Sebagian besar Kitab Suci Perjanjian Lama membuat para
pembacanya memiliki kesan bahwa kitab-kitab yang tersusun di dalamnya
seolah-olah narasi sejarah. Pembacaan secara teliti atas Kitab-Kitab Sejarah
akan membuat kesan itu mendapat penjelasannya. Pada periode Kerajaan
Tunggal Israel dirintis timbullah tren gaya penulisan baru. Para panitera
kerajaan menyusun arsip atau memoar terkait peristiwa dan peristiwa penting
yang berdinamika di kerajaan tersebut. Misalnya, teks 1Raj.11:41. Teks ini
memuat kitab narasi hidup Raja Salomo. Teks 1Raj.14:19.29 menjadi contoh
lainnya. Teks ini memuat narasi sejarah raja-raja Israel (Utara) dan Yehuda
(Selatan). Berdasarkan konteks ini, narasi pembangunan, pemulihan, dan
pengudusan Bait Allah Yerusalem (1Raj.6-8) berasal dari memoar atau jurnal
semacam itu.
Berbeda dari legenda dan saga, narasi sejarah berbasiskan pada
sumber yang dapat dipercaya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa narasi sejarah
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama lantas merupakan catatan atau laporan
akurat murni. Penulis atau editor memanfaatkan catatan-catatan tersebut tidak
sekadar sebagai dokumentasi kronologis. Penulis atau editor juga memakai
catatan-catatan tertulis itu untuk maksud pembinaan iman, hidup susila, atau
kepentingan moral lainnya.
Dengan maksud itu pula Buku Ajar Mata Kuliah Eksegese: PL
Sejarah (FIL 182129-02) ini disusun. Catatan-catatan tertulis ini kiranya
membantu para pembacanya, terutama mahasiswa tidak saja menemukan
penjelasan atas ayat-ayat dari Kitab Suci Perjanjian Lama, secara khusus
Kitab-Kitab Sejarah. Lebih dari itu, diharapkan para mahasiswa sebagai orang
beriman mendapatkan juga pembinaan iman, pembinaan hidup susila, atau
kepentingan-kepentingan moral lainnya.
Ditilik dari namanya, Kitab-kitab Sejarah bermakna ‘Kitab-kitab yang
berisi kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau’.
Dalam pemaknaan ini, Kitab-kitab Sejarah dapat disamakan dengan ‘Buku
Sejarah Dunia’ atau ‘Buku Sejarah Nasional’. Akan tetapi, dalam konteks
Kitab Suci, kata ‘sejarah’ selalu memuat makna ‘sejarah iman’. Sejarah iman
adalah kejadian dan peristiwa yang dilihat dengan mata atau sudut pandang
iman. Di sinilah terletak perbedaan antara ‘sejarah biasa (profan)’ dengan
‘sejarah iman’.
‘Sejarah biasa’ meninjau kejadian atau peristiwa yang sama dari sudut
pandang mata iman. Misalnya, peristiwa eksodus atau keluaran bangsa Israel
dari Mesir. ‘Sejarah biasa’ melihat peristiwa itu sekadar sebagai salah satu
2
peristiwa pergerakan biasa dari suatu bangsa yang ditindas bangsa lainnya
atau penokohan satu figur tertentu (Musa). Akan tetapi, ‘sejarah iman’
memandang momen tersebut sebagai suatu peristiwa luar biasa, yaitu campur
tangan Allah. Demikian pula, peristiwa perpindahan Abram dari Haran (Ur-
Kasdim) menuju ke tanah terjanji Kanaan. Sejarah biasa melihatnya sekadar
sebagai perpindahan biasa kaum pengembara (bangsa nomaden) dari satu
wilayah ke wilayah lainnya secara geografis. Akan tetapi, sejarah iman
memandang peristiwa tersebut sebagai panggilan dan perintah Allah kepada
Abram. Oleh karena itu, istilah teknis ‘Kitab-kitab Sejarah’ harus dipahami
dalam konteks ‘sejarah iman’. Dengan demikian, harus ada perbedaan antara
pemahaman antara yang sesungguhnya terjadi (realitas historis) dengan
permenungan iman akan kehadiran Allah dalam momen tersebut.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Identifikasi Definisi ‘Sejarah’
Sebelum masuk ke dalam daftar kitab-kitab yang termasuk dalam
Kitab-kitab Sejarah ini, perlu dipahami bahwa kegiatan membaca-menulis
merupakan hasil budaya manusia yang muncul pada periode tertentu sejarah
manusia. Artinya, kemampuan membaca-menulis bukan merupakan
kemampuan yang ada dalam diri manusia sejak lahir. Dengan kata lain, ada
periode tertentu di mana manusia tidak memiliki kemampuan membaca dan
menulis (buta huruf). Berdasarkan kondisi tersebut, muncullah pertanyaan,
kapan kegiatan tulis-menulis ini mulai lahir di Israel? Pertanyaan ini menarik,
tetapi jarang sekali dipertanyakan. Alasannya, jawaban pertanyaan ini adalah
sesuatu yang bersifat kompleks. Sejumlah pendapat dari para ahli muncul
terkait pertanyaan sekaligus jawabannya ini.
Banyak orang mengajukan asumsi bahwa kegiatan tulis-menulis di
Israel hanya dimungkinkan dengan munculnya institusi kerajaan. Asumsi ini
3
masuk akal. Supaya dapat mengatur administrasi kerajaan, termasuk di
dalamnya hubungan dan perjanjian dengan bangsa lain, sebuah kerajaan
membutuhkan orang-orang yang memiliki kemampuan tulis-menulis secara
khusus. Berdasarkan asumsi ini, diduga kuat budaya tulis-menulis mulai
muncul sekitar abad ke-10. Secara lebih spesifik, zaman Raja Salomo.
Kemungkinan lainnya adalah periode munculnya Kisah Sejarah
Deuteronomistis. Yang dimaksudkan adalah tulisan awal berupa narasi
tentang sejarah Israel yang berasal dari zaman Raja Yosia (640-609 sM).
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, sejumlah catatan
dapat dipertimbangkan. Pertama, Kitab-kitab Sejarah yang ada sekarang
(paling tidak sebagian besarnya) ini mulai ditulis dan diedit tidak lebih awal
dari abad ketujuh atau beberapa ratus tahun setelah periode Yosua dan periode
Hakim-hakim. Kedua, tidak berarti bahwa sejarah yang ditulis adalah sejarah
yang direkayasa. Para penulisnya tetap menggunakan bahan-bahan dan tradisi
yang tersedia. Akan tetapi, bahan-bahan serta tradisi tersebut bukan pertama-
tama berkaitan dengan sejarah, melainkan berupa legenda atau cerita rakyat.
Oleh karena itu, walaupun mengandung informasi tentang sejarah Israel yang
kurang lebih dapat dipertanggungjawabkan, kitab-kitab sejarah ini hanya
dapat digunakan dengan sangat bijaksana jika akan dipakai untuk
merekonstruksi sejarah Israel.
Rekonstruksi sejarah Israel seperti ditampilkan dalam Kitab-kitab
Sejarah bersifat sangat ideologis. Artinya, tulisan-tulisan itu diwarnai dengan
sangat kuat teologi Deuteronomistis yang memiliki pola sebab-akibat dalam
wujud dosa-hukuman dan kebaikan-ganjaran. Tulisan-tulisan itu disusun dari
sudut pandang atau perspektif Yehuda (Kerajaan Selatan). Sudut pandang ini
berkeyakinan sangat kuat bahwa Yerusalem dan dinasti Daud adalah pilihan
Allah. Sikap terhadap Kerajaan Utara (Israel) kurang simpatik. Sementara itu,
sikap terhadap Bangsa-bangsa Kanaan bahkan lebih buruk. Sudut pandang
4
Yehuda memandang Bangsa Kanaan semata-mata sebagai ancaman bagi
Bangsa Yahudi dan perjanjiannya dengan YHWH.
Penulis sejarah ini jelas berusaha menyusun narasi yang akurat tentang
masa lampau. Akan tetapi, secara lebih spesifik mereka juga ingin
memasukkan pandangan teologis mereka tentang sejarah. Pandangan teologis
itu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebenarnya sebagai karya Allah
sendiri sebagai tanggapan atas perilaku manusia. Analisis yang cermat atas
Kitab-kitab Sejarah menunjukkan bahwa di sejumlah narasinya terdapat
jejak-jejak pandangan editorial yang berbeda-beda yang selanjutnya
dijadikan satu. Misalnya, dalam Kitab 1Samuel dapat ditemukan dua
pandangan tentang terbentuknya kerajaan. Yang satu positif. Lainnya,
negatif.
Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
seorang pembaca harus memiliki kehati-hatian saat bermaksud
merekonstruksi sejarah Israel berdasarkan narasi Kitab Suci secara umum,
dan Kitab-kitab Sejarah secara khusus. Dalam konteks ini Kitab Suci
bukanlah sumber sejarah dalam arti ketat. Sejarah yang ditampilkan dalam
tulisan-tulisan tersebut adalah sejarah bangsa Israel dalam hubungannya
dengan YHWH, Allah mereka. Narasi itu menampilkan sejarah kesetiaan
YHWH dan ketidaksetiaan Israel. kenyataan tersebut menjelaskan bahwa
pewahyuan Allah tidak hanya melalui kata-kata. Pewahyuan Allah juga
terjadi melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah. Secara umum,
penulisan sejarah tidak pernah dapat melepaskan diri dari sudut pandang atau
perspektif tertentu. Secara khusus, penulisan Kitab-kitab Sejarah
menggunakan perspektif atau sudut pandang teologis. Konsekuensinya,
menggunakan Kitab Suci sebagai sumber informasi guna merekonstruksi
sejarah (Israel) hanya dapat dilakukan dengan ekstra hati-hati karena bias
teologisnya terlalu besar.
5
Secara lebih khusus Gereja menegaskan sikapnya terhadap historisitas
tulisan ‘sejarah’ ini melalui Komisi Kitab Suci Kepausan dalam responsa-nya
tertanggal 23 Juni 1905. Tanggapan Gereja negatif, kecuali dalam kasus
tertentu jika dapat dibuktikan dengan argumen kuat bahwa penulis suci tidak
bermaksud memberikan suatu sejarah yang besar dan ketat, melainkan (dalam
narasi sejarah) menyajikan suatu perumpamaan atau alegori (makna lain yang
berbeda dari makna literal dan historis dari kata-kata tersebut). Pernyataan ini
diulang lagi dalam surat Komisi Kitab Suci Kepausan kepada Kardinal
Suhard, Uskup Agung Paris, tertanggal 16 Januari 1948. Kardinal Suhard
menanyakan historisitas sebelas bab awal dari Kitab Kejadian.
