Minggu, 05 Januari 2025

ilmu tauhid 3


 n yang mengandung arti khusus, 

seperti informasi mengenai Nabi Daud dalam ayat ”Hai manusia kami telah 

diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.” (QS. 

27: 16). Al-Baqillani berpendapat bahwa kalimat wa utina min kulli syai’in 

berarti bahwa diberi sesuatu yang seyogyanya. Tuhan tidak memberinya 

semua yang ada dalam arti umum, seperti langit, matahari, bumi, dan bulan. 

Demikian pula dengan kisah Bilqis yang diisyaratkan dalam ayat ”Dan dia 

dianugerahi segala sesuatu.” (QS. 27: 23). Dapat dipahami bahwa kalimat 

min kulli syai’in disitu tidak termasuk al-nubuwwat (kenabian).

Dengan demikian ayat “Allah yaitu   pencipta segala sesuatu.” (QS. 

13: 16) tidaklah menunjukkan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Allah swt. 

terlepas dari makhluk. Dia dinamakan Khaliq dan segala sesuatu selain Dia 

yaitu   makhluk. Semua sifat-sifat zat-Nya tidak makhluk, seperti ilmu-

Nya, qudrat-Nya, iradat-Nya, kalam-Nya, yaitu al-Qur’an tidak makhluk. 

Semua itu dikatakan tidak makhluk sebab  semua orang yang berakal 

mengetahui bahwa Dia menciptakan segala sesuatu selain zat-Nya dengan 

qudrat-Nya, hayat-Nya, ilmu-Nya, dan kalam-Nya. Oleh sebab  itu zat-Nya 

tidak termasuk perbuatan-Nya. Ayat Allah dalam QS. 13: 16. maksudnya 

yaitu   selain zat-Nya, Zat-Nya dan semua sifat-Nya yaitu   qadim bukan 

makhluk.

Al-Baqillani juga berpendapat bahwa ayat “Dan jika  kami letakkan 

suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya.” (QS. 16:101) 

tidaklah menunjukkan al-Qur’an itu makhluk. Menurutnya al-tabdil dan 

al-naskh hanya terjadi pada tulisan atau cara membacanya. Al-Qur’an 

yang qadim tidak berubah sesuai dengan ayat “Tak seorang pun yang dapat 

mengubah kalimat-kalimat Allah.” (QS. 6: 34; 115).

Al-Baqillani membedakan antara al-tilawat (bacaan) dan al-matluww 

(yang dibaca). Al-tilawat, menurutnya bisa berubah-ubah, sedangkan al-

matluww tidak. Dalam konteks ini, maka yang dimaksud lenyap dalam 

firman Allah ”Dan sesungguhnya jika kami menghendaki niscaya Kami 

lenyapkan apa yang telah kami wahyukan kepadamu.” (QS. 17: 86) bukanlah 

al-mahfudz, yaitu kalam Allah. Menurutnya yang dicapai lenyap yaitu   

hafalan atau tulisannya, sebab hafalan bisa lupa dan tulisan bisa rusak. 

Hafalan atau tulisannya yaitu   makhluk sebagaimana manusia sendiri 

yaitu   makhluk. namun  al-mahfudz dan al-maktub yaitu   kalam Allah yang 

qadim tidak berubah dan tidak merupakan makhluk.

Selanjutnya, ia berpandangan bahwa surat-surat dan ayat-ayat yang 

ada  dalam al-Qur’an bukanlah menunjukkan bahwa ia makhluk, 

meskipun ayat merupakan kalimat-kalimat yang terdiri dari huruf dan 

suara yang dapat diperkirakan awal dan akhir sebab  memiliki  batas.

Menurut al-Baqillani, pembatasan, pembagian, huruf, dan suara 

kembali kepada bacaan makhluk, seperti telah disinggung di atas, bukan 

kalam Allah. Bacaan memerlukan tempat keluar suara, seperti lidah dan 

kerongkongan. Allah tidak memerlukan alat seperti lidah, kerongkongan, 

suara, maupun huruf. Alat-alat itu kembali kepada manusia yang 

memerlukannya di dalam membaca dan menuliskan kalam Allah. Dalam 

pada itu manusia tidak mampu menuliskan kalam Allah,39 sebagaimana 

diisyaratkan-Nya dalam ayat-ayat berikut: 

 تُامَلِكَ دَفَنْتَ نْأَا لَبْقَ رُحْبَْلا دَفِنََل يِّبرَ تِامَلِكَِل ادًادَمِ رُحْبَْلا نَاكَ وَْل لُْق

ادًدَمَ هِلِثْمِِب انَئْجِ وَْلوَ يِّبرَ

“Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis 

kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis 

ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, maupun Kami datangkan tambahan 

sebanyak itu pula.” (QS. 18: 109), 

 رٍحُبْأَا ةُعَبْسَ هِدِعْبَ نْمِ هُ ُّدمُيَ رُحْبَْلاوَ مٌالَقْأَا ةٍرَجَشَ نْمِ ضِرْأَ �لْا يفِ امََّنأَا وَْلوَ

مٌيكِحَ زٌيزِعَ هََّللا َّنِإا ۗ هَِّللا تُامَلِكَ تْدَفَِن امَ

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan 

menjadi tinta, ditambahkan kepadanya 7 laut lagi sesudah keringnya, 

niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat-kalimat Allah. 

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 31: 27)

Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa batasan yang 

digambarkan manusia dengan awal dan akhir yaitu   gambaran tulisan dan 

catatan manusia terhadap kalam Allah. Sementara hakikat kalam Allah 

itu berawal dan berakhir. Sesuatu yang terbayangkan, terbatas, terhitung, 

berawal dan berakhir, yaitu   sifat makhluk bukan sifat Khaliq yang qadim 

dengan keqadiman-Nya.

Di dalam memperkuat pendapat di atas, ia mengatakan bahwa 

bacaan (al-quran at al-tilawat) berbeda dengan yang dibaca (al-maqru ‘al-

matluww). Demikian pula tulisan (al-kitabat) berbeda dengan yang ditulis 

(al-maktub). Al-matluww (yang dibaca) hakikatnya yaitu   al-lafdz (ucapan). 

Al-maktub (yang ditulis) hakikatnya yaitu   bentuk huruf (isykal al-hurf). 

Al-mahfudz (yang dihafal) hakikatnya yaitu   bayangan huruf (al-huruf al-

mutakhayyilat). Al-masmu (yang di dengar) yaitu   al-saut (suara).40

Berkaitan dengan pandangannya di atas, ia mengatakan bahwa bacaan, 

tulisan, hafalan dan pendengaran yaitu   merupakan hubungan antara 

pembaca dan yang dibaca, atau penulis dan yang ditulis, atau penghafal 

dan yang dihafal, atau pendengar dan yang didengar. Semua hubungan itu 

yaitu   makhluk.

