayat “Aku akan menunggu apa yang akan
dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (QS. 27: 35). Al-nadzar dalam ayat
ini menurutnya bermakna al-intidzar.
Disamping itu lafaz nadzirat pada ayat 35 surat 27 di atas tidak dilalui
ila dan tidak bertemu dengan al-wajh. Demikian pula ayat “Mereka tidak
menunggu melainkan satu teriakan saja.”(QS. 36: 49). Dengan demikian
lafaz al-nadzar pada kedua ayat itu bermakna al-intizar.
Al-Baqillani mengatakan bahwa sesungguhnya orang mukmin itu
akan melihat Allah swt. di surga tanpa diketahui bagaimana caranya (bila
kaifa), tidak bisa digambarkan (wala tasybih) dan tidak bisa ditentukan
(wala tahdid), sebagai penghargaan Allah kepada hamba-Nya yang beriman.
Tidak ada keistimewaan lagi di atasnya sebagaimana diisyaratkan Allah
dalam firman-Nya, “Bagi orang-orang yang berbuat ada pahala terbaik dan
tambahannya.” (QS. 10: 26).20 Berkaitan dengan itu al-Asy’ari mengatakan
bahwa al-ziyadat maksudnya ialah al-nadzr ila Allah.21
Didalam mempertegas pendapat tentang adanya ru’ yat Allah di
akhirat, al-Baqillani mengatakan bahwa ayat-ayat seperti ”Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 6: 103) dan “Kamu sekali-kali tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 7: 143) harus ditakhsis dengan ayat-
ayat “Wajah-wajah [orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri, kepada
Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. 75: 22-23) yang menunjukkan bahwa
tidak ada alternatif dari ru’yat Allah itu kecuali melihat dengan penglihatan
mata (ru’yat al-absar). Dalam pada itu kalimat la tudrikuhu al-abzar, lan
tarani, faakhazathum al-sa’iqat bukanlah menunjukkan kemustahilannya
(nafy al-syai ‘la yahullu ‘ala istihalatih).
Dalam pada itu, ia memperkuat pandangannya di atas dengan
mengatakan, sekiranya Nabi Musa as. berkenyakinan bahwa mustahil
manusia melihat Allah tentu Nabi Musa tidak akan bermohon untuk
melihat-Nya. Pertanyaan Musa as. tubtu ilaika, Aku bertaubat kepada-
Mu. (QS.7: 143) bukanlah menunjukkan bahwa mustahil melihat Tuhan.
Disamping itu ia pingsan tatkala melihat kebesaran Allah dengan hancurnya
gunung yaitu kebiasaan bagi orang yang ketakutan. Ia mengatakan tubtu
ilaika sama dengan orang lain jika mendengar suara petir yang keras atau
melihat kejadian yang mengejutkan dan menakutkan lalu beristigfar dan
bertaubat.
Selain itu menurut al-Baqillani, pernyataan Musa itu mengandung
pengertian bahwa ia tergesa-gesa melihat Allah di dunia. Sementara, Allah
menundanya sampai di akhirat kelak. Taubat dalam konteks itu berarti
Musa as. kembali dari keinginannya kepada keinginan Tuhan-Nya. Ia
juga berpendapat, bahwa kalimat tubtu ilaika mengandung arti perintah
bertaubat sebab Musa as. telah meminta untuk melihat-Nya sehingga
ia pingsan. Kalimat ini tidak menunjukkan bahwa ru’yat Allah itu
mustahil.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa firman Allah swt. ”Maka tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepadai gunung itu, dijadikannya gunung
itu hancur luluh.” (QS. 7: 143), memberitahukan kepada Musa as. bahwa
seseorang tidak akan dapat melihat Allah di dunia kecuali ia akan menderita
seperti apa yang dirasakan gunung yang hancur saat melihat-Nya.
Sejalan dengan pandangan di atas, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani
tidak setuju mengartikan al-ru’yat dengan pengetahuan atau melihat Tuhan
dengan ilmu, seperti dalam pandangan Mu’tazilah. Menurut mereka,
para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw. apakah mereka akan
melihat Tuhan di hari kiamat nanti. Rasul menjawab, bahwa mereka akan
melihat-Nya seperti melihat bulan.
Berdasarkan hadis ini , al-Baqillani mengatakan bahwa para
sahabat tidak bertanya apakah mereka akan mengetahui Tuhan (hal na’lam
Rabanna). Oleh sebab itu, menurutnya tidak ada keragu-raguan tentang
adanya ru’yat sebagaimana tidak ada keragu-raguan melihat bulan di malam
purnama.
