Senin, 30 Desember 2024

sejarah alquran 16


  Mesir, yang

disalin dengan kiraah Hafsh ‘an Ashim, barangkali telah

menyurutkan minat mereka di bidang ini. Selain itu, kecemasan

akan reaksi keras yang dikemukakan kaum Muslimin terhadap

usaha  semacam itu merupakan faktor lain yang patut

diperhitungkan.

Kajian-kajian al-Quran Lainnya

Kajian-kajian al-Quran paling awal di Barat, yang bermula pada

abad pertengahan dengan serangkaian penerjemahan yang ada 

dalam Cluniac Corpus, pada faktanya, lebih menunjukkan karakter

apolegetik ketimbang karakter ilmiah. Suasana peperangan Salib –

dimana umat Kristiani Barat berhadap-hadapan dengan umat Is-

lam sebagai musuh bebuyutan – yang berlangsung selama beberapa

abad tampaknya yang paling bertanggung jawab terhadap

perkembangan semacam itu. Dalam suasana semacam ini, gagasan

fantastik dan imajiner tentang al-Quran, ataupun tentang

Muhammad dan Islam, ditempa dalam semangat apolegetik yang

tinggi untuk menunjukkan bahwa sekalipun kaum Muslimin secara

politik lebih superior, namun  secara religius mereka memiliki

keyakinan penuh bidah yang sangat inferior.

Seperti ditunjukkan Norman Daniel dan R.W. Southern, para

penulis Kristen abad pertengahan pada umumnya telah melakukan

tantangan yang bersifat apologetik terhadap al-Quran berpijak pada

beberapa  alasan yang didasarkan pada nalar dan kitab suci Kristen.28

Secara konstan mereka menegaskan ketidakbenaran al-Quran, atau

bahkan menuduh Muhammad sebagai Nabi palsu. namun ,

kebanyakan dari argumen yang diajukan didasarkan pada premis-

premis yang tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Gagasan

Barat abad pertengahan tentang al-Quran ini bisa diilustrasikan

dengan berbagai pandangan Ricoldo da Monte Croce (w.1320),

seperti terekspresikan dalam Contra legem Saracenorum

(“Penolakan terhadap Hukum Sarasens”), yang dapat diringkas

sebagai berikut:

(i) Al-Quran tidak lebih dari ramuan bidah-bidah lama yang

ditolak sebelumnya oleh otoritas gereja.

(ii) Al-Quran tidak dapat dipandang sebagai “hukum Ilahi,”

sebab  tidak dinubuwatkan baik oleh Perjanjian Lama

maupun Baru. Lebih jauh, al-Quran dalam beberapa hal

secara eksplisit merujuk kepada Bible. Sedangkan doktrin

tentang pemalsuan Kitab Suci (tahrîf ) oleh kaum Kristiani

dan Yahudi tidak dapat diterima.

(iii) Gaya al-Quran tidak selaras dengan gaya suatu “Kitab

Suci.”

(iv) Tak satupun kandungan al-Quran yang berasal dari Tuhan,

seperti terlihat dalam berbagai kisah fantastik yang tidak

memiliki basis dalam tradisi biblikal. Lebih jauh, beberapa

konsepsi etik al-Quran bertentangan dengan pijakan

keyakinan filosofis.

(v) Al-Quran penuh dengan kontradiksi internal, atau betul-

betul kacau-balau (disorder).

(vi) Reliabilitas al-Quran tidak dibuktikan dengan mukjizat.

Pandangan populer kaum Muslimin bahwa Nabi telah

mendatangkan mukjizat bertentangan dengan kesaksian

al-Quran sendiri.

(vii) Al-Quran menentang nalar (reason). Hal ini terbukti oleh

cara hidup Muhammad yang tidak bermoral, dan  oleh

al-Quran sendiri yang berisi keyakinan-keyakinan yang

hina dan nonsen mengenai hal-hal yang bersifat ilahiyah.

(viii)Al-Quran mengajarkan kekerasan untuk menyebarkan Is-

lam dan mengakui berbagai ketidakadilan, seperti terlihat,

misalnya, dalam surat 

(ix) Teks al-Quran, sebagaimana terlihat dalam sejarahnya,

tidak menunjukkan sebagai suatu kepastian.

(x) Kisah mikraj Muhammad hanya merupakan fiksi dan

rekayasa.

