an Dia. Meskipun begitu, ada juga
yang dikejutkan oleh teguran pada malam hari (33:14-15).
4. Pesan itu didahului ketakutan: Ia terkejut dan gentar, sehingga
tulang-tulangnya gemetar (ay. 14). Tampaknya, sebelum men-
dengar atau melihat sesuatu, hatinya disergap dengan kegen-
taran ini, hingga mengguncang tulang-tulangnya, dan mung-
kin juga tempat tidur di bawahnya. Rasa kagum dan hormat
yang kudus terhadap Allah serta keagungan-Nya yang menerpa
rohnya, membuatnya siap menerima kunjungan ilahi. Orang
yang hendak diberi kehormatan oleh Allah akan direndahkan-
Nya dan dibuat merendah hati terlebih dahulu. Ia ingin agar
kita semua melayani-Nya dengan rasa takut kudus, dan ber-
sukacita dengan gemetar.
II. Utusan yang membawa pesan itu – suatu roh, salah satu malaikat
baik, yang tidak saja ditugaskan sebagai pelayan Penyelenggaraan
Allah, namun terkadang sebagai pelayan firman-Nya juga. Menge-
nai penampakan yang dilihat Elifas ini, di sini kita diberi tahu (ay.
15-16),
1. Bahwa hal itu nyata dan bukan sekadar mimpi atau khayalan.
Suatu sosok berada di depan matanya. Elifas melihatnya de-
ngan jelas. Mula-mula sosok itu melintas beberapa kali di de-
pannya, bergerak naik turun, namun akhirnya berhenti untuk
berbicara kepadanya. Andai kata ada yang begitu tidak jujur
sehingga memaksakan penglihatan palsu kepada orang lain,
dan ada yang begitu bodoh sehingga memaksakannya kepada
diri sendiri, maka itu bukanlah berarti bahwa memang terda-
pat penampakan roh, yang baik maupun yang jahat.
2. Bahwa apa itu tidaklah jelas dan agak membingungkan. Rupa
sosok itu tidak dapat dikenal olehnya, sehingga sulit baginya
untuk membayangkan apa itu, apalagi untuk menggambar-
kannya. Nuraninya yang hendak dibangunkan serta diberi
tahu saat itu, dan bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu-
nya. Kita hanya tahu sedikit tentang roh-roh. Kita tidak mam-
pu mengetahui banyak tentang mereka, dan juga tidak patut
untuk kita mengetahuinya. Semua ini ada waktunya sendiri.
Tidak lama lagi kita akan pindah ke dunia roh, dan saat
itulah kita akan mengenal mereka dengan lebih baik.
3. Bahwa penampakan itu membuatnya sangat ketakutan, se-
hingga tegaklah bulu romanya. Sejak manusia jatuh ke dalam
dosa, sangatlah menakutkan baginya saat menerima pesan
dari sorga, sebab ia sadar tidak dapat mengharapkan berita
baik lagi. Oleh sebab itu, penampakan, bahkan dari roh yang
baik, selalu mendatangkan kesan rasa takut, bahkan pada
orang-orang baik sekalipun. sebab itu, alangkah baiknya bagi
kita bahwa Allah mengirimkan pesan-pesan-Nya kepada kita,
bukan melalui roh-roh, namun melalui manusia seperti kita,
yang kengeriannya membuat kita tak usah ditimpa kegentaran!
(Lih. Dan. 7:28; 10:8-9).
III. Isi pesan itu sendiri. Sebelum disampaikan, ada keheningan, ke-
heningan yang amat sangat (ay. 16, KJV). saat kita hendak ber-
bicara, baik untuk menyampaikan pesan-Nya maupun kepada-
Nya, sungguh layak apabila kita menaruh perhatian kepada per-
kataan itu dengan berdiam dan khidmat terlebih dahulu. Dengan
demikian kita membatasi diri untuk tidak mendekat ke gunung
tempat Allah akan turun, dan tidak tergesa-gesa mengutarakan
apa pun. Pesan itu disampaikan dengan suara berbisik-bisik, dan
inilah isinya (ay. 17): “Mungkinkah seorang manusia benar di ha-
dapan Allah, Allah yang kekal? Mungkinkah seseorang tahir di
hadapan Penciptanya? Jauhkanlah pikiran semacam itu!”
1. Ada yang berpendapat bahwa dengan ini Elifas hendak mem-
buktikan bahwa penderitaan hebat Ayub merupakan bukti
nyata bahwa ia orang yang jahat. Manusia biasa akan diang-
gap tidak adil dan sangat kotor apabila ia menghukum dan
menyiksa hamba atau bawahan seperti itu, kecuali orang itu
telah melakukan kejahatan yang sangat berat: “Apabila tidak
ada kejahatan besar yang oleh sebab nya Allah menghukum-
mu, maka manusia akan lebih adil daripada Allah, yang sung-
guh tak terbayangkan.”
2. Saya cenderung berpendapat bahwa perkataan Elifas itu seka-
dar untuk menegur sungut-sungut dan ketidakpuasan Ayub:
“Akankah manusia mengaku-ngaku lebih adil dan murni dari-
pada Allah? Lebih dapat memahami dan lebih cermat meng-
amati peraturan serta hukum-hukum keadilan dibanding
Allah? Akankah Enos, manusia fana dan sengsara itu, ber-
sikap begitu durjana? Bahkan lebih dari itu, akankah Geber,
manusia paling kuat dan unggul, yang dalam keadaan terbaik-
nya, berani membandingkan diri dengan Allah, atau bersaing
dengan-Nya?” Perhatikanlah, sungguh hina dan tidak masuk
akal bila menganggap bahwa baik orang lain maupun diri kita
sendiri lebih adil dan murni daripada Allah. Orang-orang yang
bertengkar dan mencari-cari kesalahan petunjuk hukum ilahi,
dispensasi anugerah ilahi, atau pengaturan penyelenggaraan
ilahi, membuat diri mereka lebih adil dan murni daripada Allah.
Hendaklah orang-orang yang mencela Allah menjawab. Apa!
Engkau manusia berdosa! (Sebab ia bukanlah manusia fana
seandainya dia bukan orang berdosa). Manusia berpandangan
dangkal! Akankah ia berlagak lebih adil, lebih murni daripada
Allah, yang merupakan Penciptanya, TUHAN dan Pemiliknya?
Akankah tanah liat berdebat dengan sang tu-kang periuk?
Seperti apa pun keadilan dan kemurnian yang ada di dalam
diri manusia, Allah sendirilah sumber pencipta-nya, dan oleh
sebab itu Ia juga lebih adil dan murni (Mzm. 94:9-10).
IV. Ulasan yang dibuat Elifas mengenai hal ini, sebab sepertinya itulah
yang dilakukannya. Namun, ada juga yang beranggapan bahwa
semua ayat berikutnya diucapkan melalui penglihatan. Semuanya
menyatu.
1. Elifas menunjukkan betapa kecil para malaikat bila dibanding-
kan dengan Allah (ay. 18). Malaikat yaitu pelayan Allah, pela-
yan yang menunggu, pelayan yang bekerja. Mereka yaitu
pesuruh-pesuruh-Nya (Mzm. 104:4). Mereka yaitu makhluk
terang dan diberkati, namun Allah tidak membutuhkan atau
mendapatkan kebaikan dari mereka. Ia jauh lebih tinggi tak
terhingga daripada mereka, dan oleh sebab itu,
(1) Allah tidak mempercayakan diri kepada mereka, tidak me-
naruh kepercayaan kepada mereka seperti yang kita laku-
kan terhadap orang-orang yang sangat kita perlukan agar
bisa tetap hidup. Tidak ada pelayanan yang ditugaskan-
Nya kepada mereka. Sebaliknya, apabila suka, Ia dapat me-
lakukannya dengan baik tanpa bantuan mereka. Allah
tidak pernah menjadikan mereka orang kepercayaan-Nya,
atau dewan penasihat-Nya (Mat. 24:36). Ia tidak sepenuhnya
menyerahkan perkara-Nya kepada mereka, sebaliknya mata-
Nya menjelajah seluruh bumi (2Taw. 16:9). Amatilah kalimat
dalam Ayub 39:14. Ada yang mengartikannya sebagai beri-
kut: “Bahkan sebegitu mudah tabiat malaikat berubah,
hingga Allah tidak mau mempercayai kejujuran malaikat.