Untuk memperkuat pendapatnya di atas, ia mengemukakan ”Dan 

al-Qur’an itu telah kami urutkan dengan berangsur-angsur agar kamu 

membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya 

bagian demi bagian.” (QS. 17: 106). Menurutnya ayat itu menginformasikan 

bahwa al-Qur’an diwahyukan, sedangkan Rasulullah membaca dan 

mempelajarinya. Al-Qur’an yang diwahyukan itu yaitu   al-maqru, yaitu 

kalam Allah yang qadim dan merupakan sifat zat-Nya. Sementara itu, al-

qira’at bagi Rasulullah merupakan perbuatan.41

Dalam ayat lain disebutkan “Hai Rasul sampaikan apa yang 

diturunkan kepadamu dan Tuhanmu.” (QS. 5: 67). Menurutnya dalam ayat 

itu Allah memerintahkan Rasul menyampaikan apa yang diwahyukan Allah 

kepadanya. Kemudian Rasul melakukan penyampaian atau pemberitahuan, 

yaitu al-qira’at. Disamping itu, Allah juga mengatakan dalam berbagai ayat 

berikut ini: 

هِِب لَجَعْتَِل كََناسَِل هِِب كْ ِّرحَُت �لَ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an sebab  

hendak cepat-cepat menguasainya (QS. 75: 16), 

 َّمُث نُاطَيْ َّشلا يقِلْيُ امَ هَُّللا خُسَنْيَفَ هِتَِّينِمْأُا يفِ نُاطَيْ َّشلا ىقَْلأَا ٰىَّنمَتَ اذَِإا �َّلِإا

مٌيكِحَ مٌيلِعَ هَُّللاوَ ۗ هِِتايَآا هَُّللا مُكِحْيُ

“Melainkan jika  ia memiliki  sesuatu keinginan, syetan 

pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah 

meng hilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, dan Allah 

menghilangkan ayat-ayat-Nya. (QS. 22: 52). 

Allah sebagai al-ma‘bud (yang disembah) bukanlah al-ibadat bagi 

Rasul. Demikian pula al-tilawat (bacaan) bukanlah zat dari kalam Allah 

yang dibaca (al-matluww) sebab  al-tilawat yaitu   perbuatan Rasul, yaitu 

yang diperintahkan kepadanya (al-ma‘mur biha). Al-Matluww yaitu   kalam 

Allah yang qadim. Allah tidak memerintahkan untuk mengerjakan kalam-

Nya yang qadim sebab  yang demikian diluar kemampuan manusia. Allah 

hanya memerintahkan untuk membaca kalam-Nya sebagaimana perintah 

beribadah lainnya. Oleh sebab  itu, berbeda antara al-qira’at (bacaan) dan 

al-maqru (yang dibaca), seperti dapat dilihat pada ayat “jika  kamu 

membaca al-Qur’an.” (QS. 16: 98); “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan 

kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu.”(QS. 10: 27).

Al-Baqillani mengatakan bahwa perintah membaca merupakan 

perintah untuk berbuat. Perbuatan ini  merupakan sifat bagi yang 

diperintah (al-ma ‘mur), bukan sifat ini  merupakan sifat bagi yang 

memerintahkan (al-amr). Demikian pula perintah beribadah, ibadah 

yaitu   sifat bagi yang mengerjakan ibadah (al-‘abid), bukan bagi Allah 

(al-ma‘bud), sebagaimana diisyaratkan dalam salah satu ayat “Dan kamu 

tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah 

menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.”(QS. 29: 48).

Menurut al-Baqillani, ayat di atas menginformasikan bahwa Nabi 

Muhammad tidak pernah membaca kemudian Allah membuatnya bisa 

membaca. Nabi Muhammad juga sebelumnya tidak pernah menulis 

dan Allah membuatnya bisa menulis. Allah membuat orang lain yang 

menuliskan perkataan-Nya. Berkaitan dengan itu maka Rasulullah 

membaca dan menghafal sebelum umatnya membaca dan menghafal. 

Perbuatan dari tidak dapat membaca dan kemudian dapat membaca yaitu   

sifat bagi Rasul, bukan sifat bagi kalam Allah.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada beberapa macam al-qira’at, 

diantaranya qira’at Ibn Mas’ud dan qira’at Ubay. Namun tidak dapat dikatakan 

bahwa yang dibaca oleh Ibn Mas’ud berbeda dengan yang dibaca oleh Ubay. 

Oleh sebab  itu, al-qira’at yang satu bisa berbeda dengan al-qira’at yang lain. 

Sementara al-Qur’an yang dibaca dengan berbagai macam qira’at (bacaan) 

yaitu   al-Qur’an yang satu, tidak berbeda sebab  perbedaan al-qira’at.

Al-Baqillani juga mengatakan, akal manusia dapat memahami al-

qira’at kadang-kadang baik dan indah didengar, namun  kadang-kadang 

keliru dan salah. Demikian pula tulisan kadang-kadang sistematis, bagus 

dan penulisannya memperoleh pujian. Namun kadang-kadang tidak bagus 

sehingga penulisnya mendapat kritikan. Manusia mendapat pujian dan 

celaan sebab  perbuatannya. Sifat seperti itu tidak ada  pada Tuhan.45

Demikian pula al-kitabat sifat bagi al-katib, dan al-maktub yaitu   

kalam Allah. Al-Kitabat (tulisan) bisa rusak dan hancur, sementara kalam 

Allah yang qadim tidak mengalami kerusakan dan kehancuran. Begitu juga 

dengan hafalan dan pendengaran (al-hifdz wa al-sam’u) kadang-kadang ada 

kadang-kadang tidak ada. Sesuatu yang ada sesudah tidak ada, dan sifat ada 

sesudah ada bukan merupakan sifat bagi Allah, namun  sifat bagi makhluk.

Al-Qur’an yang tertulis di dalam mushaf hakikatnya yaitu   kalam 

Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah “Sesungguhnya al-

Qur’an ini yaitu   bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara.” 

(QS. 56: 77-78). Pernyataan itu diperkuat oleh ayat yang mengatakan bahwa 

kalam Allah yang ada  dalam mushaf kita yaitu   juga yang ada  

di lauh al-mahfudz, sebagaimana dikatakan Allah dalam salah satu ayat 

“Bahkan yang didustakan mereka itu yaitu   al-Qur’an yang mulia yang 

tersimpan di laut al-mahfudz “(QS. 85: 21-22). Dengan kata lain kalam 

Allah yang tertulis di lauh al-mahfudz yaitu   juga al-Qur’an yang tertulis 

dalam mushaf kita, satu tidak berbeda dan tidak berubah meskipun lauh 

al-mahfudz berbeda dengan kertas mushaf kita. Tulisannya berbeda dengan 

tulisan mushaf kita. Pena untuk menulis di lauh al-mahfudz tidak sama 

dengan pena kita. 

Berdasarkan penjelasan ini  di atas, maka menurut al-Baqillani 

pada hakikatnya al-Qur’an itu tersimpan dalam hati, sebagaimana 

diisyaratkan dalam firman Allah “Sesungguhnya al-Qur’an itu yaitu   ayat-

ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. 29: 49).

Diketahui bahwa orang yang menghafal al-Qur’an banyak. Namun 

hati si A bukanlah hati si B. Hafalan si A juga bukanlah hafalan si B. Namun 

yang dihafal si A yaitu   juga yang dihafal si B, sama tidak bertentangan, dan 

tidak berbeda sebab  ia yaitu   sifat Allah swt. yang qadim bukan makhluk.

Dalam pada itu, ia juga berpendapat bahwa kalam Allah dapat didengar 

secara hakiki melalui orang yang membaca-Nya, sebagaimana diisyaratkan 

dalam salah satu ayat “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu 

meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat 

mendengar kalam Allah. (QS. 9: 6).49 Dengan demikian, al-masmu yaitu   

kalam Allah yang qadim, yang telah ada sebelum orang yang mendengarnya 

itu mendengarnya. Manusia dapat mendengar kalam Allah jika Allah 

menghendakinya.

Selanjutnya bahwa kalam Allah dapat didengar melalui tiga ketentuan, 

yaitu: 1) Mendengarnya tanpa perantara namun  dari belakang hijab. Hijab 

disini maksudnya bagi manusia bukan bagi Tuhan, seperti terjadi pada Nabi 

Musa yang mendengar kalam Allah tanpa perantara namun  ada hijab bagi-

Nya untuk melihat Allah; 2) Mendengarnya melalui perantara dan tanpa 

ru’yat, seperti melalui perantara Rasul dan orang yang membaca al-Qur’an. 

Demikianlah seterusnya sampai sekarang kalam Allah didengar secara 

hakiki melalui perantaraan; 3) Mendengarnya tanpa perantara dan tanpa 

hijab, seperti Nabi Muhammad saw. dimalam Mi’raj, sesuai dengan ayat 

”Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah 

Allah wahyukan.” (QS. 53: 10). Menurut al-Baqillani ayat itu menunjukkan 

bahwa wahyu diturunkan ke dalam hati nabi Muhammad dengan jelas 

pemberitahuan (al-i’lam wa al-ifham), bukan dalam arti pemindahan atau 

gerakan (harakat wa al-intiqal).

Kalam Allah tidak memiliki  huruf, suara, dan sesuatu yang 

merupakan sifat manusia sebab  kalam Allah tidak membutuhkan jalan 

keluar (makharij) dan alat (adawat). Dalam pada itu dikatakan qadim yaitu   

tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan tidak berakhir selama-lamanya. 

Disamping itu, yang qadim tidak dimasuki hitungan dan pembatasan. 

Huruf dimulai dari tidak ada kemudian ada. Allah yang membuat huruf-

huruf bersamaan dengan gerakan manusia yang menulisnya sehingga 

tercipta satu demi satu. Kemudian lahirlah bermacam-macam huruf dan 

harakat dalam bentuk terbatas dan terhitung. Semua itu merupakan sifat 

makhluk, dan tidak ada  di dalam kalam Allah.

Huruf saat  ditulis oleh penulis, sebagian lebih dulu dari sebagian 

yang lain. Umpamanya huruf ba ditulis lebih dulu dari al-sin. Demikian pula 

al-sin ditulis sebelum al-min. Kenyataan itu menunjukkan sifat makhluk 

bukan sifat Tuhan. Demikian pula suara, sebagian lebih dulu atau berbeda 

dari yang lain. Semua itu tidak terjadi pada kalam Tuhan.

Jika dikatakan suara dan huruf itu qadim, maka mestilah semua 

perkataan manusia qadim. Mustahil manusia yang baharu memiliki  

perkataan yang qadim. Huruf bukanlah kalam Allah namun  hanya alat bagi 

manusia untuk dapat menulis dan membaca kalam Allah.

Bertitik-tolak dari pemahaman ini , tampaknya al-Baqillani tidak 

memandang bahwa mushaf al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa Arab itu 

sebagai suatu yang qadim. Sebagaimana ia berpendapat, seseorang yang 

membaca mushaf tidak dapat mengatakan bahwa ia berbicara dengan 

kalam Allah, tatapi ia hanya dapat mengatakan bahwa ia membaca kalam 

Allah. Menurutnya pemahaman itu sesuai dengan bunyi ayat ”jika  kamu 

membaca al-Qur’an.” (QS. 16:98). “Maka bacalah yang mudah bagimu dari 

al-Qur’an.” (QS. 73: 20).

Hakekat kalam yaitu   apa yang ada di dalam jiwa, yang kadang-

kadang ditunjukkan dengan perkataan sehingga tercipta bahasa. Berkaitan 

dengan itu ia mengemukakan firman Allah yang mengatakan “Kami tidak 

mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan terang kepada mereka.” (QS. 

14: 4).

Melalui ayat di atas Allah memberitahukan bahwa Dia mengutus 

Nabi Musa as. dengan bahasa Siryani. Allah mengutus Nabi Muhammad 

saw. dengan bahasa Arab. Bahasa Arab berbeda dengan bahasa Ibrani dan 

bahasa Siryani. Demikian pula sebaliknya. namun  kalam Allah yang qadim 

tidak berbeda dan tidak berubah.

Berkaitan dengan itu al-Baqillani mengemukakan ayat yang 

mengatakan “Inilah kitab kami yang menuturkan kepadamu dengan 

benar. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu 

kerjakan.” (QS. 45: 29). Tulisan dapat berbeda sebab  perbedaan pemakaian 

jumlah huruf. Huruf dan tulisan Arab berbeda dengan huruf dan tulisan 

yang lain. Dengan demikian, ucapan bukan hakikat dari kalam. Berkaitan 

dengan pendapatnya itu ia mengemukakan ayat ”Tandanya bagimu, kamu 

tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan 

isyarat.”(QS. 3: 41).55

Sejalan dengan pandangan diatas, maka hakikat kalam yaitu   makna 

yang ada  di dalam jiwa, adakalanya ditunjukkan dengan suara dan 

huruf yang diucapkan, kadang-kadang dengan merangkai huruf-huruf 

dalam tulisan tanpa ada suara. Kadang-kadang dengan isyarat tanpa ada 

suara dan huruf. Maka hakikat kalam yang berdiri sendiri itu bagi makhluk 

memiliki  huruf dan suara. Oleh sebab  itu, kalam manusia yaitu   

makhluk, sebagaimana manusia juga makhluk. namun  kalam Allah yaitu   

seperti Dia (ka Huwa), bukan makhluk. Maksud seperti Dia (ka Huwa) 

yaitu   bahwa sifat-sifat zat-Nya tidak bersifat seperti makhluk, bukan 

berarti bahwa sifat-sifat zat-Nya itu juga merupakan pencipta (Khaliq) 

sebagaimana Dia.

Dalil yang menunjukkan bahwa hakikat kalam yaitu   ada  dalam 

jiwa, yaitu firman Allah: 

 هُُلوسُرََل كََّنِإا مُلَعْيَ هَُّللاوَ  ۗهَِّللا لُوسُرََل كََّنِإا دُهَشَْن اوُلاقَ نَوقُفِانَمُْلا كَءَاجَ اذَِإا

نَوبُذِاكََل نَيقِفِانَمُْلا َّنِإا دُهَشْيَ هَُّللاوَ

“jika  orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: 

Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul 

Allah. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang 

munafik itu benar-benar pendusta.” 

(QS. 63: 1). Ayat diatas menginformasikan bahwa Allah menolak 

pernyataan orang-orang munafik sebab  jiwa dan hati mereka berbohong. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa hakikat kalam ada  dalam hati atau 

batin bukan dalam ucapan.

Berdasarkan berbagai argumen di atas, tampaknya al-Baqillani 

berpendirian bahwa sebab  kalam Allah itu qadim, maka al-Qur’an sebagai 

kalam Allah yaitu   juga qadim. Kalam Allah yaitu   sifat zat-nya, ada sebab  

zat-Nya, bukan sebab  yang lain.

Dengan demikian al-Baqillani sependapat dengan al-Asy’ari dalam 

memandang al-Qur’an atau kalam Tuhan sebagai sifat yang qadim bagi-

Nya. namun  sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah, al-Asy’ari 

memandang kalam sebagai sifat yang berdiri sendiri. Sementara al-Baqillani 

memandangnya sebagai sifat bagi zat-Nya, ada sebab  zat-Nya. Kalau al-

Asy’ari tidak lepas dari pesoalan ta’addud al-qudama, al-Baqillani tidak 

menemukan masalah. Perbedaan keduanya dalam masalah kalam Allah 

terletak pada pemahaman mereka tentang sifat.

B. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu

Sebagaimana masalah-masalah yang telah dibicarakan terdahulu, 

masalah kedudukan dan fungsi akal banyak dibicarakan dalam teologi 

Islam. Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa semua pengetahuan dapat 

diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui 

kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, 

meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui buruknya kezaliman dan 

permusuhan.Oleh sebab  itu, setiap orang wajib berterima kasih kepada 

Allah, wajib mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat sebelum 

turunnya wahyu.59 Kalau demikian, apa gunanya diutus Allah rasul-rasul 

menurut pandangan Mu’tazilah ? Abu al-Huzail dan Abu ‘Ali sepakat 

mengatakan, para rasul yang memberitahukan ketentuan-ketentuan hukum 

seperti waktu melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, waktu 

melaksanakan haji, ketentuan mengenai zakat, puasa di bulan Ramadhan 

itu wajib namun  puasa di dua hari ‘id dan hari-hari tasyri haram, akal tidak 

mampu menentukan yang demikian.

Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat 

baik muda ataupun tua berkewajiban mengetahui Tuhan.61 Berkaitan dengan 

itu, al-Nadzdzam memberikan batasan, yang dimaksud muda yaitu   anak 

yang telah bisa memikirkan bahwa dirinya dan alam semesta ini ada yang 

menciptakan.62 Dengan demikian batasannya bukan berdasarkan umur 

baliq sebagaimana dikenal dalam ilmu fikih.

 Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat 

mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turun-Nya wahyu. Semua 

kewajiban yaitu   berdasarkan wahyu, akal tidak dapat menetapkan 

kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang 

taat dan perbuatan siksa bagi yang berbuat maksiat yaitu   berdasarkan 

wahyu, bukan akal.

 Kewajiban bersyukur atas nikmat Allah juga berdasarkan wahyu, 

bukan akal. Akal juga tidak mampu memperkuat pahala dan siksa. Argumen 

yang dikemukakan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat ini  yaitu   

ayat “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” 

(QS. 17: 15).

 Al-Asy’ari mengatakan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru 

datang manakala telah sempurna akalnya, aqil baliq.65 Pandangannya itu 

juga merupakan pandangan mayoritas ulama fikih dan usul.66

Al-Baqillani juga menolak pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan 

bahwa yang menentukan baik dan buruk yaitu   wahyu, bukan akal. 

Perbuatan dipandang baik jika diperintahkan Allah untuk melakukannya. 

Sebaliknya perbuatan dipandang buruk jika Ia melarang melakukannya. 

Akal manusia saja tidak dapat menentukan baik atau buruk perbuatannya.

Menurutnya semua orang yang berakal tidak pernah sependapat dalam 

menentukan yang baik dan buruk. Tidak tepat jika dikatakan akal dapat 

menentukan sesuatu itu benar atau salah.

Selanjutnya ia membagi baik dan buruk kepada tiga kelompok. 

Pertama, berkaitan dengan kesempurnaan dan kekurangan sifat, seperti 

berilmu itu baik sedangkan bodoh itu buruk. Semua orang setuju bahwa 

yang demikian itu dapat diketahui oleh akal. Kedua, berkaitan dengan 

perbedaan kepentingan, seperti seseorang mati yaitu   baik bagi musuh-

musuhnya, namun  buruk bagi keluarganya. Kenyataan itu juga dapat 

diketahui oleh akal. Ketiga, berkaitan dengan pahala dan siksa. Menurut 

al-Baqillani, informasi mengenai pahala dan siksa hanya diketahui melalui 

wahyu. Wahyulah yang menginformasikan bahwa puasa pada selain bulan 

ramadhan itu baik, namun  puasa diawal bulan Syawal itu buruk. Demikian 

pula berdusta itu tidak selamanya buruk sebab  boleh dilakukan untuk 

menyelamatkan diri di dalam peperangan.69 Dengan demikian akal tidak 

berperan dalam kelompok tiga.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa wahyulah yang menginformasikan 

perbuatan-perbuatan baik seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, 

zakat, sa’i antara al-Safa dan al-Marwah. Demikian pula wahyulah yang 

menginformasikan bahwa berbuat zalim dan meninggalkan shalat itu 

buruk.

Berdasarkan penjelasan di atas tampaknya kelemahan akal di dalam 

pandangan al-Baqillani hanya pada masalah-masalah yang berkaitan 

dengan pahala dan siksa. Di dalam masalah-masalah yang tidak berkaitan 

dengan itu akal tetap berperan. Umpamanya, meskipun akal tidak dapat 

mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat dan mana yang 

mengandung racun, namun  akal dapat mengetahuinya melalui eksperimen.

Al-Baqillani memiliki  pandangan, dalam konteks pahala dan siksa, 

baik dan buruk ditentukan oleh wahyu, seperti membunuh sebagai qisas, dan 

bukan qisas. Salah satu dari perbuatan ini , yaitu membunuh sebagai 

qisas dikatakan baik sebab  sesuai dengan wahyu. Sebaliknya membunuh 

bukan sebagai qisas dikatakan buruk sebab  tidak sesuai dengan wahyu.

Pandangan ini kemudian mendapat tempat dalam pemikiran tokoh 

aliran Asy’ariyah sesudahnya, yaitu Iman al-Haramain al-Juwaini. Al-

Juwaini berpandangan, dalam masalah-masalah diluar syari’at, akal mampu 

menentukan baik atau buruknya sesuatu. namun  pengetahuan tentang baik 

dan buruk dalam syariat atau hukum Tuhan tidak dapat diketahui akal 

manusia kecuali melalui perantaraan wahyu.

Dalam konteks pahala dan siksa, ukuran baik atau buruknya sesuatu 

yaitu   hukum syari’at. jika  syari’at menetapkan sesuatu itu halal 

atau memerintahkan untuk mengerjakannya maka sesuatu itu baik, jika 

sebaliknya berarti sesuatu itu buruk.

Al-Juwaini juga mengemukakan argumen yang mengatakan bahwa 

sekiranya dengan akal saja manusia dapat mengetahui semua yang baik 

dan buruk, maka orang-orang Brahma akan dapat mengetahui bahwa 

membunuh binatang itu tidak selamanya buruk. Sementara sampai 

sekarang mereka masih tetap menganggap setiap membunuh binatang itu 

buruk. Dengan demikian akal saja tidak cukup untuk mengetahui semua 

yang baik dan buruk. Oleh sebab  itu harus ada wahyu.

Kaum Asy’ariyah sepakat, akal tidak dapat menentukan setiap masalah 

yang berkaitan dengan pahala dan siksa sebab  yang demikian berhubungan 

dengan perintah dan larangan Tuhan. namun  dalam masalah-masalah yang 

tidak ada hubungannya dengan pahala dan siksa akal tetap berperan. 

Namun, sebab  pandangan tentang akal dan wahyu erat kaitannya dengan 

pandangan tentang perbuatan manusia tentu porsi yang diberikan kaum 

Asy’ariyah terhadap akal berbeda. Al-Asy’ari, sebab  tetap berpengang pada 

konsep-konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tak dapat tidak, 

fungsi akal baginya sangat kecil. namun , al-Baqillani yang memandang 

dalam pandangannya fungsi akal sangat besar.

A. Iman dan Kufur dalam Pandangan Teologi Islam

Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam yaitu   

masalah “iman dan kufur”. Persoalan ini dimunculkan pertama kali oleh 

kaum Khawarij yang menganggap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi 

Muhammad saw. yang dipandang telah berbuat dosa besar. Mereka tidak 

menerima kebijaksanaan ‘Ali ibn Abi Thalib yang menerima tahkim 

(arbitrase) sebagai penyelesaian persengketaan khilafah dengan Mu’awiyah 

ibn Abi Sofyan. Pada mulanya kaum Khawarij yaitu   pendukung setia 

‘Ali ibn Abi Thalib, kemudian mereka keluar dan membentuk golongan 

tersendiri yang menentang Ali, Mu’awiyah, dan orang-orang yang terlibat 

dalam penerimaan dan pelaksanaan tahkim itu. Mereka memandang bahwa 

‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain, yang 

menerima tahkim (arbitrase) dinilai kafir. Mereka berpegang, sebagaimana 

firman Allah dalam al-Qur’an:

نورفاكلا مه كئلوأاف هللا لزنأا امب مكحي مل نمو

 “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan 

Allah, maka mereka itu yaitu   orang-orang yang kafir.”


Dari ayat inilah kaum Khawarij mengambil semboyang: “la hukma 

illa li Allah’. Kemudian, persoalan politik sebagaimana tergambar di atas, 

akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi seperti siapa 

yang kafir dan siapa yang bukan kafir.2 Berkaitan dengan hal di atas, Ibnu 

Taimiyah pernah mengatakan sebagaimana dikutip oleh Thoshihiko Izutsu 

bahwa perselisihan tentang makna iman dan kufur merupakan perselisihan 

pertama intern umat Islam.

Dalam perkembangan Khawarij, sesudah  mereka pecah menjadi 

beberapa sekte, maka konsep kafir turut pula mengalami perubahan. 

Yang dianggap kafir bukan hanya orang yang tidak menentukan hukum 

berdasarkan al-Qur’an, melainkan juga orang yang berbuat dosa (murtakib 

al-kabair).

Aliran-aliran pemikiran dalam Islam berbeda pendapat apakah iman 

itu pengetahuan atau pembenaran dalam hati saja, atau disertai dengan 

perbuatan. Aliran yang memandang iman itu hanya tasdiq tanpa amal 

membawa pengertian bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. 

Sementara itu, aliran yang memasukkan perbuatan ke dalam iman membawa 

pengertian bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang.

Persoalan orang yang berbuat dosa besar menjadi bahan perbincangan 

dalam aliran-aliran teologi Islam yang muncul belakangan, seperti 

Mu’tazilah, Murjiah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Tak jarang dalam aliran-

aliran ini , ada  lagi nuansa perbedaan pandangan di antara sesama 

pengikutnya sendiri. 

Perbincangan tentang konsep iman dan kufur, menurut Hasan Hanafi, 

dapat dilihat dari istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi 

Muslim, yaitu (1) amal (perbuatan baik atau patuh), (2) ikrar (pengakuan 

dengan lisan), dan (3) tasdiq (membenarkan dengan hati), termasuk 

didalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).4

Dalam buku Garis Pemisah antara Kufur dan Iman dinyatakan bahwa 

kata iman merupakan bentuk kata yang tidak harus ditafsirkan kecuali 

sesuai dengan penafsiran yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Bila 

diperhatikan penggunaan kata iman dalam al-Qur’an, maka akan didapati 

kata iman dalam dua pengertian dasar, yaitu: iman dalam pengertian 

membenarkan (tasdiq), dan (2) iman dengan pengertian ‘amal atau ber-

iltizam dengan ‘amal. Sedangkan kufur di dalam buku yang sama diartikan 

“keluar dan menyimpan dari landasan iman”. Alasannya, sebab  seseorang 

melihat dalil-dalil tauhid dihadapannya dan sesuatu yang mendorongnya 

agar beriman kepada Allah, namun ia tetap berbuat dalam kebatilan dan 

kekufurannya, seolah-olah ia tidak melihat dalil ini .5 

namun , dari beberapa literatur khususnya yang menyinggung 

masalah iman nampaknya dapat disimpulkan bahwa iman itu memiliki  

3 unsur, yaitu:

1. Tasdiq bi al-qalb

2. Ikrar bi al-lisan

3. ‘Amal bi al-arkan

Uraian di bawah ini merupakan pemaparan singkat tentang konsep 

iman dan kufur serta status pelaku dosa besar menurut aliran masing-

masing dalam teologi Islam, sebagai berikut:

1. Aliran Khawarij

Pendirian teologi Khawarij yang berkaitan dengan masalah iman dan 

kufur lebih bertendensi politik. Kebenaran pernyataan ini agaknya tidak 

dapat disangkal sebab  pemunculan persoalan teologi Khawarij diseputar 

masalah tahkim antara kubu ‘Ali dan Mu’awiyah yang menanyakan apakah 

mereka tetap mukmin atau kafir. sebab  kedua belah pihak telah melakukan 

tahkim  kepada manusia, maka mereka telah berbuat dosa besar, barang 

siapa yang melakukan dosa besar -menurut semua sekte Khawarij kecuali 

sekte Najdah- yaitu   kafir dan disiksa dalam neraka selamanya. Kemudian 

jawaban atas pertanyaan ini menjadi dasar pijakan dari teologi ini .

Lebih jauh lagi, Azzariqah sebagai sub-sekte Khawarij yang sangat 

ekstrim menyatakan bahwa pelaku dosa besar seperti dalam kasus tahkim 

di atas, dihukum musyrik. Termasuk siapa saja dari umat Islam yang tidak 

mau bergabung ke dalam barisan mereka, dihukum musyrik dan sebab nya 

boleh dibunuh.Dalam pandangan Azzariqah pelaku-pelaku dosa besar 

ini , telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (kafir 

agama), dan hal itu berarti telah keluar dari Islam. Mereka kekal di dalam 

neraka bersama-sama orang kafir lainnya.

Pandangan sub-sekte Khawarij yang lain, yakni Najdah memberikan 

predikat yang sama dengan kaum Azzariqah, yaitu musyrik. Bagi siapapun 

umat Islam yang terus menerus mengerjakan dosa kecil. Sedangkan dosa 

besar, bila tidak dilakukan secara kontinyu, maka pelakunya tidak dipandang 

musyrik melainkan hanya kafir.10 Inipun berlaku bagi orang Islam yang 

tidak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika melakukan 

dosa besar, maka akan mendapat siksaan, namun  tidak kekal dalam neraka, 

melainkan nantinya akan masuk syurga.

Selanjutnya sub-sekte Khawarij yang sangat moderat yaitu Ibadiyah, 

memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar yaitu   tetap sebagai 

muwahhid, namun  bukan mukmin. Jadi, dia tetap disebut kafir, namun  hanya 

kafir ni’mat bukan kafir millah. Sedangkan di akhirat siksaan yang bakal 

mereka terima ialah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir 

lainnya. Selain itu, pendapatnya tentang orang Islam yang tidak sepaham 

dengan mereka “kafir” bukan “musyrik” dan boleh mengawini mereka.

2. Aliran Murjiah

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham teologi Khawarij. 

Pendapatnya tentang pelaku dosa besar tetap dihukum mukmin yang 

penyelesaiannya ditunda pada hari kiamat. Jadi, nampak bahwa 

pandangannya bertolak belakang dengan Khawarij. Jika Khawarij 

menekankan pada persoalan siapa di antara orang Islam yang telah menjadi 

kafir, maka Murjiah sebaliknya. Diskursus teologis mereka lebih terfokus 

pada masalah iman, yaitu siapa dari orang Islam yang masih mukmin dan 

tidak keluar dari Islam.

Abu Hasan al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murjiah 

berdasarkan pandangan mereka tentang iman sebanyak 12 sub-sekte, yaitu 

(1) al-Jahmiyah, (2) al-Shalihiyah, (3) al-Najjariyah, (4) al-Gailaniyah, 

(5) al-Junusiyah, (6) al-Syimriyah, (7) al-Saubaniyah, (8) ibnu Sabib dan 

pengikutnya, (9) Abu Hanifah dan pengikutnya, (10) al-Tumaniyah, (11) 

al-Marisah, dan (12) al-Karamiyah.14 Sedangkan Harun Nasution dan 

Abu Zahrah membaginya ke dalam dua kelompok utama, yaitu: Murjiah 

moderat (Murjiah Sunnah) dan Murjiah ekstrim (Murjiah Bid’ah).15

Golongan Murjiah ekstrim mengatakan bahwa iman hanya pengakuan 

atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya mengakui dengan 

hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu   Rasul-

Nya. Berangkat dari konsep ini, mereka berpendapat bahwa seseorang tidak 

menjadi kafir sebab  melakukan dosa besar meskipun ia telah menyatakan 

kekufurannya secara lisan.16 Oleh sebab  itu, jika seseorang telah beriman 

dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun ia 

menampakkan tingkah laku seperti Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan 

oleh keyakinan Murjiah bahwa ikrar dan ‘amal bukanlah bagian dari iman.17

Di antara sekte yang beraliran ekstrim yaitu   al-Jahmiyah, al-

Shalihiyyah dan al-Junusiyah. Mereka berpandangan bahwa bahwa iman 

yaitu   tasdiq secara kalbu saja. Dengan kata lain, mengetahui (ma’rifah) 

Allah dengan kalbu bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun 

tindakan.

Selain ketiga sub-sekte ini , Narun Nasution menambahkan bah-

wa al-Ubaidillah, al-Gassaniyah, dan Maqatil ibn Sulaiman juga termasuk 

Murjiah ekstrim. Kredo yang sangat terkenal dari Murjiah ekstrim 

ini yaitu   perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan 

sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa manfaat bagi kekufuran.

Dari pernyataan ini  dapat disimpulkan bahwa kelompok ini 

memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di dalam neraka. Di antara 

alasan yang dipergunakan untuk menguatkan paham ini  dengan 

melalui pendekatan bahasa yaitu   bahwa iman dalam istilah bahasa yaitu   

tasdiq, sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Jadi, 

tasdiq urusan hati, sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkan), 

dan antara keduanya tidak saling mempengaruhi.

Adapun golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa iman itu 

terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan ikrar bi al-lisan. Pembenaran dalam hati 

saja tidak cukup. Demikian juga dengan pengakuan dengan lidah, tidak 

dapat dikatakan iman. Kedua unsur itu merupakan juz’u iman yang tidak 

dapat dipisahkan. Mereka berpandapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah 

menjadi kafir, meskipun ia akan disiksa di neraka secara tidak kekal sesuai 

dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Kendati begitu, masih terbuka 

kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bisa 

saja terbebaskan dari siksa neraka.

Konsep kafir menurut mereka yaitu   orang yang tidak menganut 

paham tasdiq dan ikrar. Golongan ini mementingkan iman daripada 

perbuatan, sebab  perbuatan baginya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap 

mukmin atau tidaknya seseorang. Jadi, golongan ini bertolak belakang 

dengan Khawarij yang mementingkan perbuatan dari iman.

Di antara sub-sekte Murjiah yang dimasukkan ke dalam kategori 

ini oleh Harun Nasution dan Ahmad Amin, yaitu   Abu Hanifah dan 

pengikutnya. Pertimbangannya, ia berpendapat bahwa seorang pelaku 

dosa besar masih tetap mukmin, namun  dosa yang diperbuatnya 

bukan berarti tidak berimplikasi. Andaikata ia masuk neraka sebab  Allah 

menghendakinya dan ia tidak akan kekal di dalamnya. 

Kemudian, baik Murjiah ektrim maupun Murjiah moderat seperti 

al-Jahmiyah, al-Salihiyah, al-Syimriyah, dan al-Gailaniyah, memiliki sikap 

yang sama tentang iman, yang tidak bertambah dan berkurang. Hanya 

saja Abu Hanifah tidak menolak kemungkinan terjadinya fluktuasi iman, 

yakni iman dapat meningkat dan menyusut dari segi keyakinan subjek. 

Selanjutnya Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam sama 

dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian mereka berbeda dari segi 

intensitas amal perbuatannya.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa dari seluruh sub-sekte Murjiah 

yang disebutkan oleh al-Asy’ari, kecuali al-Saubaniyah, al-Tumaniyah, al-

Marisiyah dan al-Karamiyah, memasukkan unsur ma’rifah dalam konsep 

iman mereka. Pengertian ma’rifah di sini yaitu   cinta kepada Tuhan. 