Dalam memperkuat pendapatnya, ia juga mengemukakan ayat “Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat
segala yang kelihatan.” (QS. 6: 103). Menurut kaum Mu’tazilah ayat itu
merupakan alasan bagi tidak adanya ru’yat Allah, dan dengan ayat itu
Allah memuji diri-Nya (al-tamadduh).
Menurut al-Baqillani, al-madh (pujian) hanya ada pada kalimat
wa Huwa yudrik al-absar, bukan pada kalimat la tudriku Hu al-absar, sebab
sesuatu yang tidak dilihat dengan penglihatan mata tidak menunjukkan
pujian, sebagaimana al-ma’dum (yang tidak ada) tidak dapat dilihat dengan
penglihatan mata, dan yang demikian tidak menjadi pujian baginya. Bau
harum umpamanya yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan mata,
dipuji bukan sebab tidak dapat dilihat, namun sebab baunya. Oleh sebab
itu, Allah tidak memuji diri-Nya sebab tidak dapat dilihat dengan mata.
Dia memuji diri-nya, yaitu dengan kekuasaan-Nya, sebagaimana sering
disebutkan dalam firman-Nya “Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi
maha bijaksana.” (QS. 8:10,49; 9:71; 31:27) “Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha kuasa.” (QS. 16: 70).30
Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa Allah tidak dapat
dilihat di dunia namun dapat dilihat di akhirat sesuai dengan ayat “Dan
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 6: 103) dan “kepada
Tuhannyalah mereka melihat”. (QS.75: 23). Mereka juga mengatakan bahwa
la tudrikuhu al-absar maksudnya yaitu penglihatan mata orang kafir
bukan penglihatan orang mukmin sesuai dengan ayat-ayat “Wajah-wajah
[orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri.” (QS. 75: 22-23) dan ayat
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup
dari (rahmat) Tuhan mereka.” (QS. 83: 15).
Menurut mereka al-hijab hanya bagi orang kafir bukan bagi orang
mukmin. Demikian pula al-ru’yat (melihat Tuhan) hanya terjadi pada
orang mukmin tidak bagi orang kafir. Menurut al-Asy’ari ayat al-Qur’an
tidak akan pernah mengandung pertentangan.
Al-Baqillani juga mengatakan bahwa mata manusia yang sekarang
tidak dapat melihat Tuhan di dunia dan di akhirat sebab nanti mata
ini akan hancur. Kemudian Allah menciptakan mata bagi manusia
yang berbeda dengan mata yang sekarang, yaitu mata yang kekal sebab
yang kekal dapat melihat yang kekal. Dengan kata lain, Allah menciptakan
indera yang dapat melihat Tuhan, yaitu indera yang berbeda dengan indera
yang sekarang.
Di samping itu ia mengatakan bahwa la tudriku Hu al-absar
mengandung pengertian bahwa Tuhan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu
yang memiliki arah, jism, bentuk, atau tempat. Untuk memperkuat
pandangannya itu, sebagaimana al-Asy’ari, ia juga mengatakan bahwa para
sahabat Nabi menafsirkan kata al-ziyadat dalam ayat li al-lazina ahsanu al-
husna wa ziyadat dengan melihat Tuhan di surga.
Meskipun Allah tidak disifati dengan sifat-sifat yang menghalangi
pandangan mata, seperti al-diqqat wa al-riqqat (halus), al-hijab (sekat)
atau al-bu’dat (kejauhan) dan sebagainya, namun ia tidak dapat dilihat di
dunia. Kejauhan (al-bu’dat) juga tidak menghalangi al-ru’yat sebab langit
dan bintang-bintang yang begitu jauh tidak menghalangi manusia untuk
melihatnya. Hijab (al-Hijab) juga tidak menghalangi al-ru’yat sebab Allah
dapat melihat apa saja di antara ciptaan-Nya meskipun ditutupi beribu-
ribu hijab. Dengan kata lain semua faktor ini tidaklah menghalangi
manusia melihat Tuhan di dunia ini, yaitu keterbatasan daya penglihatan
yang diciptakan Tuhan pada manusia.
Di dalam menolak ru’yat Allah kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa
jika Tuhan dapat dilihat di akhirat berarti ia dapat juga dilihat di dunia.
Menurut mereka jelas Allah tidak dapat dilihat di dunia. Dengan demikian
mustahil adanya ru’yat Allah.