Tanggapan Komisi Kitab Suci Kepausan menunjukkan bahwa di satu
pihak, masih ada semacam keengganan untuk menerima bahwa Kitab Suci
tidak (selalu) menyajikan data historis. Akan tetapi, di lain pihak sudah mulai
ada keterbukaan ke arah tersebut. Sekarang ini, banyak orang tanpa kesulitan
menerima bahwa Kitab Suci tidak dapat begitu saja diandaikan menyajikan
informasi sejarah yang selalu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Bentuk Sastra Kitab-Kitab Sejarah
Dibandingkan bagian-bagian Kitab Suci yang lain, bentuk sastra Kitab-
kitab Sejarah ini memiliki karakteristik tersendiri. Selaras dengan hakikatnya
sebagai kitab yang bertujuan mengisahkan ‘sejarah’ (iman) Israel, hampir
seluruh kisah (sejarah), mulai dari Kitab Yosua sampai dengan Kitab 1Raja-
raja dan Kitab Ezra-Nehemia mengambil bentuk sastra prosa dalam wujud
narasi. Hanya beberapa teks yang merupakan puisi. Misalnya, teks Hak.5
yang memuat ‘Kidung Debora’ atau teks 2Sam.22 yang memuat ‘Kidung
Syukur Daud’.
Dengan mengambil bentuk sastra kisah atau narasi, sejarah
disampaikan secara kronologis atau linier. Penulis merangkaikan satu
6
peristiwa satu sesudah perisitwa yang lain. Pada bagian tertentu penulis juga
menyampaikan satu peristiwa sebagai penyebab atau latar belakang dari
peristiwa yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara umum,
Kitab-kitab Sejarah dari Kitab Yosua sampai dengan Kitab Ezra-Nehemia
mengisahkan suatu rangkaian dinamika perjalanan bangsa Yahudi. Salah satu
benang merah tematik yang menyatukan seluruh narasi tersebut adalah ‘tanah
terjanji’. Narasi ini mengaitkan Kitab-kitab Sejarah dengan bagian awal
Kitab-kitab Pentateukh yang mengisahkan bahwa ‘tanah’ yang dijanjikan
YHWH kepada Abraham dan keturunannya sampai pada akhir Pentateukh
tetap belum tergenapi secara nyata. Barulah pada zaman Yosua, janji ‘tanah’
tersebut tergenapi. Bagian awal atau pertama Kitab-kitab Sejarah
menarasikan bangsa Yahudi menyeberangi sungai Yordan dan mulai
memasuki tanah terjanji. Teks Yos.1-12 mengisahkan dinamika penaklukan
ini terjadi. Sementara bagian kedua (Yos.13-21) mengisahkan proses Yosua
membagi-bagikan tanah terjanji tersebut kepada keduabelas suku Israel.
Kitab ini menutup dirinya dengan dua pidato Yosua sebelum wafat. Periode
narasi ini mencakup kurun waktu kira-kira 1225-1200 sM.
Selanjutnya Kitab Hakim-hakim menggambarkan bangsa Israel di
tanah terjanji tanpa adanya seorang pemimpin besar yang berwibawa seperti
Yosua. Tiadanya pemimpin membuat kondisi bangsa Israel bertambah rawan.
Gangguan dari bangsa-bangsa sekitar serta godaan yang menerpa bangsa
Israel untuk berpaling dari YHWH sangatlah besar. Situasi seperti itu
membuka peluang terpicunya bangsa Israel untuk memikirkan jalan keluar
lain. Salah satunya, bentuk monarki (kerajaan) yang dianggap mampu
mempersatukan dan mengorganisasikan bangsa secara lebih baik. Di antara
kitab Hakim-hakim dan Samuel pembaca menjumpai sebuah novel kecil
tentang Rut. Pembaca dapat memandang novel kecil ini sebagai selingan di
luar narasi panjang bangsa Israel. Akan tetapi, sebenarnya pembaca dapat
7
menempatkan novel kecil ini sebagai suatu kisah close-up pada zaman para
hakim. Kisah close-up ini membantu pembaca mendapatkan sudut pandang
yang lebih spesifik tentang kondisi bangsa Yahudi pada periode Hakim-
hakim.
Kitab 1-2Samuel mengisahkan bahwa pada akhirnya bangsa Israel
berhasil mewujudkan impian mereka untuk membentuk suatu pemerintahan
monarki. Mereka memilih dari antara mereka seorang raja. Dua kitab ini
mengisahkan dua raja pertama Israel, yaitu Saul dan Daud. Dua raja ini
memberikan warna yang berbeda dalam dinamika Bangsa Israel terkait
relasinya dengan YHWH. Selanjutnya, kitab 1-2Raja-raja mengisahkan raja-
raja yang menggantikan Saul dan Daud. Periode yang dikisahkan adalah
sampai kerajaan Israel terpecah menjadi dua dan selanjutnya secara definitif
hancur. Sebelas bab pertama kitab 1Raja-Raja mengisahkan raja besar
Salomo yang membangun Bait Allah. Setelah Salomo wafat, kerajaan
terpecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Utara (Israel) dan Kerajaan Selatan
(Yehuda). Kedua kerajaan ini berjalan berdampingan sampai ajal menjemput
mereka masing-masing. Kerajaan Israel hancur secara definitif pada 722 sM.
Sementara itu, secara definitif Kerajaan Yehuda hancur pada 587 sM.
Penduduknya dibuang ke Babilonia. Pada akhir kitab 2Raja-raja (akhir Kisah
Sejarah Deuteronomistis – KSDtr) tanah yang dijanjikan dan dianugerahkan
YHWH kepada bangsa Yahudi akhirnya lepas lagi dari genggaman mereka.
Ditinjau dari sudut isi dan teologi masing-masing kitab, Kitab Yosua,
Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja memiliki kaitan yang
erat satu dengan yang lainnya. Keempat kitab ini berisi satu rangkaian narasi
panjang mengenai sejarah bangsa Israel. Narasi itu membentang mulai dari
perebutan tanah Kanaan sampai pembuangan ke Babel (1250-586 sM). Kitab
Yosua mengisahkan perjuangan Bangsa Israel yang dipimpin Yosua. Mereka
berjuang merebut, menduduki, dan membagi-bagikan tanah Kanaan yang
8
berhasil direbutnya itu kepada ke-duabelas suku Israel. Kitab Hakim-hakim
mengisahkan peristiwa-peristiwa yang dialami ke-duabelas suku Israel saat
baru saja menetap di tanah Kanaan. Secara khusus, yang mendapat sorotan
adalah peperangan melawan musuh di bawah pimpinan para Hakim. Kitab
Samuel mengisahkan dinamika ke-duabelas suku Israel bersekutu untuk
membentuk suatu kerajaan. Salah satu yang mendapat sorotan adalah usaha
mereka mengangkat Saul menjadi raja pertama. Setelah itu, yang juga
menjadi sorotan adalah suksesi kekuasaan dari Saul kepada Daud sebagai
penggantinya.
Kitab Raja-raja mengisahkan kelanjutan Kerajaan Israel setelah periode
pemerintahan Raja Daud. Narasi itu membentang dari periode pemerintahan
Salomo sebagai raja, perpecahan kerajaan menjadi dua (Utara dan Selatan),
sampai kehancuran kedua kerajaan itu secara definitif. Kesinambungan narasi
keempat kitab ini nampak jelas dari awal dan akhir kisah dari masing-masing
kitab (Yos.24:29 dan Hak.1:1; Hak.21:25 dan 1Sam.8:5; 2Sam.23:1 dan
1Raj.2:1). Teologi keempat kitab ini pun sama. Keempat kitab itu mengusung
teologi tentang Allah yang tidak pernah mengingkari firman-Nya yang telah
diucapkan melalui para bapa bangsa dan para nabi. Allah tetap setia kendati
bangsa Israel terus-menerus berpaling dari-Nya untuk sujud menyembah
allah-allah lain. Setiap orang beriman dapat melihat bahwa seluruh sejarah
Israel hanya terdiri dari kemurahan Allah sekaligus keserakahan Israel,
kesetiaan Allah dan kemurtadan Israel, serta pengampunan Allah dan
kedosaan Israel yang terus-menerus terulang kembali (Hak.2:11-19).
Setelah menyimak masing-masing kandungan teologisnya, pembaca
sekurang-kurangnya dapat memetik lima pesan pokok Kitab Yosua, Kitab
Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja.
9
(1) Hanya Yahwe, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan
Mesir. Oleh karena itu, Yahwe adalah satu-satunya Allah yang
harus disembah dan dipuja. Semua allah lain dan patung berhala
mereka harus disingkirkan dari bumi Israel.
(2) YHWH, Allah Israel, harus disembah dan dipuja hanya di kenisah
Yerusalem, tempat yang dipilih Yahwe sendiri. Konsekuensinya,
semua tempat ibadat lain, baik kuil-kuil resmi maupun bukit-bukit
pengorbanan harus dihancurkan.
(3) YHWH memberkati mereka yang setia kepada perjanjian dan
menghukum mereka yang melanggar perjanjian. Jika ingin hidup
sejahtera dan bahagia, bangsa Israel haruslah menaati perjanjian
mereka dengan YHWH.
(4) Sejarah keselamatan Israel ditentukan firman YHWH melalui para
nabi. Sebaliknya, kebijakan politik dan ekonomi yang menjadi
program para raja tidak memberi keselamatan. Jika ingin selamat,
raja dan bangsa Israel harus mendengarkan firman YHWH yang
diserukan para nabi.
(5) Malapetaka telah menimpa bangsa Israel karena mereka melanggar
perjanjian dan tidak mau mendengarkan firman YHWH.
Kehancuran dan pembuangan berasal dari kesalahan raja dan
bangsa Israel sendiri. Bencana atau malapetaka bukanlah akibat
kelalaian atau ketidakmampuan YHWH.
Pesan pokok ini diungkapkan dengan jelas dalam teks-teks kunci.
Misalnya, teks-teks Yos.23-24; Hak.2; 1Sam.12; 2Sam.7; 1Raj.8.11; dan
2Raj.17.25. Di luar itu pembaca dapat memandang Kitab 1-2Tawarikh
sebagai duplikat Kitab 1-2Raja-raja. Alasannya, praktis Kitab 1-2Tawarikh
mengisahkan tawarikh (daftar) raja-raja Israel yang berujung pada
10
pembuangan Babel. Hanya bagian akhir teks 2Taw.36:22-23 yang memuat
informasi tentang akhir masa pembuangan yang tidak terdapat dalam 2Raja-
raja. Bagian ini yang praktis diulang dalam teks Ezr.1:1-4 menjadi titik
sambung antara Kitab 1-2Tawarikh yang adalah periode sebelum
pembuangan dengan Kitab Ezra-Nehemia yang merupakan periode pasca-
pembuangan. Walau bangsa Israel kembali dari pembuangan, tetap saja tanah
itu masih berada di tangan Persia. Mereka hanya memiliki otonomi terbatas.