Lebih jauh, Ricoldo juga membahas dalam salah satu bagian

bukunya berbagai kebohongan dan kekeliruan utama yang ada 

di dalam al-Quran, dan  yang dipandang sebagai kesalahpahaman

terhadap konsepsi-konsepsi biblikal atau dogmatik Kristen, seperti

masalah trinitas, penyaliban Isa, dan lainnya.30  Makna penting

gagasan-gagasan Ricoldo terletak dalam kenyataan bahwa gagasan-

gagasannya itu dipandang sebagai contoh klasik pandangan Barat

abad pertengahan yang paling berpengaruh tentang al-Quran.

Sementara bertahannya pengaruh Ricoldo selama beberapa abad

di Barat dapat dilihat pada usaha  Martin Luther menerjemahkan

risalah apologetik Ricoldo ke dalam bahasa Jerman, Verlegung des

Alkorans (“Penolakan atas al-Quran”), pada 1542.

Pada penghujung abad pertengahan, setelah Constantinople

jatuh ke tangan Turki, Perhatian Barat terhadap Islam semakin

bertambah. Nicholas of Cusa (w. 1464) yang menyepakati gagasan

Juan of Segovia tentang perlunya dialog dengan para ulama Islam,

mengusaha kan realiasasi gagasan ini  dengan menggarap suatu

kajian al-Quran, Cribratio Alchoran (“Penyaringan al-Quran”), yang

memanfaat terjemahan al-Quran Cliniac Corpus dan sumber

lainnya. namun , yang digarap Cusa dalam risalah ini  adalah

tema-tema apologi lama seperti yang telah dikemukakan Ricoldo

– salah satu sumber Cusa – dan ia hanya mengungkapkan kembali

dan  memperbarui argumen-argumen lama yang diwarisinya dari

sarjana-sarjana Kristen sebelumnya.31  Sekalipun demikian, karya

Cusa dipandang sebagai representasi periode ini.

Pergerakan Barat dalam mengapresiasi al-Quran berjalan

lambat. Beberapa abad setelah Cusa, belum terlihat pergeseran yang

berarti dari sikap apologetik anti-Islam yang ditunjukkan para

sarjana Barat. Terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Italia yang

diterbitkan Arrivabene pada 1547, misalnya, mencakupkan de

doctrina, de generatione dan chronica sebagai bagian aktual al-

Quran. Bahkan, al-Quran versi Inggris dari terjemahan Perancis

du Ryer, yang digarap Ross pada 1649, masih memperlihatkan ciri

apologetik lama. Dalam pengantar terjemahan itu, Ross

memandang sangat bijaksana untuk melampirkan sanggahan atau

peringatan bagi orang-orang yang ingin mengetahui manfaat atau

bahaya yang bisa didapatkan dari membaca al-Quran. Ia memulai

kata pengantarnya dengan ungkapan: “Pembaca yang baik, setelah

berabad-abad lamanya, akhirnya penipu Arab yang agung (yakni

Muhammad – pen.) kini datang ke Inggris melalui Perancis, dan

Alcoran (al-Quran)-nya atau segudang kesalahan (...) telah belajar

berbahasa Inggris.”

Merosotnya pengaruh gereja di Barat pada abad ke-18, secara

substansial belum mengubah paradigma lama. Bahkan, latar

belakang dari berbagai serangan dan pujian kesarjanaan Barat

terhadap Islam pada dasarnya dimaksudkan untuk menyerang

Kristen. Senjata yang digunakan untuk tujuan ini  masih tetap

bersumber pada gagasan lama abad pertengahan. Sikap F.M.A.

Voltaire terhadap Islam, misalnya, hanya berbeda dari gagasan-

gagasan abad pertengahan dalam dua aspek. Dalam Fanatisme, ou

Mahomet le Prophète, ia lebih menyukai merekayasa legendanya

sendiri – ketimbang memanfaatkan yang sudah ada – yang terlihat

tidak begitu kasar untuk tujuannya, yaitu menyerang seluruh agama

wahyu pada umumnya. Di sisi lain, Voltaire juga telah mengikuti

kecenderungan Sale. Dalam Essai sur les moeurs, ia merasa puas

telah menganalisis keyakinan Islam untuk menunjukkan bahwa

keyakinan ini  diramu dari berbagai anasir yang telah eksis

sebelum Islam. Muhammad dipandang sebagai inventor suatu

agama yang berbagai ajarannya diadopsi dari gagasan yang ada di

sekelilingnya.

namun , selama abad ke-18 dan awal abad ke-19, suatu

kecenderungan mulai menguat dan berusaha  menaksir ulang

gagasan-gagasan Barat abad pertengahan. Kecenderungan ini,

sebagian kecilnya merupakan hasil dari reaksi terhadap Kristen,

dan bagian terbesarnya adalah hasil dari eksplorasi sumber-sumber

Islam yang otentik. Perubahan yang mendasar dalam gagasan ini

pertama kali muncul di Inggris, dimotori oleh Thomas Carlyle.

Dalam kuliah keduanya – “The Hero as Prophet: Mahomet: Is-

lam,” 34  disampaikan pada 8 Mei 1840 – Carlyle menertawakan

gagasan abad pertengahan tentang Muhammad sebagai seorang

penipu (impostor) yang menjadi pendiri salah satu agama besar

dunia.35  Carlyle memang telah berbuat banyak dalam

mempurifikasi sikap Barat terhadap Islam dan nabinya, namun  ia

gagal membangun pijakan teoritis yang absah untuk berbagai

apresiasinya. Hanya sisi praktis kuliahnya, yang mengganyang

gagasan-gagasan lama,  terlihat paling berharga.

Kecenderungan baru yang dimotori Carlyle kemudian marak

dalam berbagai belahan dunia Barat pada paruhan kedua abad ke-

19. Kajian-kajian al-Quran di Barat mulai menapaki sisi akademis

dengan munculnya edisi al-Quran yang disunting Fluegel. namun ,

sebagian besar sarjana Barat yang menekuni kajian al-Quran

mengawali karirnya dengan kajian atas kehidupan Nabi. Orang

pertama yang menerapkan metode kritik-historis terhadap biografi

Muhammad adalah Gustav Weil, seorang orientalis dari Heidel-

berg, dalam karya monumentalnya, Mohammed der Prophet, sein

Leben und seine Lehre (1843), yang sayangnya tidak didasarkan

pada sumber-sumber terbaik. Sekalipun demikian, sumbangan Weil

paling bermanfaat dalam karya ini adalah gagasannya untuk

menjadikan al-Quran sebagai sumber sejarah Nabi.36  Setelah itu,

Weil menyusulkan karyanya tentang al-Quran, Historische-Kritische

Einleitung in der Koran (1844),37  yang antara lain memuat

kajiannya tentang aransemen kronologis al-Quran. Rancangan

kronologi al-Quran versi Weil ini telah dikemukan dalam bab 3.

Sementara sarjana Jerman lainnya, Aloys Sprenger, setelah

menetap selama bertahun-tahun di India dan  menemukan sumber-

sumber biografi Nabi yang lebih baik dan  menyadari arti

pentingnya,  menerbitkan suatu esei  tentang  kehidupan Nabi,

Life of Mohammad (1851), di Allahabad India. Esei ini kemudian

direvisi dan diperluas dalam tiga jilid karyanya, Das Leben und

die Lehre des Mohammad (1861-1865), dimana sekitar 36 halaman

dalam jilid ketiganya dicurahkan pada kajian al-Quran. Hal-hal

yang dikemukakan dalam kajian al-Qurannya adalah perbedaan

antara surat-surat Makkiyah dan Madaniyah, dan  pengumpulan

al-Quran.

Misionaris Inggris, William Muir, yang juga pernah menetap

selama bertahun-tahun di India dan menemukan sumber-sumber

baru tentang kehidupan Nabi, mengikuti jejak Sprenger dalam

menulis biografi Nabi, namun  ia melangkah lebih jauh lagi ke dalam

penanggalan al-Quran. Eseinya tentang sumber-sumber biografi

Muhammad yang terlampir dalam empat jilid karya

monumentalnya, Life of Mahomet (1858-1861), memuat

kesimpulannya tentang kronologi al-Quran. namun , perhatiannya

yang serius terhadap kajian al-Quran dan penanggalan surat-

suratnya terlihat dalam karyanya, The Coran, Its Composition

and Teaching; and the Testimony its bears to the Holy Scripture

(1878).39  Gagasannya tentang penanggalan al-Quran telah

dikemukakan dalam bab 3.

Demikian pula, Theodor Noeldeke mengawali ketertarikannya

kepada al-Quran dengan menulis biografi Nabi dalam dua jilid

kecil karyanya, Das Leben Muhammed’s nach den Quellen

populaer dargestelt (1862). Setelah itu, ia memenangkan hadiah

monograf untuk penulisan sejarah kritis teks al-Quran yang

diadakan oleh Parisian Acadèmie des Inscriptions et Belles-Lettres,

dengan tulisannya dalam bahasa Latin yang membahas tentang

asal-usul dan komposisi al-Quran.  Tulisan ini kemudian direvisi

dan diperluas  ke dalam karyanya, Geschichte des Qorans, yang

terbit pada 1860.

Sejarah selanjutnya karya Noeldeke benar-benar seperti legenda.

saat  penerbit mengusulkan penerbitan edisi kedua karya ini 

pada 1898, Noeldeke – yang semakin menua – tidak sanggup

menyelesaikannya, dan akhirnya diambil alih muridnya, Friedrich

Schwally. Schwally menyelesaikan perevisiannya dengan sangat

lambat, lantaran kecermatan dan berbagai alasan lainnya,40  dan

baru pada 1909 terbit bagian pertamanya “tentang asal-usul al-

Quran” (Ueber den Ursprung des Qorans). Bagian keduanya,

“pengumpulan al-Quran” (Die Samlung des Qorans), juga muncul

dalam tenggang waktu yang lama pada 1919, setelah wafatnya

Schwally pada awal tahun itu, sehingga dalam proses pencetakan

diawasi oleh iparnya, Heinrich Zimmern, dan koleganya, A.

Fischer.41   Sebelum wafat, Schwally telah menulis lebih dari sekadar

pengantar untuk bagian ketiga, “sejarah teks al-Quran” (Geschichte

des Qorantexts). Bagian ini kemudian dilanjutkan penulisannya

oleh Gotthelf Bergstraesser dan diterbitkan secara terpisah dalam

tiga Lieferungen (bagian). Setelah publikasi Lieferung pertama dan

kedua (1926, 1929), beberapa  bahan penting ditemukan yang

mengakibatkan penundaan penerbitan Lieferung ketiga. Namun,

Bergstraesser tiba-tiba wafat pada 1933. Murid Noeldeke lainnya,

Otto Pretzl, kemudian menyelesaikan penulisan bagian ini 

dan baru diterbitkan pada 1938. Dengan demikian, proses

perevisian karya Noeldeke oleh murid-muridnya berjalan selama

60 tahun. namun , proses perevisian yang lama ini sebanding dengan

hasil  yang  dicapai  karya  ini .  Karya  yang  menunjukkan

hasil  kerjasama kesarjanaan yang menganggumkan itu telah

menjadi karya standar terbaik satu-satunya di bidang ini dan telah

menjadi fondasi bagi seluruh kajian kesarjanaan Barat tentang al-

Quran.42  Gagasan Noeldeke dan murid-muridnya tentang asal-usul

dan kronologi al-Quran, dan  lainnya, telah dikemukakan dalam

bab-bab terdahulu.

Prestasi luar biasa yang dicapai Geschichte des Qorans

membuat beberapa  sarjana Barat berlomba-lomba melakukan

penelitian mengenai kronologi al-Quran dan kajian-kajian lain-

nya tentang kitab suci ini . Hubert Grimme, misalnya,

mengungkapkan pandangannya tentang penanggalan al-Quran

dalam jilid kedua karyanya tentang biografi Nabi, Mohammed

(1892-1895). Demikian pula, Hartwig Hirschfeld pada 1902

menerbitkan penelitiannya tentang komposisi dan tafsir al-Quran,

New Researches into the Composition and Exegesis of The Qoran,

yang memuat gagasannya tentang kronologi al-Quran. Sementara

Richard Bell melakukan kajian tentang aransemen kronologis

“bagian-bagian” al-Quran dalam dua jilid terjemahannya, The

Qur’an Translated with a Critical Rearrangement of the Suras

(1937,1939). Senada dengan ini, Règis Blachère, selain membahas

tentang pengumpulan teks al-Quran, keragaman bacaan, sejarah

teks dan bahasan-bahasan lainnya dalam jilid pertama dari tiga

jilid terjemahannya, Le Coran, traduction selon un essai de

reclassement des sourates (1947-1951), juga mengemukakan

pandangan-pandangannya tentang penanggalan al-Quran.

Keseluruhan gagasan Barat tentang penanggalan al-Quran telah

didiskusikan dalam bab 3.