Al-Baqillani menolak pandangan di atas dengan mengatakan bahwa
tidak mustahil melihat Tuhan di dunia ini bagi orang yang mampu.37 jika
Allah menciptakan mata yang mampu atau ia menghendakinya, seseorang
tidak mampu melihat malaikat maut yang datang pada orang lain. Sementara
ada orang yang dapat melihatnya sebab Allah menghendaki matanya
dapat melihatnya. Manusia tidak mampu melihat kuda dan kucing dalam
kegelapan malam. Kucing dan banyak diantara binatang dapat melihat
manusia di kegelapan malam sebab Tuhan menciptakan mata mereka
dapat melihatnya. Demikian pula Allah tidak menciptakan mata manusia
dapat melihat-Nya di dunia ini, namun insya Allah Dia akan menciptakan
penglihatan manusia mampu melihat-Nya di surga.38
Al-Asy’ari dan Al-Baqillani sependapat bahwa bagi Allah membuat
orang mampu melihat-Nya atau tidak yaitu perbuatan yang ja’iz,
sebagaimana Allah bisa saja membuat manusia mampu melihat atom
(zarrat) namun tidak mampu melihat gajah di sampingnya, sebab yang
demikian jaiz bagi Allah swt. Allah Maha Kuasa di atas segala sesuatu.Al-
Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa Allah bisa menciptakan manusia
bukan dari ayah dan ibunya, api tidak panas, kurma bukan dari pohonnya,
menghidupkan orang yang telah mati, mematikan orang seribu kali dan
menghidupkannya kembali. Semua itu tergantung kepada kekuasaan-
Nya.
Menurut al-Baqillani, tidak dapat dikatakan bahwa Allah dapat
dilihat seluruh atau sebagian sebab Dia tidak bersifat demikian. Allah
tidak memiliki bagian-bagian dan tidak merupakan kumpulan dari
bagian-bagian. Jika ditanya ma Huwa (apakah Allah itu) ? Menurutnya
kalau yang ditanya itu mengenai bentuk, jism, ukuran dan sebagainya, maka
jawabannya yaitu Dia memiliki bentuk, jism, maupun ukuran. Dia tidak
sama dengan ciptaan-Nya, dan ciptaan-Nya tidak ada yang serupa dengan-
Nya. Kalau yang ditanya itu mengenai nama-Nya, maka nama-Nya yaitu
Allah, al-Rahman, al- Rahim, al-Hayy, al-Quyyum. Jika yang ditanyakan itu
mengenai perbuatan-Nya, maka perbuatannya yaitu keadilan, kebaikan,
langit, bumi, dan semua yang ada pada keduanya. Jika yang ditanyakan
itu bukti dia ada, maka buktinya yaitu semua yang terlihat dan disaksikan,
keteraturan penciptaan-Nya dan kehebatan susunannya.
Jika ditanyakan, kaifa Huwa (bagaimanakah Dia)? Kalau yang
dimaksud dari bahan apa, Dia tersusun, bagaimana bentuk-Nya atau jenis-
Nya, jawabannya yaitu bahwa tidak ada susunan bagi-Nya, tidak ada
bentuk dan jenisnya. Jika yang ditanyakan mengenai sifat-Nya, Dia yaitu
qadim, hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, maha mendengar, maha
melihat dan menghendaki. Oleh sebab Ia dapat dilihat, maka ditanyakan
dimana Dia? jika yang dimaksud berkaitan dengan kedudukannya
dan keagungan-Nya, jawabnya Dia yaitu sebagaimana disebut-Nya, yaitu
penguasa tertinggi di atas hamba-nya sesuai dengan firman-Nya: “Dia
Tuhan yang di sembah di bumi.” (QS. 43: 84), “Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar mengawasi.” (QS. 89: 14).41
Berdasarkan uraian diatas, tampaknya dalam masalah ru’yat Allah
tidak ada perbedaan pandangan antara al-Asy’ari dan Al-Baqillani.
Mereka sepakat mengatakan bahwa Allah hanya dapat dilihat oleh orang-
orang mukmin di akhirat, dan al-ru’ yat yaitu sesuatu yang jaiz bagi Allah.
Menurut Abd. al-Jabbar salah seorang tokoh Mu’tazilah, manusia
memerlukan indera penglihatan untuk dapat melihat sesuatu. Jika indera ini
tidak ada, maka manusia tidak dapat melihat. Dalam pada itu, sungguhpun
seseorang memiliki indera penglihatan, namun belum tentu ia akan dapat
melihat sesuatu, terutama jika ada hambatan atau obyek yang dilihatnya
itu sesuatu yang tidak mungkin dilihat. Menurutnya, Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata kepala dan tidak dapat dicapai dengan penglihatan,
bukan sebab adanya hambatan, namun sebab zat-Nya mustahil dilihat.
