Dilihat dari atas, gugus kepulauan Nusantara, panggung bagi banyak hal yang akan dituturkan selanjutnya dalam buku ini, membentang dari
Teluk Benggala ke Samudra Pasifik. Begitu pula, Semenanjung Melayu sudah
lama merupakan bagian tak terpisahkan dari Nusantara. Bandar-bandarnya,
dan bandar-bandar daratan utama dari Teluk Thailand hingga Tiongkok
Selatan, terhubung erat dengan berbagai negara yang terletak di pulau-pulau
besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku yang
lebih jauh ke timur. Di utara pulau-pulau itu, sebagai bagian dari jaringan
perdagangan yang sama, terdapat Pulau Jawa serta pulau-pulau Bali, Lombok,
dan Sumbawa.
Sejak awal Masehi para penguasa di kawasan barat Nusantara berbagi
budaya istana yang bercorak India dan mendapat keuntungan dari kehadiran
para pedagang asing. Hal ini terjadi isebab Asia Tenggara berada di persimpangan
dua zona perdagangan kuno yang penting. Yang pertama meliputi Samudra
Hindia, sedangkan yang lain menyusuri Laut Tiongkok Selatan. Bahkan,
pengetahuan kita mengenai kerajaan-kerajaan Asia Tenggara paling awal berasal
dari berbagai catatan berbahasa Tiongkok yang merekam kedatangan para
utusan dengan nama-nama yang tampaknya merupakan nama muslim.
Dari arah lain, kita memiliki laporan-laporan berbahasa Arab mengenai
berbagai rute pelayaran dari Teluk Persia ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok
Selatan dengan titik tumpu di Selat Malaka. Di sana, para kapten menunggu
perubahan angin monsun untuk membawa mereka melanjutkan perjalanan
atau kembali pulang, sementara perdagangan dalam kepulauan memasok
rempah-rempah, getah, bulu burung langka, dan wewangian yang mahal ke
kapal yang sudah dipenuhi muatan kain, keramik, dan barang pecah belah
Walaupun ada beberapa petunjuk mengenai orang-orang Muslim awal
yang singgah di kawasan ini, Islam sebagai sebuah agama negara terbentuk
belakangan. Selama paruh kedua milenium pertama, pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang Selat Malaka tampaknya membayar upeti pada Kerajaan Sriwijaya
(atau kepada yang mengklaim sebagai pewarisnya). Para penguasa Sriwijaya
yang berpusat di sekitar bandar-bandar di Sumatra Timur menyokong
Buddhisme Mahayana dan meninggalkan warisan keagamaan hingga sejauh
Biara Nalanda di Bihar, India. Mereka mengirimkan misi ke Tiongkok melalui
Guangzhou dan kemudian Quanzhou, bandar besar di selatan yang didirikan
di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618–907).
Di sisi lain, laporan-laporan Arab, yang menyebut Quanzhou sebagai
tujuan terakhir Zaytun, tampaknya sekadar menyadari keberadaan Sriwijaya
secara samar dan hanya menyebut seorang “Maharaja” besar yang mengklaim
pulau-pulau di sebuah kawasan yang dinamakan “Zabaj”. Ibu kotanya bisa
dikenali berdasar sebuah bandar kosmopolitan dan “gunung api” yang
selalu membara di dekatnya.
Gambar 1. Pusat-Pusat Melayu di Asia Tenggara, sekitar 1200–1600.
Hal yang jauh lebih misterius yaitu identitas orang muslim pertama
yang mapan di Asia Tenggara. Hal ini sebagian merupakan akibat pengingatan
terus-menerus akan Islamisasi yang kerap tak cocok dengan jejak-jejak fisik
yang tersisa. Marco Polo dalam laporannya mengenai Sumatra (sekitar 1292)
menyebut sebuah komunitas Muslim baru yang didirikan oleh para pedagang
“Moor” di Perlak. Salah satu batu nisan muslim bertarikh pertama (yang
berpadanan dengan tahun Gregorian 1297) menyebut “Malik al-Salih” sebagai
penguasa sezaman di bandar terdekat, Samudra Pasai. Namun, ada bukti
mengenai komunitas-komunitas yang lebih awal jauh ke barat di Lamreh,
tempat penanda-penanda makam yang telah terkikis parah menunjukkan
adanya hubungan dengan India Selatan dan Tiongkok Selatan.3
Kita tak banyak tahu tentang mekanisme yang mendasari permukiman
mereka, apakah mereka yaitu perantara yang bekerja untuk perdagangan
Tiongkok ataukah untuk raja-raja Chola di India Selatan. Pada awal abad
ketiga belas para pedagang rempah Aden, di Yaman, akhirnya menyadari
keberadaan orang-orang Muslim yang menghuni sebuah tempat yang
sekarang mereka sebut “Jawa”.4 Pada abad keempat belas, para penguasa
Samudra Pasai bersaing, atau sebaliknya bersekongkol, dengan para penguasa
Benggala memperebutkan hak agar nama mereka disebut dalam khotbah-
khotbah Jumat di Calicut, tempat orang-orang Jawi (demikian bangsa-bangsa
Asia Tenggara dikenal oleh para penutur bahasa Arab) kerap berjumpa dengan
sesama muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab.
Petunjuk mengenai Jawa Islam muncul dalam berbagai tulisan seorang
mistikus kelahiran Aden, ‘Abdallah b. As‘ad al-Yafi‘i (1298–1367), yang
mengabdikan hidupnya untuk mencatat pelbagai keajaiban ‘Abd al-Qadir
al-Jilani (1077–1166), sang wali dari Bagdad yang dianggap oleh banyak
persaudaraan mistis sebagai guru tertinggi. Dikenal sebagai tarekat, pada
masa al-Yafi‘i persaudaraan-persaudaraan ini telah tumbuh menjadi berbagai
kelompok di bawah kepemimpinan para guru, atau syekh, yang diinisiasi
secara khusus, yang mengklaim posisi berurutan dalam sebuah mata rantai
silsilah para guru yang terentang tanpa putus hingga Nabi.
Apa pun garis keturunan spiritual mereka, entah Qadiriyyah, yang
kembali ke ‘Abd al-Qadir al-Jilani, atau Naqsyabandiyyah dari Baha’ al-Din
Naqsyaband (1318–89), tarekat memberikan pengajaran teknik-teknik untuk
mengenal Tuhan—entah melalui perenungan, tarian yang spektakuler, atau
penyangkalan diri—yang lazim disebut “mengingat” (dzikr). Barangkali salah
satu dari bentuk dzikr paling terkenal yaitu ritual “Dabus” yang disukai
oleh tarekat Rifa‘iyyah, yang mengambil nama Ahmad al-Rifa‘i dari Irak
(w. 1182), yaitu para jemaah menusuk-nusukkan jarum ke dada mereka
tanpa mengalami luka. Tarekat-tarekat yang lain, seperti berbagai cabang
Naqsyabandiyyah, dikenal dengan perenungannya yang hening. Apa pun cara
dzikr yang digunakan, diyakini bahwa aktivitas semacam itu, jika dibimbing
oleh seorang guru yang berpengetahuan, dapat menghasilkan visi ekstatik dan
momen “penyingkapan” tabir misteri yang memisahkan hamba dari Tuhan
disisihkan.
Menulis pada abad keempat belas, al-Yafi‘i mengenang bahwa sebagai
seorang pemuda di Aden dia mengenal seorang lelaki yang sangat cakap
dalam komunikasi mistis semacam itu. Lelaki ini bahkan membaiat al-Yafi‘i
ke dalam persaudaraan Qadiriyyah. Lelaki ini dikenal sebagai Mas‘ud al-Jawi;
Mas‘ud si orang Jawi.6 Di sini kita tampaknya memiliki bukti bagi teori A.H.
