. 9/1975 o f marriage and Law No. 41/2004 o f
religious endowment, book two o f the KHI have no other
supporting legislation whilst articles available in the book two are
very limited. Hence, there are many jurisprudential questions left
by the KHI with regards o f Islamic inheritance in negara kita .
K a t a K u n c i : Hukum Kewarisan Islam, Kompilasi Hukum Islam, Kepastian
Hukum
Pendahuluan
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat
Islam di dunia. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan
kehidupan di negara atau daerah itu memberi pengaruh atas hukum
kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan
merupakan hal pokok atau esensial dalam ketentuan waris Islam.
Khusus hukum kewarisan Islam di negara kita , ada beberapa perbedaan
dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua
golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny
(madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang cenderung bersifat
patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.
Dalam perkembangan hukum Islam di negara kita selanjutnya lahirlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui
dengan hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI
yaitu kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta
bahan-bahan lainnya yang merupakan hokum materil PA dalam
meyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Kehadiran KHI
ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran
putusan PA terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya,
dipicu dasar acuan putusannya yaitu pendapat para ulama yang ada
dalam kitab- kitab fiqh yang sering berbeda tentang hal yang sama antara
yang satu dengan lainnya. Sehingga sering terjadi putusan yang berbeda
antara satu PA dengan PA lainnya dalam masalah yang sama.
Tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di
negara kita , yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan
tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Sebab
untuk dapat berlakunya hukum Islam di negara kita , harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan
warga . Dengan lahirnya KHI, semua hakim di lingkungan PA
diarahkam kepada persepsi penegakan hukum yang sama.
KHI terdiri atas tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II
tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan. Pasal-pasal hukum
perkawinan dalam Buku I yang terdiri dari 170 pasal, telah memuat materi
hukum yang rinci. Di samping itu selain Buku I KHI juga telah ada UU lain
yang mengatur tentang perkawinan, sepert i UU no. 1 th. 1974 dan PP no.9
tahun 1975. Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Buku II yang begitu
singkat jika dibandingkan dengan hukum perkawinan. Hukum kewarisan
hanya terdiri dari 23 pasal (pasal 171-193). Hukum perwakafan dalam
Buku III juga singkat, yaitu 15 pasal, namun hukum perwakafan namun
telah ada perundang - undangan lain yang mengaturnya, yaitu PP no. 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dari uraian di atas tampaknya Buku II KHI ini memerlukan penjelasan
lebih lanjut, karena banyak hal -hal yang tampaknya belum jelas dan belum
dijelaskan. Hal ini seperti terlihat dalam perincian kelompok ahli waris,
belum jelas siapa-siapa orangnya, bagaimana bagian masing-masing dan
bagaimana tentang konsep pengganti ahi waris. Hal ini dikaitkan dengan
tujuan dari penyusunan KHI itu sendiri, yaitu untuk terciptanya kesatuan
pemahaman menuju kesatuan dan terciptanya kepastian hukum.
Dalam KHI buku II ini, walaupun singkat namun memuat beberapa
masalah. Selain tentang kewarisan dalam Buku II KHI ini juga diatur tentang
wasiat dan hibah. Adapun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan
yang mengatur tentang kewarisan dan hal-hal yang berhubungan dengan
kewarisan itu , terutama tentang kelompok ahli waris dan bagiannya
masing-masing. Di sini juga akan dibahas tentang konsep pengganti ahli
waris, hal ini karena terkait erat dengan masalah kewarisan.
Pengertian Hukum Kewarisan
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171
ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan yaitu hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing."
Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
2. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
3. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
4. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan
dari pewaris kepada ahli waris
5. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Dari definisi ini juga tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu; pewaris,
ahli waris dan harta warisan atau tirkah.
Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris yaitu
orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasar putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris
dan harta peninggalan."
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan
disyaratkan untuk pewaris yaitu telah meninggal dunia, baik secara hakiki
ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang
syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik
secara hakiki, hukum atau takdiri.
Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan
beragama Islam dan memiliki ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-
syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ):
"Ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris"
Dari pasal 171 ayat (c) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya
penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi itu seakan-
akan yang meninggal itu yaitu ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya
bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan
apakah ahli waris itu disyaratkan hidup atau tidak seperti telah
diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya
pewarisan yaitu hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara
hakiki maupun hukum. Untuk yang kedua ini perlu penjelasan, karena hal
ini akan terkait dengan pasal 185 tentang ahli waris pengganti, apakah
mereka mewaris karena imperatif atau sebagai alternatif untuk mencapai
keadilan seperti ditempuh oleh wasiat wajibah atau secara otomatis dan
seharusnya mereka mendapatkannya seperti pendapat Hazairin.
Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi itu yaitu : "Ahli
waris yaitu orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh
putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris memiliki hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
Selanjutnya ahli waris yang ada pada KHI seperti itu di atas
pada dasarnya sama dengan ahli waris dalam kitab-kitab fiqh Islam, dengan
pengecualian laki-laki dan perempuan yang memerdekakan budak, karena
di negara kita tidak ada perbudakan, namun dimungkinkan ada penambahan
ahli waris pengganti seperti cucu laki-laki maupun perempuan dari anak
perempuan bersamaan anak laki-laki, di mana anak perempuan itu telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris.
Dari pasal-pasal 174, 181, 182 dan 185, dapat dilihat bahwa ahli waris
itu terdiri atas :
1. Ahli waris laki-laki, ialah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan,
nenek dan isteri
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti yaitu
seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki- laki atau
perempuan. Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris yaitu ; memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan; beragama Islam. Tentang
beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172
194
KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam bila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedang
bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya."
4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun
tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti
disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan
menurut penulis hal ini perlu ditegaskan.
A d a n y a H a r t a P e n i n g g a l a n ( T i r k a h ) .
Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan
terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ulama ada
beberapa pendapat. Ada yang menyamakan dengan pengertian maurus (harta
waris) ada juga yang memisahknnya, yaitu bahwa tirkah memiliki arti
yang lebih luas dari maurus. KHI yang merupakan intisari dari berbagai
pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu
seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan yaitu harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya."
sedang tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e)
'"Harta waris yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah dipakai untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat."
Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia yaitu berupa :
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,
termasuk piutang yang akan ditagih.
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat
seseorang meninggal dunia
3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-
masing.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau isteri,
misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal
pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu
suku itu .
195
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan
peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris,
yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan
suami atau isteri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk
keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang si mati dan wasiat.
Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian
tirkah dan maurus .
Halangan Menjadi Ahli Waris
Salah satu syarat terjadinya pewarisan yaitu tidak adanya halangan
pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI
disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:
"Seorang terhalang menjadi ahli waris bila dengan putusan hakim yang
telah memiliki ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".
Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di
atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs menurut para ulama
dalam fiqh mawaris. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW pasal
838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas (onwardig) untuk
menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (wettelijk
erfrecht).
Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut
KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang
terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan
berlainan agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima,
karena di negara kita tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama
walaupun tidak dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang
halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga
mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal
ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan
ahli waris yang harus beragama Islam. Dari kedua ayat ini dapat diketahui
196
bahwa beragama Islam menjadi salah satu syarat bagi pewaris dan ahli waris
agar terjadi pewarisan. Karena beragama Islam menjadi salah satu syarat
terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang
pewarisan. Jadi akan lebih baik bila 173 yang mengatur tentang
terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.
Kelompok Ahli Waris
Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174,
selengkapnya pasal itu berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,
anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
2. bila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan
berdasar sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah
(nasabiyah), dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan
pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak
mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena
di negara kita tidak mengenal perbudakan. Selanjutnya menurut para ulama,
dalam fiqh mawaris pengelompokan ahli waris itu juga terbagi atas tiga
kelompok lain, yaitu: dzawi al furudh, ashabah dan dzawi al arham.