Argumentasi pokok yang dikemukakan aliran Mu’tazilah untuk
menerangkan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala ialah,
Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat dan dengan demikian tidak
dapat dilihat, sebab yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil
tempat;Kedua, jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, tentu Tuhan
dapat dilihat sekarang di dunia ini juga. Namun kenyataannya tidak seorang
pun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.45 sebab Tuhan tidak bisa dilihat
sekarang berarti Tuhan tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata kepala.
Abd. al-Jabbar memahami ayat 103 dari surah al-An’am dengan sebuah
pemahaman bahwa Tuhan tidak dapat dilihat sama sekali dengan mata
kepala, baik di dunia maupun di akhirat. Sebab nafi (peniadaan) di sini
tidak terkait dengan waktu dan tempat tertentu.47 Jadi, Tuhan bukan hnaya
tidak dapat dilihat dengan mata kepala di dunia, tetaapi juga di akhirat.
Kata nazirah dalam ayat 23 surah al-Qiyamah tidak diartikan oleh Abd.
al-Jabbar dengan “melihat”, namun “menunggu”, yaitu menunggu pahala dari
Tuhan.Terutama kata wujuh dalam ayat 22 dimaknai oleh Abd. al-Jabbar
bukanlah organ tertentu, namun manusia secara utuh.49 sebab di dalam ayat
berikutnya (ayat 25), kata wajh dikaitkan dengan menduga atau mengira
(tazunnu). Maka tidaklah relevan bila kata wajh di sini diartikan dengan
“muka” yang merupakan organ manusia.50 Jadi yang akan menunggu pahala
Tuhan pada hari kiamat bukan hanya muka manusia, namun manusia secara
utuh. Begitu juga yang bisa mengira, menduga bukan muka manusia, namun
manusia itu sendiri.
Selanjutnya ayat 143 surah al-A’raf dipahami oleh Mu’tazilah sebagai
yang dikatakan Abd. al-Jabbar, bahwa permintaan melihat Tuhan sebenarnya
bukan datang dari Nabi Musa, namun dari para pengikutnya yang belum juga
mau percaya.51 Permintaan ini diajukan Musa untuk mematahkan
keingkaran dan kedurhakaan mereka.52 Hal ini dikuatkan dengan adanya
permintaan mereka kepada Musa untuk melihat Tuhan secara nyata (QS.
al-Nisa’ [4];153) dan mereka belum akan beriman sebelum dapat melihat
Allah dengan mata kepala (QS. al-Baqarah [2]:55).53
Dalam ayat ini dikatakan bahwa jawaban Tuhan yaitu “lan
tarani”, yang menurut Abd. al-Jabbar berarti selamanya Tuhan tidak
bisa dilihat. sebab huruf “lan” di sini li al-ta’bid (selamanya). Hal ini
mengindikasikan bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat.54 sebab itu Tuhan
menyuruh Musa memandang kepada gunung. Kalau gunung masih tetap
di tempatnya dan tidak bergerak berarti Musa akan dapat melihat Tuhan.
namun ternyata gunung ini tidak tetap di tempatnya, bahkan menjadi
hancur dan Musa sendiri jatuh pingsan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan
mustahil dapat dilihat, sebagaimana mustahilnya berhimpun gerak dan
diam gunung pada satu masa di satu tempat.55
Golongan Asy’ariyah berpendapat sebaliknya, bahwa Tuhan akan
dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak. Paham
ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat
tajassum atau antropormofis, sungguhpun sifata-sifat itu tidak sama dengan
sifat jasmani manusia yang ada dalam alam materi ini.56
Pendapat itu mereka kemukakan dengan berargumentasikan dalil ‘aqli
dan dalil naqli. Dalil ‘aqli yang dikemukakan al-Asy’ari ialah bahwa yang
tak dapat dilihat hanyalah yang tak memiliki wujud. Yang memiliki
wujud mesti dapat dilihat. Tuhan berwujud dan oleh sebab itu dapat
dilihat.57 Selanjutnya al-Asy’ari menambahkan, Tuhan melihat apa yang ada
dan dengan demikian melihat diri-Nya juga. Kalau Tuhan dapat melihat
diri-Nya, ia akan dapat membuat manusia mampu melihat diri-Nya.58
Adapun dalil naqli yang dijadikan dasar oleh al-Asy’ari untuk
mempertahankan pendapat di atas ialah surat al-Qiyamah ayat 22-23, surat
al-A’raf ayat 143, surat Yunus ayat 26, surat Qaf ayat 35, surat al-Ahzab ayat
44, dan surat al-An’am ayat 103.59
Ayat 22-23 surat al-Qiyamah dipahami oleh al-Asy’ari, bahwa Tuhan
akan dilihat pada hari kiamat dengan mata kepala. sebab kata nazirah
di sini tidak boleh dengan makna berpikir (tafkir) atau dengan makna
memperhatikan (i’tibar), sebab akhirat bukanlah tempat berpikir dan
memperhatikan.60 Juga tidak boleh dengan makna menunggu (intizar),
sebab bila kata nazar disebut bersama wajh maka artinya melihat dengan
mata kepala yang ada pada wajah.
