Minggu, 05 Januari 2025

sejarah islam di indonesia 1



Dilihat dari atas, gugus kepulauan Nusantara, panggung bagi banyak hal yang akan dituturkan selanjutnya dalam buku ini, membentang dari 

Teluk Benggala ke Samudra Pasifik. Begitu pula, Semenanjung Melayu sudah 

lama merupakan bagian tak terpisahkan dari Nusantara. Bandar-bandarnya, 

dan bandar-bandar daratan utama dari Teluk Thailand hingga Tiongkok 

Selatan, terhubung erat dengan berbagai negara yang terletak di pulau-pulau 

besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku yang 

lebih jauh ke timur. Di utara pulau-pulau itu, sebagai bagian dari jaringan 

perdagangan yang sama, terdapat Pulau Jawa serta pulau-pulau Bali, Lombok, 

dan Sumbawa.

Sejak awal Masehi para penguasa di kawasan barat Nusantara berbagi 

budaya istana yang bercorak India dan mendapat keuntungan dari kehadiran 

para pedagang asing. Hal ini terjadi isebab  Asia Tenggara berada di persimpangan 

dua zona perdagangan kuno yang penting. Yang pertama meliputi Samudra 

Hindia, sedangkan yang lain menyusuri Laut Tiongkok Selatan. Bahkan, 

pengetahuan kita mengenai kerajaan-kerajaan Asia Tenggara paling awal berasal 

dari berbagai catatan berbahasa Tiongkok yang merekam kedatangan para 

utusan dengan nama-nama yang tampaknya merupakan nama muslim. 

Dari arah lain, kita memiliki laporan-laporan berbahasa Arab mengenai 

berbagai rute pelayaran dari Teluk Persia ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok 

Selatan dengan titik tumpu di Selat Malaka. Di sana, para kapten menunggu 

perubahan angin monsun untuk membawa mereka melanjutkan perjalanan 

atau kembali pulang, sementara perdagangan dalam kepulauan memasok 

rempah-rempah, getah, bulu burung langka, dan wewangian yang mahal ke 

kapal yang sudah dipenuhi muatan kain, keramik, dan barang pecah belah

Walaupun ada beberapa petunjuk mengenai orang-orang Muslim awal 

yang singgah di kawasan ini, Islam sebagai sebuah agama negara terbentuk 


belakangan. Selama paruh kedua milenium pertama, pelabuhan-pelabuhan di 

sepanjang Selat Malaka tampaknya membayar upeti pada Kerajaan Sriwijaya 

(atau kepada yang mengklaim sebagai pewarisnya). Para penguasa Sriwijaya 

yang berpusat di sekitar bandar-bandar di Sumatra Timur menyokong 

Buddhisme Mahayana dan meninggalkan warisan keagamaan hingga sejauh 

Biara Nalanda di Bihar, India. Mereka mengirimkan misi ke Tiongkok melalui 

Guangzhou dan kemudian Quanzhou, bandar besar di selatan yang didirikan 

di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618–907). 

Di sisi lain, laporan-laporan Arab, yang menyebut Quanzhou sebagai 

tujuan terakhir Zaytun, tampaknya sekadar menyadari keberadaan Sriwijaya 

secara samar dan hanya menyebut seorang “Maharaja” besar yang mengklaim 

pulau-pulau di sebuah kawasan yang dinamakan “Zabaj”. Ibu kotanya bisa 

dikenali berdasar  sebuah bandar kosmopolitan dan “gunung api” yang 

selalu membara di dekatnya.

Gambar 1. Pusat-Pusat Melayu di Asia Tenggara, sekitar 1200–1600.

Hal yang jauh lebih misterius yaitu  identitas orang muslim pertama 

yang mapan di Asia Tenggara. Hal ini sebagian merupakan akibat pengingatan 

terus-menerus akan Islamisasi yang kerap tak cocok dengan jejak-jejak fisik 

yang tersisa. Marco Polo dalam laporannya mengenai Sumatra (sekitar 1292) 

menyebut sebuah komunitas Muslim baru yang didirikan oleh para pedagang 

“Moor” di Perlak. Salah satu batu nisan muslim bertarikh pertama (yang 

berpadanan dengan tahun Gregorian 1297) menyebut “Malik al-Salih” sebagai 

penguasa sezaman di bandar terdekat, Samudra Pasai. Namun, ada bukti 

mengenai komunitas-komunitas yang lebih awal jauh ke barat di Lamreh, 

tempat penanda-penanda makam yang telah terkikis parah menunjukkan 

adanya hubungan dengan India Selatan dan Tiongkok Selatan.3

Kita tak banyak tahu tentang mekanisme yang mendasari permukiman 

mereka, apakah mereka yaitu  perantara yang bekerja untuk perdagangan 

Tiongkok ataukah untuk raja-raja Chola di India Selatan. Pada awal abad 

ketiga belas para pedagang rempah Aden, di Yaman, akhirnya menyadari 

keberadaan orang-orang Muslim yang menghuni sebuah tempat yang 

sekarang mereka sebut “Jawa”.4 Pada abad keempat belas, para penguasa 

Samudra Pasai bersaing, atau sebaliknya bersekongkol, dengan para penguasa 

Benggala memperebutkan hak agar nama mereka disebut dalam khotbah-

khotbah Jumat di Calicut, tempat orang-orang Jawi (demikian bangsa-bangsa 

Asia Tenggara dikenal oleh para penutur bahasa Arab) kerap berjumpa dengan 

sesama muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab.

Petunjuk mengenai Jawa Islam muncul dalam berbagai tulisan seorang 

mistikus kelahiran Aden, ‘Abdallah b. As‘ad al-Yafi‘i (1298–1367), yang 

mengabdikan hidupnya untuk mencatat pelbagai keajaiban ‘Abd al-Qadir 

al-Jilani (1077–1166), sang wali dari Bagdad yang dianggap oleh banyak 

persaudaraan mistis sebagai guru tertinggi. Dikenal sebagai tarekat, pada 

masa al-Yafi‘i persaudaraan-persaudaraan ini telah tumbuh menjadi berbagai 

kelompok di bawah kepemimpinan para guru, atau syekh, yang diinisiasi 

secara khusus, yang mengklaim posisi berurutan dalam sebuah mata rantai 

silsilah para guru yang terentang tanpa putus hingga Nabi. 

Apa pun garis keturunan spiritual mereka, entah Qadiriyyah, yang 

kembali ke ‘Abd al-Qadir al-Jilani, atau Naqsyabandiyyah dari Baha’ al-Din 

Naqsyaband (1318–89), tarekat memberikan pengajaran teknik-teknik untuk 

mengenal Tuhan—entah melalui perenungan, tarian yang spektakuler, atau 

penyangkalan diri—yang lazim disebut “mengingat” (dzikr). Barangkali salah 

satu dari bentuk dzikr paling terkenal yaitu  ritual “Dabus” yang disukai 

oleh tarekat Rifa‘iyyah, yang mengambil nama Ahmad al-Rifa‘i dari Irak 

(w. 1182), yaitu para jemaah menusuk-nusukkan jarum ke dada mereka 

tanpa mengalami luka. Tarekat-tarekat yang lain, seperti berbagai cabang 

Naqsyabandiyyah, dikenal dengan perenungannya yang hening. Apa pun cara 

dzikr yang digunakan, diyakini bahwa aktivitas semacam itu, jika dibimbing 

oleh seorang guru yang berpengetahuan, dapat menghasilkan visi ekstatik dan 

momen “penyingkapan” tabir misteri yang memisahkan hamba dari Tuhan 

disisihkan.

Menulis pada abad keempat belas, al-Yafi‘i mengenang bahwa sebagai 

seorang pemuda di Aden dia mengenal seorang lelaki yang sangat cakap 

dalam komunikasi mistis semacam itu. Lelaki ini bahkan membaiat al-Yafi‘i 

ke dalam persaudaraan Qadiriyyah. Lelaki ini dikenal sebagai Mas‘ud al-Jawi; 

Mas‘ud si orang Jawi.6 Di sini kita tampaknya memiliki bukti bagi teori A.H. 