Jadi menurut para ulama dalam fiqh mawaris ada pengelompokan
yang jelas tentang ahli waris dan bagiannya serta cara membagikan bagian
itu kepada masing-masing ahli waris.
Hal ini jika dibandingkan dengan KHI, seperti yang tercantum dalam
pasal 174, tampak bahwa pengelompokan ahli waris dalam fiqh mawaris
lebih jelas dari pengelompokan ahli waris dalam KHI pasal 174. KHI hanya
menyebutkan ahli waris berdasar nasabiyah dan sababiyah saja. Adapun
istilah dzawi al furudh dan ashabah tidak disebutkan dalam pengelompokan
ahli waris tetapi disebutkan dalam pasal tentang aul dan radd ll Sedang
tentang dzawi al arham, KHI tidak pernah menyebut istilah ini, baik dalam
pasal-pasal maupun dalam penjelasannya.
197
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa walaupun KHI tidak menyebutkan
dzawi al furudh dan ashabah dalam pasal yang mengatur tentang
pengelompokan ahli waris namun secara eksplisit KHI mengakuinya, seperti
tercantum dalam pasal 192 dan 193, namun di sini masih belum jelas siapa-
siapa saja yang termasuk dalam kedua kelompok itu dan bagaimana
penentuan bagian masing-masing.
Selanjutnya dalam pasal 174 ini, masih ada beberapa hal yang menjadi
pertanyaan berkenaan dengan pengelompokan ahli waris, seperti kakek dan
nenek, siapakah yang dimaksud? Karena menurut ulama sunni dalam fiqh
mawaris kakek dan nenek itu tidak semua sama. Mereka dibedakan antara
kakek dan nenek yang shahih yaitu termasuk dzawi al furudh atau ashabah
dan kakek dan nenek ghair ash shaih yang termasuk dalam dzawi al arham.
Ataukah KHI tidak membedakan kakek dan nenek seperti penggolongan
sunni itu , seperti yang dianut oleh madzhab Ja'fariyah.
Dari uraian di atas, nampak bahwa KHI tidak menyebut istilah dzawi al
arham. KHI juga tidak mengatur secara jelas apa nama kelompok bagi ahli
waris yang termasuk dzawi al arham itu . Mereka yang termasuk dzawi
al arham ini antara lain yaitu kakek ghair ash shaih seperti ayah dari ibu
pewaris, anak-anak dari saudara perempuan dan saudara perempuan dari
ayah. Dari sini dapat diketahui bahwa KHI belum secara jelas mengatur
pengelompokan ahli waris itu . Demikian juga urutan prioritas
penerimaannya.
Ketidakjelasan pengelompokan itu akan menimbulkan persepsi
yang berbeda dalam penyelesaian kasus kewarisan. Pemahaman ini mungkin
akan berbenturan antara penyelesaian menurut fiqh mawaris sebagaimana
dikemukakan oleh para ulama, dengan yang diinginkan oleh KHI itu sendiri,
atau dengan dugaan bahwa KHI tidak mengenal kelompok dzawi al arham.
Karena dalam madzhab Syi'ah yaitu Ja'fariyah tidak mengenal
pengelompokan ahli waris atas tiga kelompok seperti ulama sunni di atas,
demikian pula kewarisan Islam yang pernah ditawarkan Hazairin.
Beberapa contoh kasus yang mungkin menimbulkan permasalahan
dalam penyelesaiannya antara lain sebagai berikut:
1. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ibu pewaris (ummu ummi al
mayyit) dan kakek, yaitu ayah dari ibu pewaris (Abu ummi al mayyit).
Nenek dalam contoh di atas termasuk dzawi al furudh (jaddat
shahihat), sedang kakek termasuk dzawi al arham (Jadd ghair shahih).
Menurut para ulama dalam fiqh mawaris, harta warisan seluruhnya
jatuh ke tangan nenek melalui jalur r add, sedang kakek tidak mendapat
bagian sama sekali. Dalam hal ini KHI tidak jelas mengaturnya, apakah
198
terhadap kakek yang termasuk dzawi al arham itu KHI memberi
bagian atau tidak.