Kitab Ezra-Nehemia memuat dinamika pembangunan fisik kota Yerusalem
serta pembaharuan komunitas secara religius di bawah pimpinan Ezra.
Demikianlah akhir dari narasi yang merentang panjang dalam kurun
waktu kurang lebih delapan abad (mulai dari abad keduabelas sampai dengan
abad keempat). Justru karena kitab-kitab ini berbentuk narasi, pendekatan
yang paling tepat untuk membaca dan menafsirkannya adalah Pendekatan
Naratif yang masuk dalam Metode Sinkronis. Tentu saja penggunaan
Pendekatan Naratif tidak serta merta mengesampingkan atau membuang
begitu saja Metode Diakronis. Oleh karena itu, untuk menganalisis teks,
pembaca cenderung membaca dan menafsirkan teks-teks Kitab-kitab Sejarah
melalui sudut pandang Pendekatan Naratif dan Metode Diakronis.
3. Karakteristik Kitab-Kitab Sejarah
Dalam Kitab Suci Ibrani ‘Kitab-kitab Sejarah’ juga mendapat sebutan
‘Kitab-kitab Nabi Terdahulu’. Di dalamnya termuat Kitab Yosua, Kitab
Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja. Sedangkan menurut Kitab
Suci Yunani (Septuaginta – LXX), ‘Kitab-kitab Sejarah’ ini meliputi Kitab
Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Rut, Kitab Samuel, Kitab Raja-raja, Kitab
Tawarikh, Kitab Ezra, Kitab Nehemia (Ezra II), Kitab Ester, Kitab Yudit,
Kitab Tobit, dan Kitab Makabe. Kitab-kitab ini mendapat sebutan sebagai
‘Kitab-kitab Sejarah’ karena mengisahkan sejarah iman bangsa Israel dari
11
periode Musa (±1250 sM) sampai periode Pembuangan (±586 sM),
disambung dari periode Akhir Pembuangan (±538 sM) sampai periode
pemberontakan kaum nasionalis Makabe (±135 sM).
Kitab-kitab ini mengisahkan pergulatan dan perkembangan iman
bangsa Israel dalam sejarah hidup mereka selama lebih dari 1.000 tahun.
Selama kurun waktu tersebut bangsa Israel berjuang untuk masuk tanah
terjanji Kanaan. Selain itu, mereka juga berjuang untuk menetap serta
bertumbuh dan berkembang menjadi satu kerajaan. Akhirnya, kurun waktu
itu juga mencatat kondisi bangsa Israel yang hancur berantakan. Dalam
kondisi hancur itu identitas mereka sebagai satu bangsa nyaris lenyap. Akan
tetapi, dari titik terendah itu bangsa Israel mulai bangkit dari kehancuran.
Mereka berjuang untuk menegakkan kembali Kerajaan Israel yang berdaulat
dan berkuasa menentukan nasib mereka sendiri. Di antara keduabelas kitab
itu, ada empat kitab yang kerap mendapat sebutan sebagai ‘Novel Sejarah’
atau ‘Roman Historis’. Keempat kitab itu adalah Kitab Rut, Kitab Ester, Kitab
Yudit, dan Kitab Tobit. Keempat kitab ini memuat narasi tokoh-tokoh tertentu
dalam sejarah Israel yang hebat dan patut diteladani. Tiga di antara tokoh-
tokoh panutan itu adalah perempuan, yaitu Rut, Ester, dan Yudit.
Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel, dan Kitab Raja-raja
juga kerap mendapat sebutan ‘Kitab-kitab Sejarah Deuteronomistis’.
Alasannya, kitab-kitab tersebut mengambil banyak inspirasi dari teologi
Kitab Deuteronomium atau Kitab Ulangan. Menurut pandangan penulis Kitab
Ulangan, YHWH menghadapkan bangsa Israel kepada dua pilihan. Pertama,
‘kehidupan’. Kedua, ‘kematian’. Jika memilih kehidupan, bangsa Israel harus
mengasihi YHWH dengan berpaut pada-Nya. Sebaliknya, jika memilih
kematian, bangsa Israel boleh atau dapat berpaling dari YHWH dan sujud
menyembah allah lain (Ul.30:15-20).
12
Oleh karena mengasihi bangsa Israel dan menginginkan keselamatan
mereka (Ul.7:7-8), YHWH mendesak bangsa Israel memilih kehidupan
(Ul.30:19-20). Akan tetapi, dalam kenyataannya, bangsa Israel cenderung
memilih kematian daripada kehidupan. Sepanjang hidup mereka, sejak narasi
keluaran dari Mesir sampai dengan pembuangan ke Babel, bangsa Israel
terus-menerus dan berkali-kali berpaling dari YHWH dan sujud menyembah
allah lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa YHWH juga kerap
menghukum bangsa Israel. Salah satu hukuman terberat yang dijatuhkan
YHWH untuk bangsa Israel adalah menghancur-leburkan kerajaan mereka
dan membuang mereka ke Babel. Pandangan penulis Kitab Ulangan ini
nampak jelas terbaca dalam Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel,
dan Kitab Raja-raja (Yos.23-24; Hak.2; 1Sam.12; 2Sam.7; 1Raj.8.11;
2Raj.17.25). Akibat pengaruh kitab Ulangan, narasi-narasi yang bervariasi
dari keempat kitab berikutnya (Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja)
menjadi satu rantai panjang dinamika sejarah tentang ‘kesetiaan Allah’ dan
‘kemurtadan Israel’.
Meskipun juga memuat narasi mengenai nenek moyang bangsa Israel,
dari awal dunia sampai awal bangsa Israel yang terbentuk dari keduabelas
suku, Pentateukh atau Taurat atau kelima Kitab Musa (Kejadian, Keluaran,
Imamat, Bilangan, dan Ulangan) tidak termasuk dalam golongan ‘Kitab-kitab
Sejarah’. Terkait dengan gagasan ini, sejumlah ahli mengemukakan
alasannya.
(1) Sudah sejak awal tradisi membedakan Pentateukh dari Kitab Nabi-
nabi Terdahulu yang kemudian disebut ‘Kitab-kitab Sejarah’.
Sesuai namanya, ‘tōrāh’ (Ibrani) atau ‘tawrāt’ (Arab) yang
bermakna ‘petunjuk’, ‘pengajaran’, ‘hukum’, ‘wejangan’, ‘aturan
13
atau nasihat’, kelima kitab Musa itu memuat lebih banyak ‘Taurat’
daripada ‘sejarah’.
(2) Berbeda dari ‘Kitab-kitab Sejarah’ yang berkisah secara lebih logis
dan sesuai dengan realitas sejarah, narasi dalam Pentateukh
cenderung bersifat mitos dan kurang didukung realitas sejarah.
Dalam hal ini, perlu disadari bahwa Pentateukh disusun jauh
kemudian (dari sudut pandang waktu] dibandingkan kejadian atau
peristiwa yang dikisahkan. Pentateukh disusun saat bangsa Israel
telah mengalami kehancuran dan baru mulai kembali membangun
sejarah baru. Pentateukh disusun untuk menjadi peringatan supaya
bangsa Israel jangan mengulangi lagi kesalahan yang sama. Selain
itu, proses menyusun Pentateukh juga bertujuan supaya bangsa
Israel senantiasa berpedoman pada awal sejarah terdahulu.
Dalam tradisi Yahudi, Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab
Samuel, dan Kitab Raja-raja mendapat sebutan sebagai ‘Kitab-kitab Nabi-
nabi Terdahulu’. Menurut tradisi itu pula, keempat kitab ini ditulis oleh ‘Nabi’
Yosua, ‘Nabi’ Samuel, dan Nabi Yeremia. Tradisi itu beranggapan bahwa
Kitab Yosua ditulis Yosua sendiri. Kitab Hakim-hakim dan Kitab Samuel
ditulis Samuel. Sedangkan Kitab Raja-raja ditulis Yeremia. Ketiga penulis ini
kerap mendapat sebutan ‘nabi-nabi’ karena mereka pun meyuarakan firman
atau sabda Allah, sebagaimana para nabi lainnya. Selain itu, keempat kitab
ini banyak memuat narasi tentang nabi-nabi tertentu (Gad, Natan, Elia, dan
Elisa) berikut nubuat-nubuat mereka. Guna membedakan kitab-kitab ini
dengan kitab-kitab para nabi lain, yang dalam Kitab Suci Ibrani disebut
‘nebî’îm’, para ahli kerap menyebut kitab-kitab ini sebagai ‘nebî’îm
ri’syonîm’ (nabi-nabi terdahulu). Dengan demikian, akhirnya muncul dua
istilah teknis dalam tradisi Yahudi. Pertama, Kitab ‘Nabi-nabi Terdahulu’
14
yang mencakup Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja. Kedua,
Kitab ‘Nabi-nabi Kemudian’ yang mencakup Kitab-kitab Nubuat Yesaya,
Yeremia, Yehezkiel, dan keduabelas nabi lainnya. Istilah teknis ‘Nabi-nabi
Terdahulu’ mendapatkan pembenaran atau masuk akal sejauh keempat kitab
itu juga berisikan semangat dan warta kenabian, khususnya semangat dan
warta Kitab Ulangan dan Kitab Yeremia, yang menyerukan kesetiaan total
kepada YHWH.
C. RANGKUMAN
(1) Dalam konteks Kitab Suci, kata ‘sejarah’ selalu memuat makna ‘sejarah
iman’. Sejarah iman adalah kejadian dan peristiwa yang dilihat dengan
mata atau sudut pandang iman. Oleh karena itu, istilah teknis ‘Kitab-kitab
Sejarah’ harus dipahami dalam konteks ‘sejarah iman’. Dengan
demikian, harus ada perbedaan antara pemahaman antara yang
sesungguhnya terjadi (realitas historis) dengan permenungan iman akan
kehadiran Allah dalam momen tersebut.
(2) Selaras dengan hakikatnya sebagai kitab yang bertujuan mengisahkan
‘sejarah’ (iman) Israel, hampir seluruh kisah (sejarah), mulai dari Kitab
Yosua sampai dengan Kitab 1Raja-raja dan Kitab Ezra-Nehemia
mengambil bentuk sastra prosa dalam wujud narasi. Hanya beberapa teks
yang merupakan puisi. Misalnya, teks Hak.5 yang memuat ‘Kidung
Debora’ atau teks 2Sam.22 yang memuat ‘Kidung Syukur Daud’.
