Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 5


 n akan menyiksa orang kafir. Allah tidak berbohong atas apa 

yang telah disampaikan-Nya.

Menurutnya Allah tidak bersifat zalim meskipun ia menciptakan 

kezaliman sebab  Ia menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Ia mengatakan 

bahwa perbuatan jahat terjadi berdasarkan qada dari Allah sebab  

Allah yang menciptakannya. namun  Allah tidak bersifat jahat sebab  ia 

menciptakannya bukan untuk diri-Nya.35 Pandangan yang demikian 

tampaknya merupakan konsukuensi dari ketidakmampuannya lari dari 

konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Itulah tampaknya yang 

membuat al-Asy’ari memahami keadilan Tuhan sebagai Allah pemilik yang 

berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya dan menggunakannya 

sesuai pengetahuan dan kehendak-Nya.

Menurut al-Baqillani, Allah memakmurkan orang yang diciptakan-

Nya dan melindungi orang-orang yang menaati-Nya. Ia tidak memberi 

pertolongan terhadap pelaku maksiat. Ia memberikan kebaikan, keburukan, 

keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan, kesenangan, kesusahan, 

kesehatan, penyakit, petunjuk, dan kesehatan kepada semua hamba-Nya 

sebagai keadilan-Nya. Ia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-Nya 

sesuai dengan firman-Nya ”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-

Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. 21: 23). Dalam ayat lain 

dikatakan ”Katakanlah: Allah memiliki  hujjah yang jelas lagi kuat, maka 

jika Dia menghendaki pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semua. (QS. 

6: 149).

Di akhirat Allah swt. akan membangkitkan kembali semua manusia 

dengan menghidupkan mereka untuk menentukan dan menimbang amal 

mereka. Ia juga menyediakan surga dan neraka. Semua itu merupakan 

keadilan-Nya. Meskipun Allah akan melindungi orang yang ditaatinya, 

menurut al-Baqillani ketaatan janganlah sebab  mengharapkan pahala 

sebagaimana suatu perbuatan dipandang maksiat bukan sebab  adanya 

siksa. Allah tidak wajib memberikan pahala kepada seseorang. Apa 

yang diperintahkan Allah kepada manusia merupakan kewajiban bagi 

mereka. Sementara ia sendiri tidak memiliki  kewajiban. Tidak seorang 

pun diantara manusia yang dapat memberikan kewajiban kepada-Nya. 

Kewajiban hakikat-Nya yaitu   mendapat celaan jika meninggalkannya. 

Allah swt. terlepas dari celaan.

Selanjutnya ia berpendapat bahwa pahala sebab  dari Allah, bukan 

semata-mata sebab  amal seseorang sesuai dengan ayat ”Agar Allah memberi 

pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-

Nya.” (QS. 30: 45) Dalam ayat lain dikatakan ”Dan sekiranya tidaklah sebab  

karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada kamu semua.”(QS. 24: 20).

Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi saw. mengatakan: ”Seseorang 

tidak masuk surga sebab  amalnya. Ditanya lagi, termasuk engkau (Nabi) 

juga tidak? Nabi menjawab termasuk saya, kecuali Allah melimpahkan 

rahmat-Nya.”

Pandangan diatas menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah yang 

berkaitan dengan pahala dan siksa, al-Baqillani masih terikat pada konsep 

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurutnya, Allah mengutus 

Rasul dan Nabi sebab  Ia yaitu   penguasa yang berbuat sekehendak-Nya. Ia 

juga menciptakan mu’jizat untuk menunjukkan kebenaran ajaran Nabi dan 

Rasul sebagaimana Nabi Musa as. datang pada zaman dengan mengubah 

tongkat menjadi ular. Nabi Isa datang pada zaman berkembangnya ilmu 

pengobatan. Ia dapat menghidupkan orang mati, menyembuhkan kebutaan 

dan penyakit kusta. Nabi Muhammad saw. datang pada saat berkembangnya 

syair. Ia membawa al-Qur’an yang mengalahkan segala bentuk syair dan 

sastra ini . Mu’jizat para Nabi itu semua yaitu   perbuatan Allah yang 

diluar kebiasaan.

Al-Baqillani mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini 

yaitu   atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Orang mukmin tidak akan 

beriman kecuali atas kehendak-Nya. Demikian pula orang kafir tidak 

akan menjadi kafir kecuali sebab  dikehendaki-Nya. Dengan demikian ia 

berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah yang memandang Allah hanya 

menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi 

bukan atas kehendak-Nya.

Al-Baqillani mengemukakan bebarapa argumen untuk mendukung 

pendapatnya, seperti firman Allah: 

)١١٨( نَيفِلِتَخْمُ نَوُلازَيَ �لَوَ ۖ ةًدَحِاوَ ةً َّمأُا سَاَّنلا لَعَجََل كَُّبرَ ءَاشَ وَْلوَ

)١١٩( ۗ مْهُقَلَخَ كَِلٰذَِلوَ ۚ كَُّبرَ مَحِرَ نْمَ �َّلِإا

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat 

yang satu, namun  senantiasa berselisih pendapat”. (QS. 11: 118), “Kecuali 

orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah 

Allah menciptakan mereka”. (QS. 11: 119).

Menurut al-Baqillani bahwa jika menghendaki, Dia pasti dapat 

menjadikan semua manusia beriman atau kufur dan sesat. Ayat itu 

betolak belakang dengan kaum Mu’tazilah yang memandang bahwa Allah 

swt. hanya menghendaki semua manusia beriman. Justru Allah sendiri 

mengatakan bahwa ia menghendaki dan menjadikan mereka berbeda sesuai 

dengan ayat-Nya ”Mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS. 11: 118), dan 

Allah sendiri tidak menghendaki mereka menjadi satu umat sebagaimana 

diisyaratkan dalam ayat-Nya ”Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh 

Tuhanmu.” (QS. 11: 119) sebab Ia hanya ingin merahmati sebagian dari 

mereka.

Dalam ayat lain Allah mengisyaratkan bahwa hidayah terjadi atas 

kehendak-Nya dan kesesatan terjadi juga atas kehendak-Nya, sebagaimana 

disebutkan dalam firman-Nya, 

 لْعَجْيَ هَُّلضِيُ نْأَا دْرِيُ نْمَوَ  ۖمِالَسْ ِإالِْل هُرَدْصَ حْرَشْيَ هُيَدِهْيَ نْأَا هَُّللا دِرِيُ نْمَفَ

 اجًرَحَ اقًِّيضَ هُرَدْصَ

“Barang siapa yang hendak diberikan Allah kepadanya petunjuk niscaya 

Dia melapangkan dadanya untuk memeluk Islam. Dan barang siapa 

yang dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Ia menjadikan dadanya 

sesak lagi sempit”. (QS. 6: 125).

Disamping itu, Allah mengatakan bahwa Allah menciptakan sebagian 

jin dan manusia untuk dimasukkan ke dalam neraka, sesuai dengan firman-

Nya: “

ۖ سِْن ِإ�لْاوَ ِّنجِْلا نَمِ ارًيثِكَ مََّنهَجَِل اَنْأارَذَ دْقََلوَ

“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka Jahannam 

kebanyakan dari Jin dan manusia” (QS. 7: 179). 