2. Ahli waris terdiri dari nenek, yaitu ibu dari ayah dari ibu pewaris
(;ummu abi ummi al mayyit) dan cucu laki-laki dari saudara laki-laki
kakek shahih (Ibnu ibni akhi al j add ash shahih). Dalam contoh ini
nenek termasuk dzawi al arham (jaddat ghair ash shahihat), sedang
cucu dari saudara kakek termasuk kelompok ashabah. Jadi harta
warisan jatuh seluruhnya kepada cucu dari saudara kakek itu ,
sedang nenek tidak mendapat bagian. KHI dalam contoh di atas tidak
jelas mengaturnya, sebab tidak menyebutkan secara jelas rincian nenek
dan urutan prioritas penerimaan ahli waris.
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam KHI perlu dipertegas tentang
pengelompokan ahli waris dan perioritas penerimaannya. Hal ini sangat
penting untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam rangka
kesatuan persepsi menuju kejelasan dan kesatuan serta kepastian hukum.
Sebagai acuan pengelompokan itu , bisa dipakai pengelompokan ahli
waris menurut pendapat para ulama dalam fiqh mawaris, terutama dari flqh
sunni yang telah lama dianut oleh umat Islam di negara kita termasuk prioritas
penerimaannya.
Ahli Waris Pengganti
Tentang ahli waris pengganti ini dalam KHI diatur dalam pasal 185
KHI. Adapun bunyi lengkapnya yaitu sebagai berikut:
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dibandingkan si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
itu dalam pasal 173.
2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185
itu merupakan hal yang baru dalam hukum kewarisan Islam di
negara kita . Menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan
terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, bila
ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek.
Dari pengertian ahli waris pengganti yang diberikan oleh Yahya
Harahap itu , menurut penulis KHI tidak memberi batasan yang jelas,
199
maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud pasal 185
ayat (1) itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian ahli waris yang
digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga dari garis
menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu dari pewaris baik
dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa menampung anak-anak
(keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu meninggal dunia dengan
tentunya tetap memperhatikan aturan hijab menghijab antara derajat yang
lebih tinggi dengan yang lebih rendah.
Pengaturan tentang cucu yang terhalang oleh saudara orang tuanya
yang masih hidup inipun telah diatur di negara-negara Islam lainnya. Seperti
Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah, yang diikuti oleh Sudan,
Suriah, Maroko, dan Tunisia dengan beberapa variasi. 15 Menurut Yusuf
Qardhawi, pemerintah Mesir menjadikan wasiat wajibah dalam perundang-
undangan merupakan perpaduan ijtihad iniqa’I (selektif) dan insya’I
(kreatif).
Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian
ayah itu hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya
hidup dalam kecukupan. Anak yatim itu menderita karena kehilangan
ayah dan kehilangan hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat
untuk cucu yatim itu. Tetapi sering pula ia meninggal sebelum
melakukannya, karena itulah Undang-Undang mengambil alih aturan yang
tidak dikenal dalam madzhab-madzhab empat, tetapi menjadi pendapat
beberapa ulama lain.
Kalau negara-negara Islam, seperti Mesir, Suriah, Maroko dan Tunisia
memasukkan cucu atau cucu-cucu dalam kasus itu dengan wasiat
wajibah dengan beberapa variasi. sedang Pakistan dan negara kita
memakai konsep ahli waris pengganti.
Hal yang perlu diperhatikan dari pasal 185 ini yaitu bahwa isi pasal
itu tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. 18 Tetapi
pasal ini bersifat tentatif atau altematf. Hal mana diserahkan kepada
pertimbangan hakim Peradilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini
bisa dilihat dari kata d a p a t dalam pasal itu . Sifat alternatif atau tidak
imperatif dalam pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli
waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa
kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.
