Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 2

 


kan Allah yang akan 

memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini yaitu   suatu kesalahan dalam 

memahami takdir. 

Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-

Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil 

sebab dan melarang kita bermalas-malasan. jika  kita telah mengambil 

sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka kita tidak 

boleh berputus asa dan bersedih sebab  hal ini sudah menjadi takdir dan 

ketentuan Allah. Oleh sebab  itu, Nabi bersabda, “Bersemangatlah dalam 

hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah 

malas. jika  kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya 

aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, namun  katakanlah: 

‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah dan 

Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) sebab  ucapan’seandainya’ akan 

membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)

Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah yaitu   

hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam menjalani hidup ini. 

Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu yaitu   takdir Allah, maka 

dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari 

darinya. 

Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada anaknya, 

“Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga engkau beriman 

kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan engkau harus mengetahui 

bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan luput darimu dan apa 

saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah 

SAW. bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan 

tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.”. Maka jika  

seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi 

segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan 

orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang 

tentu akan merasa sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. 


A. Sifat Tuhan Menurut Aliran Teologi Islam

Al-Asy’ari berpandangan bahwa Tuhan memiliki  sifat-sifat 

seperti ilmu, hayat, sama’ dan basr. Sifat-sifat ini  bukanlah zat-Nya. 

Menurutnya Allah memiliki  ilmu sebab  alam yang diciptakan demikian 

teratur tidak tercipta kecuali diciptakan oleh Tuhan yang memiliki  

qudrat, hayat, dan sebagainya.1 Dalam memperkuat pendapatnya itu ia 

mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya: 

ۖ ۦهِمِلۡعِِب  ۥهَُلزَنأَا

“Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS. 4:166), 

ۚ ۦهِمِلۡعِِب �َّلِإا عُضَتَ �لَوَ ٰىثَنأُا نۡمِ لُمِحۡتَ امَوَ ۚ

“Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak mengandung 

dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuannya”. (QS. 

35: 11)

Menurut al-Asy’ari, ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah 

mengetahui dengan ilmu. Oleh sebab  itu, mustahil ilmu Allah itu zat-

Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan 

pengetahuan. Mustahil al-ilm (pengetahuan) merupakan alim (yang 

mengetahui), atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh sebab  

mustahil Allah merupakan pengetahuan, maka mustahil pula Allah 

mengetahui dengan zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari 

Allah mengetahui dengan ilmu, ilmu-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian 

pula dengan sifat-sifat lainnya seperti hayat, qudrat, sama’, besar, dan semua 

sifat-sifat-Nya.2

Pendapat al-Asy’ari di atas berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah 

yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan sebagai zat-Nya sebagaimana 

pendapat Abu al-Huzail, bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmu-

Nya yaitu   zat-Nya. Ia berkuasa dengan qudrat, dan qudratnya yaitu   zat-

Nya. Allah hidup dengan hayat dan hayat-Nya yaitu   zat-Nya.3

Bagi al-Asy’ari, sifat-sifat Tuhan qaimat bin zatih (berdiri sendiri).4 

Sementara bagi Abu al-Huzail sifat-sifat ini  yaitu   zat-Nya bukan suatu 

yang berdiri sendiri di belakang zat-Nya. Sesuai dengan pandangannya, al-

Asy’ari selanjutnya mengatakan, bahwa Allah memiliki  wajah, tangan 

dan mata yang tidak akan hancur,5 sebagaimana difirmankan dalam ayat-

ayat berikut: 

 ۚ ۥهُهَجۡوَ �َّلِإا كٌِلاهَ ءٍىۡشَ ُّلُك

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah” (QS. 28: 88). 

مِارَكۡ ِإ�لۡٱوَ لِٰـلَجَلۡٱ وذُ كَِّبرَ هُجۡوَ ٰىقَبۡيَوَ

“Dan tetap kekal zat Tuhan yang memiliki  kebesaran dan 

kemuliaan”(QS. 55: 27). 


Pendapat al-Asy’ari di atas berbeda dengan pandangan kaum Jahimiyah 

(pengikut Jahm ibn Safwan) dan kaum Mu’tazilah sebab  dua golongan yang 

disebut belakangan menolak untuk menetapkan Allah memiliki  wajah, 

pendengaran, penglihatan dan mata. Menurut mereka Allah tidak dapat 

disifati dengan sifat-sifat yang ada  pada ciptaan-Nya sebab demikian 

merupakan tasybi (penggambaran).6 Oleh sebab  itu mereka mengartikan 

kata yad sebagai ada  pada kutipan ayat di atas dengan al-ni’mat dan al-

qudrat bukan dengan tangan. Al-Asy’ari menolak pendapat yang demikian 

sebab  menurutnya mengartikan yad dengan al-ni’mat tidak sesuai dengan 

bahasa Arab maupun dengan ijma’ kaum Muslimin.7

Di samping itu, mengartikan yad dengan qudrat kontradiksi dengan 

paham Mu’tazilah sendiri yang tidak mau menetapkan Tuhan memiliki  

satu qudrat sekalipun apalagi dua qudrat. Demikian pula menurut al-Asy’ari 

jika kata biyadayya dalam ayat ini  di atas (QS. 38: 75) diartikan dengan 

al-qudrat berarti tidak ada lagi al-Maziyyat (keistimewaan) Adam atas Iblis, 

sedangkan Allah bermaksud mengistimewakan Adam, bukan Iblis, tatkala 

ia menciptakannya dengan tangannya. jika  Allah menciptakan Iblis 

seperti menciptakan Adam berarti ia mengistimewakan Adam. Selanjutnya 

al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mengistimewakan Adam dengan 

mencela Iblis atas kesombongannya yang tidak mau sujud kepada Adam.8

Selanjutnya dalam memperkuat pendapatnya di atas, al-Asy’ari 

mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab bukan selain 

bahasa Arab. Berkaitan dengan itu ia mengemukakan beberapa ayat sebagai 

argumen untuk memperkuat pendapatnya, yaitu: 

هٖمِوۡقَ نِاسَلِِب �َّلِا لٍوۡسَُّر نۡمِ انَلۡسَرَۡا اۤمَوَ

“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa 

kaumnya”. (QS. 14: 4). 

نٌيۡبِ ُّم ٌّىِبرَعَ نٌاسَِل اذَهٰ َّو ٌّىمِجَعَۡا هِيَۡلِا نَوۡدُحِلۡيُ ىۡذَِّلا نُاسَِل 


“Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad 

belajar kepadanya bahasa ‘Ajam sedang al-Qur’an yaitu   dalam bahasa 

Arab yang terang”. (QS. 16: 103).9

Berkaitan dengan masalah di atas, al-Baqillani mengatakan Allah 

memiliki  wajah dan tangan sebagaimana disebutkan dalam berbagai 

ayat al-Qur’an, seperti ”Dan kekal zat Tuhanmu yang memiliki  kebesaran 

dan kemuliaan.”(QS. 55: 27), ”Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada 

yang telah kuciptakan dengan kedua tanganku.” (QS. 38: 75). Al-Baqillani 

selanjutnya mengatakan, Allah memiliki  wajah dan dua tangan. Ia 

menolak pendapat kaum Mu’tazilah yang mengartikan khalaqtu biyadayya 

dengan “Allah menciptakan dengan qudrat-Nya”. Kaum Mu’tazilah 

berpendapat bahwa menurut bahasa, al-yad bisa berarti al-ni’mat, bisa al-

qudrat. Mereka memperkuat pendapat mereka itu dengan mengemukakan 

ayat ”Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu sebagian 

apa yang telah kami ciptakan.” (QS. 36: 71).

Al-Baqillani mengatakan, pendapat Mu’tazilah di atas batal sebab 

perkataan biyadayya yaitu   menetapkan dua tangan dan kedua-Nya sifat 

bagi Allah. Kalau yang dimaksud yaitu   keduanya yaitu   qudrat, mestilah 

bagi-Nya ada dua qudrat. Kaum Mu’tazilah sendiri tidak mau mengatakan 

bahwa bagi Allah ada satu qudrat, apalagi menetapkan dua qudrat. Menurut 

al-Baqillani, kaum muslimin sependapat bahwa Allah tidak memiliki  dua 

qudrat. Dengan demikian pendapat kaum Mu’tazilah ini  tidak dapat 

dipertahankan. Demikian pula Allah tidak menciptakan Adam dengan dua 

nikmat sebab nikmat-Nya terhadap Adam dan selainnya tidak terhitung. 

Tegasnya al-Baqillani berpandangan, bahwa kata al-yad tidak digunakan 

kecuali pada tangan, yaitu sifat bagi zat.10

Di samping itu menurut al-Baqillani, wajh dan yad dapat dipahami 

sebagai sifat, tidak mesti sebagai anggota badan. Sebagaimana hayy, alim, 

qadir dapat dipahami tidak mesti dengan jism. Berkaitan dengan itu ia tidak 

menyebut sifat mesti merupakan jauhar atau jism. Sehubungan dengan itu 

pula ia tidak menyebut sifat sebagai qa’im bin zatih sebab  sesuatu yang 

berdiri sendiri diluar zat yaitu   lain dari zat itu sendiri. Selanjutnya ia 

berpandangan ‘ilm, hayat, kalam dan semua sifat-sifat Allah yaitu   sifat 

bagi zat-Nya, bukan arad, hal, jenis, kejadian, perubahan, atau sesuatu yang 

membutuhkan perubahan.

Al-Baqillani membagi wujud dengan dua bagian yaitu: 1) Wujud 

yang kekal yang senantiasa qadim, yaitu Allah dan sifat-sifat zat-Nya yang 

ada  pada zat-Nya dan senantiasa menyifati-Nya. 2) Wujud baharu, yang 

muhdats yaitu wujud yang pada mulanya tidak ada kemudian ada. Wujud 

baharu itu terbagi tiga, yaitu: 1) Jism, 2) Jauhar, 3) ’Arad. Secara etimologi 

jism yaitu   sesuatu yang tersusun (huwa al-mu’allafal murakkab), seperti 

bentuk badan. Orang yang berbadan besar atau gemuk disebut rajulun 

jasim. Jauhar yaitu   sesuatu yang bertempat. ’Arad yaitu   sesuatu yang 

tampak pada jauhar yang tidak tetap, misalnya penyakit pusing kepala. Jika 

pusingnya hilang penyakitnya juga hilang. Dalam salah satu ayat al-Qur’an 

disebutkan: ”Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan 

Allah menghendaki ‘pahala’ akhirat.” (QS. 8: 67). “Inilah awan yang akan 

menurunkan hujan kepada kami.”(QS. 46: 24). Lafas ‘arad dalam ayat-ayat 

ini  menunjukkan pada sesuatu yang tidak tetap. 12

Selanjutnya ia mengatakan, bahwa alam ini yaitu   baharu sebab  

terdiri dari jism, jauhar, ‘arad, yang bergerak sesudah  diam, terpisah sesudah  

berkumpul, berubah keadaannya dan sifat-sifatnya.13 Dengan kata lain, 

alam ini baharu sebab  mengalami perubahan dan satu keadaan yang lain, 

dari satu sifat kepada sifat yang lain, sebagaimana pernyataan Ibrahim yang 

mengisyaratkan di dalam al-Qur’an.14

 ُّبحِأُا �لَ لَاقَ لَفَأَا ا َّملَفَ ۖ يِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ ۖ ابًكَوْكَ ىٰأَارَ لُيَّْللا هِيْلَعَ َّنجَ ا َّملَفَ

 مَْل نْئَِل لَاقَ لَفَأَا ا َّملَفَ  ۖيِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ اغًزِابَ رَمَقَْلا ىأَارَ ا َّملَفَ )٧٦( نَيلِفِآ �لْا

 ةًغَزِابَ سَمْ َّشلا ىأَارَ ا َّملَفَ )٧٧( نَيِّلا َّضلا مِوْقَْلا نَمِ َّنَنوُكأَ �لَ يِّبرَ يِندِهْيَ

 نَوُكرِشُْت ا َّممِ ءٌيرِبَ يِّنِإا مِوْقَ ايَ لَاقَ تْلَفَأَا ا َّملَفَ ۖ رُبَكْأَا اذَ ٰهَ يِّبرَ اذَ ٰهَ لَاقَ

 اَنأَا امَوَ  ۖافًينِحَ ضَرْأَ �لْاوَ تِاوَامَ َّسلا رَطَفَ يذَِّلِل يَهِجْوَ تُهْ َّجوَ يِّنِإا )٧٨(

)٧٩( نَيكِرِشْمُْلا نَمِ

“saat  malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu 

berkata ‘inilah Tuhanku’, namun  tatkala bintang itu tenggelam dia 

berkata, saya tidak suka yang tenggelam”. “Kemudian tatkala melihat 

bulan terbit, dia berkata “inilah Tuhanku?” namun  sesudah  bulan itu 

terbenam, dia berkata ”Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi 

petunjuk, kepadaku pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. 

“Kemudian tatkala dia melihat Matahari terbit, dia berkata: ”inilah 

Tuhanku, ini yang lebih besar”, Maka tatkala matahari itu terbenam 

dia berkata “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas diri dari apa yang 

kamu persekutukan”. “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada 

Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan cenderung kepada 

agama yang besar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang 

mempersekutukan Tuhan.” (QS. 6: 76-79).

Alam yaitu   ciptaan, maka mesti ada pencipta yang menciptakannya, 

sebagaimana ada tulisan mesti ada penulisnya. Ada lukisan mesti ada 

pelukis yang melukisnya. Ada bangunan mesti ada pembangun yang 

membangunnya. Dengan demikian, adanya alam ini mesti ada yang 

menciptakannya. Kejadian di alam ini sebagian ada yang lebih dulu, 

sebagian lagi belakangan, dan itu terjadi bukan dengan sendirinya, sebab  

jika terjadi dengan sendirinya berarti qadim. Kejadian-kejadian di alam ini 

yaitu   sebab  kehendak Allah swt. Di alam ini ada benda yang bentuknya 

persegi empat, lingkaran, sebagian manusia ada yang lebih tinggi dari 

sebagian lainnya, ada yang cantik dan ada yang buruk. Semua itu terjadi 

sendirinya. Panjang, pendek dan baik buruk terjadi sebab  iradat Allah.15

Allah tidak memiliki  persamaan dengan alam, baik jenis maupun 

bentuknya, sebab jika ia memiliki  persamaan dengan alam berarti Ia 

baharu atau alam qadim seperti Dia. Hakikat persamaan jenis yaitu   yang 

satu dapat mewakili yang lainnya. Allah tidak dapat disamakan dengan alam 

yang memiliki  surat (bentuk) dan komposisi. Jika Allah surat (bentuk) 

maka ia membutuhkan musawwir (yang membentuk bentuknya), sebab 

surat (bentuk) tidak ada kecuali dari musawwir. Allah mengisyaratkan 

dalam firman-Nya: ”Apakah Allah yang menciptakan semua itu sama dengan 

yang tidak dapat menciptakan apa-apa?” (QS. 16: 17).

Oleh sebab  itu semua yang maujud selain Allah yaitu   baharu. Pada 

mulanya hanya Allah yang maujud, belum ada sesuatu selain Dia. Kemudian 

ia menciptakan sesuatu. Berdasarkan itu, maka tiap-tiap yang maujud selain 

Dia yaitu   baharu. Pada mulanya manusia masih bodoh, kemudian Allah 

menyempurnakan akalnya. Manusia tidak mampu menciptakan sesuatu 

pun.

Allah dikatakan hayy, qadim, dan alim sebab  ia hidup, berkuasa, dan 

mengetahui. Begitu pula ia dikatakan fa’il sebab  ia berbuat, murid sebab  

ia berkehendak. Oleh sebab  ada perbuatan dan kehendak-Nya mestilah ia 

fa’il murid. Allah tidak dikatakan fa’il murid jika  tidak ada perbuatan 

dan kehendak-Nya. Dengan demikian, mestilah Allah hidup memiliki  

ilm, qudrat, iradat, kalam, dan sama’, supaya ia dikatakan memiliki  

sifat-sifat seperti itu. Jika tidak, maka Ia tidak hayy, alim, qadir, murid, 

mutakallim, kalam, sami’, dan basir. Sifat-sifat-Nya, seperti ilm dan qudrat 

juga dapat diketahui melalui perbuatan-Nya yang menunjukkan bahwa ia 

mengetahui dan berkuasa, tidak bodoh dan tidak lemah. Perbuatan terjadi 

sebab  ada pembuat yang mengetahui dan mampu. Sifat-sifat seperti alim 

dan qadir bukan merupakan tambahan terhadap zat-Nya. Oleh sebab  itu 

dalam pandangannya sifat-sifat Allah bukan merupakan sesuatu yang lain 

dari zat-Nya.

Al-Baqillani mengatakan, bahwa sifat bukanlah hal namun  sesuatu yang 

maujud.19 Ia menolak mengatakan sifat Allah hal tampaknya yaitu   jika 

yang dimaksud dengan hal itu sebagai suatu yang berubah-ubah. Namun 

sebagaimana disebut oleh al-Syahrastani ia setuju jika hal di gunakan untuk 

menyebut dan menetapkan sifat Allah seperti pandangan Abu Hasyim 

dari kalangan Mu’tazilah.20 Tampaknya setuju sebab  umumnya kaum 

Mu’tazilah itu begitu. Abu Hasyim menyebut sifat sebagai hal bertujuan 

untuk menetapkan keesaan dan keqadiman Allah.


Al-Baqillani mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan 

adanya sifat-sifat Allah seperti mengetahui dan berkuasa. “Allah 

menurunkannya dengan ilmu-Nya”. (QS.4: 166), “Dan tidak ada 

seorang perempuan pun mengandung dan melahirkan melainkan dengan 

sepengetahuan-Nya”. (QS. 25: 11). “Dan apakah itu mereka tidak 

memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka yaitu   lebih besar 

kekuatannya dari mereka”. (QS. 41: 15)

Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa sifat ada  pada zat. 

Sebagai contoh gerak dan warna, keduanya ditemukan pada zat yang 

bergerak dan berwarna. Sifat yaitu   sesuatu yang tampak pada perbuatan, 

seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih, panjang atau pendek. Sifat 

juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katb (penulis). Bisa juga berdasarkan 

agama, seperti mukmin atau kafir. Bisa juga berdasarkan kebangsaan, 

seperti arabi, ajami, atau hasyimi. Tidak ada perbedaan pendapat diantara 

ahli bahasa, bahwa sifat yaitu   yang menempel pada nama-nama.21

Allah mengetahui dengan ilmu-Nya, namun ilmu-Nya bukan 

merupakan alat bagi-Nya. Ilmu-Nya tidak bergantung pada yang ma’lum 

seperti buah dengan pohon atau jasm dengan jism. Allah qadim dan ilmu-

Nya qadim namun  keduanya bukanlah dua jenis yang bertentangan dan bukan 

dua yang serupa. jika  dinyatakan, apakah ilmu Allah itu merupakan 

milik-Nya, perbuatan-Nya, keadaan-Nya, atau disandarkan kepada-Nya? Ia 

mengatakan, bahwa pengertian ilmu Allah yaitu   ilmu bagi-Nya. Ilmu-Nya 

bukanlah memiliki  arti milik-Nya, perbuatan-Nya atau keadaan-Nya.22 

Sifat yaitu   sesuatu yang ada  pada yang disifati. Sifat-sifat Allah itu 

qadim, tidak baharu. jika  sifat-Nya baharu, maka termasuk jenis sifat-

sifat makhluk. 

B. Nama-Nama Tuhan dan Sifat-sifat-Nya

Al-Baqillani tidak membedakan antara asma’ (nama-nama) Tuhan 

dan sifat-sifat-Nya. Dalam al-Qur’an, Allah memiliki  beberapa nama. 

Menurutnya itu berarti Allah memiliki  sifat yang bermacam-macam. 


Sebagian mengenai zat-Nya, dan sebagian mengenai perbuatan-Nya. Oleh 

sebab  itu ada sifat zat, ada sifat af ’al.23

Asma’ Allah terbagi dua, yaitu: 1) Asma yang kembali kepada zat-

Nya, seperti maujud, zat, qadim, wahid dan yang semisalnya. 2) Asma yang 

merupakan sifat zat dan sifat perbuatan (fi’l) bagi-Nya. Sifat zat seperti alim, 

qadir, dan hayy. Sifat fi’il seperti adil, muhsin, mutafaddil dan muhayy.24

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan pendapat di atas yaitu   

apakah sesuatu yang Esa boleh dan memiliki  nama yang banyak? Al-

Baqillani mengatakan, bahwa nama-nama yang banyak itu tidak membuat 

zat yang Esa menjadi sesuatu yang baik. Sebagaimana bagi seseorang 

ada  sifat-sifat yang banyak sedangkan zatnya satu. Demikian pula zat 

Allah yang Esa disebut maujud, qadim, dan sebagainya bukan berarti zatnya 

terdiri dari beberapa unsur. Sebagaimana seseorang diberi 10 macam nama 

yang berbeda, maksudnya yaitu   dia sendiri.25

Al-Baqillani berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang memandang al-

ism berasal dari kata wasama-yasimu yang berarti tanda atau al-alamat, 

bukan nama, dan memberikan nama kepada Allah merupakan tasmiyat 

(penggambaran). Menurutnya, al-ism berasal dari kata sama’, yasmu, yang 

berarti nama atau panggilan bagi zat Allah, atau sifat yang berhubungan 

dengan zat-Nya. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa memberikan 

nama atau sifat kepada Allah bukan berarti tasmiyat (penggambaran).

Selanjutnya ia mengatakan, bahwa Allah wahid, artinya tidak ada 

Tuhan selain Dia. Tidak ada yang patut disembah selain Dia. Wahid tidak 

dalam pengertian bilangan. Allah dikatakan ahad, maksudnya tidak ada 

yang menyerupainya dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dengan kata 

lain, tidak ada yang patut dijadikan Tuhan selain Dia, sesuai dengan firman-

Nya: 

ۖ  ٌدحِا َّو هٌـٰلِا هُّٰللا امََّنِا

“Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa.” (QS. 4: 171), 


ۚ اتَدَسَفََل هَُّللٱ �َّلِإا ةٌهَِلاءَ آامَہِيفِ نَاكَ وَۡل

“Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan selain Allah, tentulah 

keduanya itu telah rusak binasa”. (QS. 21: 22). 

الًيۡبِسَ شِرۡعَلۡا ىذِ ىٰلِا اوۡغَتَبۡ�َّل اذًِا نَوُۡلوۡقُيَ امَكَ ةٌهَِلٰا ۤهٗعَمَ نَاكَ وَّۡل لُْق

“Katakanlah: Jikalau ada Tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana 

yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada 

Tuhan yang memiliki  ‘arasy”. (QS. 17: 42). 26

Berdasarkan ayat-ayat di atas, al-Baqillani mengatakan bahwa jika 

Tuhan itu dua atau lebih akan terjadi perselisihan antara yang satu dan 

lainnya sebab perbedaan keinginan diantara mereka. Perbedaan ini  

menuntut supaya keinginan masing-masing tidak bisa terlaksana sebab 

saling bertentangan satu sama lain. Keinginan salah satunya saja pun tidak 

bisa terlaksana sebab mengabaikan yang lain. Jika keinginan masing-masing 

tidak terlaksana itu menunjukkan bahwa semuanya lemah. Kelemahan 

tidak bisa terjadi pada Tuhan. 

Dengan demikian al-Baqillani berpandangan, bahwa tidak ada Tuhan 

selain Allah. Ia Esa dan sifat-sifat-Nya tidak merusak keesaan-Nya. Ia 

menyifati diri-Nya sendiri dengan al-hayat sesuai dengan firman-Nya ”Dia 

yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.” (QS. 2 : 225). 

Menurutnya perbuatan mustahil terjadi dari yang mati. Allah swt. berbuat 

dan menghendaki sesuatu. Oleh sebab  itu mestilah Ia hidup.27

Ia berkuasa terhadap semua yang ada, sesuai dengan firman-Nya: ”Dia 

Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 5: 120). Oleh sebab  itu, Ia mampu 

menciptakan segala yang ada dan mengetahui semua yang terjadi. Dalam 

ayat yang lain, Allah swt. mengatakan bahwa ”Dia mengetahui apa yang ada 

di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka.” (QS. 20: 110). Di 

samping itu dikatakan pula bahwa ”Dia mengetahui pandangan mata yang 

khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. 40: 19). ”Dan Allah 

mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi.” (QS. 

3: 29). ”Ketahuilah: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu 

Allah.” (QS.11: 14).

Allah menghendaki semua yang terjadi, sesuai dengan firman-Nya: 

”Maha kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 85: 16). ”Allah 

menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran 

bagimu.” (QS. 2:185). ”Allah menghendaki pahala akhirat untukmu.” (QS. 

8: 67). Dalam ayat lain dikatakan ”Allah hendak memberikan keringanan 

kepadamu.” (QS. 4: 28).

Al-Baqillani mengatakan, bahwa Allah menghendaki semua yang 

terjadi dapat diterima kekal, berdasarkan keteraturan perbuatannya-Nya 

dari segi waktu, tempat dan masa, sehingga perbuatan A terjadi sebelum 

perbuatan B. Perbuatan C terjadi sesudah  perbuatan B. Perbuatan A terjadi di 

suatu tempat, sedangkan perbuatan B terjadi di tempat lain dan seterusnya.

Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, sesuai dengan firman-Nya: 

 نَوبُتُكۡيَ مۡہِيۡدََل انَُلسُرُوَ ٰىلَبَ ۚ مهُٰٮوَجَۡنوَ مۡهُ َّرسِ عُمَسَۡن �لَ اَّنأَا نَوبُسَحۡيَ مۡأَا

“Apakah mereka mengira bahwa kami tidak mendengar rahasia dan 

bisikan-bisikan mereka? Sesungguhnya kami mendengar dan utusan-

utusan Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. 43: 80). 

Menurut al-Baqillani lagi, jika ia tidak bersifat mendengar dan melihat 

mestilah Ia tuli dan buta. Allah terhindar dari yang demikian.30

Allah Mutakallim (berkata-kata). Perkataan-Nya bukan makhluk dan 

tidak muhdats (baharu) sesuai dengan firman-Nya: ”Diantara mereka ada 

yang Allah berkata-kata langsung dengan dia.” (QS. 2: 253). ”Dan Allah telah 

berkata-kata dengan Musa secara langsung.” (QS. 4: 164). Dalam ayat lain 

dikatakan ” Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu.” (QS. 6: 115). Rasulullah 

saw dalam hadisnya mengatakan: ”Keutamaan kalam Allah atas kalam-

kalam yang lain seperti keutamaan Allah atas ciptaan-Nya.”

Allah kekal selama-lamanya sesuai dengan firman-Nya: ”Dan tetap 

kekal zat Tuhanmu yang memiliki  kebesaran dan kemuliaan.” (QS. 55: 

27). ”Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.”(QS. 28: 88). Al-Baqillani 

mengatakan, bahwa Allah swt. mengetahui dengan ilmu-Nya yang qadim, 

mampu berbuat dengan qudrat-Nya yang qadim berkehendak dengan 

iradat-Nya yang qadim, mendengar dengan pendengaran-Nya yang 

qadim, melihat dengan penglihatan-Nya yang qadim, berkata-kata dengan 

perkataan-Nya yang qadim.

Ilmu-Nya tidak bersifat daruri bukan sebab  ia muktasi, sebab yang 

demikian yaitu   sifat dari ilmu manusia. Qudrat-Nya tidak bersifat istita’at 

sebab yang demikian juga merupakan sifat manusia. Penglihatannya tidak 

seperti mata manusia. Kalam-Nya tidak dengan anggota tubuh sebab yang 

demikian yaitu   sifat perkataan manusia. Singkatnya, sifat-sifat-Nya yaitu   

qadim, selalu menyifati-Nya, dan senantiasa tidak sama dengan sifat-sifat 

makhluk.

Pernyataan di atas didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya 

ayat ”Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia.” (QS.42:11). Kemudian 

ayat ”Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang 

pun yang setara dengan Dia.” (QS. 112: 3-4). Zat-Nya tidak seperti zat 

manusia, ilmu-Nya juga tidak sama dengan ilmu manusia dan tidak disifati 

ilmu manusia. Begitu juga dengan qudrat-Nya tidak sama dengan qudrat 

dan iradat manusia. Dengan kata lain, sifat-sifat-Nya tidak sama dengan 

sifat-sifat manusia. 32

Tidak dikatakan sifat-sifat-Nya yaitu   Dia (la yuqal lahil hiya Huwa) 

sebab  kalau dikatakan hiya Huwa berarti Ia menciptakan yang seperti diri-

Nya. Oleh sebab  itu al-Qur’an tidak disebut khaliq dan juga tidak makhluq, 

sebab jika al-Qur’an khaliq berarti Tuhan kedua seperti Allah. Jika al-Qur’an 

disebut makhluq, maka mestilah Allah maujud tanpa kalam baru kemudian 

ia menciptakan kalam-Nya. Menurut al-Baqillani pandangan seperti itu 

salah, sebab sifat-sifat-Nya qadim dengan keqadiman zat-Nya. Sifat zat-

Nya tidak terdiri dari berbagai macam pada zat-Nya yang satu sama lain 

berbeda, sebab yang demikian mengandung pengertian bahwa satu dengan 

yang lainnya terpisah-pisah oleh masa dan tempat, dan itu mustahil bagi 

Allah dan sifat-sifat-Nya. 

Al-Baqillani mengatakan, bahwa Allah swt. memarahi, menyukai, 

mencintai, membenci, melindungi dan memusuhi. Ia murka terhadap orang 

yang dimarahi-Nya. Ia menyukai orang yang diridhai-Nya. Ia mencintai 

orang yang disenangi-Nya. Ia melindungi orang yang disenangi. Semua 

itu mengandung pengertian, bahwa ia menyukai dan memberikan pahala 

kepada orang yang diridhai dan dicintai-Nya. Ia menyiksa orang yang 

dimurkai, dibenci, dan dimusuhi-Nya.

Allah swt. bersifat pemarah sesuai dengan firman-Nya ”Barang siapa 

yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah 

neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah swt. murka kepadanya, dan 

mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. 4: 93). ”Dan 

sumpah yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya jika suami-suaminya itu 

termasuk orang-orang yang benar.” (QS. 24: 9).

Ia bersifat mencintai sebagaimana disebut dalam firman-Nya ”Allah 

menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang 

mensucikan diri.” (QS. 2: 222). Dalam ayat lain disebutkan bahwa ”Allah 

mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Disamping 

itu Allah mengatakan ”Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat 

kebajikan.” (QS. 5: 93).35

Ia bersifat melindungi atau menolong sebagaimana disebutkan dalam 

firman-Nya ”Allah yaitu   pelindung semua orang-orang yang beriman.” 

(QS. 3: 68). ”Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya. 

(QS. 5: 55). Allah swt. bersifat memusuhi sesuai dengan firman-Nya ”Maka 

sesungguhnya Allah musnahkan orang-orang kafir.” (QS. 2: 98). Dalam ayat 

yang lain Allah mengatakan ”Janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan 

musuhmu menjadi teman setia.”(QS. 60: 1). Ia bersifat membenci sesuai 

dengan sabda Nabi saw. “Ada tiga macam orang yang dibenci Allah, yaitu 

orang yang terpandang yang berzina, fakir, penipu, dan orang kaya yang 

aniaya.” 

Sebagaimana disebutkan terdahulu, bahwa Allah swt. dikatakan 

memberikan pahala kepada orang yang disukai, dicintai, dan dilindungi-

Nya, dan menyiksa orang yang dibenci, dimurkai, dan dimusuhi-Nya sebab 

al-qadab dan al-rida tidak terlepas dari dua pengertian, yaitu boleh jadi Allah 

ingin memberikan kebaikan dan keburukan saja, atau boleh jadi al-qadab 

berarti tidak suka, sedangkan al-rid berarti suka atau senang. Sikap suka dan 

tidak suka merupakan sikap makhluk. Oleh sebab  itu, pengertian al-qadab 

dan al-rida-Nya dan kerugian-Nya memberikan keuntungan kepada orang 

yang disenangi-Nya dan kerugian kepada orang yang dimurkai-Nya.37

Berkaitan dengan itu, al-Baqillani mengatakan bahwa jika  

yang dimaksud dengan syahwat yaitu   iradat-Nya terhadap perbuatan-

perbuatan-Nya, benar sebab  Ia berkehendak terhadap semua perbuatan-

Nya. namun  jika yang dimaksud dengan syahwat yaitu   syauq al-nafs, yaitu 

keinginan yang menggebu-gebu terhadap kebaikan dan kesenangan, jelas 

merupakan suatu yang mustahil bagi Allah swt.

Al-Baqillani mengatakan bahwa Allah swt. suci dari sifat-sifat yang 

baharu seperti berdiri dan duduk, sesuai dengan firman-Nya: ”Tidak ada 

sesuatu yang serupa dengan Dia.” (QS. 42: 11). Jika Allah mengatakan 

”Tuhan Yang Maha pemurah yang bersemayam di atas ‘arasi.” (QS. 20: 5), 

Istawa disini maksudnya tidak sama dengan istawa manusia. Dalam pada 

itu, menurut al-Asy’ari bukan merupakan tempat dan kediaman sebab  

Allah tidak bertempat.

Berkaitan dengan pandangan di atas, al-Baqillani berpendapat bahwa 

orang yang memandang Allah fi sya’i (ada  di dalam sesuatu), atau min 

syai’(berasal dari sesuatu), atau ala syai’ (di atas sesuatu) telah menjadi 

musyrik. Jika Allah di atas sesuatu berarti ia mahmul (sesuatu yang diangkut 

atau dibawa). jika  Ia ada  di dalam sesuatu berarti ia muhdats 

(baharu). Allah swt. terlepas dari semua pandangan yang demikian. Ia tidak 

bisa digambarkan dalam pikiran. Ia tidak bisa diduga, dekat, rendah, atau 

tinggi. Dia yaitu   al-awwal, al-akhir, al-dzahir, al-batin, al-qarib, al-ba’i.


Selanjutnya al-Baqillani membedakan antara sifat-sifat zat dan sifat-

sifat af ’ail. Menurut-Nya sifat-sifat zat yaitu   sifat-sifat yang senantiasa 

mensifati diri-Nya, yaitu al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-sam’, al-besar, 

al-kalam, al-iradat, al-baqa’, al-wajh, al-ainan, al-yadan, al-qagab dan 

al-rida. Dua sifat yang disebut terakhir itu termasuk al-iradat yang 

berkenaan dengan ar-rahmat (kasih sayang), al-sukht (kemarahan), al-itsar 

(keberangan), al-masyiat (kehendak) dan pengetahuan-Nya tentang semua 

jenis ciptaan seperti makanan, angin, panas, dingin dan sebagainya. Sifat-

sifat af ’al yaitu   al-khalaq, al-rizq, al-‘adl, al-ihsan, al-tafaddul, al-in am, 

al-tsawab, al-iqab, al-hasyr, al-nasyr. Sifat-sifat itu ada sebelum perbuatan-

Nya. Oleh sebab  itulah dalam pandangannya sifat-sifat af ’al Tuhan juga 

qadim.

Menurut al-Baqillani Allah tidak memiliki  jenis, bentuk dan 

tempat, pernyataan bahwa ia berada di atas ‘ars-Nya bukan berarti melekat 

atau berdekatan. jika  ditanyakan apakah Allah itu? Jika yang dinyatakan 

nama-Nya, maka ia yaitu   al-Rahman al-Rahim, al-Hayy al-Qayyim. Jika 

yang ditanyakan perbuatan-Nya, maka perbuatan-Nya yaitu   keadilan, 

kebaikan, kenikmatan, langit dan bumi serta apa yang ada di antara 

keduanya. Jika yang ditanyakan itu dalil atas wujud-Nya, jawabannya yaitu   

semua yang kita lihat dan kita saksikan. Allah qadim sebelum zaman. Ia 

yang menciptakan tempat dan zaman. Ia ada sebelum keduanya ada. Wujud 

sesuatu yang ditentukan batasnya, seperti satu tahun atau seratus tahun 

menunjukkan bahwa ia tidak ada sebelum zaman. Allah swt. mustahil 

demikian.

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya sifat-sifat Tuhan dalam 

pandangan al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau 

sesuatu yang menempel pada zat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama, 

sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.

Dalam konteks itulah ia dekat dengan pendapat Abu Hasyim dari 

kalangan Mu’tazilah yang memandang Tuhan mengetahui dan berkuasa 

dengan zat-nya sebab  baginya sifat tidak terpisah dari zat. Dengan 

demikian pemahamannya tentang sifat-sifat Tuhan tidak lagi seperti 

pendapat al-Asy’ari yang mengatakan sebab  Allah alim, qadair, murid, 

qail maka ia memiliki  ‘ilm, qudrat, iradat, dan qaul yang merupakan 

sifat-sifat bagi-Nya. Sifat-sifat-Nya qadim dan berdiri sendiri (qa’imat, bi 

al-zat). Menurutnya Allah tidak mengetahui kecuali dengan ilmu-Nya. 

Demikian pula Allah tidak berkuasa kecuali dengan qudrat-Nya. Ia tidak 

menghendaki kecuali dengan iradat-Nya. Pandangan yang demikian 

membawa kepada paham ta’addud al-qudama’ sehingga ada beberapa yang 

qadim selain Tuhan. 

Al-Baqillani memandang sifat-sifat Tuhan yaitu   zat-Nya, bukan 

sebagai sesuatu yang berdiri sendiri di luar zat-Nya, maka pendapatnya 

terhindar dari kesan adanya beberapa yang qadim selain Tuhan. Dengan 

demikian dalam masalah sifat-sifat Tuhan, al-Baqillani berbeda dengan al-

Asy’ari dan dekat kepada Mu’tazilah.

A. Kalam Allah Dalam Pemikiran Teologi Islam

Kalam Allah (perkataan Tuhan) ialah apa yang yang diwahyukan 

kepada manusia melalui orang-orang pilihan-Nya, yaitu Rasul dan Nabi 

berisi peraturan-peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, berupa 

kepercayaan kepada Allah. Syariat dan akhlak seluruhnya ini dinamai 

perkataan Allah (kalam Allah). Baik dinyatakan dalam bahasa Ibrani atau 

bahasa Arab dan berbeda-beda caranya

Oleh sebab  itu, apakah firman Allah (kalam Allah) itu diciptakan 

atau tidak. Kalau firman Allah yaitu   sifat, maka ia mesti kekal dan tidak 

diciptakan. namun  dalam pada itu firman Allah tersusun dari kata-kata, 

maka ia harus diciptakan dan tidak bisa kekal

Golongan Mu’tazilah berpendirian bahwa al-Qur’an itu perkataan 

Allah (kalam Allah) dan wahyu-Nya yaitu   Makhluk.3 Ia yaitu   makhluk 

(diadakan) dan huruf-hurufnya yang kita tulis dalam mushaf yaitu   

makhluk pula. Mereka memisahkan antara al-Qur’an dan sifat kalam yang 

ada pada zat Tuhan seperti yang di firmankan-Nya sendiri.


 تُمٰلِكَ دَفَنۡـتَ نَۡا لَبۡقَ رُحۡبَلۡا دَفِنَـَل ىِّۡبرَ تِمٰلِكَ ّـِل ادًادَمِ رُحۡبَلۡا نَاكَ وَّۡل لُْق

ادًدَمَ هٖلِثۡمِِب انَئۡجِ وَۡلوَ ىِّۡبرَ

“Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) 

kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum 

habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan 

tambahan sebanyak itu (pula).4 

Yang dimaksud dengan “kalimat” di sini bukan kata-kata al-Qur’an. 

Kalau itu yang dimaksud tentulah tidak memerlukan tinta sebanyak itu. 

“Kalimat” di sini harus dipahami menurut ketentuan akal fikiran, yaitu 

bermacamnya kehendak Tuhan dan pengetahuan-Nya.

Adapun al-Asy’ari membagi perkataan Tuhan kepada dua bagian, 

yaitu: 

a. Perkataan yang ada pada zat-Nya (kalam nafsy). Sifat ini yaitu   

sifat qadim.

b. Perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini 

baru dan makhluk (diadakan).

Dalam bagian kedua ini  pendirian al-Asy’ari sama dengan 

pendirian aliran Mu’tazilah. Kalau dikatakan kalam itu qadim maka yang 

dimaksud yaitu   perkataan macam pertama. Kalau dikatakan baru, maka 

yang dimaksud perkataan macam kedua.  

Menurut kaum Mu’tazilah hakikat kalam atau perkataan yaitu   huruf 

yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan 

lisan. Oleh sebab  itu, orang berbicara atau berkata-kata dinamakan al-

Mutakallim (pembicara). Orang-orang yang tidak mampu berbicara 

dinamakan al-a’jam al-abkam (bisu)

Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Mu’tazilah terjadi 

perbedaan pendapat, apakah kalam itu ‘ard atau jism. Sebagian mereka 

memandangnya sebagai jism. Sebagian lagi seperti Abu al-Huzail, 

Mu’ammar, Ja’far ibn Harbin dan al-Iskafi memandangnya sebagai ‘ard.

Al-Nadzdzam dan para pengikutnya berpendapat bahwa kalam 

manusia merupakan ‘ard dan harakat sebab  bagi mereka tidak ada ‘ard 

kecuali al-harakat, kalam Allah merupakan jism. Oleh sebab  itu, mereka 

berpandangan bahwa kalam Tuhan itu makhluk sebab jism dan ‘ard 

merupakan makhluk yang diciptakan Allah swt., Dialah yang menciptakan 

dan menjadikannya. Allah tidak mungkin menciptakan kalam pada zat-

Nya, sebab  jika  Dia berkata-kata berarti Dia telah menciptakan suara, 

yaitu jism dan ‘ard pada zat-Nya. Dengan kata lain, tidak mungkin zat-Nya 

menjadi tempat bagi yang baharu.

Alasan lain yang dikemukakan Mu’tazilah yaitu   bahwa kata kun pada 

ayat ”Sesungguhnya keadaannya jika  Dia menghendaki sesuatu hanyalah 

berkata kepadanya: “jadilah” maka terjadilah ia.”(QS. 36: 82) yaitu   baharu 

(muhdats) sebab  merupakan sesuatu yang tersusun dari dua huruf yang 

dapat berpindah-pindah, yang satu mendahului yang lain.

Menurut Mu’tazilah kun tidak berpengaruh terhadap wujud sesuatu 

sebab jika  berpengaruh pasti berlaku juga bagi manusia sebagaimana 

gerak dapat memberi pengaruh bagi siapa saja. namun  kata kun tidak 

menghasilkan sesuatu pun. Dalam ayat di atas ada  lafaz an. Menurut 

Mu’tazilah jika lafaz an masuk pada fi’il mudari maka an menunjuk pada 

masa mendatang. Oleh sebab  itu, an menunjuk pada baharunya kun 

sebab  pada kun terkandung iradat baru. Dengan demikian kun tidak 

qadim. Mereka juga berpandangan bahwa huruf fa pada fayakun sebagai li 

al-ta‘qib, sehingga membawa itu al-Qur’an yaitu   makhluk.

Berdasarkan pandangan di atas, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa 

Allah itu berkata-kata (mutakallim) namun  tidak dengan kalam yang qadim. 

Dia berkata-kata dengan kalam yang baharu (muhdats) yang diciptakan-

Nya saat  Dia berkata-kata. Bertitik-tolak dari pandangan bahwa kalam 

Allah itu makhluq, muhdats, kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa al-

Qur’an sebagai kalam dan wahyu-Nya yaitu   makhluk.

Untuk memperkuat paham kemakhlukan al-Qur’an ini , dapat 

dibuktikan dengan kondisi bahwa surat-surat al-Qur’an itu terputus-putus. 

Ada yang permulaan dan ada yang terakhir. Sebagian dari ayat dan surat 

al-Qur’an itu datang lebih dulu dari sebagian yang lain, sehingga tidak 

dapat dikatakan qadim sebab  tidak terdahului oleh yang lain. Sebagaimana 

al-hamzat lebih dulu dari al-lam dan al-lam lebih dulu dari al-ha. Seperti 

tampak pada ayat “Segala puji bagi Allah.” (QS. 1: 2). Dengan demikian tidak 

dapat ditetapkan bahwa al-Qur’an itu qadim.

Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an 

kepada Nabi-Nya sebagai dalil bagi kenabiannya, pedoman bagi manusia 

dalam masalah halal dan haram. Manusia mesti membaca, mendengar, 

mensucikan, dan memujinya.

Kaum Mu’tazilah memperkuat pendapat di atas dengan mengatakan 

bahwa Allah mensifati al-Qur’an itu dengan muhdats (yang baru) dan 

munzal (yang turun), seperti disebut dalam firmannya: 

نَوبُعَلْيَ مْهُوَ هُوعُمَتَسْا �َّلِإا ثٍدَحْمُ مْهِِّبرَ نْمِ رٍكْذِ نْمِ مْهِيِتْأايَ امَ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru 

(diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, 

sedang mereka bermain-main”. (QS. 21: 2), 

نَوظُفِاحََل هَُل اَّنِإاوَ رَكْ ِّذلا انَْل َّزَن نُحَْن اَّنِإا

“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesunguhnya 

kami benar-benar memeliharanya”. (QS. 15: 9).

Selanjutnya bahwa al-munzal pasti muhdats. Allah mengatakan 

dalam ayat di atas bahwa “Kami benar-benar memeliharanya.” Pertanyaan 

itu menunjukkan kebaharuan al-Qur’an, sebab  kalau qadim ia tidak 

memerlukan hafidz (pemelihara) yang memeliharanya.

Berbeda dengan pandangan Mu’tazilah di atas, al-Asy’ari maupun 

al-Baqillani sependapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Di dalam 

menolak pandangan dan berbagai argumen kaum Mu’tazilah, al-Baqillani 

mengatakan bahwa tidak setiap huruf fa li al-ta’qib. Menurutnya fa pada 

lafaz fayakin yaitu   untuk al-ikhbad (memberitakan) bukan li al-ta’qib 

sebagaimana Allah berfirman: “Barang siapa yang kembali mengerjakannya 

niscaya Allah akan menyiksanya.” (QS. 5: 95). Fa pada fayantaqim bukan 

ta’qib. Begitu pula dengan fa pada ayat “Maka dia membinasakan kamu 

dengan siksa.” (QS. 20: 61).

Menurut al-Baqillani, fa yang ada  pada jawab al-amr atau 

jawab al-jumlat al-kalam tidak berfungsi sebagai li al-ta’qib. Menurutnya, 

membasuh muka dan tangan sampai siku bukanlah akibat dari mendirikan 

shalat sebagaimana yang dikatakan Allah dalam ayat berikut:”jika  kamu 

hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai 

siku.” (QS. 5: 6). Demikian pula ayat “Sesungguhnya perkataan kami terhadap 

sesuatu jika  kami menghendakinya: Kami hanya mengatakan kepadanya: 

“kun (jadilah)” maka jadilah ia.” (QS. 16: 40). Lafaz kun pada ayat itu yaitu   

al-amr. Maka fa pada lapaz fayakun yaitu   jawab al-amr, bukan li al-ta’qib. 

Pada ayat “kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)” maka 

jadilah.”(QS.16: 40) tidak menunjukkan kebaharuan al-Qur’an sebab lafaz 

an jika  masuk pada fi’il mudari’ berkedudukan sebagai masdar untuk 

masa datang. Jelasnya, ayat di atas menunjuk pada kejadian masa datang.17

Ia juga menolak pemahaman Mu’tazilah terhadap ayat 2 surat al-Anbiya. 

Menurutnya makna ayat ini  yaitu   “tidak datang kepada mereka 

nasihat, janji, dan ancaman, kecuali mereka mendengarnya, sedangkan 

mereka bermain-main. Nasihat, janji, dan peringatan Nabi yaitu   al-Zikr 

sesuai dengan ayat “Maka berilah peringatan: sebab  sesungguhnya kamu 

hanyalah orang yang memberi peringatan.” (QS. 88: 21). Dengan demikian, 

menurut al-Baqillani ayat 2 surat al-Anbiya di atas tidak menunjukkan 

bahwa al-Qur’an itu baharu. Allah tidak mengatakan ma’ya‘tihim min zikrin 

min Rabbihim alla kana muhdatsan.

Ayat “Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab.” 

(QS. 43: 3) juga menurutnya tidak menunjukkan bahwa al-Qur’an itu 

makhluk sebab berdasarkan penggunaannya, lafaz al-fi’l adakalanya berarti 

al-tasmiyat wa al-hukm dan adakalanya berarti al-fi’l. Lafaz al-fi’l yang 

diikuti dua maf ’ul bermakna tasmiyat wa al-hukm. Umpamanya dalam ayat 

yang lain Allah berfirman “[yaitu] orang-orang yang telah menjadikan al-

Qur’an itu terbagi-bagi.” (QS. 15: 91). Menurutnya, ayat itu mengandung 

pengertian bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani menyebut dan 

menetapkan al-Qur’an sebagai dusta, sihir, ramalan dan sebagainya. Tidak 

berarti mereka yang membuat al-Qur’an.

Demikian pula ayat ”Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat 

yang mereka itu yaitu   hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai 

orang-orang perempuan.” (QS. 43:19). Menurutnya, ayat itu mengandung 

pengertian bahwa mereka menamakan atau menetapkan malaikat-

malaikat itu sebagai perempuan. Bukan berarti mereka yang menciptakan 

perempuan.

Dengan demikian, ayat ”Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an 

dalam Bahasa Arab.” (QS. 43: 3) di atas menurut al-Baqillani bermakna 

bahwa Allah menjadikan bacaan al-Qur’an itu berdasarkan bahasa Arab 

dan itu berguna untuk membedakan dengan Taurat dan Injil sebab  bacaan 

kedua kitab itu dengan bahasa Ibrani dan Siryani.20

Berdasarkan dengan contoh-contoh di atas, lafaz al-ja’il jika hanya 

diikuti oleh satu maf ’ul bermakna al-fi’l atau al-khalaq. Umpamanya Allah 

menyebutkan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bumi, gelap, dan 

terang seperti dalam ayat ”Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan 

langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (QS. 6: 1).21

Berdasarkan pengertian di atas, al-Baqillani mengatakan ayat 

”Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab.” (QS. 43: 3) 

tidak megandung pengertian bahwa Allah membuat al-Qur’an berbahasa 

Arab, namun  Dia menetapkannya berbahasa Arab. Oleh sebab  al-Qur’an 

bukan merupakan perbuatan bagi Tuhan, maka al-Qur’an bukan makhluk.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa al-Asy’ari dan al-Baqillani 

sependapat dalam memandang kalam Allah sebagai sifat bagi-Nya. namun  

sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah yang telah dikemukakan 

terdahulu, tentu antara al-Asy’ari dan al-Baqillani ada perbedaan. Al-

Syahrastani mengatakan bahwa bagi al-Asy’ari, al-kalam merupakan sifat 

yang berdiri sendiri. Sementara menurut al-Baqillani, kalam Allah yaitu   

sifat bagi zat-Nya, ada sebab  zat-Nya, bukan sebab  yang lain. Namun 

demikian, baik al-Asy’ari maupun al-Baqillani mengatakan bahwa secara 

hakiki Kalam Allah itu yaitu   apa yang dapat dihafal dalam hati, diucapkan 

dan dibaca dengan lidah, ditulis di dalam kitab, bukan dalam arti kiasan, 

dan bukan merupakan hal yang terjadi pada sesuatu selain Tuhan sebab  

jika merupakan hal yang terjadi pada selain-Nya berarti Dia tidak berkata-

kata, tidak memerintah, tidak melarang, dan tidak memberi penjelasan 

dengan kalam-Nya. Pandangan yang demikian tidak sesuai dengan salah 

satu ayat al-Qur’an sebagaimana difirmankan Allah swt. ”Sesungguhnya aku 

ini yaitu   Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. 