Johns yang terkenal mengenai adanya hubungan antara perdagangan dan 

penyebaran Islam ke Nusantara di tangan para syekh tarekat. Meskipun karya 

al-Yafi‘i memainkan peranan dalam penyebaran kisah-kisah ‘Abd al-Qadir 

al-Jilani di Asia Tenggara, tidak ada ingatan lokal mengenai proses ini, jika 

memang terjadi di Sumatra dengan cara yang sama seperti di Aden. Sebaliknya, 

kita kerap mendapati kisah-kisah istana tentang bagaimana cahaya kenabian 

sampai ke kawasan ini.

Dalam beberapa kasus, seorang penguasa pada zaman leluhur 

konon berjumpa Nabi dalam mimpi, meminta pengakuan seorang utusan 

dari Mekah atas perpindahan agamanya dalam mimpi itu, atau pernah 

dikunjungi oleh seorang guru asing yang mampu menyembuhkan penyakit 

tertentu. Barangkali contoh yang paling terkenal ditemukan dalam Hikayat 

Raja Pasai: Raja Merah Silu (yang kemudian menjadi Malik al-Salih yang 

dikenang dengan batu nisan bertarikh 1297) bermimpi bahwa Nabi meludahi 

mulutnya. Begitu terbangun dia sesaat  bisa membaca Al-Quran. Kisah ini 

sangat mirip ‘Abd al-Qadir yang berbahasa Persia digambarkan fasih bertutur 

bahasa Arab dalam karya al-Yafi‘i, Khulasat al-Mafakhir (Ringkasan Tindakan-

Tindakan yang Membanggakan).

Lebih jauh, Merah Silu dikisahkan menerima seorang syekh dari Mekah 

untuk mengesahkan perpindahan agamanya, sebuah kisah yang semula 

tampaknya menunjuk pada sebentuk hubungan tarekat. Walaupun begitu, 

penekanan pada pengesahan dari Mekah lebih mencerminkan perhatian 

istana terhadap genealogi kekuasaan dan kekaguman sejak lama terhadap 

kota ini  sebagai kediaman abadi keluarga Nabi. Barangkali yang paling 

masyhur di antara banyak silsilah kerajaan Melayu yaitu  Sulalat al-Salatin 

(Silsilah Para Sultan) milik Kesultanan Malaka, yang memasukkan beberapa 

bagian dari Hikayat Raja Pasai dan mendahului garis keturunan Muhammad 

dengan menegaskan bahwa pendiri dinasti memiliki darah Alexander Agung.8

Bagaimanapun kondisi sebelum atau sesudahnya, Islamisasi kian 

mendekatkan kekuatan berbagai koneksi internasional yang menghubungkan 

Samudra Hindia dan Laut Tiongkok. Meskipun mengklaim sebagai keturunan 

Alexander dan Pasai, para penguasa Malaka menganggap diri mereka sebagai 

kerajaan bawahan Ming sampai ditaklukkan oleh Portugis pada 1511. Tentu 

saja, ada banyak hal yang tetap misterius mengenai Malaka. Sementara itu, 

Ibn Battuta (1304–77) yang kelahiran Tangiers mengklaim pada sekitar 1345 

bahwa penguasa Samudra Pasai menganut mazhab Syafi‘i (sebuah aliran 

penafsiran Hukum Islam yang dihubungkan dengan Muhammad b. Idris 

al-Syafi‘i [767–820]). Navigator yang lebih belakangan, Sulayman al-Mahri 

(bertugas 1500-an), malah meragukan keislaman orang-orang Malaka. Dia 

pasti punya alasan tertentu bagi keraguannya. Meskipun Undang-undang 

Melaka mendudukkan “hukum Tuhan” sebagai yang lebih tinggi ketimbang 

adat setempat, mereka kerap lebih menyukai yang terakhir.9

Gambar 2. Syarh Umm al-barahin, manuskrip, sekitar abad kesembilan belas. 

Sulalat al-Salatin tidak banyak bicara tentang kekhasan hukum ataupun 

teks-teks yang digunakan di kesultanan. Isinya hanya memuat beberapa 

pertanyaan ke Pasai mengenai keabadian pahala dan hukuman Tuhan serta 

permintaan khusus untuk menjelaskan sebuah naskah yang dibawa ke Malaka 

oleh “Mawlana Abu Bakr”. Pertanyaan ini  tampaknya terkait dengan 

perdebatan yang sedang terjadi mengenai pandangan mistikus Andalusia Ibn 

al-‘Arabi (1165–1240), yang menyatakan bahwa meski neraka itu kekal, akan 

ada akhir bagi penderitaan mereka yang disiksa di sana isebab  rahmat Tuhan 

melampaui murka-Nya. Sementara itu, naskah yang dibawa oleh Mawlana 

Abu Bakr, yang konon diajarkan secara langsung kepada Sultan Mansur 

Shah (berkuasa 1456–77), menyebutkan al-Durr al-Manzum (Mutiara yang 

Teruntai), sebuah judul yang oleh cendekiawan G.W.J. Drewes (1899–1993) 

dihubungkan dengan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058–1111).10

Di sisi lain, tidak ada sebuah naskah ataupun kesepakatan. Versi lain 

Sulalat al-Salatin yang diterbitkan oleh penulis Singapura ternama, Munsyi 

Abdullah (‘Abdallah b. ‘Abd al-Qadir, 1796–1854), menyatakan Durr al-

Manzum sebagai karya “Mawlana Abu Ishaq” dari “negeri atas angin” dan 

menjelaskan kandungannya sebagai sebuah risalah mengenai Esensi (dzat) 

Tuhan dan berbagai Atribut-Nya (sifat), yang ditambahi satu bagian lain 

mengenai Tindakan-Tindakan-Nya (af ‘al). Pernah disampaikan bahwa hal 

ini menunjukkan sebuah karya tentang mistisisme, meski lebih mirip sebuah 

buku pengantar mengenai akidah (yang tentu saja merupakan landasan bagi 

karya-karya mistis).11 Apa pun rahasia yang terkandung di balik Durr al-

Manzum, yang jelas Malaka, bersama bandar Pahang dan Patani di wilayah 

utara semenanjung, memainkan peranan dalam perubahan Kepulauan 

Maluku dan proses ini  terkait dengan penarikan rempah-rempah untuk 

pasar global yang tengah berlangsung.

DARI TIONGKOK KE JAWA?

Raja-raja Kepulauan Maluku tidak hanya berhubungan dengan muslim Melayu 

pada abad kelima belas. Perdagangan dengan Tiongkok tetap menjadi kunci bagi 

kesuksesan yang terus berlanjut di Asia Tenggara, seperti halnya perpindahan 

ke agama terakhir dari agama-agama dunia ini. Dengan demikian, bangsa 

Tiongkok dan muslim Jawa juga hadir di panggung, berlayar dari bandar-

bandar yang baru saja mengalami perubahan seperti Tuban dan Gresik, yang 

berhasil masuk ke jalur pelayaran Arab. Kemunculan Patani sebagai sebuah 

kota muslim juga yaitu  jasa dari kontak Tiongkok-Jawa. Hal ini dikenang 

melalui nama pelabuhannya, yang juga dikenal sebagai Gresik. Naturalis 

Jerman Rumphius (1627–1702; lihat Bab 4) belakangan juga berkomentar 

bahwa orang Jawa di Ambon dikenal sebagai “orang-orang Tuban”.12

Bandar-bandar seperti Gresik dan Tuban muncul di pesisir utara Jawa 

di bawah pengaruh orang-orang kuat yang sekarang dikenang sebagai para 

wali, berasal dari kata bahasa Arab yang menyiratkan kedekatan kepada 

Tuhan. Tak diragukan lagi diskusi tentang sejarah Islam di Indonesia tak akan 

lengkap tanpa menyebut “Sembilan Wali” (Wali Sanga), yang dihubungkan 

dengan Islamisasi Jawa. Mereka meliputi Malik Ibrahim dan “Tuan” (Sunan) 

Bonang, Ampel, Drajat, dan Kalijaga. Yang disebut pertama, juga dikenal 

sebagai Mawlana Maghribi, merupakan orang Arab yang tiba sekitar 1404 

dari Champa (Vietnam masa kini) dan meninggal di Gresik pada 1419. 