Hal lain yang perlu diingat yaitu bahwa bagian ahli waris pengganti
tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti,
bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat
waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak
200
dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli
waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan
dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris
yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.
Penutup
Materi pengaturan hukum kewarisan dalam Buku IIKHI di samping memuat
hal-hal baru dalam pewarisan Islam juga ada kekurang sempumaan dan
tampak masih banyak yang belum jelas, sehingga masih perlu
disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan hukum kewarisan
sebagai bagian dari fiqh negara kita yang juga berdimensi q a n u n (hukum
positif) bagi negara negara kita perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk
diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan warga yang memerlu
kannya. Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang
selama ini dibutuhkan oleh warga muslim negara kita .
201
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di negara kita , Jakarta: Akademi
Pressindo, 1992
Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta :
IN IS ,1998
Ash Shabuni, M. Ali Al Mawarits Fi Syariat al Islamiyyah 'ala Dhau'i
Kitabi Wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979
Coulson, The Succession In The Muslim Famili, Cambridge University
Press, 1967
Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung: Al Ma'arif, 1975
Harahap,Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5
(Jakarta: Al Hikmah, 1992
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an Dan Hadith, Jakarta:
Tintamas, 1982
Mahluf, Husnain Muhammad, Al Mawarits Fi Syari'at al Islamiyyah, Kairo:
Mathbah al Madani, 1976
Qardhawi,Yusuf, Ijtihad Kotemporer, Terjemahan Abu Barzani, Surabaya:
Risalah Guti, 1995
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Dengan Kewarisan KUH Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Rasyid, Raihan A. “Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat Wajibah” dalam
Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: al Hikmah dan Depag RI, 1995
Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Juz III, Semarang: Toha Putra, 1980
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam dan perkembangannya Di Seluruh
Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984
Subekti R. dan Tjitrosudibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982
Zahrah, M. Abu, A t Tirkah wa alMirats, (Kairo : Dar al Fikr,1975),
-------------------_5 jii Mirats 'Inda Ja'fariah, (Kairo: Dar al Fikr, tt),
202
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK negara kita ,
Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang
memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola
secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah
lama hidup dan dilaksanakan dalam warga , yang
pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu
membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK negara kita
DAN
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
203
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Wakaf yaitu perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
2. Wakif yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf yaitu pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara
lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda
miliknya.
4. Nazhir yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf yaitu harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan/atau manfaat jangka panjang serta memiliki nilai ekonomi
menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif.
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW,
yaitu pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk
membuat akta Ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf negara kita yaitu lembaga independen untuk
mengembangkan perwakafan di negara kita .
8. Pemerintah yaitu perangkat Negara Kesatuan Republik negara kita
yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9. Menteri yaitu menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
204
BABU
DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
Wakaf sah bila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.
205
Bagian Keempat
Wakif
Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
Pasal 8
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
hanya dapat melakukan wakaf bila memenuhi persyaratan :
a. dewasa;
b. berakal sehal;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya
dapat melakukan wakaf bila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c
hanya dapat melakukan wakaf bila memenuhi ketentuan badan
hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Nazhir
Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
206
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya
dapat menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya
dapat menjadi Nazhir bila memenuhi persyaratan :
a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. badan hukum negara kita yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kewarga an, dan/atau keagamaan Islam.
Pasal 11
Nazhir memiliki tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf negara kita .
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir
dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
207
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf negara kita .
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf negara kita .
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan bila dimiliki dan
dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
208
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu
harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang bertaku.
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan
PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara
lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh
PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak
dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan
oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang
diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakaf atau kuasanya menyerahkan
surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
209
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
dapat diperuntukan b ag i:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
210
Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf,
Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang
dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat
dilakukan bila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu
pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat,
kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.
Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah
pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak
sebagai kuasa wakaf.
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat,
atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat
memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan
wasiat.
211
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang
dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga keuangan syariah kepada
Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda
wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN
HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi
yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani.
212
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32, PPAIW menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait
lainnya.
Pasal 33
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.
Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir
melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan
Badan Wakaf negara kita atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah
peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara
pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf negara kita mengadministrasikan pendaftaran harta
benda wakaf.
Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf negara kita mengumumkan kepada warga
harta benda wakaf yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan
pengumuman harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.
213
BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dij adikan j aminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan
bila harta benda wakaf yang telah diwakafkan dipakai untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf negara kita .
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar
dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
214
Pasal 43
(1) Rengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan
prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengetolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka dipakai lembaga
penjamin syariah.
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir
dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali
atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf negara kita .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan bila
harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan
peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir
diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain bila Nazhir yang
bersangkutan:
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undanga’n yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau
Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar
ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh
Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan
215
dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang
ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan
Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BADAN WAKAF negara kita
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas
Pasal 47
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional,
dibentuk Badan Wakaf negara kita .
(2) Badan Wakaf negara kita merupakan lembaga independen dalam
melaksanakan tugasnya.
Pasal 48
Badan Wakaf negara kita berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik
negara kita dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 49
(1) Badan Wakaf negara kita memiliki tugas dan wewenang :
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional;
c. Memberi persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e. Memberi persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
216
f. Memberi saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam
penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan
Wakaf negara kita dapat bekeijasama dengan instansi Pemerintah baik
Pusat maupun Daerah, organisasi warga , para ahli, badan
internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan
Wakaf negara kita memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan
Majelis Ulama negara kita .
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 51
(1) Badan Wakaf negara kita terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
unsur pelaksana tugas Badan Wakaf negara kita .
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita .
Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf negara kita
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1
(satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari
dan oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan Badan Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.
217
Bagian Ketiga
Anggota
Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf negara kita terdiri dari paling sedikit 20 (dua
puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari
unsur warga .
Pasal 54
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf negara kita , setiap
calon anggota harus memenuhi persyaratan :
a. warga negara negara kita ;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di
bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang
ekonomi syariah; dan
h. memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan
perwakafan nasional.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan
mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf
negara kita ditetapkan oleh Badan Wakaf negara kita .
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf negara kita diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf negara kita di daerah diangkat
dan diberhentikan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf negara kita .
218
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf negara kita diangkat untuk masa jabatan selama
3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf
negara kita diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf negara kita kepada
Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf negara kita .
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan
Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh
Badan Wakaf negara kita , yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.
Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf negara kita yang berhenti sebelum berakhirnya
masa j abatan diatur oleh Badan Wakaf negara kita .
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita , Pemerintah
wajib membantu biaya operasional.
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, per
syaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata
kerja Badan Wakaf negara kita diatur oleh Badan Wakaf negara kita .
219
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban
Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf negara kita
dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit
independen dan disampaikan kepada Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
kepada warga .
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat.
(2) bila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase,
atau pengadilan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tu juan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri mengikutsertakan Badan Wakaf negara kita .
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan
Majelis Ulama negara kita .
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf negara kita dapat
melakukan kerja sama dengan organisasi warga , para ahli, badan
internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
220
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat memakai akuntan
publik.
Pasal 65
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh
Menteri dan Badan Wakaf negara kita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63,
Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan,
menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf
yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda
wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memakai atau mengambil
fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
221
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan
PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang
wakaf bagi lembaga keuangan syariah;
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan
PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang dilakukan
berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannya Undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai
wakaf menurut Undang-undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.
Pasal 70
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasar Undang-undang ini.
222
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
negara kita .
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK negara kita
ttd..
Dr. H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK negara kita ,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK negara kita TAHUN 2004 NOMOR 159
223
PRESIDEN
REPUBLIK negara kita
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK negara kita
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
L UMUM
Tujuan Negara Kesatuan Republik negara kita sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 antara lain yaitu memajukan kesejahteraan umum. Untuk
mencapai tujuan itu , perlu menggali dan mengembangkan potensi
yang ada dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat
ekonomis.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak
hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi
juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan
pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan warga belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus
harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar
atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.
Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf tetapi karena juga sikap warga yang kurang peduli
atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
224
dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf.
berdasar pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan
hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional perlu dibentuk
Undang-undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai
perwakafan berdasar syariah dan peraturan perundang-undangan
dicantumkan kembali dalam Undang-undang ini, namun ada pula
berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf, Undang-undang ini menegaskan
bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam
akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-undang ini tidak
memisahkan antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan
harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan
wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan warga
umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum
cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah
dan bangunan, menurut Undang-undang ini Wakif dapat pula
mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf
bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intetektual, hak
sewa, dan benda bergerak lainnya.
Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan
melalui Lembaga Keuangan Syariah.
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu badan
hukum negara kita yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang
keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan
syariah.
Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui
Lembaga Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif
untuk mewakafkan uang miliknya.
3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan
sarana ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan
225
kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan
harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi
dalam arti luas sepanjang pengelolaan itu sesuai dengan
prinsip manajemen dan ekonomi Syariah.
4. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak
ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan
kemampuan profesional Nazhir.
5. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf
negara kita yang dapat memiliki perwakafan di daerah sesuai
dengan kebutuhan. Badan itu merupakan lembaga independen
yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan
pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional, Memberi persetujuan atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf, dan Memberi saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan
hukum yaitu perseorangan warga negara negara kita atau warga
negara asing, organisasi negara kita atau organisasi asing dan/atau
badan hukum negara kita atau badan hukum asing.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan perseorangan, organisasi dan/atau badan
hukum yaitu perseorangan warga negara negara kita , organisasi
negara kita dan/atau badan hukum negara kita .
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Dalam rangka pendaftaran Nazhir, Menteri harus proaktif untuk
mendaftar para Nazhir yang sudah ada dalam warga .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud benda bergerak lain sesuai dengan syariah
dan peraturan yang berlaku, antara lain mushaf, buku, dan
kitab.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Penyerahan surat-surat atau dokumen kepemilikan atas harta benda
wakaf oleh Wakif atau kuasanya kepada PPAIW dimaksudkan agar
diperoleh kepastian keberadaan harta benda wakaf dan kebenaran
adanya hak Wakif atas harta benda wakaf dimaksud.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pengadilan yaitu pengadilan agama.
Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan antara lain para
ahli waris, saksi, dan pihak penerima peruntukan wakaf.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah yaitu badan
hukum negara kita yang bergerak di bidang keuangan syariah.
Pasal 29
Ayat (1)
Pernyataan kehendak Wakif secara tertulis itu dilakukan
kepada Lembaga Keuangan Syariah dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Yang dimaksud dengan bukti pendaftaran harta benda wakaf yaitu
surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang
berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan
tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Instansi yang berwenang di bidang wakaf tanah yaitu Badan
Pertanahan Nasional.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yaitu instansi yang terkait dengan tugas pokoknya.
Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain
uang yang tidak terdaftar ( u n r e g i s t e r e d g o o d s ) yaitu Badan Wakaf
negara kita .
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan mengumumkan harta benda wakaf yaitu
dengan memasukan data tentang harta benda wakaf dalam register
umum. Dengan dimasukannya data tentang harta benda wakaf dalam
register umum, maka terpenuhi asas publisitas dari wakaf sehingga
warga dapat mengakses data itu .
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan
secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi,
penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis,
pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi,
pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar
swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun
sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan
dengan syariah.
Yang dimaksud dengan lembaga penjamin syariah yaitu badan
hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas suatu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain melalui skim
asuransi syariah atau skim lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Pembentukan perwakilan Badan Wakaf negara kita di daerah
dilakukan setelah Badan Wakaf negara kita berkonsultasi dengan
pemerintah daerah setempat.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mediasi yaitu penyelesaian sengketa
dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil
menyelesaikan sengketa, maka sengketa itu dapat dibawa
kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase
syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa
itu dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah
syar'iyah.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBAR