n yang mengandung arti khusus,
seperti informasi mengenai Nabi Daud dalam ayat ”Hai manusia kami telah
diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.” (QS.
27: 16). Al-Baqillani berpendapat bahwa kalimat wa utina min kulli syai’in
berarti bahwa diberi sesuatu yang seyogyanya. Tuhan tidak memberinya
semua yang ada dalam arti umum, seperti langit, matahari, bumi, dan bulan.
Demikian pula dengan kisah Bilqis yang diisyaratkan dalam ayat ”Dan dia
dianugerahi segala sesuatu.” (QS. 27: 23). Dapat dipahami bahwa kalimat
min kulli syai’in disitu tidak termasuk al-nubuwwat (kenabian).
Dengan demikian ayat “Allah yaitu pencipta segala sesuatu.” (QS.
13: 16) tidaklah menunjukkan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Allah swt.
terlepas dari makhluk. Dia dinamakan Khaliq dan segala sesuatu selain Dia
yaitu makhluk. Semua sifat-sifat zat-Nya tidak makhluk, seperti ilmu-
Nya, qudrat-Nya, iradat-Nya, kalam-Nya, yaitu al-Qur’an tidak makhluk.
Semua itu dikatakan tidak makhluk sebab semua orang yang berakal
mengetahui bahwa Dia menciptakan segala sesuatu selain zat-Nya dengan
qudrat-Nya, hayat-Nya, ilmu-Nya, dan kalam-Nya. Oleh sebab itu zat-Nya
tidak termasuk perbuatan-Nya. Ayat Allah dalam QS. 13: 16. maksudnya
yaitu selain zat-Nya, Zat-Nya dan semua sifat-Nya yaitu qadim bukan
makhluk.
Al-Baqillani juga berpendapat bahwa ayat “Dan jika kami letakkan
suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya.” (QS. 16:101)
tidaklah menunjukkan al-Qur’an itu makhluk. Menurutnya al-tabdil dan
al-naskh hanya terjadi pada tulisan atau cara membacanya. Al-Qur’an
yang qadim tidak berubah sesuai dengan ayat “Tak seorang pun yang dapat
mengubah kalimat-kalimat Allah.” (QS. 6: 34; 115).
Al-Baqillani membedakan antara al-tilawat (bacaan) dan al-matluww
(yang dibaca). Al-tilawat, menurutnya bisa berubah-ubah, sedangkan al-
matluww tidak. Dalam konteks ini, maka yang dimaksud lenyap dalam
firman Allah ”Dan sesungguhnya jika kami menghendaki niscaya Kami
lenyapkan apa yang telah kami wahyukan kepadamu.” (QS. 17: 86) bukanlah
al-mahfudz, yaitu kalam Allah. Menurutnya yang dicapai lenyap yaitu
hafalan atau tulisannya, sebab hafalan bisa lupa dan tulisan bisa rusak.
Hafalan atau tulisannya yaitu makhluk sebagaimana manusia sendiri
yaitu makhluk. namun al-mahfudz dan al-maktub yaitu kalam Allah yang
qadim tidak berubah dan tidak merupakan makhluk.
Selanjutnya, ia berpandangan bahwa surat-surat dan ayat-ayat yang
ada dalam al-Qur’an bukanlah menunjukkan bahwa ia makhluk,
meskipun ayat merupakan kalimat-kalimat yang terdiri dari huruf dan
suara yang dapat diperkirakan awal dan akhir sebab memiliki batas.
Menurut al-Baqillani, pembatasan, pembagian, huruf, dan suara
kembali kepada bacaan makhluk, seperti telah disinggung di atas, bukan
kalam Allah. Bacaan memerlukan tempat keluar suara, seperti lidah dan
kerongkongan. Allah tidak memerlukan alat seperti lidah, kerongkongan,
suara, maupun huruf. Alat-alat itu kembali kepada manusia yang
memerlukannya di dalam membaca dan menuliskan kalam Allah. Dalam
pada itu manusia tidak mampu menuliskan kalam Allah,39 sebagaimana
diisyaratkan-Nya dalam ayat-ayat berikut:
تُامَلِكَ دَفَنْتَ نْأَا لَبْقَ رُحْبَْلا دَفِنََل يِّبرَ تِامَلِكَِل ادًادَمِ رُحْبَْلا نَاكَ وَْل لُْق
ادًدَمَ هِلِثْمِِب انَئْجِ وَْلوَ يِّبرَ
“Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, maupun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu pula.” (QS. 18: 109),
رٍحُبْأَا ةُعَبْسَ هِدِعْبَ نْمِ هُ ُّدمُيَ رُحْبَْلاوَ مٌالَقْأَا ةٍرَجَشَ نْمِ ضِرْأَ �لْا يفِ امََّنأَا وَْلوَ
مٌيكِحَ زٌيزِعَ هََّللا َّنِإا ۗ هَِّللا تُامَلِكَ تْدَفَِن امَ
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan
menjadi tinta, ditambahkan kepadanya 7 laut lagi sesudah keringnya,
niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat-kalimat Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 31: 27)
Selanjutnya Al-Baqillani mengatakan bahwa batasan yang
digambarkan manusia dengan awal dan akhir yaitu gambaran tulisan dan
catatan manusia terhadap kalam Allah. Sementara hakikat kalam Allah
itu berawal dan berakhir. Sesuatu yang terbayangkan, terbatas, terhitung,
berawal dan berakhir, yaitu sifat makhluk bukan sifat Khaliq yang qadim
dengan keqadiman-Nya.
Di dalam memperkuat pendapat di atas, ia mengatakan bahwa
bacaan (al-quran at al-tilawat) berbeda dengan yang dibaca (al-maqru ‘al-
matluww). Demikian pula tulisan (al-kitabat) berbeda dengan yang ditulis
(al-maktub). Al-matluww (yang dibaca) hakikatnya yaitu al-lafdz (ucapan).
Al-maktub (yang ditulis) hakikatnya yaitu bentuk huruf (isykal al-hurf).
Al-mahfudz (yang dihafal) hakikatnya yaitu bayangan huruf (al-huruf al-
mutakhayyilat). Al-masmu (yang di dengar) yaitu al-saut (suara).40
Berkaitan dengan pandangannya di atas, ia mengatakan bahwa bacaan,
tulisan, hafalan dan pendengaran yaitu merupakan hubungan antara
pembaca dan yang dibaca, atau penulis dan yang ditulis, atau penghafal
dan yang dihafal, atau pendengar dan yang didengar. Semua hubungan itu
yaitu makhluk.