20: 14)24

Dengan demikian perbedaan antara al-Asy’ari dan al-Baqillani dalam 

masalah kalam Tuhan yang dikemukakan di atas terletak pada perbedaan 

pemahaman mereka tentang kalam sebagai sifat. Al-Asy’ari menyebutnya 

sebagai sifat yang berdiri sendiri diluar zat. Al-Asy’ari berpendapat demikian 

sebab  dalam pandangannya jika Allah tidak memiliki  kalam berarti ia 

bisu. Bisu menunjukkan kekurangan, mustahil Allah bersifat kekurangan. 

Oleh sebab  itulah tampaknya al-Syahrastani mengatakan, bagi al-Asy’ari 

al-mutakallim yaitu   orang yang kalamnya berdiri sendiri. Sementara al-

Baqillani memandang kalam sebagai sifat zat yang ada sebab  zat itu sendiri, 

bukan sesuatu yang berada di luar zat.

Selanjutnya al-Baqillani mengatakan bahwa kalam Allah tidak 

merupakan jism, jauhar, atau ‘ard, sebab jika demikian kalam Allah ter-

masuk jenis kalam manusia dan baharu. Allah swt. tidak berkata-kata 


dengan kalam makhluk. Ia juga berpendapat, bahwa kalam Allah dapat 

didengar dengan telinga, namun  berbeda dengan semua jenis bahasa dan 

semua suara. Sebagaimana Dia dapat dilihat dengan penglihatan mata, 

namun  Dia berbeda dengan semua jenis yang dapat dilihat. Dia juga maujud 

namun  berbeda dengan semua maujud yang baharu. Orang yang mendengar 

kalam-Nya, seperti nabi Muhammad saw. yaitu   tanpa perantara. Beliau 

mendengarnya langsung dari zat-Nya, sesuai dengan ayat ”Dan Allah telah 

berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. 4: 164).”Di antara mereka 

ada yang Allah berkata-kata langsung dengannya.” (QS. 2: 253).

Selanjutnya ia mengatakan, bahwa tidak ada perkataan manusia 

yang menyerupai kalam Tuhan. Oleh sebab  itu seseorang tidak boleh 

mengucapkan seperti mengucapkan kata-kata manusia sebab yang 

demikian itu menjadikan kalam Allah ada  pada dua zat, yang qadim 

dan yang muhdats.

Ia juga mengatakan, bahwa kalam Allah tidak berubah-ubah. Kalam-

Nya yaitu   sifat bagi-Nya sebab  merupakan perkataan-Nya. Tidak ada 

yang menyerupai sifat-sifat-Nya. Allah memiliki  kata-kata, oleh sebab  

itu Dia Mutakallim. Kalam-Nya qadim, bukan makhluk. Dengan demikian 

kalam-Nya tidak baharu. Kalam-Nya yaitu   salah satu dari sifat-sifat zat-

Nya, seperti ‘ilm, iradat, qudrat-Nya dan sebagainya. Kalam Allah tidak 

boleh disamakan dengan ibarat atau hikayat. Juga tidak boleh diserupakan 

dengan sifat-sifat manusia. Demikian pula lafaz al-Qur’an tidak boleh 

dikatakan makhluk, atau bukan yang lain dari makhluk.

Kalam Allah qadim sebagaimana diisyaratkan dalam salah satu ayat al-

Qur’an, ”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. 

7: 54). Menurut al-Baqillani ada  perbedaan antara al-khalaq (ciptaan) 

dan al-amr (perintah) bukan makhluk. Kalam-Nya terdiri dari perintah (al-

amr), larangan (al-nahy) dan berita (al-khabar).

Berkaitan dengan pendapatnya di atas, ia mengemukakan ayat 

“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya.” (QS. 33: 4); “Sesungguhnya 

perkataan kami terhadap sesuatu jika  kami menghendakinya, kami 

hanya mengatakan kepadanya: kun, maka jadilah ia.” (QS. 16: 40). 

Selanjutnya ia mengatakan bahwa sekiranya kalam Allah yaitu   makhluk, 

maka didalam menciptakannya Allah memerlukan kata kun yang tiada 

terhingga, dan itu mustahil. Lafaz kun itu sendiri yang terjadi dengannya 

makhluk bukan makhluk tatapi kalam-Nya yang qadim. Sebagaimana telah 

dikemukakan terdahulu Nabi Muhammad saw. mengatakan dalam sebuah 

hadis:”Keutamaan kalam Allah atas semua kalam seperti keutamaan Allah 

atas ciptaan-Nya.” 

Menurut al-Baqillani, keutamaan Allah dari hamba-Nya yaitu   

keqadiman-Nya. Dengan demikian, hadis ini  di atas menunjukkan 

bahwa perkataan di dalam kalam Allah itu mesti bukan makhluk. Perkataan 

makhluklah yang merupakan makhluk, sedangkan perkataan Allah tidak.31

Menurut al-Baqillani, jika dikatakan kalam Allah itu makhluk, pasti 

ada  pada diri-Nya, atau pada selain diri-Nya, atau pada sesuatu Allah 

tidak menciptakan makhluk pada diri-Nya atau zat-Nya, sebab  yang 

demikian mustahil bagi-Nya.

Demikian pula Allah tidak menciptakannya pada selain diri-Nya sebab  

dengan demikian Dia bukanlah Tuhan yang memerintah, melarang dan 

berkata-kata. Allah juga tidak menciptakannya pada sesuatu sebab  dengan 

demikian ada kalam namun  tidak berasal dari mutakallim. Oleh sebab  itu 

mustahil kalam Allah itu makhluk, namun  merupakan salah satu dari sifat-

sifat-Nya. Dengan demikian kalam Allah qadim dengan keqadiman-Nya, 

maujud dengan kemaujudan-Nya, dan Dia senantiasa bersifat dengannya.

Sehubungan dengan itu, di dalam pandangan al-Baqillani kalam Allah 

yaitu   zat-Nya itu sendiri.

Selanjutnya al-Baqillani berpendapat, bahwa ayat yang mengatakan 

”Allah pencipta segala sesuatu.” (QS. 13: 16) juga tidak menunjukkan bahwa 

al-Qur’an itu makhluk sebab ayat itu mengandung arti yang khusus, bukan 

umum. Ia berpandangan ayat itu menunjukkan bahwa ciptaan dan kejadian 

benar-benar dari Allah.

Menurutnya ada beberapa ayat lai