Johns yang terkenal mengenai adanya hubungan antara perdagangan dan
penyebaran Islam ke Nusantara di tangan para syekh tarekat. Meskipun karya
al-Yafi‘i memainkan peranan dalam penyebaran kisah-kisah ‘Abd al-Qadir
al-Jilani di Asia Tenggara, tidak ada ingatan lokal mengenai proses ini, jika
memang terjadi di Sumatra dengan cara yang sama seperti di Aden. Sebaliknya,
kita kerap mendapati kisah-kisah istana tentang bagaimana cahaya kenabian
sampai ke kawasan ini.
Dalam beberapa kasus, seorang penguasa pada zaman leluhur
konon berjumpa Nabi dalam mimpi, meminta pengakuan seorang utusan
dari Mekah atas perpindahan agamanya dalam mimpi itu, atau pernah
dikunjungi oleh seorang guru asing yang mampu menyembuhkan penyakit
tertentu. Barangkali contoh yang paling terkenal ditemukan dalam Hikayat
Raja Pasai: Raja Merah Silu (yang kemudian menjadi Malik al-Salih yang
dikenang dengan batu nisan bertarikh 1297) bermimpi bahwa Nabi meludahi
mulutnya. Begitu terbangun dia sesaat bisa membaca Al-Quran. Kisah ini
sangat mirip ‘Abd al-Qadir yang berbahasa Persia digambarkan fasih bertutur
bahasa Arab dalam karya al-Yafi‘i, Khulasat al-Mafakhir (Ringkasan Tindakan-
Tindakan yang Membanggakan).
Lebih jauh, Merah Silu dikisahkan menerima seorang syekh dari Mekah
untuk mengesahkan perpindahan agamanya, sebuah kisah yang semula
tampaknya menunjuk pada sebentuk hubungan tarekat. Walaupun begitu,
penekanan pada pengesahan dari Mekah lebih mencerminkan perhatian
istana terhadap genealogi kekuasaan dan kekaguman sejak lama terhadap
kota ini sebagai kediaman abadi keluarga Nabi. Barangkali yang paling
masyhur di antara banyak silsilah kerajaan Melayu yaitu Sulalat al-Salatin
(Silsilah Para Sultan) milik Kesultanan Malaka, yang memasukkan beberapa
bagian dari Hikayat Raja Pasai dan mendahului garis keturunan Muhammad
dengan menegaskan bahwa pendiri dinasti memiliki darah Alexander Agung.8
Bagaimanapun kondisi sebelum atau sesudahnya, Islamisasi kian
mendekatkan kekuatan berbagai koneksi internasional yang menghubungkan
Samudra Hindia dan Laut Tiongkok. Meskipun mengklaim sebagai keturunan
Alexander dan Pasai, para penguasa Malaka menganggap diri mereka sebagai
kerajaan bawahan Ming sampai ditaklukkan oleh Portugis pada 1511. Tentu
saja, ada banyak hal yang tetap misterius mengenai Malaka. Sementara itu,
Ibn Battuta (1304–77) yang kelahiran Tangiers mengklaim pada sekitar 1345
bahwa penguasa Samudra Pasai menganut mazhab Syafi‘i (sebuah aliran
penafsiran Hukum Islam yang dihubungkan dengan Muhammad b. Idris
al-Syafi‘i [767–820]). Navigator yang lebih belakangan, Sulayman al-Mahri
(bertugas 1500-an), malah meragukan keislaman orang-orang Malaka. Dia
pasti punya alasan tertentu bagi keraguannya. Meskipun Undang-undang
Melaka mendudukkan “hukum Tuhan” sebagai yang lebih tinggi ketimbang
adat setempat, mereka kerap lebih menyukai yang terakhir.9
Gambar 2. Syarh Umm al-barahin, manuskrip, sekitar abad kesembilan belas.
Sulalat al-Salatin tidak banyak bicara tentang kekhasan hukum ataupun
teks-teks yang digunakan di kesultanan. Isinya hanya memuat beberapa
pertanyaan ke Pasai mengenai keabadian pahala dan hukuman Tuhan serta
permintaan khusus untuk menjelaskan sebuah naskah yang dibawa ke Malaka
oleh “Mawlana Abu Bakr”. Pertanyaan ini tampaknya terkait dengan
perdebatan yang sedang terjadi mengenai pandangan mistikus Andalusia Ibn
al-‘Arabi (1165–1240), yang menyatakan bahwa meski neraka itu kekal, akan
ada akhir bagi penderitaan mereka yang disiksa di sana isebab rahmat Tuhan
melampaui murka-Nya. Sementara itu, naskah yang dibawa oleh Mawlana
Abu Bakr, yang konon diajarkan secara langsung kepada Sultan Mansur
Shah (berkuasa 1456–77), menyebutkan al-Durr al-Manzum (Mutiara yang
Teruntai), sebuah judul yang oleh cendekiawan G.W.J. Drewes (1899–1993)
dihubungkan dengan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058–1111).10
Di sisi lain, tidak ada sebuah naskah ataupun kesepakatan. Versi lain
Sulalat al-Salatin yang diterbitkan oleh penulis Singapura ternama, Munsyi
Abdullah (‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir, 1796–1854), menyatakan Durr al-
Manzum sebagai karya “Mawlana Abu Ishaq” dari “negeri atas angin” dan
menjelaskan kandungannya sebagai sebuah risalah mengenai Esensi (dzat)
Tuhan dan berbagai Atribut-Nya (sifat), yang ditambahi satu bagian lain
mengenai Tindakan-Tindakan-Nya (af ‘al). Pernah disampaikan bahwa hal
ini menunjukkan sebuah karya tentang mistisisme, meski lebih mirip sebuah
buku pengantar mengenai akidah (yang tentu saja merupakan landasan bagi
karya-karya mistis).11 Apa pun rahasia yang terkandung di balik Durr al-
Manzum, yang jelas Malaka, bersama bandar Pahang dan Patani di wilayah
utara semenanjung, memainkan peranan dalam perubahan Kepulauan
Maluku dan proses ini terkait dengan penarikan rempah-rempah untuk
pasar global yang tengah berlangsung.
DARI TIONGKOK KE JAWA?
Raja-raja Kepulauan Maluku tidak hanya berhubungan dengan muslim Melayu
pada abad kelima belas. Perdagangan dengan Tiongkok tetap menjadi kunci bagi
kesuksesan yang terus berlanjut di Asia Tenggara, seperti halnya perpindahan
ke agama terakhir dari agama-agama dunia ini. Dengan demikian, bangsa
Tiongkok dan muslim Jawa juga hadir di panggung, berlayar dari bandar-
bandar yang baru saja mengalami perubahan seperti Tuban dan Gresik, yang
berhasil masuk ke jalur pelayaran Arab. Kemunculan Patani sebagai sebuah
kota muslim juga yaitu jasa dari kontak Tiongkok-Jawa. Hal ini dikenang
melalui nama pelabuhannya, yang juga dikenal sebagai Gresik. Naturalis
Jerman Rumphius (1627–1702; lihat Bab 4) belakangan juga berkomentar
bahwa orang Jawa di Ambon dikenal sebagai “orang-orang Tuban”.12
Bandar-bandar seperti Gresik dan Tuban muncul di pesisir utara Jawa
di bawah pengaruh orang-orang kuat yang sekarang dikenang sebagai para
wali, berasal dari kata bahasa Arab yang menyiratkan kedekatan kepada
Tuhan. Tak diragukan lagi diskusi tentang sejarah Islam di Indonesia tak akan
lengkap tanpa menyebut “Sembilan Wali” (Wali Sanga), yang dihubungkan
dengan Islamisasi Jawa. Mereka meliputi Malik Ibrahim dan “Tuan” (Sunan)
Bonang, Ampel, Drajat, dan Kalijaga. Yang disebut pertama, juga dikenal
sebagai Mawlana Maghribi, merupakan orang Arab yang tiba sekitar 1404
dari Champa (Vietnam masa kini) dan meninggal di Gresik pada 1419.