Sementara pada abad ke-20, selain berbagai kajian di atas,

muncul karya-karya kesarjanaan Barat lainnya, baik dalam bentuk

artikel maupun buku, yang membahas berbagai masalah yang

bertalian dengan al-Quran. beberapa  besar karya ini telah

didiskusikan dalam bab-bab yang lalu, sebab  itu tidak perlu

disinggung di sini. Sementara perhatian Barat terhadap sejarah

tafsir al-Quran juga terefleksikan dalam beberapa  buku dan

artikel.43  namun , karya klasik Ignaz Goldziher, Die Richtungen der

islamischen Koranauslegung (1920), masih tetap merupakan karya

standar di bidang ini. Sekalipun banyak penulis Barat telah menulis

semacam pengantar untuk sejarah tafsir, baik sebagai pengantar

untuk suatu buku,44  atau sebagai artikel jurnal,45  dan beberapa

penulis lainnya berusaha  menggarap semacam suplemen untuk

karya Goldziher yang mencakup keseluruhan periode tafsir hingga

periode modern,46  namun tampaknya tidak ada usaha  serius untuk

mengaktualkan, memperluas, atau bahkan menggantikan karya

standar Goldziher. Karya Jane I. Smith, An Historical and Seman-

tic Study of the Term “Islãm” As Seen in a Sequence of Qur’an

Commentaries (1975), sekalipun mencakupkan keseluruhan

periode sejarah tafsir kaum Muslimin, pusat perhatiannya hanya

terbatas pada penafsiran sarjana-sarjana Muslim tertentu terhadap

beberapa  bagian al-Quran yang bertalian dengan terma “islãm.”47

Dengan demikian, karya klasik Goldziher masih tetap tidak

tergantikan, meskipun telah agak ketinggalan dan butuh perevisian.

Yang lebih buruk lagi adalah perhatian kesarjanaan Barat

terhadap studi tentang al-Quran itu sendiri, yakni tafsîr dalam

pengertian sebenarnya. Dalam edisi revisi jilid dua dari Geschichte

des Qorans, Schwally mencatat bahwa karya kesarjanaan Barat

semacam itu belum pernah ditulis. Hasil penafsiran kesarjanaan

Barat umumnya ada  sebagiannya di dalam karya-karya tentang

biografi Nabi, sebagian lagi dalam penelitian-penelitian mandiri

yang beragam, dan sebagian lagi di dalam terjemahan al-Quran

berupa catatan-catatan penjelasan.48  Baru pada 1971 muncul karya

tafsir Paret, Der Koran: Kommentar und Konkordanz, sebagai

lanjutan dari terjemahan al-Qurannya. Sebagaimana terlihat dari

judulnya, karya ini merupakan suatu tafsir sekaligus konkordans,

atau semacam indeks al-Quran. Keduanya dikombinasi secara

berurutan antara satu dengan lainnya dan  disusun menurut

aransemen surat dan ayat. Kommentar hanya akan mengabdi pada

satu tujuan, yakni memaknai bunyi teks al-Quran menurut makna

orisinalnya, seperti dimaksudkan oleh Muhammad dalam berbagai

situasi historisnya. Sedangkan Konkordanz berusaha  sejauh

mungkin memberikan petunjuk silang kepada keseluruhan bagian

al-Quran lainnya untuk suatu makna terkait atau suatu ungkapan

yang muncul dalam suatu ayat tertentu. Petunjuk silang ini secara

sekuensial disusun berdasar   prioritas keterkaitannya: (i) ayat-

ayat yang identik atau hampir identik; (ii) ayat-ayat yang berkaitan

erat, yang disusun berdasar  tingkat kemiripan terhadap ayat

termaksud; dan (iii) ayat-ayat yang dapat dirujuk, namun  tingkat

keterkaitannya terbatas. Kesemuanya ini diberi tanda-tanda tertentu:

titik dua (:) untuk kategori pertama; Garis miring (/) untuk kategori

kedua; dan dalam tanda kurung ( ) untuk kategori ketiga.49  Dengan

demikian, Konkordanz Paret ini merupakan pengungkapan

kembali gagasan munãsabah tradisional Islam secara sangat

signifikan dan dalam alur yang progresif.

Sekalipun karya Paret di atas muncul lebih awal, suatu tafsir

al-Quran yang digarap Richard Bell, sebagai lanjutan dari

terjemahan al-Qurannya, dipersiapkan dan selesai mendahului

karya Paret. namun  karya ini baru diterbitkan pada 1991 – hampir

setengah abad setelah Bell wafat (1952). Sejarah karya terakhir Bell

ini sangat menyedihkan. Setelah publikasi terjemahan al-Qurannya,

Bell menyadari bahwa rekonstruksi dan penyusunan kembali

bagian-bagian al-Quran yang dilakukannya dalam terjemahan

ini  perlu mendapat justifikasi secara rinci, lantaran beberapa 

besar catatan penjelasannya tidak terpublikasikan di dalamnya.

Diperkirakan bahwa catatan-catatan inilah yang dikembangkan

Bell dalam dua jilid tafsirnya, A Commentary on the Qur’an

(1991).50  Karya  Bell ini , setelah diselesaikan penulisannya

dengan susah payah dan melalui berbagai revisi,51  mengendap

puluhan tahun di tangan penerbit Edinburgh University Press.

Pada permulaan dekade 1970-an, pihak penerbit menyerahkan

naskahnya dalam bentuk mikrofilm kepada C.E. Bosworth, berikut

hak penerbitannya. namun  Bosworth melupakan mikrofilm ini ,

dan baru teringat saat  Josef van Ess menyatakan penyesalannya

bahwa Bell tidak pernah menyelesaikan penulisan tafsirnya untuk

menyertai terjemahan al-Qurannya.

Dalam pengantar karyanya, Bell menegaskan bahwa tafsirnya

tidak ditulis dengan tujuan polemik apapun, namun  dimaksudkan

untuk digunakan berdampingan dengan terjemahan al-Qurannya,

alinea per alinea, dan  untuk menjelaskan secara singkat dan

gamblang rekonstruksi dan rearansemen bagian-bagian al-Quran

dalam terjemahan ini . Ia juga menegaskan bahwa dalam

penafsirannya, berbagai pandangan mufassir Muslim ataupun

sarjana Barat sejauh mungkin dikesampingkan, diganti dengan

usaha  pembacaan tanpa prakonsepsi lewat pertolongan kamus,

tata bahasa, dan konkordansi al-Quran.

Eksistensi kedua karya tafsir di atas, demikian pula berbagai

kajian al-Quran Barat lainnya yang telah dikemukakan sejauh ini,

tentunya akan menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam

sendiri. Dalam suatu simposium tentang Islam dan sejarah agama-

agama yang diadakan di Arizona State University pada 1980,

kontroversi tentang keabsahan kajian-kajian keislaman yang

dilakukan oleh outsiders merebak. Dua penulis Muslim ternama,

Muhammad Abdul-Rauf dan Fazlur Rahman, memberikan respon

yang bertolak belakang tentangnya.

Abdul-Rauf, Rektor Universitas Islam Internasional, Kuala

Lumpur, mengungkapkan respon yang penuh kemarahan terhadap

kajian-kajian linguistik dan historis yang dilakukan Barat atas

materi-materi keislaman. Ia menilai kajian-kajian ini  –

menurutnya lebih bersifat historis dan konjektural  –  telah

menjadikan Islam sebagai sasaran analisis kritis yang salah arah,

terkadang keji dan biasanya tidak sensitif. Lebih jauh, ia juga

meletakkan batas-batas wilayah kajian yang tidak boleh dimasuki

outsider, yakni al-Quran dan sunnah Nabi. Kajian-kajian Barat

yang ada selama ini tentang keduanya, menurut Abdul-Rauf, tidak

hanya merupakan suatu serangan terhadap suara hati berjuta-juta

umat Islam, namun  juga menyesatkan dan tidak layak dipandang

sebagai ilmu,

Berseberangan dengan Abdul-Rauf, Rahman – dengan

memanfaatkan refleksi filosofis John Wisdom dalam karyanya,

Other Minds – memandang bahwa kajian Islam yang dilakukan

outsider bisa sama absahnya dengan insider. Kajian outsider  yang

dijalankan dengan tanpa prasangka (open-minded), sensitif,

simpatik dan memiliki kriteria keilmuan yang layak (knowledge-

able), dan  ditujukan untuk pemahaman atau apresiasi intelektual,

bukan hanya merupakan sejenis pengetahuan ilmiah, namun  juga

akan memungkinkan bagi insider dan outsider untuk saling

bertukar-pikiran. Serangan Abdul-Rauf, menurut Rahman, hanya

efektif terhadap non-Muslim yang tidak memenuhi kriteria ini .

Rahman mengakui bahwa merupakan tugas kaum Muslimin untuk

mengungkapkan Islam, namun  – menurutnya – Muslim (insider)

dan non-Muslim (outsider) tentunya dapat bekerja sama pada level

pemahaman intelektual.