Ayat 143 surat al-A’raf ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan penegasan
bahwa permintaan Musa untuk melihat Tuhan tidak boleh dipahami bahwa
Musa meminta sesuatu yang mustahil, sebab hal itu tidak sesuai dengan
sifat kenabiannya. Dengan demikian, melihat Tuhan bukanlah mustahil,
namun sesuatu yang mungkin.62 Selanjutnya dalam ayat ini dinyatakan
bahwa Nabi Musa akan melihat Tuhan kalau bukit Sinai tetap di tempatnya.
Membuat bukit tetap pada tempatnya termasuk dalam kekuasaan Tuhan.
Kalau Tuhan berkuasa membuat bukit tetap di tempatnya, Tuhan juga
berkuasa memperlihatkan diri-Nya pada Musa, dan dengan demikian Musa
akan dapat melihat Tuhan.63
Kemudian surat Yunus ayat 26 :
Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahalanya yang terbaik (surga)
dan tambahannya. Dan muka merreka tidak ditutupi debu hitam dan
tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya. (Q.S Yunus, 10:26),
dipahami oleh al-Asy’ari, bahwa orang mukmin akan mendapat
tambahan nikmat di akhirat, yaitu melihat Tuhan yang merupakan puncak
nikmat di dalam surga.64 Begitu juga kata mazid dalam ayat 35 surat Qaf :
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; pada sisi
Kami ada tambahannya. ( Q.S Qaf, 50:35),
Ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan melihat Tuhan.65 Ayat 44 surat al-
Ahzab:
Salam hormat kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari
mereka menemui-Nya ialah: “Salam”, dan Dia menyediakan pahala
yang mulia bagi mereka. (Q.S Al-Ahzab, 33:44),
Ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan mengatakan, bahwa pengertian
mereka menemui Tuhan ialah mereka akan melihat Tuhan.66 Sementara
ayat 103 surat al-An’am dipahami oleh al-Asy’ari bahwa Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata kepala di dunia, baik oleh orang mukmin maupun oleh
orang kafir.67 Namun di akhirat Tuhan dapat dilihat oleh orang mukmin,
dan tidak dapat dilihat oleh orang kafir. Ini sejalan dengan penafsiran al-
Asy’ari terhadap ayat 15 surat al-Mutaffifin :
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
tertutup dari (rahmat) Tuhan merreka. (Q.S Al-Mutaffifin, 83:15),
Yang menyatakan bahwa penglihatan orang kafir dihijab (ditutup) pada
hari itu sehingga mereka tidak dapat melihat Tuhan, sedang penglihatan
orang mukmin tidak dihijab, sehingga mereka dapat melihat Tuhan.68
Selain itu al-Asy’ari juga menguatkan pendapatnya dengan hadis Nabi
yang berbunyi :
Kamu akan melihat Tuhanmu (di akhirat), sebagai mana kamu melihat
bulan purnama. Dan kamu tidak mendapat kesulitan dalam melihat-
Nya. (H.R Bukhari).
Menurut hadis ini manusia akan melihat Tuhan di akhirat sebagaimana
mereka melihat bulan purnama. Kata ru’yah, demikian al-Asy’ari, bila
diungkapkan dalam bentuk mutlak, maka maknanya tidak lain kecuali
melihat dengan mata kepala.
Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Asy’ariyah dalam hal
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Sebagai yang dijelaskan
oleh al-Maturidi sendiri, bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang
mesti dan benar, namun tidak dapat dijelaskan bagaimana caranya, sebab
hal itu merupakan bagian dari situasi hari kiamat yang cara dan keadaannya
hanya diketahui oleh Allah.Allah dapat dilihat, demikian al-Maturidi
menambahkan, sebab Ia memiliki wujud.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh al-Asy’ari juga digunakan
sebagai dalil oleh al-Maturidi dalam mempertahankan pendapatnya bahwa
Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Ayat 103 surat al-An’am
dipahami oleh al-Maturidi, bahwa bila Tuhan tidak dapat dilihat, maka