(3) Kitab-kitab ini mengisahkan pergulatan dan perkembangan iman bangsa
Israel dalam sejarah hidup mereka selama lebih dari 1.000 tahun. Selama
kurun waktu tersebut bangsa Israel berjuang untuk masuk tanah terjanji
Kanaan. Selain itu, mereka juga berjuang untuk menetap serta bertumbuh
dan berkembang menjadi satu kerajaan. Akhirnya, kurun waktu itu juga
mencatat kondisi bangsa Israel yang hancur berantakan.
PENGANTAR UMUM: KISAH SEJARAH DEUTERONOMISTIS
(
Pembaharuan atau reformasi Deuteronomistis terhenti akibat wafatnya
Raja Yosia (609 sM). Akan tetapi, di kalangan tertentu, terutama yang dekat
dengannya, cita-cita reformasi Raja Yosia tetap dikobarkan. Kalangan ini
lantas menyusun sebuah karya raksasa. Mahakarya tersebut memuat kisah
sejarah Bangsa Israel sejak Musa sampai dengan Periode Pembuangan.
Kemungkinan besar karya itu telah dimulai sejak periode Raja Yosia. Rintisan
tersebut terus dikerjakan selama beberapa generasi sampai sekitar 560 sM.
Para penyusun kisah atau narasi ini menggunakan banyak materi kunno.
Sebagian besarnya dalam wujud tradisi lisan. Akan tetapi, sebagian lainnya
adalah tradisi tertulis. Tradisi tertulis ini memuat suatu refleksi teologis
tentang sejarah Bangsa Israel. Sebagai indikator untuk menilai tokoh-tokoh
dan peristiwa yang ada dalam narasi tersebut, digunakanlah naskah teks Ul.5-
17
28. Berdasarkan indikator tersebut, kelompok penyusun narasi sekaligus
kelompok terdekat Raja Yosia ini mendapat sebutan ‘Kelompok
Deuteronomistis’. Kitab Ulangan 5-28 para proses editorialnya mendapat
tambahan dengan teks Ulangan 1-4 dan teks Ulangan 29-34. Secara
keseluruhan gabungan materi ini menjadi pengantar bagi kisah atau narasi
yang memuat Kitab-Kitab Yosua, Hakim-Hakim, 1-2Samuel, dan 1-2Raja-
Raja. Penyusunan Kisah Sejarah Deuteronomistis (KSDtr) yang telah dimulai
sejak Raja Yosia diteruskan pada saat Pembuangan Babel. Naskah ini
mendapat wujud definitifnya pada sekitar 560 sM.
B. PENYAJIAN MATERI
Martin Noth mengajukan tiga gagasan terkait Kitab-kitab Sejarah
Deuteronomistik (KSDtr.). Pertama, (para) penulis atau editornya menyusun
kitab-kitab ini selama periode Pembuangan di Babel. Kedua, kitab-kitab ini
merupakan satu kesatuan tulisan yang direncanakan dan disusun dengan
sangat baik. Kitab-kitab ini merupakan buah tangan penulis yang sangat
terampil. Ketiga, (para) penulis atau editor kitab-kitab ini menyusun atau
menulis dengan menggunakan kombinasi dari aneka sumber dan komentar
redaksional dengan pertimbangan yang sangat bijaksana dan teliti. Selain
ketiga gagasan ini, Noth juga mengajukan hipotesis bahwa kitab-kitab ini
merupakan catatan yang memuat dokumen-dokumen penghakiman dan
penghukuman bagi Bangsa Israel karena ketidak-setiaan mereka kepada
perjanjian dengan Yahwe.
Sejumlah ahli tidak sepakat dengan gagasan Noth, terutama gagasannya
yang pertama. Para ahli cenderung menerima gagasan bahwa kitab-kitab ini
masuk dan proses penulisan sekaligus mendapat wujudnya yang definitif
pada periode pemerintahan Raja Yosia. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika kitab-kitab ini memuat narasi tentang para pemimpin Bangsa Israel. Para
18
pemimpin Bangsa Israel yang masuk dalam narasi terutama adalah yang setia
pada pembaharuan perjanjian berdasarkan Tradisi Ulangan atau Tradisi
Deuteronomistik. Gagasan ini masuk akal karena yang paling gencar
mempromosikan upaya reformasi berbasiskan Tradisi Deuteronomistik
adalah Raja Yosia.
Penulis atau editor kitab-kitab ini mengurutkan para pemimpin Bangsa
Israel mulai dari Musa sampai dengan Raja Yosia. Urutan semacam ini dipilih
untuk membangun suatu narasi tentang keberhasilan para pemimpin Bangsa
Israel yang berpegang erat pada Tradisi Deuteronomistik. Keberhasilan para
pemimpin ini terjadi karena Tradisi Deuteronomistik adalah tradisi yang
ditetapkan Allah sendiri supaya diberlakukan secara legal dalam kehidupan
Bangsa Israel, terutama kehidupan religius mereka. Para pemimpin yang
menempatkan Tradisi Deuteromistik ini membawa rakyatnya hidup selaras
dengan Hukum Taurat yang merupakan buah utama tradisi ini.
Guna melukiskan pengaruh kuat Tradisi Deuteronomistik pada
kehidupan Bangsa Israel, penulis atau editor mengorganisasikan kitab-kitab
ini menjadi tiga periode historis. Masing-masing periode mendapat dominasi
pola kepemimpinan tertentu. Periode pertama meliputi masa kepemimpinan
Musa sampai dengan wafatnya sang pengganti, yaitu Yosua. Dalam periode
tersebut diungkapkan bahwa Musa mengawali terikatnya Bangsa Israel
dengan Hukum Taurat. Selanjutnya, Yosua sebagai pengganti meneruskan
proyek rintisan Musa tersebut dengan terus-menerus mengingatkan Bangsa
Israel supaya tetap berpegang pada Hukum Taurat. Selain itu, Yosua juga
menuntaskan perjalanan Bangsa Israel menuju kepenuhan atau penggenapan
janji Allah yang diberikan kepada mereka melalui Musa.
Periode kedua adalah era kebangkitan para Hakim samapi dengan
munculnya para Raja. Para Hakim mengisi kekosongan posisi kepemimpinan
dari era Pemimpin Karismatis yang menampilkan Musa dan Yosua karena
19
setelah keduanya wafat, Bangsa Israel tidak lagi memiliki pemimpin tunggal
atas dua belas suku tersebut. Pada era kepimpinan para Hakim, Bangsa Israel
mengungkapkan ketidak-puasannya karena mereka tidak memiliki seorang
pemimpin tunggal. Atas desakan dan tuntutan tersebut, Samuel sebagai
Hakim terakhir sekaligus Nabi, memohon kepada Allah supaya Bangsa Israel
memeroleh seorang raja. Akhirnya, Allah menganugerahkan seorang raja
kepada Bangsa Israel dalam diri Saul. Periode ini menutup dirinya dengan
penetapan Saul sebagai Raja Bangsa Israel. Penetapan Saul sebagai raja ini
dilaksanakan Samuel.
Periode ketiga mencakup sejarah kerajaan dari era berkuasanya Raja
Saul (1Sam.13:1) sampai dengan pemerintahan Raja Yosia. Periode ini
mengakhiri dirinya dengan laporan tentang perayaan Paskah Bangsa Israel
dalam teks 2Raj.23:21-23. Butir penting alur sejarah dalam tiga periodisasi
itu adalah otoritas para Nabi untuk menafsirkan Sabda Allah sekaligus
membimbing Bangsa Israel, termasuk rajanya menghayati hidup selaras
dengan Hukum Taurat. Garis-garis otoritatif para Nabi ini sangat nampak
pada akhir periode kedua. Salah satunya nampak pada narasi penunjukan
sekaligus penetapan Saul sebagai Raja Bangsa Israel yang dilaksanakan
Samuel untuk memenuhi tuntutan masyarakat (1Sam.8). Dengan demikian,
periode ketiga menjadi periode di mana Bangsa Israel berjalan sebagai bangsa
di bawah bimbingan Raja sekaligus Nabi.
1. Periode Pertama: Kepemimpinan Karismatis
Narasi periode ini berawal dari pidato Musa di hadapan Bangsa Israel.
Saat itu Bangsa Israel telah tiba di tepi Sungai Yordan. Mereka telah
menaklukkan bangsa-bangsa di sekitar wilayah tersebut. Mereka harus
menyeberangi Sungai Yordan supaya dapat sampai ke Tanah Terjanji,
sekaligus mengalami penggenapan janji Yahwe kepada mereka. Dalam
20
pidato itu Musa menampakkan kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin
karismatis. Kualitas diri itu tidak dapat terlepas dari kesetiaannya pada Tradisi
Deuteronomistik yang berbasiskan ketaatan pada Hukum Taurat. Musa
melaksanakan otoritasnya selaras dengan wahyu yang diperolehnya dari
Allah.
Musa memanfaatkan otoritasnya itu untuk menyampaikan tiga
gagasannya kepada Bangsa Israel. Pertama, dengan otoritasnya Musa
menafsirkan sejarah (iman) Bangsa Israel berdasarkan sejarah masa lalu
(Ul.1-3) sampai dengan titik waktu tersebut. Kedua, Musa menggunakan
otoritasnya untuk menetapkan program bagi kehidupan masa depan Bangsa
Israel di Tanah Terjanji. Program itu berbasiskan pada kesetiaan pada Tradisi
Deuteronomistik dan Hukum Taurat. Basis itu menjadi penting sebagai
indikator kesuksesan Bangsa Israel di masa yang akan datang. Ketiga, dengan
otoritasnya Musa memilih dan mengangkat seorang pemimpin karismatis
untuk menggantikannya (Ul3:28; 31:7-8). Musa memilih dan mengangkat
Yosua untuk meneruskan otoritasnya menjaga kesetiaan pada Tradisi
Deuteronomistis.
Segera nampak perbedaan otoritas antara Musa dan Yosua. Pada diri
Musa, otoritas itu datang secara langsung berkat pewahyuan yang
diterimanya. Sedangkan pada diri Yosua, otoritas itu berwujud upaya untuk
menafsirkan kata-kata atau instruksi Musa berbasiskan wahyu tersebut.
Dengan kata lain, Musa tampil sebagai pemimpin paradigmatik. Artinya, ia
merangkum semua otoritas yang diperlukan untuk mengarungi sekaligus
menafsir sejarah keselamatan Bangsa Israel berbasiskan Tradisi
Deuteronomistis. Sedangkan para pemimpin setelahnya menjalankan hanya
beberapa atau salah satu dari semua otoritas yang dimiliki Musa itu seturut
dengan konteks atau dinamika yang terjadi pada zamannya.