Untuk memperkuat pendapatnya di atas, ia mengemukakan ”Dan
al-Qur’an itu telah kami urutkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya
bagian demi bagian.” (QS. 17: 106). Menurutnya ayat itu menginformasikan
bahwa al-Qur’an diwahyukan, sedangkan Rasulullah membaca dan
mempelajarinya. Al-Qur’an yang diwahyukan itu yaitu al-maqru, yaitu
kalam Allah yang qadim dan merupakan sifat zat-Nya. Sementara itu, al-
qira’at bagi Rasulullah merupakan perbuatan.41
Dalam ayat lain disebutkan “Hai Rasul sampaikan apa yang
diturunkan kepadamu dan Tuhanmu.” (QS. 5: 67). Menurutnya dalam ayat
itu Allah memerintahkan Rasul menyampaikan apa yang diwahyukan Allah
kepadanya. Kemudian Rasul melakukan penyampaian atau pemberitahuan,
yaitu al-qira’at. Disamping itu, Allah juga mengatakan dalam berbagai ayat
berikut ini:
هِِب لَجَعْتَِل كََناسَِل هِِب كْ ِّرحَُت �لَ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an sebab
hendak cepat-cepat menguasainya (QS. 75: 16),
َّمُث نُاطَيْ َّشلا يقِلْيُ امَ هَُّللا خُسَنْيَفَ هِتَِّينِمْأُا يفِ نُاطَيْ َّشلا ىقَْلأَا ٰىَّنمَتَ اذَِإا �َّلِإا
مٌيكِحَ مٌيلِعَ هَُّللاوَ ۗ هِِتايَآا هَُّللا مُكِحْيُ
“Melainkan jika ia memiliki sesuatu keinginan, syetan
pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah
meng hilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, dan Allah
menghilangkan ayat-ayat-Nya. (QS. 22: 52).
Allah sebagai al-ma‘bud (yang disembah) bukanlah al-ibadat bagi
Rasul. Demikian pula al-tilawat (bacaan) bukanlah zat dari kalam Allah
yang dibaca (al-matluww) sebab al-tilawat yaitu perbuatan Rasul, yaitu
yang diperintahkan kepadanya (al-ma‘mur biha). Al-Matluww yaitu kalam
Allah yang qadim. Allah tidak memerintahkan untuk mengerjakan kalam-
Nya yang qadim sebab yang demikian diluar kemampuan manusia. Allah
hanya memerintahkan untuk membaca kalam-Nya sebagaimana perintah
beribadah lainnya. Oleh sebab itu, berbeda antara al-qira’at (bacaan) dan
al-maqru (yang dibaca), seperti dapat dilihat pada ayat “jika kamu
membaca al-Qur’an.” (QS. 16: 98); “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan
kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu.”(QS. 10: 27).
Al-Baqillani mengatakan bahwa perintah membaca merupakan
perintah untuk berbuat. Perbuatan ini merupakan sifat bagi yang
diperintah (al-ma ‘mur), bukan sifat ini merupakan sifat bagi yang
memerintahkan (al-amr). Demikian pula perintah beribadah, ibadah
yaitu sifat bagi yang mengerjakan ibadah (al-‘abid), bukan bagi Allah
(al-ma‘bud), sebagaimana diisyaratkan dalam salah satu ayat “Dan kamu
tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah
menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.”(QS. 29: 48).
Menurut al-Baqillani, ayat di atas menginformasikan bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah membaca kemudian Allah membuatnya bisa
membaca. Nabi Muhammad juga sebelumnya tidak pernah menulis
dan Allah membuatnya bisa menulis. Allah membuat orang lain yang
menuliskan perkataan-Nya. Berkaitan dengan itu maka Rasulullah
membaca dan menghafal sebelum umatnya membaca dan menghafal.
Perbuatan dari tidak dapat membaca dan kemudian dapat membaca yaitu
sifat bagi Rasul, bukan sifat bagi kalam Allah.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada beberapa macam al-qira’at,
diantaranya qira’at Ibn Mas’ud dan qira’at Ubay. Namun tidak dapat dikatakan
bahwa yang dibaca oleh Ibn Mas’ud berbeda dengan yang dibaca oleh Ubay.
Oleh sebab itu, al-qira’at yang satu bisa berbeda dengan al-qira’at yang lain.
Sementara al-Qur’an yang dibaca dengan berbagai macam qira’at (bacaan)
yaitu al-Qur’an yang satu, tidak berbeda sebab perbedaan al-qira’at.
Al-Baqillani juga mengatakan, akal manusia dapat memahami al-
qira’at kadang-kadang baik dan indah didengar, namun kadang-kadang
keliru dan salah. Demikian pula tulisan kadang-kadang sistematis, bagus
dan penulisannya memperoleh pujian. Namun kadang-kadang tidak bagus
sehingga penulisnya mendapat kritikan. Manusia mendapat pujian dan
celaan sebab perbuatannya. Sifat seperti itu tidak ada pada Tuhan.45
Demikian pula al-kitabat sifat bagi al-katib, dan al-maktub yaitu
kalam Allah. Al-Kitabat (tulisan) bisa rusak dan hancur, sementara kalam
Allah yang qadim tidak mengalami kerusakan dan kehancuran. Begitu juga
dengan hafalan dan pendengaran (al-hifdz wa al-sam’u) kadang-kadang ada
kadang-kadang tidak ada. Sesuatu yang ada sesudah tidak ada, dan sifat ada
sesudah ada bukan merupakan sifat bagi Allah, namun sifat bagi makhluk.
Al-Qur’an yang tertulis di dalam mushaf hakikatnya yaitu kalam
Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah “Sesungguhnya al-
Qur’an ini yaitu bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara.”
(QS. 56: 77-78). Pernyataan itu diperkuat oleh ayat yang mengatakan bahwa
kalam Allah yang ada dalam mushaf kita yaitu juga yang ada
di lauh al-mahfudz, sebagaimana dikatakan Allah dalam salah satu ayat
“Bahkan yang didustakan mereka itu yaitu al-Qur’an yang mulia yang
tersimpan di laut al-mahfudz “(QS. 85: 21-22). Dengan kata lain kalam
Allah yang tertulis di lauh al-mahfudz yaitu juga al-Qur’an yang tertulis
dalam mushaf kita, satu tidak berbeda dan tidak berubah meskipun lauh
al-mahfudz berbeda dengan kertas mushaf kita. Tulisannya berbeda dengan
tulisan mushaf kita. Pena untuk menulis di lauh al-mahfudz tidak sama
dengan pena kita.
Berdasarkan penjelasan ini di atas, maka menurut al-Baqillani
pada hakikatnya al-Qur’an itu tersimpan dalam hati, sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah “Sesungguhnya al-Qur’an itu yaitu ayat-
ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. 29: 49).
Diketahui bahwa orang yang menghafal al-Qur’an banyak. Namun
hati si A bukanlah hati si B. Hafalan si A juga bukanlah hafalan si B. Namun
yang dihafal si A yaitu juga yang dihafal si B, sama tidak bertentangan, dan
tidak berbeda sebab ia yaitu sifat Allah swt. yang qadim bukan makhluk.