Penyerahan kepada-Nya (al-Mahabbah wa al-Khudu’). Bagi mereka, 

iman yaitu   sesuatu yang terletak di dalam hati manusia dan merupakan 

peristiwa rohaniyah yang terdalam yang terjadi di dalam jiwa manusia. 

Dengan kata lain, ma’rifah yang mereka maksudkan yaitu   ma’rifah bi al-

qalb atau tasdiq.

3. Aliran Mu’tazilah

Munculnya aliran Mu’tazilah dalam kancah pemikiran teologi Islam 

juga berkaitan dengan status pelaku dosa besar, apakah masih beriman 

atau telah menjadi kafir. Hanya bedanya, bila Khawarij mengkafirkan 

pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang 

pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali 

dengan sebutan yang sangat terkenal “al-Manzilah baina al-Manzilatain”,

maksudnya bahwa setiap pelaku dosa besar berada di posisi tengah antara 

posisi mukmin dan kafir. Jika, ia meninggal dunia dan belum sempat 

bertaubat, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka selamanya. Walaupun 

demikian, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan dari pada siksaan 

orang kafir.

Dalam perkembangan lebih lanjut beberapa tokoh Mu’tazilah seperti 

Wasil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid dan lain-lain menjelaskan kandungan 

sebutan itu dengan istilah “fasid” yang bukan mukmin atau kafir, melainkan 

sebagai kategori netral dan independen.

Menurut Mu’tazilah, iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima 

sebagai suatu yang benar apa yang disampaikan orang lain. namun , 

iman yaitu   pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Dengan kata 

lain, orang yang membenarkan (tasdiq) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah 

dan Muhammad yaitu   Rasul-Nya, tapi tidak melaksanakan kewajiban-

kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan mukmin.31 Tegasnya iman 

yaitu   amal. Iman disini tidak berarti pasif yang hanya menerima apa yang 

dikatakan orang lain. Namun, menurutnya iman mesti aktif sebab  akal 

mampu mengetahui kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.

Seluruh pemikir Mu’tazilah tampaknya sepakat menyatakan bahwa 

amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep 

iman,33 bahkan hampir mengidentikkannya. Ini mudah dimengerti, sebab  

konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki 

keterkaitan langsung dengan masalah al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan 

ancaman) yang merupakan salah satu dari pancasila Mu’tazilah.

Dengan demikian, golongan Mu’tazilah tidak sependapat dengan 

Murjiah yang menekankan iman kepada tasdiq, namun  mereka 

sependapat dengan Khawarij yang memandang amal berperan dalam 

 Defenisi iman yang diajukan oleh Wasil ibn Atha’ ialah suatu ungkapan dari budi pekerti 

yang baik. Abu Huzail, Hisyam al-Fuati, Abd ibn Sulaiman, Abu Bakar al-Samm dan 

al-Jubbai, iman yaitu   seluruh perbuatan taat, baik yang merupakan kewajiban maupun 

anjuran dari perintah Allah swt. namun , al-Jubbai tidak mengakui perintah Tuhan 

yang bersifat anjuran sebagai iman. Al-Nazhzham memberikan redaksi yang berbeda 

namun  maksudnya kurang lebih sama, Iman menurutnya yaitu   menghindari dosa-dosa 

besar. Lihat al-Syahrastani, loc. cit.


menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Meskipun demikian, mereka 

berbeda menetapkan posisi orang yang melakukan dosa besar. Khawarij 

menganggapnya kafir atau tidak lagi mukmin, sedangkan bagi Mu’tazilah, 

kafir ditujukan kepada orang yang berhak menerima siksa berat di neraka. 

Oleh sebab  itu, pelaku dosa besar tidak kafir, mereka tidak mendapat 

siksa berat di neraka. Namun, sebab  ia bukan mukmin, ia tidak dapat 

dimasukkan ke dalam surga. Jadi tempatnya yaitu   neraka, atas dasar 

keadilan, ia dimasukkan ke dalam neraka dengan siksa yang lebih ringan.

Aspek penting lain dalam konsep Mu’tazilah tentang iman yaitu   apa 

yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan akal). 

Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalah penting dari amal dalam konsep 

iman mereka. Hal itu agaknya lebih disebabkan pandangan Mu’tazilah yang 

bercorak rasional.

Ma’rifah dalam pandangan Mu’tazilah berimplikasi kepada sikap 

penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi al-taqlid).

Di sini terlihat Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis 

atau penggunaan akal bagi keimanan. Apalagi bagi Mu’tazilah seperti 

dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh 

dengan perantaraan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan 

pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, bagi Mu’tazilah iman 

seseorang baru dapat dikatakan benar jika  berdasarkan pada akal, bukan 

lantaran taklid kepada orang lain.

Pandangan ini , menurut Toshiiko Izutsu, sangat sarat dengan 

konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Sebab, hanya para mutakallim 

(teolog) yang benar-benar menjadi orang yang beriman. Akan halnya 

dengan masyarakat awam yang merupakan jumlah mayoritas umat, bagi 

yang tidak mampu berfikir teologis menurut konsepsi Mu’tazilah, maka 

tidak dipandang memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang benar-benar 

beriman.

Adapun masalah fluktuasi iman yang merupakan persoalan teologi 

yang diwariskan aliran Murjiah tampaknya juga disinggung oleh Mu’tazilah. 

Mereka berpendapat bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. 

sebab  unsur utama iman yaitu   amal, maka amal dapat mempengaruhi 

iman. Dengan demikian, semakin banyak amal kebaikan yang dilakukan 

seseorang, maka akan semakin sempurna imannya, begitu pula sebaiknya.

Akan halnya predikat kafir, menurut Mu’tazilah diberikan kepada 

orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai 

Rasul-Nya yang dinyatakan melalui hati dan lisan.

4. Aliran Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah 

yang memaksakan paham khalq al-Qur’an. Aliran ini didirikan oleh Abu 

Hasan al-Asy’ari yang semula penganut setia Mu’tazilah. Kemudian ia 

meng-counter ajaran-ajaran teologi Mu’tazilah yang dipandang tidak sesuai 

dengan karakteristik dan intelektual mayoritas umat Islam saat itu. Oleh 

sebab  itu, dalam masalah iman dan kufur, Asy’ariyah sangat berbeda secara 

diametral dengan Mu’tazilah.

Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan 

ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui 

wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus 

menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh sebab  itu, iman bagi mereka 

yaitu   tasdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah, 

tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah dibatasi 

pada Tuhan dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Tasdiq merupakan 

pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah Allah. Oleh sebab  itu, 

iman menurut golongan ini hanyalah tasdiq, sebab tasdiq itu merupakan 

hakekat ma’rifah bagi orang yang mengetahui sesuatu itu benar, ia akan 

membenarkan dengan hatinya.

Dalam kaitannya dengan hal ini , al-Syahrastani menulis; ‘al-

Asy’ari berkata: iman secara esensial yaitu   tasdiq bi al-Janan. Sedangkan 

qaul bi al-lisan dan ‘amal bi al-arkan sekedar merupakan furu’ daripada 

iman. Oleh sebab  itu, orang yang membenarkan keesaan Tuhan dengan 

kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang ia 

bawa dari-Nya, maka iman seperti itu merupakan iman yang sahih, dan 

seseorang tidak akan tanggal keimanannya kecuali jika ia mengingkari 

salah satu dari hal-hal ini .

Pendapat di atas menempatkan ketiga unsur iman itu tasdiq, qaul, dan 

‘amal pada posisinya masing-masing di samping mengkonvergensikan dua 

defenisi yang berbeda yang diberikan al-Asy’ari dalam kitabnya, Maqalat, 

al-Ibanah dan al-Luma’ kepada satu titik pertemuan. 

Terhadap pelaku dosa besar, nampaknya al-Asy’ari -mewakili Ahl 

al-Sunnah- menyatakan pendiriannya dengan tidak mengkafirkan orang-

orang yang sujud ke arah Baitullah (Ahl al-Qiblat) walaupun melakukan 

dosa besar seperti berzina, dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap 

sebagai orang yang beriman sekalipun berbuat dosa besar. namun , jika 

ia melakukannya dengan menganggap bahwa perbuatan itu dibolehkan 

(halal) dan tidak menyakini keharamannya, maka orang itu dipandang 

telah kafir.

Adapun balasannya di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar yaitu   jika 

dia meninggal sebelum bertobat menurut al-Asy’ari, maka keputusannya 

tergantung pada kebijaksanaan Tuhan yang Maha Berkehendak Mutlak. 

Jadi, bisa saja dia diampuni dosanya atau mendapat syafaat dari Nabi 

Muhammad saw., sehingga dia terbebas dari siksa neraka. Dan bisa juga 

sebaliknya, disiksa di neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. 

Meskipun begitu, dia tidak akan kekal di neraka seperti orang kafir. sesudah  

penyiksaan di neraka, dia akan dimasukkan di dalam surga.

Dari paparan yang singkat ini jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya 

mengambil posisi yang sama dengan Murjiah, khususnya dalam hal tidak 

mengkafirkan para pelaku dosa besar.

5. Aliran Maturidiyah

Pendirinya yaitu   Abu al-Mansur al-Maturidi. Sebagaimana al-Asy’ari, 

dia juga seorang ulama yang meng-counter paham Mu’tazilah. Namun, 

ironisnya dia yang lebih dikenal dengan golongan Maturidiyah Samarkand 

menggunakan metode berpikir yang banyak memiliki keserupaan dengan 

metode berpikir Mu’tazilah yang sangat mengandalkan akal.

Menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat sampai kepada kewajiban 

mengetahui Tuhan. Jadi, iman lebih dari tasdiq. Iman menurutnya, harus 

lebih aktif yang tidak hanya menerima dan membenarkan apa yang 

disampaikan orang lain. Oleh sebab  itu, tasdiq harus diperoleh dari 

ma’rifah. Adapun tasdiq hasil ma’rifah itu yaitu   tasdiq yang didapatkan 

melalui penalaran akal, dan bukan sekedar berdasarkan wahyu. Maturidiyah 

Samarkand mendasari pandangannya dengan dalil naqli dalam al-Qur’an 

Surat al-Baqarah : 260. 

 ٰىلَبَ لَاقَ  ۖنْمِؤُْت مَْلوَأَا لَاقَ  ٰۖىتَوْمَْلا ييِحُْت فَيْكَ يِنرِأَا ِّبرَ مُيهِارَبِْإا لَاقَ ذِْإاوَ

 لْعَجْا َّمُث كَيَْلِإا َّنهُرْصُفَ رِيَّْطلا نَمِ ةًعَبَرْأَا ذْخُفَ لَاقَ ۖ يبِلْقَ َّنئِمَطْيَِل نْكَِٰلوَ

 زٌيزِعَ هََّللا َّنأَا مْلَعْاوَ ۚ ايًعْسَ كَنَيِتْأايَ َّنهُعُدْا َّمُث اءًزْجُ َّنهُنْمِ لٍبَجَ ِّلُك ٰىلَعَ

مٌيكِحَ

“Dan (ingatlah) saat  Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah 

padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati». Allah 

berfirman: “Belum yakinkah kamu?». Ibrahim menjawab: “Aku telah 

meyakininya, namun  agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)». 

Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu 

cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di 

atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian 

panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.”

Menurut Maturidiyah Samarkand, ayat di atas menjelaskan bahwa 

Nabi Ibrahim meminta Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan 

menghidupkan orang yang sudah mati, dan bukannya ia belum beriman 

melainkan dimaksudkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat 

menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi bagi Maturidiyah Samarkand, iman 

yaitu   tasdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah 

sama sekali bukan merupakan esensi iman melainkan hanya merupakan 

faktor penyebab kehadiran iman.

Dari keterangan ini kita melihat bahwa Maturidiyah Samarkand, 

seperti halnya Mu’tazilah, menyebutkan ma’rifah sebagai sesuatu yang 

berkaitandengan keimanan meskipun pengungkapannya berbeda.

Sedangkan pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara seperti 

yang dijelaskan oleh al-Bazdawi ialah tasdiq bi al-qalb dan tasdiq bi al-lisan. 

Tasdiq bi al-qalb artinya menyakini dan membenarkan dalam hati keesaan 

Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya. Sedangkan tasdiq bi al-lisan yaitu   

mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara verbal. 

Jadi, iman yaitu   tasdiq yang berisikan pembenaran dengan kalbu dan 

pengakuan secara verbal.

Batasan tasdiq yang disampaikan al-Bazdawi di atas, mengandung arti 

bahwa seseorang yang beriman harus membenarkan kekuasaan dan sifat-

sifat Tuhan yang sempurna dan membenarkan nabi-nabi-Nya serta risalah 

yang mereka bawa. Tentang penggunaan akal, berbeda antara Maturidiyah 

Samarkand dengan Maturidiyah Bukhara yang memandang akal tidak 

sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, sebab nya iman tidak bisa 

mengambil bentuk ma’rifah atau ‘amal, namun  merupakan tasdiq. Batasan 

yang diberikan al-Bazdawi tentang iman yaitu   menerima dalam hati 

dengan lidah bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia. Pengakuan secara 

lisan merupakan salah satu rukun iman. Jadi, tasdiq dengan hati dan lisan, 

keduanya menjadi rukun dari iman.

Demikian pula terhadap masalah fluktuasi iman terjadi perbedaan. 

Menurut Maturidiyah Samarkand sesuai dengan komentarnya terhadap al-

Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, mereka tidak mengakui adanya fluktuasi 

iman. Hal ini dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi 

Muhammad saw., yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih 

berat dan lebih besar dari pada iman seluruh manusia. 

Sedangkan Maturidiyah Bukhara berbeda dengan pendapat di atas, 

sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Bazdawi, bahwa iman tidak dapat 

bertambah dan berkurang secara esensi, namun  secara sifat bisa bertambah 

dengan ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi membuat analogi 

bahwa ibadah yang dilakukan sekarang tidak lebih sebagai bayangan dari 

iman. Jika bayangan itu hilang, maka wujud iman yang digambarkan oleh 

bayangan itu tida