21
Dalam pidatonya Musa mengajak Bangsa Israel meninjau kembali
perjanjian yang dilakukan pendahulu mereka di Horeb. Generasi yang baru
saja keluar dari perbudakan Mesir mengikat diri mereka dalam perjanjian
dengan Allah. Dalam perjanjian tersebut Allah menjanjikan bahwa mereka
akan menaklukkan Tanah Terjanji (Ul.1:6-8). Akan tetapi, Bangsa Israel
kurang sabar. Akibatnya, berkali-kali mereka memberontak terhadap Allah
dan mengingkari perjanjian. Menurut Tradisi Deuteronomistis, tindakan
semacam itu pantas mendapat ganjaran hukuman dalam wujud pembalasan
Ilahi. Musa menunjukkan bahwa pembalasan Ilahi itu benar-benar terwujud
karena generasi awal itu musnah di padang gurun (Ul.2:14-15). Yang penting
diperhatikan di sini bukanlah pembalasan Ilahi itu sendiri. Yang perlu
mendapat perhatian adalah bahwa kriteria Tradisi Deuteronomistis nampak
pada nubuatan janji Allah dalam wujud sumpah-Nya (Ul.1:35) dan
penggenapan atas janji tersebut (Ul.2:14).
Kriteria Tradisi Deuteronomistis juga nampak dalam teks Ul.12:8-12.
Secara khusus teks Ul.12:9-10 memuat narasi tentang Musa yang memberi
penegasan atas janji penaklukan musuh untuk merebut Tanah Terjanji dan
terbebasnya Bangsa Israel dari musuh-musuh tersebut. Ayat selanjutnya
memberikan gambaran atau program kehidupan yang akan dijalani bangsa
Israel saat sudah bebas dari ancaman musuh dan mengelola Tanah Terjanji.
Program hidup yang harus dijalani Bangsa Israel adalah ibadah kepada Allah
secara eksklusif sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Tradisi
Deuteronomistis. Pada gilirannya, kesetiaan ini akan membuahkan aneka
macam berkat bagi bangsa tersebut. Secara kronologis program ini berawal
dari penaklukan musuh dan perebutan Tanah Terjanji di bawah pimpinan
Yosua (Yos.21:43-45). Akhir dari program itu adalah buah-buah manis
kesuksesan berkat kesetiaan pada perjanjian dalam wujud pembangunan dan
penahbisan Bait Suci Yerusalem pada periode pemerintahan Raja Salomo
22
(1Raj.8:56). Kesuksesan itu hanya berumur singkat. Ketidak-setiaan Raja
Salomo mengakibatkan kerajaan hancur. Akan tetapi, periode pemerintahan
Raja Yosia membangkitkan kembali kepercayaan bahwa dengan reformasi
yang dilakukannya, kejayaan Bangsa Israel akan kembali.
Komentar penutup periode ini dijumpai pada teks Yos.24:29-31 dan
teks Hak.2:10. Teks-teks ini menegaskan posisi Tradisi Deuteronomistis yang
harus menjadi basis kesetiaan generasi penakluk musuh sekaligus generasi
perintis masuk Tanah Terjanji. Keberhasilan generasi ini tidak dapat
dilepaskan dari kesetiaan mereka pada perjanjian (Yos.24:31) yang
membuahkan penggenapan janji tersebut (Yos.43-45) sebagai hadiah
kesetiaan (Yos.24:31). Dengan demikian, periode ini menutup dirinya dengan
penegasan legalitas interpretasi Musa atas peristiwa yang tercatat dalam teks
Ul.1-3 tentang perjanjian di Horeb sebagai landasan perjanian antara Allah
dengan Bangsa Israel.
2. Periode Kedua: Bangsa Israel dari Era Para Hakim Menuju Era
Para Raja
Bagian awal periode ini segera memberikan gambaran kontras dan
tajam antara kondisi di saat Bangsa Israel di bawah kendali para Pemimpin
Karismatis dengan kondisi sesudahnya. Dinamika menuju realisasi program
hidup sebagaimana yang disampaikan para Pemimpin Karismatis terancam
ketidak-setiaan yang berulang-ulang dan terus-menerus dilakukan generasi-
generasi berikutnya (Hak.2:11-19). Selain ketidak-setiaan, aneka macam
ancaman dari luar terus datang silih berganti. Misalnya, musuh-musuh yang
datang ingin merebut tanah. Terjadi dinamika setia-murtad. Pada periode para
Hakim ini Bangsa Israel berkali-kali murtad. Akan tetapi, berkat hadirnya
sejumlah Hakim di periode kelam itu, Bangsa Israel dapat kembali selamat.
23
Pola dinamis ini menunjukkan perbedaan tajam dengan periode para
Pemimpin Karismatis yang cenderung linier.
Masalah utama periode ini adalah tidak adanya pemimpin tunggal yang
dapat membawa seluruh Bangsa Israel sebagai satu kesatuan untuk tetap setia
pada perjanjian. Sejumlah peristiwa menunjukkan upaya menyelesaikan
masalah ini. Antara lain, upaya Abimelekh untuk menjadi raja. Akan tetapi,
upayanya ini gagal total (Hak.9). Oleh karena upaya ini gagal, Bangsa Israel
kembali kepada pola kepemimpinan sporadis para Hakim sembari
memulihkan ketertiban yang sempat kacau akibat upaya Abimelekh tersebut
(Hak.10:1-5). Penulis kitab membangun narasi dalam periode ini dengan
mengumpulkan dan menggunakan dokumen-dokumen yang memuat narasi
masa-masa sulit Bangsa Israel pada periode pra-monarki. Dokumen-dokumen
tersebut adalah produk Tradisi Deuteronomistis yang ditemukan di Israel dan
Yehuda. Para ahli kerap menyebut masa ini sebagai tahap pertama dari
periode kedua.
Tahap kedua dari periode kedua ini melukiskan pergerakan dinamis
sejarah Bangsa Israel menuju terbentuknya monarki. Para penulis atau editor
kitab membangun tahap kedua ini dari kumpulan narasi para Hakim. Setelah
sejumlah narasi para Hakim dengan karakteristiknya masing-masing, tahap
kedua ini mengerucut pada satu sosok, yaitu Samuel. Samuel muncul sebagai
Hakim. Sebagai Hakim, Samuel memiliki tugas khusus yang tidak dimiliki
para Hakim sebelumnya, yaitu mencari, memilih, dan menetapkan Raja bagi
Bangsa Israel. Sebenarnya pola tahap kedua ini tidak berbeda dengan pola
tahap pertama. Polanya tetaplah dinamis dalam wujud sikap murtad-setia
Bangsa Israel terhadap perjanjian. Pola ini memuncak pada kegagalan para
putra Eli memimpin Bangsa Israel (1Sam.1:1-2:36). Kegagalan ini paralel
dengan kegagalan Abimelekh. Kegagalan ini memberi kapet merah bagi
Samuel untuk berperan sebagai Hakim terakhir. Di sini nampak jelas bahwa
24
kesetiaan pada Tradisi Deuteronomistis menjadi fitur yang tidak dapat
dikecualikan untuk menuju pada era Kerajaan atau Monarki Israel.
Peralihan kepemimpinan Bangsa Israel menuju era Kerajaan
menemukan wujudnya dalam majelis di Gilgal. Di sana Samuel
memeteraikan perintah Allah dalam memilih dan mengurapi Saul sebagai
raja. Di Gilgal semua orang anggota Bangsa Israel bersatu untuk menjadi Saul
sebagai Raja Bangsa Israel. Dengan meterai dan pengurapan tersebut Bangsa
Israel memiliki suatu bentuk kepemimpinan yang baru, yaitu kepemimpinan
di bawah kendali Nabi dan Raja. Sekaligus, dalam wujud kepemimpinan yang
baru ini Bangsa Israel berhasil mengembalikan momentum kepemimpinan
sebagaimana terjadi pada periode para Pemimpin Karismatis. Momentum ini
memampukan Bangsa Israel merealisasikan sekaligus menyelesaikan
program-program awal yang belum atau gagal terlaksana (Ul.12:10-11 dan
1Raj.8:56).
3. Periode Ketiga: Bangsa Israel di Bawah Kepemimpinan Nabi dan
Raja
Periode ini mencakup waktu yang paling luas dan panjang. Penulis atau
editor membangun periode ini dengan bantuan tiga sumber utama. Pertama,
ada sejumlah catatan tentang nubuatan. Catatan ini menelusuri narasi awal
monarki melalui Raja Daud sampai dengan Raja Salomo. Narasi berlanjut
dengan peristiwa terpecahnya Kerajaan Tunggal Israel menjadi dua. Narasi
berikutnya mengikuti alur kronologi yang terjadi di Kerajaan Utara (Israel)
sampai dengan kudeta Yehu yang sukses. Kedua, catatan tentang perluasan
wilayah Kerajaan Utara dan sejumlah nubuatan yang melengkapi narasi
tentang Kerajaan Utara. Nubuatan itu mencakup laporan singkat tentang
pemerintahan setiap raja dari Raja Yehu sampai dengan Raja Hosea. Laporan
25
singkat itu juga berisi penilaian terhadap kualitas masing-masing raja.
Kriterianya berbasiskan kesetiaan pada Tradisi Deuteronomistis.
Ketiga, dokumen dari Kerajaan Selatan yang memberikan catatan
paralel tentang pemerintahan para raja mulai dari Daud, terpecahnya Kerajaan
Tunggal Israel, pemerintahan Raja Rehabeam, sampai dengan penyelesaian
krisis Siro-Efraim yang sukses dari Raja Hizkia. Sebagaimana dokumen dari
Kerajaan Utara, ada formulasi penilaian para raja yang berbasiskan kesetiaan
pada Tradisi Deuteronomistis. Masing-masing sumber tersebut diadaptasi
untuk memajukan promosi teologis Tradisi Deuteronomistis sebagaimana
adagium yang berlaku saat itu, ‘segala janji yang baik, yang diucapkan Musa,
hamba-Nya’ (1Raj.8:56) akan terlaksana.
Penulis atau editor juga mengolah kembali pidato-pidato kenabian yang
sesuai untuk memposisikan para nabi seperti Musa dalam hal menafsirkan
perjalanan sejarah keselamatan Bangsa Israel menurut kriteria Tradisi
Deuteronomistis. Kriteria itu mewujud dalam tiga sikap. Pertama, sikap setia
yang eksklusif kepada Yahweh. Kedua, sikap setia pada ibadah yang terpusat
di Bait Suci. Ketiga, sikap setia kepada Sabda Allah yang keluar dari mulut
para Nabi. Kesetiaan akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan.
Ketidak-setiaan akan menyeret pada kondisi yang sebaliknya. Raja yang setia
akan berhasil. Sebaliknya, raja yang tidak setia akan gagal, bahkan mati.