Dalam pada itu, ia juga berpendapat bahwa kalam Allah dapat didengar
secara hakiki melalui orang yang membaca-Nya, sebagaimana diisyaratkan
dalam salah satu ayat “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar kalam Allah. (QS. 9: 6).49 Dengan demikian, al-masmu yaitu
kalam Allah yang qadim, yang telah ada sebelum orang yang mendengarnya
itu mendengarnya. Manusia dapat mendengar kalam Allah jika Allah
menghendakinya.
Selanjutnya bahwa kalam Allah dapat didengar melalui tiga ketentuan,
yaitu: 1) Mendengarnya tanpa perantara namun dari belakang hijab. Hijab
disini maksudnya bagi manusia bukan bagi Tuhan, seperti terjadi pada Nabi
Musa yang mendengar kalam Allah tanpa perantara namun ada hijab bagi-
Nya untuk melihat Allah; 2) Mendengarnya melalui perantara dan tanpa
ru’yat, seperti melalui perantara Rasul dan orang yang membaca al-Qur’an.
Demikianlah seterusnya sampai sekarang kalam Allah didengar secara
hakiki melalui perantaraan; 3) Mendengarnya tanpa perantara dan tanpa
hijab, seperti Nabi Muhammad saw. dimalam Mi’raj, sesuai dengan ayat
”Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah
Allah wahyukan.” (QS. 53: 10). Menurut al-Baqillani ayat itu menunjukkan
bahwa wahyu diturunkan ke dalam hati nabi Muhammad dengan jelas
pemberitahuan (al-i’lam wa al-ifham), bukan dalam arti pemindahan atau
gerakan (harakat wa al-intiqal).
Kalam Allah tidak memiliki huruf, suara, dan sesuatu yang
merupakan sifat manusia sebab kalam Allah tidak membutuhkan jalan
keluar (makharij) dan alat (adawat). Dalam pada itu dikatakan qadim yaitu
tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan tidak berakhir selama-lamanya.
Disamping itu, yang qadim tidak dimasuki hitungan dan pembatasan.
Huruf dimulai dari tidak ada kemudian ada. Allah yang membuat huruf-
huruf bersamaan dengan gerakan manusia yang menulisnya sehingga
tercipta satu demi satu. Kemudian lahirlah bermacam-macam huruf dan
harakat dalam bentuk terbatas dan terhitung. Semua itu merupakan sifat
makhluk, dan tidak ada di dalam kalam Allah.
Huruf saat ditulis oleh penulis, sebagian lebih dulu dari sebagian
yang lain. Umpamanya huruf ba ditulis lebih dulu dari al-sin. Demikian pula
al-sin ditulis sebelum al-min. Kenyataan itu menunjukkan sifat makhluk
bukan sifat Tuhan. Demikian pula suara, sebagian lebih dulu atau berbeda
dari yang lain. Semua itu tidak terjadi pada kalam Tuhan.
Jika dikatakan suara dan huruf itu qadim, maka mestilah semua
perkataan manusia qadim. Mustahil manusia yang baharu memiliki
perkataan yang qadim. Huruf bukanlah kalam Allah namun hanya alat bagi
manusia untuk dapat menulis dan membaca kalam Allah.
Bertitik-tolak dari pemahaman ini , tampaknya al-Baqillani tidak
memandang bahwa mushaf al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa Arab itu
sebagai suatu yang qadim. Sebagaimana ia berpendapat, seseorang yang
membaca mushaf tidak dapat mengatakan bahwa ia berbicara dengan
kalam Allah, tatapi ia hanya dapat mengatakan bahwa ia membaca kalam
Allah. Menurutnya pemahaman itu sesuai dengan bunyi ayat ”jika kamu
membaca al-Qur’an.” (QS. 16:98). “Maka bacalah yang mudah bagimu dari
al-Qur’an.” (QS. 73: 20).
Hakekat kalam yaitu apa yang ada di dalam jiwa, yang kadang-
kadang ditunjukkan dengan perkataan sehingga tercipta bahasa. Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan firman Allah yang mengatakan “Kami tidak
mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan terang kepada mereka.” (QS.
14: 4).
Melalui ayat di atas Allah memberitahukan bahwa Dia mengutus
Nabi Musa as. dengan bahasa Siryani. Allah mengutus Nabi Muhammad
saw. dengan bahasa Arab. Bahasa Arab berbeda dengan bahasa Ibrani dan
bahasa Siryani. Demikian pula sebaliknya. namun kalam Allah yang qadim
tidak berbeda dan tidak berubah.
Berkaitan dengan itu al-Baqillani mengemukakan ayat yang
mengatakan “Inilah kitab kami yang menuturkan kepadamu dengan
benar. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. 45: 29). Tulisan dapat berbeda sebab perbedaan pemakaian
jumlah huruf. Huruf dan tulisan Arab berbeda dengan huruf dan tulisan
yang lain. Dengan demikian, ucapan bukan hakikat dari kalam. Berkaitan
dengan pendapatnya itu ia mengemukakan ayat ”Tandanya bagimu, kamu
tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan
isyarat.”(QS. 3: 41).55
Sejalan dengan pandangan diatas, maka hakikat kalam yaitu makna
yang ada di dalam jiwa, adakalanya ditunjukkan dengan suara dan
huruf yang diucapkan, kadang-kadang dengan merangkai huruf-huruf
dalam tulisan tanpa ada suara. Kadang-kadang dengan isyarat tanpa ada
suara dan huruf. Maka hakikat kalam yang berdiri sendiri itu bagi makhluk
memiliki huruf dan suara. Oleh sebab itu, kalam manusia yaitu
makhluk, sebagaimana manusia juga makhluk. namun kalam Allah yaitu
seperti Dia (ka Huwa), bukan makhluk. Maksud seperti Dia (ka Huwa)
yaitu bahwa sifat-sifat zat-Nya tidak bersifat seperti makhluk, bukan
berarti bahwa sifat-sifat zat-Nya itu juga merupakan pencipta (Khaliq)
sebagaimana Dia.
Dalil yang menunjukkan bahwa hakikat kalam yaitu ada dalam
jiwa, yaitu firman Allah:
هُُلوسُرََل كََّنِإا مُلَعْيَ هَُّللاوَ ۗهَِّللا لُوسُرََل كََّنِإا دُهَشَْن اوُلاقَ نَوقُفِانَمُْلا كَءَاجَ اذَِإا
نَوبُذِاكََل نَيقِفِانَمُْلا َّنِإا دُهَشْيَ هَُّللاوَ
“jika orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar pendusta.”
(QS. 63: 1). Ayat diatas menginformasikan bahwa Allah menolak
pernyataan orang-orang munafik sebab jiwa dan hati mereka berbohong.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa hakikat kalam ada dalam hati atau
batin bukan dalam ucapan.
Berdasarkan berbagai argumen di atas, tampaknya al-Baqillani
berpendirian bahwa sebab kalam Allah itu qadim, maka al-Qur’an sebagai
kalam Allah yaitu juga qadim. Kalam Allah yaitu sifat zat-nya, ada sebab
zat-Nya, bukan sebab yang lain.
Dengan demikian al-Baqillani sependapat dengan al-Asy’ari dalam
memandang al-Qur’an atau kalam Tuhan sebagai sifat yang qadim bagi-
Nya. namun sebagaimana dalam masalah sifat-sifat Allah, al-Asy’ari
memandang kalam sebagai sifat yang berdiri sendiri. Sementara al-Baqillani
memandangnya sebagai sifat bagi zat-Nya, ada sebab zat-Nya. Kalau al-
Asy’ari tidak lepas dari pesoalan ta’addud al-qudama, al-Baqillani tidak
menemukan masalah. Perbedaan keduanya dalam masalah kalam Allah
terletak pada pemahaman mereka tentang sifat.
B. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Sebagaimana masalah-masalah yang telah dibicarakan terdahulu,
masalah kedudukan dan fungsi akal banyak dibicarakan dalam teologi
Islam. Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa semua pengetahuan dapat
diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya,
meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui buruknya kezaliman dan
permusuhan.Oleh sebab itu, setiap orang wajib berterima kasih kepada
Allah, wajib mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat sebelum
turunnya wahyu.59 Kalau demikian, apa gunanya diutus Allah rasul-rasul
menurut pandangan Mu’tazilah ? Abu al-Huzail dan Abu ‘Ali sepakat
mengatakan, para rasul yang memberitahukan ketentuan-ketentuan hukum
seperti waktu melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam, waktu
melaksanakan haji, ketentuan mengenai zakat, puasa di bulan Ramadhan
itu wajib namun puasa di dua hari ‘id dan hari-hari tasyri haram, akal tidak
mampu menentukan yang demikian.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah berpandangan, orang yang berakal sehat
baik muda ataupun tua berkewajiban mengetahui Tuhan.61 Berkaitan dengan
itu, al-Nadzdzam memberikan batasan, yang dimaksud muda yaitu anak
yang telah bisa memikirkan bahwa dirinya dan alam semesta ini ada yang
menciptakan.62 Dengan demikian batasannya bukan berdasarkan umur
baliq sebagaimana dikenal dalam ilmu fikih.
Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turun-Nya wahyu. Semua
kewajiban yaitu berdasarkan wahyu, akal tidak dapat menetapkan
kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang
taat dan perbuatan siksa bagi yang berbuat maksiat yaitu berdasarkan
wahyu, bukan akal.
Kewajiban bersyukur atas nikmat Allah juga berdasarkan wahyu,
bukan akal. Akal juga tidak mampu memperkuat pahala dan siksa. Argumen
yang dikemukakan al-Asy’ari untuk memperkuat pendapat ini yaitu
ayat “Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
(QS. 17: 15).
Al-Asy’ari mengatakan bahwa kewajiban beriman bagi seseorang baru
datang manakala telah sempurna akalnya, aqil baliq.65 Pandangannya itu
juga merupakan pandangan mayoritas ulama fikih dan usul.66
Al-Baqillani juga menolak pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan
bahwa yang menentukan baik dan buruk yaitu wahyu, bukan akal.
Perbuatan dipandang baik jika diperintahkan Allah untuk melakukannya.
Sebaliknya perbuatan dipandang buruk jika Ia melarang melakukannya.
Akal manusia saja tidak dapat menentukan baik atau buruk perbuatannya.
Menurutnya semua orang yang berakal tidak pernah sependapat dalam
menentukan yang baik dan buruk. Tidak tepat jika dikatakan akal dapat
menentukan sesuatu itu benar atau salah.
Selanjutnya ia membagi baik dan buruk kepada tiga kelompok.
Pertama, berkaitan dengan kesempurnaan dan kekurangan sifat, seperti
berilmu itu baik sedangkan bodoh itu buruk. Semua orang setuju bahwa
yang demikian itu dapat diketahui oleh akal. Kedua, berkaitan dengan
perbedaan kepentingan, seperti seseorang mati yaitu baik bagi musuh-
musuhnya, namun buruk bagi keluarganya. Kenyataan itu juga dapat
diketahui oleh akal. Ketiga, berkaitan dengan pahala dan siksa. Menurut
al-Baqillani, informasi mengenai pahala dan siksa hanya diketahui melalui
wahyu. Wahyulah yang menginformasikan bahwa puasa pada selain bulan
ramadhan itu baik, namun puasa diawal bulan Syawal itu buruk. Demikian
pula berdusta itu tidak selamanya buruk sebab boleh dilakukan untuk
menyelamatkan diri di dalam peperangan.69 Dengan demikian akal tidak
berperan dalam kelompok tiga.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa wahyulah yang menginformasikan
perbuatan-perbuatan baik seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa,
zakat, sa’i antara al-Safa dan al-Marwah. Demikian pula wahyulah yang
menginformasikan bahwa berbuat zalim dan meninggalkan shalat itu
buruk.
Berdasarkan penjelasan di atas tampaknya kelemahan akal di dalam
pandangan al-Baqillani hanya pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan pahala dan siksa. Di dalam masalah-masalah yang tidak berkaitan
dengan itu akal tetap berperan. Umpamanya, meskipun akal tidak dapat
mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat dan mana yang
mengandung racun, namun akal dapat mengetahuinya melalui eksperimen.
Al-Baqillani memiliki pandangan, dalam konteks pahala dan siksa,
baik dan buruk ditentukan oleh wahyu, seperti membunuh sebagai qisas, dan
bukan qisas. Salah satu dari perbuatan ini , yaitu membunuh sebagai
qisas dikatakan baik sebab sesuai dengan wahyu. Sebaliknya membunuh
bukan sebagai qisas dikatakan buruk sebab tidak sesuai dengan wahyu.
Pandangan ini kemudian mendapat tempat dalam pemikiran tokoh
aliran Asy’ariyah sesudahnya, yaitu Iman al-Haramain al-Juwaini. Al-
Juwaini berpandangan, dalam masalah-masalah diluar syari’at, akal mampu
menentukan baik atau buruknya sesuatu. namun pengetahuan tentang baik
dan buruk dalam syariat atau hukum Tuhan tidak dapat diketahui akal
manusia kecuali melalui perantaraan wahyu.
Dalam konteks pahala dan siksa, ukuran baik atau buruknya sesuatu
yaitu hukum syari’at. jika syari’at menetapkan sesuatu itu halal
atau memerintahkan untuk mengerjakannya maka sesuatu itu baik, jika
sebaliknya berarti sesuatu itu buruk.
Al-Juwaini juga mengemukakan argumen yang mengatakan bahwa
sekiranya dengan akal saja manusia dapat mengetahui semua yang baik
dan buruk, maka orang-orang Brahma akan dapat mengetahui bahwa
membunuh binatang itu tidak selamanya buruk. Sementara sampai
sekarang mereka masih tetap menganggap setiap membunuh binatang itu
buruk. Dengan demikian akal saja tidak cukup untuk mengetahui semua
yang baik dan buruk. Oleh sebab itu harus ada wahyu.
Kaum Asy’ariyah sepakat, akal tidak dapat menentukan setiap masalah
yang berkaitan dengan pahala dan siksa sebab yang demikian berhubungan
dengan perintah dan larangan Tuhan. namun dalam masalah-masalah yang
tidak ada hubungannya dengan pahala dan siksa akal tetap berperan.
Namun, sebab pandangan tentang akal dan wahyu erat kaitannya dengan
pandangan tentang perbuatan manusia tentu porsi yang diberikan kaum
Asy’ariyah terhadap akal berbeda. Al-Asy’ari, sebab tetap berpengang pada
konsep-konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tak dapat tidak,
fungsi akal baginya sangat kecil. namun , al-Baqillani yang memandang
dalam pandangannya fungsi akal sangat besar.
A. Iman dan Kufur dalam Pandangan Teologi Islam
Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam yaitu
masalah “iman dan kufur”. Persoalan ini dimunculkan pertama kali oleh
kaum Khawarij yang menganggap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi
Muhammad saw. yang dipandang telah berbuat dosa besar. Mereka tidak
menerima kebijaksanaan ‘Ali ibn Abi Thalib yang menerima tahkim
(arbitrase) sebagai penyelesaian persengketaan khilafah dengan Mu’awiyah
ibn Abi Sofyan. Pada mulanya kaum Khawarij yaitu pendukung setia
‘Ali ibn Abi Thalib, kemudian mereka keluar dan membentuk golongan
tersendiri yang menentang Ali, Mu’awiyah, dan orang-orang yang terlibat
dalam penerimaan dan pelaksanaan tahkim itu. Mereka memandang bahwa
‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain, yang
menerima tahkim (arbitrase) dinilai kafir. Mereka berpegang, sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an:
نورفاكلا مه كئلوأاف هللا لزنأا امب مكحي مل نمو
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu yaitu orang-orang yang kafir.”
Dari ayat inilah kaum Khawarij mengambil semboyang: “la hukma
illa li Allah’. Kemudian, persoalan politik sebagaimana tergambar di atas,
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi seperti siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir.2 Berkaitan dengan hal di atas, Ibnu
Taimiyah pernah mengatakan sebagaimana dikutip oleh Thoshihiko Izutsu
bahwa perselisihan tentang makna iman dan kufur merupakan perselisihan
pertama intern umat Islam.
Dalam perkembangan Khawarij, sesudah mereka pecah menjadi
beberapa sekte, maka konsep kafir turut pula mengalami perubahan.
Yang dianggap kafir bukan hanya orang yang tidak menentukan hukum
berdasarkan al-Qur’an, melainkan juga orang yang berbuat dosa (murtakib
al-kabair).
Aliran-aliran pemikiran dalam Islam berbeda pendapat apakah iman
itu pengetahuan atau pembenaran dalam hati saja, atau disertai dengan
perbuatan. Aliran yang memandang iman itu hanya tasdiq tanpa amal
membawa pengertian bahwa iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Sementara itu, aliran yang memasukkan perbuatan ke dalam iman membawa
pengertian bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang.
Persoalan orang yang berbuat dosa besar menjadi bahan perbincangan
dalam aliran-aliran teologi Islam yang muncul belakangan, seperti
Mu’tazilah, Murjiah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Tak jarang dalam aliran-
aliran ini , ada lagi nuansa perbedaan pandangan di antara sesama
pengikutnya sendiri.
Perbincangan tentang konsep iman dan kufur, menurut Hasan Hanafi,
dapat dilihat dari istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi
Muslim, yaitu (1) amal (perbuatan baik atau patuh), (2) ikrar (pengakuan
dengan lisan), dan (3) tasdiq (membenarkan dengan hati), termasuk
didalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).4
Dalam buku Garis Pemisah antara Kufur dan Iman dinyatakan bahwa
kata iman merupakan bentuk kata yang tidak harus ditafsirkan kecuali
sesuai dengan penafsiran yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Bila
diperhatikan penggunaan kata iman dalam al-Qur’an, maka akan didapati
kata iman dalam dua pengertian dasar, yaitu: iman dalam pengertian
membenarkan (tasdiq), dan (2) iman dengan pengertian ‘amal atau ber-
iltizam dengan ‘amal. Sedangkan kufur di dalam buku yang sama diartikan
“keluar dan menyimpan dari landasan iman”. Alasannya, sebab seseorang
melihat dalil-dalil tauhid dihadapannya dan sesuatu yang mendorongnya
agar beriman kepada Allah, namun ia tetap berbuat dalam kebatilan dan
kekufurannya, seolah-olah ia tidak melihat dalil ini .5
namun , dari beberapa literatur khususnya yang menyinggung
masalah iman nampaknya dapat disimpulkan bahwa iman itu memiliki
3 unsur, yaitu:
1. Tasdiq bi al-qalb
2. Ikrar bi al-lisan
3. ‘Amal bi al-arkan
Uraian di bawah ini merupakan pemaparan singkat tentang konsep
iman dan kufur serta status pelaku dosa besar menurut aliran masing-
masing dalam teologi Islam, sebagai berikut:
1. Aliran Khawarij
Pendirian teologi Khawarij yang berkaitan dengan masalah iman dan
kufur lebih bertendensi politik. Kebenaran pernyataan ini agaknya tidak
dapat disangkal sebab pemunculan persoalan teologi Khawarij diseputar
masalah tahkim antara kubu ‘Ali dan Mu’awiyah yang menanyakan apakah
mereka tetap mukmin atau kafir. sebab kedua belah pihak telah melakukan
tahkim kepada manusia, maka mereka telah berbuat dosa besar, barang
siapa yang melakukan dosa besar -menurut semua sekte Khawarij kecuali
sekte Najdah- yaitu kafir dan disiksa dalam neraka selamanya. Kemudian
jawaban atas pertanyaan ini menjadi dasar pijakan dari teologi ini .
Lebih jauh lagi, Azzariqah sebagai sub-sekte Khawarij yang sangat
ekstrim menyatakan bahwa pelaku dosa besar seperti dalam kasus tahkim
di atas, dihukum musyrik. Termasuk siapa saja dari umat Islam yang tidak
mau bergabung ke dalam barisan mereka, dihukum musyrik dan sebab nya
boleh dibunuh.Dalam pandangan Azzariqah pelaku-pelaku dosa besar
ini , telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (kafir
agama), dan hal itu berarti telah keluar dari Islam. Mereka kekal di dalam
neraka bersama-sama orang kafir lainnya.
Pandangan sub-sekte Khawarij yang lain, yakni Najdah memberikan
predikat yang sama dengan kaum Azzariqah, yaitu musyrik. Bagi siapapun
umat Islam yang terus menerus mengerjakan dosa kecil. Sedangkan dosa
besar, bila tidak dilakukan secara kontinyu, maka pelakunya tidak dipandang
musyrik melainkan hanya kafir.10 Inipun berlaku bagi orang Islam yang
tidak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika melakukan
dosa besar, maka akan mendapat siksaan, namun tidak kekal dalam neraka,
melainkan nantinya akan masuk syurga.
Selanjutnya sub-sekte Khawarij yang sangat moderat yaitu Ibadiyah,
memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar yaitu tetap sebagai
muwahhid, namun bukan mukmin. Jadi, dia tetap disebut kafir, namun hanya
kafir ni’mat bukan kafir millah. Sedangkan di akhirat siksaan yang bakal
mereka terima ialah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir
lainnya. Selain itu, pendapatnya tentang orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka “kafir” bukan “musyrik” dan boleh mengawini mereka.
2. Aliran Murjiah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham teologi Khawarij.
Pendapatnya tentang pelaku dosa besar tetap dihukum mukmin yang
penyelesaiannya ditunda pada hari kiamat. Jadi, nampak bahwa
pandangannya bertolak belakang dengan Khawarij. Jika Khawarij
menekankan pada persoalan siapa di antara orang Islam yang telah menjadi
kafir, maka Murjiah sebaliknya. Diskursus teologis mereka lebih terfokus
pada masalah iman, yaitu siapa dari orang Islam yang masih mukmin dan
tidak keluar dari Islam.
Abu Hasan al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi Murjiah
berdasarkan pandangan mereka tentang iman sebanyak 12 sub-sekte, yaitu
(1) al-Jahmiyah, (2) al-Shalihiyah, (3) al-Najjariyah, (4) al-Gailaniyah,
(5) al-Junusiyah, (6) al-Syimriyah, (7) al-Saubaniyah, (8) ibnu Sabib dan
pengikutnya, (9) Abu Hanifah dan pengikutnya, (10) al-Tumaniyah, (11)
al-Marisah, dan (12) al-Karamiyah.14 Sedangkan Harun Nasution dan
Abu Zahrah membaginya ke dalam dua kelompok utama, yaitu: Murjiah
moderat (Murjiah Sunnah) dan Murjiah ekstrim (Murjiah Bid’ah).15
Golongan Murjiah ekstrim mengatakan bahwa iman hanya pengakuan
atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Artinya mengakui dengan
hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu Rasul-
Nya. Berangkat dari konsep ini, mereka berpendapat bahwa seseorang tidak
menjadi kafir sebab melakukan dosa besar meskipun ia telah menyatakan
kekufurannya secara lisan.16 Oleh sebab itu, jika seseorang telah beriman
dalam hatinya, ia tetap dipandang sebagai seorang mukmin sekalipun ia
menampakkan tingkah laku seperti Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan
oleh keyakinan Murjiah bahwa ikrar dan ‘amal bukanlah bagian dari iman.17
Di antara sekte yang beraliran ekstrim yaitu al-Jahmiyah, al-
Shalihiyyah dan al-Junusiyah. Mereka berpandangan bahwa bahwa iman
yaitu tasdiq secara kalbu saja. Dengan kata lain, mengetahui (ma’rifah)
Allah dengan kalbu bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun
tindakan.
Selain ketiga sub-sekte ini , Narun Nasution menambahkan bah-
wa al-Ubaidillah, al-Gassaniyah, dan Maqatil ibn Sulaiman juga termasuk
Murjiah ekstrim. Kredo yang sangat terkenal dari Murjiah ekstrim
ini yaitu perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan
sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa manfaat bagi kekufuran.
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa kelompok ini
memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di dalam neraka. Di antara
alasan yang dipergunakan untuk menguatkan paham ini dengan
melalui pendekatan bahasa yaitu bahwa iman dalam istilah bahasa yaitu
tasdiq, sedangkan perbuatan dalam bahasa tidak dinamakan tasdiq. Jadi,
tasdiq urusan hati, sedangkan perbuatan urusan anggota tubuh (al-arkan),
dan antara keduanya tidak saling mempengaruhi.
Adapun golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa iman itu
terdiri dari tasdiq bi al-qalb dan ikrar bi al-lisan. Pembenaran dalam hati
saja tidak cukup. Demikian juga dengan pengakuan dengan lidah, tidak
dapat dikatakan iman. Kedua unsur itu merupakan juz’u iman yang tidak
dapat dipisahkan. Mereka berpandapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir, meskipun ia akan disiksa di neraka secara tidak kekal sesuai
dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Kendati begitu, masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bisa
saja terbebaskan dari siksa neraka.
Konsep kafir menurut mereka yaitu orang yang tidak menganut
paham tasdiq dan ikrar. Golongan ini mementingkan iman daripada
perbuatan, sebab perbuatan baginya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap
mukmin atau tidaknya seseorang. Jadi, golongan ini bertolak belakang
dengan Khawarij yang mementingkan perbuatan dari iman.
Di antara sub-sekte Murjiah yang dimasukkan ke dalam kategori
ini oleh Harun Nasution dan Ahmad Amin, yaitu Abu Hanifah dan
pengikutnya. Pertimbangannya, ia berpendapat bahwa seorang pelaku
dosa besar masih tetap mukmin, namun dosa yang diperbuatnya
bukan berarti tidak berimplikasi. Andaikata ia masuk neraka sebab Allah
menghendakinya dan ia tidak akan kekal di dalamnya.
Kemudian, baik Murjiah ektrim maupun Murjiah moderat seperti
al-Jahmiyah, al-Salihiyah, al-Syimriyah, dan al-Gailaniyah, memiliki sikap
yang sama tentang iman, yang tidak bertambah dan berkurang. Hanya
saja Abu Hanifah tidak menolak kemungkinan terjadinya fluktuasi iman,
yakni iman dapat meningkat dan menyusut dari segi keyakinan subjek.
Selanjutnya Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam sama
dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian mereka berbeda dari segi
intensitas amal perbuatannya.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa dari seluruh sub-sekte Murjiah
yang disebutkan oleh al-Asy’ari, kecuali al-Saubaniyah, al-Tumaniyah, al-
Marisiyah dan al-Karamiyah, memasukkan unsur ma’rifah dalam konsep
iman mereka. Pengertian ma’rifah di sini yaitu cinta kepada Tuhan.
Penyerahan kepada-Nya (al-Mahabbah wa al-Khudu’). Bagi mereka,
iman yaitu sesuatu yang terletak di dalam hati manusia dan merupakan
peristiwa rohaniyah yang terdalam yang terjadi di dalam jiwa manusia.
Dengan kata lain, ma’rifah yang mereka maksudkan yaitu ma’rifah bi al-
qalb atau tasdiq.
3. Aliran Mu’tazilah
Munculnya aliran Mu’tazilah dalam kancah pemikiran teologi Islam
juga berkaitan dengan status pelaku dosa besar, apakah masih beriman
atau telah menjadi kafir. Hanya bedanya, bila Khawarij mengkafirkan
pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang
pasti bagi pelaku dosa besar apakah tetap mukmin atau telah kafir, kecuali
dengan sebutan yang sangat terkenal “al-Manzilah baina al-Manzilatain”,
maksudnya bahwa setiap pelaku dosa besar berada di posisi tengah antara
posisi mukmin dan kafir. Jika, ia meninggal dunia dan belum sempat
bertaubat, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka selamanya. Walaupun
demikian, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan dari pada siksaan
orang kafir.
Dalam perkembangan lebih lanjut beberapa tokoh Mu’tazilah seperti
Wasil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid dan lain-lain menjelaskan kandungan
sebutan itu dengan istilah “fasid” yang bukan mukmin atau kafir, melainkan
sebagai kategori netral dan independen.
Menurut Mu’tazilah, iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima
sebagai suatu yang benar apa yang disampaikan orang lain. namun ,
iman yaitu pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Dengan kata
lain, orang yang membenarkan (tasdiq) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad yaitu Rasul-Nya, tapi tidak melaksanakan kewajiban-
kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan mukmin.31 Tegasnya iman
yaitu amal. Iman disini tidak berarti pasif yang hanya menerima apa yang
dikatakan orang lain. Namun, menurutnya iman mesti aktif sebab akal
mampu mengetahui kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.
Seluruh pemikir Mu’tazilah tampaknya sepakat menyatakan bahwa
amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep
iman,33 bahkan hampir mengidentikkannya. Ini mudah dimengerti, sebab
konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki
keterkaitan langsung dengan masalah al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan
ancaman) yang merupakan salah satu dari pancasila Mu’tazilah.
Dengan demikian, golongan Mu’tazilah tidak sependapat dengan
Murjiah yang menekankan iman kepada tasdiq, namun mereka
sependapat dengan Khawarij yang memandang amal berperan dalam
Defenisi iman yang diajukan oleh Wasil ibn Atha’ ialah suatu ungkapan dari budi pekerti
yang baik. Abu Huzail, Hisyam al-Fuati, Abd ibn Sulaiman, Abu Bakar al-Samm dan
al-Jubbai, iman yaitu seluruh perbuatan taat, baik yang merupakan kewajiban maupun
anjuran dari perintah Allah swt. namun , al-Jubbai tidak mengakui perintah Tuhan
yang bersifat anjuran sebagai iman. Al-Nazhzham memberikan redaksi yang berbeda
namun maksudnya kurang lebih sama, Iman menurutnya yaitu menghindari dosa-dosa
besar. Lihat al-Syahrastani, loc. cit.
menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Meskipun demikian, mereka
berbeda menetapkan posisi orang yang melakukan dosa besar. Khawarij
menganggapnya kafir atau tidak lagi mukmin, sedangkan bagi Mu’tazilah,
kafir ditujukan kepada orang yang berhak menerima siksa berat di neraka.
Oleh sebab itu, pelaku dosa besar tidak kafir, mereka tidak mendapat
siksa berat di neraka. Namun, sebab ia bukan mukmin, ia tidak dapat
dimasukkan ke dalam surga. Jadi tempatnya yaitu neraka, atas dasar
keadilan, ia dimasukkan ke dalam neraka dengan siksa yang lebih ringan.
Aspek penting lain dalam konsep Mu’tazilah tentang iman yaitu apa
yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan akal).
Ma’rifah menjadi unsur yang tak kalah penting dari amal dalam konsep
iman mereka. Hal itu agaknya lebih disebabkan pandangan Mu’tazilah yang
bercorak rasional.
Ma’rifah dalam pandangan Mu’tazilah berimplikasi kepada sikap
penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi al-taqlid).
Di sini terlihat Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis
atau penggunaan akal bagi keimanan. Apalagi bagi Mu’tazilah seperti
dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh
dengan perantaraan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, bagi Mu’tazilah iman
seseorang baru dapat dikatakan benar jika berdasarkan pada akal, bukan
lantaran taklid kepada orang lain.
Pandangan ini , menurut Toshiiko Izutsu, sangat sarat dengan
konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal. Sebab, hanya para mutakallim
(teolog) yang benar-benar menjadi orang yang beriman. Akan halnya
dengan masyarakat awam yang merupakan jumlah mayoritas umat, bagi
yang tidak mampu berfikir teologis menurut konsepsi Mu’tazilah, maka
tidak dipandang memenuhi kualifikasi sebagai seorang yang benar-benar
beriman.
Adapun masalah fluktuasi iman yang merupakan persoalan teologi
yang diwariskan aliran Murjiah tampaknya juga disinggung oleh Mu’tazilah.
Mereka berpendapat bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.
sebab unsur utama iman yaitu amal, maka amal dapat mempengaruhi
iman. Dengan demikian, semakin banyak amal kebaikan yang dilakukan
seseorang, maka akan semakin sempurna imannya, begitu pula sebaiknya.
Akan halnya predikat kafir, menurut Mu’tazilah diberikan kepada
orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai
Rasul-Nya yang dinyatakan melalui hati dan lisan.
4. Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah
yang memaksakan paham khalq al-Qur’an. Aliran ini didirikan oleh Abu
Hasan al-Asy’ari yang semula penganut setia Mu’tazilah. Kemudian ia
meng-counter ajaran-ajaran teologi Mu’tazilah yang dipandang tidak sesuai
dengan karakteristik dan intelektual mayoritas umat Islam saat itu. Oleh
sebab itu, dalam masalah iman dan kufur, Asy’ariyah sangat berbeda secara
diametral dengan Mu’tazilah.
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan
ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui
wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh sebab itu, iman bagi mereka
yaitu tasdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah,
tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah dibatasi
pada Tuhan dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Tasdiq merupakan
pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah Allah. Oleh sebab itu,
iman menurut golongan ini hanyalah tasdiq, sebab tasdiq itu merupakan
hakekat ma’rifah bagi orang yang mengetahui sesuatu itu benar, ia akan
membenarkan dengan hatinya.
Dalam kaitannya dengan hal ini , al-Syahrastani menulis; ‘al-
Asy’ari berkata: iman secara esensial yaitu tasdiq bi al-Janan. Sedangkan
qaul bi al-lisan dan ‘amal bi al-arkan sekedar merupakan furu’ daripada
iman. Oleh sebab itu, orang yang membenarkan keesaan Tuhan dengan
kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang ia
bawa dari-Nya, maka iman seperti itu merupakan iman yang sahih, dan
seseorang tidak akan tanggal keimanannya kecuali jika ia mengingkari
salah satu dari hal-hal ini .
Pendapat di atas menempatkan ketiga unsur iman itu tasdiq, qaul, dan
‘amal pada posisinya masing-masing di samping mengkonvergensikan dua
defenisi yang berbeda yang diberikan al-Asy’ari dalam kitabnya, Maqalat,
al-Ibanah dan al-Luma’ kepada satu titik pertemuan.
Terhadap pelaku dosa besar, nampaknya al-Asy’ari -mewakili Ahl
al-Sunnah- menyatakan pendiriannya dengan tidak mengkafirkan orang-
orang yang sujud ke arah Baitullah (Ahl al-Qiblat) walaupun melakukan
dosa besar seperti berzina, dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap
sebagai orang yang beriman sekalipun berbuat dosa besar. namun , jika
ia melakukannya dengan menganggap bahwa perbuatan itu dibolehkan
(halal) dan tidak menyakini keharamannya, maka orang itu dipandang
telah kafir.
Adapun balasannya di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar yaitu jika
dia meninggal sebelum bertobat menurut al-Asy’ari, maka keputusannya
tergantung pada kebijaksanaan Tuhan yang Maha Berkehendak Mutlak.
Jadi, bisa saja dia diampuni dosanya atau mendapat syafaat dari Nabi
Muhammad saw., sehingga dia terbebas dari siksa neraka. Dan bisa juga
sebaliknya, disiksa di neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya.
Meskipun begitu, dia tidak akan kekal di neraka seperti orang kafir. sesudah
penyiksaan di neraka, dia akan dimasukkan di dalam surga.
Dari paparan yang singkat ini jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan Murjiah, khususnya dalam hal tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Pendirinya yaitu Abu al-Mansur al-Maturidi. Sebagaimana al-Asy’ari,
dia juga seorang ulama yang meng-counter paham Mu’tazilah. Namun,
ironisnya dia yang lebih dikenal dengan golongan Maturidiyah Samarkand
menggunakan metode berpikir yang banyak memiliki keserupaan dengan
metode berpikir Mu’tazilah yang sangat mengandalkan akal.
Menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan. Jadi, iman lebih dari tasdiq. Iman menurutnya, harus
lebih aktif yang tidak hanya menerima dan membenarkan apa yang
disampaikan orang lain. Oleh sebab itu, tasdiq harus diperoleh dari
ma’rifah. Adapun tasdiq hasil ma’rifah itu yaitu tasdiq yang didapatkan
melalui penalaran akal, dan bukan sekedar berdasarkan wahyu. Maturidiyah
Samarkand mendasari pandangannya dengan dalil naqli dalam al-Qur’an
Surat al-Baqarah : 260.
ٰىلَبَ لَاقَ ۖنْمِؤُْت مَْلوَأَا لَاقَ ٰۖىتَوْمَْلا ييِحُْت فَيْكَ يِنرِأَا ِّبرَ مُيهِارَبِْإا لَاقَ ذِْإاوَ
لْعَجْا َّمُث كَيَْلِإا َّنهُرْصُفَ رِيَّْطلا نَمِ ةًعَبَرْأَا ذْخُفَ لَاقَ ۖ يبِلْقَ َّنئِمَطْيَِل نْكَِٰلوَ
زٌيزِعَ هََّللا َّنأَا مْلَعْاوَ ۚ ايًعْسَ كَنَيِتْأايَ َّنهُعُدْا َّمُث اءًزْجُ َّنهُنْمِ لٍبَجَ ِّلُك ٰىلَعَ
مٌيكِحَ
“Dan (ingatlah) saat Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah
padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati». Allah
berfirman: “Belum yakinkah kamu?». Ibrahim menjawab: “Aku telah
meyakininya, namun agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)».
Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan di
atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian
panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.”
Menurut Maturidiyah Samarkand, ayat di atas menjelaskan bahwa
Nabi Ibrahim meminta Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang yang sudah mati, dan bukannya ia belum beriman
melainkan dimaksudkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat
menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi bagi Maturidiyah Samarkand, iman
yaitu tasdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah
sama sekali bukan merupakan esensi iman melainkan hanya merupakan
faktor penyebab kehadiran iman.
Dari keterangan ini kita melihat bahwa Maturidiyah Samarkand,
seperti halnya Mu’tazilah, menyebutkan ma’rifah sebagai sesuatu yang
berkaitandengan keimanan meskipun pengungkapannya berbeda.
Sedangkan pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara seperti
yang dijelaskan oleh al-Bazdawi ialah tasdiq bi al-qalb dan tasdiq bi al-lisan.
Tasdiq bi al-qalb artinya menyakini dan membenarkan dalam hati keesaan
Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya. Sedangkan tasdiq bi al-lisan yaitu
mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara verbal.
Jadi, iman yaitu tasdiq yang berisikan pembenaran dengan kalbu dan
pengakuan secara verbal.
Batasan tasdiq yang disampaikan al-Bazdawi di atas, mengandung arti
bahwa seseorang yang beriman harus membenarkan kekuasaan dan sifat-
sifat Tuhan yang sempurna dan membenarkan nabi-nabi-Nya serta risalah
yang mereka bawa. Tentang penggunaan akal, berbeda antara Maturidiyah
Samarkand dengan Maturidiyah Bukhara yang memandang akal tidak
sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, sebab nya iman tidak bisa
mengambil bentuk ma’rifah atau ‘amal, namun merupakan tasdiq. Batasan
yang diberikan al-Bazdawi tentang iman yaitu menerima dalam hati
dengan lidah bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia. Pengakuan secara
lisan merupakan salah satu rukun iman. Jadi, tasdiq dengan hati dan lisan,
keduanya menjadi rukun dari iman.
Demikian pula terhadap masalah fluktuasi iman terjadi perbedaan.
Menurut Maturidiyah Samarkand sesuai dengan komentarnya terhadap al-
Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, mereka tidak mengakui adanya fluktuasi
iman. Hal ini dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap hadis Nabi
Muhammad saw., yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih
berat dan lebih besar dari pada iman seluruh manusia.
Sedangkan Maturidiyah Bukhara berbeda dengan pendapat di atas,
sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Bazdawi, bahwa iman tidak dapat
bertambah dan berkurang secara esensi, namun secara sifat bisa bertambah
dengan ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi membuat analogi
bahwa ibadah yang dilakukan sekarang tidak lebih sebagai bayangan dari
iman. Jika bayangan itu hilang, maka wujud iman yang digambarkan oleh
bayangan itu tida