Beberapa wali yang lain juga merupakan orang Arab. Barangkali yang paling
terkenal yaitu murid Mawlana Maghribi yang cakap, Sunan Kalijaga, yang
dianggap sebagai perwujudan arketipe muslim Indonesia, yang “lentur,
tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”, berbeda dari tanah
yang dijadikan nama gurunya, yang digambarkan Geertz sebagai “pemujaan
wali dan kekakuan moral, kekuatan magis dan kesalehan yang agresif ”.13
Kerap disebut sebagai contoh kelenturan Indonesia, sebagian dari Wali
Sanga disebut telah menciptakan berbagai bentuk kesenian untuk menjelaskan
Islam dalam idiom lokal. Sunan Kalijaga disebut telah menciptakan teater
bayangan boneka (wayang); Sunan Drajat dianggap menggubah sebuah melodi
untuk orkestra perkusi tradisional (gamelan), dan Sunan Bonang dinyatakan
menciptakan bentuk pengajaran puitis yang dikenal sebagai suluk, sebuah
istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang berarti ‘perjalanan’ seseorang
dalam mencari pengetahuan Ilahiah. Selain itu, terdapat beberapa cerita
Jawa mengenai Mawlana Maghribi dan para sahabatnya yang menunjukkan
bahwa mereka mengandalkan jaringan perdagangan yang sama yang akan
memperkaya Patani, tempat Mawlana Maghribi juga diklaim sebagai
seorang wali pendiri. Sebuah laporan dari Cirebon, di perbatasan Jawa Barat,
menunjukkan bahwa Laksamana Zheng He (1371–1433) dari Dinasti Ming-
lah yang berjasa menyemai komunitas-komunitas Muslim yang bermazhab
Hanafi di pulau ini.
Di sisi lain, beberapa silsilah Arab yang lebih belakangan, seperti
yang disusun oleh ‘Abd al-Rahman al-Masyhur dari Tarim (1834–1902),
menyatakan bahwa seluruh Wali Sanga yaitu keturunan Nabi (Ar. sayyid).
Secara lebih khusus silsilah al-Masyhur menegaskan bahwa mereka, seperti
sang ahli silsilah sendiri, berasal dari keluarga seorang lelaki bernama ‘Alawi,
yang kakeknya hijrah ke Hadramaut pada 951.16 Namun, bangsa Tiongkok
tetap tidak terhapus dari sejarah Indonesia, seperti terlihat dalam kisah Sunan
Gunung Jati, seorang Melayu yang dilahirkan di Pasai dengan nama Nur
Allah, yang pergi ke Mekah sesudah Portugis menaklukkan kota kelahirannya
pada 1521. Menurut berbagai legenda Indonesia, dia kembali ke Nusantara
dan menikahi adik perempuan Sultan Trenggana dari Demak sekitar 1523,
lalu pindah ke Banten sekitar 1527, dan akhirnya menetap di Cirebon. Di
sana dia menikahi seorang Tionghoa setempat yang warisannya ditunjukkan
secara mencolok dengan pola awan di pintu-pintu makamnya dan gaya kain
batik khas yang terkenal di kota itu.
Semangat berbagai pihak yang datang belakangan untuk menguasai
berbagai sejarah suci Jawa mengingatkan kita bahwa para pendiri memiliki
arti penting politik yang besar, tanpa memandang apakah mereka datang ke
Nusantara sebagai petualang Arab atau sebagai pengelola bisnis Tionghoa.
Dari mana pun asal usul mereka, masing-masing wali kini memiliki sebuah
kompleks pemakaman, yang kerap merupakan tanda kemasyhuran mereka.
Misalnya, puncak Bukit Giri, di Gresik di pesisir timur Jawa, terdapat
situs makam Sunan Giri yang cemerlang, yang klannya menghasilkan para
pemimpin yang oleh Belanda dikenal sebagai “paus” Jawa. Makam-makam
semacam itu menjadi situs peziarahan dan dikunjungi oleh orang-orang
beriman yang mencari berkah Tuhan, atau perantaraan aktif sang wali untuk
kepentingan mereka.
Baik dalam berbagai silsilah yang diyakini sebagai silsilah Wali Sanga,
yang ditemukan dalam pamflet-pamflet yang dibagikan kepada para peziarah,
maupun dalam karya-karya kecendekiawanan mengenai warisan Islam
Indonesia, kebanyakan penulis sangat yakin terhadap kontribusi para wali
itu terhadap pembentukan Jawa. Warisan ini , sebagaimana akan kita
lihat, sebagian dihidupkan kembali berkat campur tangan para cendekiawan
Belanda, melalui riset yang mengantar mereka pada berbagai manuskrip
yang akhirnya sampai ke koleksi Eropa. Melalui naskah-naskah inilah kita
memperoleh pengetahuan tertentu mengenai ajaran para wali dalam dua
abad pertama sejak kedatangan mereka. Meskipun Wali Sanga lazim dikenal
memiliki kelenturan kultural, perhatian mereka lebih diarahkan untuk
menanamkan norma-norma perilaku secara keras dalam warga yang
tidak semua orang di dalamnya yaitu muslim. Seorang apoteker Portugis,
Tomé Pires, misalnya, mencatat pada awal abad keenam belas bahwa kawasan
pesisir Jawa barangkali sudah memeluk Islam, namun wilayah pedalaman
belum.
Salah seorang perwakilan Islam pesisir yaitu Seh Bari, yang mewariskan
kepada murid-muridnya serangkaian ajaran yang dirumuskan sebagai
“dasar-dasar menempuh jalan mistis”. Dinilai dari ajarannya, Islam yang
dikembangkan pasti bukan sebuah ajaran sinkretis yang mengakomodasi
praktik-praktik lokal. Sebaliknya, Seh Bari mengajukan dalil-dalil bagi sebuah
komunitas elite yang mencari pengetahuan mengenai (1) hakikat Tuhan
berdasar penafsiran Qurani; (2) apakah Tuhan berbeda dari makhluk;
dan (3) bagaimana seorang hamba bisa mengenal transendensi-Nya. Dalam
menjelajahi pertanyaan-pertanyaan ini , Seh Bari merujuk kepada al-
Ghazali, yang dia gunakan untuk melawan teologi esoteris Ibn al-‘Arabi,
terutama menentang gagasan “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud) yang
dikembangkan para pengikut Ibn al-‘Arabi yang beranggapan bahwa Tuhan
dan makhluk pada dasarnya identik.
Begitu pula, seorang guru lain dari masa awal, Seh Ibrahim, mendorong
murid-muridnya untuk menjaga jarak dari berbagai godaan duniawi, dan
untuk mengambil inspirasi dari Khidr, sosok nabi yang disebutkan secara
samar dalam Al-Quran (18:65–82) dan banyak hikayat Alexander. Banyak
pertanyaan sudah diajukan mengenai penentuan tarikh naskah Seh Ibrahim,
namun pandangannya barangkali bisa dianggap mewakili sikap pada periode
formatif Islamisasi di Jawa. Karya-karya al-Ghazali dan al-Yafi‘i dikutip untuk
menentang contoh-contoh heterodoksi ekstrem, dan pelanggaran Syari‘ah.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah teks tambahan yang menggambarkan
pertemuan delapan wali yang masing-masing menjelaskan pemahamannya
mengenai ma’rifat. Salah seorang dari mereka, Siti Jenar, berani menyatakan,
“Akulah Allah. Siapa lagi aku kalau bukan Dia?” Siti Jenar dikecam isebab
mengungkapkan doktrin Ibn al-‘Arabi kepada publik.
isebab tetap bersikukuh, Siti Jenar pun dieksekusi. Nasib serupa
konon menimpa para guru lain yang tidak hati-hati. Walaupun sulit untuk
diverifikasi, kisah-kisah ini biasa dianggap sebagai katalis bagi diskusi mengenai
perjumpaan mistisisme Jawa (dan secara otomatis, Indonesia) dengan Arab.