Beberapa wali yang lain juga merupakan orang Arab. Barangkali yang paling 

terkenal yaitu  murid Mawlana Maghribi yang cakap, Sunan Kalijaga, yang 

dianggap sebagai perwujudan arketipe muslim Indonesia, yang “lentur, 

tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”, berbeda dari tanah 

yang dijadikan nama gurunya, yang digambarkan Geertz sebagai “pemujaan 

wali dan kekakuan moral, kekuatan magis dan kesalehan yang agresif ”.13

Kerap disebut sebagai contoh kelenturan Indonesia, sebagian dari Wali 

Sanga disebut telah menciptakan berbagai bentuk kesenian untuk menjelaskan 

Islam dalam idiom lokal. Sunan Kalijaga disebut telah menciptakan teater 

bayangan boneka (wayang); Sunan Drajat dianggap menggubah sebuah melodi 

untuk orkestra perkusi tradisional (gamelan), dan Sunan Bonang dinyatakan 

menciptakan bentuk pengajaran puitis yang dikenal sebagai suluk, sebuah 

istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang berarti ‘perjalanan’ seseorang 

dalam mencari pengetahuan Ilahiah. Selain itu, terdapat beberapa cerita 

Jawa mengenai Mawlana Maghribi dan para sahabatnya yang menunjukkan 

bahwa mereka mengandalkan jaringan perdagangan yang sama yang akan 

memperkaya Patani, tempat Mawlana Maghribi juga diklaim sebagai 

seorang wali pendiri. Sebuah laporan dari Cirebon, di perbatasan Jawa Barat, 

menunjukkan bahwa Laksamana Zheng He (1371–1433) dari Dinasti Ming-

lah yang berjasa menyemai komunitas-komunitas Muslim yang bermazhab 

Hanafi di pulau ini.

Di sisi lain, beberapa silsilah Arab yang lebih belakangan, seperti 

yang disusun oleh ‘Abd al-Rahman al-Masyhur dari Tarim (1834–1902), 

menyatakan bahwa seluruh Wali Sanga yaitu  keturunan Nabi (Ar. sayyid). 

Secara lebih khusus silsilah al-Masyhur menegaskan bahwa mereka, seperti 

sang ahli silsilah sendiri, berasal dari keluarga seorang lelaki bernama ‘Alawi, 

yang kakeknya hijrah ke Hadramaut pada 951.16 Namun, bangsa Tiongkok 

tetap tidak terhapus dari sejarah Indonesia, seperti terlihat dalam kisah Sunan 

Gunung Jati, seorang Melayu yang dilahirkan di Pasai dengan nama Nur 

Allah, yang pergi ke Mekah sesudah  Portugis menaklukkan kota kelahirannya 

pada 1521. Menurut berbagai legenda Indonesia, dia kembali ke Nusantara 

dan menikahi adik perempuan Sultan Trenggana dari Demak sekitar 1523, 

lalu pindah ke Banten sekitar 1527, dan akhirnya menetap di Cirebon. Di 

sana dia menikahi seorang Tionghoa setempat yang warisannya ditunjukkan 

secara mencolok dengan pola awan di pintu-pintu makamnya dan gaya kain 

batik khas yang terkenal di kota itu.

Semangat berbagai pihak yang datang belakangan untuk menguasai 

berbagai sejarah suci Jawa mengingatkan kita bahwa para pendiri memiliki 

arti penting politik yang besar, tanpa memandang apakah mereka datang ke 

Nusantara sebagai petualang Arab atau sebagai pengelola bisnis Tionghoa. 

Dari mana pun asal usul mereka, masing-masing wali kini memiliki sebuah 

kompleks pemakaman, yang kerap merupakan tanda kemasyhuran mereka. 

Misalnya, puncak Bukit Giri, di Gresik di pesisir timur Jawa, terdapat 

situs makam Sunan Giri yang cemerlang, yang klannya menghasilkan para 

pemimpin yang oleh Belanda dikenal sebagai “paus” Jawa. Makam-makam 

semacam itu menjadi situs peziarahan dan dikunjungi oleh orang-orang 

beriman yang mencari berkah Tuhan, atau perantaraan aktif sang wali untuk 

kepentingan mereka.

Baik dalam berbagai silsilah yang diyakini sebagai silsilah Wali Sanga, 

yang ditemukan dalam pamflet-pamflet yang dibagikan kepada para peziarah, 

maupun dalam karya-karya kecendekiawanan mengenai warisan Islam 

Indonesia, kebanyakan penulis sangat yakin terhadap kontribusi para wali 

itu terhadap pembentukan Jawa. Warisan ini , sebagaimana akan kita 

lihat, sebagian dihidupkan kembali berkat campur tangan para cendekiawan 

Belanda, melalui riset yang mengantar mereka pada berbagai manuskrip 

yang akhirnya sampai ke koleksi Eropa. Melalui naskah-naskah inilah kita 

memperoleh pengetahuan tertentu mengenai ajaran para wali dalam dua 

abad pertama sejak kedatangan mereka. Meskipun Wali Sanga lazim dikenal 

memiliki kelenturan kultural, perhatian mereka lebih diarahkan untuk 

menanamkan norma-norma perilaku secara keras dalam warga  yang 

tidak semua orang di dalamnya yaitu  muslim. Seorang apoteker Portugis, 

Tomé Pires, misalnya, mencatat pada awal abad keenam belas bahwa kawasan 

pesisir Jawa barangkali sudah memeluk Islam, namun  wilayah pedalaman 

belum.

Salah seorang perwakilan Islam pesisir yaitu  Seh Bari, yang mewariskan 

kepada murid-muridnya serangkaian ajaran yang dirumuskan sebagai 

“dasar-dasar menempuh jalan mistis”. Dinilai dari ajarannya, Islam yang 

dikembangkan pasti bukan sebuah ajaran sinkretis yang mengakomodasi 

praktik-praktik lokal. Sebaliknya, Seh Bari mengajukan dalil-dalil bagi sebuah 

komunitas elite yang mencari pengetahuan mengenai (1) hakikat Tuhan 

berdasar  penafsiran Qurani; (2) apakah Tuhan berbeda dari makhluk; 

dan (3) bagaimana seorang hamba bisa mengenal transendensi-Nya. Dalam 

menjelajahi pertanyaan-pertanyaan ini , Seh Bari merujuk kepada al-

Ghazali, yang dia gunakan untuk melawan teologi esoteris Ibn al-‘Arabi, 

terutama menentang gagasan “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud) yang 

dikembangkan para pengikut Ibn al-‘Arabi yang beranggapan bahwa Tuhan 

dan makhluk pada dasarnya identik.

Begitu pula, seorang guru lain dari masa awal, Seh Ibrahim, mendorong 

murid-muridnya untuk menjaga jarak dari berbagai godaan duniawi, dan 

untuk mengambil inspirasi dari Khidr, sosok nabi yang disebutkan secara 

samar dalam Al-Quran (18:65–82) dan banyak hikayat Alexander. Banyak 

pertanyaan sudah diajukan mengenai penentuan tarikh naskah Seh Ibrahim, 

namun  pandangannya barangkali bisa dianggap mewakili sikap pada periode 

formatif Islamisasi di Jawa. Karya-karya al-Ghazali dan al-Yafi‘i dikutip untuk 

menentang contoh-contoh heterodoksi ekstrem, dan pelanggaran Syari‘ah. 

Hal ini ditegaskan dalam sebuah teks tambahan yang menggambarkan 

pertemuan delapan wali yang masing-masing menjelaskan pemahamannya 

mengenai ma’rifat. Salah seorang dari mereka, Siti Jenar, berani menyatakan, 

“Akulah Allah. Siapa lagi aku kalau bukan Dia?” Siti Jenar dikecam isebab  

mengungkapkan doktrin Ibn al-‘Arabi kepada publik.

isebab  tetap bersikukuh, Siti Jenar pun dieksekusi. Nasib serupa 

konon menimpa para guru lain yang tidak hati-hati. Walaupun sulit untuk 

diverifikasi, kisah-kisah ini biasa dianggap sebagai katalis bagi diskusi mengenai 

perjumpaan mistisisme Jawa (dan secara otomatis, Indonesia) dengan Arab. 

Dalam kecendekiawanan Eropa, digambarkan beberapa kesamaan antara 

eksekusi Siti Jenar dan Mansur al-Hallaj dari Bagdad (858–922) yang terkenal. 

Menariknya, perbandingan serupa dengan kisah al-Hallaj mudah ditemui 

di Indonesia masa kini, namun  patut dicatat bahwa perbandingan demikian 

mendahului publikasi karya-karya Barat mengenai persoalan ini. Juga patut 

ditunjukkan bahwa meskipun Siti Jenar dan al-Hallaj bernasib sama isebab  

kejahatan yang sama, tidak harus ada hubungan dengan silsilah tarekat mana 

pun, atau setidaknya tidak dengan tarekat yang berakar dalam warga  di 

luar elite istana.

DARI HAMZAH AL-FANSURI KE SEBUAH MOMEN UTSMANI

Pemahaman mengenai ajaran-ajaran Wali Sanga di Jawa terbatas, demikian 

juga materi seputar bandar Semenanjung Malaka. Hanya ada beberapa 

rujukan tak penting filsafat Ibn al-‘Arabi mengenai rahmat Tuhan atau unsur-

unsur hukum yang tampaknya kurang ditekankan dalam Sulalat al-Salatin. 

Penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511 mengakhiri keinginan apa pun 

yang mungkin dimiliki Malaka untuk menjadi pusat pengetahuan Islam, 

dan sebaliknya menciptakan sebuah peluang bagi bandar-bandar lain untuk 

menyalurkan perdagangan Tiongkok-Muslim yang lewat. Para penguasa 

wilayah yang nantinya akan menjadi Kesultanan Aceh termasuk di antara 

mereka yang mewarisi keuntungan itu. Mereka mulai memperluas wilayah 

dengan mengorbankan Pasai, bandar yang pernah memasok para cendekiawan 

ke Malaka dan barangkali bahkan kisah mengenai perpindahan agamanya.

Seperti Malaka dan Pasai, Majapahit yang nonmuslim juga mengalami 

kekacauan. sesudah  pengepungan yang gagal terhadap Malaka Portugis, 

Majapahit digulingkan oleh pasukan dari Demak pada 1527. Beberapa waktu 

sesudah nya Majapahit didirikan kembali sebagai Mataram Islam. Negara ini 

mencapai puncaknya seabad kemudian di bawah Sultan Agung (berkuasa 

1613–46). Raja ini mengawali kekuasaannya dengan menundukkan pantai 

utara dan memungkasi rangkaian kemenangannya dengan penjarahan 

Surabaya pada 1625. Istananya kemudian menjadi sponsor karya-karya 

yang menurut M.C. Ricklefs menampilkan bukti bagi sebuah “sintesis 

mistis” yang sudah jadi (bukannya baru mulai), memadukan Islam non-Jawa 

dengan sebuah bentuk domestik yang sebenarnya sudah ada sejak Wali Sanga 

menyelesaikan pekerjaan mereka.

Para sunan pesisir utara Jawa juga memiliki pengaruh di tempat lain 

di Nusantara—tempat pusat-pusat perdagangan semakin mendekatkan 

berbagai kawasan Islam—termasuk bandar-bandar seperti Gowa (Makassar), 

kepangeranan pertama di Sulawesi yang diislamkan (awal abad ketujuh belas). 

Dengan dukungan para sunan di Giri, Gowa menjadi pengislam yang aktif 

baik terhadap para tetangganya maupun terhadap pulau-pulau lain yang lebih 

jauh seperti Banda, Lombok, dan Sumbawa. Beberapa pihak menyatakan 

bahwa, pada pengujung abad keenam belas, para penguasa Sulawesi sudah 

mulai membangun otoritas mereka berdasar  model “manusia sempurna” 

(al-insan al-kamil) ala Sufi sembari melihat Mataram dan Aceh untuk mencari 

model praktis. 

Tak diragukan lagi, terdapat bukti bahwa gagasan-gagasan Sufi 

merembesi berbagai tradisi lokal di Nusantara, mengingat mencoloknya 

popularitas Khidr sebagai acuan gagasan manusia sempurna. Belum lagi 

kemungkinan untuk sepenuhnya mengenal Tuhan dengan melewati “lima 

tingkatan wujud” yang dirumuskan ‘Abd al-Karim al-Jili (1365–1428). Besar 

kemungkinan gagasan-gagasan semacam itu dikenal banyak warga  

Indonesia melalui karya-karya seorang Melayu dari Sumatra Utara, bernama 

Hamzah al-Fansuri. Seperti Wali Sanga, dia dianggap menciptakan sebuah 

bentuk kesenian, yaitu berupa syair puitis Melayu (dari bahasa Arab syi’r). 

Pengembaraan Hamzah membawanya jauh dari tanah airnya. Sebuah prasasti 

pemakaman yang ditafsirkan baru-baru ini menunjukkan bahwa hidupnya 

berakhir di Mekah pada 1527. Penanggalan baru ini telah secara radikal 

mengubah pemahaman kita mengenai sejarah sastra dan Sufisme Melayu 

isebab  Hamzah al-Fansuri biasanya ditempatkan di istana Aceh di bawah 

Iskandar Muda (1607–36). 

Apa pun kebenaran masalah ini, kebanyakan literatur menunjukkan 

bahwa puisi al-Fansuri diselimuti oleh gambaran-gambaran Sufi yang 

menggemakan dunia maritim bangsa Melayu. Dalam sebuah puisi, Tuhan 

ditampilkan sebagai samudra mahaluas yang harus diarungi dengan kapal 

Syari‘ah dalam perjalanan menuju pulau-pulau surga. Puisi lain mengibaratkan 

hubungan antara Tuhan dan manusia seperti hubungan gelombang dan laut, 

gelombang yaitu  laut, namun  bukan laut itu sendiri.

berdasar  manuskrip yang ada dan berbagai rujukan pada karangan 

al-Fansuri, jelas dia memperoleh popularitas yang luas. Lebih jauh lagi, 

yaitu  hal yang menggoda untuk menempatkan wali Jawa masa depan, Nur 

Allah, di antara para pengikut al-Fansuri di Mekah, sebelum kepergiannya 

ke Jawa dan akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Makam al-Fansuri 

sendiri pernah menjadi situs yang diziarahi oleh orang-orang Asia Tenggara 

lainnya, yang menyebutnya sebagai “sang guru di Mekah”. Para peziarah 

yang jumlahnya cukup banyak itu mengukir nisannya dengan penyebutan 

“Fansuri” secara khusus ketimbang sebutan “Jawi” yang lebih umum. Nisan 

itu menandakan dia yaitu  seorang “guru”, “zahid”, “sumber kejelasan”, 

dan “syekh Marabout”, semua gelar yang pantas bagi seorang guru tarekat 

Sufisme. Al-Fansuri dalam puisinya juga menyinggung tentang bergabung 

dengan tarekat ‘Abd al-Qadir al-Jilani di Ayutthaya, Siam.

