Minggu, 05 Januari 2025

ayub 8


 lihat ke zaman dahulu kala dan menimbang perasaan 

dan pengamatan yang diiyakan oleh semua orang bijak dan baik. 

Dan kebenaran yang tak diragukan itu yaitu , kalau kita melibat-

kan dunia lain, bahwa, jika bukan dalam kehidupan saat ini maka 

mungkin dalam kehidupan yang akan datang, orang-orang fasik 

akan kehilangan semua kepercayaan dan kemenangan mereka: 

entah Bildad bermaksud demikian atau tidak, kita harus meneri-

manya. Mari kita amati cara pembuktian yang dipakai Bildad (ay. 

8-10). 

1. Ia tidak memaksakan penilaiannya sendiri atau teman-teman-

nya: Sebab kita, anak-anak kemarin, tidak mengetahui apa-apa 

(ay. 9). Ia menangkap bahwa Ayub tidak punya penilaian ten-

tang kemampuan mereka, namun  ia pikir mereka cuma tahu 

sedikit. “Kita mengakui,” kata Bildad, “bahwa kita tidak tahu 

apa-apa, siap mengakui kebodohan kita seperti engkau pasti 

akan mengatakannya. Sebab kita yaitu  anak-anak kemarin 

dan hari-hari kita seperti bayang-bayang di bumi, dan cepat 

berlalu seperti sebuah bayangan. Oleh sebab nya,  

(1) “Kita tidak berada begitu dekat dengan sumber penyataan 

ilahi” yang tampaknya saat  disampaikan melalui tradisi, 

“seperti zaman sebelumnya. Dan sebab nya kita harus me-

nanyakan apa yang mereka katakan dan menceritakan apa 

yang telah kita ketahui tentang sikap mereka.” Terpujilah 

Allah, sebab  kita sekarang memiliki firman Allah secara 

tertulis dan diminta untuk menyelidikinya, maka kita tidak 

perlu menanyakan orang-orang zaman dahulu, atau mem-

perhatikan apa yang diselidiki para nenek moyang. Sebab, 

kendati kita hanyalah anak-anak kemarin, namun firman 

Allah di dalam Kitab Suci sangat dekat dengan kita seperti 

dahulu bagi mereka (Rm. 10:8), dan lebih banyak nubuatan 

yang pasti yang harus kita perhatikan. Jika kita mempela-

jari dan menyimpan hukum-hukum Allah, kita akan lebih 

mengerti dari pada orang-orang tua di zaman dahulu (Mzm. 

119:99-100).  

(2) “Kita tidaklah hidup begitu lama seperi orang-orang pada 

zaman dahulu, untuk melakukan pengamatan terhadap 

cara-cara penyelenggaraan ilahi, dan sebab nya tidak 

dapat menjadi hakim yang pantas seperti mereka dalam 

perkara seperti yang dialami Ayub ini.” Perhatikanlah, sing-

katnya hidup kita menjadi suatu halangan besar bagi kita 

untuk memanfaatkan pengetahuan kita, demikian pula ke-

rapuhan dan kelemahan tubuh kita. Vita brevis, ars longa, 

kehidupan itu singkat, perkembangan seni tidaklah terbatas. 

2. Bildad merujuk kepada kesaksian nenek moyang dan kepada 

pengetahuan yang dimiliki oleh Ayub sendiri tentang sikap me-

reka. “Apakah engkau bertanya-tanya tentang orang-orang za-

man dahulu, maka biarlah mereka memberi tahu engkau, 

tidak hanya penilaian mereka sendiri dalam hal ini, namun  juga 

penilaian para nenek moyang mereka (ay. 8). Mereka harus 

mengajari engkau, dan memberi tahu engkau (ay. 10), bahwa 

selama ini, di zaman mereka, hukuman Allah selalu mengikuti 

orang-orang jahat. Tentang hal ini mereka akan melahirkan 

kata-kata dari akal budi mereka, yaitu sebagaimana yang me-

reka yakini dengan kuat, yang sangat memengaruhi hati mere-

ka dan yang sangat ingin mereka beritahukan kepada orang 

lain dan menggugah hati mereka dengannya.” Perhatikanlah,  

(1) Untuk memahami Penyelenggaraan ilahi dengan benar dan 

untuk menyingkapkan hal-hal yang sulit darinya, sangat-

lah berguna untuk membandingkan pengamatan dan peng-

alaman zaman dahulu dengan peristiwa-peristiwa di zaman 

kita. Dan, juga perlu bagi kita untuk menyelidiki sejarah, 

khususnya sejarah suci, yang paling kuno, infalibel, dan 

ditulis bagi pembelajaran kita.  

(2) Orang-orang yang ingin mendapat pengetahuan dari zaman 

dahulu harus menyelidikinya dengan rajin, memperhatikan 

apa yang diselidiki, dan bersusah-payah untuk menyelidiki-

nya.  

(3) Kata-kata yang sangat mungkin dapat menyentuh hati para 

pembelajar yaitu  yang berasal dari hati para pengajar. 

Mereka akan mengajar engkau yang terbaik yaitu kata-kata 

dari akal budi mereka, yang berbicara berdasarkan peng-

alaman, dan bukan melalui hafalan, tentang hal-hal yang 

rohani dan ilahi. Menurut cendekia Uskup Patrick, Bildad 

sebagai seorang Suah, keturunan dari Suah salah seorang 

putra Abraham dengan Ketura (Kej. 25:2), dengan merujuk 

kepada sejarah, memiliki suatu penghargaan yang khusus 

kepada upah yang dijaminkan oleh berkat Allah kepada ke-

turunan Abraham yang setia, yang sampai saat itu, dan 

lama sesudahnya, terus hidup dalam agamanya. Sejarah 

yang dirujuknya juga berkenaan dengan kemusnahan orang-

orang Timur, para tetangga Ayub (yang berdiam di negeri-

nya), sebab  kejahatan mereka. Berdasarkan sejarah inilah 

Bildad menyimpulkan bahwa begitulah cara yang biasa di-

pakai Allah, yaitu Ia memberkati orang benar dan mengha-

bisi orang yang jahat, kendati untuk sesaat mereka jaya.  

II. Ia menjelaskan kebenaran ini melalui beberapa kiasan perban-

dingan. 

1. Pengharapan dan sukacita orang fasik di sini dibandingkan 

dengan pandan atau mensiang (ay. 11-13).  

(1) Pandan dan mensiang dapat tumbuh dari lumpur dan air. 

Orang fasik tidak dapat mencapai pengharapannya tanpa 

tanah busuk atau semacamnya untuk mengangkatnya, dan 

dengannya dapat menopang dan menjaganya tetap hidup. 

Ia seperti pandan yang tidak dapat bertumbuh tanpa lum-

pur. Ia mendasarkan pengharapannya pada kemakmuran 

duniawi, pada pengakuan keyakinannya yang pura-pura 

pada agama, pada pendapat baik orang lain terhadap diri-

nya, dan pada kesombongannya sendiri mengenai dirinya. 

Semuanya ini bukanlah fondasi kuat untuk membangun ke-

percayaan dirinya. Semuanya semata-mata hanyalah lum-

pur dan air. Dan pengharapan yang tumbuh darinya hanya-

lah seperti pandan dan mensiang.  

(2) Pandan dan mensiang mungkin terlihat hijau dan segar 

untuk sesaat (mensiang tumbuh lebih tinggi dari rumput), 

namun  ringan dan kosong dan tidak berguna untuk apa 

pun. Hijaunya hanya untuk penampilan saja, namun  tidak 

ada gunanya.  

(3) Ia layu sesaat , lebih dahulu daripada rumput lain (ay. 12). 

Bahkan sementara dalam kehijauannya ia menjadi kering 

dan lenyap dalam sekejap. Perhatikanlah, keadaan terbaik 

dari orang fasik dan pelaku kejahatan berbatasan dengan 

kelayuan. Bahkan saat  ia hijau, ia lenyap. Rumput men-

jadi lisut dan layu (Mzm. 90:6). namun  pandan tidak lisut, 

namun  layu juga, menjadi layu sebelum dicabut (Mzm. 