Dalam kecendekiawanan Eropa, digambarkan beberapa kesamaan antara
eksekusi Siti Jenar dan Mansur al-Hallaj dari Bagdad (858–922) yang terkenal.
Menariknya, perbandingan serupa dengan kisah al-Hallaj mudah ditemui
di Indonesia masa kini, namun patut dicatat bahwa perbandingan demikian
mendahului publikasi karya-karya Barat mengenai persoalan ini. Juga patut
ditunjukkan bahwa meskipun Siti Jenar dan al-Hallaj bernasib sama isebab
kejahatan yang sama, tidak harus ada hubungan dengan silsilah tarekat mana
pun, atau setidaknya tidak dengan tarekat yang berakar dalam warga di
luar elite istana.
DARI HAMZAH AL-FANSURI KE SEBUAH MOMEN UTSMANI
Pemahaman mengenai ajaran-ajaran Wali Sanga di Jawa terbatas, demikian
juga materi seputar bandar Semenanjung Malaka. Hanya ada beberapa
rujukan tak penting filsafat Ibn al-‘Arabi mengenai rahmat Tuhan atau unsur-
unsur hukum yang tampaknya kurang ditekankan dalam Sulalat al-Salatin.
Penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511 mengakhiri keinginan apa pun
yang mungkin dimiliki Malaka untuk menjadi pusat pengetahuan Islam,
dan sebaliknya menciptakan sebuah peluang bagi bandar-bandar lain untuk
menyalurkan perdagangan Tiongkok-Muslim yang lewat. Para penguasa
wilayah yang nantinya akan menjadi Kesultanan Aceh termasuk di antara
mereka yang mewarisi keuntungan itu. Mereka mulai memperluas wilayah
dengan mengorbankan Pasai, bandar yang pernah memasok para cendekiawan
ke Malaka dan barangkali bahkan kisah mengenai perpindahan agamanya.
Seperti Malaka dan Pasai, Majapahit yang nonmuslim juga mengalami
kekacauan. sesudah pengepungan yang gagal terhadap Malaka Portugis,
Majapahit digulingkan oleh pasukan dari Demak pada 1527. Beberapa waktu
sesudah nya Majapahit didirikan kembali sebagai Mataram Islam. Negara ini
mencapai puncaknya seabad kemudian di bawah Sultan Agung (berkuasa
1613–46). Raja ini mengawali kekuasaannya dengan menundukkan pantai
utara dan memungkasi rangkaian kemenangannya dengan penjarahan
Surabaya pada 1625. Istananya kemudian menjadi sponsor karya-karya
yang menurut M.C. Ricklefs menampilkan bukti bagi sebuah “sintesis
mistis” yang sudah jadi (bukannya baru mulai), memadukan Islam non-Jawa
dengan sebuah bentuk domestik yang sebenarnya sudah ada sejak Wali Sanga
menyelesaikan pekerjaan mereka.
Para sunan pesisir utara Jawa juga memiliki pengaruh di tempat lain
di Nusantara—tempat pusat-pusat perdagangan semakin mendekatkan
berbagai kawasan Islam—termasuk bandar-bandar seperti Gowa (Makassar),
kepangeranan pertama di Sulawesi yang diislamkan (awal abad ketujuh belas).
Dengan dukungan para sunan di Giri, Gowa menjadi pengislam yang aktif
baik terhadap para tetangganya maupun terhadap pulau-pulau lain yang lebih
jauh seperti Banda, Lombok, dan Sumbawa. Beberapa pihak menyatakan
bahwa, pada pengujung abad keenam belas, para penguasa Sulawesi sudah
mulai membangun otoritas mereka berdasar model “manusia sempurna”
(al-insan al-kamil) ala Sufi sembari melihat Mataram dan Aceh untuk mencari
model praktis.
Tak diragukan lagi, terdapat bukti bahwa gagasan-gagasan Sufi
merembesi berbagai tradisi lokal di Nusantara, mengingat mencoloknya
popularitas Khidr sebagai acuan gagasan manusia sempurna. Belum lagi
kemungkinan untuk sepenuhnya mengenal Tuhan dengan melewati “lima
tingkatan wujud” yang dirumuskan ‘Abd al-Karim al-Jili (1365–1428). Besar
kemungkinan gagasan-gagasan semacam itu dikenal banyak warga
Indonesia melalui karya-karya seorang Melayu dari Sumatra Utara, bernama
Hamzah al-Fansuri. Seperti Wali Sanga, dia dianggap menciptakan sebuah
bentuk kesenian, yaitu berupa syair puitis Melayu (dari bahasa Arab syi’r).
Pengembaraan Hamzah membawanya jauh dari tanah airnya. Sebuah prasasti
pemakaman yang ditafsirkan baru-baru ini menunjukkan bahwa hidupnya
berakhir di Mekah pada 1527. Penanggalan baru ini telah secara radikal
mengubah pemahaman kita mengenai sejarah sastra dan Sufisme Melayu
isebab Hamzah al-Fansuri biasanya ditempatkan di istana Aceh di bawah
Iskandar Muda (1607–36).
Apa pun kebenaran masalah ini, kebanyakan literatur menunjukkan
bahwa puisi al-Fansuri diselimuti oleh gambaran-gambaran Sufi yang
menggemakan dunia maritim bangsa Melayu. Dalam sebuah puisi, Tuhan
ditampilkan sebagai samudra mahaluas yang harus diarungi dengan kapal
Syari‘ah dalam perjalanan menuju pulau-pulau surga. Puisi lain mengibaratkan
hubungan antara Tuhan dan manusia seperti hubungan gelombang dan laut,
gelombang yaitu laut, namun bukan laut itu sendiri.
berdasar manuskrip yang ada dan berbagai rujukan pada karangan
al-Fansuri, jelas dia memperoleh popularitas yang luas. Lebih jauh lagi,
yaitu hal yang menggoda untuk menempatkan wali Jawa masa depan, Nur
Allah, di antara para pengikut al-Fansuri di Mekah, sebelum kepergiannya
ke Jawa dan akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Makam al-Fansuri
sendiri pernah menjadi situs yang diziarahi oleh orang-orang Asia Tenggara
lainnya, yang menyebutnya sebagai “sang guru di Mekah”. Para peziarah
yang jumlahnya cukup banyak itu mengukir nisannya dengan penyebutan
“Fansuri” secara khusus ketimbang sebutan “Jawi” yang lebih umum. Nisan
itu menandakan dia yaitu seorang “guru”, “zahid”, “sumber kejelasan”,
dan “syekh Marabout”, semua gelar yang pantas bagi seorang guru tarekat
Sufisme. Al-Fansuri dalam puisinya juga menyinggung tentang bergabung
dengan tarekat ‘Abd al-Qadir al-Jilani di Ayutthaya, Siam.
Sayangnya, seperti Mas‘ud al-Jawi dari Aden pada masa sebelumnya,
tak ada bukti bahwa al-Fansuri pernah membaiat orang lain. Sebagian dari
pelawat asing yang tertarik ke pesisir Aceh yang semakin sejahtera sepanjang
abad keenam belas bisa jadi memiliki hubungan dengan tarekat-tarekat
tertentu. Al-Fansuri bisa saja membuat mereka mungkin berpikir seorang Jawi
juga memiliki hubungan demikian.
Salah satu petunjuk potensial pada adanya pengetahuan umum mengenai
tarekat yang tersebar luas sesudah wafatnya Hamzah yaitu adopsi mencolok
terhadap istilah Arab murid (calon atau pengikut Sufi) untuk menyebut “pelajar”.
Kata murid hanya ditemukan sekali dalam puisi-puisi Hamzah (dan dengan
makna yang berbeda). Kata itu muncul dengan makna modernnya dalam tiga
roman Melayu dari pertengahan abad keenam belas. Ketiganya yaitu Hikayat
Amir Hamzah, Hikayat Inderaputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ketiga
roman ini sebenarnya merupakan terjemahan sehingga membuat kita bertanya-
tanya mengenai karya-karya pendahulu dan pengaruhnya.
Tahun 1527—saat Hamzah kemungkinan wafat di Mekah dan pasukan
muslim Demak menyerbu pedalaman Jawa—harus dipandang sebagai tahun
yang sangat penting bagi Islam di Asia Tenggara. Meski menguasai Malaka,
Portugis gagal menggantikan lawan-lawan mereka di Dunia Lama dan juga
gagal menyingkirkan muslim yang telah lebih dulu ada di Kepulauan Maluku.
Pada 1570-an posisi Iberia jelas sedang lemah. Ada beberapa petunjuk bahwa
hal ini merupakan akibat dari kebijakan yang diterapkan Utsmani saat faksi
anti-Portugis berhasil mendapatkan pengaruh, sebagai upaya memperbaiki
hubungan dengan beberapa penguasa yang tidak puas di Samudra Hindia.
Sebagaimana Bani Rasul di Yaman pada masa sebelumnya merupakan
pemberi perlindungan yang penting di lautan, bantuan Utsmani pastinya menarik
bagi para penguasa muslim, atau mereka yang berpura-pura menjadi penguasa
muslim, dalam jaringan kesultanan-kesultanan Gujarat, Benggala, dan Kepulauan
Maladewa, serta dalam berbagai komunitas Muslim otonom yang hidup di
bawah penguasa nonmuslim seperti sang Zamorin di Calicut. Sementara itu, para
penguasa Aceh yang kian percaya diri mengirim utusan kepada Sulayman Qanuni
(berkuasa 1522–66) memohon bantuan meriam Utsmani untuk menyerang
Malaka Portugis serta memenuhi ambisi regional mereka sendiri.
Walaupun begitu, meski berkali-kali dijanjikan, nyatanya campur tangan
Utsmani hanya terbatas. Memang banyak tentara bayaran dari Turki dan
sekutu dari Abisinia, Mesir, dan Gujarat diketahui terlibat pertempuran dari
Dataran Tinggi Batak di Sumatra hingga Pulau Ternate di Maluku—tempat
Sultan Bab Allah (berkuasa 1570–84) berhasil mengusir orang-orang Iberia
pada 1575. Adapun meriam “Utsmani” yang terkenal di Aceh sebenarnya
dibuat oleh para penguasa Turki di Gujarat. Juga, sumpah setia bangsa Aceh
kepada sultan Utsmani barangkali dibuat-buat oleh seorang makelar rempah
ambisius, yang hanya memberikan sedikit petunjuk mengenai perdebatan
ajaran yang berlangsung di sebuah istana yang akan menjadi lokasi bagi
perdebatan yang benar-benar sangat terkenal.
ACEH, BANTEN, DAN MATARAM PADA ABAD KETUJUH BELAS
Dan demikianlah, di antara kerumunan sebagian orang berkata kepada
yang lain, “Betapa megahnya balairung Penguasa kita Yang Mulia. Banyak
negeri di bawah dan atas angin telah kita lihat, namun dari semua istana raja-
raja agung, tak satu pun bisa dibandingkan balairung Penguasa kita Yang
Sempurna. Sungguh, negeri Aceh Dar al-Salam yaitu serambi Mekah!”
Aceh abad ketujuh belas kerap dipandang sebagai model bagi Islam Indonesia,
terutama selama masa kesultanan Iskandar Muda yang gemar berperang,
hampir semasa dengan Sultan Agung di Jawa. Historiografi modern kadang
menampilkan Aceh sebagai pusat kekuasaan dan pengetahuan yang dianggap
sepadan dengan Imperium Utsmani. Ada kebenaran dalam hal ini. Raja-
raja Aceh seperti ‘Ali Mughayat Shah (berkuasa sekitar 1514–28) barangkali
sudah mulai menugaskan penggantian batu nisan pada makam-makam kuno
para raja Pasai sebagai usaha untuk mengklaim kesinambungan dengan
tempat kelahiran Islamisasi regional. Para penguasa awal kemungkinan besar
menyadari status mereka sebagai raja baru, seabad kemudian mereka semakin
percaya diri dengan tempat mereka di Dunia (Islam). Iskandar II (berkuasa
1636–1641), yang bandarnya mengirimkan rempah-rempah ke Mediterania
dalam kapal-kapal Gujarat, bahkan memimpin ziarah ke makam “para
leluhur” di Pasai pada akhir 1630-an.
Para penguasa Aceh juga membagi-bagikan sumbangan kepada para
cendekiawan Islam, yang dikenal sebagai ulama (sebagian mengklaim punya
hubungan dengan bandar Pasai), yang melakukan perjalanan di kapal yang
sama. Cukup pasti bahwa di antara mereka ada Syams al-Din al-Sumatra’i
(alias Syams al-Din dari Pasai, w. 1630), yang mungkin serupa “archbishop”
(uskup agung) berkedudukan tinggi yang dilihat di istana Aceh oleh John Davis
(sekitar 1550–1605) pada 1599, atau juga sama dengan “chiefe bishope of the
realme” (kepala uskup kerajaan) berkemampuan bahasa Arab yang dijumpai
James Lancaster (w. 1618) pada 1602. Syams al-Din yang bisa berbahasa Arab
bertugas pada masa meningkatnya kontak Jawi dengan ujung barat Samudra
Hindia yang semakin banyak memeluk Islam. Dia berperan sangat penting
dalam mengarahkan peralihan dari lima tingkatan pengetahuan al-Jili menuju
gagasan tujuh tingkatan yang kian berpengaruh. Hal ini dikuatkan pada 1590
oleh seorang Gujarat bernama Muhammad b. Fadl Allah al-Burhanpuri (w.
1620) dalam risalahnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (Bingkisan
yang Dipersembahkan kepada Ruh Nabi).
Dalam skema ini, pengenalan terhadap Tuhan terentang dari yang
mungkin hingga yang tak mungkin. Pada inti yang terdalam terdapat wujud
Tuhan yang tak tertembus dan tak terketahui, yang diliputi oleh enam
emanasi lanjutan yang memuncak dalam dunia terakhir “manusia sempurna”.
Para cendekiawan kerap membagi tujuh tingkatan ini antara tiga tingkatan
dalam yang berhubungan dengan “esensi abadi” (a‘yan tsabitah) Tuhan yang
tak berubah dan empat “esensi eksternal” (a‘yan kharijah) yang mengitarinya,
yang dapat dipersepsi dengan cara tertentu. Bisa dipersepsi atau tidak, ini
yaitu sebuah teologi yang tidak dimaksudkan untuk orang-orang awam.
Hanya para cendekiawan yang mahir seperti Syams al-Din yang mampu
memperdebatkan kegunaannya dengan para sejawat di seberang Samudra
Hindia atau menjelaskannya secara perinci kepada para patron istana mereka,
yang bisa jadi ingin tahu lebih banyak mengenai metode para Sufi semacam
al-Burhanpuri, yang dikenal sebagai guru tarekat Syattariyyah.
Tarekat Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah berkembang di India, Arabia,
dan Yaman. Namun, sekali lagi, hanya ada sedikit bukti mengenai koneksi
tarekat tertentu di kalangan para cendekiawan Jawi dan patron mereka sebelum
abad ketujuh belas. Meski Syams al-Din diyakini telah membaiat Iskandar
Muda ke dalam persaudaraan Naqsyabandiyyah, tidak ada bukti kuat bahwa
Iskandar Muda mengucapkan baiat kepada seorang syekh Naqsyabandi. Juga
tidak ada silsilah yang lestari bertarikh sebelum abad kesembilan belas yang
menghubungkan Iskandar Muda dengan Naqsyabandiyyah, atau tarekat apa
pun, yang kemudian aktif di kawasan Melayu.
Meski demikian, seseorang tidak harus menjadi anggota sebuah tarekat
Sufi untuk menjadi penganjur teologi mistis yang disebarkan Syams al-
Din. Dia kemudian digantikan oleh seorang cendekiawan setempat yang
memiliki kecenderungan ekstrem bernama Kamal al-Din, yang jabatannya
terancam oleh kedatangan seorang cendekiawan dari Gujarat pada Mei 1637.
Cendekiawan Gujarat itu yaitu Nur al-Din al-Raniri (w. 1658), seorang
anggota komunitas Hadrami yang penting dan cukup besar di Surat, yang
keluarganya sudah memiliki hubungan dengan Melayu. Seorang pamannya
telah memberikan pelajaran-pelajaran dasar di Aceh di bawah ‘Ala’ al-Din
Perak (berkuasa 1577–85), dan ada petunjuk bahwa dia sudah dikenal oleh
Iskandar II yang lahir di Pahang, yang menggantikan Iskandar Muda.
Al-Raniri sepertinya sangat tidak senang isebab Kamal al-Din
mengajukan gagasan (bahkan mungkin di hadapan publik) bahwa Tuhan
yaitu “ruh dan wujud” dan manusia yaitu “ruh dan wujud-Nya”. Meski tidak
ada bukti mengenai perumusan dengan kalimat ini dalam sumber-sumber
sebelumnya yang berbahasa Melayu atau Arab yang kita ketahui sekarang,
al-Raniri menghubungkan ucapan itu pada tulisan al-Fansuri dan Syams al-
Din. Hal ini menjadi lebih mengejutkan mengingat sebelumnya al-Raniri
memuji Syams al-Din, yang juga dikenal mendorong agar karya-karya mistis
dijauhkan dari jangkauan orang awam. Bagaimanapun, ini yaitu penyalahan
isebab asosiasi. sesudah serangkaian perdebatan di hadapan Iskandar II,
Kamal al-Din yang tampaknya tidak mau bertobat pun dieksekusi, sementara
buku-buku para pendahulu Jawi-nya (yang barangkali memuat rumusan itu)
diperintahkan untuk dibakar.
Selanjutnya, al-Raniri praktis berkuasa dalam semua urusan keagamaan
dan negara di bawah sang sultan. Meninggalnya sang sultan pada 1641 dan
penobatan jandanya, Safiyyat al-Din (berkuasa 1641–75), tidak membuat al-
Raniri risau sedikit pun. Bahkan, kemungkinan besar al-Raniri puas saat
janda sang sultan mengawali kekuasaannya dengan menghormati kesepakatan
dagang dengan Gujarat, yang membuat Belanda waswas. Sebaliknya, hal ini
merupakan pengulangan perdebatan teologi yang membenarkan pengusiran
al-Raniri dua tahun kemudian dengan kembalinya seorang murid Kamal al-
Din pada Agustus 1643. Dia yaitu seorang lelaki suku Minangkabau dari
Sumatra Barat bernama Sayf al-Rijal (w. 1653), yang konon pernah belajar
langsung di Gujarat. Meski ini mungkin benar, sebuah dokumen yang
diidentifikasi baru-baru ini menunjukkan bahwa dia juga menyebut dirinya
Sayf al-Din al-Azhari, menyiratkan bahwa dia memiliki pengalaman di masjid
utama di Kairo, al-Azhar.
Didirikan oleh Dinasti Fatimiyyah pada abad kesepuluh, al-Azhar
menjadi terkenal sebagai pusat otoritas yuridis Suni sesudah mereka digulingkan
oleh Dinasti Ayyubiyyah pada 1171. Al-Azhar dilindungi oleh para penguasa
Mamluk di Kairo (1250–1517), yang menyokong tempat-tempat suci di
Arabia sampai mereka ditumbangkan dan digabungkan oleh Utsmani. Sebagai
tujuan terakhir perdagangan rempah Samudra Hindia, Kairo sangat dikenal
oleh para pedagang Asia Tenggara. Para sultan awal Sumatra tampaknya
meniru nama-nama kerajaan Ayyubi. Bangsa Aceh pun menyambut para
cendekiawan Mesir pada abad keenam belas. Bustan al-Salatin (Taman Para
Sultan) dari Aceh melaporkan bahwa istana menampung seseorang bernama
Muhammad al-Azhari pada 1570-an, dan menyusul pada 1580-an seorang
ahli mengenai a‘yan tsabitah yang diisyaratkan sebagai kerabat ahli hukum
terkenal Mesir yang bermukim di Mekah, Ibn Hajar al-Haytami (1504–67).
Identifikasi Sayf al-Din sebagai Sayf al-Rijal didukung oleh fakta bahwa
al-Raniri belakangan sadar bagaimana lawannya itu menyatakan bahwa
pendekatannya yaitu “pendekatan semua wali di Mekah dan Madinah”.
Belum ada bukti mengenai seorang wali pun di Mekah dan Madinah yang
pernah menyatakan secara terang-terangan bahwa doktrin kesatuan wujud
menyiratkan ruh dan wujud yang bisa saling dipertukarkan. Sebaliknya,
pernyataan itu tampaknya merupakan sebuah kontribusi khas Aceh pada filsafat
Islam, dan sumbangan itu segera musnah sepenuhnya seperti penggagasnya
saat gelombang pengajaran tarekat yang lebih ortodoks menyapu pesisir
Aceh. Barangkali upaya selanjutnya untuk menekan pengungkapannya sesudah
al-Raniri muncul dalam sebuah risalah pendek yang ditulis Muhammad al-
Manufi (w. 1663) dari Kairo, yang ditanyai (mungkin sesudah pengusiran
al-Raniri) apakah para pengikut Kamal al-Din yaitu “orang-orang yang
mencapai pengetahuan” (muhaqqiqun) sejati.
Dalam jawabannya, al-Manufi menggunakan perkataan Imam Nawawi
(w. 1277–78) dan Ibn Hajar al-Haytami untuk menunjukkan bahwa ada
banyak “Sufi palsu yang bodoh” yang menyibukkan diri dengan karya-
karya Ibn al-‘Arabi dengan mengorbankan ilmu-ilmu formal Syari‘ah dan
juga tarekat, mengabaikan hukum dan bahkan bersenang-senang dengan
lawan jenis. Namun, saat dia beralih untuk membahas pernyataan terang-
terangan bahwa “Tuhan yaitu ruh dan wujud kita”, dia menyatakan bahwa
kekurangannya tidak ada dalam buku-buku Ibn al-‘Arabi, namun dalam diri
kaum antinomi itu sendiri yang teperdaya.
Sisa risalah al-Manufi meringkas perdebatan mengenai makna Keesaan
Tuhan dan sifat-sifat Tuhan yang bisa dipahami, kritik terhadap kesalahan
penafsiran pseudo-Kristen atas kitab suci, dan kecaman terhadap majelis-
majelis tempat para mistikus mengklaim mengalami keajaiban wahyu dan
penglihatan taman surgawi. Seperti akan kita lihat dalam buku ini, jenis
keprihatinan yang diajukan al-Manufi akan muncul lagi dan lagi. Begitu pula,
pembelaannya dibuat dengan merujuk pada pernyataan bahwa Islam lokal
merupakan bentuk Mekah yang lebih sejati, meski tempat otoritas hukum
sangat sering berada di Mesir dan kecendekiawanan Mesir, tempat tarekat
menjadi bagian krusial dari jalinan sosial di bawah pemerintahan Utsmani.
Walaupun begitu, juru tulis Aceh yang membuat terjemahan baris-baris
risalah al-Manufi memiliki gagasannya sendiri mengenai majelis semacam itu
dan memastikan untuk memperluas komentar dalam bahasa Melayu terhadap
penyebutan al-Manufi pada “Ibn ‘Arabi dan Ibn Farid serta para pengikut
mereka”, menambahkan, “serta semua ulama muhaqqiqin Aceh Dar al-Salam,
seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syams al-Din al-Sumatra’i, Syekh
Kamal al-Din Ashi, dan Syekh Sayf al-Din Azhari, semoga rahmat Tuhan
Yang Mahakuasa diberikan kepada mereka semua!”
Mengesampingkan barisan para cendekiawan yang mencolok itu (yang
mencerminkan hasrat post factum untuk mengklaim keempat orang itu
sebagai eksponen Islam Aceh), rujukan yang diulang-ulang pada muhaqqiqin
(yang berbentuk jamak) merupakan hal penting. Merujuk pendapat Ibn al-
‘Arabi, pada dasarnya seorang muhaqqiq yaitu orang yang berusaha mencari
“kenyataan” (haqq) tertinggi Tuhan. Tak diragukan lagi, istilah ini dan
bentuk verbalnya, tahqiq, melimpah dalam berbagai risalah yang berkaitan
dengan Sufisme dalam dunia Jawi dan dengan guru-guru Sufi Arabia yang
mulai dikagumi para penulis. Namun, kita harus menengok Mesir pada awal
abad ketujuh belas untuk memahami asal usul dan arti pentingnya, seperti
yang dilakukan orang-orang Aceh yang berdebat mengenai Kamal al-Din.
Pasalnya di wilayah ini , belakangan ini, perdebatan mengenai tahqiq
dan penerapannya kian diminati, dalam pengertian yang lebih teknis sebagai
“verifikasi” dari maksud kitab suci.
Ada yang menyatakan bahwa hal ini berasal dari dua arus kedatangan
cendekiawan ke wilayah Timur Arab. Di satu sisi terdapat para guru ahli
“kitab-kitab bangsa Persia” dari suku Azeri dan Kurdi, yang melarikan diri dari
perluasan negara Safawi yang Syi‘ah. Di sisi lain, para cendekiawan yang datang
dari wilayah Barat Arab dan memopulerkan karya-karya para ahli logika dari
masa lebih awal, seperti Muhammad b. Yusuf al-Sanusi (w. 1495) dari Maroko.
Dalam beberapa segi, yaitu hal yang pas meski ganjil bahwa seorang Jawa yang
menyalin komentar al-Sanusi terhadap buku pengantarnya sendiri, Umm al-
barahin (Induk Segala Tanda), tergelincir sejenak saat menggambarkan sang
pengarang sebagai “kebanggaan para wali muhaqqiqin” (lihat Gbr. 2, baris 9).
Namun, tidak semua ulama Timur Arab mendukung kaum muhaqqiqin yang
baru itu dan para pewaris mereka. Orang Aceh yang menyalin fatwa al-Manufi
menganggap pandangan-pandangan sang mufti Kairo itu bertentangan dengan
pandangannya sendiri, dan memohon perlindungan kepada Tuhan “dari
kejahatan orang-orang yang menolak perkataan semua ulama muhaqqiqin.”
Kita harus berhati-hati dalam menyatakan bahwa perdebatan antara al-
Raniri dan Kamal al-Din mewakili pertikaian antara Islam Melayu-Indonesia
yang damai dan mistis dan intoleransi Indo-Arab yang skripturalis, yang hanya
mengacu pada teks. Perdebatan mendukung dan menentang kaum muhaqqiqin
akan berkecamuk di semua bagian dunia Islam. Meski masa jabatan al-Raniri
kontroversial, namun dia menghasilkan karya-karya yurisprudensi Islam (fiqh)
yang tetap bertahan dalam kanon Melayu sesudah pengusirannya. Juga jelas
bahwa para penulis pada masa berikutnya menghargai desakan al-Raniri
terhadap penggunaan secara tepat terhadap tradisi muslim yang terbukti asli
dan penolakannya terhadap roman-roman Melayu seperti Hikayat Seri Rama
dan Hikayat Inderaputra
Barangkali akar persoalannya ada pada bersedia atau tidaknya para calon
muhaqqiqin untuk memadukan ajaran mereka dengan tulisan-tulisan semacam
itu. Dilihat dari perspektif masa kini, ada banyak hal yang bisa ditolak dalam
banyak roman yang memanusiakan nama-nama pertempuran terkenal pada
era awal Islam, atau yang menonjolkan pahlawan perempuan bukannya laki-
laki. Namun, al-Raniri tidak terlalu berminat membahas persoalan kekuasaan
perempuan, mengingat kerja samanya dengan Ratu Safiyyat al-Din, yang
digambarkan oleh seorang pelawat Mesir, Mansur b. Yusuf al-Misri, sebagai
“muslimah yang ramah dan sempurna”. Penguasa perempuan jelas tidak jadi
masalah bagi orang Mesir ini, yang kisah-kisahnya sampai di Yaman pada
sekitar 1662. Bahkan, Mansur b. Yusuf terkesan dengan komitmen orang-
orang Jawi pada Islam, dengan menyatakan bahwa orang-orang Banten dan
Jawa “mengayomi Islam” di bawah raja yang “adil dan waspada”.
Tak diragukan lagi mereka mengarahkan perhatian semakin ke barat.
Sajarah Banten menceritakan salah seorang raja, ‘Abd al-Qadir (berkuasa
1626–51), mengirim sebuah misi ke Mekah pada 1630-an yang dimaknakan
sebagai usaha untuk memperoleh gelar sultan dari syarif Mekah. Penafsiran
ini lebih mengutamakan politik gelar ketimbang tujuan resmi misi yakni
untuk memperoleh pemahaman mengenai ajaran-ajaran utama dalam akidah.
sesudah berhenti di Kepulauan Maladewa, Pantai Coromandel, Surat, dan
Mocha, rombongan utusan raja pergi ke Jeddah menghadap Syarif Zayd
(berkuasa 1631–66) untuk meminta penjelasan kandungan tiga risalah.
Ketiganya diidentifikasi sebagai sebuah teks mengenai eskatologi Sufi, salah
satu dari kumpulan karangan al-Fansuri, atau mungkin juga sanggahan al-
Raniri. Kecendekiawanan terbaru memang mengajukan kemungkinan bahwa
pertikaian antara Kamal al-Din dan al-Raniri bisa jadi dipicu oleh melintasnya
misi dari Banten itu atau oleh kepulangan mereka dari Mekah.
Apa pun yang terjadi, Sajarah Banten menunjukkan bahwa persoalan
yang diperdebatkan di Aceh menjadi keprihatinan pula di Jawa Barat.
Orang-orang Banten tetap berhubungan dengan al-Raniri yang sudah
kembali ke Gujarat. Utusan dari Banten semula hendak meneruskan misi
ke Konstantinopel. isebab pemimpin mereka meninggal, rombongan pun
pamit pulang. Syarif Zayd menghadiahi mereka sebuah batu dengan bekas
tapak kaki Nabi, sehelai penutup Kakbah, dan secarik bendera yang konon
milik Nabi Ibrahim. Namun, bagi mereka, ada yang kurang isebab Syarif
Zayd tidak mengutus seorang cendekiawan untuk ikut rombongan. Syekh
“Ibnu ‘Alam” (barangkali Muhammad ‘Ali b. ‘Alan, w. 1647) juga tidak siap
meninggalkan Tanah Suci.51 Meski begitu, rombongan Banten tetap pulang
dengan perasaan puas dan disambut suka cita pada 1638.
Sajarah Banten menyiratkan bahwa sang Syarif memberi Banten hak
untuk membagikan gelar kepada penguasa Mataram dan Makassar. Namun,
para penguasa ini lebih suka mengirim utusan mereka sendiri ke Mekah,
suatu tindakan yang tampaknya lazim pada abad ketujuh belas. Orang-orang
Mekah rupanya sangat menyadari potensi sumbangan yang tersedia isebab
pada 1683 mereka mengirim utusan ke Aceh menghadap Ratu Zakiyyat al-
Din (berkuasa 1678–88).
Kerap dikatakan bahwa politik faksional pada akhirnya membuat
banyak surat dikirimkan ke Mekah yang kemudian menghasilkan sebuah
fatwa pencopotan ratu Aceh terakhir, Kamalat al-Din (berkuasa 1688–99),
demi kepentingan suaminya, Sayyid Hasyim Jamal al-Layl. Meski tidak ada
bukti mengenai fatwa semacam itu, berkuasanya Dinasti Hadrami telah
memainkan peranannya dalam menyempurnakan visi Aceh sebagai negara
Islam yang paling Islami pada awal Indonesia modern.
Beberapa cendekiawan juga menunjuk peran dakwah ‘Alawiyyah, sebuah
tarekat dari Hadramaut yang melacak silsilahnya hingga ke Muhammad b.
‘Ali (w. 1255). ‘Alawiyyah bahkan pernah disebut sebagai “tarekat keluarga
besar”. Sebutan yang memang tepat, setidaknya hingga tingkat tertentu. Kita
harus mengingat bahwa ikatan keluarga kerap menghubungkan orang-orang
seperti al-Raniri pada Hijaz, Gujarat, Kepulauan Maladewa, dan Aceh. Ini
pastinya merupakan tema yang perlu dikaji ulang, terutama dalam kaitannya
dengan meluasnya popularitas beberapa doa yang ditujukan kepada pribadi
‘Abd al-Qadir al-Jilani yang dianggap keturunan Nabi.
Meskipun ‘Alawi kerap dipuji-puji sehingga terkesan melebih-lebihkan
peranan orang-orang Hadramaut dalam sejarah Asia Tenggara sebelum abad
kedelapan belas, kita tetap perlu menengok Mesir dan Mekah. Lagi pula,
pendorong Islamisasi yang tengah berlangsung tidak dapat dilihat hanya dari
kehadiran, atau ketiadaan, para pelawat asing seperti kaum Hadrami. Yang
tak boleh diabaikan yaitu peran para cendekiawan Jawi, yang mengembara
ke Tanah Suci dan kembali serta menulis untuk tanah air mereka. Dapat
dikatakan bahwa sosok-sosok inilah yang harus dipandang sebagai kunci
transmisi dan elaborasi terakhir bagi dominannya kompleks “Mekah” dalam
berbagai institusi Islam di bawah pemerintahan Utsmani, institusi yang
melibatkan praktik tarekat. Barangkali cendekiawan yang paling berpengaruh
dalam sejarah Islam di Asia Tenggara yaitu ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615–
93). Dia dilahirkan tak jauh dari Pasai, dan dari catatan pendeknya kita
tahu bahwa orang “Jawi” ini meninggalkan Aceh (dan al-Raniri) pada 1642,
memulai sebuah petualangan ke luar negeri yang berlangsung sekitar lima
belas tahun.
sesudah berpindah dari satu guru ke guru lain di antara Teluk, Yaman,
Mekah, dan India, akhirnya al-Sinkili menemukan guru yang sesuai di
Madinah, yaitu Ahmad al-Qusyasyi (1583–1661) dan Ibrahim al-Kurani (w.
1690), keduanya memiliki jaringan luas dengan Mesir. Ahmad al-Qusyasyi
yang lahir di Madinah memiliki serangkaian pengalaman mistis di Yaman,
tempat ayahnya pernah membawanya pada 1602. Dia kemudian kembali ke
Madinah dan memantapkan diri sebagai guru tarekat Syattariyyah sesudah
kematian pembimbing Sufi utamanya (sekaligus mertuanya) Ahmad al-
Syinnawi (w. 1619), yang terhubung dengan banyak cendekiawan Mesir.
Adapun Ibrahim al-Kurani, lahir di Kurdistan dan bergabung dengan al-
Qusyasyi sesudah melakukan banyak perjalanan di wilayah Timur Arab. Pada
1650 dia pergi ke Kairo dan berhubungan dengan beberapa cendekiawan
Mesir. Dia kembali ke Madinah pada 1651 dan menjadi wakil al-Qusyasyi
untuk Syattariyyah. Dalam beberapa biografi Arab, dia lebih dikenal sebagai
seorang Naqsyabandi. Meskipun ‘Abd al-Ra’uf sudah bergabung dengan
berbagai tarekat, ajaran Syattariyyah-lah yang dibawanya ke Aceh dan
diajarkan kepada murid-muridnya seperti ‘Abd al-Muhyi Pamijahan (1640–
1715), yang bermukim di Kota Karangnunggal di Jawa Barat beberapa waktu
sesudah 1661.
Al-Kurani merupakan penyusun sebuah risalah, Ithaf al-Dzaki
(Persembahan kepada Yang Cerdik), yang dia tujukan kepada orang-orang
Jawi yang antusiasmenya terhadap Tuhfah karya al-Burhanpuri tak pernah
berkurang. Mustafa b. Fath Allah al-Hamawi (w. 1712), yang berjumpa al-
Kurani pada 1675, menyatakan bahwa pertanyaan beberapa orang Jawi
mengenai penafsiran Tuhfah dalam “sekolah-sekolah keagamaan” mendorong
Tampaknya kita bisa mengenali sebuah persoalan teologis tertentu di balik
permintaan semacam itu. Pasalnya, al-Kurani juga menghasilkan risalah yang
lebih pendek mengenai pandangan “beberapa orang Jawa” yang menyatakan,
“isebab pengetahuan dan kesalehan” bahwa “Tuhan Yang Mahakuasa yaitu
diri dan wujud kita serta kita yaitu diri dan wujud-Nya”. Kalimat ini persis
seperti yang pernah diutarakan oleh Kamal al-Din; jika dilihat berdasar
konteksnya, pertanyaan yang dilaporkan ini ditujukan kepada “ulama
ahli tahqiq”. Sepertinya teologi Kamal al-Din dirumuskan kembali dalam
kerangka perdebatan umum antara “beberapa orang Jawa” dan “beberapa
ulama [asing] yang [sekarang] menuju ke sana”.
Tanggapan Al-Kurani lebih lunak ketimbang al-Manufi. Dia menyatakan
bahwa orang Jawi yang bersangkutan tidak patut mati meskipun orang Jawi
itu dan penyerangnya sama-sama telah salah menafsirkan makna esoterik
kata-kata Ibn al-‘Arabi yang dinukil oleh al-Burhanpuri. Dalam Syath al-wali
(Ucapan Sang Wali), al-Kurani lebih jauh menyatakan bahwa hanya individu
yang lemah imannya dan terlalu rasionalis dalam me