Sayangnya, seperti Mas‘ud al-Jawi dari Aden pada masa sebelumnya, 

tak ada bukti bahwa al-Fansuri pernah membaiat orang lain. Sebagian dari 

pelawat asing yang tertarik ke pesisir Aceh yang semakin sejahtera sepanjang 

abad keenam belas bisa jadi memiliki hubungan dengan tarekat-tarekat 

tertentu. Al-Fansuri bisa saja membuat mereka mungkin berpikir seorang Jawi 

juga memiliki hubungan demikian. 

Salah satu petunjuk potensial pada adanya pengetahuan umum mengenai 

tarekat yang tersebar luas sesudah  wafatnya Hamzah yaitu  adopsi mencolok 

terhadap istilah Arab murid (calon atau pengikut Sufi) untuk menyebut “pelajar”. 

Kata murid hanya ditemukan sekali dalam puisi-puisi Hamzah (dan dengan 

makna yang berbeda). Kata itu muncul dengan makna modernnya dalam tiga 

roman Melayu dari pertengahan abad keenam belas. Ketiganya yaitu  Hikayat 

Amir Hamzah, Hikayat Inderaputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ketiga 

roman ini sebenarnya merupakan terjemahan sehingga membuat kita bertanya-

tanya mengenai karya-karya pendahulu dan pengaruhnya.

Tahun 1527—saat  Hamzah kemungkinan wafat di Mekah dan pasukan 

muslim Demak menyerbu pedalaman Jawa—harus dipandang sebagai tahun 

yang sangat penting bagi Islam di Asia Tenggara. Meski menguasai Malaka, 

Portugis gagal menggantikan lawan-lawan mereka di Dunia Lama dan juga 

gagal menyingkirkan muslim yang telah lebih dulu ada di Kepulauan Maluku. 

Pada 1570-an posisi Iberia jelas sedang lemah. Ada beberapa petunjuk bahwa 

hal ini merupakan akibat dari kebijakan yang diterapkan Utsmani saat  faksi 

anti-Portugis berhasil mendapatkan pengaruh, sebagai upaya memperbaiki 

hubungan dengan beberapa  penguasa yang tidak puas di Samudra Hindia. 

Sebagaimana Bani Rasul di Yaman pada masa sebelumnya merupakan 

pemberi perlindungan yang penting di lautan, bantuan Utsmani pastinya menarik 

bagi para penguasa muslim, atau mereka yang berpura-pura menjadi penguasa 

muslim, dalam jaringan kesultanan-kesultanan Gujarat, Benggala, dan Kepulauan 

Maladewa, serta dalam berbagai komunitas Muslim otonom yang hidup di 

bawah penguasa nonmuslim seperti sang Zamorin di Calicut. Sementara itu, para 

penguasa Aceh yang kian percaya diri mengirim utusan kepada Sulayman Qanuni 

(berkuasa 1522–66) memohon bantuan meriam Utsmani untuk menyerang 

Malaka Portugis serta memenuhi ambisi regional mereka sendiri. 

Walaupun begitu, meski berkali-kali dijanjikan, nyatanya campur tangan 

Utsmani hanya terbatas. Memang banyak tentara bayaran dari Turki dan 

sekutu dari Abisinia, Mesir, dan Gujarat diketahui terlibat pertempuran dari 

Dataran Tinggi Batak di Sumatra hingga Pulau Ternate di Maluku—tempat 

Sultan Bab Allah (berkuasa 1570–84) berhasil mengusir orang-orang Iberia 

pada 1575. Adapun meriam “Utsmani” yang terkenal di Aceh sebenarnya 

dibuat oleh para penguasa Turki di Gujarat. Juga, sumpah setia bangsa Aceh 

kepada sultan Utsmani barangkali dibuat-buat oleh seorang makelar rempah 

ambisius, yang hanya memberikan sedikit petunjuk mengenai perdebatan 

ajaran yang berlangsung di sebuah istana yang akan menjadi lokasi bagi 

perdebatan yang benar-benar sangat terkenal.

ACEH, BANTEN, DAN MATARAM PADA ABAD KETUJUH BELAS

Dan demikianlah, di antara kerumunan sebagian orang berkata kepada 

yang lain, “Betapa megahnya balairung Penguasa kita Yang Mulia. Banyak 

negeri di bawah dan atas angin telah kita lihat, namun  dari semua istana raja-

raja agung, tak satu pun bisa dibandingkan balairung Penguasa kita Yang 

Sempurna. Sungguh, negeri Aceh Dar al-Salam yaitu  serambi Mekah!”

Aceh abad ketujuh belas kerap dipandang sebagai model bagi Islam Indonesia, 

terutama selama masa kesultanan Iskandar Muda yang gemar berperang, 

hampir semasa dengan Sultan Agung di Jawa. Historiografi modern kadang 

menampilkan Aceh sebagai pusat kekuasaan dan pengetahuan yang dianggap 

sepadan dengan Imperium Utsmani. Ada kebenaran dalam hal ini. Raja-

raja Aceh seperti ‘Ali Mughayat Shah (berkuasa sekitar 1514–28) barangkali 

sudah mulai menugaskan penggantian batu nisan pada makam-makam kuno 

para raja Pasai sebagai usaha untuk mengklaim kesinambungan dengan 

tempat kelahiran Islamisasi regional. Para penguasa awal kemungkinan besar 

menyadari status mereka sebagai raja baru, seabad kemudian mereka semakin 

percaya diri dengan tempat mereka di Dunia (Islam). Iskandar II (berkuasa 

1636–1641), yang bandarnya mengirimkan rempah-rempah ke Mediterania 

dalam kapal-kapal Gujarat, bahkan memimpin ziarah ke makam “para 

leluhur” di Pasai pada akhir 1630-an.

Para penguasa Aceh juga membagi-bagikan sumbangan kepada para 

cendekiawan Islam, yang dikenal sebagai ulama (sebagian mengklaim punya 

hubungan dengan bandar Pasai), yang melakukan perjalanan di kapal yang 

sama. Cukup pasti bahwa di antara mereka ada Syams al-Din al-Sumatra’i 

(alias Syams al-Din dari Pasai, w. 1630), yang mungkin serupa “archbishop” 

(uskup agung) berkedudukan tinggi yang dilihat di istana Aceh oleh John Davis 

(sekitar 1550–1605) pada 1599, atau juga sama dengan “chiefe bishope of the 

realme” (kepala uskup kerajaan) berkemampuan bahasa Arab yang dijumpai 

James Lancaster (w. 1618) pada 1602. Syams al-Din yang bisa berbahasa Arab 

bertugas pada masa meningkatnya kontak Jawi dengan ujung barat Samudra 

Hindia yang semakin banyak memeluk Islam. Dia berperan sangat penting 

dalam mengarahkan peralihan dari lima tingkatan pengetahuan al-Jili menuju 

gagasan tujuh tingkatan yang kian berpengaruh. Hal ini dikuatkan pada 1590 

oleh seorang Gujarat bernama Muhammad b. Fadl Allah al-Burhanpuri (w. 

1620) dalam risalahnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (Bingkisan 

yang Dipersembahkan kepada Ruh Nabi).

Dalam skema ini, pengenalan terhadap Tuhan terentang dari yang 

mungkin hingga yang tak mungkin. Pada inti yang terdalam terdapat wujud 

Tuhan yang tak tertembus dan tak terketahui, yang diliputi oleh enam 

emanasi lanjutan yang memuncak dalam dunia terakhir “manusia sempurna”. 

Para cendekiawan kerap membagi tujuh tingkatan ini antara tiga tingkatan 

dalam yang berhubungan dengan “esensi abadi” (a‘yan tsabitah) Tuhan yang 

tak berubah dan empat “esensi eksternal” (a‘yan kharijah) yang mengitarinya, 

yang dapat dipersepsi dengan cara tertentu. Bisa dipersepsi atau tidak, ini 

yaitu  sebuah teologi yang tidak dimaksudkan untuk orang-orang awam. 

Hanya para cendekiawan yang mahir seperti Syams al-Din yang mampu 

memperdebatkan kegunaannya dengan para sejawat di seberang Samudra 

Hindia atau menjelaskannya secara perinci kepada para patron istana mereka, 

yang bisa jadi ingin tahu lebih banyak mengenai metode para Sufi semacam 

al-Burhanpuri, yang dikenal sebagai guru tarekat Syattariyyah.