Di samping itu dalam ayat yang lain, 

 ءٍيْشَ َّلُك مْهِيْلَعَ اَنرْشَحَوَ ٰىتَوْمَْلا مُهُمََّلكَوَ ةَكَِئالَمَْلا مُهِيَْلِإا انَْل َّزَن انََّنأَا وَْلوَ

 هَُّللا ءَاشَيَ نْأَا �َّلِإا اونُمِؤْيُِل اوُناكَ امَ الًبُُق

“Kalau sekiranya kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-

orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan 

pula segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak juga akan 

beriman, kecuali jika Allah menghendaki”. (QS.6: 111).43

Menurut al-Baqillani berdasarkan ayat di atas Allah memberitahukan 

bahwa orang yang dikehendaki-Nya beriman dapat beriman dan orang yang 

dikehendaki-Nya kafir tidak dapat beriman sebab  ia ingin menyesatkannya, 

sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya, 

ۚ ائًيْشَ هَِّللا نَمِ هَُل كَلِمْتَ نْلَفَ هُتَنَتْفِ هَُّللا دِرِيُ نْمَوَ

“Barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka berkali-kali 

kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun yang datang dari Allah”. 


Disamping itu Allah mengatakan dalam salah satu ayat-Nya: ”Dan 

jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah semua orang yang di muka bumi 

beriman.” (QS. 10: 99). namun  orang-orang kafir ditetapkan Allah dihati 

mereka kekafiran, seperti disebut dalam ayat ”Mereka itu yaitu   orang-

orang yang Allah tidak ingin mensucikan hati mereka.” (QS. 5: 41).

 Selanjutnya al-Baqillani mengemukakan hadis Nabi yang diriwayatkan 

dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar dari bapaknya, dari Nabi saw., bahwa saat  

seseorang mendatangi Rasulullah dan bertanya soal iman, Rasul menjawab 

sebagai berikut: ”Iman kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya dan kitab-

kitab dan nabi-nabi dan beriman kepada qadar.” 

 Berdasarkan hadis di atas, ia berpandangan bahwa semua yang 

terjadi yaitu   berdasarkan qada dan qadar Allah. Allah membahagiakan 

orang yang dikehendaki dan ditetapkan-Nya bahagia, dan menyengsarakan 

orang yang dikehendaki dan ditetapkan-Nya sengsara. Dalam pada itu, 

kaum muslimin sejak masa sahabat sepakat mengatakan bahwa apa yang 

dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.

 Namun demikian, menurut al-Baqillani kehendak dan kekuasaan 

mutlak Tuhan yang demikian tidaklah menghilangkan ikhtiar manusia 

sehingga mereka terpaksa dalam melakukan perbuatannya sebab qadar Allah 

di dalam perbuatan ikhtiyariyah manusia hanyalah untuk menetapkannya 

(yuhaqqiq ikhtiyarih) dan ia mengetahui perbuatan-perbuatan manusia 

sesuai dengan pilihan manusia sendiri.

 Dengan demikian al-Baqillani telah sampai pada pandangan bahwa 

manusialah yang menentukan dan memilih perbuatannya baik atau buruk. 

Pengertian bahwa Allah menciptakan perbuatan manusia dengan demikian 

mengandung arti bahwa Ia menyesuaikan penciptaan itu dengan pilihan 

manusia. Oleh sebab  itu, al-Baqillani tampaknya telah dekat dengan 

paham kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat dalam teologi 

Mu’tazilah.

Berdasarkan akal dapat dipahami bahwa jika di dalam kekuasaan 

seorang raja terjadi sesuatu yang tidak dikehendakinya maka hal itu 

menunjukkan kekurangan dan kelemahan raja ini . Allah swt. 

disifati dengan sifat-sifat yang sempurna. Oleh sebab  itu, tidak terjadi 

didalam kekuasaan-Nya sesuatu yang menunjukkan kekurangan dan 

kelemahan. Berkaitan dengan itu, maka ayat ”Dan Allah tidak menyukai 

kebinasaan”(QS. 2: 205) menurut al-Baqillani memiliki  pengertian 

bahwa Allah tidak memberi pahala atas kerusakan, tidak memujinya, dan 

tidak memerintahkan orang melakukan kejahatan.48 Dengan demikian 

Allah tidak meridhai perbuatan jahat. Pandangan ini  tidak membawa 

pengertian bahwa meskipun perbuatan jahat terjadi atas kehendak Allah, 

namun  tidak setiap yang dikehendaki-Nya disukai-Nya. Berkaitan dengan 

itu, dapat dikemukakan ilustrasi bahwa seorang anak yang membelanjakan 

harta pemberian ayahnya kejalan yang tidak baik, tidak dapat dikatakan 

bahwa ayahnya ini  menyukainya. Berkaitan dengan itu, maka tidak 

setiap yang dikehendaki Allah berarti disukai-Nya. Allah tidak menyukai, 

tidak memuji, dan memberi pahala atas perbuatan jahat meskipun terjadi 

menurut kehendak-Nya.

Pandangan yang demikian membawa pengertian, bahwa Allah tidak 

zalim jika menghukum orang yang berbuat jahat sebab  perbuatan jahat 

bukan merupakan perbuatan yang disukai-Nya.

Al-Baqillani menentang pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan 

syirik bukan atas kehendak Allah,50 berdasarkan firman-nya, 

 نْمِ انَمْ َّرحَ �لَوَ اَنؤُابَآا �لَوَ انَكْرَشْأَا امَ هَُّللا ءَاشَ وَْل اوُكرَشْأَا نَيذَِّلا لُوقُيَسَ

 مْهِلِبْقَ نْمِ نَيذَِّلا بَ َّذكَ كَِلٰذَكَ ۚ ءٍيْشَ

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan nanti akan mengatakan. 

Jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak kami tidak mem-

persekutukan-Nya dan tidak pulalah orang-orang sebelum mereka telah 

mendustakan para Rasul”.(QS. 6: 148).

Ayat ini  diatas justru menunjukkan kebohongan orang-orang 

yang musyrik yang hendak mengolok-olok Rasulullah. Pada ayat berikutnya 

Allah berfirman:

 نَيعِمَجْأَا مُْكادَهََل ءَاشَ وْلَفَ ۖ ةُغَِلابَْلا ةُ َّجحُْلا هَِّللِفَ لُْق

“Katakanlah Allah memiliki  hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika 

Dia menghendaki pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”. 

(QS.6: 149).

Dengan demikian, jelas bahwa syirik juga terjadi atas kehendak Allah. 

Namun sebagaimana perbuatan jahat lainnya tentu syirik juga bukan 

merupakan perbuatan yang disukai-Nya.

Al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa al-jin dan al-ins yang 

ada  dalam ayat ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan 

supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51: 56) maksudnya hanyalah sebagian 

jin dan sebagian manusia sebab kebanyakan jin dan manusia mati sebelum 

sampai batas taklif.

Di dalam salah satu ayat al-Qur’an Allah berfirman ”Sesungguhnya 

kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram insya Allah.” (QS. 48: 27). 

Menurut al-Baqillani maksud ayat itu yaitu   sebagian orang, tidak 

semuanya sebab ada diantara orang mukmin yang mati sebelum masuk 

ke Masjidil Haram. Untuk memperkuat argumen-argumen di atas, ia 

mengatakan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada sebagian orang 

agar taat kepada-Nya dan menyesatkan sebagian yang lain sesuai dengan 

firman-Nya ”Sebagian diberi-nya petunjuk sebagian lagi telah pasti kesesatan 

bagi mereka.’’(QS. 7: 30)

Dalam ayat yang lain jelas Allah swt. Mengatakan ”Dan sesungguhnya 

Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari Jin dan Manusia.” 