Seandainya Ia mempercayai para malaikat, mereka tentu
akan berbuat seperti yang dilakukan beberapa dari antara
mereka, yaitu meninggalkan kedudukan mereka yang per-
tama-tama. Sebaliknya, Ia menganggap perlu untuk mem-
beri mereka anugerah ajaib guna meneguhkan mereka.”
(2) Allah menuduh mereka telah melakukan kebodohan, ke-
sombongan, kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempur-
naan apabila dibandingkan dengan diri-Nya sendiri. Sean-
dainya dunia dipercayakan kepada pemerintahan para ma-
laikat, dan kepada mereka dipercayakan pengelolaan tung-
gal atas semua perkara, maka mereka bisa saja mengambil
langkah yang keliru, dan segala sesuatu tidak akan dilaku-
kan dengan cara yang terbaik sebagaimana halnya seka-
rang. Malaikat memang merupakan makhluk cerdas, namun
terbatas. Walaupun tidak dapat dituduh bersalah, namun
mereka masih bisa lalai juga. Hal yang disebut terakhir ini
masih diartikan dengan berbagai makna oleh para peng-
ulas. Sepertinya dengan mengulang sangkalan yang sudah
sangat lazim itu, bunyinya akan sebagai berikut: Para Suci-
Nya tidak dipercayai-Nya, juga Ia tidak bermegah di dalam
malaikat-malaikat-Nya; in angelis suis non ponet gloriationem
– atau memuji-muji mereka, seolah-olah pujian atau pela-
yanan mereka menambahkan sesuatu bagi-Nya. Merupa-
kan kemuliaan-Nya bahwa Ia berbahagia tak terhingga tan-
pa para malaikat.
2. Kemudian Elifas menyimpulkan betapa jauh lebih besar keku-
rangan manusia, betapa kurang dipercaya atau dipuji. Jika
antara Allah dengan para malaikat saja sudah ada jarak yang
sedemikian jauh, maka apalagi di antara Allah dan manusia!
Lihatlah bagaimana manusia digambarkan di sini dalam kehi-
naannya.
(1) Pandanglah manusia dalam hidupnya, dan ia akan terlihat
sangat rendah (ay. 19). Pandanglah manusia dalam keada-
annya yang terbaik, dan ia yaitu makhluk yang sangat
hina dibandingkan dengan para malaikat kudus, meskipun
terhormat bila dibandingkan dengan binatang. Memang be-
nar bahwa malaikat merupakan roh, dan jiwa manusia juga
berupa roh. Namun,
[1] Malaikat yaitu murni roh, sedangkan jiwa manusia
diam dalam pondok tanah liat. Seperti itulah tubuh ma-
nusia. Malaikat yaitu makhluk bebas, sedangkan jiwa
manusia mempunyai wadah. Tubuhnya bagaikan awan
atau beban yang merintanginya. Tubuh bagaikan sang-
kar atau penjara yang mengurungnya. Tubuh manusia
bagaikan pondok tanah liat yang bersahaja dan bisa
rusak. Bejana dari tanah, segera hancur, seperti saat
pertama kali dibentuk, sesuai keinginan tukang periuk.
Tubuh manusia bagaikan pondok, bukan rumah yang
terbuat dari kayu aras atau gading, melainkan dari ta-
nah liat yang akan segera hancur apabila tidak terus
diperbaiki.
[2] Malaikat terpancang kokoh, namun dasar pondok tanah
liat tempat manusia berdiam, terletak dalam debu. Ru-
mah dari tanah liat, jika dibangun di atas batu karang,
bisa bertahan lama. Namun, jika dibangun dasarnya di
dalam debu, maka ketidakpastian dasarnya akan mem-
percepat keruntuhannya, sehingga rumah itu akan
roboh bersama bebannya sendiri. Sama seperti manusia
diciptakan dari tanah, demikian juga ia dipelihara dan
ditopang dengan apa yang berasal dari tanah. Ambillah
penopang itu, maka tubuhnya akan kembali ke tanah.
Kita ini hanya berdiri di atas debu. Beberapa orang ber-
diri di atas gundukan debu yang lebih tinggi daripada
yang lain. Namun, tetap saja tanah yang menopang kita
dan tidak lama lagi akan menelan kita.
[3] Malaikat merupakan makhluk kekal, sedangkan manu-
sia akan hancur dalam waktu singkat. Jika kemah tem-
pat kediaman kita di bumi ini dibongkar, maka akan
hancur keelokannya sama seperti gegat (ngengat, sejenis
serangga kecil – pen.), mudah dan cepat remuk di an-
tara jemari. Orang hampir sama cepatnya membunuh
manusia seperti membunuh seekor gegat. Hal kecil pun
mampu mencabut nyawanya. Ia mati terpijat seperti ge-
gat, demikianlah firman yang tertulis. Apabila penyakit
menahun yang mampu menggerogoti tubuh seperti hal-
nya gegat ditugaskan untuk membinasakannya, orang
tidak akan mampu menolaknya, sama seperti ia tidak
bisa menolak penyakit gawat yang datang meraung dan
menerkam seperti singa (Hos. 5:12-14). Apakah makh-
luk semacam ini dapat dipercayai, atau dapatkah diha-
rapkan jasa darinya oleh Allah yang bahkan tidak mem-
percayai para malaikat itu sendiri?
(2) Pandanglah manusia dalam kematiannya, maka ia akan
tampak semakin hina dan tidak pantas dipercayai. Manu-
sia yaitu makhluk fana yang segera mati (ay. 20-21).
[1] Dalam kematian, mereka dihancurkan dan binasa untuk
selama-lamanya, sama seperti dunia ini. Kematian ada-
lah akhir dari kehidupan dan pekerjaan dan segala ke-
nikmatan mereka di dunia ini. Tempat mereka tidak
akan mengenal mereka lagi.
[2] Setiap hari mereka berangsur-angsur menuju kematian,
dan semakin lenyap: Di antara pagi dan petang mereka
dihancurkan. Kematian masih bekerja di dalam diri kita,
bagaikan tikus yang menggali kubur kita setiap kali
memindahkan tanah liang itu. Kita senantiasa terpapar
seperti itu sehingga sama seperti dibunuh sepanjang
hari.
[3] Hidup manusia singkat, dan tidak lama lagi akan pu-
nah. Kelangsungannya hanya dari pagi sampai petang.
Lamanya hanya satu hari (seperti yang diartikan bebe-
rapa orang). Kelahiran dan kematian mereka tidak lebih
dari terbit dan terbenamnya matahari pada hari yang
sama.
[4] Dalam kematian, seluruh keunggulan mereka akan ber-
lalu. Baik kecantikan, kekuatan, maupun pengetahuan
mereka tidak saja tak mampu mengamankan mereka
dari kematian, namun juga harus mati bersama mereka.
Semarak, kekayaan, maupun kekuasaan mereka pun
tidak akan turun ke kubur bersama mereka.
[5] Hikmat mereka pun tidak mampu menyelamatkan me-
reka dari kematian: Mereka mati, namun tanpa hikmat.
Mati sebab kekurangan hikmat akibat membawa diri
dengan bodoh. Mereka bagaikan menggali kubur dengan
gigi mereka sendiri.
[6] Hal ini dianggap begitu lazim hingga tak seorang pun
memperhatikannya: tanpa menghiraukan atau mengingat-
nya, mereka binasa. Kematian orang lain memang acap
merupakan pokok pembicaraan umum, namun jarang
menjadi pokok pemikiran dengan sungguh. Ada yang
berpendapat bahwa di sini dibicarakan baik tentang hu-
kuman kekal atas orang berdosa maupun kematian se-
mentara mereka: Di antara pagi dan petang mereka
dihancurkan, atau diremukkan oleh kematian dari pagi
sampai petang. Apabila mereka tidak bertobat, mereka
akan binasa untuk selama-lamanya (ay. 20). Mereka
binasa untuk selamanya sebab tidak peduli kepada
Allah dan kewajiban mereka. Mereka tidak berpikir akan
akhirnya (Rat. 1:9). Mereka tidak memiliki keunggulan
selain yang diambil oleh kematian, dan setelah itu me-
reka mati, mati untuk kematian kedua, sebab ketiada-
an hikmat untuk meraih hidup kekal. Akankah makh-
luk hina, lemah, bodoh, berdosa, dan hampir mati se-
perti ini mau berlagak benar di hadapan Allah dan tahir
di hadapan Penciptanya? Tidak, daripada bertengkar
dengan penderitaannya, biarlah ia takjub bahwa ia ber-
ada di luar neraka.
PASAL 5
lifas, dalam pasal sebelumnya, untuk menguatkan tuduhannya
terhadap Ayub, menyampaikan suatu perkataan yang ia pastikan
berasal dari sorga, yang dikirimkan kepadanya dalam suatu peng-
lihatan. Dalam pasal ini dia memberi kesaksian yang terjadi di bumi,
yang dialami orang-orang kudus, saksi-saksi yang setia tentang kebe-
naran Allah di sepanjang abad (ay. 1). Mereka memberi kesaksian,
I. Bahwa dosa dari orang-orang yang berdosa menjadi kehan-
curan mereka (ay. 2-5).
II. Bahwa malapetaka yaitu nasib yang dapat menimpa semua
umat manusia (ay. 6-7).
III. Bahwa saat kita mengalami bencana, maka menjadi hikmat
dan kewajiban kita untuk bersandar kepada Allah, sebab Ia
sanggup dan siap untuk menolong kita (ay. 8-16).
IV. Bahwa malapetaka yang ditanggung dengan baik akan ber-
akhir dengan baik. Dan Ayub secara khusus, jika dia mau
berubah sikapnya dengan baik, dapat menjamin diri bahwa
Allah menyediakan belas kasih-Nya yang besar baginya (ay.
17-27). Demikianlah, Elifas mengakhiri percakapannya dengan
lebih menghibur hati dibandingkan saat ia memulainya.
Teguran Elifas
(5:1-5)
1 Berserulah – adakah orang yang menjawab engkau? Dan kepada siapa di
antara orang-orang yang kudus engkau akan berpaling? 2 Sesungguhnya,
orang bodoh dibunuh oleh sakit hati, dan orang bebal dimatikan oleh iri hati.
3 Aku sendiri pernah melihat orang bodoh berakar, namun serta-merta kuku-
tuki tempat kediamannya. 4 Anak-anaknya selalu tidak tertolong, mereka
diinjak-injak di pintu gerbang tanpa ada orang yang melepaskannya. 5 Apa
yang dituainya, dimakan habis oleh orang yang lapar, bahkan dirampas dari
tengah-tengah duri, dan orang-orang yang dahaga mengingini kekayaannya.
Suatu perdebatan yang sangat hangat dimulai antara Ayub dan te-
man-temannya. Dan Elifas di sini berusaha mencari hal-hal yang bisa
dijadikan rujukan untuk melihat persoalan yang didebatkan itu. Da-
lam semua perdebatan mungkin lebih baik kalau hal ini dilakukan
lebih cepat, jika pihak-pihak yang berdebat tidak dapat mengakhiri
perdebatan. Betapa pastinya Elifas tentang kebenaran pendapatnya
sehingga dia mendorong Ayub untuk memilih seorang penengah (ay.
1): Berserulah – adakah orang yang menjawab engkau? Yaitu,
1. “Jika ada orang yang menderita sama seperti yang engkau derita.
Dapatkah engkau memberikan sebuah contoh tentang siapa saja
yang sungguh-sungguh merupakan seorang yang saleh, yang
direndahkan hingga mengalami kesesakan sedemikian parahnya
seperti engkau? Allah tidak pernah memperlakukan orang yang
mengasihi nama-Nya seperti Ia memperlakukan engkau, jadi pas-
tilah engkau tidak termasuk orang-orang yang mengasihi Dia.”
2. “Apabila ada orang yang berkata seperti engkau katakan. Apakah
ada orang baik yang mengutuk hari kelahirannya seperti engkau?
Atau akankah orang-orang saleh membenarkan engkau dengan
kepanasan hati atau kemarahanmu yang membara ini? Ataukah
mereka akan berkata itu yaitu noda hitam dari anak-anak Allah?
Engkau tidak akan menemukan seorang pun dari para saleh yang
akan membela engkau atau menentang aku dalam hal ini. Dan
kepada siapa di antara orang-orang yang kudus engkau akan ber-
paling? Berpalinglah ke mana engkau mau dan engkau akan me-
nemukan bahwa mereka semua sama dan sepikiran denganku.
Aku memiliki communis sensus fidelium – suara bulat dari yang se-
tia ada di pihakku. Mereka semua akan mendukung apa yang aku
katakan.” Amatilah,
(1) Orang-orang baik disebut orang-orang kudus bahkan di dalam
Perjanjian Lama juga. Dan sebab itu aku tidak tahu mengapa
kita, secara umum (kecuali sebab kita harus loqui cum vulgo –
berbicara seperti para tetangga kita), mengenakan sebutan
“santo” kepada orang-orang baik Perjanjian Baru, namun tidak
kepada mereka yang dari Perjanjian Lama, sehingga tidak me-
nyebut Santo Abraham, Santo Moses, dan Santo Yesaya, se-
perti halnya kita menyebut Santo Matius dan Santo Markus.
Dan juga Santo Daud si pemazmur, serta Santo David uskup
Inggris. Harun dengan jelas disebut orang kudus TUHAN.
(2) Semua orang yang kudus akan berpaling kepada mereka yang
juga demikian, akan memilih mereka sebagai sahabat dan
bergaul dengan mereka, akan memilih mereka sebagai hakim
mereka dan mencari nasihat dari mereka (Lih. Mzm. 119:79).
Orang-orang kudus akan menghakimi dunia (1Kor. 6:1-2). Tem-
puhlah jalan orang baik (Ams. 2:20), jalan-jalan yang dahulu
kala, jejak dari kawanan. Setiap orang memilih orang-orang
tertentu yang menurutnya baik bagi dirinya, dan yang kecon-
dongan hatinya mendatangkan kehormatan atau kehinaan.
Nah, semua orang kudus tentu berusaha memilih orang-orang
yang juga kudus seperti mereka dan berpegang teguh pada
pilihan mereka itu.
(3) Ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sedemikian jelas dan
dikenal serta dipercaya secara luas, hingga orang berani saja
untuk memohon menyerukannya kepada orang-orang kudus.
Walaupun ada beberapa hal yang sayangnya mereka tidak
saling sependapat, namun masih ada banyak lagi dan lebih
penting, yang mereka sepakati. Seperti kejahatan dosa, kesia-
siaan dunia, berharganya jiwa, keperluan akan suatu kehidup-
an yang kudus, dan sebagainya. Kendati mereka semua tidak
sepenuhnya hidup, sebagaimana mestinya, sesuai dengan ke-
percayaan mereka akan kebenaran-kebenaran itu, namun me-
reka semua siap untuk bersaksi mengenai semua kebenaran
itu.
Sekarang, ada dua hal yang dipertahankan Elifas di sini, yang tidak
diragukannya semua orang kudus sepakat dengan dia:
I. Bahwa dosa para pendosa secara langsung membawa kehancuran
kepada diri mereka sendiri (ay. 2): Orang bodoh dibunuh oleh sakit
hati, oleh murkanya sendiri, dan sebab itu bodohlah dia kalau
menurutinya. Sakit hati menjadi api di dalam tulang-tulangnya, di
dalam darahnya, cukup untuk membuatnya sakit demam. Iri hati
yaitu karat dari tulang-tulang, sehingga dapat mematikan orang
bebal yang menjengkelkan dirinya sendiri dengannya. “Demikian
pula dengan engkau, Ayub,” kata Elifas, “sementara engkau ber-
bantah dengan Allah, engkau melakukan kejahatan besar terha-
dap dirimu sendiri. Murkamu terhadap masalahmu sendiri, dan
iri hatimu terhadap kemakmuran kami, hanya menambah rasa
sakit dan sengsaramu. Berpalinglah kepada orang-orang kudus
dan engkau akan mendapati mereka lebih memahami apa yang
menjadi kepentingan mereka.” Sebelumnya Ayub memarahi istri-
nya berbicara sebagai seorang perempuan bodoh. Kini Elifas me-
marahi dia telah berlaku sebagai seorang laki-laki yang bodoh,
dungu tak berakal. Atau hal itu dimaksudkan demikian: “Apabila
manusia sampai hancur dan binasa, itu terjadi akibat kebodohan
mereka sendiri. Mereka membunuh diri sendiri dengan nafsu sen-
diri. sebab itu, tak diragukan, Ayub, engkau telah melakukan
suatu hal yang bodoh, yang olehnya engkau telah membawa diri
sendiri ke dalam keadaan bencana ini.” Banyak orang memahami-
nya sebagai murka dan kecemburuan Allah. Ayub tidak perlu geli-
sah dengan kemakmuran orang jahat, sebab senyum dunia tidak
akan pernah dapat melindungi mereka dari kernyit dahi Allah.
Mereka bodoh dan dungu kalau mereka menganggapnya demikian.
Murka Allah akan menjadi kematian, kematian kekal, dari orang-
orang yang kena murka-Nya. Apakah neraka itu selain murka
Allah semata dan tanpa akhir?
II. Bahwa kesejahteraan orang jahat singkat dan kehancuran mereka
pasti (ay. 3-5). Elifas di sini sepertinya menyejajarkan kasus Ayub
dengan kasus yang biasanya menimpa orang jahat.
1. Ayub menjadi makmur hanya untuk sekejap, dan ia tampak-
nya merasa mapan, dan aman-aman saja dalam kesejahtera-
annya. Sangat umum bagi orang jahat yang bodoh untuk ber-
buat demikian: Aku sendiri pernah melihat orang bodoh ber-
akar, tertanam dalam-dalam, dan, dalam pemahaman orang
lain dan diri sendiri, terpancang kokoh dan kemungkinan
akan terus berlanjut (Lih. Yer. 12:2; Mzm. 37:35-36). Kita me-
nyaksikan orang dunia berakar di bumi. Pada hal-hal duniawi
mereka menancapkan pijakan pengharapan mereka, dan dari
sana mereka mengisap sari sumber kenyamanan mereka.
Harta lahiriah mungkin berkembang, namun jiwa tidak dapat
berkembang jika berakar di bumi.
2. Kesejahteraan Ayub kini berakhir, dan demikianlah kesejah-
teraan orang-orang jahat lainnya segera berakhir.
(1) Elifas telah mengetahui kehancuran mereka dengan suatu
mata iman. Orang-orang yang hanya melihat kepada hal-
hal yang sekarang memberkati tempat kediaman mereka,
dan menganggap diri bahagia dan kiranya berlangsung
lama, dan berharap terus hidup demikian. namun Elifas me-
ngutukinya, tiba-tiba mengutukinya, segera saat dia me-
lihat mereka mulai berakar, yaitu dengan jelas dia menge-
tahui dan meramalkan kehancuran mereka. Bukan bahwa
dia mendoakan kehancuran mereka (Aku tidak mengingini
hari bencana!), melainkan dia dapat memperkirakan hal itu
akan terjadi. Ia masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan di t
sana memperhatikan kesudahan mereka dan mendengar
akhir hidup mereka ditetapkan (Mzm. 73:17-18), bahwa
orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya (Ams. 1:32,
KJV: oleh kemakmurannya). Orang-orang yang mempercayai
firman Allah dapat melihat suatu kutuk ada di dalam rumah
orang fasik (Ams. 3:33), kendati rumah itu dengan sedemi-
kian baik dan kokoh dibangun, dan sedemikian penuh de-
ngan semua hal yang baik. Dan orang yang percaya firman
Tuhan dapat melihat bahwa kutuk itu akan, pada waktu-
nya, secara pasti akan membakarnya dengan kayu dan
batu (Zak. 5:4).
(2) Elifas telah melihat, pada akhirnya sekarang, apa yang
telah dilihatnya itu. Ia tidak kecewa dengan apa yang telah
diperkirakannya akan terjadi dengan orang-orang jahat itu.
Sebab, begitulah yang akhirnya harus terjadi. Kini keluarga
Ayub musnah dan harta kekayaannya habis. Khususnya
dalam semua kejadian berikut ini, Elifas dengan tegas dan
jelas menyindir malapetaka yang menimpa Ayub.
[1] Anak-anaknya dihancurkan (ay. 4). Mereka menyangka
aman di rumah saudara sulung mereka, namun sesung-
guhnya jauh dari aman, sebab mereka diinjak-injak di
pintu gerbang. Mungkin pintu atau gerbang rumah ter-
sebut dibangun sangat tinggi, dan roboh menimpa me-
reka, tanpa ada orang yang melepaskan mereka dari
binasa dalam kehancuran itu. Hal ini umum dipahami
sebagai kehancuran yang menimpa keluarga-keluarga
orang jahat, melalui pelaksanaan keadilan, yang me-
nuntut mereka untuk mengembalikan apa yang telah
mereka peroleh dengan cara tidak benar. Mereka me-
ninggalkannya kepada anak-anak mereka. namun ketu-
runan mereka tidak akan menghalangi masuknya para
pemilik yang sah, yang akan menginjak hancur anak-
anak mereka, dan membuang mereka sesuai dengan
hukum yang berlaku. Dan tidak akan ada orang untuk
menolong mereka, atau mungkin melalui penindasan
(Mzm. 109:9, dst).
[2] Harta milik orang jahat dijarah (ay. 5). Milik Ayub juga
demikian. Para perampok yang lapar, orang-orang Syeba
dan Kasdim, membawa lari semuanya dan menelannya.
Dan hal ini, kata Elifas, aku sering melihatnya terjadi
pada diri orang lain. Apa yang telah didapat melalui ja-
rahan dan pemerasan juga hilang dengan cara yang
sama. Pemilik yang hati-hati memagari sekeliling harta-
nya dengan duri, lalu menganggapnya aman. namun pa-
gar ternyata tidaklah berguna melawan ketamakan para
penjarah (jika orang yang lapar dapat menembus tem-
bok batu, betapa lebih mudahnya lagi menerobos pagar
berduri), dan melawan kutukan ilahi, yang akan mene-
robos duri dan bunga mawar liar, dan membakarnya se-
kaligus (Yes. 27:4).
Teguran Elifas
(5:6-16)
6 sebab bukan dari debu terbit bencana dan bukan dari tanah tumbuh ke-
susahan; 7 melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya, seperti
bunga api berjolak tinggi. 8 namun aku, tentu aku akan mencari Allah, dan
kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku. 9 Ia melakukan perbuatan-
perbuatan yang besar dan yang tak terduga, serta keajaiban-keajaiban yang
tak terbilang banyaknya; 10 Ia memberi hujan ke atas muka bumi dan men-
jatuhkan air ke atas ladang; 11 Ia menempatkan orang yang hina pada derajat
yang tinggi dan orang yang berdukacita mendapat pertolongan yang kuat;
12 Ia menggagalkan rancangan orang cerdik, sehingga usaha tangan mereka
tidak berhasil; 13 Ia menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya sen-
diri, sehingga rancangan orang yang belat-belit digagalkan. 14 Pada siang hari
mereka tertimpa gelap, dan pada tengah hari mereka meraba-raba seperti
pada waktu malam. 15 namun Ia menyelamatkan orang-orang miskin dari ke-
dahsyatan mulut mereka, dan dari tangan orang yang kuat. 16 Demikianlah
ada harapan bagi orang kecil, dan kecurangan tutup mulut.
Elifas menyentuh Ayub pada bagian yang sangat peka, dengan me-
nyebut kehilangan harta kekayaannya dan kematian anak-anaknya
sebagai hukuman yang adil atas dosanya, supaya dia tidak menjadi
putus asa. Sekarang di sini Elifas mulai menguatkan dia dan ber-
usaha untuk menenangkan dirinya. Kini Elifas banyak mengubah
nada suaranya (Gal. 4:20), dan berbicara dengan nada kebaikan,
seakan-akan dia ingin menebus kata-kata kasar yang sebelumnya
disampaikannya kepada Ayub.
I. Ia mengingatkan Ayub bahwa tidak ada malapetaka yang datang
secara kebetulan atau disebabkan oleh penyebab kedua: sebab
bukan dari debu terbit bencana, atau bukan dari tanah tumbuh
kesusahan, seperti yang terjadi pada rumput (ay. 6). Hal itu tidak
juga datang tentu saja, di waktu tertentu dalam setahun itu,
seperti hal hasil-hasil alam, melalui suatu mata rantai penyebab
kedua. Banyaknya kesejahteraan dan kemalangan tidaklah ditim-
bang dengan tepat oleh Allah Sang Penyelenggara seperti Ia mem-
bagi siang dan malam, musim panas dan musim dingin, me-
lainkan sesuai dengan kehendak dan pertimbangan-Nya, kapan
terjadi dan seperti yang dipikirkan-Nya tepat. Sebagian orang mem-
bacanya, Dosa tidak terbit dari debu atau pelanggaran dari tanah.
Apabila manusia jahat, janganlah mereka menyalahkan tanah,
musim, atau bintang-bintang, melainkan menyalahkan diri sen-
diri. Jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah orang yang
akan menanggungnya. Kita tidak boleh menghubungkan bencana
kita dengan keberuntungan, sebab hal itu yaitu dari Allah, atau
dosa kita dengan nasib, sebab hal itu berasal dari diri kita sen-
diri. Maka, apa pun masalah yang kita hadapi, kita harus meng-
akui bahwa Allah mengirimnya kepada kita dan kitalah yang
mendatangkannya bagi diri sendiri: Pengakuan bahwa Allah yang
mengirimkan masalah itu kepada kita menjadi alasan mengapa
kita harus bersabar, dan pengakuan bahwa kita yang menjadi
penyebabnya menjadi alasan mengapa kita harus bertobat, saat
kita tertimpa bencana.
II. Elifas mengingatkan Ayub bahwa masalah dan bencana harus
kita nantikan di dalam dunia ini: Manusia menimbulkan kesusah-
an bagi dirinya sendiri (ay. 7), bukan sebagai manusia (seandainya
dia tetap menjaga ketidakbersalahannya maka dia akan dilahir-
kan dengan bahagia), melainkan sebagai manusia yang berdosa,
yang lahir dari perempuan (14:1), yang telah berada dalam dosa.
Manusia dilahirkan dalam dosa dan sebab nya dilahirkan kepada
permasalahan. Bahkan orang-orang yang lahir untuk mendapat
kehormatan dan harta kekayaan pun tetap saja dilahirkan kepada
persamasalahan di dalam daging. Dalam keadaaan kita yang
jatuh, wajar bagi kita untuk berdosa dan akibat yang wajar dari-
nya yaitu bencana (Rm. 5:12). Tidak ada sesuatu di dalam dunia
ini yang kepadanya kita dilahirkan, dan yang sungguh-sungguh
dapat disebut sebagai milik kita, selain dosa dan masalah. Kedua-
nya seperti bunga api yang terbang ke atas. Dosa yang terjadi
yaitu bunga api yang keluar dari tungku perapian dosa asal.
Dan, dengan disebut pemberontak dari sejak kandungan, tak he-
ran bahwa kita berbuat khianat dengan sekeji-kejinya (Yes. 48:8).
Begitu rapuh tubuh kita dan sia-sia semua kenikmatan kita,
sehingga masalah muncul secara alami seperti bunga api terbang
ke atas, begitu banyaknya, begitu tebal dan begitu cepatnya se-
hingga yang satu menyusul yang lain. Maka mengapakah kita
harus merasa terkejut oleh malapetaka sebagai hal yang aneh,
atau mempersoalkannya dengan keras, padahal kita memang
dilahirkan untuk mengalami malapetaka? Manusia dilahirkan un-
tuk bekerja (demikianlah tafsirannya), dihukum untuk mencari
makan dengan berpeluh di wajahnya, yang seharusnya membuat
dia terbiasa dengan hidup keras, sehingga mampu menanggung
penderitaannya dengan lebih baik.
III. Ia menasihati Ayub bagaimana bersikap di bawah kesengsaraan-
nya (ay. 8): Aku akan mencari Allah, pasti aku akan: demikianlah
di dalam naskah aslinya. Inilah,
1. Teguran diam-diam terhadap Ayub sebab tidak mencari Allah,
melainkan bertengkar dengan Dia: “Ayub, seandainya aku ada
di dalam penderitaanmu, aku tidak akan begitu kesal dan ge-
ram seperti engkau. Aku akan memasrahkan diri ke dalam ke-
hendak Allah.” Memang mudah untuk berkata apa yang akan
kita lakukan seandainya kita berada di dalam masalah sese-
orang. Namun saat kita sendirilah yang diuji, maka mungkin
keadaannya tidak semudah seperti yang kita ucapkan.
2. Nasihat yang sangat bagus bagi Ayub dan tepat di saat dia
membutuhkan, yang disampaikan oleh Elifas sebagai seorang
tokoh: “Kalau aku, cara terbaik yang aku kira baik untuk aku
lakukan, seandainya aku berada di dalam keadaanmu, aku
akan berseru kepada Allah.” Perhatikanlah, kita seharusnya
memberi para sahabat kita bukan nasihat lain selain dari apa
yang akan kita lakukan seandainya kita sendiri mengalami
keadaan mereka, supaya kita dapat menjadi tenang di bawah
kesengsaraan kita, mendapat kebaikan darinya, dan dapat
melihat hasil yang baik darinya.
(1) Dengan doa kita harus mencari belas kasih dan anugerah
dari Allah, mencari Dia sebagai seorang Bapa dan Sahabat,
kendati Ia melawan kita, sebagai satu-satunya yang sang-
gup mendukung dan menolong kita. Kita harus mencari
perkenanan-Nya saat kita kehilangan semua yang kita
miliki di dalam dunia. Kepada-Nya kita harus berseru seba-
gai sumber dan Bapa dari kebaikan, semua penghibur-
an. Kalau ada seorang di antara kamu yang menderita, baik-
lah ia berdoa. Doa melegakan hati, obat bagi setiap luka.
(2) Kita harus dengan sabar menyerahkan diri dan permasa-
lahan kita kepada-Nya: Dan kepada Allah aku akan meng-
adukan perkaraku. Setelah mengutarakannya di hadapan-
Nya, aku akan menyerahkannya kepada-Nya. Setelah mele-
takkannya pada kaki-Nya, aku akan memasrahkannya ke
dalam tangan-Nya. “Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa
yang dipandang-Nya baik.” Jika perkara kita yaitu suatu
perkara yang baik, kita tidak perlu takut menyerahkannya
kepada Allah, sebab Ia adil dan baik. Orang-orang yang ingin
mencari supaya berhasil, harus berserah diri kepada Allah.
IV. Ia mendorong Ayub untuk mencari Allah dan menyerahkan per-
karanya kepada Dia. Tidaklah sia-sia untuk berbuat demikian,
sebab Allah yaitu satu-satunya tempat kita akan mendapatkan
pertolongan dengan pasti.
1. Elifas mengusulkan kepada Ayub untuk mempertimbangkan
kuasa Allah yang Mahabesar dan kekuasaan-Nya yang berdau-
lat. Secara umum, Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang be-
sar (ay. 9), sungguh besar, sebab Ia dapat melakukan apa pun,
Ia dapat melakukan setiap hal, dan semuanya menurut per-
timbangan kehendak-Nya. Sungguh besar perbuatan-Nya, se-
bab segala pekerjaan kuasa-Nya,
(1) Tak terduga, tidak pernah dapat dipahami, tak pernah da-
pat ditemukan dari awal sampai akhir (Pkh. 3:11). Pekerja-
an alam yaitu misterius. Segala pencarian yang teliti pun
masih tidak menemukan banyak, dan filsuf yang paling
bijak pun mengakui kebingungan. Segala rancangan Allah
Sang Penyelenggara jauh lebih dalam dan tak terukur (Rm.
11:33).
(2) Tak terbilang, hingga tidak pernah dapat dihitung. Ia mela-
kukan hal-hal yang besar tanpa jumlah. Kuasa-Nya tidak
pernah habis, dan semua tujuan-Nya tidak akan tergenapi
sampai akhir zaman.
(3) Pekerjaan-Nya ajaib, begitu ajaib hingga tidak pernah ha-
bis-habisnya dikagumi. Kekekalan itu sendiri tidak akan
cukup untuk dilalui dalam mengagumi kebesaran Allah.
Nah, berdasarkan hal ini, Elifas bermaksud,
[1] Untuk menginsafkan Ayub akan kesalahan dan kebo-
dohannya dalam membantah Allah. Janganlah kita ber-
lagak dapat mengukur segala pekerjaan-Nya, sebab pe-
kerjaan-Nya tak terselami dan melampaui pencarian
kita. Jangan pula kita berbantah dengan Pencipta kita,
sebab Ia tentu terlalu sukar bagi kita, dan sanggup
menghancurkan kita dalam sekejap.
[2] Untuk mendorong Ayub mencari Allah dan menyerah-
kan perkaranya kepada Dia. Apa yang lebih menguat-
kan selain dari melihat bahwa Ia yaitu satu-satunya
yang punya kuasa? Ia dapat melakukan hal-hal yang
besar dan ajaib untuk melepaskan kita, saat kita ter-
perosok dalam-dalam.
2. Elifas memberi beberapa contoh tentang kuasa dan kekuasaan
Allah.
(1) Allah melakukan hal-hal besar di dalam kerajaan alam: Ia
memberi hujan ke atas muka bumi (ay. 10), Ia mencurahkan
kepada semua orang dengan cuma-cuma karunia penye-
lenggaraan yang diperlukan semua orang, semua musim-
musim subur yang melaluinya Ia memuaskan hati kita de-
ngan makanan dan kegembiraan (Kis. 14:17). Amatilah, ke-
tika ingin menunjukkan hal-hal besar apa yang dilakukan
oleh Allah, Elifas berbicara tentang memberi hujan. sebab
hujan yaitu suatu hal yang umum, kita cenderung me-
mandangnya sebagai suatu hal yang kecil, namun , jika kita
mempertimbangkan dengan semestinya bagaimana hujan
itu dihasilkan dan apa yang dihasilkan olehnya, maka kita
akan melihatnya sebagai suatu pekerjaan yang besar dari
kuasa dan kebaikan-Nya.
(2) Allah melakukan hal-hal yang besar dalam urusan anak-
anak manusia, tidak hanya untuk memperkaya orang mis-
kin dan menghibur orang yang berkebutuhan, melalui
hujan yang dikirim-Nya (ay. 10), namun juga, untuk mening-
gikan orang-orang yang rendah dan hina. Ia menggagalkan
rancangan orang cerdik (ay. 11-12, bdk. Luk. 1:51-53). Ia
mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, se-
hingga meninggikan orang-orang yang rendah, dan melim-
pahkan segala yang baik kepada orang yang lapar. Lihatlah,
[1] Bagaimana Allah menggagalkan rancangan orang yang
cerdik dan sombong (ay. 12-14). Ada suatu kuasa yang
Mahatinggi yang mengatur dan menguasai manusia yang
menganggap diri bebas dan mutlak, dan memenuhi tu-
juan-Nya meskipun manusia berencana. Amatilah,
Pertama, orang yang bebal, yang berjalan bertentangan
dengan Allah dan kepentingan kerajaan-Nya, sering kali
sangat licik. Sebab mereka yaitu keturunan si ular tua
yang terkenal sebab kelicikannya. Mereka menganggap
diri bijaksana, namun , pada akhirnya, akan terbukti bodoh.
Kedua, orang bebal yang menjadi musuh kerajaan
Allah memiliki sarana, usaha, dan pertimbangan, yang
melawan-Nya dan warga-Nya yang setia. Orang-orang
bebal itu tak kenal lelah dan tak jemu-jemu dalam ran-
cangan mereka, berunding diam-diam, tinggi dalam ha-
rapan, dalam pemikirannya, dan cepat terhubung dalam
persekongkolan mereka (Mzm. 2:1-2).
Ketiga, Allah dengan mudah dapat, dan (sepanjang
bagi kemuliaan-Nya) sudah tentu akan menghancurkan
dan mengalahkan semua rancangan para musuh-Nya
dan musuh umat-Nya. Betapa dahsyat persekongkolan
Ahitofel, Sanbalat, dan Haman dikacaukan! Betapa per-
sekongkolan Siria dan Efraim melawan Yehuda, Gebal,
Amon, dan Amalek melawan Israel Allah, raja-raja di
bumi melawan Tuhan dan yang diurapi-Nya, dipatah-
kan! Tangan-tangan yang telah diacungkan terhadap
Allah dan jemaat-Nya gagal melaksanakan usaha mere-
ka dan semua senjata yang dilancarkan terhadap Sion
tidak berhasil.
Keempat, apa yang telah dirancang musuh bagi ke-
hancuran jemaat, sering berbalik menjadi kehancuran
mereka sendiri (ay. 13): Ia menangkap orang berhikmat
dalam kecerdikannya sendiri, sehingga rancangan orang
yang belat-belit digagalkan (Mzm. 7:16-17; 9:16-17). Ini
dikutip oleh sang rasul (1Kor. 3:19) untuk menunjuk-
kan bagaimana orang-orang fasik yang pandai ditipu
oleh filsafat mereka sendiri yang sia-sia.
Kelima, saat Allah menghantam manusia, mereka
dibingungkan, hilang akal, bahkan di dalam hal-hal yang
kelihatannya paling jelas dan mudah (ay. 14): Pada siang
hari mereka tertimpa kegelapan: Bahkan mereka lari me-
nuju kegelapan oleh sebab kekerasan dan niat jahat ran-
cangan mereka (Lih. 12:20, 24-25).
[2] Bagaimana Allah berkenan akan perkara orang miskin
dan rendah hati dan mendukung mereka.
Pertama, Ia meninggikan orang yang rendah hati (ay.
11). Orang-orang yang dirancang oleh orang-orang yang
angkuh untuk dihancurkan diangkat dari bawah kaki
mereka dan menempatkan mereka di tempat yang aman
(Mzm. 12:5). Orang yang rendah hati dan mereka yang
berduka didukung-Nya, dihiburkan dan dibuatnya ting-
gal di tempat yang tinggi, di dalam kubu di atas bukit batu
(Yes. 33:16). Orang-orang yang berkabung untuk Sion di-
meteraikan dan ditandai bagi keselamatan (Yeh. 9:4).
Kedua, Ia membebaskan orang yang tertindas (ay.
15). Rancangan orang yang licik yaitu untuk meng-
hancurkan orang miskin. Lidah, tangan, dan pedang,
semuanya dikerahkan untuk hal ini. namun Allah me-
lindungi secara istimewa mereka yang miskin dan tak
berdaya menolong diri sendiri, miskin dan bersungguh-
sungguh menyembah-Nya, berserah diri kepada-Nya. Ia
menyelamatkan mereka dari mulut yang mengucapkan
hal-hal yang tajam terhadap mereka, dan tangan yang
melakukan hal-hal yang keras kepada mereka. Sebab Ia
dapat, apabila berkenan, mengikat lidah dan melayukan
tangan. Hasil dari hal ini yaitu (ay. 16),
1. Bahwa orang-orang kudus yang lemah dan takut dihi-
burkan: Sehingga orang yang miskin, yang mulai
menjadi putus asa, memiliki pengharapan. Pengalam-
an sebagian orang merupakan penguatan kepada
yang lain untuk mengharapkan yang terbaik di dalam
waktu-waktu yang tersukar. Sebab merupakan ke-
muliaan Allah untuk mengirim pertolongan kepada
yang tidak berdaya dan pengharapan kepada yang
putus asa.
2. Bahwa orang-orang berdosa yang berani mengancam
dikacaukan: Kesalahan menutup mulutnya, dikejut-
kan dengan keanehan penyelamatan orang benar,
malu dengan kebencian mereka terhadap orang-
orang yang ternyata merupakan kesayangan sorga.
Mereka dimatikan oleh kekecewaan, dan dipaksa
untuk mengakui keadilan perbuatan Allah, tanpa
mampu memberi perlawanan apa pun. Orang-orang
yang menguasai orang-orang miskin milik Allah,
yang menakut-nakuti mereka, dan mengancam serta
menuduh mereka, akan bungkam seribu bahasa ke-
tika Allah tampil membela mereka (Lih. Mzm. 76:9-
10; Yes. 26:11; Mi. 7:16).
Teguran Elifas
(5:17-27)
17 Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu ja-
nganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. 18 sebab Dialah yang
melukai, namun juga yang membebat; Dia yang memukuli, namun yang tangan-
Nya menyembuhkan pula. 19 Dari enam macam kesesakan engkau diluput-
kan-Nya dan dalam tujuh macam engkau tidak kena malapetaka. 20 Pada
masa kelaparan engkau dibebaskan-Nya dari maut, dan pada masa perang
dari kuasa pedang. 21 Dari cemeti lidah engkau terlindung, dan engkau tidak
usah takut, bila kemusnahan datang. 22 Kemusnahan dan kelaparan akan
kautertawakan dan binatang liar tidak akan kautakuti. 23 sebab antara eng-
kau dan batu-batu di padang akan ada perjanjian, dan binatang liar akan
berdamai dengan engkau. 24 Engkau akan mengalami, bahwa kemahmu
aman dan apabila engkau memeriksa tempat kediamanmu, engkau tidak
akan kehilangan apa-apa. 25 Engkau akan mengalami, bahwa keturunanmu
menjadi banyak dan bahwa anak cucumu seperti rumput di tanah. 26 Dalam
usia tinggi engkau akan turun ke dalam kubur, seperti berkas gandum di-
bawa masuk pada waktunya. 27 Sesungguhnya, semuanya itu telah kami seli-
diki, memang demikianlah adanya; dengarkanlah dan camkanlah itu!”
Elifas, dalam bagian akhir dari nasihatnya, memberi Ayub (apa yang
dia sendiri tidak tahu bagaimana mengambilnya) sebuah pengharapan
yang menghibur dari kesengsaraannya, jika dia mau memperbaiki ke-
lakuannya dan menyesuaikan diri dengan penderitaannya itu. Amati-
lah,
I. Peringatan dan nasihat yang baik dari Elifas kepada Ayub (ay. 17):
“Janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. Anggaplah
itu suatu hajaran, suatu didikan, yang berasal dari kasih bapak
dan dirancang untuk kebaikan anak. Pandanglah itu didikan dari
Yang Mahakuasa, yang dengannya yaitu gila untuk berbantah,
yang kepadanya yaitu berhikmat dan pantas untuk tunduk.
Dialah Allah yang maha mencukupi kepada semua orang percaya
kepada-Nya. Janganlah menyepelekan didikan itu.
1. “Janganlah engkau menolak didikan itu. Biarkanlah anugerah
menaklukkan keinginan melawan terhadap penderitaan, dan
damaikanlah dirimu dengan kehendak Allah di dalamnya.”
Kita perlu tongkat penghajar dan kita layak untuk menerima
pukulannya. Dan sebab nya kita tidak seharusnya mengang-
gap hal itu aneh atau keras jika kita merasakan akibatnya.
Jangan biarkan hati bangkit melawan pil yang pahit atau
racun, saat hal itu diresepkan bagi kebaikan kita.
2. “Jangan berpikiran buruk terhadap didikan. Jangan jauhkan
itu darimu sebagai sesuatu yang menyakitkan atau tidak ber-
guna, hanya sebab sekarang ini tidak ada sukacita selain
dukacita.” Kita jangan pernah mencibir untuk tunduk kepada
Allah, atau menganggap diri kita tidak pantas untuk menerima
didikan. Sebaliknya, sadarilah bahwa Allah sungguh-sungguh
membesarkan manusia saat Ia mendatangi dan mengujinya
(7:17-18).
3. “Jangan memandangnya rendah atau menyepelekannya, se-
akan-akan itu didikan itu hanyalah suatu kebetulan, dan aki-
bat dari suatu penyebab kedua, melainkan perhatikan dengan
sungguh-sungguh sebagai suara Allah dan suatu utusan dari
sorga.” Lebih banyak yang tersirat daripada yang tersurat: “Hor-
matilah hukuman Allah. Pandangilah tangan-Nya yang memper-
baiki ini dengan gentar dan rendah hati, dengan gemetar, saat
sang singa mengaum (Am. 3:8). Tunduklah kepada hajaran dan
belajarlah untuk menjawab panggilan itu, dan penuhilah tu-
juannya, dan dengan demikian engkau menghormatinya.”