Tarekat Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah berkembang di India, Arabia, 

dan Yaman. Namun, sekali lagi, hanya ada sedikit bukti mengenai koneksi 

tarekat tertentu di kalangan para cendekiawan Jawi dan patron mereka sebelum 

abad ketujuh belas. Meski Syams al-Din diyakini telah membaiat Iskandar 

Muda ke dalam persaudaraan Naqsyabandiyyah, tidak ada bukti kuat bahwa 

Iskandar Muda mengucapkan baiat kepada seorang syekh Naqsyabandi. Juga 

tidak ada silsilah yang lestari bertarikh sebelum abad kesembilan belas yang 

menghubungkan Iskandar Muda dengan Naqsyabandiyyah, atau tarekat apa 

pun, yang kemudian aktif di kawasan Melayu.

Meski demikian, seseorang tidak harus menjadi anggota sebuah tarekat 

Sufi untuk menjadi penganjur teologi mistis yang disebarkan Syams al-

Din. Dia kemudian digantikan oleh seorang cendekiawan setempat yang 

memiliki kecenderungan ekstrem bernama Kamal al-Din, yang jabatannya 

terancam oleh kedatangan seorang cendekiawan dari Gujarat pada Mei 1637. 

Cendekiawan Gujarat itu yaitu  Nur al-Din al-Raniri (w. 1658), seorang 

anggota komunitas Hadrami yang penting dan cukup besar di Surat, yang 

keluarganya sudah memiliki hubungan dengan Melayu. Seorang pamannya 

telah memberikan pelajaran-pelajaran dasar di Aceh di bawah ‘Ala’ al-Din 

Perak (berkuasa 1577–85), dan ada petunjuk bahwa dia sudah dikenal oleh 

Iskandar II yang lahir di Pahang, yang menggantikan Iskandar Muda.

Al-Raniri sepertinya sangat tidak senang isebab  Kamal al-Din 

mengajukan gagasan (bahkan mungkin di hadapan publik) bahwa Tuhan 

yaitu  “ruh dan wujud” dan manusia yaitu  “ruh dan wujud-Nya”. Meski tidak 

ada bukti mengenai perumusan dengan kalimat ini dalam sumber-sumber 

sebelumnya yang berbahasa Melayu atau Arab yang kita ketahui sekarang, 

al-Raniri menghubungkan ucapan itu pada tulisan al-Fansuri dan Syams al-

Din. Hal ini menjadi lebih mengejutkan mengingat sebelumnya al-Raniri 

memuji Syams al-Din, yang juga dikenal mendorong agar karya-karya mistis 

dijauhkan dari jangkauan orang awam. Bagaimanapun, ini yaitu  penyalahan 

isebab  asosiasi. sesudah  serangkaian perdebatan di hadapan Iskandar II, 

Kamal al-Din yang tampaknya tidak mau bertobat pun dieksekusi, sementara 

buku-buku para pendahulu Jawi-nya (yang barangkali memuat rumusan itu) 

diperintahkan untuk dibakar.

Selanjutnya, al-Raniri praktis berkuasa dalam semua urusan keagamaan 

dan negara di bawah sang sultan. Meninggalnya sang sultan pada 1641 dan 

penobatan jandanya, Safiyyat al-Din (berkuasa 1641–75), tidak membuat al-

Raniri risau sedikit pun. Bahkan, kemungkinan besar al-Raniri puas saat  

janda sang sultan mengawali kekuasaannya dengan menghormati kesepakatan 

dagang dengan Gujarat, yang membuat Belanda waswas. Sebaliknya, hal ini 

merupakan pengulangan perdebatan teologi yang membenarkan pengusiran 

al-Raniri dua tahun kemudian dengan kembalinya seorang murid Kamal al-

Din pada Agustus 1643. Dia yaitu  seorang lelaki suku Minangkabau dari 

Sumatra Barat bernama Sayf al-Rijal (w. 1653), yang konon pernah belajar 

langsung di Gujarat. Meski ini mungkin benar, sebuah dokumen yang 

diidentifikasi baru-baru ini menunjukkan bahwa dia juga menyebut dirinya 

Sayf al-Din al-Azhari, menyiratkan bahwa dia memiliki pengalaman di masjid 

utama di Kairo, al-Azhar.

Didirikan oleh Dinasti Fatimiyyah pada abad kesepuluh, al-Azhar 

menjadi terkenal sebagai pusat otoritas yuridis Suni sesudah  mereka digulingkan 

oleh Dinasti Ayyubiyyah pada 1171. Al-Azhar dilindungi oleh para penguasa 

Mamluk di Kairo (1250–1517), yang menyokong tempat-tempat suci di 

Arabia sampai mereka ditumbangkan dan digabungkan oleh Utsmani. Sebagai 

tujuan terakhir perdagangan rempah Samudra Hindia, Kairo sangat dikenal 

oleh para pedagang Asia Tenggara. Para sultan awal Sumatra tampaknya 

meniru nama-nama kerajaan Ayyubi. Bangsa Aceh pun menyambut para 

cendekiawan Mesir pada abad keenam belas. Bustan al-Salatin (Taman Para 

Sultan) dari Aceh melaporkan bahwa istana menampung seseorang bernama 

Muhammad al-Azhari pada 1570-an, dan menyusul pada 1580-an seorang 

ahli mengenai a‘yan tsabitah yang diisyaratkan sebagai kerabat ahli hukum 

terkenal Mesir yang bermukim di Mekah, Ibn Hajar al-Haytami (1504–67).

Identifikasi Sayf al-Din sebagai Sayf al-Rijal didukung oleh fakta bahwa 

al-Raniri belakangan sadar bagaimana lawannya itu menyatakan bahwa 

pendekatannya yaitu  “pendekatan semua wali di Mekah dan Madinah”.

Belum ada bukti mengenai seorang wali pun di Mekah dan Madinah yang 

pernah menyatakan secara terang-terangan bahwa doktrin kesatuan wujud 

menyiratkan ruh dan wujud yang bisa saling dipertukarkan. Sebaliknya, 

pernyataan itu tampaknya merupakan sebuah kontribusi khas Aceh pada filsafat 

Islam, dan sumbangan itu segera musnah sepenuhnya seperti penggagasnya 

saat  gelombang pengajaran tarekat yang lebih ortodoks menyapu pesisir 

Aceh. Barangkali upaya selanjutnya untuk menekan pengungkapannya sesudah  

al-Raniri muncul dalam sebuah risalah pendek yang ditulis Muhammad al-

Manufi (w. 1663) dari Kairo, yang ditanyai (mungkin sesudah  pengusiran 

al-Raniri) apakah para pengikut Kamal al-Din yaitu  “orang-orang yang 

mencapai pengetahuan” (muhaqqiqun) sejati. 

Dalam jawabannya, al-Manufi menggunakan perkataan Imam Nawawi 

(w. 1277–78) dan Ibn Hajar al-Haytami untuk menunjukkan bahwa ada 

banyak “Sufi palsu yang bodoh” yang menyibukkan diri dengan karya-

karya Ibn al-‘Arabi dengan mengorbankan ilmu-ilmu formal Syari‘ah dan 

juga tarekat, mengabaikan hukum dan bahkan bersenang-senang dengan 

lawan jenis. Namun, saat  dia beralih untuk membahas pernyataan terang-

terangan bahwa “Tuhan yaitu  ruh dan wujud kita”, dia menyatakan bahwa 

kekurangannya tidak ada dalam buku-buku Ibn al-‘Arabi, namun  dalam diri 

kaum antinomi itu sendiri yang teperdaya.