(QS. 7: 179). Menurut al-Baqillani yang dimaksud dengan Jin dan Manusia 

dalam ayat itu yaitu   mereka yang tidak taat.54 Dengan demikian ketaatan 

dan ketidaktaatan terjadi atas kehendak Allah. Namun ketidaktaatan yaitu   


perbuatan yang tidak disukai-Nya.

Kaum Mu’tazilah dengan berpedoman kepada firman Allah “Jika 

kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan imanmu dan dia 

tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.”(QS. 39: 7) berpandangan bahwa 

kekafiran terjadi tidak atas kehendak Allah sebab Allah hanya menghendaki 

ketaatan.

Menurut al-Baqillani, jika dikatakan demikian redaksinya yaitu   

wala yarda li ahad al-kufr atau wala yarda lakum al-kurf sebab  lafaz al-

‘ubudiyya yang dihubungkan dengan Allah dalam ayat ini  tujuannya 

hanyalah khusus bagi hamba-Nya yang mukmin, tidak termasuk orang-

orang kafir sebagaimana firman-Nya. ”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku 

tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka.” (QS. 15: 42). “Hai hamba-

hamba-Ku tiada kekuatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu 

bersedih hati.” (QS. 43: 68). Dalam ayat lain disebutkan “Mata air dalam 

surga yang dari padanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat 

mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS. 76: 6).

Dengan demikian, bagi al-Baqillani yang dimaksud dengan hamba-

hamba-Nya dalam ayat di atas yaitu   orang mukmin, bukan orang-orang 

kafir. Oleh sebab  itu, wala yarda li ‘ibadihi al-kufra maksudnya yaitu   

Allah tidak menghendaki bagi orang mukmin kekafiran. Dengan kata 

lain, Dia hanya meridhai keimanan bagi mereka. Jika Allah ridha terhadap 

sesuatu berarti Dia memuji orang kafir dan tidak dan memberikan ganjaran 

atau pahala. Allah tidak memuji orang kafir dan tidak memberi pahala 

kepadanya. Oleh sebab  itu, Ia tidak meridhainya.56 Dalam pandangan al-

Baqillani semua yang terjadi, baik maupun buruk, benar atas kehendak 

Allah, namun  hanya menyukai yang baik-baik saja. 

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa meskipun orang yang berbuat 

maksiat dan kafir itu berdasarkan qada’ dan qadar Allah dan ia pula yang 

menciptakannya dengan iradat-Nya, namun  qada’ dalam konteks ini tidak 

berarti bahwa dia memerintahkan untuk melakukannya kemudian dia 

meridhainya.

Menurut al-Baqillani, al-qada’ terbagi kepada beberapa macam.  

Petama, qada’ dalam arti al-khalq seperti disebutkan dalam ayat ”Maka dia 

menjadikan tujuh langit dalam dua masa. “(QS. 41: 12). Kedua, qada dalam 

arti al-taslid wa al-khalq disebutkan dalam ayat: ”maka tatkala kami telah 

menetapkan kematian Sulaiman.” (QS. 34: 14).

Ketiga, qada dalam arti al-ikhbar wa al-i’lam seperti dalam ayat: “Dan 

telah kami tetapkan terhadap bani Israil dalam kitab itu: Sesungguhnya 

kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali.” (QS. 17: 4). 

Keempat, qada’ dalam arti al-amr seperti firman-Nya “Dan Tuhanmu telah 

memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. “(Q.S 17: 

23). Kelima, qada’ dalam arti al-hukm wa al-ilzam sebagaimana jika  

dikatakan fainna Allah qada al-maasi wa al-kufr, artinya aradahu, wa 

khalakahu, waqadarahu, yaitu dia menghendakinya menciptakannya, 

dan menentukannya. namun  bukan berarti memerintahkan. Al-Baqillani 

mengatakan bahwa semua yang ada di alam ini Allah yang menciptakannya. 

Dengan kata lain semua yang terjadi yaitu   qada’ dan qadar-Nya. 

Dalam menanggapi pandangan kaum mu’tazilah yang mengatakan 

tidak baik jika Allah menciptakan dan menghendaki kekafiran atau maksiat 

kemudian Dia sendiri melarangnya. Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah 

telah mengetahui orang kafir itu akan menjadi kafir. Oleh sebab  itu, Allah 

menciptakan kekafiran itu padanya. Meskipun demikian, Allah melarang 

sebagaimana menyakiti Rasul dan orang Mukmin namun  Dia menciptakan 

penyakit dan kematian pada mereka.

Menurutnya, Allah menciptakan dan menghendaki sesuatu kemudian 

melarangnya yaitu   baik, tidak buruk, sebab ukuran baik dan buruk itu 

yaitu   perintah-Nya. Jika sesuai dengan perintahnya, maka sesuatu itu baik, 

jika tidak berarti buruk. Semua perbuatannya, perintahnya, dan larangannya 

yaitu   baik. Dia yaitu   penguasa, tidak ada penguasa di atasnya yang 

memerintah dan melarangnya. Allah tidak meminta pertanggungjawaban 

atas perbuatannya namun  manusialah yang bertangung jawab kepadanya, 

sebagaimana difirmankan dalam ayat al-Qur’an “Dia tidak ditanya tentang 


apa yang diperbuatnya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. 21: 23).60

Dengan demikian, bagi al-Baqillani keadilan Tuhan tidak diukur 

berdasarkan kepentingan manusia, semua perbuatannya yaitu   

keadilannya. Baginya Tuhan tidak zalim dalam menghukum orang yang 

berbuat jahat sebab  meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan syirik, atas 

kehendaknya namun  perbuatan-perbuatan jahat ini  tidak disukainya 

dan Ia tidak memberikan perintah untuk melakukannya. 

Al-Baqillani berbeda dengan al-Asy’ari dalam memahami keadilan 

Tuhan. Al-Asy’ari menemui jalan buntu sebab  ia hanya berpegang pada 

konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga pandangannya 

tentang keadilan Tuhan membawa kesan bahwa Allah zalim dalam 

menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara itu al-Baqillani pergi 

jauh dengan mengemukakan konsep ridhanya dan perintahnya, sehingga 

Allah tidak zalim jika menghukum orang yang jahat sebab  perbuatan jahat 

bukan merupakan perbuatan yang diperintahkan dan diridhainya.


A. Melihat Tuhan

Ada tiga terma yang bermakna “melihat” dalam Al-Qur’an yang perlu 

dibatasi guna memberikan pemahaman yang utuh tentang makna melihat 

Tuhan. saat  terma ini  yaitu   nadzhara, ra’a dan abshar. 

1. Nazhara

Kata nazhara dapat berarti melihat dengan mata (al-nazhar bi al-‘ain); 

menunggu (al-intizhar); ada pula yang berarti melihat dengan hati (al-qalb); 

menalar dengan cara mempertimbangkan (al-tadabbur); merenungkan (al-

ta’ammul) dan melihat atau menyelidiki (al-bahts). Menurut al-Raghib, kata 

nazhar berarti “mengarahkan penglihatan atau pikiran untuk mengetahui 

atau melihat sesuatu”.

Frase nazhara ila bermakna melihat dengan mata sedangan nazhara 

fiy bermakna berpikir. Kata al-nazhar arti aslinya berhadapan (al-

muqabalat). Pemakaian kata al-nazhar yang berarti melihat atau berpikir 

dalam Al-Qur’an maksudnya yaitu   menghadapkan penglihatan atau 

pikiran terhadap sasaran tertentu. Menurut Ibn Manzhur, kata al-nazhar 

berarti aktifitas indra penglihat, baik dengan mata maupun hati (min nazhr 


al-‘ayn wa nazhr bi al-qalb) atau memikirkan sesuatu sesudah  melihat obyek 

(ta’ammul al-sya’i bi al-‘ayn).

Terma nazhara yang berkaitan dengan melihat Tuhan dijelaskan dalam 

QS. al-Qiyamah (75):20-22. Ayat ini  menjelaskan bahwa manusia 

beriman dapat melihat Tuhan sebagai satu bentuk kenikmatan dalam syurga 

yang indikasinya dengan wajah berseri-seri.

2. Al-Ru’yat

Kata al-ru’yat merupakan masdar dari ra’a yang artinya melihat dengan 

mata (bi al-‘ayn) atau dapat pula berarti melihat dengan hati (qalb). Al-ru’yat 

dapat berarti ilmu pengetahuan (al-‘ilm) sebagai hasil proses berpikir atau 

melihat dengan mata dan akal.

Terma al-Ru’yah yang berhubungan dengan melihat Tuhan ada  

dalam QS. al-A’raf (7):143. Ayat ini  yaitu   sebuah ayat yang bersifat 

dialogis antara Nabi Musa dengan Allah Swt yang berisi tentang keinginan 

Nabi Musa untuk dapat melihat Tuhan.

3. Abshar

Kata abshar merupakan bentuk jamak dari kata kerja bashura atau 

bashira yang berarti asal melihat dengan mata. Kata ini juga berarti mata 

atau pemandangan yang tajam (hassat al-nazhar).

Kata al-bashar dan al-bashirat dipergunakan untuk menunjukkan 

daya akal (al-qalb) untuk memahami sesuatu (berpikir). Al-Bashar yaitu   

aktifitas mata melihat (hiss al-‘ain), berpikir (nazhar), lubuk hati (nafaz fiy 

al-qalb). Sedangkan kata al-bashirat berarti ketetapan hati (aqidah al-qalb). 

Dapat juga berarti kecerdasan (al-fathanat) atau ilmu pengetahuan.

Term abshar yang bertalian dengan melihat Tuhan ada  dalam QS. 

al-An’am (8):103. Ayat ini  memberikan penjelasan yang mengatakan 

bahwa Tuhan tidak dapat dicapai dengan penglihatan.

Ketiga ayat di atas merupakan dalil naqli yang menjadi obyek perdebatan 

dikalangan aliran-aliran teologi. Menurut aliran Mu’tazilah, Tuhan tida bisa 

dilihat di akhirat dengan mata kepala, sebab  Tuhan bersifat immateri. Yang 

dapat dilihat dengan mata kepala hanya sesuatu yang bersifat materi.

Tuhan bersifat rohani dan tidak jasmani maka menurut akal, Tuhan tak 

dapat dilihat dengan mata kepala.2 Mu’tazilah dengan semangat berapi-api 

menolak, kemungkinan melihat Allah dengan mata. Mereka percaya bahwa 

hanya dapat beriman kepada Allah, iman yang berakar dalam hati dan akal. 

Artinya dilubuk jiwa dan pikirannya orang dapat memiliki keyakinan yang 

kuat akan eksistensi Tuhan. Dan inilah tingkat iman yang paling tinggi yang 

dapat dimiliki seseorang. Allah sama sekali tak mungkin dapat dilihat.3     

Dasar yang dijadikan alasan dalam al-Qur’an surah al-An’am: 103.

رُيبِخَْلا فُيطَِّللا وَهُوَ رَاصَبْأَ �لْا كُرِدْيُ وَهُوَ رُاصَبْأَ �لْا هُُكرِدُْت �لَ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat 

melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha 

Mengetahui.”4

Sedangkan kaum Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah dapat dilihat 

dengan mata pada hari kebangkitan. Kaum Asy’ariyah juga mengutip 

ayat-ayat al-Qur’an untuk memperkuat klaim mereka. Salah satu ayat yang 

mereka pegangi yaitu   surah al-Qiyamah: 22-23. 

ةٌرَضِاَن ذٍئِمَوْيَ هٌوجُوُ )( ةٌرَظِاَن اهَِّبرَ ىَلِإا 

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada 

Tuhannyalah mereka melihat.”

Para mutakallim berbeda pendapat tentang melihat Allah dengan 

penglihatan mata. Sebagian beranggapan bahwa di dunia ini bisa melihat 

Allah dengan penglihatan mata. Sebagian lagi beranggapan boleh-boleh 

saja Allah itu menyatu pada suatu jism

Sedangkan menurut Syiah, Allah tak akan pernah dapat dilihat dengan 

mata, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Namun, tingkat keyakinan 

yang paling tinggi bukanlah keyakinan akal. Keyakinan akal yaitu   ilmu 

yaqin. Tingkat keyakinan yang lebih tinggi dari keyakinan akal yaitu   

ainul yakin yaitu keyakinan hati. Ainul yaqin (secara harfiah berarti yakin 

sebab  melihat) mengandung makna menyaksikan Tuhan dengan hati, 

bukan dengan mata. Dengan demikian, kendatipun Tuhan tak dapat dilihat 

dengan mata, Dia “dapat dilihat” dengan hati.

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Sudahkah melihat Allah?” Beliau 

menjawab, Aku tak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat. Namun Dia 

dapat dilihat dengan hati, bukan dengan mata. Para Imam Maksum ditanya 

apakah Nabi saw. melihat Allah saat  Mi’raj. Para imam menjawab, “kalau 

dengan mata, tidak. Kalau dengan hati, ya”. Dalam masalah ini hanya kaum 

sufi sajalah yang sudut pandangnya menyerupai sikap Syiah.7 

Mayoritas kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat 

dilihat dengan mata (al-afsar) di akhirat, namun  hanya akan diketahui 

melalui hati, sebab sebagaimana pandangan Abu al-Husail al- ru’yad bagi 

mereka berarti al-alim

 Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa Allah dapat dilihat 

dengan mata kepala. Oleh sebab  itu, mereka menolak pandangan 

Mu’tazilah di atas sebab  menurut mereka pandangan ini  bertentangan 

dengan ayat “Maka jika tetap ditempatnya maka niscaya kamu dapat 

melihat-Ku.” (QS. 7:143). Disamping itu mereka mengemukakan hadis yang 

mengatakan: “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana 

kamu melihat bulan ini.”

 Kemudian mereka mengemukakan ayat-ayat berikut ini:

 ٰىسَومُ اوُلأَاسَ دْقَفَ  ۚءِامَ َّسلا نَمِ ابًاتَكِ مْهِيْلَعَ لَ ِّزنَُت نْأَا بِاتَكِْلا لُهْأَا كَُلأَاسْيَ

 مْهِمِلْظُِب ةُقَعِا َّصلا مُهُتْذَخَأَافَ ةًرَهْجَ هََّللا اَنرِأَا اوُلاقَفَ كَِلٰذَ نْمِ رَبَكْأَا

“Ahli kitab meminta agar kamu menurunkan kepada mereka kitab suci 

dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa 

yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: Perlihatkanlah Allah kepada 

kami dengan nyata. Maka mereka disambar petir sebab  kezaliman 

mereka.” (QS. 4:153).

 ةُقَعِا َّصلا مُكُتْذَخَأَافَ ةًرَهْجَ هََّللا ىرََن ٰىَّتحَ كََل نَمِؤُْن نَْل ٰىسَومُ ايَ مْتُلُْق ذِْإاوَ

 نَورُظُنْتَ مْتُْنأَاوَ

“Dan ingatlah saat  kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman 

kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, sebab  itu kamu 

disambar halilintar sedang kamu menyaksikannya.” (QS.2: 55).

Al-Asy’ari dan al-Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa ayat-ayat 

ini  di atas tidaklah menunjukkan bahwa Allah menolak permohonan 

hamba-Nya yang ingin melihatnya dengan terang, sebagaimana pendapat 

Mu’tazilah. Allah hanya menolak permintaan mereka, sebab  permintaan 

itu bertujuan untuk menentang Nabi Musa as. dan Muhammad saw., juga 

sebab  mereka meragukan kenabian keduanya dan menolak untuk beriman 

kepada Allah sampai Allah melakukan keinginan mereka.12

Dengan kata lain, Allah menolak permintaan mereka bukan sebab  

yang mereka minta itu mustahil menurut qudrat-Nya, namun  sebab  semua 

permintaan mereka itu hanyalah untuk mengecilkan dan mendurhakai 

Rasul, bukan untuk menambah pengetahuan seperti diisyaratkan Allah 

dalam firmannya:

 يفِ ٰىقَرْتَ وْأَا  اعًوبُنْيَ ضِرْأَ �لْا نَمِ انََل رَجُفْتَ  ٰىَّتحَ كََل نَمِؤُْن نَْل اوُلاقَوَ

 كَِّيقِرُِل نَمِؤُْن نَْلوَ ءِامَ َّسلا

“Dan mereka berkata: Kamu sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga 

kamu memancarkan mata air ke bumi untuk kami.” “Atau kamu naik 

ke langit, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu 

itu.” (QS. 17: 90 dan 93).

Selanjutnya baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani sependapat bahwa 

Allah dapat dilihat dengan mata kepala (al-Afsar) sebab sesuatu yang maujud 

dapat dilihat. Yang ma’dumlah yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan 

mata.13 Mereka juga mengemukakan ayat “Ya Tuhanku tampakkanlah 

dirimu kepadaku agar aku melihatmu.” (QS. 7:143). Kalau ru’yad Allah 

itu mustahil seperti pendapat kaum Mu’tazilah, menurut mereka tidak 

mungkin Musa as. sebagai Nabinya, yang mempercayai wahyu-Nya dan 

menjadi perantaranya dengan manusia meminta yang mustahil pada 

sifatnya sebab yang demikian mengecilkan Allah swt., mustahil para Nabi 

mengecilkan Allah.

Menurut mereka yang tidak diizinkan melihat Allah di akhirat 

hanyalah orang-orang kafir sebagai penghinaan kepada mereka dan 

perbedaan antara mereka dengan orang-orang mukmin,15 sebagaimana 

disebutkan dalam firmannya:

 نَوبُوجُحْمََل ذٍئِمَوْيَ مْهِِّبرَ نْعَ مْهَُّنِإا اَّلكَ

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu bertumpuk dari 

Rahmat Tuhan mereka” (QS. 83: 15), 

 ةٌرَظِاَن اهَِّبرَ ٰىَلِإا  ةٌرَضِاَن ذٍئِمَوْيَ هٌوجُوُ

“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri, kepada 

Tuhannyalah mereka melihat” (QS. 75: 22-23). 

Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat, lafas al-nafsar dalam bahasa 

Arab mengandung beberapa pengertian, diantaranya nadzr al-intidzar, al-

fikr wa al-i’tibar, al-rahmat wa al-ta’atif dan al-idrat bi al-absar. 16

Selanjutnya mereka mengatakan jika  lafaz al-nafsar bertemu 

dengan lafaz al-wajh yang tidak disandarkan kepada suku atau kabilah, 

dan dilalui oleh huruf jar, tidak dilalui dua maf ’ul, maksudnya yaitu   

mata kepala (al-basr atau ru’yad al-ain) tidak akan mengerti yang lain, 

sebagaimana orang Arab mengatakan, undzur ila zaidin bi wajhika artinya 

undzur bi al-’ain al-lad fi wajhika. 

Berkaitan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari mengatakan bahwa 

nadzr al-intidzar tidak ada  di surga sebab  al-intidzar mengandung 

arti samar dan tidak jelas. Sementara ahli surga memperoleh kehidupan 

sejahtera dan permanen yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum 

pernah didengar di telinga.17 Kehidupan yang permanen dan sejahtera 

bukanlah kehidupan yang samar dan tidak jelas, dan bukan kehidupan 

yang masih menunggu-nunggu. Al-Asy’ari juga mengatakan, bahwa nadzr 

al-tafkir wa al-i’tibar tidak berlaku terhadap Allah sebab  hari akhirat 

bukanlah dar i’tibar. Demikian pula dengan nadzr al-ta’atif tidak bisa 

diterima sebab  manusia tidak perlu merasa iba terhadap Tuhan. Oleh 

sebab  itu, ia mengatakan al-nadzar dalam ayat aila rabbiha nadzirat 

berarti penglihatan dengan mata kepala. Sesuai dengan pandangan di atas, 

al-Baqillani mengemukakan ayat “lihatlah makanan dan minumanmu yang 

belum berubah.” (QS. 2: 259). Al-Nadzar dalam ayat ini  menurutnya 

bermakna al-idrak bi al-absar sehingga ayat itu bermakna “lihatlah dengan 

mata kepalamu”. Berbeda dengan ayat “Aku akan menunggu apa yang akan 

dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (QS. 27: 35). Al-nadzar dalam ayat 

ini  menurutnya bermakna al-intidzar.

Disamping itu lafaz nadzirat pada ayat 35 surat 27 di atas tidak dilalui 

ila dan tidak bertemu dengan al-wajh. Demikian pula ayat “Mereka tidak 

menunggu melainkan satu teriakan saja.”(QS. 36: 49). Dengan demikian 

lafaz al-nadzar pada kedua ayat itu bermakna al-intizar.

Al-Baqillani mengatakan bahwa sesungguhnya orang mukmin itu 

akan melihat Allah swt. di surga tanpa diketahui bagaimana caranya (bila 

kaifa), tidak bisa digambarkan (wala tasybih) dan tidak bisa ditentukan 

(wala tahdid), sebagai penghargaan Allah kepada hamba-Nya yang beriman. 

Tidak ada keistimewaan lagi di atasnya sebagaimana diisyaratkan Allah 

dalam firman-Nya, “Bagi orang-orang yang berbuat ada pahala terbaik dan 

tambahannya.” (QS. 10: 26).20 Berkaitan dengan itu al-Asy’ari mengatakan 

bahwa al-ziyadat maksudnya ialah al-nadzr ila Allah.21

Didalam mempertegas pendapat tentang adanya ru’ yat Allah di 

akhirat, al-Baqillani mengatakan bahwa ayat-ayat seperti ”Dia tidak dapat 

dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 6: 103) dan “Kamu sekali-kali tidak dapat 

dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 7: 143) harus ditakhsis dengan ayat-

ayat “Wajah-wajah [orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri, kepada 

Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. 75: 22-23) yang menunjukkan bahwa 

tidak ada alternatif dari ru’yat Allah itu kecuali melihat dengan penglihatan 

mata (ru’yat al-absar). Dalam pada itu kalimat la tudrikuhu al-abzar, lan 

tarani, faakhazathum al-sa’iqat bukanlah menunjukkan kemustahilannya 

(nafy al-syai ‘la yahullu ‘ala istihalatih).

Dalam pada itu, ia memperkuat pandangannya di atas dengan 

mengatakan, sekiranya Nabi Musa as. berkenyakinan bahwa mustahil 

manusia melihat Allah tentu Nabi Musa tidak akan bermohon untuk 

melihat-Nya. Pertanyaan Musa as. tubtu ilaika, Aku bertaubat kepada-

Mu. (QS.7: 143) bukanlah menunjukkan bahwa mustahil melihat Tuhan. 

Disamping itu ia pingsan tatkala melihat kebesaran Allah dengan hancurnya 

gunung yaitu   kebiasaan bagi orang yang ketakutan. Ia mengatakan tubtu 

ilaika sama dengan orang lain jika mendengar suara petir yang keras atau 

melihat kejadian yang mengejutkan dan menakutkan lalu beristigfar dan 

bertaubat.

Selain itu menurut al-Baqillani, pernyataan Musa itu mengandung 

pengertian bahwa ia tergesa-gesa melihat Allah di dunia. Sementara, Allah 

menundanya sampai di akhirat kelak. Taubat dalam konteks itu berarti 

Musa as. kembali dari keinginannya kepada keinginan Tuhan-Nya. Ia 

juga berpendapat, bahwa kalimat tubtu ilaika mengandung arti perintah 

bertaubat sebab  Musa as. telah meminta untuk melihat-Nya sehingga 

ia pingsan. Kalimat ini  tidak menunjukkan bahwa ru’yat Allah itu 

mustahil.

Selanjutnya ia berpendapat bahwa firman Allah swt. ”Maka tatkala 

Tuhannya menampakkan diri kepadai gunung itu, dijadikannya gunung 

itu hancur luluh.” (QS. 7: 143), memberitahukan kepada Musa as. bahwa 

seseorang tidak akan dapat melihat Allah di dunia kecuali ia akan menderita 

seperti apa yang dirasakan gunung yang hancur saat  melihat-Nya.

Sejalan dengan pandangan di atas, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani 

tidak setuju mengartikan al-ru’yat dengan pengetahuan atau melihat Tuhan 

dengan ilmu, seperti dalam pandangan Mu’tazilah. Menurut mereka, 

para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw. apakah mereka akan 

melihat Tuhan di hari kiamat nanti. Rasul menjawab, bahwa mereka akan 

melihat-Nya seperti melihat bulan.

Berdasarkan hadis ini , al-Baqillani mengatakan bahwa para 

sahabat tidak bertanya apakah mereka akan mengetahui Tuhan (hal na’lam 

Rabanna). Oleh sebab  itu, menurutnya tidak ada keragu-raguan tentang 

adanya ru’yat sebagaimana tidak ada keragu-raguan melihat bulan di malam 

purnama.

Dalam memperkuat pendapatnya, ia juga mengemukakan ayat “Dia 

tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat 

segala yang kelihatan.” (QS. 6: 103). Menurut kaum Mu’tazilah ayat itu 

merupakan alasan bagi tidak adanya ru’yat Allah, dan dengan ayat itu 

Allah memuji diri-Nya (al-tamadduh).

Menurut al-Baqillani, al-madh (pujian) hanya ada  pada kalimat 

wa Huwa yudrik al-absar, bukan pada kalimat la tudriku Hu al-absar, sebab  

sesuatu yang tidak dilihat dengan penglihatan mata tidak menunjukkan 

pujian, sebagaimana al-ma’dum (yang tidak ada) tidak dapat dilihat dengan 

penglihatan mata, dan yang demikian tidak menjadi pujian baginya. Bau 

harum umpamanya yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan mata, 

dipuji bukan sebab  tidak dapat dilihat, namun  sebab  baunya. Oleh sebab  

itu, Allah tidak memuji diri-Nya sebab  tidak dapat dilihat dengan mata. 

Dia memuji diri-nya, yaitu   dengan kekuasaan-Nya, sebagaimana sering 

disebutkan dalam firman-Nya “Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi 

maha bijaksana.” (QS. 8:10,49; 9:71; 31:27) “Sesungguhnya Allah maha 

mengetahui lagi maha kuasa.” (QS. 16: 70).30

Al-Asy’ari dan al-Baqillani sependapat bahwa Allah tidak dapat 

dilihat di dunia namun  dapat dilihat di akhirat sesuai dengan ayat “Dan 

tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. 6: 103) dan “kepada 

Tuhannyalah mereka melihat”. (QS.75: 23). Mereka juga mengatakan bahwa 

la tudrikuhu al-absar maksudnya yaitu   penglihatan mata orang kafir 

bukan penglihatan orang mukmin sesuai dengan ayat-ayat “Wajah-wajah 

[orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri.” (QS. 75: 22-23) dan ayat 

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup 

dari (rahmat) Tuhan mereka.” (QS. 83: 15).

Menurut mereka al-hijab hanya bagi orang kafir bukan bagi orang 

mukmin. Demikian pula al-ru’yat (melihat Tuhan) hanya terjadi pada 

orang mukmin tidak bagi orang kafir. Menurut al-Asy’ari ayat al-Qur’an 

tidak akan pernah mengandung pertentangan.

Al-Baqillani juga mengatakan bahwa mata manusia yang sekarang 

tidak dapat melihat Tuhan di dunia dan di akhirat sebab  nanti mata 

ini  akan hancur. Kemudian Allah menciptakan mata bagi manusia 

yang berbeda dengan mata yang sekarang, yaitu mata yang kekal sebab  

yang kekal dapat melihat yang kekal. Dengan kata lain, Allah menciptakan 

indera yang dapat melihat Tuhan, yaitu indera yang berbeda dengan indera 

yang sekarang.

Di samping itu ia mengatakan bahwa la tudriku Hu al-absar 

mengandung pengertian bahwa Tuhan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu 

yang memiliki  arah, jism, bentuk, atau tempat. Untuk memperkuat 

pandangannya itu, sebagaimana al-Asy’ari, ia juga mengatakan bahwa para 

sahabat Nabi menafsirkan kata al-ziyadat dalam ayat li al-lazina ahsanu al-

husna wa ziyadat dengan melihat Tuhan di surga.

Meskipun Allah tidak disifati dengan sifat-sifat yang menghalangi 

pandangan mata, seperti al-diqqat wa al-riqqat (halus), al-hijab (sekat) 

atau al-bu’dat (kejauhan) dan sebagainya, namun ia tidak dapat dilihat di 

dunia. Kejauhan (al-bu’dat) juga tidak menghalangi al-ru’yat sebab  langit 

dan bintang-bintang yang begitu jauh tidak menghalangi manusia untuk 

melihatnya. Hijab (al-Hijab) juga tidak menghalangi al-ru’yat sebab Allah 

dapat melihat apa saja di antara ciptaan-Nya meskipun ditutupi beribu-

ribu hijab. Dengan kata lain semua faktor ini  tidaklah menghalangi 

manusia melihat Tuhan di dunia ini, yaitu   keterbatasan daya penglihatan 

yang diciptakan Tuhan pada manusia. 