Pada waktu Allah melalui sebuah malapetaka mendatangkan
kepada kita akibat-akibat tertentu, kita harus menghormati
maksud-Nya itu dengan menerima semua akibat itu dan tun-
duk kepadanya. Kita harus berserah diri saat Ia menghen-
dakinya.
II. Dengan kata-kata penyemangat dan penghiburannya kepada Ayub,
Elifas mendorong Ayub untuk menyesuaikan diri dengan keada-
annya, dan menerima yang buruk di dalam tangan Allah, serta
tidak meremehkannya sebagai suatu pemberian yang tidak ber-
harga untuk diterima.
1. Jika malapetaka itu diterima Ayub demikian, maka
(1) Sifat malapetaka itu akan diubah. Kendati tampak sebagai
kesengsaraan manusia, hal itu sesungguhnya akan menjadi
berkatnya: Berbahagialah manusia yang ditegur Allah, apa-
bila ia memanfaatkannya dengan semestinya. Seorang yang
baik berbahagia kendati dia tertimpa bencana, sebab, apa
pun kehilangannya, dia tidak kehilangan penghiburannya
dari Allah dan haknya ke sorga. Bahkan, dia berbahagia
sebab dia menderita. Teguran yaitu suatu bukti dari ke-
dudukannya sebagai anak dan suatu sarana pengudusan-
nya. Teguran mematikan kecemarannya, memisahkan hati-
nya dari dunia, menariknya lebih dekat kepada Allah,
membawanya kepada Alkitab, membawanya untuk ber-
lutut, melayakkan dia bagi dan mengerjakan baginya suatu
bobot kemuliaan yang jauh lebih besar dan kekal. Berbaha-
gialah sebab nya orang yang ditegur Allah (Yak. 1:12).
(2) Akhir dan akibatnya akan sangat baik (ay. 18).
[1] Kendati Ia melukai tubuhnya dengan penyakit bisul, pi-
kirannya dengan hal-hal yang menyedihkan, namun Ia
membebat di waktu yang sama, seperti ahli bedah yang
terampil membebat luka yang ditimbulkannya dengan
pisau bedahnya. saat Allah membuat luka melalui te-
guran penyelenggaraan-Nya, Ia membebat dengan peng-
hiburan Roh-Nya, yang sering kali berlimpah seturut
limpahnya malapetaka, dan mengimbanginya hingga si
penderita yang sabar itu terhibur hatinya tak terhingga.
[2] Kendati Ia melukai, namun tangan-Nya memulihkan pada
waktunya. Seperti Ia mendukung umat-Nya dan mem-
buat mereka tenang di dalam kesengsaraan mereka, de-
mikian pula pada waktunya Ia membebaskan mereka
dan membuat jalan bagi mereka untuk melepaskan diri.
Segalanya menjadi baik kembali. Dan Ia menghibur me-
reka di waktu Ia melukai mereka. Cara Allah yang biasa
yaitu pertama-tama melukai lalu menyembuhkan,
pertama-tama menginsafkan dan kemudian menghibur,
pertama-tama merendahkan dan kemudian meninggi-
kan. Dan (seperti yang diamati oleh Tn. Caryl), Ia tidak
pernah membuat suatu luka terlalu besar, terlalu dalam,
demi penyembuhan oleh-Nya. Una eademque manus vul-
nus opemque tulit – Tangan yang menimbulkan luka mela-
kukan penyembuhan. Allah menghancurkan orang fasik
dan meninggalkannya. Yang mau menyembuhkan, coba
saja jika mereka mampu (Hos. 5:14). namun orang yang
merendahkan diri dan bertobat dapat berkata, Ia yang
telah memukul yang akan membalut kita (Hos. 6:1). Hal
ini umum, namun ,
2. Dalam ayat-ayat berikutnya Elifas berbicara langsung kepada
Ayub dan memberi dia banyak janji-janji yang berharga ten-
tang hal-hal yang besar dan baik yang akan Allah lakukan
baginya jika dia sungguh-sungguh merendahkan diri di bawah
tangan-Nya. Kendati saat itu mereka tidak mempunyai Alkitab
seperti yang kita miliki sekarang, namun Elifas memiliki bukti
yang memadai untuk memberi Ayub jaminan ini, berdasarkan
peristiwa-peristiwa umum yang melaluinya Allah menyatakan
diri-Nya dan kehendak-Nya yang baik bagi umat-Nya. Dan,
kendati dalam setiap hal yang dikatakan, teman-teman Ayub
tidak dipimpin oleh Roh Allah (sebab ada beberapa hal yang
mereka katakan tentang Allah dan Ayub tidaklah benar), na-
mun ajaran umum yang mereka paparkan mengungkapkan
kesalehan dari zaman leluhur. Ayat 13 yang dikutip oleh Rasul
Paulus sebagai ayat firman dan ayat 17 sebagai perintah, tak
diragukan lagi mengikat kita. Demikian pula janji-janji di sini
dapat dan seharusnya diterima sebagai janji-janji ilahi, dan
kita dapat supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh
ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Mari kita sebab -
nya memberi perhatian untuk memastikan kepentingan kita di
dalam janji-janji ini dan kemudian menerima beberapa darinya
sebagai janji yang khusus bagi kita serta menerima penghi-
buran darinya.
(1) Dijanjikan di sini bahwa seperti bencana dan masalah da-
tang silih berganti, demikian pula dukungan dan pembe-
basan berulang dengan penuh kemurahan, tidak peduli se-
berapa sering bencana itu. Dari enam macam kesesakan
engkau diluputkan-Nya dan dalam tujuh macam (ay. 19).
Hal ini menyatakan bahwa selama kita masih di dunia ini,
kita harus siap menantikan masalah demi masalah, bahwa
awan akan kembali sesudah hujan. Setelah enam masalah
bisa datang yang ketujuh. Setelah banyak, masih banyak
lagi. Namun dari kesemuanya itu Allah akan membebaskan
orang kepunyaan-Nya (2Tim. 3:11; Mzm. 34:20). Pembebas-
an terdahulu tidak, seperti berlaku di antara manusia, me-
niadakan pembebasan selanjutnya, melainkan menjadi tan-
da akan datangnya pembebasan demi pembebasan berikut
(Ams. 19:19).
(2) Bahwa, masalah apa pun yang dialami oleh orang yang
baik, tidak kena malapetaka, tidak ada kejahatan yang me-
nyentuh mereka. Masalah tidak akan menyakiti mereka. Ke-
jahatan masalah, sengatnya, akan dicabut. Masalah akan
mendesis, namun tidak dapat melukai (Mzm. 91:10). Si jahat
tidak dapat menjamah anak-anak Allah (1Yoh. 5:18). Dengan
dijaga dari dosa, mereka dijaga dari kejahatan setiap masa-
lah.
(3) Bahwa, saat hukuman yang membinasakan meluas,
orang benar akan dibawa ke dalam perlindungan yang khu-
sus (ay. 20). Apakah banyak orang binasa di sekeliling me-
reka sebab kekurangan penopang hidup? Mereka sendiri
akan dicukupi. “Pada masa kelaparan engkau dibebaskan-
Nya dari maut. Apa pun yang terjadi pada orang lain,
engkau akan dijaga tetap hidup (Mzm. 33:19). Sesungguh-
nya engkau akan diberi makan, bahkan, mereka akan men-
jadi kenyang pada hari-hari kelaparan (Mzm. 37:3, 19).
Pada masa perang, saat ribuan jatuh di sebelah kanan
dan kiri, Ia akan menebus engkau dari kuasa pedang. Jika
Allah berkenan, pedang tidak akan menyentuh engkau.
Atau jika pedang melukai engkau,