Ketiga kriteria itu sangat jelas dan tegas. Ketiga kriteris tersebut juga
mengikat erat para raja, baik yang berkuasa di Kerajaan Utara, maupun yang
berkuasa di Kerajaan Selatan. Sikap setia pada Yahwe dan perjanjiannya
menjadi sesuatu yang sangat mutlak untuk mendapatkan keselamatan. Sikap
setia ini tidak hanya harus dimiliki secara personal. Setiap raja juga harus
membawa atau mengajak rakyatnya untuk menghayati sikap setia yang
serupa. Jika gagal, ia akan mendapatkan bencana. Jika berhasil, ia mendapat
hadiah berupa periode pemerintahan yang menyenangkan.
26
Sejumlah raja berkomitmen untuk setia. Komitmen ini nampak pada
bagian akhir narasi periode ketiga ini (2Raj.23:3b.21-23). Yang menjadi
motivasi untuk membangun komitmen ini adalah dua peristiwa besar yang
menjadi pengalaman berharga Bangsa Israel. Pertama, penobatan dan
pengurapan Saul menjadi Raja pertama Bangsa Israel (1Sam.11:15). Kedua,
penahbisan Bait Suci di Yerusalem (1Raj.8:14.55). Selain itu, penemuan
gulungan kitab (Ulangan) dan penggunaanya sebagai landasan reformasi
senantiasa mengingatkan orang pada periode Musa. Oleh karena itu, titik
perhatian periode ini terletak pada keberhasilan pemerintahan Raja Yosia.
Keberhasilan itu bukan saja sebagai sesuatu yang bersifat reformatif. Akan
tetapi, keberhasilan adalah analog atau mengulang kembali narasi sukses
Musa, Yosua, dan generasi penakluk Tanah Terjanji. Dengan demikian,
pemerintahan Raja Yosia sebagaimana masa awal Bangsa Israel di Tanah
Terjanji, menjadi awal dari era baru bagi Bangsa Israel di generasi berikutnya
untuk menemukan wujud relevan sikap setia pada Tradisi Deuteronomistis
yang membawa pada keselamatan.
C. RANGKUMAN
(1) Para pemimpin Bangsa Israel yang masuk dalam narasi terutama adalah
yang setia pada pembaharuan perjanjian berdasarkan Tradisi Ulangan
atau Tradisi Deuteronomistik. Gagasan ini masuk akal karena yang
paling gencar mempromosikan upaya reformasi berbasiskan Tradisi
Deuteronomistik adalah Raja Yosia.
(2) Program hidup yang harus dijalani Bangsa Israel adalah ibadah kepada
Allah secara eksklusif sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Tradisi
Deuteronomistis. Pada gilirannya, kesetiaan ini akan membuahkan aneka
macam berkat bagi bangsa tersebut.
27
(3) Titik perhatian periode Kisah Sejarah Deuteronomistis, terutama saat
Bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi dan Raja terletak pada
keberhasilan pemerintahan Raja Yosia. Keberhasilan itu bukan saja
sebagai sesuatu yang bersifat reformatif. Akan tetapi, keberhasilan
adalah analog atau mengulang kembali narasi sukses Musa, Yosua, dan
generasi penakluk Tanah Terjanji.
PENGANTAR UMUM: KISAH SEJARAH KRONISTIS (
Sekitar 400 sM seorang atau sekelompok orang Levita atau keturunan
Suku Lewi menyusun sebuah karya sejarah. Karya sejarah itu meliputi kurun
waktu dari periode Raja Daud sampai dengan periode Ezra-Nehemia.
Penyusun atau editor mengawali rangkaian sejarah itu dengan sederetan
daftar silsilah. Daftar itu berawal dari Adam sebagai manusia pertama sampai
dengan Raja Daud. Dengan memanfaatkan Kitab 1-2Samuel dan Kitab 1-
2Raja-Raja sebagai sumber utamanya, penulis atau editor menyusun narasi
sejarah itu. Selain kedua sumber tersebut, sebenarnya penulis juga
menggunakan sumber-sumber lain yang kemungkinan besar berasal dari
Periode Pembuangan. Penulis atau editor merangkaikan narasi dari pelbagai
sumber itu dengan dua pusat perhatian. Pertama, Kenizah atau Bait Allah
Yerusalem. Kedua, wangsa atau keturunan Kerajaan Daud (Selatan-Yehuda).
Berdasarkan dua pusat perhatian itu menjadi jelas bahwa Kitab Sejarah
29
Kronistis cenderung merupakan memoar atau catatan-catatan sejarah di
Kerajaan Selatan. Kerajaan Utara tidak mendapat sorotan karena dianggap
menyeleweng. Bagian kedua Kisah Sejarah Kronistis sangat mengandalkan
catatan-catatan yang disusun kedua tokohnya, yaitu Ezra dan Nehemia.
B. PENYAJIAN MATERI
Teks-teks Kitab Suci tidak hanya mencerminkan realitas sejarah pada
masa proses komposisi atau proses peredaksiannya melalui teks itu sendiri.
Teks-teks itu juga sekaligus menciptakan dunia tekstual. Teks-teks tersebut
memberikan pilihan-pilihan teologis yang mendasar, merancang cetak biru
untuk interpretasi realitas, sekaligus menarik batas-batas antara institusi
politik, individu, etnis, dan posisi yang memiliki pengaruh yang menentukan
identitas seorang individu atau kelompok individu dalam teks Kitab Suci
tersebut. misalnya, perlakuan terhadap orang-orang Samaria dalam Kitab
Suci Ibrani yang dilanjutkan tradisi Yahudi-Kristiani pada periode
selanjutnya. Teks-teks berkontribusi membangun karikatur atau
penggambaran karakteristikal tentang orang Samaria sebagai Komunitas
Gerizim dengan menyebarkan isu-isu negatif, bahkan fitnah bahwa mereka
adalah sekte sesat sekaligus orang asing yang harus dijauhi. Gambaran
semacam ini termuat di dalam Kisah Sejarah Kronistis.
1. Konflik Samaria-Yehuda
Relasi Samaria dengan Yahudi yang buruk sebenarnya menjadi rusak
bukan akibat konflik antar mereka, melainkan akibat isu-isu yang ditiupkan
di antara mereka. Isu-isu tersebut berkembang biak terutama pada Periode
Kerajaan Persia berkuasa. Terpisahnya sebagian Bangsa Israel yang berada di
pembuangan dengan orang-orang Samaria yang masih mendiami tanah
Palestina membuat isu-isu negatif mudah dihembuskan. Padahal, sejatinya
30
mereka sama-sama menyembah dan beribadah kepada Yahweh. Akan tetapi,
seolah-olah yang mendapat identitas atau sebutan sebagai penyembah
Yahweh sejati hanyalah Bangsa Israel atau orang Yahudi. Sebaliknya, orang
Samaria mendapat stigma sebagai penyembah dewa-dewa kafir. Dampak
stigma ini sampai pada proses redaksional Kitab-Kitab Sejarah Kronistis yang
memuat Kitab 1-2Tawarikh, Kitab Ezra, dan Kitab Nehemia. Akibatnya,
kitab-kitab ini, terutama Kitab Ezra-Nehemia banyak menampilkan konflik
Samaria-Yahudi.
Secara tradisional Kitab Ezra-Nehemia masuk dalam konflik Samaria-
Yahudi. Lebih dari itu, sejumlah teksnya bahkan memberi gambaran ekstrim
konfrontasi itu. Misalnya, teks Ezra 4:1-24 yang melukiskan relasi Samaria-
Yahudi secara paradigmatik untuk keseluruhan kitab. Teks tersebut masuk
dalam narasi besar pembangunan kembali Bait Allah (Ezra 1-6). Narasi besar
itu mengungkapkan bahwa proses membangun Bait Allah tidak mudah.
Kesulitan terutama datang akibat terjadinya gangguan dan ancaman dari
suku-suku tetangga (Ezr.3:3). Yang dimaksudkan dengan suku tetangga yang
mengancam dan mengganggu adalah Suku Samaria. Penulis Kitab Ezra
menempatkan konfrontasi antara Bangsa Israel (Yahudi) dengan orang
Samaria pada periode awal pemulihan kembali Bait Allah (Ezr.4:1-5; 6-23).
Konflik di awal proses pembangunan atau pemulihan ini adalah dampak isu
yang dihembuskan rejim Persia selama masa pembuangan Bangsa Israel. Isu
negatif ini menjadi semacam api dalam sekam. Saat mendapat kesempatan
kembali ke Tanah Terjanji, api dalam sekam ini benar-benar tersulut menjadi
kobaran konflik.
Kitab 1-2Tawarikh memberikan gambaran yang lebih kompleks
terhadap konflik Samaria-Yudea. Pengaruh Periode Persia akhir sekaligus
awal Periode Helenistik sangat memberi pengaruh pada gambaran konflik itu.
Dukungan kedua periode sangat berpengaruh, bahkan membebani penulis
31
Kitab 1-2Tawarikh. Akibatnya, sudut pandang Kitab 1-2Tawarikh sangat
anti-Samaria. Kitab(-kitab) ini seolah-olah menjadi lanjutan dari Kitab(-
kitab) sebelumnya (Kitab Ezra-Nehemia) dalam upaya menggambarkan
stigma sekaligus gambaran negatif orang Samaria. Bahkan, sejumlah ahli
menyebut bahwa Kitab 1-2Tawarikh sangat tergabtung pada Kitab Ezra-
Nehemia terkait sudut pandang terhadap orang Samaria. Karakteristik sudut
pandang ini sekaligus (dan sekali lagi) menjadi ciri khas Kisah Sejarah
Kronistis (KSK). Alfred Noth bahkan menyebutkan bahwa Kitab-Kitab
Sejarah Kronistis merupakan buku pegangan dasar atau narasi inti bagi
mereka yang termasuk dalam komunitas Yerusalem yang kerap menyebut diri
mereka sebagai ‘Sisa-sisa Israel yang sejati’. Kelompok fanatik ini
mengklaim sebagai penerus sejati dan legal tradisi Yudaisme.
2. Karakteristik 1-2Tawarikh
Akan tetapi, sejak 1960-an sejumlah ahli memandang bahwa Kitab 1-
2Tawarikh adalah karya yang independen. Kitab ini lepas dari ketergantungan
pada materi atau sudut pandang Kitab Ezra-Nehemia. Pandangan atau
gagasan ini memandang Kitab 1-2Tawarikh sebagai narasi yang menyajikan
konsep ‘Pan-Israel’. Istilah ‘Pan-Israel’ adalah memandang Bangsa Israel
sebagai satu kesatuan bangsa yang satu dan utuh. Pandangan ini melihat
bahwa baik mereka yang mengalami pembuangan, maupun yang tinggal
bertahan di Tanah Terjanji memiliki hak disebut sebagai Bangsa Israel tanpa
kecuali. Dengan sudut pandang tersebut, sebagian Kitab 1-2Tawarikh tidak
menyampaikan narasi konflik Samaria-Yudea. Sebaliknya, kitab ini
menampilkan sejumlah narasi bernuansa inklusif terhadap para penyembah
Yahweh yang tinggal di Utara (orang Samaria). Singkat kata, Kitab 1-
2Tawarikh bukan merupakan ekstensifikasi gagasan Kitab Ezra-Nehemia,
terutama terkait konflik Samaria-Yudea. Dengan cara atau sudut
32
pandangannya tersendiri, kitab ini mengungkapkan karakteristik berbeda
dalam ibadat yang dilakukan orang Samaria kepada Yahweh.