Di dalam menolak ru’yat Allah kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa 

jika  Tuhan dapat dilihat di akhirat berarti ia dapat juga dilihat di dunia. 

Menurut mereka jelas Allah tidak dapat dilihat di dunia. Dengan demikian 

mustahil adanya ru’yat Allah.

 Al-Baqillani menolak pandangan di atas dengan mengatakan bahwa 

tidak mustahil melihat Tuhan di dunia ini bagi orang yang mampu.37 jika  

Allah menciptakan mata yang mampu atau ia menghendakinya, seseorang 

tidak mampu melihat malaikat maut yang datang pada orang lain. Sementara 

ada orang yang dapat melihatnya sebab  Allah menghendaki matanya 

dapat melihatnya. Manusia tidak mampu melihat kuda dan kucing dalam 

kegelapan malam. Kucing dan banyak diantara binatang dapat melihat 

manusia di kegelapan malam sebab  Tuhan menciptakan mata mereka 

dapat melihatnya. Demikian pula Allah tidak menciptakan mata manusia 

dapat melihat-Nya di dunia ini, namun  insya Allah Dia akan menciptakan 

penglihatan manusia mampu melihat-Nya di surga.38

 Al-Asy’ari dan Al-Baqillani sependapat bahwa bagi Allah membuat 

orang mampu melihat-Nya atau tidak yaitu   perbuatan yang ja’iz, 

sebagaimana Allah bisa saja membuat manusia mampu melihat atom 

(zarrat) namun  tidak mampu melihat gajah di sampingnya, sebab  yang 

demikian jaiz bagi Allah swt. Allah Maha Kuasa di atas segala sesuatu.Al-

Baqillani selanjutnya mengatakan bahwa Allah bisa menciptakan manusia 

bukan dari ayah dan ibunya, api tidak panas, kurma bukan dari pohonnya, 

menghidupkan orang yang telah mati, mematikan orang seribu kali dan 

menghidupkannya kembali. Semua itu tergantung kepada kekuasaan-

Nya.

 Menurut al-Baqillani, tidak dapat dikatakan bahwa Allah dapat 

dilihat seluruh atau sebagian sebab  Dia tidak bersifat demikian. Allah 

tidak memiliki  bagian-bagian dan tidak merupakan kumpulan dari 

bagian-bagian. Jika ditanya ma Huwa (apakah Allah itu) ? Menurutnya 

kalau yang ditanya itu mengenai bentuk, jism, ukuran dan sebagainya, maka 

jawabannya yaitu   Dia memiliki  bentuk, jism, maupun ukuran. Dia tidak 

sama dengan ciptaan-Nya, dan ciptaan-Nya tidak ada yang serupa dengan-

Nya. Kalau yang ditanya itu mengenai nama-Nya, maka nama-Nya yaitu   

Allah, al-Rahman, al- Rahim, al-Hayy, al-Quyyum. Jika yang ditanyakan itu 

mengenai perbuatan-Nya, maka perbuatannya yaitu   keadilan, kebaikan, 

langit, bumi, dan semua yang ada  pada keduanya. Jika yang ditanyakan 

itu bukti dia ada, maka buktinya yaitu   semua yang terlihat dan disaksikan, 

keteraturan penciptaan-Nya dan kehebatan susunannya.

 Jika ditanyakan, kaifa Huwa (bagaimanakah Dia)? Kalau yang 

dimaksud dari bahan apa, Dia tersusun, bagaimana bentuk-Nya atau jenis-

Nya, jawabannya yaitu   bahwa tidak ada susunan bagi-Nya, tidak ada 

bentuk dan jenisnya. Jika yang ditanyakan mengenai sifat-Nya, Dia yaitu   

qadim, hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, maha mendengar, maha 

melihat dan menghendaki. Oleh sebab  Ia dapat dilihat, maka ditanyakan 

dimana Dia? jika  yang dimaksud berkaitan dengan kedudukannya 

dan keagungan-Nya, jawabnya Dia yaitu   sebagaimana disebut-Nya, yaitu 

penguasa tertinggi di atas hamba-nya sesuai dengan firman-Nya: “Dia 

Tuhan yang di sembah di bumi.” (QS. 43: 84), “Sesungguhnya Tuhanmu 

benar-benar mengawasi.” (QS. 89: 14).41

Berdasarkan uraian diatas, tampaknya dalam masalah ru’yat Allah 

tidak ada  perbedaan pandangan antara al-Asy’ari dan Al-Baqillani. 

Mereka sepakat mengatakan bahwa Allah hanya dapat dilihat oleh orang-

orang mukmin di akhirat, dan al-ru’ yat yaitu   sesuatu yang jaiz bagi Allah. 

Menurut Abd. al-Jabbar salah seorang tokoh Mu’tazilah, manusia 

memerlukan indera penglihatan untuk dapat melihat sesuatu. Jika indera ini 

tidak ada, maka manusia tidak dapat melihat. Dalam pada itu, sungguhpun 

seseorang memiliki indera penglihatan, namun belum tentu ia akan dapat 

melihat sesuatu, terutama jika  ada hambatan atau obyek yang dilihatnya 

itu sesuatu yang tidak mungkin dilihat. Menurutnya, Tuhan tidak dapat 

dilihat dengan mata kepala dan tidak dapat dicapai dengan penglihatan, 

bukan sebab  adanya hambatan, namun  sebab  zat-Nya mustahil dilihat.

Argumentasi pokok yang dikemukakan aliran Mu’tazilah untuk 

menerangkan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala ialah, 

Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat dan dengan demikian tidak 

dapat dilihat, sebab  yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil 

tempat;Kedua, jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, tentu Tuhan 

dapat dilihat sekarang di dunia ini juga. Namun kenyataannya tidak seorang 

pun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.45 sebab  Tuhan tidak bisa dilihat 

sekarang berarti Tuhan tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata kepala.

Abd. al-Jabbar memahami ayat 103 dari surah al-An’am dengan sebuah 

pemahaman bahwa Tuhan tidak dapat dilihat sama sekali dengan mata 

kepala, baik di dunia maupun di akhirat. Sebab nafi (peniadaan) di sini 

tidak terkait dengan waktu dan tempat tertentu.47 Jadi, Tuhan bukan hnaya 

tidak dapat dilihat dengan mata kepala di dunia, tetaapi juga di akhirat.

Kata nazirah dalam ayat 23 surah al-Qiyamah tidak diartikan oleh Abd. 

al-Jabbar dengan “melihat”, namun  “menunggu”, yaitu menunggu pahala dari 


Tuhan.Terutama kata wujuh dalam ayat 22 dimaknai oleh Abd. al-Jabbar 

bukanlah organ tertentu, namun  manusia secara utuh.49 sebab  di dalam ayat 

berikutnya (ayat 25), kata wajh dikaitkan dengan menduga atau mengira 

(tazunnu). Maka tidaklah relevan bila kata wajh di sini diartikan dengan 

“muka” yang merupakan organ manusia.50 Jadi yang akan menunggu pahala 

Tuhan pada hari kiamat bukan hanya muka manusia, namun  manusia secara 

utuh. Begitu juga yang bisa mengira, menduga bukan muka manusia, namun  

manusia itu sendiri.