129:6): seperti tidak ada gunanya, demikian pula tidak ada 

kelangsungannya. Demikianlah pengalaman semua orang 

yang melupakan Allah (ay. 13). Mereka mengambil jalan 

yang sama seperti halnya pandan, maka lenyaplah harapan 

orang fasik. Perhatikanlah,  

[1] Melupakan Allah sesungguhnya ada pada dasar hati 

orang fasik dan kesia-siaan pengharapan yang dengan-

nya mereka membuai dan menipu diri sendiri dalam 

kefasikannya. Manusia tidak akan menjadi fasik, jika 

mereka tidak lupa bahwa Allah yang dengan-Nya mere-

ka harus berurusan, menyelidiki hati dan menghendaki 

ada kebenaran di dalam hati, bahwa Ia yaitu  Roh dan 

mata-Nya tertuju kepada roh kita. Dan orang fasik tidak 

akan memiliki pengharapan, jika mereka tidak lupa 

bahwa Allah yaitu  benar dan tidak akan membiarkan 

diri-Nya dicemoohkan dengan onak dan duri.  

[2] Pengharapan orang fasik yaitu  suatu penipuan besar 

terhadap diri sendiri dan, kendati mungkin dapat ber-

tumbuh sebentar, ia pasti akan musnah pada akhirnya, 

dan ikut musnah pula orang fasik itu bersama pengha-

rapan mereka. 

2. Orang fasik di sini dibandingkan dengan benang laba-laba, atau 

sarang laba-laba, atau jaring laba-laba (ay. 14-15). Pengharapan 

orang fasik,  

(1) Dijalin dari dirinya sendiri. Pengharapannya merupakan 

ciptaan dari khayalannya sendiri, dan muncul semata-mata 

dari kesombongan akan jasa dan kecakapannya sendiri. 

Ada banyak perbedaan antara pekerjaan lebah dan laba-

laba. Seorang Kristen yang rajin, seperti lebah pekerja, 

mendapat semua penghiburannya dari embun sorgawi fir-

man Allah. namun  orang fasik, seperti laba-laba licik, meng-

anyam penghiburannya dari suatu dugaan palsu buatan 

sendiri mengenai Allah, seakan-akan Allah itu menjadi satu 

dengan dirinya.  

(2) Ia sangat menyukai pengharapannya itu, seperti laba-laba 

menyukai sarangnya. Ia menyenangkan diri dengannya, 

membungkus diri di dalamnya, menyebutnya rumahnya, 

bersandar pada rumahnya dan menjadikannya tempat 

berpegang. Dikatakan tentang laba-laba bahwa ia menjadi-

kannya tempat berpegang, dan ada di istana-istana raja 

(Ams. 30:28). Demikian juga seorang manusia duniawi me-

meluk dirinya sendiri dalam kepenuhan dan keteguhan ke-

makmuran lahiriahnya. Ia bermegah diri di dalam rumah-

nya itu seperti istananya, membentengi dirinya di dalam-

nya sebagai istananya, dan memanfaatkannya seperti laba-

laba dengan jaringnya, untuk menjerat orang-orang yang 

ingin dimangsa. Demikianlah yang diperbuat orang yang 

mengaku-ngaku beribadah secara lahiriah. Ia memuji diri-

nya sendiri, tidak meragukan keselamatannya, yakin ma-

suk sorga, dan menipu dunia dengan kepercayaannya yang 

sia-sia.  

(3) Pengharapannya itu dengan mudah dan pasti akan tersapu, 

seperti jaring laba-laba yang tersapu, saat  Allah datang 

untuk membersihkan rumah-Nya. Kemakmuran orang-orang 

duniawi akan mengecewakan mereka saat  mereka berharap 

menemukan keamanan dan kebahagiaan di dalamnya. Mere-

ka berusaha untuk memegang erat harta kekayaan mereka, 

namun  Allah merenggut semua dari tangan mereka. Dan mi-

lik siapakah semuanya yang telah mereka sediakan itu? 

Atau apa gunanya semuanya itu nanti untuk mereka? Ke-

yakinan orang-orang fasik akan mengecewakan mereka. 

Pengharapan mereka itu akan berkata kepada mereka, Be-

lum pernah aku melihat engkau. Rumah yang dibangun di 

atas pasir akan roboh oleh hempasan badai, di saat sang 

pembangun paling membutuhkannya dan menjanjikan diri 

akan menikmatinya. Pengharapan orang fasik gagal pada 

kematiannya, dan harapan orang jahat menjadi sia-sia (KJV: 

saat  seorang fasik mati, habis pula pengharapannya). Da-

sar pengharapannya akan terbukti palsu. Ia akan kecewa 

dengan apa yang diharapkannya, dan pengharapan bodoh-

nya yang dengannya dia mengangkat diri tinggi-tinggi akan 

diubah menjadi rasa putus asa yang tanpa akhir. Demi-

kianlah pengharapannya akan diputus, jaringnya, tempat 

perlindungan yang penuh kebohongan, akan disapu bersih, 

dan dia hancur di dalamnya.  

3. Orang fasik di sini dibandingkan dengan tumbuh-tumbuhan 

yang tumbuh mekar dan berakar dalam-dalam. Ia menyangka 

dirinya tidak akan layu, padahal dengan mudah akan dite-

bang, dan tempatnya tidak mengakuinya lagi. Orang berdosa 

yang merasa aman dan makmur dapat saja menganggap orang 

lain salah saat  membandingkan dirinya dengan pandan dan 

mensiang. Ia menganggap diri memiliki akar yang lebih baik. 

“Kita biarkan dia menyombongkan diri,” kata Bildad, “dan 

berilah dia semua keuntungan yang diinginkannya dan dengan 

tiba-tiba dia akan dicabut.” Ia di sini dilambangkan seperti 

halnya Nebukadnezar digambarkan di dalam mimpinya (Dan. 

4:10) dengan sebuah pohon besar.  

(1) Lihatlah pohon yang tumbuh mekar dan lebat ini (ay. 16), 

seperti sebuah pohon aras Libanon (Mzm. 37:35), segar di 

panas matahari, tetap hijau di tengah teriknya sinar mata-

hari yang menyengat, dan cabangnya, sulurnya menjulur di 

bawah perlindungan pagar taman dan kesuburan tanah-

nya. Lihatlah, ia kokoh dan berakar dalam, sepertinya tidak 

akan pernah digoncangkan oleh angin badai, sebab akar-

akarnya membelit timbunan batu (ay. 17). Ia bertumbuh di 

dalam tanah yang padat, tidak seperti pandan yang tum-

buh di lumpur dan air. Demikianlah hidup seorang yang 

jahat, saat  dia makmur di dalam dunia, menganggap diri 

aman. Kekayaannya yaitu  sebuah tembok yang tinggi me-

nurut anggapannya.  

(2) namun  lihatlah pohon ini tumbang dan dilupakan, dicabut 

dari tempatnya (ay. 18), dan seluruhnya lenyap sehingga 

tidak akan ada sisa-sisa atau tanda bahwa dia pernah tum-

buh di sini. Tempat di mana dia pernah berkata, Belum per-

nah aku melihat engkau. Dan orang-orang yang pernah 

melihatnya dahulu juga akan berkata yang sama. Aku men-

carinya namun  tidak dapat menemukannya (Mzm. 37:36). Ia 

membuat pertunjukan yang hebat dan kebisingan yang 

besar untuk sementara waktu, namun  dia tiba-tiba hilang, 

sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabangnya (Mal. 