Kitab 1-2Tawarikh memberikan observasi terkait karakteristik berbeda
ibadat atau penyembahan kepada Yahweh. Menurut kitab ini, karakteristik
yang berbeda terkait praktik atau ortopraksis ibadat ini sebenarnya sudah
terjadi sejak Kerajaan Tunggal Israel terpecah menjadi dua (Utara dan
Selatan). Setelah kerajaan tunggal ini menjadi dua, masing-masing
pemerintahan segera menetapkan dua tempat ibadat yang berbeda. Kerajaan
Selatan tetap menempatkan Yerusalem sebagai pusat peribadatan mereka.
Sementara itu, Kerajaan Utara menetapkan Betel dan Dan sebagai pusat
peribadatan mereka. Rupanya yang terjadi bukan hanya tempat yang berbeda
dan terpisah. Lebih dari itu, ortopraksis peribadatan juga mulai berbeda.
Sentimen yang tumbuh di masing-masing pihak menyuburkan gagasan
bahwa ortopraksis yang dilaksanakan pihak yang berbeda itu tidaklah sah atau
keliru. Gagasan inilah yang memicu tumbuhnya gagasan bahwa di Kerajaan
Utara orang tidak menyembah Yahweh. ‘....kamilah yang memelihara
kewajiban kami terhadap TUHAN, Allah kami, tetapi kamulah yang
meninggalkan-Nya’ (2Taw.13:11b). Teks tersebut menggunakan kata ganti
yang berbeda, yaitu ‘kami’ dan ‘kamu’. Perbedaan penggunaan kedua kata
ganti yang berlanjut dengan perbedaan tindakan menegaskan adanya
perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Secara eksplisit nampak upaya
untuk membedakan diri sekaligus menyatakan yang satu benar dan yang lain
keliru dalam hubungan antara Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan dalam
praktik peribadatan. Lebih lanjut dalam teks sebelumnya Raja Abia yang saat
itu berkuasa di Selatan mengecam Raja Yerobeam yang berkuasa di Utara.
“Bukankah kamu telah menyingkirkan imam-imam TUHAN, anak-anak
Harun itu, dan orang-orang Lewi, lalu mengangkat imam-imam menurut
33
kebiasaan bangsa-bangsa negeri-negeri lain, sehingga setiap orang yang
datang untuk ditahbiskan dengan seekor lembu jantan muda dan tujuh ekor
domba jantan, dijadikan imam untuk sesuatu yang bukan Allah. Tetapi kami
ini, TUHANlah Allah kami, dan kami tidak meninggalkan-Nya. Dan anak-
anak Harunlah yang melayani TUHAN sebagai imam, sedang orang Lewi
menunaikan tugasnya” (2Taw.13:9-10).
Pidato Raja Abia menekankan kekeliruan orang Kerajaan Utara dalam
praktik peribadatan. Imamat mereka bukanlah dari garis keturunan Harun.
Imamat mereka berasal dari orang-orang awam yang tidak boleh ditahbiskan
menurut Hukum Taurat. Selain itu, tempat mereka melakukan ibadat juga
salah. Akan tetapi, jika membacanya secara teliti, sebenarnya teks tidak
menyebutkan secara spesifik lokasi tempat peribadatan itu. Para pembaca,
terutama mereka yang berasal dari golongan fanatik Yahudi Selatan berharap
ada penyebutan Betel sebagai lokasinya. Akan tetapi, sekali lagi, lokasi tidak
disebutkan. Ada kemungkinan penulis Kitab 1-2Tawarikh sengaja
menyembunyikan lokasi. Motivasinya adalah untuk tetap membuka
kemungkinan bahwa pada saat itu memang terjadi perbedaan tata ibadat.
Akan tetapi, perbedaan ini tidak dapat dikenakan kepada semua orang yang
berada di Kerajaan Utara. Motivasi lain yang disampaikan secara implisit
adalah bahwa tidak ada tempat lain untuk beribadat kepada Yahwe selain
Yerusalem. Sekaligus, dengan itu Kitab 1-2Tawarikh bermaksud menegaskan
sentralitas Yerusalem sebagai tempat ibadat legal Bangsa Israel.
3. Dua Simpulan
Dua simpulan penting dapat ditarik dari gagasan sentralisasi ibadat
dalam Kitab 1-2Tawarikh. Pertama, Kitab 1-2Tawarikh membingkai ulang
tradisi sentralisasi Pentateukh sebagai satu-satunya pedoman, walaupun tetap
34
terbuka kemungkinan keragaman tafsirnya. Kedua, perkembangan peran
sentral Yerusalem, Bait Allahnya, dan fungsi imamatnya mencerminkan
terjadinya polemik peribadatan yang terjadi di Samaria. Dengan kata lain,
kekeliruan ibadat di Samaria terjadi lebih karena persoalan tempat dan
petugasnya. Kekeliruan tidak persis mengarah pada konsep teologisnya.
Kekeliruan itu lebih menyasar pada kepentingan politis. Kekeliruan tempat
dan petugas ibadat menunjukkan bahwa Kerajaan Utara bukanlah
pemerintahan yang legal. Kerajaan Utara bukanlah kerajaan yang sah.
Dengan kata lain, kekeliruan kultis menjadi alasan untuk mengklaim bahwa
Kerajaan Utara adalah wujud monarki yang keliru atau tidak sah.
Penggambaran karakteristik yang berbeda secara sosiologis, kultural,
dan kultis antara orang Samaria dengan Bangsa Israel (Yahudi) menjadi
semacam propaganda politis untuk menegaskan bahwa Kerajaan Selatan
(Yehuda) adalah kerajaan yang sah. Orang Samaria menjadi semacam korban
dari konflik ini. Kitab Ezra-Nehemia menyebutnya sebagai ‘orang asing’.
Sementara itu, Kitab 1-2Tawarikh menjulukinya sebagai ‘orang bukan
Israel’. Dalam hal ini Kitab 1-2Tawarikh lebib ‘ramah’ dibandingkan Kitab
Ezra-Nehemia. Sebutan ‘orang bukan Israel’ sekadar menempatkan orang
Samaria sebagai yang berbeda. Akan tetapi, dengan menyebutnya sebagai
‘orang asing’, Kitab Ezra-Nehemia memposisikan orang Samaria sebagai
kafir.
C. RANGKUMAN
(1) Kitab Sejarah Kronistis cenderung merupakan memoar atau catatan-
catatan sejarah di Kerajaan Selatan. Kerajaan Utara tidak mendapat
sorotan karena dianggap menyeleweng. Bagian kedua Kisah Sejarah
Kronistis sangat mengandalkan catatan-catatan yang disusun kedua
tokohnya, yaitu Ezra dan Nehemia.
35
(2) Istilah ‘Pan-Israel’ adalah memandang Bangsa Israel sebagai satu
kesatuan bangsa yang satu dan utuh. Pandangan ini melihat bahwa baik
mereka yang mengalami pembuangan, maupun yang tinggal bertahan di
Tanah Terjanji memiliki hak disebut sebagai Bangsa Israel tanpa kecuali.
Secara khusus Kitab1-2Tawarikh menampilkan sejumlah narasi
bernuansa inklusif terhadap para penyembah Yahweh yang tinggal di
Utara (orang Samaria).
(3) Penggambaran karakteristik yang berbeda secara sosiologis, kultural, dan
kultis antara orang Samaria dengan Bangsa Israel (Yahudi) menjadi
semacam propaganda politis untuk menegaskan bahwa Kerajaan Selatan
(Yehuda) adalah kerajaan yang sah.
TINJAUAN KITAB YOSUA DAN TAFSIRAN ATAS
Mungkin banyak orang mengenal kisah Yosua dan penaklukan Yerikho
yang spektakuler. Kisah itu merupakan salah satu kisah yang terdapat dalam
kitab pertama yang mau dibicarakan dalam bagian ini, yaitu Kitab Yosua.
Judul kitab ini tentu saja diambil dari nama tokoh utamanya, yaitu Yosua.
Nama ini berarti ‘TUHAN menyelamatkan’ atau ‘Semoga TUHAN
menyelamatkan’. Tokoh yang meneruskan tugas Musa ini sebenarnya
bernama asli Hosea (Bil.13:8). Akan tetapi, kemudian Musa menggantinya
menjadi Yosua [Bil.13:16]. Dalam LXX, nama ini ditulis’Iësous’. Nama ini
sama dengan nama ‘Yesus’, anak Maria. Sementara dalam Vulgata
(terjemahan Latin), nama ini menjadi ‘Iosue’. Justru berdasarkan kemiripan
nama ini, dapat dipikirkan hubungan antara nama Yosua dengan Yesus.
Misalnya, apakah kesamaan nama ini memiliki makna tertentu atau tidak ada
37
kaitan, tetapi hanya karena sama-sama memiliki nama Yesus, yang
nampaknya cukup umum di masyarakat Yahudi.
Dalam teks Yos.24:26 terdapat kutipan ‘Yosua menuliskan semuanya
itu dalam kitab hukum Allah, lalu ia mengambil batu yang besar dan
mendirikannya di sana, di bawah pohon besar, di tempat kudus TUHAN’.
Akan tetapi, keterangan seperti ini tampaknya tidak dapat diandalkan.
Menurut tradisi rabinik, kitab ini ditulis nabi Samuel. Oleh karena itu, di
dalam tradisi Yahudi, kitab ini tergolong pada kitab nabi-nabi yang terdahulu.
Kendati demikian, para ahli berpendapat bahwa penulis kitab ini tidak
anonim. Akan tetapi, besar kemungkinan ada kaitannya dengan penulis kitab
Ulangan.
B. PENYAJIAN MATERI
1. Posisi Kitab Yosua dalam Kanon
Telah disebutkan bahwa nama Yosua praktis identik dengan nama
Yesus, anak Maria. Yang berbeda adalah versinya. Yosua adalah nama Ibrani.
Sementara Yesus adalah versi Yunani. Selain kesamaan formal ini, juga dapat
ditelusuri kesamaan-kesamaan lain sebagaimana Gereja menafsirkan nama
Yosua. Sekurang-kurangnya ada dua sudut pandang yang dipakai untuk
melihat keserupaan itu.