Selanjutnya ayat 143 surah al-A’raf dipahami oleh Mu’tazilah sebagai 

yang dikatakan Abd. al-Jabbar, bahwa permintaan melihat Tuhan sebenarnya 

bukan datang dari Nabi Musa, namun  dari para pengikutnya yang belum juga 

mau percaya.51 Permintaan ini  diajukan Musa untuk mematahkan 

keingkaran dan kedurhakaan mereka.52 Hal ini dikuatkan dengan adanya 

permintaan mereka kepada Musa untuk melihat Tuhan secara nyata (QS. 

al-Nisa’ [4];153) dan mereka belum akan beriman sebelum dapat melihat 

Allah dengan mata kepala (QS. al-Baqarah [2]:55).53

Dalam ayat ini  dikatakan bahwa jawaban Tuhan yaitu   “lan 

tarani”, yang menurut Abd. al-Jabbar berarti selamanya Tuhan tidak 

bisa dilihat. sebab  huruf “lan” di sini li al-ta’bid (selamanya). Hal ini 

mengindikasikan bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat.54 sebab  itu Tuhan 

menyuruh Musa memandang kepada gunung. Kalau gunung masih tetap 

di tempatnya dan tidak bergerak berarti Musa akan dapat melihat Tuhan. 

namun  ternyata gunung ini  tidak tetap di tempatnya, bahkan menjadi 

hancur dan Musa sendiri jatuh pingsan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan 

mustahil dapat dilihat, sebagaimana mustahilnya berhimpun gerak dan 

diam gunung pada satu masa di satu tempat.55

Golongan Asy’ariyah berpendapat sebaliknya, bahwa Tuhan akan 

dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak. Paham 

ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan memiliki  sifat-sifat 

tajassum atau antropormofis, sungguhpun sifata-sifat itu tidak sama dengan 

sifat jasmani manusia yang ada dalam alam materi ini.56

Pendapat itu mereka kemukakan dengan berargumentasikan dalil ‘aqli 

dan dalil naqli. Dalil ‘aqli yang dikemukakan al-Asy’ari ialah bahwa yang 

tak dapat dilihat hanyalah yang tak memiliki  wujud. Yang memiliki  

wujud mesti dapat dilihat. Tuhan berwujud dan oleh sebab  itu dapat 

dilihat.57 Selanjutnya al-Asy’ari menambahkan, Tuhan melihat apa yang ada 

dan dengan demikian melihat diri-Nya juga. Kalau Tuhan dapat melihat 

diri-Nya, ia akan dapat membuat manusia mampu melihat diri-Nya.58

Adapun dalil naqli yang dijadikan dasar oleh al-Asy’ari untuk 

mempertahankan pendapat di atas ialah surat al-Qiyamah ayat 22-23, surat 

al-A’raf ayat 143, surat Yunus ayat 26, surat Qaf ayat 35, surat al-Ahzab ayat 

44, dan surat al-An’am ayat 103.59

Ayat 22-23 surat al-Qiyamah dipahami oleh al-Asy’ari, bahwa Tuhan 

akan dilihat pada hari kiamat dengan mata kepala. sebab  kata nazirah 

di sini tidak boleh dengan makna berpikir (tafkir) atau dengan makna 

memperhatikan (i’tibar), sebab akhirat bukanlah tempat berpikir dan 

memperhatikan.60 Juga tidak boleh dengan makna menunggu (intizar), 

sebab bila kata nazar disebut bersama wajh maka artinya melihat dengan 

mata kepala yang ada  pada wajah.

Ayat 143 surat al-A’raf ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan penegasan 

bahwa permintaan Musa untuk melihat Tuhan tidak boleh dipahami bahwa 

Musa meminta sesuatu yang mustahil, sebab hal itu tidak sesuai dengan 

sifat kenabiannya. Dengan demikian, melihat Tuhan bukanlah mustahil, 

namun  sesuatu yang mungkin.62 Selanjutnya dalam ayat ini  dinyatakan 

bahwa Nabi Musa akan melihat Tuhan kalau bukit Sinai tetap di tempatnya. 

Membuat bukit tetap pada tempatnya termasuk dalam kekuasaan Tuhan. 


Kalau Tuhan berkuasa membuat bukit tetap di tempatnya, Tuhan juga 

berkuasa memperlihatkan diri-Nya pada Musa, dan dengan demikian Musa 

akan dapat melihat Tuhan.63

Kemudian surat Yunus ayat 26 :

Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahalanya yang terbaik (surga) 

dan tambahannya. Dan muka merreka tidak ditutupi debu hitam dan 

tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di 

dalamnya. (Q.S Yunus, 10:26),

dipahami oleh al-Asy’ari, bahwa orang mukmin akan mendapat 

tambahan nikmat di akhirat, yaitu melihat Tuhan yang merupakan puncak 

nikmat di dalam surga.64 Begitu juga kata mazid dalam ayat 35 surat Qaf :

Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; pada sisi 

Kami ada tambahannya. ( Q.S Qaf, 50:35),

Ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan melihat Tuhan.65 Ayat 44 surat al-

Ahzab:

 Salam hormat kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari 

mereka menemui-Nya ialah: “Salam”, dan Dia menyediakan pahala 

yang mulia bagi mereka. (Q.S Al-Ahzab, 33:44),

Ditafsirkan oleh al-Asy’ari dengan mengatakan, bahwa pengertian 

mereka menemui Tuhan ialah mereka akan melihat Tuhan.66 Sementara 

ayat 103 surat al-An’am dipahami oleh al-Asy’ari bahwa Tuhan tidak dapat 

dilihat dengan mata kepala di dunia, baik oleh orang mukmin maupun oleh 

orang kafir.67 Namun di akhirat Tuhan dapat dilihat oleh orang mukmin, 

dan tidak dapat dilihat oleh orang kafir. Ini sejalan dengan penafsiran al-

Asy’ari terhadap ayat 15 surat al-Mutaffifin :

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar 

tertutup dari (rahmat) Tuhan merreka. (Q.S Al-Mutaffifin, 83:15),

Yang menyatakan bahwa penglihatan orang kafir dihijab (ditutup) pada 

hari itu sehingga mereka tidak dapat melihat Tuhan, sedang penglihatan 

orang mukmin tidak dihijab, sehingga mereka dapat melihat Tuhan.68

Selain itu al-Asy’ari juga menguatkan pendapatnya dengan hadis Nabi 

yang berbunyi :

Kamu akan melihat Tuhanmu (di akhirat), sebagai mana kamu melihat 

bulan purnama. Dan kamu tidak mendapat kesulitan dalam melihat-

Nya. (H.R Bukhari).

Menurut hadis ini manusia akan melihat Tuhan di akhirat sebagaimana 

mereka melihat bulan purnama. Kata ru’yah, demikian al-Asy’ari, bila 

diungkapkan dalam bentuk mutlak, maka maknanya tidak lain kecuali 

melihat dengan mata kepala.

Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Asy’ariyah dalam hal 

Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Sebagai yang dijelaskan 

oleh al-Maturidi sendiri, bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang 

mesti dan benar, namun tidak dapat dijelaskan bagaimana caranya, sebab  

hal itu merupakan bagian dari situasi hari kiamat yang cara dan keadaannya 

hanya diketahui oleh Allah.Allah dapat dilihat, demikian al-Maturidi 

menambahkan, sebab  Ia memiliki  wujud.

Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh al-Asy’ari juga digunakan 

sebagai dalil oleh al-Maturidi dalam mempertahankan pendapatnya bahwa 

Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Ayat 103 surat al-An’am 

dipahami oleh al-Maturidi, bahwa bila Tuhan tidak dapat dilihat, maka