Sisa risalah al-Manufi meringkas perdebatan mengenai makna Keesaan 

Tuhan dan sifat-sifat Tuhan yang bisa dipahami, kritik terhadap kesalahan 

penafsiran pseudo-Kristen atas kitab suci, dan kecaman terhadap majelis-

majelis tempat para mistikus mengklaim mengalami keajaiban wahyu dan 

penglihatan taman surgawi. Seperti akan kita lihat dalam buku ini, jenis 

keprihatinan yang diajukan al-Manufi akan muncul lagi dan lagi. Begitu pula, 

pembelaannya dibuat dengan merujuk pada pernyataan bahwa Islam lokal 

merupakan bentuk Mekah yang lebih sejati, meski tempat otoritas hukum 

sangat sering berada di Mesir dan kecendekiawanan Mesir, tempat tarekat 

menjadi bagian krusial dari jalinan sosial di bawah pemerintahan Utsmani. 

Walaupun begitu, juru tulis Aceh yang membuat terjemahan baris-baris 

risalah al-Manufi memiliki gagasannya sendiri mengenai majelis semacam itu 

dan memastikan untuk memperluas komentar dalam bahasa Melayu terhadap 

penyebutan al-Manufi pada “Ibn ‘Arabi dan Ibn Farid serta para pengikut 

mereka”, menambahkan, “serta semua ulama muhaqqiqin Aceh Dar al-Salam, 

seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syams al-Din al-Sumatra’i, Syekh 

Kamal al-Din Ashi, dan Syekh Sayf al-Din Azhari, semoga rahmat Tuhan 

Yang Mahakuasa diberikan kepada mereka semua!”

Mengesampingkan barisan para cendekiawan yang mencolok itu (yang 

mencerminkan hasrat post factum untuk mengklaim keempat orang itu 

sebagai eksponen Islam Aceh), rujukan yang diulang-ulang pada muhaqqiqin 

(yang berbentuk jamak) merupakan hal penting. Merujuk pendapat Ibn al-

‘Arabi, pada dasarnya seorang muhaqqiq yaitu  orang yang berusaha mencari 

“kenyataan” (haqq) tertinggi Tuhan. Tak diragukan lagi, istilah ini dan 

bentuk verbalnya, tahqiq, melimpah dalam berbagai risalah yang berkaitan 

dengan Sufisme dalam dunia Jawi dan dengan guru-guru Sufi Arabia yang 

mulai dikagumi para penulis. Namun, kita harus menengok Mesir pada awal 

abad ketujuh belas untuk memahami asal usul dan arti pentingnya, seperti 

yang dilakukan orang-orang Aceh yang berdebat mengenai Kamal al-Din. 

Pasalnya di wilayah ini , belakangan ini, perdebatan mengenai tahqiq 

dan penerapannya kian diminati, dalam pengertian yang lebih teknis sebagai 

“verifikasi” dari maksud kitab suci. 

Ada yang menyatakan bahwa hal ini berasal dari dua arus kedatangan 

cendekiawan ke wilayah Timur Arab. Di satu sisi terdapat para guru ahli 

“kitab-kitab bangsa Persia” dari suku Azeri dan Kurdi, yang melarikan diri dari 

perluasan negara Safawi yang Syi‘ah. Di sisi lain, para cendekiawan yang datang 

dari wilayah Barat Arab dan memopulerkan karya-karya para ahli logika dari 

masa lebih awal, seperti Muhammad b. Yusuf al-Sanusi (w. 1495) dari Maroko.

Dalam beberapa segi, yaitu  hal yang pas meski ganjil bahwa seorang Jawa yang 

menyalin komentar al-Sanusi terhadap buku pengantarnya sendiri, Umm al-

barahin (Induk Segala Tanda), tergelincir sejenak saat  menggambarkan sang 

pengarang sebagai “kebanggaan para wali muhaqqiqin” (lihat Gbr. 2, baris 9). 

Namun, tidak semua ulama Timur Arab mendukung kaum muhaqqiqin yang 

baru itu dan para pewaris mereka. Orang Aceh yang menyalin fatwa al-Manufi 

menganggap pandangan-pandangan sang mufti Kairo itu bertentangan dengan 

pandangannya sendiri, dan memohon perlindungan kepada Tuhan “dari 

kejahatan orang-orang yang menolak perkataan semua ulama muhaqqiqin.”

Kita harus berhati-hati dalam menyatakan bahwa perdebatan antara al-

Raniri dan Kamal al-Din mewakili pertikaian antara Islam Melayu-Indonesia 

yang damai dan mistis dan intoleransi Indo-Arab yang skripturalis, yang hanya 

mengacu pada teks. Perdebatan mendukung dan menentang kaum muhaqqiqin 

akan berkecamuk di semua bagian dunia Islam. Meski masa jabatan al-Raniri 

kontroversial, namun  dia menghasilkan karya-karya yurisprudensi Islam (fiqh) 

yang tetap bertahan dalam kanon Melayu sesudah  pengusirannya. Juga jelas 

bahwa para penulis pada masa berikutnya menghargai desakan al-Raniri 

terhadap penggunaan secara tepat terhadap tradisi muslim yang terbukti asli 

dan penolakannya terhadap roman-roman Melayu seperti Hikayat Seri Rama 

dan Hikayat Inderaputra

Barangkali akar persoalannya ada pada bersedia atau tidaknya para calon 

muhaqqiqin untuk memadukan ajaran mereka dengan tulisan-tulisan semacam 

itu. Dilihat dari perspektif masa kini, ada banyak hal yang bisa ditolak dalam 

banyak roman yang memanusiakan nama-nama pertempuran terkenal pada 

era awal Islam, atau yang menonjolkan pahlawan perempuan bukannya laki-

laki. Namun, al-Raniri tidak terlalu berminat membahas persoalan kekuasaan 

perempuan, mengingat kerja samanya dengan Ratu Safiyyat al-Din, yang 

digambarkan oleh seorang pelawat Mesir, Mansur b. Yusuf al-Misri, sebagai 

“muslimah yang ramah dan sempurna”. Penguasa perempuan jelas tidak jadi 

masalah bagi orang Mesir ini, yang kisah-kisahnya sampai di Yaman pada 

sekitar 1662. Bahkan, Mansur b. Yusuf terkesan dengan komitmen orang-

orang Jawi pada Islam, dengan menyatakan bahwa orang-orang Banten dan 

Jawa “mengayomi Islam” di bawah raja yang “adil dan waspada”.

Tak diragukan lagi mereka mengarahkan perhatian semakin ke barat. 

Sajarah Banten menceritakan salah seorang raja, ‘Abd al-Qadir (berkuasa 

1626–51), mengirim sebuah misi ke Mekah pada 1630-an yang dimaknakan 

sebagai usaha untuk memperoleh gelar sultan dari syarif Mekah. Penafsiran 

ini lebih mengutamakan politik gelar ketimbang tujuan resmi misi yakni 

untuk memperoleh pemahaman mengenai ajaran-ajaran utama dalam akidah. 

sesudah  berhenti di Kepulauan Maladewa, Pantai Coromandel, Surat, dan 

Mocha, rombongan utusan raja pergi ke Jeddah menghadap Syarif Zayd 

(berkuasa 1631–66) untuk meminta penjelasan kandungan tiga risalah.

Ketiganya diidentifikasi sebagai sebuah teks mengenai eskatologi Sufi, salah 

satu dari kumpulan karangan al-Fansuri, atau mungkin juga sanggahan al-

Raniri. Kecendekiawanan terbaru memang mengajukan kemungkinan bahwa 

pertikaian antara Kamal al-Din dan al-Raniri bisa jadi dipicu oleh melintasnya 

misi dari Banten itu atau oleh kepulangan mereka dari Mekah. 

Apa pun yang terjadi, Sajarah Banten menunjukkan bahwa persoalan 

yang diperdebatkan di Aceh menjadi keprihatinan pula di Jawa Barat. 

Orang-orang Banten tetap berhubungan dengan al-Raniri yang sudah 

kembali ke Gujarat. Utusan dari Banten semula hendak meneruskan misi 

ke Konstantinopel. isebab  pemimpin mereka meninggal, rombongan pun 

pamit pulang. Syarif Zayd menghadiahi mereka sebuah batu dengan bekas 

tapak kaki Nabi, sehelai penutup Kakbah, dan secarik bendera yang konon 

milik Nabi Ibrahim. Namun, bagi mereka, ada yang kurang isebab  Syarif 

Zayd tidak mengutus seorang cendekiawan untuk ikut rombongan. Syekh 

“Ibnu ‘Alam” (barangkali Muhammad ‘Ali b. ‘Alan, w. 1647) juga tidak siap 

meninggalkan Tanah Suci.51 Meski begitu, rombongan Banten tetap pulang 

dengan perasaan puas dan disambut suka cita pada 1638. 

Sajarah Banten menyiratkan bahwa sang Syarif memberi Banten hak 

untuk membagikan gelar kepada penguasa Mataram dan Makassar. Namun, 

para penguasa ini  lebih suka mengirim utusan mereka sendiri ke Mekah, 

suatu tindakan yang tampaknya lazim pada abad ketujuh belas. Orang-orang 

Mekah rupanya sangat menyadari potensi sumbangan yang tersedia isebab  

pada 1683 mereka mengirim utusan ke Aceh menghadap Ratu Zakiyyat al-

Din (berkuasa 1678–88).

Kerap dikatakan bahwa politik faksional pada akhirnya membuat 

banyak surat dikirimkan ke Mekah yang kemudian menghasilkan sebuah 

fatwa pencopotan ratu Aceh terakhir, Kamalat al-Din (berkuasa 1688–99), 

demi kepentingan suaminya, Sayyid Hasyim Jamal al-Layl. Meski tidak ada 

bukti mengenai fatwa semacam itu, berkuasanya Dinasti Hadrami telah 

memainkan peranannya dalam menyempurnakan visi Aceh sebagai negara 

Islam yang paling Islami pada awal Indonesia modern. 

Beberapa cendekiawan juga menunjuk peran dakwah ‘Alawiyyah, sebuah 

tarekat dari Hadramaut yang melacak silsilahnya hingga ke Muhammad b. 

‘Ali (w. 1255). ‘Alawiyyah bahkan pernah disebut sebagai “tarekat keluarga 

besar”. Sebutan yang memang tepat, setidaknya hingga tingkat tertentu. Kita 

harus mengingat bahwa ikatan keluarga kerap menghubungkan orang-orang 

seperti al-Raniri pada Hijaz, Gujarat, Kepulauan Maladewa, dan Aceh. Ini 

pastinya merupakan tema yang perlu dikaji ulang, terutama dalam kaitannya 

dengan meluasnya popularitas beberapa  doa yang ditujukan kepada pribadi 

‘Abd al-Qadir al-Jilani yang dianggap keturunan Nabi.

Meskipun ‘Alawi kerap dipuji-puji sehingga terkesan melebih-lebihkan 

peranan orang-orang Hadramaut dalam sejarah Asia Tenggara sebelum abad 

kedelapan belas, kita tetap perlu menengok Mesir dan Mekah. Lagi pula, 

pendorong Islamisasi yang tengah berlangsung tidak dapat dilihat hanya dari 

kehadiran, atau ketiadaan, para pelawat asing seperti kaum Hadrami. Yang 

tak boleh diabaikan yaitu  peran para cendekiawan Jawi, yang mengembara 

ke Tanah Suci dan kembali serta menulis untuk tanah air mereka. Dapat 

dikatakan bahwa sosok-sosok inilah yang harus dipandang sebagai kunci 

transmisi dan elaborasi terakhir bagi dominannya kompleks “Mekah” dalam 

berbagai institusi Islam di bawah pemerintahan Utsmani, institusi yang 

melibatkan praktik tarekat. Barangkali cendekiawan yang paling berpengaruh 

dalam sejarah Islam di Asia Tenggara yaitu  ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615–

93). Dia dilahirkan tak jauh dari Pasai, dan dari catatan pendeknya kita 

tahu bahwa orang “Jawi” ini meninggalkan Aceh (dan al-Raniri) pada 1642, 

memulai sebuah petualangan ke luar negeri yang berlangsung sekitar lima 

belas tahun.

sesudah  berpindah dari satu guru ke guru lain di antara Teluk, Yaman, 

Mekah, dan India, akhirnya al-Sinkili menemukan guru yang sesuai di 

Madinah, yaitu Ahmad al-Qusyasyi (1583–1661) dan Ibrahim al-Kurani (w. 

1690), keduanya memiliki jaringan luas dengan Mesir. Ahmad al-Qusyasyi 

yang lahir di Madinah memiliki serangkaian pengalaman mistis di Yaman, 

tempat ayahnya pernah membawanya pada 1602. Dia kemudian kembali ke 

Madinah dan memantapkan diri sebagai guru tarekat Syattariyyah sesudah  

kematian pembimbing Sufi utamanya (sekaligus mertuanya) Ahmad al-

Syinnawi (w. 1619), yang terhubung dengan banyak cendekiawan Mesir. 

Adapun Ibrahim al-Kurani, lahir di Kurdistan dan bergabung dengan al-

Qusyasyi sesudah  melakukan banyak perjalanan di wilayah Timur Arab. Pada 

1650 dia pergi ke Kairo dan berhubungan dengan beberapa  cendekiawan 

Mesir. Dia kembali ke Madinah pada 1651 dan menjadi wakil al-Qusyasyi 

untuk Syattariyyah. Dalam beberapa biografi Arab, dia lebih dikenal sebagai 

seorang Naqsyabandi. Meskipun ‘Abd al-Ra’uf sudah bergabung dengan 

berbagai tarekat, ajaran Syattariyyah-lah yang dibawanya ke Aceh dan 

diajarkan kepada murid-muridnya seperti ‘Abd al-Muhyi Pamijahan (1640–

1715), yang bermukim di Kota Karangnunggal di Jawa Barat beberapa waktu 

sesudah  1661.

Al-Kurani merupakan penyusun sebuah risalah, Ithaf al-Dzaki 

(Persembahan kepada Yang Cerdik), yang dia tujukan kepada orang-orang 

Jawi yang antusiasmenya terhadap Tuhfah karya al-Burhanpuri tak pernah 

berkurang. Mustafa b. Fath Allah al-Hamawi (w. 1712), yang berjumpa al-

Kurani pada 1675, menyatakan bahwa pertanyaan beberapa orang Jawi 

mengenai penafsiran Tuhfah dalam “sekolah-sekolah keagamaan” mendorong 

Tampaknya kita bisa mengenali sebuah persoalan teologis tertentu di balik 

permintaan semacam itu. Pasalnya, al-Kurani juga menghasilkan risalah yang 

lebih pendek mengenai pandangan “beberapa orang Jawa” yang menyatakan, 

“isebab  pengetahuan dan kesalehan” bahwa “Tuhan Yang Mahakuasa yaitu  

diri dan wujud kita serta kita yaitu  diri dan wujud-Nya”. Kalimat ini persis 

seperti yang pernah diutarakan oleh Kamal al-Din; jika dilihat berdasar  

konteksnya, pertanyaan yang dilaporkan ini  ditujukan kepada “ulama 

ahli tahqiq”. Sepertinya teologi Kamal al-Din dirumuskan kembali dalam 

kerangka perdebatan umum antara “beberapa orang Jawa” dan “beberapa 

ulama [asing] yang [sekarang] menuju ke sana”.

Tanggapan Al-Kurani lebih lunak ketimbang al-Manufi. Dia menyatakan 

bahwa orang Jawi yang bersangkutan tidak patut mati meskipun orang Jawi 

itu dan penyerangnya sama-sama telah salah menafsirkan makna esoterik 

kata-kata Ibn al-‘Arabi yang dinukil oleh al-Burhanpuri. Dalam Syath al-wali 

(Ucapan Sang Wali), al-Kurani lebih jauh menyatakan bahwa hanya individu 

yang lemah imannya dan terlalu rasionalis dalam me