Pertama, sudut pandang lokasi. Lokasi Yosua sebelum memasuki
Tanah Terjanji adalah di seberang sungai Yordan. Sementara penampilan
Yesus yang pertama terjadi di sungai Yordan, yaitu saat Yohanes Pembaptis
membaptius Yesus. Kedua, sudut pandang sungai atau air yang mengalir.
Yosua memimpin bangsa Israel memasuki Tanah Terjanji dengan
menyeberangi sungai Yordan. Yesus pun demikian. Ia memimpin masuk
umat Allah yang baru menuju Tanah Terjanji sorgawi melalui air sungai
Yordan. Air sungai Yordan ini dapat juga mendapat makna sebagai
38
pembaptisan. Akan tetapi, berbeda dengan Yosua yang berkarya pada tingkat
duniawi, Yesus menekankan makna yang lebih spiritual. Yosua memimpin
pembebasan umat Israel dari musuh-musuh dalam arti sesungguhnya.
Sementara itu, dengan sengsara dan kebangkitan-Nya, Yesus memimpin umat
manusia terbebas dari perbudakan dosa. Selain itu proses membagi Tanah
Terjanji untuk keduabelas suku Israel sejajar dengan perkembangan Gereja
melalui karya kerasulan dua belas rasul-Nya.
Selain kemiripan tokoh utamanya, jika diperhatikan dengan teliti,
banyak kemiripan antara kitab Yosua dengan kitab sebelumnya, yaitu Kitab
Ulangan. Keduanya mengisahkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
Israel. Kitab Ulangan merangkum peristiwa-peristiwa yang terjadi atas
bangsa Israel, sebelum akhirnya sampai ke dataran Moab yang terletak di
seberang sungai Yordan. Sementara itu Kitab Yosua mengisahkan masuknya
bangsa Israel ke tanah Kanaan, Tanah Terjanji yang dijanjikan YHWH
kepada para Bapa Bangsa, Abraham, Ishak dan Yakub. Kedua kitab ini sama-
sama memusatkan perhatian pada ucapan dan tindakan seorang tokoh
tertentu, yaitu Musa (Ulangan) dan Yosua (Yos). Kedua kitab ini
berhubungan erat karena yang satu adalah kelanjutan yang lain.
Memperhatikan kesamaan seperti itu, sangat masuk akal jika pembaca
lantas beranggapan bahwa Kitab Yosua sebenarnya merupakan simpulan
logis dari Pentateukh. Penggenapan janji tanah yang diberikan YHWH
kepada Abraham, Ishak, dan Yakub baru terlaksana dalam Kitab Yosua. Atas
pertimbangan inilah, sejumlah ahli mengusulkan kesatuan dari kitab Kejadian
sampai dengan Yosua. Para ahli yang memiliki pertimbangan ini menyatakan
bahwa orang seharusnya tidak berbicara tentang Pentateukh (lima kitab),
tetapi Hexateukh (enam kitab).
Meskipun pendapat ini menarik dan masuk akal, sekurang-kurangnya
terdapat dua keberatan yang dikemukakan terhadap gagasan ini. Pertama,
39
memang benar bahwa dipandang dari sudut janji dan pemenuhan, Pentateukh
belum lengkap karena pemenuhan janji YHWH kepada Bapa Bangsa masih
belum terlaksana. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang lainnya, yaitu
kisah Musa, persoalnya akan menjadi lain. Pentateukh yang kerap kali
mendapat sebutan sebagai Taurat Musa, berakhir dengan kematian tokoh
utama Pentateukh, yaitu Musa. Dengan mempertimbangkan ‘kadar’ kedua
tokoh di hadapan YHWH mungkin lebih baik jika periode Musa dipisahkan
dari episode Yosua. Dalam hal ini pembaca dapat membandingkan rumusan
yang terdapat dalam teks Ul.34:10 dengan yang terdapat pada teks Yos.1:1.
Kedua, selain dengan Kitab Ulangan, Kitab Yosua juga memiliki hubungan
erat dengan kitab berikutnya, yaitu Kitab Hakim-hakim. Dengan demikian,
nampaknya sulit untuk melepaskan Kitab Yosua dan Kitab Hakim-hakim.
Selain itu, jika memang mau dilepaskan, sulit membayangkan bahwa Kitab
Hakim-hakim menjadi sebuah ‘introduksi’ bagi narasi yang datang
berikutnya (1-2Samuel dan 1-2Raja-raja). Oleh karena itu, rasanya lebih
bijaksana membiarkan posisi kitab seperti apa adanya sekarang.
Sebagaimana telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, secara
konsisten tradisi Yahudi memandang lima kitab pertama, yang seringkali
dikaitkan dengan Musa, sebagai satu kesatuan yang disebut Kitab Taurat
(Pentateukh). Sementara bagian berikutnya, dari Kitab Yosua sampai dengan
Kitab 2Raja-raja disebut sebagai Kitab ‘Nabi-nabi yang Terdahulu’. Dengan
demikian, menjadi jelas bahwa baik Kanon Kristen maupun Kanon Yahudi
sepakat bulat dan tidak mendua dalam putusan memisahkan Ulangan dan
kitab Yosua. Kedua gagasan yang sempat diusulkan sejumlah ahli, baik
Hexateukh maupun Tetrateukh, hanya merupakan teori modern yang tidak
memperhitungkan tradisi.
Berdasarkan pertimbangan yang telah didiskusikan itu ada dua butir
yang mendukung posisi Kitab Yosua di posisinya yang sekarang. Pertama,
40
Kitab Yosua mengisahkan peristiwa penting dalam sejarah Israel, yaitu
dinamika penggenapan janji tanah yang sudah merupakan janji turun-
temurun. Dengan penggenapan itu Bangsa Israel akhirnya sampai ke tanah
yang dijanjikan YHWH sendiri kepada nenek moyang mereka. Rangkaian
sejarah Israel ini kemudian diakhiri dengan hilangnya tanah terjanji itu
(2Raj.25:21.27-30). Berdasarkan dinamika tersebut Kitab Yosua membuka
suatu sejarah baru dalam perjalanan sejarah Bangsa Israel. Tahap itu adalah
tahap merebut, membagi, dan mempertahankan tanah terjanji. Dengan babak
baru tersebut menjadi tepatlah posisi yang sekarang ini. Kedua, Kitab Yosua
juga menandai suatu tahap baru dalam sejarah Bangsa Israel dalam kaitannya
dengan Hukum Taurat. Karakteristik periode Musa adalah bahwa YHWH
mewahyukan Diri-Nya secara langsung kepada Musa (Ul.34:10-12) dan
menganugerahkan Hukum Taurat secara langsung. Selanjutnya Yosua
menggantikan Musa. Akan tetapi, Yosua tidak menggantikan peran Musa
sebagai penerima Hukum Taurat. Yosua hanya menjadi penafsir Hukum
Taurat tersebut.
Dua butir pendukung tersebut memadai untuk mempertahankan poisi
Kitab Yosua dalam tempatnya yang sekarang. Tidak perlulah menganut entah
Hexateukh atau pun Tetrateukh. Biarlah kelima kitab pertama itu tetap
sebagai Pentateukh. Sementara itu, biarkanlah pula Kitab Yosua menjadi awal
dari narasi sejarah Bangsa Israel yang berdinamika dengan Tanah Terjanji
dan sejumlah persoalannya.
2. Alur Kronologis Kitab Yosua
Kitab Yosua terbagi atas dua bagian pokok. Pertama, teks Yosua 2-12.
Bagian ini mengisahkan perebutan secara ajaib Tanah Terjanji (Kanaan) oleh
suku-suku Israel di bawah pimpinan Yosua. Kedua, teks Yosua 13-22. Bagian
ini mengisahkan dinamika perjuangan Yosua membagikan Tanah Kanaan di
41
antara suku-suku Israel sekaligus menyelesaikan semua persengketaan tapal
batas dan wilayah masing-masing suku. Bagian pertama (Yos.2-12) menutup
dirinya dengan suatu daftar panjang raja-raja yang kalah (Yos.12). Sedangkan
bagian kedua berakhir dengan narasi pendirian mezbah oleh suku-suku di
seberang Yordan (Yos.22). Akan tetapi, redaktur Kitab Yosua kemudian
menambahkan suatu pengantar pada teks Yos.1 dan suatu penutup pada teks
Yos.23-24. Pengantar dan penutup itu memberikan makna teologis pada
keseluruhan narasi. Pengantar (Yos.1) maupun penutup (Yos.23-24) ini
mengambil bentuk sastra pidato yang menjelaskan makna perebutan dan
pemilikan Tanah Kanaan. Dalam teks Yos.1 Allah memberi perintah kepada
Yosua untuk merebut Tanah Kanaan yang telah dijanjikan kepada nenek
moyang Israel. Allah pun mengingatkan Yosua supaya tetap berpegang teguh
pada Hukum Taurat.
Dalam teks Yos.23-24 Yosua menyampaikan pidato perpisahan yang
ditujukan kepada para pemimpin bangsa Israel. sekaligus dalam kesempatan
tersebut Yosua mengajak mereka untuk tetap berpaut dan bersetia kepada
Allah. Setelah itu, Yosua memperbaharui perjanjian bangsa Israel di Sikhem.
Di Sikhem sekali lagi Yosua menyampaikan narasi tentang segala karunia
Allah kepada Bangsa Israel, sekaligus meminta supaya Bangsa Israel tetap
setia kepada Allah.
Dengan pola gagasan itu, Kitab Yosua yang ada sekarang ini secara
garis besar dapat dibagi dengan skema berikut ini.
(1) Perintah YHWH menjadi program narasi seluruh kitab sekaligus
alasan pidato Yosua untuk merebut tanah Kanaan. Bagian
selanjutnya dapat dilihat sebagai langkah awal pelaksanaan
program tersebut (Yos.1:1-18).
42
(2) Bagian yang mengisahkan dinamika perjuangan Bangsa Israel
masuk, merebut, dan menduduki Tanah Kanaan di bawah pimpinan
Yosua. Semua bangsa yang tinggal di Kanaan waktu itu
dihancurkan, kecuali suku Gibeon (Yos.9) yang menyerahkan diri.
Narasi ini merupakan suatu kisah ideologis. Disebut demikian
karena kisah ini tidak sesuai dengan kenyataan (data historis).
Narasi ini lebih dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika
perjuangan seluruh Bangsa Israel masuk dan merebut Tanah
Terjanji. Di lain pihak, narasi ini juga memunculkan gagasan
bahwa YHWH-lah yang memberikan tanah tersebut kepada Israel.
Dengan demikian, janji YHWH yang disampaikan kepada para
Bapa Bangsa telah dipenuhi. Narasi tentang Akhan
menggarisbawah
.jpeg)