4:1). Demikianlah kesukaan (yaitu, inilah akhir dan kesim-

pulannya) dari jalan hidup orang fasik (ay. 19). Inilah ujung 

dari semua kesukaannya. Jalan orang fasik menuju kebina-

saan (Mzm. 1:6). Pengharapannya, disangkanya, akan di-

ubah menjadi kesukaan. Namun inilah hasilnya, inilah 

sukacitanya. Panen akan segera lenyap pada hari kesakitan 

dan hari penderitaan yang sangat payah (Yes. 17:11). Inilah 

yang terbaik dari pengharapannya. Dan apakah yang ter-

buruk? Tidakkah dia akan meninggalkan keluarganya un-

tuk menikmati segala yang dipunyainya? Tidak, muncul 

dari bumi (bukan dari akar si orang fasik itu) akan tumbuh 

yang lainnya, yang tidak ada hubungan keluarga dengan-

nya, dan memenuhi tempatnya, dan berkuasa atas apa 

yang telah dikerjakannya dahulu. Orang-orang lain, yaitu 

orang lain yang punya semangat dan sikap yang sama, 

akan bertumbuh di tempatnya dan merasa aman seperti ia 

dahulu, tidak belajar dari kejatuhannya. Jalan orang-orang 

duniawi yaitu  kebodohan mereka, namun masih juga 

orang berlomba-lomba mengikuti dan gemar akan perkata-

annya sendiri (Mzm. 49:14).  

Seruan Bildad  

(8:20-22) 

20 Ketahuilah, Allah tidak menolak orang yang saleh, dan Ia tidak memegang 

tangan orang yang berbuat jahat. 21 Ia masih akan membuat mulutmu ter-

tawa dan bibirmu bersorak-sorak. 22 Pembencimu akan terselubung dengan 

malu, dan kemah orang fasik akan tidak ada lagi.” 

Bildad di sini, dalam bagian penutup pembicaraannya, meringkaskan 

apa yang masih ingin disampaikannya dalam beberapa patah kata, 

memperhadapkan kepada Ayub hidup dan mati, berkat dan kutuk, 

dengan meyakinkan dia bahwa sebab  siapa dia adanya, maka dia 

mengalami semuanya ini, dan sebab  itu sahabat-sahabatnya itu me-

nyimpulkan bahwa sebab  dia mengalami semuanya itu, maka 

begitulah dia adanya.  

1. Di satu pihak, seandainya dia seorang yang benar-benar jujur, 

maka Allah tidak akan menolaknya (ay. 20). Kendati sekarang 

tampaknya dia ditinggalkan oleh Allah, namun Dia akan kembali 

kepadanya, dan secara bertahap akan mengubah ratapannya men-

jadi tarian (Mzm. 30:12) dan segala penghiburan akan mengalir ke 

atasnya begitu melimpah sehingga mulutnya tertawa dan bibirnya 

bersorak-sorak (ay. 21). Alangkah indahnya perubahan yang mem-

bahagiakan itu (Mzm. 126:2). Orang-orang yang mengasihi dia 

akan bersukacita bersama dengan dia. namun  mereka yang mem-

benci dia dan bermegah atas kejatuhannya akan menjadi malu 

dengan penghinaan mereka, saat  mereka melihat dia dipulihkan 

kepada kemakmuran hidupnya yang semula. Nah, benarlah bah-

wa Allah tidak akan menolak orang yang yang saleh. Ia mungkin 

dibuang untuk sesaat, namun  dia tidak akan ditolak untuk selama-

nya. Benarlah bahwa, jika tidak di dalam dunia ini, namun di du-

nia lain, mulut orang benar akan dipenuhi dengan sukacita. Ken-

dati matahari mereka terbit di bawah tutupan awan, ia akan terbit 

lagi dengan terang, dan tidak pernah ditutupi awan lagi. Kendati 

mereka berkabung ke kuburan, hal itu tidak akan menghalangi 

mereka untuk masuk ke dalam sukacita Tuhan mereka. Benarlah 

bahwa musuh-musuh orang kudus akan ditutupi dengan malu, 

saat  mereka melihat orang kudus dimahkotai dengan kehor-

matan. Namun hal itu tidak berarti bahwa, seandainya Ayub tidak 

dipulihkan dengan sempurna kepada kemakmurannya yang se-

mula, dia akan meninggalkan hati seorang yang benar.  

2. Di pihak lain, seandainya dia yaitu  seorang yang jahat dan pe-

laku kejahatan, maka Allah tidak akan menolongnya, melainkan 

meninggalkannya binasa di dalam penderitaannya yang sekarang 

(ay. 20), dan kemahnya tidak akan ada lagi (ay. 22). Dan di sini 

juga benarlah bahwa Allah tidak memegang tangan orang yang 

berbuat jahat. Mereka membuang diri keluar dari perlindungan-

Nya dan kehilangan perkenanan-Nya. Ia tidak akan memegang 

tangan orang yang berbuat jahat, tidak akan berteman dan ber-

sekutu dengan mereka. Sebab persekutuan atau persamaan apa-

kah terdapat antara terang dan gelap? Ia tidak akan mengulurkan 

tangan kepada mereka untuk menarik mereka keluar dari 

kesengsaraan, kesengsaraan kekal, ke mana mereka telah men-

jatuhkan diri sendiri. Mereka lantas akan mengulurkan tangan 

kepada-Nya untuk meminta tolong, namun  hal itu sudah terlambat: 

Ia tidak akan memegang mereka dengan tangan-Nya. Di antara 

kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi. Me-

mang benar bahwa kemah orang fasik, lambat atau cepat, akan 

tidak ada lagi. Hanya orang-orang yang menjadikan Allah tempat 

perteduhan akan aman untuk selamanya (Mzm. 90:1; 91:1). 

Orang-orang yang menjadikan hal-hal lain sebagai tempat perlin-

dungan mereka akan menjadi kecewa. Dosa membawa kehancur-

an kepada orang-orang dan keluarga-keluarga. Namun untuk me-

nuduh (seperti Bildad, saya ragu, dengan licik melakukannya) bah-

wa sebab  keluarga Ayub tenggelam dan dirinya sendiri sekarang 

tampak tak berdaya, maka dia tentu yaitu  seorang yang jahat, 

maka tuduhan ini sungguh tidak adil atau kejam, sepanjang tidak 

tampak ada bukti lain akan kejahatan dan kefasikannya. Janganlah 

kita menghakimi sebelum waktunya, namun  menunggu sampai 

segala rahasia semua hati diungkapkan, dan semua kesulitan oleh 

sebab  Penyelenggaraan ilahi sekarang ini dileburkan menjadi su-

kacita abadi dan menyeluruh, yaitu saat  misteri Allah digenapi. 

 

  

PASAL  9  

alam pasal ini dan berikutnya, kita dapati jawaban Ayub atas 

pembicaraan Bildad. Ia berbicara dengan penuh hormat tentang 

Allah, dengan rendah hati tentang dirinya sendiri, dan dengan penuh 

perasaan tentang kesesakannya. Namun, tidak sepatah kata pun ia 

mencela sikap sahabat-sahabatnya itu, atau kekasaran mereka kepa-

danya. Ia juga tidak menjawab secara langsung apa yang dikatakan 

Bildad. Dengan bijak ia tetap berpegang pada benar salahnya per-

karanya, dan tidak membuat tanggapan terhadap orang yang me-

nanggapinya, juga tidak mencari kesempatan untuk melawannya. 

Dalam pasal ini kita membaca: 

I. Asas ajaran tentang keadilan Allah dinyatakan (ay. 2). 

II. Bukti asas ajaran itu, berdasarkan hikmat-Nya, kuasa-Nya, 

dan kedaulatan-Nya (ay. 3-13). 

III. Penerapan asas ajaran itu, di mana: 

1. Ayub mengutuk dirinya sendiri, sebab  tidak mampu be-

perkara dengan Allah, baik secara hukum maupun dalam 

perbantahan (ay. 14-21). 

2. Ia mempertahankan pendapatnya, bahwa kita tidak dapat 

menilai tabiat manusia hanya dari keadaan luarnya saja 

(ay. 22-24). 

3. Ia mengeluhkan betapa besar kesesakannya, kebingung-

annya, dan kehilangan akalnya untuk menyampaikan apa 

yang harus ia katakan atau lakukan (ay. 25-35). 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

(9:1-13)  

1 namun  Ayub menjawab: 2 “Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya, 

masakan manusia benar di hadapan Allah? 3 Jikalau ia ingin beperkara de-

ngan Allah satu dari seribu kali ia tidak dapat membantah-Nya. 4 Allah itu 

bijak dan kuat, siapakah dapat berkeras melawan Dia, dan tetap selamat  

5 Dialah yang memindahkan gunung-gunung dengan tidak diketahui orang, 

yang membongkar-bangkirkannya dalam murka-Nya; 6 yang menggeserkan 

bumi dari tempatnya, sehingga tiangnya bergoyang-goyang; 7 yang memberi 

perintah kepada matahari, sehingga tidak terbit, dan mengurung bintang-

bintang dengan meterai; 8 yang seorang diri membentangkan langit, dan me-

langkah di atas gelombang-gelombang laut; 9 yang menjadikan bintang Bi-

duk, bintang Belantik, bintang Kartika, dan gugusan-gugusan bintang Ruang 

Selatan; 10 yang melakukan perbuatan-perbuatan besar yang tidak terduga, 

dan keajaiban-keajaiban yang tidak terbilang banyaknya. 11 Apabila Ia 

melewati aku, aku tidak melihat-Nya, dan bila Ia lalu, aku tidak mengetahui. 

12 Apabila Ia merampas, siapa akan menghalangi-Nya? Siapa akan menegur-

Nya: Apa yang Kaulakukan? 13 Allah tidak menahani murka-Nya, di bawah 

kuasa-Nya para pembantu Rahab membungkuk. 

Bildad memulai pembicaraannya dengan sebuah teguran kepada Ayub, 

bahwa Ayub terlalu banyak bicara (8:2). Namun Ayub tidak menang-

gapi hal itu, meskipun cukup mudah untuk membalaskannya kepada 

Bildad. namun  kemudian, dalam menyatakan pendiriannya, bahwa 

Allah tidak pernah membelokkan penghakiman, Ayub setuju dengan 

Bildad: Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya (ay. 2). Per-

hatikanlah, kita harus siap mengakui sampai sejauh mana kita sepa-

kat dengan mereka yang bersengketa dengan kita. Jangan hanya me-

remehkan, apa lagi menolak, sebuah kebenaran, meskipun hal itu di-

kemukakan oleh pihak lawan dan didesakkan kepada kita. Sebalik-

nya, kita harus menerima kebenaran itu dalam terang dan kesukaan 

terhadap kebenaran itu, meskipun salah diterapkan. “Sungguh, aku 

tahu, bahwa demikianlah halnya, bahwa kejahatan membawa manu-

sia kepada kehancuran, sedangkan orang saleh akan dibawa ke 

dalam perlindungan khusus Allah. Inilah kebenaran yang aku ikuti, 

namun  bagaimanakah manusia dapat menyatakan dirinya benar di 

hadapan Allah?” Sebab di antara yang hidup, tidak seorangpun yang 

benar di hadapan-Mu (Mzm. 143:2), masakan manusia benar di ha-

dapan Allah? Beberapa orang menafsirkan hal ini sebagai keluhan 

penuh amarah terhadap keketatan dan sikap keras Allah, bahwa Ia 

yaitu  Allah yang tidak dapat ditawar-tawar. Tidak dapat dipungkiri 

bahwa dalam pasal ini terdapat beberapa ungkapan kejengkelan, 

yang tampaknya mengandung bahasa seperti ini. namun  saya  lebih 

suka menganggap ayat tadi sebagai pengakuan saleh dari seorang 

yang penuh dosa, khususnya Ayub, bahwa jika Allah harus beper-

kara dengan kita sesuai dengan besarnya kedurhakaan kita, maka 

pasti kita akan binasa. 

I. Ayub membeberkan sebuah kebenaran, bahwa manusia bukanlah 

tandingan yang setara dengan Penciptanya, baik dalam perdebat-

an maupun perselisihan. 

1. Dalam perdebatan (ay. 3): Jikalau ia ingin beperkara dengan 

Allah, baik secara hukum maupun dalam berpendapat, satu 

dari seribu kali ia tidak dapat membantah-Nya.  

(1) Allah dapat mengajukan ribuan pertanyaan yang penuh 

teka-teki, yang tidak mampu dijawab oleh mereka yang ber-

tengkar dengan-Nya, dan yang melancarkan dakwaan kepa-

da-Nya. saat  Allah berbicara kepada Ayub dari dalam 

badai, Ia mengajukan banyak pertanyaan kepadanya; Tahu-

kah engkau ini? Dapatkah engkau mengerjakan itu?, dan 

tidak ada satu pun yang dapat dijawab oleh Ayub (ps. 38-

39). Dengan mudah Allah dapat membuktikan kebodohan 

para penipu hebat yang mengaku-ngaku berhikmat.  

(2) Allah dapat mengajukan ribuan tuntutan atas pelanggaran 

kita, juga dapat membukakan ribuan butir tuntutan atas 

pelanggaran kita, dan terhadap satu pun darinya tidak 

mampu kita berikan pembelaan supaya terbebas dari pe-

nuntutan. Kita pasti hanya berdiam diri, memberi persetu-

juan bahwa semua itu benar. Kita tidak bisa menyingkir-

kan satu tuntutan apa pun dengan berkata tidak tahu, 

atau itu hanya hal yang sepele, atau tuntutan lain lagi se-

bagai tuntutan yang salah. Kita tidak bisa menyangkali ke-

nyataan dari suatu tuntutan dan membela diri tidak bersa-

lah, dan terhadap tuntutan lain menyangkal bahwa kita 

tidak bersalah, mengakui dan membenarkan diri. Tidak, 

kita tidak akan mampu menjawab-Nya. Sebaliknya, kita 

harus menutup mulut dengan tangan saja, seperti yang dila-

kukan Ayub (39:37-38), dan berseru, bersalah, bersalah! 

2. Dalam perselisihan (ay. 4): “Siapakah dapat berkeras melawan 

Dia, dan tetap selamat?” Jawabannya sangat mudah. Kamu 

tidak akan dapat menunjukkan contoh apa pun, dari awal 

dunia hingga hari ini, tentang orang berdosa siapa pun yang 

telah berani mengeraskan diri melawan Allah, yang telah ber-

sikeras memberontak melawan Dia, dan tidak mendapati Dia 

terlampau kuat baginya, dan tidak membayar mahal atas ke-

bodohannya itu. Orang-orang berdosa semacam itu tidak se-

jahtera dan tidak merasa damai. Mereka sama sekali tidak 

mengalami penghiburan maupun keberhasilan dalam hidup 

mereka. Apa yang pernah didapat manusia dalam usahanya 

menandingi Penciptanya atau untuk menuntut haknya dari 

Dia? Semua perlawanan yang ditujukan kepada Allah hanya-

lah upaya menaruh ranting semak dan duri di depan api yang 

menghanguskan. Begitu bodoh, begitu sia-sia, begitu menghan-

curkan upaya itu, Yes. 27:4, Yeh. 28:24, 1Kor. 10:22. Malaikat-

malaikat yang tidak taat, juga mengeraskan hati mereka terha-

dap Allah, namun tidak berhasil (2Ptr. 2:4). Si ular tua mela-

wan, namun dilemparkan (Why. 12:9). Orang-orang jahat me-

ngeraskan hati melawan Allah, memperdebatkan hikmat-Nya, 

tidak mematuhi hukum-hukum-Nya, tidak menyesali dosa-

dosa mereka dan tidak dapat diperbaiki lagi di bawah penderi-

taan. Mereka menolak tawaran anugerah-Nya, dan melawan 

upaya-upaya keras Roh-Nya. Mereka memandang enteng an-

caman-ancaman-Nya dan menentang kepentingan-Nya di du-

nia ini. namun , pernah berhasilkah mereka? Bisakah mereka 

jaya? Sama sekali tidak, mereka hanya menimbun murka atas 

diri mereka sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman 

Allah yang adil akan dinyatakan. Siapa yang menggulung akan 

tergulung sendiri. 

II. Ayub membuktikan hal itu dengan menunjukkan Allah seperti 

apa Dia sesungguhnya, dengan siapa kita harus berurusan: Allah 

itu bijak dan kuat. Itulah sebabnya kita tidak dapat menjawab Dia 

di depan pengadilan. Ia itu kuat (KJV: perkasa dalam kekuatan-

Nya), dan itulah sebabnya kita tidak dapat melawan-Nya. Merupa-

kan kegilaan besar untuk mengira dapat berbantah dengan Allah 

yang memiliki hikmat dan kuasa tanpa batas. Dia mengetahui 

segala sesuatu, dan dapat berbuat segala sesuatu. Dia tidak dapat 

diperdaya dan dikalahkan. Iblis berjanji kepada dirinya sendiri, 

bahwa Ayub akan mengutuk Allah dan berbicara buruk tentang 

Dia pada hari kemalangannya. namun , bukannya berlaku seperti 

itu, Ayub malah menetapkan hatinya untuk menghormati Allah 

dan memuliakan Dia. Meskipun begitu sangat kesakitan dan ha-

nyut dalam kesengsaraannya, namun saat  memiliki kesempatan 

untuk menyebut hikmat dan kuasa Allah, ia melupakan semua 

keluh kesahnya, berdiam diri dengan gembira, dan bercakap-

cakap dengan panjang lebar mengenai pokok pembicaraan yang 

mulia dan bermanfaat itu. Bukti-bukti tentang hikmat dan kuasa 

Allah didapatnya,  

1. Dari dunia alam semesta, di mana Allah semesta alam bertin-

dak dengan kekuatan yang tidak terkendalikan dan melaku-

kan apa saja yang diinginkan-Nya, sebab  semua tata aturan 

dan kuasa alam berasal dari Dia dan bergantung pada-Nya. 

(1) saat  berkenan, Ia mengubah jalan alam, dan memutar 

balik arahnya (ay. 5-7). Menurut hukum alam yang berlaku 

umum, biasanya letak gunung-gunung sudah tetap, dan 

sebab  itu disebut gunung-gunung yang sudah ada sejak 

purba. Bumi ditegakkan dan tidak dapat digoyangkan, (Mzm. 

93:1), dan tiang-tiangnya tidak dapat digoyangkan. Matahari 

terbit pada waktunya. Bintang-bintang memancarkan penga-

ruh mereka ke atas dunia yang lebih rendah ini. namun , 

kalau Allah berkenan, Ia tidak saja dapat menyimpang dari 

jalan umum itu, namun  juga membalikkan semua aturan 

dan mengubah hukum alam itu. 

[1] Tidak ada yang lebih kokoh daripada pegunungan. saat  

kita berbicara tentang memindahkan gunung-gunung, 

yang kita bayangkan yaitu  sesuatu yang mustahil. Wa-

laupun begitu, kuasa ilahi sanggup mengubah kedu-

dukan mereka: Dialah yang memindahkan gunung-gu-

nung dengan tidak diketahui orang. Ia memindahkan 

gunung-gunung itu, tidak peduli gunung itu mau atau 

tidak. Dia dapat memangkas puncak gunung itu, me-

ratakannya, dan membongkar-bangkirkannya dalam 

murka-Nya. Ia dapat menyebar gunung-gunung semu-

dah seorang petani menyebar onggokan tanah, seberapa 

pun tinggi, besar, dan berbatu-batu. Banyak usaha dan 

tenaga diperlukan manusia untuk melewati gunung-

gunung itu, namun  bila Allah berkenan, Ia dapat mele-

nyapkan gunung-gunung itu dalam sekejap. Ia mem-

buat gunung Sinai bergoyang (Mzm. 68:9). Gunung-gu-

nung melompat-lompat (Mzm. 114:4). Hancur gunung-gu-

nung yang ada sejak purba (Hab. 3:6). 

[2] Tidak ada yang lebih terpancang kokoh erat daripada 

bumi di atas gandarnya. Namun, Allah sanggup memi-

sahkannya, saat  Ia berkenan, dan menggeserkan bumi 

dari tempatnya, terangkat dari pusatnya, dan membuat 

tiang-tiangnya bergetar. Apa yang tampak menopangnya 

akan membutuhkan dukungan saat  Allah memberi 

kejutan kepada bumi. Lihatlah, betapa besarnya utang 

kita pada kesabaran Allah. Ia memiliki cukup kuasa un-

tuk mengguncang bumi yang ditindih umat manusia 

berdosa yang membuatnya mengerang di bawah beban 

dosa, supaya orang-orang fasik dikebaskan dari pada-

nya (38:13). Walaupun begitu, Ia terus melangsungkan 

keberadaan bumi beserta manusia di atasnya, dan tidak 

membuatnya, seperti yang dulu pernah terjadi, menelan 

para pemberontak. 

[3] Tidak ada yang lebih tetap daripada matahari terbit, 

yang tidak pernah melewatkan waktu yang sudah dite-

tapkan. Namun demikian, saat  berkenan, Allah dapat 

menghentikannya. Dia yang pertama-tama memerintah-

kan benda penerang itu terbit, sanggup membatalkan-

nya. Pernah pada suatu waktu matahari diperintahkan 

berhenti dan mundur di waktu lain, untuk menunjuk-

kan bahwa matahari  masih ada di bawah kendali Sang 

Pencipta yang agung. Begitu besar kuasa Allah, dan be-

tapa besar pula kebaikan hati-Nya, yang membuat ma-

tahari bersinar bahkan juga ke atas orang-orang jahat 

yang tidak tahu berterima kasih, meskipun Ia sanggup 

menahan itu! Bila berkenan, Ia yang juga menciptakan 

bintang-bintang, dapat menutup dan menyembunyikan-

nya dari mata kita. Melalui gempa bumi dan api bawah 

tanah, kadang-kadang gunung berpindah dan bumi 

berguncang: selama siang dan malam hari yang sangat 

gelap dan berawan tampak bagi kita matahari seperti 

dicegah untuk terbit dan bintang-bintang ditutup (Kis. 

27:20). Pendeknya, di sini Ayub berbicara tentang apa 

yang mampu dilakukan Allah. namun , jika kita harus 

memahami tentang apa yang sebenarnya telah Ia laku-

kan, maka mungkin semua ayat ini harus diterapkan 

pada peristiwa banjir besar Nuh, saat  semua gunung 

di bumi diguncang, dan matahari serta bintang-bintang 

menjadi gelap. Dan dunia yang sekarang ini ada, kita 

percaya dicadangkan untuk api itu, yang akan mengha-

nguskan gunung-gunung dan melelehkan bumi ini, 

dengan panasnya yang luar biasa, hingga mengubah 

matahari menjadi kegelapan. 

(2) Selama masih berkenan, Ia mempertahankan jalan dan tata 

aturan yang sudah ditentukan bagi alam semesta, dan ini 

merupakan penciptaan yang berkelanjutan. Dia seorang diri, 

dengan kekuatan-Nya sendiri, tanpa bantuan orang lain,  

[1] Yang seorang diri membentangkan langit (ay. 8), tidak 

hanya membentangkannya pada awalnya, namun  juga te-

rus membentangkannya artinya, membuatnya terus-me-

nerus terbentang. Sebab kalau tidak, langit akan tergu-

lung seperti gulungan kertas. 

[2] Dia melangkah di atas gelombang-gelombang laut. Arti-

nya, Ia menekan dan menahan mereka, supaya mereka 

tidak membanjiri bumi kembali (Mzm. 104:9). Ayat ini 

memberi alasan mengapa kita semua harus takut ke-

pada Allah dan takjub kepada-Nya (Yer. 5:22). Dia lebih 

perkasa daripada ombak-ombak laut yang angkuh dan 

ganas (Mzm. 93:4, 65:8). 

[3] Ia menciptakan rasi bintang, tiga di antaranya diberi nama 

untuk mewakili bintang-bintang selebihnya (ay. 9), yakni 

bintang Biduk, bintang Belantik, bintang Kartika, dan 

gugusan-gugusan bintang Ruang Selatan. Bintang-bin-

tang yang membentuk rasi-rasi ini diciptakan-Nya terle-

bih dahulu, kemudian digabungkan-Nya dalam rasi-rasi 

dengan urutannya. Dan Ia masih terus membentuk me-

reka, menjaga keberadaan mereka, dan membimbing 

gerakan-gerakan mereka. Dia menjadikan mereka seba-

gai apa seharusnya mereka bagi manusia, dan mencon-

dongkan hati manusia untuk mengamati mereka, peker-

jaan yang tidak mampu dilakukan oleh binatang. Tidak 

hanya bintang-bintang yang kita lihat dan berikan na-

manya, namun  juga segala benda yang berada di belahan 

bumi lain, di kutub Antartika, yang mungkin tidak per-

nah kita lihat, yang disebut di sini dengan gugusan-

gugusan bintang Ruang Selatan, juga berada di bawah 

arahan dan kekuasaan Allah. Jadi, betapa bijaksana-

nya, dan betapa perkasanya Ia adanya!   

2. Dari kerajaan Sang Penyelenggara, yaitu Penyelenggaraan ilahi 

yang istimewa yang mengetahui seluk-beluk segala urusan 

anak-anak manusia. Pertimbangkan apa yang dikerjakan Allah 

dalam mengatur dunia ini, maka engkau akan berkata, Allah 

itu bijak dan kuat.  

(1) Allah melakukan banyak hal dan perbuatan besar. Banyak 

hal dan agung hingga mendatangkan kekaguman (ay. 10). 

Di sini Ayub mengulang kata-kata yang sama seperti yang 

diucapkan Elifas (5:9), dalam bahasa aslinya, dengan kata-

kata yang sama, tidak menolak untuk mengutip ucapannya, 

meskipun Elifas sedang menjadi lawan debatnya. Allah ada-

lah Allah yang agung. Ia melakukan perbuatan-perbuatan 

yang besar, Allah yang mengadakan keajaiban. Pekerjaan-

pekerjaan ajaib-Nya begitu banyak hingga kita tidak dapat 

menghitungnya, dan begitu misterius, hingga kita tidak da-

pat menyingkapkan mereka. Wahai, betapa dalam putusan 

hikmat-Nya!  

(2) Ia bertindak tanpa terlihat dan tidak terselami (ay. 11) “Apa-

bila Ia melewati aku, aku tidak melihat-Nya, dan bila Ia lalu, 

aku tidak mengetahui. Aku tidak melihat Dia. Melalui laut 

jalan-Mu” (Mzm. 77:20). Tindakan-tindakan penyebab ke-

dua umumnya jelas terlihat oleh mata, namun  Allah melaku-

kan segala sesuatu di depan mata kita semua, namun 

walaupun begitu kita tetap tidak melihat Dia (Kis. 17:23). 

Pemahaman kita yang terbatas tidak dapat memahami hik-

mat-Nya, atau mengerti semua gerak-gerik-Nya atau meng-

erti langkah-langkah yang diambil-Nya. Oleh sebab  itu, 

kita ini bukanlah hakim-hakim yang punya kemampuan 

untuk menghakimi segala perbuatan Allah, sebab kita tidak 

tahu apa yang Ia lakukan atau Ia rancangkan. Yang dise-

but arcana imperii – rahasia-rahasia pemerintahan yaitu  

hal-hal yang berada di atas kita, sehingga janganlah kita 

berlagak dapat  menjelaskan atau mengulasnya.         

(3) Allah bertindak dengan kedaulatan yang tidak dapat dila-

wan (ay. 11). Ia mengambil segala kenyamanan jasmani 

dan apa yang menjadi sandaran kita, kapan saja sesuka 

hati-Nya. Kalau mau, Ia akan mengambil kesehatan, harta 

milik, pertalian hubungan, sahabat, bahkan kehidupan itu 

sendiri. Apa pun yang terjadi, Dialah yang mengambil. Ta-

ngan apa pun yang mengambil semuanya itu, tangan-Nya 

harus diakui berperan di dalamnya. Apabila Ia merampas, 

siapa akan menghalangi-Nya? Siapa akan menegur-Nya: Apa 

yang Kaulakukan? Siapa yang dapat mencegah-Nya atau 

mengubah putusan-Nya? Siapa yang bisa menahan-Nya 

atau menentang semua tindakan-Nya? Siapa yang dapat me-

ngendalikan-Nya atau meminta pertanggungjawaban-Nya? 

Tindakan apa yang bisa dilakukan terhadap-Nya? Atau sia-

pa akan menegur-Nya: Apa yang Kaulakukan? Atau, meng-

apa Engkau lakukan demikian? (Dan. 4:35). Allah  tidak 

berkewajiban memberi alasan kepada  kita atas apa yang 

Dia lakukan. Makna cara kerja-Nya tidak dapat kita keta-

hui sekarang. Kelak kita akan mengetahuinya, saat  men-

jadi jelas apa yang sekarang tampaknya dilakukan-Nya 

tanpa dapat ditentang, ternyata dilakukan-Nya berdasar-

kan hikmat tak terhingga dan demi yang terbaik.  

(4) Allah bertindak dengan kekuatan yang tidak tertahankan, 

yang tidak bisa ditangkal oleh makhluk apa pun (ay. 13). 

Jika Allah tidak menahan murka-Nya, dibawah kuasa-Nya, 

maka para pembantu Rahab yang angkuh itu membungkuk 

di bawah-Nya. Dia yaitu  Allah atas murka-Nya. Biarlah 

murka-Nya keluar atau dipanggil sesuai kehendak-Nya. 

Artinya, Ia pasti akan mematahkan dan menghancurkan 

orang-orang yang dengan angkuh saling membantu untuk 

melawan Dia. Orang-orang angkuh menentang Allah dan 

pekerjaan-Nya. Dalam perlawanan ini mereka saling ber-

gandengan tangan. Raja-raja dunia bersiap-siap dan para 

pembesar bermufakat bersama-sama untuk mematahkan 

kuk-Nya, melanggar kebenaran-kebenaran-Nya, dan meng-

aniaya umat-Nya. Hai orang-orang Israel, tolong! (Kis. 21:28; 

Mzm. 83:9). Jika salah satu musuh kerajaan Allah jatuh di 

bawah penghakiman-Nya, maka yang lain akan dengan 

pongah membantunya, dan menyangka mereka mampu 

melepaskan dia dari tangan-Nya. Namun, ini sia-sia saja. 

Kecuali Ia berkenan menarik kembali murka-Nya yang acap 

dilakukan-Nya sebab pada hari itu Ia bersabar, para peno-

long pongah tadi pasti membungkuk di bawah-Nya, dan ja-

tuh tersungkur bersama orang-orang yang hendak mereka 

bantu itu. Siapakah yang mengenal kekuatan murka Allah? 

Orang-orang yang menyangka memiliki kekuatan untuk 

menolong orang lain tidak akan mampu menolong diri sen-

diri melawan murka-Nya. 

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

(9:14-21) 

14 lebih-lebih aku, bagaimana aku dapat membantah Dia, memilih kata-

kataku di hadapan Dia? 15 Walaupun aku benar, aku tidak mungkin mem-

bantah Dia, malah aku harus memohon belas kasihan kepada yang men-

dakwa aku. 16 Bila aku berseru, Ia menjawab; aku tidak dapat percaya, bah-

wa Ia sudi mendengarkan suaraku; 17 Dialah yang meremukkan aku dalam 

angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, 18 yang 

tidak membiarkan aku bernafas, namun  mengenyangkan aku dengan kepahit-

an. 19 Jika mengenai kekuatan tenaga, Dialah yang mempunyai! Jika menge-

nai keadilan, siapa dapat menggugat Dia? 20 Sekalipun aku benar, mulutku 

sendiri akan menyatakan aku tidak benar; sekalipun aku tidak bersalah, Ia 

akan menyatakan aku bersalah. 21 Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan 

diriku, aku tidak hiraukan hidupku! 

Apa yang dikatakan Ayub tentang ketidakmampuan manusia untuk 

berbantah dengan Allah di sini ia pakai untuk menerapkannya ke-

pada dirinya sendiri. Dan sebagai akibatnya, ia menjadi putus asa 

dalam mendapatkan kemurahan-Nya, sebab  (menurut beberapa taf-

siran) ia punya pemikiran keras tentang Allah. Ia memikirkan Allah 

itu melawan dirinya, benar atau salah, namun  terlalu sukar baginya 

untuk menandingi-Nya. Namun saya lebih suka menduga rasa putus 

asanya muncul sebab  ia merasa diri orang yang tidak benar, dan 

juga sebab  saat itu ia tidak mengerti sama sekali mengapa Allah 

sampai murka kepadanya.  

I. Ayub tidak berani berdebat dengan Allah (ay. 14): “Jika di bawah 

kuasa-Nya para pembantu Rahab membungkuk; lebih-lebih aku, 

bagaimana aku dapat membantah Dia, memilih kata-kataku di 

hadapan Dia? Aku ini hanya seorang makhluk lemah yang ma-

lang, jauh dari menjadi seorang penolong, malah tanpa daya sama

 sekali. Apa yang dapat kukatakan menentang apa yang dilakukan 

Allah? Jika aku berdebat dengan-Nya, Ia tentu saja terlalu kuat ba-

giku.” Jika tukang periuk membuat tanah liat menjadi bejana yang 

kurang berguna, atau menghancurkan bejana yang telah dibuat-

nya, akankah tanah liat atau bejana pecah itu berdebat dengan-

nya? Betapa tidak masuk akalnya manusia yang membantah Allah, 

atau menyangka dapat membicarakan masalah itu dengan-Nya. 

Tidak, biarlah semua manusia berdiam diri di hadapan-Nya. 

II.  Ayub tidak berani bersikeras membenarkan diri di hadapan Allah. 

Walaupun mempertahankan ketulusannya sendiri di depan saha-

bat-sahabatnya, dan tidak mau mengalah dengan berkata bahwa 

ia seorang yang munafik dan jahat seperti yang mereka katakan 

kepadanya, ia tidak akan pernah membela diri benar di hadapan 

Allah. “Aku tidak akan pernah berani coba-coba membahayakan 

kovenan ketulusan (covenant of innocency), atau berpikir tidak 

melanggarnya.” Ayub tahu begitu banyak tentang Allah, dan juga 

tentang dirinya sendiri, hingga ia tidak berani bersikeras mem-

benarkan diri di hadapan Allah. 

1. Ayub tahu begitu banyak tentang Allah sehingga ia tidak be-

rani menjalani pemeriksaan dengan-Nya (ay. 15-19). Ia tahu 

membela diri di hadapan sahabat-sahabatnya, dan yakin mam-

pu berurusan dengan mereka. Namun, meskipun ia tahu keada-

an hidupnya lebih baik, ia juga tahu tidak ada gunanya berde-

bat dengan Allah. 

(1) Allah mengenalnya lebih baik daripada ia mengenal dirinya 

sendiri, dan oleh sebab itu (ay. 15), “Walaupun aku benar 

menurut sangkaanku sendiri, dan hati nuraniku tidak 

menuduhku, namun Allah yaitu  lebih besar dari pada 

hatiku. Ia mengetahui kesalahan-kesalahan serta kekeliru-

an-kekeliruanku yang tersembunyi dan tidak mampu ku-

pahami. Ia dapat menuduhku dengan hal-hal itu, dan oleh 

sebab  itu aku tidak mungkin membantah Dia.” Rasul Pau-

lus juga berbicara tentang pokok yang sama: Sebab me-

mang aku tidak sadar akan sesuatu. Aku sendiri tidak 

menyadari adanya kejahatan yang berkuasa, namun  bukan 

sebab  itulah aku dibenarkan (1Kor. 4:4). “Aku tidak berani 

memperkarakan diriku benar, supaya jangan sampai Allah 

malah mendakwa kepadaku hal-hal yang tidak kutemukan 

dalam diriku sendiri.” Itulah sebabnya Ayub mengabaikan 

pembelaan itu, dan memohon belas kasihan kepada yang 

mendakwanya. Artinya, ia hendak menyerahkan diri ke-

pada belas kasih Allah, dan tidak terpikirkan untuk mem-

benarkan diri dengan perbuatannya.  

(2)  Ayub tidak mempunyai alasan untuk berpikir bahwa terda-

pat sesuatu dalam doa-doanya yang dapat membantu doa-

doa itu diterima Allah, atau untuk memperoleh jawaban 

damai sejahtera. Tidak ada nilai atau kelayakan apa pun 

yang dapat menyebabkan berhasilnya doa-doa itu. Sebalik-

nya, jawaban terhadap doanya murni diakibatkan oleh 

sebab  anugerah dan belas kasih Allah, yang menjawab 

sebelum kita berseru, dan bukan sebab  kita berseru. Ia 

memberikan jawaban dengan murah hati atas doa-doa kita, 

namun bukan sebab  doa-doa tersebut (ay. 16): “Bila aku 

berseru, Ia menjawab. Ia mengabulkan hal yang kumohon-

kan kepada-Nya, sekalipun doa-doaku begitu lemah dan 

penuh kekurangan, hingga aku tidak dapat percaya, bahwa 

Ia sudi mendengarkan suaraku. Aku tidak dapat berkata 

bahwa Ia telah memberikan keselamatan dengan tangan 

kanan-Nya dan menjawabku” (Mzm. 60:7), “namun  bahwa Ia 

melakukannya semata-mata demi kepentingan nama-Nya 

sendiri.” Uskup Patrick menguraikannya sebagai berikut: 

“Jika aku memanjatkan permohonan, dan Ia mengabulkan 

keinginanku, maka aku tidak akan berpikir bahwa doaku-

lah yang telah membuat hal itu terjadi.” Bukan sebab  

kamu Aku bertindak, ketahuilah itu.  

(3) Semua kesengsaraan yang sekarang ditimpakan Allah ke-

pada Ayub sekalipun ia jujur dan setia, memberinya kesa-

daran yang begitu mendalam, bahwa dalam mengatur ke-

adaan lahiriah manusia di dunia ini, Allah bertindak dengan 

kedaulatan-Nya. Dan, meskipun Ia tidak pernah melakukan 

kesalahan kepada siapa pun, Ia juga tidak pernah mem-

berikan hak sepenuhnya kepada semua orang (artinya, 

orang-orang terbaik tidak selalu paling berhasil, atau yang 

terjahat senantiasa mengalami yang terburuk) dalam hidup 

ini, sebab Ia menyimpan pembagian pahala dan hukuman 

secara penuh dan tepat untuk masa mendatang. Ayub me-

mahami dirinya tidak pernah melakukan suatu kesalahan 

luar biasa, namun tetap saja ia menderita kemalangan luar 

biasa (ay. 17-18). Setiap orang memang harus menantikan 

angin bertiup ke arahnya dan mengacaukannya, namun  

Ayub diremukkan dalam angin ribut. Di tengah semua onak 

dan duri, setiap orang tentu sadar ia akan tergores. Namun, 

Ayub bahkan terluka, dan luka-lukanya bertambah ba-

nyak. Setiap orang harus menantikan akan memikul salib 

setiap hari, dan sesekali mengecap dari cawan yang pahit. 

Namun, kesesakan-kesesakan Ayub yang malang itu da-

tang begitu beruntun menimpanya hingga ia tidak sempat 

menarik napas, dan dipenuhi kepahitan. Dan ia beranggap-

an bahwa semua ini terjadi dengan tidak semena-mena, 

tidak ada perbuatan jahat yang mengakibatkannya. Sampai 

saat ini kita telah membuat anggapan yang terbaik menge-

nai apa yang dikatakan Ayub, walaupun hal ini berlawanan 

dengan penilaian banyak penafsir yang bagus. Namun, di 

sini tidak dapat diragukan lagi bahwa ia teledor dengan 

kata-katanya. Ia merenungkan kebaikan Allah dengan ber-

kata bahwa ia tidak dibiarkan bernafas, padahal ia masih 

dapat memakai  akal sehat dan mulutnya sehingga 

mampu berbicara seperti itu. Ia juga merenungkan keadil-

an-Nya dengan berkata bahwa keadilan-Nya tidak semena-

mena tanpa alasan. Bagaimanapun, memang benar bahwa 

di satu sisi ada banyak orang yang didakwa dengan dosa 

yang lebih banyak daripada pelanggaran umum sifat manu-

sia, dan meskipun demikian tidak merasa lebih sedih di-

banding kesedihan akibat malapetaka umum dalam hidup 

manusia. Dan di sisi lain, ada banyak orang yang merasa-

kan lebih banyak malapetaka yang lazim dalam hidup ma-

nusia, namun dia sendiri tidak merasa melakukan banyak 

pelanggaran umum sifat manusia. 

(4) Ayub sama sekali tidak mampu menandingi Allah (ay. 19). 

[1] Tidak melalui kekuatan tenaga. “Aku tidak berani ter-

libat perdebatan dengan Yang Mahakuasa. Sebab jika 

mengenai kekuatan tenaga, Dialah yang mempunyai. 

Bila aku berpikir akan berhasil melalui kekuatan te-

naga, maka lihatlah, Dialah yang kuat. Ia lebih kuat 

daripada aku, dan pasti akan menguasaiku.” Tidak ada 

perdebatan (kata seseorang kepada Kaisar) dengan dia 

yang menguasai pasukan. Apalagi sampai berdebat de-

ngan Dia yang memiliki pasukan-pasukan besar malai-

kat. Apakah hatimu yaitu ketabahan dan akalmu. akan 

tetap teguh dan tanganmu merasa kuat pada masa Aku 

bertindak terhadap engkau? (Yeh. 22:14). 

[2] Tidak melalui paksaan atau perdebatan. “Aku tidak be-

rani mencoba kecakapanku dalam perkara itu. Jika aku 

berbicara mengenai keadilan, dan memaksakan hakku, 

siapa dapat menggugat Dia? Tidak ada lagi kekuasaan 

lebih tinggi kepada siapa aku dapat memohon. Tidak ada 

pengadilan tinggi yang menentukan persidangan perkara 

itu, sebab Ia Mahatinggi dan dari diri-Nya terlaksana 

penghakiman atas setiap orang yang harus dipatuhinya.” 

2. Ayub tahu begitu banyak tentang dirinya sendiri hingga ia tidak 

berani diperiksa (ay. 20-21). “Sekalipun aku berusaha menyata-

kan diriku benar, dan membela kebenaranku sendiri, pembela-

anku akan berbalik menjadi tudingan terhadapku, mulutku 

sendiri akan menyatakan aku tidak benar, bahkan saat  mu-

lut itu berusaha membebaskanku.” Orang baik yang mengenal 

ketidakjujuran hatinya sendiri, dan sangat menjaganya de-

ngan kesungguhan ilahi, serta sudah acap kali menemukan 

kesalahan di situ yang sudah sejak lama tidak diketahui, akan 

lebih mencurigai adanya lebih banyak kejahatan dalam dirinya 

dibanding yang benar-benar disadarinya. Oleh sebab itu ia 

sama sekali tidak akan terpikirkan untuk membenarkan diri di 

hadapan Allah. Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, 

maka kita tidak saja menipu diri kita sendiri, namun  juga meng-

hina Allah. Sebab kita berdosa apabila berkata demikian, dan 

menimpakan dusta kepada Kitab Suci yang telah mengurung 

segala sesuatu di bawah kekuasaan dosa. “Sekalipun aku ber-

kata bahwa aku tidak bersalah dan tidak berdosa, maka Allah 

tidak akan mendakwa saya, justru perkataanku itulah yang 

akan menyatakan aku bersalah, congkak, tidak berpengetahu-

an, dan pongah. Bahkan lebih dari itu, seandainyapun aku 

tidak bersalah, sekalipun Allah menyatakan aku benar, aku 

tidak pedulikan diriku. Aku tidak akan peduli memperpanjang 

hidupku sementara didera semua kesengsaraan ini,” Atau, 

“Walaupun aku bersih dari dosa besar, meskipun hati nurani-

ku tidak menuduhku melakukan kejahatan luar biasa, aku te-

tap tidak akan sejauh itu mempercayai hatiku sendiri sehingga 

mempertahankan kemurnianku, atau berpikir hidupku pantas 

diperjuangkan terhadap Allah.” Singkat kata, sungguh bodoh 

untuk bertengkar dengan Allah, dan sebab  itu kita harus bijak 

serta wajib tunduk kepada-Nya dan tersungkur di kaki-Nya.  

Jawaban Ayub Atas Seruan Bildad 

 (9:22-24) 

22 Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah 

dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. 23 Bila cemeti-Nya mem-

bunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak 

bersalah. 24 Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata 

para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi? 

Dalam perikop ini Ayub menyinggung sekilas pokok utama perdebat-

annya di antara dia dan sahabat-sahabatnya. Mereka mempertahan-

kan pendapat bahwa orang-orang yang benar dan baik akan senan-

tiasa berhasil dalam dunia ini, dan tidak seorang pun selain orang 

fasik yang mengalami sengsara dan kesesakan. Sebaliknya, Ayub 

menegaskan bahwa sudah lazim bagi orang fasik untuk berhasil dan 

orang benar untuk sangat menderita. Inilah satu hal, hal utama, 

yang berbeda pada dirinya dan sahabat-sahabatnya. namun  mereka 

belum membuktikan pernyataan mereka itu, dan oleh sebab  itu 

Ayub berpegang pada pernyataannya: “Aku telah mengatakannya, 

dan mengatakannya lagi, bahwa segala sesuatu sama-sama menimpa 

semua orang.” Nah, 

1. Haruslah diakui bahwa terdapat banyak kebenaran dalam apa 

yang dimaksudkan Ayub di sini. Yakni bahwa penghakiman se-

mentara di dunia ini, saat  dijatuhkan, akan menimpa orang 

baik maupun jahat. Malaikat yang mendatangkan kemusnahan 

jarang sekali membeda-bedakan antara rumah-rumah orang Is-

rael dan orang Mesir, walau pernah juga melakukannya satu kali. 

Namun, dalam penghakiman atas Sodom, yang disebut siksaan 

api kekal (Yud. 7), jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat 

demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang 

fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik 

(Kej. 18:25). Sebaliknya, dalam penghakiman yang hanya bersifat 

sementara, orang-orang benar juga ikut menanggung akibatnya, 

dan adakalanya jauh lebih berat. Sudah biasa pedang makan 

orang ini atau orang itu, baik Yosia maupun Ahab. Demikianlah 

yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan 

Allah. Ia melibatkan keduanya dalam kehancuran yang sama. 

Orang baik dan jahat dikirimkan ke Babel (Yer. 24:5, 9). Bila 

cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, dan menyapu semua yang 

berada di hadapannya, Allah akan senang melihat bagaimana ce-

meti yang sama dan menjadi kehancuran orang fasik itu menjadi 

ujian bagi orang-orang ti